PERILAKU AGRESIF ANAK TK. ..... pada anak, tidak menggambar untuk anak,
tidak menjiplak gambar orang lain .... agresif pada anak, sekalipun film kartun.
ABSTRAK
Hardi Mulyono Wibawa
”PENGARUH FINGER PAINTING TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU AGRESIF ANAK TK.B DI SEKOLAH XXX SUATU STUDI KHASUS DARI XXX” (xii + 65 halaman; 11 gambar; 3 tabel; 2 diagram; 30 lampiran) Masalah perilaku anak merupakan masalah yang cukup berat dan melelahkan bagi guru maupun orang tua. Untuk mengatasi masalah perilaku anak yang kurang baik, orang tua dan guru dapat menggunakan dengan bermacammacam cara. Misalnya, dengan pemberian hukuman fisik, nasehat, atau pengalihan perhatian. Dengan pendekatan yang keras bukanlah suatu solusi yang diharapkan oleh setiap orang tentunya, dan bukanlah merupakan pendekatan yang baik. Pendekatan tersebut bahkan dapat memperburuk dan menciptakan masalah yang baru yang dapat timbul di kemudian hari bagi kehidupan anak tersebut. Anak yang mendapatkan kekerasan pada waktu kecil, cenderung menjadi lebih agresif, dan cenderung menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mencoba menemukan sebuah pendekatan yang lebih baik, lebih bersahabat dan dapat diterima oleh anak. Dengan pendekatan yang diterima oleh anak, tentunya akan berdampak lebih positif dan membawa pengaruh yang baik bagi anak untuk saat ini maupun di kemudian hari. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan metode penelitihan tindakan dan menemukan melalui pendekatan seni, khususnya Finger Painting, dapat digunakan sebagai media untuk membantu anak mengontrol dirinya dan dapat mengurangi perilaku agresif anak, seperti bertengkar, mencari masalah, mengejek, dan juga dapat meningkatkan tanggung jawab anak.
KATA PENGANTAR
Terima kasih kepada Tuhan, atas karunianya penulisan ini dapat selesai pada waktunya. Terima kasih kepada Bapak Dr. I Made Markus selaku Ketua Program Studi Magister Pendidikan Universitas Pelita Harapan dan juga sebagi pembimbing utama saya. Terima kasih karena sudah dengan sangat sabar membimbing saya sampai penulisan selesai. Tanpa bimbingan bapak, sangat mustahil penulisan ini dapat selesai. Terima kasih kepada Bapak Yongky Safanayong, yang juga sebagai guru dan atasan saya, yang memberikan saya dukungan untuk melanjutkan studi saya ke jenjang yang lebih tinggi. Terima kasih kepada Freshka Kamdhani, yang selalu mendampingi saya dari awal sampai akhir dari studi saya. Karena keberadaan dirimu banyak perubahan di dalam diriku dan dari perubahan itulah aku menjadi diriku yang sekarang. Terima kasih kepada semuanya yang telah memberikan semangat sehingga semua ini dapat selesai. Kepada Ellis dan Bapak Rijanto Purbojo yang membantu saya disaatsaat akhir penulisan. Dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. I Made Markus, selaku Ketua Program Studi Magister dan Pembimbing penulis. Dr. Lanawati dan Ibu Suciati, M.Sc, Ph.D sebagai penguji. Jakarta, 16 Juni 2008 Hardi Mulyono Wibawa
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah perilaku agresif anak bukanlah menjadi suatu masalah yang baru bagi orang tua dan guru. Tetapi masalah perilaku merupakan masalah yang sangat penting bagi pertumbuhan, perkembangan dan masa depan anak. Bila tidak ditangani dengan baik dan benar, perilaku agresif dapat berdampak negatif pada kehidupan anak di kemudian hari. Dikatakan bahwa sikap agresi anak pada umur enam atau tujuh tahun dapat menetap pada anak itu sampai anak tersebut dewasa. Bayangkan betapa dampak yang sangat merugikan bila kita tidak dengan sungguh-sungguh mengatasi sikap anak karena tentunya sangat mempengaruh masa depan anak tersebut. Banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi sikap anak, tetapi kita tentulah harus berhati-hati apakah malah dapat menimbulkan masalah baru bagi anak di kemudian hari. Memberikan hukuman bukanlah suatu solusi yang baik, untuk mengatasi sikap anak, malah sebaliknya dapat memperburuk keadaan. Anak yang mendapatkan hukuman secara fisik, akan cenderung meningkatkan agresif anak (America Psychological Assosiation, 1993; Puttallaz et al.,1998; Shields & Cicchetti, 2001). Karena seorang anak yang cukup pintar, Xxx tidak mempunyai masalah pada prestasi di sekolah, tetapi Xxx berbeda dengan teman-temannya di kelas. Xxx mempunyai masalah perilaku. Perilaku Xxx lebih agresif dibandingkan
dengan teman-temannya di sekolah. Cukup sering orang tua dari teman-teman Xxx melaporkan kepada guru mengenai tindakan Xxx karena mengganggu anakanak mereka. Pendekatan Seni sebagai suatu proses pembelajaran pada saat ini, sering dianggap
tidak
terlalu
penting.
Banyak
sekolah-sekolah
yang
malah
menghilangkan kegiatan kesenian dalam proses pendidikan anak di sekolah. Meskipun tidak dihilangkan, biasanya hanya sebagai pelengkap atau sebagai formalitas saja. Padahal setiap anak harus mendapatkan kesenian di sekolah. Seni adalah suatu bentuk expresi dan komunikasi. Seni mempunyai nilai penting yang sama dengan pelajaran-pelajaran yang terdapat pada kurikulum pendidikan. (Dewey, 1934). Apabila pendekatan seni digunakan secara baik dan benar, dapat menjadi suatu pendekatan yang sangat berguna untuk membantu anak mengatasi masalahnya sehingga dapat memperbaiki perilaku anak. Finger painting merupakan seni yang sudah lama ditinggalkan. Dahulu digunakan oleh orang-orang Amerika Utara, Cina dan Eropa. Dan diperkenalkan lagi oleh Shaw pada tahun 1931. Shaw menemukan teknik ini tanpa sengaja. Salah satu murid Shaw, Leonardo mendapatkan luka di tangannya dan Shaw memberikan sebotol obat dan mengantar anak ke kamar mandi. Ketika Leonardo tidak kembali ke kelas, Shaw mendatangi anak itu dan menemukan anak sedang bermain-main dengan obat. Ia sedang melumuri dinding kamar mandi dengan obat tersebut. Shaw memilih melihat kekacauan itu sebagai suatu bentuk kreativitas.
Dari temuan tersebut, Shaw dan murid-muridnya menghabiskan lima tahun melakukan penelitian untuk menciptakan material cat yang aman untuk anak. Material yang bebas dari racun sehingga anak dapat menggunakannya dengan bebas. Teman sekerja Shaw, John Thomas Payne, seorang artis dan psikolog, mempelajari metode dan filosofi Shaw dan meneruskannya ketika Shaw meninggal pada tahun 1969. Point terpenting dari Shaw adalah gerakan. Dalam melakukan aktivitas ini, bukan hanya tangan saja yang bergerak tetapi seluruh tubuh. Finger painting digunakan
Shaw
untuk
membantu
anak
dan
orang
dewasa,
untuk
mengekspresikan emosi mereka. Finger painting dapat membantu atau membuat anak dan remaja duduk diam dalam waktu lima menit atau lebih. Ada sesuatu hubungan antara tindakan fisik dari menyentuh cat dengan sesuatu di dalam diri mereka. Finger painting juga mempunyai kandungan sepiritual, seperti yoga. Finger painting mempunyai potensi untuk spiritual dan kesehatan psikologi. Aktivitas yang baik untuk meningkatkan kepercayan diri dan dapat digunakan secara maksimal untuk pengekspresian diri (Downs, 2008). Dengan penelitian ini, peneliti ingin melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda, yang dapat diterima dengan baik oleh anak tanpa paksaan. Tentunya sesuatu paksaan tidaklah baik untuk anak, karena dengan menggunakan paksaan, bukanlah menyelesaikan suatu masalah, tetapi akan menimbulkan masalah baru bagi anak di kemudian hari.
1.2
Rumusan Masalah Penelitian ini bersifat observasi eksploratif untuk menemukan teknik menggambar yang sesuai dengan sampel dan sejauh mana dapat mengubah perilaku agresif sampel. Hal ini dapat diamati dari hasil laporan observasi dari pihak ibu dan guru kelas sampel dan juga mengamati ketertarikan dan antusias sampel pada waktu proses kegiatan berlangsung. Penelitian ini dapat diajukan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah yang melatarbelakangi masalah perilaku sampel ? 2. Apakah teknik menggambar yang sesuai dengan masalah perilaku sample? 3. Apakah teknik tersebut mempengaruhi perilaku sampel ? 4. Apakah perubahan perilaku yang menonjol pada saat perlakuan di lapangan ?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitihan bertujuan untuk mendeskripsikan: 1. Apa yang melatarbelakangi masalah perilaku sampel. 2. Teknik menggambar yang sesuai dengan perilaku sampel 3. Pengaruh teknik menggambar tersebut terhadap perilaku sampel. 4. Perubahan perilaku yang menonjol pada saat perlakuan di lapangan
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini berusaha memberikan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi perilaku agresif anak. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan pendekatan seni untuk mengatasi perilaku agresif anak dan
mendapatkan bahwa dengan pendekatan seni, khususnya Finger Painting dengan teknik imajinasi. Dapat membantu mengatasi masalah perilaku agresif anak. Diharapkan melalui penelitian ini, guru dan orang tua dapat memberikan aktivitas menggambar di sekolah maupun di rumah. Akktivitas tersebut dapat membantu mengatasi perilaku agresif anak.
1.4.1
Manfaat Bagi Peneliti Penelitian ini mempunyai manfaat yang besar bagi peneliti. Peneliti mendapatkan paradigma baru tentang pentingnya menggambar bagi perkembangan anak, mendalami lebih banyak lagi tentang pentingnya kegiatan seni terhadap perkembangan anak, menemukan alternatif untuk mendidik anak lewat pendekatan menggambar dan memotivasi peneliti untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang pendekatan-pendekatan yang dapat diterima anak dan berguna untuk meningkatkan perkembangan anak menjadi lebih baik.
1.4.2
Manfaat Bagi Dunia Pendidikan Aktivitas seni jangan hanya dianggap sebagai pelengkap saja di dalam sebuah proses pendidikan, tetapi harus lebih diperhatikan dan dijadikan salah satu program inti di dalam proses pendidikan.
1.5
Isitilah dan Definisi 1.5.1
Finger Painting Finger Painting adalah teknik melukis dengan mengoleskan cat pada kertas basah dengan jari atau dengan telapak tangan (Salim,1991).
1.5.2
Perilaku Perilaku adalah apa yang dikerjakan dan apa yang dikatakan oleh manusia. Apa yang dilakukan seseorang termasuk dalam perilaku, jadi bukan sifat dari orang tersebut. Bila kita mengatakan orang itu marah, kita bukan mengidentifikasi perilaku orang tersebut, tetapi kita melabelkan perilaku dari orang tersebut. Bila kita mengidentifikasi apa yang orang itu katakan atau lakukan, itu berarti kita mengidentifikasi perilaku orang tersebut (Miltenberger, 2004).
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1
Teori Sublimasi Pemikiran dasar peneliti untuk penelitian ini di dapat dari teori psikoanalitik yang mengatakan bahwa seni dapat menjadi media pelepasan perasaan. Bila tidak adanya media pelepasan, perasaan tersebut dapat menciptakan kekacuan atau berdampak negatif. Pendekatan seni dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran karena dapat meningkatkan pembelajaran anak. Pada proses pelaksanaannya, guru tidak menghakimi dan mengkritik hasil seni anak. Menurut teori psikoanalitik point utama seni adalah sebagai proses terapi. Keindahan dari hasil seni merupakan poin kedua (Engel, 1995). Teori psikoanalitik memaparkan seni sebagai media bagi anak untuk pengekspresikan perasaan dan emosi. Anak sangat memerlukan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan dan emosinya. Pengekspresian ini adalah cara yang sehat untuk perkembangan anak, serta hasil dari karya seni dapat membuat anak merasa bangga dan meningkatkan kepercayaan diri anak (Isbell dan Raines, 2007). Sublimasi adalah suatu usaha untuk melepaskan diri dari kegagalan dan ketidakpuasan, dengan jalan mencari kemungkinan yang lebih baik dalam mencapai tujuan. Para ahli psikoanalisis awal berpendapat, bahwa ilmu pengetahuan dan seni memang merupakan sublimasi (penyaluran jiwa) dari suatu frustrasi yang disebabkan karena dorongan nafsu seksual (Purwanto, 1992).
Melalui proses sublimasi, seks atau perasaan agresif anak diubah menjadi nilainilai yang diterima oleh sosial atau bentuk-bentuk produktif seperti penciptaan artisitik atau kebutuhan intelektual (Freud, 1991). Sublimasi sangat sesuai untuk diterapkan menjadi konsep utama dalam terapi seni dan dapat digunakan sebagai proses penyembuhan lewat seni. Lewat proses sublimasi, perasaan-perasaan primitif yang anti sosial diubah menjadi tindakan-tindakan sosial yang produktif. Kesenangan dalam mencapai tindakantindakan yang diterima sosial dapat menggantikan kesenangan yang bersifat negatif (Kramer, 2000:41). Sublimasi merupakan sebuah proses perubahan. Melalui menggambar dan melukis, perasaan dari frustasi atau kemarahan dapat diubah ke dalam bentuk yang lebih membangun. (Edwards, 2004). Ada beberapa cara yang dianjurkan para ahli untuk membantu mengatasi sifat agresif anak. Salah satunya mencari alternatif lain untuk melepaskan kemarahan misalnya melalui musik atau seni. Seni memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan dirinya, memberikan rasa puas dan tenang dalam dirinya. Seni dapat menjadi saran untuk mengekspresikan dirinya secara ekspresif. (Hawadi, 2001)
2.2
Teori Seni Untuk penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan seni sebagai media pelepasan bagi anak karena seni adalah media yang paling mudah bagi anak untuk mengeluarkan perasaan, kekerasan, cinta, konflik dan kebingungan. Seni dapat digunakan untuk membantu mengatasi perasaan cemas dan ketidakberdayaan
(Gardner, 1980). Segala bentuk ekspresi dari seni dapat menjadi jalan untuk mendapatkan kesenangan, pelepasan ketegangan atau pengungkapan kemarahan bagi anak (Levick, 1986 dan Rubin, 1984). Pengekangan emosi membuat anak menjadi gelisah, tegang dan mudah tersinggung oleh masalah yang sangat kecil sekalipun. Dalam pelepasan emosi ini, anak berusaha beradaptasi supaya hasil ungkapannya dapat diterima secara sosial. Menangis dapat menjadi bentuk pelampiasan tetapi dapat dianggap seperti anak kecil oleh masyarakat. Bermain, berteriak dan tertawa keras-keras umumnya dapat menggangu orang di sekitarnya dan umumnya dilarang oleh orang tua karena malu dinilai oleh masyarakat. (Hurlok, 1980). Seni dapat menjadi suatu tempat yang aman bagi anak untuk mengekspresikan masalah sehingga anak akan merasa nyaman dan aman. Menggambar dari dalam diri anak sendiri tanpa campur tangan pihak luar sangat bermanfaat untuk anak sebagai dasar pembentukan diri (Douglas, 1996). Dalam kenyataannya, IQ menentukan sukses seseorang sebesar 20% sedangkan kecerdasan emosi (EQ) memberi kontribusi sebesar 80% Kriswanto, 2007). Oleh karena itu, orangtua harus sejak dini mengajarkan kepada anak bagaimana cara mengekspresikan emosinya agar anak menjadi lebih cerdas secara emosional. Orangtua dianjurkan untuk mengajarkan dan memberikan kebebasaan kepada anak untuk bebas berekspresi (Kriswanto, 2007). Dengan pendekatan seni, anak-anak dapat mengekspresikan pemikiran dan perasaannya. Banyak orang yang tidak bahagia dan tersiksa karena tidak adanya pendekatan seni sebagai alat untuk pengungkapan perasaan. (Dewey, 1934 : 65).
Seni merupakan obat yang sangat manjur. Seni dapat digunakan sebagai media untuk mengobati rasa takut, perasaan khawatir serta sebagai media pelepasan bagi anak. Kelebihan lainnya dari sebuah kegiatan seni adalah seni pada umumnya bebas akan nilai sehingga secara umum dapat diterima oleh masyarakat. (Rubin, 1978 : 10 ). Karena umumnya dapat diterima secara sosial dan dapat memuaskan anak, seni dapat menjadi katarsis yang baik bagi anak (Hurlock, 1978). Dalam pelaksanan perlakuan, peneliti menekankan pada seni ekspresi kepada anak sehingga anak dapat mengeluarkan emosi, perasaan dari dalam diri untuk dikeluarkan dalam sesuatu bentuk. Humanistic expressive arts therapy digunakan untuk penyembuhan diri atau digunakan untuk terapi. Perlakuan di lapangan tidak menekankan pada estetis atau kemampuan, tetapi digunakan untuk pelepasan, dan pengungkapan diri (Rogers, 1993).
2.3
Teori Menggambar Salah satu dari kegiatan seni adalah menggambar. Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada pendekatan menggambar untuk perubahan perilaku sampel. Teori-teori ini digunakan oleh peneliti sebagai panduan dalam proses penelitian. Dikatakan bahwa menggambar merupakan suatu metode yang alami bagi anak untuk mengekspresikan diri. Pada saat awal anak sekolah, anak lakilaki dan perempuan dapat mengungkapkan pemikirannya dan perasaannya lebih baik melalui gambar daripada lewat kata (Koppitz, 1983). Kegiatan menggambar dapat digunakan untuk melatih proses mental, kemampuan berpikir, mengingat,
berimajinasi, mengekspreikan emosi, dan mengungkapkan emosi, sehingga meningkatkan kemampuan berpikir (Steele, 1998 : 101, in Read, n.d). Dengan pendekatan
menggambar,
anak
dapat
mengekspresikan
pemikiran
dan
perasaannya sehingga membantu anak untuk mengerti dirinya sendiri dan orang lain.(Wilson, 1982 : 35). Menggambar dengan memori. Kita mengunakan memori jarak pendek ketika kita menggambar apa yang kita lihat sebelumnya. Gambaran yang berada di dalam otak kita bukan hanya gambaran yang kita lihat sekarang saja. Pikiran mempunyai kemampuan yang unik untuk menggulang waktu dan tempat. Kemampuan itu dapat memindahkan kita ketempat lain dan menghadirkan gambaran yang lampau di mana kita pernah lihat, sekarang diperlihatkan kembali dengan memori. Kalau kita dapat memanggil dan membuat gambaran tersebut, kita dapat menggambar dari refleksi pengalaman yang sudah lampau. Ketika kita menggambar dari memori, kita tidak diarahkan oleh mata kita, tetapi dari kualitas dari gambaran yang kita ingat. Ingatan jangka panjang mempunyai kecendrungan untuk menutupi gambaran yang kita ingat bila gambar tersebut tidak kita butuhkan pada saat ini. Untuk menggambar dari memori jangka panjang dibutuhkan penekanan dari benda tersebut dan apa yang kita ketahui tentang mereka daripada melihat hanya sekali saja. Untuk meningkatkan kemampuan dari kekuatan ingatan gambaran kita, dan kemampuan untuk tetap mengingat gambaran bila dibutuhkan kemudian, kita harus sering berlatih dan belajar untuk melihat sesuatu dengan cermat. (Ching, 1990)
Peneliti juga memberikan perlakuan dengan teknik menggambar observasi kepada sampel. Dengan pendekatan observasi ini anak dilatih kepercayan dirinya, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri anak (Bartel, 2001). Dalam proses pemberian perlakuan menggambar observasi, peneliti tidak melakukan tindakantindakan seperti: memberikan buku mewarnai atau tahapan-tahapan menggambar pada anak, tidak menggambar untuk anak, tidak menjiplak gambar orang lain dan tidak mengoreksi gambar anak. Tindakan-tindakan ini tidak dilakukan karena dapat menyebabkan menurunnya keyakinan diri anak (Bartel, 2006). Dalam pelaksanaan perlakuan teknik observasi, peneliti memperkenalkan beberapa metode seperti tactile paractice, menggunakan jari secara perlahan mengikuti bentuk objek yang akan digambar. Air practice, mengulang menggambarkan objek dengan jari tetapi di udara. Belinder practice, alat bantu untuk menggambar outline objek (Bartel, 2006). Dalam proses pelaksaan perlakuan menggambar observasi, peneliti menemukan hambatan. Sampel tidak tertarik dan termotivasi dengan teknik observasi tersebut. Karena hambatan ini, peneliti mencoba dengan perlakuan yang lain dan mencoba melakukan penelitian literatur. Seseorang fisiologi bernama Max Verworm mengatakan bahwa anak yang belum berumur delapan tahun belum mampu menggambar benda-benda dari hasil penglihatan atau apa yang dilihatnya. Anak menggambar menurut apa yang sedang dipikirkannya, sehingga hasil karya mereka disebut gambar ideoplastik. (Zulkifli, 2005) Perlakuan lain yang diberikan oleh peneliti adalah menggambar emosi. Dalam memberikan perlakuan, peneliti memperlihatkan kepada sampel, gambar-
gambar wajah yang memperlihatkan emosi senang, marah, takut dan sedih kepada sampel. Sampel diajak untuk menebak perasaan dari wajah-wajah tersebut. Setelah perlakuan tersebut, peneliti memberikan label pada kertas gambar. Labellabel tersebut tertulis kalimat-kalimat seperti apa yang membuat Xxx senang, tertawa, sedih, menangis, malu, takut dan sebagainya. Setelah itu peneliti mengajak sampel untuk mencoba menggambar apa yang sesuai dengan lebel tersebut (Walker Art Center, 2004). Perlakuan ini juga kurang diterima dan memotivasi sampel, sampel menggambar tetapi tidak bersemangat dan termotivasi. Sampel melakukan aktivitas tersebut sambil berjalan-jalan, melihatlihat jalanan lewat jendela. Karena tanggapan tersebut, peneliti melakukan penelitian literatur dan menemukan bahwa pendekatan menggambar untuk mengenal perasaan dan pengekspresian perasaan lewat gambar, dianjurkan untuk anak-anak yang sudah pada tahap operational stage (teori Piaget), umur 7 sampai 11 tahun. Bila anak belum pada tahap tersebut, anak akan mengalami kesulitan untuk konsep penggambaran perasaan (Ginsberg & Opper, 1979). Pikiran mempunyai penglihatan yang tidak dibatasi pada tempat dan waktu. Ia dapat membentuk, manipulasi dan mengubah gambar jauh dari bentukbentuk normal yang tidak terikat oleh waktu dan tempat. Gambar yang dihasilkan biasanya tidak jelas dan susah untuk dijelaskan. Dari gambar yang kita bayangkan, kita mendayagunakan kemampuan kita untuk berfikir secara visual dan memberi bentuk pada pikiran dan gagasan kita. Gambar tersebut memberikan respon bagi pikiran, menstimulasi imajinasi kita untuk lebih jauh lagi dan
membuka dialog antara diri kita dan gambar tersebut untuk eksplorasi dan pengembangan ide lebih jauh lagi. Dengan demikain menggamabr dari imajinasi adalah alat pemikiran yang meningkatkan proses kreatif (Ching, 1990). Menggambar imajinasi merupakan kegiatan yang sangat baik untuk otak. Teknik ini merupahkan teknik yang baik untuk meningkatkan kecerdasan dan perhatian anak. Teknik ini dapat membantu proses pendidikan anak dikemudian hari (Bartel, 2006). Dari hasil literatur yang didapat oleh peneliti mendapatkan bahwa anak umur dibawah delatan tahun menggambar menurut apa yang dipikirkannya (Zulkifli, 2005), sehingga peneliti memberikan teknik imajinasi kepada Xxx. Pada saat pemberian perlakuan kepada sampel di lapangan, sampel menanyakan kepada peneliti apakah peneliti membawa cat karena peneliti tidak membawa cat. Kemudian sampel berinisiatif untuk mencari cat di sekolah dan menemukan sebotol cat. Sampel langsung menggunakan cat tersebut untuk menggambar. Pada awalnya peneliti tidak mempunyai rencana untuk memberikan media cat kepada sampel. Karena penemuan tersebut, peneliti menyediakan cat dalam proses perlakuan kepada sample. Pada proses perlakuan dengan menggunakan cat, peneliti memberikan kebebasan kepada sampel untuk memilih sendiri, warna, garis, textur dan komposisi untuk pengekspresian perasaan. Terkadang bila lebih ekspresif dalam pengungkapannya, gambar lebih menjurus ke bentuk-bentuk yang lebih abstrak. Pada tahun 1950-an, sebuah kelompok artis abstrak ekspresionis percaya cara yang terbaik untuk meluapkan emosi yang murni adalah dengan melukiskan
bentuk yang tidak berbentuk atau abstrak secara total. Dimana warna, garis, bentuk dan textur secara langsung digunakan untuk luapan emosi. Pada abad 20, jenis seni ini adalah seni ekspresionis (Walker Art Center, 2004). Peneliti melakukan penelitian leteratur dan menemukan bahwa bermain air dan Finger painting merupakan aktivitas yang dapat menenangkan anak. Anakanak yang frustasi dapat mengeluarkan frustasi dengan cara mengaduk-aduk cat di atas kertas dengan kedua tangannya atau dengan menciprat-cipratkan air atau dengan meremas-remas spon. Dengan aktivitas tersebut, anak memindahkan energi-energi yang kurang baik ke bentuk yang tidak membahayakan (Beaty, J, 2006). Peneliti juga menemukan pada sebuah film dokumenter, para ilmuwan menemukan bahwa dengan membelai atau melalui sentuhan dapat terjadi pelepasan endorphin ke dalam aliran darah. Endorfin adalah zat kimia yang dapat membawa rasa enak (BBC, 2004).
2.4
Teori Perilaku Untuk mengetahui tentang perilaku sampel, peneliti melakukan penelitian literatur mengenai tingkah laku agresif (Hawadi, 2001). Peneliti menemukan bahwa tingkah laku adalah suatu tindakan berbentuk fisik atau verbal, yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Sebenarnya tingkah laku agresif adalah reaksi yang normal pada anak kecil, sebagai kesiagaan anak untuk melindungi dirinya agar aman. Namun, yang menjadi masalah serius adalah apabila pola-pola agresif ini menetap dan berlebihan. Tindakan agresif yang berlebihan di masa
anak-anak, erat hubungannya dengan tingkah laku agresif yang disebutkan beberapa pakar, seperti: 1. Anak yang agresif cenderung menampilkan sikap yang menyerang, bertingkah laku temperamental bila merasa frustrasi, suka bertengkar, memilih berkelahi untuk menyelesaikan konflik, tidak memperdulikan hak dan harapan orang lain. 2. Pada pengamatan langsung, anak agresif terlihat sering manakut-nakuti atau secata fisik menyerang orang lain, mengejek-ejek, mengolok-olok, mempermalukan orang lain, atau menuntut agar keinginannya segera dipenuhi. 3. Karakteristik anak dengan tingkah laku agresif adalah bersikap senang bermusuhan, senang menyerang secara fisik maupun verbal, sering melakukan pelanggaran terhadap milik orang lain, atau mempunyai keinginan untuk menguasai suatu hal tertentu. 4. Respon agresif dapat dikategorikan ke dalam empat kategori yaitu menyerang secara fisik, menyerang dengan objek, menyerang secara verbal dan melanggar hak milik orang lain. Faktor yang mempengaruhi perilaku agresif anak secara umum dikelompokankan menjadi dua, yaitu faktor yang berasal dari dalam dan luar diri anak. Faktor dari dalam diri anak, pada dasarnya berkelahi adalah insting yang universal yang ada di dalam diri setiap manusia. Frustrasi dalam kehidupan sehari-hari akan menimbulkan dorongan agresif. Anak akan beraksi agresif jika ia
mendapatkan hambatan dalam memuaskan keinginannya. Anak yang banyak berfantasi akan lebih sedikit bertingkah laku agresif. Faktor dari luar diri anak, perilaku agresif anak didapat karena contoh dari lingkungan sekitarnya, dari orangtua, paman, bibi, atau saudara kandung maupun temannya sendiri. Jadi, perilaku agresif ini didapat dari hasil belajar dari lingkungannya. Film yang bertemakan kekerasan dapat menimbulkan perilaku agresif pada anak, sekalipun film kartun. Hukuman fisik dari orangtua yang bertujuan untuk mendisiplinkan anak juga dapat menjadi contoh bagi anak untuk berperilaku agresif (Hawadi, 2001). Menurut aliran ilmu jiwa modern, dikatakan bahwa di dalam diri manusia terdapat dorongan-dorangan batin yang dapat mempengaruhi tingkah laku dan kehidupan manusia. Agresif terjadi karena hasrat atau dorongan batin yang tidak dapat dipenuhi karena suatu rintangan. Frustrasi terjadi karena mendapat rintangan untuk memenuhi atau memuaskan keinginan dari hasrat dan batin. Frustrasi adalah keadaan batin seseorang yang tidak seimbang, perasaan tidak puas karena dorongan atau hasrat yang tidak dapat dipenuhi. Agresif diperkirakan timbul karena adanya frustrasi. Tidak semua frustrasi akan menimbulkan agresif pada seseorang. Suatu tindakan agresif tidak selalu tertuju kepada pihak yang menyebabkan frustrasi tersebut, agresif dapat tertuju kepada pihak lain yang tidak bersalah (Purwanto, 1992). Menurut
buku
Behavior
Modificatio,
Raymon
G
Miltenberger
2004,perilaku adalah apa yang dikerjakan dan apa yang dikatakan oleh manusia. Apa yang dilakukan seseorang termasuk dalam perilaku, jadi bukan sifat dari
orang tersebut. Bila kita mengatakan orang itu marah, kita bukan mengidentifikasi perilaku orang tersebut, tetapi kita melabelkan perilaku dari orang tersebut. Tetapi bila kita mengidentifikasi apa yang orang itu katakan atau lakukan, itu berarti kita mengidentifikasi perilaku orang tersebut. Perilaku terdiri dari satu atau beberapa dimensi yang dapat diukur. Kita dapat mengukur frekuensi dari perilaku, banyaknya perilaku yang muncul atau durasi atas perilaku, lamanya waktu pada saat perilaku terjadi sampai berakhir. Atau dapat diukur dari intensitas perilaku, kekuatan fisik yang terjadi atas perilaku tersebut. Frekuensi, durasi dan intensitas adalah dimensi fisik dari perilaku. Perilaku dapat diobservasi, digambarkan dan direkam oleh orang lain atau dari diri orang tersebut. Karena perilaku adalah suatu tindakan yang mempunyai dimensi fisik, kemunculanya dapat diobservasi. Orang dapat melihat perilaku bila perilaku tersebut muncul. Karena dapat diobservasi, orang yang melihat perilaku tersebut dapat menggambarkan dan merekam kemunculan dari perilaku tersebut. Perilaku mempunyai dampak pada lingkungan, termasuk atas diri sendiri atau terhadap orang lain. Karena perilaku adalah tindakan, maka berhubungan dengan ruang dan waktu (Johnston & Pennypacker, 1981), timbulnya perilaku tersebut mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Kadang pengaruh pada lingkungan dapat terlihat jelas, kadang efek dari perilaku hanya pada orang tersebut. Tetapi semua perilaku manusia pastinya akan berdampak atas dirinya atau lingkungan di sekitarnya, baik kita sadari atau tidak.
Perilaku mempunyai hukum, kemunculan perilaku secara sistematis dipengaruhi
oleh
kejadian
dari
lingkunganya.
Prinsip
dasar
perilaku
menggambarkan hubungan fungsional antara perilaku dengan kejadian di sekitarnya. Prinsip ini menjelaskan bagaimana perilaku kita sangat dipengaruhi oleh atau muncul karena ada sesuatu dari lingkungan kita. Prinsip ini menjadi pegangan, bilamana kita mengetahui lingkungan apa yang mengakibatkan perilaku tersebut muncul, kita dapat mengubah lingkungan tersebut untuk merubah perilaku. Perilaku dapat terlihat atau tidak terlihat. Perilaku terlihat adalah tindakan yang dapat diobservasi dan direkam oleh orang lain atau orang tersebut. tetapi yang tidak terlihat tidak dapat diobservasi oleh orang lain (Skinner, 1974). Misalnya, pikiran, merupakan perilaku yang tidak terlihat, tidak dapat diobservasi dan direkam oleh orang lain. Tetapi pikiran dapat diobservasi hanya oleh orang itu sendiri (Miltenberger, 2004).
2.5
Teori Pengkondisian Operan Penguatan negatif adalah pengurangan stimulus terhadap sampel, dan dengan pengurangan tersebut, respon akan semakin kuat (Budiningsih, 2005). Dari laporan pihak guru kelas sampel, sampel adalah anak yang mau mendengar nasihat dan merubah kelakuannya. Tetapi perubahan pada diri sampel tidak menetap dan hanya bertahan sangat singkat pada diri sampel. Pada saat pemberian perlakuan di lapangan, peneliti menemukan perilaku sampel yang kurang baik.
Dalam melakukan kegiatan finger painting, sampel tidak dapat mengkontrol tindakannya dengan mengotori kelas secara berlebihan. Untuk mengatasi perlakuan tersebut, peneliti mengunakan penguatan negatif kepada sampel. Peneliti memberikan pilihan kepada sampel untuk tidak mengotori kelas atau perlakuan finger painting akan dihilangkan. Sampel memilih untuk tidak mengotori kelas dan meminta perlakuan finger painting tetap dilakukan.
2.6
Teori Pelaksanaan Perlakuan di Lapangan Dalam melakukan proses pemberian perlakuan kepada sampel, peneliti mempunyai pegangan pelaksanaan (Hale dan Roy, 1996), seperti: Peneliti
tidak
memaksakan
kehendak
pribadi
kepada
anak,
dengan
memerintahkan sampel untuk hanya menggambar yang diinginkan peneliti. Peneliti lebih menekankan pada proses bukan hasil akhir dari gambar sampel. Peneliti tidak mengarahkan sampel untuk mewarnai sesuatu yang sudah berbentuk. Karena tindakan tersebut dapat membuat sampel merasa gambarnya tidak bagus dan dapat mengakibatkan sampel berhenti menggambar. Peneliti juga tidak membetulkan gambar sampel yang salah dan tidak membanding-bandingkan gambar sampel dengan gambar orang lain. Peneliti tidak pernah menggambar untuk memberikan contoh kepada sampel atau mengarahkan gambar sampel. Dalam proses perlakuan di lapangan, peneliti mengarahkan sampel untuk mengunakan bermacam-macam material gambar seperti krayon, pensil, arang, cat air, cat minyak, dan sebagainya.
2.7
Teori Gaya Asuh Penelitian literatur dilakukan peneliti untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perilaku sampel. Orang tua permissive adalah orang tua yang hangat tetapi tidak menuntut. Mereka cenderung membiarkan dan bersifat pasif dalam mendidik. Bagi mereka cara ini sebagai ungkapan kasih sayang. Orangtua permissive tidak suka mengatakan tidak atau mengecewakan anaknya. Hasilnya anak diberikan atau sering mengambil keputusan penting tanpa masukan dari orangtua. Orangtua tidak menempatkan dirinya sebagai partisipan aktif dalam pembentukan kelakukan anak, tetapi lebih banyak sebagai suatu sumber bilamana anak mereka ingin meminta nasihat (Kopko, 2007). Penelitian menemukan orangtua permisif minim dalam memberikan batasan-batasan, aturan dan konsekuensi atas pelanggaran tidak serius. Sebagai hasilnya anak bermasalah dengan pengontrolan diri dan menunjukan keegoisan yang dapat menggangu perkembangan sosial. Pengasuhan permissive indulgent adalah gaya pengasuhan dimana orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, tetapi mereka menetapkan sedikit batasan atau kendali terhadap anak. Dengan model pengasuhan seperti ini, anak mempunyai kendali diri yang kurang. Anak jarang belajar menaruh hormat pada orang lain dan mengalami kesulitan mengendalikan perilaku mereka (Santrok, 1995). Kehadirnya seorang adik dapat menimbulkan kecemasan pada diri sampel. Ibu menghabiskan banyak waktu untuk bayi baru daripada anak sebelumnya, sehingga dapat menimbulkan kecemasan hilangnya kasih sayang dan kecemasan
bila ibu akan lebih menyayangi adiknya daripada dirinya (Campbell, 1990). Keberadaan adik dapat menjadi salah satu sumber stress untuk anak kecil karena perubahan hubungan dan lingkungan keluarga (Volling, 2003).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian tindakan. Tahapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melakukan identifikasi persoalan, menentukan data, mengumpulkan data dan analisa, merencanakan tindakan lanjutan, melaksanakan tindakan lanjutan dan kemudian evaluasi dan follow up. Dengan panduan tersebut, peneliti melakukan tahapan awal dengan melakukan wawancara untuk mengidentifikasi masalah, menentukan subjek penelitihan, mengumpulkan data dan melakukan analisa data untuk tindakan berikutnya. Setelah itu peneliti melakukan tahapan kedua yaitu merencanakan dan melaksanakan tindakan yang berdasarkan dari tahapan awal, dan kemudian melakukan evaluasi dari hasil pelaksanaan. Dari hasil ini dilakukan analisa lagi untuk mengambil tindakan berikutnya. Tindakan ini terus dilakukan untuk menjawab dan menemukan tujuan follow up. (Johnson, 2005; Mills, 2007; Tomal, 2003). Dalam proses penelitian ini, beberapa teknik menggambar dicobakan kepada sampel. Kemudian dilakukan evaluasi dengan melakukan observasi. Observasi dibantu oleh orangtua dan guru kelas yang melaporkan ada tidaknya perubahan pada perilaku sampel. Bila tidak ada perubahan perilaku, teknik menggambar lainnya digunakan, sampai adanya laporan perubahan perilaku dari orangtua dan guru kelas sampel.
3.2
Sampel Penelitian Sampel penelitian ini dipilih dengan cara Purposive Sampling (Sugiyono, 2007). Peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam memilih dan menentukan sampel penelitian. Teknik ini cocok digunakan untuk penelitihan kualitatif, atau penelitian yang tidak melakukan generalisasi. Peneliti melakukan wawancara kepada pengurus sekolah XXX untuk mendapatkan sampel dengan karakterisitik yang sesuai untuk penelitian ini. Sampel yang mempunyai masalah perilaku yang kurang baik di sekolah, seperti suka membuat masalah di sekolah, merusak dan melempar barang, berisik di kelas, bertengkar, suka dimarahi oleh guru dan sebagainya. Sampel penelitian adalah seorang anak berjenis kelamin laki-laki, bernama Xxx. Ia lahir pada tanggal 1 Mei 2002, berumur 6 tahun, tetapi pada saat penelitihan Xxx masih berumur 5 tahun akhir. Xxx bersekolah di XXX, kelas TK. B. Aktivitas yang dilakukan Xxx di luar kegiatan sekolah adalah les bahasa Inggris, dan kegiatan tersebut telah diikuti Xxx sebelum penelitian ini dilakukan. Selain aktivitas les bahasa Inggris, Xxx tidak melakukan aktivitas lainnya.
3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sekolah XXX yang berlokasi di ruko Gajah Mada, Karawaci, Tangerang. Penelitian dilakukan di ruangan TK.B, di dalam kelas dimana Xxx belajar. Kegiatan ini dilakukan kurang lebih selama dua bulan, dari awal Maret sampai akhir April. Aktivitas dilakukan dua kali dalam satu minggu, setiap hari Senin dan Rabu. Kegiatan dimulai pukul 10:30 sampai kurang lebih
pukul 12:00. Kegiatan dilakukan setelah kegiatan aktivitas sekolah selesai. Xxx mengikuti kegiatan ini sambil menunggu adik Xxx yang selesai belajar kira-kira jam satu siang, dan setelah itu dijemput oleh ibu Xxx. Tetapi pada proses pelaksanaan di lapangan, peneliti lebih menekankan pada kemauan dan semangat Xxx. Bila Xxx sedang tidak terlalu berminat, kegiatan akan lebih cepat selesai, tetapi bila Xxx sedang bersemangat kegiatan bisa lebih dari pukul 12:00.
3.4
Instrumen Penelitian Setelah apa yang dipelajari cukup jelas, peneliti mengembangkan instrumen berupa kuesioner, observasi, wawancara dan dokumen berupa hasil gambar Xxx (Nasution, 1998). (keterangan tersedia di lampiran)
3.5
Teknik Pengumpulan Data 3.5.1
Wawancara Wawancara merupakan unsur yang penting dalam proses penelitian ini. Peneliti melakukan wawancara kepada pengurus sekolah, guru kelas dan ibu Xxx. Wawancara yang dilakukan dalam proses penelitian ini dengan cara tidak terstruktur atau terbuka (Sugiyono, 2007). Dalam proses wawancara untuk mengumpulkan data, peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap. Wawancara tidak terstruktur atau terbuka, sering digunakan
dalam penelitian pendahuluan atau untuk penelitian yang lebih mendalam tentang responden.
Tabel 3.1. Wawancara
Wawancara dibagi menjadi tiga fokus yaitu : •
Fokus pertama, wawancara dilakukan kepada pengurus dan guru Xxx. Wawancara dilakukan untuk memberikan informasi tentang penelitian, mencari, menentukan dan mendapatkan sampel. Wawancara lanjutan dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi tentang sampel dan mendapatkan sekilas informasi tentang gaya asuh orangtua sampel.
•
Fokus kedua, wawancara dilakukan kepada guru Xxx. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan laporan dari pihak guru kelas Xxx, telah terjadi perubahan perilaku atas diri Xxx. Laporan ini didapat dari hasil observasi orangtua Xxx
di rumah yang
kemudian dilaporkan kepada guru kelas Xxx serta hasil observasi guru Xxx di sekolah. •
Fokus ketiga, wawancara dilakukan kepada ibu Xxx. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi lebih dalam lagi mengenai keluarga Xxx, gaya asuh orangtua Xxx dan mengetahui perubahan perilaku Xxx. Data-data ini berguna untuk memperkuat perubahan perilaku Xxx dan berguna untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian.
3.5.1.1 Wawancara pertama dengan pengurus sekolah, awal Februari 2008. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menerangkan tujuan dan manfaat dari penelitihan ini, meminta ijin untuk melakukan penelitian dan menanyakan apakah ada sampel penelitian yang sesuai untuk penelitian ini (keterangan tersedia di lampiran). 3.5.1.2
Wawancara kedua dengan pengurus sekolah, tanggal 18 Februari 2008. Dalam wawancara ini, pihak pengurus sekolah memberikan izin untuk melakukan penelitian di sekolahnya, dan memberitahukan bahwa ada sampel yang sesuai. Seorang anak yang mempunyai masalah perilaku. Perilaku aktif dan agresif anak tersebut paling menonjol dibandingkan teman-temannya di kelas, terkadang sampai membuat guru-guru cukup kewalahan untuk menangani
perilaku anak tersebut. Pihak pengurus sekolah membantu untuk meminta ijin kepada orang tua sampel. Dan orangtua sampel memberikan tanggapan yang positif dan persetujuan kepada peneliti untuk mengadakan penelitian kepada sampel (keterangan tersedia di lampiran). 3.5.1.3
Wawancara dengan pihak guru, tanggal 25 Februari 2008. Tujuan dari wawancara ini adalah mendapatkan informasi lebih banyak tentang Xxx, mengenai tindakan-tindakannya di dalam kelas, menanyakan tentang kemampuan akademisnya, informasi tentang
orangtua
Xxx
dan
meminta
bantuannya untuk
melakukan aktivitas penelitian nantinya (keterangan tersedia di lampiran). 3.5.1.4
Wawancara dengan ibu Xxx, tanggal 29 Februari 2008. Memberikan informasi tujuan dan manfaat penelitian ini, lebih mendapatkan informasi tentang Xxx dan mengetahui gaya asuh orangtua Xxx (keterangan tersedia di lampiran).
3.5.1.5
Wawancara dengan guru kelas, tanggal 7 April 2008. Adanya laporan dari pihak ibu Xxx dan guru kelas Xxx yang memberikan informasi adanya perubahan perilaku pada Xxx. Tujuan wawancara ingin mengetahui perubahan perilaku Xxx (keterangan tersedia di lampiran).
3.5.1.6
Wawancara dengan ibu Xxx, tanggal 30 April 2008.
Tujuan wawancara untuk mengetahui keluarga Xxx dan perubahan yang terjadi pada perilaku Xxx (keterangan tersedia di lampiran). 3.5.1.7
Wawancara dengan ibu Xxx, tanggal 5 Mei 2008. Tujuan wawancara mengetahui keluarga Xxx, gaya asuh orangtua Xxx, perubahan perilaku Xxx (keterangan tersedia di lampiran).
3.5.2
Observasi Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dalam proses observasi ada dua faktor yang terpenting yaitu proses pengamatan dan ingatan (Hadi, 1986). Dalam melakukan
proses observasi, peneliti
berperan sebagai nonpartisipan. Peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat independen. Instrumen yang dipakai peneliti untuk observasi adalah instrumen tidak terstruktur.
Dengan
instrumen
tersebut,
proses
observasi
tidak
dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan diobservasi. Peneliti tidak menggunakan instrumen yang baku, tetapi hanya berupa ramburambu saja (Sugiyono, 2007). Observasi dilakukan pada awal Maret 2008 sampai kira-kira akhir April 2008. Kegiatan dilakukan dua kali dalam satu minggu, setiap hari Senin dan Rabu, dimulai pada pukul 10:30 sampai kira-kira pukul 12:00
siang. Observasi ini dilakukan sebanyak dua belas kali pertemuan. Selama proses penelitian, peneliti memberikan perlakuan menggambar dengan 4 macam teknik menggambar yaitu memori, observasi, emosi dan imajinasi. Imajinasi diberikan dengan dua macam media yang berbeda yaitu dengan spidol dan dengan cat (Finger Painting). Pada pemberian perlakuan, pada hari pertama perlakuan, peneliti menggunakan kertas berukuran 29,7 x 42 cm (A3). Kemudian peneliti mengganti kertas menjadi berukuran 42 x 59,4 cm (A2). Pengantian kertas ini dilakukan pada pertemua kedua dan selama penelitian, peneliti menggunakan kertas ukuran besar. Perubahan ukuran ini dilakukan peneliti untuk meningkatkan percaya diri Xxx.
Tabel 3.2. Perlakuan
Menurut Professor of Art dari universitas Goshen Amerika Dr. Marvin Bartel (2006), sebuah gambar dapat dihasilkan dengan tiga macam teknik yaitu: memori, imajinasi dan observasi. Dari hasil literatur ini, peneliti mendapatkan informasi mengenai metode pemberian teknik-teknik tersebut, kemudian peneliti mencobakan teknik-teknik tersebut kepada Xxx. Teknik memori, adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengungkapkan pengalaman anak. Dengan teknik ini, anak menceritakan pengalamannya lewat gambara. Anak diajak bercakap-cakap untuk membantu mengingat pengalamannya. Dengan teknik ini, membuat kecerdasan pasif menjadi aktif. Teknik observasi dirasakan perlu karena dapat meningkatkan kepercayaan diri anak, melatih konsentrasi dan kesabaran anak. Dengan memberikan teknik tersebut kepada Xxx, diharapkan Xxx belajar untuk dapat lebih mengkontrol perilakunya. Karena dengan pendekatan teknik ini, Xxx
harus mencoba mengkontrol dirinya, Xxx harus belajar
berkonsentrasi, meningkatkan kesabaran dan pengkontrolan diri. Dengan pemikiran tersebut diharapkan Xxx dapat belajar mengkontrol dirinya dan akan berdampak positf bagi perilaku Xxx (Bartel, 2006). Untuk perlakuan teknik emosi, peneliti melakukan pendekatan dengan cara memperkenalkan bermacam ekspresi wajah kepada Xxx dan mengajak Xxx untuk menyebutkan perasaan apa yang terwakilkan dalam ekspresi wajah pada gambar-gambar tersebut. Setelah itu peneliti
mengajak Xxx untuk menggambar perasaan Xxx pada hari tersebut. Setelah Xxx selesai menggambar, peneliti mengajak Xxx untuk bermain tebak-tebakan dengan menggambar. Peneliti mempersiapkan label-label yang telah ditempelkan di atas kertas gambar. Label-label tersebut bertuliskan kalimat-kalimat seperti apa yang membuat Xxx marah, sedih, senang, malu dan sebagainya. Kemudian peneliti mengajak Xxx untuk mengambar sesuai dengan kalimat tersebut. Hasil dari pendekatan ini kurang mendapatkan respon yang baik dari Xxx. Lamanya waktu Xxx untuk mengikuti pendekatan ini sangat singkat, kegiatan berlangsung tidak sampai 10 menit. Penggunan kertas yang minin, di bawah 5 lembar. Dengan teknik ini, Xxx kurang termotivasi, terlihat kurang semangat dan antusias dan hasil gambar kurang spontan dan ekspresif. Xxx juga meminta mengganti kegiatan tersebut dengan teknik mengambar imajinasi. Pada perlakuan dengan teknik imajinasi, peneliti menggunakan dua media yang berbeda, yaitu spidol dan cat. Teknik imajinasi dengan media cat (finger Painting), diperoleh peneliti pada saat peneliti memberikan perlakuan di lapangan kepada Xxx. Dimana ketika proses menggambar sedang berlangsung, Xxx bertanya kepada peneliti, apakah peneliti mempunyai cat. Pada saat itu peneliti tidak menyediakan dan tidak terpikir rencana untuk memberikan media tersebut kepada Xxx. Xxx kemudian mencari cat di sekolah dan memakai cat sebagai material menggambar.
Sejak saat itu, peneliti menyediakan cat tempra berukuran besar dengan bermacam-macam warna untuk Xxx gunakan. Dalam proses observasi ini, peneliti melakukan pencatatan data, mengambil gambar dan rekaman serta mengumpulkan hasil gambar Xxx selama observasi yang dapat digunakan untuk menunjang penelitian ini (keterangan tersedia di lampiran).
3.5.3
Dokumentasi Untuk memperkuat penelitian, peneliti melakukan dokumentasi dari observasi di lapangan dan hasil gambar dari Xxx selama proses penelitian (keterangan tersedia di lampiran).
3.5.4
Kuesioner Kuesioner dilakukan sebanyak satu kali dan diberikan kepada ibu Xxx dan guru kelas Xxx. Kuesioner diberikan kepada mereka setelah Xxx diberikan perlakuan di lapangan. Kuesioner berisikan pertanyaanpertanyaan tentang perilaku Xxx sebelum dan setelah Xxx diberikan perlakuan. Kuesioner digunakan untuk mengukur perubahan perilaku Xxx, dilakukan pada akhir penelitian dan diajukan kepada orangtua dan guru kelas Xxx. Peneliti mendapatkan bantuan dari orangtua dan guru Xxx untuk mengetahui perubahan perilaku Xxx. Dalam membuat kuesioner, peneliti menggunakan skala Semantic Deferensial (Sugiyono, 2007). Skala ini dikembangkan oleh Osgood dan biasanya digunakan untuk mengukur
sikap seseorang. Jawaban berbentuk tersusun dalam satu garis kontinum yang jawabanya dari ”sangat positif” terletak di bagian kiri atau sebaliknya. Data yang didapat adalah data interval, digunakan untuk mengukur sikap atau karakterisitik yang dipunyai seseorang. Metode kuesioner pada penelitian ini mempunyai kelemahan karena pengukuran perubahan perilaku Xxx, sebelum dan sesudah melakukan aktivitas menggambar dilakukan pada akhir penelitian. Jadi ada proses mengingat kembali oleh orangtua dan guru kelas Xxx mengenai perilaku Xxx sebelum mengikuti aktivitas. 3.5.4.1 Pemberian kuestioner kepada ibu Xxx, tanggal 5 Mei 2008 Tujuan kuesioner adalah mengetahui perubahan yang terjadi pada perilaku Xxx setelah mengikuti kegiatan menggambar (keterangan tersedia di lampiran). 3.5.4.2 Pemberian kuestioner questioner kepada guru kelas, tanggal 10 Mei 2008 Tujuan kuesioner adalah mengetahui perubahan yang terjadi pada perilaku Xxx setelah mengikuti kegiatan menggambar (keterangan tersedia di lampiran).
3.6 Analisis Data Untuk memperoleh data hasil, peneliti mendapatkan bantuan dari orangtua dan guru kelas Xxx sebagai pengamat atas perubahan perilaku Xxx. Peneliti melakukan satu kali pengukuran, dilakukan pada akhir penelitian. Indikator yang
dipakai dalam membuat kuesioner dikembangakan oleh peneliti berdasarkan dari hasil wawancara dan dari karakterisitik perilaku anak agresi (Hawadi, 2001). Dari hasil kuesioner diperoleh data mengenai perubahan perilaku agresif, sebelum dan setelah Xxx mengikuti aktivitas menggambar. Kemudian hasil data tersebut diolah kedalam bentuk perbandingan perilaku agresif Xxx dari sebelum dan setelah Xxx mengikuti aktivitas menggambar.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pembahasan hasil penelitian ini akan mendeskripsikan tentang latar belakang perilaku Xxx, teknik menggambar yang sesuai dengan Xxx dan pengaruh Finger Painting terhadap perubahan perilaku Xxx. Hasil penelitian ini didapat dari wawancara dengan orangtua dan guru kelas Xxx, observasi di lapangan, dan hasil kuesioner yang diberikan kepada orang ua dan guru kelas Xxx. Pembahasan akan disesuaikan dengan urutan pertanyaan penelitian.
4.1
Latar Belakang Perilaku Xxx Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti melakukan wawancara dengan orangtua dan guru kelas Xxx, dan peneliti juga melakukan penelitian literatur. Wawancara dilakukan sebanyak empat kali untuk mendapatkan informasi, pada tanggal 25, 29 Februari, 30 April dan 5 Mei 2008 (untuk lebih lengkapnya wawancara tersedia pada lampiran).
Wawancara pada tanggal 25 Februari 2008 yang dilakukan dengan guru Xxx T
: Apakah Xxx anak tunggal?
J
: Xxx mempunyai adik, yang bersekolah disini. Kelas TK. A
T
: Bagaimanakah hubungan sekolah dengan ibu Xxx ?
J
: Sangat baik, pihak sekolah selalu melakukan komunikasi dengan ibu Xxx. Pihak sekolah selalu melaporakan kepada ibu Xxx, bila Xxx melakukan tindakan-tindakan yang kurang baik seperti menggangu, mengucapkan kata-kata yang tidak baik, bertengkar dan sebagainya. Ibu Xxx adalah seorang wanita yang sangat sabar dan lembut. Bila Xxx berbuat kurang baik, sang ibu hanya menegur Xxx. Teguran yang diberikan juga dengan
halus, dengan nada suara yang datar tidak pernah berteriak atau suara yang meninggi dan tidak pernah melihat marah-marah atau memarahi Xxx bila Xxx salah.
Wawancara pada tanggal 29 Februari 2008 yang dilakukan dengan ibu Xxx T
: Dalam mengatur Xxx, apakah ibu memberikan aturan-aturan yang harus dipenuhi oleh Xxx, setiap hari harus belajar beberapa jam, harus tidur siang dan sebagainya ?
J
: Ibu Xxx mengatakan, bahwa tidak mengekang Xxx, memberikan kebebasan kepada Xxx selama Xxx tidak melakukan tindakan-tindakan benar-benar sudah diluar batasbatas.
T
: Bagaimana ayah Xxx sehari-harinya?
J
: Ayah Xxx bekerja sehari-harinya sebagai pegawai swasta. Mempunyai perilaku yang suka bercanda dan susah untuk bersikap serius. Ayah Xxx juga tidak terlalu memberikan aturan-aturan yang terlalu keras, untuk segala urusan Xxx biasanya diatur atau diurus oleh ibu Xxx.
Wawancara pada tanggal 30 April 2008 yang dilakukan dengan ibu Xxx T
: Nama adik Xxx ?
J
: Larry
T
: Umur ?
J
: 4,5 tahun
T
: Jenis kelamin ?
J
: Laki-laki
T
: Kapan tanggal lahir Xxx ?
J
: 2 Mei 2002
Wawancara pada tanggal 5 Mei 2008 yang dilakukan dengan ibu Xxx T
: Jumlah anak ?
J
: 2 orang
T
: Pekerjaan suami ?
J
: Pegawai swasta
T
: Berapa jam yang dihabiskan untuk bekerja ?
J
: 10 jam
T
: Apakah tindakan Xxx bila Ia ada masalah atau berbuat masalah ?
J
: Bila Xxx melakukan kesalahan, misalnya Xxx menyebutkan kata yang tidak sopan di kelas dan diberitahu ke saya, saya akan memberikan dua pilihan kepada Xxx. Hal ini akan diberitahukan kepada ayah Xxx, atau Xxx janji tidak mengulangi lagi dan hal ini akan dirahasiakan kepada ayahnya. Xxx akan memilih tidak melakukan hal tersebut lagi dan meminta dirahasiakan dari ayahnya. (tetapi ibu tetap akan menyampaikan kepada ayahnya, hanya saja tidak dibahas oleh ayahnya di depan Xxx). Sangat sering Xxx melakukan kesalahan besar/ fatal dan Xxx meminta saya untuk merahasiakan dari ayahnya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Dari hasil wawancara di atas, peneliti mendapat hasil bahwa Xxx bukan merupakan anak tunggal, tetapi merupakan seorang kakak yang mempunyai seorang adik laki-laki. Perbedaan umur antara mereka tidak terpaut jauh, bahkan sangat dekat. Xxx pada bulan ini baru genap berumur 6 tahun dan adik Xxx hampir berumur 5 tahun. Xxx sekarang sudah hampir menyelesaikan kelas TK. B, begitu juga adik Xxx yang akan menyelesaikan TK. A. Ibu Xxx bekerja hanya sebagai ibu rumah tangga yang mengurus keperluan semua keluarga. Ayah Xxx berkerja sebagai pegawai swasta yang mempunyai waktu kerja yang cukup tinggi. Dari hasil wawancara, ayah Xxx ratarata setiap harinya menghabiskan waktu sebanyak 10 jam untuk bekerja. Dari hasil wawancara dengan guru kelas Xxx, diketahui Ibu Xxx adalah seseorang yang kurang tegas dalam mengatur Xxx, bila Xxx melakukan kesalahan atau berbuat nakal, ibu Xxx tidak pernah kelihatan marah atau menegur Xxx dengan tegas, tetapi ibu Xxx hanya bicara dengan nada yang tenang dan berkesan lembut, tidak ada nada meninggi dalam menasehati atau menegur Xxx. Peneliti juga malakukan wawancara kepada ibu Xxx dan mendapatkan hasil, bahwa ibu Xxx kurang memberikan aturan-aturan dalam keseharainnya
untuk mendidik Xxx. Ayah Xxx juga bukan orang yang keras dan juga tidak terlalu mengatur malahan cenderung memberikan kebebasan. Ibu Xxx juga menambahkan bahwa ayah Xxx adalah seorang yang sangat suka bercanda, dan bahkan sukar untuk diajak serius. Bila Xxx melakukan tindakan yang tidak baik, seperti bicara kotor di sekolah atau berbuat kurang baik, ibu Xxx tidak menghukum Xxx, Tetapi ibu Xxx menggunakan sosok ayah Xxx untuk mengatur Xxx dengan cara memberikan pilihan kepada Xxx untuk berjanji tidak berbuat kesalahan itu lagi atau dilaporkan kepada ayah Xxx. Xxx sering berbuat salah tetapi Xxx berjanji tidak mengulangi lagi dan meminta kepada ibu Xxx supaya tidak melaporkan kepada ayah Xxx. Dari hasil penelitian ini, peneliti mendapati bahwa gaya mendidik orangtua Xxx cenderung ke indulgent, dimana orangtua tidak menempatkan dirinya sebagai partisipan aktif dalam pembentukan kelakuan. Orangtua permisif minim dalam memberikan batasan-batasan dan aturan dan konsikuensi atas pelanggaran
tidak
serius.
Sebagai
hasilnya
anak
bermasalah
dengan
pengkontrolan diri dan menunjukan keegoisan yang dapat menggangu perkembangan sosial anak. Orangtua permissive indulgent, orangtua yang sangat terlibat dalam kehidupan anak, tetapi mereka menetapkan sedikit batasan atau kendali terhadap anak. Dengan model pengasuhan seperti ini, anak mempunyai kendali diri yang kurang. Anak jarang belajar menaruh hormat kepada orang lain dan mengalami kesulitan mengendalikan perilaku mereka.
4.2
Teknik Menggambar yang Sesuai Untuk Xxx Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti melakukan observasi di lapangan dan dokumentasi hasil gambar Xxx. Peneliti memberikan beberapa teknik menggambar pada saat observasi kepada Xxx, seperti memori, observasi, emosi dan imajinasi. Pada teknik imajinasi, peneliti mencobakan dengan media yang berbeda, dengan media spidol dan media cat kepada Xxx. Dalam proses ini, peneliti bertindak lebih sebagai fasilitator. Peneliti menyediakan
peralatan
menggambar
dan
memperkenalkan
teknik-teknik
menggambar kepada Xxx. Peneliti memberikan kebebasan kepada Xxx dalam proses aktivitas menggambar tersebut bahkan peneliti menekankan kepada Xxx bahwa kertas yang dipakai Xxx merupakan milik Xxx dan Xxx bebas untuk menggambar apapun yang Xxx inginkan. Apakah Xxx ingin mengikuti teknik yang diberikan atau ingin mencoba teknik yang lain yang Xxx inginkan, Xxx yang menentukan sendiri. Bila Xxx tidak tertarik dengan teknik tertentu, peneliti akan menanyakan Xxx, apa yang ingin dilakukan Xxx dan kegiatan tersebut akan disesuaikan dengan keinginan Xxx (Engel, 1995;Douglas, 1996; Hale & Roy, 1996). Peneliti tidak memaksakan, tetapi memberikan kebebasan dan kesenangan kepada Xxx karena proses menggambar disini digunakan peneliti sebagai media katarsis untuk Xxx. Dengan memberikan kebebasan dan kesenangan kepada anak, anak dapat mengeluarkan emosinya dengan baik, sehingga membawa dampak yang positif bagi anak (Fraud, 1991;Hawadi, 2001; Rebecca T. Isbell & Shirley C. Raines, 2007; Edwards. S, 2004). Bila malah memaksakan, anak menjadi tidak
tertarik, kesal, marah dan sebagainya, yang menyebabkan proses menggambar ini bukan sebagai media yang menyenangkan malah sebaliknya. (Hurlock, 1978). Hasil perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 4.3 ini.
Tabel 4.3. Hasil observasi
4.2.1
Teknik Memori Dalam melakukan teknik ini, komunikasi menjadi peranan yang sangat penting. Dengan komunikasi, peneliti memberikan pertanyaanpertanyaan yang dapat memotivasi Xxx untuk membantu Xxx mengingat pengalamannya. Karena perlakuan dberikan pada hari Senin, peneliti menanyakan kemana Xxx pergi berlibur, Xxx menceritakan aktivitasnya di hari libur. Xxx dan keluarga berjalan-jalan ke mall, naik bis yang besar dan terus Xxx menceritakan aktivitas hari liburnya itu, bis yang digunakan dan menceritakan
pengalamannya
pergi
ke
Lampung.
Peneliti
juga
menanyakan tentang rumah Xxx, apa saja kegiatan bila dirumah dan meminta Xxx bercerita tentang rumahnya. Setelah itu peneliti mengajak Xxx untuk menggambarkan aktivitas tersebut di kertas gambar, tetapi Xxx tidak tertarik, Xxx hanya mencoret-coret spidol di atas kertas. Hasil gambar dapat dilihat pada gambar 4.1. Dalam memberikan pendekatan teknik memori, peneliti juga mendapat kesulitan. Xxx kurang tertarik dan termotivasi dengan teknik memori. Xxx menjadi malas-malasan dan tidak bersemangat untuk menggambar sehingga proses menggambar menjadi sangat singkat sekali. Aktivitas menggambar kurang dari 10 menit saja dan Xxx sudah tidak mau lagi menggambar dengan teknik tersebut dan meminta untuk menggambar imajinasi atau bila peneliti sedang membawa peralatan cat, Xxx akan meminta untuk menggunakan cat. Jumlah lembar kertas yang dipakai dalam aktivitas mengambar dengan teknik ini juga sangat sedikit hanya 2 sampai 3 lembar saja. Bila terjadi kejadian seperti ini, peneliti akan menanyakan kepada Xxx, apakah Xxx mau menggambar yang lain, dan Xxx selalu mengatakan ingin menggambar bebas saja (keterangan tersedia pada lampiran). Setelah perlakuan selesai diberikan, Xxx meminta kepada peneliti untuk menggunakan perlakuan yang lain. Xxx meminta peneliti untuk menggambar imajinasi dengan spidol atau finger painting.
4.2.2
Teknik Emosi Pendekatan perlakuan menggambar emosi juga diberikan oleh peneliti. Peneliti mengajak Xxx untuk bersama-sama melihat gambargambar ekspresi wajah orang dan peneliti menanyakan kondisi emosi dari orang tersebut. Peneliti juga mengajak Xxx untuk menggambar mengebai perasaan Xxx dengan memberikan label-label di kertas gambar Xxx dan mengajak Xxx untuk menggambar sesuai dengan label-label tersebut. (Walker Art Center, 2004). Pada label peneliti menuliskan apa yang membuat Xxx marah , bersemangat, tertawa dan sebagainya. Xxx menggambar seorang perampok, kolam renang dan kupu-kupu seperti tampak pada gambar 4.3. Setelah itu peneliti mengajak
Xxx untuk menggambarkan
perasaan Xxx hari ini. Xxx mau menggambar tetapi proses pengambaran sangat cepat, Xxx kurang berkonsentrasi dan hasil gambar tidak rinci. Peneliti mengajak Xxx untuk lebih detail dalam menggambar, tetapi Xxx tidak menunjukan keantusiasan dalam kegiatan tersebut. Hasil gambar terlihat dalam gambar 4.4, Xxx menggambarkan seseorang yang sedang tertawa, menangis dan marah. Dengan menggunakan teknik ini, Xxx mau menggambar tetapi Xxx tidak terlalu bersemangat dan termotivasi. Xxx melakukan aktivitas tersebut sambil berjalan-jalan, melihat-lihat jalanan lewat jendela dan kembali ke meja. Kegiatan ini hanya berlangsung sangat cepat, hanya kira-
kira 15 menit dan Xxx meminta kepada peneliti untuk menggambar imajinasi. Dari hasil observasi, peneliti merasakan pendekatan ini kurang berhasil, untuk mengetahui lebih dalam, peneliti melakukan penelitian literatur dan menemukan pendekatan menggambar untuk mengenal perasaan dan pengekspresian perasaan lewat gambar, dianjurkan untuk anak-anak pada tahap operational stage umur 7 sampai 11 tahun. Bila anak belum pada tahap operational stage, dia akan mengalami kesulitan untuk konsep penggambaran perasaan. (Ginsberg & Opper, 1979).
4.2.3
Teknik Observasi Pada proses perlakuan teknik observasi, peneliti memberikan caracara seperti tactile practice (menggunakan jari secara perlahan mengikuti bentuk objek yang akan digambar) dan Air practice (menggulang menggambarkan objek dengan jari tetapi di udara). etapi Xxx tidak mau mengikuti cara-carat tersebut, bahkan Xxx bermain-main dengan mobil-mobilan yang menjadi model gambar. Begitu juga dengan Belinder practice (alat bantu untuk menggambar outline objek), Xxx tidak mau dan malah dibuat bermain-main (Bartel, 2001). Pada proses perlakuan di lapangan dengan menggunakan teknik observasi kepada Xxx, peneliti mendapatkan kesulitan dalam memberikan teknik tersebut kepada Xxx. Pada saat pelaksanaan, Ia sangat sulit untuk diarahkan dengan menggunakan teknik observasi. Xxx tidak mau
mengikuti arahan dari peneliti, dimana peneliti meminta Xxx untuk menggambar mobil hasil dari observasi bukan dari imajinasi. Bahkan model mobil yang dibawa oleh peneliti digunakan Xxx untuk bermain mobil-mobilan di kelas dan Xxx tidak tertarik lagi untuk menggambar. Pada hasil gambar Xxx, Xxx tidak menggambar mobil dari hasil observasi. Ia menggambar mobil tetapi hasil gambar, lihat gambar 4.6 merupakan hasil dari imajinasi Xxx. Bila Xxx diarahkan untuk mengamati objek dan menggambar dari hasil pengamatannya ia tidak mau dan tidak tertarik. Xxx menjadi cepat bosan dan tidak termotivasi untuk mengikuti aktivitas menggambar, dan aktivitas menggambar selesai sangat cepat, kira-kira 5 – 10 menit saja. Rata-rata Xxx menggambar di kertasnya hanya beberapa menit saja dan tidak terlihat semangatnya dalam menggambar hanya terburu-buru untuk selesai dan tidak termotivasi untuk lebih melengkapi hasil gambar. Dari hasil observasi ini, peneliti melihat Xxx tidak tertarik dan tidak menyukai menggambar observasi. Untuk memahami kendala di atas, peneliti melakukan penelitian literatur dan menemukan bahwa anak yang belum berumur delapan tahun belum mampu menggambar benda-benda dari hasil penglihatan atau apa yang dilihatnya, tetapi mereka menggambar menurut apa yang sedang dipikirkannya. Sehingga hasil karya mereka itu disebut gambar ideoplastik (Zulkifli, 2005).
4.2.4
Teknik Imajinasi 4.2.4.1
Teknik Imajinasi dengan Media Spidol Pendekatan ini diberikan pada Xxx dan mendapatkan respon yang baik dari Xxx. Bila Xxx tidak tertarik dengan teknik tertentu, peneliti memberikan teknik ini kepada Xxx. Teknik ini diterima cukup baik oleh Xxx, dengan kegiatan ini, Xxx bertahan cukup lama dalam mengikuti kegiatan aktivitas ini. Rata-rata Xxx dapat bertahan selama 1 jam lebih dalam proses menggambar. Xxx juga cukup sering mengganti kertas karena ingin menggambarkan gambar dengan tema yang berbeda-beda seperti mobil-mobil, bis, superheroes, dan apa saja yang Xxx inginkan. asil gambar yang dihasilkan Xxx cukup ekspresif, gambar penuh hampir seluruh bidang kertas digambar dan menggunakan cukup banyak warna., gambar dapat dilihat pada gambar 4.7. Dalam proses menggambar, terlihat semangat dan keantusiasan Xxx. Tetapi dari hasil gambar, Xxx hanya menggambar bentuk-bentuk dimana menyimbolkan sesuatu. Xxx hanya menggambar mengenai apa yang sedang dipikirkan olehnya, bukan perasaan atau sesuatu yang sedang dirasakan olehnya. Sehingga dengan teknik imajinasi dengan media spidol, emosi Xxx kurang dapat tersalurkan. (Walker Art Center, 2004; Zulkifli, 2005).
4.2.4.2 Imajinasi dengan Media Cat (finger painting) Pendekatan ekspresi imajinasi dengan media cat (finger painting) yang diberikan kepada Xxx mendapatkan respon yang sangat baik. Xxx sangat berantusias bila kegiatan menggambar menggunakan cat. Bila dengan teknik-teknik sebelumnya, Xxx cepat sekali bosan, kurang bersemangat dan waktu menggambar sangat singkat, sedangkan dengan aktivitas finger drawing, Xxx dapat menghabiskan waktu hampir 2 jam. Xxx tetap bersemangat untuk menggambar walaupun perlakuan tersebut sudah berlangsung 1½ jam sampai 2 jam. Sampai-sampai peneliti menghentikan kegiatan karena Xxx tidak mau menghentikan kegiatan tersebut. Xxx terkadang sambil berteriak-teriak atau ribut karena kesenangan, pada gambar 4.8, terlihat guratan-guratan dari kuku Xxx. Pada proses tersebut, Xxx mengekspresikan kegemasannya. Sambil mengeluarkan erangan, Xxx mencakar-cakar gambar tersebut. Dan bila kegiatan ini berlangsung, Xxx dapat meghabiskan berlembar-lembar kertas. Xxx dengan senangnya memutar-mutar tangannya yang penuh cat di atas kertas, dan juga meminta peneliti untuk menuangkan cat di atas kedua telapak tangan Xxx, dan Xxx beraksi dengan melumuri tangannya dan mencampurkan cat tersebut dengan kedua tangganya dan kemudian mulai menaruh tangan yang penuh cat
tersebut di atas kertas dengan menggunakan gerakan memutarmutar. Finger
painting
dapat
membuat
Xxx
tenang/relex.
Sepertinya ia dapat mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya sehingga ia menjadi sangat tenang dan lepas. Ia mengatakan enak dan tenang, sambil terkadang mengeluarkan suara seperti haaaa...., seakan melepaskan sesuatu dari dalam dirinya. Kepalanya bergerak-gerak pelan dengan mata tertutup. Seperti orang yang sedang berada di dalam dunianya sendiri. Lepas dari lingkungan sekitarnya. Hasil dari gambar Xxx sangat tidak berbentuk, abstrak yang memang dikatakan bahwa bentuk ini dapat sangat mewakilkan ekspresi emosi anak (Walker Art Center, 2004;Rogers, 1993). Xxx terlihat sangat senang dan sangat menikmati tindakannya tersebut. Terkadang Xxx sambil tertawa kecil, memejamkan mata dan mengerak-gerakkan kepalanya. Xxx juga sering mengatakan enak, enak licin. Sambil memejamkan matanya. Dari hasil observasi dan dokumentasi, bahwa pendekatan teknik imajinasi dengan media cat tempra (finger painting) sangat diterima oleh Xxx dibandingkan dengan teknik-teknik yang lain. Peneliti juga melakukan penelitihan literatur dan menemukan bahwa aktivitas bermain air dan mencat dengan tangan, dapat menenangkan anak. Anak-anak yang frustasi dapat mengeluarkan
frustasinya dengan cara mengaduk-aduk cat dengan kedua tangannya di atas kertas atau dengan menciprat-cipratkan air atau dengan meremas-remas spon. Dengan kegiatan tersebut, anak dapat memindahkan energi-energi yang kurang baik ke bentuk yang tidak membahayakan (Beaty, J, 2006). Peneliti juga mendapatkan informasi bahwa dengan membelai atau membuat sentuhan dapat melepaskan endorphin ke dalam aliran darah. Endorfin adalah zat kimia yang dapat membawa rasa enak (BBC, 2004). Setelah peneliti mencobakan beberapa teknik menggambar kepada Xxx, pada tanggal 7 April 2008, peneliti dipanggil oleh guru Xxx dan menginformasikan bahwa orang tua Xxx memberikan laporan bahwa terjadi perubahan perilaku atas diri Xxx kepada guru kelas Xxx. Perubahan perilaku juga dirasakan oleh guru kelas Xxx di sekolah. Perubahan perilaku itu seperti sudah dapat mulai berkompromi dengan adik, sudah dapat mengalah, berkelahi sudah berkurang dan sudah mulai peduli dengan lingkungannya seperti sudah mau mandi sendiri karena ibu sedang sibuk, membantu menaruh piring kotor setelah makan. Laporan dari orang tua murid mengenai perilaku Xxx kepada anakanaknya juga sudah tidak terjadi lagi. Dari hasil laporan tersebut, peneliti mempelajari kembali hasil observasi yang di dapat dari 4 macam teknik, yaitu teknik memori, teknik observasi, teknik emori dan teknik imajinasi dengan spidol dan cat tempra. Dari hasil data yang di kumpulkan, dapat dilihat Xxx tidak tertarik dengan 3 teknik yang diberikan yaitu:
memori, emosi dan observasi, sehingga diperkirakan dari 3 teknik tersebut tidak signifikan dalam perubahan perilaku agresif Xxx. Data dapat dilihat pada tabel 4.3 hasil observasi. Peneliti mendapati behwa pendekatan teknik imajinasi dengan media spidol cukup diterima oleh Xxx. Tetapi dari hasil gambar, peneliti melihat bahwa dengan spidol, Xxx menggambar untuk mengkomunikasikan apa yang Xxx pikirkan, bukan apa yang dirasakan (Zulkifli, 2005). Hasil dari media spidol, menggambarkan tentang pahlawan komik dan benda-benda transportrasi. Tetapi dengan teknik imajinasi dengan media cat (finger painting), hasil gambar yang diciptakan sangat berbeda. Gambar yang dihasilkan berbentuk abstrak dan hasil gambar tidak menggambarkan apa yang sedang dipikirkan oleh Xxx, tetapi pada apa yang dirasakan. Hasil gambar terlihat sangat ekspresif, penuh warna, bidang kertas penuh dengan hasil lumuran cat dan gambar sangat spontan. Dan dari observasi di lapangan, pengungkapan perasaan Xxx sangat terlihat, ia sangat relex, tenang dan sangat bersemangat. Xxx sering sekali meminta kegiatan perlakuan dengan teknik tersebut. Dengan hasil observasi ini, peneliti menemukan bahwa pendekatan finger painting sangat mempengaruhi Xxx. Dengan fnger painting, perilaku Xxx dapat berubah. Finger painting dapat menjadi katarsis yang baik untuk Xxx. Ia dapat mengekspresikan emosinya dengan pendekatan media ini. Peneliti juga melakukan penelitian literatur dan menemukan bahwa finger painting berdampak postif bagi anak dan menemukan bahwa aktivitas bermain air dan mencat dengan tangan, dapat menenangkan anak. Anak-anak yang frustrasi dapat mengeluarkan
frustasianya dengan cara mengaduk-aduk cat dengan kedua tangannya di atas kertas atau dengan menciprat-cipratkan air atau dengan meremas-remas spon (Beaty, J, 2006), dan dengan membelai atau memberi sentuhan dia dapat melepaskan endorphin ke dalam aliran darah. Endorfin adalah zat kimia yang dapat membawa rasa enak (BBC, 2004). Dari hasil ini, peneliti terus memberikan perlakuan finger painting kepada Xxx sampai penelitian berakhir.
4.4
Teknik Finger Painting Terhadap Perilaku Xxx Untuk menjawab pertanyaan ini, yaitu: Apakah teknik Finger Drawing dapat merubah perilaku Xxx? Peneliti menyajikan data dalam bentuk gambar. Gambar dihasilkan dari hasil kuesioner yang didapat dari pihak orangtua Xxx dan guru kelas Xxx. Diagram 4.12. menggambarkan hasil kuesioner dari pihak ibu Xxx, terhadap perilaku Xxx di rumah dari sebelum dan sesudah Xxx mengikuti kegiatan aktivitas menggambar.
Gambar 4.12. Hasil kuesioner dari hasil observasi ibu sample
Pada gambar 4.12 terlihat adanya perubahan sikap Xxx dari sebelum dan sesudah mengikuti aktivitas menggambar. Perubahan yang terjadi sebagai berikut: Sebelum Xxx mengikuti aktivitas menggambar, Xxx sering bertengkar dengan adiknya. Mereka bisa bertengkar tanpa mempedulikan tempat maupun waktu; contohnya, di dalam mobil mereka sering bertengkar karena berebut tempat duduk. Setelah Xxx mendapat perlakuan, pertengkaran menjadi jarang. Xxx menjadi lebih dapat memahami adiknya. Ibu Xxx yang sebelumnya sering memarahi Xxx karena perilaku agresifnya sekarang menjadi jarang. Menurut laporan ada perubahan yang cukup menonjol dari perilaku agresif Xxx seperti: mencari masalah, mengejek dan bertengkar dengan adik menjadi berkurang,
Xxx lebih sabar dan lebih mau
mengajar adiknya berkomunikasi. Perilaku mau mendengar dan mau menurut nasihat orang tua juga meningkat. Contohnya, bila diminta untuk mandi, Xxx sebelumnya susah sekali untuk mau menurut. Xxx hanya mau mandi apabila dimandikan oleh ibunya. Tetapi kelakuan Xxx berubah, sekarang ia sudah mau mandi sendiri. Perilaku menuntut Xxx juga berkurang. Sebelumnya bila Xxx meminta suatu mainan atau barang dan tidak dituruti, Xxx akan marah dan kesal sekali meskipun sudah dijelaskan dan dibicarakan dengan sabar. Sekarang Xxx lebih mudah menerima, ia sudah mau menurut tanpa harus sampai dimarahi. Setelah bermain, Xxx jarang sekali mau membereskan mainannya. Mainannya dibiarkan berserakan di lantai sehingga ibunya yang harus membereskannya. Setelah perlakuan diberikan, terjadi perubahan yang cukup
signifikan. Sekarang setelah Xxx selesai bermain, ia sering membereskan mainannya sendiri, walaupun terkadang masih harus diingatkan oleh ibunya. Xxx jadi lebih peduli, karena sekarang tidak ada pembantu, ia sekarang sudah mau menaruh piring dan gelas bekas ke tampat cucian. Ia juga lebih bertanggung jawab dengan tugas-tugas sekolah. Dulu kalau diminta membuat pekerjaan rumah, sangat susah sekali. Sekarang ia sudah mempunyai kemauan untuk membuat pekerjaan rumahnya sendiri. Paling ibu Xxx hanya sekedar menanyakan saja. Gambar 4.13. menggambarkan hasil kuesioner dari pihak guru kelas Xxx terhadap sikap Xxx di sekolah sebelum dan sesudah perlakuan. Di sini terlihat adanya perubahan sebagai berikut: Xxx sering sekali bertengkar dengan teman di sekolah, berebut mainan karena ia menjahili temannya. Karena perilaku tersebut, ia sering sekali dimarahi oleh guru. Setelah perlakuan, Xxx menjadi jarang bertengkar dengan temantemannya dan guru menjadi jarang memarahinya. Sebelum perlakuan diberikan, ia sering sekali mencari masalah dengan teman-temannya. Ia suka mendorong-dorong, melempar-lempar barang dan juga mengejek anak-anak lain bila ia kesal atau marah. Bahkan ia sering sekali mengambil alat tulis, mencoret-coret atau merobek buku temannya tanpa sebab yang jelas. Perlakuannya itu sampai membuat orang tua murid-murid lainnya kesal dan melaporkan kepada guru. Perilaku ini mengalami perubahan yang besar, sekarang Xxx jarang mencari masalah dengan teman-temannya.
Dalam hal tanggung jawab, perilaku Xxx juga berubah menjadi lebih baik. Sebelumnya, bila ada kegiatan prakarya, ia sering meninggalkan peralatan atau sisa-sisa prakarya di mejanya; begitu pula saat aktivitas makan di kelas. Sekarang ia sudah mulai mau ikut membereskan meja bersama teman-temannya. Xxx sering merusak barang-barang di sekolah. Kursi dan meja sering ditendang-tendang atau diterbalikkan. Kejadian paling besar adalah ia memecahkan vas. Hal ini membuat guru memanggil ibu Xxx ke sekolah. Setelah perlakuan menggambar diberikan, perilaku tersebut mengalami penurunan yang besar. Xxx tidak pernah lagi merusak barang-barang di sekolah. Xxx anak yang sangat aktif. Ia sering sekali tidak dapat mengontrol perilakunya di kelas. Bila ada sesuatu yang tidak disukai karena tindakan temannya, ia sering sekali berteriak cukup keras di dalam kelas sehingga aktivitas belajar terhenti sejenak dan guru harus menyelesaikan masalah tersebut. Kejadian ini sekarang jarang sekali terjadi. Xxx sepertinya sudah dapat mengontrol untuk tidak melakukan tindakan tersebut di kelas. Ia juga sudah jarang mengajak temantemannya mengobrol pada saat pelajaran. Xxx bukan anak yang tidak mau mendengar dan menurut. Bila dinasihati untuk tidak berisik, tidak lempar-lempar barang atau berteriak-teriak dan sebagainya, ia mau menurut. Tetapi seringkali Xxx segera lupa akan teguran tersebut dan mengulanginya meskipun baru saja dinasihati. Setelah perlakuan, ia bisa menahan diri dalam waktu yang lebih lama. Ia menjadi jarang mengulangi kesalahannya bila sudah dinasihati.
Gambar 4.13. Hasil kuesioner dari hasil observasi guru sample
4.3
Perubahan Perilaku Xxx Pada Saat Perlakuan Dari hasil observasi di lapangan, pada saat pertama kali peneliti memperkenalkan teknik Finger Painting kepada Xxx, ia sangat tertarik dan sangat menyukainya. Karena demikian senangnya dan tertariknya dengan perlakuan tersebut, Xxx menjadi sangat tidak dapat dikontrol dan sepertinya juga tidak dapat mengkontrol dirinya sendiri. Ia menuangkan air cat ke kertas sampai tumpah ke lantai,menciprat-ciprat air cucian tangan dan mencapkan tangannya yang penuh cat ke meja, lantai dan sebagainya. Tindakan ini membuat seluruh kelas menjadi berantakan dan penuh dengan cat. Peneliti mencoba mengarahkan Xxx agar lebih terkendali, tetapi kurang berhasil. Setelah kegiatan hari ini berakhir, peneliti mengajak Xxx berbicara dan memberikan pilihan kepada Xxx. Bila kegiatan berikutnya Xxx mengotori kelas sampai berlebihan, kegiatan bermain cat tidak akan diberikan lagi kepada Xxx. Ternyata pada kegiatan berikutnya, Xxx tidak mengotori kelas secara berlebihan. kegiatan hanya diatas meja dan ia hanya melumuri cat diatas kertas.
Perilaku ini terus menetap pada diri Xxx. Sehingga pada kegiatan finger painting berikutnya kelas tetap bersih, hanya pada daerah meja dan lantai dekat Xxx saja yang kotor karena cat. Dari hasil observasi ini, peneliti mendapati Xxx mau mendengar dan menurut , tidak mengulangi perlakuan yang tidak diinginkan. Dengan memberikan pilihan kepada Xxx, mau menurut atau aktivitas finger painting akan dihentikan sangat bermanfaat. Xxx mau menurut dan mau mengkontrol perilakunya supaya tidak mengotori kelas secara berlebihan. Peneliti mengunakan penguatan negatif kepada Xxx. Dengan pengurangan stimulus (finger painting) mendorong Xxx untuk memperbaiki kesalahannya (Budiningsih, 2005).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data yang dikumpulkan dilapangan melalui kuesioner, wawancara, observasi dan tinjuan dokumen serta analisa data, dapat ditarik kesimpulan dan saransaran sebagai berikut:
5.1
Kesimpulan 5.1.1
Untuk menjawab pertanyaan pertama, apa yang melatarbelakangi masalah perilaku agresif Xxx, peneliti melakukan wawancara dengan guru dan orang tua Xxx. Data menunjukan gaya pengasuhan dari orang tua Xxx cenderung mengarah kepada gaya permissive indulgent. Dan dari susunan keluarga sample, Xxx mempunyai seorang ayah dan seorang ibu dan mempunyai seorang adik laki-laki dengan perbedaan umur yang dekat. Peneliti mendapatkan kesimpulan bahwa keadaan yang digambarkan di atas merupakan faktor yang utama yang melatarbelakangi masalah perilaku sampel.
5.1.2
Untuk mengetahui apa teknik menggambar yang sesuai untuk Xxx, peneliti melakukan observasi di lapangan dan menemukan bahwa, Finger Painting sangat sesuai dengan Xxx. Ia sangat senang, sangat termotivasi dan sangat bersemangat dengan pendekatan tersebut. Finger Painting dapat membuat Xxx menjadi sangat relex. Kegiatan ini dapat Memberikan ketenangan, dan kenyamanan di dalam dirinya.
5.1.3
Untuk mengetahui apakah dengan pendekatan finger painting dapat mempengaruhi perilaku sample, peneliti melakukan observasi dilapangan dan menemukan bahwa terjadi perubahan dalam diri Xxx pada proses pelaksanaan perlakuan. Selama proses perlakuan, Xxx dapat mengkontrol perilakuanya. Peneliti juga melakukan wawancara dengan orang tua Xxx dan guru Xxx. Dari hasil wawancara tersebut, peneliti mendapatkan informasi mengenai terjadinya perubahan perilaku pada Xxx. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa pendekatan dengan teknik tersebut sangat mempengaruhi perilaku Xxx secara positif.
5.1.4
Untuk mengetahui perubahan perilaku yang menonjol pada Xxx saat perlakuan berlangsung, peneliti melakukan observasi di lapangan. Pada tahap awal pemberian perlakuan, peneliti menemukan perilaku Xxx sangat tidak terkontrol, yaitu mengotori kelas secara berlebihan selama proses finger painting berlangsung. Menurut informasi dari gurunya, sebenarnya jika ditegur atau dinasihati Xxx mau menurut, tetapi dalam waktu singkat ia segera lupa akan nasihat tersebut dan mengulangi lagi kenakalannya. Tetapi ternyata perilaku ini bisa berubah setelah peneliti memberikan penguatan negatif kepada diri Xxx.
5.2
Temuan 5.2.1 Pemilihan media sangat mempunyai pengaruh yang besar terhadap hasil yang ingin dicapai. Teknik yang sama, media berbeda dapat menciptakan pengaruh yang berbeda. Dengan menggunakan spidol, Xxx menggambar
apa yang sedang dipikirkan olehnya. Sedangkan dengan media cat, ia menggambar apa yang dirasakan olehnya. 5.2.2
Xxx lebih memilih media cat dibandingkan media lainnya. Karena bila dilihat dari motorik anak, anak pada umur dibawah enam tahun, umumnya masih mengalami kelemahan pada motorik halusnya (Hurlok 1978). Menggunakan alat, tentunya akan membuat anak lebih sulit karena akan menghambat anak dalam menggambar. Karena hambatan tersebut, anak cenderung untuk tidak memilih yang dapat mempersulit dirinya dengan cara tidak menggunakan alat-alat tersebut.
5.2.3
Penggunaan media finger/cat painting, lebih efektif sebagai media mengeluarkan emosi dibandingkan penggunaan alat seperti spidol, pensil, crayon. Mengapa Xxx bila menggunakan alat seperti pensil, crayon dan spidol, akan menggambarkan apa yang sedang dipikirkannya, seperti superheroes, mobil dan orang, berbeda dengan hasil gambar bila tidak menggunakan alat bantu. Anak belajar dari meniru orangtuanya, guru, teman-temanya dan orang lain. Pada kejadian sehari-hari, alat-alat tersebut digunakan sebagai alat bantu untuk berkomunikasi dengan orang lain. Alat digunakan sebagai media bantu untuk mengunkapkan apa yang dipikirkan. Faktor pengkondisian juga berperan besar. Anak diajarkan di sekolah, di rumah dan di lingkungan sekitarnya mengunakan alat-alat seperti pensil dan pen untuk menuliskan apa yang dipikirkannya, mengkomunikasikan pikirannya kepada orang lain. Sehingga timbul paradigma bagi anak terhadap kegunaan dari alat-alat tersebut (alat dikondisikan). Sedangkan
bila tidak menggunakan alat bantu, anak tidak mempunyai gambaran tersebut sehingga menjadi apa adanya. Dan karena langsung dengan indra raba yaitu tangan, tentunya ada sentuhan dan rabaan akan menimbulkan sensasi emosi pada anak (BBC, 2004). Karena dekatnya dengan emosi, anak akan lebih menggambarkan emosi atau apa yang dirasakan, dibandingkan dengan apa yang dipikirkan. 5.2.4
Dengan pendekatan penguatan negatif, perilaku Xxx yang selalu mengulangi kesalahannya meskipun sudah dinasehati atau dimarahi dapat berubah. Perubahan tersebut dapat bertahan lama pada diri Xxx.
5.2.5
Dalam melakukan kegiatan ini, proses sebelum dan pelaksanaan kegiatan mempunyai peran yang penting (ritual) yang dapat digunakan untuk membantu atau membentuk perilaku anak.
5.3
Saran 5.2.1
Saran untuk kegitan penelitihan yang serupa di masa mendatang adalah: 5.3.1.1 Penelitian harus benar-benar mendapat dukungan dari pihak guru dan orang tua sampel. Komitmen dari kedua pihak tersebut sangatlah penting untuk kelancaran penelitihan. 5.3.1.2 Mendapatkan sumber-sumber yang dapat membantu untuk memberikan perlakuan yang tepat dari setiap teknik gambar.
5.3.1.3 Faktor banyaknya dan lamanya pemberian perlakuan harus diperhatikan, jangan sampai anak menjadi bosan dalam menjalani proses penelitian dan perlakuan di lapangan. 5.3.1.4 Satu teknik dalam setiap satu perlakuan sehingga peneliti lebih fokus dalam meneliti kelemahan dan kelebihan teknik tersebut lebih dalam. 5.3.2
Saran Implementasi Dengan hasil dari penelitian ini, peneliti menyarankan kepada orang tua atau guru bila mempunyai anak atau murid yang mempunyai masalah perilaku agresif, dapat menggunakan pendekatan finger painting.
5.4
Studi Lanjutan Penelitian ini masih ada beberapa pertanyaan yang tidak terjawab, seperti: 5.4.1
Peran kedekatan peniliti dan sample, apakah faktor tersebut mempunyai peran yang lebih besar dalam perubahan perilaku agresif sampel.
5.4.2
Kepastian mengenai menggunakan alat (spidol, pensil, crayon) dan tidak menggunakan alat (finger painting) harus diteliti lebih lanjut.
5.5
Kendala yang Dihadapi Dalam penelitian ini peneliti mengalami beberapa kendala seperti: 5.5.1
waktu yang dirasakan kurang, karena dari pihak sekolah dan kegiatan sampel yang menyebabkan aktivitas ini hanya dapat dilakukan dua kali seminggu dan dirasakan kurang oleh peneliti.
5.5.2
kondisi ruangan yang dirasakan peneliti kurang mendukung kegiatan penelitian ini. Kegiatan dengan cat pastinya akan membuat ruangan kelas menjadi kotor sehingga takut menyingung perasaan pengurus sekolah dan guru kelas. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti tidak dapat secara maksimal mengarahkan sample untuk benar-benar secara lepas dan bebas dalam beraktivitas.
5.5.3
Karena kesibukan dari pihak guru dan orang tua sampel, peneliti tidak dapat secara maksimal mengukur perubahan sampel secara pasti/terukur dalam nominal. Peneliti merasakan pengukuran yang dipakai penelitihan ini masih kurang maksimal.
DAFTAR REFERENSI
Bartel
Marvin. Schematic, artwork may appear rigid and stereotyped. www.goshen.edu/~marvinpb/PreSchool/aboutschematic.html, 2006.
Bartel Marvin. Obervation drawing. www.goshen.edu/~marvinpb/lessons/rabbit.html. 2001. BBC. Touch & Vision, Humansense, vol 3. BBC Worldwide Limited. 2004. Beaty, Janice J. Observation Development of the Young Child, sixth edition. Pearson Education, Inc. New Jersey. 2006. Budiningsih Asri C. Dr. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta. 2005. Campbell, S.B. Behavior problems in preschool children: Clinical and developmental issues. New York: Guilford. 1990. Ching, Francis D.K. Drawing a Creativr Process. USA. John Wiley & Sons. 1990. Dewey, J. Art as experience. New York: Capriciorn. 1934. Downs, Cathy. Finger Painting: It’s Not Just for Kids Anymore. Copyright 2008 Carolina Parent. 2008. Engel, B. Considering children’s art: Why and how to value their work. Washinton, DC: NAEYC. 1995. Edwards David. Art Therapy. SAGE Publication Ltd. 2004. Esterberg, Kristin G. Qualitative Methods in Social Resarch, New York, Mc Graw Hill. 2002. Freud. S. Group Psycologi, Civilization and its Discontents and Other Works, The Pelican Freud Library, Volume 12, Harmondsworth: Penguin Books. 1991. Faisal, Sanapiah. Penelitihan Kualitatif, Dasar dan Aplikasi, Malang, YA3. 1990. Gardner, H. Artful scribbles: The significance of children’s drawing. New York: Basic Books. 1980. Ginsberg, H. & Opper, S. Piaget’s theory of intellectual development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. 1979.
Hawadi, Reni Akbar. Psikologi Perkembangan anak. Mengenal sifat, Bakat dan Kemampuan Anak. Jakarta. Penerbit PT. Grasindo. 2001. Hadi Sutrisno. Metodologi Research, jild 1,2, UGM. 1986. Hurlock Elizabeth B. Perkembangan anak jilid 1, edisi enam. Jakarta, Penerbit Erlangga. 1978. Hurlock Elizabeth B. Psikologi Perkembangan, edisi kelima. Jakarta, Penerbit Erangga. 1980. Isbell. Rebecca T. & Raines. Shirley C. Creativity and the Arts with Young Children, second edition. 2007. Johnson, Andrew. A Short Guide to Action Research. Boston: Person Education. 2005. Johnston, J.M., & Pennypacker, H.S. Strategies and tatics of human behavioral research. Mahwah, NJ: Erlbaum. 1981. Judy Hale & Joyce Roy. How Art Activities Can Be Used To Enchance the Education of Young Children. 1996. Kramer. E. Art as Therapy: Collection papers, London: Jessica Kingsley. 2000. Kriswanto, Clara Dra MA CPBC. www.inspiredkidsmagazine.com, 26 Februari 2007. Koppitz. E.M. Psychological evaluation of human figure drawings by middle school pupils. New York: Grune & Stratton. 1983. Kopko.
Kimberly. Parenting Styles and Adolescents. © 2007 Cornell CooperativeExtension.www.parenting.cit.cornell.edu/Parenting_Styles_and_Ad olescents.pdf. 2007
Miltenberger, Raymond G. Behavior Modification, Principles and Procerures, third edition. America. Wadsworth, Thomson. 2004. Mills, Geoffrey. Action Research: A Guide for the Teacher Researcher. Third Edition. Columbus, Ohio: Person. 2007. Nasution. Metode Naturalistik Kualitatif. Bandung. CV Tarsito. 1998. Rogers Natalie. Expressive arts therapy. www.nrogers.com/PCETIarticle .pdf. 1993 Salim Peter. Drs. M.A. The Contemporary, English Indonesia Dictionery. Modern English Press.
Santrock John W. Perkembangan Masa Hidup, edisi lima, jilid satu, Jakarta, Penerbit Erlangga. 1995. Sugiyino. Prof. Dr. Metode Penelitihan Pendidikan. Bandung, Penerbit Alfabeta. 2007. Stainback Susuan & Staiback William. Understanding & Conducting Qualitative Research. Dubuque Iowa, Kendall/Hunt Publishing Company. 1988. Tomal, Daniel. Action Resarch for Educators. Lanham: Scarecrow Education Book. 2003. Volling, B.L. Sibling relationships. In M.H. Bornstein et al. (Eds), Well-being: Positive development across the life course (pp.205-220). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. 2003. Walker
Art Center. So, Why is This Art. www.schools.walkerart.org/swita/switaact6.html 2004
Availabel
Zulkifli L. Drs. Psikologi perkembangan. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. 2005.
from