elektronik, dan delik-delik diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ... KUHAP
. UU ITE sendiri bertujuan mengatur hukum diranah internet, baik yang ...
Suplemen Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Kedudukan Alat Bukti Digital dalam Hukum Acara Pidana Oleh: Sam Ardi Rezim Cyber Law di Indonesia mulai berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE). Beberapa ketentuan baru seperti alat bukti digital, penyelenggaraan transaksi elektronik, dan delik-delik diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) terdapat di dalam UU ITE. Hukum pembuktian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) memberikan ketentuan yaitu bahwasannya hakim untuk memutus suatu perkara pidana wajib mendasarkan keyakinannya pada minimal 2 alat bukti yang sah. Hukum pembuktian pada UU ITE sendiri bersifat lex specialis, dikarenakan UU ITE mengatur segala sesuatu yang lebih spesifik dalam hukum pembuktian yang terdapat di dalam KUHAP. UU ITE sendiri bertujuan mengatur hukum diranah internet, baik yang berkaitan dengan aspek pidan, aspek keperdataan, aspek administrasi negara, dan beberapa aspek lainnya yang berkenaan dengan perbuatan hukum diranah cyber. KUHAP memberikan limitatif apa yang disebut dengan alat bukti yang dibuat untuk membentuk keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana: Pasal 184 (1) Alat bukti yang sah ialah: a.keterangan saksi; b.keterangan ahli; c.surat; d.petunjuk; e.keterangan terdakwa. Merujuk pada ketentuan di dalam KUHAP, bahwa dalam perkara konvensional hakim haruslah menyandarkan keyakinannya pada minimal 2 alat bukti yang sah (lihat Pasal 183 KUHAP). UU ITE seperti dipaparkan diatas merupakan lex specialis dari KUHAP, dengan demikian UU ITE mengatur alat bukti baru sebagai perluasan dari alat bukti konvesional karena UU ITE mengatur keberlakuan hukum diranah cyber. Adapun perluasan alat bukti yang dimaksud di dalam UU ITE adalah sebagai berikut:
Pasal 5 (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Alat bukti baru yang dimaksud adalah informasi elektronikdan/atau dokumen elektronik yang dicetak atau print out dari suatu file dari sebuah sistem elektronik. Hasil cetak atau print out di dalam Pasal 2 UU ITE diakui sebagai perluasan dari alat bukti konvensional sehingga sah dimata hukum. Print out dari sebuah sistem elektronik adalah sah jika dikeluarkan oleh sistem elektronik yang diatur oleh UU ITE ini, yang dimaksud dengan sistem elektronik adalah sistem elektronik yang tertera di dalam Pasal 16 UU ITE. Pasal 16 UU ITE sendiri memerintahkan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) untuk aturan pelaksanaannya. Sistem elektronik dibuat oleh penyelenggaran sistem elektronik yang harus memenuhi sertifikasi. Hasil cetak tersebut adalah sah bilamana dapat ditampilkan sebagaimana aslinya, dengan kata lain file asli dari informasi dan/atau dokumen elektronik haruslah dijamin keorisinalitasnya. Hal ini ditentukan oleh UU ITE pada Pasal 6 UU ITE:
Pasal 6 Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
File asli (original source) dari sebuah hasil cetak haruslah dijamin keasliannya untuk menghindari adanya perubahan (editing) karena pada dasarnya sebuah data digital itu rentan oleh perubahan dari apapun maupun siapapun. Oleh karena itu tujuan pembentuk UU ITE mencantumkan Pasal 6 adalah sebagai bentuk perlindungan atas hasil cetak sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik yang akan dijadikan alat bukti yang sah dimata hukum.
*Materi dipresentasikan pada perkuliahan Hukum Acara Pidana