Sepanjang sejarah wanita telah menjelma menjadi sebuah misteri besar .....
besar pusat orgasme wanita bersumber dari klitoris. Karena klitoris sebagai
pusat.
KHITAN PEREMPUAN PERSPEKTIF HADIS DAN SIRKUMSISI PEREMPUAN MENURUT WHO
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Tafsir Hadis
Oleh : Muhammad Sauki Nim
: 104034001252
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M /1432 H
KHITAN PEREMPUAN PERSPEKTIF HADIS DAN SIRKUMSISI PEREMPUAN MENURUT WHO
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Tafsir Hadis
Oleh : Muhammad Sauki Nim
: 104034001252
Pembimbing:
Rifki Muhammad Fatkhi, MA NIP. 197701202003121003
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang barjudul “Khitan Perspektif Hadis Dan Sirkumsisi Menurut Who” telah di ujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negri jakarta pada tanggal 17 desember 2010 M. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana ushuluddin (S.UD) pada jurusan tafsir hadis.
Jakarta, 17 Desember 2010
Sidang Munaqasyah, Ketua
Sekretaris
Dr. Bustami, M.Si.
Muslim S.Thi
Anggota,
Dr. Bustami, M.Si.
Muslih, MA
Pembimbing,
Rifqi Muhammad Fatkhi, MA
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, hidayah dan rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan judul “Sirkumsisi Perempuan (Studi Analisis Kritis Sirkumsisi Perempuan Persfektif Hadis dan Kesehatan)” dapat diselesaikan dengan baik. Salawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan mengucapkan terimakasih kepada beberapa pihak tertentu tanpa mengurangi penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam pengantar singkat ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada : 1. Dekan fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan 2. Bapak Drs. Bustamin, M.SI. Selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A. Selaku pembimbing penulis sekaligus Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Terimakasih atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
iv
4. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Kedua orang tua penulis Ayahanda H. Hamim dan Hj Sawiyah serta kakak penulis Nurmala, adik penulis Solihin dan Farhan atas cinta dan kasih sayang serta pengorbanannya yang telah berusaha memberikan dorongan, nasihat, doa dan restunya. 6. Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren modern an-Najah, Rumpin (Bogor). 7. Rekan-rekan Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan 2004. Dion, Lexi, Asep, Ai, Jacky, Ipunk, Rosyid, Si’aw dan kawan-kawan. 8. Kepada seluruh karyawan perpustakaan umum Islam Iman Jama pasar jumat dan rekan-rekan rental Dion Komputer, Bang juri Comp, Aab Comp, joy Comp. 9. Teman-teman semua yang secara langsung, maupun tidak langsung ikut andil dalam memacu, memotivasi penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini. Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dan ikut serta membantu ke arah kemajuan pendidikan, khususnya dalam bidang studi kritik hadis dan juga bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Akhirnya, semoga Allah SWT memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amin.
Jakarta, 15 Desember 2010
Penulis
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, an Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) tahun 2007.
Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan Tidak dilambangkan
ﺐ
b
be
ﺖ
t
te
ts
te dan es
j
je
h
h dengan garis bawah
kh
ka dan ha
d
de
dz
de da zet
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s
es dengan garis di bawah
vi
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
d
de dengan garis di bawah
t
te dengan garis di bawah
z
zet dengan garis di bawah
‘
Koma terbalik di atas hadap kanan
gh
ge dan ha
f
ef
q
ki
k
ka
l
el
m
em
n
en
w
we
h
ha
'
apostrop
y
ye
Vokal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
—َ
a
fathah
ِ—
i
kasrah
—ُ
u
dammah
vii
Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
___َ___
ai
a dan i
___َ___
au
a dan u
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ـَـﺎ ْـِﻲ ْـُـﻮ
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
Vokal Panjang
Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihkan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: kata اﻟﻀَﺮُوْرَةtidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
viii
Ta Marbûtah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na't) (lihat contoh 2 di bawah). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). No
Kata Arab
Alih Aksara
ﻃﺮﻳﻘﺔ
1
tarîqah
2
al-jâmi‘ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
Cara Penulisan Kata Kata Arab
Alih Aksara dzahaba al-ustâdz tsabata al-ajru
َ ﺎ ﻟِﺢ
ِﻠ
asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh Maulânâ Mâlik al-Sâlih
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSTUJUAN.................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii KATA PENGANTAR......................................................................................... iii DAFTAR ISI........................................................................................................ v PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ....................................................................................... 9 C. Kajian Pustaka .............................................................................. 10 D. Metode Penelitian..........................................................................11 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................12 F. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II
PENGERTIAN SIRKUMSISI, SEJARAH SIRKUMSISI DAN SIRKUMSISI PEREMPUAN MENURUT AHLI KESEHATAN (WHO) WORD HEALTH ORGANIZAZION i.Pengertian Sirkumsisi Perempuan ...................................................... 14 1. Sirkumsisi Perspektif Bahsa Arab: Memotong.......................14 2. Devinisi Menurut Ahli Kesehatan (WHO) .............................17 B. Sejarah Sirkumsisi Perempuan: Dari Simbol ke Dogma ..............18 1. Sirkumsisi Pra-Islam: Symbol Kesucian Wanita ....................18 2. Sejarah Sirkumsisi Perempuan di Asia (Indonesia) ................22 a. Sirkumsisi Dalam Islam ......................................................22 b. Sirkumsisi Dalam Yahudi dan Kristen................................24 C. Faktor Timbulnya Praktek Sirkumsisi Perempuan .......................28 1. Faktor Mitos ..............................................................................28 2. Faktor Seksual...........................................................................29
x
3. Faktor Budaya sosial .................................................................31 4. Faktor Mitos kebersihan............................................................32 5. Faktor Doktrin agama ...............................................................32 D. Prosedur Sirkumsisi Perempuan menurut Ahli Kesehatan (WHO) Word Health Organizazion dan Hak Seksualitas ..........................33 1. Prosedur dan Praktek Sirkumsisi Perempuan di Timur Tengah, Afrika dan Beberapa Negara................................................... E. Tinjauan Umum Pembudayaan Sirkumsisi Perempuan Menurut Islam dan Ahli Kesehatan (WHO) Word Health Organizazion.... 43
BAB III
SIRKUMSISI PEREMPUAN PERSFEKTIF HADIS/ISLAM DAN STUDI ARGUMENTASI ISLAM DAN AHLI KESEHATAN (WHO) WORD HEALTH ORGANIZAZION A. Hadis-Hadis Tentang Sirkumsisi Perempuan dan Kualitasnya..... 48 B. Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Sirkumsisi Perempuan ........ 53 1. Ulama Fiqh.............................................................................. 53 2. Ulama Kontemporer................................................................ 61 C. Hadis Sirkumsisi Perempuan dan Penolakan Ahli Kesehatan (WHO)........................................................................................... 63 1. Aspek Seksualitas Perempuan................................................. 63 2. Aspek Kesehatan Perempuan.................................................. 65 D. Kontektualisasi Hadis Sirkumsisi Perempuan Persfektif Ulama Dan Ahli Kesehatan (WHO) Word Health Organizazion .................... 67 E. Refleksi Akhir Filosofis ................................................................ 72
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... 78 B. Rekomendasi ................................................................................. 79
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 85 LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sepanjang sejarah wanita telah menjelma menjadi sebuah misteri besar dalam kehidupan, tidak terkecuali masalah seksualitas mereka yang selalu menjadi kontroversi dan begitu mudah ditindas dengan berbagai macam cara diseluruh belahan dunia. Seolah sejarah selalu terus berulang dan tidak berpihak pada kaum perempuan, disetiap orde, budaya, dan kondisi sosial. Dalam era modern ini, dinamika-konstruktif yang dicapai oleh perempuan dalam berbagai aspek sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sadar atau tidak, optimalisasi perempuan dalam mengekspresikan dirinya sekaligus berusaha untuk selalu mendapatkan kesempatan yang sama di tanah publik seperti kaum lelaki sudah mendapatkan legitimasi sembari rasionalisasi yang bisa diterima oleh hampir semua kalangan. Selanjutnya, seiring dengan perjalanan tradisi penafsiran Islam yang cenderung mendiskriminasikan hak-hak perempuan, sekarang ini di era tafsir modern, tafsir Islam sudah didekonstruksi menjadi tafsir epistemologis-reformis yang berujung pada tingkat praksis. Demikian juga kondisi sosial yang lebih bercorak patriarki perlahan-lahan konstruksi sosiologis mapan tersebut dikritisi menuju keseimbangan (kesetaraan) sosial. Kondisi ini nantinya diharapkan, akan menumbuhkan imaji-kreatif nan sekaligus menyuburkan spirit keseimbangan yang dinamis antara dimensi patriarki dan matriarki. Sembari menempatkan perempuan, yang sedari dulu menjadi objek utama dari setiap perubahan, justru menjelma sebagai pusat proses perubahan serta penciptaan opini pengetahuan baru dalam dinamika kehidupan.1 Salah satu doktrin yang sampai saat ini masih diperdebatkan dan dipertanyakan oleh berbagai kalangan (khususnya ahli kesehatan) karena dipraktekkan di dunia Islam bahkan di Indonesia, adalah praktek sirkumsisi perempuan atau sunat (khitan) bagi perempuan, (selanjutnya penulis sebut dengan 1
Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. Ke1, 194-197.
1
sirkumsisi perempuan). Antara satu negara dengan negara lainnya saling berbeda dalam menamakan istilah sirkumsisi perempuan, bagi masyarakat Sudan misalnya, sirkumsisi dengan tipe infibulasi2 dikenal dengan “sirkumsisi pharaonic” (sirkumsisi Fir’aun disamakan juga dengan sirkumsisi tipe infibulasi), di Mesir tipe seperti itu disebut ‘sirkumsisi orang-orang Sudan’. Di Indonesia, istilah “sirkumsisi” lebih dikenal oleh kalangan medis, namun masyarakat umum menyebutnya dengan khitan atau sunat perempuan. Dalam dunia Internasional dikenal dengan istilah female Circumcision atau FGM (Female genitale Mutilation) atau perusakan organ kelamin perempuan.3 Istilah ini merupakan kesepakatan dari Konfrensi Perempuan sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995, yang dihadiri lebih dari 180 anggota delegasi dunia. Definisi sirkumsisi perempuan menurut Elga Sarapung dkk, dalam bukunya Agama Dan kesehatan Reproduksi,4 adalah sebagai “Tindakan medis berupa pembuangan sebagian atau seluruh bagian dari preputium (kulup atau kulit yang melingkupi glans penis atau kepala penis), bagi perempuan adalah dengan memotong atau membuang sebagian atau seluruh klitoris, bahkan ada yang membuang (labia minora) bibir vagina”. WHO (World Healt Organizaion) mendefinisikan sebagai “Semua tindakan atau prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau total dari organ genitalia eksternal perempuan atau bentuk perlukaan lain terhadap organ genitalia perempuan dengan alasan budaya,
2
Pembahasan yang paling awal tentang Infibulasi itu ditemukan dalam tulisan-tulisan sejarawan Pietro Bimbo yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1551 atau 1552 M. disitu dijelaskan, “Sekarang meninggalkan Negara-negara lain, berlayar ke Laut Merah dan mengunjungi beberapa negara yang dihuni oleh orang-orang kulit hitam, unggul dan berani dalam perang. Dikalangan orang-orang ini, organ pribadi perempuan (vagina) dijahit menjadi satu, segera setelah mereka lahir, tetapi dilakukan dengan tidak menghalangi lobang keluarnya kencing. Ketika gadisgadis menjadi dewasa, mereka menikah dengan keadaan vagina tetap terjahit dan tindakan suaminya yang pertama setelah kawin adalah membuka organ pribadi perawan yang dijahit secara kuat itu dengan pisau. Di kalangan orang-orang Barbar, keperawanan dalam pernikahan dihargai secara tinggi.” Lihat Anne Cloudsley, Women of Omdurmen, Life, Love and the Cult of Virginity, (London: Ethnographica 1983), 111. Lihat jua Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. Ke1, 194197. 3 Alwi Shīhab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 2001), cet. Ke-9, 274. 4 Elga Sarapung dkk., Agama Dan kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 118.
2
atau alasan non-medis lainnya”.5 Budaya sirkumsisi perempuan sudah lama dikenal umat manusia, bahkan jauh sebelum Islam datang.6 Dari bukti yang ada, praktek sirkumsisi perempuan ini diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan agama yang terorganisasi.7 Praktek tersebut ditemukan pada Mummi Mesir yang berstatus kaya raya dan berkuasa. Ahli Antropologi menduga, dipraktekkannya sirkumsisi pada jaman Mesir Kuno adalah sebagai bentuk pencegahan masuknya roh-roh jahat melalui Vagina. Tradisi sirkumsisi perempuan sudah menjadi ritual dalam proses perkawinan. Praktek sirkumsisi pharaonic sebagai ritual sebelum pernikahan ditemukan sejak tahun 1350 SM.8 Pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika Serikat, ditemukan bukti telah dilakukannya praktek clitoridektomy,9 sebagai bentuk pengobatan terhadap kebiasaan masturbasi yang dilakukan oleh kaum perempuan.10 Pada jaman Romawi, budak-budak perempuan diwajibkan sirkumsisi, pada masa itu budak perempuan yang disirkumsisi harganya jauh lebih tinggi dari budak perempuan yang tidak disirkumsisi. Karena, budak yang disirkumsisi dinilai sebagai perempuan yang masih suci atau perawan, dipercaya belum di sentuh oleh lakilaki lain maupun oleh majikannya. Pada masa sekarang ini, praktek sirkumsisi perempuan telah dilakukan beberapa negara, khususnya di negara bagian Afrika,11 beberapa Negara Timur Tengah, serta sebagian kecil di Asia, Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Eropa. Setidaknya, diperkirakan 150 (seratus lima puluh) juta wanita di dunia 5
N. El-Sadawi, The Hidden Face of Eve: Women in Arab World, (London: Zed Books, 1980), 7-8. lihat juga artikel “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”, artikel diakses 3 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/html 6 Hasan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan, Obstetri dan Ginekologi Dalam Tinjauan Islam (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-2, 89. 7 Otto Meinardus, Christian Egypt: Faith and Life, (Kairo: The American University Press, 1970), 333. 8 “Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan”, Jurnal Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002), 25. 9 Clitoridectomy adalah pemotongan organ genital perempuan bagian luar, yaitu pemotongan atau pengirisan sebagian klitoris atau seluruhnya dan sebagian labia minora (bibir kecil vagina). Lihat Nahid Toubia, Female Genitale Mutilation: a Call for Global Action, (USA: United Nation Plaza, 1993), 55. 10 Asriati Jamil, “Sunat Perempuan Dalam Islam: Sebuah Analisis Jender,” dalam Refleks: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat (Jakarta, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, 2001) vol. 3. no. 2. 53. 11 Sumber dari Majalah The Times, (Amerika), edisi Maret 1994.
3
telah mengalami tindakan ini, dan sepertiganya adalah anak-anak usia di bawah sepuluh tahun.12 Kepercayaan yang berkembang di Benua Afrika danTimur Tengah mengindikasikan bahwa perempuan yang tidak menjalani ritual ini akan dianggap sebagai perempuan liar, dan tidak dihormati kedudukannya oleh masyarakat sekitar.13 Selanjutnya sudah menjadi rahasia umum, perempuan yang tidak disirkumsisi merupakan aib besar bagi keluarganya. Kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat kemudian menjadikan tradisi sirkumsisi ini menjelma jadi suatu ritual keniscayaan bagi setiap masyarakat didunia muslim, termasuk Indonesia. Menurut kepercayaan beberapa daerah di Indonesia seperti Gorontalo dan Madura,14 nafsu seksual perempuan itu terlalu besar, maka untuk mengontrol libido seks tersebut, organ kelaminnya (klitoris) mesti di potong. Dalam tradisi Gorontalo, anak perempuan usia satu sampai dua tahun akan menjalani masa adat yang disebut dengan upacara Mopolihu Lo Limu (mandi air ramuan limau purut dan Mongubingo, sirkumsisi atau mencubit daging yang menempel pada klitoris). Secara turun-temurun dipercaya masyarakat, jika hal itu tidak dilakukan, maka anak yang dilahirkan tetap membawa sesuatu yang haram dan najis dalam hidupnya. Jika dilihat dari segi agama, tradisi sirkumsisi dalam Islam, berawal sejak Nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah untuk mengikuti tradisi (millah) Nabi Ibrâhîm. Hingga sekarang ajaran Nabi Ibrâhîm masih menjadi bagian dari Islam, seperti Haji yang masuk rukun Islām kelima dan ibadah Qurbān.15 Perintah Allah kepada Nabi SAW untuk mengikuti Nabi Ibrāhīm di antaranya tertera dalam Surat an-Nisā’ ayat 125 yaitu: 12
Olatinko Koso-Thomas, The Circumcision of Women: A Strategy for Education, (London: Zed Books, 1987) : 17. 13 Majalah The Times, (Amerika), edisi Maret 1994. 14 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University, “Hasil Penelitian oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Population Council dan Universitas Gajah Mada,” dari tahun 2001-2003, (Yogyakarta: Population Council dan Gadjah Mada Press, 2003) : 10. 15 Syamsu Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Jakarta: Penebar Salam, 1999), cet. Ke-5, 402.
4
.
Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrāhīm yang lurus dan Allah mengambil Ibrāhīm menjadi kesayanganNya”. Surat Ali ‘Imrān ayat 95: . Artinya: “Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahîm yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”. Sedangkan dalil Nabi Ibrāhīm menjalankan sirkumsisi bersumber dari salah satu hadîs, yang Artinya “Menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, Mughīrah bin ‘Abdirrahmān al-Quraisiyy memberitahukan dari Abi Zannād dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasūlullāh SAW bersabda: “Ibrāhīm melaksanakan sirkumsisi pada usia 80 tahun dengan kampak”. (H. R. Bukhari) 16 Apabila diteliti lebih seksama, sepanjang sejarah hukum Islam yang bersinggungan dengan dalil sirkumsisi, tidak ditemukan dalil yang sahih atau akurat, baik di al-Qur’an maupun tertera dalam lembaran-lembaran hadis. Akan tetapi, praktek tersebut oleh kebanyakan umat Muslim di berbagai negara tetap dijadikan sebagai bagian dari ajaran agama, terutama karena pengaruh doktrindoktrin dari tokoh agama setempat.17 Sampai kini, faham tersebut masih banyak bergentayangan dalam praktek masyarakat Muslim di dunia termasuk di Indonesia. Tradisi tersebut tetap hidup turun temurun dari satu generasi kegenarasi berikutnya, meskipun ritual tradisi sirkumsisi tersebut sudah nyata-nyata menggambarkan bentuk penindasan hak reproduksi dan hak seksualitas
16
Abî ‘Abdillāh bin Isma’îl al-Bukhari, Sahih Bukhārī, (Beirut: Maktabah al-Asiriyah, 1997) : juz II, 139, hadis No. 7932, 9040 dan 2249 17 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), cet. Ke-1. 39.
5
perempuan bahkan tergolong sebagai salah satu tindak kekerasan terhadap perempuan. Terjadinya ragam pendapat dikalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam klasik maupun kontemporer, kian menjadikan tradisi ini tetap hidup dan meluas.18 Diantara pendapat tersebut adalah pendapat Imam Mazhab yang 4 (empat), seperti Imam Maliki yang menyatakan bahwa sirkumsisi perempuan hanya sebagai tindakan kemuliaan, asalkan tidak berlebihan dalam hal menyayat atau memotong organ kelaminnya. Imam Hambali menyatakan sirkumsisi bagi perempuan adalah satu kemuliaan bagi perempuan, Imam Hanafi mengkategorikannya sebagai kemuliaan
saja, sedangkan Imam Syafi’i, yang dianut mayoritas Muslim di
Indonesia, mewajibkan sirkumsisi bagi perempuan.19 Beberapa ulama kontemporer menganggap hadis yang berkembang – yang dijadikan dalil tentang pewajiban sirkumsisi- merupakan hadis yang dha’if (lemah). Seperti hadis dari Ummū ‘Athiyyāh yang di riwayatkan oleh Abū Dā’ūd: “Dari Ummụ ‘Athiyyāh r.a, beliau berkata bahwa ada seorang juru sirkumsisi para wanita di Madinah, Rasul SAW bersabda kepadanya: “Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami"(Abū Dā’ūd). 20 Dalam redaksi hadis lain disebutkan:
Artinya: “Sirkumsisi itu sunnah bagi laki-laki dan perbuatan mulia bagi perempuan”.21 Hadis ini dikategorikan lemah oleh Abû Dâûd sendiri dan diklasifikasikan sebagai hadis mursal, selain itu, hadis ini tidak ditemukan dalam kompilasi hadis
18
M. Ali Hasan, Masa’il Fiqhiyyah al-Hadisah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta: P.T. Rajawali Press, 1996), cet. Ke-1, 179. 19 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wā Adillatuhū, (Damaskus: Daar al-Fikr alIslamî, t.t), juz III, 642. baca juga artikel dari majalah Tempo, (Jakarta), 22 Oktober 2006. 20 Abû Dāūd, Sunān, hadis No. 4587 21 Nasaruddin Umar, “Bias Gender Dalam Pemahaman Agama,” dalam Jurnal Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1997), edisi 03.
6
lain, hadis ini hanya terdapat dalam Sunan Abū Dāwud saja.22 Oleh banyak kalangan Muslîm, hadis ini dikategorikan rendah kredibilitasnya. Sayyīd Sabiq, penulis buku Fiqh al-Sunnah, menyatakan semua hadis berkaitan dengan sirkumsisi perempuan tidak ada yang otentik.23 Pendapat ulama dan tokoh Islam lainnya adalah Muhammad Sayyid Tantawi, Syaikh Besar Al-Azhar di Mesir, mengatakan praktik sirkumsisi perempuan tidak Islami. Menurut mantan syeikh al-Azhar Kairo, Mahmud Syaltut,24 hadis yang dijadikan hujjah dalam tradisi sirkumsisi perempuan itu tidak jelas atau tidak sahih. Pendapat ini diamini juga oleh Syekh Abbās, Rektor Institut Muslim, Paris. Senada dengan pendapat ini, Dr Yusuf Qardhawi, Syaikh al-Hanooti dan Mufti Ontario, Kanada, Syaikh Mahmud Kuttŷ, sepakat bahwa sirkumsisi perempuan itu tidak thabīt atau sahih dari nash sebagaimana thabīt-nya hukum sirkumsisi bagi lelaki.25 Jika ada nash-nash mengenai sirkumsisi perempuan, semuanya tidak shahih dan tidak boleh dijadikan hukum, karena dalil tersebut tidak lebih dari sekedar akomodasi produk ijtihad yang tertuang dalam disiplin fiqh. Fiqh mengakomodasinya lewat kaidah “Melukai anggota tubuh makhluk hidup atau manusia (seperti sirkumsisi) diperbolehkan apabila ada kemaslahatan yang diperoleh”.26 Selain perlu diteliti lebih dalam lagi permasalahan teks-teks agama (teksteks fiqh/pemahaman dalam kitab kuning),27 teori kesehatan juga tidak mengakui sirkumsisi perempuan sesuai dengan etika kesehatan. Karena, metode sirkumsisi perempuan tidak ada dalam dunia medis, kecuali sirkumsisi laki-laki yang secara medis terbukti memiliki nilai positif, apalagi, teknik pelaksanaannya terdapat dalam kurikulum etika kesehatan. Berbeda dengan sirkumsisi laki-laki, dimana pelaksanaan juga dikuatkan oleh dalil agama, teknik pelaksanaan sirkumsisi perempuan tidak pernah diajarkan dalam pendidikan kesehatan juga tidak ditemukan manfaatnya secara medis. Tidak adanya standar dan prosedur tetap tentang sirkumsisi perempuan secara 22
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender,
42. 23
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz I, 36. Muhammad Syaltut, al-Fatawa, jil. III, cet. Ke-3, 302. 25 Kunjungi situs www.Islam-online.com 26 Muhammad Syaltūt, al-Fatawā,... 302. 27 Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning”, dalam Mansour Fakih et.al., Membincang Feminisme, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000). 24
7
medis, membuat tenaga kesehatan dalam prakteknya, biasanya berdasar pada praktek seniornya saja. Dan lebih sering bertanya atau mengamati praktek sirkumsisi yang dilakukan oleh dukun/tukang sunat tradisional di daerah setempat, baik secara simbolik maupun dengan insisi (pengirisan) serta eksisi (pemotongan) klitoris. Padahal menurut psikoseksual Amerika, Masters and Jonhson, sebagian besar pusat orgasme wanita bersumber dari klitoris. Karena klitoris sebagai pusat rangsangan yang memberi dampak besar terhadap kepuasan dan kenikmatan seksual, dan orgasme.28 Selain dari itu, bidan juga kerap melakukan praktek sirkumsisi perempuan sesuai kemauan/pesanan orang tua si anak (misalnya harus ditusuk atau dipotong sesuatu dari organ si anak sampai keluar darah dan lain-lain).29 Hal yang demikian, tidak terlepas dari paham/kepercayaan realitas soial masyarakat dan kalangan medis tentang kewajiban menyirkumsisi perempuan. Praktek seperti ini salah satunya terdapat di Yayasan Assalam Bandung (YAB) yang mewajibkan praktek sirkumsisi perempuan, sunatan massal setiap tahun dilaksanakan pada bulan Maulid Nabi Muhammad SAW.30 Praktek sirkumsisi perempuan sampai sekarang masih mendapat legitimasi dari sebagian budaya dan agama dibeberapa negara. Meskipun sedari dulu,31 praktek ini sudah mendapat tantangan dan tuntutan penghapusan dari berbagai lembaga dunia, antara lain WHO, LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak dalam penuntutan kebebasan hak-hak wanita.32 WHO secara konsisten menyampaikan bahwa sirkumsisi perempuan dalam bentuk apapun tidak boleh 28
Budiman Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peranan Perempuan Dalam Masyarakat, (Jakarta: P.T. Gramedia, 1982), 13. baca juga Graham Masterton, Menikmati Kepuasan Sejati, terj (KDT, PT. Kentindo Publisher, 2003) cet. Ke-4, 275. 29 “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”, artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/html 30 Tradisi sirkumsisi perempuan secara massal di YAB dimulai sejak tahun 1950, dan pada tahun 1980, YAB bekerja sama dengan Rumah Sakit Islam Sadikin, Bandung, Jawa Barat untuk mengadakan sirkumsisi perempuan secara massal hingga sekarang. Baca “Pro Kontra Khitan Perempuan,” Pikiran Rakyat, (Bandung), 24 Mei 2003. Lukman Hakim, “Khitan Perempuan Dalam Sebuah Tradisi dan Syari’at Agama,” Makalah pada seminar sehari, “Khitan Perempuan” di aula SD Assalam tanggal 16 Mei 2003, 1. 31 Sri Mulyani, “Khitan Bagi Perempuan Antara Tuntunan Agama dan HAM,” Suara Karya, (Jakarta), 12 Juli 2003. 32 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama.., 41.
8
dilakukan di manapun oleh tenaga kesehatan, termasuk rumah sakit. Karena, berdasar pada etika kesehatan yang menyatakan, bahwa mutilasi pada organ tubuh manusia yang tidak perlu, tidak boleh di lakukan oleh tenaga medis. Melihat fenomena praktek sirkumsisi perempuan di Indonesia yang semakin marak, bukan hanya dilakukan oleh dukun tradisional namun juga sudah menjalar ke rumah sakit yang pelakunya melibatkan dokter, bidan dan tenaga medis. Ternyata, menggugah Departemen Kesehatan Republik Indonesia (depkes RI) pada tahun 2006 untuk menerbitkan surat edaran yang berisi pelarangan tindakan medikalisasi sirkumsisi perempuan. Depkes menggugat tatanan budaya dan tradisi yang memberikan jalan berlangsungnya praktek sirkumsisi yang dinilai merugikan organ seksualitas kaum perempuan karena tidak sesuai dengan etika medis. Namun anjuran depkes atau tenaga kesehatan yang melarang tindakan medikalisasi sirkumsisi perempuan pada tahun 2006 lalu, tidak hanya mengejutkan masyarakat namun, juga menyulut kontroversi antara tokoh agama (khususnya MUI) dan kalangan kesehatan. Apakah benar ritual sirkumsisi perempuan berdasar dari nash-nash agama? atau hanya suatu budaya pra-Islam yang akhirnya dikategorikan sebagai bagian dari ajaran Islam? dan mengapa ahli kesehatan melarang tindakan medikalisasi sirkumsisi perempuan? apakah titik sentral yang menjadi polemik dan perdebatan antara tokoh agama dan kesehatan? Berangkat dari narasi dan pertanyaan di atas penulis tertarik mengangkat tema tersebut kedalam sebuah skripsi dengan judul “Sirkumsisi Perempuan Perspektif Hadis dan Ahli Kesehatan (WHO)”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal yang dijadikan dasar pelakasanaan penelitian ini, yaitu: 1.
Bagaimana hadis tentang sirkumsisi perempuan?
2.
Bagaimana kualitas hadis sierkumsisi perempuan?
3.
Mengapa sirkumsisi merupakan anjuran dari para ulama?
4.
Bagaimana pendapat ulama kontemporer?
9
5.
Bagaimanakah status sirkumsisi perempuan menurut hadis?
6.
Kenapa sirkumsisi perempuan dilarang oleh ahli kesehatan(WHO)?
7.
kenapa masih banyak praktek / prosedur sirkumsisi?
8.
Apa yang menjadi perdebatan sirkumsisi perempuan antara muhaddisin dan ahli kesehatan (WHO)?
9.
Apakah yang menjadikan ahli kesehatan (WHO) melarang sirkumsisi perempuan? Melihat banayknya pertanyaan-pertanyaan tentang sirkumsisi penulis
membatasi pada pembahasan ini yaitu menelusuri status sirkumsisi perempuan persfektif hadis/argumentasi ulama, mencari titik pelarangan sirkumsisi perempuan menurut ahli kesehatan (WHO), bagaimana sejarah sirkumsisi perempuan / prosedurnya. Pembatasan ini adalah untuk tidak meluasnya pembahasan tentang sirkumsisi perempuan. Agar lebih sfesifik lagi, penulis merumuskan pembahasan: 1. Apa status sirkmsisi perempuan perspektif hadis dan argumentasi ulama? 2. Dimana letak kontroversi yang diperdebatkan antara Ulama hadis dengan Ahli kesehatan (WHO) word health organizazion?
C. Kajian Pustaka Melalui penelusuran kepustakaan kebeberapa tempat, penulis mendapati penelitian tentang, Khitan dalam Perspektif Hadis. Zakiyah, Khitan dalam Perspektif Hadis. (Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syahida Jakarta 2005) Dalam skripsi tersebut di ungkap hal-hal yang menjelaskan Khitan dalam hadis-hadis Rasulullah dan membahas hadis-hadis yang berbicara tentang Khitan perspektif hadis, disini berbeda dengan penulis yasng ingin jelaskan tentang kontropersi menurut hadis dan kesehatan. Fiqh khitan perempuan. Dr Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh khitan perempuan (al-Mughni pres. Cet ke-2 Jakarta 2006) Di dalam buku ini menjelaskan tentang pendapat ulama kontemporer dan juga pendapat ulama fiqh 4 mazhab, serta bagaimana hukum khitan perempuan dalam pandangan Islam.
10
Khitan perempuan. Jamaluddin, Khitan Perempuan, (skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah, dibawah bimbingan Dr.Ibu Huzaimah, tahun 2001), skripsi ini menjelaskan tentang hukum sirkumsisi perempuan.
Oleh
karena itu, penulis mengambil tema mengenai sirkumsisi perempuan, studi analisis kritis sirkumsisi perempuan perspektif hadis dan ahli kesehatan (who), pembahasan yang dikaji tentunya berbeda dari fokus karya-karya di atas. Disini menulis akan menganalisa kenapa sirkumsisi dilarang oleh ahli kesehtan (who), di lain sisi menurut hadis / ulama tidak ada pelarangan sirkumsisi bagi perempuan.
D. Metode Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data Sumber data digunakan adalah sumber data yang bersifat primer dan sekunder. Sumber data primer adalah, kitab abû dâ’ûd, kitab sahih bukhari muslim, kitab al-baihaqî, dan ijtihad ulama, dan masih banyak kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan penulis, namun tidak penulis cantumkan disini, segaimana kebijakan ahli kesehatan tentang sirkumsisi perempuan. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan.33 Antara lain; etika/teori kesehatan, pendapat ahli kesehatan, dan literatur-literatur yang terkait materi. Untuk mendapatkan gambaran praktek sirkumsisi dari perspektif agama dan kesehatan, maka metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode library research (pengumpulan data melalui studi kepustakaan) yaitu, mencari informasi/data, melalui analisis dan konsep pemikiran para ahli yang termuat di buku, karya ilmiah, dan artikel yang relevansi dengan judul.34 2. Metode Pembahasan a. Secara Historis Yaitu dengan mengumpulkan data-data dari sejarah pertama kali sirkumsisi dilaksakan.
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992),. 51. Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), cet. Ke-3, 63. Lihat juga Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: P.T. Garamedia Pustaka Utama, 1991), 110-112. 34
11
b. Secara Sosiologis Yaitu dengan mengambil data-data dari budaya atau kultur sirkumsisi. Berdasarkan referensi yang ada, penulis dalam pembahasan skripsi ini berpijak pada metode pelaporan atau penulisan, yaitu melalui pengumpulan data baik primer maupun sekunder lalu diteliti dan dianalisa kemudian diambil kesimpulan. 3. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Centre for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujan untuk: 1. Mengetahui status sirkumsisi perempuan. 2. Mengetahui alasan pelarangan sirkumsisi perempuan menurut kesehatan. 3. Mengetahui titik kontroversi yang diperdebatkan tokoh agama dan kesehatan tentang praktek sirkumsisi perempuan. Manfaat Penelitian 2. Manfaat Teoretis Penulis
harapkan
bermanfaat
secara
teoritis
sebagai
aset
pengembangan khazanah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, agama, praktisi agama, tenaga kesehatan, dan terutama bagi perempuan secara umum. Disamping, berguna bagi penulis sebagai tugas akhir pada progam studi tafsīr hadis. 3. Manfaat Praktis a. Diharapkan dapat memberikan kejelasan bagaimana praktek sirkumsisi perempuan serta dampaknya bagi kesehatan perempuan.
12
b. Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja yang berkepentingan dalam sirkumsisi perempuan. c. Dapat memberikan kejelasan status sirkumsisi perempuan dari perspektif agama, dan teori kesehatan.
F. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi menjadi lima bab yang didahului dengan kata pengantar, daftar isi dan diakhiri dengan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan skripsi ini yang dibagi ke dalam lima (4) bab, perinciannya sebagai berikut: Pada BAB I, pendahuluan, membahas latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat (teoritis dan praktis), metode penelitian, serta teknik dan sistematika penulisan, ini penulis cantumkan kedalam bab satu, karena ini merupakan suatu pengantar, untuk mempermudah bagi pembaca. Kemudian ,Bab II pengertian sirkumsisi perempuan dan sirkumsisi perempuan menurut ahli kesehatan(WHO). Menurut bahasa arab dan devinisi teori kesehatan, sejarah sirkumsisi, serta kontrofersi devinisi sirkumsisi, pendapat sejarah awal sirkumsisi dalam Islam dan diluar Islam (ajaran Yahudi dan Kristen). Klasifikasi sirkumsisi perempuan menurut ahli kesehatan, prosedur sirkumsisi perempuan menurut ahli kesehatan(WHO, dan hak seksualitas perempuan, tinjauan umum sirkumsisi perempuan menurut Islam dan manurut ahli kesehatan (WHO). Ini penulis cantumkan kedalam bab dua. Dimana sirkumsisi menurut bahasa arab yaitu memotong dan menurut kesehatan yaitu memotong ujung klitoris atau memotong kulit yang menutupi klitoris. Bab III, Sirkumsisi perempuan persfektif hadis serta kualitas hadis tersebut, pemahaman ulama terhadap hadis tersebut, hadis sirkumsisi dan penolakan Ahli Kesehatan (WHO), kontekstualisasi hadis sirkumsisi perempuan menurut ulama kontemporer dan refleksi akhir menurut filosofis. Bab IV, Penutup ini merupakan suatu jawaban yang menjawab dari peruusan masalah sirkumsisi perempuan.
13
BAB II PENGERTIAN SIRKUMSISI PEREMPUAN, SEJARAH SIRKUMSISI DAN PENGERTIAN SIRKUMSISI MENURUT AHLI KESEHATAN (WHO) WORD HEALTH ORGANIZAZION
A. Pengertian Sirkumsisi 1. Sirkumsisi Perspektif Bahsa Arab: Memotong Dalam kamus al-Munjîd,35 sirkumsisi menurut bahasa (etimologi) berasal – yang merupakan isim masdâr dari kata kerja - ﺧﱳ-yang artinya
dari -
memotong atau potongan sesuatu. Dalam Kamus al-Munawîr,36 sirkumsisi diartikan dengan makna memotong, seperti dalam perkataan – dari kata
–
–
ﻗﺘﻊ ﻗﻠﻔﺘﻪ:
– kata sirkumsisi berasal
- yang berarti memotong.
Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islâm,37 sirkumsisi dengan pengertian yang sama; memotong. Dalam kamus Lisân al-’Arâb,38 kata sirkumsisi berasal dari kata kerja
bentuk isîm atau kata .39 Seseorang yang disirkumsisi
bendanya adalah khitân dan khitânah disebut
dan kata
ditujukan untuk sirkumsisi kepada laki-laki,
sedangkan sirkumsisi terhadap perempuan disebut
. Dan, kata
ﺧﺘﲔadalah
sirkumsisi secara umum yang digunakan terhadap laki-laki dan perempuan. Sirkumsisi menurut terminologi atau istilah adalah pemotongan sebagian dari organ kelamin laki-laki dan perempuan. Untuk laki-laki pelaksanaan sirkumsisi hampir sama di semua tempat, yaitu dengan memotong kulit yang menutupi kepala penis.40 Bagi perempuan berbeda di setiap tempat, ada yang 35
Luis Ma’lûf, Kamus al-Munjîd, (Beirut: al-Maktabah al-Katolikiyah, 1908), 169. Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: t.p, 1984), 348. 37 Abdul Azis Dahlan et al., Editor, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. Ke-2, 923-925. 38 Ibn Mandhûr al-Afriqî, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1994), juz 13, 137. 39 Ahmad Warson Munawîr, Kamus al-Munawîr, 349. 40 Penis terdiri atas glans penis, corono penis, dan corpus penis. Galan Penis merupakan bagian kepala penis yang berkulit tipis. bagian ini tertutup oleh selubung yang disebut preputium 36
14
sebatas memotong sebagian dari klitoris atau seluruh klitoris,41 ada juga yang memotong sebagian atau seluruh labia minora,42 bahkan, ada juga yang memotong labia mayora43 lalu menjahit kedua sisinya, yang disisakan hanyalah lobang kecil sebesar jari kelingking, sebagai tempat keluarnya air kencing dan darah menstruasi. Praktek ini dikenal dengan nama infibulasi di daerah benua
(kulup). Preputium berfungsi melindungi glans penis saat masih kanak-kanak. Namun bila preputium sulit dibuka akan menyebabkan tumpukan kotoran saat remaja. Lemak tersebut dihasilkan oleh kelenjar tyson yang aktivitasnya meningkat pada masa pubertas. Tumpukan lemak merupakan sumber pertumbuhan bakteri yang dapat menimbulkan radang dan penyakit sekitar glans penis. Tindakan sirkumsisi dilakukan untuk membuang sebagian selubung penutup penis. Secara medis, tindakan sirkumsisi bermanfaat membuat kulit glans penis menjadi lebih tebal dan tak mudah tertular penyakit. Namun, kepekaan dan kelembutannya menjadi berkurang. Corona penis merupakan bagian leher yang berada di antara kepala dan batang penis. Corpus penis berisi satu pipa kecil untuk saluran kemih atau sperma dan dua pipa besar untuk pembuluh darah yang memungkinkan penis ereksi saat gairah seks terpacu. Rabaan, sentuhan, bau-bauan, penglihatan dan pendengaran dapat memacu ereksi. Baca Maria Dwikarya, Menjaga Organ Intim (Penyakit dan Penanggulangannya), (Jakarta: P.T. Kawan Pustaka, 2004), cet. Ke-1, 3-5, lihat Tim Penyusun Buklet Kesehatan Reproduksi PATH Indonesia, Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: PATH Indonesia bekerja sama dengan The William Gates Jr. Foundation & Nike, INC, t.th), 25-26. 41 Klitoris terletak di bagian atas vagina, di atas lubang saluran urine (air kencing), di bawah lipatan labia minora yang melintasi bagian atas klitoris yang menutupi dan melindungi klitoris. Ukuran klitoris antara 4-10 mm, namun ukurannya berbeda pada setiap wanita, tetapi umumnya seukuran biji kacang polong; dan akan membesar ketika mendapat rangsangan seksual sampai dua kali lipat. Klitoris sangat sensitif karena memiliki banyak ujung saraf sensoris (saraf perasa). Rangsangan, sentuhan, dan rabaan pada organ ini mampu membuat wanita ereksi/terangsang dan mengirim sinyal-sinyal saraf ke otot vagina untuk berkontraksi dalam proses orgasme (orgasme clitoral). Baca Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri Pandangan Islam dan Medis, (Bandung: P.T. Remaja rosdaKarya, 2000), cet. Ke-6, 141-142, dan buku lainnya; Derek Llewellyn-Jones M.D., Wanita dan Masalahnya, (Surabaya: Usaha Nasional, t.th), 14-16, dan lihat Wimpie Pangkahila, Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual, (Jakarta: P.T. Intisari Mediatama, 1999), cet. Ke-2, 5. 42 Labia minora atau bibir kecil adalah dua bingkai atau lipatan kulit yang kecil, tipis, halus, lembut, agak basah, berwarna merah jambu. Fungsinya adalah sebagai pintu penutup yang membatasi serambi vagina. Pada bagian atas, labia minora ini terbelah menjadi dua lipatan, yang satu melintasi sebelah atas klitoris dan yang satu melewati sebelah bawahnya yang menyatu untuk membentuk Fourchette, yang selalu robek ketika melahirkan anak. Di sebelah bawah dan dalam bibir ini terdapat kelenjar bartholin yang mengeluarkan zat pelumas/lendir. Di bawah bibir ini, terdapat bagian berupa spons yang berisi darah, terutama pada perangsangan seksual. Perangsangan akan menyebabkannya menjadi besar karena terisi oleh darah dan terbukanya lobang vagina. Pembesaran ini akan menyebabkan penyempitan ruang vagina dan akan menjepit penis yang memasuki vagina sehingga meningkatkan kenikmatan bersenggama. Dalam usia masa subur, labia minora ini tersembunyi di balik labia mayora yang membesar, tetapi pada kanakkanak dan wanita berusia lanjut labia minora ini tampak lebih jelas karena labia mayora-nya relatif kecil. Baca Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri Pandangan Islam dan Medis, 140, dan Derek Llewellyn-Jones M.D., Wanita dan Masalahnya, 14, dan jua Maria Dwikarya, Menjaga Organ Intim (Penyakit dan Penanggulangannya, 10, lihat juga Wimpie Pangkahila, Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual, 5. 43 Labia mayora atau bibir besar adalah dua lipatan kulit tebal yang terletak di kiri kanan serambi vagina, yang berfungsi sebagai bantal pelindung. Pada orang dewasa labia ini berambut dan mempunyai kelenjar yang memberikan bau khas. Dalam keadaan normal, lonjong mengecil ke bawah seperti garis vertikal terisi oleh jaringan lemak bertemu di tengah, merupakan celah sepanjang 6-8 cm. Di sebelah muka atas, berakhir di bukit venus (mons veberis) yang ditumbuhi rambut. Di sebelah bawah belakang, dihubungkan oleh kulit yang diberi nama parineum, yang membatasi vagina dan dubur/anus. Lih. dr. Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri Pandangan Islâm dan Medis, 140, dan Derek Llewellyn-Jones M.D., Wanita dan Masalahnya, . 13, dan Maria Dwikarya, Menjaga Organ Intim(Penyakit dan Penanggulangannya, 9, lihat jua dr. Wimpie Pangkahila, Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual, 5.
15
Afrika,44 sedangkan di daerah Sudan dikenal dengan sebutan “sirkumsisi pharaonic” (sirkumsisi Fir’aûn), bagi orang-orang Mesir tipe sirkumsisi infibulasi lebih dikenal dengan sebutan“sirkumsisi orang-orang Sudan”. Tetapi, secara umum/global tipe ini disebut dengan infibulasi. Dalam kamus Lisan al-‘Arab, sirkumsisi adalah bagian yang dipotong dari kulit penis laki-laki dan bagian organ dari vagina/klitoris perempuan.45 Ragam Pendapat Devinisi Sirkumsisi Secara terminologis (istilah) ulama mendefinisikan sebagai berikut: 1. Imam al-Mawardi, sirkumsisi pada laki-laki adalah memotong kulup atau kulit yang menutupi kepala penis, pada perempuan adalah dengan mebuang bagian yang berada diatas farji (lobang vagina) atau organ klitoris.46 2. Menurut Ibn Hajar al-Asqalanî, sirkumsisi pada laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi kepala khasyfah (kepala penis), sedangkan bagi perempuan dilakukan dengan cara memotong organ bagian atas dari vagina (klitoris), yang terletak diatas lobang senggama, yang berbentuk seperti biji kurma atau jengger ayam”.47 3. an-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslîm menulis, sirkumsisi bagi lakilaki adalah memotong seluruh kulup yang menutupi kepala penis sehingga terbuka.48 4. Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menulis, “Sirkumsisi laki-laki adalah pemotongan kulit yang menutupi khasyfah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing dan menambah kenikmatan
44
Pembahasan yang paling awal tentang Infibulasi ditemukan dalam tulisan-tulisan sejarawan Pietro Bimbo yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1551 atau 1552 M. Lebih lengkap lihat Anne Cloudsley, Women of Omdurmen, Life, Love and the Cult of Virginity, (London: Ethnographica 1983), 111, lihat jua Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islâm dan Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. Ke1, 194-197. 45 Ibn Mandhûr al-Afriqi, Lisân Al-‘Arab, 138, dan lih. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 925. 46 Ibn Hajar al-Asqolanî, Fath al-Barî fi Syarh Sahîh al-Bukharî, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), juz XI, 530. lihat juga buku, Lihat juga, fiqh khitan perempuan karangan Litfu Fathullâh, (al-Mughnî center press, 2006). 47 Ibn Hajar al-Asqolanî, Fath al-Barî fi Syarh Sahih al-Bukharî 530. 48 Syamsuddîn, Pendidikan Kelamin Dalam Islam, (Semarang: Ramadani, 1997), 57.
16
jima’ (setubuh). Sedang untuk perempuan adalah dengan memotong bagian atas dari vaginanya (klitoris). sirkumsisi ini merupakan tradisi kuno (sunnah qadimah)”.49 5. Prof. Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya “al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuhû”
menjelaskan:
“Sirkumsisi
pada
perempuan
ialah
memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada bagian atas farji atau kulit klitoris. Dianjurkan agar tidak berlebihan, artinya tidak boleh memotong jengger yang terletak pada bagian paling atas dari farji, demi tercapainya kesempurnaan kenikmatan pada waktu bersenggama”.50 Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa sirkumsisi perempuan adalah tindakan yang memotong, mengiris atau menghilangkan sebagian organ genital bagian luar perempuan, yakni klitoris atau kulit yang berada diatas klitoris atau tudung klitoris. Jadi, secara umum sirkumsisi perempuan adalah pemotongan atau memotong atau menghilangkan bagian klitoris atau kulit diatas klitoris perempuan.
2. Definisi Menurut Ahli Kesehatan (WHO) Istilah sirkumsisi atau genital cutting adalah pemotongan alat kelamin atau praktek kuno yang dipraktekkan oleh berbagai masyarakat di seluruh dunia untuk alasan-alasan sosio-kultural, dan hingga saat ini masih terus berlangsung. Sirkumsisi perempuan di Indonesia mengacu pada sirkumsisi lak-laki, yaitu memotong ujung klitoris atau memotong kulit yang menutupi klitoris. Istilah secara internasionalnya adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC). Istilah circumsicion berarti “cutting around” (memotong melingkar), secara spesifik menunjuk pada prosedur pemotongan alat kelamin laki-laki. Istilah genital mutilation lebih dekat pada pengertian damaging (perusakan). Istilah ini 49
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnâh, (Kairo: Dar al-Fikr, 1987), juz I, 36. Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuhū, (Damaskus: Daar al-Fikr alIslami), Jilid I, 356. Lihat juga fikh khitan perempuan, karangan Lutfi Fathullâh,. (al-Mughni center press, 2006). 50
17
dianggap lebih bermakna politis dan seringkali digunakan sebagai alat advokasi oleh aktivis hak-hak perempuan. Tetapi, WHO juga menggunakan istilah FGM. Penggunaan istilah ini masih seringkali diperdebatkan, antara istilah genital cutting, genital mutilation atau circumsicion seringkali dipertukarkan dan diperdebatkan. Namun, Genital Cutting (pemotongan organ kelamin perempuan bagian
luar)
merupakan
istilah
yang
dianggap
paling
netral
karena
mengindikasikan prosedur pemotongan genital yang bersifat umum, adil, dan kondusif, baik secara medis maupun non-medis, kepada laki-laki dan perempuan.51 Definisi sirkumsisi perempuan atau FGM secara spesifik didefinisikan WHO adalah: “Sirkumsisi perempuan adalah semua tindakan atau prosedur yang meliputi pengangkatan sebagian atau seluruh dari organ genital eksternal perempuan (klitoris, labia minora, labia mayora, dan vulva) atau bentuk perlukaan lain terhadap organ genital perempuan dengan alasan budaya, mitos, agama atau alasan medis lainnya.”52 Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sirkumsisi atau pemotongan dengan bentuk apapun, sedikit atau banyak, baik yang hanya mengiris, mengupas atau memotong, asalkan melakukan perlukaan pada organ genital perempuan bagian luar dikategorikan sebagai sirkumsisi atau FGM yang dilarang. B. Sejarah Sirkumsisi Perempuan: Dari Simbol ke Dogma 1. Sirkumsisi Pra-Islam: Simbol kesucian Wanita Peradaban-peradaban masa lampau sarat dengan intimidasi yang menginfirioritas-kan kaum perempuan dibawah superioritas kaum laki-laki.53 Bermula dari sejarah Yunani Kuno yang menempatkan perempuan sebagai tahanan istana, sedangkan kalangan bawahnya memperlakukan perempuan sebagai dagangan
51
“Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”, artikel diakses pada 8 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/. Lihat juga Population Reference Bureau, Abandoning Female Genital Cutting: Prevalence, Attitudes, and Effort to end, the Practices, (Amerika, tp, 2000). 52 “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”, dari artikel diakses pada 8 Mei 2008 http://pdpersi.co.id/ 53 Abdul Moqsit Ghozali dkk. Tubuh Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Jakarta: Rahima, 2002), cet. Ke-1, 103-104.
18
yang diperjual-belikan. Sebelum kawin perempuan berada dibawah kuasa ayahnya, setelah menikah berada ditangan suami. Kekuasaan suami ini mutlak, termasuk menjual, mengusir, memukul, menganiaya bahkan membunuhnya. Fakta tersebut terus berlangsung hingga abad ke-6 Masehi. Di masyarakat Hindu, praabad ke-7 Masehi seringkali menjadikan wanita sebagai sesajen bagi para dewa. Hak hidup isteri berakhir saat suaminya meninggal: istri harus dibakar hiduphidup pada saat mayat suaminya dibakar. Ajaran Budha, memastikan perempuan selalu tunduk kepada laki-laki bahkan seorang ibu mesti tunduk kepada anak lakilakinya. Jika istri mandul maka ia akan diceraikan begitu saja, sebab, perempuan diperlukan hanya untuk melahirkan. Perempuan digambarkan sebagai makhluk jahat, kotor dan dipergunakan sebagai alat saja.54 Dalam peradaban Cina, terdapat petuah-petuah yang tidak memanusiakan perempuan. Ajaran Yahudi menuduh perempuan sebagai sumber laknat dan fitnah karena Hawa menjadi penyebab Adam terusir dari surga. Dan anak perempuan boleh dijual jika si ayah tidak mempunyai anak laki-laki. Tradisi Nasrani tidak jauh berbeda, dalam Konsili yang diadakan pada abad ke-5 Masehi dinyatakan, bahwa perempuan tidak memiliki ruh yang suci. Selanjutnya, pada abad ke-6 Masehi Konsili menyimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki.55 Menurut ahli sejarah, perlakuan kekerasan dan anggapan perempuan sebagai kaum lemah, pelayan, yang hak dan kewajiban juga eksistensinya ditentukan oleh kaum laki-laki dan sebagainya. Sejak dahulu sangat berpengaruh terhadap perlakuan sosial-budaya terhadap perempuan, dan di masa selanjutnya produk budaya tersebut dipasarkan kepada perempuan lewat salah satu tradsisi yaitu sirkumsisi perempuan. Menyingkap sejarah awal sirkumsisi perempuan, asal-usulnya belum diketahui secara pasti, tetapi dari catatan-catatan sejarah membuktikan bahwa
54
Jeanne Becher, Perempuan, Agama, dan Seksualitas Studi Tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, (Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 2004), cet. Ke-2, 214. 55 Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’ân. (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-II, 296-297.
19
praktek tersebut telah dimulai sebelum Islam.56 Sirkumsisi perempuan bisa dipandang dari dua perspektif yaitu; budaya dan agama. Hal ini, tidak lepas dari asal-usulnya yang ternyata mengindikasikan nilai budaya lebih dahulu mengemuka ketimbang klaim agama. Tradisi sirkumsisi perempuan pada masyarakat Mesir Kuno misalnya tertera dari lukisan tembok Saqqara yang ditemukan di makam Ankh-Mahor dari Dinasti VI Old Kingdom (2350 SM). Bandingkan dengan tradisi sirkumsisi yang pertama tercatat dalam Alkitab pada masa Abraham (kurang lebih 1900 SM). Ritual sirkumsisi telah dikenal qabilah (suku) Arab pra-Islam, seperti yang disebut oleh Flavius Yosephus, sejahrawan Yahudi dari abad I (pertama) Masehi.57 Menurut sejarah, dalam upaya mencegah atau mengontrol seksualitas perempuan, pada jaman Romawi kuno, bangsawan-bangsawan Yunani tempo dulu,58 memasangkan cincin terbuat dari besi yang ditusukkan melalui bibir vagina kepada budak perempuan untuk mencegah kehamilan; pada abad pertengahan di Inggris, perempuan menggunakan sabuk kesucian (chastity belt) yang terbuat dari besi untuk mencegah persetubuhan selama ditinggalkan suami; di jaman Mesir Kuno, penemuan Mummi perempuan yang diperkirakan berasal dari abad ke-16 SM, menurut ahli arkeologi dan antropologi telah dilakukan pemotongan dan penjahitan kelamin akibat penyunatan pada jaman Firaun yang disebut sirkumsisi pharaonic; atau terdapat tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak organ kelamin perempuan).59 Pada jaman Tsar Rusia, Inggris, Perancis dan Amerika pada abad ke-19, catatan menunjukkan terjadinya praktek
56
Hasan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan, Obstetri dan Ginekologi Dalam Tinjauan Islam (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-2, 89. 57 Bambang Noorsena, “Khitan dalam Perspektif Kristen: Latar Belakang Yahudi dan Paralelisasinya dengan Islam”, dalam artikel “Khitan: Antara Budaya dan Agama”, diakses pada 10 September 2008 dari http://savindievoice.wordpress.com/2008/08/09/khitan-antara-budayadan-agama/ 58 Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhû, (Beirut; Dar al-Fikr, 1994), juz.II, 31. 59 Asriati Jamil, Sunat Perempuan Dalam Islam: Sebuah Analisis Jender, dalam Refleks: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, 2001) vol.3, no.2, , 53
20
pembuangan klitoris dimasa itu. Di Inggris dan Amerika, sirkumsisi dianggap sebagai “obat” terhadap sejumlah penyakit psikologis.60 Selain diperkirakan penyirkumsisian perempuan pertama kali terjadi di era Mesir Kuno,61 diyakini juga praktek sirkumsisi ini merupakan situs remaja orang Afrika yang sudah tua usianya, yang kemudian disebarkan ke daerah Mesir melalui cara difusi (penyebaran). Diperkirakan, praktek ini sudah dikenal baik pada masa pra-Islam, terutama dilembah Nil, yaitu Arabia, Sudan, Mesir dan Ethiopia juga daerah-daerah tepi Laut Merah.62 Namun, seiring berjalannya waktu praktek tersebut masih bertahan meskipun dibeberapa daerah/tempat lain berangsur hilang. Penyirkumsisian ini telah dipraktekkan oleh agama Kristen, Katolik, Protestan, Koptik, dan Animisme. Di Mesir dan Sudan umat Muslim dan Kristen,63 mempraktekkan sirkumsisi perempuan ini.64
60
Hosken, Fran P. The Hosken Report; Genital and Sexual Mutilation of Females. 4th rev. ed. Lexington (Mass.), Women’s International Network News, 1994. 61 Pernyataan dari Aetius, seorang dokter kerajaan Byzantium, pada masa pertengahan (abad ke-4 Masehi) menyatakan; “Pada beberapa orang perempuan, disamping klitorisnya semakin tumbuh besar serta menjadi tidak pantas dan memalukan, klitoris tersebut juga akan tergosokgosok secara terus menerus oleh pakaiannya, sehingga membangkitkan dan merangsang gairah mereka untuk melakukan persetubuhan. Ketika melihat ukuran yang bertambah besar tersebut, orang-orang Mesir berusaha untuk memotongnya, terutama ketika anak-anak perempuan itu sudah siap menikah. Operasinya dilakukan seperti berikut ini: “Mereka mendudukkan anak perempuan tersebut pada sebuah tempat duduk, lalu seorang lelaki berdiri disamping anak perempuan tersebut, meletakkan lengan bawahnya dibawah paha dan pantat anak perempuan tersebut, lalu kemudian memegangi kaki-kaki, tangan dan seluruh tubuhnya. Orang yang melakukan operasi, berdiri didepan, mencengkram klitorisnya dengan tang yang bermulut lebar, menarik klitoris tersebut dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memotongnya dengan gigi gunting tang tadi.” Pernyataan lain ditambahkan oleh Ambrosius, seorang dokter pada masa Grego-Roma yang menyatakan, “Selain itu, orang-orang Mesir menyunat anak laki-laki pda usia 14 tahun dan anak perempuan mereka juga pada usia yang sama, karena jelas, sejak usia itu, nafsu laki-laki mulai membara dan menstruasi perempuan mulai datang.” Dikutip dari Otto Meinardus, Christian Egypt: Faith and Life, 324-325. lihat juga Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 196. 62 Lihat Hassan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan, Obstetri Dan Ginekologi Dalam Tinjauan Islam, (Jakarta: Rosdakarya, 1996), sebagaimana dikutip oleh Asriati Jamil, Sunat Perempuan Dalam Islam: Sebuah Analisis Jender, dalam Refleks: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat,. 53 63 Orang-orang Kristen Koptik di Mesir percaya bahwa praktek sirkumsisi perempuan itu tersebar dikalangan mereka karena menangnya orang-orang yang melakukannya, yaitu orangorang Yahudi. Lih. Otto Meinardus, Christian Egypt: Faith and Life, 327. 64 Dior Diop, “Tackling the Problem.” Dalam Health, 26 April-2 Mei 1993, 685.
21
2. Sejarah Sirkumsisi perempuan di Asia (Indonesia). Sejarah sirkumsisi di Asia menurut Ahli Etnografis, Wilken (1847-1891), menunjukkan bahwa praktek sirkumsisi telah ditemukan oleh bangsa-bangsa pengembara, yakni bangsa Semit, Hamit dan Hamitoid di Asia Barat Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan, Malaysia juga Indonesia. Di Indonesia sirkumsisi perempuan adalah kebiasaan yang muncul seiring masuknya Islam. Di Nusantara sirkumsisi laki-laki sudah ada sebelum Islam datang,65 sudah dikenal sejak jaman Majapahit, terbukti dengan penemuan yang ada di Museum Batavia, dimana kepala zakar laki-laki sudah disirkumsisi. Di Jawa Barat, suku Badui (Sunda asli) juga sudah mengenal sirkumsisi yang dianggap sebagai bagian dari kepercayaan mereka sejak para leluhurnya.66 Dan perayaan sirkumsisi dibeberapa daerah sejak dahulu kala, juga menunjukkan bahwa budaya sirkumsisi sudah dikenal sejak pra-islam. Budaya sirkumsisi pada perempuan juga diperkirakan bersamaan dengan munculnya budaya sirkumsisi pada laki-laki.
a. Sirkumsisi Dalam Islam Dalam masyarakat Muslim, praktek sirkumsisi dikaitkan dengan millah (syariat) Nabi Ibrâhîm yang dikenal sebagai bapak para Nabi (Abû al-Anbiyâ’), yang kemudian diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta segenap pemeluknya untuk mengikuti syariat Nabi Ibrahim tersebut. Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menganjurkan kepada Nabi SAW untuk mengikuti syariat Ibrâhîm diantaranya; surat al-Nisâ’ ayat 125, Ali ‘Imrân ayat 95, dan al-Nahl ayat 123. Tetapi diantara ayat-ayat tersebut yang paling sering dijadikan dalil untuk mengikuti perintah sirkumsisi adalah Surat al-Nahl ayat 123 yang berbunyi:
65
Ahmad Ramali, Peraturan-peraturan Untuk Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam, (Jakarta: Balai Pustaka, 1968), 69-70. 66 Mintarja W. Riki, Peranan Sunat Dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda, (Jakarta: Pustaka Nasional, 1994), 55.
22
Artinya: “Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrâhîm seorang yang hanîf” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. ( Q.S al-Nahl: 123). Selain tradisi sirkumsisi yang diserap langsung dari tradisi Ibrâhîm, ada beberapa tradisi lain yang dimasukkan dalam ajaran Islam seperti Haji (surat AliImrân ayat 97) dan Ibadah Qurbân (surat al-Hajj ayat 34). Hadis tentang pelaksanaan sirkumsisi Nabi Ibrahim diriwayatkan oleh Abu Hurairah, berikut ini:
67
(
).
Artinya: “Nabi Ibrâhîm AS, kekasih tuhan yang Maha Pengasih melakukan syari’at Islam setelah umurnya melampaui 80 tahun, dan ia melaksanakan sirkumsisi dengan Qadūm.” (H.R Bukhari). Dalam redaksi lain disebutkan:
) . 68
(
:
Artinya: “Menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’îd memberitahukan Mughîrah bin Abdirrahmân al-Quraisîy dari Abi Zannâd dari Abî Hurairah r.a. bersabda Rasûl SAW: “Ibrâhîm berkhitan pada usia 80 tahun dengan kampak.” (H.R Bukhari). Kata-kata dengan Qadûm dalam hadis tersebut, mengundang perdebatan dikalangan Ulama. Ada yang mengatakan
tanpa tasydid, berarti salah satu
nama tempat di daerah Syam/Syria. Menurut pendapat ini, sirkumsisi Ibrâhîm
67
Hadis ini juga terdapat dalam Imam Muslîm, Sahîh al-Muslîm, dan al-Baihaqî, alSunân al-kubrâ, jilid 8, 325. 68 Abâ Abdillâh bin Isma’îl al-Bukharî, Sahih Bukharî, (Beirut: Maktabah al-Asiriyah, 1997), juz II, 139.
23
dilaksanakan di daerah Qadûm, Syam. Sementara ulama lain menanggapi dengan tasydîd, menunjuk pada alat yang dipakai oleh tukang kayu, yaitu kampak. Jadi, menurut pendapat terakhir Ibrâhîm disirkumsisi dengan memakai kampak.69 Terlepas dari pendapat dua golongan diatas, yang jelas, dari titik itulah tradisi dan pensyariatan sirkumsisi dimulai dalam Islam. Menurut Alwi Shihab dalam Islam Inklusif,70 pelaksanaan sirkumsisi Nabi Ibrahim merupakan simbol dan pertanda ikatan perjanjian suci (mitsaq) antara beliau dengan Tuhan Allah SWT. Sirkumsisi Ibrâhîm tersebut jua merupakan cikal-bakal ajaran sirkumsisi dalam Yahudi dan Kristen.
b. Sirkumsisi Dalam Yahudi dan Kristen Menurut doktrin Yahudi, sirkumsisi adalah suatu sekramen, suatu tanda atau cap.71 Bagi Kristen, pemotongan dan pembuangan kulit penis adalah lambang pembuangan dosa, dan darah yang keluar menunjukkan bahwa perdamaian hanya bisa didapat dengan darah Yesus Kristus, suatu ‘cap kebenaran dari pada iman’72 Sirkumsisi adalah lambang hidup baru bagi orang beriman, pertanda hati yang sudah bersirkumsisi73 Untuk jama’at perjanjian baru, tradisi sirkumsisi diganti dengan upacara pembabtisan, setelah Yesus Kristus disalip, hukum sirkumsisi dihapuskan74 Dalam Perjanjian Lama, sirkumsisi menggunakan istilah teologis ‘B’rit Millah’ (bahasa Ibrani yang berarti perjanjian sirkumsisi). Perjanjian antara Allah dan umat-Nya yang mula-mula diwahyukan kepada Ibrahîm.
69
Ibn Qayyîm al-Jauziyah, Tuhfah al-Maududdî bi Ahkâm al-Maulūd, diterjemahkan oleh Fauzi Bahreisy, Mengantar Menuju Dewasa, (Jakarta: Serambi, 2001), cet. Ke. 1, 125. 70 Alwi Shihâb, Islâm Inklusif, (Bandung: Mizan, 2001), cet. Ke-9, 275-276. 71 Chr. Barth, Theologia Perdjandjian Lama, (Bandung: P.D Grafika Propinsi Djawa Barat, 1970), jil. I. 72 Roma: 4:11. 73 B.J. Boland dan P.S. Naipospos, Tafsiran Alkitab Ulangan 10:16, 30: 6, Jeremia 4: 9; Roma 2:29. 40 F. L. Bakker, Sedjarah Keradjaan Allah Perdjandjian Lama, (Jakarta: BPK, 1965), jil.1, cet. Ke-4, 97. Lihat juga D.C. Mulder, Pembimbing Kedalam Perdjangdjian Lama, (Jakarta: BPK, 1970), cet. Ke-2, 50.
24
Perjanjian lama Genesis atau kejadian yang berbunyi: “Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang. Perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki diantara kamu harus disirkumsisi, haruslah dikerat kulit kelaminmu dan itu menjadi tanda perjanjian suci antara aku dan kamu.”75 Menurut sejarah Yahudi, saat perintah sirkumsisi turun kepada Ibrahîm, beliau sudah berusia 99 tahun (dalam Islam Ibrahîm berusia 80 tahun), dan sudah mempunyai seorang anak bernama Ismael (Ismail) dari hambanya Hagar (Siti Hajar). Selanjutnya perintah untuk menyirkumsisi tersebut diwajibkan bagi setiap anak Israel pada umur 8 (delapan) hari, Yesus juga disirkumsisi pada umur 8 hari.76 Perintah ini dilaksanakan Abrahâm kepada Ishak,77 peristiwa ini adalah sebagai tanda kasih Allah kepada umat-Nya.78 Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, pemaknaan orang Yahudi terhadap makna simbolis ini tenggelam oleh fungsinya sebagai identitas bangsa yang dipilih Tuhan. Sirkumsisi akhirnya hanya dipandang sebagai ritual semata. Bahkan sirkumsisi dalam pandangan legalisme Yahudi, menjadi pembeda antara bangsa mereka dengan bangsa lain yang tidak bersirkumsisi (bahkan dianggap sebagai bangsa kafir). Pendangkalan pemaknaan sirkumsisi ini ditentang oleh Nabi Musa serta Yeremia pada masa Perjanjian Lama dan Rasul Paulus pada masa Perjanjian Baru. Dalam penafsiran agamawan kristen (Gereja) masa selanjutnya sangat berebeda dengan tradisi Yahudi masa dulu. Doktrin Kristen menegaskan, bahwa sirkumsisi bukan lagi mengerat/memotong daging kulup manusia, tetapi yang
75
Nasaruddin Umar, Bias Gender Dalam Pemahaman Agama, 120. pasal 10 ayat 11 B.J. Boland dan P.S. Naipospos, Tafsiran Alkitab Lukas, Kejadian 17:12 (Jakarta: BPK, 1970), 58. 77 Menurut kepercayaan Kristen, anak Ibrâhîm yang terpilih atau yang dipilih Tuhan untuk dikurbankan dan di sirkumsisi adalah Ishak. Sedangkan menurut kepercayaan Islam, anak yang dikorbankan Ibrâhîm adalah Isma’il. Lihat Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gebder Wanita Dalam Alquran, Hadis, dan Tafsir, terj. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), cet. Ke-1, 107-108. Analisis mendalam tentang tradisi Islam abad pertengahan tentang sejarah Ibrâhîm, Isma’îl dalam tafsir Islam bisa dilihat dalam karya Reuven Firestone, Journey in Holy Land: The Evolution of the Abraham-Ishmael Legend in Islamic Exergeis, (Albany: State University of New York Press, 1990). 78 B.J. Boland dan P.S. Naipospos, Tafsiran Alkitab Lukas, (Kejadian 17:7; Ulangan 10:15) (Jakarta: BPK, 1970). 76
25
lebih penting adalah sirkumsisi hati yang tercermin dalam ketaatan, bukan sikap berontak melawan Allah79 Rasul Paulus juga mengambil sikap seperti ini ketika memutuskan untuk tidak menyunat Titus. Karena perjanjian sirkumsisi dalam perspektif iman Kristen tinggal makna eksotesisnya, yaitu penyucian tubuh yang tidak ada kaitannya dengan keselamatan kekal. Sirkumsisi yang dimaksud bukan sirkumsisi yang dilakukan manusia, tapi sirkumsisi oleh Yesus Kristus, yang terdiri dari penanggalan tubuh yang berdosa menuju kebersihan80 Penganut Kristen Koptik dan Yahudi memahami bahwa sirkumsisi bukan hanya proses bedah kulit secara fisik semata, tetapi merujuk pada esensi kesucian. Bagi pemeluk Yahudi, Berit81 (bahasa Yahudi yang berarti Penyirkumsisian) juga dilambangkan sebagai pembuka tabir kebenaran dalam ikatan perjanjian suci yang diikat antara Allah dan Nabi Ibrâhîm, yang kemudian diikuti oleh penganutnya. Berikutnya, mereka mempertautkan antara pelaksanaan sirkumsisi dan izin pembacaan kitab suci Taurat. Hal ini menandakan bahwa sirkumsisi ibarat ‘Stempel Tuhan’ atau ‘ID Card’ - jika saya boleh mengatakan demikian- berupa izin memasuki suatu tempat suci atau Kalam Ilahi dalam rangka perjumpaan dengan Tuhan, sampai ia mendapat ‘ID Card’ dengan melaksanakan sirkumsisi tersebut.82 Bagi umat Kristiani, sirkumsisi tidak ubahnya seperti pembabtisan yang dilaksanakan bagi balita-balita Kristen. Artinya, sirkumsisi sama dengan mencelupkan anak-anak balita kedalam air pembabtisan yang bermakna telah mensucikan anak-anak tersebut sekaligus resmi diakui sebagai pemeluk Kristen. Tardisi sirkumsisi juga diberlakukan kepada perempuan Yahudi pada masa Ibrâhîm. Tujuannya sama, mengikat perjanjian suci antara Tuhan dan hambanya, karena agama Ibrâhîm diturunkan kepada laki-laki dan perempuan. Perintah sirkumsisi kepada perempuan ini juga diyakini termasuk salah satu dari 10 (sepuluh) kutukan dalam kitab Talmūd atau perjanjian lama kepada wanita.83 Diantaranya adalah: "Perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih 79
Tafsiran Alkitab Lukas, B.J. Boland dan P.S. Naipospos; Ulangan 10:16. Kolose 2:11-12. 81 Jeane Becher, Perempuan, Agama, dan Seksualitas: Studi Tentang Pengaruh Ajaran Agama Terhadap Perempuan, 10. 82 Alwi Shihab, Islam Inklusif, 275-276. 83 F. L. Bakker, Sedjarah Keradjaan Allah Perdjandjian Lama, 30-31. 80
26
lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi" dan "Perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepada suaminya".84 Doktrin seperti ini memang dialami oleh perempuan secara umum, dimana mereka masih terkungkung dalam budaya malu dan tuntutan budaya sosial (‘budaya maskulin’) untuk meredam seksual mereka, nan jauh dari relasi seksual yang setara. Namun doktrin tersebut tidak sepenuhnya benar untuk diyakini apalagi untuk dipaksakan sebagai pelegalitas-an penindasan pada perempuan.85 Karena, tidak ada bukti medis yang menyatakan bahwa perempuan memiliki keagressifan seksual yang berlebihan hingga tak terkendali. Namun
doktrin-doktrin
agama
Yahudi
diatas,
sudah
terlanjur
mempengaruhi sebagian besar masyarakat, meyakini kodrat perempuan memiliki nafsu seksual yang berlebihan. Apabila nafsu perempuan itu tidak dikebiri, dikhawatirkan dia akan melakukan tindakan-tindakan asusila yang dapat membuat malu dirinya, keluarganya bahkan agamanya. Maka, cara yang disepakati masyarakat untuk mereduksi kecendrungan seksual perempuan adalah dengan menyirkumsisi perempuan,
tindakan ini ditujukan untuk “mengamputasi”
sebagian dari organ seksualnya. Dengan demikian, pembuangan klitoris adalah dimaksudkan untuk pengontrolan syahwat perempuan.86 Dalam sejarah Yahudi Kristen atau Islam tertulis bahwa perempuan pertama yang disirkumsisi adalah Siti Hajar. Konon, ketika Siti Sarah memberikan izin kepada Nabi Ibrâhîm untuk menikahi Siti Hajar, kemudian Siti Hajar hamil. Namun, ternyata Siti Sarah cemburu kepada Siti Hajar dan bersumpah untuk memotong tiga bagian organ tubuh Siti Hajar untuk menebus kecemburuannya.87 Ibrahim kemudian menyarankan untuk menindik dua telinga dan menyirkumsisi Siti Hajar. Semenjak peristiwa itu tradisi sirkumsisi
84
Nasaruddin umar, Bias Gender Dalam Pemahaman Agama 120. Budi Santi, “Membongkar Tabu Seksualitas Perempuan” Jurnal Perempuan, No. 38, cet. Ke-1, (Februari, 2004), 130. 86 Alwi Shihab, Islam Inklusif, 276. 87 Ibn Qayyîm al-Jauziyah, Tuhfah al-Maududdi bi Ahkam al-Maulūd, diterjemahkan oleh Fauzi Bahreisy, Mengantar Menuju Dewasa, (Jakarta, Serambi, 2001), cet. Ke. 1. 155. 85
27
perempuan bermula dan dipercaya berawal dari Siti Hajar.88 Walaupun sejarah menemukan perempuan pertama yang disirkumsisi adalah Siti Hajar, namun tidak ditemukan bukti berapa usia Siti Hajar pada saat disirkumsisi dan dengan alat sejenis apa, tidak diketahui secara pasti.89 Secara keseluruhan, interpretasi ajaran Kristen sekarang ini, memandang sirkumsisi bukan sebagai alasan maupun jawaban teologis, tapi sebagai ritual budaya atau alasan kesehatan. Dengan begitu, kristen mencoba menghindari pemahaman tekstual Yahudi tempo dulu yang dianggap tidak relevan lagi pada saat sekarang ini.
C. Faktor Timbulnya Praktek Sirkumsisi Perempuan Ada banyak alasan yang ditebar untuk membenarkan praktek sirkusmsisi perempuan.90 Namun, secara sederhana dapat dikategorikan ada 5 faktor yang mempengaruhi praktek sirkumsisi perempuan,91 yaitu; 1. Mitos 2. Mitos Seksual 3. Budaya Sosial 4. Kebersihan 5. Doktrin Agama a. Mitos Pemotongan organ kelamin perempuan atau sirkumsisi perempuan di Afrika, Timur Tengah, dan termasuk di Indonesia adalah suatu fenomena yang
88
Ibn Katsir, Qisash al-Anbiyâ’, editor Musthafa Abdul Wahîd, (Kairo: Dar al-Kutub alHadis, 1968), 202. Lihat Abdul Wahhâb Al-Najjar, Qisash al-Anbiyâ’, (Kairo: al-Halabi, 1966), 94. Disebutkan bahwa perempuan pertama yang disirkumsisi adalah wanita Mesir, yaitu Siti Hajar, karena budaya ini umum berlaku di bantaran sungai Nîl. 89 A. Suyutî Anshari NST, “Khitan Wanita Sebuah Study Normatif Dari Perspektif Islām,” pada acara Rountable Discussion Female Circumcision di PBNU, 16 april 2003. 90 Haifaa A. Jawad, The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach, (London: Macmillan, 1998), 56-57. 91 WHO membedakan faktor pelaksanaan sirkusmsisi menjadi 5 macam, yaitu: Psikoseksual, Sosiologi, Hygiene/estetik, Mitos, dan Agama. Lihat artikel Depkes, “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”. Artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/
28
dilatarbelakangi pemahaman dari mitos-mitos.92 Salah satu mitos menyebut, perempuan adalah sumber godaan syahwat bagi kaum laki-laki, masyarakat meyakini jika bagian klitoris wanita di sirkumsisi, maka dapat menurunkan kadar libido perempuan.93 Dengan demikian, perempuan tidak lagi memiliki nafsu birahi yang berlebihan untuk menggoda kaum laki-laki, karena, tugas perempuan hanyalah sekedar melayani seksual laki-laki94 tanpa perlu menikmatinya. Sepertinya sudah menjadi kesepakatan dalam masyarakat, bahwa kenikmatan seksual dianggap tabu untuk dirasakan oleh perempuan, karena perempuan masih terus direndahkan dan inferioritas dari laki-laki.95 Mitos yang menjelma jadi kepercayaan tersebut berkembang luas di masyarakat, kemudian mengkultuskan tradisi sirkumsisi perempuan sebagai ritual keniscayaan. Meskipun, tradisi tersebut harus dibayar mahal oleh perempuan karena kehilangan organ kelamin maupun kenikmatan seksualnya, tetapi bagi masyarakat ini merupakan cara yang praktis dan efisien demi menjamin status kefeminiman dan kesuciannya. b. Faktor Seksual Mitos-mitos berbau seksual yang dipercaya masyarakat mengamini mitos seksual dimana perempuan tidak berhak menikmati kepuasan seksualnya. Kepuasan seksual perempuan hanyalah sebagai pelengkap kepuasan seksual lakilaki. Dari hal ini, berarti perempuan tidak perlu dirangsang atau bergairah dalam senggama, apalagi menikmati orgasme. Oleh karenanya, praktek sirkumsisi yang memotong organ klitoris yang sejatinya merupakan salah satu penyumbang terbesar syaraf sensorik (saraf perasa) perempuan yang paling sensitif menjadi sebuah pembenaran sosial-budaya bahkan oleh agama. Sekaligus tindakan sirkumsisi berarti memindahkan daerah erogen (rangsangan) dari klitoris kebagian liang vagina saja menjadi sesuatu hal yang pasti. Hal ini dimaksud, agar perempuan mampu lebih lama memberikan kepuasan seksual kepada laki-laki dan
92
Gerda Sengers, Women and Demons: Cult Healing in Islamic Egypt, (Leiden & Boston: Brill, 2003), 229. 93 Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), terj, cet. Ke-1, . 186. Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung, Mizan, 2001), cet-9, .276. 94 A.D. Xehopol, History of The Rumanian people in Trajan Dacia (di Rumania), (Iassiy, 1888), volime. 1, 105. 95 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University,.. lih. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender, 39.
29
semakin memupus hasrat perempuan untuk mendapatkan orgasme.96 Mitos seksual yang mendasari praktek infibulation di daerah Afrika, menunjukkan perempuan sebagai pelayan laki-laki mesti siap berkorban demi suaminya untuk mempertahankan
kesuciannya
hingga
pernikahan.
Untuk
membuktikan
perempuan itu masih suci hingga pernikahan, dilihat ketika jahitannya masih utuh dimalam pertama. Seperti praktek infibulasi di daerah Sudan, jahitan pada vagina perempuan tersebut hanya boleh dibuka oleh suaminya ketika menjelang malam pertama.97 Mitos yang menganggap perempuan pertamakali bersetubuh mesti merasakan perih dan kesakitan, melegitimasi praktek sirkumsisi dengan sampai menjahit labia mayora tersebut (infibulasi). Darah dan jeritan perempuan pada saat kali pertama bersenggama dianggap melambangkan keperkasaan laki-laki yang telah berhasil menembus jahitan/keperawanan perempuan tersebut. Penjagaan keperawanan sampai menikah kelak,98 sangat bernilai tinggi disemua masyarakat yang mempraktekkannya. Oleh karenanya, menyirkumsisi organ genitalnya untuk mengurangi keagressifan nafsu perempuan menjadi wajib. Selain itu, dasar pemikiran dibalik praktek sirkumsisi perempuan adalah untuk menyenangkan dan memuaskan suami. Pada kasus infibulasi, diperkirakan dengan mengecilkan lobang vagina, kepuasan seksual laki-laki akan semakin maksimal. Sebab itu, komunitas yang memposisikan wanita pada kelas dua, percaya dan berkepentingan melestarikan budaya infibulasi ini.99 Bahkan, sirkumsisi diyakini membantu memuaskan para laki-laki yang berpoligami secara seksual. walaupun terasa aneh, karena hal yang demikian, merupakan
96
Tim Penyusun Buklet Kesehatan Reproduksi PATH Indonesia, . 29. Nasaruddin Umar, Dilemma Seksual Dalam Agama; Implikasi Tradisi Yahudi Kedalam Tradisi Islam, dalam Elga Sarapung, Agama Dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Putaka Harapan, 1999), cet. Ke-1, 119. 98 Diyakini secara luas, terutama di masyarakat-masyarakat yang mendukung praktek sirkumsisi tersebut, bahwa penghilangan sebagian atau seluruh klitoris, yang merupakan titik pusat rangsangan dan kepuasan seksual perempuan, penting untuk melindungi kesucian pra-nikah. Otto Meinardus, Cristian Egypt, Nasaruddin Umar., 334. Selain itu, praktek infibulasi bagi komunitaskomunitas yang bersangkutan dimaksudkan untuk meminimalkan tindak permerkosaan wanita. Salah satu ungkapan orang Sudan “Perempuan Sudan itu seperti sebuah semangka karena tidak ada jalan masuk kedalamnya” membenarkan adanya keyakinan yang demikian. Lihat Anne Cloudsley, Women of Omdurman,.. 117-118. 99 Anne Cloudsley, Women of Omdurman,.116-120. 97
30
penyimpangan ajaran poligami.100 Sirkumsisi selain diharapkan untuk mengurangi libido berlebihan, juga menjaga kesucian dan kesetiaan pada suaminya kelak.101 b. Faktor Budaya Sosial Faktor budaya menjadi alasan kuat pelaksanaan praktek sirkumsisi perempuan. Praktek ini diduga telah dimulai sejak 4000 tahun silam, sebelum kemunculan agama yang terorganisasi.102 Diduga, pada abad ke-II SM, sirkumsisi perempuan sudah menjadi ritual dalam proses perkawinan. Pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika Serikat ditemukan bukti telah dilakukannya praktek clitoridectomy, sebagai bentuk pengobatan terhadap kebiasaan masturbasi yang dilakukan oleh kaum perempuan.103 Pada jaman Romawi, budak-budak perempuan diwajibkan sirkumsisi untuk meninggikan harga jualnya.104 Menurut ahli Antropologi, sirkumsisi yang dilakukan oleh suatu bangsa merupakan cara untuk membedakan (difference) bangsanya dengan bangsa yang lain. Seperti bangsa Sudan, yang cenderung mentato pipi atau memotong salah satu dari gigi mereka sebagai pembeda dari bangsa lain. Praktek sirkumsisi menentukan diterima atau tidak seorang perawan secara sosial ditengah masyarakat. Nama baik dan kemampuan perempuan untuk menjaga kesucian hingga perkawinan mesti dijamin dengan sirkumsisi. Seringkali gadis yang tidak disirkumsisi akan terus di pergunjingkan dan diklaim sebagai perempuan yang bertingkah liar, dan pembawa sial. Akibatnya, gosip-gosip dan cibiran ini nantinya berefek pada ketidak-percayaan diri, yang pada akhirnya, mengurangi kesempatannya untuk bergaul secara luas di masyarakat mungkin juga membuang kesempatannya untuk menikah.105 Budaya ini sangat kuat mempengaruhi sosial, sampai-sampai seorang ibu yang berpendidikan dan modern sekalipun akan menyirkumsisi anak gadisnya demi menjamin ketenangan dan jaminan pernikahannya kelak.
100
Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan,... 186. “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan,” artikel diakses tanggal 3 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/ 102 Otto Meinardus, Christian Egypt: Faith and Life, 333. 103 Asriati Jamil, Sunat Perempuan Dalam Islam: Sebuah Analisis Jender, 53. 104 Olatinko Koso-Thomas, The Circumcision of Women: A Strategy for Education, 17. 105 N. El-Sadawi, The Hidden Face of Eve: Women in Arab World, 35. 101
31
c. Faktor Mitos Kebersihan Merupakan sebuah rahasia umum di kalangan beberapa komunitas bahwa alat kelamin perempuan bagian luar itu kotor, dan juga dianggap jelek.106 Menurut kepercayaan sebagian masyarakat,107 seperti di Gorontalo, Bugis, Makasar, Sumatera, Banten, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Madura menganggap klitoris itu sesuatu yang kotor, titipan syetan, dan sebagai pusat nafsu seksual perempuan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, organ genitalia eksternal/bagian luar perlu dipotong atau dihilangkan untuk mejaga kebersihannya secara fisik atau mistis. Jadi, sirkumsisi dilakukan untuk meningkatkan kebersihan, kesejatian dan bahkan keindahan pada organ kelamin perempuan. d. Faktor Doktrin Agama Di negara-negara yang mempraktekkan sirkumsisi perempuan, praktek tersebut dibenarkan dengan dasar-dasar keagamaan. Bahkan dalam kepaercayaan Yahudi terdapat doktrin keagamaan yang mengindikasikan perempuan memiliki nafsu seksual yang agressif. Legitimasi doktrin kutukan tersebut termaktub dalam kitab Talmud, yang berbunyi: "Perempuan masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi" dan "Perempuan dangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepada suaminya".108 Atas dasar ini, sebagian masyarakat yakin pada dasarnya perempuan itu memiliki nafsu seksual agressif (hyperseksual), makanya harus dikebiri dengan sirkumsisi untuk menstabilkan syahwat perempuan. Dalam masyarakat Islam hampir semua kelompok percaya bahwa sikumsisi itu ditentukan oleh doktrin agama. Bahkan dibeberapa negara dahulunya 106
Di kalangan beberapa komunitas tertentu yang mempraktekkan FGM atau sirkumsisi, ada sebuah keyakinan budaya yang mendalam bahwa organ kelamin yang tidak disirkumsisi itu jelek dan menjijikkan. Sebab itu, jika bagian alat kelamin tersebut dibiarkan tidak disirkumsisi, maka akan tumbuh semakin besar atau menjuntai, mereka takut menjijikkan bagi laki-laki. Untuk itu, teguran-teguran bersifat mengejek sering dilontarkan jika perempuan tersebut tidak mau disirkumsisi. Efua Dorkenoo, Cutting the rose, 34. lih. Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak perempuan, 199. lihat Ibn Hajar al-Asqolani, Fath al-Barri fî Syarh Sahih al-Bukhari, 531. 107 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University, .....10. 108 Nasaruddin Umar, Dilemma Seksual Dalam Agama; Implikasi Tradisi Yahudi Kedalam Tradisi Islam, dalam Elga Sarapung, Agama Dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Harapan, 1999),.
32
seperti Mesir, Somalia, dan Sudan, praktek ini disahkan sebagai salah satu prinsip Islam yang wajib.109 Masyarakat memaklumi sirkumsisi sebagai ritual untuk menolak sihir, atau bagian dari (order) perintah agama, dimana seseorang dituntut untuk mengorbankan sebagian organ tubuhnya sebagai tebusan ketingkat suci demi untuk mendekatkan diri kepada tuhan-Nya. Praktek sirkumsisi perempuan di masyarakat Indonesia, sebagian besar dikaitkan dengan doktrin-doktrin agama-selain budaya atau tradisi sejak leluhur yang menyebut praktek tersebut adalah kewajiban.110 Bermula dari doktrindoktrin generasi terdahulu sampai ke genarasi berikutnya, kemudian dipoles dalam doktrin agama islam dimana salah satu tujuannya dikatakan agar ibadahnya lebih diterima oleh tuhan karena jika belum disirkumsisi berarti masih kotor dan bernajis.
D. Prosedur Sirkumsisi Perempuan menurut Ahli Kesehatan (WHO) Word Health Organizazion dan Hak Seksualitas Pelaksanaan sirkumsisi perempuan berbeda di setiap tempat bahkan negara. Praktek yang familier diistilahkan dengan FGM atau sirkumsisi prempuan ini,111 menurut Elga Sarapung dkk.,112 sangat berbeda dimasing-masing tempat. Di Indonesia, prakteknya ada yang sekedar membasuh ujung klitoris, menusuk dan mencolek ujung klitoris dengan jarum, mencolek dengan kunyit, menggosok dengan batu permata, mengiris sebagian klitoris, bahkan sebagian lain memotong seluruh klitoris.
109
Nasaruddin Umar, (Jakarta: Pustaka Harapan, 1999) 188. Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University,..ibid., lihat artikel Pusdiknakes, “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan,” artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/ 111 Wacana Female Genitale Mutilation termasuk pelaksanaannya disejumlah negara diterangkan secara lengkap oleh Anika Rahman dan Nahid Toubia. Lihat karya mereka di Female Genitale Mutilation: A Guide To Laws And Politicies Worldwide, (London: Zed Books, 2000). 112 Elga Sarapung, dkk., Agama Dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 118. Lihat Tim Penyusun Buklet Kesehatan Reproduksi PATH Indonesia, Kesehatan Reproduksi, 25-26. Lihat juga, fikh khitan perempuan karangan Litfu Fathullah, (alMughni center press, 2006). 110
33
Di beberapa negara seperti Afrika dan Timur Tengah, ada yang memotong sebagian dan seluruh klitoris, memotong sebagian atau seluruh labia minora, terus menjahit labia mayora seluruhnya setelah membuang klitoris dan labia minora, selebihnya hanya menyisakan lobang kecil untuk keluar urine (air kencing) dan menstruasi. Tipe yang terakhir ini terbilang ekstrim dan sadis, tetapi dari data yang ada praktek ini tidak ditemukan di Indonesia.113 Pengklasifikasian srikumsisi masih terjadi perbedaan, diantaranya, adalah: Tipe jenis sirkumsisi perempuan ada 3 (tiga), yaitu:114 1. Sirkumsisi, adalah tipe penyirkumsisian yang paling ringan,115 yang mencakup tindakan memotong kulit penutup klitoris, atau sebagian klitoris. 2. Eksisi, adalah sirkumsisi yang menghilangkan klitoris dan seluruh labia minora atau sebagian labia minora. 3. Infibulasi, adalah bentuk penyirkumsisian yang paling berat dan ekstrim. Terdiri dari tindakan menghilangkan seluruh klitoris, labia minora, dan bagian-bagian lain dai labia mayora. Dua sisi vulva dijahit jadi satu dengan hanya menyisakan lobang kecil sebesar jari kelingking tempat keluar air kencing dan menstruasi. WHO mengklasifikasikan bentuk FGM menjadi 4 (empat) tipe, yaitu:116 1. Clitoridotomy, yaitu eksisi (pengirisan) dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris, yang dikenal juga dengan istilah “hoodectomy” atau ( istilah ‘slang’). 2. Clitoridectomy, yaitu eksisi (pengirisan) sebagian atau total dari klitoris, hingga labia minora, tipe yang lebih ekstensif (luas) dari tipe pertama. 113
Anika Rahman dan Nahid Toubia. Female Genitale Mutilation: A Guide to Laws And Politicies Worldwide, (London: Zed Books, 2000). 114 Sebagian menambahkan beberapa bentuk sirkumsisi selain daftar tersebut, adalah; (1) Infibulasi Sedang, yang terdiri dari beberapa macam cara. Pada satu kasus, klitoris dipotong dan bagian muka labia mayora dikeraskan sehingga mudah untuk dijahit. Dalam kasus lain, labia minora dipotong, bagian dalam labia mayora dibuang dan dijahit dengan menyisakan kltoris yang dimasukkan kedalam secara keseluruhan; (2) penyirkumsisian yang tidak dapat diklasifikasikan, jenis ini meliputi tindakan menggores tutup atas klitoris, memotong tutup tersebut sampai kepada klitoris dan memotong labia minora sampai kepada vagina. Lihat Efua Dorkenoo, Cutting The Rose, Female Genitale Mutilation: The Practice and its Prevention, (London: Minority Rights Publication, 1994), 5-8, lihat juga Asma El-Dareer, Women Why do You Weep? Circumcision and its Consequences, 3-5. 115 Dorkenoo, Cutting The Rose, Female genitale Mutilation, 4. 116 Pusdiknas, “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”, artikel diakses pada 8 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/
34
3. Infibulasi atau Pharaonic Circumcision (sirkumsisi Fir’aun), yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksternal dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva,117 dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil. Ini tipe terberat dari FGC/FGM. 4. Sirkumsisi/FGM Tidak Terklarifikasi, antara lain; menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi (pengupasan) klitoris dan labia minora. Termasuk juga penusukan, pelobangan, pengirisan, penggoresan, pada labia minora atau klitoris, membakar klitoris dan jaringan sekitarnya, menggosok jaringan lubang vagina, memasukkan obat atau bahan tradisional yang bersifat korosif (obat kikis) kedalam vagina agar tergores untuk mengeluarkan darah, dan juga mengencangkan atau menyempitkan vagina. 118 Nahid Toubia, mengkategorikannya menjadi 2 (dua) tipe, yakni:119 1. Clitoridectomy, yaitu menghilangkan sebagian atau seluruh dari alat kelamin luar, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : a. Menghilangkan sebagian atau seluruh klitoris. b. Menghilangkan klitoris dan sebagian bibir kecil vagina (labia minora). 2. Infibulation. Setelah vaginanya dijahit, maka ketika perempuan tersebut menikah dan akan bersenggama (sexual intercouse) maka kulit tersebut dipotong atau dibuka kembali oleh suaminya. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan tipe sirkumsisi perempuan ada 4 macam, yaitu; clitoridectomy, eksisi, infibulasi dan sirkumsisi (secara terklarifikasi atau tidak).
117
Vulva merupakan celah antara dua labia mayora. Celah terbentuk karena labia mayora bagaikan dua bantalan yang letaknya berdampingan. Orang bilang seperti kue pancong. Di dalam celah ini terdapat organ lainnya seperti labia mayora, labia minora, klitoris, vestibulum/lobang urine dan lobang vagina, kelenjar bartolin, vagina/saluran kelamin, uterus/rahim, ovarium/indung telur, dan tuba uterine/saluran telur. Baca Dr. maria Dwikarya, DSKK, Menjaga Organ Intim (Penyakit dan Penanggulangannya, 10. Baca juga dr. Wimpie Pangkahila, Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual, 5. 118 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University. 3. 119 Nahid Toubia, Female Genitale Mutilation: a Call for Global Action, 55.
35
a. Prosedur Praktek Sirkumsisi Perempuan di Timur Tengah, Afrika dan Beberapa Negara Dalam berbagai jenisnya, sirkumsisi perempuan dipraktekkan khususnya di masyarakat Muslim bermazhab Syafi’i. Di Afrika, antara lain adalah Kamerun, Sierra Leone, Ghana, Mauritania, Chad, Mesir Utara, Kenya, Tanzania, Botswana, Mali, Sudan, Somalia, Ethiopia, dan Nigeria. Di Asia, praktek ini umum dilakukan di Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia dan Indonesia. Di Amerika Latin, praktek ini dilakukan di Brasil, Meksiko bagian Timur, dan Peru. Beberapa negara Barat terkena pengaruh praktek ini adalah Inggris, Perancis, Belanda, Swedia, Amerika, Australia, dan Kanada. Kebanyakan di negara barat dipraktekkan oleh imigran dari negara yang biasa melakukannya meskipun undang-undang negara yang bersangkutan sudah melarangnya.120 Sirkumsisi perempuan juga dipraktekkan di Uni Emirat Arab, Yaman Selatan, Bahrain dan Oman, namun tidak biasa dilakukan di Saudi Arabia, Iran, Irak, Yordania, Syiria, Libanon, Maroko, Aljazair, Sudan dan Tunisia.121 Turki, bermazhab Hanafî, tidak mempraktekkannya, begitu juga Afghanistan dan negara Maghribi/Maroko. Di Mesir dahulunya,122 meski hukum Mesir tahun 1959 melarang sirkumsisi perempuan dan organisasi al-Ikhwan al-Muslimun juga menolaknya, tapi praktek itu diam-diam berlangsung di pedesaan, bahkan tipe infibulasi juga dipraktekkan. Operasi dilakukan oleh tukang sunat tradisional yang disebut dayah,123 dengan tidak mempergunakan obat bius sama sekali, meskipun sekarang sudah mulai dilakukan oleh beberapa dokter dan bidan-bidan. Prakteknya meliputi pemotongan beberapa bagian dari seluruh organ kelamin perempuan bagian luar,124 mempergunakan pisau-pisau khusus, beberapa bilah 120
Gerda Sengers, Women and Demons: Cult Healing in Islamic Egypt, 229. Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan., 55. 122 Dale F. Eickelman, The Middle East and Central Asia: An Anthropological Approach, (New Jersey: Prentice Hall, 2002), 179. 123 Dahulu sirkumsisi dilakukan oleh laki-laki bukan perempuan, tapi sekarang sudah banyak dilakukan oleh perempuan. Prakteknya: “Seorang laki-laki berdiri di sebelah seorang gadis untuk memeganginya pada saat tukang sunat/bedah melakukan operasi.”; “Orang yang melakukan operasi tersebut, mempergunakan jari-jarinya untuk dimasukkan ke dalam kemaluan gadis, memegangi klitorisnya, ditarik beberapa kali dari belakang, kemudian setelah klitoris menyembul kedepan baru dipotong dengan silet, pisau, bilah, atau pecahan kaca.” Lihat Otto Meinardus, Crhystian Egypt,.. 333. 124 Untuk mengetahui tulisan tentang pengalaman pribadi yang mengerikan dari perempuan-perempuan yang menjalani sirkumsisi tersebut, lihat N. El-Sadawi, The Hidden Face of Eve: Women in World Arab, (London: Zed Books, 1980), 7-8. 121
36
sembilu, silet, pecahan-pecahan kaca, dan gunting. Jenisnya, berbeda-beda mulai dari clitoridektomy, eksisi, sampai infibulasi. Dalam praktek infibulasi ( setelah dipotong semua klitoris, seluruh labia minora dan menjahit labia mayora yag menyisakan lobang kecil sebesar jari kelingking), kemudian kaki-kaki gadis diikat selama 40 hari untuk memberikan kesempatan penyembuhan dan pembentukan jaringan otot.125 Usia FGC/FGM bervariasi, dari mulai neonatus (baru lahir), anak usia 610 tahun, remaja, hingga dewasa. Di Amerika Serikat dan beberapa Negara barat lain, clitoridotomy lebih banyak dilakukan pada wanita dewasa dibandingkan pada anak-anak. Di sebagian negara Afrika di mana FGM tipe infibulasi banyak dilakukan, tindakan ini dilakukan pada usia antara dua sampai enam tahun. Terkadang upacara atau perayaan dilaksanakan menandai praktek tersebut.126 Pada acara tersebut, gadis memperoleh hadiah-hadiah, perayaan ini juga diharapkan memiliki fungsi sosial – mengindikasikan adanya kemauan dari gadis yang disirkumsisi, untuk secara penuh memasuki komunitas atau budayanya.127 Praktek ini semakin marak dilakukan oleh masyarakat, sehingga, WHO memperkirakan praktek FGM telah dilakukan pada lebih 150 juta gadis diseluruh dunia.128 Penelitian pada tahun 1991 saja di daerah Sudan Utara dilaporkan, bahwa 99 persen perempuan menjalani sirkumsisi; 2,5 persen pemotongan klitoris, 12,5 persen eksisi, dan 85,5 persen menjalani infibulasi.129 Menurut Profesor Doktor Munir Falsi, praktek FGM di Mesir sudah dialami oleh 90 persen wanita Mesir.130 b. Di Indonesia Sirkumsisi perempuan di Indonesia mengacu pada sirkumsisi lak-laki. Praktik perusakan alat kelamin perempuan, memang tidak ditemukan seperti 125
N. El-Sadawi, The Hidden Face of Eve, ... 35 . Lihat juga, fikh khitan perempuan, karangan Litfu Fathullāh, (al-Mughni center press, 2006). 126 Info lebih banyak, lihat A. El-Dareer, Woman, Why do you Deep?.. 23-25. 127 Foundation for Women’s Health, Research and Development (FORWARD), The Information Office, (London, 14 April 1994). 128 “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan,” artikel diakses 6 Juni 2008 dari www.pdpersi.co.id 129 Qrunbum Alin, “The Political Economy of Infibulation” dalam Jurnal for Sudanese Studies, (Sudan: Khartoum University Press, 1991), 10. 130 “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan,” diakses pada 6 Agustus 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/?show=detailnews&kode=1002&tbl=biaswanita
37
praktik FGM di Afrika atau Timur Tengah yang melakukan Infibulasi dan semacamnya. Di Indonesia cenderung sekedar simbolis saja, namun terkadang prakteknya tidak sekadar tindakan simbolis saja, tetapi dengan pemotongan klitoris yang sesungguhnya, baik oleh dukun maupun tenaga kesehatan. Bagi pihak kesehatan, praktek ini dianggap sebagai tindakan di luar prosedur medis atau melanggar akidah medis karena, mengganggu kesehatan organ kelamin/reproduksi perempuan. Seringkali sirkumsisi perempuan sudah termasuk satu paket persalinan bersama dengan tindik telinga di beberapa klinik bersalin bahkan beberapa rumah sakit dan klinik di Jakarta, Surabaya, serta Makasar. Tetapi sekarang ini, lunturnya makna kultural dan tidak adanya relevansi secara medis telah berakibat pada menurunnya praktik pelaksanaan sirkumsisi perempuan di Indonesia. 1). Penelitian Pada tahun 1998, dr. Adik wibowo dkk.131 Melakukan penelitian praktek sirkumsisi perempuan di dua daerah, yaitu Cijeruk dan Jawa Barat. Cijeruk mewakili daerah pedesaan, sedangkan Kemayoran, Jakarta Pusat mewakili daerah perkotaan. Didaerah Cijeruk, ditemukan praktek sirkumsisi perempuan dilakukan 100 persen masyarakatnya, sedangkan di kemayoran dilakukan 96 persen warganya.132 Penelitian Population Council dan menneg P.P di 6 (enam) provinsi, yaitu; Sumatera Barat (Padang, Pariaman), Banten (Serang, Banten), Jawa Timur (Sumenep, Jawa Timur), Sulawesi Selatan (Makasar), Kalimantan Timur,
Kutai Karta Negara, dan Gorontalo.133 Ditemukan bahwa dalam
praktik sirkumsisi dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, dan dokter) selain tukang sunat tradisional, ternyata, menggunakan peralatan seperti jarum, pisau, dan gunting untuk melakukan irisan/insisi (22 persen) dan eksisi/pengupasan (72 persen). 131
“Sunat Perempuan di Indonesia, Pengetahuan dan Sikap Para Tokoh Agama”. Artikel diakses pada 10 Juni 2008 dari http://www.Pkbi-jogja.org.html 132 “Hentikan Medikalisasi Sunat Perempuan”. Artikel dari (Kompas), Rabu, 01 Juni 2005. 133 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University,.., lihat juga Kompas, (Jakarta), Rabu, 01 Juni 2005.
38
Penelitian juga dilakukan oleh Program Kajian Perempuan dari Universitas Indonesia (UI) dan Yayasan Kesehatan Perempuan Atmajaya yang tak jauh berbeda hasilnya. Diungkapkan juga bahwa medikalisasi (terutama oleh bidan) cenderung melakukan sirkumsisi dengan cara yang lebih invasive, yang
berkisar
68-88
persen
kasus,
dengan
insisi/pengirisan
atau
eksisi/pengupasan yang lebih luas dibandingkan dengan yang dilakukan oleh tenaga tradisional ditemukan sekitar 43-67 persen kasus.134 Menurut penelitian Badan Kependudukan Nasional Pada tahun 2003,135 hampir 96 persen dari keluarga Islam melakukan praktek sirkumsisi sebelum anak perempuan menginjak usia 14 tahun, bahkan ritual ini juga dijumpai dibeberapa masyarakat Kristen di Pulau Jawa. Sedangkan di Yayasan Assalam bandung (YAB) setiap tahun diadakan acara penyunatan massal gratis bagi anak-anak perempuan setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW136. 2). Alasan Sirkumsisi Perempuan Di Indonesia a). Mitos b). Warisan Budaya c). Kelamin Perempuan dianggap tidak bersih/kotor d). Kontrol Seksual e). Perintah Agama f). Nafsu wanita sangat agressif/liar, tradisi budaya, doktrin agama, jika tidak disirkumsisi malu kepada masyarakat sekitar dan untuk mematuhi perintah orang tua atau leluhur, status keislaman, dll.137
134
“Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan,” diakses pada 6 Agustus 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/?show=detailnews&kode=1002&tbl=biaswanita 135 “Pro dan Kontra Sunat Genital Terhadap Kaum Perempuan,” artikel diakses pada tanggal 10 September 2008 dari situs http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/2128/ 136 Tradisi sirkumsisi perempuan secara massal di YAB dimulai sejak tahun 1950, dan pada tahun 1980, YAB bekerja sama dengan Rumah Sakit Islam Sadikin, Bandung, Jawa Barat untuk mengadakan sirkumsisi perempuan secara massal sampai sekarang. Baca “Pro Kontra Khitan Perempuan,” Pikiran Rakyat, (Bandung), 24 Mei 2003. Lukman Hakim, “Khitān Perempuan Dalam Sebuah Tradisi dan Syari’ât Agama,” Makalah pada seminar sehari, “Khitan Perempuan” di aula SD Assalam tanggal 16 Mei 2003, 1. 137 Wawancara Pribadi dengan Bidan Helsa dewi, Amd.Keb. di Padang tanggal 15 Mei 2008. dan juga wawancara pribadi dengan Bidan Rahmi Haolongan Amk di jakarta tanggal 30 mei
39
3). Usia Sirkumsisi Perempuan Di Indonesia Di Indonesia sirkumsisi perempuan dilakukan pada anak baru lahir (usia 0) hingga usia18 tahun, tergantung dari budaya setempat.138 a). Di Padang, Sumenep, dan Kutai Kartanegara usia 0 hingga 9 th b). Di Makasar, Bone berusia 5 hingga 9 tahun c). Di Pariaman, Serang, dan Gorontalo berusia 0 hingga 6 tahun d). Di Jawa dan Madura, 70 persen berusia 0 sampai 1 th atau 7-9 th e). Di Kelurahan Ciater, Kec. porong berumur 4 bulan sampai 1 tahun 4). Tenaga Pelaksana Pelaksanaannya juga sangat bervariasi, mulai dari tenaga medis (baik perawat, bidan, dan dokter), maupun tukang sunat, dukun bayi, dan istri kyai (nyai). a). Dokter, dukun dan bidan di Kemayoran Jakarta Pusat b). Bidan. Di Padang dan Padang Pariaman c). Tukang sunat tradisional, di Makasar dan Cijeruk d). Dukun Sunat atau dukun bayi, di Bone dan Cijeruk 5). Peralatan Sirkumsisi Dengan menggunakan alat-alat tradisional (pisau, sembilu, bambu, jarum, kaca, dan kuku) hingga alat modern (gunting, scapula). Pelaksanaan bisa dengan obat bius atau tanpa obat bius.139 a). pisau lipat dan gunting untuk memotong klitoris b). bilah bambu atau pisau lipat untuk mengiris, menggores dan menggosok kelamin c). jarum jahit untuk menusuk klitoris d). tembaga dan kunyit untu diusapkan pada kelamin 6). Ramuan dan Obat Pra-Pasca Sirkumsisi a). Ramuan Tradisional140 (1) daun sirih, 2008, dan Yati Afrit Amk. Di Jakarta pada tanggal 26 Mei 2008. Lihat juga, fiqh khitan perempuan karangan Litfu Fathullāh, (al-Mughnî center press, 2006). 138 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University,.. lihat juga Kompas, (Jakarta), Rabu, 01 Juni 2005. 139 “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan,” artikel diakses tanggal 3 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/html`. 140 Ramuan dan obat-obatan ini dioleskan oleh dukun atau tukang sunat pada alat kelamin perempuan sebelum dan sesudah disirkumsisi.
40
(2) kunyit, (3) minyak goreng, (4) campuran gambir dan daun sirih, (5) kencur, dan jahe. b). Obat Tenaga Kesehatan141 (1) Alkohol (2) Betadin 7). Prosedur Sirkumsisi Perempuan Prosedur sirkumsisi perempuan di Indonesia sering diminimalkan hanya pada tindakan simbolik, namun ada juga pemotongan yang sesungguhnya pada alat kelamin. Dukun bayi di Madura berpendapat bahwa walaupun sedikit, tetap harus ada darah yang keluar dari klitoris atau labia minora. Tradisi sirkumsisi perempuan di Yogyakarta dikenal dengan istilah tetesan, dilakukan oleh dukun bayi dengan cara menempelkan atau menggosokkan kunyit ke klitoris, kemudian kunyit tersebut dipotong sedikit ujungnya, lalu potongan tersebut dibuang ke laut atau dipendam dalam tanah. Di Sulawesi Selatan, sirkumsisi perempuan pada etnis Bugis, di Soppeng (disebut katte), dilakukan dengan cara memotong sedikit klitoris. Sang Dukun (sanro) sebelumnya juga memotong jengger ayam. Kedua potongan tersebut kemudian dimasukkan ke suatu wadah yang berisi parutan kelapa, gula, kayu manis, biji pala, dan cengkih. Sedangkan etnis Makasar (disebut katang) melakukannya dengan cara memotong ujung klitoris menggunakan pisau. Peristiwa ini lebih identik dengan ritualisasi aqil balig perempuan yang dibarengi dengan acara adat.142 Di beberapa daerah, dukun biasanya melakukan dengan cara meletakkan kunyit dibawah klitoris atau diantara labia dan klitoris yang berfungsi sebagai landasan sekaligus Antibiotika. Kemudian pemotongan atau
141
Alkohol dioleskan pada bagian klitoris untuk mematikan rasa sakit pada saat dipotong, sedangkan Betadin digunakan sesudah dipotong, dioleskan pada bagian yang disirkumsisi tersebut. 142 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University,. Lihat juga artikel “Hentikan Medikalisasi Sunat Perempuan”, dari Kompas, (Jakarta), Rabu, 01 Juni 2005. lih juga, fikh khitan perempuan karangan Litfu Fathullah, (al-Mughni Center press, 2006)
41
penggoresan dilakukan dengan menggunakan peralatan seperti silet, pisau atau pecahan gelas, welat (bahasa Jawa: bambu tajam), pemes, atau gunting (biasanya tidak steril sebab alatnya tak pernah diganti dengan yang baru setiap kali selesai menyunat), biasanya praktek tersebut sering tanpa menggunakan obat bius. Praktek penyunatan dengan dukun, biasanya kaki dan tangan si gadis di pegangi oleh beberapa perempuan atau laki-laki; agar si gadis tetap dalam posisi berbaring, kemudian si dukun mulai menyirkumsisi. Di Kecamatan Porong,143 penulis menemukan beberapa kejadian yng berbeda, diantaranya adalah; praktek sirkumsisi biasanya dilakukan tergantung siapa yang menjadi bidan atau dukun yang melahirkan si anak. Jika yang membantu
persalinan
anak
adalah
dukun
tradisional
maka
yang
menyirkumsisi anak juga si dukun (perajih) tersebut, sebaliknya jika yang membantu persalinan tersebut adalah bidan maka yang menyirkumsisi anak perempuan tersebut adalah si bidan. Dalam penyunatan tardisional perajih menggunaka pisau yang berkuran kecil untuk ‘mengkerok’ bagian genital anak perempuan tersebut. Di beberapa daerah lainnya, dilakukan secara simbolis tanpa menyakiti fisik si anak perempuan. Di daerah tertentu di luar Jawa misalnya, ada yang hanya menggunakan batu permata atau sepotong kunyit yang diruncingkan lalu digosok/dioles atau disapukan ke daerah klitoris.144 Sedangkan dibeberapa daerah di Kabupaten Sumatera Utara,145 biasanya sirkumsisi dilakukan hanya sebatas melukai bagian klitoris sedikit tanpa ada jaringan yang dibuang. Namun belakangan di beberapa daerah, sirkumsisi dilakukan dengan cara membuang sebagian dari klitoris.
143
Wawancara dengan Lidya S.E. (Ayong) warga Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong pada tanggal 2 Agustus 2008. 144 “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan,” diakses pada tanggal 6 Agustus 2008 dari http://pusdiknakes.or.id/pdpersi/html, lihat Koran Tempo, pada November 2006. 145 Wawancara dengan dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI, Kadis Kesehatan Kota Medan pada hari Jumat tanggal 24 Agustus 2007, dikutip dari artikel “Belum Ada Sosialisasi Tentang Sunat Perempuan,” diakses 8 Sepetmber 2008 dari http://www.waspada.co.id/berita/Medan/Belum-Ada-Sosialisasi-Tentang-Sunat-Perempuan.html
42
Berikut ini adalah daftar Negara-negara yang melakukan sirkumsisi perempuan beserta tipe-tipenya.146 No 1. 2. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Negara Benin Burkina Faso Cameroon Rep. Afrika Chad Cote d’Ivoire Rep. Cong Djibouti Mesir Eritrea Ethiopia Gambia/Suka Fula/Sarahuli Ghana Guinea Guinea-Bissau Kenya Liberia Mali Mauritania Niger Nigeria Senegal Sierra Leone Somalia Sudan Tanzania Togo Uganda Pantai Gading Gambia Sudan Philipina Indonesia.147
34 35 36 37 38
Malaysia Brunnai Darussalam Australia suku Pitta-Patta wilayah Timur Meksiko dan Brazil Peru suku Conibos, bagian Indian Pano di Timur laut Rusia pada jaman Tsar Inggris Perancis Amerika abad 19 Romawi kuno
39 40 41 42 43
Persentase 50 % 70 % 20 % 50 % 60 % 60 % 5% 90-98 % 97 % 90 % 90 % 60-90 % 15-30 % 70-90 % 50 % 50 % 50-60 % 90-94 % 25 % 20 % 50 % 20 % 80-90 % 98 % 89 % 10 % 12 % 5%
99% 22-72 %
146
Tipe Sirkumsisi Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, Infibulasi Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris, Infibulasi Pemotongan klitoris, Infibulasi, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, Infibulasi, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, Infibulasi minoritas Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris, Infibulasi, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, Clitoridectomy, Infibulasi Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris, Clitoridectomy, Infibulasi Pemotongan klitoris, Clitoridectomy Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris, Clitoridectomy, Infibulasi Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris Infibulasi Pemotongan klitoris, Infibulasi Pemotongan klitoris, Infibulasi Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris, Clitoridectomy Pemotongan klitoris, clitoridectomy Pemotongan klitoris, clitoridectomy Pemotongan klitoris, clitoridectomy, infibulasi Pemotongan klitoris Insisi / pengirisan klitoris (22 persen), eksisi /pengupasan klitoris (72 persen). Pemotongan klitoris Pemotongan klitoris Introsisi, penyobekan vagina dan parineum Introsisi Introsisi dan pemotongan selaput dara dan bibir vagina clitoridectomy clitoridectomy clitoridectomy clitoridectomy Cincin besi ditusukkan pada vagina
Diambil dari berbagai sumber; Hosken, Fran P. The Hosken Report; Genital and Sexual Mutilation of Females. 4th rev. ed. Lexington (Mass.), Women’s International Network News, 1994. Baca juga “Female Genital Mutilation In Africa,” artikel diakses pada tanggal 5 Mei 2008 dari situs http://www.amnesty.org/ailib/intcam/femgen/fgm9html. lihat juga Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 147 Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University,ibid., atau lihat artikel “Hentikan Medikalisasi Sunat Perempuan”, dari Kompas, (Jakarta), Rabu, 01 Juni 2005.
43
E. Tinjauan Umum Budaya Sirkumsisi Perempuan Menurut Islam dan Ahli Kesehatan (WHO) Word Health Organizazion Baru-baru ini, masyarakat dunia termasuk Indonesia disentakkan oleh kontroversi sirkumsisi perempuan. Sirkumsisi perempuan dikatakan tidak berguna bagi kesehatan, menyakitkan dan merugikan, serta sepakat untuk tidak dilakukan oleh tenaga medis. Hal ini, menjadi kontroversi karena ajaran islam dalam paham ahli sunnah wa al-jamâ’ah, yang banyak diamalkan secara terus-menerus oleh umat Islam secara global, termasuk muslim Indonesia, serasa digugat dengan kebijakan pelarangan medis ini. Mengapa tidak? Islam yang dikenal dengan agama yang membawa kebaikan (kemaslahatan), rasional, sesuai dengan naluri kemanusiaan dan menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). Dituduh memiliki dan melegitimasi ajaran sirkumsisi perempuan, yang dianggap kalangan medis dan feminis, sebagai tindakan kekerasan terhadap organ genital eksternal perempuan, diskriminasi jender, pengebirian hak-hak integritas tubuh, hak-hak kesehatan, dan hak-hak seksual perempuan. Benarkah demikian adanya? Untuk mengulas masalah ini secara lebih dalam, penulis mencoba menelaah terlebih dahulu argumentasi ahli kesehatan (who) terhadap sirkumsisi perempuan. Kemudian, pada poin selanjutnya penulis akan mengkaji ulang status sirkumsisi perempuan dari perspektif agama dan jender. Pembudayaan sirkumsisi perempuan sangat memprihatinkan. Karena, tradisi ini sudah menjadi problem global bagi perempuan dan kesehatan di berbagai belahan dunia. Praktek tradisi budaya lokal ini, berasal dari budaya kuno yang sudah sangat tua usianya. Praktek ini dinilai sangat berdampak negatif terhadap perempuan, baik itu segi hak kemanusiaan, kesehatan genital/reproduksi, integritas tubuh, psikologis dan hak seksual perempuan itu sendiri. Oleh karena tindakan tersebut, nyata-nyata menindas dan bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga, banyak kalangan di abad modern ini, menuntut untuk penghapusan tradisi sirkumsisi perempuan tersebut. Penentangan medikalisasi terhadap sirkumsisi perempuan salah-satunya datang dari ahli kesehatan WHO. Menurut WHO, praktek tersebut melanggar HAM karena mengurangi hak kenikmatan seksual, yang berarti juga sudah
44
melanggar hak hidup sehat perempuan. Dengan demikian, sirkumsisi perempuan termasuk bentuk penyiksaan fisik dan psikis sehingga, dimasukkan dalam salah satu bentuk kekerasan pada perempuan. Kalangan feminis menilai, praktek sirkumsisi perempuan bertentangan dengan HAM. Kerena, terkait tekanan erat dengan budaya patriakal yang melestarikan kekerasan dan penderitaan fisik, psikologis serta dampak negatif lain bagi perempuan. Praktek sirkumsisi perempuan di Indonesia juga mendapat tantangan dari ahli kesehatan. Karena, menurut ahli kesehatan sirkumsisi perempuan tidak memiliki landasan ilmiah, dan lebih didasari pada tradisi dan budaya, bukan agama. Dari data penelitian menunjukkan, bahwa sirkumsisi perempuan lebih banyak membawa dampak buruk daripada manfaatnya. Sebab, mendikalisiasi sirkumsisi cenderung ke arah mutilasi organ tubuh/reproduksi yang bertentangan dengan syariat yang berlaku. Selain itu, terjadinya komersialisasi pelayanan sirkumsisi perempuan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Di mana, di beberapa rumah sakit sekarang menyediakan paket persalian, tindik telinga dan sirkumsisi bayi perempuan. Pada tahun 2006 Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI mengeluarkan Surat Edaran tanggal 20 April 2006, melarang medikalisasi sirkumsisi perempuan bagi petugas kesehatan. Kontroversi tidak terelakkan. Walaupun, sejak awal permasalahan ini masih menjadi perdebatan, tapi setelah depkes RI mengeluarkan SK tersebut, perdebatan semakin bergejolak menanggapi masalah ini. Namun, pihak kesehatan menanggapi kritikan tersebut, dengan argumentasi yang sesuai dengan profesi yang mereka jalani. Menurut kesehatan, sirkumsisi yang diakui oleh disiplin ilmu medis hanya, sirkumsisi kepada laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak ada prosedur maupun standarnya. Walau sekarang, tidak jarang tenaga kesehatan terlibat dalam medikalisasi sirkumsisi perempuan bukan berarti, yang demikian itu, didapati dari kurikulum medis. Tindakan tenaga kesehatan yang ikutan melakukan sirkumsisi biasanya, berdasar pada “warisan” seniornya, atau bertanya dan mengamati sirkumsisi yang dilakukan oleh dukun tradisional di daerah setempat, baik secara simbolik maupun dengan insisi dan eksisi.
45
Sirkumsisi yang secara simbolik tidak dipersoalkan oleh kalangan kesehatan. Persoalannya, adalah ketika praktek sirkumsisi perempuan tersebut melibatkan pemotongan organ kelamin perempuan, seperti klitoris. Menurut Direktur Bina Kesehatan Ibu dan Anak Depkes, Siti Hermianti. “Bagaimanapun caranya, sunat perempuan sangat berbahaya karena targetnya memotong klitoris.”148 Karena, klitoris merupakan pusat sensitifitas gairah seksual perempuan. Oleh karenanya, melukai, merusak atau memotong klitoris tidak diijinkan. Tetapi kalau hanya mencuci, mencolek dengan kunyit/batu permata dan lain-lain pada organ tersebut, diijinkan. Namun di Indonesia, biasanya praktek sirkumsisi melibatkan pemotongan atau pengirisan klitoris atau daerah klitoris.149 Tindakan ini, tidak ada indikasi medis yang mendasarinya. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi, klitorisnya sangat merugikan perempuan. Apabila perempuan mengalami kerusakan organ genital, berarti proses reproduksi juga rusak. Dampak secara fisik adalah pada kesehatan organ reproduksi perempuan. Perempuan akan mengalami kesulitan menstruasi, infeksi saluran kemih, dan disfungsi seksual. Dari sejumlah penelitian yang dilakukan oleh ilmu kedokteran, telah membuktikan bahwa sirkumsisi perempuan itu membahayakan dan merusak kesehatan perempuan.150 Praktek sirkumsisi dengan pemotongan yang berlebihan pada organ seksual akan menyebabkan perempuan kesulitan menikmati dan mengalami orgasme. Bahkan, terkumpul sejumlah data yang menyatakan, banyak isteri yang tidak pernah mengalami orgasme sama sekali akibat sirkumsisi.151 Jika ada sebagian kalangan, seperti MUI, meminta depkes tidak melarang sirkumsisi perempuan tetapi, melatih tenaga medis yang terampil agar masyarakat 148
“Pemerintah Larang Sunat pada Perempuan,” dari koran Tempo, (Jakarta), 4 Oktober 2006, lihat artikel “Dokter dan Bidan Dianggap Melakukan Kesalahan Prosedur Khitan,” di akses 25 Oktober 2008 dari http://www.prakarsa-rakyat.org/ 149 “Achmad Sukarsono,” “Indonesia Melarang Dokter Melakukan Penyunatan Terhadap Wanita,” artikel diakses pada 12 Juli 2008 dari http://www.indonesia.faithfreedom.org/forum/ 150 Efua Dorkenoo, Cutting The Rose, Female Genitale Mutilation: The Practice and its Prevention, h. 37, dan lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, h. 203-204. 151 Lebih lanjut baca Nani Zulminarni, Menguak Tabu: Pengalaman Lapangan PPSW Menyoal Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan, h. 57, baca artikel “Pro Kontra Khitan Perempuan”, Pikiran Rakyat, (Bandung), 23 Mei 2003.
46
tidak menggunakan tenaga dukun. Maka persoalannya, adalah banyaknya sirkumsisi perempuan yang klitorisnya terpotong dalam pelaksaannya yang terjadi di lapangan selama ini.152 Mungkin, anjuran MUI untuk tetap melakukan medikalisasi terhadap sirkumsisi perempuan, dimaksudkan untuk meminimalkan risiko kesehatan, dibandingkan jika dikerjakan oleh dukun bayi atau tukang sunat tanpa pengetahuan kesehatan yang memadai.153 Namun, menurut pihak kesehatan, bentuk medikalisasi atau keterlibatan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan sirkumsisi perempuan, secara langsung atau tidak, tindakan tersebut serta-merta membenarkan praktek sirkumsisi perempuan tersebut. Ahli kesehatan secara konsisten dan jelas menyampaikan bahwa sirkumsisi dalam bentuk apa pun, tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan di mana pun, termasuk rumah sakit atau prasarana kesehatana lainnya. Karena etika medis yang menyatakan “Tindakan mutilasi organ tubuh manusia jika tidak perlu, tidak boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan”. Praktek sirkumsisi membahayakan bagi perempuan. Walaupun, tindakan medikalisasi dilakukan oleh pihak kesehatan, tidak berarti menghilangkan bahaya yang ditimbulkannya. Bahkan, medikalisasi sirkumsisi perempuan oleh pihak kesehatan, cenderung akan mempertahankan tradisi ini di masyarakat dimana, masyarakat akan beranggapan adanya dukungan dan legalitas dari provider kesehatan terhadap tradisi budaya ini. Oleh karena itu, pihak kesehatan membuat kebijakan pelarangan bentuk medikalisasi sirkumsisi perempuan terutama oleh pihak tenaga kesehatan. Demi untuk menghindari praktek sirkumsisi yang salah dalam pemahaman masyarakat, maupun bagi kalangan kesehatan sendiri.
152
“R. Adhi Kusumaputra”, “Penelitian di Enam Kota, 90 Persen Perempuan Dikhitan,” diakses 10 Oktober 2008 dari https://www.kompas.com/htm. 153 Sumber: majalah Tempo, (Jakarta), 22 Oktober 2006.
47
BAB III HADIS SIRKUMSISI PEREMPUAN DAN PENOLAKAN AHLI KESEHATAN (WHO) WORD HEALTH ORGANIZAZION
A. Hadis-Hadis Tentang Sirkumsisi Perempuan dan Kualitasnya Walaupun tidak ditemukan hadis tentang cara sirkumsisi perempuan, namun terdapat satu atau dua hadis yang mengisyaratkan cara khitan perempuan. Diantaranya hadis Ummu Atiyyah yang diriwayatkan dengan dua versi. 1. Hadis pertama
: .
، 154
.
: ،
:
Artinya: “Dari Ummu ‘Athiyah r.a, beliau berkata bahwa ada seorang juru sirkumsisi para wanita Madinah, Rasul SAW mendatanginya dan bersabda kepadanya:”Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami.” Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW. bersabda: “Potong ujungnya saja karena hal itu membuat wajah perempuan berseri dan bagian kenikmatan suami.” a. Periwayat dan Sanad Hadis: Hadis di atas diriwayatkan oleh Abû Dâ’ûd dari Sulaiman ibn Abd al-Rahman dan Abd al-Wahhab dari Marwan dari Muhammad ibn Hassan dari Abd al-Malik ibn 'Umayir dari Ummu Atiyyah . sebagai hadis da'if dengan beberapa alasan: Pertama, Muhammad ibn Hassan adalah perawi yang tidak dikenal, dan diriwayatkan melalui jalan lain yang mursal dan tidak kuat. Kesimpulannya, hadis ini adalah da'if?
154
Hadis ini dikeluarkan oleh Abû Dâ’ûd, Sunan Abû Dâ’ûd, nomor hadis 5271. Dari media program CD, al-Maktabah al-Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah. Lihat Abû Dâ’ûd, Sunan, hadis no. 4587
48
2. Hadis kedua
، (
)
، ،
،
،
al-Dahhak diceritakan bahwa di kota Madinah terdapat seorang perempuan tukang sunatyang bernama Ummu A-tiyyah, lalu Rasulullah saw memperingatkannya dengan bersabda: Wahai Ummu 'Atiyyah, sunatilah, tapi jangan berlebihan (ketika memotong), karena sesungguhnya hal itu kbih mencerahkan wajah dan kbih disukai oleh suami. Hadis ini sama dengan yang pertama di atas, diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Baihaqi dalam Sunan al-kubra dan al-saghir, Abu Nu'aim dalam al-Ma'rifah, al-Tabarani dalam al-Mu'jam al-Kabir dan Ibn Adiy dalam alKamil. Kesemuanya melalui yang disifatkan da'if. Ibn Hajar al-'Asqallani yang mengupas panjang jalur periwayatan hadis ini menyimpulkan keda’ifan.155 Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Tabarani dalam al-Mu'jam al-aivsat dan al-saghir dari Anas melalui Ahmad ibn Yahya, dari Muhammad ibn Sallam al-Jumahi, dari Za'idah ibn Abi al-Ruqqad, dari Tsabi al-Bunani dari Anas dengan lafaz yang hampir sama. Al-Haitsami mengatakan bahwa sanad ini hasan.156 Al-Tabarani sendiri mengatakan bahwa, tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari Anas kecuali Tsabit, dari Tsabit kecuali Za'idah dan dari Zai'idah kecuali Muhammad ibn Sallam. Melalui jalur yang sama al-Baihaqi dan al-Khatib dalam Tarikh Baghdad.157 Menurut penulis, sanad al-Tabarani dari Anas ini juga da'if, Za'idah dikatakan oleh al-Bukhari, al-Nasa'î dan Ibn Hajar sebagai munkar al-hadis. Ibn Hajar juga mengisyaratkan keda'zfennya dengan menukil pendapat al-Bukhari, Ibn 'Adiy dan al-Tabarani ker ena ke,munkamn (sendirian/tunggal) jalur periwayatan
155
al-Hakim, al-Mustadrak, jil. 3,. 524-525; al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, jil. 8,. 324 dan al-Sunan al-Saghir, jil. 2,. 281-282, hadis no. 3712;. Lihat kajian lengkapnya dalam Ibn Hajar, Talkhis al-Habir, jil. 4,. 1408, hadis no. 1806 yang dinukil juga oleh al-Syaukani dalam NailalAutar, jil. 1,. 137-139. 156 al-Tabarani, al-Mu'jam al-Ausat, jil. 3, hal. 133, hadis no 2274; al-Tabarani, al-Mu'jam al-saghir, jil. 1,. 47-48; Al-Haytsami, Ma/ma' al-Zawa'id, jil. 5, 175 157 al-Khatib, Tarikh Baghdad, jil. 5,. 327.
49
ini, dan dilakukan oleh mereka yang tidak kuat jika meriwayatkan senditian seperti Za'idah dan Muhammad ibn Sallam.158 Selain itu, riwayat ini bertentangan dengan riwayat Abû Dâ’ûd sebelumnya, di mana pada riwayat ini tukang sunatnya adalah Ummu Atiyyah, sedangkan riwayat Abâ Dâûud, tukang sunatnya adalah orang lain. Kesimpulannya, hadis Ummu 'Atiyyah dengan dua versinya adalah da'if.
3. Hadis ketiga yang diriwayatkan dari Ibn Umar yaitu
، ،
،
،
Dari ibn umar Rasululiah saw bersabda: Wahai kaum perempuan Ansar, gunakan pacar (pemerah kuku dan tangan) dengan cara mencelupnya, dan sedikit sajalah (dalam mengkhitan), jangan sampai berlebihan. Karena hal itu akan lebih disenangi suami-suami kalian. Dan janganlah kalian sampai menjjngkari kebaikan (yang telah kalian terima). a. Periwayat dan Sanad Hadis Hadis diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Nafi' dari Ibn Umar melalui Mindal Ibn Ali sebagaimana dikatakan oleh al-Haitsami dan Ibn Hajar. Keduanya berkata, Mindal perawi yang da'if?159 Hadis diriwayatkan oleh Ibn Adiy dari Salim dari Ibn Umar melalui Khalid ibn 'Amru al-Qurasyi. Ibn Adiy berkata: bahwa hadis ini buatan Khalid. Ibn Hajar mengutip kondite Khalid yang disifatkan oleh Ibn Ma'in sebagai pendusta dan oleh Saleh Jazarah sebagai pemalsu hadis.160 b. Fiqh Hadis Jika hadis ini akan digunakan, maka jelas sekali terdapat perbedaan cara pelaksanaan khitan antara laki-laki dan perempuan. Dan jelas sekali 158
Lihat biografi Za'idah dan Muhammad ibn Sallam dalam kitab-kitab al-Tarikh alKabir, jil. 3,. 433; al-Kamil, jil. 4,. 195; Mizan al I’tidal jil, 3,. 95 dan jil. 6,. 170-1 71; alMajruhin, jil. 1, 308; al-kasyif, jil. 1,. 402; Taqrib al-Tahzib,. 213. 159 Al-Haitsami,Majma'al-Zaiva'id, jil. 5,. 174-175;Ibn Hajar dalam kitabnya: Talkhis alHabir, jil. 4, hadis no. 1806; dan Taqrib al-Tahzib,. 545. 160 Ibn 'Adiy, al-Kamil, jil. 3. 457; Lihat juga biografi Khalid dalam Ibn Hibban, alMajruhin, jil. 1, hal. 283; al-Zahabi, Mizan al-I’tidal, jil. 2,. 419-420; Ibn Hajar, Taqrib al-Tahzib,. 189.
50
Rasulullah saw hanya memperbolehkan pemotongan itu dilakukan dengan syarat tidak berlebihan, sehingga tidak mengurangi fungsi seksual dan dampak psikis. 4. Hadis Apakah Perempuan itu (benar-benar) disirkumsisi Pembuktian adanya kebiasaan khitan perempuan di zaman Rasulullah saw agak sulit. Tidak atau belum ditemukan teles yang secara tegas menunjukkan perempuan dikhitan di zaman Rasulullah saw kecuali hadis tentang Ummu 'Atiyyah sebagaimana yang sudah dijelaskan. Berbeda dengan laki-laki yang riwayat dan ceritanya lengkap, banyak dan jelas, antara lain cerita praktek Rasulullah Saw terhadap cucu beliau, Hasan dan Husein, kisah khitannya cucu perempuan beliau, yaitu Ruqoyah dan Hafsah, tidak ditemukan sama sekali. Lalu, tidak ditemukannya kisah khitannya cucu perempuan Rasulullah saw berdampak pada perbedaan ulama tentang status hukum sirkumsisi perempuan dan pembedaan pendapat menurut beberapa ulama fiqh. Sedangkan anak-anak perempuan Rasulullah saw seperti Fatimah, Ruqoyah, Zainab dan Ummi Kultsum, meski tidak terekam kisah-kisah sirkumsisi mereka, namun tidak dapat dijadikan dalil karena mereka semua adalah anak dari istri nabi pertama yaitu Khadijah. Sedangkan beliau wafat di Makkah tahun ke-5 Kenabian. Ini berarti putri-putri Rasulullah saw semua lahir di Makkah dan pada saat di Makkah, banyak syari'at yang belum diperintahkan. Jika ingin mengatakan bahwa ada kemungkinan syari'at khitan belum turun di Makkah, karena putri-putri Rasulullah saw tidak disirkumsisi, maka analisa ini tidak dapat dibenarkan untuk diterapkan kepada cucu perempuan baginda. Sebab, semua cucu perempuan beliau lahir dan besar di Madinah. Mengenai dikhitannya Hasan dan Husen dapat dilihat dalam hadis berikut ini :
Dari A'isyah beliau berkata: Hasan dan Husen dikhitan pada hari ke-7 dari kelahiran kedaanya.161 161
Hadis Riwayat al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, Jil. 8, hal. 324. Lihat juga al-Hakim, alMustadrak, jil. 4,. 327.
51
Dari Jabir Rasulullah saw bersabda: Aqikahkanlah untuk Hasan dan Husen, dan khitani kedua-duanya pada hari ke tujuh 162 Disamping kisah di atas, beberapa hadis yang secara tekstual menunjukkan bahwa perempuan itu dikhitan, seperti lafaz :
َ( اﻟﺨﺘﺎﻧﺎن اﻟﺨﺘﺎنً اﻟﺨﺘﺎنdua yang
dikhitan atau yang dikhitan dengan yang dikhitan) dapat dianalisis, apakah itu bahasa kias atau bukan. Adapun satu contoh hadis yang terdapat kata khitan:
: ﺑﺎﳋ Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Jika sudah bersatu keempat paha, dan bersentuhan dua barang yang dikhitan, maka sudah jatuh keivajiban mandi. (Lafaz ini -adalah riwayat Abû Dâ’ûd)?163 a. Riwayat dan sanad Hadis Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abû Dâ’ûd, Ahmad, al-Darimi dan Iain-lain dari Abû Hurayrah dengan lafaz yang berbeda, ada yang secara ringkas ada yang seperti di atas, perinciannya: Lafaz al-Bukharî:164, Lafaz Muslim:165, Lafaz Abû Dâ’ûd:166, Lafaz al-Nasa'i:167, Lafaz Ibn Majah:168, Lafaz Ahmad:169, Lafaz al-Darimi:170, Lafaz riwayat A'isyah. Dalam Sunan al-Tirmizi:171, Dalam Sahih Muslim:172, Dalam Sunan Ibn Majah:173, Lafaz Malik dalam Muwatta'174
162
Hadis al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra ,jil. 8,. 324. al-Khitan sendiri seperti telah dijelaskan di atas, secara bahasa berasal dari kata-kata Khatana, yang berarti tempat dipotong baik pada laki-laki maupun perempuan. 164 Al-Bukhari, al-Sahih, hadis no. 282. 165 Muslim, al-Sahih, hadis no. 525 dan 526. 166 Abû Dâ’ûd, al-Sunan, hadis no. 186. 167 Al-Nasa'i, al-Sunan, hadis no. 191 dan 192. 168 Ibn Majah, al-Sunan, hadis no. 602. 169 Ahmad, al-Musnad, hadis no. 6900, 8220, 8744, 9702, 10324, 10326,23673. 170 Al-Darimi, al-Sunan, hadis no. 754. 171 Al-Tirmizi, al-Sunan, hadis no. 101. 172 Muslim, al-Sabih, hadis no. 527. 173 Ibn Majah, al-Sunan, hadis no. 600. 163
52
b. Fiqh Hadis Jika hadis di atas (lafaz Abû Dâ’ûd dari Abu Hurairah dan alTirmizi dari A'isyah) diartikan secara harfiah, maka hal itu menunjukkan bahwa perempuan-perempuan muslimah adalah disunat. Namun jika hadis yang sama dengan riwayat lain, maka kata "dua barang yang dikhitan" adalah bahasa kiasan pengganti zakar/penis dan farj/vagina. Riwayat yang lain, menunjukkan bahwa kata "khitanan adalah kinayah/kebiasan yang boleh jadi bukan bahasa Rasulullah saw. B. Pemahaman Ulama Terhadap Hadis Sirkumsisi 1. Ulama fiqh Didalam ulama fiqh ini memiliki perbedaan pendapat antara imam fiqh dan pengikutnya dalam masalah srkumsisi perempuan sebagai berikut: a. Imam Syafi’i Beliau berpendapat bahwa, dalam kitab syarah sahih muslim, imam al- Nawawi berkata, status hukum sirkumsisi perempuan wqajib menurut imam Syafi’i dan banyak ulama, serta sunnah menurut imam Malik dan mayoritas ulama. Sedangkan pendapat imam Syafi’i sendiri, sirkumsisi itu wajib baik untuk laki-laki maupun perempuan.175 b. Imam Hanbali Didalam kitab al-mughni dan syarah al-kabir karya al-maqdisi ditegaskan bahwa: Hukum sirkumsisi wajib bagi laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka.176 Didalam kitab syarah mu’jam al-fiqh al-Hambali dikatakan:
174
Malik, al-Muivatta', hadis no. 93. Lihat juga no. 94. Pada no.94 merupakan lapaz Ibn Umar, bukan A’isyah 175 An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jil. 2, 126. 176 Lihat Ibn Qudamah, Al-Mughni, Jil.1, 70-71; Ibn Qudamah Syarh al-Kabir, Jil.1, 8586.
53
ﻣﻦ
،\ﻋﻨﻪ ﻋﻠﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﻟﺰﻣﻪ ﻓﻌﻠﻪ
Hukun khitan wajib atas laki-laki fan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka. Dan jika seorang tua masuk islam kemudian dia takut jika disunat ( akan membahayakan kesehatan dan jiwanya) maka dia terlepas dari kewajiban dikhitan. Namun jika orng tua tadi percaya, maka dia harus melakukannya (dikhitan).177 c. Imam mazhab syi’ah zaidiyah Al-syaukani, sorang ulama bermazhab syi’ah Zaidiyah, dalkam kitab Nail al-autar-nya berpendapat bahwa sirkumsisi perempuan itu tidak wajib. Beliau berkata: oleh karena tidak terdapat hadis yang dapat dijadikan argumen/dalil untuk menentukan sesuatu yang dicari, dan karena lafaz sunnah dalam istilah agama lebih luas pengertiannya dari istilah yang digunakan ulama ushul, maka yang benar, tidak terdapat dalil yang menunjukan kewajiban. Yang lebih diyakini adalah sunnah sunnah sebagaimana hadis (lima perkara adalah fitrah) dan hadis-hadis seperti itu. Kemudian, hal yang wajib harus didasari dengan yang meyakinkan dampai datang hal yang memaksa merubah pendapatnya. yang dijadikan. Pendapat lain untuk sirkumsisi perempuan dilontarkan oleh Abû Abdillah Ibn al-hajj dalam kitab al-madkhal seperti dikutip Ibn Hajar di kitab Fath Bari. Beliau mengatakan bahwa: Ibn Hajar membagi status hukum sirkumsisi perempuan kepada 2 (dua) macam, yaitu; 1. Wajib kepada laki-laki dan perempuan 2. Sunnah kepada laki-laki dan perempuan.178 Imam Syaukani membagi hukumnya kepada 3 (tiga) macam, yaitu;
177
Mu’jam al-Fiqh al-Hanbali, Jil.2, 296, dalam kata khitan Asqalanî, Fath al-Bari ... 531. dan Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhu, (Damaskus; Dar al-Fikr, 1989), juz III, 460-461. 178
54
1. Wajib bagi laki-laki dan perempuan, 2. Sunnah bagi laki dan perempuan, 3. Wajib bagi laki dan tidak wajib bagi perempuan.179 Bagi Mahmud Syaltut dan Sayyid Sabiq mengkategorikan sirkumsisi perempuan kepada; 1. Haram, 2. Sunnah qadimah atau tradisi kuno, bukan tradisi Islam. Dengan demikian, penstatusan hukum sirkumsisi bagi laki-laki dan perempuan, dari awal ulama fiqh sudah berbeda pendapat. Perebedaan pendapat ini memungkinkan adanya intervensi dan interaksi budaya yang mempengaruhi kebijakan atau keputusan ijtihad para ulama dalam menelaah dan memahami teks-teks agama. Karena, dari sejarah yang kuat ditemukan bahwa tradisi sirkumsisi sudah mengakar dalam masyarakat Yahudi, Arab Kuno atau Mesir Kuno dan masyarakat lain sebelum Islam lahir. Jadi, budaya sirkumsisi perempuan bukan murni terlahir dari Islam yang kemudian dibudayakan namun malah sebaliknya,.180 1. Perdebatan Argumentasi Ulama a. Sirkumsisi perempuan adalah Wajib Pendapat ini dituturkan oleh imam Syafi’î dan pengikutnya mengatakan megetakan demikian, namun ada juga ulama mazhab Syafi’î yang kontra. Ulama fiqh lain yang sependapat dengan ini adalah al-Sya’biy, Rabi’ah, al-Auza’i, Yahya bin Sa’ad al-Ansarî.181 Argumen yang dikemukakan ulama imam Syafi’î kebanyakan berkaitan dengan dalil sirkumsisi laki-laki. Seperti berdasar teks yang orotritatif yang menyatakan bahwa sirkumsisi merupakan kewajiban, syiar
179 180
Syaukanî, Nail al-Authar..., 138. Ali Ahmad al-Jurjawî, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhû, (Beirut; Dar al-Fikr, 1994),
31. 181
M. Ali Hasan, Masâ’il Fiqhiyyah, 132. Lihat juga, fiqh khitan perempuan karangan Litfu Fathullah, (al-Mughni Center Press, 2006).
55
agama, dan ibadah. Diantara dalil yang dijadikan argumen tersebut adalah:182
،
: :
، ،
:
.
(
) .
Artinya: “Dari Ummu ‘Athiyah r.a, beliau berkata bahwa ada seorang juru sunat para wanita Madinah, Rasul SAW mendatanginya dan bersabda kepadanya:”Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami." Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW bersabda: "Potong ujungnya saja karena hal itu membuat wajah berseri dan bagian kenikmatan suami.” 183 Imam Abû Dâ’ûd sendiri mengatakan hadis ini lemah karena, ada perawinya yang tidak diketahui (majhûl).184 Di dalam kitab Talkhish al-Habîr, Ibn Hajar menyatakan respons ketika mengomentari rantai sanad hadis tersebut, beliau mengutip beberapa pendapat dari ulama pakar hadis, yang mengatakan hadis tersebut bermasalah (ma’lûl), ada yang menyebut lemah (dha’if), dan ada juga mengatakan tidak dikenal (munkar). Berikutnya adalah hadis:185
: ، ،
، ، ،
،ﺎﻟِﺪ ، :
182
Al-Asqalanî, Fath al-Bari, 530. Abû Dâûd, as-Sunan, Kitâb al-Adab, no. Hadis: 5271, juz IV, 368, lihat Ibnu al-Atsîr, Jami’ al-Ushul, juz V, 348. 184 Abû Dâ’ûd, as-Sunân, Kitâb al-Adab, juz IV., lihat juga al-Asqalani, Fath al-Bâri, 530. . Lihat juga buku Fiqh Khitan Perempuan karangan Lutfi Fathullah.. ( Al-mughni Center Press 2006). 185 Sadqi Muhammad Jamîl, Sunân Abû Dâ’ûd, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), juz I, 198. 183
56
،
، (
).
:
Artinya: “Memberitahu kepada kami Makhlad bin Khalid, menceritakan Âbdu al-Razzâk, menceritakan Ibn Juraij, dikabarkan dari Usaim bin Kulaib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa telah datang seseorang kepada Nabi SAW, dan berkata: “Sesungguhnya aku telah masuk Islam”, maka Nabi bersabda: “Buang dari kamu rambut kekufuran, dan pada redaksi lain Nabi bersabda: “Buang rambut kekufuranmu dan bersirkumsisilah”. (H.R. Abû Dâ’ûd) Hadis ini sanad-nya bermasalah, mulai dari Ibn Juraij yang banyak men-tadlis, perawi-perawi setelah dia tidak dikenal dan hadis ini tergolong dhâ’if.
186
Hadis lain adalah:
، ،
،
،
: 187
(
).
Artinya: “Menceritakan kepada kami Sulaiman bin abd alRahman ad-Damsyiqî, dan Abd al-Wahhab al-Asyja’i berkata, memberitahukan kepada kami Marwan, menceritakan Muhammad bin Hassan, berkata Abd al-Wahhab al-Kupi dari Abdul Malik bin Umair dari Ummu ‘Atiyah bahwa seorang perempuan tukang khitan wanita di Madinah, Nabi bersabda: “Jangan berlebihan karena yang demikian adalah kesenangan bagi wanita dan kepuasan bagi suami.” (H.R. Abû Dâ’ûd) Hadis Ummu ‘Atiyah tersebut dikenal lemah, demikian juga Abû Dâ’ûd sebagai periwayat menyebut hadis ini adalah
186 187
Ahmâd bin Hanbal, al-Musnad, (Beirut: al-Maktab al-Islami, tt,) juz V, 75. Sadqi Muhammad Jamil, juz 4, 412-413
57
lemah, bahkan menurut riwayatnya, beliau meriwayatkan hadis ini justru untuk memperlihatkan ke-dha’if-an statusnya.188 Hadis lain adalah;
: 189
(ﺎﻋﻴﻞ
).
Artinya: “Dari Zuhri dari rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang masuk Islam maka hendaklah bersirkumsisilah meskipun sudah besar.” (H.R. Harb bin Ismâ’îl) Menurut ahli hadis dan ahli fiqh, hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak shahih. Ibn Hajar mengatakan bahwa hadis ini hanya ditujukan untuk laki-laki saja. Beliau mengutip perkataan Ibn Munzir “Tidak ada satu hadis yang bisa dijadikan hujjah atau rujukan dalam sirkumsisi, dan tidak ada satupun sanad yang bisa diikuti”.190 Seandainya hadis ini diterima, ia tidak bisa dipahami secara umum, sampai ditemukan dalil kuat bahwa laki-laki dan perempuan masuk dalam objek perintah yang konkrit. Namun bukti yang kuat menunjuk, bahwa ia hanya ditujukan pada sirkumsisi
laki-laki
saja.
Demikain,
Ibn
Hajar
mengelompokkan hadis tersebut dalam bab “perintah Nabi SAW kepada laki-laki yang masuk Islam untuk bersirkumsisi.” Jadi, sama sekali tidak menjurus pada status hukum sirkumsisi perempuan. Meskipun
dalil
yang
dikemukakan
golongan
yang
mendukung pewajiban sirkumsisi perempuan tidak sahih, mereka tetap komit pada kewajiban sirkumsisi bagi perempuan. Mereka beropini bahwa sirkumsisi merupakan syi’ar agama
188
Sadqi Muhammad Jamil, juz 4, 412-413 Al-Asqalanî, Fath al-Barî., 82. lihat juga buku Fiqh Khitan Perempuan karangan Lutfi Fathullah, (al-mughni center press, 2006). 190 Al-asqalanî, Talkhis al-Habir, (Madinat al-Munawwarah, t.p., 1964), jil. 4, 83 189
58
yang hanîf dan simbol agama Islam. Sebab, tradisi tersebut telah dilakukan sejak era Ibrâhîm sampai Muhammad tanpa ada pengubahan. Oleh karenanya, menurut mereka siapa yang meninggalkan sirkumsisi dianggap keluar dari fitrah seperti perintah Allah kepada para Rasulnya. Meskipun tidak bertatus hadis shahih/mutawatir, tetapi hadis marfu’,, mauquf dan mursal, namun, dalam disiplin ilmu hadis hadis tersebut bisa saling meguatkan antara satu dengan lainnya, dengan begitu, hadis-hadis tersebut dapat dipakai sebagai dalil untuk mewajibkan pelaksanaan sirkumsisi bagi perempuan. b. Sirkumsisi perempuan adalah Sunnah Hal ini disepakati oleh imam Hanafi, Hasan Basri, Ibn Abî Mûsâ, mengatakan bahwa hukum sirkumsisi adalah sunat mu’akkad kepada laki-laki, dan suatu kehormatan bagi perempuan. Jadi, tidak sampai mengkategorikan sirkumsisi perempuan itu wajib.191 Dasar hadisnya adalah:
:ﻢ
ِﻴﻪ
، 192
(
ِﺿ
ِﺑ
).
Artinya: “Dari Abî Hurairah r.a. bersabda Rasul SAW: “sirkumsisi sunnah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan.” (H.R. Ahmad dan Baihaqî) Al-Baihaqî
menyatakan
hadis
ini
lemah,193
karena
sanadnya diragukan, beliau menambahkan bahwa perkataan diatas tersebut bukanlah hadis melainkan hanya perkataan Ibn Abbas saja.194
191
Ibn Qayyim, Tuhfatul Maulud, 129. Ahmad bin Hanbal, Sunan Ahmad bin Hanbal 193 Syaukani, Nail al-Authar.,139. lihat juga buku Fiqh Khitan Perempuan karangan Lutfi Fathullah, (Al-mughni center press 2006). 194 Abdul Lutfi Fathullah, “Khitan Bagi Perempuan Menurut Pandangan Islam,” makalah pada acara Rountable Discussion Female Circumcision, di PBNU, 16 April 2003, 5-6. 192
59
Namun secara tekstual, hadis ini secara nyata mengakui sirkumsisi bagi laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang dianjuran Nabi. Bila dikerjakan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdampak pada implikasi hukum lainnya. Oleh karena itu, status hukum atas sirkumsisi adalah sunnah. Selain itu, kelompok kedua ini membantah pewajiban sirkumsisi
perempuan
oleh
kelompok
pertama
dengan
mencermati dalil-dalil yang dijadikan hujjah tersebut, yaitu: Pertama, perintah al-Qur’ân untuk mengikuti millah Ibrâhîm mengacu pada pokok-pokok keimanan atau tauhid, tuntunan kembali kepada Allah, dan bersikap ikhlas kepadaNya, bukan mencakup segala perbuatan Ibrâhîm. karena kata millah (syariat/ajaran) pada ayat diatas dijelaskan dengan kata hanîf (lurus), berarti tidak men-syirik-kan Tuhan.195 Kedua, Rasul memasukkan sirkumsisi sebagai salah satu yang disunnahkan, bukan diwajibkan. Hal ini terangkai secara paralel antara perintah sirkumsisi dengan mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak. Ketiga, para ahli hadis sepakat bahwa hadis yang menerangkan orang yang muallaf (baru masuk Islam) hendaklah melaksanakan sirkumsisi – hadis yang driwayatkan oleh Utsaim bin Kulaib dan al-Zuhri diatas – adalah hadis yang lemah. Menurut kelompok ini, hadis-hadis yang lemah tersebut tidak bisa dijadikan hujjah pewajiban sirkumsisi perempuan, sebab, tingkat kesahihannya diragukan. Seandainyapun hadis ini diterima, ia tidak bisa dipahami secara umum bahwa perempuan masuk dalam objek perintah tersebut, karena ia hanya berkaitan dengan sirkumsisi laki-laki saja. Ibn Hajar al-Asqalani mengelompokkan hadis diatas pada 195
Ibn Qayyim al-Jauziyyah., 138.
60
kewajiban sirkumsisi bagi laki-laki.196 Dan sepertinya, hadis inilah yang dipakai oleh Imam Ahmad yang menyatakan sirkumsisi hanya wajib pada laki-laki, sedang bagi perempuan hanya berstatus sunnah. Keempat, memperhatikan teks Ummu ‘Athiyyah diatas, mayoritas ulama mazhab tidak memahami, baik tersurat atau tersirat,
tentang
adanya
perintah
wajib
menyirkumsisi
perempuan, yang ada hanyalah tuntunan Nabi kepada juru sirkumsisi agar tidak merusak ‘onderdil wanita’ atau organ kelamin
perempuan.
Dan
mungkin
saja,
Rasul
tidak
membolehkan praktek sirkumsisi yang telah berlangsung lama di Madinah, jika tidak mematuhi persyaratan tersebut. 2. Pendapat ulama kontemporer Anwar Ahmad, ulama kontemporer, menyatakan bahwa perintah dalam islam ditujukan kepada laki-laki, karena tuntutan sirkumsisi termasuk kategori sunnah fithrah yang diarahkan kepada lelaki, seperti memelihara jenggot dan mencukur kumis. Beliau menambahkan, banyak ulama mazhab yang berspektif tekstual maupun rasional tidak menerima
pendapat
yang
mewajibkan sirkumsisi perempuan.197 Imam as-Syaukani memberi catatan pada seluruh hadis yang berhubungan dengan kewajiban sirkumsisi pada laki-laki dan perempuan dengan pernyataan tegas:
.
196
Husein muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama Dan Gender,
197
Ahmad Anwar, Ara’ ‘Ulama ad-Din al-Islam fi Khitan al-Untsa, 8.
45-46.
61
Artinya: “Yang benar adalah bahwa tidak ada dasar hukum yang sahih, yang menunjukkan kewajiban sirkumsisi. Hukum yang bisa diyakini adalah sunnah seperti yang dinyatakan dalam hadis lima fitrah dan yang semisal dengannya. (dalam hal ini), wajib mengikuti sesuatu yang sudah diyakini, sampai ada sesuatu yang mengubahnya.”198 Perkataan asy-Syaukanî ini perlu diberi catatan, bahwa kalau hukum sirkumsisi adalah sunah fitrah, maka yang lebih tepat adalah untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan tidak demikian, seperti yang disimpulkan oleh Anwar Ahmad diatas. Dari perkataan ini bisa ditarik dua kesimpulan. Pertama, tidak ada satu hadis pun yang sahih mengenai perintah wajibnya sirkumsisi perempuan. Kedua, kalaupun ada yang shahih misalnya, maka ia tidak bisa dipahami sebagai perintah sirkumsisi untuk perempuan, tetapi tertuju untuk laki-laki saja. a. Haram Argumen dari kelompok ini dikaitkan dengan tiadanya temuan dari teks-teks nash yang bisa dijadikan dalil keshahihan serta tiadanya dukungan dari etika medis. Akhirnya, dasar hukum memotong dan menyakiti tubuh atau sirkumsisi perempuan dikembalikan kepada haram, karna, tiada berefek maslahat bagi perempuan. Seperti kaidah fiqih yang berbunyi: 199
.
Artinya: “Menyakiti orang yang masih hidup itu tidak boleh menurut agama, kecuali ada kemalahatan-kemaslahatan yang kembali kepadanya dan melebihi rasa sakit yag menimpanya." Kaidah fiqih tersebut bisa dijadikan pijakan dalam menelaah sirkumsisi perempuan.200 Dan untuk sementara ini, bisa dikatakan hukum asal sirkumsisi perempuan adalah haram, karena termasuk 198
asy-Syaukani, Nail –al-Authar, juz I, 139. Muhammad Syaltut, l-Fatawa,.. 333. 200 Muhammad Syaltut, l-Fatawa, lihat juga buku fiqh khitan perempuan karangan Dr. Lutfi Fathullah.,(al-mughni center press,2006) 199
62
melukai anggota tubuh. Namun, apabila laki-laki diperbolehkan untuk bersirkumsisi karena memberi dampak yang positif bagi kesehatan dan seksualnya (selain dalil teks hadis), maka selazimnya jua rumus argumen medis yang kuat mesti melandasi keputusan untuk menyirkumsisi perempuan. Karena tanpa bukti dan rekomendasi medis yang valid, serta efek peningkatan seksualitas perempuan, maka hukumnya kembali pada asalnya, yaitu haram. Beberapa alasan pengharaman lainnya adalah:201 1. Sirkumsisi perempuan tidak disyariatkan dalam nash sahih Islam. 2. Diklaim dapat membahayakan kesehatan dan organ genital. 3. Beberapa negara melarang penyirkumsisian perempuan karna didukung juga oleh argumentasi ahli kedokteran. 4. berefek psikologis dan sosial seperti vrigiditas (kedinginan seksual), sulitnya mencapai kepuasan seksual, dan sebagainya.
C. Hadis sirkumsisi perempuan dan penolakan ahli kesehatan (WHO) 1. Aspek seksualitas perempuan Ajaran Islam bertujuan Rahmatan lil ‘Alamin sekaligus memuat ajaran yang bermuara kepada kepentingan umum/maslahah al-mursalah. Syariat Islam dibangun atas dasar tujuan mewujudkan kemaslahatan bagi manusia secara universal baik di dunia maupun di akhirat.202 Oleh karena itu, sebelum pelabelan status hukum sirkumsisi perempuan, seyogiyanya aspek yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam mengkaji ulang status hukum sirkumsisi perempuan adalah aspek kemaslahatannya sesuai dengan nilai maqashid al-syari’ah (tujuan pensyari’atan hukum). Sirkumsisi perempuan masih tergolong ranah Ijtihadiyah,
201
“A.Sayuti Anshari Nst.,” “Khitan Wanita Sebuah studi normatif dari perspektif Islam,” artikel diakses tanggal 16 Oktober 2008 dari www.http://soc.culture.indonesia/html 202 Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), juz II, 6.
63
artinya masih terbuka untuk pengkajian ulang, sebab ulama mazhab yang empat belum punya kesepakatan pada status hukum tersebut. Untuk
mengkaji
lebih
jernih
sirkumsisi
perempuan
diperlukan
pertimbangan-pertimbangan yang matang, salah satu pertimbangan yang mesti dipedomani adalah kaidah fiqih, yang menyatakan dengan tegas bahwa menyakiti tubuh manusia mesti ada alasan manfaat yang ditimbulkannya, jika tidak bermanfaat, maka tindakan tersebut dilarang. Bunyi kaidah tersebut adalah: 203
Artinya: “Menyakiti orang/tubuh yang masih hidup itu tidak boleh menurut agama, kecuali ada kemalahatan-kemaslahatan yang kembali kepadanya dan melebihi rasa sakit yag menimpanya.” Konkretnya, hukum asal sirkumsisi adalah haram, karena termasuk melukai anggota tubuh. Tetapi, pelaksanaan terhadap lelaki diperbolehkan bahkan menjadi wajib, karena mengandung kemaslahatan secara medis bahkan, ahli medis merekomendasikan hal tersebut. Demikian semestinya, pengambilan hukum sirkumsisi perempuan didasarkan atas aspek maslahahnya. Jika ditemukan bukti medis yang kuat untuk pencapaian kemaslahatan yag lebih baik, maka hukum sirkumsisi perempuan menjadi boleh. Namun sebaliknya, jika tidak alasan medis yang kuat, maka hukum sirkumsisi perempuan kembali kepada asalnya, yaitu haram.204 Perempuan juga manusia, yang memiliki hak azasi manusia (HAM) yang mesti dihargai. Karenanya, alasan pensirkumsisian perempuan sebagai alat penstabilan seksual atau diproyeksikan sebagai makhluk Tuhan kelas dua,205 tidak berhak mendapatkan kepuasan seksual, dianggap sebagai pelayan dan pelengkap kepuasan seksual laki-laki, sebaikya dihilangkan dari ajaran Islam.
203
Muhammad Syaltut, l-Fatawa,.. 333. Sayid Muhammad Husain Fadhullah, Dunya al-Mar’ah, (Libanon: Dar al-Malak, 1997), diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Kadir al-Kaf, Dunia Wanita Dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 2002), cet. Ke-1, 73 205 Vandana Shiva, Bebas Dari Pembangunan Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, penerjemah Hira Jhamtani (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998) ed. 1, 64. lih. Simone de Beauvoir, The Second Sex, (London: Penguin Books, 1972). 204
64
2. Aspek kesehatan perempuan Diantara hak-hak atas kesehatan reproduksi dan seksual perempuan yang merupakan bagian dari HAM (Hak Azasi Manusia), ada 3 hak, yaitu;206 1) Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi 2) Hak untuk hidup dan terbebas dari resiko kematian dan proses kehamilan 3) Hak untuk bebas dari penganaiyaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual. Sedangkan hak-hak seksual perempuan diantaranya adalah : a. Hak penghargaan atas integritas tubuh b. Hak memperoleh kehidupan seksual yang memuaskan, sehat, aman dan menyenangkan Sirkumsisi perempuan merupakan tindakan melukai dan memotong organ seksual tanpa indikasi medis dan biasanya berbahaya secara fisik, seksual dan psikologis bertentangan dengan hak-hak atas kesehatan reproduksi. Apalagi, pelaksanaan sirkumsisi tanpa seijin yang si empunya tubuh/ hak penghargaan atas integritas tubuhnya, dapat berefek pada pengurangan kenikmatan seksual permanen, yang demikian merupakan pelanggaran hak-hak seksualnya.207 Apa yang terjadi jika perempuan kehilangan alat vitalnya seperti klitoris, padahal, bagian tersebut sangat besar pengaruhnya karena sarat dengan syaraf sensitif dalam stimulasi seksual?.208 Menurut DR. Mesraini, dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, praktek pemotongan yang berlebihan pada organ seksual perempuan akan menyebabkan perempuan
206
Lihat “Hak Asasi Manusia: Kumpulan Instrumen Internasioanal”, jilid 1 InstrumenInstrumen Universal. (Penerbit PBB, Penjualan No. E.19994.XIV.1). lihat juga “Khitan Perempuan Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Diabaikan”, artikel diakses tanggal 20 Juli 2008 dari http://yuliindarti-blog.co.cc/?p=6 207 Lebih jauh tentang hak-hak reproduksi perempuan dalam Islam, baca Masdar F. Mas’udi, “Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan”, (Bandung: Mizan, 1997). 208 James H. Sammons, (ed.), “Clitoris”, The American Medical Association Encyclopedy Of Medicine, (New York: Random House, 1989), 284.
65
kesulitan mengalami kenikmatan seksual (orgasme).209 Pendapat ini didukung dari temuan sejumlah data yang menyatakan banyak isteri yang tidak pernah mengalami orgasme sama sekali.210 Menurut ajaran Islam, hak untuk memperoleh kepuasan seksual sama antara laki-laki dan perempuan. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual secara paralel adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami isteri. Seperti diterangkan dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 187:
...
...
Artinya: “Mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”. Ayat tersebut menempatkan suami-isteri pada posisi yang sama. Kepuasan seksual adalah hak dan kewajiban suami-isteri. Seorang suami berhak memperoleh kepuasan seksual dari isterinya begitu juga sebaliknya. Suami-isteri berkewajiban memuaskan pasangannya masing-masing. Oleh sebab itu, jika suami sudah mencapai orgasme dan isteri belum, maka rangsangan lain wajib dilakukan suami demi mengantar isterinya meraih orgasme seperti yang dia dapati dari isterinya.211 Demikian jua, dalam karya agungnya Ihya ‘Ulumuddin, Imam alGhazali, menyebutkan relasi antara suami-isteri dalam kehidupan seksual yang saling berperan dan melengkapi.212
209
Mesraini. “Khitan Perempuan, Antara Mitos Dan Legitimasi Doktrinal Keislaman,” Kompas, (Jakarta), 13 oktober 2003. 210 Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita (PPSW) sebagai salah satu Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) perempuan yang didirikan tahun 1986 di Jakarta, telah melakukan kegiatan pelatihan kepada kelompok perempuan basis dampingan PPSW. Pelatihan itu dimaksudkan untuk mengembangkan program kesehatan dan hak reproduksi. Dalam pelatihan tersebut, para peserta (perempuan/ibu rumah tangga) berkomentar jujur bahwa mereka tidak pernah tahu bagaimana nikmatnya hubugan seks itu. Lebih lanjut baca Nani Zulminarni, “Menguak Tabu: Pengalaman Lapangan PPSW Menyoal Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan,” (Jakarta: PPSW & Ford Foundation, 2002), cet. Ke-1, 57. Baca juga “Pro Kontra Khitan Perempuan”, Pikiran Rakyat, (Bandung), 23 Mei 2003. Selain itu, banyaknya pengaduan atau keluhan kepada dokter ahli seksolog tentang masalah isteri yang jarang sekali atau tidak pernah mengalami orgasme. Misalnya, “Tanya Jawab Masalah Seksualitas” bersama dokter Naniek L. Tobing yang disiarkan Radio el-Sinta, Jakarta, dan “Rubrik Dialog Seksologi” oleh Dokter Wimple Pangkahila di Majalah Sarinah, Mingguan Mutiara, Jakarta, atau Dokter Boyke Nugraha di media cetak dan Elektronik. Masalah itu diduga bersumber dari praktek sirkumsisi perempuan yang keliru. 211 Lebih lanjut lihat Fatimah Mernisi, Beyond the Evil (Seks Dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarkat Muslim Modern), (Surabaya: al-Fikr, 1997), 92–107. 212 Imam al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, judul asli, Kitab Adab an-Nikah, dari Ihya Ulum al-Dîn, terjemahan Muhammad al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1988).
66
Demikian penghargaan Islam kepada seksualitas wanita. Jika dalam praktek dan pelabelan hukum sirkumsisi perempuan tidak berpedoman pada teori maqashid al-syari’ah atau maslahah mursalah, serta dukungan dari kaidah fiqh diatas, atau meleburkan hak-hak seksualitas perempuan, maka apakah yang didapat oleh perempuan dari budaya tersebut?, selain terjebak dalam produk budaya yang jauh dari kemaslahatan bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, jika praktek sirkumsisi perempuan terbukti menimbulkan kemudharatan, maka sirkumsisi perempuan tidak boleh dilaksanakan.
i.Kontektualisasi Hadis Sirkumsisi Perempuan Persfektif Ulama Dan Ahli Kesehatan (WHO) Word Health Organizazion Meskipun banyak disuguhkan dalil yang terkait dengan pensyariatan sirkumsisi, ternyata semua dalil tersebut masih belum mampu menunjukkan secara konkrit status sirkumsisi perempuan. Ulama ortodoks Islam atau mayoritas imam mazhab, seperti imam Hanafi, Maliki dan Hambali, lebih memilih status hukum sirkumsisi sebagai ‘mukarramah’ atau kemulyaan saja. Namun, menurut ilmuan Islam kontemporer, ijtihad ulama tersebut merupakan produk budayasosial-politik di masa itu. Oleh karena itu, sangat terbuka sekali untuk diteliti dan dikaji ulang di masa sekarang. Sehingga, sirkumsisi perempuan menyandang predikat status yang mengandung nilai-nilai kemaslahatan.213 Menurut penulis, salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam mengkaji status sirkumsisi perempuan adalah aspek maqashid syariat. Imam al-Syatibi dalam kitab al-Muwafaqat fi ushûl al-Syarî’ah mengatakan: “Syariat Islam dibangun untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mengemban misi kemaslahatan secara universal. Konsep kemaslahatan dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok terpenuhi, yaitu memelihara agama (hifdz al-din), memelihara jiwa (hifdz nafs), memelihara keturunan, (hifdz al-nasl), memelihara harta (hifdz al-mâl), dan memelihara akal (hifdz al-‘aqal).”214
213
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender,
214
al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushûl al-Syarî’ah, 6.
49
67
Untuk mengawal lima unsur tersebut, al-Syatibi membagi maqashid kepada tiga tingkatan. Pertama, maqashid al-darûriyât, yang dimaksudkan untuk menjaga lima unsur pokok di atas; kedua, maqashid al-hajiyat, yang dimaksud untuk meghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi; ketiga, maqashid al-tahsiniyât, yang dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaaan pemeliharaan lima unsur pokok tersebut.215 Adapun pengkajian ulang status sirkumsisi perempuan sudah ditawarkan oleh beberapa kalangan. Diantaranya, seperti Mahmud Syaltut, mantan Syaikh AlAzhar Kairo, beliau menyatakan: “Legislasi Islam itu memiliki sebuah prinsip umum, yaitu bahwa orang-orang Muslim harus menguji secara sangat teliti dan hati-hati terhadap hal-hal yag terbukti betul-betul berbahaya dan tidak bermoral, sehingga resmi kerusakan dan ketidaknormalan itu harus dihentikan. Oleh sebab itu, karena bahaya eksisi itu sudah betul-betul nyata adanya, maka eksisi terhadap klitoris perempuan jelas bukan merupakan sebuah ajaran yang wajib ataupun sunnah.”216 Oleh karena itu, dapat dikatakan tanpa ragu-ragu bahwa sirkumsisi perempuan itu tidak memiliki dasar apapun, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis. Ditambahkan oleh Syaikh Abbas, Rektor Institut Muslim di Paris menegaskan. “Kalau sirkumsisi bagi laki-laki (meskipun tidak menjadi wajib) itu memiliki tujuan estetika dan higienitas, maka tidak ada satupun teks keagamaan Islam tentang nilai yang menetapkan adanya eksisi bagi perempuan, sebagaimana telah dibuktikan bahwa sebenarnya praktek ini betulbetul tidak ada dibanyak negara Islam. Dan kalau banyak orang mempertahankan praktek eksisi secara sayang, karena adanya prasangka 215
al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushûl al-Syarî’ah, 10, dan juz III, 27. Secara lebih khusus, al-Ghazali dengan sangat mengesankan telah merumuskan kemaslahatan ini dalam bukunya, al-Musthafa min ‘Ilm al-‘Ushûl. Ia mengatakan bahwa kemaslahatan adalah mewujudkan lima prinsip pokok agama, yaitu memelihara lima hal; agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadapap lima prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang mengancam keutuhannya adalah kerusakan (mafsadah), dan menolak kemafsadatan adalah kemaslahatan. Lihat al-Ghazali, al-Musthafa min ‘Ilm al-‘Ushûl, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), juz I, 26. 216 Dikutip dari Efua Dorkenoo, Cutting The Rose, Female Genitale Mutilation: The Practice and its Prevention, 37, lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 203-204. Lihat juga, fiqh khitan perempuan, karangan Litfu Fathullāh, (al-Mughni center press, 2006).
68
(tradisi-budaya turun temurun, perempuan hyperseks maka, dipotong organ genitalnya untuk menetralisir seksual, lebih suci, terjaga keperawanannya dan lain-lain, pen.) yang besar pada perempuan, maka mungkin ini terjadi karena mereka praktekkan dahulu sebelum mereka masuk Islam.”217 Dengan demikian, dalih bahwa praktek sirkumsisi perempuan merupakan ajaran Islam, dapat disangkal. Pertama, tidak ada rujukan langsung atau tidak langsung dalam al-Qur’an yang menerangkan sanksi atau ampunan bagi sirkumsisi perempuan.218 Kedua, hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengannya, dinilai sebagai hadis-hadis yang tidak shahih, tidak dapat diprcaya dan dhaif.219 Ketiga, dari aspek maqashid syariat tidak mendukung praktek sirkumsisi perempuan tersebut. Keempat, tidak sesuai dengan etika kesehatan. Kelima, menghilangkan hak-hak seksual perempuan. Keenam, mempertahankan budaya yang bias jender dan diskriminasi atas perempuan. Hal ini membuat alasan jelas bahwa praktek sirkumsisi perempuan tersebut tidak memiliki dasar ajaran Islam sama sekali. Hal ini bukan apa-apa, selain budaya kuno yang dimasukkan secara salah ke dalam tradisi Islam. Dan, seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ditampilkan dan diterima (di beberapa negara muslim) sebagai ajaran Islam. Bahkan, argumen adanya sebuah hubungan tidak langsung antara Islam dengan pengabadian budaya sirkumsisi perempuan, yang berdasarkan atas persoalan-persoalan pemingitan, keperawanan, kesucian, kesopanan yang mencetuskan atau memperkuat praktek sirkumsisi perempuan,220 tidak dapat diterima karena satu alasan –mengapa prinsip-prinsip tersebut tidak bisa mendorong dan mengabadikan praktek sirkumsisi perempuan tadi di negara-negara Muslim lain yang memang tidak mengenal budaya itu?
217
Sami Aldeeb Abû-Sahlieh, To Mutilatate in the Name of Jehovah or Allah, 10, lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 190. 218 Dikutip dari Sami Aldeeb Abu-Saahlieh, To Mutilatate in the Name of Jehovah or Allah, Legitimisationof Male and Female circumcision, 11. Lihat.Haifa A. Jawad, Otentisitas Hakhak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 190. 219 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 26. 220 E.K. Hick, Infibulation: Female Genital Mutilation in Islamic Nort Eastern Africa, (New Brunswick, New Jersey, USA: Transaction Publishers, 1993), 24-25, lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 202.
69
Seperti negara Saudi Arabia, Iran, Uraq, Yordania, Syiria, Lebanon, Maroko, Aljazair dan Tunisia.221 Berangkat dari asumsi tersebut, jelas bahwa yang dijadikan pertimbangan dalam kemaslahatan ini. sirkumsisi bagi laki-laki memang telah terbukti secara medis dapat mendatangkan kemaslahaan dan manfaat yang besar terhadap kesehatan dan seksualnya. Jika dikaitkan dengan kaidah al-daruriyah al-khamsah di atas, kelihatan kalau sirkumsisi laki-laki bertujuan untuk pemeliharaan jiwa suami dan isteri222 –terhindar dari kanker leher rahim – dan kelak bisa memelihara keturunannya. Dari sudut pertimbangan ini, Islam mewajibkan sirkumsisi kepada laki-laki, demi mendatangkan kemaslahatan (maslahah) dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika demikian, apakah ada kemaslahatan yang didapat dari sirkumsisi perempuan? Sirkumsisi perempuan sebagai tradisi yang sudah lama mengakar di tengah-tengah masyarakat, muslim maupun non muslim, lebih banyak dimaksudkan sebagai upaya pengontrolan seksualitas perempuan. Sebab, dipersepsikan perempuan itu pada dasarnya memiliki gairah seksual yang berlebihan (hypersexual), makhluk kelas dua yang tidak berhak mendapatkan kepuasan seksual. Sebaliknya, dia hanya sebagai pelayan dan pelengkap kepuasan seksual laki-laki).223 Sirkumsisi perempuan dianggap akan menstabilkan nafsu seksual perempuan. Dengan demikian, praktek sirkumsisi perempuan dengan berbagai modelnya (clitoridectomy, eksisi, sampai infibulasi) dibenarkan oleh masyarakat.
221
Olayinka Koso-Tomas, The Circumcicion of Women: A Strategy for Education, 17, lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 183. 222 Tim Penyusun Buklet Kesehatan Reproduksi PATH Indonesia, Kesehatan Reproduksi, 21. 223 Jeanne Becher, Perempuan, Agama, dan Seksualitas Studi Tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, (Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 2004), cet. Ke2, 214, dan lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1996), cet. Ke-II, 296297.
70
Dari sejumlah penelitian yang dilakukan oleh kedokteran, telah membuktikan bahwa sirkumsisi perempuan itu membahayakan dan merusak kesehatan kaum perempuan.224 Praktek sirkumsisi dengan pemotongan yang berlebihan pada organ seksual akan menyebabkan perempuan kesulitan menikmati dan mengalami orgasme. Bahkan, terkumpul sejumlah data yang menyatakan, banyak isteri yang tidak pernah mengalami orgasme sama sekali akibat sirkumsisi.225 Padahal, menurut ajaran Islam, hak utuk memperoleh kepuasan seksual sama antara lakilaki dan perempuan. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual secara paralel adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami istri. Hal ini, sejalan dengan pernyataan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 187:
(187 :2/
).... ....
Artinya: “...Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka....” Ayat tersebut menempatkan suami isteri pada posisi yang sama. al-Gazali berpendapat, seperti dikatakan Fetimah Mernisi dalam bukunya Beyond the Evil: “Kepuasan seksual adalah hak dan kewajiban suami isteri. Seorang suami berhak memperoleh kepuasan seksual dari isterinya begitu juga sebaliknya. Suami istri berkewajiban memuaskan pasangannya masingmasing. Oleh sebab itu, jika suami sudah mencapai orgasme dan isteri belum, maka warming up atau rangsangan lain menjadi wajib dilakukan suami demi mengantar istrinya meraih orgasme.”226 Dari penjelasan ini, apabila dilihat dari teori maqashid syariat, praktek sirkumsisi perempuan akan menimbulkan kemudharatan, yaitu berefek negatif pada penghilangan hak kesehatan dan reproduksi perempuan serta membelenggu hak-hak seksualitasnya. Oleh karena itu, Islam tidak memerintahkan sirkumsisi perempuan, karena tidak Islami. Praktek ini sangat asing bagi cita-cita Islam. 224
Efua Dorkenoo, Cutting The Rose, Female Genitale Mutilation: The Practice and its Prevention, h. 37, dan lihat Haifa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender, 203-204. 225 Lebih lanjut baca Nani Zulminarni, Menguak Tabu: Pengalaman Lapangan PPSW Menyoal Hak dan Kesehatan Reproduksi Perempuan, 57, lihat artikel “Pro Kontra Khitan Perempuan”, Pikiran Rakyat, (Bandung), 23 Mei 2003. 226 Fatimah Mernisi, Beyond the Evil (Seks dan Kekuasaan: Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarkat Muslim Modern), (Surabaya: Al-Fikr, 1997), 92–107.
71
Karena, hakekat Islam dalam maqashid syariat-nya memberikan spirit keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan hak-hak manusia kepada laki-laki dan terutama kepada kaum perempuan.
E. Refleksi Akhir Filosofis Sirkumsisi perempuan, adalah suatu pembahasan yang sangat dilematis. Karena, terdapat benturan antara ketentuan nash yang bersifat universal dan permanen, dengan nilai budaya yang bersifat lokal dan kontemporer. Umat Islam dihadapkan kepada pilihan yang rumit, yaitu; mestikah menerapkan stabilitas dan integritasi nilai-nilai yang sudah mapan, atau mestikah mentolerir stabilitas dan integrasi nilai yang tidak mengacu dengan nash? Sirkumsisi perempuan, di satu sisi dianggap sebagai bagian doktrin agama Islam, dan yang lain, menganggap sebagai warisan sejarah masa lalu yang tidak Islami, namun kemudian diadopsi secara salah ke dalam kerangka agama Islam. Tampaknya, pendapat terakhir lebih meyakinkan. Sebab, menurut sejarah, sirkumsisi perempuan tidak mempunyai kaitan akurat dalam syariat Islam, melainkan sebuah tradisi klasik dari qobilah-qobilah benua Afrika dan Mesir Kuno, yang secara perlahan berinteraksi dan kemudian diadopsi sebagai norma agama. Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ditampilkan dan diterima (di beberapa negara muslim), sebagai ajaran Islam. Islam memang tidak bisa dilepaskan dari budaya. Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan budaya. Tak jarang agama menggunakan instrumeninstrumen budaya setempat dalam menyebarkan ajaran-ajarannya. Sikap protektif dari agama atau menolak budaya dari suatu masyarakat justru bersifat kontraproduktif terhadap perkembangan Islam itu sendiri. Meskipun, sirkumsisi merupakan budaya yang pernah digunakan Nabi Ibrahim a.s, sebagai simbol perjanjian dengan Allah SWT. Namun, sirkumsisi bukan merupakan produk asli agama tertentu, tapi merupakan budaya yang mapan sejak jaman dahulu kala. Budaya sebagai bagian dari perkataan, perbuatan dan hasil karya manusia sangat erat sekali penyatuaannya dengan sosial-kultural maupun agama. Sehingga, budaya yang sudah lama menyatu dengan masyarakat, lambat laun akan
72
dimasukkan dalam aturan-aturan Islam. Banyak tradisi-tradisi pra-Islam dalam bentuk adat-budaya menjadi bagian integral dari syariat Islam. Hal itu, akan semakin menguatkan posisi sirkumsisi perempuan sebagai budaya dan juga sebagai ajaran Islam. Sirkumsisi telah menjelma menjadi budaya di tengah tradisibudaya, artinya, budaya tersebut sudah menjadi bagian dari budaya yang lain. Oleh sebab itu, sangat wajar, ketika manusia ingin membedah dan memisahkan budaya ini dari yang lain maka, masyarakat yang merupakan pondasi dan pelaku budaya merasa terancam, secara ideologi, adat-budaya, bahkan, eksistensi ajaran agamanya. Masyarakat tradisional secara umum, apalagi, di Indonesia yang mayoritas pemeluknya beragama Islam sudah menganggap dan meyakini bahwa sirkumsisi merupakan ajaran dan budaya Islam. Dengan demikian, ketika ada pihak-pihak yang mempertanyakan dan menghimbau utnuk penghentian budaya tersebut, serta-merta pemeluk agama Islam dan pemuka budaya merasa tersinggung dan melawannya. Sebab, pelarangan tersebut, dinilai sebagai penodaan dan pelecehan terhadap budaya dan kesucian agama. Sehingga, tidak heran, ketika pihak kesehatan membuat kebijakan pelarangan medikalisasi sirkumsisi perempuan dengan alasan apa pun, ditolak mentah-mentah oleh komunitas yang berkepentingan, atau yang menganut tradisi tersebut. Lain dari Islam dan budaya, pihak kesehatan lebih dianggap sebagai pihak luar. Kenapa demikian? Karena dalam masyarakat tradisional secara umum, apalagi di Indonesia, pekerja medis dianggap merupakan orang luar dalam suatu komunitas. Hal ini terjadi, karena, dunia pengetahuan adalah hal yang baru, tidak selama dan seawal agama dan budaya mengiringi dan membentuk perjalanan masayarakat itu sendiri. Bahkan, di sebagian masyarakat ada yang masih kukuh dengan pengetahuan tradisionalnya- misalnya, sebagian besar masyarakat lebih percaya kepada pengobatan tradisional ketimbang medis, masyarakat lebih meyakini peninggalan leluhur -daripada mempercayai hal baru (medis) yang lebih rasional dan modern. Namun, kontroversi dan benturan-benturan ini, bukan tidak ada solusinya. Ada beberapa aspek yang perlu dicermati dan dianalisa mengenai permasalahan kontroversi sirkumsisi perempuan ini.
73
Pertama, pengkajian ulang status hukum sirkumsisi perempuan. Banyak pemuka agama menolak penafsiran ulang atas ijtihad ulama ortodoks tentang sirkumsisi perempuan. Padahal, kebijakan-kebijakan tersebut berkembang sesuai dengan konteksnya. Karena, teks-teks agama dipahami dalam masa tertentu maka, formulasi ajaran Islam pada masa itu juga membawa corak simbol konteks sosiokultural masa itu. Artinya, ijtihad ulama tersebut bukanlah kebijakan final. Bukankah penafsir dan intelektual adalah anak zamannya. Tindakan pemuka Islam yang tidak peduli pada pembaruan ajaran-ajaran Islam, seolah menunjukkan ketidaksiapan Islam dalam membendung arus budaya luar yang semakin dalam masuk ke dalam ajaran Islam. Nilai-nilai yang paling fundamental dalam Islam adalah kemaslahatan universal; keadilan dan persamaan, yakni persamaan dalam semua wilayah, termasuk wilayah seksual perempuan. Dengan begitu, syariat yang tidak relevan dengan hak-hak perempuan di jaman sekarang haruslah dikaji ulang. Dalil teks nash tentang sirkumsisi perempuan tidak ada yang spesifik, semua dalil berkategori lemah atau dha’if. Bahkan, tiga dari ulama empat mazhab melabeli status sirkumsisi perempuan dengan kemulyaan saja. Tentunya, ijtihad ini lebih berkonotasi kepada situasi sosial-budaya yang ada, daripada perintah syariat. Kajian ulang sirkumsisi perempuan tersebut, lebih kepada aspek tujuan maqashid syariat (nilai universal Islam). Apabila ditelaah lebih jauh, aspek kemaslahatan yang diperoleh dari tindakan tersebut maka, dapat disimpulkan bahwa sirkumsisi kepada laki-laki hukumnya wajib. Sebab, memenuhi lima aspek dasar dari maqashid syariat. Artinya positif bagi kesehatan organ kelamin/penis, bermanfaat bagi seksualitasnya, dan pada gilirannya juga bermanfaat kepada isterinya (secara biologis dan organ reproduksi/rahimnya). Sedangkan bagi perempuan, tindakan tersebut dari aspek maqashid syariat tidak ditemukan maslahatnya. Etika kesehatan tidak menemukan bukti positif bagi kesehatannya,
malah,
berdampak
negatif
pada
fisik,
psikis
dan
juga
seksualitasnya. Melestarikan tradisi ini, berarti juga melestarikan keiidakadilan jender yang sekaligus mengamputasi tujuan maqashid syariat itu sendiri.
74
Oleh karena itu, praktek ini merupakan satu bentuk dari diskriminasi jender, dimana, terjadi kekerasan, stereotip negatif dan penghilangan hak-hak atas kesehatan dan juga kualitas seksual perempuan. Maka yang demikian ini, jelas, terlihat agak anti-Islam. Bertentangan dengan konsep relasi jender yang dikembangkan dalam pembebasan Islam, sebagaimana di proyeksikan Nabi pada masa-masa awal. Sebab, Al-Quran juga secara nyata telah mengupayakan peningkatan harkat dan martabat perempuan, dari keadaan hampir tidak mempunyai hak-hak individu sampai pada tingkat yang setara dengan laki-laki. Penelitian membukikan bahwa di antara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup di masa turunnya Al-Qur’an, seperti Yunani, Romawi, Persia, Cina, India, Arab Kuno, Kristen, dan Yahudi. Tidak ada satupun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan Islam.227 Kedua, memperjelas titik perdebatan sirkumsisi perempuan. Dari aspek hadis, nilai-nilai universal Islam selalu mengutamakan kemaslahatan kepada manusia dan semesta. Budaya dengan semua kode etiknya memuat aturan-aturan yang berhubungan dengan peilaku manusia sehari-hari, agar tidak terjadi benturan-benturan dalam masyarakat. Demikian juga dengan prinsip kesehatan, yang menjunjung tinggi pengabdian kepada masyarakat demi tercapai masyarakat yang sehat dan sejahtera. Pada titik ini, tidak ada perbedaan sama sekali antara agama dan kesehatan. Kendala dan perbedaan dalam perdebatan ini adalah segi teknis dan pelaksanaannya. Pendapat muhadisin dan ulama fikih menganjurkan untuk memotong atau melukai sedikit klitoris atau kulit di atas klitoris, bukan memotong semuanya atau mengebirinya seperti praktek di Afrika, Timur Tengah dan Sudan. Karena, tindakan berlebihan tersebut tidak dianjurkan dalam doktrin Islam. Sedangkan ahli kesehatan menilai, tindakan atau bentuk medikalisasi jenis apapun, tidak bisa dilakukan. Karena, ditakuti pemotongan tersebut dapat menghilangkan syaraf sensorik seksual wanita. Alasan ini, berdasar dari penelitian 227
Yvony Yazbeck Haddad, Contemporary Islam and Challenge of History, New York: State University of New York, 1980, 56, dan lihat Nasaruddin Umar, argumen kesetaraan jender, perspektif al-Qur’an, 24.
75
dibeberapa kabupaten di Indonesia yang sebagian besar memotong klitoris perempuan. Oleh karena itu, untuk lebih berhati-hati agar tidak terjadi pemotongan organ genital perempuan, ahli kesehatan menganjurkan untuk tidak melakukan praktek sirkumsisi perempuan. Sedangkan, bentuk pengobatan dan terapi, tanpa melukai organ tubuh, dipersilahkan. Apabila tujuannya adalah sebagai pembersihan dari kotoran dan najis, maka medis menawarkan dengan pembersihan seputar kelamin perempuan dengan menggunakan alkohol atau obatobat lainnya- tanpa ada tindakan medikalisasi/perlukaan. Karena, tindakan tersebut selain membersihkan area sekitar vagina juga, menghilangkan bibit-bibit virus jika ada yang bersarang disekitar area tersebut. Ketiga, perubahan tentang sirkumsisi perempuan. Perubahan tidak hanya memerlukan rasa butuh untuk berubah dalam kelompok besar masyarakat, namun juga butuh manusia-manusia yang berdedikasi tinggi serta peduli dalam mesin perubahan tersebut. Terakhir, dan paling penting adalah mengupayakan agar masyarakat tidak merasa terancam dengan reformasi tersebut. Masyarakat harus dijauhkan dari propaganda-propaganda yang mengancam kepercayaan dan keyakinan dirinya. Supaya nantinya, masyarakat sendiri yang berinisiatif untuk melakukan perubahan secara mandiri tanpa merasa ada paksaan dan intervensi dari pihak luar. Menurut penulis, tindakan WHO yang secara resmi tidak membolehkan praktek sirkumsisi pada perempuan, dan Depkes RI, yang melarang petugas kesehatan untuk melakukan medikalisasi sirkumsisi perempuan, bukanlah keputusan dan cara yang tepat dalam penanggulangan masalah budaya sirkumsisi khususnya, di Indonesia. Penulis berpendapat, bahwa usaha terbaik mengatasi praktek sirkumsisi perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif (pelarangan langsung), sesuai dengan kultur lokal dan dari banyak sisi. Wujudnya, berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam menyikapi praktek sirkumsisi, dimana nantinya, muncul keputusan yang mandiri di benak masyarakat, tanpa merasa diprogram dari luar. Pendekatan legal-formal secara direktif justru menimbulkan resistensi (perlawanan). Melalui diskusi dan pendekatan secara perlahan, bisa dicapai pemahaman masyarakat yang lebih
76
profesional dalam sirkumsisi perempuan. Sebagian masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban, tetapi rasa kepedulian terhadap risiko kesehatan dan lain-lain yang ditimbulkan membuat mereka lebih berhati-hati. Lebih jauh lagi, para medis bisa memberikan banyak penjelasan soal kesehatan reproduksi, terutama bagi perempuan. Para orang tua lebih bisa menerima penjelasan ini, karena, tenaga medis tidak harus menunjukkan “resistensi” terhadap keinginan untuk melakukan sirkumsisi bagi anaknya. Kondisi positif seperti ini, justru tidak bisa diperoleh kalau pelayanan sirkumsisi perempuan oleh tenaga medis dilarang pemerintah begitu saja tanpa ada cara lain yang ditawarkan. Malahan, tidak jarang usaha penyuluhan dianggap sebagai usaha merusak kebudayaan lokal. Karena itu, sikap dan cara pandang masyarakat lebih mutlak untuk dipelajari/didekati dalam rangka menanamkan perilaku dan hidup sehat, daripada sekedar mensosialisasikan isu-isu pelanggaran HAM, dampak kesehatan, seksualitas perempuan bahkan kritik-kritik jender. Sementara itu, pendekatan banyak sisi harus melibatkan banyak pihak, seperti organisasi keagamaan. Untuk menyebarluaskan intreprestasi ajaran Islam yang tepat tentang status sirkumsisi perempuan. Karena bagaimana pun, alasan tokoh Islam sangat mendominasi praktek sirkumsisi perempuan khususnya di Indonesia. Pendidikan kesehatan reproduksi atau seksual, juga perlu diusulkan untuk mendidik pemahaman masyarakat. Dan jika, semua ini sudah berjalan lancar maka, pemahaman-pemahaman lain, seperti relasi jender akan mudah diterima masyarakat. Sebab, perasaan terancan dan perusakan budaya mapan sudah tidak menjadi masalah lagi. Dengan demikian, dalam perjalanannya nanti, masyarakat akan mampu membuat keputusan sendiri soal sirkumsisi perempuan, apakah tetap setia dengan warisan tradisi-budaya yang diskriminatif tersebut, atau lebih memilih alternatif yang lebih kontekstual, relevan dengan nilai universal Islam, etika kesehatan, dan juga membebaskan hak-hak perempuan dari bias jender?.
77
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Dasar hadis-hadis yang berkaitan dengan sirkumsisi perempuan adalah berstatus lemah dan tidak sahih, sehingga status sirkumsisi adalah murni hasil ijtihadiyah ulama, bukan perintah atau tuntunan langsung dari islam. Karena teksteks sirkumsisi dianggap tidak valid, maka tinggal pertimbangan kemaslahatan yang dijadikan sebagai landasan status sirkumsisi. Dalam persoalan ini, sirkumsisi laki-laki hukumnya wajib. Karena, didukung oleh nash dan teori maqashid syariah, juga berefek positif pada kesehatan dan seksualitasnya. Sedangkan sirkumsisi perempuan, statusnya adalah dilarang atau haram. Karena, tidak didukung oleh nash yang sahih melainkan dalil yang dha’if. Menurut teori maqashid syari’at, sirkumsisi perempuan tidak mengandung kemaslahatan. Sebaliknya, berefek negatif bagi fisik, seksual dan psikologisnya. Sirkumsisi perempuan tidak memiliki landasan dalam etika kesehatan, baik dari segi prosedur maupun teknisnya. Mendikalisiasi sirkumsisi perempuan, bertentangan dengan etika kesehatan. Sebab, tindakan mutilasi atau pemotongan organ tubuh manusia dilarang, selama tindakan itu tidak diperlukan dan mengandung nilai positif. Dari penelitian yang ada, menunjukkan bahwa sirkumsisi perempuan berdampak negatif terhadap kesehatan fisik, oran reproduksi dan juga organ seksualnya. Oleh sebab itu, pihak kesehatan melarang praktek medikalisasi sirkumsisi perempuan. Tradisi sirkumsisi perempuan merupakan manifestasi dari perbedaan jender yang melahirkan ketidakadilan dalam sturktur dan sistem sosial-budaya. Tradisi budaya klasik yang diskriminatif jender, mempengaruhi pemahaman ajaran islam. Meskipun, Islam memberikan hak-hak terhormat kepada perempuan, namun dalam perjalanannya tidak sedikit doktrin Islam terkontaminasi oleh paham yang bias jender. Hal ini, dikarenakan agama berinteraksi dengan sosial-budaya yang berbeda. Pemahaman yang bias jender tersebut, mesti dikembalikan kepada nilainilai Islam yang fundamental (universal), selaras dengan relasi jender, yakni
78
keadilan, kesetaraan dan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Stereotip negatif dan kekerasan seksual, seperti sirkumsisi perempuan merupakan pelestarian dari budaya yang tidak adil dalam memandang jender. Oleh sebab itu, seyogyanya tafsir Islam didekonstruksi menjadi tafsir yang kontekstual, reformis dan dinamis. Praksisnya, untuk membebaskan hak-hak perempuan, dan tentunya relevan dengan semangat relasi jender dalam nilai-nilai universal Islam itu sendiri. Dari penjelasan di atas, maka penulis mengambil beberapa poin kesimpulan antara lain, sebagai berikut: 1. Khitan untuk laki-laki maupun untuk perempuan tidak adanya kesepakatan ulama 2. Khitan bagi laki-laki, minimalnya adalah disunnahkan, dan banyak ulama yag mewajibkan. Namuna kaerena dampak positif dari khitan laki-laki sngat banyak, maka penulis cenderung memilh pendapat yang mewajibkan khitan bagi laki-laki. 3. Khitan bagi
perempuan, ada yang mewajibkan ada
yang
memubahkan. Melihat dari dalil yang ada, penulis memilih yang memubahkan , meski dalil hadis yang memubahkan (mskrumah) adalah hadis lemah. 4. Apabila khitan perempuan adlah mubah, maka faktor yang mendorong untuk melakukan atau tidak melakukan dampak positif dan negatifnya. Karena itu, penelitian dokter muslim / muslimah yang bertakwa sangat di perlukan. 5. Berdasarkan
hasil penelitian metode khitan perempuan yang
dilakukan oleh muslimah indonesia dan diluar indonesia, dan temukan adanya beberapa metode yang justru sangat mentyakitkan,menyiksa dan merugikan perempuan, maka metode yang dinilai dokter membahayakan
dan
menzalimi
perempuan
ini
adalah
yang
diharamkan. Sedangkan khita perempuan yang boleh /mubah adalah metode yag disarankan dokter. 6. Adpun metode yang di bolehkan oleh dokter yaitu metode insisi dimana tidak ada pemotongan klitoris.
79
7. Apabila kemudian hari, berdasarkan penelitian yang seksama dan berkesinambungan, ditemukan metode yang tidak membahayaka n/ merugikan perempuan, maka metode itu dapat dilakukan. Hal ini berfasarkan kaidah La darara wala dirar (tidak boleh membahayakan diri dan tidak boleh membahayakan orang lain).
B. Rekomendasi 1. Diharapkan permasalahan ini dibahas secara lebih jelas dan terbuka, agar memberi kejelasan bagi masyarakat mengenai status, dampak dan konseksuensi lain dari sirkumsisi perempuan. 2. Sebaiknya diadakan dialog demi terciptanya peningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh muhaddisin/islam, pemuka adat, kaum perempuan, dan ahli fiqih terhadap masalah sirkumsisi perempuan. 3. Diharapkan terjadinya kerjasama antara berbagai berbagai kalangan yang berkepentingan untuk membahas praktek budaya sirkumsisi perempuan, serta memberikan pemahaman dan pendidikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kontroversi dan polemik yang berlarut tanpa ada kepastian.
80
DAFTAR PUSTAKA al-Afriqi, Ibnu Manzhur. Lisân al-‘Arab, juz 13. Beirut: Dar Shadir, 1994. al-Siddiqî al-Syafi’i al-Asy’ari al Makkî, Ibn ‘Allan. al-Futuhat al-Rabbaniyah al-Adzkar al-Namawiyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1978. A. Jawad, Haifa. Otentisitas Hak-Hak Perempuan Perspektif Islam dan Kesetaraan Jender.Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. Anshari NST, A. Suyuti. “Khitan Wanita Sebuah Studi Normatif Dari Perspektif Islam.” Dalam acara seminar Rountable Discussion Female Circumcision di PBNU, 16 april 2003. al-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islâm wa ‘Adillatuhu, Damaskus; Dar al-Fikr, 1989, juz III. Becher, Jeanne. Perempuan, Agama, dan Seksualitas Studi Tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama Terhadap Perempuan, Jakarta: P.T. BPK Gunung Mulia, 2004, cet. Ke-2. Bakker, F. L. Sedjarah Keradjaan Allah Perdjandjian Lama, Jakarta: BPK, 1965, cet. Ke-4. Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University. “Hasil Penelitian Oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Population Council dan Universitas Gajah Mada Dari Tahun 2001-2003”. Yogyakarta: Population Council dan Gadjah Mada Press, 2003. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Proyek Penerbitan Kitab Suci, 1984/1985. __________________, al-Qur’an dan Terjemahnya. Ed. Revisi. Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994. DVD Program Maktabah Syamilah versi 3.11. Dwikarya, Maria. Menjaga Organ Intim (Penyakit dan Penanggulangannya). Jakarta: P.T. Kawan Pustaka, 2004. Engineer, Asghar Ali., Pembebasan Perempuan, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2003, Penerj. Agus Nuryanto, cet. Ke-1. Fakih, Mansour., Analisis Gender & Pemahaman Trnsformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, cet. Ke-5.
81
Ghozali, Abdul Moqsit., dkk. Tubuh Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Jakarta: Rahima, 2002. “Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan.” Jurnal Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002. “Hentikan Medikalisasi Sunat Perempuan.” Kompas, 1 Juni 2005. Jamil, Asriati. “Sunat Perempuan Dalam Islam: Sebuah Analisis Jender,” dalam Refleks: Jurnal Kajian Agama dan Filsafat (Jakarta, Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, 2001) vol. 3. no. 2. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1997, cet. Ke-2. Lukman Hakim, “Khitan Perempuan Dalam Sebuah Tradisi dan Syari’at Agama.” Dalam seminar sehari, “Khitan Perempuan”. di Aula SD Assalam, Bandung (16 Mei 2003). Llewellyn, Derek dan M.D., Jones. Wanita dan Masalahnya. Surabaya: Usaha Nasional, tt. Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2001. Misrawi, Zuhairi., Dari Syariat Menuju Maqashid Syariat Fundamentalisme, Seksualitas dan Kesehatan Reproduksi, Jakarta: KIKJ & Ford Foundation, 2003. Mas’udi, Masdar F. “Perempuan di Antara Lembaran Kitab Kuning”. Dalam Mansour Fakih et.al. Membincang Feminisme. Surabaya: Risalah Gusti, 2000. ______, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan. Bandung: Mizan, 1997. Masterton, Graham. Menikmati Kepuasan Sejati, terj. Sudarmaji. KDT, PT. Kentindo Publisher, 2003, cet. Ke-4. Muhammad Syâkir, Ahmad. Tarjamah al-Tirmidzî. Beirut: Daar al-Kutub al‘Ilmiyah, 1998. Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: t.p, 1984. Mulder, D.C. Pembimbing Kedalam Perdjangdjian Lama, Jakarta: BPK, 1970, cet. Ke-2. Mesraini. “Khitan Perempuan, Antara Mitos Dan Legitimasi Doktrinal KeIslaman,” Kompas, 13 oktober 2003.
82
Naipospos, J. Boland dan P.S. Tafsiran Alkitab Lukas. Jakarta: BPK, 1970. Natsir, Lies Marcoes. “Mempertanyakan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia.” Kompas, 24 Februari 2003. “Pemerintah Larang Sunat pada Perempuan.” Tempo, 4 Oktober 2006. Pangkahila, Wimpie. Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual, Jakarta: P.T. Intisari Mediatama, 1999, cet. Ke-2. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Kairo: Dar al-Fikr, 1987. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992. Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES, 1995. Shiva, Vandana. Bebas Dari Pembangunan Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, penerjemah Hira Jhamtani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. “
Stop Sunat Anak Perempuan.” Ayahbunda, No.18/1-14 (September 2005).
Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 2001, cet. Ke-9. Umar, Nasaruddin., Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, cet. Ke-II. ______________., “Bias Gender Dalam Pemahaman Agama,” dalam Jurnal Perempuan, edisi 03. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 1997. ______________., Qur’an Untuk Perempuan, Jakarta: JIL dan Teater Utan Kayu, 2002. Qardhawi, Yusuf. Kaifa Nata’âmalu ma’a al-Sunnah al- Nabawiyyah (ter). Bandung: Karisma, 1995.
83
Website: “Anshari Nst., A.Sayuti. “Khitan Wanita Sebuah studi normatif dari perspektif Islam”. Artikel diakses pada tanggal 16 Oktober 2008 dari situs www.http://soc.culture.indonesia/html “Belum Ada Sosialisasi Tentang Sunat Perempuan“. Artikel diakses pada 8 Sepetmber 2008 dari http://www.waspada.co.id/html Depkes, “Kebijakan Departemen Kesehatan Terhadap Medikalisasi Sunat Perempuan”. Artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari http://pusdiknakes.or.id “Dokter dan Bidan Dianggap Melakukan Kesalahan Prosedur Khitan”. Artikel diakses pada 25 Oktober 2008 dari http://www.prakarsarakyat.org/artikel/html “Ervan Nurtawab”, “Lebih Jauh Dengan Khitan Perempuan”. Artikel diakses pada 20 Mei 2008 dari http://www.icrp-online.org Hermianti, Sri. “Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan Mencubit 'Titipan Setan'”. Artikel diakses 6 September 2008 dari http://situs.kesrepro.info/htm “Khitan Perempuan Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang Diabaikan”. Artikel diakses pada 20 Juli 2008 dari http://yuliindarti-blog.co.cc/html Kumkum. “Sunat Perempuan Langgar HAM”. Artikel diakses pada 20 September 2008 dari http://www.suarakarya-online.com/news.html. “Kenapa Wanita Disunat?”. Artikel diakses tanggal 7 september 2008 dari http://majalahdewadewi.wordpress.com/html Kusumaputra, R Adhi. “Penelitian di Enam Kota, 90 Persen Perempuan Dikhitan.” Artikel diakses pada 10 Oktober 2008 dari situs https://www.kompas.com/htm “MUI Tak Mempersoalkan “khitan” Bagi Wanita”. Artikel diakses pada 23 September 2008 dari http://www.antara.co.id/html “Mesir Larang Khitanan Wanita”. Artikel diakses pada 14 Sepetember 2008 dari http://www.oyr79.com/html “Mitos-mitos Mendasari Sunat perempuan”. Artikel diakses 17 Agustus 2008 dari http://www.menegpp.go.id/html Noorsena, Bambang. “Khitan dalam Perspektif Kristen: Latar Belakang Yahudi dan Paralelisasinya dengan Islam”. Artikel diakses pada 10 September 2008 dari http://savindievoice.wordpress.com
84
Pagar. “Mengkritik Tradisi Khitan Perempuan Dalam Paham Sunni Di Indonesia”. Artikel diakses 16 September 2008 dari http://www.waspada.co.idhtml “Pro dan Kontra Sunat Genital Terhadap Kaum Perempuan“. Artikel diakses 10 September 2008 dari situs http://indonesiancommunity.multiply.com/ Sadli, Saparinah. “Praktek Sunat Di Indonesia”. Dalam “Sunat Perempuan Langgar HAM”. Artikel diakses pada 16 Agustus 2008 dari http://www.suarakarya-online.com/news.html “Sunat Perempuan? Jangan Deh...”. Artikel diakses pada 20 Juli 2008 dari http://www.kompas.com/kesehatan/news/.html Sukarsono, Achmad. “Indonesia Melarang Dokter Melakukan Penyunatan Terhadap Wanita”. Artikel diakses pada tanggal 12 Juli 2008 dari situs http://www.indonesia.faithfreedom.org/forum/ “Tidak Ada Manfaatnya”. Artikel diakses pada tanggal 18 September 2008 dari http://fashionesedaily.com/forum/archive/html
85