PROPERTI. Bisnis Indonesia, Sabtu, 18 Desember 2010. OLEH YUSUF
WALUYO JATI. Wartawan Bisnis Indonesia. Kalangan arsitektur lan- skap
menilai ...
PROPERTI Bisnis Indonesia, Sabtu, 18 Desember 2010
Merayu kota ‘mengawini’ bangunan hijau Rapor tahunan pengembang hanya bernilai lumayan OLEH YUSUF WALUYO JATI Wartawan Bisnis Indonesia
Kalangan arsitektur lanskap menilai implementasi bangunan hijau (green building) di perkotaan negara-negara berkembang sangat lambat. Di tengah keadaan itu, istilah tersebut justru malah mengalami degradasi makna. angunan hijau yang seharusnya menjadi konsep adiluhung penjaga keharmonisan ekosistem lamat-lamat terkomodifikasi menjadi bentuk lain yang sekadar pemanis (gimmick) kalangan tim pemasaran menjaring pelanggan sebanyak-banyaknya. Pada ada saat yang sama, pemahaman dan komitmen pengembang terhadap pelaksanaan proyek-proyek properti hijau justru sering dipertanyakan. Kondisi ini kian diperparah oleh pemahaman konsumen yang masih terbatas soal bangunan hijau. Tak heran jika promosi green property besarbesaran sekadar menumbuhkan citra positif produk properti, tetapi dangkal dalam implementasi konsep. Menurut kalangan arsitek, para pemilik bisnis realestat seharusnya lebih serius menerapkan konsep bangunan hijau secara komprehensif terutama di perkotaan. Kota-kota besar lebih rawan terhadap kerusakan ekosistem akibat polusi kendaraan bermotor, eksploitasi lahan, dan kegiatan industrialisasi yang menggerogoti energi fosil. Terlebih, pengembangan realestat merupakan kegiatan yang menghabiskan lahan terbuka dan tanaman. Tumbuhnya bangunan baru dari kegiatan ini ikut meningkatkan mobilitas di kawasan. Karena itu, bisnis realestat memikul tanggung jawab besar mengurangi laju pemanasan global.
B
Kenyataannya, dari ratusan pengembang di Indonesia, hanya sekitar 20% yang serius menerapkan konsep bangunan hijau. Sebagian besar wajah perkotaan yang tampak dari citra satelit ruang angkasa justru bopeng-bopeng akibat tak terintegrasinya implementasi konsep bangunan hijau dan lahan secara baik. Faktor-faktor hijau yang mengedepankan penggunaan lahan yang layak dan berkelanjutan tak dipenuhi maksimal, sedangkan penggunaan sumber air sangat tak efisien. Penghematan energi tak berjalan, sehingga mengancam lapisan ozon di atmosfer. Adapun, penghematan konstruksi bangunan dengan mereduksi limbah tak dilakukan secara optimal. Yang terjadi, eksploitasi sumber daya alam untuk bahan bangunan kian menggila, sedangkan kualitas udara dalam ruangan kian merosot. “Banyak pengembang realestat di Bandung, Jakarta, Surabaya yang melanggar ketentuan KDB [koefisien dasar bangunan], KLB [koefisien lantai bangunan], KDH [koefisien daerah hijau]. Mereka tak sungguhsungguh memahami where to build and where not to build,” kata Baskoro Tejo, Arsitek Lanskap Institut Teknologi Bandung.
Hijau di kota Pengamat Properti Hijau dan Pengurus Pusat Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) Nirwono Joga mengatakan langkah mengawinkan antara komitmen pengembang dan gagasan bangunan hijau di perkotaan secara komprehensif merupakan tantangan yang membutuhkan kerja keras dan waktu cukup panjang. Pada saat yang sama, dia menyadari masih terdapat ganjalan lantaran belum adanya kriteria baku soal bangunan hijau terlebih di subsektor residensial. Dengan demikian, kriteria tersebut masih berkembang dinamis sejalan dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat. “Mewujudkan bangunan hijau di perkotaan seperti mimpi yang harus diraih. Ini adalah tantangan, sehingga tak mudah tetapi selalu ada pe-
BISNIS/ENDANG MUCHTAR
Implementator bangunan hijau bisa diberi kemudahan izin koefisien lantai bangunan
luang jika dua aspek utama telah terpenuhi, yakni kelestarian lingkungan dan pengurangan penggunaan energi konvensional,” katanya. Sejauh ini, jelasnya, belum ada juga usaha saksama pengembang realestat mengurangi penggunaan AC (pengondisi udara) rumah, mengarahkan aplikasi energi alternatif, serta mendorong penghuni berjalan kaki dan naik kendaraan tak bermotor untuk perjalanan jarak dekat dan sedang, misalnya, menyediakan pedestrian dan jalur sepeda yang nyaman. Hampir semua rumah sejak awal dirancang memakai AC. Penghuni juga tetap didorong menggunakan
BISNIS/ANDRY T. KURNIADY
Secara nasional konsep bangunan hijau baru terimplementasi 10%-15%
mobil pribadi, bahkan di dalam klaster. Dengan alasan efisiensi, kepraktisan, dan strata sosial penghuni, banyak upaya menggalang partisipasi warga malah dikesampingkan. Pengelolaan lingkungan sepenuhnya ditangani estate management. Kendati demikian, ujarnya, beberapa perumahan masih ada yang layak mendapatkan apresiasi karena menyediakan instalasi pengolahan sampah mandiri, pengolahan air bersih dan kotor. Beberapa perumahan membatasi mobil pribadi termasuk kendaraan tamu pemilik rumah masuk ke kawasan dan mendorong mereka untuk lebih menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Perumahan lain melakukan terobosan dengan memasarkan rumah baru yang dilengkapi panel surya. Dengan dilandasi adanya tanggung jawab moral dan sosial pebisnis realestat mengurangi laju pemanasan global itulah, pada pekan ini, majalah HousingEstate menggelar ajang Green Property Awards (GPA) 2010 untuk sebagian kecil pengembang yang dinilai masih peduli terhadap bangunan hijau. Hadi Prasojo, Ketua Panitia GPA 2010, mengatakan penilaian GPA dilandasi oleh dua kriteria utama yakni kelestarian lingkungan dan pengurangan pemakaian energi konvensional. “Ini merupakan penyelenggaraan GPA yang kedua,” ujarnya. Secara terperinci, kedua aspek penilaian itu dirumuskan menjadi delapan kriteria yakni mengikuti peraturan perundang-undangan, sistem pengolahan sampah, pengelolaan air, jaringan infrastruktur, kemudahan akses moda transportasi massal.
Selain itu, penilaian juga didasarkan atas adanya alokasi ruang terbuka hijau (RTH) lebih dari 20% dari total luas lahan yang dikembangkan, desain rumah yang inovatif dan berempati, serta partisipasi untuk berbudaya green. “Sebuah perumahan bisa dinilai hijau apabila telah memenuhi minimal empat kriteria dengan total bobot nilai paling sedikit 61 dan platinum jika memenuhi minimal tujuh kriteria dengan total bobot nilai paling sedikit 91,” katanya.
Rapor pengemban Panitia mengakui dari seluruh pengembang yang memiliki proyek residensial di Jabodetabek, hanya ada 21 perumahan yang dinominasikan mengingat minimnya partisipasi dan rendahnya implementasi konsep bangunan hijau. Adapun, klasifikasi yang ditetapkan dalam GPA 2010 terdiri dari Platinum (paling hijau) dengan nilai antara 91 dan 100, Emas (sangat hijau) antara 81 dan 90, Perak (lebih hijau) antara 71 dan 80, dan Perunggu (cukup hijau) antara 61–70. Sayangnya, seluruh nominator pada tahun ini tak ada yang berhasil menggondol predikat Platinum, Emas pun bahkan tak ada. Dari 21 nominator, hanya 16 perumahan yang dinilai layak menerima GPA 2010, yakni 10 perumahan berkategori A, satu perumahan berkategori B, dan lima perumahan berkategori C. Kategori A adalah perumahan yang sudah atau hampir selesai dikembangkan dan sudah banyak dihuni. Kategori B merupakan perumahan yang sedang dikembangkan, sedangkan Kategori C perumahan yang masih berupa konsep. Dari 16 perumahan itu, ada empat
nominator menerima GPA 2010 dengan klasifikasi Perak yang diraih perumahan Newton Summarecon Serpong, Tangerang (Kategori A), perumahan Greenland di Sawangan Depok (Kategori B), Kebayoran Garden Tangerang dan Maple Residence (Kategori C). Adapun, sebanyak 12 perumahan penerima GPA 2010 hanya mendapatkan klasifikasi Perunggu. Klasifikasi ini diberikan kepada perumahan Koridor Bandoeng Tempo Doeloe, GreenCove, Vassa Lake, Sutera Onyx, Banjar Taman Ayun, Pine Forest, North Espanola, Malibu, Eugenia, Asia Tropis, Green Tranquility, serta Citrus Garden. Dengan hanya meraih klasifikasi Perak dan Perunggu, pencapaian para pengembang bagi proyek-proyek hijau residensial mereka dinilai relatif tak beranjak dari posisi pada tahun lalu. Beberapa perumahan bahkan mengalami penurunan nilai. “Secara umum, pengembang hanya kuat di satu aspek tetapi lemah di banyak aspek. Secara keseluruhan nilai rapor mereka cukup lumayan,” ujarnya. Disadari atau tidak, pengembangan properti hijau di perkotaan Indonesia relatif masih sangat lambat. Akselerasi pertumbuhan bangunan hijau yang komprehensif harus didorong lebih cepat dengan melibatkan partisipasi aktif setiap warga secara kolektif agar bersedia menjadi agen hijau. Untuk menjadi agen hijau pun tak terlalu sulit asalkan ada niat. Kalangan arsitek lanskap kali ini bersedia berbagi tip. Mulailah memelihara pohon di halaman, membuat sumur resapan, taman atap, pengelolaan sampah, hingga mendorong penggunaan transportasi massal. (
[email protected])
Dukungan pemerintah dianggap kurang gereget OLEH YUSUF WALUYO JATI Wartawan Bisnis Indonesia
ebagian kalangan mahfum apabila upaya pengembang dalam menerapkan konsep bangunan hijau di Indonesia masih sangat minim. Dukungan pemerintah dianggap masih kurang gereget. Alih-alih membangun properti hijau, dalam menyelesaikan masalah perizinan bagi sejumlah bangunan baru, pengembang masih kerap menghadapi rantai birokrasi yang panjang. Keberadaan pemerintah yang seharusnya menjadi penengah dan mitra strategis justru berubah menjadi pencipta masalah. Kondisi ini rentan memicu tumbuhnya ekonomi biaya tinggi, sehingga proyek-proyek yang digarap menjadi tak efisien dan kalah bersaing. Pengurus Pusat Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) Nirwono
S
Joga mengatakan gairah pengembang mewujudkan bangunan hijau saat ini diredupkan oleh minimnya komitmen pemerintah. Negara seharusnya berperan lebih aktif sebagai mediator dan fasilitator dalam mengawal implementasi bangunan hijau baik dalam bentuk insentif, workshop, pengawasan, dan kepastian regulasi. Jika diberi insentif, dia yakin para pengembang akan semakin bersemangat memacu implementasi bangunan hijau khususnya di perkotaan. Dia menyarankan pemerintah dan pengembang perlu duduk bersama dalam memikirkan insentif yang menarik, bukan malah diberikan aturan yang rumit dan berbelitbelit. “Siapa pun yang diberi perhatian pasti akan senang. Pada kenyataannya, inisiatif green building sampai sekarang masih dari tangan pengembang sedangkan pemerintah belum sungguh-sungguh,” katanya.
Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) bahkan terus menagih Pemprov DKI memberikan diskon pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi para pengembang yang mengimplementasikan konsep bangunan hijau. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI Setyo Maharso mengatakan usulan pemberian diskon PBB diharapkan bisa menjadi insentif pengembang yang menerapkan konsep properti hijau agar kerusakan lingkungan akibat perubahan iklim dapat direduksi. “Namun, pelaksanaan properti hijau masih sukarela dan sebatas dalam ranah kesadaran. Jadi, pengembang menggunakan sebagian dana CSR [corporate social responsibility] mereka untuk memperbaiki lingkungan. Ini butuh perhatian Pemprov,” ujarnya. Menurut catatan REI, ujarnya, konsep bangunan hijau baru terimplementasi 10%-15% secara nasional yang tersebar di subsektor
BISNIS/DEDI GUNAWAN
Pelaksanaan properti hijau masih sukarela dan sebatas dalam ranah kesadaran
perumahan, gedung bertingkat dan kawasan komersial. Dia mencontohkan PT Belaputera Intiland, pengembang Kotabaru Parahyangan, Bandung, baru mengoptimalkan sekitar 20% dari 1.200 hektare lahan yang tersedia untuk bangunan hijau. Adapun, PT Summarecon Agung Tbk mencapai 40% dari total lahan di Bekasi dan Ke-
lapa Gading. “Untuk memacu tumbuhnya bangunan hijau, kami minta ada diskon PBB dari Pemprov DKI. Penetapan PBB di DKI sangat besar dibandingkan dengan daerah lain. PBB yang besar langsung membebani rakyat. Ini perlu pembicaraan lebih lanjut,” ujarnya. Jika implementasi konsep ba-
ngunan hijau semakin menggeliat, ujar Setyo, REI kemungkinan akan memperluas usulan insentif ke arah perizinan yang dipermudah. “Harapannya, para implementator bangunan hijau bisa diberi kemudahan izin KLB [koefisien lantai bangunan], sehingga bangunannya bisa lebih tinggi. Ini belum final,” katanya. (
[email protected])