Pemanasan Global, Kebangkrutan Pembangunan. Menjelang penyelenggaraan
Conference of Parties (COP) ke-13 tentang Perubahan Iklim di Bali, Desember.
Pemanasan Global, Kebangkrutan Pembangunan Menjelang penyelenggaraan Conference of Parties (COP) ke-13 tentang Perubahan Iklim di Bali, Desember mendatang, persiapan-persiapan menyambut pertemuan tersebut sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Tidak begitu jelas agenda ke depan pertemuan tingkat tinggi bidang lingkungan hidup PBB ini. Namun yang pasti semua pihak seolah-olah "gerah" dan khawatir akan kondisi buruk yang akan menimpa kehidupan di bumi dalam 20 tahun mendatang akibat ancaman-ancaman pemanasan global, perubahan iklim, permukaan laut yang akan menenggelamkan sebagian daratan bumi, datangnya penyakit-penyakit mewabah baru akibat dampak perubahan musim dan lain-lain. COP13 Perubahan Iklim PBB ini kemungkinan besar membahas persoalan-persoalan pasca berakhirnya protokol internasional, Protokol Kyoto (kesepaktan internasional yang mengatur hubungan negara-negara di belahan Utara dan Selatan dunia berkenaan pengaturan pembuangan gas rumah kaca atau emisi GRK), tentang perubahan iklim. Dalam sebuah penelitian lembaga non-pemerintah (ornop) internasional, Wetland International, menyebutkan Indonesia adalah emitor ke-3 tertinggi emisi GRK setelah Amerika dan China. Salah satu yang menjadi alasan Indonesia termasuk tiga besar "negara pencemar" bumi karena kuantitas kejadian kebakaran lahan dan hutan (khususnya kawasan gambut) terjadi hampir setiap tahun. Beberapa kalangan ornop lain nasional maupun internasional yang bekerja untuk penyelamatan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumberdaya alam, pembangunan berkelanjutan di Indonesia menengarai persoalan-persoalan tersebut disebabkan oleh tatakelola yang buruk (bad governance) sektor sumberdaya alam terutama hutan dan kawasan hutan. Semisal, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun di beberapa wilayah Kalimantan dan Sumatera diakibatkan penggunaan teknologi api dalam proses landclearing oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri yang beroperasi kawasan-kawasan hutan yang dikonversi (saat tulisan ini dibuat teridentifikasi 500 titik api dalam kebakaran lahan gambut di Kalimantan Selatan). Sebagai negara yang sangat bergantung dengan bantuan luar (hibah dan hutang dari negara-negara maju di Utara), untuk perbaikan iklim investasi nasional dan biaya pembangunan nasional, Indonesia tidak mempunyai posisi kuat menolak anggapan bahwa hanya negara-negara berhutan (hutan tropis) luas yang wajib menjaga kelangsungan kawasan penyerap karbon di dunia (Indonesia dan Brazil dianggap negara sebagai paru-paru dunia). Bukti hingga kini ada beberapa negara maju yang tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto, semisal Amerika Serikat, sementara negara-negara semisal Indonesia harus meratifikasinya. Pemerintah menyangkal hasil penelitian Wetland Internasional, tentu adalah kejadian luar biasa, karena hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan hitungan pelepasan karbon (emisi GRK) dari berbagai aktivitas pembangunan yang dilakukan selama Indonesia "melek" tentang pembangunan berwawasan lingkungan hidup (sejak duduknya Emil Salim sebagai Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup di 1978, pembangunan berwawasan lingkungan dituangkan ke dalam GBHN). Apresiasi "Kebangkrutan" Pembangunan Sedari 80-an, pemerintah banyak mengeluarkan penghargaan kepada upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup. Sebut saja penghargaan semisal, Adipura, Adiwiyata, Wirakarya, Satyalencana dan yang sangat populer Kalpataru. Penghargaan-pernghargaan ini diberikan kepada orang atau organisasi yang dianggap berhasil melakukan penyelamatan lingkungan. Bahkan trend ini juga dilakukan oleh lembagalembaga non pemerintah yang bergelut dalam penyelamatan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati, semisal Kehati Award. Namun saat Indonesia "dituding" sebagai emitor ketiga dunia, penghargaanpenghargaan tersebut tidak dapat menyangkal apa-apa, padahal kegiatan-kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi tahunan. Apresiasi simbolik kebangkrutan pembangunan sudah berlangsung hampir tiga dekade di Indonesia. Kebijakan pembangunan nasional sejak 1972 yang menyiratkan "membangun tanpa merusak", justru membawa hasil yang kontra produktif bagi penyelamatan lingkungan. Beberapa kasus besar kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat aktivitas pembangunan semisal akitivitas pertambangan PT. Freeport Mc Moran (sekarang Freeport Indonesia) di Papua sejak tahun 1970-an, pembukaan kawasan hutan untuk areal transmigrasi dan perkebunan besar, Proyek Lahan Gambut satu juta hektar, aktivitas pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya di Buyat yang menyebabkan penduduk beberapa desa setempat dan lingkungan sekitar rusak permanen, tenggelamnya beberapa desa oleh pembangunan Dam di Kotopanjang di Riau, Aktivitas HPH/HTI, Bencana Kebakaran Hutan di 1997 akibat aktivitas perkebunan skala besar,
Proyek Sawit Perbatasan 1,8 juta hektar, Proyek Sawit 3 juta hektar di Papua, bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo akibat kelalaian PT.Minerak Lapindo Brantas, dll. Proyek-proyek pembangunan ini telah mempercepat deforestasi (tahun 1997 Indonesia masih tercatat memiliki kawasan berhutan 143 juta hektar, sekarang tinggal separuhnya). Areal berhutan semakin sempit, daerah penyerapan karbon berkurang, Indonesia penyumbang dalam percepatan pemanasan global. Sejarah perjalanan lembaga-lembaga non-pemerintah baik nasional maupun internasional yang membawa misi penyadaran publik atas penyelamatan lingkungan turut memberikan gambaran kondisi-kondisi tersebut. Peran ornop mempengaruhi kebijakan pemerintah soal pembangunan berwawasan lingkungan hidup. Namun, misi yang diemban lembaga-lembaga ini gagal ditengah jalan. Kegagalan ini lebih dipicu "perkelahian" yang berkepanjangan dari dua aras paham lingkungan di dunia, paham ecocapitalism versus ecosocialism. Ecocapitalism menekankan penyelamatan ekologi melalui peran ekonomi dunia, sementara ecosocialism menekankan penyelamatan ekologi adalah bagian dari perubahan sosial, gerakan sosial, dan ekologi sebagai hak rakyat di setiap negara. Indonesia sering disebut negeri untaian jamrud khatulistiwa, memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah dan selalu dilintasi matahari. Akankah hasil penelitian internasional yang menyebutkan Indonesia sebagai negara ketiga emitor tertinggi di dunia menghapuskan nama Indonesia yang lain, negeri untaian jamrud khatulistiwa? Suatu keniscayaan, pembangunan nasional selama hampir 60 tahun telah menuai hasilnya, bumi Indonesia semakin panas. Penulis : tJong Paniti Sumber : http://www.kpshk.org