Naskah Akademik RUU Intelijen Negara - WordPress.com

146 downloads 147 Views 495KB Size Report
Aktivitas intelijen pada saat-saat menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan ... dilakukan termasuk pembinaan penyelenggara intelijen negara. Secara.
19 November 2010

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejarah perjuangan bangsa Indonesia membuktikan bahwa dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya, bangsa Indonesia senantiasa mendasarkan diri pada semangat perjuangan seluruh rakyat yang didorong oleh perasaan senasib dan sepenanggungan serta sikap rela berkorban untuk tanah air. Perkembangan serta pasang surutnya kehidupan berbangsa dan bernegara sejak awal revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia terhadap berbagai rongrongan baik dari dalam maupun dari luar negeri, menumbuhkan kesadaran akan perlunya intelijen yang tangguh. Aktivitas intelijen pada saat-saat menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan

Indonesia

maupun

perkembangannya

selama

perang

kemerdekaan menunjukkan bahwa memang telah terbentuk badan-badan intelijen. Badan-badan intelijen tersebut terus bertumbuh sejalan dengan kebutuhan maupun perkembangan situasi dan kondisi negara yang relatif masih muda di masa itu. Badan-badan intelijen dimaksud berjuang tanpa pamrih dan tidak pernah surut dalam pengabdiannya untuk membela kepentingan maupun keselamatan bangsa dan negara, saat menghadapi berbagai rongrongan. Kemudian penyempurnaan dan penyesuaian organisasi intelijen terus dilakukan termasuk pembinaan penyelenggara intelijen negara. Secara singkat dan berturut-turut dapat disebutkan perkembangan badan-badan intelijen tersebut sebagai berikut:1 1.

Setelah diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, badan pemuda pejuang membentuk Badan Istimewa, yang dipimpin oleh Zulkifli Lubis, lulusan pendidikan intelijen Jepang di Tangerang. Di dalam Badan tersebut terdapat bagian yang disebut Penyidik Militer

1

Teguh Santosa, “Intelijen Indonesia dari Masa ke Masa”, 29 Oktober 2009, teguhtimur.com/2009/.../intelijen-indonesia-dari-masa-ke-masa/-, diakses tanggal 25 Maret 2010.

Khusus (PMK), dengan titik berat tugas intelijen tempur. Badan ini ini merupakan bagian dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). 2.

Pada 7 Mei 1946 Presiden Republik Indonesia secara resmi membentuk badan intelijen yang disebut Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani), dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis dengan bagian yang disebut Field Preparation (FP), dengan tugas diperluas dari intelijen tempur menjadi intelijen strategis.

3.

Pada

tahun

1947

Brani

dibubarkan.

Intelijen

negara

diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan dalam hal ini Bagian V (KP-V), dipimpin Letkol Laut Abdurrahman. 4.

Bagian V (KP-V) Kementerian Pertahanan dibubarkan, selanjutnya dibentuk Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP), yang didalamnya ada BISAP (Biro Informasi Staf Angkatan Perang), yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis. Setelah peristiwa 17 Oktober 1952 IKP dibubarkan, dengan demikian mulai saat itu tidak ada badan yang menyelenggarakan intelijen negara. Masing-masing matra angkatan perang membentuk badan-badan intelijen, Angkatan Darat dengan SUAD-I, Angkatan Laut dengan Dinas Staf Operasional, dan Angkatan Udara dengan Direktorat Intelijen.

5.

Selanjutnya sesuai dengan perkembangan politik dan keamanan dalam negeri Republik Indonesia yang ditandai dengan peristiwa pemberontakan di banyak daerah, tumbuhlah kesadaran akan pentingnya fungsi koordinasi di bidang intelijen negara.

6.

Pada tahun 1958 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 64/1958 tanggal 5 Desember 1958 (Lembaran Negara Nomor 150/1958) ditetapkan berdirinya Badan Koordinasi Intelijen (BKI), yang dipimpin oleh Kolonel Laut Pirngadi, dengan tugas: a.

Menyelenggarakan koordinasi antar badan-badan sipil dan militer yang mempunyai tugas intelijen;

b.

Mengumpulkan,

mempelajari,

membahas,

dan

menilai

keterangan-keterangan dan laporan-laporan di bidang intelijen; c.

Menyampaikan kepada Dewan Menteri melalui Perdana Menteri mengenai produk-produk intelijen yang perlu guna keselamatan, kesejahteraan, dan keamanan negara.

2

Anggota BKI terdiri dari wakil-wakil badan intelijen sipil dan militer, antara lain dari Kejaksaan Agung, Jawatan Kepolisian Negara, Badan-badan Intelijen Angkatan, dan wakil-wakil instansi yang dianggap perlu. Kemudian pada tahun 1959 diganti dengan Badan Pusat Intelijen (BPI), dipimpin oleh Soebandrio. 7.

Setelah peristiwa G.30.S/PKI, pada tahun 1966 BPI dibubarkan dan diganti dengan Komando Intelijen Negara (KIN), dengan Letjen Soeharto sebagai Panglima KIN.

8.

Selanjutnya pada tahun 1967 setelah Letjen Soeharto sebagai Pjs. Presiden, KIN diubah menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), dengan Mayjen Soedirgo sebagai Kepala Bakin.

9.

Pada tahun 2000, setelah reformasi, Bakin diganti menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) hingga saat ini.

Walaupun

perkembangan

lingkungan

stratejik

dan

peningkatan

perjuangan bangsa menuntut penyesuaian dan penyempurnaan di semua strata badan intelijen, namun hingga saat ini semuanya tetap utuh dalam suatu komunitas intelijen tanpa meninggalkan sejarah, tradisi, jiwa patriotisme, dan doktrinnya masing-masing menuju kepada profesionalisme yang handal. Memang harus diakui, bahwa intelijen Negara Republik Indonesia juga mengadopsi asas-asas serta filosofi intelijen universal, tetapi dalam penerapannya

disesuaikan

dengan

budaya

dan

karakter

bangsa,

pengalaman-pengalaman penugasan selama ini dalam kondisi kebhinekaan bangsa, luasnya geografis nusantara, dan perkembangan lingkungan strategis. Kemudian agar semua aktivitas intelijen tersebut dapat berlangsung secara terkoordinasi, tertib, terpadu, terarah, efektif, dan efisien, diperlukan suatu sistem pembinaan dan penyelenggaraan intelijen yang modern, serta memiliki doktrin intelijen khas Indonesia yang berlatar belakang sejarah, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Dalam situasi dan kondisi lingkungan strategi global saat ini, globalisasi digerakkan oleh revolusi 3-T: Telekomunikasi, Transportasi, dan Turisme, dan dihela oleh revolusi 4-I: Investment, Industry, Information technology, dan Individual consumer, serta maraknya isu-isu kontemporer internasional,

3

antara lain demokratisasi, hak asasi manusia, suprermasi hukum, dan akuntabilitas dunia yang semakin transparan.2 Kehidupan umat manusia nyaris tidak lagi mengenal tapal batas yang walaupun secara eksistensial masih ada, namun hanya menjadi “kelambu” atau “tirai” belaka. Selain itu, kini terjadi pergeseran kekuatan dan muncul kekuatan-kekuatan politik-moneter-militer serta entitas-entitas baru nonnegara, mendorong terjadinya proses demokratisasi dan reformasi bidang politik, sektor keamanan, dan birokrasi. Oleh karena itu, intelijen Negara Republik Indonesia perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian diri berupa perubahan-perubahan tertentu di bidang visi, misi, paradigma, asas, dan doktrin intelijen dalam menghadapi fenomena perubahan dimaksud. Sebagai akibat dampak perkembangan lingkungan strategis yang meliputi internasional, regional, subregional, nasional, daerah dan lokal, kapasitas organisasi intelijen harus mampu mengacu dan menyesuaikan perubahan. Namun dalam menghadapi tuntutan perubahan tersebut, intelijen Negara Republik Indonesia tetap berpegang pada sikap, yaitu konsisten terhadap tujuan, luwes dalam berpikir dan bertindak. Hal Itu berarti intelijen Negara Republik Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan fenomena tuntutan perubahan tanpa menyimpang dari tujuan “kepentingan nasional”, yaitu terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta terwujudnya kesejahteraan rakyat.

B. Permasalahan 1.

Bagaimanakah mekanisme perlindungan terhadap intelijen negara dalam melaksanakan tugasnya untuk mendukung dan mengamankan demokrasi dengan memperhatikan hak asasi manusia dan supremasi hukum?

2.

Bagaimanakah urgensi pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen Negara?

2

“Definisi Globalisasi Ekonomi”, http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr264042.pdf, diakses tanggal 10 April 2010.

4

3.

Bagaimanakah pengaturan terhadap intelijen negara agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain?

C. Maksud dan Tujuan 1.

Maksud Naskah Akademik ini dimaksudkan sebagai gambaran wujud visi dan misi intelijen serta tugas dan fungsi intelijen secara makro, yang disesuaikan dengan dinamika globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya bangsa serta tuntutan aspirasi masyarakat.

2.

Tujuan Naskah Akademik ini bertujuan sebagai bahan masukan dan acuan bagi penyusunan RUU tentang Intelijen Negara, agar substansi RUU relevan dan memenuhi tuntutan negara yang demokratis dan sekaligus memperkuat profesionalisme kerja intelijen dalam menghadapi berbagai tantangan ancaman yang muncul dan dinamika nasional,

maupun

global

yang

bergerak

lingkungan lokal, secara

cepat

perkembangannya.

D. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penulisan Naskah Akademik ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai intelijen negara. Pasal-pasal di dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada dan mengatur tentang intelijen negara merupakan fokus dalam penelitian ini. Perumusan norma-norma hukum yang digunakan sebagai acuan penyusunan RUU tentang Intelijen Negara berdasarkan pada konstatering fakta-fakta filosofis, sosiologis, dan yuridis yang erat kaitannya dengan intelijen negara. Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang meliputi buku, artikel, surat kabar, dan internet. Sedangkan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan

5

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan buku pedoman. Selanjutnya, analisis terhadap bahan-bahan hukum dan data yang diperoleh dilakukan dengan tahapan: kompilasi bahan-bahan hukum, klasifikasi, sistematisasi, yang selanjutnya dilakukan interpretasi sesuai dengan teori hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

E. Kerangka Konsepsional 1.

Kewaspadaan Nasional Secara natural, pada dasarnya manusia mempunyai sense terkait sikap

awas, naluri awas, kekuatan fisik awas, dan kelebihan rasio serta kesadaran awas khususnya bagi manusia untuk mendeteksi, mengidentifikasi sejak dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman baik potensial maupun nyata demi mempertahankan hidupnya sehingga dapat mencegah, mengatasi, mengurangi, menghindari akibat kejadian atau bahaya yang akan menimpa atau memanfaatkan peluang tersebut dalam rangka mencapai tujuan nasional. Sikap awas atau kewaspadaan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada tingkat individu, keluarga, kelompok, rukun tetangga (RT), rukun kampung (RK), rukun warga (RW), desa-kelurahan, kabupaten/kota, tetapi dapat terus dilanjutkan sampai ke strata provinsi, nasional bahkan global, yang disesuaikan dengan bentuk, sifat, dan lingkup strata ancaman yang dihadapi, misalnya kewaspadaan dunia terhadap aktivitas terorisme internasional,

acquired

Immune

deficiency

syndrome

(AIDS),

dan

perdagangan manusia (human trafficking). Hal serupa berlaku juga di dunia intelijen, terdapat strata intelijen individu,

strata

intelijen

tempur,

intelijen

taktis,

intelijen

stratejik

departemental, dan intelijen stratejik nasional. Dengan demikian, kewaspadaan nasional merupakan kegiatan berlanjut suatu bangsa yang melakukan deteksi awal terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman yang membahayakan kebijakan dan strategi nasional serta peluang yang dapat dieksploitasi. Kewaspadaan nasional selalu berada pada lini pertama dalam pengembangan, meliputi: 1.

Sistem deteksi dan identifikasi dini;

6

2.

Peringatan dini; dan

3.

Langkah pencegahan awal terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman nasional.

Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman adalah pelbagai situasi, kondisi, tindakan baik alamiah atau hasil suatu rekayasa, berbentuk fisik atau non fisik, berasal dari dalam atau luar negeri, baik langsung atau tidak langsung,

yang

diantisipasi sebagai

potensi ancaman

yang

dapat

mengganggu, menghambat, mengubah, merusak, menghancurkan identitas, integritas, eksistensi, kepentingan, perjuangan, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Ancaman juga diartikan sebagai setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam

negeri

maupun

luar

negeri

yang

dinilai

mengancam

atau

membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa serta kepentingan nasional.

2.

Keamanan Nasional Menurut Hasnan Habib3, keamanan dalam arti luas mencakup dimensi

eksternal dan dimensi internal. Keamanan nasional (national security) memberikan rasa aman, tenteram, dan kepastian bagi suatu bangsa dalam mencapai aspirasi-aspirasinya. Keamanan nasional dipengaruhi oleh berbagai bentuk dan sifat ancaman yang lebih luas dari perang dan dapat bersumber dari dalam maupun luar negeri. Yang datang dari luar umpamanya perang dengan seluruh spektrumnya, terorisme internasional, dan kejahatan internasional. Sedangkan pemberontakan, konflik sosial, huru-hara, subversi, infiltrasi, kejahatan, dianggap bersumber dari dalam negeri, bahkan dapat saja ada yang ditunggangi oleh luar negeri. Setiap negara tanpa kecuali, memberikan tempat yang paling tinggi kepada kepentingan keamanan nasionalnya dibanding kepentingan lainnya.

3

Lihat, Hasnan Habib, “Lingkungan Internasional dan Ketahanan Nasional”, dalam Ichlasul Amal dan Atmadidy Armawi, ed., Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional, Jakarta, 1995, hlm. 251.

7

Keamanan nasional adalah konsep yang abstrak, sulit didefinisikan. Spektrumnya sangat luas, jauh lebih luas dari hanya aspek fisik militer saja.

Keamanan

nasional menjadi

fungsi

dan

tanggung

jawab

pemerintah yang sangat fundamental, karena keamanan nasional merupakan kepentingan nasional yang vital. Kusnanto Anggoro berpendapat bahwa keamanan nasional selalu merupakan persoalan yang sangat luas dan seringkali kontroversial. Tidak mudah menyepakati bagaimana keamanan nasional dapat dijamin dan dipelihara. Meskipun demikian, tidak sulit untuk menyetujui bahwa ancaman terhadap keamanan nasional memiliki tiga karakteristik. Pertama, ancaman tersebut dapat menampilkan dirinya dalam berbagai dimensi, bukan hanya ancaman yang berdimensi militer melainkan juga ancaman yang berdimensi sosial, kultural, ekonomi, politik, dan ideologi; kedua, ancaman dapat berasal dari dalam maupun luar tapal batas negara; dan, ketiga, ancaman dapat berasal dari kelompok bukan negara (non state actors) maupun negara (state actors). Namun kesepakatan seperti itu tidak cukup menjadi pijakan untuk merumuskan operasionalisasi kebijakan. Semakin banyaknya ancaman yang bersifat transnasional atau lintas batas menimbulkan komplikasi tersendiri karena menjadikan pembedaan "luar" dan "dalam" negeri menjadi sesuatu yang tidak bersifat mutlak. Begitu pula halnya dengan munculnya terorisme internasional atau terorisme yang didukung oleh negara tertentu (state-sponsored terrorism) meruntuhkan sendi pembedaan nasional

dan

internasional.

Gejala

"de-teritorialisasi

ancaman"

(de-

territorialization of threats) ini menyebabkan pentingnya sinergi antar instrumen untuk mengghadapi ancaman. Menurut Institute Defence and Strategic Policy Studies (IDSPS), keamanan

nasional

merupakan

perwujudan

konsep

keamanan

menyeluruh (comprehensif security) yang menempatkan keamanan sebagai konsep multidimensi yang mengharuskan negara menyiapkan beragam aktor keamanan untuk mengelolanya. Aktor-aktor keamanan tersebut masing-masing memiliki fungsi dan tugas spesifik untuk menangani dimensi keamanan yang spesifik pula. Keragaman ancaman keamanan nasional yang bersifat kontemporer dari penangkalan dan serangan

8

yang asimetris merupakan faktor utama kebutuhan akan kerangka yang komprehensif tersebut. Setidaknya, ada lima ranah sektor keamanan yang saling bertautan dalam bingkai keamanan nasional, yaitu sektor militer (military security), sektor politik (political security), sektor ekonomi (economic security),

sektor

sosial

(societal

security),

dan

sektor

lingkungan

(environmental security). Potensi ancaman yang terjadi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari dinamika lingkungan strategis yang terjadi di tiga ranah, yaitu global, regional, dan domestik. Di tingkat global, dinamika lingkungan strategis dipengaruhi oleh interaksi diantara negara-negara besar (great power), yaitu interaksi antara Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan negara-negara Eropa atau Uni Eropa. Sementara di tingkat regional, beragam kepentingan dan persaingan antar negara-negara Asia terhadap penguasaan pasar, jalur ekonomi, dan sumber daya alam terutama di wilayah perbatasan yang dipersengketakan menjadi persoalan tersendiri. Sedangkan di tingkat domestik, instabilitas politik, ancaman krisis ekonomi, dan lemahnya sistem hukum yang ada merupakan potensi ancaman yang selalu dikemukakan namun tidak pernah diupayakan untuk diselesaikan secara komprehensif, akuntabel, adil, dan sesuai dengan prinsip negara demokrasi. Barry Buzan menyebutkan ada 5 (lima) sektor keamanan, yaitu sektor militer (military security), sektor politik (political security), sektor ekonomi (economic security), sektor sosial (societal security) dan sektor lingkungan (environmental security). Seiring perubahan tersebut, di dalam pengertian keamanan lahir istilah keamanan insani (human security). Hampson menuliskan adanya 3 (tiga) pendekatan yang berusaha mengkonseptualisasi human security, yaitu pertama, pendekatan hak asasi manusia (HAM/right-based approach). Kedua, pendekatan humanitarian, dan ketiga, pendekatan pembangunan secara berkelanjutan (sustainable human development). Keamanan nasional merupakan kondisi dinamis yang menjamin dan menjadi prasyarat terwujudnya tujuan nasional, sebagai hasil integrasi dan interaksi faktor dinamis yang memungkinkan seluruh rakyat berkembang sesuai kemampuan dan tuntutan hidup masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan

9

UUD 1945. Tujuan keamanan nasional dimaksudkan untuk menjamin keselamatan rakyat, kedaulatan negara, keutuhan wilayah, integritas, dan eksistensi

pemerintah

dan

bangsa,

kepentingan

nasional

serta

kesinambungan perjuangan bangsa. Fungsi-fungsi keamanan nasional adalah: a.

membangun kemampuan pertahanan;

b.

memelihara keamanan negara;

c.

menegakkan hukum secara paksa;

d.

membina kepastian hukum;

e.

membina ketentraman dan ketertiban masyarakat; dan

f.

melindungi masyarakat dari berbagai bencana, baik karena alam, kelalaian, maupun kesengajaan.

Masing-masing

fungsi

memiliki

ciri

ancamannya

sendiri-sendiri4.

Penyelenggaraan fungsi keamanan nasional seperti yang dimaksud, memunculkan spesialisasi, diferensiasi, dan lingkup intelijen negara yang dimanifestasikan ke dalam: a.

defence intelligence mulai dari yang terbatas pada lingkup intelijen pertempuran

(combat

intelligence)

sampai

dengan

intelijen

strategis. b.

secret intelligence yang berkaitan dengan intelijen luar negeri;

c.

domestic intelligence atau security intelligence, dalam rangka memelihara keamanan negara, khususnya dari ancaman yang berada di dalam negeri;

d.

crime and law enforcement intelligence yang berkaitan dengan intelijen kriminal dan penegakan hukum; dan

e.

intelligence for public protection, intelijen yang digunakan dalam rangka untuk melindungi masyarakat dari berbagai wujud bahaya.

Meskipun ada spesialisasi pada berbagai badan intelijen dan beragam tingkat serta wujudnya, namun tetap memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, peran, fungsi, koordinasi, dan kerjasama antar badanbadan intelijen yang ada tidak saja boleh dinafikan, tetapi secara fungsional merupakan kebutuhan yang wajib dilakukan. Hambatan dan kelemahan 4

Michael Howard, Defence and Strategic Deterrence, 1973.

10

utama dari badan-badan intelijen justru terletak pada fungsi koordinasi tersebut. Keamanan nasional dapat terwujud dengan baik apabila intelijen negara sebagai bagian dari sistem keamanan nasional merupakan lini terdepan mampu melakukan deteksi dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman baik yang potensial maupun yang telah mengaktual. Untuk itu, sebagai lini terdepan yang mampu melakukan deteksi dini, intelijen negara harus mencapai visi, yaitu menjadi intelijen negara yang tangguh, modern, dinamis, berwibawa, dan berwawasan masa depan yang mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsi intelijen, dipercaya oleh masyarakat, serta menjadi intelijen negara yang profesional. Untuk dapat mewujudkan visi tersebut, ditetapkan misi intelijen yang mendukung dan mengamankan serta ikut menyukseskan kebijakan dan strategi nasional melalui pengembangan sistem intelijen negara yang modern, kepemimpinan yang profesional, kehandalan personil, sarana prasarana intelijen terkini, anggaran yang memadai serta dukungan payung hukum dalam bentuk sebuah undang-undang.

11

BAB II LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN SOSIOLOGIS, DAN LANDASAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis 1.

Visi dan misi intelijen negara Republik Indonesia Visi dan misi intelijen merupakan penjabaran dari visi bangsa dan misi

negara. Visi atau cita-cita bangsa adalah sebagaimana yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945, yaitu “Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Pedoman utama yang digunakan dalam proses perumusan interpretasi visi tersebut adalah terwujudnya keadilan bagi segenap komponen bangsa dan wilayah. Tema keadilan dipilih karena berdasarkan analisis kondisi melemahnya kualitas integrasi bangsa hanya disebabkan oleh faktor ketidakadilan yang masih dirasakan oleh sebagian komponen bangsa. Interpretasi visi atau cita-cita bangsa dimaksud adalah sebagai berikut: a.

Indonesia yang merdeka adalah Indonesia yang bebas dari segala bentuk penjajahan, baik antarmanusia maupun antarbangsa, baik sebagai obyek maupun sebagai subyek.

b.

Indonesia yang bersatu adalah Indonesia yang memiliki kesatuan wilayah yang utuh sebagai ruang hidup seluruh bangsa, terjalin dan berkembangnya interkoneksitas yang harmonis dan sinergis antara setiap

komponen

bangsa

dalam

semua

aspek

kehidupan

berbangsa dan bernegara, serta memiliki kadar solidaritas sosial yang tinggi antar berbagai komponen bangsa. c.

Indonesia

yang

berdaulat

adalah

Indonesia

yang

memiliki

pemerintahan yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. d.

Indonesia yang berkeadilan adalah Indonesia yang mampu menjamin

terselenggaranya

hak-hak

setiap

warganya

dan

mencegah terjadinya kesenjangan dalam setiap aspek kehidupan bangsa.

12

e.

Indonesia yang berkemakmuran adalah Indonesia yang mampu menyediakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang memenuhi standar yang layak bagi kemanusiaan untuk seluruh warganya.

f.

Indonesia yang berkehidupan kebangsaaan yang bebas adalah Indonesia lingkungan

yang

mampu

kehidupan

perkembangan

dan

memelihara kebangsaan

keberlangsungan

dan yang

mengembangkan kondusif

keberadaan

bagi

segenap

komponen bangsa, sesuai dengan aspirasi dan budaya masingmasing. Misi negara sebagaimana yang tercantum pada pembukaan UUD 1945, adalah: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Misi tersebut dijabarkan ke dalam 3 (tiga) aspek, yaitu misi di bidang keamanan, kesejahteraan, dan pembentukan lingkungan, yaitu: 1.

Misi keamanan, yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia", ditafsirkan tidak hanya dalam bentuk pembangunan kekuatan untuk melindungi bangsa dan wilayah Indonesia dari ancaman yang berasal dari luar saja, tetapi juga meliputi perlindungan hak-hak setiap warga negara, komunitas dan wilayah dari kemungkinan eksploitasi yang dilakukan oleh semua pihak, termasuk oleh pemerintah sendiri.

2.

Misi kesejahteraan, yaitu "...memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa", diinterpretasikan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan martabat bangsa, dengan memberikan penekanan pada upaya untuk senantiasa memelihara

identitas

daerah.

Pembangunan

nasional

harus

diartikan sebagai upaya untuk memberikan ruang yang cukup bagi setiap daerah atau komponen bangsa untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan aspirasi dan budaya masing-masing, dalam kerangka pembangunan bangsa secara keseluruhan.

13

3.

Misi

pembentukan

lingkungan,

yaitu

"...ikut

melaksanakan

ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, diinterpretasikan dengan menetapkan bahwa lingkungan yang dimaksud bukan hanya lingkungan eksternal wilayah Indonesia tetap juga meliputi lingkungan internal. Secara singkat dapat disebutkan bahwa interpretasi misi negara berbasis pada semangat kebhinekaan. Pernyataan ini bukanlah hal yang baru, karena telah disepakati oleh para "the founding fathers" Indonesia. Selama ini kita membangun bangsa dengan lebih menitikberatkan pada semangat

"ika-nya"

dan

menafikan

unsur

"bhineka-nya".

Padahal

kebhinekaan adalah kekayaan bangsa, oleh sebab itu pengembangannya harus tidak dilihat sebagai suatu ancaman, tetapi sebaliknya justru sebagai perekat keutuhan persatuan bangsa.

B. Landasan Sosiologis Salah satu aspek dominan yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan perkembangan Negara Republik Indonesia adalah dinamika lingkungan strategis, yang disamping menawarkan peluang secara pasti juga membawa potensi ancaman terhadap bangsa dan negara yang perlu diperhitungkan dengan seksama. Proses globalisasi telah mengakibatkan munculnya fenomena baru yang harus dihadapi bangsa Indonesia seperti demokratisasi, hak asasi manusia, tuntutan

supremasi

hukum,

transparansi,

akuntabilitas,

kejahatan

transnasional, liberalisasi ekonomi, dan lain sebagainya. Selain membawa manfaat bagi kemajuan serta sejalan dengan kepentingan nasional, fenomena-fenomena

tersebut juga

membawa

dampak

negatif

yang

merugikan kehidupan bangsa dan negara, yang pada gilirannya dapat menimbulkan gangguan ataupun ancaman terhadap keamanan nasional. Perlu pula dicermati bahwa perkembangan sistem keuangan global telah mencapai taraf sedemikian rupa sehingga mampu berubah menjadi kekuatan ekonomi dan politik yang secara kolektif dapat mempengaruhi pasar dunia. Krisis moneter yang melanda Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Timur merupakan bukti bahwa pasar valuta asing (valas) dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Pasar valas

14

tidak lagi berfungsi sekedar instrumen untuk mendukung perkembangan perekonomian dunia, tetapi dapat pula digunakan sebagai instrumen politik untuk mengganggu kesetabilan suatu negara. Globalisasi juga menuntut adanya pemahaman dan konsepsi baru mengenai kedaulatan negara (state sovereignity) yang selama ini lebih berkonotasi fisik atau teritorial saja. Perkembangan dunia, terutama bidang ekonomi telah memungkinkan penetrasi kekuatan politik dari luar, seperti penguasaan saham dan penguasaan aset lainnya oleh pihak asing. Selain itu, perkembangan infrastruktur komunikasi telah memungkinkan adanya arus informasi yang melewati batas-batas teritorial negara kebangsaan tanpa dapat atau sulit untuk dikendalikan (borderless sphere of influence). Secara empiris, spektrum potensi ancaman nasional tidak lagi bersifat tradisional (traditional threat), tetapi lebih banyak diwarnai ancaman non tradisional (nontraditional threat). Sumber ancaman telah mengalami pergeseran makna, bukan hanya meliputi ancaman internal dan/atau eksternal, tetapi juga ancaman asimetris yang bersifat global tanpa bisa dikatagorikan sebagai ancaman dari luar atau dari dalam. Karakteristik ancaman juga berubah menjadi multidimensional. Dengan demikian antisipasi terhadap ancaman harus dilakukan secara lebih komprehensif baik dari aspek sumber, sifat dan bentuk, kecenderungannya, maupun isunya yang sesuai dengan dinamika kondisi lingkungan strategis. Perkembangan keamanan nasional yang meliputi keamanan nasional (national security dan public security) sangat ditentukan oleh perubahan hakikat ancaman terkini. Ancaman dapat juga dijelaskan sebagai segala sesuatu yang membahayakan kedaulatan nasional, integritas wilayah, keselamatan warga negara, dan kehidupan demokratis baik yang bersifat konvensional maupun non konvensional. Ancaman yang menonjol saat ini dan perlu diwaspadai serta diantisipasi, antara lain: 1.

Spionase, subversi dan/atau sabotase.

2.

Terorisme.

3.

Konflik perbatasan.

4.

Separatisme.

15

5.

Konflik horisontal, vertikal, dan diagonal, yang ditengarai adanya intervensi asing.

6.

Kejahatan terorganisasi lintas nasional (narkotika, perdagangan manusia,

pencucian

uang,

peredaran

senjata

api

illegal,

penyelundupan, kejahatan ekonomi tingkat tinggi, kejahatan cyber, perompakan). 7.

Radikalisme/anarkisme.

8.

Kerusuhan sosial akibat suku, agaman, ras, dan antargolongan (SARA).

9.

Pencurian sumber kekayaan alam.

10. Perusakan lingkungan hidup. 11. Pemalsuan uang. 12. Menurunnya rasa kebangsaan atau nasionalisme. 13. Disintegrasi bangsa. 14. Imigrasi penduduk. 15. Kemiskinan dan pengangguran. 16. Bencana alam. 17. Wabah penyakit baru yang belum ada obat penangkal. C. Landasan Yuridis 1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara implisit merumuskan beberapa hal yang terkait dan harus diperhatikan oleh intelijen negara. a. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945: “…kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan

16

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” b. Pasal 28J UUD 1945 “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Landasan yuridis mendasari konsideran menimbang, bahwa relasi pelaksanaan tugas intelijen dengan aktivitas masyarakat perlu dilandasi sikap saling menghormati dalam koridor hak asasi manusia. 2.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4: ”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.” Bahwa

dalam

menjalankan

fungsi

intelijen,

kewenangan

dan

kewenangan khusus intelijen negara terkait dengan pemeriksaan intensif, personil intelijen negara tetap harus mengedepankan koridor hak asasi manusia.

3.

Undang-Undang

Nomor

15

Tahun

2003

tentang

Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 28 “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal

17

26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.” Bahwa pemeriksaan intensif di dalam pelaksanaan kegiatan intelijen negara mengacu pada Undang-Undang ini. 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang a. Pasal 25 ayat (3): “PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang terkait, baik nasional maupun internasional.” Penjelasan: Kerja sama dalam ayat ini dapat dilakukan dalam bentuk pertukaran informasi, bantuan teknis, pendidikan dan/atau pelatihan. b. Pasal 26 huruf c: “Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan mencurigakan.” Dalam

pemeriksaan

aliran

dana

oleh

intelijen

negara,

dapat

bekerjasama dengan intelijen PPATK.

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Penjelasan Pasal 31 ayat (1): “Yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”. Lingkup intersepsi intelijen negara tidak sama dengan yang diatur dalam Undang-Undang tentang ITE yang mencakup alat komunikasi saja, tetapi juga mencakup intersepsi aliran dana, dan intersepsi hanya dapat dilakukan apabila diperlukan dalam menjalankan fungsi intelijen.

18

6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Informasi dikecualikan yang terkait dengan intelijen terdapat pada: Pasal 17 huruf a angka 3: “mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional”. Pasal 17 huruf c angka 1, angka 2, dan angka 7: “1. informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri.” 2. dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik, dan taktik yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi. Hal yang juga penting dicatat terkait berlakunya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 adalah tetap adanya ketentuan bahwa segala informasi yang berkaitan dengan intelijen merupakan informasi dikecualikan yang juga telah diatur dalam Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.

7.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara a. Terkait dengan ketentuan

pejabat setingkat Menteri sebagai

pembantu Presiden. b. Penggunaan istilah Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian dan/atau Pemerintah Daerah.

8.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan Pasal 66: “(1) Terhadap arsip statis yang dinyatakan tertutup berdasarkan persyaratan akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) atau karena sebab lain, kepala ANRI atau kepala lembaga kearsipan sesuai dengan lingkup kewenangannya dapat menyatakan arsip statis menjadi terbuka setelah

19

melewati masa penyimpanan selama 25 (dua puluh lima) tahun. (2) Arsip statis dapat dinyatakan tertutup apabila memenuhi syaratsyarat yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Lembaga kearsipan memiliki kewenangan menetapkan keterbukaan arsip statis sebelum 25 (dua puluh lima) tahun masa penyimpanan yang dinyatakan masih tertutup dengan pertimbangan: a. tidak menghambat proses penegakan hukum; b. tidak mengganggu kepentingan pelindungan hak atas kekayaan intelektual dan pelindungan dari persaingan usaha tidak sehat; c. tidak membahayakan pertahanan dan keamanan negara; d. tidak mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang masuk dalam kategori dilindungi kerahasiaannya: e. tidak merugikan ketahanan ekonomi nasional; f. tidak merugikan kepentingan politik dan hubungan luar negeri; g. tidak mengungkapkan isi akta autentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang kecuali kepada yang berhak secara hukum; h. tidak mengungkapkan rahasia atau data pribadi; dan i. tidak mengungkapkan memorandum; atau j. surat-surat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan.” Klasifikasi dan deklasifikasi dalam kerahasiaan informasi intelijen negara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi intelijen.

9.

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002 tentang Koordinasi Intelijen Oleh Badan Intelijen Negara Memposisikan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai penanggung jawab utama pembuatan kebijakan di bidang intelijen. Instruksi Presiden ini telah memperluas mandat BIN yang pada mulanya merupakan badan intelijen instansional menjadi Koordinator Intelijen Negara. Lingkup peranan BIN sejak tahun 2002 menjadi jauh lebih luas dari sebelumnya dan memainkan peran sebagai “badan intelijen nasional”, dibandingkan peran sebelumnya sebagai “badan intelijen”. Mengangkat substansi dari Instruksi Presiden ini menjadi substansi dalam undang-undang.

20

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah Pasal 5: “(1) Kominda dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pembentukan Kominda provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur. (3) Pembentukan Kominda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh bupati/walikota. (4) Kominda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiiiki hubungan yang bersifat koordinatif dan konsultatif.” Pasal 6: “(1) Keanggotaan Kominda provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan susunan: Ketua : Wakil gubernur. Wakil Ketua: Kepala pos wilayah Badan Intelijen Negara. Sekretaris: Kepala badan kesatuan bangsa dan politik provinsi. Keanggotaan: Unsur Intelijen dari Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi, Imigrasi, Bea dan Cukai dan unsur terkait lainnya. (2) Keanggotaan Kominda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota dengan susunan: Ketua: Wakil bupati/wakil walikota. Wakil Ketua: Unsur Intelijen dari Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Republik Indonesia. Sekretaris: Kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota. Keanggotaan: Unsur Intelijen dari Badan Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Negeri, Imigrasi, Bea dan Cukai dan unsur terkait lainnya. Ketentuan ini mengangkat substansi dari peraturan di bawah undangundang menjadi substansi dalam undang-undang.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, peraturan perundangundangan yang ada selama ini belum mengatur secara khusus (lex specialis) mengenai intelijen negara sehingga diperlukan suatu pengaturan khusus mengenai intelijen negara dalam suatu undang-undang.

21

BAB III MATERI MUATAN

Dalam melaksanakan tugasnya, intelijen negara berpedoman pada asas yang merupakan prinsip penyelenggaraan fungsi intelijen dalam rangka menjalankan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk membela dan mempertahankan kepentingan nasional. Asas tersebut meliputi: profesional, kerahasiaan, kompartementasi, koordinatif, integratif, netral, akuntabilitas, dan objektivitas. Setiap personil intelijen harus memiliki kompetensi sesuai bidang tugasnya, bersikap dan bertindak yang merupakan wujud profesionalisme intelijen sebagai kelembagaan. Begitupun juga dalam prinsip kerahasiaan, sebagai

dasar

penyelenggaraan fungsi dan aktivitas yang dilaksanakan secara rahasia, merupakan sifat dasar intelijen. Konsekuensi dari kerahasiaan intelijen itu mencerminkan asas kompartementasi yang berarti bahwa setiap aktivitas intelijen terpisah satu sama lain, satu unit kerja intelijen hanya diketahui oleh unit yang bersangkutan. Penyelenggaraan intelijen diarahkan secara terkoordinir, efektif, dan berhasil guna oleh Ketua LKIN sebagai koordinator penyelenggara intelijen negara. Tujuan koordinasi intelijen negara ialah mewujudkan keterpaduan dalam pembinaan dan penyelenggaraan fungsi dan aktivitas intelijen. Asas koordinatif merupakan sikap menyatu sebagai satu kesatuan dalam bertindak diantara penyelenggara fungsi dan aktivitas intelijen negara. Luasnya aktivitas dan wewenang yang dimiliki oleh penyelenggara intelijen negara, menyebabkan dalam aktivitasnya setiap personil intelijen negara tidak boleh berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun termasuk dalam kehidupan politik, partai politik, golongan, atau paham tertentu sebagai cerminan dari asas netral. Begitupun juga halnya dalam setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan intelijen negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Hal ini merupakan cerminan dari asas akuntabilitas yang dianutnya.

Disamping mencerminkan asas akuntabilitas, dalam menjalankan tugasnya, intelijen juga berpegang pada asas objektivitas. Asas ini

22

dicerminkan oleh adanya sikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil putusan atau kegiatan Intelijen Negara. Adapun pokok-pokok materi muatan Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen Negara adalah sebagai berikut:

A. Ketentuan Umum Ketentuan Umum memuat definisi atau batasan pengertian dari beberapa peristilahan yang digunakan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran. Adapun hal-hal yang didefinisikan, yaitu: 1.

Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan aktivitas yang terkait dengan perumusan kebijakan dan strategi nasional berdasarkan analisis dari informasi intelijen dan fakta-fakta yang terkumpul melalui metode tertentu untuk pendeteksian awal dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.

2.

Intelijen Negara adalah lembaga pemerintah yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi dan aktivitas intelijen.

3.

Personil Intelijen Negara adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki kemampuan khusus intelijen dan mengabdikan diri dalam bidang intelijen negara.

4.

Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang dinilai membahayakan keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan bangsa serta kepentingan nasional.

5.

Setiap orang adalah orang perorangan atau kelompok orang yang bertanggung jawab terhadap kerahasiaan informasi intelijen baik secara individu maupun korporasi.

6.

Rahasia Intelijen adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas intelijen yang dilindungi kerahasiaannya agar tidak diakses, diketahui, dan dimiliki oleh pihak-pihak yang tidak berhak.

23

7.

Masa Retensi Informasi Intelijen adalah jangka waktu penyimpanan informasi intelijen.

8.

Lembaga Koordinasi Intelijen Negara yang selanjutnya disingkat LKIN adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan fungsi

intelijen

dan

melakukan

fungsi

koordinasi

terhadap

penyelenggaraan fungsi intelijen. 9.

Informasi Intelijen adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang terkait dengan intelijen.

10. Pihak Lawan adalah pihak asing yang melakukan kegiatan kontra intelijen yang dapat merugikan kepentingan stabilitas nasional. 11. Sasaran adalah target atau kondisi yang ingin dicapai dari fungsi penggalangan.

B. Hakikat, Tujuan, Ruang Lingkup, dan Fungsi Intelijen Negara Hakikat intelijen negara merupakan lini pertama dalam

sistem

keamanan nasional. Intelijen negara melakukan segala upaya untuk deteksi awal

dan

mengembangkan

sistem

peringatan

dini

dalam

rangka

pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional yang semakin kompleks dan multidimensional. Tujuan intelijen negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, memberikan

menafsirkan, peringatan

dan

dini,

menyajikan

agar

dapat

intelijen

dalam

mengantisipasi

rangka berbagai

kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kesejahteraan nasional. Adapun yang menjadi ruang lingkup dari intelijen negara meliputi: Dalam Negeri, Luar Negeri, Pertahanan dan/atau Keamanan, Penegakan Hukum, ekonomi, sosial budaya, sumber daya alam, teknologi informasi dan komunikasi. Fungsi-fungsi intelijen negara, yaitu: 1.

Fungsi penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah informasi menjadi intelijen sebagai

24

bahan masukan untuk perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. 2.

Fungsi

pengamanan

meliputi

pengamanan

internal

(internal

security) dan kontra intelijen. a. Sekuriti internal mencakup pengamanan personil, materil, instalasi, keuangan, pemberitaan, dan kegiatan yang menjadi tanggung

jawab

pimpinan

atau

kepala

badan/lembaga/dinas/instansi yang bersangkutan. b. Kontra intelijen adalah kegiatan deteksi, investigasi, dan negasi terhadap aktivitas intelijen pihak lawan. 3.

Fungsi penggalangan adalah aktivitas yang dilakukan secara berencana dan terarah untuk mempengaruhi kejiwaan dan motivasi sasaran agar memiliki pola pikir, pola sikap serta pola tindak yang mendukung dan menguntungkan pihak sendiri. Kedalam lingkungan sendiri lebih bersifat pembinaan untuk menciptakan kondisi pengamanan yang baik. Keluar atau terhadap lawan dilakukan dengan tindakan disorganisasi dan disintegrasi agar kepentingan pihak lawan tidak menimbulkan ancaman terhadap pihak sendiri.

C. Kerahasiaan Informasi Intelijen Setiap negara sudah dipastikan sangat memerlukan berfungsinya keamanan nasional (national security). Untuk itu, berkaitan dengan informasi, negara diberikan kewenangan menentukan klasifikasi informasi apa saja yang bersifat rahasia (secrecy), yang dapat membahayakan keamanan nasional apabila dibuka. Akses publik untuk mendapatkan informasi serupa itu dengan demikian tertutup. Pembatasan ini dibenarkan demi

perlindungan

terhadap

keamanan

nasional,

namun

harus

diseimbangkan dengan hak atas kebebasan memperoleh informasi. Hak atas informasi (right to know) merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada 1946, majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Dengan pertimbangan itu, hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke dalam DUHAM.

25

Penegasan hak atas informasi dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala

jenis

sarana

yang

tersedia”.

Hak

ini

diperlukan

untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam beberapa instrumen hukum internasional maupun nasional, yaitu Pasal 29 DUHAM, Pasal 19 Kovenan Sipil dan Politik, Pasal 28J UUD 1945, dan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di dalam Kovenan Sipil dan Politik dinyatakan bahwa pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi tidak bisa diberlakukan secara semena-mena. Menurut instrumen-instrumen hukum, pembatasan diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban

umum

atau kesehatan, atau moral

masyarakat. UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa pembatasan hanya dapat berdasarkan hukum sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles) menyebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.5 Pasal 5 Kovenan Sipil dan Politik

5 Siracusa Principles atau Prinsip-prinsip Siracusa adalah prinsip-prinsip mengenai

ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional yang

26

dan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga menyiratkan bahwa tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa pemerintah, partai, golongan, atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-Undang ini. Salah satu alasan pembatasan hak atas informasi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan ini lebih rinci dituangkan para

ahli

hukum

internasional

dalam

Prinsip-Prinsip

Johannesburg

(Johannesburg Principles), yakni: 1.

Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah undang-undang atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan;

2.

Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individu untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak;

3.

Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah; pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang

dibatasi

merupakan

ancaman

yang

serius

terhadap

kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut. 4.

Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk

bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. Lihat The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN.4/1985/4. Lihat pula General Comment No. 10 International Covenant on Civil and Political Rights.

27

misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan, pengungkapan kesalahan yang dilakukan, menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial; 5.

Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional; dan

6.

Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar pembatasan hak atas informasi.

Kebijakan untuk melakukan pembatasan hak harus berangkat dari pemikiran bahwa jika suatu informasi dibuka, akan membahayakan keamanan nasional dan kepentingan publik yang lebih besar. Namun kebijakan itu tetap harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai wujud pertanggungjawaban itu, suatu informasi rahasia harus dapat dibuka setelah jangka waktu yang tidak lagi dinilai membahayakan publik. Dalam Prinsip-prinsip Johannesburg dinyatakan bahwa pembatasan hak atas informasi terhadap alasan keamanan nasional tidak sah kecuali untuk melindungi

keberadaan

suatu

negara,

integritas

teritorialnya

dari

penggunaan atau ancaman kekerasan, atau kapasitasnya untuk bereaksi terhadap penggunaan ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sumber eksternal seperti ancaman militer, maupun dari sumber internal seperti provokasi penggulingan pemerintah dengan cara kekerasan. Informasi intelijen bersifat rahasia, meliputi: 1.

sistem intelijen negara, akses-akses yang berkaitan dengan pelaksanaan aktivitasnya;

2.

data intelijen kriminal yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional;

3.

rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; dan

28

4.

dokumen tentang intelijen yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengakhiran atau evaluasi.

Masa retensi informasi intelijen ditetapkan selama 20 (dua puluh) tahun. Selanjutnya dapat diperpanjang setelah mendapat persetujuan dari Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Masa retensi informasi intelijen dapat dinyatakan berakhir apabila sengaja atau tidak sengaja informasi intelijen diketahui oleh masyarakat. Masa retensi informasi intelijen juga

dapat

dipersingkat

sebelum

masa

retensinya

berakhir

untuk

kepentingan pengadilan dan berdasarkan penetapan pengadilan. Selanjutnya diatur mengenai informasi intelijen yang dapat diakses publik, yaitu informasi intelijen selain dari informasi intelijen yang bersifat rahasia, informasi intelijen yang telah berakhir masa retensinya, informasi intelijen yang telah diketahui oleh masyarakat, dan informasi intelijen yang digunakan untuk kepentingan pengadilan.

D. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara Terkait dengan ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan negara yang semakin tinggi intensitas dan canggih bentuknya, maka diperlukan lembaga yang mampu mengkoordinasikan dan sekaligus menjalankan operasi intelijen. Dalam kerangka itu, maka dibentuklah sebuah lembaga yang menjalankan fungsi intelijen dengan tugas dan wewenang terkait berbagai aspek persoalan koordinasi dan operasi intelijen itu sendiri. Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN) merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah Presiden. LKIN bertanggung jawab kepada Presiden dalam menyelenggarakan fungsi intelijen baik di wilayah dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, LKIN juga menyelenggarakan fungsi koordinasi. LKIN dipimpin oleh seorang ketua dan dibantu oleh seorang wakil ketua. Ketua LKIN dapat dipimpin antara lain oleh Kepala BIN. Pengisian jabatan Ketua LKIN terkait dengan ranah kerja intelijen yang sesuai pembidangan tugas dan wewenangnya. Melalui struktur kelembagaan dan mekanisme pengisian jabatan Ketua LKIN semacam ini, diharapkan akan mendorong organisasi intelijen untuk bergerak secara lincah dalam menjalankan

29

tugasnya. Selain itu, kombinasi posisional kelembagaan dan personal yang terlibat di dalam organisasi intelijen di tingkat LKIN semacam itu, juga dapat semakin

memudahkan koordinasi berbagai aktivitas intelijen

sampai ke

tingkat daerah atau lapangan. Mengingat tujuan pencapaian tugas dan wewenang di atas, Ketua LKIN karena jabatannya bertugas sebagai Koordinator Penyelenggara Intelijen Negara. Keanggotaan LKIN meliputi pimpinan tertinggi Intelijen Negara. Pengaturan LKIN sebagai lembaga dalam undang-undang ini dilakukan secara umum dan bukan terperinci. Adapun ketentuan lebih lanjut tentang pengaturannya, tata kerja dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya diatur dan menjadi otoritas sepenuhnya pemerintah. Mengingat besarnya peranan pemerintah terkait dengan LKIN, pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua LKIN ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres). Sedangkan ketentuan lebih lanjut tentang susunan organisasi dan tata kerja LKIN diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres). LKIN menyelenggarakan fungsi intelijen baik terkait dengan koordinasi sekaligus terkait dengan pelaksanaan operasi baik yang dilakukan di wilayah dalam negeri maupun luar negeri. Untuk menyelenggarakan fungsi operasi intelijen, LKIN bertugas: a. melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen; b. menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah; c. melakukan perencanaan dan pelaksanaan operasi intelijen; dan d. memfasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang intelijen. Adapun dalam rangka menyelenggarakan fungsi intelijen terkait dengan koordinasi terhadap berbagai lembaga intelijen, LKIN bertugas: a. menyediakan bahan pertimbangan berdasarkan masukan dari Intelijen Negara kepada Presiden dalam penentuan kebijakan dan strategi nasional; b. mengoordinasikan aktivitas kontra intelijen baik di dalam negeri maupun luar negeri;

30

c. mengoordinasikan penggalangan baik di dalam negeri maupun luar negeri yang dilakukan oleh Intelijen Negara; d. menyusun

Kode

Etik

Intelijen

Negara

dan

membentuk

Dewan

Kehormatan Intelijen Negara; dan e. menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga. Terkait pelaksanaan fungsi intelijen untuk melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan, LKIN berwenang: a. menyusun rencana nasional secara makro di bidang Intelijen; b. merumuskan

kebijakan

di

bidang

Intelijen

untuk

mendukung

pembangunan secara makro; dan c. menyediakan Intelijen bagi badan, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, atau instansi sesuai kepentingan dan prioritasnya. Sedangkan untuk melaksanakan tugas terkait fungsi koordinasi intelijen negara, LKIN berwenang: a. mengoordinasikan kebijakan di bidang intelijen; b. mengoordinasikan fungsi-fungsi intelijen pada masing-masing Intelijen Negara; dan c. mengatur sistem Intelijen Negara. Dalam rangka melakukan deteksi awal dan langkah sedini mungkin untuk mencegah terjadinya berbagai ancaman serta menghadapi intensitas ancaman yang semakin bersifat global dan beragam bentuknya, maka diperlukan proses penanganan persoalan dengan menggunakan tingkat kewenangan yang bersifat khusus. Untuk itu, LKIN dalam aktivitasnya juga memiliki wewenang khusus untuk melakukan intersepsi komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, dan dalam memeriksa aliran dana tersebut LKIN dapat meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), bank yang bersangkutan,

lembaga

keuangan

bukan

bank,

dan

lembaga

jasa

pengiriman uang. Sehubungan dengan kewenangan khusus untuk melakukan intersepsi oleh intelijen, berikut perbandingan di negara lain:

31

SPECIAL POWER AGENCY

SPECIAL POWERS Directed surveillance. Interception of communication. Intrusive surveillance.

MI5

ASIO

Intercept tellecommunication, use listening devices and tracking devices, remotly access computers, enter and search premises, examine postal articles, and the questioning of person for purpose of investigating terrorism.

CSIS

To enter any place or open or obtain access to anything. To search for, remove or return, or examine, take extracts from or make copies of or record in any other manner the information, record, document or thing, or To install, maintain, or remove any thing

Dengan merujuk perbandingan tersebut, kepada LKIN dapat diberikan kewenangan intersepsi komunikasi seperti: penyadapan telepon dan faximile,

membuka

email,

membuka

surat,

memeriksa

paket,

dan

pemeriksaan aliran dana. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”. Kewenangan penyelenggara

intersepsi

komunikasi

intelijen negara perlu

dimaksudkan

bahwa

bergerak secara

para

cepat untuk

pengusutan suatu kasus, dan ini antara lain dengan melakukan penyadapan. Kewenangan terkait intersepsi diharapkan dapat mendorong intelijen agar dapat bekerja secara efektif. Dengan berdasarkan harapan atas pencapaian tugas itu, jelas bahwa intelijen negara memerlukan otonomi penuh untuk mengatur sendiri penyadapannya. Meskipun dapat dilakukan secara otonom, dalam pelaksanaannya intelijen negara dituntut untuk tetap memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, yaitu: 1.

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

32

2.

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Untuk memperoleh data intelijen yang akurat dan obyektif mengenai ancaman, khususnya yang berkaitan dengan terorisme, LKIN perlu diberi wewenang

yang

sifatnya

dapat

membatasi,

mengurangi

dan/atau

menghilangkan sebagian kebebasan sipil namun sekaligus mendukung hak asasi manusia secara lebih luas dimensinya, serta dapat mengakses langsung ke sumber informasi aktual. Meskipun naskah RUU Intelijen Negara tidak mengatur mengenai “pemeriksaan intensif”, namun dalam aktivitas Intelijen Negara yang telah berlaku selama ini, pemeriksaan intensif merupakan bagian dari wewenang khusus selain daripada wewenang untuk melakukan intersepsi komunikasi. Pemeriksaan intensif dilakukan terhadap setiap orang yang diduga kuat sebagai teroris. Urgensi dilakukannya pemeriksaan intensif adalah terkait dengan kepentingan deteksi dan peringatan dini untuk mencegah terjadinya berbagai ancaman yang semakin bersifat global dan beragam bentuknya. Dalam hal hasil pemeriksaan tidak memenuhi syarat sebagai bukti permulaan, maka yang bersangkutan wajib segera dibebaskan dan diberi kompensasi, restitusi, dan/atau

rehabilitasi.

Yang

dimaksud dengan

“kompensasi” adalah ganti kerugian yang diberikan oleh LKIN. Adapun “restitusi” adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh

LKIN, dapat berupa pengembalian

harta milik,

pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan, “rehabilitasi” adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain yang diberikan oleh LKIN. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pembebanan kepada LKIN terkait

33

kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, merupakan salah satu bentuk dari akuntabilitas dan sifat kekhususan Undang-Undang tentang Intelijen Negara. Hal yang juga penting dicatat terkait kepemilikan wewenang khusus bagi intelijen, yaitu melalui kelembagaan LKIN yaitu terkait dengan pemeriksaan intensif terhadap setiap orang yang diduga teroris, adalah dengan tetap memperhatikan terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum. Ketentuan yang mengikat secara ketat terhadap penggunaan wewenang khusus LKIN adalah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam operasi intelijen dan potensi penggunaaan secara kekerasan. Dalam konteks konstitusi, kewenangan khusus intelijen yang dimiliki oleh LKIN, kiranya dengan mengingat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Kewenangan khusus intelijen yang dimiliki oleh LKIN juga memperhatikan pembatasan Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Sebagai pembanding mengenai substansi pembatasan Hak Asasi Manusia mengacu kepada: 1. Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration Of Human Rights): “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-

34

syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum serta keselamatan umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 2. Dokumen Siracusa Dokumen Siracusa lahir dari hasil pertemuan para pakar pertahanan, keamanan nasional, dan hak asasi manusia di Johannesburg, Afrika Selatan. Dokumen tersebut melahirkan prinsip-prinsip Siracusa yang kemudian diadopsi oleh PBB. Isi prinsip-prinsip dokumen tersebut sebagai berikut: “Pembatasan hak asasi manusia dapat yang dibenarkan

sepanjang

berkaitan

dengan

keamanan

nasional,

keselamatan bangsa dan dan diatur dengan undang-undang”. Serangan

terorisme

sulit

dideteksi

dan

diprediksi,

mengingat

aktivitasnya dilakukan secara tertutup, jaringan dan pengendaliannya longgar, mobilitasnya tinggi, bersifat global, dan tidak mengenal batas teritorial dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Serangan teroris menyebabkan kerugian jiwa dan harta yang sangat besar, merusak citra di dunia internasional, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Terorisme bukan saja diklasifikasikan sebagai kejahatan umum, tetapi masyarakat internasional telah menyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh sebab itu, dalam rangka melindungi hak asasi manusia yang lebih besar dan kepentingan nasional lainnya, maka intelijen negara sangat memerlukan payung hukum bagi kepemilikan dan pelaksanaan kewenangannya yang bersifat khusus terkait pemeriksaan secara intensif terhadap orang-orang yang diduga kuat terlibat dalam aksi terorisme.

E. Penyelenggaraan Intelijen Negara Umumnya setiap negara mengorganisir badan-badan intelijen sesuai dengan budaya, sejarah, karakteristik, dan wawasan nasionalnya. Indonesia mengorganisasikan intelijennya sebagai berikut: 1.

Intelijen Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyelenggarakan fungsi dan aktivitas intelijen pertahanan dan/atau militer. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Intelijen Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

35

2.

Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia menyelenggarakan fungsi dan aktivitas intelijen kriminal dan penegakan hukum. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.

Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia menyelenggarakan fungsi dan aktivitas intelijen penegakan hukum. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

4.

Kementerian atau Lembaga Pemerintah nonkementerian meliputi unsur atau bagian yang menyelenggarakan fungsi dan aktivitas Intelijen

pada

Kementerian

atau

Lembaga

Pemerintah

nonkementerian dan/atau Pemerintah Daerah. Kementerian atau Lembaga Pemerintah nonkementerian dan/atau Pemerintah Daerah bertugas menyelenggarakan intelijen sesuai dengan bidang tugas lembaganya.

F.

Personil Intelijen Negara Tuntutan kemampuan dan kompetensi profesionalisme (professional competence) menjadi syarat mutlak menuju terbinanya sosok intelijen yang profesional. Profesionalisme intelijen menuntut intelijen dalam aktivitasnya menghormati demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, nilai-nilai budaya, dan sejarah dalam rangka mewujudkan sebuah negara demokratis. Pembinaan intelijen negara adalah kegiatan yang berlanjut, meliputi pembinaan

kegiatan

perencanaan,

pengorganisasian,

pengendalian, riset, dan pengawasan. Pembinaan

penggiatan,

kemampuan

sumber

daya manusia memerlukan suatu sistem manajemen personil yang modern agar dapat menjadi personil intelijen yang profesional, memiliki integritas tinggi, produktif, beriman dan bertaqwa, loyal terhadap bangsa dan negara melalui: 1.

Seleksi dan rekrutmen;

2.

Pendidikan dan pelatihan; dan

3.

Penugasan intelijen secara berjenjang dan berkelanjutan.

36

Pola karier, kenaikan pangkat, dan jabatan personil intelijen harus didasarkan pada sistem kecakapan (merit system) dan tingkat keberhasilan profesional di bidang intelijen. Selain itu, perlu Personil

(SIMP)

dibangun

suatu

Sistem

Informasi

Manajemen

agar mampu menyajikan data personil secara cepat,

akurat, terkini, terpadu, dan dapat dipercaya. Personil intelijen perlu didukung dengan sistem kesejahteraan yang memadai, misalnya perawatan kesehatan, koperasi dan fasilitas lainnya. Pembinaan personil intelijen, bukanlah untuk ditakuti namun disegani dan

dipercaya

oleh

rakyat

karena

bobot

profesional

intelijennya

diakui/dihargai. Mengingat tingkat kerahasiaannya yang tinggi, personil intelijen tidak boleh muncul di dalam publikasi apapun dan tidak terdaftar dalam daftar karyawan (list employees) dan daftar gaji (payroll) resmi. Untuk tercapainya pembinaan personil intelijen dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya yang berdaya guna dan berhasil guna dibutuhkan

dukungan

anggaran

yang

memadai.

Mengenai

sistem

pertanggungjawaban anggaran bagi penyelenggaraan dan pembinaan intelijen dimaksud dilaksanakan secara khusus. Dalam menghasilkan personil

intelijen yang berkualitas, senantiasa

perlu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan pendidikan dan pelatihan (Diklat), dan peningkatan fasilitas sarana dan prasarana. Pembinaan yang dilakukan hendaknya disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Adapun sistem pendidikan dan pelatihan intelijen meliputi pendidikan formal dan non formal. Langkah-langkah dalam rangka penyempurnaan pelaksanaan penelitian dan pengembangan (Litbang)/riset, yaitu: 1.

Membangun sarana dan prasarana dengan konsepsi dan metodametoda mutakhir.

2.

Mengembangkan sistem pengawasan dan pengendalian yang efektif dan efisien.

3.

Penataan rangkaian kegiatan pembinaan intelijen negara yang meliputi

perencanaan,

pengorganisasian,

penggiatan,

pengendalian, dan pengawasan dalam suatu sistem manajemen

37

modern

yang

disesuaikan

dengan

kemajuan

Iptek

(Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi) di alam demokrasi/reformasi. 4.

Memelihara dan meningkatkan etika profesi intelijen/kode etik intelijen serta tetap memegang sumpah personil intelijen negara.

5.

Menjaga kerahasiaan semua aktivitas intelijen.

6.

Memberikan sanksi yang tegas (punishment) terhadap personil intelijen yang melanggar sumpah personil intelijen negara, tugas pokok, dan fungsi intelijen, sebaliknya memberikan penghargaan (reward) terhadap personil intelijen yang berprestasi dalam tugasnya.

7.

Menggalang kerjasama dengan para pakar atau ahli di bidang keilmuan baik di berbagai universitas maupun swasta demi keberhasilan tugas intelijen.

8.

Menggalang kerjasama dengan badan-badan intelijen luar negeri sesuai kebutuhan organisasi dan hubungan fungsional, seperti kerjasama di bidang pendidikan, pelatihan, dan operasional.

9.

Membangun budaya intelijen negara secara konseptual, konsisten, dan sistematis.

10. Membina mereka yang sudah diluar badan intelijen (a.l. pensiun) secara langsung atau tidak langsung, karena kemampuan atau keahlian

dan

pengetahuan

yang

dimilikinya,

agar

tidak

dimanfaatkan oleh pihak ”lawan” untuk tujuan-tujuan anti NKRI. 11. Pengembangan kemampuan profesionalisme personil intelijen negara dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang. 12. Setiap personil intelijen beserta keluarganya diberikan perlindungan secara fisik dan non fisik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G. Pembiayaan Proses pengelolaan anggaran intelijen yang memadai dimulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporan pertanggungjawaban secara khusus.

38

Penyelenggara

intelijen

negara

yaitu

intelijen

Tentara

Nasional

Indonesia, Intelijen Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Intelijen Kejaksaan Republik Indonesia berhak memperoleh alokasi anggaran melalui mekanisme dan prosedur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sedangkan,

anggaran

bagi

badan-badan

intelijen

di

luar

penyelenggara intelijen negara, disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan keuangan negara.

H. Pertanggungjawaban dan Pengawasan Pertanggungjawaban berupa laporan tertulis dari penyelenggara intelijen negara

disampaikan

kepada

Presiden

melalui

Ketua

LKIN.

Pertanggungjawaban tersebut sesuai dengan dinamika yang berkembang saat ini. Di era transparansi, tuntutan demokratisasi, supremasi hukum, akuntabilitas, dan hak asasi manusia bukanlah berarti bahwa aktivitas badan-badan intelijen harus transparan pula. Selain itu, untuk menghindari tuduhan-tuduhan dan kecurigaan-kecurigaan oleh sebagian masyarakat selama ini, yakni: 1.

Kegiatan intelijen cenderung digunakan untuk kepentingan politik penguasa atau politik praktis;

2.

Adanya penyalahgunaan wewenang;

3.

Adanya tumpang tindih dalam penugasan antar badan-badan intelijen, perlu disiapkan secara konseptual pembentukan UndangUndang Intelijen Negara.

Sebagai

referensi,

parlemen

di

beberapa

negara

mempunyai

kewenangan melakukan pengawasan terhadap intelijen. Contoh:

COUNTRY

MANDATE OF OVERSIGHT Review

the

TYPE OF BODY

administration Joint

Committee

and expenditure, any matter Intelligence AUSTRALIA

and

on

Security,

in relating to ASIO, ASIS, consist of 9 members (4 DIGO, DIO, DSD, ONA.

senator, must

5 be

HR).

Majority

government

39

members.

Finance, administration and The UNITED KINGDOOM

Intelligence

and

policy of MI5, MI6 and GCHQ Security Committee, consist with review on efficiency. It of 9 members, drawn from does not check legality.

both the HC and the HL Appointed by the PM.

Performance of duties and The functions. CANADA

security

Intelligence

Investigates

the Review committee, consist

complaint of any person.

of (3 – 5) Privy Councilor, 12 members of t he HC

Review

all

intelligence Two

agencies.

Congressional Over-

sight

UNITED

Approves

top

STATES

appointments. It check both The

Committees

on

intelligence Intelligence

legality and effectiveness.

Senate

Select

Committee (13-17), House Permanent Committee (19).

Berdasarkan contoh tersebut dapat digunakan sebagai bahan perbandingan mengenai materi pengawasan intelijen oleh DPR RI. Semua aktivitas yang dilakukan personil intelijen adalah rahasia negara. Khususnya dalam rangka keselamatan, kesejahteraan, keamanan, dan kepentingan negara, Undang-Undang tentang Intelijen Negara harus dapat menjamin akses dan aktivitas badan intelijen ke kementerian atau lemabaga pemerintah non kementerian dan/atau pemerintah daerah maupun swasta yang jelas-jelas berindikasi merugikan atau membahayakan keselamatan dan kepentingan negara. Kemudian secara tegas perlu digariskan wewenang serta wilayah kegiatan semua badan intelijen negara yang

ada,

maupun

prosedur

pengoordinasian

dan

pembinaan

penyelenggara intelijen negara sesuai doktrin intelijen yang berlaku. Pada prinsipnya DPR RI sebagai wakil rakyat dapat melakukan pengawasan terhadap intelijen melalui prosedur dan mekanisme perangkat

40

kelengkapan DPR RI. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI terhadap intelijen negara merupakan pengawasan secara legislatif. Pengawasan tersebut terbatas substansi kebijakan intelijen yang berkaitan dengan keamanan nasional dan keselamatan warga negara, bukan pengawasan secara teknis operasional maupun aktivitas intelijen secara rinci. Pengawasan anggaran merupakan inti kontrol parlemen. Parlemen memainkan peran yang berbeda dalam penganggaran dan prosedur pembukuan untuk badan-badan keamanan dan intelijen, misalnya dalam hal cakupan kontrol anggaran, kekuasaan untuk mengamandemen anggaran, kekuasaan utnuk menyetujui permintaan tambahan anggaran, akses terhadap informasi rahasia. Dalam kasus apa pun, parlemen memiliki suara dalam isu anggaran karena badan-badan keamanan dan intelijen dibiayai dari uang pembayar pajak. Parlemen memiliki peran dalam penganggaraan dan proses-proses pembukuan badan-badan keamanan dan intelijen. Kekuasaan dalam hal keuangan yang dipraktikkan. Parlemen harus dilihat dari 2 (dua) konteks, yaitu dari konteks keseluruhan proses penganggaran, juga dari mandat badan parlemen yang diberi tugas pengawasan aktivitasaktivitas khusus pemerintah tersebut. Parlemen dapat memperhatikan isu-isu yang berkaitan dengan badanbadan keamanan dan intelijen dalam semua tahap siklus anggaran, di mana sebagian besar negara-negara telah mengadopsi sistem perencanaan, pemrograman, dan anggaran. Persiapan anggaran secara umum adalah tahap, di mana eksekutif mengajukan alokasi uang untuk beberapa tujuan dan parlemen beserta para anggotanya dapat berkontribusi dalam proses tersebut melalui berbagai mekanisme formal dan informal. Persetujuan anggaran, bahwa parlemen harus dapat mempelajari dan menentukan kepentingan publik, kesesuaian alokasi uang, dan dalam konteks tertentu dapat melengkapi alokasi anggaran yang berkaitan dengan keamanan dengan pedoman tertentu. Mengenai pengeluaran dalam tahap ini, parlemen mengulas dan memantau pengeluaran serta dapat berusaha meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Akuntabilitas

dan

transparansi

adalah

syarat

utama

dalam

penganggaran yang efektif. Cara terbaik untuk merealisasikan akuntabilitas adalah melalui proses pembuatan anggaran yang transparan. Akuntabilitas

41

dan transparansi yang baik dapat dikembangkan dari prinsip-prinsip penganggaran

yang

efektif.

Efektivitas

anggaran

harus

dapat

mengkomunikasikan pemahaman yang jelas akan tujuan anggaran dalam hal sumber daya, kinerja, atau tujuan kapasitas yang akan dicapai dan hasil yang dapat diukur terhadap rencana. Sedangkan

pengawasan

fungsional

dilaksanakan

oleh

Dewan

Kehormatan Intelijen Negara melalui kode etik. Pengawasan ini bersifat pengawasan managerial, yaitu apakah pencapaian tujuan aktivitas intelijen sesuai

dengan

sasaran

dan

pengguna

sumber

daya

yang

telah

direncanakan.

I.

Ketentuan Pidana 1.

Delik Kesengajaan (Dolus) Kesengajaan (dolus) adalah merupakan bagian dari kesalahan (schuld). Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa. Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan apabila dilakukan dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang padahal jika dilakukan dengan sengaja merupakan suatu kejahatan, misalnya penggelapan (Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP), dan lain sebagainya. Banyak para sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian kesengajaan (dolus). Dalam beberapa hal tidak terdapat keseragaman tafsir antara para sarjana tersebut. Perbedaan tafsir tersebut antara lain terdapat dalam bidang peristilahan yang digunakan dalam perumusan perundang-undangan, bidang gradasi kesengajaan, dan terutama bidang "penentuan" erat/renggangnya atau jauh/dekatnya kejiwaan pelaku kepada tindakan yang dilakukannya, termasuk penyebab dan akibatnya. Ulasan-ulasan

mengenai

kesengajaan

dapat

dilakukan

dari

berbagai pandangan:

42

a. Kesengajaan menurut memori penjelasan Menurut memori penjelasan (memorie van toelichting), yang dimaksudkan dengan kesengajaan adalah "menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. (willens en wetens veroorzaken van een gevolg). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus

menghendaki

serta

menginsyafi

tindakan

tersebut

dan/atau akibatnya. Dari seseorang yang melakukan suatu tindakan karena ia dipaksa, tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena kehendaknya sendiri. Demikian pula seseorang yang gila yang lari dengan telanjang di muka umum, atau seseorang anak yang mempertunjukkan gambar porno, tidak dapat dikatakan bahwa ia menghendaki dan menginsyafi perbuatan merusak kesusilaan di muka umum. b. Kesengajaan dari sudut terbentuknya Manusia yang sehat mempunyai bermacam keinginan. Adakalanya keinginan itu menjurus kepada tindakan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh perundang-undangan. Misalnya untuk memiliki sebuah benda berharga yang ia butuhkan, tetapi ia tidak sanggup untuk membelinya. Bilamana ia sangat bernafsu memiliki benda tersebut, pada suatu ketika dapat terjadi bahwa ia akan melakukan tindakan apapun, demi untuk memiliki benda tersebut, kendati dilarang oleh perundangundangan. Nafsu untuk memiliki tersebut adalah merupakan perangsang atau motif dari kelakuannya selanjutnya. Jika ia selanjutnya merencanakan cara-cara yang akan dilakukannya untuk memiliki benda tersebut, maka padanya telah ada kehendak (oogmerk). Untuk terjadinya suatu tindak pidana, maka kemudian ia melaksanakan tindakan yang dikehendakinya itu. Singkatnya, dalam rangka mewujudkan kehendaknya itu, ada 3 (tiga) tingkatan yang dilaluinya, yaitu: 1). Adanya perangsang, 2). Adanya kehendak, dan 3). Adanya tindakan.

43

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa kesengajaan adalah suatu kehendak untuk melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh pemenuhan nafsu. Dengan perkataan lain kesengajaan itu ditujukan terhadap suatu tindakan. Jelas bahwa proses kejiwaan yang mendahului pengambilan ketetapan untuk melakukan tindakan yang terlarang, memainkan peranan yang penting. Penyebab dari proses itu adalah motif dari pelaku, walaupun untuk tindak pidana, motif itu tidak mempunyai kepentingan. Hanya dalam hal pemidanaannya persoalan motif mempunyai

kepentingan.

Sehubungan

dengan

motif

ini,

dibentuklah alam pemikiran atau gagasan untuk memenuhi nafsunya tersebut. Setelah mengambil ketetapan maka proses kejiwaan itu telah selesai. Kemudian diikuti oleh tingkah laku untuk mewujudkan kehendak tersebut, dari tingkah laku mana akan dapat disimpulkan, apakah tindakan tersebut telah dilakukannya dengan sengaja atau tidak. Karenanya dalam banyak hal, kesengajaan itu dapat disimpulkan dari sikap pelaku, sebelum, selama, dan/atau setelah tingkah laku tindakan yang terlarang.6 Sehubungan

dengan

pembuktian

kesengajaan,

sering

terbentur pada kesulitan-kesulitan, terutama bilamana pelaku memungkirinya, bahkan sering tidak dapat dibuktikan. Sering dalam usaha pembuktian mengenai adanya kesengajaan, terdapat pada keadaan-keadaan yang telah terjadi. Dengan perkataan lain pembuktian mengenai adanya kesengajaan, sering dinilai dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku beserta akibatnya.7 c.

Sifat kesengajaan (dolus malus) Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus, yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak

6

Schreyder.W.h., BERG van de A.L.A. en DUNNEWIJK J.A. Mr Het Wetboek van Strafrecht, A.W. Sijthoffs Uitgevers maatschappij NV Leiden-1951 dalam Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 80. 7 Van Dijk, Het Wetboek van Militair Strafrecht en wet op de Krijgstucht. N. Samson NVAlphen aan de Rijn-1952, Ibid., hlm. 120.

44

pidana, tidak saja ia hanya menghendaki tindakannya itu, tetapi juga ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang oleh undangundang dan diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukuplah jika hanya menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya (bathin) dengan tindakannya. Tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Ajaran pertama sudah tidak dianut lagi. Karena apabila ajaran itu tetap dipertahankan, akan memberikan beban yang sangat berat bagi para penegak hukum, terutama hakim. Menurut teori ini, hakim mewajibkan untuk membuktikan bahwa pelaku betul-betul menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Pada hal untuk membuktikan "kehendak" saja sudah sulit. Akan semakin sulit lagi jika "keinsyafan" tersebut harus dibuktikan. Seperti diketahui tidak semua orang yang pernah membaca atau mendengar tentang tindakan mana saja yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Maka wajar jika kemudian yang dianut adalah ajaran yang kedua, yang lebih sederhana. Kesengajaan jenis kedua inilah yang dianut dalam hukum pidana Indonesia. Undang-undang hukum pidana menentukan untuk dapat dipidananya seseorang atau pelaku tidak tergantung dari keinsyafan, apakah suatu tindakan dilarang dan diancam dengan pidana. Sebagai imbalannya ialah bahwa hanya tindakan tertentu

yang

harus

diatur

dalam

undang-undang,

yang

ditentukan sebagai kejahatan, yang oleh setiap orang yang berpendidikan

normal

dapat

mengetahui

bahwa

tindakan

tersebut bertentangan dengan ketertiban masyarakat atau kesusilaan. Harus diakui bahwa stelsel ini dalam beberapa hal akan mengarah kepada kekurangtepatan (onbillijkheid) karena perkembangan yang luar biasa dari hukum, sehingga para

45

sarjana pun sering harus membuka buku untuk mengetahui apakah suatu tindakan merupakan tindak pidana atau tidak. Namun

demikian

kesengajaan

jenis

kedua, masih

tetap

dipandang sebagai yang lebih baik. 2.

Delik Kelalaian (Culpa) Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui bahwa sifat atau ciricirinya adalah: a.

Sengaja melakukan suatu tindakan yang tenyata salah, karena menggunakan

ingatan

secara

salah,

seharusnya

ia

menggunakan ingatannya dengan sebaik-baiknya, tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan. b.

Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.

Memorie van toelichting menjelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat: a.

Kekurangan pemikiran atau penggunaan akal yang diperlukan;

b.

Kekurangan pengetahuan atau ilmu yang diperlukan; dan

c.

Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah

kebalikan

dari

kesengajaan,

karena

bilamana

dalam

kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki pelaku, maka dalam kealpaan justru akibat itu tidak dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya. Disinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

46

Perbedaan

antara

kesengajaan

dengan

kealpaan

dalam

hubungannya dengan suatu tindakan yang dapat dipidana adalah: a.

Sesuatu akibat pada kealpaan, tidak dikehendaki pelaku walaupun dapat diperkirakan, sedangkan pada kesengajaan justru akibat itu adalah perwujudan dari kehendak dan keinsyafannya.

b.

Percobaan untuk melakukan suatu kejahatan karena kealpaan pada umumnya tidak dapat dibayangkan, karena memang niat untuk melakukannya tidak ada, karenanya tidak mungkin ada pemidanaan.

c.

Selain bentuk kejahatan sengaja tidak dengan sendirinya, ada pula bentuk kejahatan kealpaan. Penyelesaian "tindakan" dengan kealpaan seperti ini, sering dilaksanakan di bawah tangan atau melalui saluran hukum perdata yaitu "ganti-rugi". Penyelesaian seperti ini adalah karena "tindakan alpa", tidak dianggap sebagai merugikan atau membahayakan kepentingan umum.

d.

Ancaman pidana terhadap delik yang dilakukan dengan sengaja, lebih

berat dibandingkan

terhadap

delik

yang

bersamaan karena kealpaan. e.

Jika dolus eventualis dibandingkan dengan kealpaan yang berat (bewuste schuld atau culpa lata), maka pada dolus eventuatis disyaratkan adanya kesadaran akan kemungkinan terjadinya sesuatu akibat, kendatipun ia bisa berbuat lain, tetapi lebih suka melakukan tindakan itu walaupun tahu risikonya. Sedangkan

pada

culpa

lata

disyaratkan

bahwa

pelaku

seharusnya dapat menduga (voorzien) akan kemungkinan terjadinya sesuatu akibat, tetapi sekiranya "diperhitungkan" akibat itu akan pasti terjadi, ia lebih suka tidak melakukan tindakannya itu. Di samping itu pada pelaku terdapat kekurang hati-hatian. Penggradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari 2 (dua) sudut, yaitu:

47

a.

Di lihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan gradasi kealpaan dengan: 1). Kealpaan yang berat (culpa lata). 2). kealpaan yang ringan (culpa levis). Untuk mengetahui apakah ada kealpaan atau tidak, dilihat dari sudut kecerdasan, untuk gradasi yang pertama disyaratkan adanya kekurangwaspadaan (onvoorzichtigheid). Untuk gradasi kedua, disyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan : 1). Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku (de gemiddelde mens van de groep, waartoe de dader behoort); atau 2). Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam golongan pelaku (de meest bekwame, verstandigste mens van de groep van de dader). Dari hasil perbandingan tersebut akan diambil kesimpulan, apakah telah ada kealpaan.

b.

Dilihat dari sudut kesadaran (bewustheid), dibedakan gradasi: 1). Kealpaan yang disadari (bewuste schuld), 2). Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).

Dikatakan sebagai "kealpaan yang disadari", jika pelaku dapat membayangkan/memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul juga. Dan dikatakan sebagai "kealpaan yang tidak disadari", bilamana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi seharusnya menurut perhitungan umum/yang layak, pelaku dapat membayangkannya (onverchilligheid ten opzichte van rechtsbelangen van anderen).

3.

Asas Minimal Universal Maksimal Spesial (Asas Minimum Khusus Maksimum Khusus) Minimal Universal ialah penjatuhan hukuman terendah (minimal) yang bersifat umum universal berlaku bagi setiap perkara dengan jenis hukuman masing-masing. Asas ini menjamin kepastian hukum dalam

48

pelaksanaan atau penerapan hukum pidana kita. Berhubung dengan adanya asas ini Hakim terikat pada asas Minimum dan batas Maksimum penghukuman yang harus dijatuhkannya, artinya Hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dari batas minimal hukuman dan Hakim tidak dapat pula bertindak sekehendak hatinya untuk menetapkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan undang-undang. Penegakan hukum pidana, secara fungsional akan melibatkan minimal 3 (tiga) faktor yang saling terkait, yaitu perundang-undangan; aparat atau penegak hukum; dan kesadaran hukum. Faktor perundangundangan dalam hal ini perundang-undangan pidana, meliputi hukum pidana materiil atau hukum pidana substantif, hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Berkaitan dengan faktor perundang-undangan pidana, bahwa 2 (dua) aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum pidana tersebut adalah isi atau hasil penegakan hukum (substantif justice) dan tata cara penegakan hukum (procedural justice). Dalam praktik pembuatan perundang-undangan di Indonesia, penggunaan pidana sebagai bagian dari politik atau kebijakan hukum pidana sudah dianggap sebagai hal yang wajar, hingga terkesan tidak perlu lagi dipersoalkan eksistensinya. Akibat yang bisa dilihat adalah hampir selalu dicantumkannya sanksi pidana pada setiap kebijakan pembuatan perundang-undangan pidana di Indonesia dengan tanpa adanya penjelasan resmi tentang penentuannya. Bahwa untuk penjatuhan pidana pada delik tertentu, manakah yang harus lebih diprioritaskan antara kepentingan kepastian hukum di satu pihak ataukah kepentingan keadilan di lain pihak, demikian juga manakah yang harus diprioritaskan antara kepentingan perlindungan masyarakat di satu pihak dengan kepentingan pembinaan individu pelaku tindak pidana di lain pihak. Hal ini merupakan reaksi dan sikap kritis terhadap beragamnya putusan pengadilan yang sudah diputuskan oleh lembaga peradilan terhadap perkara-perkara tindak pidana tertentu. Tampak luar dari persoalan tersebut adalah munculnya isu disparitas pidana (disparity of sentencing) diantara delik-delik tertentu tersebut.

49

Adanya fakta disparitas pidana yang sangat mencolok untuk delik yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, dan adanya keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya standar minimal obyektif untuk delik tertentu yang sangat dicela dan merugikan atau membahayakan masyarakat atau negara, serta demi untuk

lebih

prevention)

mengefektifkan terhadap

pengaruh

delik-delik

prevensi

tertentu

umum yang

(general dipandang

membahayakan dan meresahkan masyarakat, maka lembaga undangundang kemudian menentukan, bahwa untuk delik tertentu, disamping ada pidana maksimum khususnya, juga sekaligus ditentukan pidana minimum khususnya. Indonesia sampai dengan sekarang ini belum memiliki sistem pemidanaan yang bersifat nasional, yang di dalamnya mencakup pola pemidanaan dan pedoman pemidanaan, yaitu acuan atau pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat atau menyusun peraturan perundang-undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut pedoman legislatif atau pedoman formulatif. Sedangkan pedoman pemidanan adalah pedoman penjatuhan atau penerapan pidana untuk hakim (pedoman

yudikatif/pedoman

aplikatif).

Dilihat

dari

fungsi

keberadaannya, pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP nasional dibuat. Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan hukum Pidana, delik

tertentu yang ditentukan pidana minimum

khususnya adalah yang berkarakter sebagai berikut: a.

Delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat;

b.

Delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya.

Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam beberapa undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, nampak hal-hal sebagai berikut: a.

Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan dan denda) berapa dapat dimulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun, dari 3 (tiga)

50

tahun hingga 15 (lima belas) tahun, dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan ukuran tahun dan ada juga yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda, ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran milyaran rupiah. b.

Tidak ada keseragaman tentang kisaran untuk pidana penjara minimum khusus. Demikian juga dengan pidana kurungan minimum

khusus

dan

pidana

denda

minimum

khusus.

Selanjutnya dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda, menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak semuanya menunjukkan bahwa delik tersebut

merupakan

delik

yang

sangat membahayakan/

meresahkan masyarakat, dan atau delik yang dikualifisir atau diperberat akibatnya. c.

Tidak ada kesetaraan rasio, antara maksimum khusus dengan minimum khusus baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda.

Beragamnya rumusan dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus sebagaimana tersebut di atas, bersumber pada belum adanya pola pemidanaan yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legistlasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya potensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukum di tingkat kebijakan aplikasi. Pidana minimum khusus adalah ancaman pidana dengan adanya pembatasan terhadap masa hukuman minimum dengan waktu tertentu, dimana pidana minimum khusus ini hanya ada pada undang-undang tertentu saja diluar KUHP, dan dalam konsep rancangan KUHP yang akan datang, hukuman minimum khusus ditujukan bagi delik yang meresahkan dan membahayakan bagi masyarakat. Tidak semua undang-undang mempunyai hukuman pidana minimum khusus, salah satunya adalah undang-undang mengenai tindak pidana narkotika.

51

Dalam penerapan hukuman pidana minimum khusus ini diharapkan akan memudahkan hakim untuk memutuskan perkara yang tidak terlalu berat karena sering sekali terjadi perbedaan vonis pada kasus yang sama, yang disebabkan adanya hal-hal diluar fakta hukum yang dapat mempengaruhi hakim. Selain untuk delik yang membahayakan dan meresahkan masyarakat, pidana minimum khusus ditujukan juga untuk membuat efek jera bagi pelaku tindak pidana. KUHP yang berlaku saat ini menganut sistem maksimum (umum dan khusus) serta minimum umum. Hal ini menyebabkan hakim dalam menjatuhkan pidana dapat bergerak antara pidana paling tinggi dan paling rendah. Berhubung bermacam-macam ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP, hakim Indonesia mempunyai kebebasan yang sangat luas menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Akibat dari ketentuan semacam itu, terkadang tindak pidana yang secara hakiki kualitasnya sama dijatuhi pidana yang berbeda-beda (disparitas pidana). Untuk mencapai hukum pidana yang lebih baik dan lebih mengutamakan keadilan, diadakan pembaharuan hukum pidana sehingga di dalam rancangan konsep KUHP baru dan dalam

beberapa

perundang-undangan

pidana

khusus

telah

menggunakan sistem minimum khusus, diantaranya adalah UndangUndang tentang Narkotika dan Undang-Undang

Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dampak positif dari penerapan sistem minimum khusus yang paling utama adalah dapat mengurangi atau meminimalisir adanya disparitas pidana. Sistem minimum khusus dalam perundang-undangan pidana khusus merupakan salah satu pembaharuan dalam hukum pidana. Hal ini disebabkan penerapan sistem minimum khusus dalam perundangundangan pidana khusus juga mengandung karakteristik operasional hukum masa datang, dalam hal penggunaan sistem minimum khusus yang menginginkan pemidanaan yang tidak di bawah standar yang merupakan faktor pencegah atau preventif bagi seseorang yang akan melakukan tindak pidana, karena mereka akan berfikir ulang mengingat

52

sanksi yang tidak rendah dan sudah dapat diketahui sanksi pidana yang akan dihadapi (paling rendah) jika akan melakukan suatu tindak pidana.

4.

Dasar-Dasar Pemberatan Pidana Undang-undang membedakan antara dasar-dasar pemberatan pidana umum dan dasar-dasar pemberatan pidana khusus. Dasar pemberatan pidana umum adalah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana di luar KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus adalah dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. a.

Dasar Pemberatan Pidana Umum Undang-undang mengatur

tentang

3

(tiga)

dasar

yang

menyebabkan diperberatnya pidana umum, yaitu: 1). Dasar Pemberatan Pidana karena Jabatan Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya adalah: "Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga". Dasar pemberat pidana dalam Pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat, yaitu pejabat atau pegawai negeri mengenai 4 (empat) hal, ialah dalam melakukan tindak pidana dengan: a). melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya; b). memakai kekuasaan jabatannya; c). menggunakan kesempatan karena jabatannya; d). menggunakan

sarana

yang

diberikan

karena

jabatannya. Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah sepertiga adalah bagi seorang pejabat atau pegawai negeri

yang melakukan tindak pidana dengan melanggar

53

dan/atau menggunakan 4 keadaan tersebut di atas. Walaupun kualitas pegawai negeri dalam pasal ini sama dengan kualitas subjek hukum pada kejahatan-kejahatan jabatan dalam Bab XXVIII Buku II dan pelanggaran jabatan dalam Bab VIII Buku III, tetapi pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini tidak berlaku

pada

kejahatan-kejahatan

jabatan

maupun

pelanggaran jabatan tersebut, melainkan berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari kualitasnya sebagai pegawai negeri itu telah diperhitungkan. Jadi, pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini berlaku umum bagi seluruh jenis dan bentuk tindak pidana, kecuali pada

kejahatan

dan

pelanggaran

jabatan

seperti

yang

diterangkan di atas. Walaupun subjek tindak pidana Pasal 52 dengan subjek hukum kejahatan dan pelanggaran jabatan adalah sama, yakni pegawai negeri, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat atas dasar Pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan, yaitu: a). tindak

pidana

yang

dapat

diperberat

dengan

menggunakan Pasal 52 ini pada dasarnya adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang; b). tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran jabatan hanyalah dapat dilakukan oleh subjek hukum yang berkualitas pegawai negeri saja. Tentang siapa atau dengan syarat-syarat apa yang dimaksud dengan pegawai negeri tidaklah dijelaskan lebih jauh dalam undang-undang. Pasal 92 KUHP tidaklah menerangkan tentang siapa pegawai negeri, tetapi sekadar menyebut tentang beberapa macam pegawai negeri, atau bolehlah dikatakan memperluas macam pegawai negeri, yaitu: a). orang-orang

yang

dipilih

dalam

pemilihan

yang

diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

54

b). orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; c). semua anggota dewan subak; d). semua kepala rakyat Indonesia asli; dan e). semua

kepala

golongan

Timur

Asing

yang

menjalankan kekuasaan yang sah. Sedangkan

tentang

pengertian

pegawai

negeri,

diterangkan dalam yurisprudensi, seperti dalam pertimbanganpertimbangan putusan Hoge Raad masing-masing tanggal 301-1911, 25-10-1915 dan 26-5-1919, yang pada dasarnya menerangkan bahwa pegawai negeri itu adalah: "barang siapa yang

oleh

kekuasaan

umum

diangkat

untuk

menjabat

pekerjaan umum untuk melakukan sebagian dari tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya". Jadi pengertian pegawai negeri menurut Hoge Raad mengandung 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: a). dia diangkat oleh kekuasaan umum; b). untuk menjabat pekerjaan umum; dan c). melaksanakan sebagian tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya. Menurut Hoge Raad, gaji tidaklah merupakan syarat penting dari pengertian pegawai negeri. Pengertian pegawai negeri menurut Hoge Raad ini ternyata dianut pula oleh Mahkamah

Agung

RI

sebagaimana

dinyatakan

dalam

pertimbangan dari putusan-putusannya (22-12-1953, 1-121962) yang pada pokoknya menyatakan bahwa pegawai negeri adalah setiap orang yang diangkat oleh penguasa yang dibebani dengan jabatan umum untuk melaksanakan sebagian tugas negara. Dalam 2 (dua) undang-undang, yakni Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kepegawaian terdapat rumusan tentang pengertian pegawai negeri dan Undang-Undang tentang

55

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat perluasan arti pegawai negeri yang lebih sempurna daripada Pasal 92 maupun pengertian menurut yurisprudensi. Menurut

Undang-Undang

tentang

Pokok-Pokok

Kepegawaian, pegawai negeri adalah: "mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut perundang-undangan yang berlaku." Sedangkan yang lebih sempurna dan lebih luas adalah menurut ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Merumuskan sebagai berikut: "Pegawai negeri adalah meliputi: a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undangundang tentang Kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat." Walaupun kedua undang-undang tersebut merumuskan mengenai pegawai negeri secara lebih sempurna, namun pengertian dan perluasan arti pegawai negeri menurut kedua UU tersebut di atas tidak berlaku terhadap Pasal 52. Perihal pegawai negeri ini hanya berlaku sebagaimana pengertian menurut praktik hukum atau yurisprudensi dan perluasan arti menurut Pasal 92 saja, yaitu: a). Melanggar Suatu Kewajiban Khusus dari Jabatan Dalam hal ini, yang dilanggar oleh pegawai negeri dalam dia melakukan tindak pidana itu adalah

56

kewajiban khusus dari jabatan, dan bukan kewajiban umum jabatan. Dalam suatu jabatan in casu jabatan publik yang dipangku oleh seorang pegawai negeri terdapat suatu kewajiban khusus di dalamnya. Suatu kewajiban khusus adalah suatu kewajiban yang berhubungan erat dengan tugas pekerjaan tertentu dari suatu jabatan. b). Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan Kekuasaan Jabatan Suatu Jabatan in casu jabatan publik disamping membeban kewajiban khusus dan kewajiban umum dari jabatannya, juga memiliki suatu kekuasaan jabatan, yaitu kekuasaan yang melekat dan timbul dari jabatan yang dipangku. Kekuasaan yang dimilikinya ini dapat disalahgunakan pemangkunya untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan itu. c). Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan Kesempatan dari Jabatan Pegawai negeri dalam melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan

hak

dan

kewajiban

jabatan

yang

dipangkunya kadangkala memiliki suatu waktu yang tepat untuk melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang,

apabila

kesempatan

ini

disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana itu, dia dipidana dengan dapat diperberat sepertiganya dari ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam tindak pidana yang dilakukannya. d). Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan Sarana Jabatan Seorang

pegawai

negeri

dalam

menjalankan

kewajiban dan tugas jabatannya diberikan saranasarana tertentu, dan sarana mana dapat digunakan untuk melakukan tindak pidana tertentu. Disini dapat

57

diartikan menyalahgunakan sarana dari jabatannya untuk melakukan suatu tindak pidana. Pemberat pidana yang didasarkan pada 4 (empat) macam keadaan yang melekat atau timbul dari jabatan adalah wajar, mengingat

keadaan-keadaan

dari

jabatan

itu

dapat

memperlancar atau mempermudah terjadinya tindak pidana, dan juga dari orang itu membuktikan niat buruknya yang lebih kuat untuk mewujudkan tindak pidana, yang keadaan-keadaan mana diketahuinya atau disadarinya dapat mempermudah dalam mewujudkan apa yang dilarang undang-undang.

2). Dasar Pemberatan Pidana dengan Menggunakan Sarana Bendera Kebangsaan Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan dirumuskan dalam Pasal 52 a, KUHP: "Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera

kebangsaan

Republik

Indonesia,

pidana

untuk

diletakkan

pada

kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga." Alasan

pemberatan

pidana

yang

penggunaan bendera kebangsaan ini, dari sudut objektif dapat mengelabui orang-orang, dapat menimbulkan kesan seolaholah apa yang dilakukan si pembuat itu adalah sesuatu perbuatan yang resmi, sehingga oleh karenanya dapat memperlancar

atau

mempermudah

si

pembuat

dalam

usahanya melakukan kejahatan. Dalam Pasal 52a ini tidak ditentukan tentang bagaimana cara dalam menggunakan bendera kebangsaan pada waktu melakukan kejahatan itu, oleh sebab itu, dapat dengan menggunakan cara apa pun, yang penting kejahatan itu terwujud. Oleh karena dalam Pasal 52a ini disebutkan secara tegas penggunaan bendera kebangsaan itu adalah waktu melakukan kejahatan, maka di sini tidak berlaku pada pelanggaran. Di sini

58

berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut perundang-undangan di luar KUHP.

3). Dasar Pemberatan Pidana karena Pengulangan (Recidive) Ada 2 (dua) arti pengulangan, yang satu menurut masyarakat dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, di sini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi pengulangan dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang. Undang-undang pengulangan

sendiri

umum

tidak

(general

mengatur

recidive)

yang

mengenai artinya

menentukan pengulangan berlaku untuk dan terhadap semua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP kita mengatur sebagai berikut: a). Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu. b). Di luar kelompok kejahatan dalam KUHP, juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan. Pada tindak pidana lain yang tidak masuk pada butir a dan b tersebut di atas, tidak dapat terjadi pengulangan. Maksud pemberatan pidana adalah dapat ditambah dengan sepertiga dari ancaman maksimum pidana penjara yang

diancamkan

pada

kejahatan

yang

bersangkutan.

Sedangkan pada residivis yang ditentukan lainnya di luar kelompok tindak pidana ada juga yang diperberat dapat ditambah

sepertiga dari ancaman maksimum, tetapi banyak

59

yang tidak menyebut dapat ditambah dengan sepertiga, melainkan

diperberat dengan menambah

lamanya

saja,

misalnya dari 6 (enam) hari kurungan menjadi dua minggu kurungan atau mengubah jenis pidananya dari denda diganti dengan kurungan. Adapun rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini ialah terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu: a). lebih dari satu kali melakukan tindak pidana; b). telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama; dan c). pidana itu telah dijalankan pada yang bersangkutan. Pada faktor yang pertama sebenarnya sama dengan faktor pemberat

pada

perbarengan.

Perbedaannya

dengan

perbarengan ialah pada faktor kedua dan ketiga, sebab pada perbarengan si pembuat karena melakukan tindak pidana pertama kali belum diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Pemberatan pada pengulangan, yang lebih penting ialah pada faktor kedua dan ketiga. Penjatuhan pidana karena melakukan suatu tindak pidana, dapat dianggap sebagai suatu peringatan

oleh

negara

tentang

kelakuan

yang

tidak

dibenarkan. Dengan melakukan tindak pidana kedua kalinya, dinilai

bahwa

yang

bersangkutan

tidak

mengindahkan

peringatan negara tersebut, menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai perangai yang sangat buruk, yang tidak cukup peringatan dengan memidana sebagaimana yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Pidana yang dijatuhkan disamping merupakan suatu pencerminan tentang kualitas dan kuantitas kesalahan si pembuat adalah juga merupakan bagian dari suatu terapi yang ditetapkan oleh hakim

dalam

bersangkutan.

rangka

usaha

Rehabilitasi

perbaikan

terhadap

orang

perangai yang

yang pernah

dipidana dan telah menjalaninya haruslah lebih lama atau lebih

60

berat. Disinilah juga letak dasar pemberatan pidana pada pengulangan. Pemberatan pidana dengan dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum dari tindak pidana yang dilakukan harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: a). Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana

yang

telah

dijatuhkan

hakim,

atau

ia

dibebaskan dari menjalani pidana, atau ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara untuk menjalankan pidananya belum kadaluwarsa. b). Melakukan kejahatan pengulangannya adalah dalam waktu belum lewat 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani

sebagian

atau

seluruh

pidana

yang

dijatuhkan. Pada

syarat

yang

pertama,

disebutkan

4

(empat)

kemungkinan, ialah: a). telah menjalani seluruh pidana yang dijatuhkan; b). telah menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan; c). ditiadakan dari menjalani pidana; atau d). hak negara untuk menjalankan pidana terhadapnya belum lampau waktu. Dalam hal pengulangan, si pembuatnya harus sudah dipidana karena melakukan tindak pidana yang pertama kali. Walaupun tidak disebut perihal syarat telah dijatuhkan pidana, dengan menyebut syarat telah menjalani pidana, sudah pasti didalamnya

mengandung

syarat

telah

dijatuhi

pidana.

Mengenai pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan terdapat beberapa kemungkinan, yaitu: a). dilaksanakan seluruhnya; b). dilaksanakan sebagian; c). pelaksanaannya ditiadakan; dan d). tidak dapat dilaksanakan berhubung sesuatu halangan yang tidak dapat dihindarkan, misalnya sebelum putusan yang memidananya in kracht van gewijsde

61

atau sebelum putusan itu dieksekusi narapidana melarikan diri. Selain dibedakan antara bentuk pengulangan umum dan pengulangan khusus, dalam doktrin hukum pidana juga dikenal adanya bentuk pengulangan kebetulan (accidentally recidive) dan pengulangan kebiasaan (habitual recidive). Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu mengatasinya. Berbeda dengan pengulangan karena kebiasaan, yang menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana yang setelah keluar LP tidak menjadikan perangai yang lebih baik, justru pengaruh pergaulan di dalam LP menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan di sini memang wajar pidananya diperberat. Namun KUHP kita tidak membedakan antara dua jenis pengulangan tersebut. b.

Dasar Pemberatan Pidana Khusus Dasar pemberatan pidana yang telah dibicarakan di atas adalah bersifat umum, artinya berlaku untuk segala macam tindak pidana. Disamping dasar pemberatan pidana umum tersebut, undang-undang menyebut juga beberapa dasar atau alasan peniadaan pidana khusus, yang maksudnya hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang dirumuskan secara tegas, dan tersebar dalam beberapa pasal KUHP. Maksud diperberatnya pidana pada dasar pemberatan pidana khusus ini ialah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau di atas ancaman maksimum pada tindak pidana yang bersangkutan, sebab diperberatnya dicantumkan secara tegas dalam dan mengenai tindak pidana tertentu tersebut. Disebut dasar pemberat khusus, karena

hanya

berlaku

pada

tindak

pidana

tertentu

yang

dicantumkannya alasan pemberatan itu saja, dan tidak berlaku pada tindak pidana lain.

62

Dilihat dari berat ringan ancaman pidana pada tindak pidana tertentu yang sama macam atau kualifikasinya, dapat dibedakan dalam tindak pidana dalam bentuk pokok, bentuk yang lebih berat (gequalificeerde) dan bentuk yang lebih ringan (geprivilegeerde). Pada pasal mengenai tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap unsur-unsurnya, artinya rumusan dalam bentuk pokok mengandung arti yuridis dari kualifikasi atau jenis tindak pidana itu, yang ancaman pidananya berada di antara bentuk yang diperberat dan bentuk yang diperingan. Sebagai ciri dari tindak pidana dalam bentuk yang diperberat ialah harus memuat semua unsur yang ada pada bentuk pokoknya ditambah lagi satu atau lebih dari unsur khususnya yang bersifat memberatkan. Unsur khusus yang memberatkan inilah yang dimaksud dengan dasar pemberatan pidana khusus. Unsur khusus ini berupa unsur tambahan atau ditambahkan pada unsur-unsur tindak pidana jenis yang bersangkutan dalam bentuk pokok, yang dirumuskan menjadi tindak pidana yang berdiri sendiri dengan diancam dengan pidana yang lebih berat dari bentuk pokoknya. Jadi untuk membuktikan tindak pidana jenis itu yang diperberat haruslah membuktikan unsurunsur yang ada dalam rumusan bentuk pokoknya terlebih dulu walaupun dalam pasal yang bersangkutan unsur-unsur dalam bentuk pokok itu tidak diulang dengan merumuskannya lagi, melainkan hanya disebut kualifikasinya atau disebut pasal bentuk pokoknya, barulah membuktikan adanya unsur khusus dari bentuk yang diperberat. Mencantumkan unsur pemberat khusus dari bentuk pokok suatu jenis tindak pidana, dilakukan dengan 3 (tiga) macam cara, yaitu: 1). Dengan mencantumkannya dalam satu pasal dari rumusan bentuk pokoknya, tetapi pada ayat yang berbeda. 2). Dengan mencantumkannya pada pasal di luar pasal/yang lain dari rumusan bentuk pokoknya, masih dalam kelompok atau bab jenis yang sama. 3). Menyebutkan dasar pemberatan itu dalam pasal lain di luar pasal mengenai jenis tindak pidana yang sama.

63

Pada unsur-unsur khusus yang dijadikan dasar memberatkan pidana pada tindak pidana tentulah ada alasan atau rasio mengapa diperberatnya, walaupun dalam rumusannya tidak disebutkan secara tegas. Mengenai macam-macam dasar pemberatan pidana khusus sangat banyak, bergantung dengan tindak pidana yang diperberatnya, tidaklah dapat dirinci satu persatu di sini, namun pada dasarnya alasan pemberatan itu terletak dalam 2 (dua) segi, yaitu segi objektif dan segi subjektif. Pada segi subjektif, yaitu dengan rencana terlebih dulu, sedangkan pada segi objektif, terletak pada bermacam-macam sebab, antara lain: 1). pada akibat perbuatan. 2). pada cara melakukan perbuatan. 3). pada berulangnya perbuatan. 4). pada objek tindak pidana. 5). pada subjek tindak pidana si pembuat.

5.

Delik Aduan Setiap Personil Intelijen Negara yang dipidana karena melakukan kekerasan dan penganiayaan berat dalam pemeriksaan intensif merupakan

delik

aduan.

Tujuannya

adalah

agar

lebih

mudah

mengetahui adanya para pihak yang merasa dirugikan dalam pemeriksaan intensif dan agar mekanisme kerja intelijen Negara yang bersifat rahasia tetap terjaga. Yang dimaksud dengan delik aduan disini ialah suatu delik yang perkaranya baru dapat dituntut bila telah adanya pengaduan dari pihak yang

berkepentingan

atas

penuntutan

tersebut.

Tanpa

pengaduan, maka delik tersebut tidak dapat dituntut perkaranya.

adanya 8

Delik aduan yang dimaksud dalam RUU ini menganut Delik aduan mutlak, yang dimaksud dengan Delik aduan mutlak ialah suatu delik yang secara mutlak memerlukan pengaduan agar perkaranya dapat dituntut dan antara pengadu dengan orang yang diadukan tidak terbatas 8

Ridwan Halim, Hukum Pidana Dalam Tanya Perpustakaan Nasional, Jakarta, 1986, hlm. 156.

Jawap, Ghalia Indonesia,

64

pada hubungan keluarga saja, melainkan dapat juga orang lain yang tidak ada hubungan keluarga apapun. Jadi dengan demikian siapa saja boleh menjadi pengadu atas perkara yang tengah dihadapinya. Delik aduan relatif ialah suatu delik yang diajukan atau tidak perkaranya untuk dituntut tergantung pada inisiatif orang yang mengadu karena antara pengadu dengan orang yang diadukan masih terdapat hubungan keluarga. Karena itu dalam hal ini yang dapat menjadi pengadu pun hanyalah orang-orang tertentu yang dibatasi oleh undang-undang, misalnya keluarga sedarah, keluarga semenda, keturunan menurut garis lurus kebawah atau menyamping sampai derajat tertentu dari orang yang diadukan dan sebagainya.9 Cara melakukan Pengaduan dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis oleh orang-orang yang diberikan hak menurut undangundang. Tenggang waktu/berapa lamakah hak untuk mengajukan suatu pengaduan itu menjadi daluwarsa atau gugur. Menurut Pasal 74 ayat (1) KUHP batas waktu untuk mengajukan suatu pengaduan terhitung mulai sejak pengadu benar-benar mengetahui dan mengerti akan duduk persoalan yang sebenarnya dari perkara yang akan diadukannya tersebut sampai dengan:10 a.

Jangka waktu selama 6 (enam) bulan, bila pengadu berdiam di wilayah Indonesia.

b.

Jangka waktu selama 9 (sembilan) bulan bila pengadu berdiam di luar wilayah Indonesia (diluar negeri). Kecuali Pasal 293 ayat (3) KUHP yang menetapkan bahwa :

Jangka waktu selama antara 9 (sembilan) bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan, khusus bagi pengadu yang belum dewasa yang mengadukan perbuatan orang lain yang telah dewasa terhadap dirinya berdasarkan pertimbangan bahwa : Orang yang belum dewasa (terutama anak-anak) karena masih ratarata rendah pengetahuannya tentang hukum dan masih lambat pula 9

Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002. 10

65

daya pikirnya, pada umumnya akan ragu-ragu atau untuk sementara waktu mula-mula takut untuk mengadukan perkara yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa takut atau ragu-ragu itu dapat saja timbul karena ia mendapat ancaman dari si pelaku, bila sekiranya ia mengadukan perbuatan si pelaku itu kepada orang lain. Akibatnya bila yang menjadi korban itu adalah orang-orang yang belum dewasa, tidak jarang terjadi bahwa pengaduan itu datangnya terlambat. Atas dasar pertimbangan inilah pasal 293 ayat (3) KUHP mengatur jangka waktu yang lebih panjang dengan maksud untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi pengadu, daripada kesempatan yang diberikan oleh pasal 74 ayat (1) KUHP diatas. Bila orang yang akan mengadu itu telah meninggal sebelum pengaduannya tersebut diajukan, maka masih ada orang yang dapat meneruskan pengaduannya tersebut, yakni menurut Pasal 320 ayat (2) KUHP ialah:11 a. Bila yang akan mengadu itu seorang pria, maka yang dapat meneruskan pengaduannya itu adalah istrinya atau keluarga/ saudaranya dalam garis menyimpang sampai derajat kedua. b.

Bila yang akan mengadu itu seorang wanita, maka yang dapat meneruskan pengaduannya itu adalah suaminya, atau keluarga/ saudaranya dalam garis menyimpang sampai derajat kedua.

Pengaduan orang yang telah meninggal itu selalu dapat diteruskan oleh mereka yang dimaksud dalam Pasal 320 ayat (2) KUHP, Hal ini tergantung pada niat yang sebenarnya daripada orangnya sebelum ia meninggal. Kalau orang yang sudah meninggal itu memang mau mengadu, maka pengaduannya itu dapat diteruskan oleh orang-orang yang dimaksud dalam Pasal 320 ayat (2) KUHP tersebut diatas, dalam sisa tenggang waktu yang masih ada. Tetapi kalau orang yang sudah meninggal itu sebenarnya tidak mau mengadu atau tidak jadi mengadu, maka pengaduannya itu tidak dapat diteruskan oleh siapapun juga.

11

Ibid.,

66

Persamaan dan perbedaan antara pengaduan dalam laporan, persamaannya ialah baik pengaduan maupun laporan kedua-duanya:12 a. merupakan sumber pengetahuan bagi pihak yang berwajib bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, baik berupa tindak pidana kejahatan maupun pelanggaran. b. sekaligus merupakan dasar untuk bertindak bagi pihak yang berwajib untuk segera menangani perkara yang diadukan atau dilaporkan tersebut. Sedangkan perbedaannya ialah:13 Pengaduan

Laporan

a. yang dapat menjadi pengadu dibatas

oleh

undang-undang,

Siapa saja bisa menjadi pelapor, dalam arti tidak dibatasi siapa

yakni hanyalah korban/keluarga

orangnya

nya atau orang-orang tertentu

pekaranya.

yang

berkepentingan

penuntutan

perkara

dan

apapun

atas yang

bersangkutan. b. Dapat dicabut kembali orang -

Tidak mungkin dapat dicabut

yang mengadu dalam jangka

kembali.

waktu selama 3 (tiga) bulan

suatu laporan dianggap telah

setelah

memasukkan laporan palsu.

diajukan

(pasal

75

Pencabutan

kembali

KUHP) kalau perkaranya belum diperiksa oleh pengadilan

Demi tercapainya kepastian hukum, wibawa hukum dan wibawa pihak pengadu sendiri, pengaduan yang sudah pernah dicabut atau ditarik kembali oleh si pengadu, tidak dapat diajukan lagi untuk kedua kalinya.

12 13

Ridwan Halim, Op.Cit., hlm.161 Ibid., hlm.162

67

J.

Ketentuan Penutup Jangka waktu pembentukan kode etik dan dewan kehormatan intelijen negara paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Intelijen Negara. Keputusan Kepala BIN mengenai rekrutmen tenaga penyelenggara intelijen negara harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Intelijen Negara. Keputusan Kepala BIN mengenai pengembangan kemampuan personil intelijen negara harus sudah dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Intelijen Negara. Peraturan presiden yang mengatur mengenai susunan organisasi dan tata kerja Badan Intelijen Negara harus sudah dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Intelijen Negara. Peraturan presiden yang mengatur mengenai koordinasi penyelenggara intelijen negara di pusat dan di daerah harus sudah dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang Intelijen Negara.

68

BAB IV INTELIJEN DI NEGARA LAIN A. Negara Demokrasi (Amerika Serikat)14 Central Intelligence Agency (CIA) merupakan badan intelijen pemerintah AS yang dioperasikan oleh orang-orang sipil yang memiliki berbagai keterampilan.

Salah

satunya

adalah

keterampilan

bertarung

dan

menggunakan senjata serta bertempur seperti anggota militer. Kendati sumber daya manusianya bukan militer, CIA pada awal berdirinya merupakan organisasi yang terdiri dari anggota militer. Cikal bakal berdirinya CIA adalah terbentuknya unit intelijen Office of Strategic Services (OSS) yang sudah terbukti sukses selama Perang Dunia II. Pada saat itu OSS, merupakan unit pendukung dan salah satu cabang dari militer AS. CIA secara resmi dibentuk pada 18 September 1947 dengan penandatanganan National Security Act (NSA) badan keamanan nasional AS oleh Presiden Harry S. Truman. Saat itu, yang menjadi orang nomor satu dalam CIA ialah Letnan Jenderal Hoyt S. Vandenberg. Pada era Perang Dingin dengan Uni Soviet, tugas-tugas CIA lebih banyak diarahkan pada kontra intelijen. Kini, CIA juga mulai menangani peredaran narkotika, organisasi kejahatan internasional, perdagangan senjata gelap, dan yang paling hangat ialah kontra teroris. Yang terakhir ini ialah terutama setelah serangan 11 September 2001 yang menghancurkan gedung World Trade Center (WTC). Pada perkembangan terkini CIA bermarkas di Langley Virginia AS dan memiliki

20.000

anggota,

tugasnya

tetap

sama.

Yakni

operasi

mengumpulkan dan menganalisis data pemeintah atau negara lain yang sedang diincar AS, menyelidiki korporasi asing dan individu. Struktur organisasi CIA terdiri dari markas besar atau kantor para pejabat eksekutif, national intelligence estimates, direktorat intelijen, dinas klandestin nasional, dan direktorat pendukung. Hasil semua operasi intelijen kemudian menjadi masukan bagi kebijakan publik yang akan diambil pemerintah atau militer AS ketika perang melawan terorisme mulai dikobarkan AS pada 2004, CIA pun 14

Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, “Menguak Tabir Operasi Intelijen dan Spionase”, Majalah Kedirgantaraan Angkasa, Edisi Koleksi, Jakarta: PT Gramedia, 2009, hlm. 30 dan 31.

69

mengalami perkembangan dan kemudian berdiri Director of National Intelligence (DNI). DNI yang juga merupakan lembaga pengganti NSA, tugasnya antara lain mengoordinasi, mengevaluasi, mengkorelasi, dan mengirim agen CIA ke berbagai sasaran. Hasil dari semua kegiatan yang dilaksanakan DNI merupakan informasi terkini yang disampaikan langsung kepada Presiden AS. B. Negara Agama (Iran)15 Departemen Intelijen dan Keamanan Nasional Republik Islam Iran (MISIRI) adalah badan utama intelijen dari Republik Islam Iran. Badan ini dikenal sebagai Vezarat-e Ettela'at va Amniyat-e Keshvar (VEVAK) atau VAJA atau alternatif mois. Ini adalah bagian penting dari aparat keamanan pemerintah Iran, didanai dengan baik dan dilengkapi. Pada tahun 1999, elemen nakal (rogue elements) bertanggung jawab atas pembunuhan berantai terkenal terhadap penulis pembangkang dan intelektual, termasuk pembunuhan para pembangkang politik Iran di dalam dan luar negeri. Informasi tentang pelayanan di departemen ini seringkali sulit diperoleh. Organisasi ini dimaksudkan untuk mengganti SAVAK, badan intelijen Iran selama kekuasaan Syah, tetapi tidak jelas berapa banyak kontinuitas antara dua organisasi sedangkan peran mereka sama. Ideologi yang mendasari mereka secara radikal berbeda. Hal ini diduga bahwa pemerintah baru pada awalnya ingin membersihkan elemen SAVAK dari organisasi baru, tetapi pragmatisme akhirnya menang, dengan banyak personil berpengalaman SAVAK masih dipertahankan dalam peran mereka. Mantan staf SAVAK diyakini penting dalam perubahan kementerian dari kelompok pembangkang sayap kiri dan dari Irak Partai Ba'ath. Pembentukan pelayanan itu diusulkan oleh Saeed Hajjarian kepada pemerintah Mir-Hossein Mousavi dan kemudian parlemen. Terdapat perdebatan tentang cabang negara mana yang harus mengawasi lembaga baru, dan pilihan lain selain presiden adalah sistem peradilan, para Pemimpin

Agung,

dan

Korps

Pengawal

Revolusi Islam.

Akhirnya,

15

Wikipedia, “Departemen Intelijen dan Keamanan Nasional Iran”. http://en.wikipedia.org/wiki/ islamic_republic_of_iran_intelligence_ministry_islamic_republic_of_iran_departemen_intelijen, diakses tanggal 20 April 2010.

70

pemerintah bisa mendapatkan persetujuan dari Ayatollah Khomeini untuk membuat kementerian, tetapi pembatasan telah ditambahkan ke persyaratan kementerien tersebut. Departemen ini akhirnya didirikan pada tanggal 18 Agustus 1984, menelantarkan banyak badan-badan intelijen kecil yang dibentuk dalam organisasi pemerintah yang berbeda. Lima menteri sejak berdirinya departemen, yaitu Mohammad Reyshahri (di bawah Perdana Menteri MirHossein Mousavi), Ali Fallahian (di bawah Presiden Ali Akbar Hashemi Rafsanjani), Ghorbanali Dorri-Najafabadi (di bawah Presiden Mohammad Khatami, mengundurkan diri setelah setahun), Ali Younessi (di bawah Presiden Khatami, hingga 24 Agustus 2005), Gholam Hossein MohseniEjehei (di bawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad, sejak tanggal 24 Agustus 2005 sampai dengan 24 Agustus 2009), dan Heyder Moslehi (di bawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad, dari tanggal 29 Agustus 2009). Setelah kemarahan publik yang besar dan investigasi jurnalistik di Iran dan publisitas internasional, diumumkan jaksa-jaksa pada pertengahan tahun 1999, yang salah satunya Saeed Emami pemimpin "elemen nakal" di intelijen kementerian Iran dalam pembunuhan, namun Emami melakukan bunuh diri di penjara. Dalam sidang yang diberhentikan oleh keluarga korban dan organisasi hak asasi manusia internasional akibat kesaksian palsu, tiga agen intelijen pada tahun 2001 dijatuhi hukuman mati dan 12 orang lainnya di penjara karena membunuh dua korban. Dua tahun kemudian, Mahkamah Agung Iran mengurangi dua hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup. C. Negara Atheis (Israel)16 Institut Intelijen dan operasi khusus adalah dinas rahasia Israel dan sering disingkat sebagai Mossad. Operasinya terutama mengawasi bangsabangsa dan organisasi Arab di seluruh dunia. Sebagai organisasi intelijen, Mossad bisa digolongkan yang terbaik di dunia baik dalam organisasi, cara kerja maupun hasil kerjanya. Pada awal berdirinya tahun 1938 Mossad dibentuk untuk mengorganisir orang-orang

16

Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Op. Cit., hlm. 28 dan 29.

71

Yahudi yang ingin pulang ke tanah asalnya, Israel. Karena orang-orang Yahudi banyak tersebar di sejumlah negara, cara kerja Mossad terus berkembang khususnya dalam metode operasi, ideologi, dan politik hingga akhirnya Mossad mampu membentuk diri sebagai badan intelijen yang tangguh. Ketika negara Israel akhirnya secara resmi berdiri pada 1948, Mossad pun menjadi institusi intelijen yang paling diandalkan Israel untuk mengatasi berbagai masalah, khususnya dari negara-negara dan organisasi yang menjadi musuh utama Israel. Tidak hanya itu, sejak negara Israel berdiri Mossad bahkan melancarkan operasi penangkapan terhadap tokoh-tokoh penjahat perang nazi dan sukses. Selain Mossad, Israel juga memiliki intelijen dalam negeri namanya Shin bet dan intelijen umum Aman. Ketiga institusi intelijen Israel itu bekerja saling bahu membahu guna memerangi musuh-musuh Yahudi. Markas besar Mossad yang berada di ibukota Israel, Tel Aviv mempunyai anggota sekitar 2.000 personil dan struktur organisasinya terdiri dari 8 departemen. Departemen itu mencakup: 1. Departemen operasi dan koordinasi (operational planning and coordination); 2. Pengumpulan data (collection); 3. Tindakan politik (political action and liaison); 4. SDM, keuangan, logistik, keamanan (manpower, finance, logistic, and security); 5. Pelatihan (training); 6. Penelitian (researh); 7. Technical operation; 8. Technology. Semua departemen bekerja saling kait mengkait demi suksesnya operasi yang sedang dilancarkan Mossad. Dalam sistem kerjanya agen-agen Mossad tersebar di berbagai negara, terutama negara yang paling dianggap membahayakan bagi Israel, misalnya negara-negara Arab. Kendati agen Mossad secara etika dilarang beroperasi di AS, mereka mempunyai koneksi yang kuat dengan CIA, lobi Yahudi di AS dan juga hubungan khusus dengan tokoh-tokoh penting AS. Agen Mossad

72

bahkan pernah beroperasi di AS kendati bukti tentang keberadaan para agen Mossad itu kemudian disangkal oleh Israel. Cara kerja agen Mossad di berbagai negara sangat profesional dan didukung oleh teknologi canggih. Sistem yang ditempuh sulit dideteksi lawan dan untuk menghilangkan bukti atau jejak, agen Mossad bisa melaksanakan pembunuhan sadis dengan cara yang sangat sulit untuk dilacak polisi. Meskipun sudah memiliki tim pembunuh (Metsada), semua agen Mossad mendapat pelatihan menggunakan senjata dan teknik bertempur ala pasukan komando serta latihan bunuh senyap dengan beragam senjata. D. Negara Otoriter (Myanmar)17 Pada tahun 2004, kepala pemerintahan militer di Myanmar (Burma) menghapuskan Biro Intelijen Nasional (NIB), sebuah organisasi payung departemen intelijen. Tahun 2004, Khin Nyunt, yang memimpin NIB di Myanmar (Burma) dilaporkan terpaksa keluar dari junta. Selain sebagai kepala intelijen militer, Nyunt juga sebagai perdana menteri, posisi yang menempatkannya ketiga dalam hierarki politik Myanmar (Burma). Alasan resmi untuk Nyunt meletakkan jabatannya dari pemerintah adalah bahwa dia diizinkan pensiun karena alasan kesehatan. Bangsa Dunia menunjukkan bahwa sebagian besar pengamat percaya laporan resmi itu dimaksudkan untuk menutupi alasan sebenarnya mengenai peletakan jabatan Nyunt, yang dipandang sebagai hasil dari perjuangan kekuasaan antara garis keras Kepala Militer Than Shwe dan Nynut, yang secara relatif lebih progresif. Junta militer atau Negara Perdamaian dan Dewan Pembangunan atau State Peace and Development Council (SPDC), menghapuskan NIB segera setelah peletakan jabatan Nyunt pada tahun 2004. Shwe dilaporkan menjelaskan pergerakan ini dengan mengatakan bahwa NIB tidak lagi pada kepentingan rakyat Myanmar (Burma). British Broadcasting Corporation (BBC) melaporkan bahwa sejumlah pejabat intelijen militer ditahan setelah Nyunt meletakan jabatan. Situs Eropa

17

“Myanmar (Burma): Apakah gaya intelijen militer di Myanmar telah penuh atau sebagian dibubarkan dan yang melaksanakan tugasnya”, http://www.bharatrakshak.com/SRR/Volume13/bahroo.html#9.

73

juga melaporkan bahwa banyak perwira intelijen militer ditahan, khususnya 3 (tiga) anggota staf senior NIB dipenjara dan 12 (dua belas) pejabat senior diberhentikan pada tahun 2007. Beberapa rekan Nyunt dan anggota keluarga juga ditangkap. Selain itu, Voice of America (VOA) melaporkan bahwa 2.000 anggota dari unit intelijen militer, yang memiliki sekitar 10.000 anggota, dipecat atau dipindahkan setelah Nyunt meletakkan jabatan. Ini menggambarkan tindakan SPDC sebagai pembersihan aparat intelijen militer. Menurut kantor berita BBC, NIB sebelumnya terdiri dari suborganisasi berikut: Intelijen Militer, pasukan polisi Cabang Khusus, Biro Investigasi Khusus dan Reserse Kriminal. Sehubungan dengan organisasi-organisasi yang bertanggung jawab untuk intelijen militer di Myanmar (Burma), seorang mantan tahanan politik dari Myanmar (Burma), yang juga mantan pemimpin mahasiswa dari negara itu, memberikan informasi kepada Direktorat Penelitian dalam sebuah wawancara telepon 12 Februari 2008. Dia menyatakan bahwa meskipun NIB dihapuskan, unit khusus yang berada di bawah payung organisasi ini masih ada. Urusan Keamanan Militer yang sebelumnya dikenal sebagai Intelijen Militer menangani isu-isu politik yang paling serius dan masalah-masalah yang terkait dengan gencatan senjata kelompok-kelompok etnis

sebagai

kelompok pemberontak yang telah mengatur gencatan senjata dengan rezim militer. Urusan Keamanan Militer saat ini merupakan bagian dari angkatan bersenjata Myanmar. Biro Investigasi Khusus atau the Bureau of Special Investigation (BSI), yang ditujukan terhadap kejahatan keuangan, termasuk kasus yang melibatkan perdagangan yang tidak semestinya, penghindaran pajak dan korupsi aparat. Departemen

Investigasi

Kriminal

menangani

kejahatan

seperti

pembunuhan atau perkosaan. Departemen ini merupakan bagian dari Kepolisian Myanmar. Selain itu, mantan tahanan politik menyatakan bahwa Uni Solidaritas dan Asosiasi Pembangunan atau the Union Solidarity and Development Association (USDA) memiliki cabang intelijen lokal yang memonitor populasi umum di berbagai daerah di seluruh negeri. Kementerian Informasi juga

74

memiliki cabang intelijen, terdiri dari jurnalis pro-rezim yang memantau jurnalis, blogger, dan pengguna internet. Informasi lebih lanjut tentang unit yang bertanggung jawab untuk intelijen militer tidak dapat ditemukan di antara sumber-sumber yang dikonsultasikan oleh Direktorat Penelitian. E. Negara Komunis (Rusia)18 Cikal bakal dinas rahasia Rusia KGB sudah ada sejak 1917. KGB yang ada saat itu bernama Tsjeka didirikan dan diketuai oleh tokoh asal Belarus, Felik Dzerzhinsky. Lembaga yang terdiri dari orang-orang bersenjata berkekuatan 31.000 personil itu difungsikan untuk melawan kekuasaan kaum Bolsyevik yang dipimpin Lenin. Saat meletus perang saudara Rusia yang dimenangi kaum Bolsyevik Tsjeka dibubarkan oleh Lenin. Lenin yang mengetahui betul bahwa cara kerja Tsjeka banyak manfaatnya untuk melancarkan aksi kekerasan secara rahasia, tetap memanfaatkan teknik Tsjeka dengan mendirikan dinas polisi rahasia, GPO, dan menjadi bagian dari Komisariat Rakyat Dalam Negeri, NVKD, sehingga mempunyai kedudukan cukup berwibawa. Felik yang secara terang-terangan mengecam Lenin karena terbukti telah memanfaatkan cara kerja Tsjeka kemudian meninggal secara misterius. Saat kekuasaan Lenin makin besar dan absolut, dinas rahasia GPO dan NVKD menjadi mesin pembunuh yang efektif bagi lawan-lawan politik Lenin atau siapapun yang berani berseberangan dengan kebijakan Lenin. Selama aksi pembersihan terhadap lawan-lawan politik Lenin setidaknya 50 juta orang Rusia tewas termasuk diantaranya Kepala NVKD yang menyebabkan dinas polisi rahasia Rusia berubah nama menjadi NKGB. Tahun 1945 NKGB berubah nama menjadi MGB (Kementerian Keamanan Negara) dikepalai oleh Lavrentia Beria. Setelah meninggalnya Stalin, pengaruh Beria semakin besar, dan justru menjadi senjata makan tuan karena oleh Soviet, Beria dianggap sebagai mata-mata Inggris dan kemudian dihukum mati pada akhir 1953. Dinas rahasia MGB pun kemudian berubah nama menjadi KGB pada 13 Maret 1954.

18

Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Op.Cit., hlm. 32 dan 33.

75

Pasca PD II dan perang dingin antara blok barat-timur makin berkobar, peran KGB bagi unisoviet sangat besar. Pada prinsipnya, KGB merupakan pedang dan perisai bagi kejayaan partai komunis soviet sangat besar. Anggota KGB dipilih secara ketat dan ditempatkan di semua lini kehidupan di seantero wilayah kekuasaan soviet. Sebagai dinas rahasia yang bertugas mengumpulkan keterangan demi kejayaan komunis soviet selain beroperasi di dalam negeri, KGB juga beroperasi di luar negeri kebanyakan anggota KGB di luar negeri terdiri dari pejabat-pejabat diplomatik. Strategi KGB dalam operasinya biasanya mengandalkan jumlah anggotanya yang dikenal sangat banyak sekitar 375.000 agen. Cara kerja KGB bahkan dikenal urakan karena saat menjalankan misi mata-matanya kehadiran mereka sering menyolok. Negara-negara barat kadang merasa jengkel dengan banyaknya jumlah mata-mata Rusia yang hadir dengan kedok diplomat. Ketika Yuri Adropov pemimpin KGB (1967-1981) cara kerja KGB menjadi lebih santun tetapi sekaligus lebih berbahaya. Agen KGB dituntut mampu menyadap informasi sebanyak mungkin tapi dengan cara yang betul-betul rahasia. Pada masa pemerintahan Gorbachev tahun 1990-an reformasi yang diluncurkan Gorbachev akhirnya membuat Uni Soviet bubar dan nama KGB berubah

menjadi

FSB

(Federalnaya

Sluzba

Bezopasnoti).

Struktur

organisasi KGB terdiri dari: 1.

biro yang menangani operasi dalam negeri (first chief directorate);

2.

counter intelligence, politik dalam negeri, dan warga asing di Rusia (second chief directorate);

3.

bekerja untuk kepentingan militer Rusia (third chief directorate);

4.

keamanan transportasi (fourth directorate);

5.

bertangggung jawab terhadap keamanan nasional (fifth chief directorate);

6.

konter intelijen ekonomi (sixth directorate);

7.

pengintaian bagi warga Rusia dan asing (seventh directorate);

8.

memonitor komunikasi keluar negeri, pemecahan kode rahasia dan lainnya (eight chief directorate);

76

9.

pasukan khusus untuk menjaga fasilitas penting seperti nuklir, pejabat tinggi, dan yang lainnya, terdiri dari 40.000 personil militer (ninth directorate);

10. penjaga keamanan fasilitas pemerintah (fifteen directorate); 11. dinas penyadapan telepon secara rahasia (sixteen directorate); 12. pasukan penjaga perbatasan terdiri dari 245.000 personil militer (border guard directorate); 13. departemen

khusus

untuk

membuat

senjata

rahasia

yang

mematikan seperti peluru beracun, senjata kuman, dan yang lainnya (operation and technology directorate)

F.

Negara ASEAN (Filipina)19 Layanan Intelijen Filipina diselenggarakan melalui 4 (empat) lembaga, yaitu: a.

Biro Investigasi Nasional atau National Bureau of Investigation (NBI) Biro Investigasi Nasional (NBI), yang dalam bahasa Filipina Pambansang Kawanihan ng Pagsisiyasat/PKP adalah agen dari pemerintah Filipina di bawah Departemen Kehakiman, yang bertanggung jawab untuk menangani atau menyelesaikan kasus sensasional untuk kepentingan bangsa. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Executive Order No. 94 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Oktober 1947. Adapun Divisi Operasional Intelijen NBI adalah sebagai berikut: 1). Divisi Investigasi atau Bureau Investigation Division (BID), dipindahkan

ke

intelijen

pelayanan

berdasarkan

administrasi order No. 10 Tahun 2009; 2). Kontra Terorisme Unit atau Counter Terrorism Unit (CTU), sebelumnya Divisi Anti Terorisme atau Anti Terrorism Division (ATD); 3). Divisi Kontra Intelijen atau Counter Intelligence Division (CID);

19

“Nasional Koordinasi Intelijen”, en.wikipedia.org/.../National_Intelligence_Coordinating_Agency -, diakses tanggal 20 Maret 2010.

77

4). Divisi Intelijen Pidana atau Criminal Intelligence Division (CRID); 5). Divisi Operasi Lapangan atau Field Operation Division (FOD); 6). Divisi Operasi Intelijen Khusus atau Intelligence Special Operation Division (ISOD); 7). Divisi Riset dan Analisis atau Research Analysis Division (RAD); 8). Divisi Reaksi, Penangkapan, dan Larangan, dipindahkan ke intelijen pelayanan berdasarkan administrasi order No. 11 Tahun 2009; 9). Divisi Intelijen Teknis atau Technical Intelligence Division (TID); 10). Divisi Manajemen Keamanan atau Security Management Division (SMD). NBI menyelenggarakan operasi keamanan internal terhadap elemen teroris, kelompok-kelompok kejahatan terorganisir besar, dan pejabat pemerintah yang diduga korupsi atau orang-orang yang dianggap atau diidentifikasi sebagai ancaman keamanan.

b.

Kelompok Aksi Kontra Terorisme Nasional Kelompok Aksi Kontra Terorisme Nasional atau National Anti Terrorism Action Group (NCTAG), yang dalam bahasa Filipina Pambansang Lupon Pagsasagawa Laban ng Sa Terorismo/PLPLT dibentuk pada tanggal 27 November 2007. Keberadaannya diumumkan kepada publik pada tanggal 29 November 2007. Lembaga ini merupakan sebuah badan anti teroris dibawah Dewan Anti Terorisme Filipina. Adapun

kewenangan

NCTAG

adalah

menyelidiki

kasus

serangan teroris dan memprosesnya sesuai dengan UndangUndang Republik (RA) 9372 atau Undang-Undang Keamanan Manusia.

78

c.

Badan Koordinasi Intelijen Nasional atau National Intelligence Coordinating Agency (NICA); Badan Koordinasi Intelijen Nasional atau NICA, yang dalam bahasa Filipina Pambansang Sangay para Sa Pagsasamang Kaalaman/PSPK adalah pengelompokan intelijen primer dan bagian analisis Pemerintah Filipina. Lembaga ini didirikan pada tahun 1949 oleh Presiden Elpidio Quirino dibawah kekuasaan orde eksekutif 235. NICA dihapuskan oleh Presiden Ferdinand Marcos dalam keputusan presiden 51 dan digantikan oleh Otoritas Intelijen dan Keamanan Nasional atau National Intelligence and Security Authority (NISA). Lembaga tersebut terutama digunakan untuk melacak dan menghilangkan anti Marcos sebelum Presiden Marcos dipaksa ke pengasingan. Selama kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos, NISA adalah salah satu organisasi pemerintah utama yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Setelah revolusi EDSA 1 NISA berganti nama menjadi Badan Koordinasi Intelijen Nasional pada tahun 1987. Pada 1990, penasihat keamanan nasional Filipina diberi tanggung

jawab

untuk

mengawasi

manajemen

dan

Badan

Koordinasi Intelijen Nasional agar menjadi responsif terhadap kebutuhan presiden dan Dewan Keamanan Nasional. Organisasi NICA terdiri dari: 1). Kantor Direktur Jenderal, dipimpin oleh Direktur Jenderal; 2). Direktorat Operasi, dipimpin oleh Asisten Direktur Jenderal untuk Operasi; 3). Direktorat Produksi, dipimpin oleh Asisten Direktur Jenderal untuk Produksi; 4). Direktorat Administrasi, dipimpin oleh Asisten Direktur Jenderal untuk Administrasi; 5). Manajemen dan Perencanaan Kantor; 6). Kantor Pengawas Keuangan; dan 7). Stasiun Berbagai Bidang.

79

Executive Order Nomor 492, yang diterbitkan pada tanggal 1 Februari Tahun 2006, memerintahkan NICA untuk mengaktifkan Maritim National Aerial Reconnaissance dan Surveilans Center (NMARSC). NMARSC akan berfungsi sebagai primer IMINT, yaitu sebagai penyedia informasi untuk komunitas intelijen Filipina di bawah supervisi dan pengawasan penasihat keamanan nasional. NICA juga aktif di Dewan Anti Terorisme Filipina yang baru didirikan untuk menetapkan pedoman anti terorisme hukum yang dikenal sebagai Human Security Act yang ditandatangani oleh Presiden Gloria Macapagal Arroyo pada tanggal 8 Februari 2007. Saat ini, NICA dalam koordinasi yang erat dengan CIA, Mossad, Secret Intelligence Service (SIS), dan Intelijen dari negara-negara ASEAN untuk melawan ancaman terorisme.

d.

Philippine Drug Enforcement Agency Philippine Drug Enforcement Agency (PDEA), yang dalam bahasa Filipina Pilipinas ng Kawanihan Laban sa Droga/KPLD didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik 9165 dan berlaku pada tahun 2002 sebagai Kantor Anti Obat Berbahaya Terkemuka dibawah pengawasan Badan Obat-Obatan Berbahaya yang pada gilirannya berada di bawah pengawasan Presiden Filipina. Badan ini bertugas dengan dasar hukum RA 1965. Semua lembaga lainnya, seperti Kepolisian Filipina, Biro Investigasi Nasional, dan Biro

Pelayanan

Bea

Cukai

harus

menginformasikan

dan

mengkoordinasikan semua operasi anti narkoba dengan PDEA. PDEA dipimpin oleh Direktur Jenderal dan dibantu oleh pejabat lainnya. Yang menonjol dalam unit ini adalah intelijen dan investigasi, rencana dan operasi, hukum dan penuntutan terhadap layanan. Kualifikasi dasar untuk menjadi Drug Enforcement Officer adalah berusia 21 sampai 35 tahun, bergelar sarjana, telah lulus ujian profesional kepegawaian dan sehat secara fisik.

80

BAB V SISTEMATIKA RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Sistematika Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen Negara adalah sebagai berikut: BAB

I

:

KETENTUAN UMUM

BAB

II

:

HAKIKAT, TUJUAN, FUNGSI, DAN RUANG LINGKUP INTELIJEN NEGARA

BAB

III

:

BAB

IV :

LEMBAGA KOORDINASI INTELIJEN NEGARA

BAB

V

PENYELENGGARAAN INTELIJEN NEGARA

BAB

VI :

PERSONIL INTELIJEN NEGARA

BAB

VII :

PEMBIAYAAN

BAB

VIII :

PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENGAWASAN

BAB

IX :

KETENTUAN PIDANA

BAB

X

KETENTUAN PENUTUP

:

:

KERAHASIAAN INFORMASI INTELIJEN

81

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Pembentukan Undang-Undang tentang Intelijen Negara adalah relevan dan sangat diperlukan, yang materi muatannya disesuaikan dengan tuntutan perubahan jaman di era globalisasi, tanpa menyimpang dari tujuan dan kepentingan nasional. 2. Intelijen Indonesia memang mengadopsi filiosofi dan asas-asas intelijen universal, namun dalam penerapannya disesuaikan dengan budaya, sejarah, pengalaman, karakter bangsa, dan geografis nusantara. 3. Koordinasi antar penyelenggara intelijen negara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang tentang Intelijen Negara. 4. Demi menjamin keamanan dan kepentingan nasional terhadap berbagai potensi ancaman yang semakin canggih dan multidimensional, intelijen diberi wewenang khusus yang diatur dalam Undang-Undang tentang Intelijen Negara. 5. Pengawasan anggaran terhadap intelijen dilakukan oleh DPR RI yang diatur dalam Undang-Undang tentang Intelijen Negara. 6. Intelijen memerlukan anggaran yang memadai, antara lain untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia (SDM), sarana prasarana dan lain-lain.

B. Saran 1. Perlu

dibentuk

memberikan

Undang-Undang

kepastian

hukum

tentang kepada

Intelijen

Negara

untuk

intelijen

negara

dalam

menjalankan tugas, wewenang, dan fungsinya sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, supremasi hukum, dan demokrasi. 2. Perlu dilakukan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan intelijen negara agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan.

82