Selain nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, juga ada kumpulan nyanyian ...
buku Tembang-tembang Kaula, Seri Lagu-Lagu Rohani Baru ; Bernada dan.
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan umat Kristen dalam ibadah tidak dapat dilepaskan dari nyanyian rohani. Nyanyian rohani atau biasanya disebut Kidung Rohani memegang peran penting (Abineno, 1966.105) di samping kotbah dan doa.
Nyanyian rohani
merupakan ungkapan pujian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, nyanyian rohani tidak saja sebagai pujian atas keagungan Tuhan, artinya relasi atas-bawah antara Tuhan dan manusia (baca, umat), tetapi nyanyian rohani dalam liturgi juga berfungsi
sebagai panggilan atau ajakan kepada sesama umat untuk datang
beribadah. Dalam hal ini, nyanyian rohani berfungsi sebagai relasi antarumat. Selain dua fungsi di atas, nyanyian rohani juga
dapat berfungsi sebagai ungkapan
penyesalan umat atas segala dosa-dosanya. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa nyanyian rohani mempunyai dimensi dan fungsi yang beragam dalam relasi antarumat serta antara umat dan Tuhan Sang Pencipta. Nyanyian rohani dalam ditelusuri jauh
sejarah perkembangan
sebelum agama Kristen
muncul
agama Kristen dapat
sebagai satu agama. Perlu
ditambahkan bahwa sebagai agama, kekristenan adalah sekte dari agama Yahudi. Dalam kitab Injil Agama Kristen, dikenal ada lima kitab Taurat,
yaitu Kitab
Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Dalam kitab Taurat itu, sudah ditemukan nyanyian rohani yang dinyanyikan oleh umat baik sebagai ungkapan keagungan Allah Yang Maha Kuasa atau sebagai ungkapan penyesalan akan
2
kesalahan dan dosa umat kepada Tuhan.
Contohnya dapat dilihat dalam kitab
Keluaran 15 ayat 1 - 18 yang disebut sebagai nyanyian Musa dan umat Israel. Nyanyian rohani
tersebut adalah pujian dan ungkapan syukur karena Tuhan
melepaskan mereka dari tangan tentara Mesir. Dalam Kitab Suci Kristen pada bagian Perjanjian Lama, bahkan
ditemukan satu kitab yang isi keseluruhannya adalah
nyanyian rohani, yaitu Kitab Mazmur. Mazmur artinya nyanyian. Kitab Mazmur ditulis sebagian besar oleh Raja Daud dan beberapa bagian lain ditulis oleh penulis yang lain. Nyanyian rohani
Mazmur di atas tidak dapat lagi dilagukan oleh umat
kristen pada zaman sekarang ini. Namun demikian, nyanyian rohani Mazmur tetap dipakai dalam liturgi ibadah umat Kristen, tetapi tidak lagi dinyanyikan akan tetapi dibaca secara
litani
yaitu
membaca secara bersahut-sahutan antara pemimpin
ibadah dan umat. Nyanyian rohani baik yang diciptakan pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang adalah sebuah ungkapan dari penciptanya, yaitu ketika penciptanya merasakan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam kehidupannya. Salah satu contoh adalah ungkapan Raja Daud dalam Mazmur 23 ayat 1 – 4 : “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang, Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena namaNya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya sebab Engkau besertaku, gadamu dan tongkat Mu itulah yang menghibur aku” Teks nyanyian rohani di atas adalah ungkapan dari Raja Daud. Sebagai seorang Raja, ia merasakan penyertaan dan kehadiran Tuhan layaknya seperti seorang gembala yang menjaga kawanan ternaknya dari ancaman bahaya.
3
Dalam perkembangan liturgi selanjutnya, umat Kristen tidak hanya memakai nyanyian rohani yang sudah ada, yaitu ciptaan dari umat pada masa lampau seperti nyanyian rohani di atas , tetapi nyanyian rohani sebagai ungkapan iman umat terus diciptakan sesuai dengan perkembangan dan pergumulan umat. Artinya, nyanyian rohani terus berkembang
sesuai dengan perkembangan umat Kristen. Bahkan,
nyanyian rohani juga berkembang ke dalam berbagai bahasa di mana umat Kristen ada dan berkembang, termasuk di Bali Gereja Kristen Protestan di Bali (kemudian disebut GKPB) adalah gereja yang lahir dari perjalanan panjang sejarah zendeling di Bali. Zendeling pertama
datang
ke Bali pada tahun 1846 (Wijaya, 2003, 26 ; Ayub, 1999: 21). Namun, secara de facto GKPB baru lahir pada abad 20-an, yaitu pada tanggal 11 November 1931 dan berbadan hukum nomor 8, tanggal 11 Agustus 1949 berdasarkan Staadblad nomor 214 (Tata Gereja GKPB 2002, vii). GKPB sebagai gereja yang lahir dari zendeling menganut sistem Presbyterial-Sinodal dan beraliran Calvinistik. GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang berkedudukan di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara adalah bagian dari gereja yang disebutkan di atas. Sebagai sebuah gereja yang lahir dan berkembang di Bali, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang juga menyerap unsur-unsur budaya Bali dalam mengungkapkan imannya. Coe (1992: 14-15) mengatakan bahwa pemribumian atau kontekstualisasi harus dilakukan manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke dalam budaya lainnya dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar dalam budaya yang baru. Diadopsinya unsur-unsur budaya Bali dapat dilihat dari segi
4
arsitektur bangunan gereja, cara berpakaian, kegiatan
keagamaan termasuk juga
liturgi, dan nyanyian rohani dalam ibadah. Umat Kristen GKPB yang sebagian besar (90%) adalah orang Bali tetap memakai bahasa Bali baik sebagai percakapan seharihari maupun dalam ibadah. Salah satu contoh dapat dilihat dari nama GKPB Marga Pakerti yang artinya jalan menuju keselamatan adalah nama yang diambil dari bahasa Bali. Nyanyian rohani berbahasa Bali juga telah dipakai oleh umat Kristen di Bali sejak awal perkembangannya. Salah satu nyanyian rohani berbahasa Bali perkembangan awal GKPB dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja.
dalam
Lihatlah Sang Hyang
Isah, pujilah Sang Hyang Isah, Sang Hyang kabentang di Golgota, pujilah Ida Sang Hyang Yesus”. Nyanyian rohani di atas dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja pada tahun 1931 (Wijaya, 2003: 159).
Dalam perkembangan selanjutnya, nyanyian rohani
berbahasa Bali menjadi nyanyian yang memegang peran penting dalam liturgi umat GKPB, termasuk di dalamnya
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang
Tawang. Sampai akhir tahun 1990-an, paling tidak ada tiga buku nyanyian rohani berbahasa Bali yang diterbitkan baik secara pribadi maupun secara lembaga oleh GKPB. Buku
pertama, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan dari
nyanyian rohani dari abad ke-15 sampai dengan abad ke-19, yang diterjemahkan adalah nyanyian rohani berbahasa Belanda, Jerman, Inggris maupun bahasa lainya. Nyanyian rohani ini dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul Kidung Pamuji yang terdiri atas 109 nyanyian rohani. Kidung Pamuji ini dipakai secara luas oleh jemaat-
5
jemaat GKPB, baik dalam ibadah minggu maupun ibadah- ibadah lain yang dilakukan oleh umat. Selain itu, pada tahun 1964, Pendeta Made R. Ayub
juga menulis
geguritan yang didokumentasikan dalam buku Marga Pakerti (Ayub, 1964). Selain nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, juga ada kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali yang diciptakan oleh umat atau rohaniwan GKPB misalnya buku
Tembang-tembang Kaula,
Seri Lagu-Lagu Rohani Baru ; Bernada dan
Berbahasa Bali, (Yohanes, 1993) yang diciptakan oleh Pdt. I Nyoman Yohanes, S,Th. Kumpulan nyanyian rohani ini terdiri atas 17
nyanyian rohani berbahasa Bali.
Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut diciptakan sepanjang tahun 1990 sampai dengan 1993. Pada tahun 1990-an, muncul ciptaan-ciptaan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru. Tercatat ada satu buku nyanyian rohani berbahasa Bali yang terbit dengan judul Gita Suksma. Buku Gita Suksama adalah kumpulan nyanyian rohani Bali dari beberapa pencipta. Buku nyanyian rohani ini diterbitkan oleh Divya Pradana Bhakti, Biro Seni dan Komunikasi GKPB (1999). Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak hanya berkembang dalam bentuk buku, tetapi juga dalam bentuk kaset di antaranya kaset nyanyian rohani Bali dengan judul Putra Surga yang direkam oleh Apel Studio. Kaset ini beredar luas di kalangan umat GKPB. Kaset kedua, nyanyian rohani berbahasa Bali yang dikeluarkan oleh GKPB jemaat Tirta Amerta Pelambingan dengan judul Tangkil. Kaset ini direkam oleh Midi Quest Studio. Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali mengalami perkembangan yang sangat pesat sampai dengan tahun 1980-an. Dari segi
6
pemakaiannya dalam liturgi, sampai dengan akhir tahun 1980-an, nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam liturgi minggu dan ibadah-ibadah lainnya. Hal itu secara sepintas dapat dijelaskan demikian, sejak tahun 1940 hingga 1970-an akhir, dalam liturgi gereja,
nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai lebih
dominan daripada nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Dalam satu bulan, kalau dihitung ada empat hari minggu, maka dalam tiga kali ibadah dipakai nyanyian rohani berbahasa Bali dan satu kali bahasa Indonesia. Sejak tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasa Bali mulai terpinggirkan, tergeser oleh nyayian rohani berbahasa Indonesia. Jika diamati secara sepintas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh “banjirnya” nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Pertama,
terbitnya buku nyanyian rohani
berbahasa Indonesia yaitu buku Kidung Jemaat yang terbit pertama kali tahun 1984. Buku kedua yang telah terbit lebih dulu yaitu tahun 1975 tetapi baru dipakai di GKPB sejak tahun 2000-an adalah buku Nyanyikanlah Kidung Baru. Buku-buku nyanyian rohani tersebut dengan cepat diterima dan dipakai oleh gereja-gereja yang ada di Indonesia termasuk juga GKPB. Namun demikian, ada faktor yang jauh lebih dalam dari sekedar faktor-faktor yang dipaparkan di atas, yaitu apa yang disebut sebagai pengaruh globalisasi. Seiring dengan perkembangan zaman, meluasnya globalisasi menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya runtuhnya batas-batas kebudayaan. Masyarakat hidup dalam dunia yang kehilangan batas (Piliang, 2010: 31; Agger ,2003: 72; Hoed, 2011: 197). Dinyatakan bahwa globalisasi
adalah era di mana bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama
7
lainnya sehingga mengaburkan perbedaan antara bangsa maju (dunia pertama) dan bangsa terkebelakang (dunia ketiga).
Atmadja (2010: 7)
mengatakan bahwa
perubahan sosial budaya tidak dapat dihindarkan. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor inovasi yang dilakukan oleh masyarakat, kontak sosial satu masyarakat dan masyarakat lainnya yang menimbulkan difusi kebudayaan. Globalisasi dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi,
dan telekomunikasi telah
mengubah bukan saja tampilan fisik, tetapi juga pola pikir masyarakat. Menghadapi situasi seperti di atas, ada dua hal yang bisa terjadi dalam kehidupan umat, yaitu beradaptasi
atau melakukan penolakan terhadap situasi yang terjadi. Beradaptasi
berarti menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan. Parsons (dalam Beilharz, 2003: 298) mengatakan bahwa adaptasi merupakan upaya manusiawi yang menghasilkan keseimbangan yang kompleks antara faktor-faktor yang menghalangi dan yang memperlancar perubahan. Dipakainya nyanyian rohani berbahasa Indonesia tentu saja menimbulkan persoalan bagi kehidupan umat secara keseluruhan. Bagi generasi muda yang tidak menguasai bahasa Bali
dengan baik, digantinya nyanyian rohani berbahasa Bali
dengan nyanyian rohani berbahasa Indonesia menjadikan mereka kehilangan identitas kebaliannya. Atmadja (2010: 67) mengatakan bahasa sebagai sebuah alat komunikasi di dalamnya mengandung nilai dan identitas penggunanya. Lebih lanjut, generasi tua yang terbiasa memakai nyanyian rohani berbahasa Bali mendapatkan kesulitan dalam memahami dan menghayati nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Padahal, yang
8
mengikuti ibadah bukan saja dari generasi muda tetapi bercampur dengan generasi tua. Berdasarkan pemaparan di atas, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali menarik untuk diteliti karena nyanyian rohani berbahasa Bali baik sebagai ungkapan penyembahan, ungkapan syukur, dan doa (komunikasi antara umat dan Tuhan) dalam liturgi tidak lagi mendapat tempat yang utama. Nyanyian rohani berbahasa Bali justru terpinggirkan. Fenomena di atas
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, yang menggugah
peneliti untuk melakukan penelitian. Mengapa
umat yang nota bene orang Bali
dengan mudah meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan kemudian beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Apa yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Apakah dengan meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia umat dapat menghayati iman kristen dengan lebih baik. Apakah ada faktor internal maupun eksternal yang mendorong umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali. Apakah dengan ditinggalkannya nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia mempengaruhi kehidupan umat. Pertanyaan inilah yang akan digali dalam penelitian. Untuk menemukan jawaban terhadap masalah
di atas, peneliti menggali
faktor-faktor yang mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Dari faktor-faktor tersebut dapat ditemukan alasan-alasan, mengapa jemaat meninggalkan nyanyian rohani
9
berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Selanjutnya, peneliti menggali proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti. Dengan menggali proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali di atas, dapat diungkapkan alasan-alasan mengapa jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih
menggunakan
nyanyian
rohani
berbahasa
Indonesia
atau
Inggris.
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali tentu mempunyai implikasi terhadap kerohanian umat. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali menyebabkan
dapat
kerohanian umat semakin kuat atau sebaliknya kerohanian umat
semakin lemah. Dengan mengetahui implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali, umat dapat mengambil tindakan yang sesuai untuk kemajuan kerohanian umat di masa yang akan datang. Tiga pokok bahasan di atas penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan fenomena keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta Utara. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat ditarik permasalahan yang kemudian akan dibahas dalam bab-bab berikutnya. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang?
10
2. Bagaimana proses
terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang ? 3. Bagaimana implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang? 1.3. Tujuan Penelitian. 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitan ini adalah untuk mengetahui gejala-gejala perubahan budaya yang terjadi dalam perkembangan liturgi gereja dan sekaligus menghasilkan sebuah deskripsi analitis tentang perubahan-perubahan tersebut. 1.3.2. Tujuan Khusus Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. 2. Untuk mengungkap proses terjadinya
keterpinggiran
nyanyian rohani
berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. 3. Untuk mengetahui implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.
11
1.4. Manfaat Penelitian. 1.4.1. Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam masalah-masalah sosial dan dalam kehidupan bergereja di Bali, dan lebih khusus lagi mengenai perkembangan nyanyian rohani berbahasa Bali
disoroti dari sisi kajian budaya.
Manfaat teoretis lainnya terkait dengan aplikasi teori-teori kontemporer
dalam
menganalisis perubahan-perubahan sosial pada masa kini. 1.4.2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak berkepentingan, yaitu institusi gereja khususnya para pembuat kebijakan
untuk
menjadi masukan berkenaan dengan pembangunan bidang keimanan jemaat dan dalam mengantisipasi perkembangan zaman dan iman umat ke depan. Masukan dalam hal ini adalah berupa gagasan atau model strategi pengelolaan atau penanganan masalah terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai salah satu sarana membangun iman umat.
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. 2.1. Kajian Pustaka Penelitian maupun pustaka yang berkaitan dengan topik penelitian ini, belum banyak. Namun demikian, ada beberapa hasil penelitian yang dianggap relevan dengan judul proposal, yaitu sebagai berikut ini. Yang pertama adalah, tesis yang ditulis oleh Suarningsih (2004) dengan judul Lagu Pop Bali Anak-anak dalam Kajian Budaya. Sesuai dengan judulnya, penekanan tesis ini lebih pada perkembangan lagu pop Bali anak-anak yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan kapitalisme atau industri musik khususnya di Bali. Suarningsih memberi kesimpulan bahwa perkembangan lagu pop Bali anak-anak yang berkembang di Bali akhir-akhir ini sangat diwarnai dan dipengaruhi
oleh
industri musik dan teknologi, khususnya televisi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa batasan objek tesis Suarningsih hanya pada lagu-lagu pop Bali anak-anak yang dikaitkan dengan perkembangan industri musik dan televisi, sedangkan penelitian ini mengambil objek penelitian secara khusus pada nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai dalam liturgi gereja. Dalam pembahasannya, Suarningsih tidak menekankan perubahan pemakaian bahasa dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia akan tetapi lagu-lagu pop Bali anak-anak tetap memakai bahasa Bali. Perbedaan yang lainnya terletak pada teori-teori yang dipakai untuk membedah persoalan yang dihadapi oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan
13
Suarningsih
memakai tiga teori, yaitu teori estetika, teori komodifikasi, dan teori
budaya populer, sedangkan penelitian ini memakai tiga teori, yaitu teori adaptasi, teori perubahan budaya, dan teori dekonstruksi. Namun demikian, hasil penelitian Suarningsih memberikan wawasan dan motivasi untuk melakukan penelitian ini. Hasil penelitian yang kedua yang cukup relevan dengan judul proposal ini adalah tesis yang berjudul Eksistensi Lagu Pop Minangkabau di Sumatera Barat (Perspektif Kajian Budaya) oleh Nurmala (2005). Penelitian ini lebih menekankan pada perkembangan dan eksistensi lagu-lagu daerah Minangkabau yang juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, baik itu budaya global maupun perkembangan teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh Nurmala terbatas pada lagu-lagu Minangkabu yang berkembang di daerah Minangkabau. Artinya penelitian yang dilakukan oleh Nurmala mempunyai ruang lingkup yang berbeda dengan penelitian dalam tesis ini. Berkaitan dengan teori yang dipakai untuk membedah masalah yang dihadapi, Nurmala menggunakan lima teori, yaitu teori perubahan, teori budaya popular, teori fungsional, teori semiotika, dan teori estetika. Kajian pustaka ketiga yang cukup relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh
I Komang Darmayuda (2006)
dengan judul
Dinamika Lagu Pop Bali Periode 1990-2005 (Sebuah Kajian Budaya). Darmayuda memberikan kesimpulan bahwa oleh karena pengaruh media dan perkembangan alat musik moderen, lagu pop Bali telah mengalami perubahan. Semula lagu pop Bali punya identitas yang jelas, tetapi sejalan dengan perubahan yang banyak dipengaruhi
14
oleh globalisasi, lagu pop Bali cenderung mengarah pada trand musik moderen. Lebih tegas lagi, Darmayuda menyimpulkan bahwa sejak tahun 1990-an identitas lagu pop Bali mengalami pengaburan. Artinya, dalam pembahasannya Darmayuda lebih menekan pada perubahan dan perkembangan lagu pop Bali yang cenderung mengikuti genre lagu pop Indonesia moderen, tetapi bahasa yang digunakan dalam lagu pop Bali tetap memakai bahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari trand musik yang berkembang pada saat itu. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Darmayuda dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini
lebih menekankan pada perubahan
pemakaian bahasa, yaitu dari nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Perubahan ini sangat dipengaruhi oleh budaya global. Berkaitan dengan teori, Darmayuda
menggunakan lima teori untuk
membedah permasalahannya, yaitu teori estetika, teori struktural fungsional, teori budaya popular, teori komodifikasi, dan teori hegemoni, sedangkan penelitian ini menggunakan tiga teori sebagaimana disebutkan di atas. Kajian pustaka keempat yang cukup relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Merti (2006) dengan judul Pemertahanan Bahasa Bali dalam Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar dalam bentuk tesis. Tesis ini membahas tentang upaya-upaya pemertahanan bahasa Bali dalam realitas sehari-hari yang mencakup penggunaan dalam keluarga, pasar tradisional, kegiatan keagamaan, pementasan kesenian, dan kebijakan pemerintah.
15
Dari hasil penelitiannya, Merti memberi kesimpulan bahwa bahasa Bali telah mengalami
degradasi
dan
keterpinggiran
khususnya
di
kota
Denpasar.
Keterpinggiran dan degradasi bahasa Bali terjadi baik dalam pemakaian sehari-hari di keluarga, pasar tradisional, kegiatan keagamaan, dan pementasan kesenian. Dalam ruang lingkup pemakaian di atas, bahasa Bali seringkali dicampur dengan bahasa Indonesia, artinya bahasa Bali tidak dipakai secara utuh dan benar. Tesis yang ditulis oleh Merti dan penelitian ini mempunyai kesamaan dalam hal sama-sama membahas tentang keterpinggiran, tetapi mempunyai objek dan lingkup penelitian yang berbeda. Objek penelitian yang dilakukan oleh Merti yaitu bahasa Bali dalam pemakaian sehari-hari dengan lingkup penelitian di kota Denpasar sedangkan objek penelitian ini adalah nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi gereja. Demikian juga halnya berkaitan dengan teori yang dipergunakan untuk membedah persoalan yang dihadapi; kedua penelitian ini menggunakan teori-teori yang berbeda. Penelitian Merti menggunakan teori sosiolinguistik, teori perubahan sosial, dan teori motivasi sedangkan penelitian ini menggunakan teori adaptasi, teori perubahan budaya, dan teori dekonstruksi. Jadi, dapat dikatakan bahwa dari penelusuran pustaka di atas, penelitian ini mempunyai perbedaan baik dari segi objek dan lingkup penelitian maupun dari teoriteori yang dipergunakan untuk membedah persoalan. Namun demikian, keempat penelitian di atas memberikan motivasi dan wawasan melakukan penelitian.
kepada peneliti
dalam
16
2.2. Konsep Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, penelitian diharapkan akan dapat membatasi ruang lingkup pemikiran dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan lainnya. Peranan konsep dalam penelitian sangat besar karena konsep adalah yang menghubungkan dunia teori dan dunia observasi, antara abstraksi dan realitas (Sangarimbun, 1989: 33). Konsep berarti batasan terhadap sebuah masalah, sehingga memudahkan arti atau pemikiran, ide serta hal-hal maupun gejala sosial yang digunakan agar pembaca dengan segera dapat memahami maksudnya sesuai dengan keinginan peneliti dalam menggunakan konsep tersebut. Berdasarkan uraian di atas, konsep yang akan dijelaskan dalam penelitian ini terdiri atas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali, liturgi Gereja Kristen Protestan jemaat Marga Pakerti, dan Banjar Padang Tawang Kecamatan Kuta Utara. 2.2.1. Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Keterpinggiran mengacu pada suatu posisi yang diperbandingkan dengan posisi yang lain. Keterpinggiran tidak dapat berdiri sendiri, keberadaannya dan pengertiannya sangat tergantung pada antitesenya, yakni posisi yang bukan dipinggir (biasanya disebut “pusat” atau “tengah”). Kontras antara tengah dan pinggir dalam pengertian keterpinggiran biasanya dikaitkan dengan distribusi kekuasaan atau yang
17
lebih tepat keberdayaan, yang bergradasi menurun dari pusat ke pinggir. Pusat atau tengah adalah posisi yang paling berdaya. Mereka yang menduduki tempat tersebut dianggap penting sebagai inti atau sumber acuan dan karenanya mendapat perhatian. Sebaliknya, posisi pinggiran paling jauh dari keberdayaan karena dianggap kurang penting. Keterpinggiran juga dapat diartikan sebagai suatu posisi yang berada pada perbatasan, yang tidak dimiliki atau memiliki yang berada di tengah karena identitas yang tidak jelas (Wahyudi, 2004: 87-88). Dalam kaitan dengan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi gereja, dapat dikatakan bahwa pada awalnya nyanyian rohani berbahasa Bali menduduki tempat yang sentral (tengah) atau yang utama jika dibandingkan dengan nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Tengah atau sentral mengandung pengertian, bahwa nyanyian rohani dipakai dalam semua liturgi baik itu dalam liturgi gereja maupun dalam liturgi rumah tangga. Sebagai nyanyian yang utama, nyanyian rohani berbahasa Bali mempengaruhi kehidupan umat baik dalam hubungan umat dengan Tuhan maupun hubungan sesama umat. Nyanyian rohani berbahasa Bali adalah kumpulan nyanyian rohani yang dipakai oleh umat dalam ibadah, baik untuk penyembahan, ungkapan doa, pengajaran ajaran agama kepada umat maupun pujian kepada Tuhan. Nyanyian rohani berbahasa Bali ini beberapa di antaranya adalah terjemahan dari berbagai bahasa seperti bahasa Jerman, Inggris, Belanda, Latin maupun dari Ibrani. Nyanyian rohani ini telah dibukukan dalam buku
berjudul Kidung Pamuji. Sebagian dari nyayian
rohani
berbahasa Bali ini adalah asli ciptaan dari orang-orang Kristen Bali. Nyanyian rohani
18
ini selain memakai bahasa Bali juga memakai tembang yang khas Bali, misalnya geguritan. Contohnya adalah geguritan yang dikarang oleh Pendeta Made R. Ayub (1964). Geguritan ini
dikemas dalam Pupuh Durma, Pupuh Sinom, dan Pupuh
Ginada. Selain geguritan yang dikarang Oleh Pendeta Made R. Ayub, nyanyian rohani berbahasa Bali yang kental dengan tembang Bali banyak dikarang oleh Pendeta Nyoman Yohanes, STh. Nyanyian-nyanyian rohani di atas dalam liturgi gereja kini
tidak lagi
mendapat tempat yang utama dalam ibadah. Artinya, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya dipakai sebagai selingan. Dengan kata lain, nyanyian rohani tersebut mengalami keterpinggiran. 2.2.2. Liturgi Gereja Kristen Protestan Jemaat Marga Pakerti Kata liturgi berasal dari bahasa Yunani leiturgia yang terdiri atas dua kata yaitu leitos yang berarti umat dan kata ergon yang berarti pekerjaan. Dari dua kata leitos dan ergon terbentuk kata leiturgia yang berarti melakukan sebuah pekerjaan atau pelayanan kepada umat.
Dalam kitab Injil,
kata leiturgia dipakai untuk
menunjuk kepada tugas Imam, Menguraikan pekerjaan Tuhan Yesus sebagai Imam, menunjuk kepada pekerjaan Rasul dalam pekabaran Injil, menunjuk kepada pekerjaan Malaikat-Malaikat dalam melayani, menunjuk kepada pekerjaan pengumpulan persembahan untuk orang miskin, dan menunjuk kepada kumpulan orang yang berdoa dan berpuasa (Ayub. 2001: i). Dalam ibadah gereja, kata liturgi telah menjadi istilah teknis untuk menunjuk kepada tata kebaktian umat.
19
Gereja Kristen Protestan di Bali (disingkat GKPB) Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah gereja yang ada di lingkup Sinode Gereja Kristen Protestan di Bali. GKPB Marga Pakerti sebagai sebuah gereja lokal adalah gereja yang mandiri. Gereja tersebut memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan gerejagereja lainnya yang ada di bawah sinode GKPB, maupun gereja-gereja lain yang berbeda aliran (denominasi). GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah gereja yang homogen. Hampir sebagian besar anggotanya adalah dari suku Bali yang memakai bahasa Bali sebagai bahasa pengantar pergaulan seharihari. Sebagian besar anggotanya tinggal di dua banjar, yaitu Banjar Padang Tawang dan Babakan. Kedua banjar ini terletak di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara. 2.2.3. Banjar Padang Tawang Kecamatan Kuta Utara Banjar Padang Tawang adalah sebuah banjar yang terletak di jalur pariwisata antara objek wisata Kuta dan Tanah Lot. Padang Tawang termasuk bagian dari Desa Canggu yang berbatasan langsung dengan Desa Buduk Kecamatan Mengwi. Secara kependudukan,
Banjar Padang Tawang adalah homogen. Sebagian besar
penduduknya adalah etnis Bali yang beragama Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Dengan penjelasan konsep seperti di atas,
maka batasan penelitian ini
menjadi cukup jelas baik dalam cakupan materi penelitian sebagai objek penelitian dan
batasan tempat penelitiannya. Ruang lingkup penelitian ini meliputi materi
penelitian sebagai objek penelitian yaitu keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa
20
Bali dalam liturgi dan tempat penelitian yaitu di Gereja Kristen Protestan Bali jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. 2.3. Landasan Teori. Pembahasan
penelitian ini menggunakan tiga buah teori,
yaitu teori
perubahan budaya, teori dekonstruksi, dan teori adaptasi. Untuk membahas pokok permasalahan pertama yaitu latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, penulis bertumpu pada acuan konsep dan teori perubahan budaya. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak terjadi begitu saja. Ada latarbelakang tertentu yang melatarbelakangi sehingga jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris. Oleh karena itu, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diduga terjadi karena adanya perubahan budaya dalam kehidupan anggota jemaat. Dengan teori perubahan budaya, diharapkan dapat mengungkapkan
penelitian ini
sejauh mana perubahan budaya tersebut
mempengaruhi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. Teori dekonstruksi dipakai untuk membahas pokok permasalahan yang kedua yaitu proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di banjar Padang Tawang. Dengan terori dekontruksi, dapat diungkapkan proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali di GKPB jemaat Marga pakerti di Banjar Padang Tawang.
21
Teori adaptasi, khususnya mengacu pada teori adaptasi Bennet dipakai untuk membahas
pokok permasalahan
yang ketiga,
yaitu implikasi keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Setiap perubahan tentu berimplikasi pada kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga berimplikasi pada kehidupan umat khususnya di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Seperti apa implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali terhadap kehidupan umat. Dengan teori adaptasi, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Ketiga teori di atas dipakai sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya. Peneliti
mencoba
menganalisis bagaimana latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Peneliti menggali bagaimana proses keterpinggiran
nyanyian rohani berbahasa Bali dalam
liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Pada bagian akhir dari kedua proses di atas, dengan memakai teori adaptasi, penulis mencoba menggali apa implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali terhadap kerohanian umat. 2.3.1. Teori Perubahan Budaya Substansi masalah yang pertama, adalah apa yang menjadi latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. Terpinggirkannya nyanyian rohani
22
berbahasa Bali dan masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia adalah sebuah proses yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup lama. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengalihan yaitu, menyangkut berubahnya gaya hidup dan pemikiran jemaat yang mengangggap bahwa nyanyian rohani berbahasa Indonesia dirasakan lebih modern jika dibandingkan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya
global yang
memahami bahasa
Indonesia, Inggris dan lainnya sebagai bahasa yang modern sedangkan bahasa Bali sebagai bahasa yang tradisional (Atmadja, 2010: 69).
Faktor perkembangan
teknologi, media, dan ekonomi global melanda kehidupan umat. Di samping itu, masuknya nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris nampaknya lebih cocok dengan selera umat pada jaman sekarang. Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini mempergunakan teori perubahan budaya.
Linton (dalam Koentjaraningrat, 1990: 97) mengatakan bahwa
dalam proses perubahan budaya di mana di dalamnya terjadi akulturasi, ada unsurunsur
kebudayaan yang mudah berubah dan ada unsur kebudayaan yang sukar
berubah bila dihadapkan dengan pengaruh asing. Linton menyebut bagian yang sulit atau lambat berubah disebut sebagai bagian inti
(covert culture)
dari suatu
kebudayaan. Bagian inti dari suatu kebudayaan menyangkut sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan beberapa adat yang mempunyai fungsi yang sangat luas dalam masyarakat. Bagian yang mudah
23
berubah adalah perwujudan luar (overt culture). Bagian luar yang dimaksud adalah seperti alat-alat, benda yang berguna, tatacara, dan gaya hidup. Dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami masa transisi dari kebudayaan tradisional ke kebudayaan masa kini, tentu akan terjadi tarik menarik antara mereka yang suka dan tidak suka perubahan, antara yang pro kepada perubahan dan kontra perubahan. Menurut Koentjaraningrat (1990: 112), mereka adalah
orang-orang yang dapat menyesuaikan diri
menyesuaikan diri dengan keadaan krisis tersebut.
dan yang tidak dapat Mereka yang tidak dapat
menyesuaikan diri adalah orang-orang kolot yang tidak suka pada perubahan. Jika golongan kolot kuat, mereka akan dapat menghambat proses akulturasi untuk sementara waktu. Perubahan sosial dan kebudayaan adalah merupakan dua bidang yang saling berkaitan. Kingsley Davis mengatakan bahwa perubahan sosial
merupakan bagian
dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya. Hal yang sama diungkapkan oleh Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001 : 342) dengan mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Teori perubahan budaya dipakai untuk menganalisis bagian pertama dari penelitian ini, yaitu berkaitan dengan latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi gereja.
24
2.3.2. Teori Dekonstruksi Istilah dekonstruksi (deconstruction)
tidak dapat dilepaskan dari nama
Jacques Derrida. Derrida lahir tahun 1930 di El Biar dekat Aljazair dari orang tua berdarah Yahudi Sephardic (Beilharz, 2003. 73). Latar belakang pemikiran Derrida adalah filsafat fenomenologi dan strukturalisme terutama fenomenologi dari Husserl dan strukturalisme Saussure dan Levi Strause (Santoso, 2010. 248) Ciri dari dekonstruksi yang dikemukakan oleh Derrida (Ratna, 2006: 222) adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fenosentrisme secara keseluruhan yang melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir yang bersifat hirarki dikotomis. Kecenderungan dari oposisi biner (binary opposition) ini adalah anggapan bahwa unsur-unsur pertama yang menjadi pusat, asal-usul, dan prinsip dengan konsekuensi logis yang lain menjadi sekunder, marginal, manifestasi, dan padanan lainnya. Istilah dekonstruksi muncul pertama kali dalam tulisan karya Derrida. Kata dekonstruksi adalah terjemahan dari dua kata dalam bahasa Jerman yang dipakai oleh Martin Heidegger dalam tulisannya berjudul Being and Time, yaitu destruction dan abbau. Menurut kata kerjanya mendekonstruksi berarti membongkar bagian-bagian dari suatu keseluruhan (Beilharz, 2003. 74-75). Namun demikian, dekonstruksi yang dimaksudkan di sini bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan pandangan monisme atau bahkan kekosongan. Dekonstruksi yang dimaksud juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan perangkat-perang konseptual yang serba
argumentatif
dan
koheren,
bahkan
dekonstruksi
justru
antimetode,
25
antiargumentasi dan antikoherensi karena pandangan itu berbau ilmiah dan positivistik (Santoso, 2010. 252) Teori dekonstruksi sesungguhnya bertolak dari teori De Saussure tentang tanda yang berpijak pada relasi antara signifiant dan segi signifie. Namun, bagi Derrida relasi itu tidak statis, tidak tetap, dan tidak stabil melainkan dapat berubahubah sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu (Hoed, 2011: 77). Menurut Derrida, dalam kenyataannya, relasi itu dapat ditunda untuk mendapat relasi yang lain
atau baru. Proses ini dikenal sebagai proses dekonstruksi.
Dengan
demikian,
makna suatu tanda diperoleh tidak sekedar berdasarkan pembedaan
antartanda semata yang hubungan antarpenanda-petandanya bersifat tetap, melainkan dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu. Jadi, makna suatu tanda tidak hanya terlihat dalam satu kali jadi, melainkan dalam ruang dan waktu
yang berbeda diperoleh makna yang berbeda pula. Bahkan, Derrida
mendorong untuk melakukan penundaan itu
secara sadar sebagi suatu tindakan
berpikir kritis. Proses dalam hubungan yang baru ini disebutnya differance (Hoed, 2011: 77). Differance menurut Derrida bukan kata dan bukan konsep. Differance adalah segala sesuatu yang mempersoalkan hal-hal yang sudah dianggap mantap. Defferance dan dekonstruksi adalah
berpikir kritis, tidak menerima begitu saja pemikiran-
pemikiran akademis yang sudah menahun dalam pikiran, khususnya dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pemikiran-pemikiran dari para strukturalis (Hoed, 2011:
26
78). Secara sederhana, dapat dipahami bahwa teori dekonstruksi menyarankan agar penelitian tetap terbuka terhadap fenomena yang lain. 2.3.3. Teori Adaptasi Substansi masalah yang ketiga, bagaimana implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di banjar Padang Tawang. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak terlepas dari adaptasi yang dilakukan oleh umat untuk menjawab perubahan jaman. Adaptasi menyangkut upaya penyesuaian yang mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan keinginan atau kehidupannya dengan lingkungan yang berubah. Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuannya.
Lingkungan meliputi aspek fisik, biologik, dan sosial
(Bennett, 1976: 145). Dengan demikian, adaptasi manusia dapat berproses dalam dimensi lingkungan yang sangat luas dan terus berubah. Mengingat bahwa lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah, maka dalam upaya mengadaptasinya, manusia akan terus mengikuti, mengamati, dan menginterpretasi perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Jika manusia menganggap cara penyesuaian yang dilakukan sebelumnya kurang cocok, maka cara itu akan digantinya dengan cara yang lebih cocok. Untuk menentukan dan menetapkan cara-cara penyesuaian yang lebih cocok itulah, manusia memilih caracara berhubungan dengan dan memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi keinginan, kebutuhan, dan mencapai tujuannya. Namun, adaptasi manusia tidak semata-mata
27
ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan tujuannya, tetapi ditentukan pula oleh situasi lingkungan setempat (Bennett, 1976: 257). Untuk beradaptasi pada lingkungan yang terus berubah, manusia dituntut untuk bersifat dinamis. Menurut Bennett (1976: 271-272), ada tiga konsep kunci untuk membahas dan memahami dinamika kehidupan manusia dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Tiga konsep kunci itu adalah
perilaku adaptif,
tindakan strategi, dan strategi adaptif. Perilaku adaptif merupakan bentuk-bentuk perilaku
yang menunjukkan penyesuaian cara-cara mencapai tujuan, melakukan
pilihan, dan menolak untuk melakukan tindakan atau keterlibatan, dengan maksud untuk beradaptasi. Selanjutnya, strategi tindakan merupakan tindakan-tindakan yang khusus direncanakan untuk menyelesaikan upaya penyesuaian demi tercapainya kemajuan-kemajuan yang merupakan tujuan dalam proses pemanfaatan sumber daya. Dalam
pengertian strategi tindakan, tercakup upaya rasionalisasi, mekanisasi,
orientasi pada kemajuan, yang mengutamakan hasil dari perilaku manusia. Lebih lanjut, konsep strategi adaptif mengacu lebih khusus pada tindakan-tindakan yang dipilih
oleh
manusia
dalam
proses
pengambilan
keputusannya,
karena
keberhasilannya telah dapat diprediksinya. Serupa dengan di atas, Suparlan (1981: 9) mengatakan bahwa adaptasi dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk mengatasi berbagai masalah yang ada dalam lingkungan atau fisik guna kelangsungan hidup. Sehubungan degan hal itu, Freire (1984: 3-4) menyebutkan bahwa
adaptasi manusia berproses dalam dimensi
lingkungan yang amat luas. Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka
28
memahami data yang ada di lingkungannya. Mereka menyadari temporalitasnya. Dimensi waktu yaitu kemarin, hari ini, dan esok adalah suatu penemuan yang sangat mendasar dalam sejarah kebudayaan manusia. Manusia tidak terkungkung dalam satu dimensi waktu, yaitu kemarin atau pun hari ini. Oleh karena ia menyadari temporalitasnya dan membebaskan diri dari “hari ini”, maka manusia melakukan apa yang disebut sebagai adaptasi. Mengingat lingkungan yang diadaptasi oleh manusia selalu mengalami perubahan, maka dalam upaya mengadaptasinya, manusia akan terus mengikuti, mengamati dan menginterpretasi gejala-gejala perubahan yang terjadi di dalam lingkungan. Oleh karena itu, masing-masing kelompok manusia mempunyai pola adaptasi yang tertentu dengan memahami secara baik lingkungan fisiknya agar dapat memberi respon secara stabil (Hunter dan Phillip, 1976: 5). Adaptasi merupakan suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar tertentu untuk dapat melangsungkan hidupnya. Dalam hal ini ada tiga syarat dasar yang harus dipenuhi, yaitu syarat biologis, kejiwaan, dan sosial. Dalam usaha untuk memenuhi ketiga syarat tersebut, manusia menggunakan kebudayaan yang dimiliki sebagai kerangka dasarnya (Suparlan, 1981: 241-243).
Teori
adaptasi
memandang perubahan terhadap lingkungan, baik yang terjadi dengan cepat maupun lambat, orang akan berusaha mengadaptasi dirinya terhadap perubahan itu. Adakalanya orang tidak berhasil mengadaptasi perubahan itu, sehingga menghasilkan sifat (perilaku) yang tidak sesuai dengan lingkungan. Jelasnya, jika lingkungan
29
mengalami perubahan, maka langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi penghuninya (Soemarwoto, 1997 : 48). 2.4.Model Penelitian
Budaya Lokal
Globalisasi
Teknologi dan media Pendidikan
Ekonomi
Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang Kecamatan Kuta Utara
Faktor yang mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
Proses terjadinya keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
Tradisi Tingkat Pendidikan
Implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan tanda : : Hubungan langsung (searah) : Hubungan langsung (dwiarah) Keterangan model penelitian. Globalisasi merupakan fenomena yang multidimensional dan kompleks. Globalisasi dengan media massa sebagai salah satu penggeraknya, telah mengubah tatanan hidup masyarakat termasuk di dalamnya
budaya dan tradisi-tradisi lokal
30
yang sudah ada sebelumnya (Gambar 2.1). Akibatnya, budaya dan tradisi yang sudah ada sebelumnya secara perlahan terpinggirkan. Dalam alur pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali
yang dipakai dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang adalah tradisi yang mengalami keterpinggiran akibat globalisasi. Sebagai sebuah sarana, nyanyian rohani berbahasa Bali memegang peran yang sangat penting. Nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan rasa syukur, untuk mengungkapkan penyembahan, dan juga pujian kepada Tuhan. Selain itu, sebagai etnis Bali, nyanyian rohani berbahasa Bali juga menjadi identitas yang bermakna dan bernilai bagi umat. Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah mentradisi dalam ibadah umat Kristen di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Namun, karena berbagai faktor, yaitu budaya global, media massa, dan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia,
nyanyian rohani
berbahasa Bali terpinggirkan. Dengan judul penelitian di atas, maka penelitian ini hendak mengungkapkan tentang faktor-faktor, tentang proses terjadinya, dan tentang implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.
31
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian dengan judul Keterpinggiran Nyanyian Rohani Berbahasa Bali dalam Liturgi Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti di Banjar Tawang Kecamatan Kuta Utara
adalah studi kualitatif yang berada dalam wilayah kajian
budaya. Sesuai dengan hakikat ilmu humaniora, objektivitas hasil penelitian tidak didasarkan atas pembuktian, generalisasi, melainkan pemahaman, sebagai konstruksi transferabilitas. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai objek penelitian ini dikaji dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang sudah ada sebagai teori formal, tetapi disesuaikan dengan objek penelitian, sebagai teori yang dimodifikasi. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang
Tawang, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara. Secara geografis, Banjar Padang Tawang berbatasan di sebelah utara dengan Desa Tuka, di sebelah barat dengan Desa Buduk, di sebelah selatan dengan Desa Canggu dan di sebelah timur dengan Desa Pegending. GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mempunyai jemaat yang homogen; sebagaian besar (99%) anggotanya berasal dari etnis Bali. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka memakai bahasa pengantar bahasa Bali.
32
3.3. Jenis dan Sumber Data. Jenis data penelitian adalah kualitatif dan kuantitatif. Data dinyatakan dalam bentuk kata-kata, kalimat, narasi, uraian, tabel dan berbagai bentuk pemahaman lainnya. Secara konkret,
data yang dikumpulkan terdiri atas rekaman hasil
wawancara mendalam dengan para informan dan data yang dikumpulkan melalui observasi dan studi dokumen yang dianggap perlu. Untuk memperoleh data di atas, penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah para informan dan objek yang diteliti, sedangkan sumber data sekundernya adalah berbagai sumber tertulis, misalnya buku, majalah, tesis, dan monografi desa. 3.4. Teknik Penentuan Informan Berkenaan dengan penelitian ini, informan ditentukan secara purposif, yakni berdasarkan keahlian, kemampuan, dan pengalaman di bidang masing-masin. Mantra (2004: 29) mengatakan bahwa ada tiga kelompok informan yaitu informan kunci, informan ahli, dan informan insendental. Oleh karena itu, ada beberapa informan yang dapat memberikan keterangan seperti, pendeta, majelis jemaat, penatua jemaat, anggota jemaat biasa. Merujuk
kepada kelompok informan di atas, maka yang dikelompokkan
sebagai informan kunci antara lain para pendeta yang pernah bertugas di GKPB Marga Pakerti Padang Tawang, dan para majelis jemaat. Kedua kelompok tersebut adalah mereka yang terlibat langsung dalam kegiatan jemaat atau mereka yang turut mengambil bagian dalam membuat keputusan-keputusan jemaat. Informan ahli
33
adalah mereka yang mempunyai kemampuan menciptakan nyanyian rohani atau mereka yang tahu tentang seluk- beluk nyanyian rohani berbahasa Bali. Informan insendental adalah informan yang posisinya di luar kategori di atas yang juga dianggap pantas memberikan informasi atau keterangan yang terkait dengan topik penelitian ini. Informan insendental adalah anggota jemaat biasa yang tidak ikut ambil bagian dalam membuat keputusan-keputusan. Mereka adalah para pemuda yang berumur rata-rata di bawah duapuluh lima tahun dan anggota jemaat dewasa tetapi tidak pernah menduduki jabatan di gereja. 3.5. Instrumen Penelitian Instrumen terpenting dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan peralatan utama yang disebut sebagai pemahaman. Penelitian ini menggunakan alat (instrumen) penelitian berupa pedoman wawancara dan didukung dengan kamera dan alat rekam. Menurut Nawawi (1992: 69), dalam pengumpulan data diperlukan alat yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. Lebih lanjut, Nawawi (1992: 74) mengatakan bahwa dalam melakukan observasi, munculnya fenomena penelitian harus segera dicatat meskipun dengan cara yang paling sederhana. 3.6. Teknik Pengumpulan Data Secara garis besar, penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu teknik wawancara, teknik observasi, dan teknik studi dokumen.
34
3.6.1. Teknik Wawancara Teknik
wawancara
menurut Endaswara (2003: 212) adalah percakapan
dengan tujuan yang khusus. Tujuan utama dilakukan wawancara adalah untuk menggali pemikiran konstruktif seorang informan yang menyangkut peristiwa, organisasi, dan sebagainya, serta untuk merekonstruksi ulang pemikiran atau halikhwal yang dialami oleh informan di masa lalu. Lebih lanjut, tujuan wawancara adalah untuk menyingkap atau menggali proyeksi pemikiran informan tentang kemungkinan budaya yang dimilikinya di masa mendatang. Dari berbagai bentuk teknik wawancara, dalam penelitian ini, digunakan teknik wawancara mendalam, yang dilakukan secara langsung dengan informan. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran yang lengkap tentang topik yang diteliti (Bungin, 2001: 145). Wawancara mendalam dilakukan baik dengan informan kunci, informan ahli, maupun dengan informan insendental. 3.6.2. Teknik Observasi Teknik observasi atau pengamatan dapat diartikan sebagai pengamatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 2000: 151). Dalam hal ini, pengamatan dimaksud untuk melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Pengamatan dilakukan dengan cermat yang disertai dengan pencatatan hal-hal yang dianggap penting untuk memperkuat observasi data. 3.6.3. Teknik Studi Dokumen Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data yang bersifat konkret. Data tersebut diperoleh dari buku laporan tahunan jemaat, majalah berkala yang diterbitkan
35
oleh GKPB, artikel atau literatur yang berkaitan dengan topik yang dibahas, catatancatatan dari jemaat, dan juga foto-foto yang menggambarkan kegiatan jemaat. Studi dokumen digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data mengenai hal-hal tertentu yang ada
relevansinya dengan penelitian. Hal ini dilakukan untuk
mendukung hasil penelitian. 3.7. Teknik Analisis Data. Dalam penelitian ini, digunakan analisis data kualitatif dan interpretatif. Menurut Moleong (2002: 103), analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data yang terkumpul (Sangarimbun, 1989: 236), menyajikan secara sistematis kemudian mengolah, menafsirkan, dan memaknainya. Selanjutnya, dilakukan penarikan simpulan yang disertai dengan penyajian saran yang diperlukan. Menarik suatu simpulan adalah suatu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang terhadap catatan-catatan lapangan. Maksudnya adalah untuk menguji kebenaran, kekokohan, kecocokan, dan validitas dari makna-makna yang muncul di lokasi penelitian (Miles, dan Huberman, 1992: 16-19) 3.8. Penyajian Hasil Analisis Data Moleong (2002: 233) mengemukakan bahwa penelitian merupakan bagian
yang tidak terpisahkan.
penulisan laporan hasil Oleh karena itu, hasil
penelitian ini sebagian besar disajikan secara deskriptif melalui kata-kata, kalimat,
36
dan bentuk-bentuk narasi lainnya. Untuk mendukung kualitas narasi, penyajian di atas akan didukung oleh hasil penelitian dalam bentuk tabel, gambar, bagan, foto, dan peta. Secara keseluruhan, hasil penelitian disajikan dalam delapan bab, dan dilengkapi dengan indeks dan lampiran-lampiran lain yang diperlukan.
37
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Dalam bab sebelumnya, sudah dipaparkan bahwa objek penelitian ini adalah keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi gereja, dan lokasi penelitian ini adalah di jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta Utara. Sebagai gambaran umum, kiranya perlu dibahas terlebih dahulu lokasi penelitian tersebut. 4.1. Letak Geografis Secara geografis, Banjar Padang Tawang adalah bagian dari Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung (Gambar 4.1). Banjar Padang Tawang berbatasan langsung di sebelah utara dengan Desa Tuka, di sebelah timur dengan Desa Pegending , di sebelah selatan dengan Banjar Babakan Desa Canggu, Kuta Utara, dan di sebelah barat Desa Buduk, Mengwi. Banjar Padang Tawang berada cukup
dekat dengan
dua pusat
pemerintahan, yaitu Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Pusat pemerintahan Kabupaten Badung terletak sekitar 5 km ke arah utara dari Banjar Padang Tawang, sedangkan Kota Denpasar berjarak sekitar 10 km ke arah timur Banjar Padang Tawang. Selain itu, Banjar Padang Tawang juga berada pada jalur pariwisata Kuta dan Tanah Lot. Posisi ini memberikan keuntungan secara tidak langsung bagi Banjar Padang Tawang, yaitu untuk mendapat akses yang lebih luas dalam lapangan pekerjaan. Dengan posisi itu, Banjar Padang Tawang menjadi daerah penyangga
38
bagi pusat pemerintahan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, dan menjadi penyangga bagi kedua daerah pariwisata yaitu Kuta dan Tanah Lot. 4.2. Keadaan Alam Banjar Padang Tawang beriklim tropis dengan udara yang cukup segar dan bersih. Curah hujan rata-rata pertahun 2.000 mm, sedangkan suhu udara rata-rata 32º. Banjar Padang Tawang terletak 10-15 m dari permukaan laut (Profil Desa Canggu, 2011) ( Gambar 4.1).
Br.PADANG TAWANG
Gambar 4.1 Peta Letak Lokasi Penelitian (sumber: maps.google.co.id) Lingkungan alam Padang Tawang masih tampak asri dan hijau. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa dan kesadaran penduduk untuk tidak mengijinkan lingkungan Padang Tawang menjadi perumahan atau
39
pemukiman baru ( Gambar 4.2). Mereka tetap mempertahankan tanah-tanah pertanian sebagai lahan pertanian.
Gambar 4.2 Keadaan Alam Banjar Padang Tawang (Dok. : Parwita, 2011) Dari gambar di atas (Gambar 4.2) terlihat bahwa daerah Padang Tawang masih berupa lahan pertanian yang subur dan produktif. Sebagian kecil dari tanah-tanah itu dipakai untuk pemukiman dan tempat usaha. Pemukiman dan tempat usaha penduduk Banjar Padang Tawang berdiri mengikuti jalan utama yang membelah Banjar Padang Tawang dari arah utara ke selatan. 4.3. Mata Pencaharian. Sebagaimana desa-desa lainnya di Bali, sebelum tahun 1980-an, mata pencaharian utama penduduk Banjar Padang Tawang adalah pertanian. Sebagian besar penduduk Banjar Padang Tawang menggarap tanah-tanah yang diwariskan turun-temurun oleh orang tua mereka. Tanah yang subur, didukung dengan sistem pengairan yang baik,
memungkinkan mereka menggarap, menanam padi, dan
memanen hasil sawah sepanjang tahun tanpa terganggu oleh musim. Biasanya, hasil panen berupa padi tidak dijual langsung kepada pengijon, sebagaimana lazim
40
dilakukan oleh petani di daerah lain, tetapi mereka memanen sendiri hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada dewasa ini, seiring dengan perkembangan pariwisata di Bali, mata pencaharian penduduk Padang Tawang telah mengalami pergeseran. Pertanian tidak lagi menjadi
mata pencaharian utama penduduk Banjar Padang Tawang tetapi
sebagai sampingan. Anak-anak muda yang telah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, terutama pendidikan pariwisata, tidak lagi menekuni pertanian sebagai mata pencaharian tetapi memilih profesi yang lain. Banyak di antara mereka ikut ambil bagian di sektor pariwisata sebagai pegawai hotel, restoran,
dan sektor jasa
pariwisata lainnya (Tabel 4.1). Hal ini tentu saja sangat didukung oleh posisi Banjar Padang Tawang yang cukup dekat dengan pusat-pusat pariwisata seperti Kuta dan Tanah Lot. Tabel 4.1. Jenis Pekerjaan Penduduk Banjar Padang Tawang
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pekerjaan Petani Buruh Swasta / Karyawan hotel Wiraswasta PNS ABRI Ibu rumah tangga Dan lainya Jumlah
Jumlah (orang) 21 6 113 30 19 2 37 22 223
Persentase (%) 9,4 2,6 50,0 13,4 8,5 0,9 16,6 9,8 100
Sumber : Buku Induk Kependudukan Banjar Padang Tawang 2011
Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa pertanian bukan lagi menjadi mata pencaharian pokok bagi penduduk Padang Tawang. Pekerjaan sebagai penjual jasa pariwisata dan
41
pegawai swasta sudah lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya (Tabel 4.1). Hal ini tentu saja sangat didukung oleh luasnya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata dan keberadaan Banjar Padang Tawang, yang cukup dekat dengan daerah pariwisata Kuta dan Tanah Lot dan tingkat pendidikan khususnya bidang pariwisata. Usaha masyarakat untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi cukup tinggi. Hal itu ditunjukkan dengan data pada tabel 4.2 di bawah ini. Tabel 4. 2. Data Tingkat Pendidikan No
Keterangan
Laki-laki (orang)
Perempun (orang)
1
Sekolah Dasar
24
29
2
Sekolah Menengah Pertama
13
14
3
Sekolah Menengah Atas
49
48
4
Diploma 1 dan 2
14
15
5
Diploma 3
18
6
6
S1 (Sarjana)
29
18
7
S2 (Master)
4
1
151
131
Jumlah
Sumber : Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011 Tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Br. Padang Tawang cukup tinggi. Persentase tingkat pendidikan paling tinggi diduduki oleh mereka yang mempunyai pendidikan diploma dan sarjana khususnya bidang pariwisata (Tabel 4.2). Sebagaimana ditunjukkan pada tabel 4.1, hampir setengah (50%) dari angkatan kerja bekerja di sektor pariwisata. Dengan tingkat pendidikan yang cukup, masyarakat Br. Padang Tawang memiliki kesempatan yang lebih besar dalam merebut peluang kerja di sektor pariwisata.
42
4.4. Sumber-Sumber Ekonomi. Terkait dengan sumber-sumber ekonomi, Banjar Padang Tawang memiliki beragam sumber ekonomi, yaitu tanah pertanian, kelompok ternak babi dan unggas, serta kelompok pengembang kodok dan ikan air tawar. Sumber ekonomi yang utama adalah tanah pertanian yang subur yang dapat berproduksi tiga kali dalam setahun. Sebagai daerah pertanian, Banjar Padang Tawang memiliki areal pertanian yang cukup luas. Hasil pertanian berupa padi, sayur, dan palawija tidak saja dapat mencukupi kebutuhan mereka, sebagian hasil produksinya dijual ke pasar-pasar yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang Ada beberapa sumber ekonomi
lainnya
yang dikembangkan oleh dua
kelompok. Pertama, kelompok ternak babi, selain bibit babi juga mengembangkan babi untuk penggemukan (konsumsi) (Tabel 4.3). Sebagian besar hasil ternak, baik berupa babi penggemukan maupun bibit dijual ke pasar-pasar atau pedagang yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang.
Kelompok-kelompok ini mengembangkan
peternakan dalam skala kecil (rumah tangga) dan menengah . Rata-rata setiap rumah tangga memelihara ternak babi antara 5 sampai 10 ekor dan skala menengah yang memelihara babi antara 50 sampai 100 ekor. Dalam usaha peternakan babi, masyarakat memanfaatkan sisa-sisa makanan dari rumah -rumah makan dan hotel yang ada di sekitar daerah pariwisata Kuta. Hal ini sangat menguntungkan, selain mereka mendapat harga pakan ternak yang murah jika dibandingkan pakan ternak yang dijual di pasar berupa konsentrat, sisa-sisa makanan yang terbuang dari rumah
43
makan dianggap memiliki kandungan gizi yang lebih komplit sehingga babi lebih cepat besar. Kedua, kelompok pengembang kodok Thailand dan ikan air tawar juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Sebagai kelompok pengembang kodok Thailand, kelompok kodok telah mendapat apresiasi yang cukup baik dari Pemerintah Kabupaten Badung. Kelompok ini selain menghasilkan kodok untuk konsumsi juga bibit kodok (kecebong) yang sangat menguntungkan. Sumber ekonomi yang cukup mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat adalah usaha jasa pariwisata. Tercatat ada tiga usaha jasa pariwisata yang menyediakan sarana transportasi, satu usaha jasa pemotretan, satu koperasi yang dikembangkan oleh gereja, dan warung-warung kecil yang menyediakan kebutuhan hidup sehari-hari (Tabel 4.3). Sumber-sumber ekonomi di atas, memberikan kontribusi yang cukup besar dalam kemajuan ekonomi mayarakat. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Banjar Padang Tawang sudah hidup di atas garis kemiskinan. Tabel 4.3 Sumber-Sumber Ekonomi No
Keterangan
Jumlah
1.
Jasa Transportasi Pariwisata
3
2
Jasa Pemotretan
1
3
Warung
4
4
Kelompok Pengembang Kodok Thailand
1
5
Kelompok Ternak Babi
1
6
Kelompok Pengembang Ikan Air Tawar
1
7
Koperasi
1
8
Bengkel Las
1
9
Rumah Penginapan (vila)
8
10
Mebel (Mebulair)
1
11
Jasa Pelayanan Makanan untuk Pesta
2
Sumber: Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011
44
Sarana dan prasarana ekonomi yang ada dapat dikatakan cukup memadai. Jalan-jalan yang ada, selain cukup lebar dan terawat dengan baik, juga telah menjangkau hampir semua sudut banjar. Jalan utama yang membelah banjar dari utara ke selatan
sudah dilapisi aspal. Jalan ini menjadi jalan alternatif bagi
masyarakat di sebelah utara Banjar Padang Tawang, yaitu Tuka, Buduk, dan sekitarnya, untuk bepergian terutama menuju daerah pariwisata Kuta dan Tanah Lot. Hal ini tentu saja menjadi keuntungan tersendiri bagi perkembangan ekonomi masyarakat. Banyaknya anggota masyarakat yang melewati Banjar Padang Tawang membuat warung-warung yang ada di sepanjang jalan utama menjadi hidup dan laris. 4.5. Keadaan Penduduk Pola perkampungan Banjar Padang Tawang membentuk satu kelompok dalam satu wilayah. Semua rumah penduduk dibangun di pinggir jalan, yang melintasi Banjar Padang Tawang, dari arah utara menuju ke selatan. Setiap keluarga menempati tanah milik sendiri sebagai pekarangan rumah. Rata-rata setiap keluarga menempati pekarangan rumah yang luasnya antara 3 – 5 are. Pola pembangunan rumah hampir memiliki kesamaan, yaitu menghadap ke arah jalan raya dan bagian belakang menjadi teba. Hal ini merupakan campuran pola pembangunan rumah-rumah tradisional Bali dan modern. Rumah utama terletak di bagian depan dan tengah, dibangun secara permanen menghadap ke jalan, sedangkan bagian belakang disebut teba. Sebagian keluarga memanfaatkan teba
45
untuk memelihara ternak atau kolam ikan, sebagian yang lainnya memanfaatkan untuk menanam pisang atau tanaman lain yang bermanfaat untuk keluarga. Menurut data kependudukan Banjar Padang Tawang tahun 20011, jumlah penduduk Banjar Padang Tawang adalah 378 orang (Tabel 4.4). Sebagian besar ( 92 %) adalah penduduk asli Padang Tawang (Bali). Artinya, mereka lahir dan tinggal di Banjar Padang Tawang sejak dari nenek moyangnya. Sebagian kecil dari mereka adalah para pendatang yang menetap di Banjar Padang Tawang oleh karena beberapa sebab, yaitu karena menikah dengan orang Padang Tawang, atau orang asing yang tinggal sementara di Padang Tawang. Tabel 4.4. Data Asal Penduduk
1
Bali
351
PERSENTASE (%) 92,8
2
Jawa
16
4,2
3
Kalimantan
5
1,4
4
Sulawesi
3
0,7
5
Papua
2
0,5
6
Asing (Belanda)
1
0,2
378
100
KETERANGAN
NO
Jumlah
JUMLAH (orang)
Sumber : Buku Induk Penduduk Br. Padang Tawang 2011 Ikatan kekeluargaan masyarakat Padang Tawang sangat erat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh hubungan kekeluargaan di antara anggota banjar yang mekilit. Menurut wawancara dengan Wayan Sarjana Tarsisius, Kelihan Banjar Padang Tawang, pada awalnya sebelum terbentuk sebuah banjar, penduduk Banjar Padang Tawang hanya terdiri atas lima kepala keluarga. Sebelumnya, lima kepala keluarga
46
ini menetap di perbatasan antara Banjar Padang Tawang sekarang dengan Banjar Babakan yang ada di sebelah selatan. Oleh karena beberapa sebab, yaitu tempat tinggal mereka banyak dihuni sarang semut dan keinginan untuk mencari tempat perumahan yang lebih baik, mereka memutuskan pindah ke tempat yang mereka tempati sampai sekarang. Dalam perkembangan, keturunan dari beberapa keluarga ini melakukan perkawinan di antara kelompok sendiri sehingga terbentuk Banjar Padang Tawang. Seperti masyarakat Bali pada umumnya, mereka masih menjaga adat dan tradisi Bali dalam kehidupan sehari-hari. Adat dan tradisi Bali dijaga dan dipakai oleh masyarakat Banjar Padang Tawang, baik menyangkut fisik maupun dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Secara fisik, pola perkampungan Banjar Padang Tawang mengikuti adat dan kebiasaan Bali. Tempat ibadah, dalam hal ini gereja, dibangun pada bagian hulu (utara), balai banjar sebagi pusat kegiatan banjar dibangun di tengah perkampungan.
Demikian juga halnya dalam hubungan sosial
kemasyarakatan, adat, dan tradisi Bali masih dijaga dan dipertahankan, misalnya dalam hal pernikahan. Pernikahan dimulai dengan ngidih, yaitu keluarga mempelai laki-laki datang ke rumah mempelai perempuan untuk membicarakan rencana pernikahan.
Selanjutnya,
dilakukan upacara mapamit, yang disebut juga ngaba
ketipat bantal, membawa ketupat dan aneka kue ke rumah mempelai perempuan. Acara pernikahan dilanjutkan dengan pemberkatan nikah di gereja yang diakhiri dengan pesta pernikahan. Adat dan tradisi Bali lain yang masih dipertahankan, yaitu tradisi nglawar, membuat dan mempersiapkan masakan khas Bali, baik untuk
47
pernikahan, maupun upacara hari-hari besar agama Kristen seperti hari Natal dan hari raya yang lainnya. Semua kegiatan di atas dilakukan dengan bergotong royong. Tradisi Bali lain yang masih dipertahankan adalah penggunaan kulkul, baik untuk tanda panggilan kepada masyarakat, maupun untuk tanda kedukaan karena ada kematian di antara warga banjar. 4.6. Agama. Sebelum masuknya agama Kristen, sekitar tahun 1937, penduduk Padang Tawang semuanya menganut agama Hindu. Masuknya agama Kristen ke Bali, yang dibawa oleh para zendeling Belanda juga mempengaruhi kehidupan beragama penduduk Padang Tawang. Berawal dari dua warga Banjar Padang Tawang yang beralih agama, dari agama Hindu menjadi Kristen Kristen terus berkembang (Wijaya, 2003: 182).
sekitar Missi
tahun 1937, agama Katholik yang datang
berikutnya juga mempengaruhi penduduk Banjar Padang Tawang, sehingga ada dua kekristenan yang berkembang di Padang Tawang, yaitu Kristen Protestan yang dibawa oleh zendeling dan Kristen Katholik yang dibawa oleh missi. Menurut data kependudukan Banjar Padang tahun 2011, jumlah pemeluk agama Kristen Protestan adalah 163 orang (43,2%) dan Kristen Katholik berjumlah 207 orang (54,7%) Agama Hindu 5 orang (1,3%) agama Islam 3 orang (0,8%) dari jumlah penduduk keseluruhan, seperti yang ditunjukan oleh Tabel 4.5 di bawah ini.
48
Tabel 4.5. Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama
No 1 2 3 4 5
Agama
Jumlah (orang)
Hindu Kristen Protestan Kristen Katholik Islam Budha Jumlah
5 163 207 3 0 378
Persentase (%) 1,3 43,2 54,7 0,8 0,0 100
Sumber : Buku Induk Penduduk Banjar Padang Tawang 2011
4.7. Gambaran Umum Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang Dalam pemaparan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa lokasi penelitian ini adalah di GKPB Marga Pakerti (Gambar 4.3).
Gambar 4.3. Papan Nama GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang (Dok. : Parwita, 2012)
49
GKPB Marga Pakerti sebagai gereja lokal, adalah sebuah jemaat yang mandiri. Sesuai dengan Tata Gereja GKPB Tahun 2006, bab XI, pasal 49 dan 50, yang masing-masing menyebutkan, bahwa
jemaat adalah persekutuan orang-orang
percaya yang merupakan penyataan GKPB (pasal 49). Suatu persekutuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 49 di atas, baru dapat menjadi satu jemaat jika persekutuan itu terdiri atas sekurang-kurangnya 4 (empat) kepala keluarga dan atau sekurang-kurangnya 12 (dua belas) orang anggota sidi (pasal 50). Tabel 4.6. Jumlah Anggota Jemaat GKPB Marga Pakerti Berdasarkan Jenis Kelamin No
Jenis Kelamin
Jumlah (orang)
1
Laki-Laki
125
2
Perempuan
134
Jumlah
259
Sumber : Laporan Pelaksanaan Program GKPB Marga Pakerti Tahun 2011 Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa GKPB Jemaat Marga Pakerti Padang Tawang yang terdiri atas 79 kepala keluarga dan jumlah anggotanya 259 orang (Majelis Jemaat GKPB Marga Pakerti, 2012: 42-49) dapat disebut sebagai jemaat yang mandiri (Tabel 4.6). Satu jemaat dikatakan sebagai sebuah jemaat yang mandiri, selain ditentukan dari jumlah anggota jemaatnya, juga dilihat dari beberapa kriteria lainnya yaitu, memiliki tempat ibadah (gedung gereja) yang tetap (Gambar 4.4),
melakukan
kegiatan pelayanan seperti ibadah minggu (Gambar 4.7) dan pelayanan lainnya secara rutin.
50
Gambar 4.4. Tampak Luar Gedung GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang (Dok. :Parwita, 2012)
Secara organisasi gereja bersama-sama dengan gereja lain yang satu asas, GKPB Marga Pakerti di Bajar Padang Tawang berada di bawah Sinode GKPB. Sesuai dengan Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XV, pasal 90, disebutkan bahwa sinode merupakan salah satu penjelmaan keesaan gereja dan pemegang wewenang tertinggi gereja melalui persidangan berdasarkan firman Allah di dalam Alkitab. Artinya, dalam ber-sinode, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang bertanggung jawab baik secara moral maupun material kepada Sinode GKPB. Dalam menjalankan organisasi, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dipimpin oleh seorang pendeta sebagai ketua jemaat, dan sepuluh orang majelis jemaat. Seorang pendeta, selain menjadi ketua, juga melaksanakan tugastugas sebagaimana yang telah diatur dalam Tata Gereja GKPB Tahun 2006, Bab XIII, pasal 83, ayat 1,
menyebutkan bahwa pendeta adalah jabatan gerejawi yang
ditetapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pelayanan firman, sakramen,
51
pastoral, dan pelayanan-pelayanan gereja lainnya.
Dalam menjalankan tugas
pelayanan gereja, pendeta dibantu oleh majelis jemaat. Dari sepuluh orang jumlah majelis jemaat GKPB Marga Pakerti, mereka dibagi dalam tiga kelompok sesuai dengan tugas-tugas khusus yang harus diemban. Ketiga kelompok itu adalah penatua, penginjil, dan diaken. Sesuai dengan Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XIII, ketiga kelompok di atas dijelaskan sebagai berikut; Penatua adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk menyelenggarakan tugas persekutuan di jemaat (pasal 80, ayat 1). Penginjil adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk mengupayakan terselenggaranya tugas pemberitaan Injil (pasal 81, ayat 1). Diaken adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk mengupayakan terselenggaranya tugas pelayanan kasih (pasal 82, ayat 1). Dalam melaksanakan pelayanan gereja, pendeta dan majelis membentuk pengurus-pengurus sesuai dengan kelompok usia atau jenis kelamin. Pengurus kaum bapak, pengurus kaum ibu, pengurus usia lanjut, pengurus pemuda dan remaja, dan pengurus anak-anak.
Setiap pengurus melaksanakan kegiatan pelayanan sesuai
dengan kelompoknya masing-masing. Setiap pengurus bertanggung jawab kepada pendeta dan majelis jemaat. Sebagai jemaat mandiri, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang melaksanakan berbagai macam kegiatan ibadah, yaitu ibadah umum dilaksanakan setiap hari minggu, ibadah keluarga, ibadah kaum muda dan remaja, dan ibadah untuk anak-anak yang lazim disebut sekolah minggu. Ibadah sekolah minggu adalah ibadah yang dikhususkan bagi anak-anak umur 0 – 16 tahun. Ibadah umum dilaksanakan di
52
gedung gereja, yang dipimpin oleh pendeta dan majelis jemaat. Ibadah umum dikhususkan untuk anggota jemaat dewasa umur 17 tahun ke atas (Tabel 4.7) Menurut catatan laporan jemaat tahun 2011 anggota jemaat didominasi oleh kaum muda yang berumur antara 20 – 50 tahun. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh tabel 4.7, jumlah mereka sekitar 50,6 % dari jumlah keseluruhan anggota jemaat.
Tabel 4.7. Anggota Jemaat Menurut Kelompok Umur NO 1
Kelompok Umur (tahun) 0 - 10
Jumlah (orang) 32
Persentase (%) 12,3
2
11 - 20
39
15,1
3
21 – 30
50
19,3
4
31 - 40
31
11,9
5
41 – 50
50
19,4
6
51 - 60
27
10,4
7
61 – ke atas
30
11,6
259
100,0
Jumlah
Sumber Laporan Pelaksanaan Program GKPB Marga Pakerti 2011 Pelaksanaan ibadah diiringi dengan alat-alat musik, baik tradisional seperti angklung bambu. Alat musik angklung bambu banyak digunakan untuk mengiringi nyanyian rohani berbahasa Bali (Gambar 4.5).
53
Gambar 4.5. Alat Musik Angklung Bambu (Dok. :Parwita, 2012) Selain menggunakan alat musik tradisional, ibadah juga diiringi dengan alat-alat musik moderen seperti seperti piano, keyboard maupun alat musik band lengkap seperti gambar di bawah (Gambar 4.6).
Gambar 4.6. Alat Musik Band (Dok. :Parwita, 2012) Ibadah menggunakan liturgi dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Bali. Pelaksanaan ibadah
diatur sebagai berikut, minggu pertama setiap bulan
54
ibadah menggunakan liturgi dengan pengantar dan nyanyian rohani berbahasa Bali, sedangkan minggu kedua, ketiga, dan keempat
menggunakan bahasa Indonesia
sebagai pengantar dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
Gambar 4.7. Ibadah Minggu Anggota Jemaat Dewasa (Dok. :Parwita, 2012)
Rata-rata ibadah umum (ibadah untuk orang dewasa) dihadiri oleh 165 orang setiap minggu (Gambar 4.7). Ibadah sekolah minggu (ibadah untuk anak-anak) ratarata dihadiri oleh 35 orang setiap minggu. 4.8. Sejarah Singkat Gereja Kristen Protestan Bali Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang Masuknya agama Kristen ke Banjar Padang Tawang tidak dapat dilepaskan dari peran I Goesti Poetoe Sanoer. Goesti Poetoe Sanoer adalah salah satu orang Bali yang dibaptis oleh Pendeta R.A. Jaffray pada tanggal 11 Desember 1931 di Tukad Yeh Poh, Dalung. Ia dibaptis bersama dengan Pan Loting, Pan Boengkalan, Pekak Panggih, Pekak Poeter, Pan Soepreg, dan Pekak Rayoe (Wijaya, 2003: 80 ; Ayub, 1999: 32). Pembaptisan yang pertama di Tukad Yeh Poh menjadi peristiwa penting dalam penyebaran agama Kristen di Bali. Sejak peristiwa pembaptisan yang dilakukan di Tukad Yeh Poh, agama Kristen kemudian menyebar ke daerah-daerah di
55
sekitarnya, seperti Abianbase, Buduk, dan termasuk juga Padang Tawang. Agama Kristen dibawa oleh I Goesti Poetoe Sanoer masuk ke Padang Tawang sekitar tahun 1937, enam tahun setelah pembaptisan di Tukad Yeh Poh. I Nyoman Moeg alias Pekak Esti, Pekak Simpang, Pekak Sara, dan Pekak Seregana adalah empat orang pertama yang beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen di Banjar Padang Tawang. Keempat orang ini telah menjadi murid-murid dari I Goesti Poetoe Sanoer. Menurut cerita, I Goesti Poetoe Sanoer adalah orang yang sangat sakti dan menguasai ilmu panengen. Ilmu panengen berlawanan dengan ilmu pangiwa. Dalam kehidupan orang Bali, Ilmu panengen dikaitkan dengan ilmu putih, yang berkaitan dengan hal-hal yang baik, seperti ilmu pengobatan, sedangkan ilmu pangiwa dikaitkan dengan ilmu hitam seperti pangleakan. Ketika I Goesti Poetoe Sanoer belajar agama Kristen dan kemudian masuk agama Kristen, keempat muridnya mengikuti jejak langkah gurunya. Guru bagi masyarakat Bali adalah orang yang patut dihormati, sesuai dengan konsep catur guru dalam tradisi Bali-Hindu. Apa pun yang dilakukan oleh guru, itulah yang terbaik dan patut diikuti oleh muridmuridnya. Tidak ada yang berani berkhianat terhadapnya, karena tidak ingin terkena kutukan. Hal ini sesuai dengan konsep alpaka guru. Jika guru sudah meninggal, murid wajib meneruskan ilmu kepada generasi penerusnya. Hal inilah yang kemudian dilakukan oleh keempat orang tersebut (Wijaya, 2003: 182). Konsep tentang guru, juga dikenal dalam ajaran agama Kristen. Isa Almasih atau Yesus Kristus juga dikenal sebagai guru, yaitu guru yang mengajar, membimbing, dan memberi pencerahan kepada murid. Dalam hal ini, I Goesti Poetoe
56
Sanoer, juga berposisi sebagai guru yang mengajar, membimbing dan memberi pencerahan tentang agama Kristen kepada keempat orang tersebut.
Tampaknya,
hubungan antara guru dan murid inilah kemudian membawa keempat orang itu beralih agama dengan memeluk agama Kristen. Keempatnya kemudian dibaptis oleh Mas Darmoadi pada tahun 1937 di Buduk Perjalanan sejarah terus berlanjut, setelah keempat orang itu menerima baptisan, mereka mengajak saudara-saudaranya yang lain masuk agama Kristen. Kewajiban ini, tentu saja sangat berkaitan erat dengan
ajaran agama Kristen,
sebagaimana yang tertulis dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen). Dalam Injil Matius pasal 28, ayat 19, tertulis bahwa, Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”. Tentu saja, I Goesti Poetoe Sanoer mengajarkan hal ini kepada keempat muridnya, kemudian keempat muridnya ini melanjutkan ajaran itu kepada murid berikutnya. Setelah menerima pembaptisan di Buduk, I Nyoman Moeg mencari saudara kandungnya Ni Ketoet Perning. Ni Ketoet
Perning sendiri sebelumnya
sudah
mendengar peristiwa baptisan di Tukad Yeh Poh dan sangat tertarik untuk ikut beralih agama menjadi agama Kristen, sehingga tidaklah sulit bagi I Nyoman Moeg untuk mengajak Ni Ketoet Perning untuk beralih agama. Selain saudara kandungnya I Ketoet Perning, I Nyoman Moeg juga mencari saudaranya yang lain bernama I Moenting dan Nang Gendol. Kedua orang ini lalu juga mengajak anak-anaknya masing-masing, sehingga dalam kurun waktu dua tahun jumlah orang kristen di Padang Tawang menjadi sekitar sepuluh orang.
57
Seiring berjalannya waktu, jumlah pemeluk agama Kristen terus mengalami peningkatan. Penambahan jumlah itu terjadi lebih banyak lewat hubungan kekerabatan, sebagaimana yang dilakukan oleh I Nyoman Moeg. Namun demikian, bertambahnya jumlah orang kristen, juga terjadi karena pernikahan, sebagaimana yang dialami oleh I Ketut Rendig. I Ketut Rendig yang dulunya beragama Hindu, beralih agama menjadi kristen karena menikah dengan Ni Wayan Pimpin yang sudah lebih dulu memeluk agama Kristen. Pertimbangan I Ketut Rendig mau beralih agama, karena menganggap menikah dengan cara kristen lebih murah dan mudah (Wijaya, 2003: 188-189). Berbeda dengan I Ketoet Rendig yang beralih agama ke agama Kristen karena pernikahan, I Soeploeg beralih agama karena merasa disembuhkan dari penyakit TBC yang dideritanya. Ketika I Soeploeg mendengar bahwa orang-orang Kristen dengan berdoa dapat menyembuhkan penyakit, ia lalu menemui orang-orang Kristen untuk didoakan. Dengan doa-doa orang Kristen itu, I Soeploeg benar-benar disembuhkan dari penyakitnya. Dengan alasan itulah, I Soeploeg beralih agama menjadi pemeluk agama Kristen. Dari empat orang pada tahun 1939, jumlah orang kristen terus bertambah.
Pada tahun 1954 jumlah orang beragama Kristen di Banjar Padang
Tawang, telah mencapai 54 orang.
58
BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANI BERBAHASA BALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT MARGA PAKERTI DI BANJAR PADANG TAWANG Faktor-faktor yang mempengaruhi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dapat diungkap melalui kehidupan sosial umat. Kehidupan sosial adalah
serangkaian
agregat perbedaan yang saling terkait dan terartikulasi atau terjalin bersama sehingga kehidupan sosial sangat berpotensi terhadap munculnya perubahan sosial dan masalah sosial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Laclau dan Mouffe ( dalam Chris Barker 2006: 87) kehidupan sosial meliputi berbagai hal yang terkait dengan kekuasaan dan antagonisme ketimbang melekat dalam konflik kelas. Bidang kompleks dari berbagai bentuk kekuasaan, subordinasi dan antagonisme yang tidak dapat direduksi menjadi bidang atau kontradiksi tunggal. 5.1. Perubahan Sosial Nyanyian rohani berbahasa Bali sesungguhnya muncul dari pergumulan umat yang mengalami masa-masa sulit pada awal perkembangan agama Kristen di Bali. Pengarang nyanyian rohani berbahasa Bali ingin mengungkapkan imannya atau apa yang dialaminya dalam nyanyian rohani tersebut. Artinya, sebuah nyannyian rohani berbahasa Bali lahir dari konteks pengarangnya. Apa yang dialami dan dirasakan oleh pengarang nyanyian rohani tersebut diungkapkan dalam syair-syair nyanyian rohani. Dalam kaitan tersebut, nyanyian rohani berbahasa Bali lahir dari konteks kehidupan
59
orang-orang Kristen Bali di akhir tahun 1930-an. Mereka adalah orang-orang yang baru saja beralih agama, dari sebelumnya memeluk agama Hindu kemudian mereka memeluk agama Kristen. Sebagai orang-orang Bali yang baru beralih agama, mereka diperhadapkan dengan berbagai macam kesulitan. Secara
sosial kemasyarakatan, mereka dicap
sebagai orang-orang Bali yang murtad (Waspada, 2012: 176). Orang-orang Kristen Bali banyak mengalami tekanan dan penolakan, sehingga nyanyian rohani yang muncul pada saat itu adalah nyanyian rohani yang sangat kental dengan ungkapan pengharapan atau nyanyian rohani yang mengajak umatnya untuk tetap kuat dan setia di dalam menghadapi kesulitan. Salah satu contoh nyanyian rohani berbahasa Bali yang kental mengungkapkan keadaan yang dialami orang-orang Kristen Bali pada masa itu, seperti nyanyian rohani dalam buku Kidung Pamuji no. 103 dengan judul Sampunang Ajrih Kakewuhan. Syair nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut sebagi berikut. Sampunang ajrih kakewuhan Hyang Yesus matiningin Irika wenten pasayuban Ida matiningin, pagehang kahyune Janten Ida matiningin Matiningin iraga, saumur iraga
Yen kakutang antuk rerama Hyang Yesus matiningin Yening tinilar olih sawitra Ida tan nilarin, pagehang kahyunne Janten Ida matiningin Matiningin iraga, saumur iraga
60
Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. Jangan takut dengan kesulitan Tuhan Yesus menjaga Di sana ada tempat perlindungan Ia yang menjaga, kuatkan hati Sebab Ia yang menjaga Menjaga kita semua, selama hidup kita Jika dibuang oleh orang tua Tuhan Yesus menjaga Jika ditinggal oleh sahabat Ia tidak meninggalkan kita, kuatkan hati Sebab Ia yang menjaga Menjaga kita semua, selama hidup kita.
Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan keadaan
dan
situasi yang dihadapi oleh jemaat pada masa itu. Mereka ditinggalkan oleh orang tua yang mereka kasihi. Mereka ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya.
Namun
demikian, pengarangnya mengajak jemaat untuk tetap kuat dan teguh, sebab pengharapan mereka ada di dalam Tuhan Yesus yang menjaga kehidupan mereka. Hal yang sama juga diungkapkan oleh I Gede Trisna Putra, seorang mantan majelis jemaat dengan mengatakan sebagai berikut. “Nyanyian rohani berbahasa Bali sangat kental dengan masa lalu, sejarah masa lalu, yaitu tentang lahirnya Gereja Bali. Yang dimaksud adalah pada masa kelahiran gereja di Bali, gereja mengalami banyak kesulitan, gereja banyak mengalami tantangan. Orang-rang yang mengalami tantangan dan kesulitan itu menuangkan perasaannya dalam nyanyian” (Wawancara, 8 Agustus 2012) Ungkapan di atas menjelaskan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat dilepaskan dari keadaan dan situasi sosial yang dialami oleh pengarangnya.
61
Dalam konteks yang lain, munculnya nyanyian rohani berbahasa Bali adalah ketika jemaat mengalami kesulitan ekonomi dalam pengertian keseluruhan. Mereka merupakan orang-orang miskin yang mengalami masalah sandang, papan, dan pangan. Pada masa itu, lazim disebut sebagai masa malaise. Masa malaise dialami oleh hampir sebagian besar penduduk Bali, termasuk di dalamnya orang-orang Bali yang beragama Kristen (Puspitha, 2012: 44). Salah satu contoh nyanyian rohani berbahasa Bali yang mengungkapkan situasi tersebut adalah nyanyian rohani no. 63 dalam buku Kidung Pamuji dengan judul, Sang Hyang Widi Ngempu Titiang. Syair nyanyian tersebut sebagai berikut: Sang Hyang Widi ngempu titiang Titiang sami druwen Ida Janten nenten kekirangan. Reh kapiara antuk Ida Diastu ngentap jurang baya Nenten wenten sumangsaya Reh Ida ne nantan titiang Tur ngicen pikukuh manah Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagi berikut. Tuhan yang memelihara hidup saya Kami semua adalah milikNya Tidak akan kekurangan Sebab Ia yang memelihara Biarpun menyebrangi bahaya Tidak pernah merasa ragu Sebab Ia yang menuntun saya Dan memberi kekuatan.
Syair nyanyian rohani berbahasa Bali di atas menggambarkan bahwa mereka ada di dalam masa-masa sulit. Namun demikian, mereka tidak merasa takut karena mereka
62
dipelihara dan dituntun oleh Tuhan. Tuhan yang mereka percayai akan memberikan dan mencukupkan apa yang mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam realitas kehidupan umat Krsiten pada masa 1930-an sampai dengan 1960-an, nyanyian rohani berbahasa Bali
sangat menolong umat Kristen untuk
membangkitkan semangat dan membangun iman. Seperti yang diungkapkan oleh I Nyoma Ruja, seorang anggota jemaat yang lahir tahun 1947. Sebagai warga jemaat generasi kedua dan mantan majelis jemaat, ia mengatakan sebagai berikut. “Saya masih ingat bagaimana nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika masih dipakai secara penuh dalam setiap ibadah, baik ibadah minggu, ibadah hari raya, maupun penguburan untuk jemaat yang meninggal. Dulu ketika kami berjalan dari rumah duka ke kuburan, kami menyanyikan lagu-lagu pujian menggunakan bahasa Bali. dan kadang-kadang saya menangis dan tidak dapat menyanyi, mulut saya terkunci, karena apa yang dinyanyikan sangat meresap dalam hati saya. Saya merasa dikuatkan dalam menghadapi situasi sulit ketika itu” (Wawancara, 9 Agustus 2012)
Dari ungkapan di atas, dapat dikatakan bahwa jemaat, khususnya mereka yang melalui masa tahun 1940-an sampai dengan 1980-an, sangat merasakan
dan
menikmati nyanyian rohani berbahasa Bali. Begitu kuatnya nyanyian rohani berbahasa Bali merasuki hati mereka sehingga mereka menitikkan air mata ketika menyanyikan nyanyian tersebut. Hal ini menunjukan bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali meresap dalam kehidupan mereka. Apa yang diungkapakan oleh Nyoman Ruja dan Gede Trisna Putra di atas, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Piter Kristianus anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dari generasi ketiga. Piter Kristianus yang lahir tahun 1980-an, seorang pemuda jemaat mengatakan sebagai berikut.
63
“Setiap kali ibadah minggu memakai bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali, saya banyak tidak nyambungnya. Saya tidak tahu apa makna dari syair-syair nyanyian rohani berbahasa Bali itu, lagi pula, lagunya sedih dan mendayu. Kadang saya hanya bengong. Apalagi kalau kotbahnya memakai bahasa Bali, hampir-hampir saya tidak mengerti apa yang dikatakan oleh pendeta. Jadi saya sering memilih tidak ikut ibadah. Saya berpikir toh nanti ada waktu lain” (Wawancara, 7 Agustus 2012)
Sebagai warga jemaat generasi ketiga, Piter Kristianus tidak lagi memahami apa makna dan arti nyanyian rohani berbahasa Bali, ketika nyanyian itu dinyanyikan dalam ibadah. Hal ini menjadi wajar terjadi dalam diri Piter Kristianus, yang mewakili warga jemaat generasi ketiga. Apa yang melatarbelakangi hal di atas adalah perbedaan konteks antara generasi pertama dan generasi ketiga yang disebabkan oleh adanya perubahan sosial. Kehidupan warga jemaat generasi pertama sangat kental dengan kesulitan dan tekanan. Hal ini berbeda dengan generasi ketiga, yang hidup dalam kecukupan secara materi dan tidak mengalami tekanan secara sosial. Salah satu contoh nyanyian berbahasa Indonesia yang mengungkapkan sukacita sebagai berikut: Kasih Allah tak berkesudahan, Selalu baru setiap hari RahmatNya pun tak pernah berakhir Seumur hidupku Dengan sukacita aku akan menari Dengan sorak-sorai memuji Kunaikkan pujian haleluya Nyanyi bagi Dia sang Raja Nyanyi bagi Dia sang Raja selamanya Nyanyian rohani seperti di atas, mengungkapkan akan kasih dan rahmat Allah yang tidak pernah berhenti. Allah sebagai sumber berkat memberikan apa yang dibutuhkan dan memberikan dengan berkelimpahan.
64
Perubahan konteks sosial dari generasi pertama dengan generasi ketiga menimbulkan sebuah krisis (Koentjaraningrat 1990: 112). Dalam krisis tersebut generasi pertama yang pro terhadap kebudayaan tradisional akan menolak sebaliknya generasi kedua dan ketiga yang pro kepada kebudayaan masa kini menginginkan perubahan. Perbedaan konteks sosial antara generasi pertama dan ketiga menimbulkan berbagai persoalan lainya. Salah satu persoalan adalah semakin berkurangnya warga jemaat yang memahami dan dapat berbahasa Bali dengan baik. Wawancara dengan Nengah Yakobus Wirasa, tanggal 26 Agustus 2012,
yang termasuk golongan
generasi kedua mengatakan bahwa jumlah warga jemaat di tahun 2012 yang dapat dan memahami bahasa Bali tidak lebih dari 10 sampai 15 orang saja dari 260 warga jemaat. Itu artinya hanya satu persen saja dari keseluruhan warga jemaat memahami bahasa Bali yang lainnya lebih memahami bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Bali. Hal di atas terjadi karena generasi pertama maupun kedua tidak mengajarkan bahasa maupun nyanyian rohani berbahasa Bali kepada generasi ketiga. Hampir semua informan yang diwawancarai mengatakan bahwa mereka tidak mengajarkan bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Mereka memakai bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan anak-anak. Alasanya adalah bahwa bahasa Indonesia lebih dibutuhkan ketika mereka bersekolah dan nantinya masuk dalam dunia kerja. Seperti diungkapkan oleh seorang informan warga jemaat dari generasi ke tiga Nyoman Daud Sunarka dalam wawancara demikian. “Saya tidak mengajarkan bahasa Bali kepada anak saya sebab di sekolah mereka, ibu dan bapak gurunya memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa
65
pengantar. Saya takut anak saya tidak dapat mengikuti pelajaran. Dan juga ketika di rumah, saya coba memakai bahasa Bali ketika komunikasi dengan anak, sering kali anak saya menjawab apa ta (ungkapan dari anak bahwa ia tidak memahami apa yang dikatakan oleh bapaknya). Dia tidak mau menjawab, sehingga saya lebih memilih memakai bahasa Indonesia” (Wawancara, 30 Juli 2012)
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa ada alasan yang masuk akal mengapa orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa Bali kepada anak-anak mereka. Pertama, karena alasan bahasa pengantar di sekolah yang memakai bahasa Indonesia. Kedua, ada rasa enggan dari pihak anak yang tidak mau memakai bahasa Bali. Anak tidak mau merespon apa yang dikatakan oleh bapaknya. Namun secara tidak langsung, informan di atas mengatakan bahwa telah terjadi perubahan sosial di tengah kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Perubahan sosial tersebut berdampak kepada pemakaian bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari. Kellner (2010:19) mengatakan bahwa sejak tahun 1960-an, telah terjadi serangkaian perubahan menakjubkan dalam budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Tahun 1960an merupakan era kekacauan sosial yang panjang, yang ditandai oleh menjamurnya berbagai gerakan sosial baru yang menantang berbagai bentuk masyarakat dan budaya yang mapan dan menghasilkan budaya tandingan baru dan berbagai bentuk alternatif dari kehidupan sehari-hari. Era ini disebutnya sebagai era “perang budaya”. Perubahan sosial di atas, menyentuh secara langsung hampir semua sendi kehidupan. Tourane (dalam Piliang, 2010: 176) mengatakan bahwa kehidupan sosial kini telah kehilangan kesatuannya dan kini tidak lebih dari sebuah arus perubahan yang tidak henti-hentinya yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif
66
tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai ataupun norma sosial. Hal seperti itu tidak hanya melanda masyarakat perkotaan, akan tetapi juga masyarakat yang hidup di pedesaan termasuk di dalamnya GKPB Jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Pada tahun 1940-an, ketika kehidupan mereka belum banyak berinteraksi dengan masyarakat luar, terutama yang berbeda suku bangsa, mereka masih menganggap bahasa Bali sudah cukup. Hal yang berbeda terjadi ketika warga jemaat memasuki tahun 1980-an, di mana pada tahun itu, Bali mengalami
“ledakan”
pariwisata. Jalan-jalan mulai dibangun dan diperbaiki dengan pengaspalan, sehingga desa-desa yang dulu terisolir menjadi desa yang terbuka, termasuk Banjar Padang Tawang yang mengalami perubahan dalam berbagai bidang. Seperti tampak pada gambar di bawah ini (Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Jalan Utama Banjar Padang Tawang (Dok. :Parwita, 2012) Gambar 5.1 di atas menunjukkan jalan utama Banjar Padang Tawang yang dahulunya sempit, mulai diperlebar dan diaspal. Hal ini menjadikan Banjar Padang Tawang terbuka, bahkan menjadi sangat dekat dengan dua tempat pariwisata yang
67
terkenal, yaitu Kuta dan Tanah Lot. Perubahan tersebut juga telah mengubah cara berpikir warga jemaat, seperti yang dikatakan oleh seorang informan I Ketut Sadrah sebagai berikut. “Sejak Banjar Padang Tawang mulai terbuka yang ditandai dengan diperlebar dan diaspalnya jalan, membuat pola pikir dan cara pandang warga banjar berubah. Salah satu contohnya adalah pandangan orang tua terhadap anaknak. Orang tua beranggapan kalau jaman sekarang anak-anak tidak bisa berbahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia maka, ia dianggap kuno”(Wawancara tanggal 8 Agustus 2012) Dengan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa dengan berlalunya waktu telah terjadi perubahan sosial. Berdasarkan sifatnya, perubahan sosial terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, tetapi dapat juga menuju ke arah kemunduran. Ada kalanya perubahan sosial yang terjadi berlangsung demikian cepat sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya (Ningsing: 2006:3). Perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan, dinamika dan komposisi penduduk, ideologi, ataupun karena adanya penemuan-penemuan baru di dalam masyarakat. Perubahan sosial menunjuk pada
berbagai modifikasi yang terjadi dalam pola
kehidupan manusia (Samuel Koening dalam Ningsing, 2006: 3). Perubahan sosial yang dialami masyarakat merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan perkembangan budaya. Perubahan sosial dan kebudayaan merupakan dua bidang yang saling berkaitan. Menyitir apa yang dikatakan oleh Kingsley Davis, bahwa perubahan sosial
merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yaitu kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya. Hal yang sama diungkapkan
68
oleh Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) bahwa perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkutpaut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam
cara suatu
masyarakat memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan pada pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah kehidupan jemaat menjadi latarbelakang keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Ketika kehidupan sosial berubah, jemaat tidak lagi melihat dan merasakan nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah sarana yang dapat memenuhi kebutuhan jemaat dalam melaksanakan ibadah. Jemaat menolak nyanyian rohani berbahasa Bali dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris karena menganggap nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sesuatu yang kuno dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia atau Inggris lebih modern. Hal ini sesuai dengan pendapat Atmaja (, 2010: 69) mengatakan bahwa konsep modern
yang
berlaku pada masyarakat Bali yang memposisikan kemajuan identik dengan kebudayaan putih, di mana salah satu unsurnya adalah bahasa Inggris. 5.2. Perubahan Lingkungan Berbicara tentang lingkungan maka dalam hal ini ada dua hal yang dapat dijelaskan, yaitu lingkungan dalam skala kecil dan skala luas. Lingkungan kecil adalah lingkungan rumah tangga di mana para anggota masyarakat atau keluarga dapat berkumpul kesehariannya. Keluarga merupakan faktor pertama yang
69
mempengaruhi pertumbuhkembangan anak. Dalam lingkungan kecil di atas, juga diwariskan kebudayaan atau tradisi kepada generasi penerusnya. Sebuah kebudayaan atau tradisi akan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya jika generasi yang lebih tua mengajarkan budaya atau tradisi tersebut. Ada berbagai cara atau media yang dapat digunakan untuk mewariskan budaya atau sebuah tradisi kepada generasi yang lebih muda. Pada jaman dahulu, orang tua mengajarkan secara lisan tradisi-tradisi nenek moyang kepada
anak-anaknya.
Transmisi budaya dilakukan dengan cerita-cerita pada waktu menjelang tidur oleh ibu atau bapak kepada anak-anak atau oleh kakek atau nenek kepada cucu-cucunya. Saat ini, pemindahan nilai-nilai budaya secara lisan sudah sangat jarang dilakukan, bahkan dapat dikatakan tidak ada lagi. Orang tua seakan-akan tidak lagi perduli dengan keberlanjutan tradisi yang menjadi ciri khas etniknya. Secara tidak disadari, orang tua lebih mempercayakan kepada media televisi untuk membimbing dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan daripada mengajarkan secara langsung, seperti yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Rubin umur 62 tahun, yang mengatakan sebagai berikut. “Jangankan untuk mengajarkan nyanyian rohani, bertemu saja kami jarang. Saya cukup sibuk dengan tugas saya sebagai pegawai. Anak-anak juga sibuk dengan kegiatannya sendiri, kalaupun kami bertemu lalu ibadah di rumah dan kami memakai nyanyian rohani berbahasa Bali, anak-anak tidak mau menyanyi, dari pada begitu kami memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Kami memberikan fasilitas seperti video di mana mereka dapat belajar secara mandiri” (Wawancara, 27 Juli 2012). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ada rasa enggan dari orang tua untuk mengajarkan nyanyian rohani berbahasa Bali kepada anak-anak. Selain karena
70
alasan kesibukan dan jarang bertemu, generasi muda jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak lagi mengetahui dan memahami nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal ini
terjadi oleh karena orang tua sebagai generasi yang
bertanggungjawab untuk meneruskan tradisi, tidak mentransmisikan tradisi dan budaya kepada generasi muda. Ketertarikan anak-anak muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang terhadap tradisi, khususnya nyanyian rohani berbahasa Bali semakin hari semakin berkurang. Ada indikasi bahwa 5 – 10 tahun mendatang, nyanyian rohani berbahasa Bali akan betul-betul ditinggalkan. Seorang informan Ketut Yusuf umur 45 tahun, seorang guru Sekolah Minggu, mengatakan sebagai berikut. “Nyanyian rohani berbahasa Bali memang perlu dilestarikan, tetapi oleh karena desakan kebutuhan dan perubahan jaman nampaknya nyanyian rohani berbahasa Bali tidak lagi dapat menjawab tantangan jaman. Sekarang misalnya, seperti anak saya sama sekali tidak dapat menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali selain juga mereka tidak memahaminya. Di rumah yang mereka putar adalah nyanyian-nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia” (Wawancara, 29 Juli 2012). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kondisi nyanyian rohani berbahasa Bali yang menjadi identitas lokal bagi gereja sedang mengalami tantangan. Tantangan itu datang dari dua pihak, yaitu generasi tua yang enggan mentransmisikan budaya dan tradisi kepada generasi muda dan di lain pihak, generasi muda lebih tertarik kepada yang berbau modern. Abdullah (2006: 52) mengatakan bahwa proses semacam itu disebut sebagai proses “eklusi sosial”. Suatu kelompok cenderung membangun wilayah simboliknya sendiri yang membedakan diri dari orang lain. Hal inilah yang dilakukan oleh generasi muda GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang
71
Tawang. Generasi muda lebih condong mempelajari sesuatu yang berbau modern dan
tidak tertarik dengan tradisi. Bhaba (dalam Gandhi, 2006: viii) mengatakan
bahwa seluruh pernyataan dan sistem kultural dikonstruksikan dalam sebuah tempat yang disebut “tempat pengucapan ketiga”. Artinya, identitas kultural selalu berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi sehingga klaim terhadap sebuah hirarki kemurnian budaya tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam lingkungan yang luas, yang menjadi latar belakang terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali
adalah kurangnya pengetahuan generasi muda
GKPB jemaat Marga Pakerti tentang nyanyian rohani berbahasa Bali.
Generasi
muda adalah mereka yang diharapkan akan melanjutkan dan menjaga tradisi-tradisi nenek moyang. Namun, tidak adanya pengetahuan dan minimnya minat generasi muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali menyebabkan harapan untuk lestarinya tradisi menjadi sirna.
Tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani
berbahasa Bali cenderung terpinggirkan. Sztomka (2004: 57) menyatakan bahwa dalam era mondial tempat terjadinya pertarungan antara nilai-nilai tradisi dan nilainilai global, diharuskan perubahan tradisi menjadi suatu yang bermakna bagi masyarakat pendukungnya. Jika tidak demikian, maka tradisi masyarakat pribumi dipengaruhi dan bahkan disapu bersih oleh globalisasi. GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, Kecamatan Kuta Utara sedang menghadapi tantangan globalisasi. Generasi muda GKPB jemaat Marga Pakerti lebih cenderung mempelajari hal-hal yang menurut mereka baru dan
72
bersifat modern (Gambar 5.2).
Hal-hal yang baru dan modern, yang menurut
anggapan mereka, lebih bergengsi dan dapat menjadikan mereka populer.
Gambar 5.2 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga Pakerti Bermain Band (Dok. :GKPB Marga Pakerti, 2011)
Gambar 5.3 Anak-anak Muda GKPB Jemaat Marga Pakerti Sedang Berlatih Band (Dok. :Parwita, 2012) Gambar 5.3 di atas menunjukkan bahwa anak-anak sebagai generasi muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang di Banjar Tawang, lebih memilih
73
memainkan alat-lat musik modern daripada alat musik tradisional. Mereka memilih belajar memainkan musik band dan menyanyikan nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia daripada belajar memainkan musik tradisi seperti angklung bambu. Mereka berpikir bahwa dengan
mahir memainkan alat musik band dan menyanyikan
nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, mereka dapat menjadi populer dan tidak dikatakan “jadul” (jaman dulu). Itu merupakan sebuah istilah yang sering dipakai oleh anak-anak muda untuk mengatakan
kepada seseorang yang
tidak
mengerti tentang teknologi atau budaya modern. Gambar 5.4 di bawah ini menunjukkan bahwa peminat musik tradisi adalah mereka dari kalangan generasi tua.
Gambar 5.4 Sekehe Angklung Bambu Melakukan Latihan (Dok. :GKPB Jemaat Marga Pakerti, 2011) Pemikiran di atas merasuki pemikiran anak-anak muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.
Seorang informan Wayan Suartha penatua
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang mengatakan sebagai berikut.
74
“Anak-anak seperti anak saya banyak kosa kata bahasa Bali tidak mereka mengerti. Mereka sering bertanya kalau misalnya mereka mendengar kosa kata yang baru. Anak-anak muda sekarang nampaknya lebih suka belajar hal-hal yang modern. Contohnya seperti di gereja, gereja menyediakan angklung bambu lengkap dengan harapan semua anggota jemaat termasuk anak muda yang berminat mau belajar supaya nanti dapat dipakai untuk mengiringi ibadah. Tetapi kita lihat alat musik itu sekarang nongkrong di gudang sampai berdebu, mungkin juga sekarang sudah rusak, sepertinya anak-anak menganggap tidak gaul kalau belajar atau memakai musik angklung“ (Wawancara, 29 Juli 2012) Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada kesan bahwa anak-anak muda tidak berminat belajar atau memakai sesuatu yang bersifat tradisi. Generasi muda cenderung menyukai hal-ahal yang berbau modern. Kalau hal ini dibiarkan terus tidak tertutup kemungkinan bahwa tradisi, dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa Bali, akan musnah. Dengan meminjam istilah yang dikatakan oleh Storey (2007: 54), globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisional dan menggiring masyarakat ke persamaan atau homogenitas budaya serta menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang ada dalam situasi atau masa transisi. Transisi yang dimaksud adalah peralihan dari tradisi lama kepada tradisi baru. Pada satu sisi, tradisi lama masih dijalani oleh generasi tua dan pada saat yang sama ditolak oleh generasi muda. Dalam masa transisi, akan terjadi tarik menarik antara mereka yang pro dan kontra perubahan (Koentjaraningrat, 1990: 112). Fenomena seperti inilah yang terjadi dalam kehidupan Tawang.
GKPB jemaat Marga pakerti di Banjar Padang
75
5.3. Peningkatan Pendidikan . Pendidikan baik yang bersifat formal maupun nonformal dapat menjadi sebuah sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia. Perkembangan pendidikan di era informasi yang begitu cepat telah mengubah dan mengembangkan berbagai macam pendidikan. Beragamnya jenis pendidikan yang ditawarkan oleh sekolahsekolah maupun lembaga-lembaga pendidikan membuka kesempatan bagi warga masyarakat untuk memilih jenis pendidikan yang diminati. Anak-anak muda yang telah menamatkan pendidikan menengah atas dapat memilih melanjutkan ke perguruan tinggi atau mengikuti kursus-kursus singkat yang menawarkan kompetensi. Namun, harus diakui bahwa pendidikan formal
dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dituntut untuk mengikuti kurikulum yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi paket-paket untuk kepentingan tertentu tanpa memperhatikan kondisi, kepentingan, kebutuhan, atau spesifikasi sekolah atau daerahnya (Wibowo, 2007: 52) Fenomena di atas juga terjadi di Banjar Padang Tawang karena beragamnya jenis pendidikan berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat. Dibandingkan dengan dua puluh atau tiga puluh
tahun sebelumnya, tingkat
pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hanya Sekolah Dasar, tetapi sekarang tingkat pendidikan anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sudah setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) (lihat Tabel 4.2). Bahkan, beberapa anggota jemaat Marga Pakerti Padang Tawang sudah mencapai tingkat magister.
76
Meningkatnya tingkat pendidikan warga jemaat GKPB Marga Pakerti Padang Tawang tentu saja mempengaruhi pola pikir dan cara pandang terhadap realitas sosial dan kehidupan. Generasi tua yang rata-rata tingkat pendidikan formalnya rendah dalam kehidupan kesehariannya masih memegang tradisi dan budaya dengan kuat. Mereka beranggapan bahwa tradisi dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka harus dijaga dan dilestarikan. Tradisi dan budaya tersebut dipahami sebagai sesuatu yang keramat, kalau tidak dijaga dan diindahkan akan berdampak pada kehidupan sosial mereka. Pemahaman generasi tua di atas tentu saja bertolak belakang dengan generasi muda yang memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Tradisi dan budaya bukan sebagai sesuatu yang keramat tetapi tradisi dan budaya dipahami sebagai tradisi yang berkembang di masa lalu dan tidak selalu harus dipakai dan dilestarikan. Menurut Abdullah (2009: 172), kebudayaan atau tradisi “dipilih”
sebagi sesuatu yang
bukan “diterima”. Abdullah juga melihat bahwa orientasi nilai yang
berubah dalam masyarakat pada dasarnya menjadi basis munculnya perbedaan sosial yang kemudian menjadi basis struktural dalam pendefinisian budaya. Kebudayaan menjadi lain artinya pada kalangan menengah dan pada kelompok “anak baru gede” (ABG) atau kelompok profesional. Pemikiran ini kalau diterapkan dalam fenomena di
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, maka ada perbedaan
dalam cara pandang terhadap budaya atau tradisi yang ada. Hal ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat pendidikan di antara keduanya. Seorang informan
77
Ferdi Nugroho seorang pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang umur 27 tahun mengatakan sebagai berikut ini. “Nyanyaian rohani berbahasa Bali adalah bagian dari masa lalu yang tidak cocok lagi dengan situasi atau keadaan pada jaman kami. Kami hidup di zaman yang berbeda dengan orang tua, kakek dan nenek kami. Kami punya pemikiran dan budaya yang berbeda. Walaupun dalam keseharian kami memakai bahasa Bali untuk berkomunikasi tetapi ketika ibadah memakai nyanyian rohani berbahasa Bali, kami tidak memahami nyanyian rohani tersebut. Lagunya seperti orang sedih dan menderita, sedangkan kami ingin lagu-lagu yang lebih semangat dan lebih gembira. Ibadah menurut kami adalah mengungkapkan rasa syukur dan nyanyian yang dipakai harusnya yang bernuansa gembira” (Wawancara, 7 Agustus 2012). Penuturan Ferdi Nugroho di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi adalah lebih terbuka. Sebagai anak-anak muda, mereka menginginkan hal-hal yang baru, dibandingkan melanjutkan tradisi yang diwariskan oleh orang tuanya. Sebagai anak-anak muda, mereka tidak merasa perlu atau berkepentingan untuk mempertahankan tradisi nenek moyang mereka. Mereka beranggapan bahwa tradisi yang lalu adalah milik orang tua yang tidak cocok dengan budaya dan gaya hidup mereka pada masa kini. Keterbukaan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dapat menyebabkan landasan budaya seseorang menjadi sangat terbuka jika dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga “budaya asal” tidak dikenal atau tidak diinginkan. Mereka kehilangan identitas terhadap budaya yang lalu (Abdullah, 2009: 173). Faktor pendidikan telah mengambil peran yang menyebabkan berubahnya cara pandang jemaat terhadap tradisi dan budaya yang seharusnya mereka wariskan. Jika fenomena yang dialami oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang di atas disoroti dari pemikiran Giddens, maka hal itu sangat sesuai. Giddens
78
(2003: 8) mengatakan bahwa kehancuran budaya lokal diakibatkan oleh masyarakat lokal itu sendiri yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi yang melanda tradisi lokal. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang melatarbelakangi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. 5.4. Perkembangan Media dan Teknologi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah jemaat yang sebagian besar anggotanya (93%) dari etnis Bali (lihat Tabel 4.4). Sebagai orang Bali, dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang masih memegang tradisi dan budaya Bali. Budaya dalam konteks norma dan sistem sosial masyarakat masih tercermin dalam semua segi kehidupan. Akan tetapi, saat ini GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sedang mengalami berbagai
perubahan oleh karena derasnya perkembangan media dan
teknologi. Nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah warisan budaya telah dipakai oleh jemaat sebagai sarana atau media
untuk menyembah dan mengungkapkan
keagungan Tuhan. Nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai dalam seluruh ibadah, baik ibadah minggu maupun ibadah keluarga. nyanyian-yanyian
rohani
berbahasa
Bali
sangat
Sebagai sebuah sarana, menolong
umat
untuk
mengungkapkan segala rasa syukur dan hormat kepada Tuhan. Hal seperti ini masih
79
dirasakan oleh generasi kedua jemaat, seperti yang dikatakan oleh Wayan Gama umur 61 tahun dan mantan anggota majelis jemaat, sebagai berikut. “Saya hapal semua lagu-lagu rohani berbahasa Bali yang ada di dalam Kidung Pamuji. Saya suka menyanyikannya karena nyanyian itu menguatkan iman saya. Kalau saya sedang susah atau sedih dan kadang dalam masalah, saya menyanyikan lagu-lagu itu, apa lagi ibu saya, sekalipun sudah tua tetapi masih selalu menyanyikan kidung Bali. Rasanya saya dekat sekali dengan Tuhan ketika menyanyikan kidung rohani Bali” (Wawancara, tanggal 27 Juli 2012). Dari ungkapan di atas tersirat,
bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sangat
mempengaruhi kehidupan kerohanian umat GKPB Jemaat Marga Pakerti. Namun demikian, hal seperti di atas tidak lagi dirasakan oleh anak-anak muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kehidupan generasi mudanya telah terkontaminasi dan termodifikasi oleh berbagai gaya hidup. Hal ini terjadi oleh karena pengaruh media dan teknologi, baik media elektronik seperti televisi, internet maupun media cetak seperti surat kabar. Selain itu, media telekomunikasi seperti telpon genggam telah mengubah gaya hidup jemaat khususnya dalam pergaulan antarsesama. Televisi sebagai media elektronik, dengan berbagai macam tayangan programnya, memberikan berbagai macam pilihan gaya hidup modern yang berbeda dengan gaya hidup yang diwariskan oleh orang tua mereka. Dengan kata lain, televisi secara langsung telah mentransformasikan sistem nilai yang berbeda dengan sistem nilai yang dianut oleh pemirsanya, sehingga mengaburkan batas-batas budaya. Menyitir apa yang dikatakan oleh Abdullah (2009: 55-56), televisi sesungguhnya telah
mengaburkan
batas-batas
fisik
dan
budaya
sehingga
menciptakan
80
deteritorialisasi, yaitu suatu dunia yang baru dengan batas-batas wilayah dan nilai yang bersifat relatif. Dengan demikian, hendak dikatakan bahwa kehadiran televisi sebagai media elektronik di tengah-tengah keluarga telah mendorong perubahan budaya semakin cepat. Hal itu diungkapkan oleh seorang informan Ketut Sadrah. “Televisi sekarang telah menguasai kehidupan anak-anak. Setiap keluarga sekarang punya televisi dan jika dibandingkan dengan saya dulu yang hanya mendengar cerita dari orang tua anak-anak sekarang diceritai oleh televisi. Film kartun misalnya jauh lebih menarik daripada mendengar cerita orang tua. Anak-anak betah berjam-jam di depan televisi tentu saja tanpa disadari oleh orang tua anak-anak perlahan-lahan mengikuti gaya dan apa yang ditonton di televisi. Singkatnya anak-anak kita sudah kebarat-baratan” (Wawancara, 8 Agustus 2013) Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah budaya yang dapat menjadi media untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan secara perlahan terpinggirkan. Televisi sebagai media elektronik dengan berbagai macam program tayangannya tidak mendorong keberlangsungan hidup sebuah budaya, tetapi sebaliknya mematikan budaya Kondisi ini sejalan dengan
yang dikatakan
yang sudah dianut sebelumnya. oleh Storey (2003: 54)
bahwa
globalisasi telah membersihkan hampir semua jenis tatanan sosial tradisioanl dan menggiring umat manusia pada pola persamaan budaya atau homogenitas budaya yang menentang nilai-nilai dan identitas kelompok. Hal ini mengakibatkan atau mengancam eksistensi budaya lokal menjadi rusak atau bahkan mengantarkan budaya lokal menuju kepunahan. Besarnya pengaruh televisi dan teknologi modern terhadap perubahan budaya jemaat tercermin dari apa yang dikatakan oleh seorang informan, Piter Kristianus
81
seorang anggota pemuda GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang, umur 25 tahun demikian. “Kalau ibadah di gereja memakai nyanyian rohani berbahasa Bali saya seperti orang kuno. Saya lebih senang dan merasa enjoy kalau ibadah memakai lagu rohani populer, bila perlu sedikit nge- rock karena lebih hidup, tidak melempem seperti lagu-lagu rohani Bali. Seperti di televisi, ibadah diiringi dengan musik band dan kita dapat menyanyi dengan ekspresi bebas, mau berdiri, bertepuk tangan atau berjingkrak-jingkrak boleh-boleh saja” (Wawancara, tanggal 7 Agustus 2012). Ungkapan Pieter di atas menunjukkan bahwa anak-anak muda GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang lebih memilih nyanyian rohani yang berbau pop atau rock, seperti yang mereka saksikan di televisi. Mereka tidak menyukai nyanyian rohani berbahasa Bali seperti yang sudah ada karena nyanyian rohani berbahasa Bali cenderung tenang, lambat, dan kurang bersemangat. Pengaruh televisi terhadap kehidupan anak-anak muda tidak terbatas pada pilihan nyanyian rohani yang ingin mereka pakai, tetapi juga menyangkut pilihan gaya dan style yang ditampilkan di layar televisi. Ketika seorang artis di televisi menyanyikan sebuah lagu dengan bergoyang, berjingkrak menggerakkan seluruh badannya dan menyanyikan lagunya sambil berteriak mengacungkan jari tangan mereka sebagai simbol-simbol, gaya seperti itulah yang diadopsi oleh anak-anak muda ketika melakukan ibadah. Menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dapat dilihat pada saat anak-anak muda ketika berjumpa dengan teman-temanya. Mereka memberi salam dengan mengacungkan dua jari tangannya, jari telunjuk dan jari tengah dan mengepalkan jari yang lainnya lalu mengatakan peace .
Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan dengan kata-kata dan simbul
82
seperti itu. Anak-anak muda melihat dan meniru dari para selebritis di televisi yang melakukan hal yang sama. Mereka meniru, mengadopsi, dan menjadikan sebagai gaya hidup mereka.
Cara-cara seperti itu mereka tafsirkan sebagai gaya hidup
modern yang cocok dengan style anak muda. Dalam proses perubahan gaya hidup di atas, menyitir yang dikatakan oleh Abdullah (2009: 58), bahwa dalam proses kehidupan dewasa ini, sistem nilai tradisional mulai digantikan oleh sistem nilai modern. Sistem nilai tidak lagi berkiblat pada tradisi, tetapi pada nilai-nilai modernitas dengan logika berpikir yang berbeda. Lebih lanjut, Abdullah mengatakan bahwa
berubahnya nilai dalam masyarakat,
ketika kehidupan bukan hanya melanjutkan naluri masa lalu tetapi telah menjadi arena negosiasi berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal dan nasional, bahkan juga global sifatnya. Media dan teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam terjadinya perubahan. Pilihan gaya hidup yang sangat dipengaruhi oleh televisi seperti di atas juga mempengaruhi pilihan mereka terhadap apa yang mereka pelajari dan apa yang mereka tolak untuk dipelajari. Mereka tidak tertarik untuk mempelajari alat-alat musik Bali dan nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali. Mereka memilih untuk mempelajari alat-alat musik gitar dan perangkat alat musik band yang dipersepsikan sebagai yang modern. Mereka menganggap bisa bermain gitar dan menyanyikan nyanyian pop lebih bergengsi dan dapat menjadi populer daripada menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali dan bermain alat musik angklung bambu. Life style yang memungkinkan mereka populer dan dianggap bergengsi
lebih diutamakan
83
daripada belajar tradisi atau budaya Bali yang lebih menekankan pada ajaran norma dan nilai-nilai kehidupan. Pilihan gaya hidup di atas sejalan dengan pemikiran Hall (1977: 140) yang mengatakan
bahwa televisi berdampak pada ketentuan dan konstruksi selektif
pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana seseorang mempersepsikan “dunia”, realitas yang dijalani orang lain, dan secara imajiner merekonstruksi kehidupan yang ada, yang sudah dijalani selama ini. Analisis di atas, jika dikaitkan dengan realitas sekarang, khususnya yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sangat tepat. Kehidupan jemaat dan khususnya anak-anak muda yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah banyak mengalami pergeseran dari tradisi ke modern.
Pergeseran
kebiasaan ini tidak
terlepas dari pengaruh media massa sebagai model yang mereka tiru. Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas, kesatuan nilai budaya lokal. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi yang terjadi secara meluas dan menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial. Kleden (2000: 138) mengatakan bahwa kondisi seperti itu disebut sebagai kondisi masyarakat yang mengalami perubahan. Perubahan
84
tersebut mencakup hampir semua segi kehidupan termasuk di dalamnya perubahan budaya. Globalisasi juga telah membuat cara-cara mempraktikkan ajaran nenek moyang, khususnya tradisi menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali mengalami perubahan. Kondisi ini diakibatkan oleh cara berpikir masyarakat
yang selalu
menginginkan sesuatu yang baru. Iklim yang kondusif bagi perbedaan-perbedaan cara hidup tersebut telah melahirkan proses individualisasi yang meluas, menjauhkan manusia dari konteks hidup kesehariannya (Simmel, 1991: 17). Pandangan Simmel di atas sejalan dengan fenomena yang terjadi di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang selalu menginginkan kebaruan. 5.5. Kemajuan Ekonomi Ekonomi juga membawa dampak keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari prilaku atau dorongan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan keinginan itu, manusia terus berusaha
dengan berbagai cara dan upaya agar terpenuhi kebutuhannya. Sifat manusia yang selalu ingin meningkatkan kehidupannya merupakan kenyataan bahwa manusia adalah mahkluk ekonomi (homo economicus). Homo ‘manusia’, economicus ‘yang hidup menurut kepentingan diri sendiri’. Manusia sebagai mahkluk ekonomi berarti manusia dalam upayanya mencari dan memperoleh kemakmuran selalu ingin melepaskan diri dari faktor moral dan bertindak sebagai mahkluk ekonomi saja (Nurdin, 2008: 63). Berkaitan dengan penelitian ini,
faktor ekonomi yang
menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali adalah ekonomi
85
kapitalisme di mana pariwisata menjadi ujung tombaknya. Berikut ungkapan seorang informan Nengah Yakobus Wirasa : “Dalam kenyataan sekarang, anggota jemaat tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pariwisata. Ekonomi jemaat sebagian besar bergantung pada ‘kucuran dolar’ sektor pariwisata. Pengaruh itu sesungguhnya mempengaruhi keseluruhan kehidupan jemaat. Coba kita perhatikan pola pikir dan tindak jemaat, orientasi mereka adalah uang. Apapun yang mereka lakukan maka pertanyaannya adalah apakah hal itu memberikan keuntungan atau tidak. Itulah sebabnya ketika anak saya menyelasaikan SMA-nya, saya anjurkan masuk jurusan sastra Inggris karena tanpa mengusai bahasa Inggris kita akan kalah bersaing” (Wawancara, 26 Juli 2012) Gerakan globalisasi yang paling nyata dirasakan oleh masyarakat khususnya di Bali adalah aktivitas pariwisata yang semakin meningkat. Pariwisata sebagai sebuah aktivitas telah mendatangkan berbagai keuntungan ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Masyarakat banjar Padang Tawang yang sangat dekat dengan pusatpusat pariwisata yang ada di Kabupaten Badung juga menikmati keuntungankeuntungan yang diberikan oleh pariwisata. Catatan kependudukan berkaitan dengan pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar angkatan kerja produktif Banjar Padang Tawang berkecimpung di bidang pariwisata (Tabel 4.1). Dalam kegiatan pariwisata, terjadi berbagai aktivitas yang tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi juga melibatkan manusia dari berbagai belahan dunia. Mereka saling berinteraksi satu sama lain sesuai dengan bidang pekerjaannya. Dalam sistuasi seperti ini, akan timbul proses akulturasi. Menurut Poespowardoyo (1989: 122), proses akulturasi dapat mendatangkan dominasi dan integrasi kebudayaan. Jika akulturasi mendatangkan dominasi kebudayaan asing, itu akan menimbulkan keterpinggiran budaya lokal yang menjadi cermin budaya setempat.
Pendapat
86
Poespowardoyo di atas, juga dialami oleh Jemaat GKPB Marga Pakerti. Seorang informan, Gede Trisna Putra mantan majelis Jemaat mengatakan: “Pariwisata yang berkembang sekarang ini, identik dengan bahasa Inggris. Kalau kita tidak memahami bahasa Inggris, maka kita akan ketinggalan kereta. Sementara itu, harus kita akui bahwa secara ekonomi, kita di Bali sangat tergantung pada pariwisata. Coba bayangkan kalau pariwisata tidak ada, atau tidak berkembang pesat seperti sekarang ini, siapa yang akan membeli produk-produk pertanian seperti sayur dan lain-lainnya. Siapa yang akan mendanai kegiatan-kegiatan budaya atau upacara-upacara yang begitu banyak. Tidak ada! Itu artinya kita sangat tergantung dengan pariwisata, sehingga kalau kita tetap ingin eksis dalam dunia pariwisata, kita harus dapat berkomunikasi dan memahami bahasa Inggris” (Wawancara, 8 Agustus 2012) Ungkapan di atas mengatakan bahwa bahasa Inggris unggul terhadap bahasa yang lain. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang dominan dan bahkan harus dipahami oleh orang-orang yang mengambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Pendapat di atas dapat diakui kebenarannya. Namun demikian, secara tidak sadar telah meminggirkan budaya lokal, dalam hal ini bahasa Bali. Benturan antara budaya lokal dan global bersama berkembangnya pariwisata memberi peluang terpuruknya budaya lokal dalam derasnya budaya global. Bagus (1989: 106) mengatakan bahwa turisme dapat mengubah inti kebudayaan Bali, pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan, dan hingga bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas mayarakat Bali. Namun demikian, pariwisata tetap dibutuhkan dalam perkembangan ke depan dengan meminimalisasi dampak buruk dari pariwisata sehingga budaya lokal yang sarat dengan nilai-nilai tidak terpinggirkan.
87
Pariwisata sebagai kegiatan global yang tumbuh dan berkembang di tengahtengah masyarakat Bali adalah bagian dari globalisasi ekonomi di mana kapitalisme ada di dalamnya. Hal ini mengandung arti bahwa memahami pariwisata tidak dapat dipisahkan dari kapitalisme (Prasiasa, 2011: 56). Berkaitan dengan hal itu, dampak yang ditimbulkan oleh pariwisata yang diboncengi oleh kapitalisme adalah dikembangkannya daerah-daerah pariwisata yang baru untuk meningkatkan pertumbuhan yang berujung pada meningkatnya keuntungan. Dikembangkannya daerah-daerah pariwisata dengan segala pendukungnya seringkali tidak mempertimbangkan dampak sosial atau dampak terhadap tradisi dan budaya lokal. Prasiasa (2011: 62) mengatakan bahwa pengembangan pariwisata yang berorientasi pada upaya mengejar pertumbuhan dengan mengandalkan modal dari kaum kapitalis dan menempatkan pariwisata dalam konteks kapitalisme akan banyak dihadapkan pada apa yang dinamakan dominasi. Akibatnya, masuknya pariwisata yang menekankan pertimbangan ekonomi menggusur segala sesuatu yang berbau lokal termasuk budaya dan tradisi di dalamnya. Interaksi antara masyarakat lokal dengan para wisatawan tanpa disadari telah melahirkan perubahan-perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya berubahnya cara pandang masyarakat terhadap tradisi dan budaya. Perubahan cara pandang terhadap tradisi seperti itu juga dialami oleh jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Menyitir pernyataan Baudrillard tentang masyarakat konsumen (consumer society), dikatakan bahwa industri apapun dapat menyebabkan terjadinya pergeseran dan keterputusan zaman yang mengakibatkan
88
munculnya totalitas sosial baru dengan berbagai pengorganisasian dan prinsipprinsipnya (Baudrillard, 1988: 145). Keterpinggirannya nyanyian rohani berbahasa Bali di jemaat GKPB Marga Pakerti Padang Tawang, jika dilihat dari konsep di atas dapat dikatakan bahwa ekonomi kapitalisme dengan
pariwisata sebagai ujung
tombaknya mendorong keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. 5.6. Heterogenitas Jemaat: Daerah Asal, Etnik, Budaya, dan Bahasa Kemajuan
teknologi,
khususnya
teknologi
transportasi
menyebabkan
mobilitas penduduk semakin lancar. Pada zaman sekarang, orang membutuhkan waktu hanya dalam hitungan jam untuk pergi dari satu belahan dunia ke belahan dunia lainnya. Kemajuan teknologi transportasi telah membuat jarak semakin pendek. Selain kemajuan teknologi transportasi, kemajuan teknologi media dengan televisi dan internet membuat orang dapat mengetahui satu peristiwa di belahan dunia yang lain pada saat yang bersamaan. Dua kemajuan di atas telah membuat manusia tertarik untuk bepergian ke satu daerah lain baik untuk berwisata maupun untuk menetap di daerah yang baru. Saat ini di beberapa daerah di Bali, dalam satu daerah tertentu masyarakat tidak lagi hidup berdampingan hanya dengan sesama satu suku atau bahasa, tetapi mereka berdampingan dengan orang-orang yang berasal dari berbeda.
Sejak tahun 2000-an,
suku dan bahasa
tumbuh dan berkembang rumah-rumah
yang
ditempati oleh kaum pendatang dari luar negeri. Rumah-rumah itu lazim disebut vila. Sampai tahun 2012, ada sekitar 20 vila yang ada di sekitar Banjar Padang Tawang.
89
Gambar 5.5. Vila yang Ada di Sekitar Banjar Padang Tawang (Dok. :Parwita, 2010)
Mereka yang tinggal di vila tersebut adalah orang-orang asing dari berbagai negara. Vila tersebut mereka kontrak untuk jangka panjang, rata-rata 20 sampai 25 tahun. Mereka tinggal dan menetap untuk jangka waktu yang cukup panjang. Biasanya mereka tinggal untuk tiga bulan dan akan melanjutkan pada bulan berikutnya. Karena itu, dalam setahun mereka akan pergi dan pulang berulangulang.
Kehadiran mereka mau tidak mau juga menimbulkan perjumpaan dengan
masyarakat lokal di sekitarnya. Hal lain yang perlu diperhatikan dengan kehadiran vila-vila tersebut adalah kehadiran kaum urban dari berbagai pelosok yang dipekerjakan di vila-vila tersebut. Kebanyakan di antara mereka
adalah anak-anak muda yang datang dari daerah
Indonesia bagian timur, seperti Nusa Tenggara Timur atau Barat (lihat Tabel 4.4). Mereka rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai kemampuan yang cukup dalam bidangnya. Minimnya kemampuan atau kompetensi yang dimiliki menjadikan mereka bersedia mengambil pekerjaan serabutan. Mereka adalah tenaga-tenaga kerja yang dibayar dengan murah.
90
Kehadiran orang asing dan kaum urban dari berbagai daerah mau tidak mau juga menimbulkan interaksi budaya. Perjumpaan antarsuku dan bahasa yang berbeda akan menimbulkan perjumpaan budaya. Perjumpaan budaya yang berbeda kerap kali menimbulkan budaya hibrid, yaitu persilangan gaya hidup melalui penciptaan berbagai bentuk hibriditas dan hibridisasi gaya hidup yang menghasilkan berbagai gaya hidup hibrid. Hibridisasi, menurut Ihab Hassan (dalam Piliang, 2010: 242) adalah proses penciptaan atau replikasi bentuk-bentuk muatan melalui perkawinan silang, yang menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, meskipun di dalamnya masih tersisa sebagian identitas diri dari dua unsur yang dikawinsilangkan. Hal seperti itu sering kali terjadi dalam lingkup perumahan-perumahan yang tumbuh dan
menjamur
di
berbagai
daerah
di
(blogspot.com/2007/11/hibriditas-kosmopolitanisme)
Bali.
Muhallim
mengatakan
bahwa
membiaknya hibrida budaya adalah merupakan konsekuensi nyata dari proses globalisasi. Lebih lanjut,
Muhallim mengatakan bahwa hibrida
budaya bukan
sekedar konsekuensi globalisasi belaka, tetapi merupakan “mega proyek” di balik imajinasi globalisasi. Artinya, globalisasi telah memfasilitasi pertukaran dan penyebaran nilai-nilai budaya dan sekaligus mempercepat pembiakan percampuran budaya melalui berbagai cara seperti lewat teknologi informasi, media massa, wisata, mode, dan berbagai instrumen gaya hidup modern lainnya. Hal di atas juga mempengaruhi kehidupan bergereja GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Kalau dibandingkan dengan tahun sebelum 1990an, anggota gereja hampir seratus persen dari suku Bali, tetapi dalam perjalanan
91
selanjutnya, keanggotaan gereja semakin heterogen. Pengunjung dan anggota gereja tidak lagi dari suku Bali semata, tetapi telah bercampur dengan etnis, budaya, dan bahasa lainnya. Kehadiran mereka sebagai anggota gereja mau tidak mau akan mewarnai kehidupan gereja. Hal ini diungkapkan oleh seorang informan, I Gede Trisna Putra dengan berkata demikian. “GKPB Marga Pakerti Padang Tawang dekat dengan daerah pariwisata dan juga dekat dengan pusat kota Denpasar, di mana begitu banyak ada pendatang-pendatang dari suku-suku lain. Mereka tidak hanya menetap di kantong-kantong perumahan di kota, tetapi juga di desa-desa yang ada di sekitar kota seperti PadangTawang. Oleh karena itu semakin hari semakin banyak pendatang tinggal di Banjar Padang Tawang dan banyak di antara mereka beragama Kristen. Mau tidak mau gereja harus memperhatikan dan melayani mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012) Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwa pergerakan atau mobilitas penduduk antarpulau semakin meningkat. Terlebih lagi Bali dan khususnya kota Denpasar dan Kabupaten Badung menjadi daerah yang paling banyak menampung kaum urban. Alasan bahwa banyak anggota jemaat yang berasal dari luar etnis Bali termasuk orang-orang asing dari berbagai negara yang mengunjungi ibadah GKPB Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang diungkapkan oleh
informan Nyoman Daud
Sunarka, seorang anggota majelis jemaat: “Sekarang pengunjung ibadah gereja tidak hanya dari banjar Padang Tawang dan Babakan, tetapi banyak dari anak-anak NTT (Nusa Tenggara Timur) dari Batak yang tinggal di sekitar sini. Nah, bagaimana gereja akan melayani mereka, tentu mereka tidak mengerti bahasa Bali, oleh karena itu saya setuju kalau ibadah gereja memakai bahasa Indonesia saja, toh kita juga mengerti bahasa Indonesia” (Wawancara, 30 Juli 2010) Ungkapan di atas menggambarkan komposisi anggota jemaat yang dulunya homogen mengalami perubahan menjadi heterogen. Berubahnya komposisi anggota
92
jemaat tentu saja menimbulkan pergeseran tradisi, cara pandang, dan cara hidup umat. Appadurai dan Henners (dalam Abdullah, 2009: 43) menegaskan keberadaan seseorang dalam lingkungan tertentu di satu pihak mengharuskan menyesuaikan diri yang terus menerus untuk dapat menjadi bagian dari sistem yang lebih luas. Sejalan dengan mobilitas manusia yang demikian padat, Appadurai menyebutkan bahwa batas-batas wilayah (kebudayaan) tidak lagi menjadi penting karena suatu kelompok tidak selalu terikat pada batas wilayah kebudayaan yang berbeda yang bahkan cenderung berubah-ubah pada saat orang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh perjumpaan
etnik, budaya,
bahasa, dan tradisi yang sebelumnya homogen kemudian menjadi heterogen inilah yang melatarbekangi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali. 5.7. Menurunnya Minat Jemaat Terhadap Nyanyain Rohani Berbahasa Bali Memasuki tahun 1990-an, dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia,
terjadi perubahan menyangkut pemakaian nyanyian rohani
berbahasa Bali dan bahasa pengantar yang dipakai dalam ibadah. Nyanyian rohani berbahasa Bali bukan lagi menjadi nyanyian rohani yang utama dalam ibadah. Dalam satu bulan di mana ada empat kali ibadah minggu, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya dipakai satu kali yaitu pada minggu pertama. Pada minggu kedua sampai keempat dan kelima, ibadah lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Berikut penuturan informan I Wayan Gama umur 61 tahun dan seorang mantan majelis jemaat : “Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an, baik dalam ibadah umum di gereja, maupun dalam ibadah-ibadah rumah tangga.
93
Nyanyian rohani berbahasa Bali dan bahasa pengantar bahasa Bali dipakai secara penuh dalam ibadah-ibadah setiap minggu. Namun kemudian, kirakira mulai tahun 1980-an secara perlahan terus mengalami kemunduran dan puncaknya tahun 1990-an nyanyian rohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an masih dipakai dua kali sebulan tetapi sekarang hanya sekali saja itupun masih diselingi dengan bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia” (Wawancara, 27 Juli 2012) Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa ada bentuk tindakan dan perlakuan yang berubah terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali yang dimulai sejak tahun 1980-an, yaitu dengan meninggalkan atau tidak lagi memakai secara penuh. Pada awalnya, nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam setiap ibadah gereja, tetapi dalam perkembangan secara perlahan mengalami keterpinggiran. Perlakuan dan tindakan seperti di atas juga terjadi dalam ibadah keluarga, ibadah kategorial kaum bapak, kaum ibu, maupun ibadah kaum muda. Nyanyian rohani hanya kadang-kadang dinyanyikan tergantung siapa yang memimpin ibadah. Apabila yang memimpin ibadah suka dan bisa menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali, biasanya dari kalangan generasi tua, maka diselipkan satu atau dua nyanyian rohani berbahasa Bali, sebaliknya jika tidak maka dapat dipastikan yang dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Berikut ini apa yang dikatakan oleh Wayan Gama umur 61 tahun salah satu generasi tua jemaat GKPB Marga Pakerti Padang Tawang : “Yen tiang diminta jadi liturgos (liturgos adalah istilah yang diberikan kepada orang yang ditunjuk untuk menyiapkan dan memimpin puji-pujian dalam ibadah keluarga) tiang nu demenan nganggen kidung pamuji (kidung pamuji adalah buku kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali) daripada nganggen kidung jemaat (kidung jemaat adalah buku kumpulan nyanyian rohani berbahasa Indonesia) ngujang krana keta, nu lebih ngresep kidung Bali yen bandingan kading kidung ane lenan” (Terjemahan bahasa Indonesia “Kalau saya diminta jadi liturgos saya lebih senang menggunakan kidung
94
pamuji daripada menggunakan kidung jemaat, mengapa demikian, lebih meresap nyanyian Bali jika dibandingkan dengan nyanyian yang lain”) (Wawancara, 27 Juli 2012) Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kaum generasi tua masih menyukai nyanyian rohani berbahasa Bali. Berbeda dengan kalangan generasi muda yang lebih memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali dalam semua pelaksanaan ibadah juga diungkapkan oleh informan lain, seperti yang diungkapkan oleh I Nyoman Ruja lahir 1947 dan mantan majelis jemaat, yang mengatakan sebagai berikut. “ Sekarang jemaat sudah jarang menyanyikan nyanyian rohani berbahasa Bali dalam ibadah minggu atau ibadah keluarga. Jemaat engsap inget kading kidung Bali (jemaat sudah lupa-lupa ingat dengan nyanyian rohani berbahasa Bali). Harapan tiange lebih sering dan lebih banyak kidung Bali dipakai dalam ibadah sekalipun dalam ibadah minggu yang memakai bahasa Indonesia, masukkan juga kidung Bali, sehingga dengan lebih sering dipakai, jemaat lebih ingat kidung Bali” (Wawancara, 9 Agustus 2012) Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan I Ketut Sadrah sebagai berikut: “Ke depan jemaat harus lebih banyak memberikan porsi kepada nyanyian rohani berbahasa Bali dalam ibadah-ibadah jemaat, jangan seperti yang terjadi sekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya menjadi semacam selingan dalam ibadah. Kita tidak dapat lepas dari latar belakang kita sebagai orang Bali yang seharusnya mempertahankan bahasa dan juga nyanyian rohani berbahasa Bali” (Wawancara, 8 Agustus 2012) Ungkapan di atas mempertegas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali yang sedang dihadapi oleh jemaat GKPB Marga Pakerti. Nyanyian rohani berbahasa Bali dalam realitas ibadah GKPB Jemaat Marga di Pakerti Padang Tawang hanya sebagai selingan. Artinya, nyanyian rohani berbahasa Bali hanya dipakai sewaktu-waktu dan
95
tidak secara rutin. Dengan kata lain, minat jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali telah mengalami penurunan. Menurunnya minat anggota jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Padang Tawang tidak terlepas dari perubahanperubahan yang sedang terjadi dalam kehidupan umat. Pergeseran budaya dari budaya lama kepada budaya dan tradisi yang baru, penguasaan bahasa Bali yang cenderung semakin menurun di kalangan anak muda, anggapan bahwa bahasa Bali sebagai sesuatu yang kuno dan tidak modern (Atmadja, 2010: 69)
mendorong
anggota jemaat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih kepada nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Fenomena inilah yang melatarbelakangi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. 5.8. Kurangnya Usaha Menciptakan Nyanyian Rohani Berbahasa Bali yang Baru Salah satu ciri jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang jika dibandingkan dengan denominasi gereja yang ada di Bali lainnya adalah pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal ini tidak terlepas dari upaya jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang melakukan kontekstualisasi sehingga agama Kristen “tertanam” (embeded) dalam budaya Bali.
Abdullah (2009: 107)
mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi dalam masyarakat setempat, sehingga agama tidak hanya dipengaruhi oleh budaya setempat, sebaliknya budaya setempat juga dipengaruhi oleh agama itu sendiri.
96
Dalam konteks di atas, bentuk dan usaha gereja melakukan kontekstualisasi adalah menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau menerjemahkan nyanyiannyanyian rohani berbahasa Inggris, Jerman, dan Indonesia ke dalam bahasa Bali. Usaha lain yang dilakukan GKPB dalam rangka kontekstualisasi adalah merekam nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan yang baru dalam pita kaset atau compact disk. Dengan cara demikian, diharapkan gereja dapat menyatu dengan konteks Bali. Usaha-usaha untuk menciptakan dan menerjemahkan nyanyian rohani ke dalam bahasa Bali sudah dilakukan sejak awal agama Kristen berkembang di Bali. Dalam rentang tahun 1940 sampai dengan 1980, tercatat ada dua buku nyanyian rohani yang diterbitkan baik oleh GKPB maupun secara perseorangan. Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut adalah Kidung Pamuji (Gambar 5.7).
Gambar 5.7. Buku Kidung Pamuji (Dok. :Parwita, 2012)
97
Kidung Pamuji adalah kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali hasil terjemahan dari nyanyian rohani berbahasa asing seperti Jerman, Inggris, Latin, dan lainnya. Nyanyian rohani yang kedua, yaitu nyanyian rohani berbahasa Bali Marga Pakerti Gaguritan diciptakan oleh Pendeta Made R. Ayub pada Tahun 1964 (Gambar 5.8).
Gambar 5.8. Buku Marga Pakerti Gaguritan (Dok. :Parwita, 2012) Diterbitkannya kedua buku di atas, (Gambar 5.7 ; 5.8), menunjukkan belum ada usaha-usaha yang cukup untuk mengkontekstualisasikan agama Kristen dalam budaya Bali, khususnya berkaitan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali, seperti yang diungkapkan oleh seorang informan I Gede Trisna Putra sebagai berikut: “Apa yang saya saksikan dan rasakan selama ini berkaitan dengan nyanyian rohani berbahasa Bali, tidak ada nyanyian-nyanyian yang baru, kalaupun hanya ada satu atau dua saja, misalnya karangan Pdt. Yohanes, itupun masih belum dipakai secara luas di GKPB entah apa yang menjadi alasannya. Coba perhatikan nyanyian rohani berbahasa Indonesia, kita seperti “dibanjiri”. Ada ribuan nyanyian rohani yang diciptakan dan dikemas dalam kaset atau compact disk begitu bagus, dan bagi anak-anak muda kita, nyanyian rohani itu enak dinyanyikan dan lebih menyentuh
98
kehidupan mereka, oleh karena itu ke depan gereja harus lebih mendorong seniman-seniman GKPB untuk menghasilkan nyanyian rohani yang baru yang lebih sesuai dengan konteks kekinian” (Wawancara, 8 Agustus 2012) Ungkapan di atas
mengindikasikan bahwa tidak begitu banyak nyanyian
rohani berbahasa Bali yang diciptakan. Memasuki tahun 1990-an, terbit dua buku nyanyian rohani berbahasa Bali. Yang pertama, yaitu buku Tembang-Tembang Kaulan, diciptakan oleh Pendeta Nyoman Yohanes, S,Th. Kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali ini terdiri atas 17 nyanyian (Gambar 5.9).
Gambar 5.9. Buku Tembang-Tembang Kaulan (Dok. :Parwita, 2012)
Kedua, yaitu buku Gita Suksma yang terbit tahun 1999. Buku Gita Suksma merupakan kumpulan nyanyian dari 10
pencipta yaitu
Nyoman Darsana, Putu
Widhiana, Pendeta Yatma Pramana, Pendeta Ketut Waspada, Pendeta Wayan Mastra, Ketut Sudianta, Nengah Rata Artana, Pendeta Ketut Kastu Diyoga, Pendeta Nyoman
99
Yohanes, dan Pendeta Putu Widhiarsana. Gita Suksma berisi 50 nyanyian rohani berbahasa Bali (Gambar 5.10).
Gambar 5.10. Buku Gita Suksma (Dok. :Parwita, 2012) Setelah tahun 2000 tercatat hanya ada dua kaset nyanyian rohani berbahasa Bali yang diterbitkan oleh jemaat GKPB Tirta Amerta di Desa Pelambingan dan Divya Pradhana Bhakti GKPB (Gambar 5.11).
Gambar 5.11. Kaset Nyanyian Rohani Berbahasa Bali (Dok. :Parwita, 2012)
100
Kenyataan bahwa tidak ada cukup banyak nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru membuat jemaat beralih memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Di samping itu, nyanyian rohani berbahasa Bali dirasakan tidak lagi menjawab kerinduan dan kebutuhan umat dalam beribadah. Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001: 342) mengatakan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, kurangnya ciptaan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru berkaitan erat dengan cara-cara jemaat untuk memilih sesuatu yang lebih baru daripada yang lama. Untuk memenuhi kebutuhannya, jemaat mengabaikan menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru dan memilih nyanyian rohani berbahasa Indonesia yang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya.
101
BAB VI PROSES TERJADINYA KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANI BERBAHASA BALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT MARGA PAKERTI DI BANJAR PADANG TAWANG Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang terjadi dalam proses dan rentang waktu yang cukup panjang. Pada awal perkembangan agama Kristen yaitu tahun 1930-an, agama
Kristen
mulai
mengadakan
kontekstualisasi.
Dengan
melakukan
kontekstualisasi, GKPB mengadopsi budaya-budaya yang ada di sekitarnya. Salah satu budaya yang diadopsi oleh GKPB adalah bahasa Bali. Bahasa Bali dipakai dalam ibadah-ibadah gereja sebagai bahasa pengantar dan juga dipakai dalam nyanyian rohani.
Hal ini dilakukan dengan
cara menciptakan nyanyian rohani
berbahasa Bali yang baru maupun dengan menerjemahkan nyanyian rohani dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jerman. Dalam proses tersebut, nyanyian rohani berbahasa Bali dari tahun 1930 hingga 1960-an telah menjadi nyanyian rohani yang selalu dipakai dalam setiap ibadah GKPB jemaat Marga Pakerti. Namun, seiring dengan perkembangan dan perubahan jaman, pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali justru mengalami penurunan dan bahkan menjadi nyanyian rohani yang terpinggirkan. Dalam bab VI ini, akan dipaparkan proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang dengan tahapan
sebagai berikut : tahun 1960 hingga 1980an.
Dalam masa
tersebut,
nyanyian rohani berbahasa Bali mulai mengalami keterpinggiran. Dalam rentang
102
waktu tersebut, kehidupan gereja ditandai dengan beberapa hal yang penting yaitu diterterbitkannya dan mulai dipakainya secara resmi liturgi berbahasa Indonesia tahun 1964 oleh GKPB. Tahun 1980 hingga 1990-an, nyanyian rohani mulai ditinggalkan (terpinggirkan) dalam ibadah-ibadah umat. Masa tersebut ditandai dengan terbitnya buku-buku nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan kemudian dipakai secara luas oleh gereja-gereja di Indonesia termasuk GKPB Marga Pakerti di banjar Padang Tawang. Masa 1990 hingga 2000-an adalah rentang waktu di mana nyanyian rohani berbahasa Bali telah mengalami keterpinggiran. 6.1. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1930 hingga 1960-an Nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar padang Tawang sesungguhnya tidak terlepas dari usaha gereja untuk melakukan kontekstualisasi. Ketika agama Kristen berkembang di Bali, agama Kristen kental dengan budaya Eropanya. Hal itu disebabkan karena memang agama Kristen dibawa oleh misionaris-misionaris dari Eropa. Setelah berkembang di Eropa, agama Kristen dipengaruhi atau lebih tepatnya agama Kristen mengadopsi budayabudaya Eropa yang berkembang pada saat itu. Coe (1992: 14-15) mengatakan bahwa pemribumian atau kontekstualisasi harus dilakukan manakala Injil bergerak dari satu lahan budaya ke dalam budaya lainnya dan mesti diterjemahkan ulang, ditafsirkan ulang, dan diungkapkan secara segar dalam budaya yang baru. Ketika agama Kristen berkembang di Bali, agama Kristen
mengadopsi budaya dan tradisi Bali untuk
mengungkapkan Injil secara segar dalam budaya yang baru.
103
Salah satu usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang adalah mengadopsi bahasa Bali baik sebagai bahasa pengantar maupun nyanyian rohani berbahasa Bali yang dipakai dalam peribadatan. Salah satu nyanyian yang sudah dipakai sejak tahun 1930-an masa-masa awal perkembangan GKPB adalah. Ngutang weci sehing Yesus Negen salib ngiring Ida Percaya ja depang suba Mangda raga polih rahayu
Nyanyian lain yang sering dinyanyikan oleh jemaat pada masa awal perkembangan gereja di Bali
adalah
nyanyian rohani bercampur bahasa Indonesia yang
dinyanyikan oleh I Ketoet Jahja tahun 1931 demikian. Lihatlah Sang Hyang Isah Pujilah Sang Hyang Isah Sang Hyang kabentang di Golgota Pujilah Ida Sang Hyang Yesus
Dalam perjalanan selanjutnya, perkembangan nyanyian rohani berbahasa Bali ditandai dengan terbitnya buku nyanyian rohani berbahasa Bali dengan judul Kidung Pamuji. Buku Kidung Pamuji adalah nyanyian rohani yang berisi kumpulan nyanyian rohani berbahasa Bali yang berasal dari terjemahan
bahasa Indonesia, Inggris,
Belanda, dan Jerman. Nyanyian rohani berbahasa Bali tersebut di atas, menjadi nyanyian rohani yang dipakai dalam setiap peribadatan umat, baik dalam ibadah minggu maupun ibadah yang dilakukan di rumah tangga maupun dalam kelompok lainnya. Wayan Gama seorang mantan majelis jemaat menuturkan demikian.
104
“Nyanyian rohani berbahasa Bali sudah dipakai sejak tahun 1930-an oleh GKPB Jemaat Marga Pakerti. Nyanyian itu baik dipakai dalam ibadah-ibadah umum maupun ibadah keluarga. Nyanyian rohani berbahasa Bali seperti Suryane Sampun Surup (salah satu judul nyanyian rohani berbahasa Bali dalam Kidung Pamuji) adalah nyanyian rohani yang selalu dinyanyikan ketika sore menjelang petang, ketika warga jemaat sudah pulang dari sawah dan mau istirahat. Bukan hanya itu saja, pendeta yang memimpin ibadah minggu juga memakai bahasa pengantar bahasa Bali. dan pada waktu itu belum banyak dikenal nyanyian rohani berbhasa Indonesia” (Wawancara, tanggal 27 Juli 2012). Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani pada awal perkembangan gereja dipakai secara penuh dalam peribadatan umat di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Artinya, ibadah umum yang dilaksanakan setiap hari minggu memakai secara penuh baik nyanyian rohani berbahasa Bali maupun
liturgi berbahasa Bali, tanpa diselingi atau disisipi nyanyian rohani
berbahasa Indonesia. Sebagai contoh, dalam satu kali ibadah umum jemaat, jemaat menyanyikan enam buah nyanyian rohani, maka semua nyanyian rohani tersebut adalah nyanyian rohani berbahasa Bali. Hal yang sama juga diungkapkan oleh I Nyoman Ruja, lahir tahun 1947, termasuk salah seorang generasi pertama umat kristen di GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang demikian. “Tiang (saya) masih ingat bagaimana kidung berbahasa Bali dipakai dalam setiap ibadah, jarang sekali, jemaat memakai kidung berbahasa Indonesia. Jarang jemaat yang tahu kidung berbahasa Indonesia dan saya kira banyak jemaat ketika itu yang tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga setiap ibadah jemaat memakai kidung rohani Bali dan itu berlangsung kira-kira sampai tahun 1960-an setelah itu baru sedikit-demi sedikit nyanyian rohani berbahasa Indonesia dipakai dalam ibadah jemaat” (Wawancara, tanggal 9 Agustus 2012) Dengan ungkapan di atas dapat dikatakan bahwa jemaat khususnya mereka yang melalui masa tahun 1940 hingga 1950-an, merasakan dan menyaksikan bagaimana
105
nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai secara penuh dalam ibadah jemaat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha GKPB Marga Pakerti
melakukan
kontekstualisasi berjalan dengan baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Coe (1992: 14-15) bahwa agama harus melakukan kontekstualisasi atau “pemribumian” manakala agama bergerak dari satu budaya ke budaya yang lainnya. Pendapat Coe ini terealisasi dalam perkembangan sejarah agama Kristen GKPB Marga Pakerti Padang Tawang. Pendapat Coe di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Abdullah (2009: 107) yang mengatakan bahwa agama mengalami kontekstualisasi dalam masyarakat setempat; bukan hanya agama yang dipengaruhi oleh budaya setempat, tetapi sebaliknya budaya setempat juga dipengaruhi oleh agama.
Ketika
agama dipengaruhi oleh budaya lokal dan sebaliknya budaya lokal dipengaruhi oleh agama, maka agama akan embedded dalam masyarakat lokal (Abdullah, 2009: 107). Hal inilah yang dialami oleh nyanyian rohani berbahasa Bali dalam perkembangan agama Kristen di Bali. Nyanyian rohani berbahasa Bali yang diadopsi dari budaya Bali dengan segera dapat diterima dalam agama Kristen dan dipakai dalam ibadahibadah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam masa tahun 1930 hingga 1960-an nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diterima dengan baik dan dipakai dalam setiap ibadah umat. 6.2. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1960 hingga 1980-an: Nasionalisasi Nyanyian Rohani Bahasa Indonesia. Bahasa memegang peran penting dalam hubungan antarmanusia dan antara manusia dengan Tuhan. Dengan bahasa, manusia dapat saling berkomunikasi dan saling memahami. Dalam kehidupan beragama yaitu hubungan manusia dengan
106
Tuhan,
bahasa juga
memiliki peran yang penting. Dengan bahasa, manusia
menyampaikan maksud dan keinginannya kepada Tuhan. Dengan bahasa juga, Tuhan menyampaikan firman-Nya kepada manusia. Menyadari hal di atas, GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang sejak awal perkembangannya memakai bahasa Bali dalam semua aspek kehidupan. Bahasa Bali dipakai dalam komunikasi sehari-hari, dalam acara-acara resmi seperti peminangan maupun dalam ibadah-ibadah gereja. Dalam ibadah,
GKPB Marga
Pakerti Padang di Banjar Padang Tawang selain memakai liturgi bahasa Bali juga memakai nyanyian rohani berbahasa Bali. Seiring dengan perubahan jaman dan berjalannya waktu, nyanyian rohani berbahasa Bali sedikit demi sedikit telah mengalami keterpinggiran. Gereja dalam ibadah-ibadahnya lebih mengutamakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh jemaat mengapa ibadah lebih mengutamakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia, yaitu anak-anak muda jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang banyak yang tidak dapat memahami bahasa Bali. Seperti ungkapan informan Ketut Sadrah sebagai berikut. “Bahasa Bali seperti barang langka sekarang. Anak-anak muda jarang yang mau memakai bahasa Bali, mungkin mereka malu dan gengsi kalau memakai bahasa Bali tetapi itulah realitas kita sekarang. Gereja seperti menghadapi buah simalakama, kalau gereja terus berjalan dan tidak memperhatikan perkembangan ini bagaimana anak-anak muda itu bisa berkembang dalam kerohaniannya. Dapat saja gereja terus memakai bahasa Bali tetapi saya takut generasi muda akan menjadi anak-anak yang tidak mengalami pertumbuhan dalam kerohaniannya” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
107
Ungkapan yang sama diungkapkan oleh Nyoman Daud Sunarka demikian. “Saya contohkan dengan anak saya, dia tidak mengerti bahasa Bali, otomatis ketika ada ibadah keluarga saya memakai bahasa Indonesia dan memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia supaya dia juga dapat mengerti apa yang dikatakan ketika ibadah. Jadi saya setuju kalau gereja memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia” ( Wawancara, 30 Juli 2012) Ungkapan di atas menggambarkan realitas bahwa anak-anak muda anggota jemaat banyak yang tidak lagi memahami bahasa Bali. Hal ini juga berimplikasi pada pemilihan penggunaan nyanyian rohani berbahasa Indonesia dari pada nyanyian rohani berbahasa Bali. Ketidakpahaman anak-anak muda terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali dan
‘banjirnya’ nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia
seakan menjadi
kesempatan bagi anak-anak muda untuk beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Dari sifatnya, memang nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia lebih dinamis dan energik. Di samping itu, ada anggapan dari anggota jemaat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai nyanyian yang tidak mengikuti jaman (kuno). Nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dapat mengungkapkan pergumulan dan persoalan-persoalan anggota jemaat di masa kini. Dengan alasan tersebut, umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Salah satu buku nyanyian rohani berbahasa Indonesia yang terbit tahun 1974 ditunjukkan dalam gambar di bawah (Gambar 6.1)
108
Gambar 6.1. Buku Nyanyikanlah Kidung Baru, Terbit 1974 (Dok. :Parwita, 2013) Selain alasan di atas, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga tidak terlepas dari usaha pemerintah dan gereja untuk menasionalisasikan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa selayaknya dipahami dan dipakai oleh semua orang Indonesia, termasuk di dalamnya anggota gereja. Upaya memperbanyak nyanyian rohani berbahasa Indonesia secara tidak langsung menjadi sebuah upaya gereja untuk menasionalisasikan bahasa Indonesia. Namun demikian, proses nasionalisasi tidak selalu bermakna positif. Nasionalisasi, termasuk di dalamnya nasionalisasi bahasa Indonesia menyebabkan pengabaian terhadap keberadaan kebudayaan (nyanyian rohani berbahasa Bali) yang beragam (Abdullah, 2009: 71). Dalam perkembangan seperti di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali mulai terpinggirkan.
Dalam rentang waktu 1980 hingga 1990-an, nyanyian rohani
berbahasa Bali hanya dipakai satu kali dalam sebulan, yaitu dalam ibadah minggu pertama. Di luar itu, ibadah dilayani dalam bahasa Indonesia dan nyanyian yang
109
dipakai adalah nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh seorang informan Wayan Gama demikian. “Kira-kira mulai tahun 1980-an, secara perlahan nyanyian rohani berbahasa Bali terus mengalami kemunduran dan puncaknya tahun 1990-an nyanyian rohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan. Sekitar tahun 1980-an, masih dipakai dua kali sebulan tetapi sekarang hanya sekali saja, itupun masih diselingi dengan bahasa Indonesia dan nyanyian rohani berbahasa Indonesia” (Wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sejak tahun 1980-an jemaat secara perlahan telah meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Gambaran situasi di atas dapat disebut sebagai masa peralihan atau masa transisi. Pada satu sisi, nyanyian rohani masih digunakan dalam liturgi tetapi pada saat yang sama ada penolakan khususnya dari generasi muda dan nyanyian rohani mulai ditinggalkan. Piliang (2010: 67) mengatakan bahwa dalam masa transisi akan terjadi persaingan antara informasi keagamaan dengan budaya populer dalam menarik perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala tertentu, informasi budaya populer cenderung memenangkan persaingan. Hal itu disebabkan karena budaya populer lebih menampilkan ide atau gagasan yang lebih menyenangkan, lebih menarik, lebih membebaskan, lebih progresif, dan lebih kreatif. Dalam proses di atas, sejak tahun
1970-an secara perlahan tetapi pasti
nyanyian rohani berbahasa Bali mulai ditinggalkan dan jemaat beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia.
110
Selain hal di atas, tahun 1964 GKPB juga menerbitkan liturgi berbahasa Indonesia. Liturgi dalam peribadatan agama Kristen memegang peran yang penting. Liturgi mengatur pelaksanaan ibadah, baik dalam urutan pelaksanaan, maupun apa yang harus diucapkan oleh seorang pemimpin ibadah dan umat yang menjadi peserta ibadah. Dalam liturgi, sudah dicantumkan secara lengkap hal-hal yang berkaitan dengan ucapan pemimpin ibadah, tugas majelis, respon jemaat, dan hal-hal yang dilakukan oleh setiap jemaat peserta ibadah, sehingga pelaksanaan ibadah berjalan dengan lancar. Salah satu contoh urut-urutan liturgi berbahasa Bali, yang dipakai pada minggu pertama setiap bulan adalah seperti di bawah ini. Liturgi seperti di bawah ini adalah liturgi baku yang sudah ditetapkan pemakaiannya oleh Sinode GKPB. 1. Pacawisan Majelis Pasamuan 2. Pangengkab Pandita Pandita
: Nuntun pasamuan makidung : Ngadeg saha makidung
: Nguncarang votum miwah salam : Sameton pasamuan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa ledang rauh pabuat iraga. Sane mangkin iraga wenten ring ayun Idane. Ngiring ja iraga ngasorang dewek ring ayun Idane, lan ngangken saha sasarengan inucap: Pendeta/Pasamuan : Pitulungan iragane rauh saking Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sane ngawentenang akasa miwah pratiwi. Ida tetep setia ngantos selaminlaminipun. Pandita : Sutrepti rahayu saking Ida Sang Hyang Widhi Wasa: Sang Aji, Sang Putra, miwah Ida Sang Hyang Roh Suci pabuat semeton. Pesamuan : Sutrepti rahayu taler pabuat sameton. Amin 3. Sabda Pamahbah Pandita : Ngawacen sabda Pasamuan : Nyaurin saha makidung 4. Kidung Mazmur
111
Pasamuan : Makidung 5. Pangastawan Syukur Miwah Pangangken Dosa Pandita : Ngastawa Pesamuan : Makidung 6. Orti Panugrahan Pandita : Ngawacen orti panugrahan Pasamuan : Ngadeg 7. Pituduh Urip Anyar Pandita : Ngawacen pituduh urip anyar Pasamuan : Makidung 8. Ngawacen Cakepan Suci Pandita : Ngastawa Majelis : Ngawacen ring sinalih tunggil kitab Pandita : Darma Wacana Pasamuan : Makidung 9. Pangangken Pangegan Rasuli 10. Pangastawan Syafaat 11. Aturan Pinyungsung Pandita : Ngawacen cakepan suci Pasamuan : Makidung Majelis : Ngastawa 12. Pamuput Pasamuan : Makidung Pandita : Sameton Pasamuan, mawali ja sameton saha rahayu, tur tampi ja mertan Ida Sang Hyang Widhi wasa; Sih panugrahan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, samaliha patunggilan Ida Sang Hyang Yesus, Sang Hyang Roh Suci, dumadak nunggil ring semeton sareng sami. Pasamuan : Haleluya amin. Dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. 1. Pembukaan Majelis : Mengajak jemaat menaikan pujian Jemaat : Menaikan nyanyian pembukaan 2. Votum dan Salam Pendeta : Sidang jemaat, Tuhan Yesus berkenan hadir dalam persekutuan kita. Sekarang kita berada di hadapanNya. Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengaku dengan bersama-sam mengucapkan. Pendeta/Jemaat : Pertolongan kita datangnya dari Tuhan Yang menjadikan langit dan bumi. Ia tetap setia untuk selama-lamanya.
112
Jemaat : Salam sejahtera bagi saudara juga. Amin 3. Pembacaan Introitus Pendeta : Membaca ayat minggu Jemaat : Menaikan nyanyian sambutan 4. Nyanyian Mazmur Jemaat : Membaca mazmur 5. Doa Syukur dan Pengakuan Dosa Pendeta : Menaikan doa syukur dan pengakuan dosa Jemaat : Menaikan nyanyian pengakuan dosa 6. Berita Anugerah Pendeta : Menyampaikan berita anugerah Jemaat : Berdiri 7. Petunjuk Hidup Baru Pendeta : Membaca petunjuk hidup baru Jemaat : Menaikan nyanyian sambutan 8. Pemberitaan Firman Pendeta : Menaikkan doa Majelis : Membaca Alkitab Pendeta : Menyampaikan kotbah Jemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau melakukan saat teduh 9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani) 10. Doa Syafaat 11. Persembahan Syukur Pendeta : Membaca satu ayat dari Alkitab Jemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahan Majelis : Menaikkan doa persembahan 12. Penutup Ibadah Jemaat : Nyanyian penutup Pendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera, terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa, persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampai selama-lamanya. Jemaat : Haleluya....... amin. Pelaksanaan urut-urutan liturgi di atas dijelaskan sebagai berikut. Pada bagian pecawisan (pembukaan), pendeta, majelis, dan beberapa orang yang ambil bagian dalam ibadah melaksanakan arak-arakan. Seorang majelis yang berjalan paling depan
113
membawa sebuah lilin yang menyala sebagai simbol kehadiran Allah. Majelis kedua membawa Alkitab, diikuti oleh pendeta dan majelis yang lainnya. Sementara arak-arakan berjalan memasuki gedung gereja, seorang majelis yang lain mengajak jemaat berdiri dan menaikkan nyanyian pembukaan. Setelah tiba di depan altar, semua peserta arak-arakan berdiri menghadap ke altar dan pendeta yang memimpin ibadah naik ke mimbar menyampaikan votum dan salam, selanjutnya dan memimpin ibadah sampai akhir (Gambar 6.2).
Gambar 6.2. Pendeta I Made Dana, S.Th. Menyampaikan Votum dan Salam (Dok. :GKPB Marga Pakerti, 1989) Contoh liturgi di atas menunjukkan urut-urutan pelaksanaan ibadah. Setiap peserta ibadah baik pendeta, majelis, dan jemaat yang mengikuti ibadah mengikuti urut-urutan dalam liturgi tersebut dengan tertib (Gambar 6.3).
114
Gambar 6.3 Suasana Ibadah Minggu untuk Jemaat Dewasa (Dok. :Parwita, 2012) Selain liturgi berbahasa Bali yang sudah dipakai oleh jemaat seperti di atas, pada tahun 1964 juga telah selesai disusun liturgi berbahasa Indonesia dan pada tahun yang sama ditetapkan pemakaiannya dalam ibadah-ibadah resmi di semua jemaat GKPB. Liturgi ini kemudian direvisi kembali pada tahun 1992 (Gambar 6.4).
Gambar 6.4 Liturgi atau Tata Ibadah Berbahasa Indonesia (Dok. :Parwita, 2012)
115
Penyusunan liturgi berbahasa Indonesia ini tidak terlepas dari upaya jemaat menjawab perubahan jaman. Dalam kehidupan jemaat yang semakin majemuk, liturgi berbahasa Bali dirasa sangat ekslusif. Liturgi berbahasa Bali hanya dapat dimengerti oleh jemaat yang berasal dari etnis Bali dan berbahasa Bali, sementara anggota jemaat yang berasal dari etnis, bahasa lain tidak memahami bahasa Bali. Seperti yang dituturkan oleh informan I Wayan Suarta sebagai berikut: “Liturgi memegang peranan penting dalam ibadah. Liturgi selain mengatur jalannya ibadah, sesungguhnya menjadi ungkapan dan respon jemaat terhadap karya Tuhan, oleh karena itu liturgi juga harus dipahamai oleh anggota jemaat yang memiliki bahasa yang berbeda. Bukan saja anggota jemaat dari etnis yang berbeda, kenyataan sekarang banyak anak-anak dari anggota jemaat yang dari Bali tidak mengerti bahasa Bali. Menjawab perkembangan jaman yang demikian maka menyusun liturgi dalam bahasa Indonesia sudah menjadi keharusan jemaat, karena anggota jemaat bukan saja dari etnis Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2012) Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa
penyusunan liturgi dalam bahasa
Indonesia sudah menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat perkembangan jemaat yang sangat pesat. Usaha jemaat untuk menyusun sebuah liturgi yang baru berbahasa Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari usaha untuk menjawab dan perubahan-perubahan kehidupan umat,
mengantisipasi
baik yang terjadi dengan cepat atau pun lambat. Dalam
setidaknya ada dua perubahan yang nampak, yaitu pergantian
generasi dari generasi tua kepada generasi muda dan komposisi anggota jemaat dari yang dulunya homogen menjadi heterogen.
Kedua perubahan itu juga akan
menimbulkan kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Sebagai contoh, ketika jemaat masih homogen, liturgi dan nyanyian rohani berbahasa Bali dapat dipahami oleh
116
semua jemaat yang mengikuti ibadah. Akan tetapi, ketika anggota jemaat menjadi heterogen, maka dibutuhkan liturgi dan nyanyian rohani yang dapat dipahami oleh semua umat yang mengikuti ibadah. Dalam hal ini, keputusan untuk menyusun liturgi berbahasa Indonesia dan mengganti nyanyian rohani berbahasa Bali dengan nyanyian rohani berbahasa Indonesia menjadi semacam simbol yang dapat dibaca dan dipahami oleh etnik dan budaya yang berbeda. Abdullah (2009: 83) mengatakan bahwa dalam lingkungan yang multietnis yang memiliki ekspresi etnisitas yang berbeda-beda dengan asal-usul yang berbeda pasti memiliki suatu simbol universal yang dapat dikode atau dibaca, paling tidak, oleh kelompok etnis tersebut. 6.4. Pemakaian Nyanyian Rohani Berbahasa Bali Tahun 1990 hingga 2012-an . Sejak akhir tahun 1980an, Banjar Padang Tawang mengalami perubahan yang cukup drastis baik dalam bidang sarana dan prasarana, ekonomi, maupun sosial budaya.
Dalam bidang sarana dan prasarana khususnya transportasi, perubahan
ditandai dengan perbaikan akses jalan yang melewati banjar Padang Tawang. Jalan yang sebelumnya masih jalan tanah dan terkadang becek pada musim hujan, pada akhir tahun 1980-an telah diaspal dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor (lihat Gambar 5.1). Semakin baiknya sarana jalan
mendorong anggota masyarakat
memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat. ditandai dengan internet.
Selain itu, perubahan juga
masuknya sarana telekomunikasi seperti telepon, televisi, dan
Perubahan-perubahan di atas juga mempengaruhi kehidupan ekonomi
masyarakat di Banjar Padang Tawang secara keseluruhan, termasuk di dalamnya umat GKPB Jemaat Marga Pakerti.
117
Berubah dan berkembangnya kehidupan masyarakat, mau tidak mau juga mengubah kehidupan sosial dan budaya umat GKPB Jemaat marga Pakerti Padang Tawang. Dalam konteks di atas, termasuk pemakaian nyanyian rohani berbahasa Bali. Dalam kondisi yang terus mengalami perubahan seperti di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali yang pada era sebelumnya telah embeded kini mulai ditinggalkan oleh pemakainya dengan kata lain dapat dikatakan telah mengalami keterpinggiran. Seorang informan I Ketut sadrah mengatakan demikian. “Ada pengaruh yang sangat besar antara keadaan sebelum tahun 1970-an dengan keadaan sekarang tahun 1990-an. Dulu keadaan tidak seperti sekarang, jalan belum diaspal jemaat belum banyak yang punya televisi, kendaraan hanya beberapa orang yang punya, tapi sekarang semua itu lumbrah. Saya percaya hal ini mempengaruhi cara pandang jemaat terhadap segala sesuatu, termasuk apa yang kita pakai di gereja. sekarang Gereja sudah dilengkapi dengan LCD, sound system yang bagus alat-alat musik band jadi wajar juga kemudian jemaat meninggalkan apa yang berbau kuno ( Nyanyian rohani berbahasa Bali)” (Wawancara 8 Agustus 2012) Hal yang sama juga dikatakan oleh informan Nyoman Ruja demikian. “Kalau perkiraan saya tidak salah, nyanyian rohani berbahasa Bali mulai digeser oleh nyanyian rohani berbahasa Indonesia sekitar tahun 1980-an. Awalnya nyanyian rohani berbahasa indonesia hanya dipakai sekali dalam sebulan pada waktu ibadah minggu, tetapi sekarang sudah terbalik, bahkan akhir-akhir ini hampir tidak pernah. Hal ini tergantung pendetanya. Kalau pendetanya bukan orang dari Bali, maka dapat dipastikan tidak ada bahasa Bali” (wawancara, 27 Juli 2012)
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa
ditinggalkannya nyanyian rohani
berbahasa Bali oleh umat GKPB Marga Pakerti sudah mulai sejak tahun 1980-an dan kemudian mencapai puncaknya memasuki tahun 1990-an hingga sekarang. GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang yang sebelumnya menganut budaya agraris di mana sebagian besar penduduknya bertani, kini bergerak
118
ke arah budaya modern. Kehidupan sosial seperti itu menurut Touraine (Piliang, 2010: 1760) disebut sebagai
masyarakat yang telah kehilangan kesatuannya, dan
kini tak lebih dari sebuah arus perubahan yang tak henti-hentinya. Dalam masyarakat seperti itu, aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial akan tetapi mengikuti strateginya masing-masing. Dalam konteks itu,
maka budaya tradisional
yang diwakili nyanyian rohani
berbahasa Bali mengalami persaingan dengan budaya modern yang diwakili oleh nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Seperti dikatakan oleh Piliang (2010: 67), dalam kebudayaan, informasi keagamaan bersaing dengan informasi budaya populer dalam menarik perhatian dan mengendalikan pikiran setiap orang. Dalam skala tertentu, informasi budaya populer cenderung memenangkan persaingan, disebabkan budaya populer lebih menampilkan ide dan gagasan yang lebih menyenangkan. Jika pemahaman di atas dikaitkan dengan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti, dapat dikatakan bahwa keterpinggiran terjadi oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Banjar Padang Tawang.
Dalam proses perubahan-perubahan tersebut, nyanyian
rohani tidak dapat dipertahankan lagi sebagai nyanyian rohani yang dipakai dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti; dengan kata lain, nyanyian rohani berbahasa Bali terpinggirkan.
119
BAB VII IMPLIKASI KETERPINGGIRAN NYANYIAN ROHANI BERBAHASA BALI DALAM LITURGI GEREJA KRISTEN PROTESTAN BALI JEMAAT MARGA PAKERTI DI BANJAR PADANG TAWANG Proses perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia di bawah bayang-bayang globalisasi menimbulkan berbagai implikasi terhadap kehidupan. Implikasi keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dapat diamati,
yaitu
pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, berkurangnya peran pendeta dalam pelaksanaan ibadah, gereja terbuka bagi semua orang, beragamnya unsur budaya etnik dalam liturgi gereja, dan terjadi kelompok etnik multikultural, berkurangnya nuansa budaya Bali dalam liturgi, memperkuat persekutuan, dan penghayatan iman yang kontekstual. 7.1. Kurang Utuhnya Pelaksanaan Liturgi Dalam sejarah perkembangan gereja, munculnya liturgi seperti yang dimiliki oleh jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang telah melewati proses panjang. Pada awalnya, ibadah gereja berjalan bebas dan tidak diatur dalam sebuah liturgi. Setiap orang yang datang bebas untuk berdoa, menyanyi, dan membaca Alkitab, sehingga terjadi kekacauan dalam pelaksanaan liturgi. Jemaat yang hadir tidak dapat mengikuti ibadah dengan khusuk dan khidmat karena pada saat yang bersamaan ada yang berdoa sementara yang lainnya menyanyikan pujian. Liturgi atau yang sering disebut tata ibadah, mengatur dan menuntun jalannya ibadah sehingga ibadah berjalan dengan teratur dan tertib. Contoh liturgi yang lengkap dan baku seperti di bawah ini.
120
1. Pembukaan Majelis : Mengajak jemaat menaikkan pujian Jemaat : Menaikkan nyanyian pembukaan 2. Votum dan Salam Pendeta : Sidang jemaat, Tuhan Yesus berkenan hadir dalam persekutuan kita. Sekarang kita berada di hadapanNya. Marilah kita merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengaku dengan bersama-sama mengucapkan. Pendeta/Jemaat : Pertolongan kita datangnya dari Tuhan Yang menjadikan langit dan bumi. Ia tetap setia untuk selama-lamanya. Jemaat : Salam sejahtera bagi saudara juga. Amin 3. Pembacaan Introitus Pendeta : Membaca ayat minggu Jemaat : Menaikkan nyanyian sambutan 4. Nyanyian Mazmur Jemaat : Membaca Mazmur 5. Doa Syukur dan Pengakuan Dosa Pendeta : Menaikkan doa syukur dan pengakuan dosa Jemaat : Menaikkan nyanyian pengakuan dosa 6. Berita Anugerah Pendeta : Menyampaikan berita anugerah Jemaat : Berdiri 7. Petunjuk Hidup Baru Pendeta : Membaca petunjuk hidup baru Jemaat : Menaikan nyanyian sambutan 8. Pemberitaan Firman Pendeta : Menaikkan doa Majelis : Membaca Alkitab Pendeta : Menyampaikan kotbah Jemaat : Menyambut dengan menaikan pujian atau melakukan saat teduh 9. Pengakuan Iman (biasanya dipakai nyanyian rohani) 10. Doa Syafaat 11. Persembahan Syukur Pendeta : Membaca satu ayat dari Alkitab Jemaat : Menaikan pujian dan mengumpulkan persembahan Majelis : Menaikkan doa persembahan 12. Penutup Ibadah Jemaat : Nyanyian penutup Pendeta : Jemaat sekalian, sekarang kembalilah dengan sejahtera, terimalah berkat Tuhan. Anugerah dari Allah Bapa, persekutuan dengan Tuhan Yesus Kristus dan Roh
121
Jemaat
Kudus kiranya menyertai saudara-saudara kini sampai selama-lamanya. : Haleluya........., amin.
Semua pokok-pokok yang ada dalam liturgi dijalankan secara teratur dan lengkap. Namun, dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia atau Inggris, dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali, mengubah pelaksanaan
liturgi di GKPB jemaat Marga Pakerti menjadi tidak utuh. Tidak
utuhnya pelaksanaan liturgi dapat dilihat dalam beberapa hal, yaitu dihapusnya pembacaan Mazmur, dihapusnya
penyampaian berita anugerah, dan pembacaan
petunjuk hidup baru oleh pendeta, dan pengakuan iman rasuli. Hal itu dilakukan karena dianggap tidak relevan. Selain itu, dalam liturgi yang baku, nyanyian rohani yang dinyanyikan dalam satu ibadah ada enam nyanyian rohani sedangkan dalam liturgi bentuk barunya nyanyian rohani yang dipakai dalam keseluruhan ibadah maksimal hanya empat. Dalam liturgi yang baku, masing-masing nyanyian rohani dinyanyikan sekali, sedangkan dalam liturgi yang telah diubah, nyanyian rohani dinyanyikan dengan cara berulang-ulang. Contoh liturgi yang tidak lengkap sebagai berikut. o o o o o o o o
Pembawa acara membuka ibadah dalam doa Nyanyian penyembahan (dinyanyikan berulang-ulang) Doa pengakuan dosa Nyanyian menyambut firman Tuhan Pendeta berdoa, membaca Alkitab dan berkotbah Nyanyian Sambutan (dinyanyikan berulang-ulang) Nyanyian Syukur (dinyanyikan berulang-ulang) Doa penutup
Contoh liturgi di atas menunjukan liturgi yang tidak utuh. Pelaksanaan liturgi yang tidak utuh sebagaimana yang telah dibakukan mempengaruhi cara jemaat
122
beribadah dan suasana ibadah. Jemaat dalam mengikuti ibadah tidak lagi beribadah dengan tenang dan khidmat tetapi lebih banyak berdiri dan bergerak mengikuti irama nyanyian dan musik yang dimainkan. Seperti yang dituturkan oleh informan I Wayan Gama mantan majelis jemaat: “Dulu jika ibadah dilaksanakan memakai bahasa Bali, jemaat beribadah dengan tenang dan khidmat. Jemaat tidak bertepuk tangan, tidak ada yang berbicara sendiri-sendiri, semuanya sudah diatur tetapi sekarang ketika ibadah tidak lagi mengikuti pola yang baku (yang dimaksud liturgi yang baku) saya merasa terganggu. Apa lagi kalau ada orang bertepuk tangan dan tertawa, rasanya tidak cocok dengan suasana ibadah seperti itu. Saya rasa ini dipengaruhi oleh gaya ibadah gereja-gereja “karismatik” yang sekarang banyak berkembang di Bali ” (Wawancara, 27 Juli 2012). Ungkapan di atas menunjukkan bahwa masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan terpinggirkannya nyanyian rohani berbahasa Bali berimplikasi pada perasaan jemaat yang mengikuti ibadah.
Implikasi yang dimaksud bisa berarti
menguatkan atau melemahkan penghayatan iman jemaat, semakin khusuk dalam ibadah atau sebaliknya
bisa berarti jemaat
mengurangi kekhusukan ibadah.
Bagi generasi muda, perubahan seperti itu dianggap sebagai suatu yang bersifat dinamis, seperti yang diungkapkan oleh Gede Trisna Putra demikian: “Perubahan bentuk liturgi sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar. Liturgi yang kita pakai sampai sekarang ini sudah disusun sejak abad pertengahan, yaitu ketika gereja berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika, tetapi dunia terus berkembang dan sekarang sudah jauh berubah, gereja harusnya menyesuaikan diri termasuk juga menyesuaikan liturginya. Bagaimanapun konteks sekarang berbeda dengan abad pertengahan di mana dulu gereja berkembang. Seharusnya liturgi bersifat dinamis, mengikuti perkembangan jaman” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
123
Ungkapan di atas condong melihat pelaksanaan liturgi yang tidak utuh sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini
didasarkan pada perkembangan zaman dan
kebutuhan umat yang juga terus berubah dan berkembang. Tindakan jemaat untuk melakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan liturgi di atas tidak lepas dari sebuah upaya adaptasi. Perubahan terhadap lingkungan baik yang terjadi dengan cepat maupun lambat akan mempengaruhi penghuninya. Karena itu,
manusia akan berusaha melakukan adaptasi terhadap perubahan itu
(Soemarwoto, 1977: 48). Selanjutnya, Bennet (1976: 257) menyebutkan bahwa adaptasi manusia tidak semata-mata
ditentukan oleh keinginan, kebutuhan, dan
tujuannya, tetapi ditentukan pula oleh situasi lingkungan setempat. Dalam konsep adaptasi di atas, lingkungan yang dimaksudkan adalah budaya modern dengan segala aspeknya yang melanda kehidupan umat. 7.2. Berkurangnya Peran Pendeta Dalam Pelaksanaan Liturgi Dalam liturgi yang sudah ditetapkan dan disahkan oleh Sinode GKPB, pendeta memegang peran yang utama. Seorang pendeta akan memimpin ibadah dari awal sampai akhir dan beberapa bagian tertentu dibantu oleh majelis jemaat. Oleh karena itu, seorang pendeta harus menguasai nyanyian rohani yang dipakai dan menghafalkan semua urutan-urutan liturgi. Artinya, seorang pendeta yang sedang memimpin ibadah harus menguasai jalannya ibadah dan mempersiapkan secara matang apa yang akan dikatakan. Pendeta harus dalam kondisi sehat, karena selama memimpin ibadah harus berdiri dan berbicara selama lebih kurang 1,5 sampai 2 jam.
124
Dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia dan dihilangkannya beberapa bagian liturgi, maka peranan pendeta dalam ibadah juga semakin berkurang. Pendeta hanya berperan dalam pembacaan Alkitab dan menyampaikan kotbah. Ibadah lebih banyak dipimpin dan diarahkan oleh pembawa acara atau yang sering disebut master of ceremony (mc). Pembawa acaralah yang menentukan apa yang harus dilakukan dan apa yang dikatakan ketika ibadah dilaksanakan. Dengan kata lain,
pembawa acaralah yang lebih dominan dalam
melaksanakan jalannya ibadah. Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah sangat erat berkaitan dengan trand perkembangan gereja akhir-akhir ini. Gereja-gereja tersebut dalam ibadahnya memakai nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia. Sesuai dengan catatan Pembina Masyarakat Kristen (Pembimas) Propinsi Bali tahun 2010, ada sekitar 64 denominasi gereja yang ada di Bali;
sebagain besar dari gereja tersebut beraliran
kharismatik. Aliran gereja kharismatik yaitu gereja-gereja baru diri dari
yang memisahkan
gereja arus utama seperti protestan dan katolik. Dalam melaksanakan
ibadahnya, gereja-gereja kharismatik tidak berpatokan pada liturgi baku seperti yang ada pada gereja-gereja arus utama, tetapi pelaksanaan ibadah diserahkan sepenuhnya kepada pembawa acara.
Pendeta hanya bertugas membaca Alkitab dan
menyampaikan kothbah. Trand seperti itulah yang berkembang akhir-akhir ini, yang diikuti oleh gereja-gereja arus utama termasuk jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang.
125
Dalam buku Tata Gereja GKPB tahun 2006, Bab XIII, pasal 83 ayat 1, dinyatakan bahwa, pendeta adalah jabatan gerejawi yang ditetapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pelayanan firman, sakramen, pastoral, dan pelayananpelayanan gerejawi lainnya. Isi tata gereja di atas dengan tegas telah mengatur tugas dan
wewenang
seorang
pendeta.
Seorang
pendeta
selain
bertugas
dan
bertanggungjawab terhadap pembangunan iman jemaat juga bertanggung jawab terhadap kegiatan ibadah. Artinya, selain mempersiapkan ibadah, pendeta juga diberi wewenang untuk memimpin jalannya ibadah. Hal yang sama juga dipertegas kembali dalam buku Panduan Bergereja (Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB: 19-20) bahwa tugas dan wewenang pendeta adalah melaksanakan pelayanan firman, sakramen dan melayankan kebaktian-kebaktian. Artinya, tugas untuk memimpin sebuah ibadah diberikan kepada seorang pendeta bukan pembawa acara. Pembawa acara dan bersama dengan majelis jemaat dapat membantu pada bagian-bagian tertentu bukan mengambil-alih tugas yang sudah ditetapkan. Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah tentu saja berpengaruh juga kepada kekhusukan jalannya ibadah dan berubahnya perasaan umat yang mengikuti ibadah. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan Nengah Yakubus Wirasa sebagai berikut. “ Kalau ibadah minggu atau ibadah lainnya dipimpin oleh oyang yang bukan pendeta, saya merasa tidak pas, seperti yang sering terjadi kalau ibadah memakai liturgi “lepas” ( liturgi yang tidak mengikuti seperti liturgi yang sudah disahkan). Ibadah dipimpin oleh seorang mc (master of ceremony) apalagi ia bukan seorang majelis jemaat, saya rasa kok tidak cocok, idealnya pendetalah yang memimpin ibadah” (Wanwancara, 26 Juli 2012)
126
Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa kalau ibadah-badah dipimpin oleh orang awam atau bukan pendeta, ada rasa penolakan oleh jemaat yang mengikuti ibadah, sekalipun umat tidak secara langsung mengungkapkan penolakannya. Berkurangnya peran pendeta dalam ibadah umat penyesuaian yang dilakukan oleh jemaat untuk
tidak lepas dari upaya
mencapai tujuan. Jemaat
menginginkan ibadah tetap dapat menarik bagi anak-anak muda anggota jemaat dan ibadah dapat dinikmati oleh semua golongan yang mengikuti ibadah. Hal ini selaras teori adaptasi Bennet ( 1976: 145) bahwa penyesuaian-penyesuaian yang dilakuan oleh umat adalah sebuah adaptasi yang mengandung arti ganda, yaitu manusia (anggota jemaat) menyesuaikan keinginannya atau kehidupannya dengan situasi atau lingkungan yang berubah.
Sebaliknya, manusia berusaha pula menyesuaikan
lingkungan dengan keinginan dan tujuannya. Dengan melakukan penyesuaian atau adaptasi anggota jemaat GKPB Marga Pakerti berharap kehidupan umat khususnya dalam ibadah dapat terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Ibadah tetap dapat dikuti oleh semua golongan dan dapat meningkatkan kerohanian umat khususnya generasi muda dalam perkembangan zaman yang semakin maju. Hal inilah yang yang terjadi dalam kehidupan umat GKPB Marga Pakerti dalam menyikapi dan menginterpretasi perubahan-perubahan zaman. 7.3. Semakin Terbukanya Gereja Bagi Semua Orang Agama Kristen bukan milik etnis atau bangsa tertentu. Seperti agama-agama yang lainnya, agama Kristen adalah milik penganut-penganutnya yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat suku, bahasa, dan bangsa. Artinya tidak ada satu suku atau bangsa
127
yang dapat mengklaim bahwa agama tertentu milik etnis atau bangsanya. Dengan demikian, agama seharusnya bersifat terbuka bagi siapa saja yang percaya dan mau memeluknya. Dalam hal ini, termasuk
GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar
Padang Tawang. Dalam perkembangan, ketika agama berkembang di satu etnis atau daerah tertentu, seringkali agama itu diklaim menjadi milik etnis itu. Agama Kristen ketika berkembang di Amerika atau Eropa sering diasosiasikan sebagi milik orang Eropa atau Amerika, padahal seharusnya tidak demikian.
Agama seharusnya
bersifat
terbuka terhadap siapa pun. Demikian juga halnya dengan agama Kristen yang berkembang di Bali. Agama Kristen bukan saja untuk orang-orang dari etnis Bali, tetapi untuk semua orang yang tinggal di Bali. Bali sebagai daerah pariwisata banyak “dibanjiri” oleh kaum urban dari berbagai suku atau etnis yang ada di Indonesia, bahkan juga orang-orang asing dari berbagai negara. Hal yang sama juga terjadi di Banjar Padang Tawang. Memasuki tahun 1990-an, cukup banyak kaum urban yang tinggal dan menetap di Banjar Padang Tawang. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang beragama Kristen. Seorang informan Ketut Sadrah anggota GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, umur 51 tahun, menyatakan : “Anggota jemaat sekarang tidak saja orang-orang Padang Tawang (yang dimaksudkan adalah etnis Bali) sejak beberapa tahun belakangan ini banyak dari saudara-saudara kita dari jauh datang beribadah di sini. Kalau kita tetap kukuh memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam ibadah, bagaimana mereka bisa mengerti, oleh karena itu pelayanan gereja seharusnya memperhatikan mereka” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
128
Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa anggota
GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak lagi dapat dikatakan homogen, tetapi seiring dengan perjalanan waktu telah bercampur dengan etnis-etnis yang lain. Berkembangnya keanggotaan gereja yang dulunya homogen dan sekarang menjadi heterogen harus disikapi oleh lembaga gereja. Lembaga gereja sebagai sebuah lembaga keagamaan tidak dapat menutup diri hanya melayani etnis Bali, tetapi harus juga melayani atau merangkul dari etnis lain yang berbeda. Suartha umur 52 tahun
Wayan
seorang anggota majelis jemaat, mengenai hal itu
menyatakan : “Gereja seperti yang dikatakan dalam Alkitab, harus menjadi “terang” dan “garam” bagi dunia di sekitarnya. Untuk menjadi “terang” dan “garam”, gereja tidak dapat menutup diri hanya untuk orang-orang Bali, tetapi gereja pada jaman sekarang harus terbuka juga melayani orang-orang lain yang berbeda latarbelakang suku dan bangsa. Apalagi melihat perkembangan ke depan, Bali akan didatangi oleh banyak orang dari berbagai etnis, bangsa, dan latarbelakang. Apakah gereja akan mengabaikan kehadiran mereka?” (Wawancara, 29 Agustus 2012). Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa perkembangan zaman dan
karena
berbagai pengaruh, gereja sebagai sebuah lembaga agama dan juga lembaga sosial, harus terbuka dalam pelayanannya. Gereja harus melayani mereka yang berasal dari etnis yang berbeda. Keterbukaan gereja akan menjadikan anggota-anggotanya dapat memetik nilai-nilai positif yang ditimbulkan oleh keterbukaan.
Secara sosial
kemasyarakatan, gereja akan dikenal oleh lingkungan sekitarnya, sehingga gereja dapat berperan secara aktif dalam membangun kehidupan masyarakat sesuai dengan visi dan misinya untuk menjadi “garam” dan “terang” bagi masyarakat.
129
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi” (Kitab Matius 5: 13-14)
Keberadaan gereja sebagai bagian dari masyarakat diumpamakan seperti garam dan terang. Gereja harus berbaur dengan masyarakat sekitarnya dan dapat memberikan tuntunan yang baik, sehingga bersama dengan masyarakat, gereja bertumbuh dalam berbagai aspeknya. 7.4. Beragamnya Unsur Budaya Etnik dalam Liturgi Gereja Tak pelak lagi, globalisasi telah membawa konsekuensi multidimensional terhadap
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Peran media dan kemajuan
teknologi, pendidikan, dan ilmu pengetahuan memacu lebih cepat terjadinya percampuran budaya.
Fenomena seperti ini kemudian merujuk pada proses
inkulturasi budaya asing dengan budaya lokal yang sudah ada di masyarakat. Saling mempengaruhi antarbudaya adalah suatu yang biasa terjadi dalam perjumpaan antarmasyarakat. Inkulturasi budaya
yang terjadi, dalam hal ini dalam kehidupan GKPB
jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang memberikan dampak positif bagi kehidupan anggotanya.
Masuknya budaya asing telah membawa inovasi-inovasi
baru bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat di GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Sebagai contoh, masuknya nyanyian rohani populer baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris menjadikan kehidupan ibadah GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang semakin bergairah. Ibadah tidak
130
berjalan monoton tetapi penuh semangat. Hal ini terjadi oleh karena pelaksanaan ibadah
didukung dengan perangkat elektronik sound system dan teknologi media
dengan menggunakan LCD (Gambar 7.1)
yang menampilkan gambar-gambar.
Selain itu, perangkat musik untuk mengiringi ibadah juga semakin beragam. Penggunaan alat musik band, organ dan angklung bambu memberikan keragaman yang dapat dipilih oleh jemaat.
Gambar 7.1. Layar LCD untuk Mendukung Ibadah (Dok. :Parwita, 2012) Dengan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa dengan masuknya budaya asing, yaitu budaya-budaya yang sebelumnya tidak dikenal oleh anggota jemaat, selain memberikan keragaman terhadap budaya dengan terbentuknya budaya-budaya baru, juga memberikan pilihan-pilihan kepada jemaat khususnya bagi anak-anak muda jemaat yang memiliki selera dan gaya yang berbeda.
Linton (dalam
Koentjaraningrat, 1990: 97) mengatakan bahwa dalam proses perubahan budaya di mana di dalamnya terjadi akulturasi, ada unsur-unsur kebudayaan yang mudah
131
berubah
bila
diperhadapkan
dengan
pengaruh
asing.
Dengan
demikian,
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan jemaat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang wajar terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Gede Trisna Putra seorang informan ketika ditanya pendapatnya mengenai fenomena di atas, mengatakan:. “Anak-anak muda yang ada di GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang sekarang berbeda dengan kita. Mereka secara pendidikan lebih tinggi dan dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak dipengaruhi oleh kehidupan modern, mereka banyak bekerja dan berinteraksi di daerah pariwisata dengan orang-orang asing. Coba kita lihat dalam ibadah-ibadah, kalau minggu pertama mereka kebanyakan tidak hadir, karena minggu pertama kita memakai bahasa Bali. Hal ini harus kita sikapi, tidak dapat kita biarkan. Oleh karena itu beberapa tahun yang lalu saya mengusulkan supaya geraja memakai band dan memasukkan nyanyian-nyanyian rohani populer. Supaya anak-anak kita juga mau dan betah mengikuti ibadah (Wawancara, 8 Agustus 2012). Apa yang dikatakan oleh informan di atas menegaskan bahwa kehadiran budayabudaya dari luar gereja tidak serta merta mendapat penolakan dan tidak serta merta menimbulkan efek negatif. Masuknya budaya luar seringkali juga memperkaya tradisi dan budaya lokal yang sudah ada. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali juga berdampak pada hilangnya budaya atau tradisi yang sudah ‘tertanam’ (embeded) dalam satu komunitas. Hilangnya satu budaya tidak terjadi begitu saja, tanpa campur tangan masyarakat yang pedukung budaya tersebut. pendukung
Masyarakat
mengambil satu keputusan apakah akan terus melestrarikan budaya
tersebut atau membuangnya. Hal itu merupakan sebuah pilihan yang dilakukan oleh pendukung budaya. Apakah mereka akan tetap memakai budaya yang lama atau memilih budaya baru, kedua-duanya memiliki konsekuensi bagi kehidupan mereka.
132
Ada berbagai alasan ketika satu budaya ditinggalkan oleh pendukungnya, antara lain, budaya tersebut sudah tidak cocok dengan situasi dan keadaan zaman. Artinya, budaya tersebut tidak lagi dapat menjawab atau memenuhi rasa nyaman pendukungnya. Selo Sumarjan (dalam Soekamto, 2001:342) mengatakan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama, yaitu keduaduanya bersangkut-paut dengan penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan Wayan Suartha seorang penatua GKPB jemaat Marga Pakerti dengan berkata : “Dulu memang nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai penuh dalam liturgi pada hari minggu bahkan juga dalam ibadah keluarga. Tetapi nampaknya pengaruh televisi dan keadaan zaman sekarang yang tidak memungkinkan lagi, anak-anak lebih memilih nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia. Nampaknya mereka malu dan menganggap nyanyian rohani berbahasa Bali itu kuno dan tidak mengikuti jaman dan tidak memenuhi selera mereka” (Wawancara, 29 Agustus 2012) Penuturan di atas hendak mengungkapkan bahwa pilihan anak-anak muda untuk meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali dipengaruhi oleh perasaan. Mereka merasa nyanyian rohani berbahasa Bali identik dengan kuno dan ketinggalan zaman. Sebagai sebuah budaya, nyanyian rohani berbahasa Bali mengandung nilainilai luhur yang sudah terbukti mampu menjaga kehidupan umat. Nyanyian rohani berbahasa Bali sesungguhnya mengandung ajaran-ajaran kebenaran yang diambil dari Alkitab. Ajaran-ajarannya mengajak jemaat untuk tetap memiliki pengharapan dan percaya kepada Tuhan. Artinya, nyanyian-nyanyian rohani berbahasa Bali ketika
133
diresapi oleh jemaat sesungguhnya meneruskan dan menanamkan ajaran Kristiani yang bersumber pada Alkitab. Meneruskan dan mengajarkan ajaran-ajaran Kristiani yang bersumber pada Alkitab sesungguhnya merupakan sebuah perintah yang harus ditaati oleh umat untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Meneruskan dan mengajarkan ajaranajaran Kristiani dalam kitab Injil dikatakan sebagai berikut:. “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini, haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang ada di dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu” (Kitab Ulangan 6:6-10) Ungkapan di atas hendak memberikan penegasan kepada jemaat bahwa apa yang menjadi tradisi dan mengandung nilai-nilai begitu saja.
kebenaran tidak dapat ditinggalkan
Sebaliknya, jemaat mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan
dengan mengajarkan kepada generasi berikutnya. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai sebuah budaya memiliki nilai-nilai kebenaran, tetapi dengan berbagai macam pengaruh yang berkembang mulai terpinggirkan.
GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang yang menjadi pendukung budaya tersebut tidak meneruskan atau mewariskan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Pada sisi yang lain, karena berbagai pengaruh, generasi muda juga tidak tertarik untuk memakai budaya tersebut. Sebagai generasi muda, mereka memiliki alasan yang
134
kuat bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali itu tidak sesuai lagi dengan konteks hidup mereka. Sebagai generasi muda yang berbeda konteks hidupnya dengan orang tuanya, mereka memiliki pilihan-pilihan yang dapat mereka pilih untuk mereka terima sebagai budaya mereka sendiri. Mereka memilih budaya modern dalam hal ini nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia, yang mereka anggap lebih cocok dan pas dengan hidup mereka daripada memilih nyanyian rohani berbahasa Bali yang sudah melekat dalam kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang di masa yang lalu. Persoalan memilih budaya modern dan meningggalkan tradisi nenek moyang adalah sebuah pilihan yang sah-sah saja. Akan tetapi, pilihan yang mereka lakukan juga memiliki konsekuensi punahnya budaya lokal.
Seorang informan, Nengah
Yakobus Wirasa ketika ditanyai tentang keberadaan nyanyian rohani ke depan memberikan jawaban sebagaiberikut. “Jika diamati semakin hari bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali semakin hari semakin berkurang. Ada kemungkinan ke depan nyanyian rohani berbahasa Bali akan hilang atau tidak dikenal oleh anak-anak kita. Sekarang saja dipakai hanya sekali dalam sebulan, itupun masih dicampurcampur dengan bahasa Indonesia. Ke depan mungkin saja dihapus, apalagi kalau suatu saat yang ditugaskan sebagai pendeta di jemaat ini adalah pendeta yang bukan dari etnis Bali” (Wawancara, 26 Juli 2012). Pernyataan di atas mengungkapkan sebuah kekhawatiran bahwa dengan melihat situasi sekarang, nyanyian rohani berbahasa Bali akan mengalami kepunahan atau tidak dikenal oleh generasi muda
yang akan datang. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh informan lainnya, Gede Trisna Putra yang berkata:
135
“Gereja harus berupaya lebih keras dan serius, supaya nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai warisan budaya tetap dapat diterima oleh anakanak muda kita. Selain dengan tetap mempertahankan pemakaian bahasa Bali pada minggu pertama setiap bulan, gereja juga dapat menyelipkan satu nyanyian rohani berbahasa Bali setiap kali ibadah. Atau gereja dapat mendorong para seniman menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru yang sesuai dengan konteks anak-anak muda sekarang, dengan irama yang lebih nge-pop sehingga anak-anak muda kita bisa menerima dan merasakan makna nyanyian-nyanyian tersebut dan ke depan nyanyian rohani berbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi berikut” (Wawancara, 8 Agustus 2012) Wawancara di atas memberikan gambaran bahwa sekalipun anak-anak muda memiliki pilihan-pilihan, usaha-usaha untuk melestarikan nyanyian rohani berbahasa Bali harus terus diupayakan. Ada kekhawatiran bahwa jika anggota gereja tidak melakukan satu upaya yang serius, maka nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai warisan budaya cepat atau lambat akan mengalami kepunahan. Ditinggalkannya nyanyian rohani berbahasa Bali mengindikasikan juga bahwa tradisi gereja yang sudah tertanam dalam kehidupan gereja juga ditinggalkan. 7.5. Terjadinya Kelompok Sosial Multikultural Masuknya nyanyian rohani berbahasa Indonesia dan Inggris ke tengah-tengah kehidupan GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang menimbulkan perjumpaan antarbudaya yang berbeda. Anggota GKPB jemaat Marga Pakerti yang sebelumnya belum banyak mengenal budaya luar dapat belajar dan mengetahui budaya yang berbeda dengan budaya yang selama ini mereka anut. Perjumpaan budaya ini sering disebut interaksi antarbudaya atau lebih dikenal dengan sebutan komunikasi antarbudaya
136
Dalam kenyataan sosial, ketika budaya lokal bertemu dengan budaya luar akan terjadi komunikasi antarbudaya. Alo Liliweri (2002: 43), sorang pakar komunikasi antarbudaya mengatakan bahwa salah satu tuntutan globalisasi yang semakin tidak terkendali seperti saat ini mendorong masyarakat untuk terjadinya sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas sektoral. Belum lagi perubahan-perubahan global lainnya, yang semakin deras dan menjadi bukti nyata, bahwa
semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara
mendalam. Masuknya budaya luar ke tengah-tengah kehidupan
GKPB jemaat Marga
Pakerti di Banjar Padang Tawang mengurangi terjadinya kesenjangan antaranggota jemaat yang berbeda budaya dan latar belakang. Anggota jemaat yang berasal dari luar etnis Bali dapat berinteraksi dan hidup bersama-sama dalam Fenomena seperti ini terjadi dalam kehidupan keseharian anggota
satu gereja. GKPB jemaat
Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang seperti yang diungkapkan oleh seorang informan Nyoman Rubin, umur 62 tahun dengan berkata : “ Bagus sekali kalau kita sering memberi kesempatan kepada saudarasaudara kita yang dari Toraja, Sulawesi untuk tampil dalam ibadah minggu, seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu mereka mempersembahkan pujian dengan diiringi pompang (pompang adalah alat musik tiup khas Toraja-Mamasa yang dibuat dari bambu dengan berbagai ukuran dan dimainkan oleh 20 sampai 30 orang). Hal itu memberi variasi dalam beribadah dan yang lebih penting, wawasan baru kepada jemaat pang sing kaden nak anen iraga gen ane paling luhung (supaya kita tidak berpikir bahwa apa yang kita miliki yang paling baik)” (Wawancara, 27 Juli 2012) Ungkapan di atas menunjukkan bahwa
jemaat menerima dan dapat
berkomunikasi dengan anggota jemaat yang berbeda etnis. Hal seperti ini sangat
137
penting dalam kehidupan jemaat, yaitu untuk menghilangkan kecurigaan sehingga warga jemaat dapat bertumbuh dalam iman dan kehidupan sosial secara umum. 7.6. Berkurangnya Nuansa Budaya Bali dalam Liturgi Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang atau kelompok karena orang atau kelompok itu merupakan anggota dari satu kelompok tertentu. Sedyawati (2003: 3) mengungkapkan bahwa istilah identitas budaya dapat dipahami sebagai sebuah himpunan ciri-ciri yang menandai suatu himpunan masa tertentu yang seringkali disebut dengan kelompok etnik. Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali dapat dikatakan sebagai ciri dan identitas GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang jika bandingkan gereja-gereja lain yang ada di Bali. Sebagai sebuah identitas, nyanyian rohani dipakai oleh jemaat baik dalam ibadah minggu maupun dalam ibadah-ibadah lainnya. Hal itu diungkapkan oleh seorang informan yaitu Gede Trisna Putra salah seorang mantan majelis jemaat, dengan berkata : “Ketika GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang hidup dan berkembang di antara gereja-gereja lain yang ada di Bali, maka yang menjadi ciri GKPB jemaat Marga Pakerti Padang Tawang adalah bahasa Bali dan nyanyian rohani berbahasa Balinya. Nyanyian rohani berbahasa Balilah yang membedakannya. Kalau sekarang bahasa Bali dan nyanyian rohani tidak dipakai lagi, maka GKPB tidak GKPB lagi (GKPB kepanjangan dari Gereja Kristen Bali, kata “Bali” menekankan pada identitas etnik GKPB), GKPB sama saja seperti GKI (Gereja Kristen Indonesi) atau GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat) yang tentu saja tidak memiliki identitas etnik. Itulah juga sebabnya GKPB hanya ada di Bali, berbeda dengan GPIB dan GKI yang ada di seluruh pelosok Indonesia” (Wawancara, 8 Agustus 2012) Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ketut Sadrah ketika ditanyakan pertanyaan yang sama berkata :
138
“Kalau nyanyian rohani berbahasa Bali suatu saat tidak dipakai lagi dalam ibadah-ibadah dan diganti sepenuhnya dengan nyanyian rohani bahasa Indonesia atau Inggris seperti yang sedang berkembang sekarang, lalu apa yang menjadi ciri GKPB sebagai gereja yang sebagian besar umatnya adalah orang Bali. Saya rasa GKPB akan kehilangan identitas ke-Balian-nya. Dan lebih jauh, GKPB tidak akan mengakar dalam budaya Bali. Kalau hal ini benar terjadi di masa yang kan datang sulit saya membayangkan, karena selama ini GKPB sudah dikenal dengan gereja yang sangat kontekstual dalam budaya Bali” (Wawancara, 8 Agustus 2012 ) Ungkapan di atas menunjukkan bahwa nyanyian rohani
berbahasa Bali sudah
menjadi ciri dan identitas yang dikenal dan diketahui oleh kalangan gereja maupun masyarakat umum lainnya. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali tentu akan berakibat negatif terhadap ciri dan identitas GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Sebagai sebuah agama yang berkembang dan hidup di Bali, GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang tidak dapat dilepaskan dari budaya dan tradisi Bali yang sudah melekat dalam dirinya.
Namun demikian, perkembangan
jaman yang ditandai dengan masuknya nyanyian rohani populer berbahasa Indonesia mendorong jemaat melakukan adaptasi atau penyesuaian. Suparlan (1981: 9) mengatakan bahwa adaptasi dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk mengatasi berbagai masalah yang ada dalam lingkungan fisik guna kelangsungan hidup. Sehubungan dengan hal itu, maka adaptasi yang dilakukan oleh manusia berproses dalam dimensi lingkungan yang amat luas. Manusia berhubungan dengan dunia secara kritis. Mereka memahami data yang ada dilingkungannya. Mereka menyadari temporalitasnya.
Manusia tidak terkungkung dalam satu dimensi waktu yaitu,
139
kemarin atau pun hari ini, sehingga oleh kesadaran itu, manusia melakukan apa yang disebut adaptasi (Freire, 1984: 3-4). Dalam pengertian di atas,
umat GKPB Jemaat Marga Pakerti melakukan
perubahan-perubahan dengan cara meninggalkan budaya dan tradisi yang dipandang tidak cocok dengan situasi dan keadaan di masa kini, selanjutnya mengadopsi budaya yang baru yang lebih sesuai dengan keadaan di masa kini. 7.7. Penghayatan Iman yang Kontekstual Nyanyian
rohani
berbahasa
Bali
sebagai
sebuah
sarana
untuk
mengungkapkan iman, lahir dari konteks dan pengalaman hidup beriman orang-orang Kristen.
Namun demikian, nyanyian rohani berbahasa Bali hasil ciptaan para
pengarangnya, tidak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran firman Tuhan yang ada dalam kitab suci. Ketika pengarang mengalami satu peristiwa dalam hidupnya, baik itu berupa hambatan maupun kesulitan,
mereka mengimani bahwa Tuhan tidak
meninggalkan mereka sendirian. Mereka mengimani bahwa dalam kesulitan dan hambatan, Tuhan akan memberikan pertolongan. Hal itu diungkapkan oleh Gede Trisna Putra mantan majelis jemaat, dengan berkata : “Nyanyian rohani memang mempunyai konteks atau latar belakang dari masa lalu yaitu orang kristen generasi pertama. Mereka merespon dalam imannya, apa yang mereka rasakan, alami, dan yang mereka lihat. Hal itu seperti yang saya baca dalam sejarah gereja Bali. Sebagai orang Kristen yang baru beralih agama mereka mengalami banyak kesulitan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Contohnya lagu sampunang ajrih kakewuhan (Sebuah judul nyanyian rohani berbahasa Bali yang cukup sering dinyanyikan dalam ibadah minggu berbahasa Bali. Dalam bahasa Indonesia artinya jangan menyerah dengan kesulitan). Pengakuan seperti itu sangat sesuai dengan firman Tuhan yang mengatakan “ Jangan takut Aku menyertai engkau” (Wawancara, 8 Agustus 2012)
140
Sikap religius seperti di atas tentu saja tidak muncul begitu saja. Sikap religius seperti itu tumbuh dan berkembang melalui pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari yang mereka alami di masa yang lalu. Dengan kata lain, Tuhan yang tidak dapat dilihat dengan mata jasmani, diyakini ada
berdasarkan pengalaman
hidup yang nyata setiap hari. Generasi tua GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, yaitu mereka yang merasakan sulitnya kehidupan di masa lalu dan banyaknya hambatan, dimaknai
bahwa nyanyian rohani berbahasa Bali
bukan
sekedar nyanyian-nyanyian ungkapan kegembiraan semata, tetapi nyanyian rohani berbahasa Bali yang lahir dari pergumulan seperti di atas, memiliki makna dan nilainilai kebenaran. Nilai-nilai kebenaran yang disarikan dari ajaran Alkitab. Nilai-nilai kebenaran yang dapat dipakai sebagai dasar dan landasan
bagi jemaat dalam
menjalani hidup, menumbuhkan, dan memperkuat kerohanian. Realitas
yang terjadi sesuai dengan perkembangan waktu adalah
keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali.
Keterpinggiran nyanyian rohani
berbahasa Bali tidak serta-merta dapat menjadi tanda menurunnya kerohanian umat. Bagi generasi tua yaitu mereka yang nota bene adalah orang Bali dan menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari,
ketika melakukan ibadah dengan
menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia merasa tidak dapat menikmati ibadah.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang informan I Nyoman Ruja, salah
satu anggota jemaat dari generasi pertama : “Tidak dipakainya nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, bagi saya sangat mempengaruhi kehidupan kerohanian saya. Seperti yang saya rasakan dalam setiap ibadah di gereja rasanya hambar tidak khusuk. Tidak ada rasa suka cita dan ujung-ujungnya ibadah tidak menjadikan kerohanian
141
saya semakin bertumbuh dan kuat tetapi sebaliknya, kerohanian saya semakin menurun dan mengalami kekosongan” (Wawancara, 2013) Bagi generasi tua, keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali bisa jadi memiliki relevansi terhadap Kristen.
menurunnya kerohanian umat dalam menghayati ajaran agama
Dengan memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia,
kebenaran iman yang dulu dirasakan dan ditemukan
kebenaran-
lewat nyanyian rohani
berbahasa Bali tidak dirasakan dan tidak ditemukan oleh umat. Pernyataan responden di atas tentu saja tidak berlaku untuk semua anggota jemaat. Pemahaman bahwa keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai menurunnya kerohanian hanya dirasakan dan dimaknai oleh anggota jemaat yang sudah tua, yaitu mereka yang memahami nyanyian berbahasa Bali. Agama sebagai satu persekutuan hidup, baik dalam lingkup yang sempit atau luas yang unsur konstruktif utamanya adalah nilai-nilai atau ajaran agama, tidak dapat dilepaskan dari masyarakat (Hendropuspito, 1983: 9).
Pernyataan di atas
mengandung arti bahwa ajaran agama tidak akan berkembang dan lestari kalau tidak ada masyarakat pendukungnya. Pada sisi lain, masyarakat akan menjadi masyarakat yang tidak terkontrol kalau ajaran-ajaran agama tidak memberikan nilai-nilai dan patokan-patokan yang dapat diikuti. Kedua-duanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali memiliki makna dan nilai yang mendalam dalam kehidupan sosial jemaat GKPB Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, yaitu menjaga persekutuan antarumat. Seperti yang diungkapkan oleh Nengah Yakobus Wirasa dengan mengatakan sebagai berikut.
142
“Bagaimanapun perkembangan situasi sekarang ini, nyanyian rohani berbahasa Bali yang sarat dengan nilai-nilai kebenaran terbukti dapat menjaga kehidupan persekutuan jemaat. Tidak saja di masa lalu, saya percaya pada masa kini juga, telah menjaga persekutuan hidup jemaat dalam menghadapi tantangan. Dalam pergaulan hidup dengan masyarakat khususnya di Banjar Padang Tawang, jemaat tidak terpecah-pecah dan tidak terkotak-kotak” (Wawancara, 26 Juli 2012) Ungkapan di atas memberikan penegasan bahwa nyayian rohani berbahasa Bali memiliki makna yaitu menjaga hubungan antaranggota jemaat. Nyanyian rohani berbahasa Bali dengan nilai-nilai kasih yang terkandung di dalamnya menjadi patokan dan dasar yang kuat dalam interaksi sosial antarjemaat. Bagaimanapun modern dan majunya kehidupan seseorang, budaya dan tradisi tidak dapat betul-betul terpisahkan dari dirinya. Seseorang ada dan hidup seperti sekarang adalah hasil dari budaya dan tradisi yang dijalaninya di masa lalu. Dalam konteks di atas, nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi ciri dan identitas ke-Balian GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang. Dalam perkembangan waktu kemudian, nyanyian rohani berbahasa Bali tidak dipakai lagi, maka ke-Balian
GKPB jemaat Marga Pakerti sebagai gereja yang berkembang di
Bali menjadi kabur. Sebagai mana yang dikatakan oleh informan I Wayan Suartha : “Dalam kehidupan masyarakat multikultur sekarang ini, identitas dan ciri kita sebagai orang Kristen Bali akan nampak kalau ibadah-ibadah dan nyanyiannyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi masih dipertahankan. Identitas ke Balian GKPB akan menjadi kuat kalau jemaat mau dan suka memakai nyanyian rohani berbahasa Bali. Realitasnya sekarang hal itu tidak terjadi; jemaat lebih banyak memakai nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Ya.. kita sama saja dengan gereja-gereja yang lain tidak lagi ada identitas yang khas Bali” (Wawancara, 29 Agustus 2013). Ungkapan Wayan Suartha di atas menggambarkan bahwa keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dimaknai sebagai kehilangan identitas ke-Balian gereja.
143
Memaknai keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali sebagai kehilangan identitas ke-Balian tentu saja menjadi makna sempit dan terbatas pada umat yang antiperubahan. Dalam realitasnya, identitas dapat dilihat dari berbagai segi.
Refleksi Sejak berkembangnya agama Kristen di Bali, Nyanyian rohani berbahasa Bali telah menjadi bagian dalam kehidupan ibadah umat.
Sebagai sebuah sarana,
nyanyian rohani berbahasa Bali dipakai untuk mengungkapkan syukur, menyatakan pujian, menyatakan keagungan, dan mengungkapkan doa umat kepada Tuhan. Hal ini, tidak terlepas dari usaha kontekstualisasi yang dilakukan oleh gereja. Sebagai agama yang berkembang di Bali dan umat adalah orang Bali yang menggunakan bahasa Bali, maka budaya Bali termasuk di dalamnya bahasa Bali, menjadi sarana yang efektif untuk mengungkapkan penghayatan iman umat. Dalam perkembangan dari tahun 1930-an sampai sekitar tahun 1980-an, nyanyian rohani berbahasa Bali yang telah “tertanam” dalam budaya Bali, perlahanlahan mulai ditinggalkan oleh umat. Umat tidak lagi memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dan beralih menggunakan nyanyian rohani berbahasa Indonesia. Pengalihan ini tentu saja tidak lepas dari perkembangan jaman yang sangat pesat. Kehidupan sosial yang berubah, perkembangan teknologi dan media, dan ekonomi yang semakin meningkat, mendorong pengalihan itu semakin cepat. Bagi generasi tua yang merasakan dan mengerti konteks nyanyian rohani berbahasa Bali, pengalihan ini tentu saja menjadi persoalan. Mereka tidak dapat lagi merasakan sukacita ibadah
144
sebagaimana dulu Sebaliknya,
ketika ibadah memakai nyanyian rohani berbahasa Bali.
anak-anak muda yang berbeda konteks hidup dengan generasi tua
menikmati ibadah dengan suka cita. Dalam realitas dunia yang terus berubah, tentu saja tidak bijaksana kalau umat terus-menerus
berpaling ke masa lalu. Umat harus bersikap realistis melihat
perubahan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, realitas keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali harus disikapi dan dilihat oleh umat bukan sebagai kemunduran tetapi sebaliknya sebagai kemajuan. Umat seharusnya bersifat dinamis terhadap situasi dan keadaan yang sedang terjadi. Dengan bersifat dinamis umat dapat melihat keterpinggiran nyanyian rohani sebagai kesempatan untuk menghayati iman Kristen dengan lebih kontekstual sehingga umat dapat menjawab tantangan zaman. Namun demikian, dengan alasan perkembangan zaman yang semakin maju tidak, hal itu sertamerta membuat umat meninggalkan nyanyian rohani berbahasa Bali yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Kristen. Sebaliknya, nyanyian rohani berbahasa Bali
tetap harus diajarkan dan disosisaliasikan kepada generasi muda,
supaya generasi muda juga mengerti pergumulan umat di masa lalu dan kemudian dapat mengambil pelajaran. Selain itu, dengan tetap mengajarkan nyanyian rohani berbahasa Bali generasi muda tidak melupakan budaya-budaya masa lalu sehingga mereka tidak kehilangan jejak dan nyanyian rohani berbahasa Bali tidak mengalami kepunahan.
145
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1. Simpulan Dari uraian di atas, dapat ditarik simpulan sebagai berikut. Faktor-Faktor yang menyebabkan keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, adalah karena
terjadinya perubahan sosial, lingkungan, meningkatnya pendidikan,
perkembangan ekonomi, media dan teknologi, heterogenitas jemaat, menurunnya minat jemaat terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali, dan kurangnya usaha untuk menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang baru. Perubahan-perubahan di atas terjadi tidak lepas dari meluasnya globalisasi. Globalisasi dengan segala bentuknya, mengubah bukan saja tatanan masyarakat yang sudah mapan (budaya dan tradisi) tetapi juga mengubah polapikir dan polatindak masyarakat. Proses keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang, yaitu tahun 1930 hingga 1960-an masa-masa di mana GKPB melakukan usaha kontekstualisasi dengan mengadopsi budaya Bali dan nyanyian rohani berbahasa Bali menjadi nyanyian utama dalam liturgi.
Tahun 1960 hingga 1980-an
mulai terpinggirkannya nyanyian rohani
berbahasa Bali. Pada masa ini, ada usaha pemerintah untuk melakukan nasionalisasi bahasa Indonesia, terbitnya nyanyian rohani berbahasa Indonesia, dan dipakainya liturgi berbahasa Indonesia. rohani berbahasa Bali sudah terpinggirkan.
mulai
Tahun 1990 hingga 2012-an, nyanyian
146
Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi GKPB jemaat Marga Pakerti di Banjar Padang Tawang
mempunyai implikasi
terhadap
pelaksanaan liturgi dan kerohanian umat. Keterpinggiran nyanyian rohani berbahasa Bali berimplikasi pada pelaksanaan liturgi yang tidak utuh, peran pendeta yang semakin berkurang dalam pelaksanaan liturgi, Geraja semakin terbuka bagi semua orang, berkurangnya unsur budaya Bali dalam liturgi, terjadinya kelompok sosial multikultural, dan beragamnya unsur budaya dalam liturgi, dan penghayatan iman yang kontekstual.
Implikasi seperti di atas, dalam realitasnya adalah sebuah
penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) yang dilakukan oleh umat. Untuk tetap dapat eksis dalam zaman yang terus mengalami perubahan, umat dengan sadar melakukan penyesuaian-penyesuaian. 8.2. Saran Untuk mencegah punahnya
budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani
berbahasa Bali, gereja dan juga anggota jemaatnya dapat melakukan upaya-upaya yang lebih serius, agar nyanyian rohani berbahasa Bali tetap dikenal oleh generasi muda di kemudian hari. Pertama, kepada institusi gereja dalam hal ini Gereja Kristen Protestan Bali. Institusi gereja agar mendorong para pendeta bersama dengan majelis jemaat, untuk tetap memakai nyanyian rohani berbahasa Bali dalam liturgi, baik dalam ibadah minggu maupun dalam ibadah keluarga. Dengan tetap memakai nyanyian rohani berbahasa Bali, diharapkan tumbuh rasa memiliki dan keinginan dari generasi muda untuk mempelajari nyanyian rohani berbahasa Bali.
147
Institusi Gereja memberikan kesempatan dan dorongan kepada para senimanseniman gereja untuk menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali yang sesuai dengan konteks masa kini. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan lomba-lomba menciptakan nyanyian rohani berbahasa Bali atau kontes nyanyian rohani berbahasa Bali. Selanjutnya, yang lebih penting adalah tetap dipakainya hasil ciptaan mereka dalam ibadah-ibadah gereja, sehingga
nyanyian rohani berbahasa Bali semakin
dicintai dan dipahami. Gereja membuat keputusan
atau aturan yang lebih tegas dan ketat, supaya
jemaat-jemaat GKPB secara umum tetap memasukkan nyanyian rohani berbahasa Bali dan menetapkan dalam satu kali sebulan memakai bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali.
Dengan demikian, bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali
menjadi lebih dikenal dan dicintai. Kedua, kepada anggota jemaat. Keluarga-keluarga jemaat sebagai komponen terkecil dari gereja terus menerus berupaya mentranmisikan budaya dan tradisi dalam hal ini nyanyian rohani berbahasa Bali kepada anak-anak sebagai generasi penerus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tetap memakai dan mengajarkan bahasa dan nyanyian rohani berbahasa Bali dalam ibadah-ibadah keluarga. Dengan demikian, diharapkan anak-anak akan belajar dan mau menerima budaya dan tradisi
Bali. Keluarga-keluarga jemaat
tetap
menanamkan rasa bangga khususnya terhadap nyanyian rohani berbahasa Bali dan umumnya pada bahasa Bali, sehingga nyanyian rohani berbahasa Bali tetap disukai
148
dan dicintai oleh generasi muda gereja. Bagaimanapun kelestarian budaya dan tradisi juga merupakan tanggungjawab keluarga-keluarga jemaat.
149
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Abineno, J.L.Ch. 1996. Unsur-Unsur Liturgia. Jakarta: Badan Penerbit Kristen. Agger, B. 2003. Mazhab Frankfurt Karl Marx Cultural Studies Teori Feminis Derrida Post Modernitas Teori Sosial Kritis Kritik, Penerapan dan Implikasinya (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.n Anonim. 1960. Kidung Pamuji dan Mazmur Nyanyian Rohani. Semarang: Satya Wacana. Anonim. 2000. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia. Anonim. 2011. Profil Desa Canggu. ____________ Anonim. 2010. Buku Induk Penduduk Banjar Padang Tawang.___________ Ardika, I Wayan. 2007. “Kebudayaan Lokal, Multikultural dan Politik Identitas dalam Refleksi Hubungan Antar Etnis, Antara Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali”, dalam Jurnal Lembaga Kebudayaan. UMM. Edisi Maret Tahun 2007. Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, Dan Globalisasi. Yogyakarta: Lkis. Ayub, Ketut Suyaga. 1999. Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan. Malang: YPII. Ayub, Made R. 1964. Marga Pakerti “Geguritan”. Denpasar.
Bagus, I Gusti Ngurah. 1990. Akal dan Humor Rakyat Dalam Dongeng Bali. Singaraja : Balai Penelitian Bahasa. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Parktik. (terj. Tim Kunci Cultural Studies Center). Yogyakarta: Bentang Baudrillard, J. 1988. The Ecstasy of Communication, New York: Semiotex
150
Beilharz, Peter. 2003. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka (terj. Sigit Jatmiko). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bennett. 1976. The Ecological Transition Cultural Anthropology and Human Adaptation. New York: Pergamon Press. Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Coe, Shoki. 1992. “Kontekstualisasi Sebagai Jalan Menuju Pembaharuan” dalam Douglas Elwood. (ed). Teologi Kristen Asia,, Jakarta: BPK. Gunung Mulia. Darmayuda, I Komang. 2006. “Dinamika Lagu Pop Bali Periode 1990-2005: Perspektif Kajian Budaya”, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar. Davis, Kingsley. 1960. Humen Society. New York: The Macmillan Comper Divya Pradana Bakti Biro Seni dan Komunikasi GKPB. 1990. Gita Suksma. Denpasar. Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan Nugroho). Jakarta: PT. Gramedia.
(terj. Alois A.
Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Gereja Kristen Protestan Bali. 2002. Tata Gereja Tahun 2002. Denpasar. Gereja Kristen Indonesia. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD Gie, The Liang. 2006. Bahasa Estetika Postmodernisme. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.. GKPB Marga Pakerti Padang Tawang. 2012. Laporan Pelaksanaan Program 2011 dan Program 2012. Badung.
151
Hall, S. 1977. The Media Culture and The Idiological Effect, dalam J. Curran, M. Gurevilch dan J. Woollacott (ed). Mass Comunications and Society. London. Edwar Arnold. Hendropuspito, D. 1983. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius Hoed, Benny. H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Hunter, David. E dan Phillip Whitten. 1976. Encyclopedia of Antrophology. New York: Harper and Row Publisher. Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. (terj. Landung Simatupang). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media, Cultural Studies, Identitas dan Politik: Antara Medern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakrta: UI-Press. Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LkiS. Mantra, Ida Bagus. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Merti, Ni Made. 2006. “Pemertahanan Bahasa Bali dalam Masyarakat Multikultural di Kota Denpasar”, Tesis, Universitas Udayana, Denpasar. Miles, Matthew. A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI. Press. Moleong, Lexy. J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Nawawi, H. 1992. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ningsing, Y. 2006. Sosiologi, Tentang Standar Isi. Jawa Tengah: Cermat Nurmala, 2005. “Eksistensi Lagu Pop Minangkabau di Sumatera Barat: Perspektif Kajian Budaya” Tesis, Universitas Udayana, Denpasar.
152
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Bandung: Matahari. Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2011. Wacana Kontemporer Pariwisata. Jakarta: Salemba Humanika. Puspitha,
Tjatra. 2012.”Pulau Bali sebagai Tempat Pelayanan GKPB” dalam Dinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sangarimbun, Masri. 1989. Metodologi Penelitian Survai. Jakarta: LP.3ES. Santoso, Listiyono, dkk. 2010. Epistemologi Kiri, Yogyakarta : AR-RUZZ Media.
Seri Pemikiran Tokoh.
Sedyawati, E. 2006. Budaya Indonesia. Jakarta: Raja Gresindo Persada. Sinode Am GKI. 2005. Nyanyikanlah Kidung Baru. Jkarta: BPK Gunung Mulia Soekamto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soemarwoto, O. 1997. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Jembatan. Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam. Suarningsih. 2004. “Lagu Pop Bali Anak-anak: Perspektif Kajian Budaya” Tesis, Universitas Udayana, Denpasar. Suparlan, P. 1981. “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Perspektif Antropologi Budaya” dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, No.2, Jilid IX. Jakarta: Fak. Sastra Universitas Indonesia. Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. (terj. Alimandan). Jakarta: Prenada. Tan, Mely G. 1993. “Masalah Perencanaan Penelitian” dalam Koentjaraningrat (ed), Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. Wahyudi, Ibnu. (editor). 2004. Menyoal Sastra Marginal. Jakarta Selatan : Wedanta Widya Sastra.
153
Waspada, I Ketut Siaga. 2012. “Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya Gereja Bali” dalam Dinamika GKPB dalam Perjalanan Sejarah. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat Perubahan Sikap, Prilaku Serta Sikap yang Tidak Berkebudayaan. Yogyakarta: Pinus Book Publiher. Wijaya, Nyoman. 2003. Serat Salib Dalam Lintas Bali, Menapak Jejak Pengalaman Keluarga GKPB (Gereja Kristen Protestan di Bali) 1931 – 2001. Denpasar: CV. Krinan. Yamuger. 1984. Kidung jemaat. Jakarta: Yayasan Musik Gereja Indonesia. Yohanes, I Nyoman. 1993. Tembang-Tembang Kaulan. Denpasar