menyusun Tesis dengan judul “Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan.
Kabupaten Di Kabupaten ..... BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN.
1
TESIS
PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN DI KABUPATEN BANGLI
I DEWA AYU NGURAH ALIT PUTRI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
2
TESIS
PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN DI KABUPATEN BANGLI
I DEWA AYU NGURAH ALIT PUTRI NIM : 0791561055
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
3
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan Kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Maha Esa, atas karunia dan rakhmat-Nya maka penulis dapat menyusun Tesis dengan judul “Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Di Kabupaten Bangli” Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu persyaratan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi strata dua Program Megister Teknik Sipil Universitas Udayana. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak I Putu Alit Suthanaya, ST.,MEng,Sc.,Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Ir. Dewa Ketut Sudarsana, MT selaku Dosen Pembimbing II, yang dengan sabar membimbing dan memberikan petunjuk dalam penyusunan Tesis ini. Terimakasih kepada Bapak Kadis Bina Marga DPU Kab.Bangli, Kabid Bina Marga DPU Kab.Bangli dan Bapak Ketua Bappeda Kab.Bangli yang sangat membantu dalam penyelesaian Tesis ini. Terimakasih kepada rekan-rekan kuliah dan karyawan Program Magister Teknik Sipil Universitas Udayana atas dukungan bantuan dan kerjasamanya. Terimakasih yang tak ternilai kepada ayah dan ibu serta saudara yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu atas bantuannya dalam penyusunan Tesis ini. Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari sempurna, untuk itu masih perlu mendapatkan masukan, kritik dan saran dari pembaca atas tulisan ini sehingga menjadi sempurna.
Denpasar,
8 Juni 2011
4
PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN DI KABUPATEN BANGLI ABSTRAK Jalan Kabupaten merupakan prasarana transportasi yang penting dalam pertumbuhan pembangunan sosial dan ekonomi. Kabupaten Bangli yang merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali, terdiri atas 4 (empat) kecamatan dan memiliki panjang jalan kabupaten 73.823 Km dan terbagi dalam 369 ruas jalan. Dengan keterbatasan dana sulit menentukan prioritas penanganannya, sehingga banyak ditemukan ketimpangan seperti banyaknya jalan yang belum mendapat penanganan dan wilayah Bangli timur hanya sebagian kecil yang mendapat penanganan. Dengan demikian perlu mengkaji metode penetapan prioritas penanganan jalan sesuai kebutuhan masyarakat. Pada penentuan prioritas dengan berdasarkan SK No. 77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990, dapat diperoleh bahwa urutan prioritas tertinggi adalah jalan dengan nilai LHR dan NPV tertinggi demikian sebaliknya nilai LHR rendah dengan NPV yang rendah akan memperoleh hasil perhitungan skala prioritas dengan urutan rendah. Sedangkan penentuan skala prioritas dengan bantuan metode Analytical Hierarcy Process (AHP) dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai faktor yaitu : kondisi jalan, volume lalu lintas, manfaat ekonomi, kebijakan dan aspek tata guna lahan. Berdasarkan penentuan urutan/skala prioritas penanganan jalan dengan metode AHP diperoleh tingkat kepentingan dengan bobot masing-masing kriteria yang dipakai untuk menentukan prioritas penanganan jalan. Adapun bobot masing-masing kriteria diurut berdasarkan urutannya yaitu : kondisi jalan (23,9%), volume lalu lintas (22,9%), ekonomi (22,8%), tata guna lahan (15,3%) dan kebijakan (15,1%). Perolehan urutan prioritas penanganan jalan dengan metode AHP pada penelitian ini berbeda hasilnya dengan menggunakan SK No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990. Hal ini disebabkan tidak hanya mengutamakan nilai NPV tetapi adanya kombinasi beberapa faktor kriteria. Beberapa perubahan tersebut terlihat pada ruas jalan yang LHRnya kecil, dengan nilai NPV rendah tetapi dibutuhkan masyarakat memperoleh urutan skala prioritas tinggi.
5
Berdasarkan hasil perbandingan dari kedua metode, metode AHP disarankan untuk digunakan karena beberapa aspek dan kriteria dapat dikombinasikan sehingga urutan prioritas dapat menggambarkan kebutuhan masyarakat dengan baik. Kata kunci : Jalan kabupaten, prioritas penanganan, metode AHP. DETERMINATION OF REGENCIAL ROAD HANDLING PRIORITY IN BANGLI REGENCY ABSTRACT
Regencial road is an important transport infrastructure to support social and economic development. Bangli Regency is one of the regencies in Bali Proivince, wich consists of 4 ( four) district and has 73.823 km length of regencial road, divided into 369 road section. It is difficult to determine road handling priority because of limited availability of funding. Unbalance road development was found such as lack of road development in the eastern of Bangli. Therefore, it is required to study suitable method that can be applied to determine road handling priority. In determining road handling priority based on SK No.77 Dirjen Bina Marga 1990, it was found that road section wich has hight priority is the road with the highest AADT and NPV value and vice versa. In determining road handling priority based on AHP method, several factors were considered such as road condition, traffic volume, economic benefid, policy and land use factor. Determination of road handling priority based on AHP method, it was found the weighting of each criteria i.e road condition (23,9%), traffic volume (22,9%), economic (22,8%), land use (15,3%) and Policy (5,1%). It was found that the road handling priority based on AHP Method, 1990 because was different from Sk No.77 Dirjen Bina Marga. Considering several factors as mentioned above. It was found that although having low AADT and NPV values, several road section had a high priority because required by the communities. Based on the comparison of the two methods, it is recommended to use AHP method because several aspects and criterias can be combined. Therefore the rank of priority obtained may closely represent community requirement.
6
Keyword : regencial road, handling priority, AHP Method.
DAFTAR ISI
Hal Sampul Dalam ...................................................................................................
i
Prasyarat Gelar ................................................................................................
ii
Lembar Persetujuan................ ..........................................................................
iii
Lembar Panitia Penguji Tesis ...........................................................................
iv
Ucapan Terima Kasih .......................................................................................
v
Abstrak...............................................................................................................
vi
Abstract .............................................................................................................
vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR........................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN...................................... ....................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah... .............................................................
1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian............. .............................................................
6
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................
6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................
7
1.6 Sistematika Penulisan....................................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................
10
2.1 Pengertian Jalan... ........................................................................
10
2.2 Klasifikasi Jalan............................................................................
10
7
2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya ..................................
10
2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu ....................
11
2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan .
12
2.3 Volume Lalu Lintas.......................................................................
14
2.4 Penanganan Jalan .........................................................................
15
2.4.1 Pekerjaan Berat....................................................................
16
2.4.2 Pemeliharaan Jalan ..............................................................
17
2.2.3 Pekerjaan Penyangga dan Pekerjaan Darurat Jalan ........... .
18
2.5 Sumber Dana Penanganan Jalan .................................................
19
2.6 Kebijakan Penanganan Jalan .....................................................
19
2.6.1 Metode-Metode Dalam Pengambilan Keputusan .................
21
2.7 Tata Guna Lahan ............................................................................
23
2.8 Penentuan Skala Prioritas Berdasarkan SK. No.77, Tahun 1990....
25
2.9 Penentuan Skala Prioritas dg Metode Analytical Hierarcy Process.
25
2.9.1 Penentuan Prioritas..................................................................
31
2.9.2 Proses-proses dalam Metode Analytical Hierarcy Process.....
32
2.9.3 Matrik Perbandingan Berpasangan.........................................
33
2.9.4 Perhitungan Bobot Elemen....................................................
34
2.9.5 Perhitungan Konsistensi.........................................................
36
2.9.6 Pembobotan Kriteria Total Responden..................................
39
2.9.7 Model Matematis...................................................................
39
2.10 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel...................................
40
2.10.1 Teknik Sampling Dalam Pengambilan Sampel....................
41
2.11 Kuisioner.......................................................................................
45
2.11.1 Petunjuk Pembuatan Kuisioner............................................
45
2.11.2 Isi Pertanyaan.......................................................................
46
2.11.3 Jenis Pertanyaan...................................................................
47
2.11.4 Skala Pengukuran Kuisioner................................................
47
2.12 Jenis Penelitian..............................................................................
49
8
BAB III METODE PENELITIAN..............................................................
50
3.1 Tahapan Penelitian.........................................................................
50
3.2 Studi Pendahuluan .........................................................................
52
3.3 Latar Belakang dan Rumusan Masalah..........................................
53
3.4 Tujuan Penelitian...........................................................................
54
3.5 Pengumpulan Data.........................................................................
54
3.5.1 Pengumpulan Data Sekunder.................................................
55
3.5.2 Pengumpulan Data Primer.....................................................
58
3.6 Variabel Penelitian.........................................................................
59
3.7 Analisis Data .................................................................................
61
BAB IV DESKRIPSI DATA........................................................................
62
4.1 Gambaran Umum dan Letak Geografis..........................................
62
4.2 Prasarana Jalan................................................................................
62
4.3 Hasil Penilaian Responden..............................................................
63
4.3.1 Jawaban Terhadap Penilaian pada Level 2 (Kriteria)............
65
4.3.2 Jawaban Terhadap Penilaian pada Level 3 (Sub Kriteria).....
66
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN......................................
74
5.1 Penyusunan Hirarki dan Bobot.......................................................
74
5.1.1 Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten.............................................................................. 74 5.1.2 Bobot Penilaian Kriteria......................................................... 76 5.1.3 Perhitungan Bobot Sub Kriteria.............................................
82
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan.........
82
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Volume Lalulintas.
86
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Ekonomi................
89
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Kebijakan...............
91
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan.... 94 5.2 Penerapan Bobot Kriteria untuk Penanganan Jalan........................
99
9
5.2.1 Data Kondisi Jalan.................................................................. 99 5.2.2 Data Volume Lalu Lintas......................................................
101
5.2.3 Data Ekonomi......................................................................... 101 5.2.4 Data Kebijakan....................................................................... 102 5.2.5 Data Tata Guna Lahan............................................................. 103 5.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria untuk Penanganan Jalan.................. 104 5.3.1 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan.......................... 104 53.2 Penerapan Bobot Sub Kriteria Volume Lalu Lintas................ 106 5.3.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria Ekonomi................................. 108 5.3.4 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kebijakan............................... 109 5.3.5 Penerapan Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan.................... 104 5.3.6 Perhitungan Skal Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP........................................................................... 112 5.4 Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK. No.77, Dirjen Bina Marga Tahun 1990....................................................... 115 5.5 Perbandingan Hasil Skala/Urutan
Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten antara Berdasarkan SK. No.77, Tahun 1990 dengan Metode AHP................................................................................... 116
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...........................................................
119
6.1 Simpulan.......................................................................................
119
6.2 Saran..............................................................................................
124
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
125
10
LAMPIRAN....................................................................................................
127
LAMPIRAN A PETA WILAYAH STUDI....................................................
127
LAMPIRAN B KUISIONER.......................................................................... 129 LAMPIRAN C DATA SEKUNDER ( Data Penganganan Jalan Kabupaten di Kab. Bangli)..........
150
LAMPIRAN D ANALISIS DATA (Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli).................................................................
159
11
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 2.1 : Abstraksi Susunan Hirarki Keputusan........................................
32
Gambar 2.2 : Konsistensi Matrik......................................................................
37
Gambar 3.1 : Langkah-langkah Penelitian.......................................................
52
Gambar 3.2 : Penyusunan Level Hirarki Penanganan Jalan.............................
61
Gambar 5.1 : Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten..................................................................................
75
Gambar 5.2 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kriteria”...................................
80
Gambar 5.3 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kondisi Jalan”..........................
84
Gambar 5.4 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Volume Lalu Lintas”...............
88
Gambar 5.5 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Ekonomi”.................................
90
Gambar 5.6 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kebijakan”........................ .......
93
Gambar 5.7 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Tata Guna Lahan......................
96
Gambar 5.8 : Bobot Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten..................................................................................
98
Gambar A.1 : Peta Wilayah Studi.................................................................... 127 Gambar A.2 : Peta Jaringan Jalan Kabupaten Bangli...................................... 128
12
DAFTAR TABEL Hal Tabel 2.1 : Perbandingan Matrik Perbandingan Berpasangan..........................
32
Tabel 2.2 : Perbandingan Kriteria Berpasangan................................................ 34 Tabel 2.3 : Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen.......................... 35 Tabel 2.4 : Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan............ 35 Tabel 2.5 : Random Indeks................................................................................ 38 Tabel 4.1 : Jumlah Ruas Jalan dan Panjang Jalan Kabupaten Bangli................ 63 Tabel 4.2 : Rekapitulasi Jawaban Responden tentang ”Kriteria”...................... 65 Tabel 4.3 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Kondisi Jalan”....................... 67 Tabel 4.4 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Volume Lalu Lintas ............. 69 Tbel 4.5 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Ekonomi”...............................
70
Tabel 4.6 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Kebijakan”............................
71
Tabel 4.7 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Tata Guna Lahan”.................
72
Tabel 5.1 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kriteria”......................................... 77 Tabel 5.2 : Matrik Awal Sub ”Kriteria”............................................................. 79 Tabel 5.3 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Kriteria”....... .......................... 80 Tabel 5.4 : Bobot Kriteria Penanganan Jalan Kabupaten.................................. 81 Tabel 5.5 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kondisi Jalan”............................... 82 Tabel 5.6 : Matrik Awal Sub ”Kondisi Jalan”................................................... 84 Tabel 5.7 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Kondisi Jalan ”. ................... 84 Tabel 5.8 : Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan ..................................................
85
Tabel 5.9 : Skala Perbandingan Penilaian ”Volume Lalu Lintas”....................
86
Tabel 5.10 : Matrik Awal Sub ” Volume Lalu Lintas ”..................................... 87 Tabel 5.11 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Volume Lalu Lintas”........... 87 Tabel 5.12 : Bobot Sub Kriteria Volume Lalu Lintas ...................................... 88
13
Tabel 5.13 : Skala Perbandingan Penilaian ”Ekonomi”..................................... 89 Tabel 5.14 : Matrik Awal Sub ” Ekonomi ”......................................................
90
Tabel 5.15 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Ekonomi”............................ 90 Tabel 5.16 : Bobot Sub Kriteria Ekonomi ....................................................... 91 Tabel 5.17 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kebijakan”................................... 92 Tabel 5.18 : Matrik Awal Sub ”Kebijakan”......................................................
92
Tabel 5.19 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Kebijakan”............................ 93 Tabel 5.20 : Bobot Sub Kriteria Kebijakan .....................................................
94
Tabel 5.21 : Skala Perbandingan Penilaian ”Tata Guna Lahan”........................ 95 Tabel 5.22 : Matrik Awal Sub ”Tata Guna Lahan”..........................................
95
Tabel 5.23 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Tata Guna Lahan”................ 96 Tabel 5.24 : Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan ..........................................
97
Tabel 5.25 : Penilaian Tingkat Keerusakan Jalan Kabupaten ......................... 100 Tabel B.1 : Daftar Peserta Responden............................................................ 149 Tabel C.1 : Penuntun Manfaat Lalu Lintas Rendah........................................ 150 Tabel C.2 : Penuntun Manfaat Lalu Lintas Tinggi......................................... 151 Tabel C.3 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Baik).....................
152
Tabel C.4 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Sedang)................. 154 Tabel C.5 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Rusak)................... 158 Tabel D.1 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Baik)...................... 159 Tabel D.2 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Sedang).................. 161 Tabel D.3 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Rusak).................... 165 Tabel D.4 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (Kondisi Baik).......................................... 166 Tabel D.5 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (Kondisi Sedang)...................................... 168 Tabel D.6 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
14
dengan Metode AHP (Kondisi Rusak)........................................ 172
Tabel D.7 : Perbandingan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara Metode SK No.77 dengan Metode AHP (Kondisi Baik)............ 173 Tabel D.8 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (Kondisi Sedang)...................................... 175 Tabel D.9 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (Kondisi Rusak)........................................ 179
15
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diterbitkannya
Undang-Undang
nomor
32
Tahun
2004
tentang
Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Pemberian kewenangan yang luas tersebut memerlukan koordinasi dan pengaturan yang lebih mengharmoniskan
dan
menyelaraskan
pembangunan,
baik
pembangunan
nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah. Hal ini merupakan respon pemerintah terhadap aspirasi yang muncul baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dengan tujuan agar pelaksanaan otonomi daerah semakin baik. Salah satu penyerahan wewenang tersebut sebagai pendukung Peraturan Pemerintah yang terdahulu yaitu PP No. 14 Tahun 1988 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang Pekerjaan Umum kepada daerah. Dengan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan khususnya di bidang Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten Bangli telah mengadakan berbagai usaha untuk melaksanakan otonomi daerah sebaik mungkin, salah satunya adalah perbaikan prasarana transportasi jalan, dimana Kabupaten Bangli
16
memiliki 369 ruas jalan jalan kabupaten, dengan panjang jalan keseluruhan 731.823 km yang tersebar di 4 (empat) kecamatan.
Dalam perkembangan pembangunan selanjutnya di Kabupaten Bangli perlu dilakukan pemerataan pembangunan di segala bidang, sehingga sangat diperlukan faktor-faktor pendukung seperti tersedianya jalan yang stabil dan selalu mendapat penanganan, karena bila kondisi jalan tidak ditangani secara tepat tidak akan mencapai umur rencana. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bangli Tahun 2006-2010, penanganan jalan saat ini dilakukan terhadap jalan Kabupaten sepanjang 238.799 km. Adapun beberapa program yang dicanangkan yaitu: pemeliharaan,
pembangunan dan peningkatan serta
rehabilitasi jalan dan jembatan. Untuk melaksanakan RPJMD tersebut, sangat diperlukan penentuan skala prioritas penanganan jalan yang tepat dan perhitungan yang matang, agar tujuan dapat tercapai serta tidak mengurangi kualitas pekerjaan. Adapun pelaksanaan program prasarana jalan yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bangli periode Tahun Anggaran 2008 sampai dengan 2010 secara keseluruhan sepanjang 178.939 km sebanyak 201 ruas. Pelaksanaan kegiatan tersebut sebagian besar terletak di Kecamatan Kintamani dan di Kecamatan Bangli.
17
Dengan memperhatikan pelaksanaan penanganan jalan di Kabupaten Bangli, banyak terjadi ketimpangan–ketimpangan, seperti: banyaknya jalan yang belum mendapat penanganan baik pemeliharaan maupun peningkatan, aspirasi masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di
tingkat desa dan kecamatan hanya sebagian kecil yang direalisasikan dalam APBD dan penentuan skala prioritas yang telah dilakukan selama ini masih didominasi kebijaksanaan pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan yaitu memprioritaskan penanganan proyek jalan yang belum mendapat penanganan dengan mengesampingkan kriteria teknis, manfaat dan biaya. Pedoman perencanaan jalan selama ini yang digunakan dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77, Dirjen Bina Marga, Tahun 1990, yaitu berdasarkan data Lalu Lintas Harian Rata (LHR) dan Nilai Net Present Value (NPV) saja. Hal ini kurang tepat karena hasil prioritas penanganan jalan yang dilaksanakan selama ini menyimpang dari hasil prioritas sebagaimana
prioritas penanganan jalan yang didapat dari Surat Keputusan.
No.77, Dirjen Bina Marga yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan karena kompleksnya permasalahan di lapangan yang dipengaruhi oleh berbagai aspek seperti: kondisi jalan (yang ditentukan berdasarkan hasil survey Bidang Bina Marga), lalu lintas harian rata-rata (LHR), kebijakan (kewenangan kepala daerah yang dilakukan saat Musrenbang Kabupaten maupun saat pengesahan di provinsi serta Anggaran Biaya Tambahan/ABT), aspirasi masyarakat (pemerataan
18
penanganan jalan di tiap-tiap kecamatan), dana anggaran (besaran biaya yang dibutuhkan dalam penanganan jalan) dan aspek tata guna lahan. Maka dari itu diperlukan sebuah metode yang dapat menampung semua aspek tersebut dan dapat mengantisipasi ketimpangannya. Selanjutnya diharapkan dapat mengurangi permasalahan dan disusun urutan penanganan jalan yang sesuai
kebutuhan,
sebagaimana
hasil
perumusan
terhadap
penentuan
prioritas
penanganan jalan kabupaten yang telah dilaksanakan di Kabupaten Badung (Suyasa, 2007) dan di Kabupaten Gianyar (Karya, 2004). Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Suyasa (2007), yang bertujuan untuk menentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Badung dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Adapun faktor kriteria yang digunakan ada 4 (empat) faktor kriteria yaitu kondisi jalan, volume lalu lintas, ekonomi dan kebijakan. Adapun hasil yang didapat dari penelitian yang dilakukan dalam penentuan skala prioritas jalan secara hirarki diharapkan akan memberikan hasil yang lebih representatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suyasa(2007) dan Karya (2004) dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) maka dalam penelitian ini, akan dikaji skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli dengan metode AHP. Berbeda dengan dengan penelitian sebelumnya, dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten selain faktor kondisi jalan, faktor volume lalu lintas, faktor ekonomi dan faktor kebijakan juga disertakan
19
fakor tata guna lahan. Hasil analisis penentuan skala prioritas penanganan jalan dari metode AHP akan dibandingkan dengan analisis berdasarkan pedoman perencanaan jalan kabupaten yaitu SK No.77 KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga. Dari hasil perbandingan kedua metode tersebut diharapkan akan diperoleh suatu kesimpulan metode mana yang lebih representaif yang dapat digunakan dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli di masa yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan kondisi seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimanakah urutan prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga ? 2. Bagaimanakah urutan prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli berdasarkan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ? 3. Bagaimanakah perbandingan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ? 4. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ?
20
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga. 2. Menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). 3. Membandingkan hasil urutan prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). 4. Mengetahui kelebihan dan kelemahan penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan atas 2 (dua) sudut pandang yaitu sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakaat. 1. Dari sudut Pemerintah Kabupaten Bangli sebagai acuan dalam manentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten.
21
2. Dari sudut masyarakat dapat memberi gambaran yang jelas tentang penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli dan diharapkan dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan tujuan memberi arah yang
lebih baik dan jelas. Dalam hal ini batasan permasalahan adalah sebagai berikut : 1.
Data jalan kabupaten yang digunakan pada penelitian tesis ini adalah data jalan kabupaten di Kabupaten Bangli tahun anggaran 20082010.
2.
Penentuan skala prioritas dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan metode SK.No.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990.
1.6
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini meliputi : 1.
Bab I
Pendahuluan :
Pada Bab I Pendahuluan, akan diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan, manfaat penelitian, ruang lingkup dan
sistematika penulisan. 2.
Bab II Tinjauan Pustaka :
22
Pada Bab II atau pada Tinjauan Pustaka, akan diuraikan tentang teori, atau pendekatan teori, proposisi dan konsep yang relevan untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.
Bab III Metode Penelitian : Pada Bab III atau pada Metode Penelitian, akan diuraikan tentang rancangan dan diagram alir penelitian, lokasi dan objek penelitian, sumber data, serta responden penelitian.
4.
Bab IV Deskripsi data : Pada Bab IV atau pada Deskripsi Data, akan diuraikan tentang data yang akan diperlukan/dipergunakan, proses pengumpulan data tersebut, serta hasil pengumpulan data dalam bentuk rekapitulasi dan kompilasi data sesuai kebutuhan data dalam gambar dan tabel. Khusus hasil pengumpulan data yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel yang tidak dapat ditampilkan pada 1 (satu) halaman yang tersedia maka data tersebut akan ditampilkan pada bagian lampiran.
5.
Bab V Analisis Data dan Pembahasan : Pada Bab V atau pada Analisis Data dan Pembahasan ini, akan diuraikan tentang proses penyelesaian rumusan masalah yang telah dirumuskan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan teori, atau
23
pendekatan teori, propisisi, konsep yang telah diuraikan pada Bab II (Tinjauan Pustaka) dan Bab III (Metode Penelitian) dengan data masukan sebagaimana yang diuraikan, direkapitulasi dan dikompilasi pada Bab IV (Deskripsi Data). Sebagaimana halnya pada Bab IV, bilamana ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar yang mana hasil analisis penelitian dalam bentuk gambar dan tabel yang tidak dapat ditampilkan pada 1 (satu) halaman yang tersedia maka hasil penelitian tersebut akan ditampilkan pada bagian lampiran. 6.
Bab VI Simpulan dan Saran : Pada Bab VI atau pada Simpulan dan Saran, akan diuraikan intisari dari hasil penelitian yang telah dianalisis dan dibahas. Simpulan dalam penelitian ini merupakan rangkuman jawaban atas rumusan masalah. Sedangkan saran dalam penelitian ini merupakan anjuran tentang
prospek
dari
hasil
penelitian
dalam
penerapannya
dimasyarakat sebagai hasil yang bersifat applicable. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Jalan Menurut Undang–Undang RI No.22 Tahun 2009 yang dimaksud dengan jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya yang diperuntukan bagi lalu lintas umum, yang berada dibawah permukaan tanah, diatas pemukaaan tanah, dibawah permukaan air, serta diatas pemukaan air,
24
kecuali jalan rel dan jalan kabel. Jalan mempunyai peranan untuk mendorong pembangunan semua satuan wilayah pengembangan, dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah. Jalan merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah lainnya.
2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan UU RI No.22 Tahun 2009,
jalan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : 2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya Pengelompokan jalan menurut fungsinya dapat dibedakan atas : 1. Jalan Arteri Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi dengan berdaya guna. 2. Jalan Kolektor Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. 3. Jalan Lokal Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
25
2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu Untuk keperluan pengaturan penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas yaitu : 1. Jalan Kelas I Yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 10 ton. 2. Jalan Kelas II Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 8 ton.
3. Jalan Kelas III Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan muatan sumbu terberat sebesar 8 ton. 4. Jalan Kelas Khusus
26
Yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 mm, ukuran panjang melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton. Disebutkan pula bahwa volume lalu lintas adalah jumlah kendaraaan yang melewati suatu titik pengamatan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Satuan volume yang umum digunakan dalam perhitungan LHR (Lalu lintas harian ratarata) adalah smp.
2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan Pengelompokan jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian jalan berdasarkan wewenang Pembinaan Jalan. Menurut PP No.26 tahun 1985 tentang jalan, pengelompokan berdasarkan wewenang tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jalan Nasional Adalah jalan menghubungkan antar ibukota provinsi, yang memiliki kepentingan strategis terhadap kepentingan nasional di bawah pembinaan menteri atau pejabat yang ditunjuk, diantaranya: a. Jalan arteri primer, berfungsi melayani angkutan utama yang merupakan
tulang
punggung
transportasi
nasional
yang
menghubungkan pintu gerbang utama (pelabuhan utama dan Bandar udara kelas utama). b. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar provinsi. c. Jalan yang mempunyai nilai strategis kepentingan nasional. 2. Jalan Provinsi
27
Adalah jalan dibawah pembinaan provinsi atau instansi yang ditunjuk, diantaranya adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya. 3. Jalan Kabupaten Adalah jalan dibawah pembinaan kabupaten atau instansi yang ditunjuk diantaranya : a.
Jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional atau provinsi.
b. Jalan lokal primer. c. Jalan yang memiliki strategis untuk kepentingan kabupaten. 4. Jalan Kotamadya Adalah jalan dibawah pembinaan kotamadya, diantaranya jalan kota dan sekunder dalam kota.
5. Jalan Desa Adalah jalan dibawah pembinaan desa yaitu : jalan sekunder yang ada di desa. 6. Jalan Khusus Adalah jalan dibawah pembinaaan pejabat atau instansi yang ditunjuk yaitu jalan yang dibangun secara khusus oleh instansi atau kelompok.
28
2.3
Volume lalu lintas Menurut Pedoman Pengumpulan data lalu lintas jalan Direktorat Jendral
Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (1999), Pada moda transportasi darat
pergerakan lalu lintas dikelompokkan berdasarkan atas beberapa hal,
diantaranya berdasarkan jenis kendaraan yang digunakan akan ada pergerakan dengan kendaraan bermotor dan tanpa kendaraan bermotor. Pergerakan dengan kendaraan bermotor dikelompokkan atas beberapa hal diantarannya berdasarkan kepemilikannya yang dikelompokan menjadi pergerakan dengan kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Berdasarkan jenis muatan yang dipindahkan akan ada pergerakan angkutan barang dan pergerakan angkutan orang. Dalam survey tahunan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli dilakukan survey terhadap jumlah volume lalu lintas masing-masing kendaraan diantaranya : truk ringan, truksedang/berat, kendaraan roda empat dan sepeda motor. Adapun salah satu tujuan dalam survey tahunan tersebut adalah untuk mendapatkan volume lalu lintas harian rata-rata (LHR).
2.4
Penanganan Jalan Menurut SK No. 77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990 (modul 1. Gambaran
umum, halaman 6), jaringan jalan dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu : 1. Jalan dengan kondisi yang mantap (stabil ) adalah jalan yang selalu dapat diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama yang kondisinya sudah baik/sedang yang hanya memerlukan pemeliharaan.
29
2. Jalan dengan kondisi tidak mantap adalah jalan yang tidak dapat diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama kondisinya
rusak/rusak
berat
yang
memerlukan
pekerjaan
berat
(rehabilitasi, perbaikan, konstruksi) termasuk jalan tanah yang saat ini tidak dapat dilewati kendaraan roda 4. Pada prinsipnya, semua kondisi jalan yang mantap setiap tahunnya
harus
mendapat prioritas untuk ditangani dengan pemeliharaan rutin dan berkala. Untuk itu informasi survei terbaru diperlukan dalam menentukan kebutuhan teknis yang tepat, yang biasanya disebut survei tahunan. Survei tahunan sangat perlu dilakukan untuk memperbaharui informasi inventarisasi jalan sebagai bagian dari prosedur perencanaan pemeliharaan tahunan. Untuk keperluan perencanaan dan penyusunan program, menurut SK No.77 pembagian pekerjaan bila ditinjau dari nilainya, dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Pekerjaan
Berat,
meliputi:
pembangunan
baru,
peningkatan
dan
rehabilitasi. 2. Pekerjaan Ringan, meliputi: pemeliharaan, penyangga, dan darurat.
2.4.1 Pekerjaan Berat Pekerjaan berat dimaksudkan untuk meningkatkan jalan yang sesuai dengan tingkat lalu lintas yang diperkirakan dengan membangun kembali perkerasan. Pekerjaan berat ini dapat
berupa pembangunan jalan baru,
peningkatan jalan dan rehabilitasi jalan. Peningkatan dan rehabilitasi dengan umur
30
rencana paling sedikit 10 tahun, diperkirakan hampir menyerap semua dana yang tersedia setelah dikurangi dengan biaya pemeliharaan. 1. Pembangunan Jalan Baru Pada umumnya terdiri atas pekerjaan untuk meningkatkan jalan tanah atau jalan setapak agar dapat dilalui kendaraan roda 4, kondisi jalan yang berat ini memerlukan biaya yang besar dan pekerjaan tanah yang besar pula.
2. Peningkatan Jalan Peningkatan ini dapat dikatakan
sebagai usaha untuk meningkatkan
standar pelayanan jalan yang ada, baik membuat lapisan permukaan menjadi lebih halus, seperti pengaspalan jalan yang belum diaspal atau dengan menambah Lapis Tipis Aspal (Laston) atau Hot Roller Sheet (HRS) kepada jalan yang menggunakan Lapis Penetrasi (Lapen), atau menambah lapisan struktural yang berarti menambah kekuatan perkerasan atau memperlebar lapisan perkerasan yang ada. 3. Rehabilitasi Jalan Diperlukan bila pekerjaan pemeliharaan rutin yang secara teratur harus dilaksanakan itu diabaikan atau pemeliharaan berkala (pelapisan ulang) terlalu lama ditunda sehingga keadaan permukaan lapisan semakin memburuk. Yang termasuk katagori ini adalah perbaikan terhadap kerusakan lapisan permukaan seperti lubang–lubang dan kerusakan struktural seperti amblas atau kerusakan tersebut kurang dari (15 – 20)% dari seluruh perkerasan yang berkaitan dengan lapisan aus baru.
31
Pembangunan kembali secara total biasanya diperlukan apabila struktural sudah tersebar luas sebagai akibat dari diabaikannya pemeliharaan, atau kekuatan desain
yang tidak sesuai, atau karena umur rencana tidak
terlampaui.
2.4.2
Pemeliharaan Jalan Pemeliharaan jalan merupakan kegiatan penanganan jalan yang berkondisi
baik/sedang yang harus mendapat prioritas untuk ditangani, agar jalan dapat berfungsi sesuai dengan yang diperhitungkan dan menjaga agar permukaan ruas jalan mendekati kondisi semula. Pemeliharaan yang dilakukan disini dibagi menjadi dua bagian yaitu pemeliharaan rutin jalan dan pemeliharaan berkala jalan. a. Pemeliharaan Rutin Jalan Pemeliharaan rutin jalan adalah pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan melaksanakan pemeliharaan rutin diharapkan tingkat penurunan nilai kondisi struktural perkerasan akan sesuai dengan kurva kecenderungan yang diperkirakan pada tahap desain. b. Pemeliharaan Berkala Jalan Pemeliharaan berkala dibedakan dengan pemeliharaan rutin dalam hal ini periode waktu antar kegiatan pemeliharaan yang diberikan.
32
Pemeliharaan berkala dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun, sedangkan pemeliharaan rutin di lakukan beberapa kali atau terus menerus sepanjang tahun. Pemeliharaan dilakukan secara berkala tersebut adalah pemberian lapisan aus menyeluruh dan lapisan tambahan fungsional.
2.4.3
Pekerjaan Penyangga dan Pekerjaan Darurat Jalan Pekerjaan penyangga jalan adalah pekerjaan tahunan dengan biaya rendah
yang diperlukan untuk perbaikan jalan agar kondisi jalan tidak semakin memburuk atau semakin parah. Hal ini dilakukan bila pekerjaan berat (peningkatan/rehabilitasi) yang harus dilakukan tidak dibenarkan karena tingkat lalu lintas yang melintasi jalan tersebut rendah atau dana yang tersedia untuk melaksanakan pekerjaan berat seperti rahabilitasi atau peningkatan tidak mencukupi. Dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan penyangga jalan ini perlu selalu dicadangkan dengan jumlah dana yang cukup. Sedangkan pekerjaan darurat adalah pekerjaan yang sangat diperlukan untuk membuka kembali jalan yang baru saja tertutup untuk lalu lintas kendaraan roda empat karena mendadak terganggu, misalnya akibat tebing longsor. Dana pekerjaan darurat tidak dapat disiapkan sebelumnya, tetapi perlu dicadangkan dalam jumlah yang cukup.
2.5 Sumber Dana Penanganan Jalan
33
Sumber dana penanganan jalan, baik itu dana pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, rehabilitasi
maupun
peningkatan jalan diperoleh dari
beberapa sumber antara lain : a. Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) seperti : DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi (APBD Prov.) c. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten (APBD Kab.) termasuk PAD (Pendapatan Asli daerah) d. Bantuan Luar Negeri (BLN)
2.6 Kebijakan Penanganan Jalan Secara umum kebijakan adalah suatu proses akomodasi dari suatu perbedaan agar menjadi bersamaan yang dapat diemplementasikan yang merupakan kewenangan Kepala Daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Surat Edaran bersama antara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 18/M.PPN/02/200.050/244/SJ tanggal 14 Pebruarai 2006 tentang Musrenbang, Pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Bangli perencanaan pembangunan jalan diwujudkan dalam bentuk usulan pengajuan program penanganan jalan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah yaitu Musrenbang Kecamatan, Musrenbang Kabupaten, Musrenbang Provinsi, dan Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
34
Dalam penentuan usulan kegiatan yang lolos Musrenbang Kecamatan didasarkan atas hasil musyawarah di kecamatan dengan diikuti oleh wakil–wakil masyarakat desa yang dikirim ke kecamatan. Hasil dari musyawarah kecamatan dibawa ke kabupaten dan disaring kembali oleh pihak kabupaten melalui wakilwakil masyarakat di tingkat kabupaten. Sehingga akhirnya dilakukan musyawarah di provinsi terhadap hasil Musrenbang Kabupaten ditingkat provinsi, yang selanjutnya disebut Musrenbang Provinsi. Pada beberapa kegiatan yang belum 100% selesai dipandang perlu oleh pemerintah untuk dilanjutkan pembangunannya diperlukan biaya tambahan untuk penyelesaian kegiatan tersebut melalui Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
2.6.1 Metode-Metode Dalam Pengambilan Keputusan Ada beberapa metode pengambilan keputusan yang digunakan dan diterima oleh banyak kalangan secara umum yaitu (Mulyono, 2006) : 1. Metode Rasional Komprehensif Metode Rasional Komprehensif adalah metode pengambilan keputusan dimana pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain (dapat diurutkan menurut prioritas masalah). Adapun kriteria-kriteria pengambilan keputusaan dengan metode ini adalah sebagai berikut:
35
a. Tujuan–tujuan, nilai-nilai dan sasaran yang menjadi pedoman pembuat keputusan sangat jelas dan dapat diuraikan prioritasprioritasnya. b. Bermacam-macam alternatif untuk memecahkan masalah diteliti secara seksama. c. Asas biaya manfaat atau sebab akibat digunakan untuk menentukan prioritas. d. Setiap alternatif dan implikasi yang menyertainya dipakai untuk membandingkan dengan alternatif lain. e. Pembuat keputusan akan memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan, nilai dan sasaran yang ditetapkan. Metode pengambilan keputusan ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam diri pengambilan keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambilan keputusan memiliki cukup informasi mengenai berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada. Pengambil keputusan sering memiliki komplik kepentingan antara nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Karena metode ini mengasumsikan bahwa fakta-fakta dan nilai-nilai yang ada dapat dibedakan dengan cara mudah akan tetapi kenyataannya sulit membedakan antara fakta dilapangan dengan nilainilai yang ada. Ada beberapa masalah diberbagai negara berkembang seperti di Indonesia untuk menerapkan metode rasional komprehensif ini karena beberapa alasan yaitu informasi dan data yang tidak lengkap sehingga tidak bisa dipakai
36
sebagai dasar pengambilan keputusan. Kalau dipaksakan maka akan terjadi sebuah keputusan yang kurang akurat. 1.
Metode Inkremental Adalah metode pengambilan keputusan dengan cara menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan model yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan. Dasar pengambilan Keputusan dengan metode ini adalah pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan emperis yang diperlukan untuk mencapainya merupakan hal yang saling terkait.
Kelemahan penerapan metode Inkremental adalah : a.
Keputusan-keputusan yang diambil akan lebih
mewakili atau
mencerminkan kepentingan dari kelompok yang kuat/mapan, sehingga kepentingan kelompok lemah terabaikan. b.
Keputusan yang diambil lebih ditekankan pada keputusan jangka pendek dan tidak memperhatikan berbagai macam alternatif lain.
2.7
Tata Guna Lahan Tata Guna Lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan
pembagian wilayah dan merupakan kerangka kerja yang meliputi lokasi, kapasitas dan jadwal pembuatan jalan, jaringan air bersih dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Pembagian wilayah dibagi berdasarkan fungsi-fungsi kawasan diantaranya kawasan permukiman, industri , pariwisata dan lainnya.
37
Adapun maksud dari perencanaan tata guna lahan kawasan adalah sebagai pedoman untuk : 1. Penyusunan rencana rinci tata ruang kota 2. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan dan pengendalian ruang diwilayah kota. 3. Mewujudkan
keterpaduan,
keterkaitan
dan
kesinambungan
perkembangan antar kawasan wilayah kota serta keserasian antar sektor. 4. Penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan masyarakat. 5. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangat perlu dipahami dalam melihat permasalahan pengelolaan sumber daya lahan di indonesia.
Pada
dasarnya penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu untuk kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun. Untuk kawasan terbangun digunakan untuk perumahan dan fasilitas umum ( http://tata-guna-lahan/html, 2008). Menurut Peraturan Bupati Bangli No.6 tahun 2006, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangli, tata guna lahan atau peruntukan wilayah Daerah Bangli dibedakan atas 4 (empat) peruntukan yaitu : 1. Bidang Pertanian, mencakup kawasan pertanian dalam arti luas yaitu pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering.
38
2. Bidang
Pendidikan,
mencakup
kawasan
pendidikan
untuk
pembangunan sekolah-sekolah. 3. Bidang Sosial – Budaya, mencakup tempat tinggal, tempat suci dan obyek wisata. 4.
Perdagangan – Jasa, mencakup pasar dan pusat perbelanjaan serta usaha jasa.
2.8
Penentuan Skala Prioritas Jalan berdasarkan SK.No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990
Metode SK No 77/KPTS/Db /1990 dari Dijen Bina Marga adalah merupakan pedoman perencanaan jalan kabupaten yang diterbitkan oleh Dirjen Bina Marga sebagai acuan dalam menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten (Dirjen Bina Marga, 1990). Pada
persiapan program tahunan
dijelaskan beberapa kriteria peringkat prioritas penanganan jalan (SK No.77, Th.1990 pada modul 6 : tugas 5, hal. 5E-1 sampai 5E-2 ) yaitu : 1. Kriteria pokok yang dipakai untuk pemilihan prioritas adalah NPV/Km, dengan memberikan prioritas pertama pada proyek yang NPV/Km-nya tertinggi.
39
2. Kode evaluasi proyek juga diberikan pada proyek-proyek dengan tanda kisaran NPV/Km untuk petunjuk pemilihannya, dengan petunjuk pemilihan adalah sebagai berikut : a.
Berikan prioritas pada kelompok proyek-proyek yang mempunyai kelayakan tertinggi.
b. Berikan
prioritas
terendah
kepada
kelompok
proyek-proyek
berkelayakan rendah. c. Berikan
prioritas
kepada
proyek-proyek
luncuran,
terutama
penyelesaian proyek yang pelaksanaannya dipisah (split) atau proyek yang pelaksanaannya secara bertahap. Penyelesaian proyek-proyek sampai pada panjang yang telah direncanakan semula atau sesuai rencana desain awal, akan sangat penting untuk memberikan manfaat secara penuh atas investasinya. d. Hindari proyek yang sangat panjang (umumnya proyek yang panjangnya lebih dari 15 km) harus sudah dihindari pada tahap penentuan proyek. e. Berikan prioritas pada ruas-ruas jaringan jalan strategis yang telah ditentukan f. Berikan prioritas pada proyek-proyek yang memenuhi sasaran pembangunan kabupaten dan provinsi (namun proyek-proyek tersebut harus tetap distudi dan hasilnya layak berdasarkan prosedur standar).
2.9
Penentuan Skala Prioritas Dengan Analytical Hierarchy Process (AHP)
40
Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik dalam buku “ Proses Hirarki Analitik Dalam Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Kompleks”(Saaty, 1986), adalah suatu metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas dalam ancangannya terhadap suatu masalah. Metode ini merumuskan masalah dalam bentuk hierarki dan masukan pertimbangan– pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP dalam buku Saaty (1986) tersebut, dijelaskan pula beberapa prinsip dasar Proses Hirarki Analitik yaitu : 1. Dekomposisi. Setelah mendifinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan dekomposisi yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya sampai yang sekecil kecilnya. 2. Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. 3.
Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwise comparison vector eigen-nya mendapat prioritas lokal, karena pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk melakukan global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut bantuk hirarki.
3. Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna yang pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman
41
dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah : 1. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tak berstruktur. 2. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persolan kompleks. 3. Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. 4. Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah elemanelemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 5. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas. 6. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 7. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap alternatif. 8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuantujuan mereka. 9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif dari penilaian yang berbeda-beda.
42
10. Memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka melalui pengulangan. AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya untuk mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya, menentukan peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa depan yang diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit usaha dan permasalahan kompleks lainnya (http://www.itelkom.ac.id/ahp/library/1998). Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen
yang
bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi pengelompokan elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan komponen tersebut dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan dampaknya pada sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam suatu sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor) yang memberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan, strategi-strategi tersebut. Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1. berikut ini : Level 1 : Fokus/sasaran/goal Level 2 : Faktor/kriteria
43
Level 3 : Alternatif/subkriteria
Goal
Kriteria 1
Kriteria 2
Kriteria 3
Kriteria 4
Subkriteria
Subkriteria
Subkriteria
Subkriteria
Gambar 2.1 Abstraksi Susunan Hirarki Keputusan Sumber : Saaty (1986)
Sedangkan kelemahan metode AHP adalah : ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. Beberapa contoh aplikasi AHP adalah sebagai berikut: 1. Membuat suatu set alternatif. 2. Perencanaan, merancang system. 3. Menentukan prioritas. 4. Memilih kebijakan terbaik setelah menemukan satu set alternatif. 5. Alokasi sumber daya dan memastikan stabilitas sistem. 6. Menentukan kebutuhan/persyaratan.
44
2.9.1
Penentuan Prioritas dalam Metode AHP Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada
saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai sesungguhnya.
Derajat
kepentingan
pelanggan
dapat
dilakukan
dengan
pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus melakukan
perbandingan
berpasangan
(Pairwise
comparison)
yaitu
membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif. Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif). Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan difinisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.1.
45
Tabel 2.1 Skala Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan
Definisi
1
Elemen yang sama pentingnya dibanding dg elemen yang lain (Equal importance)
Kedua elemen menyumbang sama besar pd sifat tersebut.
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yg lain (Moderate more importance)
Pengalaman menyatakan sedikit berpihak pd satu elemen
5
Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen lain (Essential, Strong more importance)
Pengalaman menunjukan secara kuat memihak pada satu elemen
7
Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari pada elemen yg lain (Demonstrated importance)
Pengalaman menunjukan secara kuat disukai dan dominannya terlihat dlm praktek
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yg lain ( Absolutely more importance)
Pengalaman menunjukan satu elemen sangat jelas lebih penting
9
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai ruang berdekatan (grey area) Sumber : Saaty (1986)
2.9.2
Penjelasan
Nilai ini diberikan bila diperlukan kompromi
Proses-proses dalam Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Adapun Proses-proses yang terjadi pada metode AHP adalah sebagai
berikut (Saaty, 1986) : 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.
46
3. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang setingkat di atasnya. 4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment (keputusan) sebanyak n x ((n-1)/2)bh, dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan. 5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi lagi. 6. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk setiap tingkatan hirarki. 7. Menghitung vector eigen dari setiap matrik perbandingan berpasangan. 8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka penilaian data judgment harus diperbaiki.
2.9.3 Matrik Perbandingan Berpasangan Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai–nilai fundamental AHP dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama penting sampai 9 untuk sangat penting sekali sesuai dengan Tabel 2.1 (Skala Matrik Perbandingan Berpasangan). Dari susunan matrik perbandingan berpasangan dihasilkan sejumlah prioritas yang merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada elemen di dalam tingkat yang ada diatasnya. Perhitungan eigen vector dengan mengalikan elemen-elemen pada setiap baris dan mengalikan dengan akar n, dimana n adalah elemen. Kemudian melakukan normalisasi untuk menyatukan jumlah kolom yang diperoleh. Dengan membagi setiap nilai dengan total nilai pembuat keputusan
47
bisa menentukan tidak hanya urutan ranking prioritas setiap tahap perhitungannya tetapi juga besaran prioritasnya. Kriteria tersebut dibandingkan berdasarkan opini setiap
pembuat
keputusan
dan
kemudian
diperhitungkan
prioritasnya.
Perbandingan Kriteria berpasangan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Perbandingan Kriteria Berpasangan PK Kriteria A Kriteria B Kriteria C Kriteria D Kriteria E
Kriteria A 1,00
Kriteria B
Kriteria C
Kriteria D
Kriteria E
Prioritas
1,00 1,00 1,00 1,00
Sumber : Saaty (1986)
2.9.4 Perhitungan Bobot Elemen Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks. Bila dalam suatu sub sistem operasi terdapat ‘n” elemen operasi yaitu elemenelemen operasi A1, A2, A3, ...An maka hasil perbandingan secara berpasangan elemen-elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding. Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki paling tinggi, dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk matrik perbandingan berpasangan bobot elemen seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.3.
48
Tabel 2.3 Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen A1
A2
……..
An
A1 A2 ……
A11 A21 ……
Ann A22 ……
…….. …….. ……..
A1n A2n ……..
An
An1
An2
……..
Ann
Sumber : Saaty (1986)
Bila elemen A dengan parameter i, dibandingkan dengan elemen operasi A dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai berbanding Aj dilambangkan dengan Aij maka : a(ij) = Ai / Aj, dimana : i,j = 1,2,3,...n
..................................
Pers.
(2.1) Bila vektor-vektor pembobotan operasi A1,A2,... An maka hasil perbandingan berpasangan dinyatakan dengan vektor W, dengan W = (W1, W2, W3....Wn) maka nilai Intensitas kepentingan elemen operasi Ai terhadap Aj yang dinyatakan sama dengan aij. Dari penjelasan tersebut diatas maka matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison matrik), dapat digambarkan menjadi matrik perbandingan preferensi seperti diperlihatkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan W1
W2
……..
Wn
W1
W1/W1
W1/W2
……..
W1/Wn
W2
W2/W1
W2/W2
……..
W2/Wn
……
……
……
……..
……..
……
……
……
……..
……..
Wn
Wn/W1
Wn/W2
……..
Wn/Wn
Sumber : Saaty (1986)
49
Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,…,n dijajagi dengan melibatkan Responden yang memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik perbandingan preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap baris tersebut dengan menggunakan rumus : Wi = n√(ai1 x ai2 x ai3,….x ain)
………………….....…Pers. (2.2)
Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vector yang juga merupakan bobot kriteria. Bobot kriteria atau Eigen Vektor adalah ( Xi), dimana :
Xi = (Wi / Σ Wi)
...........................................Pers. (2.3)
Dengan nilai eigan vector terbesar (λmaks) dimana : λmaks = Σ aij.Xj
………………………......Pers. (2.4)
2.9.5 Perhitungan Konsistensi Dalam Metode AHP Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut: 1. Hubungan Kardinal : aij – ajk = aik 2. Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikat : a. Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu lintas lebih penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih penting 2 kali dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting 8 kali dari kemacetan.
50
b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalu lintas lebih penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari kemacetan, maka keselamatan lalu lintas lebih penting dari kemacetan. Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena tidak konsisten dalam preferensi seseorang, contoh konsistensi matrik sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.2
A=
i j k
i 1 1/4 1/2
j 4 1 2
k 2 1/2 1
Gambar 2.2 Konsistensi Matrik Sumber : Saaty (1986, hal.86)
Matrik A tersebut konsisten karena : aij x ajk = aik ----
=4x½=2
aik x akj = aij ----
=2x2 =4
ajk x aki = aji ----
=½x½=¼
Permasalahan di dalam metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pengukuran pendapat terhadap responden, karena konsistensi tidak dapat dipaksakan. Pengumpulan pendapat antara satu kriteria dengan kriteria yang lain adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada tidak konsistennya jawaban yang diberikan.
51
Pengulangan wawancara pada sejumlah responden dalam waktu yang sama kadang diperlukan apabila derajat tidak konsestennya atau penyimpangan terhadap konsistensi dinilai besar. Penyimpangan terhadap konsistensi dinyatakan dengan indeks konsistensi didapat rumus :
λ maks. – n CI =
.............................................................Pers. (2.5) n -1 λmaks = Nilai Eigen Vektor Maksimum,
Dimana,
n
= Ukuran Matrik.
Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan 9 beserta kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Dengan Indeks Random (RI) setiap ordo matriks seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Random Indek Ordo Matrik
1
2
3
4
RI
0
0
0,58
0,9
5
6
7
8
9
10
1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Sumber : Saaty (1986)
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan 500 sampel, jika keputusan numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, ..,1, 2, …,9 akan memperoleh rata-rata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda. Perbandingan antara CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai Ratio Konsistensi (CR).
52
Untuk model AHP matrik perbandingan dapat diterima jika nilai ratio konsisten tidak lebih dari 10% atau sama dengan 0,1 CI CR =
≤ 0,1 (OK)
.......................................... Pers. (2.6)
RI
2.9.6
Pembobotan Kriteria Total Responden Pembobotan kriteria dari masing-masing responden telah diperoleh
perhitungan dan dilanjutkan dengan menjumlahkan tiap kriteria pada masingmasing responden. Nilai ini kemudian dirata-ratakan dengan cara membaginya dengan jumlah responden, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Rekapitulasi Bobot Seluruh Responden
Kriteria
Resp.1
Resp.2
Resp.3
Resp.n
A B C D E Sumber : Saaty (1986)
2.9.7 Model Matematis Model matematis adalah suatu system persamaam matematik yang digunakan untuk meyelesaikan suatu permasalahan, sehingga penyelesaiannya lebih sederhana.
53
Dari pembobotan kriteria total responden diatas setelah dihitung rataratanya selanjutnya dihitung prioritasnya dengan sistem persamaan matematis menurut Brodjonegoro (1991) adalah : Y= A (a1 x bobot a1 + …….+ a6 x bobot a6 + ……+D(d1 x bobot d1 + … + d5 x bobot d5)
..............…………….….. Pers. (2.7)
Dimana : Y
= Skala prioritas
A s/d D
= Bobot Alternatif level 2 (berdasar
analisa responden) a1, a2, , ….d4, d5 = Bobot Alternatif level 3 (berdasar analisa responden) bobot a1, bobot a2, …., bobot d5 = Bobot Alternatif level 3 (berdasarkan analisis data)
2.10
Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Pengertian populasi secara sederhana dapat dikatakan bahwa
populasi adalah semua obyek penelitian. Nilai populasi adalah semua nilai baik hasil perhitungan maupun pengukuran, baik kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifatnya (Hasan, 2003). Ditinjau dari banyaknya anggota populasi, menurut Usman (1996) maka populasi dapat dibagi menjadi: populasi terbatas (terhingga) dan populasi tak terbatas (tak terhingga). Namun dalam kenyataannya populasi terhingga selalu
54
menjadi populasi yang tak hingga. Ditinjau dari sudut sifatnya, maka populasi dapat bersifat homogen dan populasi heterogen.
2.10.1 Teknik Sampling Dalam Penelitian Menurut Sugiyono (2009), Teknik Pengambilan Sampel adalah suatu teknik untuk mendapatkan sampel pada suatu penelitian agar sampel tersebut representatif terhadap populasi yang mewakilinya. Teknik sampling dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : 1. Probability Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang mana memberikan peluang yang sama untuk setiap unsur/anggota populasi (untuk penelitian kuantitafif) yang dijadikan sebagai sampel. Teknik ini terdiri dari : a. Sampling Random Sampling : Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak dan tanpa ada strata/tingkatan karena anggota/unsur dalam populasi pada teknik ini dianggap homogen. b. Proportionate Stratified Random Sampling : Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak
secara
proporsional pada strata/tingkatan tertentu. Pada teknik ini populasi memiliki strata/tingkatan tertentu dan bersifat homogen pada suatu strata/tingkatan memiliki peluang yang sama pada tingkat yang sama. c. Disproportionate Stratified Random Sampling : Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak secara proporsional pada strata/tingkatan dengan unsur/anggota dengan jumlah
55
yang banyak dan diambil secara keseluruhan pada strata/tingkatan dengan unsur – unsur yang sangat kecil, sehingga pada setiap tingkatan tidak bersifat proporsional. d. Area/Cluster Sampling : Merupakan suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan pembagian suatu wilayah, karena lokasi penelitian terletak pada wilayah yang cukup luas dengan karakteristik wilayah yang satu tidak sama dengan karakteristik wilayah yang lain. 2. Non Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang mana memberikan peluang yang tidak sama untuk setiap unsur/anggota populasi (untuk penelitian kuantitafif) untuk menjadi sampel. Teknik pengambilan sampel ini terdiri dari : a. Sistematis Sampling : Merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan nomor urut tertentu dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut tertentu. b. Sampling Kuota : Merupakan teknik pengambilan sampel pada suatu populasi yang telah memenuhi jumlah unsur/anggota tertentu.
56
c. Sampling Incedental : Merupakan teknik pengambilan sampel secara insedental atau kebetulan. Sampling ini digunakan pada penelitian yang sangat umum dan semua unsur/anggota populasi memenuhi topik penelitian. d. Purposive Sampling : Merupakan teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, sesuai dengan persyaratan yang diisyaratkan dalam penelitian yangakan dilaksanakan, karena tidak semua unsur/anggota populasi memahami tentang topik dari penelitian tersebut. Umumnya sampel/responden dalam metode ini memiliki keahlian sesuai dengan topik penelitian yang dilaksanakan. Sampel/responden yang diambil pada metode ini umumnya disebut dengan respon exspert. Menurut Sogiyono, (2009), respon yang dianggap sebagai pakar/ahli/expertist
adalah mereka yang memiliki
kompetensi terdiri dari mereka yang memiliki kewewenangan/kebijakan untuk memutuskan, tugas yang bersifat rutinitas dan profesi sehubungan dengan topik yang diteliti, atau mereka yang memiliki kemampuan akademik, sesuai dengan topik penelitian. e. Sampel Jenuh : Merupakan teknik pengambilan sampel dengan mengambil semua unsur/anggoata populasi menjadi sampel. Metode ini disebabkan karena jumlah unsur/anggota populasi sangat sedikit.
57
f.
Snowball Sampling : Merupakan teknik pengambilan sampel yang diawali dengan jumlah yang kecil, dan bilamana data yang akan diambil kurang memenuhi peryaratan sesuai dengan yang diperlukan maka sampel ini ditambah sampai semua data yang diperlukan didapat.
Pada dasarnya teknik sampling berguna agar : 1. Mereduksi anggota populasi menjadi anggota sampel yang mewakili populasinya (representatif), sehingga kesimpulan terhadap populasi dapat dipertanggung jawabkan. 2.
Lebih teliti menghitung yang sedikit dari pada yang banyak.
3.
Menghemat waktu, tenaga dan biaya.
Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel adalah sebagai berikut : 1.
Tentukan dulu daerah generalisasinya. Banyak penelitian menurun mutunya karena generalisasi kesimpulannya terlalu luas, penyebabnya adalah karena peneliti ingin agar hasil penelitiannya berlaku secara meluas dan menganggap sampel yang dipilihnya sudah mewakili populasinya.
2.
Berilah batas-batas yang tegas tentang sifat-sifat populasi. Populasi tidak harus manusia. Populasi dapat berupa benda-benda lainnya. Semua bendabenda yang akan dijadikan populasi harus ditegaskan batas-batas karakteristiknya, sehingga dapat menghindari kekaburan dan kebingungan.
58
3.
Tentukan sumber-sumber informasi tentang populasi. Ada beberapa sumber informasi yang dapat memberi petunjuk tentang karakteristik suatu populasi, misalnya didapat dari dokumen-dokumen.
4.
Pilihlah teknik sampling dan hitunglah besar anggota sampel yang sesuai dengan tujuan penelitiannya.
2.11 Kuisioner Kuisioner adalah intsrumen pengumpulan data atau informasi yang dioperasionalisasikan ke dalam bentuk item atau pertanyaan. Subyek penelitian adalah orang yang dilibatkan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan terkait pertanyaan penelitian (http:SPSS-Metode kuisioner penanganan jalanonline blongspot.com, 2008). Adapun tujuan pokok pembuatan kuisioner adalah : 1. Untuk mendapatkan informasi yang relevan dan tujuan survei. 2. Untuk memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi mungkin. Agar kuisioner yang dibuat dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan maka pertanyaan yang dibuat hendaknya, singkat, tepat, sederhana dan berkaitan langsung dengan tujuan penelitian.
59
2.11.1 Petunjuk Pembuatan Kuisioner Kuisioner yang baik hendaklah memperhatikan petunjuk-petunjuk sebagai berikut : 1. Bahasa harus singkat, jelas dan sederhana 2. Kata-kata yang digunakan tidak mengandung makna rangkap 3. Hindari pertanyaan yang relatif lama, sehingga sukar diingat responden 4. Hindari kata-kata yang membingungkan atau kurang dimengerti oleh responden 5. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang memalukan dan menakutkan masyarakat. 6. Buatlah pertanyaan atau pernyataan yang mangandung makna positif dan negatif yang disusun secara acak. 7.
Jangan membuat kuisioner yang banyak menyita waktu responden, karena jika responden bosan maka angket tidak diisi dan dikembalikan.
2.11.2 Isi Pertanyaan Isi pertanyaan ataupun pernyataan yang ada dalam kuisioner harus sesuai dengan tujuan penelitian, untuk itu pertanyaan – pertanyaan harus berisi : 1. Pertanyaan mengenai penilaianan tingkat kepentingan antar kriteria. 2. Pertanyaan mengenai penilaian tingkat kepentingan antar subkriteria.
60
2.11.3 Jenis Pertanyaan Dalam pembuatan kuisioner, pertanyaan-pertanyaan dapat dikelompokan dalam beberapa jenis yaitu 1. Pertanyaan tertutup yaitu, pertanyaan yang kemungkinan jawabannya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti, responden tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain. 2. Pertanyaan terbuka yaitu, pertanyaan yang boleh dijawab sendiri oleh responden. 3. Kombinasi terbuka dan tertutup yaitu, pertanyaan yang diberikan kepada responden berupa pertanyaan kombinasi sebagaian jawaban sudah ditentukan oleh peneliti dan sebagian dapat dijawab sendiri oleh responden. 4. Pertanyaan semi terbuka, yaitu jawabannnya sudah disusun tetapi masih kemungkinan penambahan jawaban.
2.11.4 Skala Pengukuran Kuisioner Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Ada beberapa jenis skala pengukuran yaitu (Firdaus, 2008): 1. Skala Guttman Adalah skala pengukuran yang digunakan bila peneliti ingin mendapat jawaban yang tegas yaitu ya-tidak, benar-salah dan lain-lain.
61
2. Semantik Deferential Adalah
skala
pengukuran
yang
digunakan
untuk
mengukur
sikap/karakteristik seseorang. Bentuknya tidak pilihan ganda atau ceklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontunue yang jawabannya sangat positifnya paling kanan dan sangat negatifnya paling kiri.yang didasarkan pada ranking, diurutkan dari jenjang yang lebih tinggi sampai jenjang yang lebih rendah atau sebaliknya. 3. Rating Schale Adalah skala pengukuran dimana data mentah yang diperoleh berupa angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. 4.
Skala Likert Adalah suatu interval pengukuran sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.
62
2.12
Jenis Penelitian Setiap penelitian harus menyajikan data yang telah diperoleh baik yang
diperoleh melalui observasi, wawancara, kuisioner maupun dokumentasi. Prinsip dasar penyajian data adalah komunikatif dan lengkap dalam arti data yang disajikan dapat menarik perhatian pihak lain untuk membacanya dan mudah memahami isinya. Menurut Hasan (2003), ada beberapa jenis data menurut kriteria yang menyertainya baik menurut susunannya, sifatnya, waktu pengambilannya, sumber pengambilannya dan skala pengukurannya. Menurut sumber pangambilannya data dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu (Hasan, 2003): 1. Data primer yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer disebut juga data asli atau data baru. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari sumbersumber yang ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan peneliti yang terdahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia.
63
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Tahapan Penelitian Langkah-langkah dalam penelitian ini di mulai dengan melakukan studi
pendahuluan
yang meliputi : pengenalan daerah studi, tinjauan pustaka,
identifikasi data dan perangkat lunak yang digunakan. Dari studi pendahuluan yang dilakukan, dilanjutkan identifikasi masalah sehingga dapat disusun latar belakang masalah dan rumusan masalah serta penetapan tujuan penelitian ini. Selanjutnya dilakukan pengumpulan data baik diperoleh dari data primer maupun dari data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner atau wawancara kepada pihak-pihak (stakeholders) yang berkompeten dalam penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari data penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli pada tahun anggaran 2008 – 2010 serta pedoman perencanaan jalan kabupaten sesuai SK No.77/KPTS/Db/1990. Langkah selanjutnya akan dilakukan penentuan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang diawali dengan penyusunan hirarki yaitu dengan penentuan kriteria dan penentuan subkriteria. Selanjutnya dilakukan analisis pembobotan dalam penentuan skala prioritas jalan dengan metode AHP. Hasil skala prioritas penanganan jalan kabupaten yang diperoleh dari metode AHP akan dibandingkan dengan hasil skala prioritas berdasarkan SK No.77/KPTS/Db/1990. Adapun langkah-langkah penelitian ini, diperlihatkan pada Diagram Alir Penelitian pada Gambar 3.1.
64
Studi Pendahuluan (Penentuan lokasi studi,tinjauan pustaka,identifikasi data dan perangkat lunak yg digunakan)
Latar belakang dan rumusan masalah
Tujuan Penelitian
Pengumpulan Data Data Sekunder
Data Primer - Kuisioner/ Wawancara
- Data Penanganan Jalan Kab. Bangli T.A.2008-2010 - Pedoman Perenc Jalan Kab (SK No.77/KPTS/Db/1990
Penyusunan Hirarki Model AHP - Penentuan Kriteria - Penentuan Subkriteria
Analisis Pembobotan dalam penentuan skala prioritas jalan dg Metode AHP
T
Analisis penentuan skala prioritas jalan Berdasarkan SK No.77/KPTS/ Db/1990
Uji Konsistensi CR ≤ 1
Y I
I
65
I
I
Analisis Skala Prioritas dg Metode AHP
Perbandingan hasil Skala Prioritas AHP dg SK No.77/KPTS/Db/1990
Simpulan dan Saran
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian.
3.2
Studi Pendahuluan Kegiatan–kegiatan yang dilakukan di dalam sudi pendahuluan ini pada
dasarnya adalah untuk mengidentifikasi ketersediaan sarana pendukung dalam melakukan penelitian ini. Hal-hal tersebut meliputi pemilihan lokasi studi, ketersediaan data, ketersediaan pustaka atau literatur referensi dan ketersediaan alat bantu dalam hal ini perangkat lunak untuk melakukan anlisis data. Hal ini dilakukan mengingat suatu studi tentu dibatasi oleh ketersediaan waktu dan dana. Hasil dari studi pendahuluan ini adalah sebagai berikut : 1. Lokasi Penelitian di Kabupaten Bangli (Lamp.A1, Gambar Peta Wilayah Studi, hal 117).
66
2. Waktu penelitian, penelitian ini dilakukan dari pagi hingga sore selama jam kerja pemerintahan. 3. Obyek penelitian dilakukan pada Asisten Pembangunan Setda Kabupaten Bangli, Bidang Bina Marga Dinas PU Kab.Bangli, Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab.Bangli, Camat se-Kab Bangli, Anggota DPRD pada Komisi Pembangunan dan beberapa tokoh masyarakat yang memahami penanganan jalan di wilayahnya masing-masing. 4. Data perencanaan penanganan jalan kabupaten tahun anggaran 2008- 2010 di dapat dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangli dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli 5. Pustaka atau literatur referensi sebagai acuan landasan teori diperoleh dari beberapa textbook yang berkaitan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan acuan berdasarkan Surat keputusan Dirjen Bina Marga No.77/KPTS/Db/1990 tentang Petunjuk Teknis
Perencanaan dan
Pengendalian Pembangunan di Daerah. 6. Perangkat lunak sebagai alat bantu yang digunakan dalam melakukan analisis dapat digunakan program Microsof Excel.
3.3 Latar Belakang dan Rumusan Masalah Selama ini penentuan prioritas proyek jalan kabupaten yang disusun Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli dibuat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 77/KPTS/Db/1990 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah. Penentuan usulan proyek
67
jalan hanya mempertimbangkan lalu lintas harian rata-rata (LHR) dan manfaat lalulintas (NPV) saja. Dengan metode tersebut masih banyak jalan yang belum mendapat penanganan baik pemeliharaan maupun peningkatan serta aspirasi masyarakat melalui musrenbang di tingkat desa dan tingkat kecamatan hanya sebagaian kecil direalisasikan dalam APBD. Berdasarkan hal tersebut perlu penerapan metode lain yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Adapun metode yang akan digunakan adalah Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penggunaan metode dengan sistem hirarki sudah diterapkan di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar dalam penentuan prioritas jalan kabupaten. Adapun parameter atau kriteria yang digunakan adalah : faktor kondisi jalan,
faktor
volume lalu lintas, faktor ekonomi, faktor kebijakan dan faktor tata guna lahan. Penentuan prioritas proyek dengan metode hirarki yang akan di laksanakan dapat memberi hasil yang lebih representatif dalam penentuan prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli.
3.4 Tujuan Penelitian Dari permasalahan tersebut kemudian ditetapkan tujuan penelitian. Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah seperti yang disebutkan pada BAB I Pendahuluan, hal.6.
3.5
Pengumpulan data Dalam studi ini dilakukan pengumpulan data yang meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer yang diperoleh adalah data yang dicatat dan
68
didapat langsung dari obyek penelitian melalui wawancara/intervew dan data sekunder diambil langsung dari instansi pemerintah Kabupaten Bangli. Adapun langkah-langkah pengumpulan data pada penelitian ini dijelaskan pada sub bab berikut. 3.5.1 Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dimaksudkan untuk menentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli. Data sekunder diperoleh dari instansi Pemerintah Kabupaten Bangli yaitu Bappeda Kabupaten Bangli dan Dinas PU Bidang Bina Marga Kabupaten Bangli. Adapun data tersebut meliputi : data kondisi jalan, data volume lalu lintas, dana anggaran/biaya penanganan jalan per meter persegi, kebijakan dan tata guna lahan serta pedoman perencanaan jalan kabupaten berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990. Adapun langkah-langkah pengumpulan data sekunder adalah : 1. Permintaan data diajukan secara tertulis, dimana data yang diminta adalah : a. Kriteria yang dipakai untuk menentukan skla prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli. b. Data yang berhubungan dengan kriteria yang dipakai untuk penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli. 2. Setelah data yang sesuai dengan diktum 1 didapat, maka data tersebut direkapitulasi dan dikompilasi ke masing-masing penanganan jalan kabupaten, dengan tujuan : a. Sebagai dasar dalam penyusunan struktur hirarki,
unsur kelompok
69
b. Sebagai dasar olahan dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten yang akan ditinjau. 3. Setelah struktur hirarki disusun, selanjutnya disusun kuisioner untuk dipakai sebagai instrumen dalam melaksanakan pengumpulan data primer. Rancangan kuisioner pada penelitian ini diperlihatkan pada lampiran B, hal.129. Dalam penelitian ini, penyusunan kuisioner yang digunakan pada penelitian ini dengan melibatkan beberapa stake holders yang berkompeten dalam penanganan jalan di Kabupaten Bangli yaitu Bapak Wayan Budi Utama (Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kab. Bangli), Ir.Ida Bagus Sentanu,MM (Kepala Dinas PU Kab. Bangli), Ir. Ida Bagus Wediatmika,MM (Kepala Bidang Bina Marga), A.A Darmawan, Ap.,MM (Camat Kec.Susut), I Wayan Pasek Wiratama, ST (Staf Teknis dari Bappeda) dan I Wayan Yasa (Kaur Pemb.Desa Susut).
Skala pengukuran sikap responden dalam
penentuan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli digunakan skala Penilaian Saaty (1986). Untuk mempermudah responden dalam memberi jawaban atas penilaiannya maka kuisioner disusun dalam bentuk interval dalam skala 1 sampai dengan 9 berdasarkan nilai preferensi berpasangan dari Saaty (1986) dan dengan melingkari salah satu angka pada interval terhadap penilaian yang diberikan,
dimana masing-masing skala
menunjukan tingkat kepentingan indikator kriteria yang dibandingkan terhadap indikator kriteria yang melingkupinya. Dalam penelitian ini dilakukan penyebaran kuisioner dengan wawancara langsung kepada responden yang mempunyai tugas, fungsi dan pengalaman di bidang
70
penanganan dan perencanaan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli. Penyebaran kuisioner kepada 26 (dua puluh enam) responden dipilih secara Purposive yaitu pemilihan responden berdasarkan pertimbangan dengan persyaratan responden yang dipilih memiliki pengetahuan dan kompetensi dibidang penanganan jalan. Adapun respon expert yang dipilih terdiri dari : 1. Pemerintah Kabupaten Bangli : Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kab. Bangli (1 orang), Kadis PU Kab. Bangli (1 orang), Kabid
Bina Marga (1 orang), Kasi Pemeliharaan
dan Rehabilitasi Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Kasi Peningkatan dan Pembangunan Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Staf Perencana Bidang Bina Marga (1 orang), Ka. Bidang Fisik dan Prasarana di Bappeda (1 orang), Kasubdin Tata Ruang di Bappeda (1 orang), Staf dari Bappeda (1 orang). 2. Badan Legislatif Anggota DPRD Bangli Komisi C (1 orang). 3. Pemerintah Kecamatan Para Camat Se Kabupaten Bangli yaitu Camat Kecamatan Bangli, Camat Kecamatan Susut, Camat Kecamatan Tembuku dan Camat Kecamatan Kintamani (4 Orang) 4. Tokoh Masyarakat (12 orang) yaitu dari Kaur Pembangunan Desa Se Kabupaten Bangli. Sedangkan waktu penyebaran kuisioner kepada responden dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan yaitu dari bulan Januari sampai bulan Maret 2010.
71
3.5.1 Pengumpulan Data Primer Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada penelitian ini pengumpulan data primer mempergunakan metode kuisioner/interview. Adapun tahapan dalam melakukan interview kepada responden pada penelitian ini adalah : 1. Sebelum dilaksanakan interview terlebih dahulu responden diberikan pertanyaan secara tertulis dengan model pertanyaan berupa skala penilaian. 2. Bersamaan dengan pertanyaan yang diserahkan/diberikan, kepada para responden dijelaskan secara umum tentang maksud dan cara menjawab dari masing-masing pertanyaan yang harus dijawab. 3. Interview dilaksanakan sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati oleh para responden dengan mempertimbangkan : a. Waktu dari para responden untuk mempelajari dan memahami pertanyaan yang harus dijawab, b. Waktu yang terluang untuk melaksanakan interview, c. Beban fisikologis responden saat menjawab pertanyaan. 4. Akibat pertimbangan pada item 3.c para responden diharapkan menjawab pertanyaan pada saat tidak terjadi beban fisikologis, sehingga interview hanya
dilaksanakan
terhadap
hal-hal
atau
pertanyaan
yang
meragukan/membingungkan responden. 5. Pada saat dilakukan interview, terlebih dahulu responden ditanyakan apakah dari pertanyaan yang akan ditanyakan membingungkan/meragukan responden apa tidak?, dan apabila ada pertanyaan yang membingungkan
72
bagi responden maka interview tidak dapat dilanjutkan sampai pada batas responden mengerti betul terhadap pertanyaan yang akan dijawab. Dan apabila ada pertanyaan/hal-hal yang masih meragukan/membingungkan responden maka dilakukan penjelasan ulang terhadap pertanyaan yang akan dijawab. 6. Hasil jawaban penilaian level hiraki yang diperoleh dari responden sangat menentukan besarnya bobot elemen level hirarki, apabila ditemukan hasil penilaian responden setelah diuji tingkat konsisten (rasio konsisten) jawaban responden melebihi batas 10% maka dilakukan pengulangan interview sampai memperoleh tingkat konsistensi ≤ 10%.
3.6
Variabel Penelitian Variabel yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari kriteria/pertimbangan
yang menjadi latar belakang prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli, variabel pada penelitian ini baru akan dirumuskan dalam bentuk struktur hirarki setelah didapatkan data sekunder. Dalam penelitian ini penyusunan level hiraki yang digunakan dalam metode Analytical Hierarchy Process (AHP) terdiri dari 3 (tiga) level yaitu : 1. Level 1 (tujuan), adalah menentukan prioritas jalan yang mendapat prioritas penanganan jalan secara rutin dan berkala, rehabilitasi jalan dan peningkatan jalan. 2. Level II (Kriteria) terdiri dari beberapa kriteria dalam menentukan prioritas jalan. Kriteria tersebut adalah : Faktor Kondisi Jalan (A),
73
Faktor Volume Lalu Lintas (B), Faktor Ekonomi (C), Faktor Kebijakan (D) dan Faktor Tata Guna Lahan (E). 2. Level III (Pengembangan dari Level II, yang selanjutnya disebut subkriteria), Sub kriteria kondisi jalan, volume lalu lintas, ekonomi diperoleh dari SK No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990 sedangkan sub kriteria kebijakan dan tata guna lahan diperoleh melalui wawancara responden yang berperan dalam pengambilan kebijakan di pemerintahan. Selanjutnya Penyusunan level hirarki yang terdiri dari 3 (tiga) level tersebut diperlihatkan pada Gambar 3.2.
74
Level I (Tujuan)
Level II (Kriteria)
-Lubang-lubang (a1) -Legokan / Amblas (a2) -Retak-retak (a3) -Alur bekas roda (a4) -Bahu Jalan (a5) -Kemiringan jalan (a6)
F. Kondisi Jalan (A)
F.Volume Lalu-lintas(B)
Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Level III (Subkriteria)
-Truk Ringan (b1) -Truk Sedang dan Berat (b2) -Mobil roda 4 (b1) -Bis (b3) -Sepeda motor (b4) -Manfaat/Kelayakan (c1) (NPV)
F. Ekonomi (C)
-Estimasi Biaya Kegiatan (c2) -Musrenbang Camat (d1) -Musrenbang Kabupaten (d2) -Musrenbang Provinsi (d3) -ABT (d4)
F. Kebijakan (D)
F. Tata Guna Lahan (E)
-Bidang Pertanian (e1) -Bidang Pendidikan (e2) -Bidang Sosial -Budaya (e3) -Bidang Perdagangan - Jasa (e4)
Gambar 3.2 Penyusunan Level Hirarki Penanganan Jalan
3.7
Analisis Data Analisis data merupakan pekerjaan yang terintegrasi setelah data
didapatkan, kemudian dikumpulkan untuk direkapitulasi sesuai kebutuhan dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode AHP dan membandingkan hasil analisis tersebut dengan hasil analisis yang didapat berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990 sehingga
diperoleh kelebihan dan kelemahan
penentukan skala prioritas penanganan jalan dari kedua metode tersebut.
75
BAB IV DESKRIPSI DATA
4.1 Gambaran Umum dan Letak Geografis Kabupaten
Bangli
secara
Geografis
terletak
antara
115º13’48”-
115º27’24’’ bujur Timur dan 8º 8’30”-8º3’87” Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Bangli sebesar 520,81 Km2 atau sekitaar 9,25 persen dari seluruh luas pulau Bali, dengan batas – batas sebagai berikut : a. Disebelah Utara
: Kabupaten Buleleng.
b. Di sebelah Timur
: Kabupaten Kelungkung dan Kab. Karangasem.
c. Disebelah Selatan
: Kabupaten Gianyar.
d. Disebelah Barat
: Kabupaten Gianyar.
4.2 Prasarana Jalan Prasarana jalan merupakan salah satu unsur yang cukup strategis dalam menunjang pembangunan disamping dapat mempercepat arus kegiatan, ekonomi serta memperlancar mobilitas penduduk antar daerah. Dengan semakin meningkatnya aktifitas pembangunan maka dituntut pula adanya jaringan jalan yang semakin memadai. Di Kabupaten Bangli terdapat jalan dengan panjang total 731.823 Km, yaitu terdiri dari 452.989 Km Jalan Kabupaten dan 37.120 Km Jalan Provinsi serta 241.714 Km Jalan Lingkungan. Jumlah ruas jalan yang dimiliki Kabupaten
76
Bangli adalah 369
yang tersebar di 4 (empat) kecamatan dengan rincian
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Jumlah Ruas Jalan dan Panjang Jalan di Kab. Bangli No
Kecamatan
Ruas Jalan Panjang Jalan (bh) (km) 1 Kintamani 157 339,872 2 Susut 73 173,95 3 Bangli 71 77,46 4 Tembuku 68 140,541 Jumlah 369 731,823 Sumber : Hasil Survey Dinas PU Bid.Bina Marga, 2008
Untuk penentuan skala prioritas penanganan prasarana jalan tersebut diatas digunakan metode berdasarkan SK No.77, Bina Marga, 1990 dan hasil urutan prioritas yang didapat akan dibandingkan dengan
Metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) yang menggunakan sistem hierarki dalam penentuan urutan prioritasnya.
4.3
Hasil Penilaian Responden Dalam metode AHP diawali
dengan penyebaran kuisioner kepada
beberapa responden, dalam hal ini telah dilakukan terhadap 26 responden. Data yang dikumpulkan dari responden ini adalah data primer hasil kuisioner atau wawancara. Jumlah kuisioner disebarkan kepada 26 responden yang dipilih secara purposive terdiri dari : 1. Pemerintah Kabupaten Bangli : Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kab. Bangli (1 orang), Kadis PU Kab. Bangli (1 orang), Kabid
Bina Marga (1 orang), Kasi Pemeliharaan
77
dan Rehabilitasi Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Kasi Peningkatan dan Pembangunan Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Staf Perencana Bidang Bina Marga (1 orang), Ka. Bidang Fisik dan Prasarana di Bappeda (1 orang), Kasubdin Tata Ruang di Bappeda (1 orang), Staf dari Bappeda (1 orang). 2. Badan Legislatif Anggota DPRD Bangli Komisi C (1 orang). 3. Pemerintah Kecamatan Para Camat Se Kabupaten Bangli yaitu Camat Kecamatan Bangli, Camat Kecamatan Susut, Camat Kecamatan Tembuku dan Camat Kecamatan Kintamani (4 Orang) 4. Tokoh Masyarakat (12 orang) Penyebaran kuisioner sebanyak 26 eksemplar dilakukan dengan memberikan langsung kepada responden. Responden membuat jawaban langsung dan sekaligus melakukan diskusi dengan penulis. Angka-angka yang diberikan pada persepsi responden merupakan skala perbandingan dari masing-masing faktor kriteria dan sub kritaria. Besaran skala diambil dari Tabel 2.1 Skala Matrik Perbandingan Berpasangan (pada BAB II, hal 32). Data dari penyebaran kuisioner kepada 26 responden diringkas dalam beberapa tabel sesuai kelompok pertanyaan pada kuisioner dan diuraikan pada sub bab berikut.
78
4.3.1 Jawaban terhadap penilaian pada level 2 (terhadap kriteria) Dari
hasil wawancara/interview terhadap responden
dengan cara
melakukan kuisioner dalam menentukan tingkat kepentingan terhadap kriteria, diperoleh jawaban berdasarkan skala/range penilaian yang diberikan pada lembar kuisioner (Lamp.B, 129). Adapun jawaban persepsi masing-masing responden terhadap “ Kriteria” ditabelkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.2.
Responden R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26
Tabel 4.2 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap “ Kriteria” PERSEPSI RESPONDEN A:B A: C A:D A:E B:C B:D B:E C:D C:E 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 4 2 1 2 2 3 2 2 2 4 3 5 2 2 2 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 5 2 2 2 3 2 3 3 2 3 2 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 5 2 2 3 2 2 2 1 1 2 3 2 4 4 2 3 3 2 3 2 3 5 3 3 2 2 2 3 2 3 6 3 3 4 5 2 6 4 4 2 2 4 4 3 1 7 4 3 4 3 3 4 2 3 5 3 2 2 2 2 3 3 2 4 3 4 4 3 3 3 4 2 3 2 4 2 2 4 2 2 2 3 5 2 3 4 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 2 5 3 6 2 2 2 4 2 2 2 4 4 2 2 4 2 2 3 3 4 2 2 2 2 3 2 2 3 2 2 2 3 4 2 2 2 2 3 2 3 2 5 2 4 2 2 4 2 2 2 5 5 4 2 2 4 2 2 2 2 4 2 2 2 2 2 2 2 2
Sumber : Hasil Analisis, 2010
D:E 2 2 2 2 1 2 2 2 2 3 2 2 4 2 4 2 5 2 2 3 2 2 2 5 5 3
79
Keterangan Tabel 4.2 tersebut diatas adalah : R
adalah : Responden (dari responden 1 s/d 26)
A : B adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor volume lalulintas. A : C adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor ekonomi. A : D adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor kebijakan. A : E adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor tata guna lahan. B : C adalah : Pertimbangan faktor volume lalu lintas terhadap faktor ekonomi. B : D adalah : Pertimbangan faktor volume lalu lintas terhadap faktor kebijakan. B : E adalah : Pertimbangan faktor volume lalu lintas terhadap faktor tata guna lahan. C : D adalah : Pertimbangan faktor ekonomi terhadap faktor kebijakan. C : E adalah : Pertimbangan faktor ekonomi terhadap faktor tata guna lahan D : E adalah : Pertimbangan faktor kebijakan terhadap faktor tata guna lahan Contoh : Persepsi Responden 2(R2) yaitu : - Penilaian A:B diberikan skala 2 berarti: Faktor A sedikit lebih penting di
banding faktor B - Penilaian A:C diberikan skala 4 berarti: Faktor C lebih penting dari faktor A. 4.3.2 Jawaban terhadap penilaian pada level 3 (sub kriteria) 1. Sub Kriteria Kondisi Jalan Jawaban dari 26 responden berdasarkan skala/range penilaian yang diberikan pada lembar kuisioner terhadap sub kriteria kondisi jalan dapat dikelompokkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.3.
80
Tabel 4.3 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Sub.Kriteria ” Kondisi Jalan”. Resp.
Persepsi responden A1: a2
a1: a3
a1:a4
a1-a5
a1: a6
a2: a3
a2; a4
a2:a5
a2: a6
a3:a4
a3: a5
a3:a6
a4:a5
3
2
3
5
2
2
2
2
2
2
R1
3
5
2
4
4
R2
3
3
2
3
3
2
2
2
6
4
R3
2
5
3
3
4
3
2
2
4
5
R4
2
4
5
5
3
3
4
4
3
2
5
2
3
2
3
3
2
R5
2
2
2
3
5
2
4
5
4
4
4
3
4
6
4
3
3
2
R7
4
5
3
5
4
3
3
4
2
3
2
3
2
2
2
2
2
2
3
2
2
2
7
4
R9
2
3
4
5
2
3
2
3
4
2
3
6
4
5
2
3
4
3
2
2
3
3
3
2
3
2
3
R10
2
R11
2
R12
2 2
3
R13
2
R14
2
R15
4
R16
4
R17
2
R18
2
3 4
2
2
4
3
3
5
2
2
4
2
4
3
2
2 3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
2
2
2
2
2
3
2
3
2
2
3
2
3
2
3
3
2
3
3
2
4
6
3
3
3
2 2
2
3
4
2
5
2
3
2
2
2
2
2
3
2
5
2
2
2
2
3
2
2
3
3
2
3
2
2
2
5
2
2
5
2
3
2
2
R20
3
2
R21
3
3
5
5
2
2
2
2
2
2
2
5
5
2
3
4
3
4
3
4
2
4
2
3
3
3
2 2
2
5
3
5
4
2
2
7
3
5
2
2 2 2
2
2
2
2
2
2
3
2
2
2
3
3
3
2 2
R22
2
3
2
2
3
6
5
4
2
2
4
R23
2
3
3
2
4
5
5
3
3
2
4
4
2
3
3
3
R24
4
2
R19
2
3
2
3
a5-a6
3
2
3
3
2
R6
R8
a4:a6
2 2 3
2
3 2 3
2
2
2 2 2
3
2
2
3
3
3
3
4
2
4
4
2
5
3
3
3
4
2
5
4
R25
5
3
3
4
2
5
2
5
4
3
3
2
4
4
R26
5
2
2
4
2
2
2
3
4
2
2
4
2
2
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan Tabel 4.3 tersebut diatas adalah : R adalah
: Responden (dari responden 1 s/d 26)
a1 : a2 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang terhadap perbaikan legokan/ amblas. a1 : a3 adalah :
Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang terhadap perbaikan retak-retak.
81
a1 : a4 adalah :
Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang
terhadap perbaikan alur bekas roda. a1 : a5 adalah :
Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang
terhadap perbaikan bahu jalan. a1: a6 adalah :
Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang terhadap perbaikan kemiringan jalan.
a2 : a3 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas terhadap perbaikan retak-retak. a2 : a4 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas terhadap perbaikan alur bekas roda. a2 : a5 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas terhadap perbaikan alur bekas. a2 : a6 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas terhadap perbaikan bahu jalan. a3 : a4 adalah :
Pertimbangan ttingkat
kepentingan perbaikan retak-retak
terhadap perbaikan alur bekas roda. a3 : a5 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan retak-retak terhadap perbaikan bahu jalan. a3 : a6 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan retak-retak terhadap perbaikan kemiringan jalan.
82
2. Subkriteria Volume Lalu Lintas Jawaban dari 26 responden berdasarkan skala/range penilaian yang diberikan pada lembar kuisioner terhadap sub kriteria volume lalulintas dikelompokkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Sub Kriteria ”Volume Lalu Lintas”. Responden R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26
b1:b2 2 2 3 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
b1:b3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
b1:b4 3 2 2 3 2 3 3 2 2 3 5 4 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2
PERSEPSI RESPONDEN b1:b5 b2:b3 b2:b4 b2:b5 2 2 2 2 2 3 3 3 4 3 3 3 3 2 2 3 4 2 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 2 2 4 2 4 2 3 5 4 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3 2 2 2 4 2 2 3 3 2 2 1 2 2 2 2 4 3 2 2 3 2 2 2 5 2 2 2 4 2 5 2 2 2 4 3 2 2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
b3:b4 2 2 2 3 2 2 3 3 4 4 3 2 4 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3
b3:b5 2 2 2 2 2 3 2 4 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 2 2
b4:b5 2 2 2 2 5 2 3 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Keterangan Tabel 4.4 tersebut diatas adalah : R adalah : Responden (dari responden 1 sampai 26) Sub kriteria : Truk Ringan (b1), Truksedang dan Berat (b2), Mobil roda 4 (b3), Bis (b4) dan sepeda motor (b5).
83
3. Sub Kriteria Faktor Ekonomi Jawaban dari 26 responden berdasarkan skala/range penilaian yang diberikan pada lembar kuisioner terhadap sub kriteria ekonomi, dapat dikelompokkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Rekap. Jawaban Responden Terhadap Sub.Kriteria ” Ekonomi”. Responden c1 R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26
Persepsi Responden -
c2 7
5 5 5 6 4 7 7 5 3 4 4 4 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Keterangan Tabel 4.5 tersebut diatas adalah : R adalah : Responden (dari responden 1 sampai 26) c1 adalah : Manfaat/Kelayakan (NPV) dan c2 adalah : Biaya Kegiatan
84
4. Sub Kriteria Faktor Kebijakan Adapun jawaban dari 26 responden berdasarkan
skala/range penilaian
terhadap sub kriteria kebijakan dapat dikelompokkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Sub Kriteria ”Kebijakan”. Responden R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26
d1: d2 2 2 4 2 2 2 4 2 2 4 4 3 2 2 2 3
d1 : d3 2 2 2 2 2 3 2 2 4 3 3 5 3 2 3 3
3 3 3 3 4 4 3 3 5 3
3 3 2 2 2 2 2 4 5 4
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Persepsi Responden d1: d4 D2 : d3 4 3 4 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 5 3 5 5 3 3 3 3 3 3 5 3 4 3 3 3 2 3 2 3 3 3 3 5 3 2 3 2 3 3 4 3 3 2 2 5 3 2 3
d2 : d4
d3:d4 2 2 2 2
4 4 4 4 3 4 2 4 3 3
2 2 2 2 3 4 2 2
2 2 3
7 5 4 4 3 3 2 2
3 2 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3
2 7 5 2 5 2
85
Keterangan Tabel 4.6 tersebut diatas adalah : R adalah : Responden (dari responden 1 sampai 26) d1 adalah : Musrenbang Camat d2 adalah : Musrenbang Kabupaten d3 adalah : Musrenbang Provinsi d4 adalah : Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
4. Sub Kriteria Faktor Tata Guna Lahan Dari 26 Responden, jawaban persepsi mengenai sub kriteria tata guna lahan dapat dikelompokkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Rekap. Jawaban Responden terhadap Sub Kriteria ” Tata Guna Lahan”. Responden R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19
e1:e2 2 2 2
e1: e3 2 2 4 2 2 4
2 2 2 5 3 2
3 2 2
2 2 3 2
2 5 2 3 2 2 3 3
2 3 2 4 3 3 3
Persepsi Responden e1: e4 e2 : e3 3 2 5 2 3 2 3 3 3 0 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 4 2 4 2 2 5 2 2 2 3 3
e2 : e4
e3 :e4 2 4 2 2 4
2
2 2 3 3 2 2
2 2 2 2
3 3 2
2 2 2
2 2 2 2 3
2 4 4 4 2 3 4 3 3 3 2 2 3 3 3 2 2 2 2
86
Tabel 4.7 Responden R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26
Lanjutan ….Rekap. Jawaban Responden thd sub Kriteria tata guna lahan Persepsi Responden e1-e2 e1- e3 e1- e4 e2 - e3 e2- e4 e3 -e4 3 2 3 2 3 2 3 2 2 3 2 3 3 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 5 2 3 3 2 2 2 3 3 2 3 2 3 3 2
3 4 2 2
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan : R adalah : Responden e1 –e2 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan dalam menujang bidang pertanian terhadap bidang pendidikan. e1 –e3 adalah :
Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan dalam menunjang bidang pertanian terhadap bidang sosial-budaya.
e1 –e4 adalah :
Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan dalam menunjang bidang pertanian terhadap bidang perdagangan-jasa.
e2 –e3 adalah :
Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan dalam menunjang bidang Pendidikan terhadap bidang social-budaya
87
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
5.1 Penyusunan Hirarki dan Bobot Hasil data Kuisioner sebanyak 26 responden seperti telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, selanjutnya dianalisis dengan metode AHP sehingga diperoleh bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria yang nantinya dipakai untuk mencari skala prioritas penanganan jalan.
5.1.1 Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Dari hasil identifikasi kriteria kepada responden terdiri dari 3 (tiga) level. Yaitu Level pertama adalah tujuan yaitu Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli, Level kedua terdiri dari 5 faktor yaitu : Faktor Kondisi Jalan, Faktor Volume Lalu –Lintas, Faktor Ekonomi, Faktor Kebijakan
dan terakhir Faktor
Tata Guna Lahan. Level ketiga merupakan
pengembangan dari Level2 dan terdiri dari beberapa sub kriteria. Secara keseluruhan hirarki penentuan skala prioritas dapat digambarkan sebagai berikut : Selanjutnya penyusunan level hirarki yang terdiri dari 3 (tiga) level tersebut diperlihatkan pada Gambar 5.1.
88
Level I (Tujuan)
Level II (Kriteria)
F. Kondisi Jalan (A)
F.Volume Lalu-lintas(B)
Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
F. Ekonomi (C)
Level III (Subkriteria)
-Lubang-lubang (a1) -Legokan / Amblas (a2) -Retak-retak (a3) -Alur bekas roda (a4) -Bahu Jalan (a5) -Kemiringan jalan (a6) -Truk Ringan (b1) -Truk Sedang dan Berat (b2) -Mobil roda 4 (b1) -Bis (b3) -Sepeda motor (b4) -Manfaat/Kelayakan (c1) (NPV) -Estimasi Biaya Kegiatan (c2)
F. Kebijakan (D)
F. Tata Guna Lahan (E)
-Musrenbang Camat (d1) -Musrenbang Kabupaten (d2) -Musrenbang Provinsi (d3) -ABT (d4) -Bidang Pertanian (e1) -Bidang Pendidikan (e2) -Bidang Sosial -Budaya (e3) -Bidang Perdagangan - Jasa (e4)
Gambar 5.1 Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Sumber : Hasil Analisis, 2010
89
5.1.2 Bobot Penilaian Kriteria Bobot dari masing-masing kriteria yang terdapat seperti Gambar 5.1 diatas dianalisis dengan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) dengan langkah – langkah sebagai berikut: 1. Dilakukan perhitungan matrik awal. 2. Perhitungan Eigen Vektor. 3. Perhitungan Nilai Eigen Maksimum. 4. Kontrol terhadap Indek Consistensi. 5. Pembobotan Kriteria.
Langkah 1 Perhitungan matrik awal untuk level 2 (kriteria) Diawali dengan menganalisis data pada Tabel 4.2 (Rekapitulasi jawaban Responden terhadap ” Kriteria”). Pada Tabel 4.2 tersebut diatas dianalisis dengan perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan. Contoh : Jawaban responden 2(R2) terhadap A-C adalah dengan skala 4 dimana C faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor kondisi jalan. Ini dilakukan perbandingan terbalik ditinjau terhadap
faktor
yang
didepannya yaitu A, sehingga skalanya menjadi 1/4 atau 0,25. Akan tetapi seperti Responden 16(R16) terhadap A-B adalah dengan skala 3, dimana A lebih penting dari pada B. Hal ini tidak dilakukan perbandingan terbalik karena ditinjau terhadap faktor yang didepannya
90
yaitu A sudah menunjukkan skala yang lebih penting sehingga skala yang dipakai tetap 3. Data selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 5.1 berikut ini : Tabel 5.1 Skala Perbandingan Penilaian ” Kriteria” Kode
Skala Penilaian
Resp.
A -B
A -C
A -D
A –E
B-C
B-D
B-E
C-D
C-E
D-E
R1
0,333
2,000
2,000
0,333
0,500
2,000
0,500
2,000
2,000
2,000
R2
2,000
0,250
2,000
0,500
2,000
2,000
3,000
2,000
2,000
0,500
R3
2,000
0,250
3,000
0,200
0,500
0,500
2,000
0,333
0,500
0,500
R4
3,000
3,000
3,000
2,000
0,500
3,000
0,333
3,000
0,500
0,500
R5
2,000
3,000
3,000
0,333
0,333
5,000
0,500
2,000
2,000
1,000
R6
0,333
0,500
0,333
3,000
0,500
3,000
0,500
0,333
0,500
0,500
R7
0,500
0,500
0,333
0,500
2,000
2,000
2,000
2,000
2,000
2,000
R8
0,200
0,500
0,500
3,000
0,500
0,500
0,500
0,500
1,000
2,000
R9
2,000
0,333
2,000
4,000
0,250
2,000
0,333
0,333
0,500
2,000
R10
0,333
0,500
3,000
5,000
0,333
0,333
0,500
2,000
0,500
3,000
R11
0,333
0,500
0,333
6,000
3,000
3,000
0,250
0,200
2,000
2,000
R12
0,167
0,250
0,250
0,500
0,500
4,000
0,250
3,000
1,000
0,500
R13
0,143
0,250
0,333
4,000
3,000
3,000
0,250
0,500
0,333
4,000
R14
0,200
0,333
0,500
2,000
2,000
2,000
0,333
3,000
0,500
2,000
R15
0,250
0,333
0,250
4,000
0,333
3,000
0,333
4,000
2,000
0,250
R16
3,000
0,500
0,250
0,500
0,500
4,000
0,500
2,000
0,500
0,500
R17
0,200
0,500
0,333
4,000
0,500
0,500
0,500
0,500
0,500
0,200
R18
2,000
0,500
0,500
3,000
2,000
2,000
0,500
0,500
0,500
0,500
R19
0,333
0,500
2,000
5,000
0,333
6,000
2,000
2,000
2,000
0,333
R20
0,250
0,500
0,500
0,500
0,250
4,000
0,500
2,000
0,250
0,333
R21
0,500
2,000
3,000
3,000
0,250
0,500
2,000
0,500
0,500
0,500
R22
0,333
2,000
2,000
3,000
0,500
0,500
2,000
3,000
0,250
0,500
R23
2,000
0,500
0,500
2,000
0,333
2,000
0,333
2,000
0,200
2,000
R24
2,000
0,250
0,500
2,000
0,250
2,000
2,000
0,500
0,200
0,200
R25
0,200
0,250
0,500
2,000
0,250
2,000
0,500
0,500
0,500
0,200
R26
0,250
2,000
2,000
0,500
0,500
2,000
2,000
0,500
0,500
0,333
∑R
24,858
21,999
32,915
60,866
21,915
60,833
24,415
39,199
23,233
28,349
R/26
0,956
0,846
1,266
2,341
0,843
2,340
0,939
1,508
0,894
1,09
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Keterangan : ∑R R/26
= Jumlah komulatif skala perbandingan penilaian. = Rata-rata perbandingan penilaian dengan membagi R terhadap 26 Responden.
91
Selanjutnya nilai yang dipakai adalah pada rata-rata komulatif (R/26) tersebut. Pada Matrik diagonal AA = BB=CC=DD=EE=1, karena melakukan perbandingan dengan faktor diri sendiri. Kemudian besaran matrik masing-masing adalah : Matrik A-B = 0,956
Matrik B-D = 2,340
Marik A-C = 0,846
Matrik B-E = 0,939
Matrik A-D = 1,266
Matrik C-D = 1,508
Matrik A-E = 2,341
Matrik C-E = 0,894
Matrik B-C = 0,843
Matrik D-E = 1,090
Sedangkan : Matrik B-A merupakan kebalikan dari matrik A-B = 1/(A-B) = 1/0,956 = 1,046 Matrik C-A merupakan kebalikan dari matrik A-C = 1/(A-C) = 1/0,846 = 1,182 Matrik D-A merupakan kebalikan dari matrik A-D = 1/(A-D) = 1/1,266 = 0,790 Matrik E-A merupakan kebalikan dari matrik A-E = 1/(A-E) = 1/2,34 = 0,427 Matrik C-B merupakan kebalikan dari matrik B-C = 1/(B-C) =1/0,843 = 1,186 Matrik D-B merupakan kebalikan dari matrik B-D = 1/(B-D)=1/2,340 = 0,427 Matrik E-B merupakan kebalikan dari matrik B-E = 1/(B-E) =1/0,939 = 1,065 Matrik D-C merupakan kebalikan dari matrik C-D = 1/(C-D) =1/1,508 = 0,663 Matrik E-C merupakan kebalikan dari matrik C-E = 1/(C-E) =1/0,894 = 1,119 Matrik E-D merupakan kebalikan dari matrik D-E =1/(D-E) =1/1,09 = 0,917
92
Tabel 5.2 Matrik Awal Sub”Kriteria” A B C D E
A 1,000 1,046 1,182 0,790 0,427
B 0,956 1,000 1,186 0,427 1,065
C 0,846 0,843 1,000 0,663 1,119
D 1,266 2,340 1,508 1,000 0,917
E 2,341 0,939 0,894 1,090 1,000
∑
4,445
4,635
4,471
7,030
6,264
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Langkah 2. Perhitungan Nilai Eigen Vektor Jumlah baris A = Matrik AA x Matrik AB x Matrik AC x Matrik AD x Matrik AE = 1,000 x 0,956 x 0,846 x 1,266 x 2,341 = 2,397
Jumlah baris B = Matrik BA x Matrik BB x Matrik BC x Matrik BD x Matrik BE = 1,046 x1,000 x 0,843 x2,340 x 0,939 = 1,937
Menentukan Besaran wi : wi = n√ Jumlah Baris Sehingga : 5
wi baris A = √ 2,397 = 1,191 Maka : Eigen Vektor (Xi) = wi / Σ wi = 1,191 / 4,976 = 0,239
; n uk matrik =5 x 5
93
Tabel 5.3 Nilai Eigen Vektor untuk Skala Penentuan Prioritas ”Kriteria” D 1,266 2,340 1,508 1,000 0,917
E 2,341 0,939 0,894 1,090 1,000
Jumlah 2,397 1,937 1,889 0,244 0,467
Wi 1,191 1,141 1,135 0,754 0,755
E-Vektor 0,239 0,229 0,228 0,151 0,153
∑ 4,445 4,635 4,471 7,030 Sumber : Hasil Analisis, 2010
6,264
6,934
4,976
1,000
A B C D E
A 1,000 1,046 1,182 0,790 0,427
B 0,956 1,000 1,186 0,427 1,065
C 0,846 0,843 1,000 0,663 1,119
Langkah 3. Perhitungan Nilai Eigen Maksimum Nilai Eigen Maksimum diperoleh dari Matrik Awal dikalikan dengan EVektor masing-masing matrik dan kemudian hasil perkalian tersebut dijumlahkan. Hal ini diperlihatkan pada Gambar 5.2 berikut ini:
A B C D E
A 1,000 1,046 1,182 0,790 0,427
B 0,956 1,000 1,186 0,427 1,065
C 0,846 0,843 1,000 0,663 1,119
D 1,266 2,340 1,508 1,000 0,917
E 2,341 0,939 0,894 1,090 1,000
x
E-Vektor 0,239 0,229 0,228 0,151 0,153 Jumlah
=
1,199 1,169 1,147 0,755 0,892
=
5,162
Gambar 5.2 Matrik Nilai Eigen Maksimum ”Kriteria” Sumber : Hasil Analisis, 2010
Eigen Maksimum (λmaks ) = Σ aij.Xj = 5,162 Langkah 4. Control terhadap Indek konsistensi (CI) Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 5x5 = ( 5,160 – 5) / (5-1) = 0,0401
94
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=5 maka RI = 1,12 = 0,0401/ 1,12 = 0,0358 < 0,1 konsisten !
Nilai Ratio Consistensi (CR) lebih kecil dari 0,1 sama artinya lebih kecil dari 10%, maka nilai tersebut sudah sesuai dengan syarat konsistensi yaitu harus lebih kecil dari 0,1 atau 10%. Langkah 5. Pembobotan Kriteria Bobot elemen diperoleh dari nilai E-Vektor yang dinyatakan dalam Prosentase seperti diperlihatkan pada Tabel 4.12 berikut ini: Tabel 5.4 Bobot Kriteria” Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten”. Kriteria Bobot Faktor Kondisi Jalan 0,239 Faktor Volume Lalu Lintas 0,229 Faktor Ekonomi 0,228 Faktor Kebijakan 0,151 Faktor Tata Guna Lahan 0,153 Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010 Dari Tabel 5.4 tersebut diatas, dapat dilihat bahwa penilaian Responden terhadap beberapa kriteria menunjukkan bahwa kriteria faktor kondisi jalan memiliki pengaruh tingkat kepentingan yaitu dengan bobot 0,239 (23,9%) kemudian disusul dengan faktor volume lalu lintas dengan bobot 0,229 (22,9%), faktor ekonomi dengan bobot 0,228 (22,8%), faktor
tata guna lahan 0,153
(15,3%) dan terakhir faktor kebijakan dengan bobot 0,151 (15,1%).
95
5.1.3
Perhitungan Bobot Subkriteria Selanjutnya perhitungan untuk level 3 (sub kriteria) dilakukan tahapan
yang sama dengan perhitungan kriteria diatas, mulai tahapan matrik awal sampai pembobotan. 5.1.3.1 Perhitungan Bobot Subkriteria Pada Faktor Kondisi Jalan Diawali dengan perhitungan analisis rekap jawaban responden terhadap Sub.kriteria: Faktor Kondisi Jalan”, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 4.3 diperoleh hasil perbandingan penilaian sub kriteria kondisi
jalan (hal 58)
diperlihatkan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Kondisi Jalan”. Koderesp.
A –B
A –C
A –D
A –E
A -F
B-C
B-D
B-E
R1
0,333
5,000
2,000
4,000
4,000
3,000
2,000
3,000
R2
0,333
3,000
2,000
3,000
3,000
0,500
2,000
2,000
R3
0,500
5,000
3,000
3,000
4,000
0,333
2,000
2,000
R4
0,500
0,500
4,000
5,000
5,000
0,333
3,000
0,333
R5
2,000
0,500
0,333
5,000
2,000
5,000
3,000
0,333
R6
0,250
5,000
4,000
4,000
0,250
0,333
4,000
6,000
R7
0,250
5,000
3,000
5,000
0,250
0,333
3,000
4,000
R8
2,000
2,000
2,000
3,000
2,000
2,000
2,000
7,000
R9
2,000
3,000
4,000
5,000
2,000
3,000
2,000
3,000
R10
0,500
0,500
2,000
3,000
6,000
4,000
5,000
0,500
R11
0,500
2,000
2,000
3,000
4,000
3,000
2,000
2,000
R12
3,000
0,500
3,000
3,000
3,000
2,000
3,000
0,500
R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21
0,500 0,500 0,250 0,250 2,000 2,000 0,333 0,333 0,333
0,500 3,000 0,250 2,000 3,000 5,000 2,000 0,500 0,333
3,000 0,500 0,333 0,333 0,500 5,000 0,333 2,000 2,000
2,000 3,000 4,000 2,000 2,000 4,000 5,000 2,000 5,000
0,500 0,500 0,500 0,500 0,333 5,000 2,000 2,000 5,000
0,500 0,333 0,333 0,500 3,000 0,500 3,000 0,500 0,500
3,000 0,333 0,250 0,333 0,333 2,000 2,000 4,000 0,333
3,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 5,000 2,000 4,000
96
Tabel 5.5 Lanjutan... Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Kondisi Jalan”. Koderesp.
A –B
A –C
A –D
A –E
A -F
B-C
B-D
B-E
R22
2,000
0,333
2,000
0,500
3,000
0,167
0,200
4,000
R23 R24 R25 R26 ∑R R/26
2,000 0,500 5,000 5,000 33,165 1,276
0,333 2,000 3,000 2,000 56,249 2,163
3,000 4,000 3,000 2,000 59,333 2,282
0,500 0,250 0,250 0,250 76,750 2,952
4,000 0,500 0,500 0,500 60,333 2,321
0,200 0,200 0,200 0,500 34,267 1,318
0,200 0,333 0,500 0,500 47,316 1,820
3,000 3,000 5,000 3,000 72,667 2,795
Tabel 5.5 Lanjutan ...Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Kondisi Jalan”. Kode resp.
B-F
C-D
C-E
C-F
D-E
D-F
E-F
R1
5,000
2,000
2,000
2,000
2,000
0,333
2,000
R2
6,000
4,000
2,000
2,000
0,250
0,333
0,250
R3
4,000
5,000
0,500
2,000
0,250
0,333
0,333
R4
4,000
4,000
3,000
0,500
0,333
0,200
0,500
R5
2,000
3,000
3,000
0,500
0,500
0,250
2,000
R6
4,000
3,000
3,000
2,000
0,250
0,333
2,000
R7
2,000
3,000
2,000
3,000
2,000
0,500
0,333
R8
4,000
2,000
2,000
2,000
0,333
0,500
0,500
R9
4,000
0,500
0,500
0,500
0,500
2,000
0,333
R10
3,000
7,000
0,500
0,500
0,500
0,333
2,000
R11
5,000
4,000
2,000
2,000
2,000
0,333
0,500
R12
0,500
2,000
2,000
2,000
2,000
0,333
0,500
R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 ∑R R/26
2,000 4,000 5,000 5,000 3,000 5,000 2,000 2,000 0,500 2,000 3,000 4,000 0,250 0,250 81,500 3,135
3,000 6,000 2,000 2,000 2,000 2,000 3,000 0,500 0,500 2,000 2,000 3,000 3,000 2,000 72,500 2,788
2,000 3,000 3,000 2,000 0,500 0,500 2,000 2,000 2,000 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 42,000 1,615
0,333 0,333 0,500 0,500 0,333 0,500 2,000 2,000 0,500 0,250 0,250 0,250 0,333 2,000 29,083 1,119
0,333 0,333 0,500 0,500 2,000 2,000 3,000 2,000 0,500 2,000 0,333 2,000 2,000 2,000 30,416 1,170
0,333 2,000 2,000 0,333 0,500 3,000 3,000 0,333 0,500 0,333 0,333 5,000 4,000 4,000 31,449 1,210
0,500 0,333 0,500 0,500 0,500 0,500 2,000 0,500 0,333 0,333 0,250 0,250 0,250 0,500 18,499 0,712
Sumber : Hasil Analisis, 2010
97
Selanjutnya besaran matrik awal diperlihatkan pada Tabel 5.6 berikut ini : Tabel 5.6 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Kondisi Jalan”. a1
a2
a3
a4
a5
a6
a1
1,000
1,276
2,163
2,282
2,952
2,321
a2
0,784
1,000
1,318
1,820
2,795
3,135
a3
0,462
0,759
1,000
2,788
1,615
1,119
a4
0,438
0,759
0,359
1,000
1,170
1,210
a5
0,339
0,358
0,619
0,855
1,000
0,712
a6
0,431
0,319
0,894
0,827
1,405
1,000
∑
3,454
4,470
6,353
9,572
10,937
9,495
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Perhitungan Nilai Eigen Vektor untuk sub.kriteria kondisi jalan diperlihatkan pada Tabel 5.7 berikut ini: Tabal 5.7 Nilai Eigen Vektor sub.kriteria ”Kondisi Jalan”. a1
a2
a3
a4
a5
a6
Jumlah
Wi
EVektor
a1
1,000
1,276
2,163
2,769
3,346
2,321
59,332
1,979
0,279
a2
0,784
1,000
1,318
1,820
2,795
3,135
21,013
1,661
0,234
a3
0,462
0,759
1,000
2,788
1,615
1,119
3,823
1,25
0,177
a4
0,438
0,759
0,359
1,000
1,170
1,210
0,385
0,853
0,120
a5
0,299
0,358
0,619
0,855
1,000
0,712
0,135
0,516
0,073
a6
0,431
0,319
0,894
0,827
1,405
1,000
0,331
0,831
0,117
∑
3,414
4,470
6,353
10,059
11,332
9,495
85,018
7,090
1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Nilai Eigen Maksimum sub kriteria kondisi jalan diperlihatkan pada Gambar 5.3. EVektor
a1
a2
a3
a4
a5
a6
a1 a2
1,000 0,784
1,276 1,000
2,163 1,318
2,769 1,820
3,346 2,795
2,321 3,135
0,279 0,234
1,808 1,475
a3 a4
0,462 0,438
0,759 0,759
1,000 0,359
2,788 1,000
1,615 1,170
1,119 1,210
0,177 0,120
1,067 0,711
a5 a6
0,299 0,431
0,358 0,319
0,619 0,894
0,855 0,827
1,000 1,405
0,712 1,000
0,073 0,117
0,535 0,672
=
6,268
x
Gambar 5.3 Eigen Maximum Sub Kriteria”Kondisi Jalan”. Sumber : Hasil Analisis, 2010
98
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 6x6 = (6,268 – 6) / (6-1) = 0,054 Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=6 maka RI = 1,24 = 0,054/1,24 = 0,043< 0,1 konsisten ! Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub kriteria kondisi jalan berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.8 berikut ini:
Tabel 5.8 Bobot Kriteria Sub Kriteria ” Kondisi Jalan”. Kriteria Bobot Lubang – lubang 0,279 Legokan/amblas 0,234 Retak-retak 0,177 Alur Bekas Roda 0,120 Bahu Jalan 0,073 Kemiringan Jalan 0,117 Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010 Dari Tabel 5.8 tersebut diatas dapat dilihat bahwa penilaian responden terhadap beberapa sub kriteria menujukan bahwa lubang-lubang memiliki pengaruh yang paling penting yaitu dengan bobot 0,279 (27,9%), kemudian disusul dengan legokan/amblas 0,234 (23,4%), retak-retak 0,177 (17,7%), alur bekas roda 0,12 (12,0%), Kemiringan Jalan 0,117 (11,7%) dan terakhir bahu jalan 0,073 (7,3%).
99
5.1.3.2 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Faktor Volume Lalu lintas Dari hasil rekap jawaban responden terhadap sub kriteria volume lalu lintas dengan Perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan didapat hasil skala perbandingan penilaian subkriteria volume lalu lintas seperti diperlihatkan pada Tabel 5.9. Tabel 5.9 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Volume Lalu Lintas. Kode resp. R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 ∑R R/26
A -B 0,500 0,500 0,333 0,333 0,500 0,500 0,500 2,000 0,333 3,000 2,000 0,500 0,500 0,333 0,333 2,000 0,500 0,500 2,000 0,500 0,500 2,000 0,500 2,000 0,500 2,000 25,165 0,968
A -C 2,000 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 2,000 0,500 0,500 0,250 0,250 0,333 0,333 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 2,000 0,500 0,500 2,000 2,000 2,000 21,166 0,814
A –D 3,000 2,000 2,000 0,333 0,500 0,333 0,333 0,500 2,000 3,000 0,200 0,250 2,000 2,000 0,500 2,000 0,500 0,333 2,000 0,500 2,000 2,000 0,500 0,500 2,000 0,500 31,782 1,222
A –E 2,000 2,000 4,000 3,000 4,000 2,000 2,000 0,500 4,000 4,000 0,500 0,500 3,000 4,000 3,000 2,000 4,000 3,000 5,000 4,000 2,000 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 61,000 2,346
B-C 0,500 0,333 0,333 0,500 0,500 0,333 0,333 0,500 0,500 0,500 2,000 2,000 2,000 2,000 0,500 0,500 0,333 2,000 2,000 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 21,165 0,814
B-D 2,000 3,000 3,000 2,000 3,000 2,000 3,000 4,000 0,333 2,000 2,000 3,000 2,000 2,000 2,000 0,500 2,000 2,000 0,500 5,000 4,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 59,333 2,282
B-E 0,500 0,333 0,333 0,333 0,333 0,333 0,333 0,500 5,000 0,500 0,500 0,500 2,000 0,333 1,000 2,000 2,000 2,000 0,500 0,500 0,333 0,333 0,333 0,500 0,500 2,000 23,830 0,917
C-D 2,000 2,000 2,000 3,000 2,000 2,000 0,333 0,333 4,000 4,000 3,000 2,000 4,000 0,500 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 0,500 0,500 2,000 2,000 0,333 0,333 0,333 47,165 1,814
C-E 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 3,000 2,000 4,000 0,500 2,000 2,000 0,500 2,000 0,500 0,500 2,000 0,500 0,333 0,333 2,000 2,000 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 36,666 1,410
D-E 0,500 0,500 0,500 0,500 0,200 0,500 0,333 0,500 0,500 2,000 3,000 3,000 0,333 0,500 0,500 2,000 2,000 0,500 2,000 0,333 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 32,199 1,238
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Selanjutnya nilai yang dipakai adalah rata-rata komulatif (R/26) tersebut. Pada Matrik diagonal AA = BB = CC = DD = EE = 1, karena melakukan perbandingan
100
dengan faktor diri sendiri. Kemudian besaran matrik awal diperlihatkan pada Tabel 5.10. Tabel 5.10 Matrik Awal Sub.Kriteria ” Volume Lalu Lintas”. A 1,000 1,033 1,228 0,818 0,426 4,506
A B C D E ∑
B 0,968 1,000 1,228 0,438 1,091 4,726
C 0,814 0,814 1,000 0,551 0,709 3,888
D 1,222 2,282 1,814 1,000 0,807 7,126
E 2,346 0,917 1,410 1,238 1,000 6,911
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Perhitungan Nilai Eigen vektor untuk sub kriteria volume lalu lintas diperlihatkan pada Tabel 5.11 berikut ini: Tabel 5.11 Eigen Vektor Sub.Kriteria ” Volume Lalu Lintas”. A B C D E ∑
A 1,000 1,033 1,228 0,818 0,426 4,506
B 0,968 1,000 1,228 0,438 1,091 4,726
C 0,814 0,814 1,000 0,551 0,709 3,888
D 1,222 2,282 1,814 1,000 0,807 7,126
E 2,346 0,917 1,410 1,238 1,000 6,911
Jumlah 2,260 1,759 3,860 0,245 0,266 8,390
Wi 1,177 1,12 1,31 0,755 0,767 5,129
EVektor 0,229 0,218 0,255 0,147 0,151 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Nilai Eigen Maksimum = Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.4 berikut ini :
A B C D E
A 1,000 1,033 1,228 0,818 0,426
B 0,968 1,000 1,228 0,438 1,091
C 0,814 0,814 1,000 0,438 0,709
D 1,222 2,282 1,814 1,000 0,807
E 2,346 0,917 1,410 1,238 1,000
x
E-Vektor 0,229 0,218 0,255 0,147 0,151
=
=
1,180 1,136 1,283 0,728 0,786 5,113
Gambar 5.4 Eigen Maximum Sub Kriteria”Volume Lalu Lintas”. Sumber : Hasil Analisis, 2010
101
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 5 x 5 = ( 5,113 – 5 ) / ( 5-1) = 0,028
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=5 maka RI = 1,12 = 0,028/ 1,12 = 0,025 < 0,1 konsisten !
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub.kriteria volume lalu lintas berdasarkan nilai E-Vektor diperlihatkan pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Bobot Sub Kriteria ” Volume Lalu Lintas” Kriteria Bobot Truk ringan 0,229 Truk sedang/berat 0,218 Mobil roda 4 0,255 Bis 0,147 Sepeda Motor 0,151 Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010 Dari Tabel 5.12 diatas dapat dilihat bahwa penilaian Responden terhadap beberapa subkriteria menujukan bahwa Mobil roda 4 memiliki pengaruh yang paling penting yaitu dengan bobot 0,255 (25,5%), kemudian disusul dengan Truk ringan 0,229 (22,9%),Truk sedang dan berat 0,218 (21,8%), selanjutnya Sepeda motor 0,151 (15,1%), dan terakhir Bis 0,147 (14,7%).
102
5.1.3.3 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Faktor Ekonomi Sub kriteria faktor ekonomi terdiri dari 2 bagian yaitu : manfaat/kelayakan (NPV) dan estimasi biaya kegiatan. Diawali dengan perhitungan Tabel 4.5 Rekap 5 Responden terhadap sub kriteria” Ekonomi” (hal.61), selanjutnya dianalisis dengan perhitungn kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan dan hasil skala perbandingan penilaian terhadap sub kriteria ekonomi diperlihatkan pada Tabel 5.13. Tabel 5.13 Skala Perbandingan Penilaian Sub. Kriteria ”Ekonomi”. Kode resp. R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14
A-B 0,143 5,000 5,000 5,000 6,000 4,000 0,143 0,143 0,200 0,333 4,000 4,000 4,000 3,000
Kode resp. R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 ∑R R/26
A-B 3,000 3,000 0,250 0,333 4,000 0,333 0,333 3,000 3,000 0,333 0,333 0,333 59,212 2,277
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Keterangan : R = Jumlah Komulatif skala perbandingan R/26 = Jumlah rata-rata komulatif skala perbandingan dengan membagi R terhadap 26 responden.
Selanjutnya nilai yang dipakai adalah rata-rata komulatif (R/26) tersebut. Pada matrik diagonal AA = 1, karena melakukan perbandingan dengan faktor diri sendiri. Kemudian besaran matrik awal diperlihatkan pada Tabel 5.14 berikut ini :
103
Tabel. 5.14 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Ekonomi”. A 1,000 0,439 1,439
A B ∑
B 2,277 1,000 3,277
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Perhitungan Nilai Eigen vektor untuk sub kriteria ekonomi diperlihatkan pada Tabel 5.15. Tabal 5.15 Nilai Eigen Vektor Sub Kriteria ”Kondisi Jalan”. A 1,000 0,439 1,439
A B ∑
B 2,277 1,000 3,277
Jumlah 2,277 0,439 2,716
Wi 1,509 0,663 2,172
E-Vektor 0,695 0,305 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Nilai Eigen Maksimum – Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.5 berikut ini :
A B
A 1,000 0,439
B 2,277 1,000
x
E-Vektor 0,695 0,305
=
1,390 0,610
=
2,000
Gambar 5.5 Eigen Maximum sub.kriteria”Ekonomi”. Sumber : Hasil Analisis, 2010 Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 2x2 = (2,000 – 2) / ( 2-1) = 0.
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=2 maka RI = 0 =0/0 = 0 < 0,1 konsisten !
104
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub kriteria berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.16.
Tabel 5.16 Bobot Sub Kriteria ” Ekonomi” Kriteria
Bobot
Manfaat/Kelayakan (NPV)
0,695
Estimasi Biaya Kegiatan
0,305
Jumlah Sumber : Hasil Analisis, 2010
1,000
5.1.3.4 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Faktor Kebijakan Sub kriteria pada faktor kebijakan terdiri dari 4 bagian yaitu : Musrenbang Kecamatan, Musrenbang Kabupaten, Musrenbang Provinsi dan Anggaran Biaya Tambahan (ABT). Diawali dengan perhitungan Tabel 4.6 Rekap jawaban responden terhadap sub kriteria” Faktor Kebijakan” (hal.76), selanjutnya dianalisis dengan perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan dan hasil skala perbandingan penilaian terhadap sub kriteria faktor kebijakan diperlihatkan pada Tabel 5.17.
105
Tabel 5.17 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Kebijakan”. Kode resp. R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 ∑R R/26
A -B 2,000 2,000 4,000 2,000 2,000 2,000 0,250 0,500 0,500 0,250 0,250 0,333 0,500 0,500 2,000 3,000 0,333 0,333 3,000 3,000 4,000 4,000 3,000 3,000 5,000 3,000 50,750 1,952
A -C 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 3,000 2,000 2,000 0,250 0,333 3,000 0,200 3,000 2,000 3,000 3,000 0,333 0,333 2,000 2,000 0,500 0,500 0,500 4,000 5,000 4,000 50,950 1,960
A -D 0,250 0,250 0,333 0,333 0,333 0,250 0,333 0,333 0,200 0,333 3,000 3,000 3,000 3,000 3,000 3,000 0,333 0,333 5,000 2,000 2,000 0,333 0,333 2,000 5,000 2,000 40,283 1,549
B -C 3,000 3,000 0,333 0,333 0,333 0,250 0,200 0,200 3,000 3,000 0,333 0,200 0,250 0,333 2,000 2,000 0,333 0,333 3,000 3,000 3,000 0,250 0,333 2,000 3,000 3,000 37,017 1,424
B-D 0,500 0,500 0,500 0,500 2,000 0,500 0,500 2,000 0,333 0,250 2,000 2,000 0,333 3,000 0,500 0,500 3,000 3,000 3,000 0,333 0,500 0,500 0,500 0,333 0,333 0,333 27,749 1,067
C-D 0,250 0,250 0,250 0,250 0,333 0,250 0,500 0,250 0,333 0,333 2,000 2,000 0,143 0,200 0,250 0,250 0,333 0,333 0,500 0,500 2,000 0,143 0,200 2,000 5,000 2,000 20,852 0,802
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Adapun besaran matrik awal subkriteria Kebijakan diperlihatkan pada Tabel 5.18. Tabel 5.18 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Kebijakan”. A B A 1,000 1,952 B 0,512 1,000 C 0,510 0,702 D 0,645 0,937 ∑ 2,668 4,591 Sumber : Hasil Analisis, 2010
C 1,960 1,424 1,000 1,247 5,630
D 1,549 1,067 0,802 1,000 4,419
106
Selanjutnya perhitungan nilai Eigen Vektor untuk sub kriteria ” Kebijakan” diperlihatkan pada Tabel 5.19 berikut ini:
Tabal 5.19 Nilai Eigen Vektor Sub Kriteria ”Kondisi Jalan”. A 1,000 0,512 0,510 0,645 2,668
A B C D ∑
B 1,952 1,000 0,702 0,937 4,591
C 1,960 1,424 1,000 1,247 5,630
D 1,549 1,067 0,802 1,000 4,419
Jumlah 5,926 0,778 0,287 0,754 7,746
Wi 1,56 0,939 0,732 0,931 4,162
E-Vektor 0,375 0,226 0,175 0,224 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Nilai Eigen Maksimum = Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.6 berikut ini :
A B C D
A
B
C
1,000 0,512 0,510 0,645
1,952 1,000 0,702 0,937
1,960 1,424 1,000 1,247
D
E-Vektor 1,549 1,067 0,802 1,000
x
0,375 0,226 0,175 0,224
=
=
1,506 0,907 0,706 0,896 4,015
Gambar 5.6 Eigen Maximum Sub Kriteria”Kebijakan”. Sumber : Hasil Analisis, 2010
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 4x4 = (4,015 – 4) / ( 4-1) =
0,005
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=4 maka RI = 0,9 = 0,005/0,9 = 0,005 < 0,1 konsisten !
107
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub kriteria
kebijakan berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan
pada Tabel 5.20 berikut ini: Tabel 5.20 Bobot Sub Kriteria ”Kebijakan”. Kriteria Bobot Musrenbang Kecamatan 0,375 Musrenbang Kabupaten 0,226 Musrenbang Provinsi 0,175 Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 0,224 Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010 Dari Tabel 5.20 diatas dapat dilihat bahwa penilaian responden terhadap beberapa sub kriteria faktor kebijakan menujukan bahwa Murenbang Kecamatan memiliki pengaruh yang paling penting yaitu dengan bobot 0,375 (37,5%), kemudian disusul dengan Musrenbang Kabupaten 0,226 (22,6%), selanjutnya Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 0,224 (22,4%) dan terakhir Musrenbang Provinsi 0,175 (17,5%).
5.1.3.5 Perhitungan bobot Subkriteria pada Faktor Tata Guna Lahan Sub kriteria pada faktor tata guna lahan terdiri dari 4 bagian yaitu : Bidang Pertanian, Bidang Pendidikan, Bidang Sosial-Budaya dan Bidang PerdaganganJasa. Diawali dengan perhitungan Tabel 4.7 Rekap jawaban Responden terhadap sub kriteria ”Faktor Kebijakan” (hal 63), selanjutnya dianalisis dengan perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan dan hasil skala perbandingan penilaian terhadap sub kriteria faktor tata guna lahan diperlihatkan pada Tabel 5.21.
108
Tabel 5.21 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Tata Guna Lahan”. Kode resp. R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26 ∑ R/26
A -B 2,000 2,000 2,000 0,250 0,500 0,500 0,250 0,250 0,333 0,500 0,500 2,000 0,200 2,000 3,000 2,000 2,000 0,333 0,333 3,000 3,000 3,000 3,000 5,000 2,000 3,000 42,950 1,652
A –C 0,500 0,500 2,000 2,000 2,000 5,000 3,000 2,000 0,500 0,500 0,333 0,500 2,000 3,000 2,000 4,000 3,000 0,333 0,333 0,500 0,500 3,000 2,000 2,000 2,000 2,000 45,499 1,750
A –D 3,000 5,000 0,333 0,333 3,000 0,333 0,333 3,000 3,000 0,333 0,333 0,333 0,250 4,000 2,000 2,000 2,000 0,333 0,333 0,333 2,000 2,000 0,333 0,333 0,333 0,333 35,917 1,381
B -C 2,000 2,000 2,000 3,000 2,000 0,500 2,000 0,500 0,500 3,000 0,500 0,500 2,000 2,000 5,000 2,000 0,500 0,500 0,500 2,000 0,333 3,000 0,333 0,333 0,333 3,000 40,333 1,551
B-D 0,500 0,250 0,500 0,500 0,250 2,000 0,500 0,333 0,333 0,500 0,500 3,000 0,333 0,500 2,000 2,000 2,000 2,000 3,000 3,000 0,500 3,000 0,333 0,500 0,500 0,500 29,333 1,128
C-D 0,500 0,250 0,250 0,250 0,500 0,333 0,250 0,333 0,333 0,333 0,500 0,500 0,333 0,333 0,333 0,500 0,500 0,500 0,500 2,000 3,000 0,333 3,000 0,250 0,500 0,500 16,916 0,651
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Berdasarkan nilai rata-rata komulatif (R/26) tersebut dapat dihitung besaran matrik awal sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.22. Tabel 5.22 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Tata Guna Lahan”. A B C D ∑
A 1,000 0,605 0,571 0,724 2,901
Sumber : Hasil Analisis, 2010
B 1,652 1,000 0,645 0,886 4,183
C 1,750 1,551 1,000 1,537 5,838
D 1,381 1,128 0,651 1,000 4,160
109
Perhitungan Nilai E-Vektor untuk sub kriteria tata guna lahan diperlihatkan pada Tabel 5.23 berikut ini: Tabal 5.23 Nilai Eigen Vektor Sub Kriteria ”Tata Guna Lahan”. A B C D ∑
A 1,000 0,605 0,571 0,724 2,901
B 1,652 1,000 0,645 0,886 4,183
C 1,750 1,551 1,000 1,537 5,838
D 1,381 1,128 0,651 1,000 4,160
Jumlah 3,993 1,059 0,240 0,986 6,279
Wi 1,413 1,014 0,699 0,996 4,122
E-Vektor 0,343 0,246 0,170 0,241 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Nilai Eigen Maksimum – Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.7 berikut ini :
A B C D
A 1,000 0,605 0,571 0,724
B 1,652 1,000 0,645 0,886
C 1,750 1,551 1,000 1,537
D 1,381 1,128 0,651 1,000
X
E-Vektor 0,343 0,246 0,170 0,241
=
=
1,380 0,989 0,681 0,968 4,018
Gambar 5.7 Eigen Maximum Sub Kriteria”Tata Guna Lahan”. Sumber : Hasil Analisis
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 4x4 = ( 4,018 – 4) / ( 4-1) = 0,006 Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=4 maka RI = 0,9 = 0,006/0,9 = 0,0067 < 0,1 konsisten !
110
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot subkriteria berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.24. Tabel. 5.24 Bobot Sub Kriteria ”Tata Guna Lahan”. Kriteria Bobot Bidang Pertanian 0,343 Bidang Pendidikan 0,246 Bidang Sosial - Budaya 0,170 Bidang Perdagangan - Jasa 0,241 Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis Dari Tabel 5.24 tersebut diatas dapat dilihat bahwa penilaian responden terhadap beberapa sub kriteria menujukan bahwa Bidang Pertanian memiliki pengaruh yang paling penting yaitu dengan bobot 0,343 (34,3%), kemudian disusul dengan Bidang Pendidikan 0,246 (24,6%), selanjutnya Bidang Perdagangan - jasa 0,241 (24,1%) dan terakhir Bidang Sosial -Budaya 0,170 (17%). Selanjutnya perolehan bobot dengan metode AHP sebagaimana diuraikan pada sub. bab tersebut diatas, diaplikasikan pada pelaksanaan penentuan skala prioritas penangan jalan kabupaten dengan menggunakan data kondisi jalan, volume lalu lintas, manfaat/kelayakan (NPV), biaya kegiatan, kebijakan dan tata guna lahan. Besaran bobot kriteria pada Tabel 5.4 dan subkriteria pada Tabel 5.8, Tabel 5.12, Tabel 5.16, Tabel 5.20 dan Tabel 5.24 selanjutnya dapat dirangkum pada Gambar5.8.
111
.
Level I (Tujuan)
Level II (Kriteria)
F. Kondisi Jalan (A) ( 0,239 )
Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
F.Volume Lalu-lintas(B) (0,229)
F. Ekonomi (C) ( 0,228 )
Level III (Subkriteria) -Lubang-lubang -Legokan / Amblas -Retak-retaka -Alur bekas roda -Bahu Jalan -Kemiringan jalan
a1 (0,279) a2 (0,234) a3 (0,177) a4 (0,120) a5 (0,073) a6 (0,117)
-Truk Ringan -Truk Sedang dan Berat --Mobil roda 4 -Bis -Sepeda motor
b1 (0,229) b2 (0,218) b3 (0,255) b4 (0,147) b5 (0,151)
--Manfaat/Kelayakan (NPV)
c1 (0,695)
-Estimasi Biaya Kegiatan c2 (0,305)
F. Kebijakan (D) ( 0,151)
F. Tata Guna Lahan (E) (0,153)
-Musrenbang Camat d1 (0,375) -Musrenbang Kabupaten d2 (0,226) -Musrenbang Provinsi d3 (0,175) -ABT d4 (0,224) -Bidang Pertanian -Bidang Pndidikan -Bidang Sosial-Budaya -Bidang Perdagangan-Jasa
e1 (0,343) e2 (0,246) e3 (0,170) e4 (0,241)
Gambar 5.8 Bobot Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Sumber : Hasil Analisis, 2010
112
5.2 Penerapan Bobot Kriteria untuk Penanganan Jalan Perolehan bobot dengan metode AHP, diaplikasikan pada pelaksanaan penentuan skala prioritas dengan menggunakan data-data seperti dijelaskan pada sub.bab berikut ini. 5.2.1 Data Kondisi Jalan Kondisi jalan di Kabupaten Bangli dikelompokkan menjadi 4 katagori penilaian yaitu : Nilai(1) kondisi baik, Nilai (2) kondisi sedang, Nilai (3) kondisi rusak dan Nilai (4) kondisi rusak berat. Tingkat kerusakan ditentukan pada prosentase
luas kerusakan yang terjadi
terhadap luas seluruh perkerasan persatuan jarak (misalnya 100m). Type dan tingkat kerusakan jalan di tentukan sebagai berikut :
1. Lubang-lubang :
Baik 0-1
Sedang 1–5
Rusak 5 - 15
Rusak berat > 15
2. Legokan/amblas :
0-5
5 – 10
10 - 50
> 50
3. Retak-retak :
0-3
3 – 12
12 - 25
> 25
4. Alur bekas roda :
0-3
3–5
5 - 25
> 25
Untuk katagori K (kemiringan melintang jalan) dilakukan penilaian sebagai berikut : 1. Baik
: 4-2 %
2. Sedang
: 2-0% (hampir datar)
3. Rusak
: Tidak rata, Kemiringan buruk
4. Rusak berat
: Tidak berbentuk
113
Untuk katagori L (kondisi bahu jalan) dilakukan penilaian sebagai berikut : 1. Baik
: Bentuk dan kemiringan memadai
2. Sedang
: Bentuk dan kemiringan buruk
3. Rusak
: Bahu terlalu tinggi/rendah< 10 cm
4. Rusak berat
: Bahu terlalu tinggi/rendah > 10 cm atau tanpa bahu padahal diperlukan.
Selanjutnya dapat dikelompokkan penanganan jalan tersebut berdasarkan jumlah penilaian yang dilakukan. Jumlah penilaian dari 6 – 10 dilakukan penanganan dengan pemeliharaan rutin jalan, jumlah penilaian 11 - 15 dilakukan penanganan pemeliharaan pemeliharaan periodik/pemeliharaan berkala jalan, jumlah penilaian diatas 15 dilakukan penanganan dengan rehabilitasi dan peningkatan jalan. Contoh penilaian beberapa ruas jalan berdasarkan tingkat kerusakan jalan di Kabupaten Bangli diperlihatkan pada Tabel 5.25. Tabel 5.25 Penilaian Tingkat Kerusakan Jalan Kabupaten Nilai Kerusakan Jalan No. Ruas
008 011 055 018 094 017 019
Nama Ruas
Jl. Cendrawasih Jl. Brigjen Ngurah Rai Jl. Kubu Sedembunut Jl.Tingas – Penaga Landih Jl. Palak TiyingPucangan Jl.Yangapi – Tingas Jl. Peninjoan – Metro Kaja
Lubang2
Legokan
Retak2
Jumlah
Alur Bekas Roda
Bahu
Kemi -
Jalan
ringan
Nilai
Katagori
2
2
2
1
2
1
10
Baik
1
2
2
1
1
1
8
Baik
1
2
1
2
2
2
10
Baik
2
2
3
2
2
2
13
Sedang
3
2
3
1
2
2
13
Sedang
3
3
3
2
2
2
15
Rusak
3
2
3
3
2
3
16
Rusak
Sumber : Bina Marga, DPU, Kab. Bangli, 2008-2010
114
5.2.2 Data Volume Lalu lintas Pada penelitian ini volume lalu-lintas yang melalui ruas jalan di Kabupaten Bangli, hanya diambil beberapa contoh kendaraan yaitu : Truk ringan, Truk sedang/ berat, Mobil roda 4, Bis dan Sepeda motor. Pada penelitian ini ditampilkan sebanyak 201 ruas jalan dengan jumlah volume lalu lintas masingmasing ruas jalan seperti diperlihatkan pada Tabel C3-C4 Data Penanganan Jalan Kabupaten, (Lamp.C, hal 141-147).
5.2.3
Data Ekonomi Sub kriteria ekonomi yang digunakan pada penelitian ini adalah : manfaat
/kelayakan dan biaya kegiatan. Penggunakan Tabel Penuntun Manfaat yaitu berupa matriks yang mengkombinasikan jumlah lalu lintas saat ini dengan tipe/kondisi permukaan jalan, yang akan menunjukan total nilai manfaat yang diharapkan terjadi selama umur proyek sebagai hasil dari peningkatan jalan (peningkatan kondisi jalan sampai standar minimum untuk pemeliharaan sesuai dengan tingkat lalu lintasnya, sebagaimana yang direkombinasikan oleh Bina Marga. Nilai manfaat ini dapat diperbandingkan secara langsung dengan biaya peningkatan jalan untuk mendapatkan nilai kelayakan dari proyek. Nilai kelayakan dari masing-masing proyek, kemudian akan disusun berdasarkan peringkatnya menurut kriteria ekonomi. Perhitungan nilai manfaat pada tabel penuntun ini sudah mencakup perkiraan untuk seluruh katagori manfaat yang telah disebutkan diatas.
115
Selanjutnya Penuntun Manfaat Lalu Lintas dapat ditabelkan pada Lamp C (hal. 139-140) Tabel C.1 Penuntun Manfaat Lalulintas rendah dan Tabel C.2, Penuntun Manfaat Lalu lintas Tinggi. Sedangkan Biaya kegiatan dhitung berdasarkan
kelompok jenis
penanganan jalan yang dilaksanakan. Adapun biaya pekerjaan berdasarkan jenis penanganannya adalah sebagai berikut : 1. Pemeliharaan jalan secara rutin diperhitungkan biaya pekerjaan dengan nilai sebesar Rp.15.000/m2. 2. Pemeliharaan jalan secara berkala diperhitungkan biaya pekerjaan dengan nilai sebesar Rp.72.000/m2. 3. Rehabilitasi jalan diperhitungkan biaya pekerjaan dengan nilai sebesar Rp.94.000/m2. 4. Peningkatan jalan diperhitungkan biaya pekerjaan dengan nilai sebesar Rp.127.000/m2.
5.2.4 Data Kebijakan Data kebijakan diambil dari Bappeda Kab.Bangli dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli berdasarkan hasil Musrenbang baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun provinsi serta adanya Anggaran Biaya Tambahan (ABT) tahun anggaran 2008-2010 sesuai usulan kegiatan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kab.Bangli (Bappeda, 2008-2010).
116
Besaran angka kebijakan tersebut nilainya dari angka 1 sampai dengan 4, dimana nilai tersebut disesuaikan dengan usulan yang pernah diberikan pada suatu ruas jalan apabila : 1. Mendapat usulan pada Musenbang Camat diberi nilai 1, tapi bila tidak dapat diberi nilai 0. 2. Mendapat usulan pada Musrenbang Kabupaten. diberi nilai 1, tapi bila tidak dapat diberi nilai 0. 3. Mendapat usulan pada Musrenbang Provinsi diberi nilai 1, tapi bila tidak diberi nilai 0. 4. Mendapat usulan pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT) diberi nilai 1, tapi bila tidak diberi nilai 0.
5.2.5 Tata Guna Lahan Terhadap tata guna lahan dimana diuraikan menjadi 4 (empat) sub kriteria yaitu bidang pertanian, bidang pendidikan, bidang
sosial-budaya dan bidang
perdagangan-jasa. Penilaian dari kriteria tata guna lahan berdasarkan atas manfaat lahan setelah dibukanya/diperbaikinya akses/jaringan jalan tersebut. Besaran angka tata guna lahan tersebut nilainya dari angka 1 sampai dengan 4, dimana nilai tersebut disesuaikan dengan pemanfaatan lahan tersebut dengan sistem penilaian sebagai berikut :
117
a. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang pertanian maka diberi nilai 1, bila tidak diberi nilai 0 b. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang sosial-budaya diberi nilai 1, bila tidak diberi nilai 0. c. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang tingkat pendidikan penduduk diberi nilai 1, bila tidak diberi nilai 0. d. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang peningkatan bidang perdagangan -jasa diberi nilai 1 dan bila tidak diberi nilai 0.
5.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria untuk Penanganan Jalan Perhitungan bobot data sekunder yang sudah dirangkum dalam Tabel C.3 s/d Tabel C.5 Data Penanganan Jalan Kabupaten (Lamp C, Hal 141-147), akan dipakai pada level 3 yaitu sub kriteria.
5.3.1 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan Perhitungan bobot sub kriteria kondisi jalan diuraikan menjadi 6 bagian : a. Lubang-lubang,
diberi kode x1
b. Legokan/amblas,
diberi kode x2
c. Retak-retak,
diberi kode x3
d. Alur bekas roda,
diberi kode x4
e. Bahu jalan,
diberi kode x5
f.
diberi kode x6
Kemiringan jalan,
118
Besaran bobot x1 sampai x6 merupakan analisa angka, dimana nilai masingmasing elemen tersebut besarannya dari angka 1 sampai dengan 4, sehingga perhitungan bobot diperoleh dengan menormalisasikan angka tersebut menjadi angka dari 0,25 sampai 1 dengan cara membagi 4 (angka maksimal) pada masingmasing elemen. Contoh : Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut)terletak di Kec. Bangli. a. Perhitungan x1 (lubang-lubang) penilaian sebesar 2, sehingga bobotnya menjadi 1/4 = 0,25. b. Perhitungan x2 (legokan/amblas) penilaian sebesar 1, sehingga bobotnya menjadi 2/4 = 0,5. c. Perhitungan x3(retak-retak) penilaian sebesar 3, sehingga bobotnya menjadi 1/4 = 0,25. d. Perhitungan x4(Alur bekas roda) penilaian sebesar 1, sehingga bobotnya menjadi 2/4 = 0,5. e. Perhitungan x5(Bahu jalan) penilaian sebesar 1, sehingga bobotnya menjadi 2/4 = 0,5. f. Perhitungan x6(Kemiringan jalan) penilaian sebesar 2, sehingga bobotnya menjadi 2/4 = 0, 5.
119
5.3.2 Penerapan Bobot Sub Kriteria Volume Lalu Lintas Perhitungan Bobot sub kriteria volume lalu lintas dapat diuraikan menjadi 5 (lima) bagian yaitu : a. Truk ringan,
diberi kode x7
b. Truk sedang dan berat,
diberi kode x8
c. Mobil roda 4,
diberi kode x9
d. Bis,
diberi kode x10
e. Sepeda motor,
diberi kode x11
Besaran bobot x7 sampai x11 diambil dari perbandingan masing-masing kelompok jenis penanganan pada Tabel C.3 s/d Tabel C.5 Data Penanganan Jalan Kabupaten (Lamp C, Hal 141-147). Kelompok tersebut terbagi dalam 3 bagian yaitu kelompok kondisi baik, sedang dan
rusak. Adapun penjelasan jenis
kelompok tersebut : 1. Pada kelompok kondisi baik. Nilai LHR tertinggi sebesar 317 smp pada jenis kendaraan sepeda motor, pada ruas jalan Brigjen Ngurah Rai (No Ruas.011). Selanjutnya perhitungan bobot x7 sampai x11 diperoleh dengan menormalisasi angka tersebut
menjadi angka dari 0,25 sampai 1 dengan cara
membagi semua nilai LHR dengan 317. 2. Pada kelompok kondisi sedang. Nilai LHR tertinggi sebesar 181 smp pada jenis kendaraan sepeda motor, pada ruas jalan Kubu – Tegalsuci (No.Ruas 078) Selanjutnya perhitungan bobot x7 sampai x11 diperoleh dengan menormalisasi
120
angka tersebut
menjadi angka dari 0,25 sampai 1 dengan cara
membagi semua nilai LHR dengan 598. 3. Pada kelompok kondisi rusak Nilai LHR tertinggi sebesar 179 smp pada jenis kendaraan sepeda motor, pada ruas jalan Undisan - Peninjoan (Ruas Jalan No.020) Selanjutnya perhitungan bobot x7 sampai x11 diperoleh dengan menormalisasi angka tersebut
menjadi angka dari 0,25 sampai 1
dengan cara membagi semua nilai LHR dengan 179. Contoh : Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut) terletak di Kec. Bangli. Ruas jalan tersebut termasuk kelompok 1 (kondisi baik) dengan penanganan Pemeliharan Berkala, LHR tertinggi kelompok ini sebesar 317 smp. Maka : - Perhitungan x7 (truk ringan), LHR = 9, sehingga bobot didapat 9/317 = 0,03 - Perhitungan x8 (truk sedang/berat), LHR =21, sehingga bobot didapat 21/317 = 0,07 - Perhitungan x9 (Mobil Roda 4), LHR = 95, sehingga bobot didapat 95/317 = 0,3 - Perhitungan x10 (Bis), LHR = 10, sehingga bobot didapat 10/317 = 0,03 - Perhitungan x11 (Sepeda motor), LHR = 169, sehingga bobot didapat 169/317 = 0,53
121
5.3.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria Faktor Ekonomi Perhitungan bobot sub kriteria ekonomi diuraikan menjadi 2 bagian yaitu: a. Nilai Manfaat/Kelayakan (NPV),
diberi kode x12
b. Biaya Kegiatan,
diberi kode x13
a. Nilai Manfaat/kelayakan (NPV). Besaran nilai manfaat/kelayakan (NPV) diambil dari data Tabel Penuntun Manfaat Lalu Lintas, selanjutnya perhitungan bobot Nilai Manfaat Kelayakan (NPV) dengan kode x12 dihitung berdasarkan perbandingan nilai manfaat pada ruas yang bersangkutan dibagi dengan nilai Manfaat/Kelayakan terbesar dalam satu kelompok penanganan jalan. b. Biaya Kegiatan Biaya kegiatan dihitung berdasarkan luas jalan (panjang x lebar) dalam meter dikalikan nilai penanganan jalan, yaitu : - Biaya untuk pemeliharaan rutin jalan : = Panjang x lebar x Rp. 15.000/m2 - Biaya untuk pemeliharaan berkala jalan : = Panjang x lebar x Rp. 72.000/m2 - Biaya untuk rehabilitasi Jalan :
= Panjang x lebar x Rp. 94.000/m2
- Biaya untuk peningkatan jalan :
= Panjang x lebar x Rp. 127.000/m2.
Perhitungan bobot biaya dengan kode x13 dihitung berdasarkan perbandingan biaya kegiatan pada ruas yang bersangkutan dibagi dengan biaya tertinggi pada satu kelompok penanganan jalan.
122
Contoh : Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut) terletak di Kec. Bangli. a. Perhitungan x12, nilai manfaat/Kelayakan (NPV) : Ruas jalan tersebut termasuk kelompok kondisi baik dengan penanganan pemeliharaan berkala dengan nilai NPV sebesar Rp.253 (juta). Pada kelompok tersebut
nilai NPV tertinggi sebesar
Rp.463(juta) pada Jalan Brigjen Ngurah Rai (No.Ruas 011). Selanjutnya bobot x12 adalah 253/463 = 0,55. b. Perhitungan x13 (bobot biaya kegiatan) : Biaya kegiatan penanganan pemeliharaan berkala jalan sebesar luas jalan x biaya pemeliharaan = (1,000 x 3,5) x Rp.72.000 = Rp.252.000.000 atau Rp.252 juta. Pada kelompok tersebut biaya kegiatan tertinggi sebesar
Rp. 2.795,67 juta yaitu pada Jalan Brigjen
Ngurah Rai (No.Ruas 011). Sehingga perhitungan bobot x13 adalah = Rp.252 juta / Rp. 2795,67 juta = 0,09.
5.3.4 Penerapan Bobot Sub Kriteria Faktor Kebijakan Perhitungan bobot sub kriteria faktor kebijakan dapat diuraikan menjadi 4 bagian yaitu : a. Musrenbang Camat,
diberi kode x14
b. Musrenbang Kabupaten,
diberi kode x15
123
c. Musrenbang Provinsi,
diberi kode x16
d. Anggaran Biaya Tambahan (ABT), diberi kode x17 Nilai bobot x14 sampai x17 diperlihatkan pada Tabel C.3 s/d Tabel C.5 (Data Penanganan Jalan Kabupaten Bangli), dimana nilai tersebut diberi angka 0 atau 1. Contoh : Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut) terletak di Kec. Bangli. Pada ruas jalan tersebut diperoleh Bobot sub. Kebijakan sebagai berikut : a. Diusulkan pada Musrenbang Camat, nilai =1 , diberi kode x14 b. Diusulkan pada Musrenbang Kabupaten, nilai =1, diberi kode x15 c. Diusulkan pada Musrenbang Provinsi, nilai =1, diberi kode x16 d. Tidak diusulkan pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT), nilai =0 diberi kode x17 Bobot sub kebijakan ditampilkan bersama pada Tabel D.1 s/d Tabel D.3 Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.157-164).
5.3.5
Penerapan Bobot Sub Kriteria Faktor Tata Guna Lahan Perhitungan bobot sub kriteria faktor tata guna lahan dapat diuraikan
menjadi 4 bagian yaitu : a. Bidang Pertanian,
diberi kode x18
124
b. Bidang Pendidikan,
diberi kode x19
c. Bidang Sosial - Budaya,
diberi kode x20
d. Bidang Perdagangan - Jasa,
diberi kode x21
Contoh : Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut) terletak di Kec. Bangli. Pada ruas jalan tersebut diperoleh Bobot sub. Tata guna lahan sebagai berikut : a. Diperbaikinya prasarana jalan tersebut
dapat memperlancar
akses masyarakat dibidang Pertanian, nilai =1, diberi kode x18 b. Diperbaikinya
prasarana jalan tersebut
dapat memberikan
pengaruh dibidang pendidikan karena di sepanjang ruas jalan tersebut tidak ada pembangunan sekolah, nilai =0, diberi kode x19 c. Diperbaikinya prasarana jalan tersebut
dapat memperlancar
akses masyarakat dibidang Sosial - Budaya khususnya bidang pariwisata, nilai =1, diberi kode x20 d. Diperbaikinya prasarana jalan tersebut
dapat memperlancar
akses masyarakat dibidang perdagangan - jasa, terutama untuk pemasaran hasi industri kerajinan daerah, nilai =1, diberi kode x21
125
Demikian untuk ruas jalan lainnya, bobot sub kriteria tata guna lahan ditampilkan bersama pada Tabel D.1 s/d Tabel D.3 Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155-161).
5.3.6 Perhitungan Skala Prioritas Penanganan Jalan dengan Metode AHP
Setelah ditentukan besaran bobot pada masing – masing elemen (x1 s/d x21) maka untuk menentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten dengan Metode Analitycal Hierarcy Process (AHP) selanjutnya dimasukan
dengan
perhitungan model matematis menurut Brojonegoro (1991). Dimana perhitungan dalam penentuan prioritas jalan dengan metode ini dilakukan sesuai dengan kelompok penanganannya yaitu : Pemeliharaan rutin jalan, Pemeliharaan berkala jalan, Rehabilitasi jalan dan Peningkatan jalan. Selanjutnya dalam perhitungan menggunakan Model matematis yang dihitung dengan sistem persamaan matematis menurut Brojonegoro (1991) sesuai dengan kelompok penanganannya adalah :
Y= A( a1 x bobot a1 + ….. + a6 x bobot a6 ) + ….. + D( d1 x bobot d1 + …. + d4 x bobot d4 ) Dimana : Y
= Skala Prioritas Penanganan Jalan
A s/d D
= Bobot kriteria Level 2( berdasar analisa responden)
a1, a2, a3… d5 = Bobot alternatif level 3 (berdasar analisa responden)
126
bobot a1,……bobot d5 = Bobot alternatif level 3 (berdasar analisa data sekunder) Dari Gambar 5.7 Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten, didapat besaran : Nilai A = 0,239
Nilai B = 0,229
Nilai C = 0,228
Nilai D = 0,151
Nilai E = 0,153
Besaran nilai a1 = 0,279 b1= 0,229 c1 = 0,695
d1 = 0,375 e1 = 0,343
a2 = 0,234 b2= 0,218 c2 = 0,305
d2 = 0,226 e2 = 0,246
a3= 0,177 b3= 0,255
d3 = 0,175 e3 = 0,170
a4 = 0,120
b4= 0,147
d4 = 0,224 e4 = 0,241
a5 = 0,073
b5= 0,117
a6 = 0,117 Selanjutnya dilakukan perhitungan besaran y : Y = bobot kriteria x (bobot alternatif responden x bobot alternatif sekunder) Y = A(a1.x1 + a2.x2 + a3.x3 + a4 .x4 + a5.x5 + a6.x6) + B(b2.x7 + …+b4.x11) + C(c1.x12+….+c2.x13) + D(d1.x14 +… + d4 . x17) + E(e1.x18 +…+e2.x22) =
0,239(0,279.x1+0,234.x2+0,177.x3+0,120.x4+0,073.x5+0,279.x6) + 0,229(0,229.x7+0,218.x8+0,255.x9+0,47.x10+0,151.x11) +0,228(0,695.x12+ 0,305.x13)+0,151(0,373.x14+0,226.x15+0,175.x16+0,224.x17)+0,153(0,3 43.x18 +0,246.x19+0,170.x20)+(0,241.x1)
127
Contoh perhitungan Skala Prioritas Penanganan Jalan Perhitungan Skala Prioritas Penanganan Jalan pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut) terletak di Kec. Bangli. Ruas jalan ini termasuk kelompok kondisi baik dan ditangani dengan pemeliharaan secara berkala. Berdasarkan hasil analisis , diperoleh besaran bobot data sekunder dengan nilai x1 sampai x21. Adapun besaran nilai –nilai tersebut adalah sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel D.1 Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155) untuk ruas jalan Kehen - Sidembunut adalah : Y = A(a1.x1 + a2.x2 + a3.x3 + a4 .x4 + a5.x5 + a6.x6) + B(b2.x7 + …+b4.x11) + C(c1.x12+….+c2.x13) + D(d1.x14 +… + d4 . x17) + E(e1.x18 +…+e2.x22) =
0,239(0,279.x1+0,234.x2+0,177.x3+0,120.x4+0,073.x5+0,279.x6) + 0,229(0,229.x7+0,218.x8+0,255.x9+0,47.x10+0,151.x11) +0,228(0,695.x12+ 0,305.x13)+0,151(0,373.x14+0,226.x15+0,175.x16+0,224.x17)+0,153(0,3 43.x18 +0,246.x19+0,170.x20)+(0,241.x1)
= 0,239(0,279*0,3+0,234*0,5+0,177*0,3+0,120*0,5+0,073*0,5+0,279*0,5) + 0,229(0,229*0,03+0,218*0,07+0,255*0,3+0,47*0,03+0,151*0,53)+ 0,228(0,695*0,55+ 0,305*0,09)+0,151(0,373*1+0,226*1+0,175*1+0,224*0) +0,153(0,343*1 +0,246*0+0,170*1+0,241*1) = 0,450
128
Perhitungan ruas jalan yang lain dilakukan dengan cara yang sama sehingga hasilnya diberi kode Y. Selanjutnya nilai Y pada semua ruas jalan diurut kembali besaran nilai Y tersebut dari nilai terbesar sampai terkecil pada tiap-tiap kelompok penanganan : pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, rehabilitasi dan peningkatan, sehingga nilai terbesar merupakan prioritas utama dan selanjutnya menyusul nilai yang lebih kecil. Urutan ini diberi kode Y” seperti diperlihatkan pada Tabel D.1 s/d Tabel D.3 Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155-161). Untuk contoh skala prioritas penanganan jalan pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut) yang terletak di Kec. Bangli sebagaimana diperlihatkan pada Tabel D.1 Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (Kondisi Baik), menempati urutan ke 12.
5.4
Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Berdasarkan SK.No.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990 Dari kriteria yang ditentukan pada SK No.77 Dirjen Bina Marga, dimana
NPV tertinggi mendapat prioritas utama dalam penanganan jalan sehingga dari tabel data yang ada yaitu Tabel C.3 s/d Tabel C.5 Data Penanganan Jalan Kabupaten (Lamp C, Hal 141-147) maka dibuat skala prioritas penanganan jalan sesuai urutan NPV tertinggi. Selanjutnya
urutan skala prioritas penanganan jalan kabupaten
disesuaikan besaran NPV diperlihatkan pada Tabel C.6 s/d Tabel C.8 Skala
129
Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Berdasarkan SK No.77, Tahun 1990
(Lamp.C, Hal 148- 154). Contoh : Pada No. Ruas 077, Jalan Kehen – Sidembunut terletak di Kecamatan Bangli. Ruas jalan Kehen – Sidembunut termasuk dalam kelompok kondisi baik dengan penanganan jalan dilakukan secara berkala. Permukaan sudah dilapisi aspal tetapi perlu dilakukan penambahan overly pada permukaan perkerasan. Lalu lintas harian rata-rata ruas jalan tersebut sebesar 304 dengan nilai NPV sebesar 253. berdasarkan data tersebut ruas jalan Kehen – Sidembunut menempati urutan ke 13.
Demikian selanjutnya urutan prioritas terhadap ruas jalan lainnya
berdasarkan SK No.77, Tahun 1990 dapat dilihat pada
Tabel C.6 s/d C.8
(Lamp.C, hal 149-156).
5.5
Perbandingan Hasil Skala/Urutan Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara Metode SK.No.77, Tahun 1990 dengan Metode Analytical Hierarcy Process (AHP) Dari hasil perhitungan skala prioritas penanganan jalan dengan
menggunakan bobot yang diperoleh bedasarkan SK No.77, Tahun 1990 sebagaimana dilampirkan pada Tabel C.6 s/d Tabel C.8 Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode SK.No.77, Tahun 1990 (lamp C, hal 148-154) dan Tabel D.1 s/d Tabel D.3 Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155-161), dapat dibandingkan perolehan urutan skala prioritasnya yang diperlihatkan pada Tabel D.4 s/d Tabel
130
D.6 Perbandingan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara Metode SK.No.77, Tahun 1990 dengan Metode AHP (lamp.D, hal.162-168). Pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa perolehan urutan prioritas yang menggunakan perhitungan SK No.77, Tahun 1990 akan berubah posisi bila dihitung dengan menggunakan bobot yang diperoleh pada perhitungan pembobotan kriteria. Setelah diteliti perubahan urutan prioritas tersebut dari menggunakan SK No.77, Tahun 1990 akan menjadi urutan atas pada perhitungan pembobotan kriteria, hal ini terjadi karena beberapa hal seperti : a. Jumlah penilaian pada kondisi jalan maksimal. b. Jumlah LHR tinggi c. Nilai NPV tinggi d. Biaya kegiatan tinggi e. Perolehan kebijakan tinggi f. Pemanfaatan tata guna lahan tinggi Contoh : Pada Ruas No.077 (Jalan Kehen – Sidembunut) yang terletak di Kec. Bangli, dengan nomor urut 13 pada SK No,77 berubah menjadi nomor urut 12 dengan menggunakan pembobotan kriteria karena : -
Jumlah Penilaian kondisi jalan tertinggi = 10 (pada kondisi baik jumlah penilaian kondisi jalan antara 6-10)
-
Nilai biaya sebesar Rp.252 Juta
-
Nilai Kebijakan diperolehnya sebesar 3.
-
Jumlah nilai tata guna lahan sebesar 3.
131
Sebaliknya apabila salah satu dari kelima hal tersebut besar terutama bila jumlah penilaian kondisi jalan kecil, maka urutan skala prioritasnya menjadi turun. Contoh : Pada Ruas No.47 (Jalan Waturenggong), dengan skala prioritas urutan 10 pada SK No 77, turun menjadi urutan 25 dengan menggunakan pembobotan kriteria karena : -
Jumlah Penilaian kondisi jalan sebesar 7 (Nilai lebih rendah dari 10)
-
Jumlah Nilai Biaya Kegiatan lebih rendah yaitu Rp.222,46 juta.
-
Jumlah nilai kebijakan diperoleh 3
-
Jumlah nilai tata guna lahan 1
Dari perbandingan kedua perhitungan tersebut, bila diteliti lebih mendalam akan banyak terjadi perubahan urutan prioritas yang disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor yaitu faktor kondisi jalan, faktor volume lalu lintas, faktor ekonomi, faktor kebijakan dan faktor tata guna lahan.
132
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1
Simpulan Dari analisa yang telah dilakukan dapat diambil simpulan sebagai berikut : 1. Hasil Urutan Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan berdasarkan SK N0.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990 : a. Diperoleh bahwa urutan prioritas tertinggi dengan niai LHR dan NPV tertinggi demikian juga sebaliknya nilai LHR rendah dengan NPV yang rendah akan memperoleh hasil perhitungan skala prioritas dengan urutan terendah. Adapun urutan prioritas penangan jalan berdasarkan kelompok kondisi penanganannya dengan metode ini adalah sebagai berikut : - Urutan Prioritas Penanganan jalan pada kondisi baik adalah : Jl. Brigjen Ngurah Rai, Jl Bebalang - Tamanbali, Jl Kayubihi – Kayang, Jl Nangka, Jl Nusantara I, Jl. Nusantara II, Jl Serma Meranggi, Jl. Kubu – Sidembunut, Jl Bubung Bayung - Bayung Gede, Jl.Waturenggong, Jl. Belimbing, Jl Tembuku – Bakas, Jl. Kehen – Sidembunut, dst... (sesuai Lamp.C, Tabel C.6, hal.148). - Urutan Prioritas Penanganan jalan pada kondisi sedang adalah : Jl. Kubu – Tegalsuci, Jl. Tingkad Batu Uma Anyar, Jl. Tingas Penaga Landih, Jl. Batur - Yeh Mampeh, Jl. Jehem – Pembungan, Jl. Tembuku – Tohpati, Jl. Kebon Kawan - Kebon Kangin, Jl.
133
Belantih – Pengejaran, Jl. Penatahan – Br. Lebah, Jl. Palaktiying – Pucangan, dst.. (sesuai Lamp C, Tabel C.7, hal 150-153). - Urutan Prioritas Penanganan jalan pada kondisi rusak adalah : Jl. Undisan – Peninjoan, Jl. Peninjoan – Metro Kaja, Jl. Peninjoan – Mapagan, Jl. Tembuku – Kelempung, Jl. Yangapi – Tingas, Jl. Songan – Belandingan, Jl. Songan - Kayuselem, Jl. Abuan- Abuan, Jl. Belantih – Selulung, Jl. Penulisan - Belandingan, dst.... (Sesuai Lam C, Tabel C.8, hal.154). 2. Hasil penelitian dengan Metode AHP : a. Metode ini menghasilkan kriteria kondisi jalan terpenuhi dengan bobot (23,9%) kemudian disusul tingkat kepentingan volume lalu lintas dengan bobot (22,9%), faktor kriteria ekonomi dengan bobot (22,8%), faktor tata guna lahan dengan bobot (15,3%) dan faktor kebijakan dengan bobot (15,1%). b. Pada bobot yang diperoleh tersebut, bila diaplikasikan terhadap penentuan prioritas penanganan jalan akan diperoleh hasil yang berbeda bila dibandingkan dengan skala prioritas berdasarkan SK No 77, Tahun 1990, dimana tidak hanya mengutamakan nilai ekonomi saja tetapi tampak pada ruas jalan yang mendapat usulan pada musrenbang dan memperhitungkan pengaruh perbaikan pasarana tersebut terhadap akses masyarakat. c. Adapun urutan Prioritas penanganan jalan dengan metode ini adalah sebagai berikut :
134
- Urutan Penentuan Prioritas pada kondisi baik adalah : Jl. Bebalang Tamanbali, Jl. Penglipuran – Buungan – Tiga, Jl. Brigjen Ngurah Rai, Jl. Kayubihi – Kayang, Jl. Kubu –Sidembunut, Jl. Bunutin Selati, Jl. Bubung Bayung – Bayung Gede, Jl. Nangka, Jl. Nusantara I, Jl. Nusantara II, dst.. (Lamp.D, Tabel D.1, hal 155). -
Urutan Penentuan Prioritas pada kondisi sedang adalah : Jl. Batur – Yeh Mampeh, Jl. Tembuku – Tohpati, Jl. Kubu – Tegalsuci, Jl. Batukaang – Mengani, Jl. Kintamani – Langgahan, Jl. Belantih Pengejaran, Jalan Penelokan - Yeh Mampeh, Jl. Palaktiying – Pucangan, Jl. Tingkad Batu – Uma Anyar , Jl. Siakian – Pinggan, dst.. (Lamp.D, Tabel D.2, hal 157).
- Urutan Penentuan Prioritas pada kondisi rusak adalah : Jl. Peninjoan – Metro Kaja, Jl. Songan - Kayuselem, Jl. Belantih – Selulung, Jl. Undisan – Peninjoan, Jl. Penulisan – Belandingan, Jl. Songan – Belandingan, Jl. Yangapi – Tingas, Jl. Tembuku Kelempung, Jl. Sudhamala – Bebalang, Jl. Penulisan – Sukawana, dst.. (Lamp.D, Tabel D.3, hal 161). 3. Berdasarkan hasil analisis, penentuan skala prioritas ke dua metode tersebut dapat dibandingkan yaitu Adanya perbedaan urutan prioritas dibeberapa ruas jalan seperti : -
Ruas Jalan No.077 Jl. Kehen - Sidembunut :
Penentuan urutan prioritas dengan metode SK No.77, Tahun 1990 menempati urutan prioritas No.13 dan berubah manjadi No. 12 dengan
135
metode AHP hal ini disebabkan pengaruh kombinasi dari beberapa faktor kriteria . (sesuai Lamp D,Tabel D.1, hal.155). 4. Berdasarkan hasil analisis dalam penentuan urutan prioritas dan dengan membandingkan hasil urutan prioritas baik yang diperoleh dengan metode SK No. 77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990 maupun dengan metode AHP maka terdapat beberapa perbedaan urutan prioritas sebagaimana terlampir dalam lampiran D, Tabel D.4 s/d D.6, hal 162 - 168 maka diketahui beberapa kelebihan dan kelemahan dari kedua metode tersebut seperti : 1. Pada penentuan Skala Prioritas berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990 : a. Kelebihannya : - Penentuan Prioritas dengan metode ini lebih mudah dan tidak memerlukan waktu yang lama karena penentuan skala prioritas hanya berdasarkan nilai LHR dan NPV saja. b. Kelemahannya : - Penentuan skala prioritas hanya berdasarkan nilai LHR tinggi (NPV tertinggi saja), sedangkan bila terdapat jalan dengan LHR rendah atau adanya pengembangan wilayah maka tidak dapat penanganan jalan, sehingga wilayah yang ekonominya maju akan terus berkembang tetapi sebaliknya nilai ekonomi rendah akan terus tertinggal. - Pada jalan dengan kondisi rusak dengan LHR rendah dan NPV rendah cenderung tidak masuk daftar urutan atas.
136
- Karena peninjauan didasarkan hanya pada aspek lalu lintas saja, ada indikasi bahwa dalam pelaksanaan penanganan skala prioritas pihak pelaksana dalam hal ini Dinas PU memodifikasi data lalu lintas akibat pertimbangan
politis, agar ruas jalan
dimaksud mendapat dana untuk penanganan. 2.
Pada penentuan Skala Prioritas dengan menggunakan pembobotan kriteria yang diperoleh dari metode AHP : a. Kelebihannya : - Dapat mengkombinasikan berbagai kriteria dalam menangani permasalahan yang terjadi. - Dalam pengembangan wilayah, dimana Nilai LHR rendah, tingkat perekonomian penduduk rendah dan kondisi jalan rusak akan tetapi sangat dibutuhkan masyarakat akan selalu diperhitungkan dalam penanganan jalan. - Dengan alokasi dana terbatas dapat diarahkan secara merata tidak hanya pada wilayah dengan perekonomian tinggi saja. b. Kelemahannya : -
Dalam pemilihan dan penyebaran responden melibatkan berbagai pihak baik masyarakat setempat, tokoh masyarakat dan pimbinaan wilayah sehingga dapat mewakili lapisan masyarakat
-
Karena Penentuan Skala Prioritas melibatkan banyak stake holders
sehingga waktu yang diperlukan dalam penentuan
137
skala prioritas dengan metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama. 6.2 Saran Dari hasil simpulan studi ini dapat diberikan saran yaitu : 1. Dalam menentukan Skala prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli, pemerintah
daerah
sebaiknya
mempertimbangkan
cara
AHP
selain
Berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990. Adapun pertimbangannya
yaitu dengan Metode AHP dapat mengkombinasikan
berbagai aspek dan kriteria yang dilakukan dengan pembobotan berdasarkan tingkat kepentingan sehingga hasil urutan prioritas penanganan jalan yang dihasilkan lebih representatif. 2. Untuk mendapatkan hasil sesuai harapan dan tujuan, dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan dengan metode AHP, respon exspert yang dituju harus benar - benar memiliki kemampuan/keahlian di bidangnya dan tingkat konsistensi terhadap jawaban yang disampaikan, apabila tidak konsisten maka hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.
138
DAFTAR PUSTAKA Anonim, (2004), Undang –Undang No.32. Th. 2004, tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta: Bappenas. Anonim, (1988), Peraturan Pemerintah No.14 Th.1988, tentang Penyerahan Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum kepada Daerah, Jakarta: Bappenas. Anonim, (2007), Peraturan Menteri Dalam Negeri No.59 Th.2007, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Republik Indonesia. Anonim, (1987), Peraturan Bupati Bangli No.6 Tahun 2006, tentang Rencana Tata Ruang Wiayah Kabupaten Bangli,Bangli: Bappeda. Anonim, (1998), Pemecahan masalah dengan metode AHP, Available from: http://www.itelkom.ac.id/ahp/library. Anonim, (2008), Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2008 - 2010 (Hasil Musrenbang Daerah Kabupaten Bangli Th. 2008-2010, Bangli: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bangli. Anonim, (2008), Metode kuisioner penanganan jalan, Available from: http:/SPSS-online blon spot.com. Anonim, (2008), Tata Guna Lahan, Available from: http:// www.digilib.itb.ac.id Brodjonegoro, P.S, (1991), Petunjuk Mengenai Teori dan Aplikasi dari Model The Analytic Hierarchy Process. Jakarta : Sapta Utama. Dirjen Bina Marga, (1990), Petunjuk Teknis Perencanaan dan Penyusunan Program Jalan Kabupaten. Surat Keputusan No.77/KPTS/Db/1990. Jakarta: Dinas Pekerjaan Umum RI. Dirjen Perhubungan Darat, (2005), Peraturan Pemerintah No.26 tahun 1985, tentang jalan, Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia. Dirjen Perhubungan Darat, (2009), Tentang Lalu lintas Jalan. Udang-Undang Republik Indonesia No.22, Th.2009, Jakarta: Departemen Perhubungan RI. Firdaus, M.A., (2008), Skala Pengukuran dan Instrumen Penelitian, http://azisartikel.Blogspoot.com. Hasan, M.I., (2003), Pokok-pokok Materi Statistik. Edisi Kedua. Jakarta: PT Bumi Aksara.
139
Karya, I W., (2004), Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan Pada Ruas-ruas Jalan Di Kabupaten Gianyar (Tesis), Denpasar: Universitas Udayana. Mulyono, A.,(2006), Teori Pengambilan Keputusan, Jakarta : PT Bumi Aksara. Saaty, T.L., (1986), Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi yang Kompleks, Jakarta : PT Pustaka Binman Pressindo. Sjrafruddin,A., (1997), Studi Kelayakan Proyek Transportasi, Bandung: FTSPITB. Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif, Bandung: Alfabeta Suyasa, D.G., (2007), Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Badung dengan Metode AHP (Tesis), Denpasar: Program Magister Teknik Sipil Universitas Udayana. Usman, H., (1996), Metodelogi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.
140
141
LAMPIRAN A (Peta Wilayah Studi)
142
143
Gambar A.2 Peta Jaringan Jalan di Kabupaten Bangli
144
LAMPIRAN B (Kuisioner)
145
KUISIONER
Kepada : Yth. Para Responden di – Tempat
Dengan hormat, Dalam rangka penyusunan penelitian tesis pada Program Magister Teknik Sipil Universitas Udayana, bidang keahlian Transportasi, kami mohon kepada bapak/ ibu/saudara untuk mengisi kuisioner ini sebagai bahan masukan dan kelengkapan data. Adapun judul usulan penelitian ini adalah ”Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli ”. Keberhasilan penelitian ini akan sangat tergantung pada kebenaran data yang diperoleh, karenanya dalam proses pengisian kuisioner kami sangat mengharapkan partisipasinya seobyektif mungkin. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan banyak terimakasih.
Bangli,
Januari 2010
Hormat kami
I Dewa Ayu Ngr Alit Putri .
146
KUISIONER Petunjuk penulisan kuisioner A. Dalam memberikan penilaian, digunakan skala penilaian dari 1 sampai dengan 9 dimana terdapat masing-masing skala menunjukan tingkat kepentingan indikator kriteria yang dibandingkan terhadap indikator kriteria yang melengkapinya. Masing–masing angka dalam skala perbandingan memiliki arti sebagai berikut : 1. Sama penting 2. Diantara sama penting dan lebih penting 3. Lebih Penting 4. Diantara lebih penting dengan penting 5. Penting 6. Diantara penting dan sangat penting 7. Sangat penting 8. Diantara nilai sangat penting dengan sangat penting sekali 9. Sangat penting sekali
B. Berdasarkan nomor urut prioritas yang bapak/ibu pilih, isilah penilaian terhadap uraian di bawah ini (beri tanda “ V “ pada salah satu jawaban)
I. PENILAIAN PADA LEVEL 2 Penilaian level ini menggunakan : 1. Faktor Kondisi Jalan 2. Faktor Volume Lalu Lintas 3. Faktor Ekonomi 4. Faktor Kebijakan 5. Faktor Tata Guna Lahan
147
1. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada factor kondisi jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Kondisi jalan
9
8
7
6
5
Faktor Volume lalu lintas
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7
8
9
8
9
2. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor ekonomi
Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor kondisi jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Kondisi jalan
9
8
7
6
5
Faktor Ekonomi
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
3. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor kebijakan
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor kondisi jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Kondisi jalan
9
8
7
6
5
Faktor Kebijakan
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
4. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor tata guna lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor kondisi jalan
148
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Kondisi jalan
9
8
7
6
5
Faktor Tata guna lahan
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada faktor ekonomi
Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Volume Lalu lintas
9
8
7
6
5
4
Faktor Ekonomi
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada faktor kebijakan
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Volume Lalu lintas
9
8
7
6
5
4
Faktor Kebijakan
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada faktor tata guna lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Volume Lalu lintas
Faktor tata guna lahan
149
8. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor kebijakan
8
9
8
9
8
9
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor ekonomi
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Ekonomi
9
8
7
6
Faktor Kebijakan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
9. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor tata guna lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor ekonomi
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Ekonomi
9
8
7
6
Faktor Tata guna lahan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
10. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor tata guna lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor kebijakan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Faktor Kebijakan
9
8
7
6
Faktor Tata guna lahan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
150
II PENILAIAN PADA LEVEL 3 II.A Faktor Kondisi Jalan Dalam penilaian subkriteria kondisi jalan menggunakan data : 1. Lubang - lubang 2. Legikan/amblas 3. Alur bekas roda 4. Bahu jalan 5. Kemiringan Jalan Pertanyaan : 1. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada jalan legokan/amblas.
Perbaikan pada jalan legokan /amblas lebih penting dari pada jalan lubang-lubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Lubang-lubang
9
8
7
6
Legokan/amblas
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada jalan retakretak.
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada jalan lubanglubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
151
Lubang-lubang
9
8
7
6
Retak-retak
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada alur bekas roda.
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada jalan lubanglubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Lubang-lubang
9
8
7
6
Alur bekas roda
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada bahu jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada jalan lubang-lubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Lubang-lubang
9
8
7
6
Bahu jalan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada kemiringan jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada jalan lubanglubang.
152
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Lubang-lubang
9
8
7
6
Kemiringan Jalan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada jalan retak-retak.
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada jalan lubanglubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Legokan/amblas
9
8
7
6
Retak-retak
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
7. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada alur bekas roda.
Perbaikan
pada
alur
bekas
roda
lebih
penting
dari
pada
legokan/amblas. Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Legokan/amblas
9
8
7
6
Alur bekas roda
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
153
8.
Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada bahu jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada legokan/amblas.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Legokan/amblas
9
8
7
6
Bahu jalan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada kemiringan jalan.
Perbaikan
pada
kemiringan
jalan
lebih
penting
dari
pada
legokan/amblas. Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Legokan/amblas
9
8
7
6
Kemiringan Jalan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada alur bekas roda.
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada jalan retakretak.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Retak-retak
9
8
7
Alur bekas roda
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
154
11. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada bahu jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada jalan retak-retak.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Retak-retak
9
8
7
Bahu jalan
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada kemiringan jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada jalan retakretak.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Retak-retak
9
8
7
Kemiringan jalan
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
13. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada bahu jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada alur bekas roda.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Alur bekas roda
9
8
7
6
Bahu jalan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
155
14. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada kemiringan jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada alur bekas roda.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Alur bekas roda
9
8
7
6
Kemiringan jalan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
15. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada kemiringan jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada bahu jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bahu jalan
9
8
7
Kemiringan jalan
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
II.B Faktor Volume Lalu lintas Dalam penilaian subkriteria faktor volume lalu lintas menggunakan data : 1. Truk ringan 2. Truk sedang dan berat 3. Bis 4. Mobil roda empat 5. Sepeda motor Pertanyaan : 1. Dalam menentukan factor volume lalu lintas
156
Truk ringan lebih penting dari pada truk sedang dan berat.
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Truk ringan
9
8
7
Truk sedang dan berat
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk ringan lebih penting dari pada mobil roda empat.
Mobil roda empat lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Truk ringan
9
8
7
Mobil roda empat
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2
3
4
5
6
7
8
9
3. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk ringan lebih penting dari pada bis.
Bis lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Truk ringan
9
8
7
Bis
6
5
4
3
2
1
0
1
4. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk ringan lebih penting dari pada sepeda motor.
Sepeda motor lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
157
Truk ringan
9
8
7
Sepeda motor
6
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada mobil roda empat.
Mobil roda empat lebih penting dari pada truk sedang dan berat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Truk sedang dan berat
9
8
7
6
5
Mobil roda empat
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5
6
7
8
9
6. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada Bis.
Bis lebih penting dari pada truk sedang dan berat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Truk sedang dan berat
9
8
7
6
5
Bis
4
3
2
1
0
1
2
3
4
7. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada sepeda motor.
Sepeda motor lebih penting dari pada truk sedang dan berat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
158
Truk sedang dan berat
9
8
7
6
5
Sepeda motor
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4
5
6
7
8
9
8. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Mobil roda empat lebih penting dari pada Bis.
Bis lebih penting dari pada mobil roda empat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Mobil roda empat
9
8
7
6
Bis
5
4
3
2
1
0
1
2
3
9. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Mobil roda empat lebih penting dari pada sepeda motor .
Sepeda motor lebih penting dari pada mobil roda empat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Mobil roda empat
9
8
7
6
Sepeda motor
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3
4
5
6
7
8
9
10. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Bis lebih penting dari pada sepeda motor .
Sepeda motor lebih penting dari pada Bis
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bis
9
Sepeda motor
8
7
6
5
4
3
2
1
0
1
2
159
II.C Faktor Manfaat Ekonomi Dalam penilaian subkriteria faktor ekonomi menggunakan data : 1. Manfaat/kelayakan (NPV) 2. Biaya Kegiatan Pertanyaan : 1. Dalam menentukan faktor ekonomi
Manfaat /kelayakan (NPV) lebih penting dari pada Biaya kegiatan.
Biaya kegiatan lebih penting dari pada manfaat/kelayakan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Manfaat/kelayakan (NPV)
9
8
7
6
5
4
Biaya kegiatan
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
II.D Faktor Kebijakan Dalam penilaian subkriteria faktor kebijakan menggunakan data : 1. Musrenbang Camat. 2. Musrenbang Kabupaten 3. Musrenbang Provinsi 4. Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
Pertanyaan : 1. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Camat lebih penting dari pada Musrenbang Kabupaten.
Musrenbang Kabupaten lebih penting dari pada Musrenbang Camat.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Musrenbang Camat
9
8
7
6
Musrenbang Kabupaten
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
160
2. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Camat lebih penting dari pada Musrenbang Provinsi.
Musrenbang Provinsi lebih penting dari pada Musrenbang Camat.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Musrenbang Camat
9
8
7
6
Musrenbang Provinsi
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Camat lebih penting dari pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
Musrenbang Anggaran Biaya Tambahan (ABT). lebih penting dari pada Musrenbang Camat.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Musrenbang Camat
9
8
7
6
Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Kabupaten lebih penting dari pada Musrenbang Provinsi.
Musrenbang Provinsi lebih penting dari pada Musrenbang Kabupaten.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Musrenbang Kab.
9
8
7
6
Musrenbang Prov.
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
161
5. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Kabupaten lebih penting dari pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
lebih
penting dari pada
Musrenbang Kabupaten. Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Musrenbang Kab.
9
8
7
6
Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
6. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Provinsi lebih penting dari pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
lebih
penting dari pada
Musrenbang Provinsi. Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Musrenbang Provinsi
9
8
7
6
5
Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
II.E Faktor Tata Guna Lahan Dalam penilaian subkriteria faktor Tata Guna Lahan menggunakan data : 1. Bidang Pertanian 2. Bidang Pendidikan 3. Bidang Sosal - Budaya 4. Bidang Perdagangan - Jasa
162
Pertanyaan : 1. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pertanian/perkebunan lebih penting dari pada penunjang di bidang pendidikan.
Penunjang di bid.pendidikan lebih penting dari pada penunjang dibidang pertanian.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bidang pertanian
9
8
7
6
Bidang Pendidikan
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pertanian lebih penting dari pada penunjang di bidang sosial-budaya.
Penunjang di bid.sosial-budaya lebih penting dari pada penunjang dibidang pertanian.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bidang Pertanian
9
8
7
6
Bidang Sosal-budaya
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pertanian lebih penting dari pada penunjang di bidang perdagangan & jasa.
Penunjang di bid.perdagangan & jasa lebih penting dari pada penunjang dibidang pertanian
163
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bidang Pertanian
9
8
7
6
Bidang Perdagangan & jasa
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
4. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pendidikan lebih penting dari pada penunjang di bidang sosial-budaya.
Penunjang di bid.sosial-budaya lebih penting dari pada penunjang dibidang pendidikan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bidang Pendidikan
9
8
7
6
Bidang Sosal-budaya
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
5. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pendidikan lebih penting dari pada penunjang di bidang perdagangan & jasa.
Penunjang di bid.perdagangan & jasa lebih penting dari pada penunjang dibidang pendidikan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bidang Pendidikan
9
8
7
6
Bidang Perdagangan - jasa
5
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
164
6. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang sosial-budaya lebih penting dari pada penunjang di bidang perdagangan & jasa.
Penunjang di bid.perdagangan & jasa lebih penting dari pada penunjang dibidang sosial-budaya
Seberapa besar tingkat kepentingannya ? Bidang Sosal – budaya
9
8
7
6
5
Bidang Perdagangan - jasa
4
3
2
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
165
Tabel B.1 Daftar Peserta Responden Kode resp. R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 R11 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R19 R20 R21 R22 R23 R24 R25 R26
Jabatan Bpk Asisten Pembangunan Setda Kab. Bangli Kadis PU Kab.Bangli Kasi Pemeliharaan dan Rehab Jln Bid Bina Marga Kasi Peningkatan Jalan Bid Bina Marga Staf Perencana Bid. Bina Marga Kep Bid Fisik dan Prasarana Bappeda Kasubdin Tata Ruang di Bappeda Staf fisik Bappeda Anggota DPRD Bangli Komisi C Camat Kec. Bangli Camat Kec. Susut Camat Kec. Tembuku Camat Kec. Kintamani Kaur Pembangunan Kel Kawan Kec. Bangli Kaur Pembangunan Ds.Bunutin Kec. Bangli Kaur Pembangunan Kel. Tegalalang Kec. Bangli Kaur Pembangunan Ds Susut Kec. Susut Kaur Pembangunan Ds. Tiga Kec. Susut Kaur Pembangunan Ds.Penglumbaran Kec. Susut Kaur Pembangunan Ds.Undisan Kec. Tembuku Kaur Pembangunan Ds.Peninjoan Kec. Tembuku Kaur Pembangunan Ds Batur Selatan Kec.Kintamani Kaur Pembangunan Ds Sukawana Kec. Kintamani Kaur Pembangunan Ds Songan A Kec. Kintamani Kaur Pembangunan Ds. Manikliyu Kec. Kintamani Kaur Pembangunan Ds. Suter Kec. Kintamani
Sumber : Hasil Analisis, 2010
166
LAMPIRAN C DATA SEKUNDER (Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli)
167
LAMPIRAN D ANALISIS DATA (Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli)