Krisis Seni Rupa (Modern) dan Infrastruktur

44 downloads 375 Views 12KB Size Report
Pameran Seni Rupa Nusantara ; bertajuk Demi Ma[s]sa diresmikan. ... Dalam Ok Video – Militia , di bagian VIDEO IN disertakan karya-karya hasil loka-karya.
Sebuah Wacana : Menyikapi Keterbatasan Infrasktruktur Seni Rupa Indonesia Rifky Effendy

Di Galeri Nasional Indonesia (GNI), secara bersamaan dilangsungkan dua peristiwa pameran yang berbeda. Organisasi ruangrupa (ruru) menyelenggarakan Ok Video – Militia 2007, yang merupakan festival video dua tahunan ketiga, dibuka dengan sambutan hangat dari khalayak yang umumnya kaum muda. Sehari kemudian gedung utama GNI, tepatnya tanggal 12 Juli petang, Pameran Seni Rupa Nusantara ; bertajuk Demi Ma[s]sa diresmikan. Dengan penyelenggara utama Departemen Kebudayaan dan Parawisata (DKdP), dan pada hari itu pula pameran koleksi GNI dibuka untuk khalayak umum di gedung sayap kiri. Menarik sekali untuk membahas kedua pameran ini kedalam pokok soal urgensi pemberdayaan infrastruktur seni rupa kita.

Dalam Ok Video – Militia , di bagian VIDEO IN disertakan karya-karya hasil loka-karya (workshop) dari 15 komunitas di 12 kota seluruh tanah air. Selain Jakarta, Bandung , Jogja , juga melibatkan komunitas dari Cirebon, Banten, Jatiwangi, Manado, Surabaya, Malang, Padang, Pekanbaru. Reza ‘asung’ Afisina , sang koordinatornya dari ruru, mengungkapkan dalam pengantar katalog, bahwa loka-karya ini dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat dengan menggunakan video sebagai ekspresi, alat penyelidikan dan refleksi fenomena sosial. Ruru telah berupaya membuka lebar ruang apresiasi perkembangan media baru video ke komunitas – komunitas yang tersebar, dengan mengadakan kunjungan, penelitian sederhana, dan bekerja sama , berbagi pengetahuan, untuk menunjukan bagaimana teknologi video bisa “berbicara” dalam dimensi ekspresi kelompok maupun individu.

Walaupun hasilnya secara kualitas beragam. Tetapi ruru sadar benar penyebaran teknologi video dan piranti lunak dengan mudah didapat , dan digunakan secara umum oleh generasi muda. Seperti juga kamera dijital dan telepon seluler. Pola penyebaran pasar secara global memudahkan akses bagi masyarakat, hingga kota kecil diseluruh nusantara untuk memiliki teknologi tersebut. Maka potensi lain diluar kemampuannya melulu untuk merekam, video maupun media yang berbasis pada teknologi dijital, mempunyai kekuatan tersendiri untuk dijelajahi. Ruru menempatkan posisi yang strategis untuk membangun serta membentuk infrastrukturnya,

membawa seni video kedalam kancah dan dinamika perkembangan seni rupa kontemporer. Sekaligus mengisi suatu ruang dalam carut-marut pranata seni rupa Indonesia.

Tampak perbedaannya dengan pameran Seni Rupa Nusantara (SRN). Karya-karya dalam pameran ini bertujuan menunjukan perkembangan seni rupa diberbagai wilayah di Indonesia. Melibatkan 81 seniman dari 21 provinsi, yang memamerkan hasil karya yang kebanyakan lukisan dan beberapa patung, instalasi, instalasi,serta video. Pameran SRN menghadapkan kita pada keironisan perkembangan. Sejak awal dekade 90-an kita sering mendengar kredo pluralisme yang dijargonkan pengusung posmodernis , yang mengusulkan untuk lebih memperhatikan lokalisme ditengah globalisasi, atau Glokal. Alih-alih bahwa reaksi atas modernitas (dan modernisme) yang membuka jurang yang lebar pada perkembangan seni rupa di tanah air. Persis seperti diungkapkan alm. Sanento Yuliman, yang juga disitir oleh kurator pameran SRN; Rizki A. Zaelani, bahwa modernisme membentuk pandangan serba tunggal dalam memahami perkembangan seni, selain terjadi pemusatan perkembangan.

Kenyataan hingga saat ini, pandangan tentang seni rupa modern warisan politik identitas Nasional jaman Soedjojono, hanya dimaknai sebatas seni lukis dan sedikit patung sebagai praktik yang umum dan diakui, serta diserap mekanisme pasar. Diadaptasi kedalam lembaga pendidikan tinggi serta lembaga kebudayaan seni rupa Nasional, yang menyebar diseluruh provinsi, lewat lembaga dewan kesenian atau taman budaya. Pemikiran yang terkandung dalam manifesto nasional kemudian berhadapan dengan penafsiran seseorang yang beragam latar budaya, sosial dan ekonomi. Ditambah dengan sistim pemusatan yang membangun simbol-simbol puncak kebudayaan, praktik seni rupa diwilayah “non pusat ; Jogja, Jakarta, Bandung, Bali” berhadapan dengan ketidak - merataan dan ketidak berimbangan informasi, atau penyebaran sarana lainnya. Mungkinkah kondisi ini bisa mendorong pencarian “Kebedaan dari Kesamaan” atau “ Kesamaan dari Kebedaan” ?

Wakil seniman dari Riau contohnya , dalam acara seminar yang menyertai pameran SRN, mengatakan bahwa untuk memperoleh material kanvas dan cat minyak , mereka harus menempuh jarak 35 kilometer. Dan itupun belum tentu dengan kualitas yang terbaik. Belum lagi masalah apresiasi masyarakat lokal yang sangat terbatas. Sehingga para seniman “daerah” mempunyai masalah mengenai mediasi dan interaksi dengan masyarakatnya. Apalagi mencoba berinteraksi

dengan lembaga – lembaga di wilayah “pusat” perkembangan yang selalu diniscayakan. Saluransaluran seperti lembaga-lembaga nasional yang ada ternyata tidak mampu memberikan ruangruang leluasa pada praktik seni di wilayah lain. Pameran SRN - yang dirintis oleh kurator dan kritikus Maman Noor - kemudian hanya menjadi ajang untuk menunjukan keterbelakangan perkembangannya. Jerih payahnya untuk melibatkan praktik SR dari wilayah diluar pusat perkembangan, hanya berupaya untuk “ membahagiakan hati mereka”, atau sekedar berkesempatan bertatap muka dengan khalayak seni rupa pusat, yang penuh basa – basi.

Obyektif pameran SRN sesungguhnya melampaui dan harus mempertimbangkan kembali batas Nasional. Karena nusantara terlebih dahulu ada sebelum timbul gagasan nasional. Pada tahap ini harusnya kita kembali pada semangat kebhinekaan, pluralisme, dan lokalitas. Alih-alih bahwa seni lukis dan patung sebagai praktik seni rupa memang ternyata tidak membawa kita pada perkembangan yang membesarkan hati. Sebaliknya hanya meneguhkan modernitas yang timpang, sempit dan miskin penjelajahan. Jika kita kembali melihat apa yang dilakukan para perupa di awal dekade 90-an, atau lebih jauh pada manifesto Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia awal 1970-an. Niscaya disana terkandung semangat untuk membongkar praktik seni lukis dan patung dalam bingkai seni tinggi atau fine art maupun pemusatan seni. Disana terbuka ruang untuk medium marjinal, pemikiran lokal, tradisi bahkan paradigma yang berbeda.

Pangkal dari kemunduran ini, bisa jadi menyangkut pemberdayaan infrastruktur, terutama lembaga kesenian negara yang sangat kurang adaptif dan akomodatif terhadap pemikiranpemikiran mutakhir. Jika saja proyek SRN mengadaptasi apa yang dilakukan ruru untuk lebih aktif turun lapangan. Berinteraksi dengan komunitas kesenian dan melakukan gerakan-gerakan antar disiplin yang kondusif, secara mikro atau makro. Maka mencari kebedaan dari kesamaan dan sebaliknya, bukan hanya pada asumsi tapi pemikiran konstruktif. Padahal selama puluhan tahun kita merdeka, ada banyak penelitian dan pencatatan dari para akademisi, antropolog, sosiolog maupun ahli sejarah, berupa skripsi, tesis, yang bersemayam di perpustakaan – perpustakaan yang tersebar atau lembaga-lembaga budaya swadaya. Arsip-arsip ini harusnya bisa menjadi bahan dasar untuk pemikiran mencari kekayaan seni budaya nusantara, bahkan seni rupa modern.

Sehingga bagaimana kemudian dimaknai secara kekinian, tentunya butuh keberanian tersendiri

secara intelektual. Ada banyak bukti bahwa kesenian etnik atau tradisi juga berkembang ke arah kreatifitas individual, memasukan nilai yang aktual dan kontekstual. Seperti seni topeng Cirebon, Songket Minang, Wayang Sukasman, Batik Daud atau mungkin saja pematung dari pedalaman Papua. Disinilah seni rupa Indonesia membutuhkan peran aktif lembaga negara, dimana memberi dukungan kelembagaan bagi petualangan intelektual para kurator , kelompok peneliti dan senimannya. Atau memang dukungan selalu harus dengan campur tangan bantuan tangan asing atau korporasi, untuk merealisasikannya. Itupun akan lebih baik jika pemerintah ikut serta memikirkannya. (V)