MODUL MATA KULIAH ULUMUL HADITS (1) - WordPress.com

33 downloads 10457 Views 353KB Size Report
c) As-Sunnah menurut ulama hadits : Apa-apa yang didapatkan/ditemukan dari. Nabi SAW .... lahirlah kaidah-kaidah yang selanjutnya disebut ulumul hadits.
MODUL MATA KULIAH ULUMUL HADITS (1)

Disusun Oleh : Hatta Syamsuddin, Lc www.indonesiaoptimis.com +6281329078646 [email protected]

wakaf di jalan Allah / tidak untuk diperjualbelikan semoga bermanfaat bagi dakwah dan umat

1

DAFTAR ISI MATA KULIAH : ULUMUL HADITS

1.

Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam…………………………..

hal

2.

Sejarah dan Perkembangan ilmu Hadits

hal

3.

Pengantar Mustholah Hadits

hal

4.

Hadits Shohih dan Permasalahannya

hal

5.

Hadits Hasan dan Permasalahannya ……………………………………………….

Hal

6.

Hadits Dhoif (1)

………………………………………….

Hal

7.

Hadits Dhoif (2)

………………………………………..

hal

8.

Nasikh wal Mansukh ……………………………………………………………..

hal

9.

Rambu-rambu mengenal Sunnah …………………………………………..

hal

2

MATERI 1 : SUNNAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM SYARIAT ISLAM

A. PENGERTIAN AS-SUNNAH : As-Sunnah secara etimologis berarti : ath-thoriiqoh wa siroh jalan dan perjalanan , sama saja apakah terpuji atau tercela. Dan bentuk jamak / pluralnya adalah : sunan Pengertian as-sunnah dari dengan makan tersebut ini bisa kita lihat dalam beberapa ayat dan hadits, diantaranya :                                “ Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (QS Al Ahzab 22) Sementara secara istilah, As-Sunnah diartikan secara berbeda sesuai dengan penekanan bidang ilmu masing-masing, diantaranya adalah sebagai berikut : a) As-Sunnah menurut terminologi ahli fikh : Apa-apa yang jelas/tegas dilakukan Nabi SAW tapi tidak bersifat wajib. Dan sunnah termasuk dalam lima jenis hukum pembebanan, masing-masing : Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah, pada kesempatan lainnya terkadang sunnah juga dianggap sebagai lawan kata dari bid’ah. b) As-Sunnah menurut ulama Ushulliyin : Apa-apa yang bersumber dari Nabi SAW selain Al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan, atau ketetapan ( taqrir) c) As-Sunnah menurut ulama hadits : Apa-apa yang didapatkan/ditemukan dari Nabi SAW berupa ucapan, atau perbuatan, atau ketetapan, atau sifatnya atau kisah hidupnya. B. LEGALITAS AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM Para ulama muslimin telah bersepakat bahwa apa-apa yang bersumber dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, yang berkaitan dengan masalah hukum, kepemimpinan dan peradilan,-yang diriwayatkan dengan sanad shohih- adalah menjadi dasar hukum bagi kaum muslimin, sebagai rujukan dalam pengambilan hukum oleh para mujtahid.

3

Maka As-Sunnah adalah pokok yang kedua dari sumber-sumber dalil syariat Islam. Kedudukannya setelah Al-Quran. Legalitas As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dikuatkan dengan dalil-dalil diantaranya sebagai berikut : Pertama : Dari Al-Qur’anul Karim : 1) Allah SWT telah menegaskan perintah untuk mengikuti dan mentaati Rasulullah SAW. Firman Allah SWT : “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah “ ( QS Al Hasyr 7 ). Firmannya yang lain : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), 2) Allah SWT juga menegaskan larangan untuk ragu-ragu atas hukum yang dikeluarkan Rasulullah SAW. Firman Allah SWT : “ Dan tidaklah patut bagi lakilaki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka “ ( QS al-Ahzab 36 ) Kedua : Perbuatan Shahabat Para sahabat baik ketika Rasulullah SAW masih hidup ataupun setelah beliau wafat, tetap menjadikan As-Sunnah sebagai dasar pengambilan hukum. Dan mereka tidak membedakan hukum yang berasal dari Al-Quran maupun dari Rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan pemahaman mereka yang baik atas ayat : “ dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS an-Najm 3-4)

Ketiga : Dalil Aqly (Logika) Tidak mungkin menjalankan kewajiban Agama hanya dengan berdasarkan pada perintah Al-Quran yang sebagian besar bersifat general. Contoh perintah dalam AlQuran yang bersifat general,firman Allah SWT : “ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat ( QS al Baqoroh 43)” , tentang masalah puasa : “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS AlBaqoroh 183). Begitu pula tentang perintah haji : “ mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah( QS Ali Imron 97)

4

Perintah diatas baik sholat, zakat, puasa maupun haji sangat bersifat general, dan tidak dapat dikerjakan kecuali dengan perincian teknisnya yang ada pada Sunnah. Maka dalam As-Sunnah kita dapat mengetahui misalnya : waktu-waktu sholat, jumlah rekaatnya, dan cara pelaksanaannya. Begitu pula dengan zakat, kadar wajibnya, waktu pengeluarannya, dan harta-harta yang wajib dizakati. Begitu pula pada shaum dan haji. C. TINGKATAN AS-SUNNAH DIANTARA DALIL-DALIL SYAR’I LAINNYA. Tingkatan As-Sunnah di dalam urutan dalil syar’I ada pada urutan kedua setelah AlQuran, hal ini dilandaskan pada hal-hal sebagai berikut : 1) Bahwa Al-Quran adalah dalil yang bersifat qath’iy (kuat/final) karena periwayatannya bersifat mutawatir.(diriwayatkan oleh banyak rawi dalam setiap tingkatan) , sedangkan As-Sunnah sebagian besar adalah dalil dzhan yang diriwayatkan secara ahad, tidak sampai derajat mutawatir. 2) Karena As-Sunnah adalah berfungsi sebagai bayan atau penjelas dari hukum Al-Quran, maka As-Sunnah baru dianggap / dipakai setelah tidak ada sebuah hukum yang jelas dalam Al-Qur’an tentang sebuah masalah. 3) Apa yang ditunjukkan dalam akhbar dan atsar, diantaranya hadits Muadz saat diutus Rasulullah SAW ke Yaman : Ketika itu Rasulullah SAW bertanya padanya : “ Dengan apa engkau berhukum ? “ , maka dijawab : “ dengan Kitabullah “ , kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau dapatkan ( dalam Kitabullah )”, maka dijawab : “ Dengan sunnah Rasulullah SAW “, kemudian ditanya kembali : “ Bagaimana jika tidak engkau dapatkan ( dalam Sunnah ) ?”. Maka Muadz menjawab : “ aku akan berijtihad dengan pikiranku “ D. HUBUNGAN AS-SUNNAH DENGAN AL-QURAN Pertama : As-Sunah sebagai penetap dan penguat hukum yang telah ada di dalam Al-Quran. Maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber dan dua dalil; dalil Al-Quran dan dalil penguat, As-Sunah. Hukum-hukum tersebut seperti perintah untuk melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah, berbuat baik terhadap perempuan, larangan menyekutukan Allah (syirik), bersaksi palsu, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh tanpa alasan yang benar, dan

5

perintah ataupun larangan yang lain di dalam Al-Quran dan dikuatkan oleh AsSunah. Yang keduanya digunakan sebagai dalil. Kedua : As-Sunah sebagai perinci (mufasilah) dari dalil yang masih global (mujmal) dari Al-Quran, sebagai pentafsir (mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham), sebagai pemberi batas (muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, dan memberi pengkhususan (mukhosisoh) dari dalil yang masih umum ('am) dari Al-Quran. Ketiga : As-Sunah sebagi dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan hukum. Di dalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan larangan, tanpa ada di dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan As-Sunah, bukan AlQuran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat fitrah, menolong orang yang dianiaya, dan lain-lain. Di dalam bentuk larangan seperti hukum dilarangnya bagi suami untuk berpoligami dengan mengumpulkan perempuan bersama bibi perempuan tersebut (bibi dari pihak ayah atau ibu), hukum haramnya bersetubuh di siang hari bulan Ramadhan, hukum haramnya memakan daging binatang buas yang bertaring, dan lain-lain. E. SEPUTAR INGKAR SUNNAH Ada sebagian orang sejak jaman dulu hingga saat ini yang mencukupkan diri dengan Al-Quran sebagai sumber hukum dan tidak menganggap as-sunnah sebagai sumber hukum. Mereka berhujjah dengan ayat Al-Quran, diantaranya adalah firman Allah SWT : “ “Pada hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu sebagai agamamu” (QS Al Maidah ayat 3) dan juga firman-Nya : ““Kami turunkan kepadamu Alquran untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS An-Nahl 89). Mereka juga mengatakan bahwa apa-apa yang bersumber dari Rasulullah SAW, hanyalah dalam kapasitasnya sebagai pemimpin kaum muslimin, yang berijtihad saja sesuai maslahah dan kondisi pada waktu tersebut, jadi tidak bisa menjadi landasan hukum tersendiri. Sesungguhnya fenomena ini sudah ada sejak jaman dahulu dan telah diprediksikan oleh Rasulullah SAW, beliau bersabda : "Sebentar lagi akan ada orang yang duduk

6

didipannya,kemudian dia berkatayang artinya :"Kalian harus berpegang dengan Al Qur'an saja, perkara yang dihalalkan didalamnya kita halalkan dan yang diharamkan kita haramkan", ketahuilah apa yang diharamkan oleh Rasulullah sama dengan yang diharamkan oleh Allah "(HR Abu Daud ). Tuduhan dari paham ingkarus sunnah dan hujjah-hujjahnya sangat lemah dan bisa dibantah dengan mudah. Salah satunya adalah dalam Al-Quran banyak dalil dan perintah untuk mengikuti dan mengambil Rasulullah SAW sebagai rujukan. Artinya, mereka yang tidak mau mentaati Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah menentang perintah Al-Quran itu sendiri. Bantahan selanjutnya, secara logika sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa tidak mungkin ajaran syariat Islam bisa diimplementasikan dengan sempurna, kecuali setelah mengetahui penjelasan teknisnya dari As-Sunnah. Wallahu a’lam.

7

MATERI 2 : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU HADITS A. PERHATIAN ULAMA ISLAM TERHADAP HADITS NABI Umat Islam –khususnya para ulama- sejak dulu sangat mempunyai perhatian khusus terhadap hadits-hadits nabi, baik secara periwayatan, hafalan maupun pengkajiannya, sehingga hadits menjadi tetap terjaga sebagai sumber kedua dalam sumber perundangan dan hukum Islam setelah Al-Quran. Setidaknya ada dorongan yang membuat mereka melakukan hal tersebut. Pertama : Motivasi Menjalankan Agama ( al-Baits ad-diiny) Sudah sangat jelas bahwa hadits adalah sumber hukum kedua dalam Islam. Dimana banyak sekali permasalahan-permasalahan kehidupan, baik ibadah maupun muamalah yang membutuhkan hadits untuk menjawabnya, ketika tidak terdapat di dalam Al-Quran. Karenanya, eksistensi kehidupan beragama kaum muslim tidak bisa di pisahkan dengan keterjagaan dan kemurnian hadits-hadits nabi. Maka tidak heran jika kemudian para ulama bersemangat dalam mengembangkan ilmu hadits. Kedua : Motivasi Sejarah ( al-baaits at-tarikhy) Umat Islam sebagaimana umat yang lainnya juga menghadapi gangguan dan tantangan budaya /pemikiran dari pihak luar. Sehingga diperlukan penjagaan kemurnian kekayaan pemikiran dan budayanya agar tidak hilang, punah atau ternodai dengan budaya lainnya.Hadits nabi sebagai salah satu warisan kekayaan pemikiran umat Islam harus senantiasa di jaga kemurniannya, maka kemudian lahirlah kaidah-kaidah yang selanjutnya disebut ulumul hadits. Bukan rahasia pula, bahwa salah satu sebab munculnya kaidah-kaidah tersebut juga karena sudah mulai timbul banyak pemalsu hadits (wadhi' al hadits), yang sebagian besar membawa unsur budaya luar. B. PERHATIAN SHAHABAT DALAM MENJAGA HADITS Para shahabat ra sebenarnya juga telah melakukan upaya-upaya untuk menjaga kemurnian hadits-hadits nabi saw, upaya ini kemudian yang menjadi tonggal awal

8

lahirnya ulumul hadits. Diantara usaha-usaha yang dilakukan para sahabat dalam masalah ini antara lain : Pertama : Meminimalisir periwayatan hadits dari Rasul SAW ( taqlil ar-riwayah 'an rasulillah ) : Para sahabat ra dahulu khawatir dengan banyaknya periwayatan hadits akan menyebabkan mereka terjatuh dalam kesalahan atau kealpaan dalam sebuah hadits, sehingga kesalahan tersebut dapat menyebabkan 'pendustaan / kebohongan' atas nama Rasulullah SAW yang diancam sangat keras oleh Islam. Rasulullah SAW bersabda : " Barang siapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka tunggulah tempatnya di neraka " (HR Ahmad, Tirmidzi dan yang lainnya) Selain sebab di atas, para sahabat juga khawatir dengan banyaknya periwayatan hadits akan menyibukkan mereka dan mengalihkan perhatian mereka dari Al-Quran. Contoh bentuk riil yang dilakukan sahabat : Umar bin Khatab ra mengingkari siapa saja yang meriwayatkan hadits terlalu banyak. Abu Hurairah ra , seorang sahabat yang paling banyal meriwayatkan hadits , suatu ketika ditanya seseorang : " Apakah engkau membacakan hadits pada jaman Umar persis seperti sekarang ini ? ". Maka Abu Hurairah ra segera menjawab : " Seandainya aku membacakan hadits pada jaman Umar seperti aku membacakan hadits kepada kalian saat ini (yaitu banyak hadits), sungguh ia (Umar) pasti akan memukulku dengan tongkatnya ". Contoh lain bentuk kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan hadits, sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik ra. Beliau setiap kali usai menyampaikan hadits dari Rasulullah SAW, beliau segera mengatakan : “ au kama qoola ar-rasuul “ Atau sebagaimana yang dikatakan Rasulullah SAW. " Kedua : Memastikan Kejelasan sebuah Riwayat ( at-tastsabbut fi ar-riwayah) Para sahabat juga berhati-hati dalam menerima sebuah riwayat hadits yang belum pernah di dengarnya. Sebagian mensyaratkan adanya kesaksian, sebagian lain mensyaratkan untuk bersumpah. Adalah Abu Bakar ra yang dikenal pertama kali berhati-hati dalam menerima sebuah khobar. Diriwayatkan oleh Ibnu Syihab bahwa suatu ketika ada seorang nenek tua yang mendatangi Abu Bakar dan meminta kejelasan tentang haknya dalam harta waris. Abu Bakar kemudian menjawab : " Aku tidak mendapatkan bagianmu (hak

9

waris) di Kitabullah, begitu pula aku tidak tahu jika Rasulullah SAW pernah menyebutkan soal itu ". Setelah itu Abu Bakar ra bertanya kepada sahabat lainnya, maka berdirilah Mughiroh dan mengatakan : " Aku mendengar Rasulullah SAW memberikan bagian baginya (nenek) seperenam ".Kemudian Abu Bakar bertanya : " Apakah ada yang lain bersamamu (mendengarkannya) ? ". Maka kemudian Muhammad bin Maslamah ikut bersaksi, dan Abu Bakar pun menerima dan menjalankan aturan tersebut. Ketiga : Mengembangkan Kritik muatan yang diriwayatkan ( naqdu al-marwiyat) Caranya adalah dengan membandingkan apa yang diriwayatakan dengan apa yang terkandung dalam Al-Quran. Seandainya bertentangan maka mereka meninggalkannya. Salah satu contohnya adalah : Umar bin Khatab mengeluarkan fatwa bahwa bagi seorang wanita yang ditalak ba'in tetap mendapat hak nafkah dan tempat tinggal. Maka kemudian datang Fatimah binti Qais yang meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengatakan kepadanya dalam masalah ini, yaitu tidak ada lagi hak nafkah dan tidak juga tempat tinggal. Mendengar hal tersebut Umar mengatakan : " Kita tidak akan meninggalkan Kitabullah karena perkataan seorang perempuan, mungkin saja ia hafal atau mungkin juga telah lupa ". Yang dimaksud Umar tentu adalah ayat-ayat sebagai berikut : "serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang" (QS at Tholaq 1), dan juga firman Allah SWY : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS atTholaq: 6) Memang masalah ini dalam pembahasan fiqh memang terdapat perbedaan di antara ulama. Kisah tersebut ditampilkan sebagai salah satu contoh upaya kritik muatan riwayat yang dilakukan pada masa sahabat. C. PERKEMBANGAN ILMU HADITS Pada masa selanjutnya, ketika terjadi perbedaan antara Ali bin Abi Tholib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, berkembanglah paham fanatisme pada masing-masing pihak. Mereka membela pemimpinnya dengan banyak cara. Ada yang mentakwilkan

10

ayat Al-Quran, memaksakan penafsiran menurut keinginannya, dan ada pula yang melakukan hal yang sama terhadap as-Sunnah. Tidak berhenti begitu saja, mereka mulai memalsukan hadits untuk kepentingan fanatismenya atau membela golongannya. Contohnya, di pihak Ali beredar sebuah hadits palsu : " Barang siapa yang ingin melihat ilmunya Adam, ketakwaan Nuh, kelembutan Ibrohim, kekuatan Musa,dan ibadahnya Isa, maka lihatlah pada Ali ". Begitu pula di pihak Muawiyah, diriwayatkan sebuah hadits palsu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : " Orang yang terpercaya (al-umana') itu ada tiga : Aku (Rasulullah), Jibril dan Muawiyah ! ". Maka kemudian berkembanglah pemalsuan hadits hingga para ulama mulai berusaha mencegahnya. Setidaknya mulai dari akhir masa sahabat dan awal-awal masa tabi'in, mereka mulai memperhatikan dan mengkaji tentang isnad hadits, dan keadaan para perawinya. Muhammad bin Sirin berkata : Para ulama dahulu tidak pernah bertanya tentang isnad (perawi-sandaran hadits), kemudian setelah terjadi fitnah ( antara Ali dan Muawiyah-red) maka mereka mulai mengatakan ketika mendengar hadits : " Sebutkan pada kami siapa saja sumber riwayatmu ", ketika dilihat para perawi dari ahli sunnah maka hadits tersebut diambil. Sebaliknya, jika para perawi berasalah dari ahli bid'ah, maka haditsnya di tolak. D. PENULISAN HADITS Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan penulisan Al-Qur’an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)

11

Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H) yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah” . Demikian pula dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits. Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat. Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis haditshadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah. Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur. Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya. E. PEMBAGIAN UMUM ILMU HADITS Dimulailah kemudian masa perkembangan ilmu hadits dengan berbagai macam bidang pembahasannya, seperti ilmu tarikh ar-ruwwah ( sejarah para perawi) , ilmu jarh wa ta'dil, ilmu gharib al hadits, ilmu mukhtalaf al-hadits, ilmu takhriij, serta tidak

12

lupa ilmu mustholahul hadits. Namun secara umum, ilmu hadits dari bidang pembahasaanya bisa dibagi menjadi dua bagian besar : Pertama : Ilmu hadits riwayah Adalah ilmu yang membahas proses pemindahan/pencatatan apa-apa yang disandarkan pada Rasulullah SAW, baik yang berupa ucapan, perbuatan, ketetapan atau sifat akhlak dan sifat lahiriah beliau. Sehingga fokus pembahasan adalah haditshadits Rasulullah SAW itu sendiri dan proses perpindahannya. Manfaat ilmu ini adalah : menjaga sunnah dan memastikannya terbebas dari kesalahan dalam proses perpindahannya. Kedua : Ilmu Hadits Diroyah Yaitu kumpulan kaidah-kaidah dan permasalahan yang dengannya bisa diketahui kondisi/keadaan para perawi (rowi) dan yang diriwayatkannya (marwa), dari segi apakah bisa diterima atau tidak. Yang dimaksud dengan keadaan perawi adalah : Mengetahui kondisinya secara objektif baik ataupun kurang baik, dan apa-apa yang berhubungan dengan proses bagaimana dia meriwayatkan hadits. Fokus pembahasan ilmu ini pada sanad dan matan hadits, serta kondisi yang melingkupi keduanya. Manfaat utama dari pembahasan ilmu ini adalah mengetahui sebuah hadits bisa diterima atau ditolak. Pada perkembangan selanjutnya, Ilmu Hadits Diroyah juga biasa disebut dengan Ilmu Hadits saja, atau juga dengan sebutan Ilmu Mustholahul Hadits.

13

MATERI 3 : PENGANTAR ILMU MUSTHOLAHUL HADITS A. PENGERTIAN AL-HADITS Menurut bahasa kata hadits memiliki arti; 1) al jadid minal asyya’ (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit. 2) Qorib (yang dekat) 3) Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw. Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits. Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian. Contoh Jenis dan ragam Hadits : 1. Hadits yang berupa perkataan ( qaul ), Contoh : Rasulullah SAW bersabda : “ sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya” (HR Bukhori Muslim) 2. Hadits yang berupa perbuatan ( fi’il) : biasanya berupa penggambaran sahabat tentang perbuatan Rasulullah, seperti : wudhu Rasulullah, shalat beliau, cara haji, dll. 3. Ketetapan ( taqrir ), yaitu diam atau persetujuan Rasulullah SAW saat melihat atau mendengar sesuatu dikerjakan oleh para sahabat. diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Abu Said AlKhudry, ia berkata : Dua orang keluar bepergian, kemudian datang waktu sholat dan tidak ada air pada mereka, maka kemudian mereka bertayammum dengan tanah dan sholat. Kemudian

14

(setelah berjalan lagi) mereka menemukan air dan masih dalam waktu sholat. Maka seorang dari mereka mengulang wudhu dan sholatnya, sementara yang lainnya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah SAW dan menyebutkan hal tersebut, maka Rasulullah mengatakan pada yang tidak mengulangi sholat dan wudhu : “ engkau mendapatkan sunnah, dan sholatmu sah “, dan mengatakan pada yang mengulangi sholat dan wudhu : “ bagimu pahala dua kali “. ( HR Abu Daud & an-Nasa’i) 4. Sifat atau Siroh, berupa penggambaran sifat-sifat Rasulullah SAW, baik secara fisik maupun akhlak. diantaranya hadits : dari Jabir bin Abdullah ia berkata : Rasulullah SAW tidak pernah melihatku sejak aku masuk islam kecuali ia senantiasa tersenyum padaku . ( HR Tirmidzi ) B. PERBEDAAN HADITS DENGAN AL-KHOBAR, AL-ATSAR Pertama : Al-Khobar Al-Khobar secara bahasa berarti : an-naba’ atau berita. Secara istilah terdapat tiga pendapat, masing-masing ; ada yang menyatakan khobar sama persis dengan hadits ; ada yang membedakan dengan menyebutkan bahwa hadits khusus berasal dari Rasulullah SAW, sedangkan khobar yang berasal dari shahabat dan tabi’in ; ada pula yang menyatakan bahwa khobar lebih umum dari hadits, yaitu bisa berasal dari Rasulullah dan selain Rasulullah SAW. Kedua : Al-Atsar Al-Atsar secara bahasa berarti : baqiyyatu asy-syai’ atau sisa/bekas dari sesuatu. Sedangkan secara istilah ada dua pendapat, masing-masing ; ada yang menyatakan artinya sama persis dengan hadits ; ada pula yang menyatakan bahwa atsar adalah apa yang disandarkan dari sahabat dan tabi’in baik berupa ucapan maupun perbuatan. C. HADITS QUDSY DAN PERBEDAANNYA DENGAN AL-QURAN & HADITS NABI Pengertian & Bentuk Hadits Qudsy : Makna Qudsy secara bahasa adalah bersandar pada Al-Quds atau At-Tuhr ( suci ), sandaran ini menunjukkan pada ta’dzhim atau pengagungan, atau bersandar pada

15

Dzat Allah SWT al-Muqoddasah ( yang suci ) . Hadits Qudsy secara istilah : Apa-apa yang disandarkan Nabi SAW pada Allah SWT Format periwayatan Hadits Qudsy terbagi dalam dua bentuk : Pertama : Rasulullah SAW bersabda , dari apa yang diriwayatkan dari Rabb-nya Azza wa jalla . Contoh : Dari Abu Dzar ra, dari Nabi SAW yang diriwayatkan dari Allah tabaaroka wa ta’ala, Dia berkata : “ Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram diantara kamu, maka janganlah saling menzhalimi … “ ( HR Muslim ) Kedua : Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : Contoh : Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Rasulullah SAW berkata : Allah SWT mengatakan : “ Aku berada dalam dugaan (dzhan) hamba-Ku pada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia menyebut-Ku, jika ia menyebut-Ku dalam dirinya, maka Aku akan Menyebutnya dalam diri-Ku, dan jika ia menyebut-Ku dalam kumpulan (berjamaah), maka Aku akan Menyebutnya dengan kumpulan yang lebih baik dari itu “ ( HR Bukhori ) Perbedaan antara Al-Qur’an dengan Hadits Qudsy : a) Al-Quran lafadz dan maknanya dari Allah SWT, sedangkan hadits qudsy maknanya dari Allah SWT, sedangkan lafadnya dari Nabi SAW b) Al-Quran, tilawah atau membacanya adalah bentuk ibadah akan tetapi Hadits Qudsy tidak. c) Al-Quran disyaratkan dalam periwayatannya harus tawatur, sedangkan hadits qudsy tidak disyaratkan. d) Al-Quran bersifat mukjizat, sedangkan hadits Qusdy sebagaimana hadits yang lainnya Perbedaan antara Hadits Qudsy dengan Hadits Nabawy : Jelas bahwa hadits nabawi disandarkan pada Nabi SAW dan dikisahkan dari beliau, sedangkan hadits Qudsy nisbahnya kepada Allah SWT, dan Rasulullah SAW yang mengkisahkan dan meriwayatkan dari-Nya. Jumlah hadits Qudsy sedikit . D. PENGERTIAN DAN ISTILAH DASAR MUSTHOLAHUL HADITS

16

Pengertian, Objek dan Fungsi • Yang dimaksud dengan Ilmu Mustholahul Hadits adalah : Ilmu tentang pokokpokok dan kaidah-kaidah yang dengannya diketahui keadaan sanad dan matan sebuah hadits dari sisi diterima atau tidaknya. • Objek pembahasannya adalah : Sanad (jalan hadits) dan matan (lafadz hadits) dari sisi diterima atau tertolaknya. • Fungsi dari ilmu ini adalah : membedakan hadits yang shohih dengan yang cacat dari hadits-hadits yang ada. Beberapa Istilah Dasar Mustholahul Hadits 1) Sanad , secara bahasa : bersandar, menyandarkan . Secara istilah : jalan yang menyampaikan matan, silsilah orang-orang yang menyampaikan matan. Isnad : mengangkat hadits pada orang yg menyampaikan atau sama juga dengan sanad 2) Al-Musnad : secara etimologis adalah : Siapa yang disandarkan sesuatu padanya. Secara istilah bisa berarti beberapa makna, antara lain : o Setiap kitab yang berisi kumpulan riwayat dari setiap sahabat, mis : Musnad Abu Bakar, Ustman dst. o Hadits Marfu' yang bersambung sanadnya. o Terkadang juga berarti "sanad" itu sendiri. 3) Al-Matan : Secara bahasa : bagian bumi yang kokoh dan tinggi, adapun secara istilah : adalah apa-apa yang ada di akhir sanad (jalan hadits) berupa ucapan/perkataan Tingkatan Ahli Hadits 1) Al-Muhaddits : adalah orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits baik secara diroyah maupun riwayah, dan juga mengetahui banyak riwayat dan keadaan perawinya. 2) Al-Hafidz : ada yang menyamakan dengan muhaddits, ada juga yang menganggap derajatnya lebih tinggi dari muhaddits, karena apa yang ia ketahui dalam setiap thobaqoh (tingkatan perawi hadits) lebih banyak daripada yang ia tidak tahu. 3) Al-Hakim : Bagi sebagian ulama, ia adalah yang menguasai ilmu tentang semua hadits, sehingga dikatakan tidak terlewat darinya kecuali sejumlah kecil hadits. E. PEMBAGIAN HADITS MENURUT JUMLAH PERAWINYA

17

Hadits menurut proses periwayatan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mutawattir dan ahad. Keduanya mempunyai pembahasan tersendiri sebagaimana berikut : PERTAMA : HADITS MUTAWATIR Pengertian Hadits Mutawatir Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabbi’ yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah: "Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan." Syarat-Syarat Hadits Mutawatir Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak. 2) Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. • Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim. • Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. • Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang

18



mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65). Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah: "Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64). Tarjih dari Mahmud Muhammad Thohan ( Taysir Mustholah hadits) adalah jumlah sepuluh perawi.

3) Jumlah tawattur ada baik dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syaratsyarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits. Hukum Hadits Mutawatir Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri dan yakin, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti) tanpa perlu diragukan, bahkan tanpa perlu melihat kembali pada kondisi perawinya yang demikian banyak. Pembagian Hadits Mutawatir Mutawattir terbagi menjadi dua: Muttawattir lafadz dan maknanya dan muttawattir maknanya saja. 1) Muttawattir lafadzy : adalah hadits yang disepakati oleh para rowi lafadz. Misalnya sabda Rasulullah SAW :        

   “Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiap-siaplah bertempat dineraka.” Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.

19

2) Muttawattir makna :adalah hadits yang disepakati maknanya walaupun lafadznya beda-beda. Semuanya bermuara pada satu poin yang sama. Misalnya hadits tentang syafaat dan hadits tentang mengusap kedua khuf, hadits tentang membasuh atas khuf, mengangkat kedua tangan dalam doa, tentang al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf, dst. KEDUA : HADITS AHAD Kata Aahad secara bahasa adalah bentuk jamak dari ‘ahad’ yang bermakna ‘satu’. Maka khobar wahid adalah yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Adapun pengertian Khobarul Ahad secara istilah adalah : hadits yang tidak terkumpul padanya syarat mutawattir. Hadits Ahad terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :Hadits Masyhur, Aziz dan Gharib. Hadits Masyhur : • Secara istilah, hadits masyhur adalah : hadits yang diriwayatkan minimal tiga perawi dalam setiap tingkatannya selama belum mencapai jumlah tawattur. Contoh hadits Masyhur adalah, diriwayatkan dari Amr Ibn Ash, Rasulullah SAW bersabda :" Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hambanya, akan tetapi dengan mengangkat para ulama (meninggal), hingga ketika tidak tersisa seorang alim, orang-orang menjadikan pemimpin mereka orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa menggunakan ilmu, maka mereka itu sesat dan menyesatkan" (HR Bukhori dan Muslim) • Selain definisi di atas, ada juga pengertian hadits masyhur yang tanpa terikat dengan jumlah perawinya. Yaitu hadits yang 'masyhur' atau benar-benar dikenal secara umum, baik pakar hadits, fiqh maupun orang awam. Contoh : " Hal yang halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq (perceraian) " (HR Al-Hakim) • Hadits Masyhur tidak bisa langsung dihukumi sebagai hadits shohih atau tidak, karena di dalamnya ada yang termasuk kategori shohih, hasan, dhoif atau bahkan maudhu’. Hadits 'Aziz :

20

yaitu hadits yang diriwayatkan minimal dua perawi dalam semua tingkatannya . Contoh hadits aziz, Rasulullah SAW bersabda dari Anas bin Malik:         %& ) $ & '(% #$  %& "  !  & ./ +     -  -    + , *        01 2 " Tidak (sempurna) keimanan seorang dari kalian, hingga aku lebih ia cintai dari orangtuanya, anaknya, dan orang lain semuanya " ( HR Bukhori dan Muslim) Hadits Ghorib : yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi saja, baik di asli sanadnya ( shohabat) yang disebut dengan Gharib Mutlaq, ataupun di tengah dan akhir tingkatan sanadnya yang disebut Ghorib Nisby. • Contoh Gharib Mutlaq adalah hadits tentang Niat : Innamal a'maalu binniyat..dst, yang diriwayatkan sendirian oleh Umar bin Khatab ra pada asli sanadnya. • Contoh Gharib nisby adalah hadits Malik dari Zuhri dari Anas ra : bahwa Rasulullah SAW memasuki Mekkah dan di atas kepalanya ada mighfar (semacam topi besi) (HR Bukhori Muslim). Dalam hadits ini Malik sendirian menerima dari Az-Zuhri.

21

MATERI 4 : HADIST SHOHIH DAN PEMBAHASANNYA Berita (khabar) yang dapat diterima bila ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi kepada dua klasifikasi pokok, yaitu Shahîh dan Hasan. Masing-masing dari keduanya terbagi kepada dua klasifikasi lagi, yaitu Li Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan demikian, klasifikasi berita yang diterima ini menjadi 4 bagian, yaitu: 1) Shahîh Li Dzâtihi (Shahih secara independen) 2) Hasan Li Dzâtihi (Hasan secara independen) 3) Shahîh Li Ghairihi (Shahih karena yang lainnya/riwayat pendukung) 4) Hasan Li Ghairihi (Hasan karena yang lainnya/riwayat pendukung) A. PENGERTIAN SHOHIH Secara bahasa (etimologi), kata shohih (sehat) adalah antonim dari kata saqiim (sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz). Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: Hadits yang bersambung sanadnya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur sanad), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit) Penjelasan Definisi & Syarat Hadits Shohih 1) Ittisolu sanad : Sanad bersambung : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga akhirnya. 2) Adalatu rowy :Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya. 3) Ad-Dlobit : Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di dalam tulisan (kitab)

22

4) Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya) 5) Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya. B. CONTOH HADIST SHOHIH Untuk lebih mendekatkan kepada pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk itu. Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh alBukhâriy, dia berkata:  ? A B  6  4 > = 8   F E   > + 6&  4 > #? 0 D  6 ; + 2  6  1 C   4 > @/   7 <  / /:;  & : 8/    0 1  : 8/    6 5   4 /3 %   ; H1  &; #  + 4 5 ' G 5 .FID /6 @  ‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib Hadits ini dinilai Shahîh karena: a) Sanadnya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya. Sedangkan penggunaan lafazh ‘an (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat). b) Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama alJarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik bin Anas : Imâm Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im : Seorang shahabat c) Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.

23

d) Tidak terdapatnya ‘Illat apapun. C. HUKUM HADITS SHOHIH Wajib mengamalkan hadits shohih menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya. D. KITAB YANG MENULISKAN HADITS SHOHIH Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah kitab Shahîh alBukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk menerima keduanya. Antara Shohih Bukhori dan Muslim Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat intisari-intisari fiqih dan untaian-utaian bijak yang tidak terdapat pada kitab Shahîh Muslim. Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian hadits-hadits al-Bukhariy. Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih. Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini tampak dari pengakuan mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim, “Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati atasnya.” Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh mereka berdua. Imam alBukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata, “Hadits-hadits shahih lainnya yang

24

aku tinggalkan lebih banyak.” Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.” Jumlah Hadits dalam Shohih Bukhori Muslim • Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits. • Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits juga. E. KITAB SHOHIH YANG LAINNYA Kita bisa mendapatkannya di dalam kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan al-Baihaqiy, dan lain-lain. Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah. al-Mustadrak karya al-Hâkim Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut. Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits. Oleh karena itu, perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap kualitas hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap

25

kebanyakan hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh.

Shahîh Ibn Hibbân Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia tidak disusun per-bab ataupun per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan bukunya dengan “at-Taqâsîm Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit sekali. Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab. Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim. (Tadrîb ar-Râwy:1/109) Shahîh Ibn Khuzaimah Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding Shahîh Ibn Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanadnya. F. TINGKATAN KESHAHIHAN SEBUAH HADITS Jalur Periwayatan /Sanad yang Terbaik Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang paling shahih secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat.

26

Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shahih adalah: a) Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam Ahmad. b) Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas. c) Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in. d) Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah. e) Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhariy. Tingkatan Hadits Shohih Pada bagian yang sebelumnya telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratanpersyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan: a) Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar. b) Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas. c) Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayatperiwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah. Tujuh Tingkatan Hadits Shohih 1) Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi) 2) Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari 3) Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim

27

4) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya 5) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya 6) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya 7) Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim). G. ISTILAH TERTENTU DALAM HADITS SHOHIH Makna Ungkapan Ulama Hadits “Hadits ini Shahîh” “Hadits ini tidak Shahîh” Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau lupa. Yang dimaksud dengan ucapan mereka “Hadits ini tidak Shahîh” adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak kekeliruan bertindak benar. Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih” Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, yaitu alBukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24) Sementara itu, pendapat lain dari Ibnu Taimiyah al-Jad, khususnya dalam kitab haditsnya “ Muntaqo al-akhbaar min ahadiitsu sayyid al-akhyaar”, ia menyebutkan istilah “muttafaq” alaihi untuk hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Ahmad. Sementara untuk yang hanya dikeluarkan oleh imam bukhori dan

28

Muslim, beliau menyebutkan istilah “ akhrojaahu “ ( dikeluarkan oleh mereka berdua) H. HADITS SHOHIH LIGHOIRIHI Pengertian Hadist Shohih lighoirihi adalah Hadist Hasan Li Dzatihi yang mempunyai riwayat dari jalan lain yang setara dengannya atau bahkan lebih kuat darinya. Dinamakan shohih lighoirihi (karena yang lainnya), karena keshahihan disini tidak muncul dari sanadnya tersendiri, tetapi karena bergabungnya sanad atau riwayat lain yang menguatkan hadits tersebut. Tingkatan Hadits Shohih Lighoirihi Tingkatannya termasuk tingkatan hadits hasan yang paling tinggi, tetapi dibawah shohih lidzatihi. Dan termasuk kategori khobaru maqbul , yaitu kabar atau periwayatan hadits yang diterima. Contoh Hadits Shohih Lighoirihi Hadits yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairoh bahwa Nabi SW bersabda :   O /6 #A;M '(& ' 4 L B & ) & ! » .« ?P G   O $   4 N       Tingkatan hadits di atas masuk pada kategori hasan lighorihi. Menurut Ibnu Sholah : karena Muhammad bin Amr bin al-Qomah sebenarnya dikenal sebagai perawi yang jujur dan amanah, namun ia tidak termasuk mereka yang kuat hafalan. Sehingga sebagian mendhaifkannya karena termasuk orang yang lemah dalam hafalannya, namun sebagian lain menganggapnya tsiqoh karena kejujuran dan kemuliannya. Sehingga asli hadits ini masuk kategori hasan li dzatihi. Namun kemudian diketahui bahwa hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari dan yang lainnya, maka ketakutan lemahnya hafalan Muhammad bin Amr dalam hadits ini menjadi hilang, dan terangkat tingkatannya menjadi shohih lighoirihi.

29

[Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd ath-Thahân- terjemahan oleh Abu Al Jauzaa]

30

MATERI 5 : HADIST HASAN DAN PEMBAHASANNYA A. PENGERTIAN HADITS HASAN Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut, a) Al-Khathabi, hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha. b) At-Tirmidzi, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain. c) Menurut Ibnu Hajar, hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari hadits shahih, sanadnya bersambung, haditsnya tidak ilal dan syadz. Menurut Mahmud Tahhan, definisi yang lebih tepat adalah definisi yang diungkapakan oleh Ibnu Hajar, yaitu yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, namun tingkat kedlobithannya kuarang dari hadits shahih, tidak ada syudzudz dan illat. B. SYARAT HADITS HASAN Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya (kekuatan hafalan) berbeda. a) Sanadnya bersambung, b) Perawinya adil, , c) Dlobith, lebih rendah dari hadits shahih d) Tidak ada illat, e) Tidak ada syadz, Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hasan lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain). Apabila hanya disebut “Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan batasan

31

seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat kehasanannya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilanya sedikit di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para perawinya. Hadits hasan lighairihi adalah hadits dhoif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad yang ada menguatkan sanad yang dhoif tersebut. C. HUKUM HADITS HASAN Hadits Hasan bisa dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih, meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’ ushul, kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya. D. CONTOH HADITS HASAN Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata: “Telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW. bersabda:  +   C   @ 6& ) , » « S      I 8  R E “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan pedang…”. Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dhuba’I yang masuk dalam kategori hasanul hadits, maka turunlah tingkatan dari shohih menjadi hadits hasan. E. ISTILAH DALAM HADITS HASAN Tingkatan dari Pernyataan: Hadits Shahih Isnad atau Hasan Isnad. Pernyataan ahli hadits: ‘Hadits ini shahih isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits shahih’. Begitu pula halnya dengan pernyataan mereka: ‘Hadits ini hasan isnad’ berbeda maknanya dengan pernyataan ‘ini hadits hasan’.

32

Pernyataan (hadits ini shahih isnad atau hadits ini hasan isnad) karena sanadnya memang shahih atau hasan tanpa memperhatikan matan, syudzudz maupun adanya illat. Apabila seorang ahli hadits mengatakan: ‘Hadits ini shahih’, itu berarti hadits tersebut telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih yang lima. Lain lagi jika ia mengatakan: ‘Hadits ini shahih isnad’, itu berarti hadits tersebut memenuhi tiga syarat keshahihan saja, yaitu sanadnya bersambung, rawinya adil dan dlobith. Adapun tidak adanya syudzudz dan illat, berarti hadits tersebut tidak bisa memenuhinya. Karena itu tidak bisa ditetapkan sebagai hadits shahih ataupun hasan. Meski demikian, apabila seorang hafidh mu’tamad (dalam hadits) meringkas penyataan dengan: ‘Hadits ini shahih isnad’, sementara ia tidak menyebutkan adanya illat, maka berarti matannya juga shahih. Sebab, pada dasarnya hadits tersebut tidak memiliki illat maupun syudzudz. Arti Hadits Hasan Shahih Kenyataan ungkapan seperti ini amat sangat sulit, sebab hadits hasan itu derajatnya lebih rendah dari hadits shahih. Maka, bagaimana menggabungkan keduanya sementara tingkatan keduanya berbeda?. Para ulama’ telah menjawab maksud dari pernyataan Tirmidzi dengan jawaban yang bermacam-macam. Yang terbaik adalah pernyataannya al-Hafidh Ibnu Hajar yang disetujui oleh as-Suyuthi, ringkasannya sebagai berikut : a) Jika haditsnya mempunyai dua buah sanad atau lebih, maka berarti hadits tersebut adalah hasan menurut shahih satu sanad, dan shahih menurut sanad lainnya. b) Jika haditsnya mempunyai satu sanad, maka berarti hadits tersebut adalah hasan menurut satu kelompok, dan shahih menurut kelompok lainnya. Jadi, seakan-akan orang yang mengatakan hal itu menunjukkan adanya perbedaan dikalangan ulama’ mengenai status (hukum) hadits tersebut, atau tidak memperkuat status (hukum) hadits tersebut (apakah shahih ataukah hasan). F. KITAB-KITAB YANG BANYAK DITEMUKAN HADITS HASAN Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri), akan tetapi ada beberapa kitab

33

yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah: 1) Kitab Jâmi at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab atTurmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya. Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, Hasan Shohih, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya. 2) Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd. 3) Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini. G. HASAN LIGHOIRIHI Pengertian Hadits Hasan lighoiri adalah hadist dhoif yang mempunyai banyak jalan periwayatan, dan sebab kedhaifan hadits tersebut bukan karena kefasiqan perawinya atau kedustaannya. Dengan demikian, dari pengertian di atas, kita bisa ambil kesimpulan bahwa hadits dhoif bisa naik tingkatannya menjadi Hasan lighoirihi dengan dua syarat : 1) Diriwayatakan dari satu atau lebih jalan periwayatan lain, yang minimal jalan tersebut setara dengannya atau lebih kuat kualitasnya. 2) Sebab kedhaifan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawinya, atau terputus sanadnya, atau adanya status jahalah (tidak terkenal )pada

34

perawinya. Sehingga bukan karena kefasiqan perawi atau dikenal karena kedustaannya. Tingkatan dan Hukum Hadits Hasan Lighoirihi Tingkatan hadits ini adalah dibawah hasan li dzatihi, sehingga jika ada pertentangan harus didahulukan hadits hasan. Hadits hasan lighoiri termasuk kategori hadits maqbul yang layak untuk dijadikkan hujjah dalam beramal. Contoh hadits hasan lighoirihi Yaitu yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh beliau, dari jalan Syu’bah dari Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Robi’ dari ayahnya, bahwa ada seorang perempuan dari bani Fazaroh yang menikah dengan mahar sepasang sandal. Maka Rasulullah SAW pun bertanya kepadanya : “ Apakah engkau ridho terhadap dirimu dan hartamu dengan sepasang sandal ini ? “ Perempuan tadi menjawab : “ Ya “. Maka kemudian Rasulullah SAW membolehkannya. Di dalam sanad di atas ada nama Ashim bin Ubaidillah yang dikenal sebagai perawi dhaif karena hafalannya yang buruk, namun Tirmidzi menghasankan karena periwayatannya yang tidak hanya pada satu jalan saja. (Kitab Taysîr Musthalah al-Hadîts karya Dr. Mahmûd ath-Thahhân,)

35

MATERI 6 : SEPUTAR HADIST DHOIF Setelah kita mempelajari tentang pembagian berita/ khobar yang maqbul (diterima) atau layak dijadikan hujjah dan dalil, maka pembahasan kali ini adalah mengenai khobar mardud atau riwayat hadits yang tertolak atau tidak bisa diterima sebagai hujjah. Para ulama membagi khobar mardud ini dengan pembagian yang begitu banyak, bahkan hingga mencapai empat puluh macam, dimana setiap macamnya diberikan istilah khusus yang membedakan dengan yang lainnya, namun ada juga yang tidak diberikan istilah secara khusus, dan diberikan istilah umum yaitu ‘dhoif’ saja. Sebuah hadits masuk dalam kategori tertolak disebabkan oleh banyak hal, namun umumnya bisa dikategorikan dalam dua sebab utama, masing-masing : 1) Adanya permasalahan pada sanad ( riwayat ), ada yang terputus atau hilang dan semacamnya 2) Adanya tuduhan pada perawinya, bisa karena sisi hafalannya ( ad-dhobt) atau juga karena sisi kepribadian dan ketakwaan ( ‘adalah) Setiap sebab diatas kemudian menurunkan ragam macam hadits dhoif yang akan dibahas lebih khusus dalam kesempatan materi berikutnya. Untuk pembahasan awal, kita akan mengkaji seputar hadits dhoif secara umum. A. PENGERTIAN HADITS DHOIF Secara bahasa dhoif adalah lemah atau lawan kata dari qowiiy (kuat). Lemah disini adalah maknawi bukan lemah dalam arti fisik. Secara istilah, hadits dhoif adalah yang tidak mampu mengumpulkan sifat-sifat atau memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Kelemahan hadits dhoif pun bertingkat-tingkat bergantung pada kelemahan para perawinya, atau keburukan hafalannya, sebagaimana pula hadits shohih yang juga mempunyai tingkatan. Maka kemudian dikenal penamaan yang beragam untuk hadits dhoif , seperti : dhoif jiddan, munkar, wahy, atau yang paling buruk jenisnya adalah maudhu’.

36

B. TINGKATAN SANAD HADITS DHOIF Sebagaimana hadits shohih yang mempunyai tingkat dan kekuatan sanad yang berbeda, sehingga ada yang disebut dengan asohhul asanid (sanad yang terbaik), maka para ulama pun menyebutkan dalam pembahasan hadits dhoif apa yang disebut dengan sanad yang terlemah atau “auha al asanid”. Diantara contoh dari sanad (jalur periwayatan) hadits dhoif antara lain : a) Dari jalur Abu Bakar As-Shiddiq : “ Shidqoh bin Musa ad-daqiqiy dari Farqod AsSubhy dari Murroh At-Thiib dari Abu Bakar “ b) Dari jalur Ulama Syam : Muhammad bin Qois dari Ubaidillah bin Zahr dari Ali bin Yazid dari Qosim dari Abi Umamah “ c) Dari Jalur Ibnu Abbas : As-Suudy As-Shogir Muhammad bin Marwan dari alKalby dari Abi Sholih dari Ibnu Abbas. C. CONTOH HADITS DHOIF Salah satu contoh hadits dhoif adalah riwayat yang berbunyi : " P;X4 (3 PW/06  4 V6 A+6 /1+ # U( # T/0$F E @;H1 06 ' G " " Barang siapa sholat enam rekaat setelah maghrib, dan tidak berbicara buruk diantara itu semua, maka seimbang dengan ibadah dua belas tahun " (HR Tirmidzi) . Hadits diatas diriwayatkan oleh Umar bin Rosyid dari Yahya bin Abi Bakar dari Abu Salamh dari Abu Huroiroh. Tentang nama perawi Umar bin Rosyid di atas, Imam Ahmad, Ad-Daruqutni mengatakan : dia dhoif. Imam Ahmad menambahkan tentangnya : hadistnya tidak bernilai sedikitpun. Tirmidzi mengomentari hadits tersebut : Ini Hadits Gharib kami tidak mengetahuinya kecuali melalui jalan Umar, sementara saya mendengar Bukhori mengatakan tentangnya bahwa Umar : dia munkarul hadits. D. HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHOIF Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang aqidah (keyakinan) dan hukum halal harom. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang-bidang tertentu sebagaimana berikut :

37

1) Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal) : Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar. 2) At-Targhiib (Memotivasi) : Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga. 3) At-Tarhiib (Menakut-nakuti) : Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan. 4) Al-Qoshos : Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh 5) Do’a Dan Dzikir : Yaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir. Dalam menyikapi permasalahan beramal dengan hadits dhoif , pendapat yang ada terbagi menjadi tiga , masing-masing : Pendapat Pertama : Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha ‘ilul a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi SAW, perkataan/perbuatan yang tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau. Sebagaimana peringatan dari beliau dalam masalah ini : “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Muslim) dan hadits lain : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Pendapat Kedua : Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.

38

Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut: 1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits. 2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar. 3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pendapat Ketiga : Diriwayatkan dari sebagian besar fuqoha’ yaitu kebolehan beramal dengan hadits dhoif secara mutlak, jika tidak ditemukan hadits selainnya dalam sebuah tema atau pembahasan. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah, Syafi’I, Malik dan Ahmad. Meskipun khusus untuk imam Ahmad, pendapat seperti ini bisa dipahami karena menurut beliau pembagian hadits adalah Shohih dan Dhoif saja, sehingga sangat memungkinkan yang dimaksud imam Ahmad di sini adalah hadits dhoif yang bernilai hasan. E. KITAB YANG KEMUNGKINAN BANYAK TERDAPAT HADITS DHOIF Berikut kitab-kitab yang di dalamnya diperkirakan berisi banyak hadits dhoif, antara lain : 1) Tiga Mu’jam Thobroni baik yang al-kabiir, al-ausath, maupun yang as-shogiir 2) Kitab “ afrood “ yang disusun oleh imam Daruquthni 3) Kitab-kitab susunan Al-Khotib al-Baghdadiy

39

MATERI 7 : RAGAM MACAM HADITS DHOIF Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa hadits dhoif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan. Secara umum Hadits dhoif dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar : yaitu dhoif karena suqut fi isnad ( ada sanad yang gugur atau tidak bersambung), dan juga bagian yang disebabkan karena at-tho’n fi rowy ( tuduhan pada perawinya). Berikut pembahasan singkat dan contoh sederhana dari ragam hadits dhoif tersebut. A. HADITS DHOIF YANG DISEBABKAN SANADNYA TERPUTUS Hadits Dhaif yang masuk kategori jenis ini di bagi lagi menjadi : Hadits Muallaq, Muaddhol, Mursal dan Munqoti’, dan Mudallas. 1)

HADITS MUALLAQ

Pengertian : Yaitu hadits yang pada permulaan sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi secara berurutan. Yang dimaksud permulaan sanad ini adalah syaikh dari perawi hadits yang menuliskan haditsnya tersebut. Termasuk dalam kategori ini yaitu yang membuang semua sanad, lalu mengatakan langsung Rasulullah SAW bersabda : ….. . Terkadang ada juga yang membuang sanad selain Sahabat. Contoh hadits mualaq : Yang dikeluarkan oleh Bukhori dalam muqoddimah sebuah bab, Imam Bukhori menyebutkan : Berkata Abu Musa Al-Asyarie : “ adalah nabi SAW menutupi pahanya ketika datang Utsman “. Maka hadits di atas masuk kategori muallaq, karena Imam Bukhori membuang semua sanadnya kecuali sahabat, yaitu Abu Musa Al-Asy’arie. Hukum Hadits Muallaq Hukum hadits muallaq secara umum termasuk tertolak (mardud) karena kehilangan syarat ittisolu sanad (bersambungnya sanad), dengan membuang satu atau lebih perawinya, tanpa kita mengetahui keadaan perawi yang dibuang. Namun para

40

ulama mempunyai pembahasan secara khusus, jika hadits muallaq tersebut ada dalam kitab shohihain. Perlu diketahui bahwa jumlah hadits muallaq dalam shohih Muslim sangat sedikit, ada yang menyebutkan cuma satu dalam bab Tayammum. Namun hadits muallaq dalam shohih bukhori banyak, khususnya dalam pembukaan sebuah bab tertentu. Maka kemudian ulama berpendapat tentang hukum hadits muallaq dalam shohihain sebagai berikut : 1) Jika disebutkan dengan ungkapan yang kuat dan jelas , seperti : qoola ( ia mengatakan), atau hakaa ( ia mengisahkan ), atau dzakaro ( ia menyebutkan) , maka dihukumi shohih. 2) Jika disebutkan dengan ungkapan yang mengambang, seperti : qiila (dikatakan.. ) atau dzukira ( disebutkan .. ), atau hukiya ( dikisahkan … ) , maka perlu diteliti lebih lanjut, karena bisa masuk shohih, hasan atau dhoif. Namun meskipun demikian, Ibnu Hajar telah meneliti hadits-hadits muallaq dalam shohih Bukhori melalui kitabnya “ taghliiqu ta’liq” yang menghasilkan temuan bahwa sanad-sanad hadits muallaq imam Bukhori adalah bersambung. 2)

HADITS MURSAL

Pengertian dan Contoh Yaitu hadits yang disandarkan oleh Tabi’in langsung kepada Rasulullah SAW. Misalnya seorang Tabi’in mengatakan : Rasulullah SAW bersabda ……, tanpa menyebutkan perantara (wasithoh) antara dia dan Rasulullah SAW. Bisa jadi perantara tersebut adalah seorang sahabat, atau seorang sahabat dan tabiin yang lain misalnya. Contoh hadits Mursal : Yang dikeluarkan imam Muslim dalam shohihnya kitab Jual beli, ia menuliskan (setelah menyebutkan perawi setelahnya) dari Ibnu Syihab, dari Saiid bin Musayyab, bahwasanya “ Rasulullah SAW melarang jual beli muzabanah (menukar buah kurma belum matang yang masih di atas pohon dengan kurma yang ada di karung “. Said bin Musayyab adalah pembesar tabi’in, ia tidak menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah SAW, maka tergolong hadits mursal. Mursal Shohaby Yaitu Hadist yang dikabarkan oleh sahabat tentang ucapan, perbuatan Rasulullah SAW, sementara sahabat tersebut tidak mendengar atau melihat langsung, karena

41

masih kecil, atau belum masuk Islam, atau sedang bepergian. Contoh : ibnu Abbas, ibnu Zubair dan yang lainnya. Hukum Hadits Mursal : a) Mursal sahabat disepakati penerimaannya oleh jumhur ulama. b) Mursal Tabi’in diterima oleh Malikiyah, Hanafiyah dan Syafi’iyah khususnya yang berasal dari Kibaru Tabiin seperti Sa’ad bin Musayyab, Hasan Al Bashry, Ibrahim an-Nakh’iy, c) Imam Ahmad menolak mursal tabi’in, begitu pula Ibnu Sholah dalam muqoddimahnya yang kemudian menjadi standar dalam ulumul hadits secara umum. 3)

HADITS MUNQOTHI’

Hadits Munqothi menurut Ulama Muhadditsin adalah : Hadist yang sanadnya terputus pada salah satu atau lebih dari perawinya, dibawah tingkatan sahabat dan tidak secara berturut-turut. Sementara menurut Fuqoha , hadits munqothi’ adalah semua yang tidak bersambung sanadnya. Contoh hadits ini adalah : Apa yang diriwayatkan Abdurrozaq, dari Syauri, dari Abu Ishaq, dari Zaid , dari Hudzaifah secara marfu’ : “ jika engkau mengangkat Abu Bakar, maka dia kuat lagi terpercaya “. Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadits dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Syarik dari Abu Ishaw. Dari riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadits yang munqoti’. 4)

HADITS MU’DLOL

Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah sanadnya. Contoh : Yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dengan sanadnya : Malik Mengatakan : Telah sampai kepadaku Abu Hurairah mengatakan: “ bagi budak (berhak) mendapatkan makanan dan pakaian secara makruf ( baik sesuai kebiasaan)”. Hadits ini tergolong hadits mu’dhlol karena antara Malik dan Abu Huroirah terdapat dua

42

tingkatan perawi, seharusnya adalah : dari Malik, dari Muhammad bin Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah. 5)

HADITS MUDALLAS

Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya untuk menyembunyikan aib sanadnya. Tadlis sendiri dibagi menjadi beberapa macam, gambaran umumnya sebagai berikut : a) Tadlis Isnad : perawi meriwayatkan dari syeikh yang pernah ia temui atau yang ia hidup sejaman dengannya, tetapi sebenarnya ia tidak pernah mendengar hadits tersebut langsung darinya. Karenanya ia menggunakan lafadz yang kabur, seperti : ‘an fulan (dari fulan) .. qoola fulan (berkata fulan), yang tidak menunjukkan arti ia mendengar darinya. Jika perawi tersebut menggunakan kata yang jelas seperti : aku mendengar dari fulan , maka ia adalah pendusta bukan seorang mudallis. b) Tadlis Taswiyah : Seorang perawi meriwayatkan dari syeikhnya, kemudian menggugurkan salah satu sanad diatasnya yang dhoif yang terdapat diantara dua tsiqoh yang masih mempunyai kemungkinan bertemu, dengan menggunakan kata-kata yang mengambang. Ini dilakukan untuk menjaga hadits dari aib, sehingga hasilnya sanadnya tsiqoh semua. c) Tadlis Suyukh : menyamarkan nama syeikhnya yang mungkin masuk kategori dho’if dengan menyebutkan sifatnya, julukannya, atau nasabnya sehingga menjadi tidak dikenal. Misalnya : Abu Bakar Bin Mujahid mengatakan : telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Abi Abdallah, padahal yang ia maksud adalah Abu Bakar bin Abi Daud B. HADITS DHOIF KARENA PERMASALAHAN PADA PERAWI Al-Hafidz Ibnu Hajar menyusun urutan tingkatan kelemahan sebuah hadits dari sisi ini menjadi tujuh : Maudhu’, Matruk, Munkar, Muallal, Mudroj , Maqlub dan Mudthorib 1)

HADITS MAUDHU’

Pengertian & Hukumnya

43

Hadits yang disebabkan karena perawinya berdusta atas nama Rasulullah SAW maka disebut dengan hadits maudhu’. Secara istilah, hadits maudhu’ adalah khabar palsu dan dusta yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Secara tingkatan hadits dhoif, hadits maudhu’ masuk dalam tingkatan yang paling buruk dari yang lainnya, sehingga sebagian ulama lain memasukkan dalam kategori yang tersendiri, tidak termasuk dalam golongan hadits dhoif. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh meriwayatkan hadits maudhu’ -dengan sepengetahuannya- tanpa menjelaskan tentang status kepalsuannya tersebut. Bagaimana Mengenali Hadits Maudhu’ ? Hadits maudhu’ bisa dikenali melalui beberapa hal sebagai berikut : a) Pengakuan dari pemalsu hadits tersebut, sebagaimana pengakuan Abi Ismah Nuh bin Abi Maryam, yang mengaku bahwa ia telah membuat hadits tentang fadhilah setiap surat dari Al-Quran dengan mengatasnamakan dari Ibnu Abbas. b) Semacam pengakuan secara tidak langsung. Misalnya seorang meriwayatkan hadits dari syeikhnya, kemudian ditanya tentang tanggal wafatnya syeikh tersebut, ternyata wafatnya sebelum ia lahir, sementara hadits itu tidak dikenal kecuali dari jalurnya sendiri. c) Bukti pembanding (qorinah) yang ada pada diri perawi, seperti bahwa perawi masuk dalam golongan rofidhoh sementara haditsnya berkaitan tentang keutamaan ahlul bait, misalnya. d) Keterangan dalam matan atau konteks hadits, yang biasanya berlebihan, menyalahi logika atau penjelasan Al-Quran. Motivasi membuat Hadits Maudhu’ 1) Penodaan dan Pelecehan Agama : Yaitu membuat hadits palsu untuk membuat keraguan dalam ajaran Islam atau hal-hal baru yang menyesatkan. Misalnya Muhammad bin Said as-Syaami yang meriwayatkan dari Humaid dari anas secara marfu’ : “ aku penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah berkehendak lain “. 2) Menuruti Hawa Nafsu untuk Memenangkan Golongannya : sebagaimana yang dibuat oleh pengikut rafidhoh yang melebih-lebihkan Ali bin Abi tholib untuk menguatkan dan memenangkan madzhabnya.

44

3) Upaya mendekati Penguasa : sebagian yang lemah iman berupaya memunculkan hadits palsu untuk mendapatkan simpati dan kedekatan dengan para penguasa, baik gubernur maupun khalifah pada waktu tersebut. 4) Mengejar Popularitas dan Ketertarikan Manusia : dengan hadits yang palsu tersebut ia membuat banyak orang terperangah dengan kisah-kisah hebatnya yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Contoh dalam hal ini adalah Abu Said al Madainy yang menjadikan kisah-kisah tersebut diperdengarkan ke pada orang-orang agar mereka memberikan uang sebagai penghargaannya. 5) Motivasi Beramal Sholih : ini bentuk maudhu’ yang tersembunyi karena seringkali manusia tertipu, mengingat isi hadits ini berisi kebaikan, berupa fadhilah dan keutamaan sebuah amal yang sangat memotivasi bagi yang mendengarnya untuk dikerjakan. Contohnya : “barang siapa yang sholat dhuha maka mendapat pahala 70 nabi. “ 2)

HADITS MATRUK

Adalah hadits yang didalam sanadnya ada perawi yang disangka suka berdusta. Sebab tuduhan dan sangkaan ini bisa jadi karena salah satu dari hal berikut. Pertama, bahwa memang tidak ada riwayat lain dari hadits tersebut kecuali dari jalannya. Kedua, perawi dikenal dengan pendusta dalam ucapan-ucapannya terdahulu, meskipun belum muncul atau terbukti dalam hadits nabawi. Contoh hadits matruk : Hadits seorang penganut syiah Amru bin Syamir al-Kuufi : dari Jabir dari Abi Thufail dari Ali dan ‘Ammar keduanya mengatakan : adalah Nabi SAW melakukan qunut pada sholat fajr, dan memulai bertakbir pada hari arafat pada sholat shubuh, dan menghentikannya pada sholat ashar hari tasyriq yang terakhir”. Imam An-Nasa’iy dan Daruquthni dan yang lainnya mengatakan tentang Amru bin Syamir : matrukul hadits . 3)

HADITS MUNKAR

Hadits munkar mempunyai setidaknya dua pengertian dengan penekanan yang berbeda : 1) Hadits yang di dalam sanadnya ada satu perawi yang dikenal buruk hafalannya, atau sering teledor (lalai) atau terlihat kefasikannya.

45

2) Menurut Ibnu Hajar : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dhoif yang bertentangan dengan riwayat perawi lain yang tsiqoh. Tingkatan hadits ini termasuk kategori dhoif jiddan (lemah sekali) dan mengikuti tingkatan hadits setelah matruk. Contoh hadits ini ( pengertian pertama ) : Yang diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ibnu Majah dari riwayat Abu Zukair Yahya bin Muhammad bin Qois dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra secara marfu’ : “ makanlah balah (jenis kurma kering) dan kurma, sesungguhnya setiap ibnu adam memakannya, setan menjadi marah. “. Imam An-Nasaiy mengatakan : ini hadits munkar, diriwayatkan secara sendirian oleh Abu Zukair, dia adalah seorang syaikh sholeh, tetapi diragukan hafalannya khususnya jika meriwayakan sendirian. 4)

HADITS MUA’LLAL

Yaitu hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atau aib yang menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohir terlihat selamat dari cacat tersebut. Aib atau cacat tersebut bisa jadi ada pada sanad ataupun matannya, atau bahkan keduanya. Contoh illat yang ada pada sanad : Hadits yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dari Sufyan At-Tsauri, dari Amru bin Dinar, dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ kedua penjual dalam masa tenggang pemilihan …… “. Permasalahan sanad di atas adalah, kesalahan Ya’la bin Ubaid yang menyebutkan perawi sebelum Sufyan atTsauri sebagai Amru bin Dinar, padahal para ulama hadits lain menyebutkan bahwa yang benar adalah : “Abdullah bin Dinar” bukan “Amru bin Dinar”. 5)

HADITS MUDROJ

Yaitu hadits yang diubah susunan sanadnya atau disisipkan dalam lafadz matannya apa-apa yang bukan bagian dari hadits tersebut, tanpa batasan pemisah. Misal hadits mudroj: seorang syaikh sedang menyampaikan hadits pada murid-muridnya, lalu ada sebuah kondisi atau kejadian yang membuatnya berhenti dan mengatakan sebuah perkataan lain bukan dari hadits, namun disangka oleh murid-muridnya itu adalah bagian dari hadits yang akan disampaikan. Kondisi ini bisa terjadi pada sanadnya atau juga matan hadits, dimana ada perkataan lain yang ikut dimasukkan dalam lafadz hadits tanpa garis pemisah yang jelas dengan hadits aslinya.

46

Contoh hadits Aisyah seputar permulaan wahyu : “ dahulu Nabi SAW betahannuts (menyendiri) di gua hiro – yaitu beribadah – beberapa malam tertentu “. Ungkapan “ yaitu beribadah” adalah perkataan Zuhri bukan Aisyah ra. 6)

HADITS MAQLUB

Yaitu hadits yang didalamnya ada penggantian atau pembalikan lafadz hadits baik dalam sanad maupun matannya, penggantian tersebut bisa dengan mengganti yang awal jadi akhir, atau akhir jadi awal dan semacamnya. Contoh hadits maqlub : yang diriwayatkan oleh Hamad bin Amru –al kadzzab- dari al-A’masy dari Abi Sholih, dari Abu Hurairoh secara marfu’ : “ jika engkau bertemu dengan orang musyrikin di jalan maka jangan mulai memberi salam “. Hadits ini maqlub, sanadnya diganti dari a’masy, padahal sudah dikenal yang benar adalah dari Suhail bin Sholih dari ayahnya dari Abu Huroiroh. 7)

HADITS MUDHTORIB

Yaitu hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragam yang mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidak memungkinkan untuk digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dan tidak memungkinkan pula ditarjih (dipilih) salah satu dari keduanya. Bentuk idhtirob dalam hadits ini bisa jadi dalam sanad atau bisa jadi dalam matannya. Seperti, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Fatimah binti Qois, ia berkata : Rasulullah ditanya tentang zakat, lalu beliau menjawab : “ sesungguhnya dalam harta kita, ada kewajiban selain zakat”. Sementara Ibnu Majah dengan riwayat : “ sesungguhnya tidak kewajiban dalam harta selain zakat”. Selain pembagian dan istilah hadits di atas, terdapat juga hadits dhoif jenis kategori lain dengan sebab yang beragam pula, kami sebutkan secara sederhana sebagai berikut : •

Hadits Majhul : hadits yang dalam sanadny ada perwai yang tidak diketahui jarh dan ta’dilnya.

47







Hadits Mubham : Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian sanadnya. Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah. Hadits Syadz : Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqoh namun bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuat dan perawinya lebih tsiqoh Hadits Mushohhaf : Yaitu hadits yang terdapat perubahan dari sisi penulisannya, baik dalam sanad dan matan. Misal dalam matan : ‘ihtajaro ..’ menjadi “ ihtajama ..”, atau misal dalam sanad : nama perawi jamroh mestinya hamzah.

48

MATERI 8 : ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL A. PENGERTIAN AL-JARH WA AT-TA’DIIL Pengertian Aj-Jarh : 1) Secara bahasa lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata kerja jaroha yajrohujarhan , yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat “ jaroha al-hakim asy-syaahid“ yang berarti “hakim itu menolak saksi”. 2) Adapun Menurut Istilah, al-Jarh ialah: “Menampakan suatu sifat rawi yang dapat merusak sifat ‘adalahnya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya atau menyebabkan riwayatnya tertolak”. Pengertian at-Ta’diil 1) ‘Adl secara bahasa berarti : apa yang tegak dalam hati yang menunjukkan lurus dan keistiqomahan. Seorang yang disebut ‘adl artinya bisa diterima kesaksiannya. 2) Adapun pengertian ‘adl secara istilah adalah : yang tidak nampak sifat-sifat merusak agama dan kewibawaannya, karenanya diterima kesaksian dan pengabaran darinya. 3) Sementara Ta’diil adalah : mensifati perawi dengan sifat-baik baik (tazkiyah) sehingga nampak ‘adalahnya (keadilan) dan diterima riwayat darinya. Dengan demikian, ilmu jarh wa ta’diil adalah : ilmu yang membahas di dalamnya seputar Jarh (rekomendasi) dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz dan istilah tertentu, untuk menilai diterima atau ditolak riwayat dari mereka. B. DASAR KEBOLEHAN MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL Para Ulama menyatakan legalitas dan kebolehan Jarh wa Ta’dil, serta tidak memandangnya sebagai ghibah yang diharamkan, berdasarkan beberapa dalil diantaranya :

49

Pertama : Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS. Al-Hujurat: 6). Kedua : Rasulullah SAW bersabda tentang Muawiyah dan Abi Jahm ketika Fatimah binti Qais bertanya kepada beliau perihal keduanya yang sama-sama meminangnya. Rasulullah SAW bersabda :” Adapun Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya (kiasan untuk menunjukkan sifat suka memukul), sedangkan Muawiyah sangat faqir, tidak punya harta. Nikahlah dengan Usamah bin Zaid (HR Muslim) Ketiga : Banyak hadits lain yang menyebutkan Rasulullah SAW memuji dan merekomendasikan beberapa sahabatnya yang mulia, bahkan ada yang disebutkan sebagai seorang yang mempunyai nilai kesaksian setara dua kesaksian sahabat, yaitu Abu Khuzaimah al Anshori. Selain itu semua, sesungguhnya al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Karena itulah, para ulama membolehkannya dalam rangka menjaga kepentingan syari’at Islamiyah, bukan mencela dan membuka aib orang lain. Semua dalam rangka memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas. C. KETENTUAN JARH WA TA’DIIL Berikut beberapa ketentuan dalam jarh dan ta’diil, antara lain : 1) Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “ Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebutnkebaikannya” 2) Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya. 3) Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etika ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan

50

hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan: “ la yakun tastaqiimu lisan” artinya“ kurang istiqomah dalam berbicara” . 4) Bersifat global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau ‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya. Cara Mengetahui Sifat ‘Adalah seorang Perawi Untuk mengetahui ‘adalahnya seorang perawi menurut Ujaj al-Khatib ada dua jalan: Pertama : Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi. Kedua : Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya. Adapun untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperti pada cara mengetahui keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas. D. TINGKATAN DAN LAFADZ-LAFAZD JARH DAN TA’DIL

Para perawi yang disebutkan mempunyai sifat ‘adalah sekalipun, tidak berarti mereka pada tingkatan yang sama. Karena itulah terdapat istilah dan lafadz khusus dikalangan ulama hadits untuk membedakan tingkatan-tingkatan perawi, baik dari sisi ‘adl maupun jarah Marothibu At-Ta’diil ( Tingkatan Ta’diil) Tingkatan-tingkatan lafadz al-ta’diil: 1) Tingkatan Pertama : Menunjukkan rekomendasi secara mubalaghoh (berlebihan), dan menggunakan isim tafdhiil untuk menunjukkan paling utama. Lafadz yang digunakan misalnya : atsbatun naas (orang yang paling kuat

51

2)

3) 4)

5)

6)

haditsnya), autsaqo naas ( paling terpercaya), adhbatu naas ( paling kuat hafalannya) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukkan penguatan sifatsifat adalah dan tautsiiq. Lafadz yang digunakan misalnya: tsiqoh tsiqoh ( benarbenar tsiqoh ), tsiqoh ma’muun (terpercaya dan terjamin). Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan sifat tsiqoh tapi tanpa penguatan. Lafadz yang digunakan : tsiqoh , mutqin, hujjah . Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang adil dan tsiqoh tapi tanpa penekanan secara khusus.. Lafadz yang digunakan misalnya: la ba’sa biih (tidak ada masalah dengannya), atau shoduq, ma’muun. Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang samar atau tidak menunjukan bahwa perawi cukup adil dan tsiqoh. Lafadz yang digunakan misalnya: fulaan syaikh (dia seorang syeikh), ruwiya anhu naas ( orang meriwayatkan darinya) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang mengarah atau mendekati pada tajriih. misalnya dengan kata-kata: sholih hadits , yuktabu haditsuhu ( tercatat haditsnya)

Hukum Tingkatan Ta’diil : - Untuk tingkatan pertama hingga ketiga, maka haditsnya layak dijadikan hujjah meskipun dengan kekuatan yang berbeda-beda. - Untuk tingkatan keempat dan kelima, haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tapi haditsnya bisa dituliskan, dan diuji kembali tingkat ketelitian mereka dengan membandingkan pada riwayat lain yang tsiqoh. - Untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, dan haditsnya bisa dituliskan untuk i’tibaar semata. Marothibu Al-Jarh ( Tingkatan Jarh) Tingkatan-tingkatan lafadz al-Jarh: 1) Tingkatan Pertama : Mengemukakan sifat perawi untuk menunjukkan kelemahan, namun dengan lafadz yang paling ringan. Lafadz yang digunakan misalnya : fiihi dhoiif (dia ada lemahnya), fiihi maqool ( dia banyak dibincangkan), layyinul hadits ( lemah haditsnya) 2) Tingkatan Kedua : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Lafadz yang digunakan misalnya: dhoiif (

52

3)

4)

5)

6)

dia lemah ), lahu manakiir (banyak yang mengingkarinya), majhuul ( dia tidak dikenal). Tingkatan Ketiga : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits yang diriwayatkannya sangat lemah dan haditsnya tidak dituliskan. Lafadz yang digunakan : la yuktab haditsuhu (tidak dicatat hadits darinya), la tahillu riwayah ( tidak boleh meriwayatkan) , Tingkatan Keempat : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa muttaham bil kadzib, (dia tertuduh sbg pendusta)atau muttaham bil wad’iy ( dia dianggap pemalsu hadits), atau matruk (dia ditinggalkan), atau laisa bitsiqoh (tidak terpercaya) Tingkatan Kelima : Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang pendusta dan pemalsu.. Lafadz yang digunakan misalnya: huwa kadzzab (dia pendusta), atau huwa waddhoo’ (dia pemalsu hadits), atau juga dajjal (dia seperti dajjal /pendusta) Tingkatan Keenam : Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah dan mubalaghoh (berlebihan). misalnya dengan kata-kata: akdzabu nnas ( paling pendusta) , ruknul kadzib (pilarnya pendusta), atau ilahi muntahal kadzib (dia puncaknya kedustaan).

Hukum Tingkatan Jarh : - untuk hadits pada tingkatan jarh yang pertama dan kedua, tidak bisa dijadikan hujjah namun boleh dituliskan hadistnya, untuk pelengkap dan i’tibaar saja. - Namun untuk hadits pada tingkatan jarh yang keempat sampai keenam, maka haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah, tidak perlu ditulis, dan tidak perlu dianggap ada. E. PERTENTANGAN JARH DAN TA’DIL Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorag perawi,. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Pada suatu kondisi hal tersebut tidak bisa dikompromikan, maka pendapat yang ada sebagai berikut :

53

a) Jarh di dahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil. b) Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain. c) Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya. d) Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi. Menurut Ujaj al-Khatib pendapat pertamalah yang dipegangi oleh ulama hadits, baik mutaqaddimin maupun mutaakhirin. Demikianlah sekilas pembahasan tentang jarh dan ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. ( disarikan dan digubah dari artikel Endad Musaddad).

54

MATERI 9 : RAMBU-RAMBU MEMAHAMI SUNNAH A. ETIKA SALAFUS SHALIH DALAM MENGKRITIK HADITS Kisah Umar ra dan Abu Musa Al-Asyari Dalam riwayat Muslim dari Abu Said Al-Khudri ra, ia berkata: Aku sedang dudukduduk dalam majlis orang-orang Ansar di Madinah lalu tiba-tiba Abu Musa ra. datang dengan ketakutan. Kami bertanya: Kenapa engkau? Ia menjawab (menceritakan kejadian yang membuatnya takut) : Umar menyuruhku untuk datang kepadanya. Aku pun datang. Di depan pintunya, aku mengucap salam tiga kali tetapi tidak ada jawaban, maka aku kembali. Tetapi, ketika bertemu lagi, ia bertanya: Apa yang menghalangimu datang kepadaku? Aku menjawab: Aku telah datang kepadamu. Aku mengucap salam tiga kali di depan pintumu. Setelah tidak ada jawaban, aku kembali. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda: Apabila salah seorang di antara kalian minta izin tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, maka hendaklah ia kembali. Mendengar hal tersebut Umar bin Khottob mengatakan dengan tegas : “ Demi Allah, engkau harus mempunyai bukti bahwa ada saksi lain yang mendengar dari Rasulullah SAW “. Ubay bin Ka’b yang memahami ketakutan Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan : “Demi Allah, sungguh tidak perlu bersaksi untukmu dalam masalah ini, kecuali yang paling kecil di antara kami”. Karena pada waktu itu Abu Said Al Khudry adalah yang terkecil, maka ia pun memberikan kesaksian kepada Umar. Dalam Muqaddimmah Ibnu Shalah disebutkan sikap sangat berhati-hatinya Umar bin Khottob ra. dalam menerima hadits, tapi ia tdk meragukan sahabat yg merawikannya melainkan berhati-hati terhadap hukum yang disampaikan oleh Nabi SAW. Sebagai contoh ia mengatakan hal tersebut kepada sahabat Abu Musa Al Asy’ari ra : .Z #  + 4 5 ' G Z 5 8F ' 4 ./ 8Y( )& E+X U =1A& ! :, “ Saya tidak menuduh dan meragukanmu, tetapi aku khawatir orang-orang akan mengada-adakan perkataan atas nama rasulullah SAW”. Abu Musa dan Aisyah ra.

55

Contoh yang lain, Abu Hurairah ra pernah menyatakan sebuah hadits : “ Sesungguhnya mayyit itu diazab karena tangisan keluarganya atasnya”. maka Ummul Mu'minin Aisyah ra mengkritik hadits tersebut tidak pada sanadnya, melainkan pada redaksinya. Dimulai dengan mendoakan abu Hurairah ra, ia berkata : Semoga Allah SWT merahmati abu Hurairah, aku tidak pernah mendengarnya dari Nabi SAW, tetapi aku mendengar Nabi SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT akan menambah azab bagi orang-orang kafir”. Lalu Aisyah ra berdalih bahwa hadits abu Hurairah tersebut bertentangan dg ayat al-Qur'an :” Dan sesungguhnya seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164) Ternyata hadits abu Hurairah tersebut diperkuat oleh riwayat yang lain dari Umar ra, Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Maka para muhaddits menyimpulkan bahwa dari segi sanad kedua hadits tersebut (hadits Aisyah maupun Abu Hurairah) shahih, maka ditafsirkan makna sebenarnya dari layu'adzdzabu artinya yata'allama (merasa sedih), artinya mayyit tersebut merasa sedih mengapa keluarganya tdk memahami hakikat kehidupan, sehingga mereka menangisinya. B. KERANGKA DALAM MEMAHAMI HADITS Pertama : Memahami as-Sunnah disesuaikan dengan al-Qur'an (Fahmu sunnah fi Dhau'il Qur'an ) Artinya memahami fungsi as-Sunnah yang merupakan penjelas (bayanu taudhih, tafsir) dan juga menambah apa yang tidak ada dalam al-Qur'an (bayanu tsabit), seperti al-Qur'an mengharamkan bangkai, tetapi hukum tersebut dihapuskan oleh as-Sunnah untuk bangkai ikan dalam hadits yang berbunyi : “ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya/ikan”. (HR Daruqutni) Kedua : Menggabungkan hadits-hadits dalam satu pengertian (Jam'ul ahadits fi maudhu'in wahid) Jika melihat hadits bertentangan maka digabungkan sehingga didapat satu pengertian yg benar. Seperti hadits isbalul izar (Kain yg melewati kedua mata kaki di neraka) yang bertentangan dengan hadits Abubakar ra yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan kain Abubakar melewati mata kakinya, karena ia tidak termasuk mereka yang sombong. Sehingga bisa didapatkan pengertian bahwa ternyata yang diancam masuk neraka dengan isbalnya adalah jika dilakukan karena

56

kesombongan, setelah digabung dg hadits khuyala' (orang2 yg masuk neraka karena melabuhkan kain karena sombong). Atau hadits lain yang menyatakan batalnya orang puasa yang berbekam, sementara hadits lainnya menyatakan tidak batal. Ternyata setelah digabungkan ditemukan bahwa dalam hadits pertama orang tersebut berbekam sambil mengghibbah dan berdusta sehingga batalnya karena hal tersebut dan bukan karena berbekamnya. Ketiga : Melihat hadits berdasarkan sebabnya (Fahmul hadits fi dhau'i asbab wal mulabisat) Seperti hadits Rasulullah SAW : “ kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian “ (HR Muslim). Hadits tersebut harus ditafsirkan berdasarkan sebabnya, yaitu Nabi SAW melewati sekelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk kurma lalu Nabi SAW mengucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah oleh orangorang tersebut sehingga tahun berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk kurma tersebut yang berakibat gagal panen. Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW : Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Artinya dalam masalah sarana dan teknologi teknis bukan masalah-masalah atau dasar-dasar yang telah ada hukumnya dalam syariat Islam, seperti politik, ekonomi, dsb. Keempat : Menghukumi hadits-hadits yang bertentangan (Fahmu at-Ta'arudh fil ahadits) Jika terdapat dua hadits yang seolah bertentangan secara makna, maka hendaknya dilakukan tiga upaya berikut : 1) Digabungkan (thariqatul jam'i) : Seperti dlm suatu hadits disebutkan Nabi SAW meminta dijadikan orang miskin, sementara banyak hadits-hadits lain Nabi SAW meminta kekayaan. Maka digabungkan bahwa yang dimaksud miskin dalam hadits pertama adalah sikap orang miskin yang tawadhu' (rendah hati dan tidak sombong). 2) Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap bertentangan), maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan, sehingga yang belakangan adalah menghapus hukum yang sebelumnya. Seperti hadits nikah Mut'ah (semacam kawin kontrak) yang banyak dipakai kaum Syi'ah, memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dalam sebuah peperangan tapi kemudian dihapus selama-lamanya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya

57

dan dampaknya. Atau hadits yg melarang ziarah kubur, yang kemudian dihapus sendiri oleh Nabi SAW. 3) Dipilih mana yg lbh kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka barulah dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya bisa juga keduanya shahih tapi yg satu lebih shahih dari yg lain, maka yg dipakai yg lebih shahih tersebut). Kelima : Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal ushul la lil wasa'il) Contohnya adalah sebagai berikut : 1) Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang menyebutkan bahwa Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah, dll. Ternyata ushul (konten asli) dari hadits tentang pakaian tersebut adalah menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya. 2) Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang secara makna pokoknya adalah berlatih menggunakan senjata dan bukan pada panahnya. Demikian pula berkuda, yang pokok mengendarai kendaraannya dan bukan kudanya. 3) Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan), ternyata yang pokok adalah metode shock terapy nya seperti dg akupunktur, refleksi, dsb. Kelima : Menegaskan apa yg ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu alfazh al hadits). Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang dilalahnya atau makna yang ditunjukkan adalah jika untuk diagungkan, dipuja, atau berupa benar-benar lukisan tiga dimensi (patung), karena ternyata gambar yg telah dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi SAW. (Dr.Daud Rasyid – Materi Madah 1427 dengan beberapa perubahan)

58

SUMBER DAN BAHAN

Madah Tarbiyah 1427 Taisyir Mustholahul Hadits – Dr. Mahmud Mustofa Thohan Mabahits fi Ulumil Hadits – Syaikh Manna’ul Qathan http://www.indonesiaoptimis.com http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/component/content/article/17-fikihkeseharian/1273-sholat-di-perjalanan http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/sejarah-singkat-penulisan-danpembukuan-hadits/ http://www.rasio.wordpress.com http://kangsaviking.wordpress.com/hadist-dhoif/ http://www.eramuslim.com/ustadz/hds/8111173131-tingkatan-dan-jenishadits.htm http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-shahih/ http://www.hidayatullah.com/kajian-a-ibrah/8937-kedudukan-as-sunah-dalamsyariat-islamhttp://albuny.multiply.com/journal/item/8/Mengerti_Hadist_Mutawatir

Hatta Syamsuddin, Lc www.indonesiaoptimis.com 081329078646 [email protected]

59