mengatasi masalah-masalah psikososial akibat ketunanetraan ... - Neliti

19 downloads 0 Views 143KB Size Report
psikologis, sosial, vokasional, ekonomi, dan rekreasi. (Livneh & Cook, 2004). Banyak literatur .... menjadi sebuah disiplin ilmu yang disebut rehabili- tation counseling. ..... dasar konstruksi model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra ...
Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa

MENGATASI MASALAH-MASALAH PSIKOSOSIAL AKIBAT KETUNANETRAAN PADA USIA DEWASA*) COPING WITH PSYCHOSOCIAL PROBLEMS CAUSED BY ADULTHOOD BLINDNESS Didi Tarsidi Jurusan PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Setiabudhi 229 Bandung Abstract: This research has been conducted based on various theories and research findings revealing that blindness occurring during adulthood cause more problems than that occurring earlier in life. The research has been done to find a rehabilitation counseling model that can be used to help blind adults to more effectively overcome psychosocial problems caused by their blindness so that they will be able to regain their independence and will be able to achieve meaningful life. The rehabilitation counseling Model has been developed through research using exploratory mixed methods research design. The construct of the model has been developed based on the data of case studies on six persons whose blindness occurred during adulthood and they have proved to be successful in their lives. The model has been validated with expert judgment and tried out using single-subject research design on two relatively newly blind clients. Keywords: rehabilitation counseling, adult blindness, coping strategies Abstrak: Penelitian ini dilakukan berdasarkan berbagai teori dan temuan penelitian yang menyatakan bahwa ketunanetraan yang terjadi pada usia dewasa lebih banyak menimbulkan permasalahan daripada ketunanetraan yang terjadi pada awal kehidupan. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan suatu model konseling rehabilitasi yang dapat digunakan untuk membantu para tunanetra dewasa mengatasi secara lebih efektif masalah-masalah psikososial yang diakibatkan oleh ketunanetraannya, agar mereka dapat memperoleh kembali kemandiriannya dan mampu mencapai kehidupan yang bermakna. Model konseling tersebut dikembangkan melalui penelitian yang dilakukan menggunakan exploratory mixed methods research design. Konstruk model dikembangkan berdasarkan data hasil studi kasus terhadap enam orang yang ketunanetraannya terjadi pada usia dewasa dan telah terbukti berhasil dalam kehidupannya, sedangkan model divalidasi dengan expert judgment dan diujicobakan dengan desain single-subject research pada dua orang klien yang relatif baru mengalami ketunanetraan. Kata Kunci: konseling rehabilitasi, tunanetra dewasa, psikososial, strategi coping

Pendahuluan

asumsi dasarnya tentang dunia ini karena ketuna-

Sebagian besar orang tunanetra mendapatkan

netraannya itu berdampak pada caranya memper-

ketunanetraannya pada suatu waktu dalam masa

sepsi dengan banyak hal, mobilitasnya, pekerjaannya,

kehidupannya karena bermacam-macam sebab

hubungan pribadinya, dan berbagai kegiatan sehari-

(Fitzgerald & Parkes, 1998). Organisasi Kesehatan

harinya. Karena perubahan tersebut sangat dramatis

Dunia (WHO, 2011) melaporkan bahwa secara global

dan menuntut usaha keras, tidak mengherankan

terdapat sekitar 284 juta orang tunanetra, yang terdiri

bahwa ketunanetraan pada umumnya dipandang

dari 245 juta orang penyandang low vision dan 39

sebagai malapetaka pribadi maupun sebagai musibah

juta orang tunanetra berat. Lebih dari 65% dari seluruh

bagi keluarga serta orang-orang terdekatnya (Dodds,

populasi tunanetra itu berusia 50 tahun atau lebih

1993).

tua. Ini berarti bahwa sebagian besar orang tunanetra

Ketunanetraan yang terjadi pada masa dewasa

pernah bergantung pada penglihatannya untuk

memunculkan lebih banyak tantangan psikologis

mengenal dan berhubungan dengan dunia, dan

daripada ketunanetraan yang terjadi pada awal masa

kemudian mereka harus secara radikal merevisi

kehidupan. Ketunanetraan yang terjadi tiba-tiba pada

*)

Diterima tanggal 10 Januari 2012 - dikembalikan tanggal 16 Pebruari 2012 - disetujui tanggal 1 Maret 2012

85

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012

usia dewasa dapat mengakibatkan depresi, persepsi

pada kasus individu tunanetra dewasa yang sudah

diri yang tidak tepat, sangat menurunnya tingkat

berhasil, sedangkan subpertanyaan penelitian e-f

motivasi, rendahnya harga diri, dan rendahnya self-

difokuskan pada pengembangan model konseling

efficacy (Dodds, 1993). Reaksi terhadap kebutaan

rehabilitasi bagi mereka yang belum berhasil. Keenam

yang mendadak mungkin paralel dengan tahapan

subpertanyaan penelitian tersebut adalah sebagai

penyesuaian terhadap kehilangan akibat kematian

berikut: a) bagaimanakah proses penyesuaian

(Kubler-Ross, 1969; Messina & Messina, 2004).

psikososial individu dengan kond isi ketuna-

Sekalipun demikian, di dalam masyarakat

net raannya? ; b) fak tor- fakt or a paka h ya ng

Indonesia, telah diidentifikasi beberapa individu

berkontribusi pada penerimaan individu terhadap

tunanetra dewasa yang mampu menghadapi

ketunanetraannya?; c) strategi coping apakah yang

berbagai tantangan ketunanetraannya dengan

digunakan untuk menghadapi tantangan yang

berhasil dalam waktu yang relatif singkat. Mereka

diakibatkan oleh ketunanetrannya?; d) pandangan

berhasil mendapatkan kembali kemandiriannya dan

filosofis apakah yang mendasari keberhasilan hidup

mencapai kehidupan yang bermakna, tidak hanya

individunya?; e) bagaimanakah sebaiknya konstruk

untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain.

model konseling rehabilitasi bagi individu tunanetra

Studi ini meneliti bagaimana keberhasilan tersebut

dewasa?; dan f) apakah model konseling rehabilitasi

da pat dica pai, dan ba gaim ana peng alam an

bagi individu tunanetra dewasa yang dihasilkan dari

keberhasilan tersebut dapat dituangkan ke dalam

penelitian ini efektif?

sebuah model konseling rehabilitasi untuk membantu

Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan

individu dewasa lain yang baru mengalami ketuna-

sebuah model konseling rehabilitasi yang dapat

netraan. Dengan demikian, terdapat dua kelompok

digunakan untuk membantu tunanetra dewasa yang

target penelitian ini, yaitu: 1) tunanetra dewasa yang

baru mengalami ketunanetraan mengatasi berbagai

sud ah t erbukti berhasil mengata si m asal ah

permasalahan psikologis yang diakibatkan oleh

penyesuaian dirinya terhadap ketunanetraan; dan 2)

ketunanetraannya agar mereka mampu mendapat-

individu tunanetra dewasa yang baru mengalami

kan kembali kemandiriannya dan mampu memaknai

ketunanetraan dan masih dihadapkan pada kesulitan

kehidupannya. Model konseling rehabilitasi yang

dalam penyesuaian dirinya terhadap kondisi

dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat

ketunanetraannya.

dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga ketunanetraan,

Oleh karena itu, ada dua gugus pertanyaan penelitian yang dicoba dijawab melalui penelitian ini.

terutama lembaga penyedia layanan rehabilitasi bagi tunanetra dewasa.

Pertama, pertanyaan penelitian yang terkait dengan kasus-kasus yang berhasil; kedua, pertanyaan

Kajian Literatur

penelitian yang terkait dengan model konseling

Upaya untuk membantu mengatasi masalah-masalah

rehabilitasi yang diterapkan kepada individu tunanetra

akibat ketunanetraan yang terjadi pada usia dewasa

dewasa yang masih berada dalam proses adaptasi.

akan berhasil dengan lebih baik apabila kita memiliki

Kedua gugus pertanyaan penelitian tersebut

pemahaman yang tepat tentang dampak psikososial

dirumuskan sebagai berikut: 1) bagaimanakah

ketunanetraan pada individu tunanetra dewasa,

individu tunanetra dewasa dapat berhasil mengatasi

strategi coping untuk beradaptasi dengan ketuna-

dampak ketunanetraannya sehingga mampu

netraan, dan prinsip-prinsip konseling rehabilitasi.

mendapatkan kembali kemandiriannya dan mampu memaknai hidupnya?; 2) bagaimanakah model

Dampak Psikososial Ketunanetraan pada

konseling rehabilitasi yang dapat membantu individu

Individu Tunanetra Dewasa

tunanetra dewasa memperoleh kepercayaan diri

Ketunanetraan dan disabilitas pada umumnya

untuk mendapatkan kembali kemandiriannya dan

berdampak besar terhadap kehidupan individu. Di

membangun kehidupan yang bermakna?

antara banyak ranah kehidupan yang dapat terpe-

Agar dapat menemukan jawaban yang lebih

ngaruh oleh disabilitas itu adalah aspek fisik,

spesifik untuk kedua gugus pertanyaan penelitian

psikologis, sosial, vokasional, ekonomi, dan rekreasi

tersebut, peneliti merincinya menjadi enam sub-

(Livneh & Cook, 2004). Banyak literatur meng-

pertanyaan penelitian. Subpertanyaan a-d difokuskan

indikasikan bahwa konsekuensi psikologis dan sosial

86

Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa

dari disabilitas merupakan hal yang paling berpengaruh

tiga bulan hingga tiga tahun. John Hull (1990)

terhadap keberfungsian individu dalam kehidupannya

membutuhkan sekitar empat tahun untuk dapat

sehari-hari. Disabilitas mempengaruhi pengalaman

menerima dan menyesuaikan diri dengan ketuna-

pribadi dan keyakinan individu yang bersangkutan dan

netraannya, sedangkan Rebecca Conrad (2004)

orang-orang lain di sekitarnya serta masyarakat pada

membutuhkan sekitar 15 tahun.

umumnya, terutama sikap mereka terhadap individu dengan disabilitas.

Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan tingkat kemampuan kognitif yang lebih tinggi

Reaksi individu terhadap kehilangan penglihatan

cenderung memiliki penyesuaian yang lebih positif

yang terjadi pada masa dewasa bersifat idiosinkratik,

terhadap ketunanetraan, dan bahwa individu yang

bervariasi dari individu ke individu, baik dalam bentuk

sudah mempunyai lebih banyak pengalaman

reak sinya, t ahapanny a maupun waktu yang

pendidikan rehabilitasi juga cenderung lebih baik dalam

dibutuhkannya untuk dapat menyesuaikan diri dengan

penyesuaiannya (Harrington & Mcdermott, 1993).

kondisi ini. Variasi tersebut mungkin dipengaruhi oleh

Di samping itu, kualitas dukungan keluarga dan

kapasitas kognitifnya, pengalaman pendidikan dan

sahabat, jenis strategi coping yang dipergunakan saat

rehabilitasinya, kualitas dukungan yang diperolehnya

ini untuk menghadapi kehilangan penglihatan, dan

dari orang-orang lain yang paling signifikan, tingkat

tingkat kegiatan individu, merupakan ranah yang

kegiatannya, dan akses ke sumber-sumber yang

paling signifikan untuk memprediksi keberhasilan

dibutuhkannya. Livneh (1989, 1986), Livneh &

adaptasi terhadap kondisi ketunanetraan (Horowitz,

Antonak (2005), Livneh & Cook (2004) menge-

Reinhardt, & McInerney, 2005).

mukakan bahwa reaksi yang umum ditunjukkan oleh

Penelitian Kendall & Terry (Harrington &

individu tersebut mencakup syok, kecemasan,

Mcdermott, 1993) mengindikasikan bahwa variasi

penolakan, depresi, kemarahan, penerimaan, dan

dalam kecepatan dan kualitas proses penyesuaian

penyesuaian.

individu juga ditentukan oleh sumber-sumber yang

Secara teoretik, keberhasilan penyesuaian diri

dimiliki. Akses ke sumber-sumber yang memadai

terhadap disabilitas merupakan perkembangan

akan mendorong perkembangan skema yang lebih

langsung dan logis dari acceptance (Livneh & Cook,

positif, sehingga memungkinkan individu melakukan

2004). Reaksi ini, juga disebut dalam literatur sebagai

lebih banyak upaya coping yang tepat, dan akibatnya

reorganisasi, reintegrasi, atau reoriantasi, terdiri dari

dia akan mencapai keadaan psikososial yang lebih

beberapa komponen: 1) rekonsiliasi kognitif tentang

baik - skema adalah kerangka mental yang

kondisi yang dialaminya, dampaknya, dan hakikatnya

mempunyai struktur internal yang stabil (Dodds,

yang permanen; 2) penerimaan secara afektif atau

1993). Secara spesifik, sumber-sumber yang

internalisasi diri sebagai seorang penyandang

mempengaruhi proses penyesuaian itu mencakup

disabilitas, termasuk pembaharuan atau pemulihan

sumber-sumber personal (yaitu karakteristik pribadi

rasa konsep diri, pembaharuan nilai-nilai hidup, dan

yang relati f stabi l seper ti self -estee m at au

berlanjutnya pencarian makna baru; dan 3) aktif

keterampilan sosial) dan sumber-sumber lingkungan

(secara behavioral) mengejar tujuan personal, sosial

seperti dukungan sosial dan keluarga atau keamanan

dan/atau vokasional, termasuk berhasil menegosiasi

finansial (Harrington & Mcdermott, 1993).

berbagai halangan yang dijumpai selama upaya

Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap

pencapaian tujuan tersebut (Antonak & Livneh,

proses penyesuaian individu terhadap ketuna-

2005). Tingkat keparahan, kecepatan kehilangan

netraannya adalah sikap masyarakat. Helen Keller

penglihatan dan hakikat disabilitasnya semuanya

(Dodds, 1993) bahkan mengamati bahwa hambatan

menentukan bagaimana individu menyesuaikan

utama bagi seorang tunanetra bukanlah ketuna-

dirinya dengan kondisi tersebut (Dodds, 1993).

netraannya itu sendiri melainkan sikap masyarakat

Waktu yang dibutuhkan individu untuk dapat

terhadap ketunanetraan.

menerima ketunanetraan dan menyesuaikan diri

Sikap negatif masyarakat tersebut diakibatkan

dengan kondisi ini sangat bervariasi. Messina &

oleh persepsi yang tidak tepat mengenai ketuna-

Messina (2004) mengemukakan bahwa tahapan

netraan. Orang yang tunanetra sering digambarkan

penyesuaian terhadap kehilangan (termasuk

sebagai tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan,

kehilangan fungsi organ tubuh) membutuhkan waktu

sehingga terbentuk persepsi purbasangka (prejudice)

87

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012

di kalangan masyarakat awas bahwa orang tunanetra

seorang tunanetra terhadap ketunanetraan pada

itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan

umumnya dengan tingkat penerimaannya terhadap

bantuan.

ketunanetraannya sendiri (Dodds, 1991). Penerima-

Sama merusaknya dengan gambaran negatif

an seorang klien yang kehilangan penglihatannya

mengenai ketunanetraan adalah gambaran positif

dapat ditingkatkan jika pandangannya tentang orang

yang tidak realistis di mana orang tunanetra dilukiskan

tunanetra dapat dibuat lebih positif. Di pihak lain, kita

sebagai “super hero”, yang dipandang sebagai orang

dapat mengatakan bahwa jika klien dapat lebih

yang memiliki daya yang mengagumkan, baik fisik

menerima kehilangan penglihatannya, maka

maupun mental (misalnya cerita “Si Buta dari Gua

pandangannya tentang ketunanetraan pun akan lebih

Hantu”). Akhir-akhir ini sering muncul pemberitaan

positif.

tentang orang tunanetra dengan prestasi tinggi,

Seorang individu dikatakan telah berhasil

misalnya mereka yang dapat mengoperasikan

menyesuaikan diri secara psikologis dengan kondisi

komputer dengan baik, atau berhasil meraih gelar

ketunanetraannya apabila: 1) memiliki keyakinan,

akademik yang prestisius, atau berhasil dalam karir

baik secara intelektual maupun emosional, bahwa

profesionalnya. Masyarakat sering memandang

dia benar-benar dapat mandiri dan swasembada; 2)

pencapaian seperti ini sebagai “langka tetapi nyata”,

memiliki keinginan untuk belajar menguasai

sesuatu yang mengagumkan. Pemberitaan seperti

keterampilan-keterampilan khusus (teknik-teknik

ini tidak berhasil mengubah stereotipe negatif tentang

alternatif) yang akan memungkinkan benar-benar

ketunanetraan. Karena di balik kekaguman tersirat

mandiri dan swasembada; 3) secara intelektual dan

pikiran bahwa orang tunanetra pada umumnya tidak

emosional mampu menghadapi sikap negatif

dapat atau tidak seharusnya demikian. Apabila

masyarakat terhadap ketunanetraannya – meng-

masyarakat melihat contoh orang tunanetra

hadapi hal-hal yang tidak menyenangkan yang

melanggar ekspektasi negatif tersebut, itu hanya

mungkin dikatakan atau dilakukan orang terhadap

dipandang sebagai kasus kekecualian. Tidak banyak

dirinya akibat kesalahfahaman dan miskonsepsi

orang yang mencapai wawasan pemahaman bahwa

mereka mengenai ketunanetraan (Omvig, 2002);

dengan pelatihan yang tepat, bantuan teknologi yang

dan 4) mampu tampil wajar di dalam pergaulan sosial.

sesuai deng an k ebut uhan, da n pe mber ian

Paparan di atas menunjukkan bahwa kehilangan

kesempatan yang seluas-luasnya, banyak orang

penglihatan mempengaruhi individu pada berbagai

tunanetra lain mungkin akan mencapai prestasi yang

level sekaligus, mencakup level persepsi, perilaku,

serupa dengan orang-orang lain. Dengan kata lain,

kognitif, dan emosi, yang menuntut individu itu untuk

ekspektasi masyarakat pada umumnya terhadap

mengubah caranya berpersepsi, berperilaku, berpikir,

orang tunanetra masih tetap rendah.

dan merasakan berbagai hal. Di samping itu, sikap

Dengan stigma sosial tentang ketunanetraan itu,

masyarakat terhadap ketunanetraan dan disabilitas

maka label “tunanetra” yang tiba-tiba diberikan

pada umumnya sangat mempengaruhi penyesuaian

kepada seorang individu dapat mengakibatkan

diri individu terhadap disabilitasnya. Oleh karena itu,

merasa kehilangan harga diri, dan harga diri terkait

mengatasi kehilangan penglihatan harus dilakukan

dengan proses penyesuaian diri (Dodds, 1993).

pada level persepsi, perilaku, kognitif, emosi, dan sikap

Harga diri merupakan salah satu aspek dari “citra

sosial, dan ini semua saling terkait. Selanjutnya,

diri” (self image). Citra sosial yang negatif tentang

penyesuaian dirinya dapat merupakan proses yang

ketunanetraan dapat membentuk citra diri negatif

panjang, dan mungkin harus dilakukan melalui

pada orang yang sudah diberi label “tunanetra”. Jadi,

berbagai cara, tergantung pada temperamen individu

kehilangan harga diri lebih disebabkan oleh

itu, pengalamannya terdahulu, dan strategi coping

mekanisme perendahan citra dirinya sendiri.

yang dipergunakannya untuk mengatasi krisis

Dodds (1993) mengemukakan bahwa jika

(Dodds, 1991) serta tergantung pada tingkat

ketika awas seorang individu mempercayai steriotipe

kesadaran masyarakat mengenai hakikat disabilitas.

tentang ketunanetraan, maka bila dia tiba-tiba menjadi tunanetra, dia cenderung akan menerapkan

Strategi Coping untuk Beradaptasi dengan

steriotipe itu pada dirinya sendiri. Terdapat bukti

Ketunanetraan

tentang adanya hubungan yang erat antara sikap

Seorang individu tunanetra hanya akan memperoleh

88

Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa

kembali keberfungsiannya sebagai anggota kelompok

menghadapi kesulitan-kesulitan yang diakibatkan oleh

sosial apabila dia dapat menerima ketunanetraannya

ketunanetraan. Ini merupakan proses yang panjang

dan mampu ber-adaptasi secara baik dengan

dan membutuhkan bantuan dan dukungan orang lain.

kondisinya itu. Terdapat beberapa strategi coping yang

Behavioral coping strategy adalah penggunaan

dapat dipergunakan oleh seorang individu tunanetra

keterampilan kompensatoris atau teknik alternatif

untuk bera dapt asi deng an k ondi si k etuna-

untuk mengatasi tuntutan lingkungan dalam melaku-

netraannya.

kan kegiatan kehidupan sehari-hari tanpa penglihatan

MacArthur & MacArthur (1999) mendefinisikan

atau dengan penglihatan yang terbatas. Teknik

strategi coping sebagai upaya-upaya khusus, baik

alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun

behavioral maupun psikologis, yang digunakan orang

tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-

untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau

indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk

meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan

melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan

stress. Stress timbul sebagai akibat dari adanya

dengan indera penglihatan (Jernigan, 1994).

tuntutan internal dan/atau eksternal yang melebihi

Social coping strategy adalah upaya-upaya untuk

sumber-sumber yang dimiliki individu. Oleh

mengatasi kesulitan akibat ketunanetraan dengan

karenanya, Cohen & Lazarus (1979 – dalam Calvo-

melibatkan orang lain. Bagi orang tunanetra dewasa

Novell, 2002) mendefinisikan coping sebagai

tertentu, ini merupakan hal yang tidak mudah

serangkaian upaya kognitif dan behavioral yang

(Horowitz 2004). Banyak orang tunanetra dewasa

dikembangkan individu guna mengatasi tuntutan

yang lebih tua, yang pada umumnya telah berjuang

eksternal dan/atau internal yang dinilai sebagai

untuk menjadi orang dewasa yang mandiri dan

berlebihan atau terlalu besar dalam kaitannya dengan

bangga dengan kemandiriannya. Mereka harus

sumber-sumber yang dimilikinya. Oleh sebab itu,

berhadapan dengan realita baru bahwa dalam hal-

Dodds (199 3) m enge muka kan bahw a pa da

hal tertentu mereka perlu bergantung pada bantuan

esensinya, strategi coping adalah strategi yang

orang lain. Ketika bantuan orang lain diperlukan,

dipergunakan individu untuk melakukan penyesuaian

Horowitz (2004) menemukan bahwa perempuan

antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan

cenderung l ebih

tuntutan yang dibebankan lingkungan kepadanya.

nonkeluarga, sedangkan laki-laki cenderung lebih

Secara spesifik, sumber-sumber yang memfasilitasi

bergantung pada keluarga dekat seperti istri atau

coping mencakup sumber-sumber personal (yaitu

anak. Horowitz juga menemukan bahwa dukungan

karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-

dari jaringan sosial informal sangat penting dalam

esteem atau keterampilan sosial) dan sumber-

membantu orang tunanetra dewasa untuk ber-

sumber lingkungan seperti dukungan sosial dan

adaptasi dengan ketunanetraannya.

keluarga atau sumber finansial (Harrington & Mcdermott, 1993).

menyuka i dukung an d ari

Individu tunanetra pada umumnya menggunakan kombinasi dari strategi-strategi di atas

Dengan menggunakan pendekatan Grounded

(Horowitz, 2004), dan keberhasilan coping dalam

Theory, Horowitz (2004) meneliti strategi coping

satu ranah cenderung berpengaruh positif terhadap

yang paling banyak dipergunakan di kalangan individu

keberhasilan dalam ranah-ranah lainnya.

tunanetra dewasa. Dia menemukan bahwa terdapat

Brennan et al., (2005) menyebutkan spirituality

tiga jenis strategi utama, yaitu: 1) psychological

dan religiousness sebagai satu coping resource yang

coping (yang mencakup kognitif dan emotif); 2)

mempunyai efek tangkal terhadap pengalaman hidup

behavioral coping, yaitu tindakan-tindakan yang overt

negatif. Ini berarti bahwa kita dapat menambahkan

dan dapat diobservasi; serta 3) social coping, yaitu

spiritualitas dan keagamaan sebagai satu kategori

melibatkan individu lain untuk beradaptasi dengan

lain dari strategi coping. Berbagai literatur menunjuk-

kondisi baru - kondisi ketunanetraan.

kan bahwa spiritualitas dan keagamaan pada

Psychological coping strategy difokuskan pada

umumnya berpengaruh besar terhadap kesehatan

upaya-upaya untuk menerima realita ketunanetraan,

fisik dan mental (Brennan, 2005; Duffy ,2006;

menemukan kembali rasa harga diri, menumbuhkan

McCarthy, 1999). Penelitian Brennan et al. (2005)

kegairahan untuk belajar keterampilan baru,

menunjukkan bahwa individu dengan tingkat

menumbuhkan kemampuan emosional untuk

spiritualitas atau keagamaan yang lebih tinggi

89

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012

mengalami lebih sedikit dampak negatif dari disabilitas

lingkungannya, maka diperlukan konseling dengan

penglihatan dan peristiwa-peristiwa lain yang

pendekatan ekologis.

menimbulkan stress, dan mendapatkan hasil rehabilitasi yang lebih positif dalam hal adaptasi

Metode Penelitian

terhadap kehilangan penglihatan dan dalam

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan pendekat-

perkembangan psikososialnya.

an research and development (R & D) dengan exploratory mixed method research design. Desain

Konseling Rehabilitasi

ini dipilih karena yang harus ditangani dua jenis data

Di beberapa negara, konseling yang dikaitkan dengan

yaitu data kualitatif maupun data kuantitatif. Data

rehabilitasi penyandang disabilitas telah berkembang

kualitatif berupa data deskriptif tentang pengalaman

menjadi sebuah disiplin ilmu yang disebut rehabili-

sejumlah individu tunanetra dewasa dalam mengatasi

tation counseling. The Commission on Rehabilitation

berbagai kesulitan yang diakibatkan oleh ketuna-

Counselor Certification (CRCC), Amerika Serikat,

netraannya yang mengarah pada keberhasilanya

sebagaimana dikutip oleh Parker et. al. (2004)

memperoleh kembali kemadiriannya dan mencapai

mendefinisikan konseling rehabilitasi sebagai suatu

kehidupan yang bermakna; sedangkan data

proses sistematis yang membantu penyandang

kuantitatif berupa hasil pengukuran keefektifan model

disabilitas fisik, mental, perkembangan, kognitif, dan

konseling rehabilitasi yang dirumuskan berdasarkan

emosi untuk mencapai tujuan personal, karir, dan

data kualitatif tersebut.

kehidupan mandiri dalam setting yang terintegrasi melalui penerapan proses konseling. Proses konseling

Secara visual, bagan desain tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

tersebut melibatkan komunikasi, penetapan tujuan, dan pertumbuhan atau perubahan ke arah yang lebih baik melalui self-advocacy, intervensi psikologis,

QUAL (Data dan Hasil)

Membangun

quan (Data dan Hasil)

intervensi vokasional, intervensi sosial, dan intervensi behavioral. Teori konseling menawarkan berbagai model untuk membantu individu tunanetra dan penyandang

Exploratory Mixed Methods Research Design (diadaptasikan dari Creswell, 2008)

disabilitas pada umumnya untuk mengatasi persoalan psikologisnya. Berbagai model intervensi konseling

Data kualitatif tentang pengalaman keberhasilan

tel ah d iter apka n untuk memb antu mer eka

kasus diperoleh melalui wawancara mendalam (in-

beradaptasi secara psikososial dengan kondisi

depth interview), dengan pedoman wawancara tak

disabilitasnya, baik dalam setting individual maupun

berstruktur dalam studi kasus terhadap partisipan

kelompok. Literatur menunjukkan bahwa di antara

yang memenuhi kriteria purposive sampling sebagai

teori-teori konseling yang paling banyak diterapkan

berikut: 1) partisipan menjadi tunanetra pada usia

adalah psikoanalisis, psikodinamik, individual

dewasa (19 tahun atau lebih); 2) setelah menjadi

(Adlerian), Gestalt (Perls), person-centered (Rogers),

tunanetra, partisipan mampu menyelesaikan studi S1

rational-emotive-behavioral (Ellis), cognitive (Beck),

(bagi individu yang ketunanetraannya terjadi sebelum

dan behaviorist. Akan tetapi, tujuan fundamental dari

tamat S1); 2) setelah menjadi tunanetra, partisipan

konseling rehabilitasi – yaitu memberdayakan

memiliki pekerjaan tetap yang bermartabat dengan

penyandang disabilitas untuk mencapai potensi

penghasilan di atas standar upah minimum regional

tertingginya dalam ranah personal, kehidupan sosial,

(UMR); dan 3) setelah menjadi tunanetra, partisipan

dan dunia kerja – dapat terwujud dengan baik dengan

mampu menghasilkan karya atau melakukan

menggunakan model intervensi konseling eklektik/

kegiatan (di luar pekerjaan rutinnya) yang ber-

integratif (Parker et.al., 2004). Lebih jauh, karena

manfaat bagi komunitasnya.

rehabilitasi penyandang disabilitas menganut

Berdasarkan kriteria tersebut, ditemukan enam

perspektif holistik dan ekoligis, yaitu mencakup

orang partisipan dengan data demografik sebagai

aspek-aspek fisik, mental dan spiritual individu yang

berikut. Tiga orang berada di Bandung, sedangkan

bersangkutan maupun hubungannya dengan

tiga lainnya masing-masing berada di Jakarta,

keluarganya, pekerjaannya dan keseluruhan

Yogyakarta dan Semarang. Keenam orang beragama

90

Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa

Islam. Empat orang adalah laki-laki dan dua lainnya

yang lainnya masih lajang. Kedua orang tersebut

perempuan. Empat kasus yang menjadi responden

menjadi tunanetra karena penyakit lebih dari dua

tersebut tunanetra karena penyakit dan dua lainnya

tahun, kurang dari tiga tahun sebelum intervensi uji

karena kecelakaan. Ketunanetraan pada tiga kasus

coba dilaksanakan. Orang ke-1 menjadi tunanetra

tergolong kategori low vision dan tiga kasus lainnya

secara gradual dalam kurun waktu satu tahun dan

tergolong blind (berdasarkan definisi WHO). Tiga

kini hanya memiliki persepsi cahaya, sedangkan orang

kasus menjadi tunanetra secara gradual, dua kasus

ke-2 menjadi tunanetra secara mendadak dan kini

menjadi tunanetra secara mendadak, dan satu

masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional ( low

lainnya secara drastis. Empat kasus menjadi

vision). Orang ke-1 adalah tamatan SMA dan

tunanetra pada usia 20-an dan dua lainnya pada usia

merupakan seorang pengusaha konveksi ketika

30-an. Pada saat menjadi tunanetra, tiga kasus sudah

ketunanetraannya terjadi, sedangkan orang ke-2

memperoleh gelar sarjana, sedangkan tiga kasus

berpendidikan S1 manajemen dan merupakan staf

lainnya adalah tamatan pendidikan menengah. Tiga

akunting sebuah perusahaan garmen ketika

kasus menjadi tunanetra pada saat sudah berstatus

ketunanetraannya terjadi. Hingga penelitian ini

menikah, sedangkan tiga lainnya masih lajang; empat

dilaksanakan, kedua orang tersebut belum pernah

kasus sudah memiliki pekerjaan tetap, satu kasus

memperoleh intervensi rehabilitasi, dan mereka hidup

sudah bekerja paruh waktu, dan satu kasus belum

dengan dukungan keluarganya.

bekerja.

Model konseling rehabilitasi ini dapat dikatakan

Model konseling rehabilitasi bagi individu

efektif apabila model tersebut dapat mencapai

tunanetra dewasa yang dirumuskan berdasarkan

tujuannya. Secara umum, model konseling reha-

hasil studi kasus tersebut (setelah divalidasi melalui

bilitasi ini bertujuan mengubah persepsi partisipan

expert judgment) diujicobakan kepada dua orang

tentang ketunanetraan dan implikasinya bagi dirinya

klien untuk melihat keefektifannya. Uji coba

– perubahan ke arah persepsi yang lebih positif.

dilaksanakan menggunakan single-subject research

Instrumen yang digunakan untuk mengukur

dengan desain A-B-A.

pencapaian tujuan tersebut adalah Instrumen

Baseline A

Treatment B

Baseline A

X-X-X-X-X-X O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O-O Desain Uji Coba Model (SSR A-B-A) Pemilihan sampel untuk partisipan SSR ini dilakukan secara purposif dengan kriteria sebagai berikut: 1) partisipan menjadi tunanetra pada usia 19 tahun atau lebih; 2)

Asesmen yang terdiri dari sepuluh item wawancara berstruktur. Penelitian dimulai dengan mengaplikasikan

pada saat intervensi,

instrumen asesmen tersebut yang ha silnya

partisipan sudah menjadi tunanetra selama kurang

merupakan baseline, kemudian dilakukan treatment

dari tiga tahun; 3) partisipan sudah melewati fase

dengan mengaplikasikan model konseling rehabilitasi,

intervensi medis untuk pemulihan penglihatannya; dan

dan setelah itu instrumen asesmen yang sama

4) partisipan belum pernah mengikuti program

diaplikasikan kembali. Hasil asesmen kedua

rehabilitasi bagi tunanetra.

dibandingkan dengan baseline. Perbandingan antara

Berdasarkan kriteria tersebut ditemukan dua

baseline dengan asesmen kedua dapat menunjukkan

orang partisipan yang berdomisili di Bandung yang

perubahan persepsi partisipan tentang ketunanetraan

dapat dijadikan sampel uji coba model. Kedua orang

dan implikasinya bagi dirinya.

tersebut terdiri dari seorang laki-laki dan seorang

Untuk mendapatkan data kuantitatif, perubahan

perempuan yang masing-masing berusia 37 dan 34

persepsi tersebut dikuantifikasikan sebagai berikut:

tahun. Satu orang beragama Islam dan yang lainnya

1) skor 1 diberikan apabila pernyataan-pernyataan

beragama Kristen, satu orang sudah berkeluarga dan

pada asesmen sesudah intervensi mengindikasikan

91

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012

ada perubahan yang jelas ke arah yang lebih positif

di mana individu mengalami keadaan cemas, stress

dalam persepsi partisipan tentang ketunanetraan dan

hingga depresi, dan akhirnya tahap penerimaan dan

implikasinya bagi dirinya; 2) skor 0 diberikan apabila

penyesuaian. (Livneh, 1989, 1986; Livneh &

tidak ada indikasi yang jelas dalam perubahan

Antonak, 2005; Livneh & Cook, 2004).

persepsi partisipan; dan 3) skor -1 diberikan apabila

Setelah berhasil menyesuaikan dirinya dengan

pernyataan-pernyataan pada wawancara asesmen

kondisi ketunanetraan, semua kasus dalam penelitian

sesudah intervensi justru mengindikasikan adanya

ini berhasil mengembangkan dirinya ke arah

perubahan ke arah yang lebih negatif dalam persepsi

kebermaknaan hidup, baik bagi diri sendiri maupun

partisipan tentang ketunanetraan dan implikasinya

bagi orang banyak. Keberhasilan-keberhasilan

bagi dirinya.

tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: 1) semua

Mengenai keefektifan model ini, ditentukan

kasus (tiga orang) yang ketunanetraannya terjadi

kriteria sebagai berikut: 1) apabila total skor untuk

sebelum mereka menempuh pendidikan tinggi berhasil

efek intervensi seorang klien mencapai 7 atau lebih,

meraih gelar sarjana. Satu kasus berhasil meraih gelar

maka peneliti menafsirkan bahwa model konseling

magister dan satu kasus yang pada saat terjadinya

ini cenderung efektif untuk klien yang bersangkutan;

ketunanetraan sudah memperoleh gelar sarjana

2) apabila rata-rata total skor untuk kedua partisipan

berhasil memperoleh gelar magister; b) dari empat

itu adalah sekurang-kurangnya 7 dan total skor

kasus yang ketunanetraannya terjadi sesudah

masing- masing partisi pan adalah se kurang-

memasuki dunia kerja, satu kasus dapat melanjutkan

kurangnya 7, maka peneliti dapat berasumsi bahwa

karirnya dalam pekerjaan yang sama (sebagai

model itu cenderung efektif; dan 3) apabila rata-

dosen), satu kasus melanjutkan karir dalam bidang

rata total skor kedua partisipan itu adalah 7 tetapi

terkait tetapi dengan berganti pekerjaan (dari pegawai

total skor salah seorang partisipan adalah kurang

bank menjadi komisaris sebuah lembaga konsultan

dari 7, maka peneliti menafsirkan bahwa keefektifan

keuangan), dua kasus mengubah bidang karirnya

model itu meragukan.

(satu beralih dari karir militer ke karir guru, dan satu lainnya beralih dari asisten apoteker menjadi guru);

Hasil Penelitian dan Pembahasan

c) kasus yang ketunanetraannya terjadi sesudah

Studi kasus terhadap enam individu tunanetra

menyelesaikan pendidikan tinggi tetapi belum bekerja

dewasa yang berhasil telah memunculkan data hasil

berhasil mengembangkan karir dalam bidang yang

penelitian tentang: 1) proses penyesuaian psikososial

sesuai dengan latar belakang pendidikannya (lulusan

kasus dengan kondisi ketunanetraannya; 2) faktor-

jurusan psikologi menjadi psikolog sekolah); dan d)

faktor yang berkontribusi pada penerimaan kasus

semua kasus berhasil mencapai kehidupan yang

terhadap ketunanetraannya; 3) strategi coping yang

layak dan mempunyai karya atau kegiatan lain (di

digunakan kasus untuk menghadapi tantangan yang

luar pekerjaan rutinnya) yang bermakna bagi orang

diakibatkan oleh ketunanetrannya; dan 4) pandangan

banyak. Semua kasus aktif sebagai pengurus inti

filosofis yang mendasari keberhasilan hidup kasus.

dalam organisasi atau lembaga swadaya masyarakat

Secara spesifik, penelitian ini memunculkan

yang memperjuangkan kepentingan para tunanetra.

temuan-temuan sebagai berikut. Faktor-faktor yang Berkontribusi pada Proses Penyesuaian Psikososial Kasus dengan

Penerimaan Kasus terhadap

Kondisi Ketunanetraannya

Ketunanetraannya

Temuan penelitian ini mendukung teori bahwa reaksi

Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga

individu terhadap kehilangan penglihatan yang terjadi

dan orang-orang lain yang signifikan, religiositas,

pada masa dewasa bersifat idiosinkratik, bervariasi

kontak dengan individu tunanetra yang berhasil, serta

dari individu ke individu, baik dalam bentuk reaksinya,

kontak dengan lembaga ketunanetraan (meskipun

tahapannya, maupun waktu yang dibutuhkan untuk

tidak terlibat langsung sebagai klien di lembaga

dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Namun

tersebut) merupakan faktor kontributif terhadap

reaksi-reaksi itu dapat dikategorikan ke dalam tiga

proses penerimaan ketunanetraan bagi kasus.

tahapan umum yaitu tahap awal yang berupa reaksi

Penelitian juga menunjukkan bahwa persepsi positif

syok dan/atau penolakan, yang diikuti dengan tahap

tentang orang tunanetra yang diperoleh sebelum

92

Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa

kasus sendiri menjadi tunanetra berpengaruh positif

sisa penglihatan yang cukup baik juga menggunakan

pada penerimaan ketunanetraannya. Keberhasilan

CCTV untuk keperluan membaca tulisan biasa. Dalam

kasus dalam memperoleh keterampilan baru

hal tertentu, keterampilan kompensatoris itu berupa

(keterampilan kompensatoris) pada awal masa

teknik alternatif tanpa alat bantu khusus, yaitu berupa

ketunanetraan terbukti mempercepat penerimaan

modifikasi perilaku; 4) social coping strategy yaitu

kasus akan ketunanetraannya.

upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan akibat ketunanetraan dengan melibatkan bantuan orang

Strategi Coping yang Digunakan Kasus untuk

lain. Strategi ini digunakan kasus dalam hal

Menghadapi Tantangan yang Diakibatkan oleh

keterampilan kompensatoris yang dimilikinya tidak

Ketunanetraannya

da pat meng atasi tuntut an l ingk unga n ya ng

Strategi-strategi ini dapat dikelompokkan ke dalam

dihadapinya; 5) self-advocacy adalah upaya

lima kategori yaitu: 1) religious coping strategy

penyandang disabilitas untuk memperoleh dan

dalam bentuk berdoa yang digunakan kasus untuk

mempertahankan hak-haknya dengan menyu-

mendapatkan jalan guna menghadapi kesulitan

arakan dan mengkomunikasikannya. Strategi ini

terutama pada masa-masa awal ketunanetraannya.

digunakan sebagai contoh untuk menghadapi

Mereka meyakini bahwa Tuhan akan menunjukkan

perlakuan diskriminatif atau perlakuan tak wajar yang

jalan keluar dari masalah apabila mereka berdoa

masih sering mereka terima sebagai akibat dari

secara khusuk; 2) psychological coping strategy

mispersepsi masyarakat tentang ketuna-netraan dan

(yang mencakup kognitif dan emotif) difokuskan

tentang disabilitas pada umumnya.

pada upaya-upaya untuk menerima realita ketunanetraan, menemukan kembali rasa harga diri,

Pandangan Filosofis yang Mendasari

menumbuhkan kegairahan untuk belajar keteram-

Keberhasilan Hidup Kasus

pilan baru, menumbuhkan kemampuan emosional

Setelah kasus melewati proses yang panjang melalui

untuk menghadapi kesulit an-kesulitan yang

berbagai macam pengalaman pahit selama masa-

diakibatkan oleh ketunanetraan. Ini dilakukan setelah

masa awal ketunanetraannya dan pengalaman

kasus mulai memasuki tahap penerimaan, mereka

keberhasilan yang kemudian mereka raih, mereka

mulai mencari informasi tentang ketunanetraan dan

memandang ketunanetraan sebagai salah satu

mulai belajar keterampilan kompensatoris yang

karakteristik manusia yang dianugrahkan Tuhan

dibutuhkannya untuk melakukan kegiatan kehidupan

kepada orang-orang tertentu yang seyogyanya

sehari-hari tanpa penglihatan, mengontrol emosi atau

dipandang sejajar dengan berbagai karakteristik lain

melakukan perenungan diri (self-talk) bila mereka

yang secara bersama-sama membentuk keunikan

menghadapi sikap masyarakat yang tidak suportif;

individu, dan oleh karenanya tidak seyogyanya

3) behavioral coping strategy berupa penggunaan

dipandang sebagai inferior. Pandangan filosofis

keterampilan kompensatoris atau teknik alternatif

tersebut memiliki banyak kesamaan dengan filosofi

untuk mengatasi tuntutan lingkungan dalam

yang dikembangkan oleh The National Federation of

melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari tanpa

the Blind (federasi tunanetra nasional Amerika

penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas.

Serikat), yang mereka namakan the Federation

Pada umumnya kasus menggunakan jenis keteram-

Philosophy (Omvig, 2002). Ketunanetraan memang

pilan kompensatoris yang sama yang mencakup

dapat menimbulkan berbagai tantangan, tetapi Tuhan

penggunaan Braille dan rekaman audio untuk

telah menyediakan jalan untuk mengatasinya,

membaca/menulis, menggunakan komputer dengan

sehingga ketunanetraan tidak harus menghalangi

software pembaca layar JAWS atau menggunakan

orang untuk mencapai kehidupan yang bermakna,

mesin tik biasa dengan teknik 10 jari untuk

baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

berkomunikasi secara tertulis dengan orang awas,

Keempat temuan di atas digunakan sebagai

dan menggunakan tongkat sebagai alat bantu

dasar konstruksi model konseling rehabilitasi bagi

orientasi dan mobilitas. Extensivitas penggunaan

individu tunanetra dewasa. Setelah diujicobakan

masing-masing keterampilan kompensatoris tersebut

dalam skala terbatas kepada dua orang klien

ber vari asi dari kasus k e ka sus terg antung

tunanetra dewasa, model konseling ini menunjukkan

preferensinya. Kasus tertentu yang masih memiliki

efektif bagi kedua orang klien tersebut. Mereka

93

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012

menunjukkan perubahan ke arah yang lebih positif

Counseling, konseling kognitif dan konseling

pada 9 dari 10 item wawancara asesmen sesudah

behavioral, dalam setting konseling individual maupun

intervensi. Dengan demikian, penulis dapat berasumsi

kelompok.

bahwa model ini efektif untuk membantu individu

Tahap-tahap Konseling. Model ini terdiri dari

tunanetra dewasa menumbuhkan keyakinannya

5 atau 6 tahap konseling, yang masing-masing tahap

bahwa mereka akan dapat mengatasi masalah-

dapat terdiri dari beberapa sesi konseling tergantung

masalah yang diaki-batkan oleh ketunanetraannya

kebutuhan klien. Ke semua tahapan konseling

dan memperoleh kembali kemandiriannya.

melibatkan klien dan orang-orang lain yang paling

Konstruk model konseling rehabilitasi tersebut

signifikan baginya. Tahap-tahap intervensi konseling

memuat lima unsur yang saling terkait dan harus

itu adalah sebagai berikut:

terintegrasikan ke dalam intervensi yang dilakukan

Tahap 1: asesmen

oleh seorang konselor. Kelima unsur tersebut yaitu:

Tahap 2: intervensi keluarga dan orang-orang lain

1) keyakinan filosofis tentang ketunanetraan dan konseling rehabilitasi; 2) tujuan konseling; 3) pendekatan konseling; 4) metode konseling; dan 5) tahap-tahap konseling, yang masing-masing dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.

yang paling signifikan bagi klien Tahap 3: konseling melalui kontak dengan individu tunanetra yang berhasil Tahap 4: konseling melalui kontak dengan lembaga rehabilitasi tunanetra

Filosofi. Secara filosofis, model konseling

Tahap 5: (opsional): intervensi lingkungan kerja atau

rehabilitasi ini didasarkan atas pandangan tentang

lingkungan belajar. Tahap ini dilaksanakan hanya

ketunanetraan yang positif, yaitu sebagai salah satu

apabila klien masih terdaftar sebagai pegawai

karakteristik manusia yang sejajar dengan berbagai

atau mahasiswa.

karakteristik lainnya yang secara keseluruhan membentuk keunikan individu. Konseling rehabilitasi merupakan proses yang mampu memberdayakan individu tunanetra guna mempertahankan eksis-

Tahap 6: refleksi, evaluasi, rencana tindak lanjut, dan referal. Secara visual, model tersebut dapat digambarkan pada Bagan Model Konseling Rehabilitasi.

tensinya sebagai warga masyarakat yang bermartabat. Oleh karena itu, tingkat keberhasilan model

Simpulan dan Saran

ini akan lebih tinggi apabila konselor yang meng-

Simpulan

aplikasikannya menganut pandangan filosofis ini.

Berbagai literatur menunjukkan bahwa ketunanetraan

Tujuan. Setelah mendapatkan intervensi

yang terjadi pada usia dewasa memunculkan lebih

konseling rehabilitasi dengan model ini, individu

banyak persoalan psikososial daripada yang terjadi

tunanetra dewasa diharapkan: 1) menerima kondisi

lebih awal. Studi kasus terhadap enam orang

ketunanetraanya; 2) merasa mendapat dukungan

partisipan penelitian ini mendukung kebenaran teori

dari keluarga dan orang-orang terdekatnya; 3)

tersebut tetapi mereka juga membuktikan bahwa

memiliki pengetahuan tentang keterampilan

faktor-faktor tertentu telah membuat mereka

kompensatoris yang dibutuhkannya dan sumber

mampu mengatasi persoalan-persoalan psikososial.

untuk mendapatkanya; 4) memiliki keyakinan akan

Bahkan, berhasil mendapatkan kembali keman-

berhasil memperoleh kemandiriannya kembali; dan

diriannya dan mampu mengembangkan dirinya untuk

5) dapat membuat perencanaan yang realistis untuk

mencapai kehidupan yang bermakna dan tidak hanya

masa depannya.

untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain.

Pendekatan. Model konseling ini didasarkan

Faktor penentu keberhasilan tersebut merupakan

atas pendekatan holistik/ekologis, yang menginter-

penerimaan ketunanetraan ( acceptance) dan

vensi seluruh aspek pribadi klien secara terintegrasi,

pe nyesuaia n de ngan kondisi ket unanetra an

yang mencakup aspek-aspek fisik, mental, sosial dan

(adjustment). Dukungan keluarga dan orang lain yang

spiritual maupun hubungan dengan keluarganya,

signifikan, religius, kontak dengan individu tunanetra

pekerjaannya dan keseluruhan lingkungannya.

yang berha sil, da n kont ak deng an lem baga

Metode. Model konseling ini dianjurkan untuk

ketunanetraan (meskipun tidak terlibat langsung

diterapkan dengan menggunakan metode eklektik,

sebagai klien di lembaga tersebut), dan perolehan

yang terutama terdiri dari Person-C entered

satu keterampilan kompensatoris pada awal masa

94

Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa

Bagan Model Konseling Rehabilitasi ketunanetraan merupakan faktor kontributif terhadap

membentuk keunikan dirinya sebagai individu. Oleh

proses penerimaan ketunanetraan.

karena itu, tidak seyogyanya dipandang sebagai

Strategi yang digunakan untuk menyesuaikan

inferior. Model konseling rehabilitasi yang dirumuskan

diri dengan kondisi ketunanetraan dan mengatasi

ber-dasarkan hasil studi kasus ini terbukti efektif ketika

kesulitan yang diakibatkan olehnya meliputi religious

diaplikasikan kepada dua orang klien yang relatif baru

coping strategy, psychological coping strategy,

mengalami ketunanetraan.

behavioral coping strategy, social coping strategy, dan self-advocacy. Pe ngal aman keb erasila n me reka dal am mengatasi berbagai tantangan akibat ketunanetraan

Saran Berdasarkan temuan-temuan penelitian ini, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut.

telah membuat mereka menganut filosofi bahwa

Pertama, disarankan agar lembaga-lembaga

ketunanetraan merupakan salah satu karakteristik

rehabilitasi bagi tunanetra dan lembaga-lembaga jasa

manusia yang dianugrahkan Tuhan kepadanya yang

konseli ng m enga plik asik an M odel Konseli ng

seyogyanya dipandang sejajar dengan berbagai

Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa yang

karakteristik yang lain secara bersama-sama

dihasilkan dari penelitian ini untuk membantu mereka

95

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 18, Nomor 1, Maret 2012

yang menjadi tunanetra pada usia dewasa. Kedua,

berkolaborasi dengan ahli-ahli lain yang relevan

dalam mengaplikasikan model ini, perlu diperhatikan

seperti agamawan, instruktur rehabilitasi dan guru

agar: 1) model ini dimaksudkan untuk membantu

pendidikan luar biasa; 4) konselor yang berwenang

mengatasi masalah-masalah psikososial pada orang

untuk mengaplikasikan model ini adalah mereka yang

dewasa yang baru mengalami ketunanetraan; 2)

mempunyai spesialisasi konseling rehabilitasi; dan 5)

model ini hendaknya diterapkan ketika klien sudah

dalam hal konselor dengan spesialisasi konseling

melewati masa intervensi medis utama – yaitu

rehabilitasi tidak tersedia, maka model ini dapat

intervensi medis untuk memulihkan penglihatannya,

diaplikasikan oleh petugas bimbingan dan konseling,

ketika dokter sudah memutuskan bahwa tidak ada

petugas rehabilitasi sosial, atau guru PLB, yang

lagi upaya medis yang dapat dilakukan; 3) dalam

kesemuanya telah mengikuti Program Pelatihan Model

menerapkan model konseling ini, konselor dapat

Konseling Rehabilitasi bagi Individu Tunanetra Dewasa.

Pustaka Acuan Brennan, M.; Cardinali, G.; MacMillan, T.; & Shippy, R.A. 2005. “Religiousness and Spirituality in Vision Impaired Adults”. Arlene R. Gordon Research Institute. (Online): http://www.lighthouse.org/ downloads/research. Retrieved 27/05/2007. Calvo-Novell, C. 2002. Coping and blindness: a study of the strategies of coping of blind and visually handicapped adolescents. (Online): http://www.icevi.org/publications/. Retrieved 25/08/2005. Conrad, R. 2004. Coping with blindness. (Online): http://www.enablelink.com/coping_with_blindness.htm. Retrieved 11/11/2004. Creswell, J.W. 2008. Educational Research: Planning, Constructing, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Upper Saddle River: Pearson. Dodds, A. 1993. Rehabilitating Blind and Visually Impaired People: A psychological approach. London: Chapman& Hall. Dodds, A.G. 1991. The psychology of rehabilitation. British Journal of Visual Impairment, 9 (2). Duffy, R.D. 2006. Spirituality, Religion, and Career Development: Current Status and Future Directions. The Career Development Quarterly, 55. Fitzgerald and Parkes. 1998. Coping with loss: Blindness and loss of other sensory and cognitive functions. Palliative Medicine. (Online): http://bmj.bmjjournals.com/cgi/content/full/316/7138/1160#B8 Harrington, R. G. & Mcdermott, D. 1993. A Model for the Interpretation of Personality Assessments of Individuals with Visual Impairments. The Journal of Rehabilitation, 59 (4). Horowitz, A. 2004. Strategies Developed by Visually Impaired Elders to Cope with the Emotional and Functional Consequences of Vision Loss. Arlene R. Gordon Research Institute. (Online): http:// www.lighthouse. org/download/research. Retrieved 26/05/2007. Horowitz, A.; Reinhardt, J.; & McInerney, R. L. 2005. Adaptation to Age-Related Vision Loss. (Online): http://www.lighthouse.org/downloads /research. Retrieved 27/05/2008. Hull, J. 1990. Touching the Rock. London: Arrow Books.

96

Didi Tarsidi, Mengatasi Masalah-masalah Psikososial Akibat Ketunanetraan pada Usia Dewasa

Jernigan, K. 1994. If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind. Kubler-Ross, E. 1969. On death and dying. New York: Macmillan Publishing Co. Livneh, H. & Antonak, R.F. 2005. Psychosocial Adaptation to Chronic Illness and Disability: A Primer for Counselors. Journal of Counseling and Development, 83 (1). Livneh, H. & Cook, D. 2004. Psychosocial Impact of Disability. In: Parker et al. (Eds.). (2004). Rehabilitation Counseling: Basics and Beyond. Fourth Edition. Texas: Pro.ed Inc. International Publisher Livneh, H. 1986. A unified approach to existing models of adaptation to disability: Part I: A model adaptation. Journal for Applied Rehabilitation Counseling, 17(1), 5-16. Livneh, H. 1989. Rehabilitation Intervention Strategies: Their Integration and Classification. The Journal of Rehabilitation, 55 (2). MacArthur, J.D. & MacArthur, C.T. 1999. Coping Strategies. UCSF. (Online): http://www.macses.ucsf.edu/ Research/Psychosocial/notebook/coping.html. Retrieved 06/11/2008. McCarthy, H. Integrating Spirituality into Rehabilitation in a Technocratic Society. In: Marinelli, R. P. & Orto, A. E. D. 1999. The Psychological and Social Impact of Disability. New York: Springer. Messina, J.J. & Messina, C. M. 2004. Tools for Handling Loss. (Online): http://www.coping.org. Retrieved 10/09/2005. Omvig, J.H. 2002. Freedom for the Blind. Arkansas: Region VI Rehabilitation Continuing Education Program. University of Arkansas. Parker, M.R.; Szimanski, E.M.; & Patterson, J.B. (Eds.). 2004. Rehabilitation Counseling: Basics and Beyond. Fourth Edition. Texas: Pro.ed Inc. International Publisher World Health Organization. 2011. Visual Impairment and Blindness. Fact Sheet No. 282, updated April 2011.(Online):http://www.who.int/ mediacentre/ factsheets/ fs282/en/. Retrieved 21/04/ 2011.

97