PENGARUH EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN TERHADAP MOTIVASI ...

62 downloads 1412 Views 538KB Size Report
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu: pemimpin ..... efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Pemimpin dan Kepemimpinan Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu:

pemimpin sebagai subjek, dan yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun memengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan kepemimpinannya (Sofa, 2009). Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak yang mampu untuk memimpin, membimbing dan sekaligus mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Orang yang mampu untuk memimpin, membimbing dan sekaligus dapat memecahkan masalah disebut pemimpin (Siagian, 1998). Seorang pemimpin itu adalah berfungsi untuk memastikan seluruh tugas dan kewajiban dilaksanakan di dalam suatu organisasi. Seseorang yang secara resmi diangkat menjadi kepala suatu kelompok bisa saja ia berfungsi atau mungkin tidak berfungsi sebagai pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang unik dan tidak diwariskan secara otomatis tetapi seorang pemimpin haruslah memiliki karekteristik tertentu yang timbul pada situasi -situasi yang berbeda (Irawati, 2004)

Universitas Sumatera Utara

Menurut John. R. Schermer Horn, Jr1) dalam Irawati (2004) Leading and being a manager are not one and the samething. To be a manager means to act effectively in the comprehensive sense of planning,organizing, leading and controlling. Leadership success is a necessary but not suffcient condition for managerial success. A good manager is always a good leader, but a good leader is not necesserily a good manager. Dalam kehidupan berorganisasi, pemimpin memegang peranan yang sangat penting bahkan sangat menentukan dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin dalam melakukan aktivitasnya memerlukan sekelompok orang lain yang disebut bawahan. Merekalah yang dikendalikan, dipengaruhi dan digerakkan agar mau bekerja secara efektif dan efesien sesuai dengan keinginan pemimpin (As’ad, 1986). Selain bawahan, pemimpin juga membutuhkan sarana dan pra sarana dalam rangka memperlancar tugasnya sebagai pemimpin. Pemimpin juga dituntut untuk membina hubungan baik dan menyenangkan dengan bawahan dalam usaha mencapai tujuan organisasi (Dharma, 1984). Seorang pemimpin yang berhasil adalah seorang pemimpin yang memiliki kemampuan pribadi tertentu, maupun membaca keadaan bawahannya dan lingkungannya. Faktor yang harus diketahui dari bawahannya adalah kematangan mereka, sebab ada kaitannya dengan gaya kepemimpinan. Hal ini dimaksudkan agar pemimpin dapat dengan tepat menerapkan pengaruhnya pada bawahan sehingga pemimpin memperoleh ketaatan yang memadai (Handoko, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Keberadaan pemimpin yang efektif dan dinamis dalam struktur organisasi sangat strategis. Karena dengan adanya komitmen yang tinggi dari seorang pemimpin untuk meningkatkan kualitas para bawahannya. Pemimpin yang efektif dan dinamis akan mampu mengendalikan, mengarahkan dan memotivasi bawahannya kearah tercapainya kinerja karyawan, seperti yang diharapkan oleh pemimpin dalam mencapai sesuatu (Trimo, 1984). Seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996). Peran pertama meliputi meliputi peran figurehead (sebagai simbol dari organisasi),

leader

(berinteraksi

dengan

bawahan,

memotivasi

dan

mengembangkannya), dan liaison (menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi). Sedangkan peran kedua terdiri dari tiga peran juga yakni monitor (memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan,

atau

berpartisipasi

dalam

suatu

kepanitiaan),

disseminator

(menyampaikan informasi, nilai-nilai baru dan fakta kepada bawahan) serta spokesman (juru bicara atau memberikan informasi kepada orang-orang diluar organisasinya). Adapun peran ketiga terdiri dari empat peran yaitu entrepreneur (mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi), disturbance handler (mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menurun), resources allocator (mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadwalan, memprogram tugas-tugas bawahan,

Universitas Sumatera Utara

dan mengesahkan setiap keputusan), serta negotiator (melakukan perundingan dan tawar menawar) (Gordon, 1996) Dalam perspektif yang lebih sederhana, Morgan (1996) mengemukakan tiga macam peran pemimpin yang disebutnya dengan “3A”, yakni alighting (menyalakan semangat pekerja dengan tujuan individunya), aligning (menggabungkan tujuan individu dengan tujuan organisasi sehingga setiap orang menuju kearah yang sama), serta allowing (memberikan keleluasaan kepada pekerja untuk menantang dan mengubah cara mereka bekerja). Fungsi kepemimpinan dalam suatu organisasi, tidak dapat dibantah merupakan suatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Sebagaimana diungkapkan Wahjosumidjo (1992), kepemimpinan mempunyai peranan sentral dalam kehidupan organisasi, dimana terjadi interaksi kerjasama antar dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan. Bahkan beberapa pakar mengasosiasikan kegagalan ataupun keberhasilan suatu organisasi dengan pemimpinnya. Menurut As’ad (1986), kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi. Kepemimpinan atau manajemen berkewajiban untuk

menggerakkan dan

mengarahkan semua personil atau kelompok agar mewujudkan tujuan organisasi. Kepemimpinan tampak dalam proses dimana seorang pemimpin mengarahkan,

Universitas Sumatera Utara

membimbing, memengaruhi, dan atau mengawasi pikiran-pikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain (Trimo, 1984). Kepemimpinan dinyatakan sebagai proses, artinya kepemimpinan itu berlangsung dalam kurun waktu cukup lama yang dimulai dari membuat perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pembimbingan (directing), pengawasan (controlling) dan kembali lagi pada pembuatan perencanaan untuk kegiatan selanjutnya (Drake, 1993). Secara umum dapat dikatakan, bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan memengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini para anggota kelompok, sedemikian rupa sehingga perilaku tesebut diwujudkan dalam pola tindak orang yang bersangkutan yang memungkinkannya memberikan yang terbaik pada dirinya dalam penyelesaian tugas bersama. Definisi tersebut menjelaskan bahwa kepemimpinan seorang bukan hanya bisa tumbuh dan berkembang lantaran adanya bakat dari seseorang yang dibawa sejak lahir tapi bisa dididik dan dilatih. Beberapa kalimat pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkan, secara jelas dan nyata (Hicks, 1996). Dalam pengertian yang paling mendasar, Drake (1993) mengumpamakan bahwa kepemimpinan positif berada dibarisan paling depan; menggunakan badan, gerakan maju, dan keterampilan komunikasi untuk memberikan arahan kepada yang lain mengenai jalan mana yang harus ditempuh. Selanjutnya Hicks (1996), dijelaskan pimpinan perusahaan yang berhasil paling sedikit memiliki delapan sifat yaitu ; (1) kemampuan untuk memusatkan perhatian, (2) penekanan pada nilai yang sederhana,

Universitas Sumatera Utara

(3) selalu bergaul dengan orang, (4) menghindari profesionalisme tiruan, (5) mengelola perubahan, (6) memilih orang, (7) hindari “mengerjakan semua sendiri’, dan (8) menghadapi kegagalan. Berdasarkan uraian yang dikemukakan diatas, dapat disintesiskan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki seseorang (pemimpin) untuk memengaruhi orang lain (bawahan) dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam hal ini kepemimpinan

mengandung unsur-unsur; (1) orang yang

memengaruhi, (2) orang yang dipengaruhi, (3) adanya tindakan untuk memengaruhi, (4) adanya maksud dan tujuan (Meyer, 1989). Indikator dari kepemimpinan yaitu : (1) integritas, (2) percaya diri, (3) pendorong, (4) kemampuan memotivasi karyawan, (5) intelegensi, (6) memahami bisnis perusahaan dengan baik, dan (7) kemampuan mengendalikan emosi (emotional intelligence), untuk memengaruhi karyawan yang menjadi bawahannya dalam mencapai tujuan perusahaan (Jewell dan Stegall, 1998).

2.2.

Teori Kepemimpinan

1. Kepemimpinan Menurut Teori Sifat (Trait Theory) Menurut teori ini bahwa untuk mengetahui tentang kepemimpinan harus dimulai dengan memusatkan perhatiannya pada pemimpin itu sendiri. Penekanannya ialah tentang sifat-sifat yang membuat seseorang sebagai pemimpin. Seperti halnya teori “Great Man” yang menyatakan bahwa seorang yang dilahirkan sebagai pemimpin ia akan menjadi pemimpin apakah ia mempunyai sifat atau tidak

Universitas Sumatera Utara

mempunyai sifat sebagai pemimpin. Teori Great Man dapat memberikan arti lebih realistis terhadap pendekatan sifat dari pemimpin, setelah mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yaitu ditegaskan bahwa dalam kenyataannya sifatsifat kepemimpinan itu tidak seluruhnya dilahirkan tetapi dapat juga dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dapat disimpulkan bahwa diantara sifat-sifat yang cenderung mempengaruhi

timbulnya

kepemimpinan

antara

lain

kecerdasan,

inisiatif,

keterbukaan, antusiasme, kejujuran, simpati, dan kepercayaan pada diri sendiri. Namun tidak semua sifat-sifat tersebut bisa diterapkan pada semua bidang, terutama pada organisasi. Dikatakan bahwa keberhasilan seorang manajer tidak semata-mata dipengaruhi oleh sifat-sifat tadi, artinya tidak ada hubungan sebab akibat dari sifat kepemimpinan dengan keberhasilan seorang manajer. Keith Davis yang disarikan dalam Mifta Thoha (1996:33) untuk merumuskan empat sifat umum yang mempengaruhi terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu : a. Kecerdasan : hasil penelitian pada umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipimpin, namun demikian yang sangat menarik adalah pemimpin tidak bisa melampaui terlalu banyak dari kecerdasan pengikutnya. b. Kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial : pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil serta mempunyai perhatian yang

Universitas Sumatera Utara

luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial serta mempunyai keinginan untuk menghargai dan dihargai. c. Motivasi diri dan dorongan berprestasi : para pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi dengan bekerja berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik dibandingkan yang ekstrinsik. d. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan : pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya atau dengan kata lain pemimpin itu berorientasi pada karyawan bukan pada hasil produksi. Studi-studi

mengenai

sifat-sifat/ciri-ciri

mula-mula

mencoba

untuk

mengidentifikasi karakteristik-karakteristik fisik, ciri kepribadian, dan kemampuan orang yang dipercaya sebagai pemimpin alami. Ratusan studi tentang sifat/ciri telah dilakukan, namun sifat-sifat/ciri-ciri tersebut tidak memiliki hubungan yang kuat dan konsisten dengan keberhasilan kepemimpinan seseorang. Penelitian mengenai sifat/ciri tidak memperhatikan pertanyaan tentang bagaimana sifat/ciri itu berinteraksi sebagai suatu integrator dari kepribadian dan perilaku atau bagaimana situasi menentukan relevansi dari berbagai sifat/ciri dan kemampuan bagi keberhasilan seorang pemimpin. Berbagai pendapat tentang sifat-sifat/ciri-ciri ideal bagi seorang pemimpin telah dibahas dalam kegiatan belajar ini termasuk tinjauan terhadap beberapa sifat/ciri yang ideal tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Berikut adalah kompetensi pemimpin yang efektif dalam teori kepemimpinan menurut sifat : Tabel 2.1. Sifat Kepemimpinan dan Deskripsinya Sifat Kepemimpinan Deskripsi Dorongan dalam diri Motivasi dalam diri pemimpin dalam mencapai tujuan Penggerak Motivasi Pimpinan Kebutuhan akan kekuasaan sosialisasi/bergaul pemimpin dalam menyempurnakan/menguatkan tim atau tujuan organisasi Integritas Keadaan sifat yang sebenarnya dari seorang pemimpin dan cenderung menterjemahkan kata-kata kedalam perbuatan/aktivitas Kepercayaan Diri Keyakinan pemimpin dengan ketrampilan kepemimpinannya dan kemampuan dalam mencapai tujuan Kecerdasan Kemampuan kognitif pemimpin yang diatas rata-rata dalam memproses sejumlah informasi yang besar Pengetahuan tentang Pemahaman pemimpin terhadap lingkungan perusahaan dalam bisnis membuat keputusan berdasan intuisi Kecerdasan emosi Kemampuan pemimpin untuk memantau dirinya sendiri dan perasaan hati lainnya, membeda-bedakan diantara mereka (karyawan), dan menggunakan informasi sebagai panduan/pedoman pikiran (ide) dan tindakannya.

Sumber : Terjemahan dari Organizational Leadership Theory

Dorongan dalam diri/Penggerak, para pemimpin harus mempunyai motivasi yang tinggi terhadap prestasi. Sifat penggerak ini menggambarkan motivasi dalam diri yang pemimpin miliki dalam mencapai tujuan mereka dan mendorong yang lainnya bergerak ke arah mereka (tujuan). Motivasi pimpinan, para pemimpin harus mempunyai kekuatan kebutuhan akan kekuasaan karena mereka ingin memengaruhi yang lain. Bagaimanapun, mereka cenderung mempunyai “kekuasaan bergaul” karena motivasi mereka dibatasi oleh rasa mementingkan kepentingan orang lain yang kuat dan tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, pemimpin yang efektif mencoba kekuasaan tambahan sehingga

Universitas Sumatera Utara

mereka dapat memengaruhi yang lain dalam menyempurnakan tujuan yang menguntungkan tim atau organisasi. Integritas, kompetensi ini berarti kondisi yang sebenarnya dari pemimpin dan kecenderungan menerjemahkan kata-kata kedalam perbuatan. Integritas merupakan karakteristik kepemimpinan yang paling penting. Karyawan ingin pemimpin yang jujur yang dapat mereka percayai. Kepercayaan diri, para pemimpin percaya ketrampilan kepemimpinannya dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Mereka juga menggunakan pengaruh managemen taktik untuk meyakinkan pengikut terhadap kepercayaan mereka. Inteligen, para pemimpin memiliki kemampuan kognitif/teori diatas rata-rata, untuk memproses informasi dalam jumlah besar. Pemimpin tidak butuh pandai, lebih baik mereka mempunyai kemampuan superior untuk menganalisis skenario alternatif dan mengidentifikasi peluang yang potensial. Pengetahuan/pemahaman

tentang

bisnis,

para

pemimpin

harus

tahu

lingkungan bisnis yang mereka operasikan. Pengetahuan ini membantu intuisi mereka, memungkinkan mereka untuk mengenali peluang, dan mengerti kapasitas organisasi mereka untuk menangkap peluang. Kecerdasan emosi, kecerdasan emosi dibutuhkan untuk pengawasan diri pribadi karena seorang pemimpin harus sensitif terhadap situasi dan siap beradaptasi terhadap perilaku yang sewajarnya.

Universitas Sumatera Utara

2.

Kepemimpinan Menurut Teori Perilaku (Behavioral Theory) Selama tiga dekade, dimulai pada permulaan tahun 1950-an, penelitian

mengenai perilaku pemimpin telah didominasi oleh suatu fokus pada sejumlah kecil aspek dari perilaku. Kebanyakan studi mengenai perilaku kepemimpinan selama periode tersebut menggunakan kuesioner untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada hubungan. Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat bagaimana perilaku tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen laboratorium atau lapangan untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin memengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, satu-satunya penemuan yang konsisten dan agak kuat dari teori perilaku ini adalah bahwa para pemimpin yang penuh perhatian mempunyai lebih banyak bawahan yang puas. Perilaku pemimpin pada dasarnya mengarah pada dua kategori yaitu consideration dan initiating structure. Hasil penelitian dari Michigan University menunjukkan bahwa perilaku pemimpin memiliki kecenderungan berorientasi kepada bawahan dan berorientasi pada produksi/hasil. Sementara itu, model leadership continuum dan Likert’s Management System menunjukkan bagaimana perilaku pemimpin terhadap bawahan dalam pembuatan keputusan. Menurut teori ini, perilaku pemimpin pada dasarnya terdiri dari perilaku yang pusat perhatiannya kepada manusia dan perilaku yang pusat perhatiannya pada produksi.

Universitas Sumatera Utara

3.

Teori Kontingensi (Contingensy Theory) Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau

ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori PathGoal tentang kepemimpinan meneliti bagaimana empat aspek perilaku pemimpin memengaruhi kepuasan serta motivasi pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan memengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut. Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. 2.3.

Faktor yang Memengaruhi Kepemimpinan Pendekatan ciri dan perilaku menghasilkan riset yang menunjukkan bahwa

kepemimpinan yang baik tampaknya tergantung kepada beberapa variabel seperti kultur organisasi, sifat dari tugas, aktivitas kerja serta nilai dan pengalaman

Universitas Sumatera Utara

manajerial seseorang. Tak ada satu ciri pun yang belaku sama untuk semua pemimpin yang efektif. Tak satupun gaya yang paling efektif untuk semua situasi. Faktor-faktor yang memengaruhi baik tidaknya pemimpin mencakup kepribadian, pengalaman masa lampau dan harapan dari pemimpin tersebut, harapan dan perilaku atasan, karakteristik, harapan dan perilaku bawahan, persyaratan tugas, kultur, kebijaksanaan organisasi dan harapan serta perilaku rekan. Pada gilirannya faktor-faktor ini juga memengaruhi pemimpin. Proses pengaruh memengaruhi hingga memengaruhi efektifitas kelompok secara keseluruhan. a.

Kepribadian, pengalaman masa lampau dan harapan pemimpin Nilai, latar belakang dan pengalaman manajer memengaruhi pilihan gaya

kepemimpinan seorang manajer. Kenyataan bahwa kepribadian atau pengalaman masa lampau seorang manajer membantu membentuk gaya kepemimpinannya tidaklah berarti bahwa gaya tersebut tidak adapat di ubah. Ada sejumlah faktor yang menentukan baiknya seorang pemimpin, diantaranya : (1) harapan dan perilaku atasan, (2) persyaratan tugas, (3) kepribadian, pengalaman masa lau dan harapan, (4) kultur dan kebijakan organisasi, (5) perilaku harapan rekan kerja, dan (6) karakteristik harapan dan perilaku bawahan. Berikut akan digambarkan faktor-faktor kepribadian dan situasi yang memengaruhinya :

Universitas Sumatera Utara

Harapan dan perilaku Atasan

Persyaratan Tugas

Kepribadian Pengalama Masa Lalu dan Harapan

Kepemimpin yang efektif

Kultur dan Kebijaksanaan Organisasi

Perilaku Harapan Rekan Karakteristik harapan dan Perilaku bawahan

Gambar 2.1. Faktor-faktor kepribadian dan situasi yang Kepemimpinan yang efektif (Sumber : Stoner 2001)

b.

memengaruhi

Harapan dan perilaku atasan Gaya kepemimpinan yang disetujui atasan seorang manajer sangat penting

dalam penentuan orientasi yang akan dipilih seorang manajer. Karena kekuasaannya untuk mengeluarkan imbalan seperti bonus dan promosi, jelas atasan akan

Universitas Sumatera Utara

memengaruhi perilaku manajer tingkat yang lebih rendah. Cenderung manajer dengan tingkat yang lebih rendah menjadikan atasannya sebagai model. c.

Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan Bawahan

memainkan

peranan

penting

dalam

memengaruhi

gaya

kepemimpinan manajer. Karakteristik bawahan memengaruhi gaya kepemimpinan manajer dengan beberapa cara. Pertama, ketrampilan dan pelatihan bawahan memengaruhi pilihan gaya manajer. Karyawan yang terampil biasanya kurang memerlukan pendekatan yang bersifat perintah. Kedua, sikap bawahan juga akan menjadi sebuah faktor yang berpengaruh. Tipe karyawan tertentu mungkin lebih menyukai pemimpin yang otoriter sedangkan tipe karyawan yang lain mungkin lebih suka diberi tanggung jawab penuh atas pekerjaannya sendiri. Harapan bawahan adalah faktor lain yang menentukan apakah suatu gaya tertentu akan cocok. Bawahan yang dimasa lampau pernah mempunyai seorang manajer yang berorientasi pada karyawan mengharapkan manajer baru yang mempunyai gaya yang sama dan mungkin akan memberikan reaksi negatif terhadap pemimpin yang otoriter.demikian juga karyawan yang sangat terampil dan termotivasi mungkin mengharapkan agar manajer tidak terlalu ikut campur. Sebaliknya, karyawan yang dihadapkan dengan tugas baru yang menantang mungkin mengharapkan instruksi manajer dan mungkin kecewa jika ternyata hal itu tidak kunjung tiba.

Universitas Sumatera Utara

d.

Persyaratan tugas Sifat tanggung jawab pekerjaan bawahan juga memengaruhi tipe gaya

kepemimpinan yang akan digunakan seorang manajer. Tergantung kepada sifat pekerjaan apakah yang sifatnya instruksi ataupun sifat pekerjaan yang butuh kerjasama dan kerja tim. e.

Kultur dan kebijakan organisasi Kultur sebuah organisasi membentuk perilaku pemimpin dan harapan

bawahan. Kebijakan organisasi yang sudah ditentukan juga memengaruhi gaya kepemimpinan seseorang. Sebagai contoh, didalam organisasi dimana iklim dan kebijaksanaan mendorong tanggung jawab yang ketat untuk pengeluaran dan hasil, manajer biasanya menyelia dan mengendalikan bawahan secara ketat. f.

Harapan dan perilaku rekan Rekan kerja manajer adalah kelompok referensi yang penting. Manajer

membina persahabatan dengan rekan-rekannya didalam organisasi dan pendapat dari rekan-rekan ini memiliki arti bagi manajer yang bersangkutan. Disamping itu sikap seorang rekan manajer sering dapat memengaruhi efektivitas tindakan manajer (Sopiah, 2008). Ada dua hal yang menjadi prinsip dasar kepemimpinan yang efektif : 1.

Rasa Percaya pada pemimpin merupakan indikator bahwa pengikut merasa puas dengan kepemimpinan pada organisasi tersebut. Dalam konteks yang lebih umum, rasa saling percaya harus ada antara pemimpin dan yang dipimpin. Bila

Universitas Sumatera Utara

pengikut tidak mempercayai pemimpin, mereka tidak akan spenuhnya mengikuti kebijaksanaan yang telah diambil. Sebaliknya bila pemimpin tidak mempercayai pengikutnya, ia akan cenderung membuat keputusan-keputusan yang tidak rasional. 2.

Komunikasi adalah kemampuan mutlak yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin yang baik. Ia perlu berkomunikasi dengan pengikutnya untuk membantu mereka memahami visi yang ingin dicapai, berbagi informasi mengenai pencapaian dan bagimana mereka dapat berkontribusi untuk mencapai hasil yang lebih baik. Dalam kepemimpinan, salah satu bagian terpenting adalah mengambil

keputusan yang tepat. Terdapat tiga model pengambilan keputusan yaitu : 1.

Direktif. Pengambilan keputusan dilakukan pimpinan berdasarkan sangat sedikit (bahkan tidak sama sekali) ,masukan dari orang lain. Kelebihan dari model ini, proses pengambilan keputusan dapat dilakukan relatif cepat. Model ini sesuai bila pemimpin adalah orang yang benar-benar telah berpengalaman dan pernah menghadapi situasi serupa. Di sisi lain, patut dipertimbangkan bahwa kondisi nyata berubah sangat cepat. Solusi yang persis sama belum tentu sesuai untuk keadaaan yang berbeda.

2.

Partisipatif. Semua pengikut memberikan masukan dalam diskusi dan proses pembuatan keputusan. Model ini mengakomodasi sumbangan pikiran dari semua yang terlibat dalam pekerjaan besar tertentu. Akan tetapi, untuk menggunakan cara ini dibutuhkan kepemimpinan yang sangat kuat karena ada kemungkinan

Universitas Sumatera Utara

berbagai pihak akan bersilang pendapat sehingga proses pengambilan keputusan berlarut-larut dan tidak efektif. 3.

Konsultif. Merupakan kombinasi dari dua model dua model sebelumnya di mana pemimpin hanya meminta masukan mengenai hal-hal yang diduskusikan. Keputusan yang bersifat strategis (berpengaruh sangat besar dan menyangkut pencapaian visi) dilakukan oleh pemimpin. Model ini sesuai bila ingin mengefektifkan waktu pengambilan keputusan. Tidak semua pemimpin dapat mencapai tujuan organisasi. Sebagai pemimpin

malah membawa kemunduran untuk organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin struktural dan pemimpinan relasional yang efektif memiliki sejumlah karakteristik.

2.4.

Motivasi Kerja

2.4.1. Pengertian Motivasi Kerja Istilah motivasi sendiri, secara taksonomi berasal dari kata latin “movere” yang artinya bergerak. Kebutuhan dan atau keinginan seorang pekerja terhadap sesuatu hal tertentu dan akan diusahakan untuk bisa dicapainya, dalam kajian ilmu administrasi sering disebut dengan istilah motivasi. Motivasi adalah proses psikologis yang merupakan salah satu unsur pokok dalam perilaku seseorang (Widodo, 1998). Motivasi adalah proses pengembangan dan pengarahan perilaku atau kelompok, agar individu atau kelompok itu menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan, sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai organisasi (Ensiklopedi Manajemen, Ekonomi dan Bisnis, 1999). Sedangkan Siagian (1986)

Universitas Sumatera Utara

mendefinisikan motivasi sebagai daya pendorong yang mengakibatkan seorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan, dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. 2.4.2.

Dimensi Motivasi Beberapa hal yang biasanya terkandung dalam definisi motivasi antara lain

adalah keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dorongan dan insentif. Atau seperti telah disinggung pada bab pendahuluan, motivasi mengandung tiga komponen penting yang saling berkaitan erat, yaitu kebutuhan, dorongan, dan tujuan (Thoha, 1996). Kebutuhan timbul dalam diri individu apabila ia merasa adanya kekurangan dalam dirinya, yaitu dalam pengertian homeostatic adanya ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa yang menurut persepsi yang bersangkutan seyogyanya dimilikinya, baik dalam arti fisiologis maupun psikologis (Wahjosumidjo, 1992). Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, dalam diri individu akan timbul dorongan berupa usaha pemenuhan kekurangan secara terarah. Karena itu, dorongan ini biasanya berorientasi pada tindakan tertentu yang secara sadar dilakukan oleh seseorang dan hal ini merupakan inti dari motivasi (Wahjosumidjo, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Adapun komponen ketiga dari motivasi yaitu tujuan merupakan sesuatu yang menghilangkan kebutuhan dan mengurangi dorongan. Pencapaian tujuan berarti mengembangkan keseimbangan dalam diri seseorang, baik yang bersifat psikologis maupun fisiologis (Wahjosumidjo, 1992).

2.4.3. Teori-Teori Motivasi Pemahaman terhadap motivasi individu berkaitan erat pula dengan pemahaman tentang motif, yaitu kebutuhan, keinginan, tekanan, dorongan dan desakan hati yang membangkitkan dan mempertahankan gairah individu untuk mengerjakan sesuatu (Widodo,1998). Teori motivasi yang menekankan pendekatan pada motif, pertama kali diketengahkan oleh Woodworth yang mengembangkan motif sebagai the reservoir of energy that impels an organism to behave in certain way. Sedangkan Hull menyatakan bahwa motif merupakan an energizing influence with determined the intencity of behavior, and with teoritically increased along with the level of deprivation (dalam Steer and Porter, 1991). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa motif itulah yang menimbulkan adanya motivasi individu untuk melakukan pekerjaannya. Motif itu sendiri dapat berasal dari luar individu, misalnya motif berupa tekanan dari atasan, atau dapat pula berasal dari dalam individu, misalnya terdorong keinginan atau kebutuhannya. Salah satu variabel yang dapat meningkatkan motif individu adalah adanya insentif (Hull, dalam Steers and Porter, 1991). Menurut Wahjosumidjo (1992),

Universitas Sumatera Utara

insentif adalah alat-alat yang digunakan dalam mendorong orang melakukan sesuatu. Insentif yang dapat menyebabkan orang mau bekerja sebaik mungkin itu dapat berupa uang (finansial) atau bukan uang (non finansial). Insentif finansial antara lain dapat berbentuk upah, gaji, jaminan sosial seperti asuransi, pensiun, uang cuti, hadiah, bonus dan sebagainya. Insentif jenis ini dianggap membantu menarik karyawan yang lebih berkualitas, mengurangi turn over, dan meningkatkan semangat kerja. Sedangkan insentif non-finansial dikenal juga sebagai insentif pribadi, karena insentif ini memberi peluang untuk mengembangkan inisiatif pribadi serta kesempatan berprestasi. Banyak penelitian telah membuktikan adanya dampak positif insentif non-finansial terhadap hasil karya. Kesempatan untuk maju, tantangan dalam pekerjaan, tanggungjawab, supervisi yang efektif, kondisi kerja yang baik,

serta

acara

rekreasi

adalah

beberapa

contoh

insentif

non-finansial

(Wahjosumidjo, 1992). Teori-teori motivasi yang biasanya dikenal adalah teori kebutuhan, teori harapan dan teori keadilan. Yang tercakup dalam teori kebutuhan ini adalah : (1) teori hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) Maslow, (2) teori ERG Alderfer, (3) teori kebutuhan untuk maju (need for achievement) McClelland, dan (4) teori dua faktor Herzberg yaitu : 1. Motif Fisiologi Motif fisiologi ini meliputi bebrapa kebutuhan yang dapat dikelompokkan menurut kebutuhan fisiologi (Maslow), keberadaan (Alderfer), kesehatan (Herzberg),

Universitas Sumatera Utara

dan kekuasaan (Mc Clelland). Penjabarannya perlu diarahkan pada pemenuhan dan pemuasan kebutuhan dasar secara materi, gaji dan kondisi-kondisi kerja, kesejahteraan kerja, tunjangan dan bonus atau pemberian kekuasaan. Sehingga diharapkan dapat memberi dorongan bagi karyawan untuk bekerja lebih produktif, memuaskan dan berprestasi. Oleh karena itu, setiap kelompok dapat memilih salah satu teori kebutuhan tersebut dengan titik tolak penekanan dalam teori motivasi. 2. Motif Keamanan Motif keamanan ini meliputi beberapa kebutuhan yang juga masih dapat dikelompokkan menurut kebutuhan fisiologi (Maslow), keberadaan (Alderfer), kesehatan (Herzberg), dan kekuasaan (McClelland). Tetapi penjabarannya akan diberi tekanan yang lebih khusus ke arah pemenuhan dan pemuasan kebutuhan keamanan dan keselamatan dan jauh dari ancaman dan tekanan kerja dan kondisi-kondisi kerja, pemberian kekuasaan, dan memberi pengaruh kepada orang lainserta beberapa jaminan kesejateraan yang membuat karyawan bekerja lebih produktif dan berprestasi. 3. Motif Sosial dan Kasih Sayang Motif sosial dan kasih sayang ini meliputi beberapa kebutuhan yang dikelompokkan ke dalam kebutuhan sosial dan kasih sayang (Maslow), relasi (Alderfer), kesehatan (Herzberg), dan Afiliasi (McClelland). Namun penjabarannya akan diberi tekanan yang mengarah pada pemenuhan dan pemuasaan kebutuhan

Universitas Sumatera Utara

hubungan sosial dan kasih sayang, relasi dengan penyelia, kolega, dan bawahan. Kualitas kepenyeliaan dan melakukan afiliasi dengan orang lain. 4. Motif Penghargaan Motif penghargaan ini meliputi beberapa kebutuhan yang dikelompokkan ke dalam kebutuhan harga diri (Maslow), pertumbuhan (Alderfer), motivator (Herzberg), dan berprestasi (McClelland). Namun penjabarannya akan diberi tekanan yang mengarah pada pemenuhan dan pemuasan kebutuhan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, memperoleh kesempatan mengambil partisipasi dalam tanggung jawab terhadap suatu pekerjaan, keterlibatan dalam memberi usulan pemecahan masalah ataupun pengambilan keputusan, status dan memperoleh pengakuan dan menunjukkan kemampuan. 5. Motif Aktualisasi Diri Motif penghargaan ini meliputi beberapa kebutuhan yang dikelompokkan kedalam mewujudkan potensi diri (Maslow), pertumbuhan (Alderfer), motivator (Herzberg) dan berprestasi (McClelland). Namun, penjabarannya akan diberi tekanan yang mengarah pada pemenuhan dan pemuasan kebutuhan mewujudkan potensi diri, memperoleh kesempatan mengambil partisipasi dalam tanggung jawab terhadap suatu pekerjaan, keterlibatan dalam memberi usulan pemecahan masalah ataupun pengambilan keputusan, kemungkinan untuk pertumbuhan diri, pengembangan dan kemajuan, status dan memperoleh pengakuan dan menunjukkan kemampuan serta prestasi diri (Wijono, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Perbandingan antar keempat teori tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2.2. Perbandingan Teori Motivasi Maslow Physiological Safety & Security Belongingness & Love Self Esteem Self Actualization

Alderfer Existence Relatedness Growth -

McClelland Need for Affiliation Need for Achievement Need for Power

Herzberg Hygiene Motivators -

Sumber : Teori Motivasi (Wijono, 2010)

Khususnya mengenai salah satu unsur atau komponen motivasi yaitu kebutuhan, Maslow telah mengembangkan suatu konsep teori yang dikenal dengan hirarki kebutuhan. Menurut

Maslow, kebutuhan kebutuhan manusia dengan

sendirinya membentuk semacam hirarki, yakni dari kebutuhan fisik (psysiological needs), kebutuhan akan keselamatan atau rasa aman (safety and security needs) kebutuhan sosial (belongingness and love), kebutuhan akan penghargaan dan status (esteem and status), sampai dengan kebutuhan akan perwujudan atau aktualisasi diri (self-actualization) (Schein, 1991). Kebutuhan pada tingkat pertama dan kedua biasa dikelompokkan dalam kebutuhan tingkat rendah, sedang kebutuhan pada tingkat ketiga sampai dengan kelima termasuk kebutuhan tingkat tinggi. Meskipun hirarki kebutuhan yang disusun Maslow ini mengandung banyak pembatasan, namun memberikan gagasan yang baik untuk membantu para manajer dalam memotivasi pegawai. Hal ini penting, karena apabila kebutuhan pada tingkat rendah tidak terpenuhi, maka tidak satupun kebutuhan pada tingkat tinggi akan dapat tercapai (Widodo, 1998).

Universitas Sumatera Utara

Self Actualization

Esteem

Belongingness and Love

Safety and Security

Physiological

Gambar 2.2. Hierarki Kebutuhan Maslow

Menurut Gordon, kebutuhan fisik atau fisiologis adalah kebutuhan paling dasar dari hidup manusia seperti makan, air, dan kebutuhan seksual, termasuk didalamnya adalah perlindungan kesehatan (Thoha, 1996). Kebutuhan keselamatan dan rasa aman menggambarkan dorongan setiap orang untuk mencari perlindungan. Untuk memenuhi kebutuhan ini, suatu perusahaan misalnya akan mengeluarkan kebijaksanaan berupa larangan merokok di tempat kerja, menjalin kerjasama dengan perusahaan asuransi, serta penerapan prosedurprosedur keamanan tertentu di daerah-daerah “larangan” (Widodo, 1998). Selanjutnya kebutuhan rasa memiliki dan kasih sayang menekankan kepada aspek sosial dari pekerjaan. Hal ini berarti bahwa setiap orang ingin mengadakan hubungan interpersonal atau interaksi sosial dengan orang lain. Dalam konteks

Universitas Sumatera Utara

organisasi, maka pencapaian tujuan tidak mungkin diupayakan oleh orang atau pihak tertentu, melainkan diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu team work. Dengan kata lain, lahirnya organisasi adalah perwujudan konkrit dari adanya kebutuhan manusia akan hubungan sosial atau belongingness and love ini (Wahjosumidjo, 1992). Kebutuhan akan status dan penghargaan biasanya ditunjukkan adanya kebutuhan terhadap simbol-simbol kesuksesan, seperti gelar kesarjanaan, pengakuan dari orang lain, pemilikan barang-barang pribadi yang mewah. Dengan adanya kebutuhan ini, orang ingin mendemonstrasikan kemampuannya, serta membangun reputasi dan performansi yang bias dibanggakan didepan orang lain (Widodo, 1998). Adapun kebutuhan aktualisasi diri merefleksikan hasrat individu tiap-tiap orang untuk tumbuh dan berkembang atas dasar potensinya secara optimal. Orangorang seperti ini biasanya selalu menginginkan adanya tantangan atau peluang dalam bekerja, dan disertai adanya hasrat untuk mandiri dan menunjukkan tanggungjawab penuh (Widodo, 1998). Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa teori motivasi yang dikemukakan Maslow (dan juga oleh pakar yang lain), tidak dapat dianalisis secara parsial. Artinya, seseorang yang telah berada pada tingkat kebutuhan tertinggi, bukan berarti tidak membutuhkan lagi kebutuhan lainnya. Jadi, sifat pemenuhan setiap kebutuhan diatas sifatnya kumulatif, bukan bersifat menggantikan atau melengkapi (Wahjosumidjo, 1992).

Universitas Sumatera Utara

Hasil studi Maslow ini diperluas lebih lanjut oleh Herzberg, yang menyebutkan bahwa terdapat dua perangkat faktor terpisah yang memengaruhi motivasi. Pandangan tradisional berasumsi bahwa motivasi dan kurangnya motivasi hanya merupakan dua hal yang bertentangan dalam satu kontinum. Herzberg menolak anggapan ini dengan menyatakan bahwa faktor pekerjaan tertentu hanya membuat pegawai tidak puas apabila tidak ada kondisi tertentu. Dengan demikian Herzberg membedakan antara faktor iklim baik (hygiene factors) atau faktor pemeliharaan sebagai faktor yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kepuasan dalam diri pegawai, dengan faktor motivasi, yakni kondisi kerja yang terutama berfungsi untuk menimbulkan motivasi (Gordon, 1996). Faktor motivasi terutama berhubungan dengan isi pekerjaan (job content), sedangkan faktor pemeliharaan berhubungan dengan isi pekerjaan (job context) karena lebih berkaitan dengan lingkungan di sekitar pekerjaan. Oleh karena teori Herzberg ini membagi kedalam dua faktor, maka teorinya sering dikenal dengan twofactor model of motivation (Siders, 2001) Perluasan lebih lanjut dari teori Herzberg dan Maslow datang dari usaha Alderfer. Dia memperkenalkan tiga kelompok inti dari kebutuhan, yakni kebutuhan akan keberadaan (existence), kebutuhan berhubungan (relatedness) dan kebutuhan untuk berkembang (growth need). Teori ini sering disebut juga dengan teori ERG (Widodo, 1998). Apabila dibandingkan dengan teori Maslow dan Herzberg, kebutuhan akan keberadaan kira-kira sama artinya dengan kebutuhan fisik/fisiologisnya Maslow atau

Universitas Sumatera Utara

faktor pemeliharaannya Herzberg. Kebutuhan berhubungan bisa dipersamakan dengan kebutuhan sosial atau faktor pemeliharaan, sedangkan kebutuhan untuk berkembang identik dengan kebutuhan aktualisasi diri atau faktor motivasi. Dalam hal ini, Alderfer lebih menyukai perincian kebutuhan yang didasari pada kontinum, dari pada dengan hirarki seperti Maslow atau dua faktor kebutuhan dari Herzberg (Indrawijaya, 1989). Alderfer juga tidak menyatakan bahwa tingkat yang dibawah harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memuaskan tingkat kebutuhan diatasnya. Menurut Thoha (1993), teori Alderfer masih menunjukkan sifat-sifat umum dan kurang mampu menjelaskan kompleknya teori motivasi, disamping kurang memberikan kesiapan untuk bisa diterjemahkan kedalam praktek manajemen. Tokoh motivasi lain yang melakukan penelitian tentang desakan manusia untuk berprestasi adalah Mc. Clelland. Berdasarkan hasil penelitiannya, dapat dikemukakan bahwa kebutuhan untuk berprestasi itu adalah suatu motif yang berbeda dan dapat dibedakan dari kebutuhan-kebutuhan lainnya. Menurut Mc. Clelland, seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang lebih baik dari prestasi karya orang lain. Dalam kaitan ini Mc. Clelland mengelompokkan adanya tiga macam kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi, dan kebutuhan untuk kekuasaan. Adapun beberapa karakteristik dari orang-orang yang berprestasi tinggi antara lain: 1) suka mengambil resiko yang moderat; 2) memerlukan umpan balik

Universitas Sumatera Utara

yang segera; 3) memperhitungkan keberhasilan; dan 4) menyatu dengan tugas (Thoha, 1993). Dalam Teori Mc Clelland motivasi kerja terbagi dalam 3 yang dapat dipahami dengan mudah yaitu motif, harapan/ekspektasi, dan insentif (Ridwan, 2009) Pengembangan teori Mc Clelland ini sesungguhnya bisa dikatakan diilhami oleh ajaran Etika Protestan yang dikemukakan Weber. Menurut paham ini, seseorang sudah ditakdirkan untuk masuk neraka atau masuk surga. Orang-orang yang akan masuk surga sudah dapat dilihat tandatandanya selama hidup didunia, yaitu mereka yang kaya, pandai, dan sukses dalam hidupnya. Sementara orang-orang miskin, bodoh, pengangguran, dan gagal dalam hidup, ditakdirkan untuk menjadi penghuni neraka. Oleh karena itulah, orang cenderung bekerja keras meraih prestasi agar dapat hidup sukses di dunia. Sejalan dengan ajaran ini, di Jepang terdapat juga suatu kepercayaan yang menganjurkan pemeluknya bekerja keras, yakni agama Tokugawa (Gordon,1996). Tidak bisa dikesampingkan juga disini adalah teori motivasi Mc. Gregor yang mengemukakan teori X dan teori Y sebagai hasil klasifikasi dari dua jenis tipe manusia yaitu tipe X dan tipe Y (Schein, 1991). Menurut teori X, pada dasarnya manusia itu cenderung berperilaku negatif dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) tidak senang bekerja dan apabila mungkin akan berusaha mengelakkannya, (2) karenanya manusia harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan positif agar tujuan organisasi tercapai, (3) para pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila

Universitas Sumatera Utara

menerima perintah untuk melakukan sesuatu, dan (4) kebanyakan pekerja akan menempatkan pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor lain yan berkaitan dengannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi untuk maju (Whitmore, 1997). Sementara itu teori Y menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya cenderung berperilaku positif dengan ciri-ciri sebagai berikut; (1) para pekerja memandang kegiatan bekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain, (2) para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri, (3) pada umumnya para pekerja akan menerima tanggungjawab yang lebih besar, dan (4) mereka akan berusaha menunjukkan kreativitasnya, dan oleh karenanya akan berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan tanggungjawab mereka juga dan bukan sematamata tanggungjawab orang yang menduduki jabatan manajerial (Weber, 1960 dalam Siagian, 1989). Tidak jauh berbeda dengan Weber, Argyris mengajukan teori motivasi dengan membedakan manusia dalam kelompok tidak dewasa dan dewasa. Dalam usahanya menganalisis

situasi

kedewasaan

dan

ketidakdewasaan,

Argyris

mencoba

membandingkan nilai-nilai piramidal dari birokrasi yang masih mendominasi sebagian

besar

organisasi,

dengan

sistem

nilai

demokrasi

yang

banyak

memperhatikan faktor manusianya (Gordon, 1996). Pada akhirnya Argyris menyatakan ada tujuh perubahan yang terjadi pada kepribadian seseorang yang tidak deewasa menjadi orang yang matang. Ketujuh

Universitas Sumatera Utara

perubahan tersebut adalah pasif menjadi aktif, tergantung menjadi tidak tergantung, bertindak yang sedikit menjadi banyak variasinya, minat yang tidak menentu dan dangkal menjadi lebih dalam dan kuat, perspektif waktu jarak dekat menjadi jarak jauh, posisi yang menjadi dibawah menjadi setingkat atau bahkan diatasnya, serta kekurangan kesadaran atas dirinya menjadi tahu pengendalian diri (Thoha, 1993). Diantara banyaknya teori motivasi yang dikemukakan tersebut terdapat kecenderungan bahwa setiap pakar mengembangkan pola motivasi tertentu sebagai hasil dari lingkungan budaya setempat. Mengenai pola motivasi ini, empat pola yang sangat penting adalah prestasi, kompetensi, afiliasi dan kekuasaan (Wahjosumidjo, 1992). Motivasi prestasi adalah dorongan dalam diri orang-orang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Motivasi kompetensi adalah dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, dan berusaha keras untuk inovatif. Motivasi afiliasi adalah dorongan untuk berhubungan dengan orang lain atas dasar sosial. Motivasi kekuasaan adalah dorongan untuk

memengaruhi orang-orang dan mengubah situasi.

Pengetahuan tentang berbagai pola motivasi akan membantu manajemen dalam memahami sikap kerja masing-masing pegawai, sehingga dapat mengelolanya sesuai dengan pola motivasi masing-masing yang paling menonjol (Wahjosumidjo, 1992). Disisi lain, Vroom mengajukan pendekatan motivasi yang dapat diterima secara umum, yakni model harapan (expectancy model) atau dikenal juga sebagai teori harapan. Vroom menjelaskan bahwa motivasi adalah hasil dari tiga faktor yaitu :

Universitas Sumatera Utara

seberapa besar seseorang menginginkan imbalan (valensi), perkiraan orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan), serta perkiraan bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan atau instrumentalis (Schein, 1991). Hubungan antar ketiga faktor itu dapat dijelaskan sebagai berikut: valensi mengacu kepada kekuatan preferensi seseorang untuk memperoleh imbalan. Ini merupakan ungkapan kadar keinginan seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Harapan adalah kadar kuatnya keyakinan bahwa upaya kerja akan menghasilkan penyelesaian suatu tugas. Sedangkan instrumentalitas menunjukkan keyakinan pegawai bahwa ia akan memperoleh suatu imbalan apabila tugas dapat diselesaikan. Hasil ketiga faktor tersebut adalah motivasi, yakni kekuatan dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Kombinasi yang menimbulkan motivasi adalah valensi positif yang tinggi, tinggi harapan dan tinggi instrumentalitas (Schein, 1991). Dengan adanya model harapan ini, maka para manajer organisasi akan dipaksa untuk menguji proses timbulnya motivasi secara seksama. Model ini juga mendorong mereka untuk merancang iklim motivasi yang akan memperbesar kemungkinan timbulnya perilaku pegawai yang diharapakan (Widodo, 1998). 2.4.4. Indikator Motivasi Kerja Indikator motivasi kerja menurut Jewell dan Stegall (1998) adalah penghargaan, pelatihan, kondisi lingkungan kerja, sistem penilaian kinerja, dan variasi tugas.

Universitas Sumatera Utara

Motivasi kerja karyawan tinggi apabila; (1) Karyawan mendapatkan penghargaan yang baik dari pimpinan atas prestasi kerja mereka. Penghargaan yang didapatkan bisa berupa bonus, pujian dan promosi jabatan, (2) Karyawan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan dalam rangka meningkatkan ketrampilan karyawan dalam bekerja, (3) Kondisi lingkungan kerja yang aman dan nyaman, (4) Sistem penilaian kinerja karyawan yang adil dan transparan, (5) Variasi tugas dalam bekerja (Jewell dan Stegall, 1998). Adapun ciri-ciri karyawan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi adalah bersaing dalam berprestasi, ingin segera mengetahui hasil konkrit dari usaha, tingkat aspirasinya menengah, berorientasi ke masa akan datang, tidak suka buang-buang waktu, mempunyai rasa tanggung jawab, percaya diri, dan ulet dalam menjalankan tugas. Sebaliknya, cirri-ciri karyawan yang memiliki motivasi kerja yang rendah adalah kemampuan bersaing dalam berprestasi rendah, cenderung tidak peduli dengan hasil pekerjaan yang dilakukan, tingkat aspirasi rendah, berorientasi pada saat ini, suka buang-buang waktu, tidak bertanggung jawab, tidak percaya diri, dan tidak ulet dalam bekerja (Schein, 1991). Dalam kaitannya dengan teori motivasi kerja Mc Clelland, pada dasarnya ada tiga dimensi yaitu motif, ekspektasi/harapan dan insentif yang sangat berpengaruh dengan motivasi kerja karyawan dengan masing-masing indikator yang dimiliki.

Universitas Sumatera Utara

2.3. Landasan Teori Kepemimpinan mempunyai peranan sentral dalam kehidupan organisasi, dimana terjadi interaksi kerjasama antar dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan. Adanya kepemimpinan berarti terjadinya proses membantu dan mendorong orang lain untuk bekerja dengan antusias mencapai tujuan. Jadi, faktor manusia atau pemimpinlah yang mempertautkan kelompok dan memotivasinya untuk mencapai tujuan, atau kepemimpinan juga mengubah yang tadinya hanya kemungkinan menjadi kenyataan (Wahjosumidjo, 1992). Kepemimpinan dinyatakan sebagai proses, artinya kepemimpinan itu berlangsung dalam kurun waktu cukup lama yang dimulai dari membuat perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pembimbingan (directing), pengawasan (controlling) dan kembali lagi pada pembuatan perencanaan untuk kegiatan selanjutnya (Drake, 1993). Secara umum dapat dikatakan, bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan memengaruhi perilaku orang lain, dalam hal ini para anggota kelompok, sedemikian rupa sehingga perilaku tesebut diwujudkan dalam pola tindak orang yang bersangkutan yang memungkinkannya memberikan yang terbaik pada dirinya dalam penyelesaian tugas bersama. Definisi tersebut menjelaskan bahwa kepemimpinan seorang bukan hanya bisa tumbuh dan berkembang karena adanya bakat dari seseorang yang dibawa sejak lahir tapi bisa dididik dan dilatih. Beberapa kalimat pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah berpikir berdasar misi organisasi, mendefinisikannya dan menegakkan, secara jelas dan nyata (Hicks, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Seorang pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya, secara keseluruhan di persepsikan oleh karyawannya sebagai gaya kepemimpinan (leadership style). Gaya tersebut bisa berbeda-beda atas dasar motivasi, kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu (Widodo, 1998). Sebaliknya, jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilkan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi (Schein, 1991). Tidak semua pemimpin dapat mencapai tujuan organisasi. Sebagai pemimpin malah membawa kemunduran untuk organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin struktural dan pemimpinan relasional yang efektif memiliki sejumlah karakteristik. Ada sejumlah karakteristik yang perlu dimiliki orang yang ingin jadi pemimpin efektif dalam teori kepemimpinan menurut sifat (trait theory) diantaranya dorongan dalam

diri-penggerak/drive,

integritas/integrity,

kepercayaan

motivasi diri/self

pimpinan/leadership confindence,

motivation,

kecerdasan/intelligence,

pengetahuan bisnis/knowledge of the bussiness, kecerdasan emosi/emotional intelligence. Peningkatan motivasi kerja karyawan pada suatu organisasi tidak bisa dilepaskan dari peranan pemimpin dalam organisasi tersebut, kepemimpinan merupakan kunci utama dalam manajemen yang memainkan peran penting dan strategis dalam kelangsungan hidup suatu perusahaan, pemimpin merupakan pencetus

Universitas Sumatera Utara

tujuan, merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien (Wahjosumidjo : 1992). Salah satu tantangan yang dihadapi oleh pimpinan dalam organisasi adalah bagaimana dapat menggerakkan para karyawannya agar mau dan bersedia mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk kepentingan organisasi. Untuk itu, seorang pimpinan harus selalu dapat memelihara semangat, kesadaran dan kesungguhan dari karyawannya untuk terus menunjukkan kinerja yang optimal. Dengan kata lain, salah satu tantangan berat bagi pimpinan adalah bagaimana motivasi kerja karyawan dapat tumbuh dan terbina dengan baik. Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan, dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya (Siagian, 1996). Dalam kaitannya dengan teori motivasi kerja Mc Clelland, pada dasarnya ada tiga dimensi yaitu motif, ekspektasi/harapan dan insentif yang sangat berpengaruh dengan motivasi kerja karyawan dengan masing-masing indikator yang dimiliki. Adapun ciri-ciri karyawan yang memiliki motivasi kerja yang tinggi adalah bersaing dalam berprestasi, ingin segera mengetahui hasil konkrit dari usaha, tingkat aspirasinya menengah, berorientasi ke masa akan datang, tidak suka buang-buang

Universitas Sumatera Utara

waktu, mempunyai rasa tanggung jawab, percaya diri, dan ulet dalam menjalankan tugas. Sebaliknya, ciri-ciri karyawan yang memiliki motivasi kerja yang rendah adalah kemampuan bersaing dalam berprestasi rendah, cenderung tidak peduli dengan hasil pekerjaan yang dilakukan, tingkat aspirasi rendah, berorientasi pada saat ini, suka buang-buang waktu, tidak bertanggung jawab, tidak percaya diri, dan tidak ulet dalam bekerja (Schein, 1991). 2.5.

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas (X)

Kepemimpinan (X) Teori Sifat (Trait Theory) : a. Dorongan dalam diri (Penggerak) b. Motivasi Pimpinan c. Integritas d. Kepercayaan diri e. Inteligen f. Pengetahuan/pemahaman terhadap bisnis perusahaan g. Kecerdasan emosi

Variabel Terikat (Y)

Motivasi Kerja (Y) Teori Schein : a. b. c. d. e. f.

Prestasi Hasil kerja Orientasi masa depan Tanggung jawab Percaya diri Manajemen antara waktu dan pekerjaan g. Cakap dan ulet dalam pekerjaan

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Sifat kepemimpinan (teori kepemimpinan menurut sifat) terhadap motivasi kerja (teori Mc Schein) karyawan PT. Gold Coin Indonesia.

Universitas Sumatera Utara