Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer - Journal

30 downloads 1530 Views 285KB Size Report
Isu nasionalisme dan etnisitas menjadi problematik di Eropa, menggantikan masalah militer ... menghasilkan peta Eropa kontemporer dengan kemerdekaan sejumlah ..... seperti pendidikan yang baik, dan perbaikan lembaga keuangan dan.
Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer Baiq Wardhani Dosen Program Magister Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga

ABSTRACT Nationalism and ethnicity are problematic issues replacing military in Europe today. In West Europe, issues regarding with human security, identity, and integration are primary problem rather than state sovereignty whic become key factor of the success or failure of Europe integration. West Europe faces weakening of nationalism which is caused by some factors such as immigration and the lost of state boundaries. On the other hand, East Europe faces the rise of ethnic nationalism which potentially changes political map in the whole of Europe. Strenghthening of nationalism in East Europe needs a way out soon. The complexity of this problem could not be ignored since it relates to geopolitical issue i.e. territory, state boundaries, and minority. Human insecurity in the West and East Europe as a consequence of nationalism and ethnicity will influence Europe stability in the future. Keywords: nationalism, ethnicity, identity, Europe. Isu nasionalisme dan etnisitas menjadi problematik di Eropa, menggantikan masalah militer yang selama beberapa dekade menjadi isu utama di kawasan ini. Di Eropa Barat, isu-isu yang terkait dengan keamanan manusia, identitas, dan integrasi menempati urutan penting menggantikan peliknya kedaulatan negara yang menjadi kunci utama kegagalan atau keberhasilan integrasi Eropa. Eropa Barat mengalami pelemahan nasionalisme yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti imigrasi dan memudarnya batas-batas negara. Sebaliknya, Eropa Timur mengalami kebangkitan nasionalisme etnis spektakuler yang berpotensi mengubah peta politik seluruh Eropa. Penguatan nasionalisme di Eropa Timur dan identitas nasional sebagai 'warisan' imperium Soviet dan Yugoslavia, seperti yang ditemui di Georgia, memerlukan jalan keluar segera. Kompleksitas masalah ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena berkaitan dengan masalah geopolitik. Ketidakamanan manusia di Eropa Barat dan Timur yang bersumber dari nasionalisme dan etnisitas akan menentukan stabilitas Eropa di masa datang. Kata-Kata Kunci: nasionalisme, etnisitas, identitas, Eropa.

217

Baiq Wardhani

Persoalan munculnya (kembali) nasionalisme dan etnisitas di Eropa secara garis besar disebabkan karena dua hal. Pertama, isu nasionalisme dan etnisitas di Eropa kontemporer tidak terlepas dari redifinisi Eropa akibat berubahnya geopolitik dan geoekonomi yang menjadi fondasi kuat terbentuknya Eropa Bersatu (European Union – EU – selanjutnya disebut Uni Eropa dalam tulisan ini) sebagai sebuah entitas supra-state, bahkan international state. Perubahan tersebut membawa implikasi yang kompleks bagi negara-negara anggotanya, salah satunya pada perubahan identitas „warganegara‟ Uni Eropa dan perlunya pembentukan civil society di Eropa. Masalah identitas semakin berkembang menjadi isu yang pelik dengan ide penambahan jumlah anggota yang mencakup wilayah Eropa Timur. Kondisi yang terjadi di Eropa berdampak pada masalah keamanan manusia (human security), sebuah isu non-tradisional di benua tersebut. Nasionalisme etnis telah menggeser isu tradisional, yaitu keamanan militer, yang mendominasi perpolitikan di Eropa. Nasionalisme dan etnisitas menjadi menarik karena berkaitan dengan masalah jati diri bangsa Eropa secara keseluruhan. Dua hal yang bertolak belakang dalam isu nasionalisme dan etnisitas di Eropa: terjadi pelemahan nasionalisme di Eropa Barat dan penguatan nasionalisme di Eropa Timur. Kedua, persaingan ideologi antara Barat dan Timur membawa dampak yang dramatis bagi perkembangan Eropa; Eropa tidak saja secara sederhana terbagi dalam dua ideologi yang bertolak belakang namun berkembang menjadi dua kultur dengan kekuatan ekonomi dan kondisi sosial yang berbeda sama sekali. Sebaliknya, berakhirnya Perang Dingin juga menyebabkan perubahan signifikan bagi benua tersebut. Eropa Timur mengalami perkembangan spektakuler yang belum pernah terjadi di masa lalu. Kemunduran Uni Soviet dan disintegrasi Yugoslavia menghasilkan peta Eropa kontemporer dengan kemerdekaan sejumlah negara baru di satu pihak, dan di lain pihak terdapat tuntutan-tuntutan pemisahan diri dari beberapa wilayah di Eropa Timur. Masalah nasionalisme etnisitas yang muncul di Eropa sebagai akibat berubahnya geopolitik dan geoekonomi Eropa yang bersamaan dengan munculnya negara-negara baru di belahan timur menjadi penanda bagaimanakah Eropa di masa depan. Eropa tidaklah memiliki identitas tunggal yang selama ini diasumsikan sebagai salah satu variabel penting terbentuknya Uni Eropa. Dengan demikian masalah identitas Eropa sangat menentukan masa depan Uni Eropa sebagai sebuah proyek supra-state. Sebaliknya, dinamika integrasi juga akan mempengaruhi identitas politik, ekonomi dan kultural „warganegara‟ Eropa. Transformasi diri sebagai warganegara Eropa „baru‟ mengharuskan mereka meredifinisi identitas masing-masing warganegara nasional. Berkaitan dengan masalah identitas, Eropa kontemporer secara potensial dapat menjadi sumber instabilitas baru bagi perkembangan 218

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer

politik internasional. Tulisan ini mencoba melihat secara diskriptif perkembangan nasionalisme dan etnisitas di Eropa kontemporer1. Benarkah terjadi penguatan nasionalisme di Eropa Timur dan sebaliknya, pelemahan nasionalisme di Eropa Barat? Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Timur Eropa yang bersatu dalam sebuah kondominium merupakan sebuah entitas politik, kultural dan ekonomi yang maha luas, yang menghasilkan keberagaman yang luar biasa. Kondominium Eropa menjadi lebih beragam dengan leburnya batas-batas virtual ideologis yang selama lebih dari setengah abad membagi Eropa secara dikotomis, yaitu Eropa Barat dan Eropa Timur. Uni Eropa secara ideal menghendaki pudarnya batas-batas psikologis yang termanifestasi dalam batas-batas negara dan bekas sekat-sekat ideologis yang selama ini memisahkan Barat dan Timur. Namun kondisi tersebut tentu tidak dengan sendirinya terjadi akibat keterpisahan yang lama antara dua Eropa. „Kemerdekaan‟ Eropa Timur dari imperium Uni Soviet telah melahirkan berbagai permasalahan baru, yang dampaknya sangat berpengaruh, baik bagi negara-negara di benua Eropa maupun bagi negara-negara lain. Undurnya Uni Soviet, di satu pihak merupakan kemenangan liberalisme namun menghasilkan kekacauan di pihak lain. Terbentuknya Uni Eropa dan bergabungnya sebagian besar negara ex-anggota imperium Uni Soviet bagi sebagian besar orang dianggap sebagai keberpihakan Eropa Timur pada liberalisme. Namum perluasan keanggotaan Uni Eropa hingga mencakup negara-negara „baru‟ mantan blok komunis justru menambah pelik permasalahan di dalam organisasi tersebut. Salah satu perkembangan yang menjadi isu penting yang menantukan masa depan Uni Eropa adalah masalah etnis dan nasionalisme di Eropa Timur. Jika pada masa komunis Eropa Timur menyandarkan keamanan negara pada Pakta Warsawa, saat ini mereka secara individual harus mencari sendiri selimut keamanannya. Tujuan utama yang ingin dicapai masyarakat pasca-komunis di Eropa Timur adalah pencapaian keamanan multidimensi yang dapat diperoleh melalui kerjasama dengan Eropa Barat. Demokrasi dan kesejahteraan ekonomi yang dicapai oleh Barat menjadi salah satu tolok ukur penting bagi keberhasilan Eropa Timur yang bangkit dari ketertinggalan dengan Eropa Barat. Hal ini merupakan jalan panjang yang harus ditempuh Eropa Timur setelah menyelesaiakn berbagai konflik internal warisan imperium lama (Popa 1999, 7).

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

219

Baiq Wardhani

Eropa Timur merupakan sebuah sub-kawasan yang dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Wilayah ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok berdasarkan letak geografis dan peta politiknya, yaitu Eropa Tengah (Polandia, Republik Ceko, Slovakia, dan Hungaria); Eropa Tenggara (Kroasia, Yugoslavia –Serbia dan Montenegro--, BosniaHerzegovina, Macedonia, Albania, Bulgaria, Romania; Baltik (Estonia, Latvia, Lithuania); Commonwealth of Independent States/CIS (semua mantan negara bagian Uni Soviet kecuali negara-negara Baltik), Republik Barat-CIS (Federasi Rusia, Belarus, Ukraina, Moldova), CISTranskaukasus (Georgia, Armenia, Azerbaijan), CIS-Asia Tengah (Kazakhstan, Turkmenistan, Uzbekhistan, Kyrgyzstan, Tajikistan) (Feischmidt, tt, http://lgi.osi.hu/publications/books/bibliography2/ announce20000301-2.html 19 Februari 2009) Sementara itu, Eropa Timur menurut klasifikasi Gowan (2002: 29) adalah sebagai berikut: Frontier Belt (Polandia, Republik Ceko, Slovakia, Slovenia dan Hungaria); Eropa Tenggara dan Balkan Barat (Rumania, Bulgaria, Albania, dan semua negara pecahan Yugoslavia, kecuali Slovenia, Macedonia, Bosnia, Yugoslavia, dan Kosovo); Baltic (semua negara Baltik dan Kaliningrad), CIS Barat (Rusia, Ukraina, Belarus, Moldova); Kaukasus (Armenia, Georgia, Azerbaijan). Menurut komposisi etnis, Eropa Timur terbagi dalam wilayah-wilayah yang relatif homogen seperti Albania, Hungaria dan Polandia; dan yang relatif heterogen, yaitu Bulgaria, Rumania, mantan Cekoslovakia dan mantan Yugoslavia. Negara-negara homogen cenderung sedikit memiliki masalah domestik berkaitan dengan etnis namun memiliki masalah dengan tetanggantetangganya, seperti Hungaria yang bermasalah dengan Romania dan Slovakia (Carter 1993, 241). Penguatan nasionalisme di Eropa Timur mengambil bentuk yang beragam. Pertama, kemunculan isu hak-hak kaum minoritas dan upaya internasionalisasinya. Isu-isu yang pada masa Perang Dingin tidak pernah menjadi perhatian, setelah runtuhnya Uni Soviet muncul sebagai isu yang mengedepan, bahkan dalam beberapa hal instrumental bagi politik luar negeri beberapa negara, salah satunya adalah isu tentang hak minoritas. Konflik etnis di Eropa yang terjadi di beberapa wilayah, terutama di Eropa Timur dan Balkan merupakan fenomena “internasionalisasi hak-hak minoritas” (1989: 83) yang secara nyata telah menyebabkan negara-negara seperti Rusia, Ukraina dan Lithuania, atas desakan masyarakat internasional, mengambil tindakan tertentu atas etnis minoritas mereka pada pihak-pihak eksternal. Misalnya, ketegangan antara Ukraina dengan Rusia mengenai wilayah Crimea. Ukraina mencari dukungan atas kepemilikan kembali Semenanjung Crimea di Laut Hitam yang selama bertahun-tahun dikuasai oleh Uni Soviet (dan Rusia) sebagai pelabuhan strategis dan kunci bagi penguasaan pelabuhan berair hangat, yang bagi Rusia merupakan kepentingan nasional primer yang harus dipertahankannya (Gee, US 220

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer

News, 2008. http://www.usnews.com/articles/news/world/2008/ 08/26/is-ukraines-crimea-the-next-flash-point-with-russia.html, 18 Februari 2009). Ukraina “memanfaatkan” minoritas Crimea untuk mendapatkan simpati internasional melalui berbagai cara seperti melalui perjanjian bilateral dengan Rusia, yang menghendaki Rusia meninggalkan wilayah Crimea selambat-lambatnya tahun 2017 (bbc.co.uk, 2005. http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/europe/ 4153800.stm, 18 Februari 2009). Ukraina juga gigih mmperjuangkan kembalinya Crimea melalui berbagai konferensi, seminar dan kegiatan lain yang diperjuangkan melalui organisasi non-pemerintah (Ibragimov 2002). Kedua, mengadakan pendekatan diri dengan Barat. Beberapa pemimpin Eropa Timur mengekspresikan nasionalismenya dengan lebih intensif mendekatkan diri pada Barat, seperti Ukraina dan Georgia yang menggabungkan diri dalam Uni Eropa dan NATO. Para pemimpinnya menyadari bahwa bergabung dengan Eropa Barat merupakan cara terbaik untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik, ekonomi dan keamanan. Juga, bergabung dengan Eropa Barat merupakan salah satu mekanisme praktis untuk dapat diterima oleh masyarakat internasional. Kegagalan mencapai demokrasi dapat membahayakan keamanan Eropa secara keseluruhan. Dengan kata lain, masalah keamanan Eropa sangat ditentukan oleh keberhasilan Eropa Timur mengintegrasikan diri dengan Eropa Barat. Uni Eropa yang dicita-citakan sulit diwujudkan jika para pemimpin Eropa Timur masih belum dapat menangani berbagai masalah etnis. Keberhasilan integrasi Eropa Timur sangat ditentukan keberhasilannya dalam menangani berbagai konflik etnis yang memperlemah energi bagi penguatan integrasi. Ketiga, banyaknya gerakan-gerakan pemisahan diri di wilayah-wilayah bekas kekuasan Uni Soviet sebagai ekspresi demokrasi. Salah satu bukti terjadinya penguatan nasionalisme etnis di Eropa Timur ditunjukkan dengan munculnya (kembali) kesadaran etnis di banyak wilayah yang pernah mengalami kekuasaan Uni Soviet. Bentuk lain dari ekspresi nasionalisme adalah tuntutan dan perjuangan melepaskan diri atas wilayah-wilayah yang pernah menjadi imperium Uni Soviet maupun Yugoslavia. Jika berbicara mengenai nasionalisme Eropa, pada dasarnya tidak terjadi perbedaan mendasar antara Eropa Barat dan Timur. Namun terjadi perkembangan yang menarik dari nasionalisme pasca komunisme, terutama di Balkan yang menemukan pemenuhan kebutuhannya melalui gerakan-gerakan pemisahan diri dan penggabungan kembali (secessionism dan irredentism) yang merupakan kombinasi paradoks nasionalisme (Popa 1999, 10). Hampir serupa dengan nasionalisme Balkan, berakhirnya kejayaan komunis di Eropa Timur bersamaan dengan munculnya nasionalisme dan gerakangerakan pemisahan diri di hampir semua negara di Eropa Timur, Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

221

Baiq Wardhani

menghasilkan proliferasi negara-negara baru. Kosovo merupakan salah satu wilayah Yugoslavia yang mengumumkan kemerdekaan pada tanggal 17 Februari 2008. Kemerdekaan Kosovo menjadi isu kontroversial di Eropa karena sebagian besar negara Uni Eropa (dan Amerika) mendukung tetapi deklarasi kemerdekaan tersebut ditolak oleh Serbia dan Rusia. Fakta ini merupakan cermin dari sisa-sisa Perang Dingin yang masih membagi Eropa dalam dua blok besar. Demikian pula, konflik etnis yang terjadi di beberapa wilayah bekas Yugoslavia disebabkan oleh tingginya prasangka etnis. Konflik Bonia, misalnya, disebabkan oleh keberhasilan Slobodan Milosevic memancing prasangka negatif antara kaum Bosnia dengan Croatia dan memobilisasi tentara yang menghasilkan pembasmian etnis yang tujuan akhirnya adalah menciptakan Serbia Raya (Vujacic 2003. www.wilsoncenter.org/topics/ pubs/MR274Vujacic.doc, 24 Februari 2009) . Terdapat bukti nyata bahwa destabilitas Eropa Timur sebagai akibat keruntuhan Uni Soviet dan konflik etnis di Yugoslavia merupakan push factor bagi mengalirnya pengungsi dan imigran legal maupun ilegal ke Eropa Barat. Munculnya nasionalisme etnis di bekas dua negara komunis tersebut telah menyebabkan destabilitas di wilayah lain. Sejak perang di Yugoslavia meletus pada tahun 1991, sebagian besar migrasi terkonsentrasi dari Yugoslavia. Wilayah ini menjadi hotspots bagi migrasi aktif di Eropa Timur. Mereka berpindah ke beberapa negara, terutama ke Austria, Inggris, Perancis, Jerman, Swedia dan Swiss. Sementara itu konflik di Bosnia yang melibatkan kaum Muslim Bosnia, Serbia dan Kroasia adalah konflik yang paling fatal, yang tidak saja menyebabkan imigrasi (termasuk pengungsi legal dan ilegal dan pencari suaka), tetapi juga displaced person yang masalah ini menjadi perhatian utama hampir semua negara Eropa. Selain hotpots di Yugoslavia, terdapat inflammable spots seperti Kosovo dan Macedonia dan Bulgaria (yang memiliki masalah dengan etnis Turki) (Carter 1993). Keempat, reaksi atas globalisasi yang menghasilkan gerakan-gerakan beraliran kanan. Tidak saja gerakan-gerakan minoritas dan tuntutan pemisahan diri, imigrasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebangkitan nasionalisme di Eropa Timur. Globalisasi dan pasar bebas menjadi fenomena penting bagi menguatnya nasionalisme di Eropa Timur. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya organisasi anti-imigrasi yang berdiri di banyak negara Eropa Timur. Di antaranya adalah: No 1

Nama Negara Belarus

2

Bosnia

222

Nama Partai/Organisasi 1. Liberal'noDemokratičeskaja Partija (LDP) LiberalDemocratic Party Srpska Demokratska

Sifat nasionalis

Jumlah Pemilih dalam Pemilu n.a

Nasionalis

7,7% dlm pemilu

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer

3

and Hercegovi na Bulgaria

4

Croatia

5

Rep. Ceko

6

Estonia

7

Hungary

8

Latvia

Stranka (Serbian Democratic Party) Nacionalen Săjuz Ataka (ATAKA) National Union Attack 1.Hrvatska Stranka Prava (HSP) Croatian Right's Party 2. Hrvatski Demokratski Sabor Slavonije i Baranje (Croatian Democratic Assembly of Slavonia and Baranja) 1. Natodni Strana (National Party) 2. Národní Odpor 1.Eesti Iseseisvuspartei (Estonian Independence Party) 2.Estonian Nationalist Movement 1. Magyar Igazság és Élet Pártja (Hungarian Party for Justice and Life) 2. Hatvannegy Varmegye Ifjusagi Mozgalom 1. Latvian National Democratic Party 2. "Visu Latvijai!" ("All for Latvia!") 3. Tēvzemei un Brīvībai/LNNK (TB/LNNK) Fatherland and Freedom 4. NSS (National Power Unity)

2006 Nasionalis

8,1% dlm pemilu 2005

Nasionalis

3,4% dlm pemilu 2007 1,8% dlm pemilu 2007

Nasionalis

Partai antiimigran Organis. nasionalis

n.a

Partai nasionalis

n.a

Organis.nasi onalis

Antiimigran

6,9 % dlm pemilu 2006 0,12% dlm pemilu 2006 Organis.nasionalis

5. Klubs 415 6. Pro-Russian

Latvian Party Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

223

Baiq Wardhani 9

Lithuania

10

Macedoni a Monteneg ro

11

12

Polandia

Tvarka ir Teisingumas (Order and Justice) IMRO patriotic macedonian party Srpska Narodna Stranka (SNS) Serbian People's Party 1. Samoobrona Rzeczpospolitej Polskiej (SRP) (Self-Defense of the Republic of Poland) 2. Liga Polskich Rodzin (League of Polish Families)

Nasionalis konservatif

2,4% dlm pemilu 2004

Nasionalis

14,6% dlm pemilu 2006

Antiimigran (?)

1,5% dlm pemilu 2007 1,3% dlm pemilu 2007 0,6% dlm pemilu regional 2006

Nasionalis Nasionalis

3. Narodowe Odrodzenie Polski (NOP) National 13

Rusia

4. Rebirth of Poland 1. Edinaja Rossija (ER) United Russia

Organis. nasionalis

64,3 % dlm pemilu 2007 8,1% dlm pemilu 2007

anti-imigran nasonalis

n.a

Nasionalis

11,7% dlm pemilu 2006

2. Liberal'noDemokratičeskaja Partija Rossii (LDPR) Liberal-Democratic Party of Russia 3. Movement Against Illegal Immigration (DPNI) 14

Serbia

15

Slovakia

224

1. Srpska Radikalna Stranka (Serbian Radical Party) 2. Socijalistička Partija Srbije (SPS) Socialist Party of Serbia 1. Slovenská Národná Strana (Slovak National Party) 2. L'udová Strana Hnuti za Demockratické Slovensko (People's

Antiimigran

8,8% dlm pemilu 2006

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer Party - Movement for a Democratic Slovakia) 16 Slovenia Slovenska Nacionalna Organis. 5,4% dlm pemilu Stranka (SNS) Nasionalis 2008 Slovenian National Party Sumber: Anti-immigration parties/organizations-Nationalis parties. http://www.stormfront.org/forum/showthread.php?t=531225 23 Februari 2009

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Barat Terdapat beberapa fenomena menarik yang dapat diamati dari perkembangan nasionalisme di Eropa Barat. Pertama, ada beberapa negara yang sangat antusias atas keanggotaan mereka di Uni Eropa. Pada umumnya adalah wilayah-wilayah peripheral, Irlandia, Spanyol, Portugal dan Yunani menjadikan Uni Eropa sebagai sandaran bagi masa depan demokrasi mereka. Kedua, hampir serupa dengan kelompok pertama namun berbeda dalam hal nasionalisme, negara-negara seperti Jerman dan Italia ingin meleburkan identitas nasional mereka dalam Uni Eropa. Jerman menjadikan Uni Eropa sebagai alat pemersatu untuk mengatasi identitas nasionalnya yang terbelah (antara Jerman Barat dan Timur). Ketiga, negara seperti Perancis yang memiliki tradisi kenegaraan yang kuat dan cenderung hegemonik dengan jargon La France par l’Europe, ingin tetap mempertahankan identitas nasional yang kuat di tengah-tengah aspirasi supra nasional. Dalam beberapa hal Inggris juga memiliki kecenderungan serupa. Inggris masih terbelenggu dengan image superioritasnya dan percaya bahwa Inggris masih “ruling the waves” dengan pernyataan bahwa “England is the biggest, most colourful and most soluble country in the world", sehingga “we don't have to listen to EU bureaucrats telling us our olives are too oval!” (Steel 2004). Sindrom ini tentu bukanlah kondisi psikologis yang kondusif bagi semangat egalitarianisme bagi Uni Eropa. Bagian ini secara lebih khusus membahas mengenai nasionalisme yang berkaitan dengan imigrasi. Gejala yang dapat diamati adalah berkurangnya „sense of nasionalism‟ di beberapa negara Eropa Barat disebabkan karena sifat kosmopolitanisme yang cukup tinggi. Eropa Barat berkembang menjadi sebuah komunitas multikultural dengan masiv-nya perpindahan manusia ke wilayah tersebut. Kebijakan imigrasi telah membuka kesempatan bagi relatif menurunnya rasa nasionalisme. Kebijakan tersebut mengharuskan redifinisi tentang identitas diri yang melekat di setiap individu: apa dan siapakah mereka dalam konteks keEropa-an dan bagaimana mereka memposisikan diri, apakah sebagai warga bangsa asalnya ataukah warga Eropa. Bagi imigran yang telah Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

225

Baiq Wardhani

lama bekerja dan menetap di Eropa mengalami dualisme identitas dengan menyebut diri mereka seperti orang Afrika-Eropa, Arab-Eropa, dan Asia-Eropa (McDonough 1993, 146 dalam Laffan 1985, 88). Salah satu gejala abad 21 adalah globalisasi yang menyebabkan meningkatnya arus imigrasi. Kuatnya arus imigrasi di Eropa Barat merupakan salah satu bukti terbukanya wilayah ini dari dunia luar, sekaligus menjadi tumpuan harapan bagi kesejahteraan banyak manusia. Eropa dikenal sebagai wilayah yang dinamis, yang ditunjukkan dengan derasnya aliran uang, barang, jasa dan informasi dari dan ke Eropa. Hal ini merupakan salah satu indikator tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi di Eropa (Barat) sehingga merupakan daya tarik bagi para imigran dari berbagai negara. Sebaliknya, bagi beberapa negara Eropa kedatangan imigran merupakan ancaman bagi kedaulatan nasional. Tidak seperti perpindahan uang atau barang yang semakin tidak teregulasi dalam era perdagangan bebas, perpindahan manusia dari satu negara ke negara lain memerlukan pengaturan yang lebih ketat daripada sebelumnya. Pengaturan masuknya barang dan uang dalam era globalisasi berbanding terbalik dengan pengaturan perpindahan manusia lintas batas. Menurut Hatten & Williamson (2005, 396 dalam Sigurdson 2006, np): Borders are protected and tightly controlled, and immigration policies are everywhere the focus of intense concern and often of heated political debate. While there are numerous international trade agreements, negotiated between governments in order to facilitate cross-border trade and commerce, there are almost no similar agreements for opening up the flow of migrants across borders.

Melihat perkembangan tersebut banyak di antara negara-negara Eropa mengeluarkan kebijakan yang represif kepada para imigran dan memperlakukan mereka sebagai kelompok marjinal, dan bukan sebaliknya, membangun kebijakan integrasi yang efektif. (http://www.taurillon.org/Immigration-and-identity-in-Europe. Akses 23/02/2009). Menurut penelitian Hatten dan Williamson, penolakan atas masuknya imigran, terutama ke negara-negara maju disebabkan oleh faktor sosio-kultural, bukan semata-mata oleh faktor ekonomi seperti yang diperkirakan selama ini. Memang benar bahwa terdapat kekhawatiran terjadinya gangguan terhadap perekonomian negaranegara makmur penerima imigran, namun faktor sosio-kultural lebih kuat berpengaruh terhadap penolakan imigran. Hatten dan Williamson berpendapat: Many people in the receiving countries are concerned that immigrants will take jobs away from nationals or become a drain on the receiving country‟s welfare system. But most opponents of 226

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer immigration in the wealthy North are concerned about the societal costs of accepting culturally different residents. Opposition to immigration can be strong even when there is no actual threat to the economy of receiving nations–indeed, it can be manifest even when it is clear that the economic well-being of receiving nations will be hurt without greater numbers of immigrants. I maintain that the main factor in determining the immigration question in the North is sociocultural not economic. Studies demonstarte that prejudice against those of a different race or culture is the single most important influence in determining attitudes towards immigrants... (Hatten & Williamson 2005, 359 dalam Sigurdson 2006, np)

Berdasar pada logika tersebut, identitas kolektif yang terkandung dalam ideologi nasionalime adalah faktor yang menyebabkan terdapatnya unsur „hostile‟ terhadap perbedaan kultural dari kelompok yang berbeda di dalam sebuah nation. Semakin besar perbedaan kultural, etnis, bahasa dan agama, semakin sulit dicapai identitas nasional dan kohesi. Menurut kaum konservatif, kesatuan bangsa hanya dapat diperoleh dari rasa kepemilikan yang tinggi terhadap bangsanya, yang rasa kepemilikan itu didasarkan pada beberapa karakteristik seperti etnisitas, agama dan nilai yang diterima bersama. Dengan demikian anggota sebuah nation dapat mengidentifikasikan identitas kolektif dan membedakan antara ‘we’, ‘us’ dan ‘them’. Berbeda dengan pendekatan neofungsionalis yang lebih menekankan pada dimensi institusi dan instrumental, beberapa pakar seperti Deutsch dan Wallace dan pakar post-strukturalis lainnya lebih tertarik untuk mengamatinya dari dimensi afektif tentang perlunya dibangun „sense of community‟ sebuah integrasi regional yang akan menghasilkan identitas bersama (Laffan 2002, 83). Untuk mencapai „sense of community‟ Eropa memerlukan identitas kolektif yang memiliki elemen-elemen, yang menurut Anthony Smith (1991, 14) terdiri dari wilayah atau tanah air bersama (a historic territory or homeland), mitos bersama dan kenangan historis (common myths and historical memories), kultur politik massa bersama (a common mass political culture), hak dan kewajiban hukum bersama bagi seluruh anggota (common legal rights and duties for all members), dan ekonomi bersama dengan mobilitas territorial bagi anggotanya (a common economy with territorial mobility for members). Sementara itu kaum imigran, sekali pun mereka sudah merasa menjadi bagian komunitas tempat mereka tinggal dan menglami proses asimilasi, tetaplah dianggap sebagai „outsiders‟, kelompok „them‟, bukan bagian dari identitas kolektif/nasional. Sekali pun mereka sudah mengalami proses „nasionalisasi‟, perbedaan yang dibawa oleh imigran tetaplah menjadi stigma yang menyulitkan Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

227

Baiq Wardhani

mereka diterima sebagai bagian kelompok „we‟. Sulitnya para imigran menjadi bagian dari kelompok „we‟, dan hal ini juga diyakini oleh para penganut nasionalis liberal: remains more or less antipathetic to strong forms of cultural diversity. Since she cherishes and feels at ease only in a homogenous environment, the nationalist is profoundly disoriented by difference, which she finds threatening, and lacks the psychological resources to respond positively to (Bhikhu Parekh 1999, 137-138).

Persoalan ras dan agama tetap menjadi isu penting dalam integrasi Eropa. Hal ini pulalah yang dapat menjelaskan salah satu kendala sulitnya Turki bergabung dalam Uni Eropa. Disamping kendala struktural seperti lambatnya reformasi, belum tercapainya perbaikan rekor HAM dan hak milik intelektual, Turki merupakan satu-satunya negara calon anggota Uni Eropa yang berpenduduk sekitar 70% muslim. Kombinasi antara belum terpenuhinya standar struktural yang disyaratkan bagi keanggotaan Uni Eropa dan faktor primordial menjadi penghalang bagi Turki untuk segera bergabung dalam organisasi tersebut (Villelabeitia 2008). Sama halnya seperti yang terjadi di Eropa Timur, salah satu fenomena yang menarik bahwa semenjak resminya Uni Eropa, partai maupun organisasi anti-imigrasi yang dibentuk oleh masyarakat di banyak negara anggota Uni Eropa semakin meningkat, bervariasi dari yang beraliran moderat sampai radikal. Beberapa di antaranya dapat dilihat dalam tabel berikut: No 1

2

228

Nama Negara Austria

Belgia

Nama Partai/Organisasi 1. Freiheitliche Partei Österreichs (FPÖ) (Freedom Party of Austria) 2. Bündnis Zukunft Österreich (BZÖ) (Alliance for the Future of Austria) 1. Vlaams Blok (Flemish Bloc) 2. Vlaams Belang (Flemish Interest) 3. Front National (National Front) 4. Groen Rechts

Sifat anti-imigrasi

anti-imigrasi

anti-imigrasi nasionalis anti-migrasi nasionalis organis nasionalis organis

Jumlah pemilih dalam Pemilu 17, 5 % dlm pemilu 2008 10,7 % dalam pemilu 2008

n.a 24,2% dlm pemilu 2004 4, 7% dlm pemilu 2007 di Brussel

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer

3

Denmark

4

Finlandia

5

6

7

Perancis

Jerman

Yunani

5. Mouvement Nation 6. FNB Pour la Securite 1. Dansk Folkeparti (Danish People's Party) 1. Perussuomalaiset (True Finns) 2. Suomen Sisu 3. Assosiation of Finnish Culture and Identity 4. Bluewhites of the Finnish People 1. Front National ( National Front) 2. Front National de la Jeunesse (National Front Youth) 3. Front National de la Jeunesse (National Front Youth) 4. Les Identitaires 5. Terre et Peuple 6. ADSAV 1. Nationaldemokrat ische Partei Deutschlands (Nationaldemokratis che Partei Deutschlands) 2. Pro-Köln 3. Deutsche Volksunion 4. Deutsche Liga für Volk und Heimat (German League for Folk and Homeland) 5. Die Republikaner 1. Hellenic Front 2. Laikos Orthodoxos Sunagermos (Popular Orthodox Rally)

nasionalis organis nasionalis Anti-imigrasi, moderat

13,8 dlm pemilu 2007

Anti-imigrasi Organis. nasionalis Organis. Kebudayaan nasional

4,1 % dlm pemilu 2007

Partai nasionalis Nasionalis Organis anti-imigrasi

n. a.

4,3 % dlm pemilu 2007

Organis. nasionalis Organis. nasionalis Organis. nasionalis Organis. nasionalis, separatis Anti-imigrasi Nasionaisme moderat Partai antiimigrasi Organis. antiimigrasi

n.a n.a n.a n.a

Anti-imigrasi

Anti-imigrasi Partai nasionalis

n.a 3,8% dlm pemilu 2007

Organis. nasionalis

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

229

Baiq Wardhani

8

Irlandia

9

Italia

10

Belanda

11

Inggris

12

Spanyol

13

Swedia

3. Chrissi Avghi (Golden Dawn) 1. Immigration Control Platform 1. Alleanza Nazionale (AN) National Alliance 2. Lega Nord (LN) League North 3. Fiamma Tricolore 4. La Destra 5. Fronte Sociale Nazionale 6. Forza Nuova 7. Destra Nazionale 1. Partij voor de Vrijheid (Freedom Party) 2. Nederlandse Volks Unie 3. NVB 4. Dietse Kameraden 1. British National Party (BNP), BNP Youth, BNP Scotland, BNP Newspaper, BNP Magazine 2. The UK National Front 3. England First Party 1. España 2000 2. Alianza Nacional 3. Democracia Nacional 4. Fuerza Nueva (New Force) 5. Plataforma per Catalunya 1. Sverigedemokraterna ( Swedish Democrats) 2. Nationaldemokrat erna (National Democrats)

230

Organis. Antiimigrasi Partai antiimigrasi Partai antiimigrasi Partai antiimigrasi Nasionalis Partai antiimigrasi Gerakan nasionalis Organis. nasionalis Anti-imigran Organis. Nasionalis Organis. nasionalis

n.a 8,3 % dlm pemilu 2008 2, 4% bersama Fiamma Tricolore dlm pemilu 2008 n.a

5,9% dalam pemilu 2006

Anti-imigran Organis.nasio nalis Organis. nasionalis

Anti-imigrasi Anti-imigrasi Anti-imigrasi Anti-imigrasi Anti-imigrasi

n.a n.a n.a n.a n.a

Anti-imigrasi

4% di tingkat nasional, 11 % di regional, tahun ? n.a

Anti-imigrasi Gerakan nasional Gerakan nasional

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer 3. Svenska Motståndrörelse n (Swedish Resistance Movement) 4. Nationell Ungdom (National Youth) 14 Swiss 1. Schweizerische Partai 29% dlm pemilu Volkspartei (SVP) koinservatif 2007 Swiss People's Party 2. Schweizer Partai 0,59% dlm pemilu Demokraten (Swiss nasionalis 2007 Democrats) Organis. Anti3. National imigran Orientierter Schweizer Sumber: Anti-immigration parties/organizations-Nationalis parties. http://www.stormfront.org/forum/showthread.php?t=531225 23 Februari 2009).

Sikap anti imigrasi di Eropa Barat meningkat tajam, terutama di Italia, Perancis dan Inggris, yang menghendaki diberlakukannya kebijakan imigrasi yang lebih ketat. Data yang disajikan oleh Pew Global Attitude Survey tahun 2007 menunjukkan bahwa rakyat Italia yang menghendaki dibelakukannya kebijakan tersebut mencapai 87%, Perancis 68% dan Inggris 66% (Ottaviano dan Peri, 2008, http://www.voxeu.org/index.php?q=node/1061. Akses 24/02/2009). Kebijakan untuk mengeluarkan Schengen Agreements dan Dublin Convention merupakan bukti semakin ketatnya kebijakan imigrasi Eropa Barat, sekaligus merupakan upaya sekuritisasi dan politisasi imigrasi. Sejak tahun 1980-an beberapa kelompok imigran, pencari suaka dan pengungsi dari negara-negara non-anggota Uni Eropa dikategorikan sebagai salah satu faktor destabilisasi Eropa (Huysmans 2000, 751). Menguatnya kembali kelompok-kelompok fascist dan NeoNazist kalangan masyarakat Eropa Barat menunjukkan bahwa penguatan nasionalisme sangat nampak di wilayah tersebut (Geddes 1995, 200). Masuknya manusia dalam jumlah besar dapat menimbulkan masalah identitas kolektif dan identifikasi diri secara nasional warga negaranya. Hal inilah yang selalu menjadi masalah bagi para nasionalis di banyak negara Eropa Barat. Melihat kenyataan banyaknya partai dan organisasi anti-imigrasi yang muncul di Eropa Barat maupun Eropa Timur, maka asumsi Hans Kohn (1955 dalam Sigurdson 2006, np)“the one (Western) is more liberal and inclusive, since its foundation is political or civicterritorial rather; the other (Eastern) is more illiberal and exclusive” perlu ditinjau kembali. Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

231

Baiq Wardhani

Bergabungnya Eropa Timur dalam Uni Eropa telah meresahkan beberapa negara seperti Italia, Jerman, Perancis dan Inggris. Salah satu hal yang dikhawatirkan adalah membanjirnya imigran dari Eropa Timur ke Barat karena motif ekonomi dan politik. Perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi mengkhawatirkan beberapa negara seperti Yunani, Portugal. Spanyol, Italia, yang secara tradisional bukan merupakan daerah tujuan imigran (Geddes 1995, 201). Mereka mengkhawatirkan bahwa mengalirnya imigran dari Timur ke Barat akan menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran dan erosi kesejahteraan di Barat dan menganggu sistem welfare state. Sementara itu, di Eropa Timur, rezim-rezim represif yang tidak memberi kesempatan berkekspresi bagi rakyatnya dan ketidakpastian situasi politik domestik menjadi salah satu alasan yang memperkuat kekhawatiran tersebut. Menurut Kraus dan Schwager, ketakutan tersebut berlebihan karena masuknya masuknya Eropa Timur ke Uni Eropa tidak akan menyebabkan arus masiv imigrasi dari Timur ke Barat. Kecenderungan yang terjadi di Eropa Timur adalah, walaupun secara teknologi relatif terbelakang dibandingkan dengan Eropa Barat, Eropa Timur memiliki social capability yang cukup tinggi. Faktor ini memudahkan Eropa Timur mengejar ketertinggalannya terhadap Barat. Jika Eropa Timur bergabung dengan Barat maka hal tersebut akan mempercepat kemajuan Eropa Timur. Berdasar fakta ini maka keinginan rakyat Timur bermigrasi ke Barat berkurang, bahkan mungkin meninggalkan keinginan tersebut. Kraus dan Schwager berpendapat, “…[n]arrowing income gaps to western European economies can therefore be expected, and anticipated convergence will decrease future income advantages and discourage decisions to leave”. Social capability yang semakin tinggi di Timur, seperti pendidikan yang baik, dan perbaikan lembaga keuangan dan system sosial memberi harapan yang baik bagi Eropa Timur untuk mensejajarkan diri dengan Barat. Selain itu kebijakan imigrasi Barat yang terbuka bagi Timur merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat Eropa Timur tidak perlu terlalu terburu-buru untuk memutuskan bermigrasi ke Barat (Kraus dan Schwager 2003, 168-169). Sebaliknya, jika Barat memberlakukan kebijakan imigrasi yang terlalu ketat, yang bertujuan untuk melindungi para pekerjannya dari persaingan dengan orang Eropa Timur, “may well end up hurting the Western European economies as well as their workers” (Ottaviano dan Peri 2008) dan kemungkinan datangnya lebih banyak lagi imigran gelap seperti yang selama ini terjadi di beberapa negara Eropa Barat. Lebih lanjut, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ottaviano dan Peri terhadap pekerja Jerman menunjukkan bahwa imigrasi tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan mereka: “…the effect of immigration on employment and wages of West Germans in the period 1987-2001, we

232

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer

find that, while scarcely affecting the wages and employment levels of German nationals, immigrants competed mainly among themselves”. Sebagai organisasi yang heterogen, Uni Eropa telah mempersenjati diri dalam hal jaminan dan perlindungan kebebasan kultural dan hak-hak minoritas. Pada tahun 1993 para Kepala Negara dan Pemerintahan Council of Europe mengadopsi produk hukum untuk melindungi kaum minoritas nasional untuk masing-masing negara. Deklarasi yang ditandatangai di Wina (dikenal dengan Deklarasi Wina) dihasilkan dua perjanjian, yaitu Konvensi bagi Perlindungan para minoritas (yang diakui) dan Protocol European Convention on Human Rights. Tujuan utama produk hukum ini adalah memberi jalan keluar atas ketegangan etnis di Eropa Tengah dan Timur (Keller 1999, 1). Bahkan sebelum terbentuk Uni Eropa, beberapa regulasi telah ditetapkan seperti European Convention on Human Rights and Fundamental Freedom yang ditandatangani pada 4 November 1950. Konvensi ini menjamin hak-hak dasar setiap ras di Eropa sekaligus aturan hukum untuk memerangi rasisme dan xenophobia (Geddes 1999, 199). Kesimpulan Terjadi penguatan nasionalisme dan etnisitas tidak saja di Eropa Timur seperti yang diasumsikan selama ini, namun juga di Eropa Barat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya organisasi dan gerakan anti-imigrasi dan kelompok beraliran kanan yang berkembang terutama sejak tahun 1990-an menjelang Perjanjian Maastricht ditandatangani. Sebuah kontradiksi besar terjadi, di satu pihak Eropa bermaksud menghilangkan batas geografis dalam bingkai supra-nasionalisme namun di pihak lain sifat xenophobic meningkat. Penguatan sense keEropa-an memang dapat terjadi dengan penolakan masuknya imigran, tetapi hal ini bukanlah keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan kelangsungannya karena berbahaya dan kontra-produktif bagi cita-cita terbentuknya nation-state Eropa. Kebijakan imigrasi Eropa yang efektif dapat merupakan langkah awal terbentuknya sebuah nation-state Eropa. Banyaknya perbedaan yang terdapat antara Eropa Barat dan Eropa Timur serta bergabungnya mereka kembali ke dalam satu Eropa akan membawa banyak perubahan pada Eropa di masa depan. Eropa tidak saja ditentukan oleh Eropa sendiri, melainkan aktor-aktor eksternal yang berkepentingan. Perluasan keanggotaan NATO bagi beberapa negara Eropa Timur membawa konsekuensi terseretnya Eropa Timur dalam percaturan global AS. Keberhasilan Uni Eropa menjadi institusi supra nasional sangat ditentukan oleh dinamika negara-negara

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

233

Baiq Wardhani

anggotanya. Eropa bisa menjadi faktor destabilitas baru jika masalah „internal‟ belum dapat dikelola dengan baik. Dengan berbagai isu nasionalisme dan etnisitas, mampukah Eropa mewujudkan cita-citanya sebagaimana yang tertulis dalam Amsterdam Treaty bahwa, “the Union‟s objective is to provide citizens with a high level of safety within an area of freedom, security and justice by developing common action among the Member States in the field of police, judicial co-operation and criminal matters, and by preventing and combating racism and xenophobia” (Lahav dan Messina, 2005). Posisi imigran akan menjadi semakin penting dalam Uni Eropa, namun organisasi ini tidak memiliki kapasitas yang cukup bagi diterapkannya prinsip-prinsip yang melindungi kaum imigran. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya supremasi hukum setiap negara anggota Uni Eropa, sehingga tidak menyisakan kewenangan yang cukup bagi organisasi supra nasional mereka untuk menegakkan prinsip-prinsip bersama tersebut.

Daftar Pustaka Buku Parekh, Bhikhu, 1999. 'The Incoherence of Nationalism', in R. Beiner (ed.), Theorizing Nationalism. Albany, SUNY Press. Peter, Gowan, 2002. The EU and Eastern Europe: Diversity without Unity? Dalam Farrell, Mary, Fella, Stefano dan Newman, Michael, (eds.), European Integration in the 21st Century: Unity in Diversity? London, SAGE Publication. Popa, Oana, 1999. Ethnic Nationalism and Regional Security in Souhteast Europe. A Multidimensional Perspective. NATO Individual Fellowship, March 1999. Saideman, Stephen M., The Power of the Small: The Impact of Ethnic Minorities on Foreign Policy. SAIS Review, vol. XXII, No. 2 (Summer-Fall 2002), pp. 93-105. Smith Anthony, 1991. National Identity. Harmondsworth, Penguin.

234

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

Nasionalisme dan Etnisitas di Eropa Kontemporer

Artikel Jurnal Carter, W. F., 1993. Ethnicity as a Cause of Migration in Eastern Europe. GeoJournal, 30 (3): 241-248. Geddes, Andrew, 1995. Immigrant and Ethnic Minorities and the EU's 'Democratic Deficit'. Journal of Common Market Studies, 33 (2): 197-217. Huysmans, Jef. 2000. The European Union and the Securitization of Migration. Journal of Common Market Studies, 38 (5): 751-777. Keller, Perry, 1998. Re-Thinking Ethnic and Cultural Rights in Europe. Oxford Journal of Legal Studies, 18 (1): 29-59. Kraus, Margit dan Schwager, Robert, 2003. EU Enlargement and Immigration. Journal of Common Market Studies, 42 (2): 165-181. Laffan, Brigid, 2002. The Politics of Identity and Political Order in Europe. Journal of Common Market Studies, 34 (1): 81-102. Lahav, Gallya dan Messina, Anthony M., 2005. The Limits of a European Immigration Policy: Elite Opinions and Agendas within the European Parliament. Journal of Common Market Studies, 43 (4): 851-875. Artikel Online http://www.stormfront.org/forum/showthread.php?t=531225, Februari 2009.

23

Anti-immigration parties/organizations-Nationalis parties. bbc.co.uk, 2005. Russian fleet in Crimean doldrums. [internet] http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/europe/4153800.stm, 18 Februari 2009.

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011

235

Baiq Wardhani

Gee, Alastair, 2008. Is Ukraine's Crimea the Next Flash Point With Russia? [internet] US News, 26/08/2008. http://www.usnews.com/ articles/news/world/2008/08/26/is-ukraines-crimea-the-next-flashpoint-with-russia.html, 18 Februari 2009. Ibragimov, Ayder, 2002. Center of Information and Documentation of Crimean Tatars. [internet] http://www.cidct.org.ua/en/about/, 18 Februari 2009. Feischmidt, Margit. Tt. Bibliography on Ethnic Relations in Eastern Europe. [internet] http://lgi.osi.hu/publications/books/ bibliography2/announce 20000301-2.html, 18 Februari 2009. http://www.taurillon.org/Immigration-and-identity-in-Europe. Immigration and Identity in Europe, 23 Februari 2009. Ottaviano, Gianmarco I. P dan Peri, Giovani, 2008. Immigration in Western Europe. [internet] http://www.voxeu.org/index. php?q=node/1061, 24 Februari 2009. Sigurdson, Richard, 2006. Nationalism and Immigration Policy: North and South. Makalah yang dipersiapkan untuk “The North-South Divide and International Studies”, tanggal 22-26 Maret 2006, 23 Februari 2009. Steel, Mark. 2004. Britons still believe in their natural superiority. [internet] http://www.independent.co.uk/opinion/commentators/ mark-steel/britons-still-believe-in-their-natural-superiority732435.html, 25 Februari 2009. Villelabeitia, Ibon. 2008. Is Turkey's EU membership dream vanishing? [internet] http://www.reuters.com/article/reutersEdge/idUSTRE4 AA3 6L20081111, 24 Februari 2009. Vujacic, Veljko, 2003. One Hypothesis on the Different Outcomes of Soviet and Yugoslav State Collapse. www.wilsoncenter.org/topics/ pubs/MR274 Vujacic.doc, 24 Februari 2009.

236

Global & Strategis, Edisi Khusus, Desember 2011