NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA POLA ... - Psikologi

19 downloads 158 Views 84KB Size Report
6 tahun, anak bersekolah di TK, pria dan wanita. Subjek ... lagi lebih memilih melakukan aktivitas bersama ibunya seperti makan atau hanya duduk saja. Sekitar ...
NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN KECEMASAN BERSEKOLAH

Oleh: DEVIE NATALIA YULIANTI DWI ASTUTI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN KECEMASAN BERSEKOLAH

Telah Disetujui Pada Tanggal

_________________

Dosen Pembimbing Utama

(Yulianti Dwi Astuti, S.Psi,M.Soc.Sc)

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN KECEMASAN BERSEKOLAH

Devie Natalia Yulianti Dwi Astuti

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis apakah ada hubungan positif antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah pada anak. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah pada anak. Jika pola asuh yang diterapkan orang tua adalah pola asuh otoriter, maka anak cenderung memiliki kecemasan bersekolah. Sampel dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak berusia 4 hingga 6 tahun, anak bersekolah di TK, pria dan wanita. Subjek penelitian berjumlah 68 responden. Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang disusun sendiri oleh peneliti. Skala yang digunakan adalah skala kecemasan bersekolah mengacu pada gejala-gejala dari Kartono (1990), D’Alessandro & Huth (2002) dan aspek-aspek dari Maramis (2004). Skala pola asuh otoriter disusun dengan mengacu pada ciri-ciri pola asuh otoriter dari Hurlock (1993) dan Lewin dkk (Zuhri, 2002). Metode analisis data yang digunakan menggunakan program SPSS (Statistical Programme for Social Science) 11.5 for Window untuk menguji apakah terdapat hubungan antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah. Hasil korelasi product moment dari pearson menunjukan angka korelasi sebesar r = 0,325 dan p = 0,003 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah. Jadi hipotesis penelitian diterima. Sedangkan sumbangan efektif yang diberikan variabel pola asuh otoriter terhadap variabel kecemasan bersekolah sebesar 10,6% yang berarti masih ada 89,4% faktor lain yang mempengaruhi kecemasan bersekolah, misalnya saja keadaan diri individu, pengalaman yang tidak menyenangkan, faktor genetik dan suasana emosional sekolah. Kata Kunci : Pola Asuh Otoriter, Kecemasan Bersekolah

PENGANTAR

Sekolah merupakan tempat dimana anak dapat berinteraksi dengan orang lain selain keluarga. Ketika awal masuk sekolah, ada anak yang menghadapinya dengan perasaan cemas tetapi ada pula yang menyambutnya dengan enjoy karena ketika berada di sekolah, anak akan merasa senang karena dapat menemukan pengalaman baru termasuk mulai mengenali teman-teman sebaya dan guru. Sebaliknya bagi sebagian anak lain, pengalaman masuk sekolah dapat menjadi hal yang menakutkan karena adanya perasaan cemas yang dirasakan anak ketika awal masuk sekolah. Kecemasan bersekolah yang dialami anak akan menjadi suatu masalah karena anak akan menunjukkan sikap menolak untuk berangkat sekolah dan hal ini disebabkan karena ketika anak berada di sekolah anak akan mengalami perpisahan dengan orang terdekatnya seperti orang tua. Menurut Setiawati (www.kabarindonesia.com. 19 Juli 2008), dampak dari anak yang memiliki kecemasan bersekolah akan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan anak karena ada beberapa anak yang menunjukkan sikap menolak sekolah dalam jangka waktu yang lama sehingga akan mempengaruhi masalah akademik anak di sekolah. Pengaruh lain apabila anak mengalami kecemasan bersekolah yaitu berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak karena ketidakmampuan anak untuk bersosialisasi dengan teman-teman saat berada di sekolah. Anak yang mengalami kecemasan ketika awal masuk sekolah biasanya menunjukkan penolakan terhadap sekolah dengan berbagai alasan yang dikemukakan anak seperti sakit perut dan sakit kepala. Ciri-ciri lain anak yang

menolak sekolah di antaranya, menangis ketika akan ke sekolah, menempel terus dengan orangtua atau pengasuh, tak masuk sekolah beberapa hari, dan mengemukakan keluhan fisik dengan tujuan agar tidak dipaksa berangkat ke sekolah http://www.cybertokoh.com/mod.php.10 Juli2006). Hal ini terjadi karena orang tua atau pengasuh tidak bisa selalu mendampingi anak. Orang tua memiliki kesibukan sendiri sehingga tidak dapat menemani anaknya di sekolah. Selain itu, peraturan dari sebagian sekolah seringkali melarang anak ditunggui selama berada di sekolah. Menurut Kartono (1990), gejala-gejala kecemasan yang dialami anak ketika merasa takut yaitu sakit pada perut, sering buang air besar, sering kencing, sakit kepala dan tics (gerak-gerak facial pada wajah; misalnya mengedipngedipkan mata terus menerus, menggeleng-gelengkan kepala, mengerenyitngerenyitkan alis, menyengir-nyengirkan bibir dan hidung, dll) atau anak akan menjadi cepat marah dan agresif tapi terkadang anak juga menjadi pemurung dan penakut. Hasil survey yang dilakukan peneliti pada sebuah Taman Kanak-kanak di Yogyakarta menunjukkan bahwa ketika anak sekolah, masih banyak yang ditemani oleh ibunya. Dalam hal ini, ibunya menunggu di luar kelas dan ketika waktu istirahat sekitar 15 anak yang bermain bersama teman-teman dan 10 anak lagi lebih memilih melakukan aktivitas bersama ibunya seperti makan atau hanya duduk saja. Sekitar 40% anak di TK tersebut mengalami kecemasan bersekolah. Hal ini disampaikan oleh orang tua anak bahwa anak mereka cenderung susah untuk pergi ke sekolah. Hal-hal yang dilakukan anak ketika pergi sekolah yaitu menangis dan selalu mengemukakan alasan seperti sakit perut. Selain itu,

D’Alessandro & Huth (2002) mengungkapkan bahwa penelitian di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa anak-anak sering mengeluh dan menolak untuk pergi ke sekolah. Keluhan yang banyak muncul salah satunya adalah sakit perut dan ketika berangkat ke sekolah harus dipaksa, sengaja melupakan sesuatu supaya terlambat pergi ke sekolah, sering berkata benci sekolah dan ketika berada di sekolah selalu ingin pulang. Hal ini juga diungkap oleh Mash & Walfe (2005) bahwa penolakan terhadap sekolah biasanya terjadi pada anak laki-laki dan perempuan yang berusia 5 sampai 11 tahun. Penolakan terhadap sekolah didefinisikan juga sebagai penolakan terhadap lingkungan sekitar sekolah misalnya ruang kelas dan anak cenderung mengalami kesulitan mengingat hari ketika awal masuk sekolah tiba. Menurut Kruger (2003), berdasarkan penelitian tahun 2003 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa gangguan kecemasan bersekolah merupakan bentuk penyakit jiwa terbanyak yang dialami oleh anak dan 10 % diantaranya membutuhkan perawatan medis. Kasus serupa ditemukan pula di Jakarta dimana seorang ibu yang mengeluhkan bahwa anaknya sering menolak untuk sekolah. Ketika berangkat sekolah, anak selalu menangis, sulit lepas dari ibunya dan di sekolah

pun

anak

masih

ditunggui

ibunya

(www.tabloid-wanita-

indonesia.com/921/psikologikeluarga.htm). Kasus serupa di alami juga oleh seorang ibu yang mempunyai anak usia 6,5 tahun yang mogok sekolah dari awal masuk sekolah hingga ulangan umum tiba. Anak susah untuk berangkat sekolah apabila

tidak

ditunggui

oleh

[email protected]).

ibunya

(www.mail-archive.com/milis-

Menurut Hurlock (1993), perasaan takut anak terhadap sekolah merupakan bagian dari kecemasan umum akibat dari rasa takut berpisah dari ibu (separation anxiety disorder), ketergantungan yang kuat pada ibu atau pengganti ibu, dan ketidakmampuan berdiri sendiri. Ainsworth (Nevid dkk, 2005), yang meneliti tentang perkembangan perilaku kelekatan, mencatat bahwa kecemasan akan perpisahan adalah ciri normal dari hubungan anak dengan pengasuh dan dimulai sejak tahun pertama. Perasaan aman yang dihasilkan oleh ikatan kelekatan, tampaknya mendorong anak-anak untuk mengeksplorasi lingkungan mereka dan secara progresif menjadi mandiri dari pengasuhnya. Anak usia 6 tahun, seharusnya dapat pergi sekolah tanpa ada rasa ketakutan akan perpisahan dengan orang tua atau pengasuhnya (Nevid dkk, 2005) dan sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya terutama di lingkungan sekolah dimana anak dapat mengembangkan kehidupan sosialnya dengan bertemu teman seusianya dan guru. Kecemasan bersekolah yang dialami anak, menurut Kaplan dkk (1997) adalah suatu akibat dari kecemasan akan perpisahan yang terjadi karena adanya suatu kelekatan antara anak dengan orang tua atau pengasuhnya. Anak yang masih memiliki ketergantungan terhadap orang tua atau pengasuhnya sehingga anak akan merasa cemas ketika berangkat sekolah karena akan berpisah dengan orang terdekatnya. Pendapat yang sama diungkapkan pula oleh Erikson (Santrock, 1995) bahwa tahun-tahun pertama kehidupan adalah tahap mengenai perkembangan kelekatan antara anak dengan orang terdekatnya seperti orang tua atau pengasuh. Kelekatan yang terjadi sejak dini antara anak dan orang terdekatnya akan

berpengaruh besar terhadap perilaku sosial anak di kemudian hari dalam perkembangannya. Hurlock (1993) membedakan pola asuh orang tua dalam 3 kelompok yaitu otoriter, demokratis dan permisif. Menurut Soetari (Ningsih, 2004), pola asuh otoriter adalah pola asuh dimana kekuasaan berada di tangan orang tua dan tidak memberikan kesempatan pada anak untuk menikmati kebebasan sehingga anak merasa tidak terpenuhi keinginannya. Selain itu, sikap orang tua yang otoriter dapat menjadikan anak yang memiliki kepatuhan yang berlebihan, mengalah, kurang inisiatif, dan mempunyai harga diri rendah. Anak cenderung penurut terhadap orang tua sehingga sulit mengambil keputusan sendiri. Hurlock (1993) menjelaskan mengenai sikap orang tua yang otoriter bahwa orang tua yang menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak, apabila anak melanggar ketentuan dari orang tua maka anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan sebelum hukuman diterima anak, pada umumnya hukuman berbentuk hukuman badan dan ketika anak berbuat sesuai dengan harapan, orang tua tidak atau jarang memberikan hadiah, baik berbentuk kata-kata atau bentuk lain. Mangoenprasodjo (2004) menyebutkan bahwa pola asuh otoriter cenderung menegakkan kepatuhan anak kepada orang tuanya. Ada banyak aturan yang harus dtaati dan ada pula aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar oleh anak. Bila anak melakukan perilaku yang tidak baik, maka anak harus dihukum. Pada umumnya, orang tua akan menjadi orang yang paling benar dan yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh anak. Sedangkan menurut Dariyo (2002), pola asuh otoriter merupakan salah satu gaya pengasuhan orang tua yang cenderung

memaksakan kehendak orang tua kepada anak. Ciri lain pola asuh otoriter diungkapkan pula oleh Baumrind (Zuhri, 2002) yaitu orang tua mengontrol anak dengan ketat dan kaku. Orang tua juga menuntut anak untuk mematuhi semua aturan yang telah dibuat dan hubungan orang tua dengan anak tidak hangat. Orang tua menanamkan disiplin yang terlalu ketat dan kaku. Selain itu, pola asuh otoriter juga

dapat

membuat

anak

tidak

aktif

dan

cenderung

pendiam

(http://www.cybertokoh.com/mod.php.10 Juli2006). Pola asuh seperti ini yang dapat mempengaruhi kondisi sosial anak di sekolah dan berdampak pada timbulnya kecemasan pada anak. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah pada anak. Jika pola asuh yang diterapkan orang tua adalah pola asuh otoriter maka anak cenderung memiliki kecemasan bersekolah.

METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah orang tua yang memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Memiliki anak berusia 4 hingga 6 tahun 2. Pria dan Wanita 3. Anak yang bersekolah di TK.

Sampel dalam penelitian ini diambil secara Purposive Sampling yaitu sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan.

B. Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini menggunakan bentuk kuesioner tidak langsung yaitu dengan memberikan kuesioner kepada narasumber seperti orang tua karena perilaku kecemasan bersekolah pada anak dapat diamati secara langsung oleh orang tua. Kecemasan anak bersekolah dalam penelitian ini dilihat dari persepsi orang tua. Orang tua dianggap dapat mengetahui gejala-gejala apakah anaknya mengalami kecemasan bersekolah atau tidak. Skala pola asuh otoriter diberikan juga kepada orang tua, dalam hal ini orang tua sebagai orang yang menerapkan pola asuh terhadap anak. Sehingga orang tua mengetahui hal-hal apa saja yang akan dilakukan dalam mendidik anak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala. Peneliti akan menggunakan dua buah skala untuk mengukur kedua variabel, yaitu: 1. Skala Kecemasan Bersekolah Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur kecemasan bersekolah yaitu skala kecemasan bersekolah. Skala kecemasan bersekolah disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan gejala-gejala dari Kartono (1990), D’Alessandro & Huth (2002) dan aspek-aspek dari Maramis (2004) yaitu komponen somatik yang berupa sesak napas, sakit kepala, keringat dingin dan komponen psikologis yang

berupa

rasa

was-was,

kekhawatiran

akan

terjadi

sesuatu

yang

tidak

menyenangkan. 2. Skala Pola Asuh Otoriter Alat ukur yang akan digunakan untuk mengukur pola asuh otoriter yaitu skala pola asuh otoriter. Skala ini susun sendiri oleh peneliti berdasarkan ciri-ciri pola asuh otoriter menurut Hurlock (1993) dan Lewin dkk (Zuhri, 2002) yaitu :1) Peraturan yaitu gaya pengasuhan otoriter lebih menekankan pada aturan yang dibuat sendiri oleh orang tua; 2) Hukuman yaitu orang tua akan memberikan hukuman kepada anak apabila anak melanggar peraturan yang dibuat oleh orang tua; 3) Hadiah yaitu pola asuh otoriter biasanya orang tua jarang atau tidak pernah memberikan hadiah kepada anak.

C. Metode Analisis Data Analisis data pada penelitian ini akan menggunakan product moment dari Pearson untuk mengetahui hubungan pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah. Selain itu, untuk mempermudah proses analisisnya, diperlukan juga program SPSS versi 11.5 for windows.

HASIL PENELITIAN

1. Hasil Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis data penelitian, maka terlebih dahulu melakukan uji prasyarat analisis yiatu berupa uji asumsi yang terdiri dari uji normalitas dan uji linieritas. Hal ini merupakan syarat untuk pengetesan nilai

korelasi agar dapat menarik kesimpulan yang tidak menyimpang dari yang diteliti. Uji asumsi ini dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Programme for Social Science) 11.5 for Windows. a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel penelitian ini terdistribusi secara normal atau tidak uji normalitas juga dilakukan terhadap dua skala penelitian yaitu kecemasan bersekolah dan pola asuh otoriter yang akan menggunakan teknik teknik one sample kolmogrov smirnov test pada program komputer SPSS for windows 11.5. Untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran data, maka digunakan kaidah jika p > 0,05 dapat disebut normal sedangkan jika p < 0,05 disebut sebaran datanya tidak normal. Dari hasil pengolahan data terhadap kecemasan bersekolah diperoleh koefisien K-SZ = 0,547 dengan p = 0,926 (p > 0,05) dan data dari pola asuh otoriter diperoleh hasil K-SZ = 1, 078 dengan p = 0,195 (p > 0,05). Dari hasil uji normalitas tersebut menunjukkan bahwa data kecemasan bersekolah dan pola asuh otoriter memiliki sebaran normal. b. Uji Linearitas Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel kecemasan bersekolah dan pola asuh otoriter memiliki hubungan yang linier atau tidak. Hubungan antara dua variabel tersebut dapat dikatakan linier apabila p0,05. Uji linieritas ini akan dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Programme for Social Science) 11.5 for Windows. Dari hasil pengolahan data

dari hubungan kedua skala tersebut, diperoleh F = 7,043 dengan p = 0,011 (p < 0.05). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kecemasan bersekolah dengan pola asuh otoriter, bersifat linier atau mengikuti garis lurus. 2. Uji Hipotesis Pada penelitian ini, hipotesis yang diajukan yaitu ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah pada anak. Uji hipotesis ini menggunakan teknik product moment dari Pearson pada program komputer SPSS

11,5 for windows. Hasil dari pengolahan data mengenai

kecemasan bersekolah dengan pola asuh otoriter diperoleh koefisien korelasi r = 0,325 dengan p = 0,003 (p < 0,01). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif dari kecemasan bersekolah dengan pola asuh otoriter, sehingga hipotesis yang diajukan dapat diterima. Berdasarkan data di atas, analisis koefisien determinasi pada korelasi antara kecemasan bersekolah dengan pola asuh otoriter menunjukkan angka sebesar 0, 106 yang berarti pola asuh otoriter memberikan sumbangan sebesar 10,6 % terhadap kecemasan bersekolah.

PEMBAHASAN Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah pada anak dipilih dalam penelitian ini dan hipotesis penelitian yang berbunyi apakah ada hubungan positif antara kecemasan bersekolah dengan pola asuh otoriter, diterima. Setelah

pengambilan data dengan memberikan kuesioner kepada 68 subjek yang kemudian dilakukan proses pengolahan data, diperoleh hasil yang mendukung hipotesis tersebut. Proses pengolahan data tersebut diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima, terbukti melalui nilai koefisien korelasi yang diperoleh r = 0,325 dengan p = 0,003 (p < 0,05). Adanya hubungan yang sangat signifikan antara kecemasan bersekolah dengan pola asuh otoriter. Ada beberapa kategorisasi yang dihasilkan oleh subjek dalam penelitian ini. Hasil pengkategorian dilakukan dengan cara membandingkan mean Hipotetik dan mean Empirik. Pada skala kecemasan bersekolah berada dalam kategori sedang sebanyak 51,3 % dan yang berada pada kategori tinggi hanya 23,6 %. Sedangkan untuk skala pola asuh otoriter berada dalam kategori sedang dengan persentase 66,3 %, hal ini menunjukkan bahwa mengalami kecemasan bersekolah berada dikategori sedang. Dalam penelitian ini kecemasan bersekolah yang dialami anak berada dalam kategori sedang, hal ini disebabkan karena beberapa dari orang tua yang menunggui anaknya di sekolah bukan karena anak mengalami kecemasan bersekolah tapi dikarenakan orang tua yang tidak ada kegiatan lain dan pada saat orang tua menunggui anaknya adalah tempat dimana para orang tua dapat bertukar pikiran tentang perkembangan anak-anak mereka. Hal ini berlawanan dengan asumsi awal peneliti yang menduga bahwa terdapat banyak kasus kecemasan bersekolah di kalangan anak-anak karena peneliti melihat cukup

banyak orang tua yang menunggui anaknya. Ternyata, setelah penelti melakukan wawancara dan observasi terhadap beberapa subjek yang menunggui anaknya di sekolah, hasilnya menyatakan bahwa subjek menunggui anaknya di sekolah dikarenakan tidak adanya kegiatan lain dan kebanyakan subjek yang menunggui anaknya adalah ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Pada penelitian ini, tidak semua subjek menerapkan pola asuh otoriter kepada anaknya sehingga kecemasan bersekolah pada anak dapat berada di kategori sedang. Pola asuh otoriter terbukti sangat signifikan mempengaruhi kecemasan bersekolah. Sumbangan efektif dari pola asuh otoriter yaitu 10,6 % (r²= 0,106) yang mempengaruhi kecemasan bersekolah. Sebanyak 10,6 % kecemasan bersekolah dipengaruhi oleh pola asuh otoriter. Sedangkan sisanya sebesar 89,4 % dipengaruhi variabel lain di luar dari kedua variabel dalam penelitian ini. Selain faktor pola asuh yang otoriter, terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecemasan bersekolah pada anak yaitu keadaan diri individu, pengalaman yang tidak menyenangkan, lingkungan keluarga, faktor genetik, suasana emosional sekolah. Menurut Supratiknya (1995) bahwa kecemasan dapat muncul karena pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan terutama dalam pergaulan sehingga pengalaman tersebut selalu diingat dan ada perasaan cemas ketika mengingat atau melakukan sesuatu mengenai pengalaman yang buruk tersebut. Adanya kemungkinan anak yang mengalami kecemasan bersekolah disebabkan karena pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan di lingkungan sosialnya.

Pada penelitian ini, kecemasan bersekolah dan pola asuh otoriter terbukti memiliki hubungan yang positif. Kecemasan bersekolah dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak. Hal ini sejalan dengan Supriyadi (2006) bahwa orang tua sangat berperan dalam setiap tahap perkembangan anak karena apabila tahap perkembangan anak mengalami hambatan maka akan terganggu pula tumbuh kembang anak. Orang tua sebagai lingkungan pertama yang dapat menunjuang perkembangan anak, harus dapat membantu dalam menciptakan suasana yang mendukung tercapainya perkembangan anak. Sejalan dengan hal di atas, gangguan kecemasan yang dialami anak dapat disebabkan dari pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak sehingga dapat berpengaruh besar dalam kehidupan anak terutama pada setiap tahap-tahap perkembangannya (Yusuf, 2000). Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter akan menghasilkan anak yang cenderung yang memiliki kepatuhan yang berlebihan, mengalah, kurang inisiatif, dan mempunyai harga diri rendah. Anak cenderung penurut terhadap orang tua sehingga sulit mengambil keputusan sendiri. Kasih sayang orang tua selama tahun-tahun pertama perkembangan anak, sangat penting karena merupakan kunci utama perkembangan sosial anak, meningkatkan kemungkinan anak memiliki kompetensi secara sosial dan memiliki penyesuaian diri yang baik pada tahun-tahun pertama di masa prasekolah dan sesudahnya. Akibat dari penerapan pola asuh otoriter adalah dapat menimbulkan gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat merencanakan sesuatu dan adanya penolakan terhadap orang lain, hal ini diungkapkan oleh Ginnot (Savitri,

2007). Maka, anak akan menolak untuk sekolah karena anak yang dididik dengan pola asuh seperti ini akan mudah cemas apabila memasuki lingkungan baru terutama pada awal masuk sekolah.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah pada anak. Hal ini berarti bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua adalah pola asuh otoriter maka anak cenderung memiliki kecemasan bersekolah. Jadi hipotesis yang menyatakan ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter dengan kecemasan bersekolah pada anak dapat diterima.

SARAN 1. Bagi Subyek Penelitian Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu orang tua dalam mengenali gejala-gejala kecemasan anak bersekolah. Penelitian ini juga melibatkan orang tua untuk mengisi angket. Hasil observasi yang dilakukan peneliti saat pengambilan data bahwa terdapat orang tua yang menunggui anaknya di sekolah dikarenakan tidak ada kegiatan lain. Bagi orang tua tersebut, diharapkan dapat membiarkan anaknya untuk lebih mandiri dan tidak menunggui anaknya di sekolah apabila anak tersebut tidak memiliki kecenderungan mengalami kecemasan masuk sekolah dan orang tua juga

dapat mencari kegiatan lain selain menunggui anak di sekolah. Orang tua dari anak yang memiliki gejala-gejala kecemasan bersekolah, hendaknya dapat mengubah pola asuh yang diterapkan dalam mendidik anak karena didikan orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi perkembangan anak pada tahap berikutnya. Orang tua juga dapat mengajarkan anak untuk lebih mengenali lingkungan sekitar terutama lingkungan sekolah karena lingkungan sekolah adalah tempat selain lingkungan keluarga dimana anak dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga anak tidak takut apabila dihadapkan dengan lingkungan baru. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Saran bagi peneliti yang akan menggunakan tema yang sama yaitu pertama, peneliti sebaiknya lebih cermat dalam memilih waktu pengambilan data. Pengambilan data dapat dilakukan pada awal tahun ajaran baru untuk lebih mengetahui kondisi subjek ketika awal masuk sekolah. Kedua, yaitu peneliti diharapkan dapat mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Pemberian angket sebaiknya hanya diberikan kepada orang tua yang menunggui anaknya saja dan angket dapat diberikan kepada guru sehingga dapat mengetahui keadaan anak di lingkungan sekolah. Selain itu, dapat juga menggunakan behavior check list atau mencoba untuk menggunakan metode kualitatif agar dapat menghasilkan data yang lebih akurat lagi karena terdapat metode wawancara mendalam, juga terdapat metode observasi dan wawancara dengan pihak lain yang bersangkutan dengan subjek sehingga skala kecemasan anak bersekolah tidak hanya dilihat dari persepsi orang tua saja.

DAFTAR PUSTAKA

Aqsyaluddin,. J. 2007. Anak Mogok Sekolah. 3 September http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg06303.html

2007.

Dariyo, A. 2002. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor : Ghalia Indonesia

D’Alessandro, D., Huth, Lindsay. 2002. Children and School Anxiety. http://www.vh.org

Endah.

2006. Pola Asuh Otoriter, http://www.cybertokoh.com/mod.php

Anak

Enggan

Sekolah.

Harry, M. 2007. Psikologi Keluarga: Fobia Sekolah. http://www.tabloid-wanitaindonesia.com/921/psikologikeluarga.htm. Edisi 921/ 30 Juli-5 Agustus/ 2007 Hurlock, E., B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2. Terjemahan Med Meitasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasih. Jakarta : Erlangga Kartono,.K & Andari,. J. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam. Bandung : Mandar Maju Kaplan, H. I., Sadock. B. J., Grebb, J. A. 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi Ketujuh. Jilid 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Kruger, Pamela. 2003. School Anxiety. http//www.vh.org.20/08/08 Mangoenprasodjo,. A. S. 2004. Pengasuhan Anak di Era Internet: Mitos TV, Komputer, Spiritual Parenting Hingga Sex Education. Yogyakarta: Thinkfresh Mash, E. & Wolfe,.D.A 2005. Abnormal Child Psychology. Edisi 3

Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Ningsih, T. 2004. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Somatisasi pada Remaja. Skripsi ( tidak diterbitkan ). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga Savitri, I. 2007. Hubungan Persepsi Remaja terhadap Pola Asuh Otoriter dengan Kecemasan Komunikasi pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Supriyadi. 2006. Peranan Orang Tua Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Media Informasi Penelitian. 185: 45-54 Yusuf, S. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya Zuhri,. A. N. 2002. Hubungan Antara Kekerasan terhadap Istri dengan Pola Asuh Otoriter Ibu. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia

Identitas Penulis Nama

: Devie Natalia

Alamat

: Jl. Kaliurang Km 13,5 Perum Griya Perwita Wisata blok Rosalia no 12 Ngaglik, Sleman, Yogyakarta

No HP

: 085643377661