Filsafat Ilmu | Page 2 of 4 karena hal ini. Entah antar agama maupun intern umat
beragama. Alasannya satu, mempertahankan keyakinan. Meski terkadang ...
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT ILMU Oleh: Afid Burhanuddin STKIP PGRI Pacitan
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan galaksi (Jujun, 2003:20). Sama juga dengan orang yang sedang menikmati keindahan pantai. Seorang yang berfilsafat akan mampu berfikir bahwa dirinya tidak akan ada artinya dibandingkan dengan luasnya lautan. Lalu apa itu filsafat? Istilah filsafat dalam Bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab), philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Prancis). Semua istilah tersebut bersumber pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani philein berarti mencintai, sedangkan philos berarti teman. Selanjutnya istilah Sophos berarti bijaksana, sedangkan Sophia berarti kebijaksanaan (Ali Mudhofir, 2001:18) Ada dua arti secara etimologik dari filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan Sophos, maka artinya mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana dimaksudkan sebagai kata sifat. Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan Sophia, maka artinya adalah teman kebijaksanaan (kebijaksanaan dimaksudkan sebagai kata benda) Imanuel Kant mendefinisikan filsafat sebagi pengetahuan yang menjadi pokok pangkal segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan yakni apa yang dapat diketahui? (jawabnya metafisika), apa yang seharusnya diketahui? (jawabnya etika), sampai dimana harapan kita (jawabnya agama), apa itu manusia (jawabnya antropologi) (Ahmad Tafsir, 2001: 11). Plato menyatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli. Aristoteles beranggapan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang meliputi kebenaran yang tergabung di dalamnya metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik, dan estetika. Bagi Al Faraby, filsafat adalah pengetahuan tentang alam ujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Sementara itu, Pythagoras memberikan definisi filsafat sebagai the love for wisdom. Menurutnya, manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan (lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan perenungan tentang Tuhan. Pythagoras membagi kualitas manusia menjadi tiga tingkatan, yakni lovers of wisdom, lovers of success, dan lovers of pleasure (Ahmad Tafsir, 2001:10). Agama dan Filsafat Ada dua hal kekuatan yang mewarnai dunia. Kekuatan itu adalah agama dan filsafat. Sementara itu, orang yang mewarnai dunia juga ada dua, yakni nabi dan ulama, dan filosof. Lalu dimana peran sains dan teknologi? Dalam hal ini, sains dan teknologi dalam garis besarnya adalah netral (Ahmad Tafsir, 2001:7). Pakar sains dan teknologi menggunakan sains dan teknologi untuk mewarnai dunia berdasarkan pandangan hidupnya. Sementara itu, pandangan hidup hanya ada dua, agama dan filsafat. Sejarah telah mencatat, orang berani mati karena mempertahankan keimanannya. Orang menyerahkan dirinya untuk dijemur di tengah padang pasir dan dilempari batu juga karena keimanannya. Orang dengan tekun menabur bunga dikuburan, membakar kemenyan, membacakan doa di tengah pekuburan, juga karena keyakinan agamanya. Bahkan ada orang yang mau menyakiti, menyerang, hingga membantai orang lain, juga karena keyakinan agama yang dianutnya. Itulah kenyataan. Orang yang telah meyakini agamanya, di dalam dirinya ada sesuatu keinginan ingin menyebarluaskan agamanya kepada orang lain. Beragam misi ia lakukan. Lalu, agama yang menurutnya paling baik itu didakwahkan, dipropagandakan. Itu dilakukannya dengan sadar. Berharap mendapatkan suatu imbalan di kehidupan setelah matinya. Begitulah yang sedang, akan dan terus terjadi di muka bumi ini. Tak bisa di tolak. Dan tak jarang, pertumpahan darah terjadi Filsafat Ilmu | Page 1 of 4
karena hal ini. Entah antar agama maupun intern umat beragama. Alasannya satu, mempertahankan keyakinan. Meski terkadang dibumbui dengan drama politik, ekonomi, ataupun persoalan lain. Agama telah mengatur dunia, ini suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari, demikian Ahmad Tafsir menyebutnya (2001:8). Di lain sisi, sejarah telah mencatat pula adanya orang kuat, yang kadang-kadang juga berani mati, karena meyakini sesuatu yang diperolehnya karena memikirkannya. Sesuatu dipikirkan sedalam-dalamnya, hingga diperoleh suatu kesimpulan yang dianggapnya sebuah kebenaran. Kebenaran ini mempengaruhi tindakannya. Keyakinan pada kesimpulan itu membentuk sikapnya. Socrates sanggup mati dengan cara meminum racun, sebagai hukuman baginya, karena mempertahankan kebenaran filsafat yang dianggapnya benar (Ahmad Tafsir, 2001:8). Keyakinan filsafat itu kemudian diikuti oleh orang lain. Pada orang yang mengikuti itu kemudian timbul suatu sikap mereka. Tindakan mereka dibentuk oleh pandangan filsafat itu hingga menjadi pandangan hidup mereka. Begitulah agama dan filsafat. Dua kekuatan besar yang membuat dunia ini menjadi berwarna. Menjadikan dunia ini ada baik dan buruk. Ada indah dan jelek. Dan apabila orang ingin melihat warna dunia dengan terang benderang, maka agama dan filsafat menjadi jendelanya. Karakter Berfikir Filsafat Terdapat tiga karakteristik berfikir filsafat, 1) menyeluruh, 2) mendasar, 3) spekulatif (Jujun, 2003:20). Menyeluruh diartikan sebagai melihat dari multi perspektif. Batang pohon kelapa belum tentu lurus meskipun dari sisi barat terlihat lurus. Untuk membuktikan apakah pohon kelapa itu lurus atau tidak, maka harus dilihat pula dari sisi timur, selatan maupun utara. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandangan ilmunya sendiri. Perlu dilihat hakikat ilmu dalam perspektif keilmuan yang lain. Bagaimana produk keilmuannya itu jika dibenturkan dengan moral? Bagaimana jadinya jika disandingkan dengan agama? Adakah sisi manfaat dari hasil pemikirannya itu bagi dirinya atau orang lain? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadikan bahwa filsafat menjadi demikian penting bagi perkembangan keilmuan. Seorang ilmuwan harus mampu melihat secara menyeluruh, multi perspektif, terhadap ilmu yang digelutinya. Lalu siapa yang disebut ilmuwan itu? Menurut Kamus besar bahasa Indonesia, ilmuwan adalah seorang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu; orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan (KBBI offline versi 1.3). Apakah kita termasuk ke dalamnya? Sebuah pertanyaan yang terkadang membuat kita ragu. Keraguan itu muncul ketika definisi tersebut memuat “seorang yang ahli atau banyak pengetahuannya”. Kecuali orang yang sombong, tidak ada satu orang pun yang merasa banyak pengetahuannya. Bahkan seorang profesor pun, tidak akan merasa dia adalah orang yang banyak pengetahuannya. Apakah guru itu ilmuwan? Jika melirik definisi “orang yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan”, maka guru dapat dikatakan Ilmuan. Guru adalah orang yang berkecimpung secara profesional dalam ilmu pengetahuan. Tak hanya sekedar ilmu pengetahuan yang diajarkan, guru juga membekali siswanya dengan pendidikan karakter, moral dan budi pekerti. Maklum lah jika kaisah Jepang menanyakan berapa guru yang tersisa sesaat Herosima dan Nagasaki di guncang bom atom oleh sekutu. Bukan tentara, bukan dokter, bukan pul menterinya. Memahami filsafat membuat seseorang semakin dewasa dalam berfikir dan bersikap. Sering kita melihat seorang ilmuwan yang picik. Ahli fisika memandang remeh ahli antropologi. Siswa SMA jurusan IPA menyepelekan yang memilih IPS. Meminjam istilah Jujun, mereka adalah orang-orang yang meremehkan moral, agama, dan nilai estetika (Jujun, 2003: 20). Di atas langit tentunya masih ada langit yang lain. Selayaknya, para ilmuwan perlu keluar dari perspektif pengetahuan mereka untuk melihat dan mengetahui perspektif pengetahuan lain. Biarlah si katak saja yang mengabadikan namanya dalam peribahasa “katak dalam tempurung”, jangan sampai “ilmuwan dalam tempurung, atau “guru dalam tempurung”. Seorang yang berfikir filsafat selayaknya perlu menengadahkan mukanya ke langit malam. Ribuan bahkan jutaan bintang-bintang berkilauan menghiasi malam. Ini membuktikan bahwa Filsafat Ilmu | Page 2 of 4
manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan alam raya. Manusia ibarat satu butir pasir di tengah lautan. Selain itu, seorang yang berfikir filsafat perlu membongkar tempat berpijak. Menggali sedalam-dalamnya hingga “pondasi cakar ayam” mampu menapak dengan kuat. Inilah yang dimaksud dengan sifat mendasar diantara ketiga karakteristik berfikir filsafat. Sepanjang apapun sebuah garis, awal mulanya adalah sebuah titik. Berfikir secara mendasar menjadi hal yang mendasar agar mampu memahami persoalan yang sesungguhnya. Membersihkan lantai yang basah berkali-kali akibat genting yang bocor di musim penghujan adalah pekerjaan yang sia-sia. Maka ketika sifat mendasar digunakan, hal yang pertama dilakukan adalah mengganti genting yang bocor tersebut. Gurupun demikian. Kemampuan berfikir secara mendasar ini membuat guru tidak mudah mengatakan anak didiknya adalah bodoh. Nilai jelek bukan berarti siswa yang ogah untuk belajar, tapi mungkin juga kesalahan guru. Ketidak-mampuan guru dalam menjelaskan, monotonnya metode pembelajaran yang digunakan oleh guru, dan sebagainya. Mengapa spekulatif menjadi salah satu dari tiga karakter berfikir filsafat? Bukankah spekulatif itu sekedar coba-coba. Dan coba-coba tidak bias dijadikan rujukan berfikir? Mengapa tidak digunakan cara berfikir yang tersurat saja, sepertihalnya ahli sains mempelajari aspek khusus dari sebuah realita. Jawabnya adalah jiwa manusia ingin melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan. Manusia ingin memahami bagaimana menemukan totalitas yang bermakna dari sekian banyak realita yang ada. Gambar yang indah, awal mulanya selalu dimulai dari sebuah titik. Dimana titik itu ditempatkan, adalah spekulasi dari pelukisnya. Terciptanya sebuah metode pembelajaran yang beragam dan inovatif, yang mampu membangkitkan motivasi dan gairah siswa untuk belajar, awal mulanya juga dimulai dari spekulasi seorang guru. Yang penting adalah bahwa dalam prosesnya, baik dalam analisisnya maupun pembuktiannya, kita dapat memisahkan antara spekulasi yang dapat diandalkan dan spekulasi yang tidak dapat diandalkan. Dan tugas filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan (Jujun, 2003: 22). Pertanyaan selanjutnya, adakah sebuah pengetahuan tidak dimulai dari spekulasi? Sepertinya tidak ada, karena semua pengetahuan yang sekarang ada, dimulai dari spekulasi. Spekulasi yang saling berangkai itu kemudian menjadi titik awal penjelajahan ilmu pengetahuan. Tanpa menetapkan kriteria apa yang disebut benar, maka tidak mungkin ditemukan pengetahuan berkembang di atas garis-garis kebenaran. Demikian pula tanpa kita menetapkan baik dan buruk, kita tidak akan menemukan hukum hukum moral. Spekulasi yang disertai dengan kriteria, maka akan menjadikan spekulasi kita bermakna. Apa itu Filsafat ilmu? Oleh karena permasalahan teknis yang bersifat teknis, maka filsafat ilmu terbagi menjadi dua, yakni filsafat ilmu alam dan filsafat ilmu sosial. Pembagian ini tidak mencerminkan pembagian yang dapat berdiri sendiri secara otonom, karena keduanya memiliki ciri-ciri keilmuan yang sama. Pembagian ini lebih menekankan pada pembatasan masing-masing ilmu yang ditelaah. Beberapa pertanyaan yang hendak di jawab oleh filsafat ilmu diantaranya (Jujun, 2003: 33): 1. Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? [Ontologi] 2. Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/sasaran apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu? [Epistimologi] 3. Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? [Aksiologi]
Filsafat Ilmu | Page 3 of 4
Cabang-cabang Filsafat Pokok kajian filsafat meliputi tiga aspek, yakni: 1. Logika; apa yang disebut sebagai benar dan salah 2. Etika; mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk 3. Estetika; apa yang termasuk indah dan jelek Ketiga aspek filsafat tersebut kemudian bertambah lagi menjadi: 4. Metafisika; teori tentang ada; teori tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran. 5. Politik; kajian ini mengenai organisasi sosial/pemerintah yang ideal Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik. Cabang-cabang tersebut adalah: 1. Epistimologi (filsafat pengetahuan) 2. Etika (filsafat moral) 3. Estetika (filsafat seni) 4. Metafisika 5. Politik (filsafat pemerintahan) 6. Filsafat agama 7. Filsafat ilmu 8. Filsafat pendidikan 9. Filsafat hukum 10. Filsafat sejarah 11. Filsafat matematika (Jujun, 2003:32) Daftar Pustaka
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia. Jakarta: Bumi Putra. Jujun S. Sumantri. 2003. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta; Liberty. Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Jerome R. Ravertz. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Redja Mudyahardjo. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. C. Verhaat & R. Haryono Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta: Gramedia
Filsafat Ilmu | Page 4 of 4