Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia ..... dilangsungkan
secara adat Batak Toba dan pemberkatan Perkawinan menurut agama kristen.
LEGALITAS PERKAWINAN GEREJA DITINJAU DARI PRESPEKTIF HUKUM DAN ALKITAB Dr. Suhandi Cahaya, SH, MR, MBA Advokat-Kurator-Mediator-Konsultan HKI, Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Jayabaya Abstract We live like a candle, it can illuminate the people who are standing around us especially our couple, and if you say that you can love one person all your life is just like saying one candle with continue burning as long as you live. Marriage counseling in perspective law and Bible lead as to be a wise couple and have a passion for good life together. Before we have taken our decision to be separated at least we should like to consider and counseling with the people who have broader knowledge than us and don’t forget for legalise our marriage certificate, specially must be register at Registaar Official. The same area with our church, if not our marriage certificate from church not valid. Keywords: Marriage, church, bible, legal, certificate. A. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara hukum, demikian ketentuan yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen. Sebagai negara hukum, Indonesia harus memenuhi tiga asas pokok negara hukum, yaitu 1. Asas Supremasi hukum atau asas legalitas, dimana penguasa dan setiap penduduk atau warganegara harus tunduk dan taat pada hukum yang berlaku. 2. Asas mengakui dan melindungi hak asasi manusia dan perikemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mampu menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia apabila terjadi pelanggaran atau sengketa hukum dalam masyarakat. (lihat Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945) Dengan adanya perubahan dalam UUD 1945, maka muncul pula perubahan pada penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, sehingga Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman perlu disesuaikan dengan UUD 1945 yang telah mengalami perubahan tersebut Atas dasar itu, kemudian diundangkanlah Undang-Undang No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No tahun 2009 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Isi pasal ini menegaskan bahwa peranan Lembaga Peradilan adalah mewujudkan peradilan yang mandiri, tidak dipengaruhi pihak manapun, bersih dan profesional agar dapat berfungsi sebagaimana diharapkan oleh Undang-Undang.
Sejalan dengan hal tersebut arah pembangunan hukum dapat ditemukan dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 20002004 yang menyebutkan bahwa program-program pembangunan hukum meliputi : 1. Program pembentukan peraturan perundang-undangan. 2. Program pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya. 3. Program penuntasan kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta pelanggaran Hak Asasi Manusia. 4. Program peningkatan kesadaran hukum dan pengembangan budaya hukum. Pada pasal 1 angka ke-2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mengatakan bahwa pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Pembangunan yang dimaksud tersebut merupakan pembangunan menyeluruh pada semua bidang. Termasuk, dalam bidang hukum. Menurut Sunaryati Hartono dalam bukunya “Sejarah Perkembangan Hukum di Indonesia”, mengatakan bahwa pembangunan hukum meliputi empat upaya penting, yaitu : 1. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik). 2. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modem 3. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada, atau; 4. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru. Sehubungan dengan makna pembangunan hukum khususnya di bidang perkawinan, maka penulis bermaksud untuk menganalisis tentang legalitas perkawinan gereja dilihat dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Alkitab. Secara spesifik akan dibahas, apakah bagi seorang yang beragama Kristen, perkawinan gereja sudah dianggap cukup tanpa mendaftarkannya di Kantor Catatan Sipil ? B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Menurut Alkitab dalam Pasal Markus 10 ayat 9, menyebutkan : “Therefore what God has joined together, let man not separate atau karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Menurut Surachmin S.H., M. H., dan Dr. Suhandi Cahaya, S.H., M.H., MBA dalam buku “222 Asas dan Prinsip Hukum Penyelenggaraan Negara”, edisi revisi kedua 2010 pada halaman 93 menyebutkan : “Asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua Calon Suami-Istri.” Sebelum terjadi perkawinan (perikatan) hendaknya ada kata sepakat antara calon suamiistri yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Kata sepakat bersumber dari adanya persetujuan antara calon suami-istri, olah karena itu tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya persetujuan-persetujuan terdapat didalam Pasal 1313 BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Sedangkan syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya persetujuanpersetujuan terdapat dalam Pasal 1320 BW adalah :
a. b. c. d.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.” Syarat pertama dan syarat kedua menyangkut subjeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai objeknya. Bila terhadap subyeknya terdapat cacat hukum berupa kehendak/keliru, paksaan, penipuan atau tidak cakap untuk membuat perikatan, akan mengakibatkan dapat dibatalkannya persetujuan sedangkan jika objeknya tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan atau causanya tidak halal persetujuannya adalah Batal Demi Hukum. Hal ini diperjelas oleh Pasal 1321 BW: “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.” Ada kalanya pernyataan seseorang itu sesuai dengan kehendaknya, akan tetapi kehendaknya disini adalah tidak murni, karena didorong oleh sesuatu yang keliru. Misalnya : A, membeli sesuatu barang yang disangkanya antik, akan tetapi ternyata bukan. Disisi lain mungkin terjadi terdapat kekeliruan mengenai kualitas barangnya, selain itu mungkin juga bahwa apa yang dinyatakan oleh seseorang itu tidak selaras dengan kehendaknya. Misalnya: Seseorang menawarkan sesuatu barang dengan harga yang keliru. Banyak faktorfaktor yang menjadi sebab-sebabnya antara lain : Sakit ingatan, mabuk, kesalahan berita, dan seterusnya. 2. Teori-teori tentang kesepakatan yang dapat menjadi dasar perkawinan Bilamana pernyataan-pernyataan itu tidak selalu sesuai dengan kehendak, maka timbul persoalan bagaimanakah caranya untuk menentukan telah terjadinya kata sepakat ? Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para Sarjana antara lain : a. Teori Kehendak (Wills Theorie) Ini adalah teori yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini bila kita menyatakan sesuatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut. b. Teori Penyataan (Verklarings Theorie) Menurut Teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan. Misalnya: Jika A menawarkan sesuatu barang kepada B dan diterima oleh B, maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah yang dijalankan oleh A dan B itu sesuai dengan kehendaknya masing-masing pihak atau tidak. c. Teori Kepercayaan (Vertouwens Theorie) Teori yang sekarang dianut, juga oleh Yurisprudensi adalah Teori Kepercayaan, dimana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. d. Teori Ucapan (Uitings Theorie) Menurut Teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelamahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan soal terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat dirubah. e. Teori Pengiriman (Verzendings Theorie)
Menurut beberapa sarjana terjadi persetujuan adalah pada saat dikirimnya surat jawaban. Diterapkan selanjutnya bahwa dengan dikirimnya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula surat pengiriman dapat ditentukan secara tepat. f. Teori Pengetahuan (Vernenings Theorie) Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui, sehubungan dengan itu timbul pertanyaan apakah persetujuan tidak akan terjadi jika sekiranya surat tersebut tidak dibuka atau jika surat tersebut hilang. Selain itu sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut. g. Teori Penerimaan (Ontvangst Theorie) Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan. Bahwa berdasarkan kata sepakat tersebut diatas, maka calon suami-istrinya memasuki perkawinan karena adanya kata sepakat tersebut dan kata sepakat yang telah ditanda tangani oleh pihak-pihak dan sah menjadi Undang-Undang bagi yang membuatnya sebagaimana yang disebutkan didalam Pasal 1338 BW: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 02 Juni 1971 No.117 K/SIP/1971: “Perjanjian adalah Undang-Undang bagi kedua belah pihak”. Bila pengertian perkawinan dan teori-teori tentang kesepakatan diatas dihubungkan dengan Walking with Jesus dan Counselling Perkawinan dalam perspektif hukum dan Alkitab, bila calon suami-istri yang akan menikah pada saat ini mereka yang didasari oleh keinginan untuk lebih senang menikah dengan pihak laki-laki yang banyak uang dapat membuat perjanjian kawin (Prenuptial Agreement). Hal ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pasal 139 BW: “Para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dan peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut”. Selain itu, Pasal 140 BW menyebutkan: “Perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang bersumber pada kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak pula hak-hak yang oleh undangundang diberikan kepada yang masih hidup paling lama. Demikian pula perjanjian itu tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami isteri; namun hal ini tidak mengurangi wewenang isteri untuk mensyaratkan bagi dirinya pengurusan harta kekayaan pribadi, baik barangbarang bergerak maupun barang-barang tak bergerak di samping penikmatan penghasilannya pribadi secara bebas.” Mereka juga berhak untuk membuat perjanjian, bahwa meskipun ada golongan harta bersama, barang-barang tetap, surat-surat pendaftaran dalam buku besar pinjaman-pinjaman negara, surat-surat berharga lainnya dan piutang-piutang yang diperoleh atas nama isteri, atau yang selama perkawinan dan pihak isteri jatuh ke dalam harta bersama, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani oleh suaminya tanpa persetujuan si isteri.
3. Perkawinan Gereja dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Berdasarkan uraian diatas, pertanyaannya adalah bagaimana permasalahan terhadap counselling perubahan dalam prespektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Alkitab? Berhubung perjanjian hanya mengikat bagi mereka yang membuat dan menandatanganinya, maka Counseling pernikahan dalam prespektif hukum dan Alkitab yang menyangkut tentang Legalitas Perkawinan gereja ditinjau dari segi hukum adalah bahwa untuk membahas legalitas perkawinan gereja di tinjau dari segi hukum, penyaji menggunakan teori Kehendak (Wrestheorie), sehingga dalam pandangan penulis, perkawinan antara Calon Suami Istri tersebut merupakan kehendak mereka berdua dan tidak bisa dipaksakan oleh siapapun juga sekalipun orang tua calon suami-istri itu sendiri. Oleh karena kurangnya Ilmu Pengetahuan yang kita miliki maka banyak sekali Jemaat Kristiani yang kawin/menikah hanya berdasarkan Surat Nikah dari gereja saja. Perkawinan di gereja yang dilakukan selama ini apabila tidak ditindak lanjuti dengan adanya surat kawin dari Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan tersebut secara hukum dan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 masih belum dinyatakan sah sebab didalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) berbunyi : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Banyak hal yang terjadi tentang Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 seperti banyak yang dialami oleh artis tentang kawin siri yang notabene hanya merupakan akal bulus dari seorang laki-laki untuk menghindari tuntutan dan seorang wanita, agar sang wanita dapat dikawinkan dengan kawin siri padahal menurut Undang-Undang Perkawinan No.2 tahun 1974, kawin sirih bukanlah perkawinan sebagaimana yang disebutkan didalam UndangUndang Perkawinan tersebut. Bahwa kawin siri adalah merupakan perjanjian dibawah tangan dan bukan merupakan akta otentik, dengan demikian apabila salah satu pihak menyangkal adanya perkawinan tersebut, maka pihak yang mengingkari tersebut hanyalah merupakan satu perbuatan wanprestasi sebagaimana yang disebut didalam Pasal 1243 BW : “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.” Sejak tahun 2008, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah membuat suatu terobosan (Rechvinding = Penemuan hukum) seperti yang termuat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1776 K/Pdt/2007 tanggal 28 Juli 2008 yaitu : “Bahwa perkawinan Tjia Mie Joeng dengan Liong Tjoeng Tjen yang dilakukan secara adat dan tidak dicatatkan pada catatan sipil dipandang tetap sah dan Penggugat harus dinyatakan sebagai janda Liong Tjoeng Tjen.” (Catatan Hukum didalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXIV No.286 Edisi September 2009 dengan isi sebagai berikut : a. Oleh majelis hakim tingkat pertama berpendapat dalam perkara a quo, bahwa Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang mengharuskan setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ; dalam fakta tidak ada pencatatan perkawinan, secara formil benar adanya, akan tetapi mengingat kaidah hukum dalam masyarakat demokratis antara lain bahwa hakim bukanlah corong daripada undang-undang, tetapi hakim harus menegakkan kebenaran dan keadilan
dalam kehidupan masyarakat, dilakukan tanpa pilih kasih, terhindar dari diskriminasi kategoris dan diskriminasi normatif, tidak menyakiti perasaan masyarakat luas serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesadaran masyarakat ; a. Dalam perkara a quo majelis dalam tingkat pertama mempunyai kewenangan untuk menyimpangi ketentuan ketentuan hukum tertulis yang telah ada untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 22 A.B ; b. Dalam perkara a quo majelis hakim dalam tingkat kasasi mengambil alih pertimbangan pengadilan negeri yang dinilai telah tepat dan benar. Majelis hakim tingkat kasasi : Dr. Harifin A. Tumpa, SH,MH, sebagai Ketua Majelis, M. Hatta Ali, SH, MH, dan Andar Purba, SH, sebagai Anggota serta Oloan Harianja, SH, sebagai Panitera Pengganti. Lain lagi kasus yang dialami oleh seorang kristen asal Medan sebut saja namanya Linda (nama samaran) dalam perkara perdata perceraian Saudara Linda sebagai Penggugat telah mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan Negeri Medan terhadap suaminya dan terdaftar di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri medan dengan dasar hukum perkawinan gereja tanpa pernah kawin di Kantor Catatan Sipil Medan dan putusan Pengadilan Negeri Medan adalah sebagai berikut : a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian; b. Menyatakan Perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang dilangsungkan secara adat Batak Toba dan dilaksanakan menurut agama kristen protestan dengan pemberkatan nikah tertanggal 22 September 1984 di gereja Methodist Merdeka Indonesia (GMMI), gedung aula No.49 Kodya Medan sesuai Surat Pemberkatan Perkawinan Gereja Methodist Merdeka Indonesia No. 121 /4/K/P/ 1984 tanggal 22 September 1984 adalah sah menurut hukum. c. Menyatakan hubungan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat tersebut tidak dapat dipertahankan lagi. d. Menyatakan secara hukum perkawinan antara Penggugat dengan tergugat yang dilangsungkan secara adat Batak Toba dan pemberkatan Perkawinan menurut agama kristen di gereja Methodist Merdeka Indonesia (GMMI) sesuai surat pemberkatan perkawman No.121/4/K/P/1984 tanggal 22 September 1984 Putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya. e. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang ditaksir sebesar Rp. 149.000; (Seratus empat puluh sembilan ribu rupiah). f. Menolak gugatan penggugat selam dan selebihnya.” Berhubung pihak tergugat/suami Linda tidak menerima putusan ini, maka beliau mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Medan dan ternyata Pengadilan Tinggi Medan tidak sependapat dengan putusan dari Pengadilan Negeri Medan dan oleh karenanya Pengadilan Tinggi Medan memberikan Putusan sebagai berikut : a. Menerima permohonan banding dari Tergugat/pembanding, tersebut; b. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 03 April 2008 No.459/Pdt.G/2007/PN-Mdn, yang dimohonkan banding tersebut; c. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard); d. Menghukum Penggugat/Tergugat untuk membayar biaya perkara ini dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp. 110.000,- (Seratus sepuluh ribu rupiah); Adapun yang menjadi pertimbangan hukum dari Putusan Pengadilan Tinggi Medan adalah :
a. Permohonan banding yang diajukan oleh Tergugat/ Pembanding masih dalam tenggang waktu dan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat menurut UndangUndang, sehingga oleh karenanya permohonan banding tersebut dapat diterima; b. Pengadilan Tinggi setelah membaca dan memperhatikan dengan seksama Berita Acara Persidangan dan salinan resmi Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 03 April 2008 No.459/Pdt.G/2007/PN-Mdn, keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti surat dari kedua belah pihak yang berperkara, Memori Banding dan Kontra Memori Banding serta surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara ini berpendapat sebagai berikut dibawah ini; c. Dari posita gugatan Penggugat dapat disimpulkan bahwa Penggugat dengan Tergugat telah melangsungkan perkawinan pada tanggal 22 September 1984 dengan pemberkatan perkawinan di Gereja Methodist Merdeka Indonesia Kotamadya sesuai dengan bukti P.1; d. Berdasarkan bukti P.1 tersebut berupa akta kawin yang dibuat oleh Gereja Methodist Merdeka Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 Jo PP No.9 tahun 1975, dengan demikian maka perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat adalah sah menurut Agama mereka masing-masing; e. Akan tetapi berhubung perkawinan Penggugat dan Tergugat tersebut tidak dicatat pada Kantor Catatan Sipil di tempat perkawinan dilangsungkan sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut diatas, oleh karenanya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tersebut tidak terdaftar/tercatat pada Kantor Catatan Sipil; f. Dalam proses pemeriksaan di sidang Pengadilan, Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa Gereja atau Pendeta yang menikahkan Penggugat dan Tergugat merangkap atau mendapat pendelegasian dari Pegawai Kantor Catatan Sipil untuk mencatat perkawinan tersebut menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 tersebut dianggap tidak ada; g. Karena perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat tidak dicatat pada kantor Catatan Sipil sebagaimana yang diharuskan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang diajukan Penggugat, karena bukti P.1 tersebut hanyalah akte yang dibuat oleh Gereja yang tidak boleh dicampuri oleh Pemerintah, sebab prinsip dalam Akte Gereja tersebut perceraian tidak diperbolehkan kecuali karena kematian, dengan demikian maka Majelis Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa gugatan Penggugat haruslah dinyatakan tidak diterima ; h. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut diatas, dimana telah dipertimbangkan bahwa gugatan Penggugat dinyatakan tidak diterima, dengan demikian putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 03 April 2008, No.459/Pdt.G/2007/PN.MDN tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan; i. Karena putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 03 April 2008, No. 459/Pdt.G/2007/PN.Mdn dinyatakan dibatalkan, maka Pengadilan Tinggi akan mengadili sendiri yang amar selengkapnya sebagaimana tersebut dibawah ini ; j. Karena Penggugat/Terbanding berada dipihak yang kalah, maka biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan haruslah dibebankan kepada Penggugat/ Terbanding;” Dengan demikian, dapat disimpulan bahwa : a. Jadi inti dari Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan tersebut wajib dipenuhi oleh gereja yang mengawinkan pasangannya dengan mendaftarkan perkawinan gereja tersebut di Kantor Catatan Sipil setempat. Kalau tidak maka perkawinan tersebut masuk tidak lengkap sekalipun dianggap sah.
b. Masalah pencatatan Perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa Pasal Peraturan Perundang-Undangan berikut ini, yaitu Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Sedangkan tata cara pencatannya berpendoman kepada ketentuan Peraturan Pemermtah No.9 tahun 1975, selanjutnya Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 menentukan bahwa Perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatan yang dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. Fungsi pencatatan disebutkan pada angka 4.b penjelasan Undang-Undang No. 1 tahun 1974. c. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama hal nya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan sesorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-Surat Keterangan, suatu Akta yang dimuat dalam Daftar Pencatatan. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : a. Sekalipun adanya surat kawin dari gereja tetapi surat kawin gereja tersebut belumlah lengkap apabila tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil setempat maka berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. b. Berdasarkan Markus Pasal 10 ayat 9, hendaknya sebagai orang Kristen tidak bercerai dengan pasangannya meski apapun yang menimpa perkawinan tersebut. 2. Saran a. Sebagai orang Kristen harus tetap berusaha mempersatukan perkawinan antara suami-istri tersebut sekalipun apa yang terjadi selama masa perkawinan tersebut. b. Banyak bergaul dengan orang-orang yang lebih pandai, karena dari pendidikannya lebih tinggi dari kita sebab berteman/bergaul dengan orang yang berpendidikan tinggi dan mempunyai wawasan luas dan bijak adalah sangat menguntungkan kita semua. D. DAFTAR PUSTAKA 1. Sumber Utama Holly Bible. 2. Buku H.M. Anshary MK., Hukum Perkawinan di Indonesia. Mohammad Saleh, Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan pada Eksekusi Putusan Perkara Perdata”. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Sunaryati Hartono, Sejarah Perkembangan Hukum Indonesia Menuju Sistem Hukum Nasional. Surachmin dan Suhandi Cahaya, 222 Asas dan Prinsip Hukum Penyelenggaraan Negara. The Rules of life, second edition revised and updated International Best seller. 3. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang Dasar tahun 1945
__________, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. __________, Undang-Undang No.48 tahun 2009 Jo. Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. __________, Undang-Undang No. l tahun 1974 tentang Perkawinan. __________, Undang-Undang No.25 tahun 2004 tentang Program Pembangunan Nasional. __________, Putusan Pengadilan Negeri Medan No.459/Pdt.G/2007/PN.MDN tertanggal 3 April 2008. __________, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.257/Pdt/2008/PT.MDN tertanggal 22 Agustus 2008. __________, Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1993 3. Jurnal Hukum Majalah Varia Peradilan Edisi September 2009. Jurnal Hukum Supremasi, Vol III No.1 Oktober 2009-Maret 2010.