Part three: Preserving the cultural heritage of Nias = Melestarikan ...

5 downloads 83 Views 21MB Size Report
bentuk rumah Nias yang rumit, akhirnya, dia menyerah. “Saya bilang ... miniatur rumah Nias yang dibuatnya yang kini dipajang di Museum. Pusaka Nias.
B A G I A N

T I G A

P A R T

T H R E E

Melestarikan

Preserving the Cultural

Ditemui di desanya, Bawomatuluo, Rabu (3/10), pria berumur 74 tahun ini sedang menatah kayu. Dia mengatakan, mengenal pembuatan rumah adat dari nenek moyang. “Dulu saya belajar dengan melihat orangtua yang sedang membangun rumah adat. Batunya begini, kayunya di mana. Jadi, tidak diajarkan seperti di sekolah,” kata generasi ke-12 keturunan panglima perang ini. “Karena melihat prosesnya, saya otomatis jadi tahu dan bisa membangun rumah adat sendiri.” Di Nias, ada beberapa bentuk rumah adat seperti bulat atau bundar,

He learned how to build in the traditional way passed down from his ancestors. “I learned by watching my parents building a house. The stones go this way, the wood goes that way. So it was not taught like in school,” said the 12th generation descendant of a war commander. “Having observed the process, I automatically knew what to do, and was able to build my own traditional house.” Traditional houses in Nias take various forms. Some are round, others are rectangular. “The traditional houses here are shaped like boats, because life is like a voyage,” said Hikmat Zagoto, another Bawomatuluo villager who received support from the ILO to

• PART THREE • PART TWO

Examining the complex structure of the Nias houses, he finally gave up. “I told the Dutchman, I didn’t need any theory, I just built it,” Dalizisochi said, pointing to the miniature of the Nias house he built that is now on display in the Nias Heritage Museum.



D

alizisochi Manao, 74, from South Nias, cannot hide his pride when telling about the architect from Holland who came to the Nias Heritage Museum to learn how to build a traditional Nias house. Upon seeing the shape of the traditional dwellings, he shook his head. “This is too complicated.”

PART ONE

K

ebanggaan itu menjadi milik Dalizisochi Manao. Diceritakannya, dulu ada seorang arsitek dari Belanda yang datang ke Museum Pusaka Nias, untuk mempelajari cara membangun rumah Nias. Setelah melihat-lihat bentuk rumah Nias, dia geleng-geleng kepala. “Bagaimana ini, kok rumit sekali,” kata sang arsitek seperti ditirukan Dalizisochi. Melihat bentuk rumah Nias yang rumit, akhirnya, dia menyerah. “Saya bilang sama orang Belanda itu, rumah ini saya kerjakan tidak perlu dengan teori apapun, langsung saya kerjakan,” kata Dalizisochi menunjuk miniatur rumah Nias yang dibuatnya yang kini dipajang di Museum Pusaka Nias.



Setting Sail for Life

PROLOGUE

Hidup Berlayar Hikmat Zagoto

EPILOGUE

Warisan Budaya Heritage of Nias

139

Ornamen yang terdiri atas ukiran kayu dan rahang babi. Babi merupakan hewan yang dipilih sebagai persembahan dalam upacara adat di Nias. The ornament of old wood carving and pig’s jaws. The pigs are offered during various traditional ceremonies. PHOTO | Doc. TEMPO

Tipikal rumah adat Nias Typical traditional Nias houses.

PROLOG



BAGIAN SATU



BAGIAN DUA



BAGIAN TIGA



EPILOG

PHOTO | Doc. TEMPO

dan juga persegi. “Rumah adat di sini modelnya kayak perahu, karena hidup itu seperti berlayar,” kata Hikmat Zagoto, salah seorang warga Bawomatuluo, yang menerima bantuan rehabilitasi rumah adat dari ILO. Tiap-tiap bagian rumah, lanjut Hikmat, juga memiliki makna dan filosofi tersendiri. “Seperti mengapa rumah adat Nias berdiri di atas batu, itu menggambarkan cara hidup. Artinya, batu sebagai landasan, sebagai pijakan hidup.” Dalizisochi berharap pengetahuannya tentang membangun rumah adat bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya. “Kita melihat anakanak ini sepertinya cuma bermain-main, tapi sebenarnya mereka sedang belajar,” katanya sambil menunjuk pada puluhan anak-anak yang sedang bermain di dekat pekerja yang sedang menyiapkan rehabilitasi rumah adat. “Rumah adat di Nias supaya tetap utuh dan jangan sampai hilang selamanya sebab kita lihat beberapa bagian rumah sudah mulai hilang,” kata Dalizisochi. “Mungkin kalau tidak ada bantuan rehabilitasi pembangunan rumah adat dari ILO melalui Museum Pusaka Nias, pikiran saya rumah adat di Nias akan hilang. Saya sangat berterima kasih dan benar-benar memanfaatkan bantuan yang saya terima dari ILO,” ungkap Hikmat. Hikmat pun siap berlayar bersama orangtua, istri, dan anak-anaknya mengarungi samudera kehidupan... 

140

rehabilitate traditional houses. Each part of the house, continued Hikmat, has its own meaning and philosophy. “Like why a traditional Nias house sits on a rock, which represents a way of living. The rock is a foundation, a foothold for life.” He hopes that his knowledge of traditional house building can be passed on to the next generation. “It may look as though these children are only playing , but they are actually learning,” he said, indicating the many children playing near the workers who were rehabilitating the houses. “The traditional houses in Nias must be preserved in their entire form so that this is not lost. Now we are seeing that certain parts of the houses are beginning to disappear,” said Dalizisochi. “Had there been no rehabilitation support from ILO for traditional houses through the Nias Heritage Museum, I think these houses would no longer exist. I am really grateful for the funds I received from the ILO and I am utilizing them fully. Hikmat is now ready to set sail with his parents, wife, and children on the voyage of life… 

141

PROLOGUE



PART ONE



PART TWO



PART THREE



EPILOGUE

142 PROLOG



BAGIAN SATU



BAGIAN DUA



BAGIAN TIGA



EPILOG

Kepala Desa Sisarahili 1 ini pernah suatu kali melihat salah satu bagian dari batu Megalith yang menjadi peninggalan nenek moyangnya itu nyaris dicuri lagi. “Sudah ada di pinggir sungai, namun berhasil diselamatkan warga.”

The Sisarahili village chief witnessed another attempt to steal one of the ancient stones. “It was by the river bank, but the villagers managed to save it.”

EPILOGUE • PART THREE •

PHOTO | Doc. TEMPO

PART TWO

The megaliths, or menhirs, are large standing stones, decorated with carvings of faces—usually the face of a king, complete with the clothes he wore—which symbolized social status. The taller the stone, the higher the status it represents. Temanasekhi is proud of the megaliths, and for him, looking after them means preserving the priceless ancestral heritage of Nias.

Temanasekhi Gulo from Sisarahili village, explained the megalith from his ancestors.



Megalith atau menhir adalah sebuah batu besar yang berdiri tegak. Diukir menyerupai bentuk wajah seseorang—biasanya wajah raja lengkap dengan pakaian kebesaran yang dikenakannya—menhir melambangkan status sosial seseorang. Semakin tinggi ukuran batu, semakin tinggi pula status sosial yang disandang. Bagi Temanasekhi, megalith adalah sebuah kebanggaan. Menjaga megalith berarti menjaga warisan kekayaan peninggalan nenek moyang yang sangat berharga.

TEMANASEKHI Gulo’s recollections of childhood include running happily among the ancient megaliths in the sweet potato field next to his house. However, these memories were shattered when he saw that some of the once-intact megalithic stones are now no longer where they once stood: they have been stolen.

Temanasekhi Gulo, dari desa Sisarahili, menjelaskan silsilah megalit yang berasal dari nenek moyangnya.

PART ONE

TEMANASEKHI Gulo mengenang masa kecilnya. Di antara batubatu Megalith dan kebun daun ubi di depan rumahnya, dia berlari riang ke sana-kemari. Namun, kenangan masa kecilnya itu kini buyar ketika melihat batu-batu Megalith yang dulu masih utuh beberapa sudah tidak pada tempatnya lagi. Dicuri.

Rock of Ages: Restoring Pride in a Monumental Heritage



Kenangan Masa Kecil Temanasekhi

PROLOGUE

“Kita tidak bisa lagi bilang batu-batu Megalith itu punya keturunan siapa dan sebagainya. Semua sudah jadi satu dan menjadi tanggung jawab bersama.” kata Temanasekhi.

“We can no longer say that this megalith belongs to this descendant and that megalith belongs to another. Now they are all one, and they are everyone’s responsibility.” said Temanasekhi.

143

Batu-batu megalith yang telah direhabilitasi oleh ILO dan dikumpulkan di tempat yang disepakati warga. Masyarakat umum berhak melihat warisan budaya ini tanpa terkecuali.

PHOTO | Doc. TEMPO

PROLOG



BAGIAN SATU



BAGIAN DUA



BAGIAN TIGA



EPILOG

The stone megalith which have been rehabilitated by the ILO and gathered at the agreed point by the local communities. These megalith are open for public.

144

Temanasekhi mengatakan, aksi pencurian batu-batu Megalith sebelum ILO membangun dan merenovasi rumah adat di Nias untuk menjaga keberadaan batu-batu itu tetap pada tempatnya sudah sangat sering terjadi. “Dengan adanya rumah adat ini kami ingin menjaga cagar budaya dan peninggalan nenek moyang, termasuk batu-batu Megalith,” kata Temanasekhi sambil menunjuk ke arah rumah adat berbentuk bulat yang belum lama selesai dibangun ILO. Di Nias, rumah adat berbentuk bulat disebut Omohada. “Jadi, peninggalan nenek moyang yang tidak bisa kami buat sekarang, sangat terawat. Sebagai cucucucunya kami belum bisa membentuk batu sekecil apapun seperti yang dulu mereka buat.” Kini, pemeliharaan batu-batu Megalith tersebut, menurut Temanasekhi, sudah diserahkan kepada desa. “Kita tidak bisa lagi bilang batu-batu Megalith itu punya keturunan siapa dan sebagainya. Semua sudah jadi satu dan menjadi tanggung jawab bersama.” 

According to Temanasekhi, the theft was just one of many similar occurrences that took place before the ILO built and renovated traditional houses in Nias. “By restoring the traditional houses, we hope to preserve the cultural heritage of our ancestors, including the megaliths,” said Temanasekhi, pointing at the round-shaped houses, known as Omohada, that the ILO has just finished building. “So, the treasures our ancestors left us, which we can no longer make, are now properly looked after. As their descendants, we can’t even shape a small stone in the way they used to.” Now the maintenance of the megaliths, said Temanasekhi, has been handed over to the village. “We can no longer say that this megalith belongs to this descendant and that megalith belongs to another. Now they are all one, and they are everyone’s responsibility.” 

145

PROLOGUE



PART ONE



PART TWO



PART THREE



EPILOGUE

146 PROLOG



BAGIAN SATU



BAGIAN DUA



BAGIAN TIGA



EPILOG



PART ONE



PART TWO



PART THREE



EPILOGUE

The famous stone jumping from traditional village of Bawomataluo in South Nias. PHOTO | Doc. TEMPO

PROLOGUE

Lompat batu yang terkenal dari desa tradisional Bawomataluo di Nias Selatan.

147