NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS ...

27 downloads 1748 Views 60KB Size Report
konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA. Dugaan awal ..... Afiatin, T. 1994. Persepsi Pria dan Wanita Terhadap Kemandirian. Jurnal.
NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA SLTA

Telah Disetujui Pada Tanggal

------------------------------------

Dosen Pembimbing Utama

( Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi.)

HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN PADA REMAJA SLTA

Herio Rizki Dewinda Mira Aliza Rachmawati INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan negatif antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA. Semakin tinggi konformitas teman sebaya, semakin rendah kemandirian. Sebaliknya semakin rendah konformitas teman sebaya, semakin tinggi tingkat kemandirian. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SLTA, bermukim di kawasan DI. Yogyakarta dan masih tinggal serumah dengan orang tua. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode incidental sampling. Adapun skala yang digunakan adalah skala Konformitas Teman Sebaya, mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Asch dan skala Kemandirian yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Masrun, dkk (1986), kedua skala ini dibuat sendiri oleh peneliti. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 12.00 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian. Korelasi product moment dari Spearman menunjukkan korelasi sebesar r = 0,144 dengan p = 0,77 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa hipotesis adanya hubungan negatif antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA tidak diterima. Kata kunci : Konformitas Teman Sebaya, Kemandirian

Pengantar

Pada awal mulanya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, dimana pada masa itu seseorang akan sangat bergantung kepada orang tua dan orang-orang yang ada pada lingkungan sekitarnya. Namun dengan adanya perubahan waktu, perkembangan serta tuntutan lingkungan, seseorang secara perlahan-lahan didapatnya

mulai

selama

untuk ini.

melepaskan

Usaha

diri

seseorang

dari

untuk

ketergantungan melepaskan

diri

yang dari

ketergantungan ini sering disebut dengan usaha menuju kemandirian. Usaha untuk menuju kemandirian ini merupakan suatu proses yang harus dijalani oleh semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Seseorang yang mandiri akan mencoba untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, ia akan mencoba menyelesaikan tugas-tugas serta masalah-masalah yang dihadapi dengan kemampuannya sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bathia (Afiatin, 1994), kemandirian merupakan perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain, bahkan mencoba memecahkan atau menyelesaikan masalah sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Tuntutan kemandirian akan semakin besar ketika seseorang mulai menginjak usia remaja. Usia remaja merupakan masa dimana seseorang mempersiapkan diri secara matang dalam menghadapi tahap perkembangan selanjutnya yaitu usia dewasa. Pada usia dewasa ini seseorang diharapkan telah memiliki sikap kemandirian yang penuh. Munandar (1994) mengatakan kemandirian merupakan suatu kemampuan psikologis yang memungkinkan

individu mampu mengatur dan mengarahkan diri sendiri, membuat pilihan dan mengambil keputusan sendiri. Kemandirian seseorang dapat tercermin pada perilakunya yang sesuai dengan dirinya sendiri, menyatakan buah pikirannya sendiri, bebas mengambil keputusan, bebas mengerjakan sesuatu tanpa memperdulikan apa yang dipikirkan orang lain dan menghindari situasi yang menuntut untuk melakukan penyesuaian diri. Hurlock (1991) mengatakan bahwa keinginan untuk mandiri berkembang pada masa remaja dan mencapai puncaknya pada masa remaja akhir. Hal senada juga diungkapkan oleh Nuryoto (Lukman, 2000), bahwa kemandirian merupakan kemampuan psikologis yang seharusnya sudah dimiliki secara sempurna oleh individu pada masa remaja akhir. Hurlock (Panuju, 2005) membagi masa remaja menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir, masa remaja awal adalah masa ketika seseorang berumur tiga belas sampai tujuh belas tahun, sedangkan masa remaja akhir adalah masa ketika seseorang berumur tujuh belas sampai dua puluh satu tahun. Disamping itu, Sutton (Masrun, 1986) menjelaskan bahwa ada peningkatan perilaku mandiri sesuai dengan umurnya, artinya semakin bertambah umur seseorang maka perilakunya akan semakin berkembang. Permasalahan yang sering muncul adalah masih kurangnya kemandirian pada diri remaja tersebut, dari wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 8 Maret 2008 terhadap beberapa siswa SMU didaerah Yogyakarta ditemukan beberapa permasalahan diantaranya adanya ketidakmampuan dari remaja dalam memilih keputusan dan perencanaan terhadap masa depannya. Hal ini sering terjadi ketika remaja siswa-siswi SLTA diharuskan untuk memilih jurusan yang

yang tepat dan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, namun seringkali yang terjadi siswa atau siswi tersebut tidak bisa menentukan pilihannya sehingga mau tidak mau pada akhirnya yang menentukan pilihan adalah orang tua. Orang tua akan memilih sesuai dengan keinginan mereka, kadangkala jurusan yang dipilih tidak sesuai dengan minat ataupun kemampuan anaknya. Disamping itu sering pula terjadi bahwa siswa siswi memilih suatu jurusan bukan karena kemauan sendiri tetapi hanya sekedar ikut-ikutan dengan pilihan temannya yang lain. Mereka lebih memilih untuk mengikuti pilihan teman karena dengan hal tersebut mereka masih bisa berkumpul dan melaksanakan kegiatan-kegiatan bersama dengan kelompok temannya tersebut, mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap terbaik oleh kelompok temannya juga terbaik untuk dirinya. Dalam hal ini siswa-siswi memilih suatu jurusan hanya sekedar ikut-ikutan tanpa mempertimbangkan kemampuan yang mereka miliki. Idealnya dalam tahap perkembangan ini seorang remaja sudah harus mandiri, dengan artian bisa menentukan keputusannya sendiri, merencanakan yang terbaik untuk dirinya dan tidak lagi tergantung kepada orang tuanya, kelompok temannya ataupun orang lain yang ada disekitarnya. Memperoleh kemandirian merupakan suatu tugas bagi para remaja, menurut Barnadib (Mu’tadin 2002) dengan adanya kemandirian berarti seseorang harus bisa menyelesaikan tugas, membuat berbagai perencanaan, mengambil keputusan dan bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang akan mulai berangsur-angsur untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orang tua dan orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya.

Masrun , dkk (1986) mengemukakan 5 aspek kemandirian yaitu : a.

Bebas, ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendak sendiri, tidak tergantung pada orang lain

b.

Progresif, ditunjukkan dengan usaha untuk mengejar prestasi, penuh ketekunan, merencanakan serta mewujudkan harapan-harapan.

c.

Inisiatif, ditunjukkan dengan kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara original, kreatif dan penuh inisiatif.

d.

Pengendalian diri dalam (internal locus of control), ditunjukkan dengan perasaan mampu untuk mengatasi masalah yang dihadapi, kemampuan mengendalikan tindakan serta kemampuan mempengaruhi lingkungan atau usaha sendiri.

e.

Kemantapan diri, ditunjukkan dengan adanya rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya. Havighurst (Panuju, 2005) menjelaskan ada sepuluh tugas perkembangan

remaja diantaranya adalah mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencapai kebebasan ekonomi serta memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial bisa dipertanggungjawabkan. Mencapai kebebasan emosional, begitu juga kebebasan ekonomi serta tingkah laku yang bisa dipertanggungjawabkan tersebut merupakan suatu bentuk lain dari tuntutan bagi remaja untuk bisa menjadi seseorang yang mandiri.

Masrun, dkk (1986) mengungkapkan bahwa kemandirian dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu : a.

Faktor bersifat kodrati 1) Umur Sutton (Masrun, 1986) menjelaskan bahwa ada peningkatan perilaku mandiri sesuai dengan umurnya, artinya semakin bertambah umur seseorang maka perilakunya akan semakin berkembang. 2) Jenis kelamin Hurlock (Masrun, 1986) mengungkapkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang diberikan kepada keduanya. Laki-laki lebih banyak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri dan menanggung resiko serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif dan originalitasnya daripada perempuan. 3) Urutan kelahiran Karena adanya perbedaan urutan kelahiran, anak-anak dihadapkan pada bagaimana mereka bersaing untuk mendapatkan kasih sayang terutama dari orang tuanya.

b.

Faktor lingkungan 1) Faktor tidak permanen Hal

ini

dapat

berupa

peristiwa

penting

yang

mengakibatkan

terganggunya untuk sementara waktu integritas kepribadian. 2) Faktor permanen Salah satu faktor permanen yang penting adalah pendidikan, Masrun (1986) mengungkapkan bahwa pendidikan tidak hanya di sekolah tetapi juga

di lingkungan masyarakat. Pendidikan non formal dialami anak-anak di lingkungan sosialnya. Pendidikan ini secara langsung mereka peroleh pada waktu mereka berusaha melepaskan diri dari lingkungan keluarga dan bergerak menuju kelompok sebaya dengan maksud menemukan dirinya. Kelompok dan organisasi-organisasi ini membantu menyediakan sarana bagi pengembangan kepribadian remaja.

Santrock (1996) menambahkan bahwa teman sebaya merupakan salah satu

faktor

yang

mempengaruhi

kemandirian

remaja,

pada

tahap

perkembangannya remaja lebih banyak menghabiskan waktunya dilingkungan teman sebaya daripada bersama orang tuanya. Teman sebaya merupakan aspek terpenting dalam kehidupan remaja, beberapa remaja akan melakukan apapun agar dapat dimasukkan sebagai anggota. Sehingga konformitas seringkali menjadi pilihan bagi remaja untuk bisa diterima kelompoknya. Tinggi rendahnya tingkat konformitas pada teman sebaya akan mempengaruhi kemandirian remaja. Remaja yang memiliki konformitas rendah cenderung memiliki kemandirian yang tinggi dibandingkan remaja yang memilih untuk bersikap konformis. Santosa (1999) menyatakan pada usia remaja, individu mengalami proses sosialisasi, dimana mereka sedang belajar memperoleh kemantapan sosial dalam mempersiapkan diri untuk menjadi orang dewasa yang baru. Sehingga individu mencari kelompok yang sesuai dengan keinginannya, dimana individu bisa saling berinteraksi satu sama lain dan merasa diterima dalam kelompok. Secara psikologis individu juga butuh penghargaan dari orang lain agar mendapat

kepuasan dari apa yang telah dicapainya. Oleh karena itu individu bergabung dengan teman sebayanya yang mempunyai kebutuhan psikologis yang sama yaitu ingin dihargai. Sehingga individu merasakan kebersamaan/ kekompakan dalam kelompok teman sebayanya. Proses sosialisasi yang dilakukan remaja terhadap kelompok sebayanya menimbulkan suatu sikap yang disebut konformitas dimana individu berusaha untuk menjadi sama dengan kelompoknya. Konformitas dilakukan remaja dengan maksud agar bisa diterima didalam kelompoknya tersebut. Ketika konformitas dijalankan remaja terhadap teman sebayanya, yang terjadi adalah adanya ketergantungan individu terhadap kelompoknya tersebut, sebab dalam segala hal individu akan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan kelompok. Ketergantungan ini menghambat individu untuk bisa mencapai kemandirian, hal ini disebabkan karena individu tidak bisa bebas menentukan pendapatnya sendiri dan harus selalu mengikuti pendapat kelompok, individu menjadi terhalang untuk berpikir dan bertindak secara original dan kreatif. menyatakan bahwa

Kartadinata (Ali, 2004)

ada beberapa gejala negatif yang dapat menjauhkan

individu dari kemandirian diantaranya adalah ketergantungan disiplin pada kontrol luar dan bukan karena adanya niat dari diri sendiri, sikap tidak peduli pada lingkungan hidup, serta sikap hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan prinsip. Baron & Byrne (1997) berpendapat bahwa konformitas merupakan suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada, dengan kata lain konformitas adalah menyamakan terhadap kelompok sosial karena adanya tuntutan dari kelompok

tersebut untuk menyesuaikan diri. Sementara itu Soekanto (1990) mengartikan konformitas sebagai proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Sedangkan dalam Encyclopedia (1998), menjelaskan konformitas merupakan adaptasi perilaku yang terjadi sebagai respon atas tekanan kelompok. Konformitas terjadi ketika individu mengadopsi sikap atau perilaku orang lain karena adanya tekanan yang nyata atau imajiner. Melalui konformitas, keberadaan seorang remaja diakui oleh remaja lain. Remaja yang tidak mampu melakukan konformitas akan mendapat perlakuan yang berbeda atau tidak menerima pengakuan dari teman sebaya lainnya sehingga dirinya kesulitan membangun hubungan yang nyaman dengan teman sebayanya (Young, 1950). Penelitian dari Asch (Sears dkk, 2002) mengemukakan bila individu dihadapkan pada pendapat yang telah disepakati oleh anggota-anggota lainnya, tekanan yang dihasilkan oleh pihak mayoritas akan mampu menimbulkan konformitas. Adapun aspek-aspek konformitas adalah: a.

Distorsi persepsi, adalah proses yang didahului dengan penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Stimulus itu diteruskan ke pusat susunan syaraf (otak) dan terjadilah proses psikologis sehingga individu menyadari apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan sebagainya. Pada kondisi ini remaja dengan sengaja telah dibelokkan oleh mayoritas kelompok. Remaja merasa bahwa persepsi mayoritas adalah persepsi yang benar.

b.

Distorsi tindakan, pada kondisi ini individu lebih mementingkan tuntutan kelompok daripada keinginan individu itu sendiri. Remaja tunduk pada kemauan kelompok karena merasa dituntut atau ditekan untuk tidak berbeda dengan kelompok.

c.

Distorsi penilaian, pada kondisi ini remaja akan mengalami evaluasi kelompok, sehingga keyakinan pada remaja tersebut dihadapkan pada keyakinan kelompok. Umumnya pada kondisi ini remaja kurang meyakini penilaiannya sendiri dan cenderung mengikuti penilaian kelompok.

Konformitas merupakan suatu hal yang sering dilakukan oleh para remaja agar bisa diterima didalam kelompok teman sebayanya. Namun dengan adanya konformitas menyebabkan seseorang menjadi tergantung kepada kelompoknya. Hurlock (1991) mengungkapkan bahwa ketika remaja memiliki keinginan untuk menjadi individu yang mandiri maka ia akan mencoba untuk menjauhkan diri dari pengaruh kelompoknya. Hal ini disebabkan karena dengan adanya konformitas terhadap

teman

sebayanya,

kebebasan

seseorang

untuk

mengeluarkan

pikirannya serta kebebasan untuk mengerjakan sesuatu hal yang dianggapnya baik menjadi terhambat.

Metode Penelitian Subjek Penelitian Yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah siswa yang masih duduk dibangku SLTA yang ada disekitar daerah Yogyakarta. Sampel diambil dengan metode incidental sampling, anggota sampel diambil dari populasi yang

kebetulan dijumpai. Alasan peneliti menggunakan incidental sampling adalah karena sulitnya meminta izin dari pihak SLTA, hal ini disebabkan karena siswasiswi SLTA telah memasuki masa ujian semester sehingga pengambilan data secara langsung ke sekolah akan menganggu proses berjalannya ujian. Karakteristik yang lainnya, subjek penelitian diambil dari siswa-siswi SLTA yang masih tinggal serumah dengan orang tua, hal ini dimaksudkan supaya sampel yang diambil memiliki karakteristik yang sama dan tidak dipengaruhi ada atau tidaknya pengawasan orang tua dalam kehidupan sehari-hari.

Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode Skala Likert yang telah dimodifikasi. Pilihan jawaban berupa Belum Memutuskan (BM) pada Skala Likert dihilangkan sehingga pilihan jawaban menjadi empat yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Modifikasi ini dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan yang dikandung oleh skala lima tingkat diantaranya karena adanya jawaban Belum Memutuskan (BM) menimbulkan arti ganda (bisa netral ataupun ragu-ragu) sehingga menimbulkan kecenderungan untuk memilih jawaban tersebut sedangkan yang ingin dilihat adalah kecenderungan jawaban responden, kearah setuju atau tidak setuju. Alat Ukur Alat ukur yang digunakan berupa skala yang dibuat sendiri oleh peneliti. Skala yang digunakan terdiri atas skala kemandirian dan skala konformitas teman sebaya. Skala kemandirian bertujuan untuk mengetahui tingkat kemandirian

seseorang. Skala ini dibuat mengacu pada aspek-aspek kemandirian yang diungkap oleh Masrun, dkk (1986). Sedangkan skala konformitas teman sebaya bertujuan untuk mengukur tingkat konformitas seseorang terhadap teman sebayanya. Skala ini dibuat mengacu pada aspek-aspek konformitas yang diungkap oleh Asch. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik. Teknik analisa yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah Product Moment dari Pearson dengan menggunakan bantuan software SPSS 12.00 for window. Alasan digunakan korelasi Product Moment karena penelitian ini bertujuan untuk mencari korelasi atau hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung.

Hasil Penelitian Subjek penelitian berjumlah 100 orang yang merupakan siswa-siswi SLTA yang berada di kawasan D.I Yogyakarta dan masih tinggal serumah dengan orang tuanya. Secara lengkap, tiap-tiap variabel untuk skala kemandirian dan skala konformitas teman sebaya tersaji dalam tabel berikut: Tabel 1 Deskripsi Data Penelitian Secara Keseluruhan Empirik Variabel Min Max Rerata SD Min Kemandirian 10 19 14,96 1,959 10 Konformitas Teman Sebaya Ket : Min Max

30

77

52,45

= Skor Total Minimal = Skor Total Maksimal

7,81

21

Hipotetik Max Rerata

SD

19

14,96

1,96

84

52,5

10,5

Dalam penelitian mengenai hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA, peneliti mengkategorikan subjek penelitian menjadi lima yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Tabel 2 Deskripsi Kategorisasi Kemandirian Pada Subyek Penelitian Skor

Kategori

Frekwensi

Prosentase

X=8 8 < X = 11 11 < X = 14 14 < X = 17 X > 17

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

0 5 33 54

8

0% 5% 33% 54% 8%

100

100%

TOTAL

Tabel 3 Deskripsi Kategorisasi Konformitas Teman Sebaya Pada Subyek Penelitian Skor Kategori Frekwensi Prosentase = 33,6 Sangat rendah 1 1% 33,6 < X = 46,2 Rendah 15 15% 46,2 < X = 58,8 Sedang 64 64% 58,8 < X = 71,4 Tinggi 17 17% X > 71,4 Sangat Tinggi 4 4% TOTAL

100

100%

Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel konformitas teman sebaya dengan kemandirian nilai r = 0,144 dengan p = 0,077 (p>0,05). Hal ini berarti menunjukkan bahwa hipotesis adanya hubungan negatif antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA tidak diterima.

Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis yang telah diajukan yaitu ada hubungan negatif antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA tidak diterima. Hasil analisis korelasi dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson menunjukkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,144 dengan p = 0,077 (p>0,05), sehingga p tidak signifikan. Uji coba yang dilaksanakan sebelum penelitian dilakukan menghasilkan 26 aitem yang valid untuk skala kemandirian dan 21 aitem untuk skala konformitas teman sebaya. Namun setelah dilakukan pengambilan data penelitian, diadakan kembali analisis ulang terhadap skala kemandirian. Analisis ulang ini dilakukan sebab ditemukan ada beberapa aitem skala kemandirian yang kurang sesuai dengan aspek-aspek kemandirian yang diungkap. Sehingga pada akhirnya ditemukan hanya ada lima aitem yang valid dan bisa mewakili aspek-aspek dari skala kemandirian. Sehingga penghitungan skor dilakukan hanya pada kelima aitem-aitem tersebut. Sedangkan pada skala konformitas teman sebaya tetap memakai 21 aitem yang terukur valid pada pelaksanaan uji coba. Hurlock (Ali, 2004) menjelaskan bahwa diantara tugas perkembangan remaja adalah mencapai kemandirian baik secara emosional ataupun secara ekonomi. Hal senada juga diungkapkan oleh Havighurst (Panuju, 2005) yang menjelaskan ada sepuluh tugas perkembangan remaja diantaranya adalah mencapai kebebasan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencapai kebebasan ekonomi serta memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial bisa dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pada usianya, remaja

sudah dituntut untuk memiliki kemandirian dan tidak lagi bergantung atau diatur oleh orang tua ataupun orang lain yang ada disekitarnya. Masrun, dkk (1986) mengungkapkan kelompok sebaya merupakan sarana pendidikan non formal dilingkungan sosial, pendidikan ini secara langsung mereka peroleh pada waktu mereka berusaha melepaskan diri dari lingkungan keluarga dan bergerak menuju kelompok sebaya dengan maksud menemukan dirinya. Dengan adanya teman sebaya maka remaja memiliki sarana untuk menjalankan tugas perkembangannya dan mencapai kemandirian tersebut. Dalam kelompok sebaya ini, konformitas akan terbangun dengan sendirinya sebab remaja harus berperilaku sesuai dengan tuntutan kelompok agar bisa diterima didalam kelompok tersebut.

Baron dan Byrne (2002) menyebutkan

bahwa individu seringkali memilih untuk ikut serta melakukan konformitas disebabkan karena pengaruh sosial normatif dan pengaruh sosial informasional. Pengaruh sosial normatif menyebabkan seseorang memiliki keinginan untuk disukai, diterima orang lain dan ketakutan akan penolakan. Sedangkan pegaruh sosial informasional menyebabkan seseorang memiliki keinginan untuk menjadi benar, untuk memiliki persepsi yang tepat mengenai dunia. Lingkungan sosial mempengaruhi individu untuk melakukan konformitas atau tidak melakukan sama sekali. Ketika individu terbiasa bersikap konformis maka ia terbiasa tergantung dengan kelompok, namun ketika individu mencoba untuk lepas dari konformitas maka kemandirian akan berkembang dengan baik. Santrock (1996) mengungkapkan bahwa remaja yang memiliki kebiasaan nonkonformis akan lebih mandiri jika dibandingkan dengan remaja yang biasa memilih untuk bersikap konformis. Nonkonformitas muncul ketika individu

mengetahui apa yang diharapkan orang-orang yang disekitarnya, tapi mereka tidak menggunakan harapan tersebut untuk mengarahkan tingkah laku mereka. Kurang tepatnya peneliti dalam menentukan aitem-aitem yang digunakan di dalam alat ukur menyebabkan banyaknya aitem-aitem yang gugur terutama pada skala kemandirian sehingga hanya sedikit aitem yang bisa mewakili pengukuran pada skala ini. Pada skala kemandirian aitem-aitem yang digunakan tidak mewakili semua aspek-aspek kemandirian yang diungkapkan oleh Masrun, hal ini menyebabkan hasil penghitungan pada penelitian ini kurang baik sehingga hipotesis yang diungkap tidak bisa diterima. Hipotesis penelitian ini tidak diterima juga disebabkan karena variabel kemandirian yang diteliti bersifat umum dan tidak secara spesifik. Penelitian ini tidak mengkhususkan penelitian kepada kemandirian yang lebih spesifik. Sebagaimana diungkapkan Havighurst (Mu’tadin, 2002)

yang membagi

kemandirian kepada empat macam yaitu kemandirian emosi, kemandirian ekonomi, kemandirian intelektual serta adanya kemandirian secara sosial. Variabel kemandirian yang masih bersifat umum menyebabkan penelitian tidak terarah dengan baik. Hurlock menyatakan bahwa ada hal lain yang lebih mempengaruhi kemandirian remaja jika dibandingkan dengan ada atau tidaknya konformitas. Perkembangan kemandirian menurut Hurlock (1997) lebih dipengaruhi oleh sikap orang

tua

terhadap

anaknya,

kemandirian

akan

menguat

jika

rasa

ketidakberdayaan mulai hilang, ketika orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orang tua, maka anak akan berusaha untuk berdiri sendiri, mengambil keputusan sendiri dan

mencoba untuk bertanggung jawab. Sehingga ketika anak telah lepas dari ketergantungan kepada orang tuanya, maka ketidakberdayaan berangsur hilang dan proses untuk menuju kemandirian akan tercapai. Dalam penelitian yang dilakukan Fleming (2005) menemukan bahwa keinginan remaja untuk menjadi mandiri dalam kebanyakan kasus diperoleh melalui tantangan dalam menghadapi otoritas orang tua, konflik ini memimpin kearah kedewasaan intra psikis dan perubahan penting dalam hubungan antara orang tua dengan remaja.

Kesimpulan Hasil analisis data menunjukkan korelasi antara variabel konformitas teman sebaya dengan kemandirian nilai r = 0,144 dengan p = 0,077 (p>0,05). Hal ini berarti menunjukkan bahwa hipotesis adanya hubungan negatif antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja SLTA tidak diterima. Konformitas teman sebaya siswa SLTA di Yogyakarta termasuk dalam kategori sedang (64%), sedangkan dari segi kemandirian termasuk dalam kategori tinggi (54%).

Saran 1. Bagi Subjek Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan kesadaran dan pemahaman kepada remaja bagaimana konformitas yang dijalankan dalam kelompok teman sebayanya bisa mempengaruhi kemandirian seseorang, sehingga nantinya kesadaran itu bisa membantu remaja dalam menjalani kehidupannya. Disamping itu, diharapkan juga remaja bisa memilih pergaulan

yang positif bagi dirinya terutama dengan teman sebayanya sehingga bisa mengarahkan remaja tersebut kearah yang lebih baik. 2. Bagi Orang Tua Dengan penelitian ini diharapkan orang tua bisa memberikan kesempatan kepada anaknya untuk bisa mengembangkan kemandiriannya. Disamping itu orang tua juga harus bisa memahami dan selalu mengontrol proses sosialisasi anaknya terutama dengan teman sebayanya sehingga nantinya kemandirian anak bisa berkembang dengan baik. 3. Bagi Pihak Sekolah Pihak sekolah sebaiknya bisa membuat kebijakan-kebijakan yang bisa menuntun dan menunjang kemandirian anak didiknya, sehingga sekolah tidak hanya memberikan sumbangan pengetahuan tetapi juga memberikan kepribadian yang baik bagi anak didiknya tersebut. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya ?

Bagi peneliti selanjutnya yang akan mengembangkan penelitian ini, diharapkan agar menggunakan atau menambahkan metode penelitian kualitatif untuk dapat menggali lebih dalam mengenai hubungan antara konformitas teman sebaya dengan kemandirian pada remaja.

?

Peneliti selanjutnya diharapkan bisa lebih berhati-hati dalam membuat alat ukur, sehingga hasil yang hendak diukur bisa terukur dengan baik

?

Peneliti selanjutnya sebaiknya menggunakan variabel kemandirian yang lebih spesifik, sehingga penelitian menjadi lebih terarah dan kemandirian apa yang ingin diteliti bisa terukur dengan baik.

?

Peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang turut berpengaruh.

Daftar Pustaka Afiatin, T. 1994. Persepsi Pria dan Wanita Terhadap Kemandirian. Jurnal Psikologi. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Agustiani, Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan, Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT. Refika Aditama. Ali, M & M. Asrori. 2004. Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara Baron, R.A & Byrne, D. 2002. Psikologi Sosial, Jilid 2. Jakarta : Penerbit Erlangga Encyclopedia. 1998. Conformity. http://www.findarticles.com. 17 Maret 2008. Fuhrmann, B. S. 1990. Adolescence Adolescents, Second Edition. Glenvies, Illionois: Scot & Foresman Inc. Handayani, R. 2000. Hubungan Harga Diri Dan Jenis Kelamin Dengan Perilaku Konformitas Pada Remaja Desa. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Hurlock, E.B. 1973. Adolescence Development. Tokyo: Mc Graw Hill, Kogakusha Ltd. Hurlock, E.B. 1991. Psikologi Perkembangan, Study Perkembangan Sepanjang Rentang Kehidupan Edisi V Terjemahan Soejarwo & Indihayati. Jakarta: PT. Erlangga Hurlock, E.B. 1997. Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga. Johnson, R.C & Medinnus, G.R. 1979. Child Psychology Behaviour & Development. New York: john Willey and Sons, Ind. Lie, A. & Prasasti, S. 2004. Menjadi Orang Tua Bijak, 101 Cara Membina Kemandirian Dan Tanggung Jawab Anak. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Lukman, M. 2000. Kemandirian Anak Asuh di Panti Asuhan Yatim Islam Ditinjau Dari Konsep Diri dan Kompetensi Interpersonal. Jurnal Psikologika. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Mappiere, A. 1983. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Masrun, dkk. 1986. Perbedaan Kemandirian Pada Suku Batak, Jawa dan Bugis. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Mu’tadin. 2002. Kemandirian Pada Remaja. http//www.e-psikologi.com. 17 Maret 2008. Munandar, S.C.U. 1994. Pengembangan Kreativitas Anak Sekolah Petunjuk Bagi Guru dan Orang Tua. Jakarta: Gramedia. Mutiara, D. 2003. Prilaku Konsumen Ditinjau Dari Konformitas Dan Kolektivitas Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Naskah Publikasi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Nuryoto, S. 1993. Kemandirian Remaja Ditinjau Dari Dari Tahap Perkembangan, Jenis Kelamin, dan Peran Jenis. Jurnal Psikologi 1993, No. 2, 48-58. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Panuju, P & Umami, Ida.2005. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana. Santosa, Slamet. 1999. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara. Santrock, J.W. 1996. Adolescence, Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Sears, D & Freedman, J.L & Peplau, L.A. 2002. Psikologi Sosial Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sudjanto, A. 1996. Psikologi Perkembangan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Utomo, G.T. 2007. Hubungan Konformitas Dengan Kematangan Emosi. Naskah Publikasi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Young, P. T. 1950. Emotion In Man and Animal. New York: John Wiley & Sons Inc.

Identitas Penulis

Nama

: Herio Rizki Dewinda

Alamat

: Padang Japang, Kec Guguk, Kab. Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

No. Telp

: 081328187656