PENDAHULUAN Latar Belakang Jahe (Zingiber officinale Rosc ...

67 downloads 320 Views 460KB Size Report
Tanaman jahe telah lama dibudidayakan sebagai komoditi ekspor, namun pengembangan jahe skala luas belum didukung dengan budidaya yang optimal.
PENDAHULUAN Latar Belakang Jahe (Zingiber officinale Rosc) sebagai salah satu tanaman temu-temuan banyak digunakan sebagai bumbu, bahan obat tradisional, manisan, atau minuman penyegar, dan sebagai bahan komoditas ekspor nonmigas andalan. Pasokan jahe dari Indonesia ke negara pengimpor jahe dalam beberapa tahun terakhir ini cukup meningkat. Akan tetapi, peningkatan permintaan akan jahe belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi jahe. Jahe Indonesia diekspor ke beberapa negara tujuan antara lain Jepang, Emirat Arab, Malaysia dalam bentuk jahe segar, jahe kering dan olahan (Paimin dan Murhananto, 1999). Tanaman jahe telah lama dibudidayakan sebagai komoditi ekspor, namun pengembangan jahe skala luas belum didukung dengan budidaya yang optimal dan berkesinambungan sehingga produktivitas dan mutunya rendah. Luas areal pertanaman jahe di Indonesia pada tahun 2006 yaitu 89.041.808 ha dengan total produksi 177.137.949 kg dengan produktivitas rata-rata sekitar 1,77 ton/ha. Tahun 2007 meningkat mencapai 99.652.007 ha dengan total produksi 178.502.542 kg dan produktivitas rata-rata sekitar 2,66 t/ha (BPS, 2009). Jahe dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpangnya. Umumnya dikenal 3 varietas jahe, yaitu : 1) Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah atau jahe badak, rimpangnya lebih besar dan gemuk, ruas rimpangnya lebih menggembung dari kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik saat berumur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan. 2) Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe sunti atau jahe emprit, ruasnya

1 Universitas Sumatera Utara

kecil, agak rata sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar dari pada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan, atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya. 3) Jahe merah, rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil sama seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan (Harmono dan Andoko. 2005). Jahe merah (Zingiber officinale Rosc.)

sudah lama dikenal dapat

menyembuhkan berbagai macam penyakit, dibandingkan dengan jahe gajah atau jahe empirit. Meskipun demikian, kebanyakan orang umumnya lebih mengenal jahe gajah, yakni sebagai bumbu dapur, rempah-rempah, dan bahan obat-obatan. Berdasarkan penelitian para ahli, dalam maupun manca negara, jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat sebagai obat dan mampu memperkuat khasiat obat yang dicampurkannya. Dari ketiga jenis jahe yang ada jahe merah yang lebih banyak digunakan sebagai obat, karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya paling tinggi dibandingkan dengan jenis jahe yang lain sehingga lebih ampuh menyembuhkan berbagai macam penyakit (Tim Lentera, 2002). Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan jahe cenderung terus meningkat. Jahe di Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan, karena selain iklim, kondisi tanah, dan letak geografis yang cocok bagi pembudidayaannya. Oleh karena itu, komoditas jahe layak dijadikan sebagai salah satu komoditas unggulan dalam usaha pengembangan agribisnis dan

2 Universitas Sumatera Utara

agroindustri yang berwawasan pedesaan (Rukmana, 2000). Selain budidaya konvensional di lahan penanaman jahe sistem keranjang merupakan modifikasi teknik budidaya tanaman jahe yang mengkondisikan media tanam jahe tetap gembur dan sarang, mempermudah manajemen produksi tanaman, mempermudah pertumbuhan tanaman dan perkembangan tanaman jahe sehingga potensi produksi lebih tinggi jika dibandingkan dengan penanaman jahe konvensional di lahan (Hapsoh et al., 2010). Peningkatan permintaaan produk jahe masih banyak mengalami hambatan khususnya dalam kegiatan budidayanya. Salah satu hambatan tersebut menyangkut banyaknya Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang dapat menyebabkan kegagalan produksi jahe. OPT jahe meliputi hama dan penyakit yang banyak ditemukan di setiap wilayah pengembangan jahe di Indonesia. Gangguan OPT ini seringkali dapat menyebabkan kegagalan produksi, yang pada akhirnya mengganggu kontinuitas produksi dan arus perekonomian jahe di Indonesia. Penyakit tanaman jahe di Indonesia meliputi penyakit layu bakteri yang disebabkan cendawan Pseudomonas solanacearum, dan penyakit busuk rimpang yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxyporium sp dan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh jamur Phyllosticta zingiberi (Siswanto dan Wahyuno, 2008). Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Pyllosticta zingiberi, dapat menular dengan bantuan angin, infeksi bercak daun langsung di daun yang sehat. Spora penyebab bercak daun yang terbang terbawa angin hinggap di daun yang sehat dan menginfeksinya. Gejala penyakit bercak daun adalah munculnya bercak-bercak berukuran 2-3 mm di daun, terutama daun yang masih muda.

3 Universitas Sumatera Utara

Bercak tersebut dalam perkembangannya menjadi abu-abu dan ditengahnya terdapat bintik-bintik hitam yang dikelilingi busuk basah. Serangan pada tanaman yang sudah dewasa tidak begitu membahayakan. Namun, serangan pada tanaman yang masih muda bisa berakibat fatal karena bisa mengakibatkan kematian (Harmono dan Andoko. 2005). Penyakit dan jamur penyebabnya telah dikenal pada tanaman Zingiber officinale dan Z. mioga di Jepang. Ini merupakan catatan formal pertama dari penyakit ini di Indonesia (Kalimantan Timur). Juga telah diamati pada tanaman Zingiber ottensii di Indonesia. Biasanya, massa konidial akan keluar dari piknidia setelah hujan,

masuk dan menyebar oleh

hujan ataupun serangga kecil (Rachmat, 1993). Pada tahun 1938 dan tahun-tahun berikutnya penyakit bercak daun telah dilaporkan pada tanaman jahe dari distrik Godavari dan Malabar dimana penyakit ini umumnya menyerang dalam bulan Agustus, September dan Oktober. Bercak daun ini memiliki ukuran bervariasi, sebagian kecil dan agak membundar dengan panjang 1 mm dan lebar ½ mm. Sedangkan bentuk lainnya adalah oval atau memanjang yang memiliki ukuran antara 9-10 x 3-4 mm. Bercak daun hampir berwarna putih di bagian tengahnya dan memiliki pinggiran berwarna coklat gelap, yang persis mengitari bercak daun adalah warna kekuning-kuningan. Pada bagian ini juga terlihat sejumlah piknidia kehitam-hitaman (Ramakrishnan, 1941). Penyakit bercak daun lainnya tercatat pula pada tanaman jahe seperti yang dijelaskan

oleh

Sudaraman,

1922

dalam

Ramakrishnan(1941)

bahwa

Colletotrichum zingiberace sebagai penyebab penyakit bercak daun di distrik Godavari wilayah ke Presidenan

Madras. Steven dan Attienza 1932, dalam

4 Universitas Sumatera Utara

Ramakrishnan(1941) telah melaporkan dari Pilipina bercak daun ini disebabkan oleh Coniothyrium zingiber. Hal yang sama telah diamati di Hawaii 1937, tetapi fungi ini tidak sejalan dengan penjelasan sebelumnya karena Coniothyrium zingiber sporanya lebih kecil dan tidak berwarna, sehingga dijelaskan penyebab penyakit bercak daun ini diberi nama Phyllosticta zingiberi (Ramakrishnan,1941). Dari hasil survei lapangan penulis mendapat laporan dari salah seorang petani jahe di desa Cinta air tepatnya di Kabupaten Serdang Bedagai, petani di desa tersebut mencoba budidaya jahe merah tetapi pada bulan ke 3 tanaman jahe mereka terkena penyakit bercak daun, dan menyebabkan gagal panen. Hapsoh, Hasanah, dan Julianti (2008) dan Hapsoh, Hasanah, dan Rahmawati (2011) mendapatkan bahwa pupuk organik memberikan pengaruh yang cukup baik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe, tetapi produksi tidak maksimal karena terjadi serangan penyakit bercak daun pada umur tiga bulan setelah tanam. Hal yang sama terjadi pada penelitian Barus dan Hapsoh (2009) ketika tanaman jahe umur 3 bulan mengalami gejala yang sama. Dilihat dari kejadian yang ada penyakit ini sudah terbawa dari benih (seed born) , atau bersifat dari tular tanah (soil born) yang masih selalu merupakan masalah besar dalam bidang perlindungan tanaman. Petani di Desa Tumpatan Nibung Kec.Batang Kuis membudidayakan jahe merah dan jahe badak dilahan dan sistem keranjang awal September 2009, pada saat tanaman sudah berumur 3 bulan setelah tanam daun jahe sudah menunjukkan gejala bercak pada daun. Penulis mengambil beberapa sampel tanaman yang terkena bercak daun sebagai bahan penelitian di Laboratorium Penyakit Fakultas Pertanian.

5 Universitas Sumatera Utara

Pengendalian yang sering dilakukan adalah penggunaan pestisida kimia. Namun demikian penggunaan bahan kimia sering menimbulkan residu pada lingkungan dan membunuh organisme bukan sasaran (Untung, 1996). Disamping itu penggunaan pestisida kimia lebih merugikan bagi kehidupan manusia secara langsung ataupun tidak langsung jika pestisida digunakan secara terus menerus (Sinaga, 1988). Oleh karena itu perlu dicari cara pengendalian lain yang efektif dan ramah lingkungan. Penggunaan cendawan antagonis merupakan salah satu alternatif yang dianggap efektif dan dapat memberikan hasil yang memuaskan. Berbagai jenis antagonis telah dilakukan dan dipelajari kemungkinan penggunaannya untuk pengendalian penyakit pada tanaman, seperti Trichoderma dan Gliocladium (Darmono, 1997). Menurut Bruehl, 1987 dalam Winarsih (2007), meskipun pengendalian hayati tampaknya tidak seefektif pengendalian secara kimiawi, tetapi hasilnya dapat berjangka panjang bahkan permanen, tidak menyebabkan polusi atau gangguan bagi kesehatan manusia, sehingga secara ekonomi cukup kompetitif terhadap pengendalian yang lain

Perumusan Masalah Faktor penyebab kegagalan pada budidaya jahe merah dan rendahnya tingkat produktivitas, disebabkan oleh adanya jamur Phyllosticta

zingiberi

sebagai organisme pengganggu tanaman penyebab penyakit bercak daun jahe. Daun mengalami bercak-bercak berukuran 2-3 mm di daun, terutama daun yang masih muda. Bercak tersebut dalam perkembangannya menjadi abu-abu dan ditengahnya terdapat bintik-bintik hitam yang dikelilingi busuk basah Pemanfaatan agensia hayati seperti Trichoderma koningii, Trichoderma

6 Universitas Sumatera Utara

harzianum dan Gliocladium spp, Gliocladium virens, yang diaplikasikan melalui tanah dan melalui daun, diharap mampu mengendalikan penyakit bercak daun. Sehingga penelitian ini diharapkan menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui efektivitas jamur Trichoderma koningii, Trichoderma harzianum, Gliocladium spp, dan Gliocladium virens sebagai agensia hayati untuk mengendalikan patogen Phyllosticta zingiberi, penyebab penyakit bercak daun jahe. 2. Untuk mengetahui efektivitas cara aplikasi agensia hayati dalam mengendalikan penyakit bercak daun jahe.

Hipotesis Penelitian 1. Aplikasi agensia hayati T koningii, T harzianum, Gliocladium spp, dan Gliocladium virens mampu mengendalikan penyakit bercak daun jahe. 2. Cara aplikasi agensia hayati berpengaruh terhadap aktivitas pengendalian penyakit bercak daun jahe.

Kegunaan penelitian 1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat luas khususnya petani jahe dan pengelola agribisnis tanaman jahe. 2. Sebagai bahan penulisan tesis dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh Magister Pertanian di Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

7 Universitas Sumatera Utara