METAFORA Irzanti Susanto I. PENDAHULUAN 1.1 ... - Website Staff UI

79 downloads 80 Views 258KB Size Report
Contoh: analisis Zinken atas artikel di surat kabar Polandia tentang pengikut ... Berkaitan dengan SD dan TD, terjadi pergeseran sebagian ciri konseptual dari ...
METAFORA

Irzanti Susanto

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa, sebagai alat komunikasi, menyediakan berbagai sarana berkomunikasi, sarana pengungkap pikiran dan perasaan. Salah satu sarana adalah unsur leksikal selanjutnya disingkat menjadi UL). Sarana ini diharapkan dapat mewakili semua yang ada dan terjadi di alam semesta sekitar kita.1 Diperlukan sejumlah besar UL untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan mengabstraksikan benda serta kejadian. Mengingat demikian luasnya dan banyaknya hal2 yang perlu dinyatakan melalui UL, secara linguistik, ada polisemi, diciptakannya UL baru, dan peminjaman dari bahasa asing. Berkaitan dengan polisemi, sebuah UL tidak hanya mempunyai satu makna dan tidak hanya mengacu pada satu hal, demi efisiensi bahasa (Knowles 2006:4). Bahasa tidak menyajikan satu UL untuk satu unsur luar bahasa, misalnya, istilah dalam bidang komputer diambil dari bidang lain: web, virus, bug. Penutur mengatur dan memegang peranan dalam hal tersebut. Goatly (1997:1) mengatakan bahwa di dalam semua teks ditemukan banyak metafora. Ia memberi contoh teks ekonomi: balance of trade, capital mobility, raw material, marginal utility, underground economy, international growth race. Penelitian yang berlandaskan pada kognisi mengatakan bahwa manusia, dengan menggunakan pikirannya, mengatur pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman hidup, antara lain melalui proses metaforis. Metafora merupakan dasar mutlak dari pikiran manusia yang terungkap dalam berbahasa. Lakoof dan Johnson (1980:3) menyatakan bahwa metafora3 meresap di dalam kehidupan sehari-hari manusia, tidak hanya di dalam bahasa, tetapi juga dalam pikiran dan tingkah laku; pikiran manusia tidak hanya berisi un1

Yang saya maksud dengan “kita” dalam hal ini adalah penutur suatu bahasa. Dengan demikian, alam semesta bergantung pada tempat penutur berada. 2 Hal adalah kata generik yang mencakupi segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam tempat suatu bahasa berlaku. 3 … it should be understood that metaphor means metaphorical concept (Lakoff, 1980: 6).

2

sur intelegensi, tetapi juga berfungsi mengatur hidup manusia sampai ke hal yang sekecilkecilnya. Salah satu prinsip dasar metafora adalah adanya konvensi dalam asosiasi metaforis antara dua konsep, misalnya dalam masyarakat penutur bahasa Inggris, emotional unresponsiveness diasosiasikan dengan cold dalam hal suhu, tidak dengan warmth atau yang lain dari bidang yang berbeda, seperti width atau innateness. Hal tersebut tidak bersifat sembarang. Bukti yang dikemukakan oleh Grady (dalam Gibbs 1997:80) diambil dari beberapa bahasa yang tidak berasal dari satu rumpun, tetapi memiliki konsep metaforis yang sama bahwa big adalah important: bahasa Zulu

-khulu

“big: important”

bahasa Hawai

nui

“big: important”

bahasa Turki

büyük

“big: important”

bahasa Melayu

besar

“big: important”

bahasa Rusia

krupnij

“big: important”

Karena metafora mengambil bagian di dalam sistem konseptual manusia dan dikaitkan dengan pengalaman hidup, dalam hal ini cara pandang, sistem konseptual metafora dalam bahasa yang berbeda bisa sama. Pada contoh di atas, dalam setiap bahasa, kata yang bermakna „big’ mengacu, secara literal, pada ukuran fisik dan secara metaforis, mengacu pada derajat kepentingan. Secara logis, hubungan antara konsep ukuran fisik dan derajat kepentingan bersifat bawaan dan tertanam baik di dalam struktur otak. Metafora seperti itu disebabkan oleh hal mendasar yang ada dalam benak manusia secara umum, bukan sekadar masalah budaya atau pengalaman yang kebetulan sama. Menurut Knowles (op.cit., 87), bahasa-bahasa yang berasal dari rumpun yang sama tidak selalu memperlihatkan konsep metaforis yang sama. Oleh karena itu, Lakoff, Johnson, Sweetser, Turner, dan Gibbs (Grady, op.cit., 81) secara bulat sepakat bahwa prinsip dasar dari konsep metaforis adalah experential motivation. “We feel that no metaphor can ever be comprehended or even adequately represented independently of its experential basis ...”. Mereka tidak mau berargumen tentang sembarang atau bawaan. Artinya, pada contoh di atas, penutur dari kelima bahasa tersebut mempunyai pengalaman yang sama sehingga cara pandang mereka pun sama. 1.2 POKOK BAHASAN

3

Mengingat bahwa metafora, pada umumnya, selalu dikaitkan dengan karya sastra, makalah ini mengangkat pokok bahasan metafora dari wacana politik, yaitu pidato kenegaraan dua orang presiden RI pada upacara pengambilan sumpah jabatan sebagai presiden. Pnelitian ini mempertanyakan hal berikut: a. Ranah sumber (SD) dan ranah sasaran (TD) apa yang terkait dengan konsep metaforis dalam pembicaraan tentang negara, politik, tugas pemerintah, dan bangsa yang terdapat dalam pidato tersebut? b. Apakah konsep metaforis yang diperoleh memperlihatkan skema tertentu? c. Apakah ada persamaan skema konsep metafora antara kedua tokoh negara tersebut? 1.3 OBJEK PENELITIAN Objek penelitian ini adalah metafora yang diwujudkan dengan UL tunggal (bukan kata majemuk) yang berkenaan dengan topik yang telah disebutkan pada subbab Masalah. Kelas kata UL tidak dibatasi. 1.4 TUJUAN Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan: a. konsep yang mengaitkan ranah sumber dan ranah sasaran. b. skema metaforis kedua pidato. c. persamaan dan perbedaan metafora yang digunakan kedua tokoh tersebut. 1.5 METODOLOGI Metode penelitian bersifat kualitatif dan kepustakaan dengan data tulis. Analisis dilakukan terhadap teks tulis. 1.6 RUANG LINGKUP Ruang lingkup meliputi beberapa hal berikut: Data yang diteliti adalah UL yang merupakan metafora. Konteks langsung berupa kalimat yang mengandung UL yang diteliti. Perlu ditekankan pentingnya wacana sebagai penunjang pemahaman dan penentuan metafora.4 1.7 SUMBER DATA 4

Kittay (1987:41) menyatakan bahwa metafora dapat diidentifikasi dalam lingkup sempit, seperti frase, atau lingkup yang lebih luas, yaitu kalimat. Apa pun lingkupnya, yang terpenting adalah penggunaannya di dalam wacana.

4

Data diambil dari pidato kenegaraan: 1. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 20 Oktober 1999 pada upacara sumpah jabatan sebagai Presiden RI untuk periode 1999/2004. Pidato diunduh dari http://www.ri.go.id/istana/speech/ind/20okt999.htm. 2. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 24 Oktober 2004 pada upacara sumpah jabatan sebagai Presiden RI untuk periode 2004/2009. Pidato diunduh dari “http://id.wikisource.org/wiki/Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, 20 Oktober 2004” Kategori: Pidato Presiden Indonesia  Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua pidato presiden ini dipilih untuk melihat apakah ada persepsi yang sama dari kedua presiden dari era yang sama.

II. LANDASAN TEORETIS Sebelum masuk pada teori yang digunakan sebagai landasan, perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu tentang makna literal dan nonliteral karena metafora berkaitan dengan makna nonliteral. Berikut ini rangkuman dari beberapa sumber yang mengemukakan perbedaan antara makna literal dan metafora. Pembedaan berikut sekaligus menjelaskan konsep metafora yang menjadi pokok bahasan analisis. 1. Knowles (op.cit.,6,7), secara sederhana menjelaskan bahwa: a. UL dengan makna literal mengacu pada sesuatu yang kongkret (sesuatu yang yang memiliki fisik di alam semeta); sedangkan makna nonliteral mengacu pada sesuatu yang abstrak. Menurut saya, pendapat ini terlalu sederhana karena di alam semesta ada hal abstrak yang literal, seperti perdamaian, kesejahteraan. Sebaliknya, tidak semua makna nonliteral, dalam hal ini metafora, mengacu pada sesuatu yang abstrak, misalnya kaki gunung, kepala kampung, pigeonhole, browbeat. Steen (2002: 24ff) memberi contoh tentang UL dengan makna abstrak yang dapat bermakna metaforis: LOVE IS ART, LOVE IS SCIENCE, LOVE IS POLITICS.5 Jadi, hal abstrak dan kongkret sangat rentan untuk dijadikan batasan.

5

Huruf besar merupakan tanda bahwa kata tersebut adalah konsep, bukan unsur leksikal.

5

b. Makna literal adalah makna yang secara spontan dikemukakan ketika seseorang menjelaskan makna sebuah UL tanpa konteks; sedangkan makna nonliteral memerlukan konteks. c. Makna literal ada lebih dahulu daripada makna nonliteral; sedangkan makna nonliteral merupakan hasil dari proses. Menurut saya, hal ini merupakan bagian dari kognisi penutur. d. Metafora, yang merupakan salah satu gejala kebahasaan dengan makna nonliteral, melibatkan persamaan. Apabila UL metaforis diinterpretasikan secara literal, maknanya menjadi tidak masuk akal karena persamaan tersebut bersifat implisit. Contoh: Putrinya adalah mutiara keluarga. Anak perempuan dipersamakan dengan mutiara. Itu berarti bahwa anak itu dan mutiara memiliki ciri-ciri yang sama. 2. Evans (2006: 287) mempertentangkan makna literal dengan makna figuratif. Secara tradsisional, konsep literality stabil dan tidak taksa. Jadi makna literal jelas; sedangkan makna figuratif kurang jelas. Ia pun menyatakan pendapat yang sama dengan Knowles (butir b di atas) dengan catatan tambahan bahwa konteks tidak hanya berupa konteks sintagmatis, tetapi juga latar belakang pengetahuan ensiklopedis yang kaya dari penutur untuk dapat memahami konsep metaforis. 3. Steen (dalam Language and Literature. 2002: 24) tidak menggunakan istilah nonliteral, tetapi makna metaforis. Ia mengatakan bahwa makna literal adalah makna yang dapat digunakan secara langsung dalam pembicaraan mengenai pengalaman; sedangkan makna metaforis memerlukan proses pemindahan dari satu ranah ke ranah lain. 4. Lee (2001:6), senada dengan Steen, merumuskan ciri utama dari metafora sebagai berikut: “A metaphor is essentially a device that involves conceptualising one domain of experience in terms of another”. Penelitian ini dilandasi pada teori dasar yang dicetuskan oleh Lakoff dan Johnson (1980). Banyak pakar menggunakan gagasan-gagasan mereka yang merupakan fondasi dalam mengembangkan teori metafora konseptual dengan pendekatan linguistik kognitif.

2.1 Prinsip dasar metafora 2.1.1 Metafora Konseptual – Image Schema

6

Menurut linguistik kognitif, metafora merupakan persoalan konsep yang terdapat di dalam pikiran (Steen, op.cit.,17,18). Teori kognitif mengenai metafora dari Lakoff dan Johnson (1980) yang dikutip oleh Zinken (2003:507,508; Knowles, op.cit.,44)) berada dalam kerangka pengalaman hidup (experientialist). Pikiran manusia bekerja sesuai dengan cara tubuh berinteraksi dengan dunia. Inilah yang dimaksudkannya dengan experience (untuk selanjutnya digunakan istilah pengalaman). Pengalaman ini bukan pengalaman perorangan, tetapi pengalaman yang berkaitan dengan pengalaman sosiokultural dan historis dari suatu komunitas. Johnson, yang dikutip oleh Evans (op.cit.,178), menyatakan bahwa pengalaman tersebut berimplikasi pada timbulnya image schema (selanjutnya disingkat menjadi IS) yang merupakan skema abstrak di dalam kognisi manusia. IS berasal dari pengalaman sensoris dan persepsi. Pengalaman tersebut diterapkan secara analogis dalam metafora konseptual. Contoh: IS yang berasal dari pengalaman memasukkan makanan dan ekskresi: CONTAINER, yang merupakan hasil dari pengalaman sehari-hari, dalam bahasa Inggris tampak pada UL berikut: You wake out of a deep sleep and peer out from beneath the covers into your room. ... You reach into the medecine cabinet, take out the toothpaste, squeeze out some toothpaste, put the toothbrush into your mouth... . 2.1.2 Metafora dalam wacana politik Zinken (op.cit., 509--519) mengamati metafora pada wacana politik dan teknik. Analisisnya memperlihatkan bahwa partisipan yang terlibat dalam wacana tersebut memasukkan peristiwa-peristiwa baru melalui interpretasi metaforis mereka, bukan melalui pengalaman sensoris-perseptif mendasar seperti yang diuraikan di atas. Metafora dalam kedua wacana tersebut muncul karena motivasi penutur berdasarkan pengalamannya sebagai anggota masyarakat dengan budaya tertentu. Menurut Zinken, IS tidak dapat menangkap pengalaman kultural yang tidak berkaitan dengan interaksi tubuh. Dengan demikian, ground dari metafora jenis ini bukan lagi interaksi tubuh dengan lingkungan, tetapi semiotic experience. Ia menyebutnya dengan intertextual metaphor6. Metafora jenis ini banyak terdapat pada teks yang sarat dengan budaya dan memegang peran penting dalam

6

Saya memberanikan diri untuk menerjemahkannya dengan metafora intertekstual.

7

menginterpretasikan gejala baru yang muncul dalam wacana tertentu. Berdampingan dengan metafora intertekstual ini, Zinken juga menemukan jenis metafora lain yang memiliki ground yang sama dengan metafora intertekstual, yaitu correlational metaphor7. Perbedaannya terletak pada peran metafora yang bersangkutan: metafora intertekstual (MI) adalah metafora utama yang mewakili interpretasi gejala tertentu; sedangkan metafora korelasional (MK) bukan merupakan pokok bahasan utama; MK terdapat pada tataran bahasa umum, tetapi tetap berada dalam lingkup yang koheren. Oleh karena itu, MI biasanya terdapat pada judul utama, petunjuk, bagian awal dan akhir teks, komentar foto. Contoh: analisis Zinken atas artikel di surat kabar Polandia tentang pengikut komunis dan oposisinya di Round Table. Metafora intertekstual adalah semua metafora yang berkenaan dengan komunisme dan Round Table sebagai pokok bahasan utama (kata-kata yang digarisbawahi): When Polish communism hid its claws, Chinese communism showed its long wolf’s teeth. Sayangnya, pada artikel tersebut, Zinken tidak memperlihatkan contoh MK. Paparan Deignan (2005:23) merupakan rangkuman atas prinsip-prinsip teori metafora konseptual, yaitu: - Metafora menata pikiran; - Metafora menata pengetahuan; - Metafora merupakan pusat dari keabstrakan dalam berbahasa; - Metafora dapat bersifat ideologis. 2.1.3 Source domain - Target domain (selanjutnya disingkat: SD dan TD) Bertolak dari rumusan bahwa metafora adalah alat yang melibatkan dua ranah pengalaman, pada semua jenis metafora terdapat SD dan TD (Evans, op.cit.,297; Lee, op.cit., 6; Knowles, op.cit.,33). SD merupakan ranah sumber dari konsep yang dialihkan ke ranah sasaran (TD). Contoh: (1) He’s really a cold person. (2) She gave us a warm welcome. SD pada kedua contoh tersebut adalah indera perasa; TD adalah konsep abstrak „hubungan kedekatan‟. SD bergantung pada cara pandang atau berpikir tentang sesuatu.  Satu TD bisa berasal dari SD yang berbeda. Pada contoh (1) dan (2), SD adalah indera perasa. Pada contoh berikut: (3) I felt really close to him. 7

Saya terjemahkan dengan metafora korelasional.

8

4) He is quite unapproachable. SD adalah jarak.  Satu SD dapat memiliki dua TD atauu lebih. Contoh: WAR dengan TD: ARGUMENT dan ILLNESS.  Sebuah ranah dapat menjadi SD sekaligus TD. Contoh: ILLNESS IS WAR, PROBLEMS ARE ILNESS.

2.1.4 Highlighting Berkaitan dengan SD dan TD, terjadi pergeseran sebagian ciri konseptual dari SD ke TD (Lehmann, 2002:81). Ciri tersebut diterapkan pada yang lain (TD). LakoffJohnson menyebutnya highlighting (Lakoff, 1980:10ff). Contoh: WAR adalah metafora ARGUMENT . Ciri yang diterapkan atau diberi highlighting8 adalah ciri WAR, misalnya: dua pihak yang bertentangan, kekuatan, posisi kuat dan lemah, dan strategi. Ciri lain dari WAR tidak diambil, misalnya pasukan. Hal ini berkaitan dengan landasan teoritisnya, yaitu kognitif linguistik. 2.1.5 Sistematisasi Konsep Metaforis Sebuah konsep metaforis dapat membentuk pola terstruktur secara sistematis. Karena metafora merupakan konseptualisasi dari dari sesuatu yang lain (SD), metafora tersebut (TD) dipengaruhi secara sistematis oleh asalnya (Lakoff, op.cit.,7ff; Knowles, op.cit., 42). Contoh: a. ARGUMENT dikonseptualisasi sebagai WAR. Bentuk ARGUMENT dengan sendirinya ditentukan oleh konsep-konsep yang dialihkan dari WAR sehingga terbentuk suatu struktur yang unsur-unsurnya saling tarik: attack a position – indefensible – strategy – new lin of attack – win – gain ground. b. LIFE dikonseptualisasi sebagai JOURNEY. Struktur yang terbentuk secara sistematis adalah konsep metaforis tentang kelahiran, kematian, dan segala pengalaman yang dapat terjadi di antara dua kutub tersebut, misalnya babies arrive/on the way – departure – have gone – getting ahead – direction – reaching – passage – courses. 2.2 Unsur-unsur dalam analisis 8

Dalam analisis, saya akan memakai kata menyoroti sebagai terjemahannya.

9

Untuk menganalisis metafora, tiga unsur perlu diperhatikan (Knowles, op.cit.,9), yaitu: Istilah yang umum digunakan Istilah dalam linguistik kognitif Metafora (UL: kata, frase, klausa): ujud yang Vehicle mengandung konsep metaforis Makna: makna metaforis Topic9 Persamaan/hubungan: konsep yang diberi diterap- Grounds kan pada TD Contoh: Konteks: Be prepared for a mountain of paperwork. Metafora/vehicle

: mountain

Makna/topic

: a large amount

Persamaan/grounds

: konsep ukuran, tidak dapat digerakkan, sukar diubah.

Steen (Gibbs,1999:61) menambahkan frame, yaitu UL yang terkait langsung dengan UL metaforis dan membatasi penerapan metafora dan menempatkannya pada lingkup tertentu.10 Frame pada contoh di atas: paperwork. Topic tidak bisa berdiri sendiri sebagai metafora. Ketidakkongruenan antara topic dan frame diperlukan untuk membangun sebuah metafora yang lengkap. Apabila hubungan makna antaunsur kalimat kongruen, konteks di luar kalimat itulah yang menjadi penentu: literal atau metaforis. Contoh (Kittay, 1987:42,69): The rock is becoming brittle with age. Terlepas dari konteks lain, rock dimaknai secara literal dari: „batu kapur di laut yang terbentuk dari zat yang dikeluarkan oleh binatang jenis anthozoa‟; dan brittle mengacu pada keadaan batu yang menjadi rapuh. Namun, apabila ujaran tersebut diutarakan ketika orang sedang membicarakan seorang kakek, secara logis, rock dan brittle bermakna metaforis. 2.3 Prosedur Analisis11 Prosedur analisis mencakupi langkah-langkah berikut (Steen. 2002, op.cit.,26):

9

Istilah lain: tenor, focus (Kittay, op.cit., 16) Frame bisa hadir pada klausa yang sama, bisa juga tidak, misalnya: The royal court is going hunting. Untuk mengetahui bahwa royal court adalah metafora (lion), diperlukan konteks lebih luas, di luar klausa tersebut. 11 Dalam analisis digunakan konsep-konsep sintaksis yang berkaitan dengan unsur-unsur pembentuk kalimat karena korpus berupa kalimat. 10

10

A. PERSIAPAN 1. Memecah data yang berupa kalimat atas proposisi-proposisi pembentuknya. 2. Menentukan inti proposisi yang terdiri atas satu predikat dengan satu valensi atau lebih. 3. Menjelaskan semua konsep yang berkaitan: elipsis, substitusi, dan koreferensi. 4. Menjelaskan hal yang diacu oleh teks: yang sebenarnya berada di luar bahasa literal) atau sesuatu yang merupakan gabungan dari dua bidang (metaforis). 5. Memerikan valensi lain (tidak hadir pada konteks) yang pada umumnya dapat menyandingi predikat. B. IDENTIFIKASI 6. Memeriksa acuan predikat dan valensi (nomina, adverbia): acuan langsung dalam dunia nyata atau acuan lain yang melibatkan bidang lain. Dalam analisis metafora, unsur gramatikal tidak diperhatikan karena metafora UL berkenaan dengan konsep dan penerapannya dalam lingkup suatu model konseptual. Steen menekankan bahwa bagian persiapan (A) ditujukan kepada peneliti pemula. Peneliti berpengalaman dapat langsung menentukan konsep (-konsep) metaforis yang dituju. Ia dapat kembali ke analisis proposisional apabila timbul masalah yang kompleks dan untuk menentukan bidang-bidang yang terlibat dalam satu unit.

3. PEMBAHASAN 3.1 PENGANTAR Korpus penelitian berupa pidato kenegaraan pada upacara sumpah jabatan Presiden Republik Indonesia yang memimpin Indonesia sejak dimulainya era Reformasi. Pidato diunduh dari situs internet. Korpus terdiri atas pidato kenegaraan dari: -

mantan Presiden Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999; Presiden RI ke-4)

-

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004; Presiden RI ke-6)

Pidato kenegaraan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri (Presiden ke-5 RI) tidak dipakai sebagai korpus karena alasan teknis, yaitu tidak ditemukannya pidato beliau di situs presiden-presiden RI. Berikut ini paparan ringkas mengenai asas partai dan visi misi partai kedua presiden tersebut (Kompas, 27 April 2009, hlm.1).

11

Abdurrahman Wahid adalah anggota Partai Kebangkitan Bangsa yang berasaskan Pancasila. Visi dan misi: 1. Reformasi lembaga-lembaga tinggi negara 2. Penegakan hukum 3. Kepemimpinan sipil 4. Perlindungan pertanian rakyat dan pelayanan tradisional 5. Kaukus nasional untuk keutuhan bangsa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah anggota Partai Demokrat yang berasaskan Pancasila. Visi dan misi: 1. Masyarakat sipil kuat 2. Persamaan hak dan kewajiban tanpa membedakan SARA 3. Reformasi dan pembaruan di semua bidang. 3.2 Analisis Paparan data diawali dengan konsep metaforis utama (dicetak dengan huruf besar) yang berkaitan dengan topik objek penelitian (negara, politik, tugas pemerintah, dan bangsa) dan dilanjutkan dengan perincian data dan uraiannya. Data berupa UL-UL yang mewujudkan dan menunjang konsep metaforis utama. 3.2.1 Metafora dalam pidato Abdurrahman Wahid Pidato Abdurrahman Wahid lebih pendek daripada pidato Susilo Bambang Yudhoyono. Panjangnya sekitar 1000 kata. Metafora yang ditemukan (sesuai dengan objek penelitian) hanya berjumlah 13 UL metaforis. Topik pidato Abdurrahman Wahid (selanjutnya disingkat AW) berkisar pada beratnya tugas yang diemban sebagai kepala negara. Tugas yang berkaitan dengan urusan dalam negeri mencakupi masalah keutuhan negara, kesejahteraan rakyat, dan penerapan demokrasi. Tugas yang berkaitan dengan urusan luar negeri meliputi masalah persaingan dengan negara lain. Ada tiga konsep metaforis utama yang ditemukan, yaitu: a. b. c. < MASALAH ADALAH MUSIBAH>

12

Berikut ini uraian UL-UL yang menunjang metafora tersebut. Sebelumnya, saya perlu menjelaskan hal metafora yang berkaitan dengan bangsa, karena pada teks pidato hanya ditemukan satu metafora.Tidak adanya unsur penunjang lain, SD metafora ini sukar ditentukan. 1. Apalagi karena pada saat ini kita tengah didera oleh perbedaan faham yang sangat besar dan longgarnya ikatan-ikatan kita sebagai bangsa. 

Metafora ikatan menyoroti adanya kesamaan unsur-unsur yang diikat. Jadi, warga negara Indonesia seharusnya memiliki persamaan yang dapat menyatukan. Biasanya, yang berupa ikatan adalah sayur-mayur, kayu bakar. Apabila ikatannya longgar, benda-benda tersebut berantakan.

 TUGAS ADALAH BEBAN Konsep metaforis diperlihatkan oleh data berikut: 2. Yang terbentang di hadapan kita adalah tugas maha berat dari sidang yang berbahagia. 

Metafora berat menyoroti bobot besar sehingga tugas dianggap sebagai benda padat.



Metafora terbentang yang menyoroti aspek „tampak‟ dan „luas‟ memperkuat metafora TUGAS ADALAH BEBAN.

3. Majelis dituntut melalui Presiden di bawah bimbingan pimpinannya untuk menunjukkan kepada masyarakat bangsa kita bahwa kita sanggup melakukan kerja berat untuk memasuki kehidupan sebagai bangsa dan sebagai negara ke alam modern di ribuan tahun yang akan datang.  Metafora dituntut menyoroti keharusan memenuhi suatu tugas (dalam hal ini kerja); seperti halnya terdakwa dituntut hukuman penjara, ia harus menjalankan hukuman tersebut. Majelis dianggap sebagai pihak yang berada di bawah suatu kekuasaan yang mengharuskannya memenuhi kewajibannya. Jadi, Majelis merupakan salah satu aparat yang dikenai beban. 

Metafora berat pada konteks ini sama dengan di atas sehingga kerja dianggap sebagai benda padat yang berbobot besar.

 KEHIDUPAN BERBANGSA ADALAH BUAH

13

4. ... kita telah berketetapan untuk menggunakan prinsip-prinsip pencarian keuntungan dan peningkatan efisiensi serta penggunaan akal dan budidaya yang kita miliki untuk mematangkan kehidupan kita bersama dan menaikkan tingkat pendapatan dari rakyat. 

Metafora mematangkan menyoroti „proses yang kontinu‟ sehingga kehidupan bersama merupakan buah yang sedang dalam tahap menjadi ranum.



Metafora menaikkan merupakan metafora orientasional: BAIK ADALAH ATAS. Kualitas yang baik adalah yang berada di atas.

Karena KEHIDUPAN BERBANGSA ADALAH BUAH, diperlukan bahan-bahan untuk mematangkan buah. Dalam hal ini, bahan-bahannya adalah “prinsip-prinsip pencarian keuntungan dan peningkatan efisiensi, penggunaan akal dan budidaya”, dan naiknya tingkat pendapatan. 5. Karena itu, saya tidak lain hanya berharap, mudah-mudahan Majelis yang berbahagia membimbing saya selaku Presiden Republik Indonesia beserta pembantu-pembantu saya di segala bidang agar dapat memelihara harga diri dan kedaulatan kita sebagai bangsa. 

Metafora memelihara koheren dengan BUAH yang harus dirawat.

6. Demikian pula kita harus meletakkan sendi-sendi kehidupan yang sentosa bagi bangsa kita di masa-masa yang akan datang. 

Metafora sendi-sendi menyoroti fungsi sendi, yaitu sebagai dasar yang menunjang hidupnya tanaman tempat buah itu tumbuh.

7. Demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi. 

Seperti di atas, metafora memelihara ini koheren dengan konsep BUAH dan demokrasi dipersamakan dengan pemerataan kepentingan semua unsur pembentuk BUAH.



Kata dikembangkan menunjang konsep BUAH yang perlu tumbuh menjadi lebih banyak.

8. Karena itu, saya berharap bahwa kita semua sebagai warga dari bangsa Indonesia sanggup memahami hal ini dan akan tetap menjunjung demokrasi sebagai sendi

14

kehidupan kita menuju masa yang akan datang. 9. Apa yang oleh Bung Karno diajarkan melalui ucapan Ernest Renan, kita mempunyai raisond’être alasan untuk menjadi satu bangsa, kini harus tetap kita junjung tinggi. 

Metafora menjunjung pada kalimat (5) dan (6) berkenaan dengan konsep orientasi: ATAS; TERHORMAT ADALAH ATAS.

 MASALAH ADALAH MUSIBAH 10. Apalagi karena pada saat ini kita tengah didera oleh perbedaan faham yang sangat besar dan longgarnya ikatan-ikatan kita sebagai bangsa. 

Metafora didera menyoroti kerasnya hukuman.



Metafora longgarnya ikatan menyoroti aspek mudah lepasnya hubungan antarwarganegara.

11. Karena itu, memang bukan merupakan hal yang mudah, apalagi kita berada di tengah-tengah arus persaingan begitu ketat dengan negara-negara lain. 

Metafora arus menyoroti makna „aliran‟ dan mengimplikasikan (a) „kontinuitas‟ persaingan; (b) „melewati apa pun yang menghalangi‟.



Metafora ketat menyoroti „tidak adanya ruang gerak‟ antara para pesaing.

12. Dalam situasi persaingan yang demikian keras, kita harus tetap mempertahankan keutuhan wilayah bangsa kita. 

Metafora keras menyoroti aspek „tidak mudah berubah‟ dan menerapkannya secara abstrak pada persaingan yang dianggap sebagai sebuah substansi.

3.2.2 Metafora dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono Panjang Pidato Susilo Bambang Yudhoyono sekitar 2000 kata. Di dalamnya ditemukan 33 UL metaforis yang sesuai dengan topik dari objek penelitian ini. Topik pidato Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disingkat SBY) mengemumukakan pokok bahasan yang berkaitan dengan urusan dalam negeri tentang kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi, pemberantasan korupsi, konsolidasi demokrasi, dan keutuhan persatuan. Mengenai urusan luar negeri, SBY hanya menyatakan politik yang dianut negara RI, yaitu politik bebas aktif.

15

Analisis metafora menghasilkan klasifikasi a. < BANGSA ADALAH ANAK> b. < KEHIDUPAN BERBANGSA ADALAH PERJALANAN> c. < MASALAH ADALAH MUSIBAH dan PENJARA> d. < MASA DEPAN ADALAH FAJAR, LEMBARAN BARU> Berikut ini uraian UL-UL yang menunjang metafora tersebut.  BANGSA ADALAH ANAK 1. Pemerintah mencurahkan perhatian untuk menata masalah dalam negeri. 2. Pemerintah menggalakkan investasi untuk pembangunan infrastruktur. 3. Pemerintah melancarkan program pemberantasan korupsi yang akan saya pimpin sendiri. 4. Pemerintah akan berusaha keras membentuk pemerintah yang bersih dan baik.  Metafora-metafora pada keempat kalimat di atas menyoroti fungsi pemerintah yang tindakannya sama seperti orang tua atau pelindung. 5. Alhamdulilah, bangsa kita telah semakin dewasa dalam berdemokrasi, serta telah mampu membangun budaya politik yang semakin matang.  Metafora dewasa yang diterapkan secara abstrak kepada bangsa yang dianggap sebagai orang. 6. Dengan keberhasilan ini, kita bukan saja berhasil memantapkan langkah sebagai negara demokrasi yang besar, kita juga menjadi tauladan bagi komunitas demokrasi dunia. 

Metafora memantapkan langkah menyoroti „langkah yang dilakukan masih belum menapak tanah dengan sempurna‟

7. Dengan pemilu legislatif tahun ini, kita juga telah maju selangkah dalam menempuh regenerasi politik Indonesia, ... 

Metafora maju selangkah sesuai dengan anak yang sedang belajar berjalan.



Kata regenerasi yang nonmetaforis menunjang konsep ANAK.

8. Kini saatnya bagi kita untuk melangkah bersama, menjemput masa depan.  POLITIK ADALAH BANGUNAN/MASAKAN

16

Pada metafora mengenai politik, ada dua konsep dari bidang berbeda yang digunakan secara bersama-sama. 9. Alhamdulilah, bangsa kita telah semakin dewasa dalam berdemokrasi, serta telah mampu membangun budaya politik yang semakin matang. 

Konsep metaforis membangun dan matang sukar dikaitkan karena berkaitan dengan dua dunia berbeda, yaitu mendirikan bangunan dan memasak. Menurut pendapat saya, metafora matang lebih tepat apabila dikenai pada BANGSA: bangsa yang matang dalam berpolitik.

10. Dalam transisi demokrasi di negara mana pun, pemilu yang kedua biasanya disebut sebagai pemilu yang kritis, yang merupakan batu ujian dari kematangan suatu demokrasi. 

Metafora kematangan menyoroti demokrasi sebagai buah yang belum matang.

 KEHIDUPAN BERBANGSA → PERJALANAN. 11. Dengan pemilu legislatif tahun ini, kita juga telah maju selangkah dalam menempuh regenerasi politik Indonesia, ... 

Metafora menempuh menunjang metafora utama: PERJALANAN

12. Segala persoalan bangsa yang rumit ini tidak mungkin diselesaikan hanya dalam 100 hari. Tetapi saya yakin bahwa tekad dan itikad baik kita jauh lebih unggul dari permasalahan yang dihadapi. Di sinilah watak dan ketangguhan kita sebagai bangsa yang besar sedang diuji. 

Metafora diuji mengimplikasikan bahwa masalah bangsa dan negara merupakan soal ujian yang harus dijawab oleh ANAK yang sedang belajar dan merupakan salah satu tahap yang harus dilalui dalam KEHIDUPAN.

13. Hari ini kita telah berhasil melampaui ujian sejarah yang maha penting. 14. Bagi bangsa yang besar, semakin berat ujian yang membebaninya akan semakin tinggi ketangguhannya; semakin hebat cobaan yang dialaminya akan semakin kokoh imannya; ... 15. Konsolidasi demokrasi terus berkembang dan memberikan landasan kokoh bagi perjalanan kehidupan berbangsa.

17



metafora PERJALANAN didukung oleh metafora landasan kokoh yang merupakan infrastruktur yang tidak mudah rusak.

 MASALAH ADALAH MUSIBAH Dalam perjalanan hidup timbul berbagai masalah, seperti bencana alam, penyakit. Hal tersebut tampak dari metafora yang digarisbawahi dalam kalimat berikut. 16. Bagi bangsa yang besar, ... semakin deras ia diterpa badai akan semakin kokoh rasa kesetia-kawanannya; ... 17. Situasi di Poso dan Maluku sudah terkendali. 

Metafora terkendali menyiratkan telah terjadinya peristiwa di luar aturan sehingga harus dikembalikan sesuai dengan aturan.

18. Situasi di Poso dan Maluku sudah terkendali, namun belum sepenuhnya pulih.  MASALAH ADALAH PENJARA 19. masalah hutang tetap menjadi beban besar yang melilit perekonomian kita. 20. Bagi generasi selanjutnya ... tantangan terbesar adalah membebaskan bangsa dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan serta dari berbagai belenggu yang menghambat berkembangnya kemampuan rakyat kita. 

Metafora melilit dan membebaskan menyoroti praanggapan ketidakbebasan.

 MASA DEPAN ADALAH FAJAR, LEMBARAN BARU 21. Dengan dada yang lapang dan keyakinan yang bulat, hari ini kita membuka lembaran baru dalam sejarah bangsa Indonesia. 

Metafora lembaran baru berkaitan dengan menyongsong fajar. Keduanya menyiratkan adanya masa lalu yang kelam. Ketika konsep lama disandingkan dengan konsep baru, konsep kedua ini mengimplikasikan adanya sesuatu yang lebih baik. Pengalaman hidup sehari-hari merupakan rujukannya: benda-benda lama diganti dengan yang baru.

22. Kinilah masanya kita menyongsong fajar. 

Metafora menyongsong fajar mengimplikasikan bahwa sekarang ini bangsa berada di ambang fajar, keadaan menjadi terang dan malam telah dilalui.



Presuposisi dari menyongsong fajar adalah bahwa waktu sebelumnya gelap. Dalam kegelapan tidak banyak hal yang dapat dilakukan.

18

Seperti halnya lama dan baru, gelap dan terang juga merujuk pada pengalaman hidup sehari-hari.

IV. KESIMPULAN Persamaan antara kedua pidato itu terletak pada dibahasnya: - dua topik, yaitu kehidupan berbangsa dan masalah bangsa; - pandangan terhadap demokrasi sebagai landasan / sendi kehidupan berbangsa. Perbedaan muncul dari fokus pembahasan yang berbeda. AW menitikberatkan pada tugas; sedangkan SBY pada bangsa yang masih muda dan harus melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah. Hal tersebut tampak pada perbedaan konsep metaforis utama kedua pidato. Meskipun ada persamaan dalam hal topik -kehidupan berbangsa dan masalah bangsa-, tetapi UL-UL yang digunakan berbeda. Oleh karena itu, konsep metaforisnya dan ranah sumbernya pun menjadi berbeda. Konsep metaforis utama pada pidato AW sukar dikemas dalam bentuk skema karena SD: BEBAN, BUAH MENTAH, dan MUSIBAH, secara konseptual tidak memperlihatkan kaitan logis. Sementara konsep metaforis utama pada pidato SBY jelas tampak kaitannya (lihat bagan pada halaman berikut ini). Kaitan antara keempat konsep tersebut bisa diterapkan pada skema source – path – goal (Zinken, 2003:508). Penelitian awal ini perlu diverifikasi, misalnya dengan pidato-pidato kenegaraan lain. Kendalanya adalah bahwa pidato pada upacara sumpah jabatan hanya terjadi satu kali. Pidato kenegaraan lain mempunyai topik tertentu, misalnya pertanggungjawaban APBN.

19

PUSTAKA ACUAN Deignan, Alice. 2005. “A Corpus Linguistic Perspective on the Relationship between Metonymy and Metaphor” dalam Style. 39, 1. Academic Research Library. Hlm.72 – 105. Evans, Vyvyan dan Melanie Green. 2006. Cohnitive Lingusitics. An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Gibbs, JR. Raymond W. dan Gerard Steen (ed.). 1999. Metaphor in cognitive Linguistics. Amsterdam: John Benjamin Publisihing Company. Goatly, Andrew.1997. The Language of metaphors. New York: Routledge. Kittay, Eva Feder. 1987. Metaphor. Its Cognitive Force and Linguisticc Structure. Oxford: Clarendon Press. Knowles, Murray dan Rosamund Moon. 2006.Introducing Metaphor. New York: Routledge. Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980. Metaphors We Live By. Chicago: the University of Chicago Press. Lee, David. 2001. Cognitive Lingusitics. An Introduction. Oxford: Oxford University Press. Lehmann, Alise. 2002. Introduction à la lexicologie. Sémantique et morphologie. Paris: Nathan. Steen, Gerard. “Towards a procedure for metaphor identification” dalam Language and Literature. 2002. Vol. 11 (1):17-33. London: SAGE Publication.

20

Zinken, Jrg. “Ideological imagination: intertextual and correlational metaphors in political discourse” dalam Discourse and Society. 2003. Vol 14 (4):507-523.