menggungakan pendekatan konseling reality therapy. Kata kunci: Pelayanan,
Reality therapy, Konseling. A. Pendahuluan. Pergumulan persoalan hidup yang.
PENERAPAN KONSELING REALITY THERAPY DALAM JEMAAT Jerizal Petrus Abstrak Pelayanan konseling sering disepelehkan. Padahal, pelayanan konseling harusnya dilakukan dalam berbagai ranah kehidupan. Perkembangan zaman ini melahirkan berbagai dinamika hidup yang seringkali membuat individu jatuh dalam berbagai persoalan hidup seperti masalah keluarga, pernikahan, sakit penyakit, kekerasan, dan masalah hidup sehari-hari lainnya. Karena zaman sekarang sangat menuntut kehidupan mandiri, kebanyakan orang percaya bahwa untuk memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan masalah mereka tidak perlu bantuan orang lain. Jika kita terjebak pada pandangan ini, maka kita tidak perlu mencari bantuan kepada orang lain atau memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkannya. Sikap seperti itu akan membentuk masyarakat yang memiliki sikap acuh tak acuh terhadap satu dengan lainnya, dan didalamnya setiap orang mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Peran gereja sangat penting dalam kondisi seperti ini. Dengan demikian maka pelayanan konseling harus benar-benar menjadi perhatian serius oleh gereja. Karena itu, maka setidaknya para pelayan harus memiliki pengetahuan tentang proses konseling. Salah satu pendekatan konseling yang dipandang sederhana dan dapat dilaksanakan oleh konselor partisipan adalah dengan menggungakan pendekatan konseling reality therapy. Kata kunci: Pelayanan, Reality therapy, Konseling. A. Pendahuluan Pergumulan persoalan hidup yang dihadapi oleh individu membutuhkan perhatian-kasih dari berbagai pihak termasuk gereja yang memiliki fungsi pastoral-konseling. Namun, tidak jarang seringkali ada keluh-kesah bahkan kecewa karena kurangnya perhatian gereja pada pergumulan hidup yang dihadapi oleh warga jemaat (klien). Gereja seharusnya mampu menjangkau warga jemaat yang membutuhkan pertolongan dengan berbagai cara yang kreatif dengan mengoptimalkan fungsi pendampingan pastoral-konseling. Tugas ini adalah tugas gereja. Kurangnya perhatian gereja terhadap warganya (klien) disebabkan karena banyak faktor salah satunya adalah kurangnya kemampuan para pelayan (pendeta dan majelis) dalam melaksanakan proses konseling. Oleh karena itu, perlu adanya semacam pelatihan terhadap para pelayan dalam melaksanakan konseling kepada warga gereja. Melaksanakan
konseling dan menerapkan keterampilan konseling tidak berarti harus menjadi seorang konselor yang profesional, namun dengan bekal menjadi konselor partisipan atau sukarela pun bisa menerapkan keterampilan konseling sebagaimana yang dikemukakan oleh Kathryn Geldard dan David Geldard dalam bukunya tentang Memecahkan Masalah Orang Lain Dengan Teknik Konseling. Karena itu, mereka berasumsi bahwa membantu orang lain mengatasi persoalan-persoalan sehari-hari bukanlah sebuah aktivitas yang hanya dilakukan oleh konselor profesional yang sangat piawai. Sebaliknya, aktivitas ini senantiasa dilakoni oleh kebanyakan orang ketika situasi menuntutnya. Aktivitas ini berlangsung secara alamiah, dan kita semua belajar melakukannya. B.
Pentingnya pelaksanaan konseling dalam jemaat
Sedari awal sudah jelaskan bahwa seringkali pelayanan konseling sering
tersisih dari pelayanan gereja. Tetapi jika benar-benar kita pahami dengan baik maka setidaknya pelayanan konseling sangat penting bagi kehidupan warga jemaat terutama dalam proses pertumbuhan iman jemaat. Karena itu ada beberapa hal yang dapat menjadi dasar pertimbangan sehingga pelayanan konseling menjadi penting dalam kehidupan bergereja, yaitu: 1. Menjangkau yg belum terjangkau 2. Hidup semakin kompleks 3. Hidup semakin keras 4. Kehampaan hidup 5. Kesepian dan kesunyian 6. Peredaran obat terlarang C. Memahami Istilah konselor dan klien.
konseling,
1. Makna Konseling Umumnya dipahami sebagai hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien, yang mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi masalahmasalahnya. Dengan demikian secara sederhana konseling dapat dimengerti sebagai salah satu teknik dalam pemberian bantuan langsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien. Willis (2009) mengemukakan bahwa konseling adalah suatu hubungan antara seseorang dengan orang lain, dimana seorang berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami masalah dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian diri. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa konseling adalah suatu proses diamana konselor membantu klien agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta yang berhubungan dengan pemilihan, perencanaan dan
penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan individu. Peitrofesa at.all (dalam Mappiare, 2010) menurunkan klarifikasi dari berbagai definisi konseling yang dialihbahasakan secara ringkas, sebagai berikut: 1. Konseling adalah suatu layanan profesional yang disediakan oleh konselor yang berwenang. 2. Konseling adalah suatu proses yang terjadi atas dasar hubungan konselorklien 3. Konseling adalah berurusan dengan keterampilan pembuatan keputusan dan pemecahan masalah 4. Konseling menjadikan klien mempelajari tingkah laku atau sikapsikap baru 5. Konseling adalah upaya bersama dua pihak konselor dan klien, dan konseling berlandas pada penghargaan terhadap individu 6. Konseling adalah suatu pandangan hidup, a way of life. Satu hal yang harus diperhatikan oleh konselor dalam tahapan ini adalah bahwa konselor harus menciptakan suasana komunikatif dan diperlukan untuk pertumbungan dan perkembangan klien. Berawal dari terciptanya suasana yang baik maka secara tidak lansung konselor telah memulai teknik konseling yang baik. Dari sinilah akan terlihat kualitas dan kemampuan konselor dalam melayani klien yang dilayaninya. Dengan merujuk pada pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelayanan konseling dalam jemaat adalah hubungan timbal balik antara hamba Tuhan sebagai konselor dengan konseli/jemaat. Konseling adalah pelayanan yang dilakukan gereja dengan melawat dan mencari satu per satu jemaat yang sedang bergumul dalam hidupnya.
2.
Konselor Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling. Sebagai pihak yang membantu, konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai falitator bagi klien. Selain itu, konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingin klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dihadapinya (Lubis, 2011). Oleh karena itu, dalam proses konseling, konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung. Menjadi seorang konselor tentu harus memiliki karakteristik sebagai seorang konselor yang efektif. Idealnya menjadi konselor yang efektif harus memiliki karakteristik yang congruence, unconditional positive regard, dan empathy. Tu’u (2007) menjelaskan secara umum bahwa ciri-ciri konselor yang efektif harus; (1) memiliki pengetahuan konseling; (2) pengetahuan aplikatif; (3) memiliki kepekaan; (4) memiiki keyakinan; (5) memiliki kematangan; (6) menghargai klien sebagai makhluk unik; (7) memiliki rasa tanggung jawab menolong; dan (8) tidak mengambil alih masalah klien. Untuk menjadi seorang konselor tentu harus memiliki pemahaman dan pengeahuan tentang konseling secara komprehensif. Sehubungan dengan keterampilan melaksanakan proses konseling yang semestinya harus dilaksanakan oleh orang yang berwenang bila dokontraskan dengan realitas hidup kekinian maka ada pertanyaan yang muncul, apakah hanya para konselor yang memiliki kualifikasi sebagai seorang konselor atau semua orang yang memiliki itikad baik yang dapat memakai keterampilan konseling dalam kehidupan sehari-hari? Kathry Geldard dan Davud
Geldard (dalam Musnamar, 2008) mengemukakan bahwa tidak hanya konselor saja yang dapat memakai keterampilan konseling saja, malahan siapa saja dapat memakainya. Menerapkan keterampilan konseling tidak berarti menjadi konselor. Oleh karena itu, salah satu cara yang paling baik untuk membantu orang lain adalah dengan mendengarkan dan berkomunikasi dengan mereka secara efektif. Dalam konteks kehidupan bergereja maka kita harus pahami bahwa yang disebut sebagai konselor adalah mereka yang telah dipercayakan oleh warga jemaat untuk memimpin dan mengarahkan jemaat. Pendeta adalah orang pertama yang bertanggungjawab dan dipanggil secara khusus untuk melaksanakan peran peran dan fungsinya yang melekat pada panggilannya, dan tidak hanya sebatas pelayan firman, tetapi menjalankan tugastugas pastoral. Penatua dan diaken adalah orang-orang yang dipercayakan untuk mengelola dan memimpin jemaat. Mereka adalah rekan sekerja pendeta, dan tugas ini juga ada dipundak mereka. Pkarena itu, perlu adanya pelatihan pelayanan konseling untuk penatua dan diaken. Tim konseling, perlu dibentuk jika pelayanan konseling sudah menjadi bagian pelayanan geraja. Gereja perlu memperhatikan potensi warga jemaat yang mau melibatkan diri untuk menjadi tenaga partisipan dalam tim konseling. Hal ini perlu diperhatikan karena akan sangat menolong kelancaran pelayanan konseling. jika ini sudah terbentuk maka diperlukan pengorganisasian prorgam pelayanan konseling secara terstruktur dan sistematis. Untuk menjadi seorang konselor yang efektif setidaknya memiliki kriteria sebagai berikut; Percaya pada kristus, Sang Konselor Agung; menerima Kristus secara pribadi; Kristus berkuasa dalam hidupnya; menerima otoritas Alkitab sebagai pedoman
hidup; melibatkan karya Roh Kudus; menghayati tugas sebagai panggilan. Dengan kriteria tersebut maka seyogianya konselor efektif harus memiliki sikap; kasih dan penghargaan; lemah lembut; rendah hati; sabar dan tabah; suka menolong; rela dan tulus; terbuka; pengorbanan; dan perhatian. Selain itu juga dapat dijelaskan ciriciri dari konselor efektif adalah sebagai berikut; memandang manusia sebagai makhluk yang unik; memandang manusia sebagai pribadi yang dapat bermitra; memandang manusia sebagai makhluk yang dapat berubah; Kristus ada dalam hidupnya; terampil menerapkan ilmu konseling; terampil dalam merespons; terampil mengembangkan relasi antarpribadi; pribadi yang berkualitas; waspada terhadap hal-hal yang dihindari dan dapat merugikan konseli; dan mau mengembangkan sikap positif 3.
Klien Klien adalah individu yang sedang dibimbing. Anthony Yeo (2010) menyebut klien sebagai P-I-N (Person-in-Need), “Pribadi yang mempunyai kebutuhan). Klian adalah orang yang mempunyai kebutuhan akan sesuatu; dalam hal ini ia membutuhkan pertolongan untuk menghadapi masalah-masalah hidup. Dengan kata lain klien adalah individu yang sedang mengalami masalah, atau setidaktidaknya sedang mengalami sesuatu yang ingin disampaikan kepada orang lain. D. Tujuan Konseling Kathryn Geldard dan David Geldard (2011) menjelaskan bahwa tujuan utama konseling adalah membantu klien untuk berubah. Karena itu konselor harus mempunyai pemahaman-pemahaman tentang proses-proses perubahan yang dapat dihasilkan dari konseling. Dengan tujuan
itu maka manfaat konseling dapat dikatakan sebagai fasilitator atau akselerator proses perubahan diri yang berlangsung secara wajar. Dengan memperhatikan apa yang dijelaskan di atas maka konseling tugas yang sangat penting dilakukan gereja. Konseli/jemaat yang bergumul perlu dikunjungi, dicari, dan diperhatikan agar mereka dpt ditolong. Pertolongan itu dilakukan melalui proses konseling dan percakapan itu berlangsung timbal-balik, mendalam dan terarah. Dan pada akhirnya ada perubahan terjadi karena iman dan ketaatan pada firman Tuhan. E.
Kesalahpahaman Terhadap Makna dan Tujuan Konseling
Adapun beberapa kekeliruan pemahaman tentang makna dan tujuan konseling baik dalam tataran konsep maupun praktik sebagai berikut: 1. Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat 2. Hasil konseling harus segera terlihatt 3. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien 4. Konseling hanya menangani masalah ringankonseling hanya melayanni orang sakit atau kurang/tidak normal., dst.. Dengan demikian maka tak heran jika selama ini proses konseling sering tidak bisa dilaksanakan dengan baik dalam kehidupan bergereja. Karena itu, perlu adanya perubahan pola pikir warga sehingga pelayanan konseling bisa menjadi salah satu jalan pemberitaan firman. F.
1.
Reality Therapy; Sebuah Pendekatan Konseling
Pengantar Untuk menentukan pendekatan, model, metode, serta teknik yang digunakan
dalam sebuah konseling tentu kita harus mendudukan terlebih dahulu pokok permasalahan yang akan ditangani dalam konseling tersebut. Pokok permasalah yang akan dibahas ini adalah mengenai kekerasan. Kekerasan yang menjadi pokok permasalah ini tidak dispesifikasikan pada kekerasan tertentu, melainkan kekerasan yang dilihat disini secara keseluruhan. Oleh karena itu fokus kita tidak pada apa dan bagaimana kekerasan itu, malainkan pada bagaimana kita menangani masalah yang dialami oleh klien yang berkaitan dengan kekerasan. Namun, untuk sedikit menolong kita untuk menggunakan pendekatan ini, maka akan dijelasakan beberapa hal yang berkaitan dengan kekerasan berikut ini. 1.1 Konseling Reality Therapy 1.1.1 Pengantar Ciri yang sangat khas dari pendekatan konseling ini adalah tidak terpaku pada kejadian-kejaian di masa lalu, tetapi lebih mendorong konseli untuk menghadapi realitas. Pendekatan ini lebih menekankan pada pengubahan tingkahlaku yang lebih bertanggungjawab dengan merencanakan dan melakukan tindakantindakan tersebut. Oleh karena itu, pendekatan reality therapy dipilih sebagai salah satu pendekatan pemecahan masalah kekerasan dengan tujuan menghantarkan konseli untuk bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi dan apa yang ingin dilakukan pada masa sekarang dengan tidak berfokus pada masa lalu. 1.1.2
Pandangan Tentang Manusia
Manusia memiiki keunikan tersendiri sehingga sering menjadi objek kajian yang sangat menarik. Karena itu, setiap ahli memandang secara berbeda tentang manusia. Misalnya, Prayitno (2009) mencatat beberapa filosof seperti Hsun Tsu
memandang manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya untuk mengembangkannnya diperlukan latihan dan disiplin yang keras, terutama disiplin kepada tubuhnya. Hsun Tsu berbeda dengan Carl Rogers salah seorang ahli humanistik yang memiliki perspektif eksitensial, memandang manusia sebagai makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi individu yang positif dan konstruktif. Pendek kata, manusia pada dasarnya baik. Demikian halnya dengan Glasser dalam pendekatan reality therapy memandang bahwa manusia umumnya memiliki kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi, dan kebutuhan itu akan hadir secara terus-menerus sepanjang manusia menjalani masa kehidupannya. Karena itu, ketika manusia mengalami masalah, itu disebabkan kebutuhan psikologisnya terhambat. Berdasarkan pada pandangan di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa jika kebutuhan-kebutuhan psikologis tersebut tidak dapat terpenuhi maka seringkali kekerasan menjadi salah satu jalan keluar yang dianggap baik sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan. Pendekatan reality theraphy berasumsi bahwa keterhambatan psikologis tersebut disebabkan karena adanya penyakalan terhadap realitas yang dihadapi oleh manusia yang cenderung untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Jika merujuk pada teori kebuthan manusia yang kemukakan oleh Maslow, maka pendekatan ini didasarkan pada kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain. Berdasarkan pada pada pandangan di atas, Komalasari (at.all) (2011) menjelaskan sebagai berikut: 1. Cinta (belongin/love)
Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhannya untuk meresa memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang lain. Kebutuhan ini oleh Glasser menyebut sebagai identity sociaty, yang menekankan pentingnya hubungan personal. Kebutuhan ini dapat juga dibagi menjadi tiga bentuk yaitu; social belonging, work belonging, dan family beonging. 2. Power (kekuasaan) Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan utnuk berprestasi, merasa berharga, dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya diekspresikan melalui kompetisi dengan orang-orang di sekitar kita, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat tanya atau meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan ide atau gagasan dan sebagainya. 3. Kesenangan (fun) Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa. 4. Kebebasan (freedom) Kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau atau kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya membuat dan memutuskan pilahan hidup, bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan sebagainya. Pendekatan ini memiliki pandangan bahwa manusia memiliki kemumpuan dasar dapat dikembangkan dengan baik, yaitu kemampuan untuk belajar memenuhi kebutuhannya dan menjadi orang yang dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tanggung jawab merupakan upaya manusia mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi relaita yang dialami dalam kehidupannya. Seseorang dapat berhasil memmenuhi kebutuhan dasarnya, orang tersebut mencapai identitas sukses. Identitas sukses
berarti memiliki perkembangan kepribadian yang sehat. Pembentukan identitas individu harus terlibat dan mengembangkan diri secara emosional dengan orang lain. Dengan demikian individu akan merasakan bahwa orang lain memberi perhatian kepadanya dan berpikir bahwa dirinya berarti bagi orang lain. Belajar bagaimana bertingkah laku yang bertanggungjawab merupakan hal yang sangat pentingbagi perkembangan untuk mencapai “identitas sukses”. Dari pandangan-pandangan di atas dapat kita dismpulkan bahwa pendekatan ini memandang manusia sebagai berikut: a. Setiap individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya b. Tingkah laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. c. Individu ditantang untuk menghadapi realita tanpa mempedulikan kejadiankejadian di masa lalu. d. Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini. 1.1.3
Konsep Dasar Konseling Reality Therapy
Stephen Pamlmer (2010) menjelaskan bahwa teori yang mendasari pendekatan reality therapy disebut teori pilihan, merupakan salah satu teori yang menjelaskan tidak hanya bagaimana kita berfungsi sebagai individu, secara psikologis dan fisiologis, tetapi juga bagaimana kita berfungsi sebagai kelompok dan bahkan masyarakat. Glasser (dalam Komalasari et.all. 2011) menjalaskan bahwa teori yang mendasari pendekatan ini adalah teori kontrol. Penerimaan akan realita, menurutnya harus tercermin dalam total behavior yang mengandung empat
komponen, yaitu; berbuat (doing), berpikir (thingking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon-respon fisiologis (physiology). Corey (2009) merujuk dari Glasser mengemukakan bahwa secara langsung untuk mengubah cara kita merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk mengubah yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang nanti mungkin kita bisa rasakan. Oleh karena itu, kunci untuk mengubah suatu perilaku total terletak pada pemilihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara itu, reaksi emosi dan respon fisiologis termasuk dalam proses tersebut. Stephen Palmer (2010) menekankan bahwa perilaku total, perbuatan, pikiran, perasaan, dan bahkan fisiologis, dipandang sebagai komponen yang tak terpisahkan dari perilaku yang dihasilakn atau dipilih dari dalam; semua itu berasal dari keinginan/kebutuhan yang tidak dipenuhi atau dilarang, dan bukan dari rangsangan eksternal. Maka, kebanyakan dari hal-hal yang disebutkan di atas merupakan pilihan. Ketika seorang dikatakan berhasil memenuhi kebutuhannya, orang tersebut dikatakan mencapai identitas sukses. Pencapaian tersebut memiliki keterkaitan dengan konsep yang disebut 3R, yaitu di mana dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan total behavior , yakni doing, thingking, feeliing, dan menunjukkan respon fisiologis (physiology) secara bertanggung jawab (responsibility), sesuai realita (reality), dan benar (right). Komalasari (2011) secara ringkas menjalaskan konsep teori 3R yakni; responsibility adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus
merugikan orang lain. Reality adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami ada dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi kebutuhankebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan apa adanya. Right meruppakan ukuran atau norma-norma yang diterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melalukan sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara umum. 1.1.4
Proses Konseling
Setiap masalah yang dihadapi oleh setiap individu memiiki dampak yang sangat serius. Lazimnya individu yang sedang mengalami masalah memandang masalahnya tidak rasioanal. Demikian halnya dengan masalah kekerasan, individu akan mengalami sebuah dilema priskologis dan seringkali membuat individu dalam usaha menyelesaikan masalahnya dengan cara yang tidak rasional. Oleh karena itu, sering terjadi perilaku-perilaku yang merugikan dirinya sendiri dan juga orang di sekitarnya. Pendekatan reality therapy dipilih sebagai salah satu alternatif. Pendekatan ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini (here and now). Artinya, konseli ditekankan untuk melihat perilakunya yang dapat diamati daripada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian, konseli dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam memenuhi kebutuhannya atau tidak. Jika dirasakan perilaku-perilaku yang ditampilkan konseli
merasa puas, maka konselor mengarahkan konseli untuk melihat peluang-peluang yang dapat dilakukan dengan merencanakan tindakan yang lebih bertanggung jawab. Perilaku yang bertanggung jawab merupakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Seperti pada teori lainnya, reality therapy melihat terjalinnya relasi yang hangat, saling menerima, dan mempercayai sebagai hal yang sangat penting untuk berlangsungnya konseling yang efektif. Klien harus merasa aman untuk membicarakan dunia batinnya, pikiran, perasaan, dan tindakannya, tanpa rasa takut, kecaman, atau tuduhan. Sebagai konselor yang baik harus berusaha untuk menyampaikan bahwa gaya terapinya akan sangat interaktif; bahwa ia akan mengajukan pertanyaan dan mendiskusikan masalah secara bergantian; dan bahwa ia terus berpegang pada keyakinan bahwa klien bisa membuat pilihan dengan baik dan lebih efektif sekarang agar bisa hidup lebih bahagia, lebih memuaskan dan terpenuhi segala kebutuhan. Dalam melaksanakan konseling tentu banyak metode dan teknik yang digunakan. Karena itu konselor harus memiliki keterampilan-keterampilan dasar dalam melaksanakan proses konseling. Keterampilan dasar utama yang harus diketahui oleh konselor adalah bertanya dan mendengar. Reality therapy paling sering menggunakan sistem WDEP. Sistem ini memberikan kerangka pertanyaan yang diajukan secara luwes dan tidak dimaksudkan hanya sebagai rangkaian langkah sederhana. Stephen Palmer (2010) menjelaskan bahwa cara sederhana konselor dalam membantu klien adalah dengan menggunakan sistem WEDP. Tiap huruf dari WDEP melambangkan sekelompok gagasan sebagaimana dijelaskan berikut ini:
W = Wants (Keinginan) menanyai klien terkait dengan keinginan, kebutuhan, persepsi, dan tingkat komitmennya sehubungan dengan masalah kekerasan yang dialaminya. Dalam proses konseling ada kebanyakan klien walaupun tanpa banyak pertanyaan yang disampaikan oleh konselor biasanya mereka dengan mudah membicarakan banyak hal yang tidak dinginkannya maupun hal yang diinginkannya. Meskipun demikian mereka harus dibantu untuk untuk memperjelas dan mengartikulasikan apa yang sebenarnya diinginkannya. Pada kesempatan itu, klien diberi kesempatan untuk mengekplorasi diri disetiap segi kehidupannya, di dalamnya termasuk hal yang diinginkan. Konselor bertanya pada klien mengenai hal yang diinginkan dari dirinya akan sangat membantunya memutuskan tingkat komitmen yang ingin diterapkan untuk memenuhi keinginannya. Singkatnya, diharapkan bahwa dalam proses ini konseli dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang dipersepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Konseli didorong untuk menggali dan mengenali serta mampu mendefinisikan apa yang sedang diinginkannya untuk memenuhi kebutuhannya.
D = Doing and Direction (Melakukan dan Arah) menanyai klien terkait dengan apa yang hendak dilakukan dan bagimana arahnya setelah mengalami kekerasan Lazimnya konselor menyampaikan pertanyaan seperti; ‘Apa yang Anda Lakukan?’ dan ‘Ke arah mana perilaku Anda membawa Anda?’ contoh pertanyaan seperti itu akan merangsang klien untuk mendeskripsikan apa yang telah dilakukan
dan ke arah mana perilaku-perilaku tersebut. Dengan demikian, klien akan mengungkapkan hal yang sesungguhnya terjadi, atau bahkan mendeskripsikan secara terperinci perilaku klien dan peristiwaperistiwa yang telah dialaminya sehari-hari. Dari pengungkapan itulah akan muncul kesadaran dalam diri klien untuk mengenali perilakunya sendiri. Konseli harus fokus pada perilaku sekarang tanpa harus terpaku pada hal-hal masa lampau. Dengan kesadaran yang muncul pada diri klien, seyogianya ia mampu menentukan alternatif- apa saja yang harus dilakukannya. Disinilah terjadi perubahan perilaku total, yang didalamnya tidak hanya sikap dan perasaan, melainkan yang paling utama adalah tindakan dan pikiran. E = Evaluation (Evauasi) setelah mengetahui usaha-usaha yang telah dilakukan oleh klien sehubungan dengan kekerasan yang terjadi, konselor menolong klien untuk mengevaluasi diri sendiri Evaluasi diri merupakan inti dari proses konseling reality therapy. Klien diminta untuk mengevaluasi perilakunya sendiri, seperti: ‘Apakah yang anda lakukan ini bisa membantu atau justru menyulitkan Anda dalam mendapatkan yang Anda katakan, atau yang Anda inginkan?’ selain itu, klien juga diminta untuk mengevaluasi kemampuannya sendiri untuk mencapai keinginan-keinginannya, persepsinya, tingkat komitmentnya, arah perilakunya, pikirannya, kefektifan rencana-rencananya, banyak hal lainnya. Ketika konseli mengevaluasi perilakunya, itu berarti konseli mau membuat penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya. Konseli menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa penilai terhadap diri sendiri, maka perubahan akan sulit terjadi.
Jika itu semua bisa berjalan dengan baik, selanjutnya konselor dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah yang Anda lakukan membuat Anda merasa semakin dekat dengan apa yang Anda butuhkan? Apakah yang Anda inginkan itu mudah dicapai? Seberapa besarkah komitmen Anda dalam mengerjakan rencana Anda? Apakah rencana yang Anda buat memuaskan hati Anda? Jika keadaanya di luar Anda tidak berubah seperti yang Anda inginkan, apakah yang akan Anda lakuna? Bermanfaat ataukan sangat menyakitkan jika Anda berulang kali menyebut diri Anda “tidak berguna”? Dapatkah Anda benar-benar mendapatkan yang Anda inginkan saat Anda menginginkannya? Apa lagi yang dapat Anda Lakukan? Pertanyaa-pertanyaan di atas merupakan contoh pertanyaan untuk mengevaluasi diri dalam proses konseling reality therapy. Pertanyaan dibuat berdasarkan kondisi dan permasalahan yang dihadai oleh klien. Karena itu, konselor diharapkan harus tanggap untuk memahami proses evalusi diri yang dilakukan oleh klien. P = Planning (Rencana) membantu klien membuat rencana tindakan yang rasional dan nirkekarasan Disaat proses konseling tiba pada planning, konselor membantu klien membuat rencana tindakan sesuai keinginan dan komitmen yang realistis dan telah terevaluasi oleh klien itu sendiri. Fokusnya lebih pada tindakan yang berkaitan dengan perilaku total (tindakan, pikiran, perasaan, dan fisiologi) yang bisa kita kontrol. Moto Alcoholic Anonymous, ‘Anda bisa bertindak dengan cara berpikir baru dengan lebih
mudah dibandingkan dengan memikirkan jalan untuk bertindak dengan cara baru. Konseli ketika menetapkan perubahan yang dikehendaki dan komitmen terhadap apa yang telah direncanakan harus sesuai dengan kemampuan konseli, bersifat konkrit atau jelas pada bagian mana perilakunya yang akan diubah, realistis dan melibatkan perbuatan positif. Kriteria rencana yang baik dan efektif adalah; (a) dirumuskan oleh klien sendiri, (b) dapat dicapai atau realistis, (c) ditindaklanjuti sesegera mungkin, (d) berada sepenuhnya dalam kontrol klien sendiridan tidak bergantung pada orang lain. 1.1.5
Tahap-Tahap Konseling
Thompson (2004) menjelaskan delapan tahap konseling reality therapy sebagai berikut: 1) Tahap pertama: Konselor menunjukkan keterlibatan dengan klien (Be Friend) 2) Tahap kedua : Fokus pada perilaku sekarang 3) Tahap ketiga : Mengekplorasi total behavior klien 4) Tahap keempat: Klien menilai diri sendiri atau melalukan evaluasi 5) Tahap kelima: Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab 6) Tahap keenam: membuat komitmen 7) Tahap ketujuh: Tidak menerima permintaan maaf atau alasan konseli 8) Tahap kedelapan: Tindak lanjut Setiap tahapan ini harus dilalui dengan baik dan tuntas, jika setiap tahap belum tuntas maka tahap berikutnya akan terhambat. Keberhasilan setiap tahapan dalam proses konseling reality therapy sangat tergantung pada sebelumnya. Karena itu, setiap tahap konseling membutuhkan keseriusan konselor untuk membantu klien
mengenali, memahami, mengevaluasi dan merencanakan tindakan selanjutnya. 1.1.6 Tujuan Konseling Reality Therapy Konseling ini bertujuan membantu individu mencapai identitas berhasil, yaitu individu yang mengetahui langkah-langkah apa yang akan ia lakukan di masa yang akan datang dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama konselor, konseli dihadapkan kembali pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realita (Komalasari, 2011). Corey (2009) menjelaskan bahwa tujuan umum reality therapy adalah membantu individu untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan individu untuk mengganti dukungan lingkungan. Kematangan ini berarti bahwa individu mampu bertanggung jawab atas siapa meraka dan ingin menjadi apa mereka serta mengembangkan rencanarencana yang bertanggung jawab atas realitas guna mencapai tujuan-tujuan mereka. Selain itu, konselor juga harus membantu klien untuk menemukan dan merumuskan alternatif-aternatif baru dalam mencapai tujuan-tujuan, tetapi haris diperhtikan bahwa klien sendirilah yang menetapkan tujuan-tujuan tersebut. Sehubungan dengan masalah kekerasan maka tujuan konseling reality therapy lebih berfokus pada bagaimana merasionalkan perilaku here and now. Klien diharapkan dapat merestrukturisasi persepsi, pikiran dan perasaan serta tindakannya. Dengan begitu dapat menolong klien untuk memahami dan mampu menghadapi masalahnya disaat ini dan kemungkinan-kemungkinan masalah selanjutnya. Dengan kata lain, konseling ini bertujuan untuk membantu individu menjadi identitas berhasil, yaitu individu mampu mengetahui langkah-langkah apa yang hendak dilakukan selanjutnya.
Akhirnya, klien bisa melihat kenyataan hidup dan dapat memahami serta mampu menghadapi realitia. 1.1.7
Peran dan Fungsi Konselor dalam Konseling Reality Therapy
Fungsi konselor dalam pendekatan reality therapy adalah melibatkan diri secara penuh dengan klien serta bersikap direktif dan didaktif, yaitu mengambil peran seperti guru yang mengarahkan dan dapat saja mengkonfrontasi, sehingga klien mampu mengahadapi kekerasan yang dialaminya. Pada saat yang sama konselor juga konselor juga berperan sebagai fasilitator yang membantu klien agar bisa melatih tingkahlakunya sendiri secara realistis, rasional, dan mencerminkan total behavior. G. Penutup Salah satu pendekatan yang dipandang dapat dilaksanakan dengan mudah oleh konselor pasrtisipan dalam jemaat adalah pendekatan reality therapy. Pendekatan ini juga sangat menolong klien/jemaat untuk menyadari dan bertanggungjawab dengan perilaku hidupnya yang telah terjadi. Namun, sebelum sampai pada penerapan pendekatan dimaksud, harus disadari bahwa pelayanan konseling dalam kehidupan bergereja kita masih membutuhkan tenaga yang profesional dalam melaksanakan proses konseling. karena itu, gereja perlu mengoptimalkan para pelayan (pendeta, penatua dan diaken) untuk melaksanakan tugas dan perannya dalam jemaat. Optimalisasi peran dan fungsi dimaksud tentu dapat ditempuh dengan berbagai cara salah satunya dengan melaksanakan pelatihan keterampilan konseling.
Daftar Pustaka Corey. G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, California: Brooks/Cole Publishing Company. Eighth Edition. Geldard, K. & David Geldard. 2011. Keterampilan Praktik Konseling Pendekatan Itegratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamadi, A. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. Komalasari, G. at.all. 2011. Teori dan Praktek Konseling. Jakarta: Indeks. Lubis, N.L. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mappiare, A. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Musnamar, T. 2008. Membantu Memmecahkan Masalah Orang Lain Dengan Teknik Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Palmer, S. at.al.2011. Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo Thompson, at. al. 2004. Counseling Children. The USA: Brooks/Cole. Tu’u, T. 2007. Dasar-Dasar Konseling Pastoral: Panduan Bagi Pelayanan Konseling Gereja. Yogyakarta: Andi Willis, S. 2009. Konseling Individu Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta Yeo, A. 2010. Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan-Masalah. Jakarta: Libri.