PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PELAYANAN ...

25 downloads 430 Views 544KB Size Report
OTONOMI DAERAH. I. LANDASAN HUKUM PELAYANAN PUBLIK. Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam ...
BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH

I. LANDASAN HUKUM PELAYANAN PUBLIK Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat dan akhirnya telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Dan pada perkembangan terakhir di terbitkan pula Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Upaya meningkatkan kualitas pelayanan tidak hanya ditempuh melalui keputusan-keputusan dan undang-undang sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga melalui peningkatan kemampuan aparat dalam memberikan pelayanan. Upaya ini dilakukan dengan cara memberikan berbagai materi mengenai manajemen pelayanan. Tuntutan reformasi yang bergulir sejak tahun 1997, bersamaan dengan arus globalisasi yang memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perbaikan ekonomi, mendorong pemerintah untuk kembali memahami arti pentingnya suatu

Universitas Sumatera Utara

kualitas pelayanan serta pentingnya dilakukan perbaikan mutu pelayanan. Penyediaan pelayanan pemerintah yang berkualitas, akan memacu potensi sosial ekonomi masyarakat yang merupakan bagian dari demokratisasi ekonomi. Penyedian pelayanan publik yang bermutu merupakan salah satu alat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang semakin berkurang, akibat krisis ekonomi yang terus menerus berkelanjutan pada saat ini. Hal tersebut menjadikan pemberian pelayanan publik yang berkualitas kepada masyarakat menjadi semakin penting untuk dilaksanakan.

5

A. Permasalahan Pelayanan Publik Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: 1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. 2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat. 3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat,

sehingga menyulitkan bagi mereka yang

memerlukan pelayanan tersebut. 4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

5

Pelayanan Publik dalam era Desentralisasi oleh Dr. Ismail Mohamad

Universitas Sumatera Utara

5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan pertanahan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai bidang, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggung jawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. 6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/

aspirasi

dari

masyarakat.

Akibatnya,

pelayanan

dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. 7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan pertanahan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien. Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Universitas Sumatera Utara

B. Penyelesaian Permasalahan Pelayanan Publik Dari sisi lain, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalahmasalah pelayanan publik tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.

2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP) Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal: a). Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;

Universitas Sumatera Utara

b). Untuk memastikan bahwa pelayanan pertanahan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku; c). Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan; d). Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan; e). Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan; f). Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;

3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;

4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upayaupaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan

Universitas Sumatera Utara

publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi. Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.

C. Pedoman Pelayanan Publik Untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanaan publik oleh aparatur pemerintah perlu disusun suatu pedoman, merupakan acuan bagi instansi pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik, yang dituangkan dalam suatu Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Yang antara lain mengatur: 1. Maksud dan Tujuan ; 2. Hakikat Pelayanan Publik ; 3. Asas-asas Pelayanan Publik ; 4. Prinsip-prinsip Pelayanan Publik.

1. Maksud dan Tujuan Undang-Undang

tentang

Pelayanan

Publik

dimaksudkan

untuk

memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Tujuan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik adalah a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;

Universitas Sumatera Utara

b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; c. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan d. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

2. Hakikat Pelayanan Publik Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Untuk lebih memahami mengenai hakikat pelayanan publik, terdapat beberapa pengertian a. Pelayanaan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. b. Penyelenggara

pelayanan

publik

yang

selanjutnya

disebut

Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. c. Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam Organisasi Penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik. d. Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Universitas Sumatera Utara

e. Organisasi penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut

Organisasi

Penyelenggara

adalah

satuan

kerja

penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk

berdasarkan undang-undang untuk kegiatan

pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk sematamata untuk kegiatan pelayanan publik.

3. Asas-asas Pelayanan Publik a). Keterbukaan Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b). Kepentingan Umum Pemeberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan. c). Kepastian Hukum Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraab pelayanan. d). Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. e). Kesamaan Hak Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. f). Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. g). Keprofesionalan Pelaksanaan pelayanan harus memilikikompetensi yang sesuai dengan bidang tugas. h). Persamaan Perlakuan/tidak Diskriminatif Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.

Universitas Sumatera Utara

i). Akuntabilitas Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. j). Fasilitas dan Perlakuan Khusus Bagi Kelompok Rentan. Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. k). ketepatan waktu. Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. l). kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

4. Prinsip-prinsip Pelayanan Publik a). Kesederhanaan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. b). Kejelasan, menyangkut : Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik; Unit kerja/penjabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik c). Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. d). Standar Pelayanan Publik Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. e). Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Pasal 35 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (1) Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas internal dan pengawas eksternal.

Universitas Sumatera Utara

(2) Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: a. pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan b. pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: a. pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik; b. pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan c. pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, dilakukan melalui : Pengawasn melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawaswan fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan masyarakat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

6

”Pelayanan publik adalah salah satu fungsi penting pemerintah, yang seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami dalam menilai komitmen, kompetensi, dan kinerja pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang pokok tersebut. Pelayanan publik merupakan proses sekaligus kinerja yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah dijalankan, yang sekaligus juga mengindifikasikan kualitas aparatur didalamnya. Ketidak puasan terhadap kinerja pelayanan publik antara lain dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan. Gejala high cost economy ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan yang 6

Hartono,Sunaryati.dkk. 2008. “ Kompendium Etika Kehidupan Berbangsa”. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Universitas Sumatera Utara

terpaksa diterima. Keadaan seperti itu ditemui ditemui pada keseluruhan tingkatan organisasi publik yang memberikan pelayanan. Hal ini mengindikasikan pula luasnya ketidak puasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik (Direktorat Aparatur Negara Bappenas, 2004).” Dalam rangka efektifitas pelaksanan otonomi

daerah, sesuai Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, dalam kontek desentralisasi, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih reponsif terhadap kepentingan publik, dimana pradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan dengan ciri-ciri : 1 . Lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan pada masyarakat. 2 . Lebih memfokuskan diri pada pemberdayan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama. 3 . Menerapkan sistim kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas. 4 . Terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil sesuai dengan maksud yang diinginkan. 5 . Lebih mengutamakan apa yang diinginkan masyarakat. 6 . Pada hal tertentu pemerintahan juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan. 7 . Lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan. 8 . Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan. 9 . Menerapkan sitem pasar dalam memberikan pelayanan. 7 7

Nugraha, Safri,dkk. 2008. “Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Administrasi Negara”. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI

Universitas Sumatera Utara

Dalam pelaksanaan program dan kegiatan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, diperlukan pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan sebagai langkah akuntabilitas dan evaluasi dengan tujuan menciptakan pelayanan yang prima. Pengawasan sendiri adalah kegiatan penilaian terhadap organisasi agar organisasi tersebut melakukan tugas pokok dan fungsinya dengan baik dan benar untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sementara itu pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif dan professional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi. Sebagai petugas yang setiap saat berhadapan langsung dengan masyarakat yang memerlukan layanan dibidang Pertanahan, tentu sangat dibutuhkan suatu sikap ramah dan santun , sehingga masyarakat dapat merasakan pelayanan yang memuaskan dan penuh keramahan.

II. LANDASAN HUKUM OTONOMI DAERAH Untuk mengetahui dasar hukum otonomi daerah yang telah berlaku di Indonesia maka ada baiknya terlebih dahulu kita melihatnya dari sejarah otonomi itu sendiri.

A. Otonomi Daerah Masa Pemerintahan Hindia Belanda 1. Masa Sebelum Tahun 1903 Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sebelum tahun 1903, Indonesia hanya terbagi atas dua wilayah administrative, yaitu Beevesten ,Afdeligen, Onderafdelingen Masing-masing wilayah berada dibawah kekuasaan seorang Pamong Praja bangsa Belanda ( Europese Bestuurs Ambtenar ) yang disebut Resident,Assistant Resident ( Kepala Afdeling ),Kepala District ( Wedana ) dan Kepala Onderdistrict ( Camat ). Dijawa dan Madura wilayah Afdeligent atas Regentschap ( Kabupaten ) yang terbagi atas Districten dan Onderdistricten berbeda dengan wilayah administratif diatasnya,wilayah administratif dibawahnya tersebut kekuasaan dipegang oleh bangsa indonesia ( Inlandse Bertuur Sambtenaar ) yang disebut

Universitas Sumatera Utara

Regent ( Bupati ), Wedana dan assistant wedana.sedangkan dilaur jawa dan madura suatu onderafdeling terbagi atas District dan Praja bangsa Indonesia,yaitu Demang dan Assistant Demang atau nama lain Onderdistrict ( Luasnya sama dengan kecamatan sekarang ) merupakan kesatuan wilayah administratif terkecil yang dibentuk pemerintah belanda baik diJawa maupun diluar Jawa. 2. Masa Setelah Tahun 1903 Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan otonomi daerah di Indonesia. Dengan

menerapkan

asas

desentralisasi

berdasarkan

Undang-undang

Desentralisasi tahun 1903 ( Wet HuodendeDesentralisatie Van Het Bestuur in Nedrlandse Indie ) yang memungkinkan dibentuknya daerah-daerah otonom yang bernama “gewestelijke Reswort” untuk wilayah Rural dan Gementeen untuk wilayah Urban di pulau Jawa dan Madura, sedangkan diluar Jawa dibentuk Locale Resorten ( Selus Wilayah Kewedaan ) pada wilayah yang bersifat Rural dan Gemeenten untuk wilayah yang bersifat Urban. Langkah menuju desentralisasi dan otonom ditempuh dengan cara menerapkan Ordanansi (Undang-undang/Dewan-dewan Daerah) (Locale raden) Ordonantie, diundangkan dalam lembaran negara (Staatsblad) 1905 nomor 181.Atas dasar ordonansi ini dibentuklah dewan-dewan daerah Gewst. Gewest adalah daerah administratife yang sama dengan lingkungan keresidenan yang otonom. Diluar Jawa dibeberapa kota penting dibentuk juga dewan-dewan Kotapraja disamping beberapa dewan setempat.Menurut J Wajong (1975 : 5) pembentukan Gementeraden pilihannya senantiasa jatuh pada kota-kota yang mempunyai banyk penduduk asing. Dalam hal ini Belanda, sebab Gemente dilihat sebagai suatu lingkungan tersendiri yang bercorak barat ditengah masyarakat timur. Gementeraden menjelma menjadi Straaatsgeemente atau Kotopraja (Persi Undang-Undang No 1 tahun 1957) kemudian Kotamadya (Versi Undang-Undang No 5 tahun 1974) dan selanjutnya menjadi kota (Versi Undang-Undang No 2 tahun 1999). Dengan dikeluarkannya Bestuurshervormingsweet 1992 tentang peraturan dasar ketatanegaraan Hindia Belanda maka dikeluarkan serangkaian Undangundang meliputi:

Universitas Sumatera Utara

a). Ordonisasi Propinsi, lembaran negara 1924 Nomor 78,yang disusul dengan Pembentukan Propinsi Jawa Barat ( 1925 ),Jawa Timur ( 1972 ) dan Jawa Tengah ( 1929 ). b). Ordonansi Kabupaten, lembaran Negara 1924 nomor 79 yang menjadikan dasar bagi pembentukan dewan-dewan kabupaten diketiga Propinsi itu. c). Ordonisasi Kotapraja, lembaran Negara 1926 Nomor 365 yang mengubah

Gementeraden di

jawa

menjadi

Staatsgemente

(kotapraja). d). Bagi

diluar

Jawa

berlaku

staatsgemeente

Ordonantie

Buitengewesten, lembaran negara 1938 Nomor 131 yang mengubah

Gemente

diluar

Jawa

menjadi

Staatsgemeente

(kotapraja). e). Greepsgemeenshaps Ordonantie, lembaran negara 1973 Nomor 464 yang memungkinkan pembentukan daerah otonom bagi lingkungan suku-suku yang Homogen ( diluar Jawa ). Daerah-daerah yang disebut diatas pada nomor d dan e diatas diharapkan akan mempunyai status menyerupai propinsi dan kabupaten di Jawa. Tampak bahwa dalam bentuk daerah-daerah tersebut mengikuti pola propinsi dan Kotapraja dinegeri Belanda,dimana instansi tertinggi adalah dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) dan dalam hubungan subordinan dibawahnya terdapat Badan Eksekutif dengan nama “College Van Burgemeester en Wethouders”( Wajong 1975 : 5 ). Dapat disimpulkan bahwa desentralisasi pada waktu atau berkembang mengarah pada pemerintahan daerah yang bersifat kolegial, yang kelak akan mewarnai perkembangan dan otonom daerah pada masa setelah kemerdekaan. Berdasarkan peraturan pemerintah penduduk Jepang, Osamu Sirei No 27 Tahun 2602 ( 1942 ),Jawa dibagi kedalam: Syuu (Keresidenan) yang dikepalai oleh seorang Syuu (Resident) Syuu dibagi kedalam Si (Kota praja) yang dikepalai oleh Sicoo (Walikota) dan Ken (Kabupaten) yang dikepalai oleh Ken-coo (Bupati). Ken dibagi kedalam Gun (Kewedaan) dikepalai Gun-coo (Wedana) Gun dibagi kedalam Son (Kecamatan)

Universitas Sumatera Utara

dikepalai oleh Son-coo (camat /

Asisten Wedana) dan akhirnya Son dibagi

kedalam Ku (Desa / Kelurahan) yang dikepalai oleh Ku-coo (Kepala desa / Lurah). Disamping itu masih terdapat pula Kooti ( Kesultanan dan Kesunanan ) Yogyakarta dan Surakarta. Sasaran pemerintah diluar Jawa / Madura sejauh mungkin disesuaikan dengan di Jawa. Sebagai

mana

diketahui

sejak

kemerdekaan

hingga

sekarang,

desentralisasi dan otonomi daerah ditandai dengan serangkaian Undang-undang mengenai pemerintahan Daerah dengan berkali-kali diganti, diubah berturut-turut sebagi berikut:

B. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1945. Sebenarnya Undang-undang ini hanya mengatur tentang kedudukan komite Nasional daerah,namun dapat dikatakan pada hakekatnya mengatur tentang pemerintahan daerah (Desentralisasi dan Otonomi daerah). Gambaran Otonomi menurut Undang-undang ini, sedikitnya sama dengan otonomi menurut kefahaman decentralisasi Wetgeving ialah pengaturan mengenai desentralisasi setelah dikeluarkannya Decentrlisatiewet 1903.

C. Otonomi Daerah Berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 Otonomi Daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 yang menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, tampak adanya upaya untuk mewujudkan makna bunyi pasal 18 Undang-undang dasar 1945. Menurut J.Wajong ( 1975 : 5 ), hal ini terlihat melalui penetapan yang ada dalam Undangundang tersebut yaitu : 1. Landasan pelaksanaan desentralisasi yang rasional sebagai sarana mempercepat keajuan rakyat didaerah. 2. Diadakan 3 tingkatan daerah otonom,yaitu propinsi bagi daerah tingkat I, Kabupaten dan Kota bagi daerah Tingkat II dan desa (Kota kecil,nagari,marga dan sebagainya) bagi daerah Tingkat III. 3. Memodernisasi dan mendinamisasi pemerintah desa dengan menjadikan daerah tingkat III. 4. Menghilangkan dualisme pemerintah didaerah.

Universitas Sumatera Utara

5. Pembentukan Daerah Istimewa didaerah yang mempunyai hak usul dan dizaman sebelum republik Indonesia telah mempunyai pemerintahan sendiri.Namun demikian patut disayangkan pembentukan daerah Tingkat III yang diamanatkan dalam Undang-undang No 22 Tahun 1948 ini tidak pernah dilaksanakan.

D . Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1957. Undang-undang No 1 Tahun 1957 memperkenalkan konsep otonomi yang riil dan seluas-luasnya yang belum pernah dikemukakan pada Undang Undang mengenai penyelenggaraan pemerintahaan didaerah sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya Undang-undan ini banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh kondisi ketatanegaraan saat itu yakni susunan Ketatanegaraan dengan semangat Liberalisme, karena Politik Hukum yang dianut didasarkan oleh demokrasi Liberalisme. Demikian pula Undang Undang ini mempunyai kelemahan yaitu dengan adanya Perangkat Pemerintahan Daerah yang seakanakan terpisah dari perangkat pemerintahan pusat didaerah yang setingkat, sehingga menjadi dualisme pemerintahan.

E. Otonomi Berdasarkan Undang-undang No 18 Tahun 1965. Dengan berlakunya kembali Undang Undang Dasar 1945 berdasarkan Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 maka diadakan pula perubahan dalam pelasanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan itu terutama menghilangkan kelemahan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957 dan kebutuhan penyesuaian susunan pemerintah daerah dengan susunan menurut Undang Undang Dasar 1945. Undang Undang No 18 Tahun 1965 intinya menetapkan bahwa desentralisasi Berjalan dengan menjunjung tinggi desentralisasi,teritorial,dualisme pemerintahan didaerah dihapuskan. Dalam Undang Undang ini tampak jelas bahwa Kepala Daerah hanya sebagai alat pusat dan pusat sepenuhnya mengendalikan daerah.Mengenai campur tangan pengendalian pusat terhadap daerah ini,antara lain juga tampak dalam hal : 1 . Melakukan pengawasan atas jalannya Pemerintahan Daerah.

Universitas Sumatera Utara

2 . Kepala Daerah (Sebagai Alat Pusat) mempunyai kekuasaan untuk menagguhkan keputusan DPRD apabila bertentangan dengan GBHN dan kepentingan umum serta peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi 3 . Kepala daerah disahkan oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I dam Menteri dalam Negeri atas persetujuan Presiden untuk Daerah Tingkat II.Kepala daerah yang diangkat dapat dari orang luar calon yang diajukan oleh DPRD. Wilayah indonesia dibagi atas daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom) dan tersusun dalam 3 tingkatan yaitu sebagai berikut : 1 . Propinsi dan atau Kota raya sebagai daerah Tingkat I 2 . Kabupaten dan atau Kotamadya sebagai daerah Tingkat II 3 . Kecamatan dan atau Kotapraja sebagai daerah tingkat III

F . Otonomi Daerah Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 Bertolak dari kelemahan-kelemahan Undang-undang sebelumnya,maka pada masa pemerintahan orde Baru dilakukan perombakan mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan Otonomi daerah,melalui kebijakan yang tertuang di GBHN dalam ketetapan MPR No IV/ MPR / 1973,yang antaralain mengatakan : 1 . Asas desentralisasi digunakan seimbang dengan dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi. 2 . Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya melainkan otonomi yang nyata dan bertangung jawab. Prinsip ini dianut untuk menggantikan sistem otonomi riil dan seluasnya yang dianut Undang Undang No 18 Tahun 1965, tetapi didasarkan pada pengalaman

selama ini timbul kecendrungan pemikiran yang

membahayakan keutuhan negara kesatuan dan tidak serasi dengan maksuddan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai prinsip yang digaris besarkan dalam GBHN.

Universitas Sumatera Utara

Tetapi ini tidak berjalan selamanya dengan adanya reformasi maka Undang-undang

ini juga mengalami perubahan karena dirasakan oleh

rakyat.Bahwa otonomi ini hanya sebuah teori saja dan masih ada ikut campur tangan pusat dalam pengelolaan hasil daerah masing-masing. Dalam Undangundang No 5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa otonomi daerah itu merupakan kewajiban dari pada hak kewajiban daerah masing-masing untuk melancarkan pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Otonomi daerah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. Ketentuan ini memberi gambaran bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah. Dalam bahasa Hukum wewenang tidak sama dengan kekuasaan, kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat.Dalam hukum wewenang berarti hak dan kewajiban. Dalam ikatan dengan otonomi daerah hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban secara Horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahaan sebagai mana mestinya. Secara vertical berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahaan dalam satu tertibikatan pemerintahaan negara secara keseluruhan.

G. Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di Indonesia soal desentralisasi menyangkut dua masalah penting, yakni: Pertama, penyebaran dan pelimpahan kekuasaan pemerintahan ke segenap daerah negara. Kedua, penyerasian perbedaan-perbedaan yang ada diantara daerahdaerah, pemenuhan aspirasi-aspirasi dan tuntutan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Kedua masalah itu akan berkembang sejalan dengan dinamika politik dan respon elite terhadap desentralisasi.wujudkan Jika diawal tahun 2000, ketika UU No.22 Tahun 1999 mulai diterapkan, banyak kalangan menilai sebagai suatu era kebangkitan kembali otonomi daerah di Indonesia. Dengan terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah, terutama

Universitas Sumatera Utara

pada Kabupaten/Kota yang kebagian otonomi penuh merentangkan harapan akan terwujudnya local accountability , yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya bukan lagi suatu hal yang mustahil. Pada saat peluang dan ruang otonomi daerah itu baru pada taraf disiasati daerah guna mencapai hasilnya yang optimal, tiba-tiba pemerintah mengambil suatu kebijakan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. jiwa dan semangat otonomi daerah dari kedua undang-undang pemerintahan daerah itu, UU No.22 Tahun 1999 menganut paham, bahwa desentralisasi itu adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka konsepsi itu tampaknya tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang baru, yakni penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan baru muncul ketika Daerah dihadapkan pada konsepsi otonomi daerah, dimana UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsepsi otonomi daerah yang dianut undang-undang ini mirip dengan konsepsi otonomi daerah yang dianut UU No. 5 Tahun 1974. Dan sangat berbeda dengan rumusan otonomi daerah yang dianut UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan otonomi daerah itu adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika dalam UU No.22 Tahun 1999 Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamananan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain, maka dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 kewenangan Daerah sudah ditentukan sedemikian rupa. Dalam hubungan ini UU No.32 Tahun 2004 menentukan 16 urusan wajib untuk urusan propinsi dan 16

Universitas Sumatera Utara

urusan wajib pula untuk Kabupaten/Kota. Selain urusan wajib baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota disertai dengan urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004, menurut penulis memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan pola UU No.22 tahun 1999 yang dituangkan dalam PP No.25 Tahun 2000. Pola yang dikembangkan UU No.22 Tahun 1999 vide PP No.25 Tahun 2000 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah, dimana sudah ditentukan apa-apa yang menjadi kewenangan pemerintah dan apa-apa yang menjadi kewenangan propinsi dan apa yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang tidak temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini undang-undang tidak memberi ruang kepada pemerintah untuk mencampuri urusan yang telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak pula dapat mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota. Berbeda halnya dengan undang-undang No. 32 Tahun 2004, dimana undang-undang ini menganut paham pembagian urusan. Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Secara yuridis yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 pada pasal 1 angka 3), sedangkan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri. Dengan demikian, maka titik tekanan pada undang-undang No.22 Tahun 1999 adalah pada kewenangan dan dengan kewenangan itu daerah menentukan apa-apa yang akan menjadi isi dari kewenangannya. Pola ini merangsang kreatifitas dan prakarsa daerah menggali berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu, kalau titik penekanannya pada pembagian urusan, maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan bertambah apabila ada penyerahan dari pemerintah. Artinya kewenangan daerah bertambah hanya jika

Universitas Sumatera Utara

ada penyerahan urusan. Mekanisme yang demikian, lagi-lagi mirip model undangundang No.5 Tahun 1974. Mencermati pola pembagian urusan yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 memang tidak harus ditanggapi secara skeptis, tetapi konsep otonomi daerah yang akan dikembangkan tampaknya berjiwa sentralistik. Meskipun undang-undang baru itu masih memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang, tetapi sesungguhnya hanya penyerahan urusan. Dan atas urusan yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-rambu yang tidak mudah untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga sendiri. Setidaknya ada beberapa-beberapa rambu yang sangat “karet”, yakni: 1. Daerah

dalam

menjalankan

urusan

pemerintahan

yang

menjadi

kewenangannya menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. 2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan criteria eksternalitas,

akuntabelitas,

dan

efisiensi

dengan

memperhatikan

keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. 3. Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan

antar

pemerintah

dan

pemerintah

daerah

propinsi,

kabupaten/kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan. Berdasarkan rambu-rambu penyelenggaraan urusan pemerintahan di atas, maka sulit diingkari, bahwa dibawah payung UU No.32 Tahun 2004 Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesungguhnya tidak lagi otonom sebagaimana layaknya dibawah UU No.22 Tahun 1999, melainkan “otonomi terkontrol” . Ini terutama dikarenakan penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah daerah propvinsi, Kabupaten dan Kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan. Dari sisi ini, otonomi seluas-luasnya yang dianut ternyata adalah otonomi yang tidak luas dalam perspektif tumbuhnya prakarsa dan inisiatif daerah sendiri. Kebijakan daerah tidak lagi punya tempat, sekalipun itu hanya

Universitas Sumatera Utara

urusan local atau stempat, yang ada hanya kebijakan pusat yang harus menjadi acuan bagi setiap pengambilan kebijakan pemerintahan daerah. Padangan kita terhadap kebijakan otonomi daerah yang diambil pembentuk undang-undang yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 bukanlah suatu sinisme, melainkan memang kebijakan otonomi daerah yang protektif dan tampaknya lebih dominan dibangun padangan politik “khawatiran “ dan juga sebagai reaksi yang berlebihan atas otonomi daerah yang berlansung dibawah UU No.22 tahun 1999. Bahkan tidak tertutup kemungkinan semangat otonomi daerah dari UU No. 32 Tahun 2004 dibangun atas pandangan UU No.22 Tahun 1999 dipahami sebagai berjiwa federalis. Jika persepsi ini benar, maka sejarah desentralisasi di Indonesia kembali mengalami kemunduran. Konsepsi otonomi daerah yang dirumuskan dalam UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana digambarkan di atas, ia jelas akan membawa pengaruh dan perubahan yang mendasar bagi eksistensi Daerah dan pemerintahannya. Sekaligus merupakan tantangan bagi daerah dan menghadapkan pemerintahan daerah pada suatu kondisi yang dilematis ketika desakan untuk mewujudkan local accountability. Jika ditelusuri lebih jauh konsepsi otonomi daerah menurut undangundang No.32 Tahun 2004, pada Pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenagannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UndangUndang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Ketentuan ini tentu tidak diperlukan, karena di dalam undang-undang ini telah disebutkan apa-apa yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Dan kalau dikuti ketentuan pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 itu maka tidak diperlukan lagi penentuan secara limitatif apa yang menjadi urusan pemerintah daerah. Pemerintahan daerah berhak mengatur urusan-urusan yang tidak menjadi urusan pemerintah pusat. Di sisi lain, kalau daerah mengikuti ketentuan apa-apa yang menjadi urusannya, maka siapakah yang akan mengurus urusan-urusan yang tidak termasuk urusan pemerintah pusat dan tidak pula termasuk urusan pemerintahan daerah. Implikasi dari prolema ini akan sangat dirasakan daerah, ketika kita cermati penjelasan undang-undang ini yang menyebutkan, bahwa sejalan dengan

Universitas Sumatera Utara

prinsip otonomi seluas-luasnya, dilaksanakan pula prinisip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk membedayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Dari beberapa yang kita kemukakan mengenai konse[si otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka tidak terelakan lagi, bahwa tantangan utama bagi daerah dalam berotonomi pasca revisi UU No.22 Tahun 1999 adalah kesiapan daerah dan masyarakatnya kembali kejiwa dan semangat Otonomi Daerah sebagaimana pernah dipratekkan semasa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 yang berbeda hanya dalam beberapa dan sistemnya, tetapi substansinya kurang lebih sama. Disadari memang, cukup banyak argumen yang dapat didalikan untuk membantah pandangan di atas dengan mengajukan pola dan mekanisme yang dituangkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 2004, tetapi undang-undang ini telah

mengampungkan

suatu

konsep,

bahwa

dalam

menyelenggarakan

pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/Kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten Kota/Kota ke Desa. Ini tentu saja sangat berbeda dengan apa yang kita pahami selama ini, bahwa di bawah undang-undang No.5 Tahun 1974 penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa undangundang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang

Universitas Sumatera Utara

lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Lebih jauh UU No. 22 Tahun

1999

menegaskan,

bahwa

dengan

memperhatikan

pengalaman

penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Tetapi tidak demikian halnya dengan UU No. 32 Tahun 2004, bahwa asas desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi bukan lagi menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah (pemerintah pusat). Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak akan kita lihat lagi pemerintahan propinsi dengan otonominya yang terbatas dan daerah Kabupaten/Kota dengan otonomi penuh yang mengatur urusan rumah tangganya hanya berdasarkan asas desentralisasi saja. Kelahiran UU No.22 Tahun 1999 dipahami sebagai berakhirnya era pemerintahan yang sentralistik. Tetapi, kini era sentralistik itu kembali tercium. Sayangnya luput dari pembicaraan publik, justeru yang santer adalah pembicaraan dan perdebatan pemilihan kepala daerah lansung yang antusias. Padahal, Pilkada lansung tidak akan memberikan kontibusi yang signifikan dalam perspektif otonomi di bawah UU No.32 tahun 2004 dalam rangka mewujudkan local accountability. Tidak banyak yang dapat diperbuat Kepala Daerah mengembangkan prakarsa dan insiatif guna memenuhi aspirasi rakyat, ketika otonomi yang dikembangkan adalah “otonomi kekangan”. Dalam konteks otonimi daerah yang demikian, Pilkada lansung hanyalah sebuah “festival demokrasi” yang kemudian “disesali” ketika calon Kepala daerah yang keluar sebagai pemenang ternyata tak bisa berbuat banyak mengembangkan inisiatif dan prakarsa bagi kepentingan rakyat daerah yang dipimpinnya.

Universitas Sumatera Utara

III. PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan. Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Namun, upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani. Kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Oleh karena itu, dengan membandingkan upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dengan kondisi pelayanan publik yang dituntut dalam era desentralisasi, tampaknya apa yang telah dilakukan pemerintah masih belum banyak memberikan kontribusi bagi perbaikan kualitas pelayanan publik itu sendiri,

bahkan

birokrasi

pelayanan

publik

masih

belum

mampu

menyelenggarakan pelayanan yang adil. Pemerintahan yang berhasil adalah yang mampu memberikan pelayanan yang berfokus pada pelanggan atau masyarakat. Pelayanan yang berfokus pada pelanggan ini akan berhasil apabiia sejak awal pemerintah mampu memahami hambatan-hambatan yang dihadapi diantaranya ketidakpedulian aparat dalam menerapkan sistem kualitas pelayanan prima dan adanya ketidak berdayaan atau

Universitas Sumatera Utara

kurang responsifnya aparat dalam memahami dan menyerap keinginan masyarakat yang dilayaninya. Pasal 16 UU No.32 Tahun 2004 menjelaskan hubungan dalam bidang pelayanan umum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang meliputi: a.

Kewenangan, tanggung jawab dan ketentuan standar pelayanaan nasional;

b.

Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;

c.

Fasilitas pelaksanaan kerja sama antara pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum. 8

Kebijakan publik yang telah diadopsi dan dilegitimasikan oleh pemerintah dan lembaga legislatif,

sudah semestinya diimplementasikan melalui

sistem

administrasi publiknya, tak terkecuali mengenai kebijakan desentralisasi. Masalah ini dikemukakan oleh Heaphey bahwa : ”Keputusan-keputusan seringkali tidak dibuat di lapangan dan segala petunjuk pelaksanaan (juklak) serta petunjuk teknis (juknis) selalu berasal dari kantorkantor pusat departemen. Administrator di lapangan hanya menerima sedikit tanggung jawab mengenai apa yang harus mereka kerjakan.” 9 Kebijakan desentralisasi yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah diimplementasikan dalam sistem

administrasi

publik

baik

di

tingkat

Pusat,

Propinsi

maupun

Kabupaten/Kota. Implementasi kebijakan publik tersebut dalam kurun waktu 2001 - 2004 telah dievaluasi kembali dan Undang-Undang tersebut kemudian direvisi dengan Undang-Undang Otonomi Daerah yang baru yaitu Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tenteng Pemerintah Daerah. Melihat substansi undang-undang yang baru, nampak terjadinya perubahan dan improvisasi sehingga otomatis akan membawa perubahan pada tahapan implementasi kebijakan publik dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

8

Abdullah Rozali. 2005. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: Raja Grafindo Persada 9 Deddy S Brata Kusumah, dadang S. 2003. Otonomi Penyelenggara Pemerintah Daerah. Jakarta: PT. Sun

Universitas Sumatera Utara

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 14 telah ditegaskan

secara

terperinci

urusan

wajib

yang

menjadi

kewenangan

pemerintahan daerah kabupaten/kota yang meliputi 16 urusan wajib yaitu : a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan ; b. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang ; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat ; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum ; e. Penanganan bidang kesehatan ; f. Penyelenggaraan pendidikan ; g. Penanggulangan masalah sosial ; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan ; i. Fasilitasi pengambangan koperasi, usaha kecil dan menengah ; j. Pengendalian lingkungan hidup ; k. Pelayanan pertanahan ; l. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil ; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan ; n. Pelayanan administrasi penanaman modal ; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya ; dan p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Di samping urusan wajib tersebut, di dalam ayat (2) Pasal yang sama dijelaskan pula menganai urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan, meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Apabila dibandingkan dengan kewenangan daerah kabupaten/kota yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, maka urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota menjadi lebih komprehensif bukan saja mencakup kewenangan penyelenggaraan pemerintahan pada sektor-sektor tertentu, namun lebih mengarah pada fungsi pelayanan

publik

dalam

bidang-bidang

kewenangan

yang

telah

di

desentralisasikan. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya kabupaten/ kota lebih mengarah

Universitas Sumatera Utara

pada dimensi regulasi, fasilitasi dan pelayanan publik. Hal ini sesuai dengan konsep otonomi daerah itu sendiri yaitu demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali asas umum penyelenggaraan negara yaitu : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaran negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan negara di dalam Undang-Undang ini tidak lain ingin mereduksi konsep good governance dalam kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah. 10 Berdasarkan pemikiran tersebut, maka implementasi kebijakan publik desentralisasi ke depan harus menekankan prinsip-prinsip good governance pada fungsi-fungsi regulasi, pelayanan publik dan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan publik yang di implementasikan dalam sistem administrasi publik di daerah kabupaten/kota benar-benar menerapkan prinsip good governance serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi harus mampu mendorong terjadinya layanan publik yang lebih dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Kebijakan publik yang dihasilkan, diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi yang panjang untuk menghindari penundaan dan penurunan kualitas dari layanan publik yang menjadi kewajiban negara kepada warganya. Keberhasilan proses desentralisasi dapat diukur dari kualitas layanan publik yang semakin baik. Kebijakan desentralisasi yang hanya dimaksudkan untuk menggantikan peran pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan perubahan pada transaksi sosial yang terjadi, maka sangat sulit diharapkan terjadinya efek positif dari kebijakan publik tersebut oleh sebab itu perbaikan kualitas layanan publik menjadi faktor yang determinan dalam implementasi kebijakan desentralisasi. Pelayanan publik juga merupakan bagian yang krusial dalam praktek negara demokrasi, bahkan banyak ahli mengatakan bahwa pelayanan publik sebagai demokrasi dalam artian yang sebenarnya karena demokrasi sebagai 10

Dharma Setyawan Salam. 2004. ”Otonomi Daerah dalam perspektif lingkungan, Nilai

dan Sumber Daya”. Jakarta: Djambatan

Universitas Sumatera Utara

konsep hanya dapat dirasakan dalam kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas, maka sangatlah rentan bagi suatu pemerintahan dapat memenuhi kebutuhan layanan masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan apalagi tingkat kepuasan rakyat. Dalam konteks ini layanan menjadi tolok ukur penting untuk melihat perjalanan demokrasi dan desentralisasi. Dengan demikian demokrasi dan desentralisasi harus dilihat dari kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan transaksi sosial yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari yaitu layanan publik. Marsh dan Ian mengemukakan 2 (dua) perspektif yang penting diamati dalam layanan publik yaitu: Pertama, dimensi service delivery agent (dinas atau unit kerja pemerintah) dan Kedua, dimensi customer atau user (masyarakat yang memanfaatkan). Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil (dimensi ruang dan klas sosial), kesiapan kerja dan mekanisme kerja (readiness), harga terjangkau (affordable price), prosedur sederhana dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Sementara itu dari dimensi penerima layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif terhadap penyimpangan atau layanan tak berkualitas yang muncul dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan aktif masyarakat baik dalam mengawasi dan menyampaikan keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi faktor penting umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Pemahaman masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan publik yang ditetapkan menjadi salah satu faktor penting untuk menjamin standar layanan publik yang berkualitas. Pemahaman masyarakat tentang formulasi kebijakan publik yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemberian layanan publik dapat diukur dari kemudahan masyarakat untuk memahami prosedur tersebut, kesiapan birokrasi untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat, informasi yang transparan tentang standar pelayanan publik dimaksud serta perilaku petugas pelayanan publik terhadap masyarakat dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Formulasi kebijakan tersebut tentunya berada pada tahapan implementasi kebijakan publik yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu bidang layanan

Universitas Sumatera Utara

publik yang krusial adalah masalah Pertanahan. Pertanahan merupakan aspek regulasi dan legalitas dari berbagai bidang kegiatan masyarakat yang ditetapkan oleh pemerintah melalui prosedur tertentu. Masalah Pertanahan menyangkut dua sisi kepentingan yaitu, kepentingan pemerintah daerah untuk melakukan regulasi terhadap kegiatan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat agar sesuai dengan perencanaan, kondisi dan kebutuhan pemerintah daerah, di sisi lain adalah kepentingan kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam melakukan pengarapan tanah dan hak-hak atas tanah yang mempunyai efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Keseluruhan permasalahan yang muncul dalam pelayanan Pertanahan menjadi semakin krusial ketika prosedur pemberian Pelayanan publik tersebut tidak dibakukan secara komprehensif dan tidak ditetapkan dalam suatu standar pelayanan yang baik. Pelayanan Pertanahan akan

tidak

memberikan

kepuasan

kepada

masyarakat

apabila

dalam

pelaksanaannya tidak terkoordinasi dan berjalan sendiri-sendiri dalam sektornya masing-masing. Implementasi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah ke depan salah satunya adalah bagaimana dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik berdasarkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara dan sekaligus merupakan perwujudan dari prinsip utama kebijakan desentralisasi yaitu demokratisasi, akuntabilitas publik daan pemberdayaan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara