MEMACU KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL SISWA MELALUI ...

76 downloads 125 Views 46KB Size Report
pendidikan IPA adalah rendahnya daya serap siswa atau tingkat pemahaman siswa pada materi. IPA. Hal ini tercermin pada nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) ...
Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto)

MEMACU KEMAMPUAN BERPIKIR FORMAL SISWA MELALUI PEMBELAJARAN IPA SEJAK DINI Erman,* Edy Mintarto,** Abstrak: Siswa seharusnya mempunyai perkembangan kemampuan berpikir secara alamiah sesuai dengan klasifikasi umur Piaget. Kemampuan berpikir formal adalah salah satu unsur dalam teori perkembangan intelektual Piaget. Dalam konteks pembelajaran IPA, kemampuan berpikir formal mempunyai peranan yang penting untuk memahami konsep, hukum dan prinsip-prinsip IPA. Kemampuan seseorang untuk membuat analisis dan mengembangkan teori IPA memerlukan kemampuan berpikir formal. Kemampuan berpikir formal terdiri dari 5 subtingkat, yaitu subtingkat F1, F2, F3, F4 dan F5. Subtingkat F1 adalah subtingkat paling rendah dan subtingkat F5 adalah subtingkat paling tinggi dalam tingkat kemampuan berpikir formal. Siswa pendidikan dasar (SD dan SLTP) yang sedang mempelajari IPA harus dapat mengoperasikan kemampuan berpikir formal sekurang-kurangnya pada level formal-1 atau F1. Untuk itu, pengajar IPA sejak dini harus berusaha untuk memacu perkembangan kemampuan berpikir siswanya melalui intervensi-intervensi dalam proses pembelajaran yang dilakukannya. Abstract: Students should have naturally intellectual development referring to Piaget classification. Formal thinking ability is one of the elements in Piaget’s intellectual development theory. Within the context of science learning, it has an important role for understanding concepts, laws and principles of science. The individual ability to make analysis and to develop scientific theory needs formal thinking ability. It consists of five sub levels, F1, F2, F3, F4 and F5. Students of elementry School and Junior High who are studying natural science must be able to operate their formal thinking at least to F1 sub level of formal thinking ability. For that reason, science teachers make an effort to accelerate their students’formal thinking development by giving interventions throughout the teaching processes. Kata kunci: kemampuan berpikir formal, siswa pendidikan dasar, pembelajaran IPA *

Dosen Jurusan Orkesrek FIK Unesa Dosen Jurusan Pendorkep FIK Unesa

**

89

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto)

Program penelitian dan pengembangan strategi pembelajaran khususnya pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada setiap jenjang pendidikan telah berkembang dengan pesatnya. Upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran atau tujuan kurikuler yang telah ditetapkan. Namun permasalahan dalam pembelajaran IPA pada setiap jenjang pendidikan termasuk di tingkat pendidikan dasar hingga saat ini juga belum dapat diatasi. Salah satu permasalahan yang sangat krusial dan seolah tak ada titik akhirnya dalam pendidikan IPA adalah rendahnya daya serap siswa atau tingkat pemahaman siswa pada materi IPA. Hal ini tercermin pada nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) pada bidang IPA dalam setiap jenjang pendidikan yang masih jauh dari harapan. Suatu langkah yang bijaksana jika semua pendidik dan pemerhati pendidikan IPA di Indonesia untuk kembali mengevaluasi setiap langkah dalam konteks upaya mengatasi permasalahan dalam pendidikan IPA pada setiap jenjang pendidikan. Hal ini penting untuk mengidentifikasi sumber permasalahan yang sebenarnya dan efektivitas dalam upaya mengatasinya. Menurut Kirkwood dan Symington (1996), ada tiga faktor penyebab kesulitan siswa dalam belajar IPA, yaitu: (1) Siswa,(2) Guru, dan (3) Buku dan kurikulum. Dari faktor siswa, keterbatasan siswa dalam mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya sangat dominan sebagai penyebab kesulitan siswa dalam memahami konsep dan saling keterkaitannya. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat menggunakan strategi yang tepat dan membantu siswa meningkatkan kemampuan berpikirnya. Sayangnya, kegiatan pembelajaran di sekolah selama ini masih terkesan hanya mengejar pencapaian target kurikulum. Siswa banyak dibebani dengan segudang tugas dan hafalan yang dapat menyita hampir seluruh waktu siswa. Di sisi lain, materi IPA dalam buku-buku pelajaran banyak disajikan dalam bentuk yang abstrak. Kondisi-kondisi tersebut tentu saja dapat menyebabkan siswa kesulitan mempelajari IPA. Beberapa ahli psikologi pendidikan dan pendidik, seperti Herron (1975), Karplus (1977), Lawson (1993), Piaget (1965), Wiseman (1986) dan Good (1979) mengemukakan bahwa untuk memahami konsep-konsep dasar IPA dan hubungan antara konsep dalam bentuk persamaan matematika diperlukan kemampuan berpikir sekurang-kurangnya kategori berpikir formal level empat (F4). Di tingkat pendidikan dasar, menurut Shayer dan Adey (1993), siswa diharapkan untuk memiliki kemampuan berpikir minimal level dasar dari kemampuan berpikir formal atau F1. Padahal kenyataan di lapangan, mahasiswa yang diterima di sebuah perguruan tinggi saja umumnya kurang dari 50% yang mampu mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya (Herron, 1975; Andun dan Erman, 2001). Dengan temuan tersebut, tidak mengherankan jika selama ini pembelajaran IPA sulit untuk mencapai tujuan, khususnya tujuan kurikuler yang menekankan pada penguasaan konsep dan penerapannya dalam kehidupan dan teknologi.

Teori Perkembangan Piaget Teori perkembangan Piaget dewasa ini dapat dikatakan hampir telah ditinggalkan dalam konteks pembelajaran IPA. Bahkan ada yang mengatakan bahwa apa yang dirumuskan dalam teori tersebut kurang atau tidak tepat. Banyaknya fakta yang menunjukkan bahwa banyak siswa bahkan mahasiswa tidak dapat mengoperasikan kemampuan berpikirnya sesuai dengan kelompok umur 90

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto) dalam teori Piaget sering dijadikan alasan ketidaktepatan teori tersebut (Herron, 1975). Apa yang dinyatakan dalam teori perkembangan Piaget mungkin kurang tepat. Namun jika kegiatan pendidikan di sekolah dicermati lebih jauh, khususnya dalam pembelajaran IPA pada setiap jenjangnya hampir tidak memperhatikan tingkat kemampuan berpikir siswa atau perkembangan intelektual siswa. Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan bahwa justru perkembangan intelektual anaklah yang mengalami keterlambatan, terutama dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir formal. Hal ini didukung olah pernyataan Herron (1975) bahwa seseorang bisa saja tidak dapat mencapai tingkat berpikir formal sepanjang hidupnya jika tidak pernah berlatih menggunakan kemampuan tersebut. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Shayer dan Adey (1992a, 1992b) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir formal siswa dapat distimulasi atau dipercepat melalui intervensi dalam pembelajaran IPA. Berdasarkan teori Piaget (1972), perkembangan pengetahuan seseorang erat kaitannya dengan perkembangan biologis dan interaksinya dengan lingkungan. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan fisik seseorang seharusnya diikuti dengan pertumbuhan intelektualitasnya yang didukung oleh interaksi dengan lingkungannya. Akibat interaksi ini, pengetahuan seseorang menjadi bertambah dan berkembang. Menurut Suchman (dalam Joyce dan Weil, 1980), setiap individu adalah penyelidik yang aktif. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin untuk menemukan individu dengan struktur kognitif yang kosong atau tanpa ilmu pengetahuan. Interaksi dengan lingkungan hanya meliputi proses asimilasi dan akomodasi. Melalui proses asimilasi dan akomodasi, struktur kognitif seseorang akan berkembang dari tingkat sensorimotorik hingga berpikir formal atau abstrak dengan klasifikasi umur (Piaget, 1972) sebagai berikut: 1. Sensorimotorik (0 – 2 tahun) 2. Praoperasional (2 – 7 tahun) 3. Berpikir konkrit (7 – 11 tahun) 4. Berpikir abstrak atau formal (11 – 16 tahun). Dalam struktur pengetahuan dikenal 3 ide kunci, yaitu (1) kesatuan struktur-struktur pengetahuan, (2) ide transformasi dan (3) ide pengaturan atau penataan struktur. Kesatuan dalam struktur merupakan kumpulan dari struktur-struktur yang disebut aggregate. Pengetahuan atau pengalaman yang diperoleh siswa melalui observasi atau eksperimen akan ditransformasikan ke dalam struktur pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Akibat transformasi tersebut, struktur pengetahuan akan dipertahankan atau dipisahkan dari kesatuannya. Dengan kata lain, transformasi memungkinkan terjadinya penataan kembali struktur pengetahuan yang telah ada. Kemampuan seseorang dalam transformasi dan penataan struktur-struktur pengetahuan dalam struktur kognitifnya erat kaitannya dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikirnya. Setiap tahap perkembangan intelektual individu dapat diidentifikasi dan dikenali dengan ciri-ciri yang khas untuk setiap tahap dalam teori Piaget (Karplus, 1977). Di antara tahap-tahap perkembangan intelektual tersebut, tahap berpikir konkrit dan berpikir formal dianggap oleh pendidik dan pemerhati pendidikan sangat penting dalam dunia pendidikan atau sekolah. Banyak siswa yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan intelektualnya terjadi pada peralihan dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir formal. Hasil penelitian yang di lakukan oleh 91

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto) Erman dan Sukarmin (2002) menemukan bahwa siswa SMU pada umumnya masih berkemampuan pikir konkrit. Padahal jika ditinjau dari umurnya, mereka seharusnya sudah dapat mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya.

Kemampuan Berpikir Konkrit dan Berpikir Formal Kekhawatiran para pendidik dan pemerhati pendidikan berkaitan dengan rendahnya daya serap siswa, kesalahan pemahaman dan rendahnya kemampuan siswa dalam menerapkan konsepkonsep baik dalam kehidupan maupun teknologi terjadi hampir pada setiap jenjang pendidikan baik di Indonesia maupun di lembaga-lembaga pendidikan mancanegara. Banyak hasil penelitian pendidikan dan psikologi pendidikan menemukan bahwa penyebab utama dari masalah tersebut adalah rendahnya daya imajinasi atau ketidakmampuan siswa dalam mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya atau abstrak. Sayangnya, temuan-temuan tersebut jarang disadari oleh kalangan pendidik di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli psikologi pendidikan, seperti oleh Herron (1975), Good (1979), Karplus (1977), Wiseman (1986), Shayer dan Adey (1993) dan masih banyak yang lainnya yang tidak dapat disebutkan di sini mengesankan adanya mislinkage atau terputusnya mata rantai dalam teori perkembangan Piaget pada fasa berpikir konkrit menuju fasa berpikir formal. Banyak siswa yang seharusnya sudah dapat mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya ternyata hanya bisa berpikir konkrit. Bahkan seseorang seumur hidupnya dapat tidak mampu mengoperasikan kemampuan berikir formalnya (Herron, 1975). Jika hal ini dibiarkan tentu saja akan berakibat fatal dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Menurut hasil riset yang telah dilakukan oleh Piaget (dalam Karplus, 1977), terdapat beberapa pola yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir seseorang (reasoning pattern) apakah ia berpikir konkrit atau berpikir formal. Kemampuan berpikir konkrit dibagi dalam tiga kategori, yaitu: C1, C2, dan C3. Sedangkan kemampuan berpikir formal dibagi dalam 5 kategori, yaitu: F1, F2, F3, F4 dan F5. Setiap kategori mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dibedakan dari ciri-ciri kategori lainnya. Setiap individu akan mengoperasikan kategori tertentu ketika menghadapi suatu masalah sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya. Semakin tinggi tingkat kemampuan berpikir seseorang, semakin tinggi pula kategori berpikir yang dioperasikan. Ciri-ciri setiap kategori kemampuan berpikir secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kategori berpikir konkrit-1 atau C1 Pada kategori ini, seseorang hanya dapat melakukan klasifikasi sederhana dan generalisasi berdasarkan kriteria-kriteria yang tampak (observable). Kategori ini merupakan kategori terrendah dalam berpikir konkrit. 2. Kategori berpikir konkrit-2 atau C2 Pada kategori ini, seseorang sudah dapat melakukan konservasi logis, yaitu membandingkan jumlah suatu zat sebelum dan sesudah dikurangi atau ditambah dengan komposisi zat yang relatif tetap.

92

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto) 3.

4.

5.

6.

7.

8.

Kategori berpikir konkrit-3 atau C3 Kategori C3 merupakan kategori berpikir konkrit tertinggi dalam berpikir konkrit. Individu dalam kategori ini selain dapat mengoperasikan kemampuan kategori C1 dan C2 juga dapat melakukan klasifikasi dan generalisasi serta membuat korespondensi berdasarkan kriteriakriteria yang dapat diamati melalui pancaindera. Kategori berpikir formal-1 atau F1 Kategori ini ditandai dengan kemampuan melakukan klasifikasi ganda (multiple classification), konservasi logis, serial ordering, memahami sifat-sifat konsep abstrak, aksioma-aksioma dan teori. Kategori berpikir formal-2 atau F2 Kategori F2 ditandai dengan kemampuan berpikir kombinasi, seperti menghitung secara sistematik genotip dan fenotip sesuai dengan karakteristik dua atau lebih gen-gen. Kategori berpikir formal-3 atau F3 Pada kategori ini, seseorang memiliki kemampuan menginterpretasi hubungan-hubungan fungsional yang diungkapkan dalam bentuk persamaan matematika. Kategori berpikir formal-4 atau F4 Kategori ini ditandai dengan kemampuan menetapkan variabel-variabel dalam suatu desain eksperimen. Individu pada kategori ini sudah dapat membedakan variabel-variabel dalam suatu percobaan atau eksperimen. Kategori berpikir formal-5 atau F5 Kategori ini merupakan kategori yang paling tinggi dalam kemampuan berpikir Piaget. Selain dapat mengoperasikan kemampuan-kemampuan pada kategori sebelumnya, individu pada kategori ini dapat memahami konsistensi atau pertentangan antara pemahamannya dengan pengetahuan lain yang diakui oleh masyarakat ilmiah. Dengan demikian ia dapat membuat suatu teori-teori, hukum atau prinsip-prinsip.

Implikasi Teori Piaget dalam Pembelajaran Berkaitan dengan masalah pendidikan, masalah rendahnya tingkat kemampuan berpikir siswa atau tingkat kemampuan berpikir siswa yang dioperasikan ketika menghadapi suatu masalah tidak dapat diamati secara langsung. Namun gejala-gejala yang menunjukkan keterbatasan tersebut dapat diamati bahkan dapat dianalisis. Gejala-gejala tersebut tampak dari ketidakmampuan mereka dalam memikirkan konsep-konsep yang bersifat abstrak, seperti atom, elektron, gen dan hubungan fungsional konsep-konsep dalam persamaan matematika. Menurut Good (1979), dan Herron (1975), banyak siswa hanya mampu memikirkan konsep-konsep yang dapat diamati atau konkrit. Gejala ini kemudian berimplikasi kepada terjadinya kesalahan pemahaman yang tentunya akan menimbulkan kesalahan pula dalam penerapannya. Menurut Herron (1975) dan Wiseman (1986), mahasiswa yang diterima di sebuah perguruan tinggi umumnya kurang dari 50% yang mampu mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya (sesuai dengan kelompok umur). Bahkan hasil temuan Shayer dan Adey (1993), kurang dari 30% siswa di Inggris yang mampu mengoperasikan kemampuan berpikirnya sesuai dengan skala umur Piaget. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andun dan Erman (2001) 93

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto) menemukan bahwa 80% mahasiswa yang diterima di Prodi Ilmu Keolahragaan FIK Unesa masih berkemampuan pikir konkrit atau tidak dapat mengoperasikan kemampuan berpikir formalnya. Menurut Djojonegoro (Kompas, 5 Januari 1995) berdasarkan hasil pengujian Tim Inspektorat bersama Balitbang Diknas menemukan bahwa banyak siswa yang mempunyai daya imajinasi yang lemah padahal di sisi lain materi pembelajaran selalu disajikan dalam bentuk yang abstrak. Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa adanya defect atau keterlambatan dalam perkembangan intelektual siswa. Oleh karena itu, diperlukan suatu perhatian dan kepedulian dari kalangan pendidik mulai dari tingkat pendidikan dasar untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir formalnya. Bahkan bila perlu dilakukan suatu percepatan pencapaian kemampuan berpikir formal, yaitu dengan melakukan intervensi dalam pembelajaran IPA Di Inggris, model intervensi dalam pembelajaran IPA dilakukan melalui CASE project (Cognitive Acceleration through Science Education Projects) selama 8 tahun intervensi. Proyek tersebut terbagi dalam 2 tahap, yaitu CASE I (tahun 1980 – 1983) dan CASE II (tahun 1984 – 1987). Proyek CASE bertujuan untuk meningkatkan tingkat kemampuan berpikir siswa di Inggris dengan melakukan intervensi-intervensi dalam pembelajaran IPA. Melalui proyek tersebut, kemampuan berpikir siswa dapat dipacu untuk mencapai tahap berpikir formal secara permanen (Shayer dan Adey, 1992b). Dalam jangka panjang hasil dari proyek tersebut tampak pada semakin membaiknya tingkat kemampuan berpikir formal siswa, dan daya serap atau pemahaman siswa pada konsep-konsep IPA yang berimplikasi pada perkembangan sains dan teknologi. Rendahnya tingkat kemampuan berpikir siswa dapat disebabkan oleh tidak adanya latihan dalam menggunakan kemampuan berpikir tersebut (Herron, 1975). Bahkan seseorang selama hidupnya bisa tidak dapat mencapai tingkat kemampuan berpikir formal jika tidak pernah berlatih menggunakan kemampuan berpikir formalnya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh lembaga pendidikan formal belum mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir. Pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak kita adalah kapan intervensi melalui pembelajaran IPA sebaiknya dilakukan oleh guru untuk memacu kemampuan berpikir formal siswa sejak dini. Di Indonesia, pada umumnya anak mulai memasuki sekolah dasar pada saat berumur 5 – 7 tahun. Di sisi lain, berdasarkan teori perkembangan Piaget, proses transisi dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir formal terjadi pada saat anak berumur 11 tahun atau sama dengan umur siswa kelas IV sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian yang banyak dilakukan oleh peneliti pendidikan dan psikologi pendidikan dapat dikatakan bahwa masa transisi dari tahap berpikir konkrit menuju tahap berpikir formal adalah masa yang sangat penting karena memerlukan latihan-latihan tertentu untuk dapat melalui tahap tersebut agar dapat mencapai tahap berpikir formal. Tanpa latihan, perkembangan intelektual seseorang besar kemungkinan tidak dapat mencapai tahap berpikir formal (Herron, 1975). Hasil temuan penulis baik pada siswa SMU maupun mahasiswa di perguruan tinggi (Andun dan Erman, 2001; Erman dan Sukarmin, 2002) dapat menjadi bukti bahwa banyak individu yang tidak dapat melewati tahap transisi sehingga tidak dapat memasuki tahap berpikir formal. Dengan demikian intervensi dini sangat baik untuk dilakukan pada saat anak sedang belajar di kelas IV sekolah dasar. Hal ini karena selain dapat mengecek perkembangan intelektualnya juga dapat 94

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto) membantu siswa untuk memasuki tahap berpikir formal atau memacu perkembangan kemampuan berpikir formalnya. Menurut Stainer (1980) untuk menerapkan teori perkembangan Piaget dalam pembelajaran sains atau IPA maka siswa harus terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, seperti merumuskan teori, problem solving melalui eksperimen dan interaksi sosial. Cara yang paling efektif menerapkan teori Piaget adalah mengembangkan strategi pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikirnya, misalnya dengan menggunakan metode demonstrasi dan eksperimen. Penggunaan model-model konkrit atau analogi untuk membantu siswa memahami konsep-konsep abstrak juga dapat digunakan sebagai sarana implementasi teori Piaget dalam pembelajaran (Good et. al., 1979). Intervensi dalam pembelajaran IPA untuk membantu siswa sekolah dasar meningkatkan kemampuan berpikirnya dapat dilakukan pada setiap pokok bahasan dalam materi IPA tanpa mengganggu rencana pembelajaran yang telah dibuat sebelumnya. Pertimbangan utama dalam memilih pokok bahasan adalah kesesuaian materi pembelajaran dengan lingkungan belajar siswa. Sebagai contoh adalah materi IPA yang diajarkan di kelas IV pada pokok bahasan “Batuan”. Langkah-langkah dalam intervensi (disesuaikan dengan kelompok umur siswa) dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Pada akhir pokok bahasan sebelumnya (Air), siswa diberi tugas untuk membawa batuan dengan jenis, bentuk, warna, bentuk permukaan dan lain-lain sebanyak mungkin. Agar tidak menyulitkan siswa, batuan yang dikumpulkan adalah batuan yang dapat diperoleh siswa di lingkungan sekitarnya. Guru dapat memberi motivasi kepada siswa dengan memberi nilai tinggi kepada siswa yang banyak batuannya baik jenis, bentuk maupun warna batuannya. Pada langkah ini siswa sudah mulai membedakan batuan yang terdapat di alam sekitarnya berdasarkan hasil pengamatannya (kemampuan C1). 2) Pada pertemuan berikutnya, sebelum materi batuan diajarkan terlebih dahulu guru meminta siswa mengumpulkan semua batuan yang dibawa oleh siswa pada satu tempat, seperti kotak yang luasnya dianggap cukup untuk menampung semua batuan . 3) Guru mengajarkan materi batuan sebagaimana yang telah direncanakan dalam satuan pelajaran. Guru memberi contoh jenis batuan dan menjelaskan ciri-ciri setiap jenis batuan dengan menggunakan contoh-contoh batuan yang tersedia di sekolah maupun yang dibawa oleh siswa. 4) Selanjutnya, guru meminta siswa (bisa perseorangan atau berkelompok sesuai dengan situasi kelas) untuk melakukan klasifikasi terhadap batuan-batuan yang berhasil dikumpulkan oleh siswa, menghitung jumlah batuan untuk setiap jenis dan membandingkan dengan kelompok batuan lain. Setiap jenis batuan yang telah diklasifikasi dapat diberi label. Pada langkah ini siswa distimulasi untuk menghitung jumlah batuan pada setiap kelompok dan membandingkan jumlahnya antara satu kelompok batuan dengan kelompok batuan lainnya (kemampuan C2). Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan diskusi dalam kelompoknya (jika siswa berkelompok). 5) Guru meminta siswa untuk menulis dan menjelaskan pada selembar kertas klasifikasi batuan yang telah dilakukan disertai alasannya dari yang paling umum sampai yang paling spesifik. Misalnya, batu karang dapat diklasifikasi lagi berdasarkan warnanya. Pada kelompok warna 95

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto) dapat diklasifikasi lagi berdasarkan bentuk permukaannya dan seterusnya. Siswa juga diminta untuk memberikan alasan atas klasifikasi batuan yang mereka lakukan berdasarkan teori yang disampaikan oleh guru dalam pembelajaran dan membuat kesimpulan berdasarkan klasifikasi batuan tersebut. Pada langkah ini siswa distimulasi melakukan generalisasi melalui kesimpulan yang mereka buat (kemampuan C3) dan melakukan klasifikasi ganda atau multiple classification, memahami teori dan sifat-sifat batuan (kemampuan F1). 6) Guru menilai setiap kelompok, subkelompok, dan sub-sub kelompok batuan serta alasan siswa yang menjadi dasar logis dalam melakukan klasifikasi. Semakin banyak variabel yang dapat diidentifikasi oleh siswa semakin tinggi kemampuan berpikirnya. Berdasarkan langkah-langkah intervensi tersebut guru dapat menilai tingkat kemampuan berpikir siswa kelas IV. Intervensi dapat dilanjutkan pada pokok bahasan berikutnya. Ditinjau dari teori perkembangan intelektual Piaget, siswa kelas IV (umur 7 – 11 tahun) dianggap sudah mampu mengoperasikan kemampuan berpikir konkrit (kemampuan C1 – C3) secara sempurna. Siswa yang dapat mengoperasikan kemampuan berpikir C3 dianggap tidak mengalami keterlambatan dalam perkembangan kemampuan berpikirnya. Sedangkan siswa yang dapat mengoperasikan kemampuan berpikir F1 maka siswa tersebut dikatakan telah melewati tahap transisi dan mulai memasuki tahap berpikir formal. Perkembangan kemampuan berpikir siswa pasca intervensi dapat diukur dengan menggunakan tes kemampuan berpikir Piaget seperti yang pernah digunakan oleh Lawson (Wiseman, 1986). Keterbatasan siswa bahkan mahasiswa di perguruan tinggi dalam menggunakan kemampuan berpikir formalnya mencapai 25 – 75% (Good et. al., 1979). Kemampuan berpikir proporsional dianggap oleh banyak ilmuwan dan pendidik sebagai kunci dalam menyelesaikan masalah perhitungan dalam IPA, membuat korelasi yang bersifat kuantitatif dan berpikir kombinasi terhadap segala kemungkinan yang terjadi serta mengontrol variabel yang sepatutnya mendapat perhatian pengajar. Di bidang ilmu pengetahuan alam atau IPA, siswa yang hanya berkemampuan pikir konkrit akan mengalami kesulitan dalam memahami dan menerapkan konsep-konsep, hukum, dan teoriteori yang mereka peroleh di kelas. Ilmu pengetahuan alam selain banyak mengandung konsepkonsep abstrak juga banyak melibatkan persamaan-persamaan matematika yang menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Dengan struktur materi tersebut, maka pantas jika dikatakan bahwa untuk dapat memahami dan menguasai konsep-konsep IPA, siswa sekurangkurangnya memiliki kemampuan berpikir formal tingkat dasar atau F1 (Shayer dan Adey, 1993). Bahkan jika dilihat dari ciri-ciri setiap kategori dari kemampuan berpikir Paiget, siswa seharusnya memiliki kemampuan berpikir sekurang-kurang berada pada tingkat formal-4 atau F4 agar dapat menguasai konsep-konsep IPA. Sedangkan kemampuan berpikir yang diperlukan dalam memahami dan mengembangkan di tingkat pendidikan dasar adalah sekurang-kurangnya berada pada tahap kategori dasar berpikir formal, yaitu berpikir formal-1 atau F1.

Penutup Teori perkembangan intelektual Piaget merupakan kondisi alamiah dari perkembangan intelektual individu. Perkembangan intelektual individu dapat menyimpang dari teori Piaget terutama jika individu tersebut tidak pernah berlatih untuk menggunakannya. Dalam konteks 96

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto) pembelajaran IPA, kemampuan berpikir formal atau abstrak dipandang sangat esensial dalam memahami konsep, hukum dan teori serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap siswa yang belajar IPA seharusnya memiliki kemampuan berpikir formal termasuk siswa di tingkat pendidikan dasar minimal pada subtingkat formal-1 atau F1. Oleh karena itu, pembelajaran IPA semestinya dapat dijadikan sebagai media untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir formalnya sejak dini dan secara berkelanjutan dilakukan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan bila perlu dilakukan intervensi dalam pembelajaran untuk memacu kemampuan berpikir formal siswa sejak belajar di kelas IV sekolah dasar.

Daftar Acuan Andun dan Erman, 2001. Analisis Kemampuan Berpikir Mahasiswa Prodi Ilmu Keolahragaan FIK Unesa. Surabaya: Laporan Penelitian . Craig, B.S. 1972. The Philosophy of Jean Piaget and Its Usefullness to Teacher of Chemistry. Journal of Chemical Education. 49 (12), 807 – 809. Erman dan Sukarmin. 2002. Pengaruh Pembelajaran CMWA terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Berpikir Konkrit. Jakarta: Laporan Penelitian Good et. al. 1979. Piaget’s Work and Chemical Education. Journal of Chemical Education. 56 (7), 426 – 430. Herron, J.D. 1975. Piaget for Chemist; Explaining What Good Student Cannot Understand. Journal of Chemical Education. 52 (3), 146 – 150. Joyce, B. and Weil, M. 1980. Models of Teaching. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc. Karplus, R. 1977. Science Teaching and The Development of Reasoning. Journal of Research in Science Teaching. 14 (2), 169 – 175. Lawson, A.E. 1993. The Importance of Analogy: A Prelude to Special Issues. Journal of Research in Science Teaching, 30 (9), 1213 – 1214. Piaget, J. 1972. Intelectual Evolution from Adolescence to Adulthood. Human Development, (5), 1 – 12. Shayer, M. and Adey, P.S. 1992a. Accelerating the Development of Formal Thinking in Middle and High School Students II:Post Project Effects on Science Achievement. Journal of Research in Science Teaching. 29 (1), 81 – 92. Shayer, M. and Adey, P.S. 1992b. Accelerating the Development of Formal Thought in Middle and High School Students III: Testing the Permanency of Effects. Journal of Research in Science Teaching. 29 (10), 1101 – 1115. Shayer, M. and Adey, P.S. 1993. Accelerating the Development of Formal Thinking in Middle and High School Student IV: Three Years after a Two-Year Intervention. Journal of Research in Science Teaching. 30 (4), 351 – 366. Steiner, R.P. 1980. Encouraging Active Student Participation in the Learning Process. Journal of Chemical Education. 57 (6), 351 – 366. Wiseman, F.L. 1986. The Teaching of College Chemistry: Role of Student Development Level. Journal of Chemical Education. 58 (6), 484 – 488.

97

Memacu Kemampuan Berpikir Formal Siswa……..(Erman & Edy Mintarto)

98

Suggest Documents