PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI PADA PEREMPUAN ... - Psikologi

46 downloads 128 Views 91KB Size Report
lain, menciptakan atmosfer yang sangat buruk dan melipatgandakan stress yang .... sejauh pengetahuan peneliti belum ditemukannya perbedaan tingkat ...
PERBEDAAN TINGKAT DEPRESI PADA PEREMPUAN YANG MENJADI KEPALA KELUARGA KARENA MENINGGALNYA PASANGAN HIDUP DAN KARENA PERCERAIAN

INTISARI SKRIPSI Diajukan Kepada Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi

Oleh : HALIYAH AL HADAD 04320284

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009

2

I.

PENGANTAR

Semakin besar tanggungjawab seseorang maka akan semakin besar tekanan sehingga semakin besar pula resiko untuk mengalami depresi. Depresi adalah penyakit yang mewabah pada masa kini dan di sejumlah negara penderitanya meningkat tajam. Problema kehidupan era digital serta krisis sosial dan budaya dewasa ini semakin meningkatkan jumlah penderita depresi. Manusia dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari berbagai permasalahan, baik yang tergolong sederhana sampai yang kompleks. Semua itu membutuhkan kesiapan mental untuk menghadapinya. Pada kenyataannya terdapat gangguan mental yang sangat mengganggu dalam hidup manusia, yang salah satunya adalah depresi. Gangguan mental emosional ini bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dari kelompok mana saja, dan pada segala rentang usia. Bagi

penderita

depresi

ini

selalu

dibayangi

ketakutan,

kengerian,

ketidakbahagiaan serta kebencian pada mereka sendiri. Pranowo (2004), menyatakan secara sederhana bahwa depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan, suatu perasaan tidak ada harapan lagi. Dalam KOMPAS, tanggal 4 Juli 2007 disajikan data bahwa Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia meningkat pesat, mencapai 8% - 10% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2007. Ketua Pengurus PDSKJ Syamsulhadi mengatakan, jenis gangguan jiwa yang paling banyak adalah depresi (10%). Penyebab utamanya adalah kehilangan pekerjaan, harta benda, atau anggota keluarga (KOMPAS,4 Juli 2007). Depresi adalah gangguan jiwa yang paling lazim

1

3

dijumpai di masyarakat. Prevalensinya cukup tinggi, berkisar 5%-10%, perempuan dua kali lebih banyak daripada pria. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan berisiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami depresi. Selain karena faktor hormonal, multi peran yang harus dijalani perempuan dan belum adanya kesetaraan

gender

menjadi

faktor

yang

memicu

munculnya

depresi

(http://www.badungkab.go.id.15/10.08). Laporan dari PEKKA tahun 2006 menyajikan kenyataan bahwa tidak kurang dari 6 juta rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan karena kematian suami baik secara alamiah maupun karena terbunuh dalam konflik, perceraian, ditinggalkan begitu saja, suami cacat atau sakit menahun, dan perempuan lajang yang mempunyai anak (http//.www.pekka.or.id). Sayogyo (1991) menyatakan bahwa masalah penting dalam kehidupan rumah tangga yang dikepalai perempuan pada dasarnya meliputi proses perubahan dari peranan perempuan pada status sosialnya yang baru, yaitu peranannya sebagai ayah dan ibu anak-anaknya dalam proses sosialisasi (Suardiman, 2001). Salah satu faktor lain dalam menimbulkan depresi pada perempuan adalah stress dan tekanan yang dialami di luar rumah. Karena tidak adanya keseimbangan antara tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga di satu sisi dan pekerjaan di sisi lain, menciptakan atmosfer yang sangat buruk dan melipatgandakan stress yang dialami kaum perempuan. Ketika perempuan dituntut untuk bekerja di luar rumah sama seperti laki-laki, mereka akan lebih cepat menderita depresi mengingat mereka

sangat

sensitif

dalam

menyikapi

segala

hal

(http://indonesian.irib.ir.01/05.08). Sejalan dengan itu, Strong dan Devault

4

(dalam Wirawan, 2004) juga mengemukakan pandangan bahwa tugas seorang istri/ibu yang berperan ganda akan menjadi lebih berat. Tabel 1. Karakteristik Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kelamin 2000 & 2004 2000 2004 Jenis Kelamin Jumlah % Jumlah % Laki-laki 41.446.636 87,3 42.156.827 86,7 Perempuan 6.041.459 12,7 6.448.214 13,3 Jumlah Rumah Tangga 47.488.095 100 48.605.041 100 sumber: susenas 2000 & 2004 (http://www.datastatistik-indonesia.com). Tabel di atas menunjukkan bahwa proporsi KRT yang dikepalai baik oleh laki-laki maupun perempuan. Gambaran KRT berdasarkan jenis kelamin diatas memperlihatkan adanya penambahan proporsi KRT perempuan dari 12,7% menjadi 13,3% selama kurun waktu 3 tahun. Penambahan persentase KRT perempuan tersebut dapat menggambarkan tingkat perceraian (baik cerai hidup maupun cerai mati) yang terjadi dan juga dapat menggambarkan salah satu gaya hidup modern. Menurut Biro Pusat Statistik tahun 1987 (dalam Suardiman, 2001) dilihat dari status perkawinannya, jumlah perempuan kepala rumah tangga yang terbesar disebabkan suami meninggal atau cerai mati (70%) pada 1971 dan menurun menjadi 65% pada 1980. Selanjutnya, jumlah terbesar kedua adalah perempuan kepala rumah tangga karena cerai hidup (17%). Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985 menunjukkan bahwa 16% rumah tangga dikepalai perempuan. Tingginya jumlah janda yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup serta janda yang menjadi kepala keluarga karena

5

perceraian menjadi daya tarik bagi peneliti. Karena multi peran yang harus dijalani perempuan terlebih dengan statusnya sebagai kepala keluarga akan terasa jauh lebih berat. Jacobs (dalam Durand dan Barlow, 2006) mengemukakan bahwa frekuensi depresi berat menyusul kematian orang yang dicintai sangat tinggi (sebesar 62%) sehingga para professional kesehatan mental tidak menganggapnya sebagai gangguan kecuali jika muncul gejala-gejala berat seperti fitur-fitur psikotik atau pikiran-pikiran bunuh diri, atau gejala alarming yang berlangsung selama lebih dari 2 bulan. Clayton dan Darvish, dkk. (dalam Durand dan Barlow, 2006) menyatakan bahwa biasanya proses berkabung yang alamiah akan selesai selama beberapa bulan saja, meskipun sebagian orang berkabung selama satu tahun atau lebih. Ditambahkan juga oleh Blanchard, dkk. (dalam Durand dan Barlow, 2006) yaitu bila kesedihan berlangsung lama lebih dari durasi normalnya, maka hal itulah yang menjadi perhatian para profesional kesehatan mental. Bila kedukaan itu berlangsung sampai lebih kurang satu tahun, peluang untuk pulih dari dukacita yang mendalam tanpa penanganan akan menurun tajam. Untuk sekitar 10%-20% diantara mereka yang merasakan kehilangan yang berkepanjangan itu menurut Jacobs, dkk. (dalam Durand dan Barlow, 2006), proses normalnya adalah berubah menjadi gangguan. Horowitz, dkk. dan Jacobs, dkk. (dalam Durand dan Barlow, 2006) menyatakan bahwa banyak faktor psikologis dan sosial yang terkait dengan suasana perasaan secara umum, termasuk riwayat episode depresif sebelumnya, yang juga memprediksi apakah sebuah respon dukacita normal akan berkembang menjadi phatological grief reaction (reaksi berkabung patologis), yaitu reaksi

6

ekstrem terhadap kematian seseorang yang dicintai yang melibatkan fitur-fitur psikotik, ide-ide bunuh diri, atau kehilangan berat badan secara signifikan atau kehilangan energi, atau yang menetap selama lebih dari 2 bulan. Atau impacted grief reaction (reaksi berkabung yang menghimpit). Horowitz, dkk. (dalam Durand dan Barlow, 2006) juga menyampaikan bahwa gejala-gejala yang sangat menonjol antara lain berupa ingatan-ingatan intrusive dan kerinduan kuat hingga menyebabkan distress terhadap orang yang dicintai dan menghindari orang-orang atau tempat-tempat yang mengingatkan pada orang yang dicintai itu. Disamping itu, tercatat bahwa jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang sangat fantastis. Pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai. Meski angka perceraian di negara ini tidak setinggi di Amerika Serikat dan Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari jumlah total perkawinan), namun angka perceraian di Indonesia ini sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik (http://arifjulianto.wordpress.com.05/06.08). Menurut beberapa teori tentang keluarga dan rumah tangga, modernisasi dan industrialisasi telah menyebabkan angka perceraian meningkat. Perempuan yang mempunyai fungsi tradisional mengasuh anak dan menyelenggarakan kehidupan rumah tangga, telah ikut bekerja di luar rumah. Di sisi yang lain budaya masyarakat masih menuntut istri untuk berperan ganda sebagai pencari nafkah dan penyelenggara rumah tangga. Kemandirian perempuan dalam pencarian nafkah dan tuntutan yang tinggi untuk tetap berperan dalam rumah tangga menyebabkan ketidakpuasan dalam kehidupan perempuan. Ketidakpuasan tersebut dapat menyebabkan perempuan

7

berani

mengambil

resiko

untuk

hidup

sendiri

(http://www.datastatistik-

indonesia.com). Siregar (dalam Wirawan, 2004) juga menekankan bahwa alasan utama perempuan memilih untuk bekerja di luar rumah adalah untuk mendukung perekonomian

keluarga.

Papalia,

dkk.

(dikutip

oleh

Wirawan,

2004)

mengemukakan bahwa banyak perempuan yang bekerja memiliki tujuan untuk memperoleh uang, untuk memenuhi kebutuhan pribadi, atau karena mereka hidup sendiri, bercerai, menjanda atau menikah dengan laki-laki yang tidak mampu menopang kehidupan keluarga. Hal ini oleh Sayekti (dalam Wirawan, 2004) dibuktikan dalam suatu penelitian dimana persentase terbesar alasan ibu bekerja adalah mencari nafkah (± 45%) dan alasan lain yang persentasenya tidak terlalu besar adalah mengisi waktu luang, meningkatkan kepercayaan diri, dan lain-lain. Dari beberapa hasil penelitian di atas juga dapat dikatakan bahwa peubahan status sosial pada perempuan yang menjadi kepala keluarga merupakan salah satu penyebab depresi . Selain itu, berakhirnya sebuah pernikahan dengan perceraian menunjukkan bahwa adanya ketidakpuasan terhadap pernikahan. Sehingga hal tersebut berpengaruh pada cara pandangnya terhadap diri, lingkungan, maupun masa depannya, juga terhadap kesehatan mental dan fisik. Terlebih jika setelah perceraian tersebut seorang istri harus berubah statusnya menjadi seorang janda dan harus pula menjadi kepala keluarga atau kepala rumah tangga yang menyandang semua beban perekonomian keluarga. Plumer dan Koch-Hattem (dalam Risnawaty, 2007) menyatakan bahwa dalam kondisi terbaik sekalipun, perceraian adalah pengalaman yang mengganggu

8

secara emosional. Apapun alasannya, perceraian akan memberikan dampak bagi yang mengalaminya. Bercerai menimbulkan berbagai konsekuensi dan resiko yang tidak ringan, terutama bagi perempuan. Setelah bercerai dari suami, seorang perempuan akan dihadapkan pada serangkaian permasalahan. Pertama, masalah keuangan. Selanjutnya, menurut Amato dan Partidge (dalam Risnawaty, 2007) pada suatu studi tentang perceraian, 71% menyebutkan kesulitan keuangan adalah masalah utama. Kedua, masalah status. Setelah bercerai maka perempuan akan mendapatkan status baru yaitu janda. Status ini dapat membawa masalah tersendiri karena stigma janda masih berkonotasi negatif, khususnya di Indonesia. Selain stigma negatif, perempuan juga harus berhadapan dengan pandangan sosial karena dianggap sebagai istri yang gagal membina keluarga. Ketiga, peran ganda. Jika perempuan memenangkan hak pengasuhan anak maka ia akan menjalani peran ganda yaitu sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak (atau anak-anaknya). Keempat, masalah tempat tinggal. Setelah bercerai akan terjadi perubahan tempat tinggal, antara lain: kembali ke rumah orangtua, tinggal bersama anggota keluarga lain, atau tetap bertahan di rumahnya. Kelima, masalah loneliness dan masalah penyesuaian ulang ke masyarakat. Keenam, masalah seksual, akan timbul terkait dengan kebutuhan biologis yang sebelumnya rutin dipenuhi. Hurlock (dalam Retnowati, dkk., 2004),

menyatakan bahwa efek

traumatik dari perceraian biasanya lebih besar daripada efek kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian timbul rasa sakit dan tekanan emosional. Namun, sejauh pengetahuan peneliti belum ditemukannya perbedaan tingkat depresi antara perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup

9

dan karena perceraian. Meskipun keberadaan perempuan kepala rumah tangga cukup besar, namun belum banyak studi yang mengungkapkan perihal perilaku perempuan kepala rumah tangga. Masih banyak fenomena perempuan kepala rumah tangga yang belum terungkap secara mendalam. Disamping itu perempuan sebagai sumber daya manusia yang potensial perlu memperoleh perhatian khusus mengingat keberadaannya memiliki arti penting dalam pembangunan (Suardiman, 2001). Suardiman (2001) juga menyatakan bahwa perhatian terhadap perempuan kepala rumah tangga di Indonesia baru berada pada taraf perintisan. Oleh karena itu, mengingat juga bahwa perempuan lebih rentan terkena depresi terutama dengan peran ganda. Maka, peneliti ingin mengetahui depresi pada perempuan kepala rumah tangga terutama tingkat perbedaan depresi pada perempuan kepala rumah tangga karena faktor kehilangan, yaitu pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup dan perempuan yang menjadi kepala keluarga karena perceraian. Sehingga dengan hasil yang didapat akan memungkinkan tindak lanjut yang akan dilakukan oleh berbagai pihak yang bersangkutan untuk menghindari adanya peningkatan depresi pada perempuan yang menjadi kepala rumah tangga.

10

II.

METODE PENELITIAN

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas yaitu status perempuan kepala keluarga dan variabel tergantung yaitu tingkat depresi berdasarkan faktor penyebab perempuan menjadi kepala keluarga. Kriteria subjek penelitian ini adalah para perempuan kepala rumah tangga yang tergabung dalam Organisasi Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang terdapat di Propinsi Kalimantan Barat. Peneliti menggunakan Skala depresi Beck Depression Inventori (BDI) yang terdiri dari 21 aitem yang menggambarkan simtom depresi. Simtom-simtom tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok simtom yaitu : 1) kelompok simtom afektif 2) kelompok simtom motivasional; 3) kelompok simtom kognitif; dan 4) kelompok simtom fisik dan vegetatif . Masing-masing kategori simtom menggambarkan manifestasi depresi dan terdiri dari 4 sampai 5 pernyataan. Pernyataan ini disusun berurutan dimulai dari taraf netral sampai terberat dengan skor bergerak dari 0 sampai 3. Cara pemberian skor adalah subjek diminta memilih pernyataan pada masing-masing kategori, dan diperkenankan memilih lebih dari satu pernyataan. Total skor yang didapatkan berkisar antara 0 sampai 63. Norma penggolongan intensitas depresi BDI yang digunakan adalah, skor 0 sampai 9 termasuk normal, skor 10 sampai 15 termasuk depresi ringan, skor 16 samapi 23 termasuk depresi sedang, dan skor 24 sampai 63 termasuk depresi berat. Robinson (dalam Retnowati, 2004) mencatat bahwa BDI memiliki reliabilitas konsistensi internal yang baik, yaitu 0,93, dengan reliabilitas test-retest 0,70. Validitas BDI berkisar antara 0,6-0,9. Achmad (dalam Hasanat, 1994)

11

mencatat reliabilitas BDI versi Indonesia sebesar 0,775, sedangkan Robinson (dalam Retnowati, 2004) bahwa BDI memiliki reliabilitas konsistensi internal yang baik, yaitu 0,93 dengan reliabilitas test-retest 0,70. Validitas BDI berkisar antara 0,6-0,9. Di Indonesia BDI telah diadptasi dan beberapa kali diteliti Achmad (dalam Hasanat,1994) mencatat reliabilitas BDI versi Indonesia sebesar 0,775. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian adalah teknik analisis Uji Beda atau t-Test. Perhitungan-perhitungan tersebut akan dilakukan dengan komputer menggunakan program Software Statistical Product dan Service Solution (SPSS) 12.0 for Windows.

12

III.

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini mengambil 64 an 32 lainnya adalah perempuan kepala keluarga dimana 32 orang subjek adalah perempuan yang menjadi kepla keluarga karena meninggalnya pasangan hidup dan 32 orang subjek lainnya adalah perempuan yang menjadi kepla keluarga karena perceraian. Berdasarkan kategorisasi skala Beck Depression Inventori (BDI), deskripsi subjek setelah dilakukannya penelitian adalah sebagai berikut: a. Kategori depresi pada perempuan kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup Kategori Kisaran Skor Jumlah Persentase Depresi Normal 7 1 3,125% Ringan 11-16 11 34,375% Sedang 16-23 11 34,375% Berat 24-35 9 28,125%

b. Kategori depresi pada perempuan kepala keluarga karena perceraian Kategori Kisaran Jumlah Persentase Depresi Skor Normal 1-9 8 25% Ringan 10-14 10 31,25% Sedang 16-23 10 31,25% Berat 25-30 4 12,5%

a. Uji Asumsi Normalitas Uji normalitas sebaran dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov Test. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai z = 0,645. Oleh karena itu Perbedaan tingkat depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup dan karena perceraian terdisitribusi normal sehingga memenuhi syarat untuk uji hipotesis.

13

b. Uji Homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data perpedaan tingkat depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup dan karena perceraian terdisitribusi normal sehingga memenuhi syarat untuk uji hipotesis. Memiliki varians yang sama atau tidak. Diharapkan kedua kelompok memiliki varians yang sama sehingga layak untuk dibandingkan (comparable). Alat analisis yang digunakan adalah Independent Samples Test, akan dilakukan dengan komputer menggunakan program Software Statistical Product dan Service Solution (SPSS) 12.0 for Windows. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai F sebesar 0, 104 dan p = 0.05. karena nilai F sebesar 0, 104, maka dapat disimpulkan bahwa dua kelompok data yaitu data hasil tes BDI pada PEKKA dikarenakan meninggalnya pasangan hidup (suami) dan data hasil tes BDI pada PEKKA dikarenakan perceraian adalah homogen, sehingga memenuhi syarat untuk uji hipotesis.

c. Uji Hipotesis Dari uji hipotesis didapat hasil t = 2,654 dengan signifikansi 0,010 (p> 0,01). Hasil tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan antara tingkat depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup dan karena perceraian. Rerata depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan

14

hidup yaitu 19,75, adapun rerata depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena perceraian yaitu 14,75.

15

IV.

PEMBAHASAN

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena kehilangan (meninggalnya) pasangan hidup (suami) dengan perempuan yang menjadi kepala keluarga karena perceraian. Berdasarkan hasil analisis, peneliti menemukan bahwa tingkat depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menjadi kepala keluarga karena perceraian dengan pasangan. Hal ini dibuktikan dengan hasil Mean atau rata-rata pada perempuan yang menjadi kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menjadi kepala keluarga karena perceraian dengan pasangan yaitu 19,75 untuk yang meninggal dan 14,75 untuk yang bercerai. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian hanya pada satu faktor penyebab depresi yaitu kehilangan, baik kehilangan orang yang dicintai karena meninggalnya pasangan hidup maupun berpisah dengan pasangan atau bercerai. Berdasarkan tabel deskripsi subjek, jumlah dan persentase perempuan yang mengalami depresi pada perempuan kepala keluarga karena meninggalnya pasangan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah dan persentase subjek yang mengalami depresi karena perceraian. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor selain kehilangan. Menurut Burns (1980), kesedihan adalah suatu emosi normal yang diciptakan oleh persepsi realistik yang menggambarkan suatu peristiwa negatif sehubungan dengan kehilangan atau kekecewaan, dengan cara

16

yang tidak terdistorsi. Sedangkan depresi adalah suatu penyakit yang selalu merupakan akibat dari pemikiran yang terdistorsi. Baik depresi maupun kesedihan atau kegagalan dalam usaha mencapai tujuan pribadi yang penting. Sehingga dapat dikatakan bahwa kehilangan yang terjadi adalah kesedihan yang mendalam yang mungkin terdistorsi jika ditambah dengan munculnya faktor-faktor penyebab depresi lain. Berdasarkan gejala-gejala depresi menurut Beck (dalam Sukamto, 2000) yang salah satunya adalah gejala depresi secara emosional seperti perasaan kesal/patah hati, hilangnya rasa puas, hilangnya keterlibatan emosional dalam hubungan dengan orang lain, kecenderungan untuk menangis di luar kemampuan, dan hilangnya respon terhadap humor dapat dialami oleh perempuan yang di dalam rumah tangga atau keluarganya mengalami ketidakharmonisan maupun ketika kehilangan pasangan hidupnya. Pada perempuan yang di dalam rumah tangga atau keluarganya mengalami ketidakharmonisan ketidaknyamanan ini kemudian disadari dan ingin dirubah oleh perempuan sehingga mencari solusi yang salah satunya berupa perceraian. Namun, pada perempuan karena pasangan hidupnya meninggal gejala ini dapat saja menjadi sulit untuk dihilangkan karena duka cita yang mendalam. Hal ini juga berhubungan dengan rendahnya selfevaluation yang merupakan salah satu gejala depresi lainnya. Pada perempuan yang memilih untuk bercerai dari suami karena perceraian adalah jalan keluar yang terbaik menurutnya, kemudian mampu untuk tidak memandang rendah dirinya sendiri artinya perempuan tersebut memiliki self-evaluation yang tinggi sehingga jika diberikan alat tes berupa BDI (Beck Depression Inventory)

17

perempuan tersebut tidak mendapatkan skor tinggi yang akan mengarah pada kategori depresi ringan, sedang maupun berat. Namun, pada perempuan yang kehilangan pasangan hidupnya akan lebih merasa kesepian dan kesendirian dimana perempuan tersebut merasakan bahwa dirinya sudah tidak berdaya karena tidak ada lagi teman dalam hidupnya sehingga memiliki self-evaluation yang rendah. Selain itu, Blanchard, dkk. (dalam Durand dan Barlow, 2006) menyatakan bahwa bila kedukaan itu berlangsung sampai lebih kurang satu tahun, peluang untuk pulih dari dukacita yang mendalam tanpa penanganan akan menurun tajam. Untuk sekitar 10%-20% diantara mereka yang merasakan kehilangan yang berkepanjangan itu menurut Jacobs, dkk. (dalam Durand dan Barlow, 2006), proses normalnya adalah berubah menjadi gangguan. Adapula menurut Horowitz dkk., (dalam Durand dan Barlow, 2006) bahwa terdapat Gejala-gejala yang sangat menonjol antara lain berupa ingatan-ingatan intrusive dan kerinduan kuat hingga menyebabkan distress terhadap orang yang dicintai dan menghindari orang-orang atau tempat-tempat yang mengingatkan pada orang yang dicintai itu. Selanjutnya, seperti hal yang sudah disampaikan sebelumnya, tekanan lingkungan bisa memicu depresi kepada seseorang, seperti putus cinta, pola asuh penuh keharusan, terisolasi dari pergaulan sosial, perubahan hidup yang besar dan kesulitan keuangan. Selanjutnya, Caron & Butcher (dalam Retnowati, dkk., 2004) mengungkapkan bahwa sebenarnya depresi merupakan gejala yang wajar sebagai respon normal terhadap pengalaman hidup negatif, seperti kehilangan anggota keluarga, benda berharga atau status sosial. Kehilangan seseorang berupa kematian maupun perceraian serta berubahnya status sosial termasuk dalam

18

perubahan hidup yang besar dimana hal tersebut memungkinkan orang yang mengalaminya akan cenderung terkena depresi, terlebih jika ditambah dengan permasalahan ekonomi dengan menjadi kepala keluarga atau kepala rumah tangga. Sehingga perempuan yang kehilangan pasangan hidupnya dan harus menjadi kepala rumah tangga mungkin saja mengalami depresi lebih berat jika dibandingkan dengan perempuan bercerai yang harus menjadi kepala rumah tangga. Secara keseluruhan, penulis mengakui bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan dan kelemahan antara lain jumlah subyek yang dipakai dalam penelitian ini tergolong sedikit. Selain itu, faktor yang menyebabkan perempuan yang menjadi kepala keluarga juga bervariasi sehingga menyebabkan hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh variable-variabel lainnya yang terdapat di dalam identitas subjek tidak diikutsertakan oleh peneliti dalam melaksanakan analisis data.

19

V.

KESIMPULAN

Hasil analisis yang didapat menunjukkan bahwa tingkat depresi pada perempuan yang menjadi kepala keluarga dikarenakan meninggalnya pasangan hidup lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menjadi kepala keluarga dikarenakan perceraian dengan pasangan.

VI.

SARAN

Beberapa saran yang dapat dikemukakan oleh peneliti dari hasil penelitian, antara lain : 1. Bagi Perempuan yang Menjadi Kepala Keluarga Bagi Perempuan yang Menjadi Kepala Keluarga agar dapat lebih memperbanyak ketrampilan guna menambah keahlian sehingga dapat meningkatkan taraf perekonomian dan lebih memperhatikan bagaimana seharusnya melanjutkan hidup daripada memikirkan peristiwa kehilangan yang dialami sehingga tidak mengarah pada depresi. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk meneliti topik yang sama disarankan untuk meneliti lebih lanjut dengan faktor-faktor yang yang lebih bervariasi dan jumlah subjek yang lebih banyak sehingga penelitian menjadi lebih luas. Penelitian yang lebih luas dan didukung oleh informasi-informasi yang relevan dengan banyaknya faktor-faktor penyebab depresi yang digunakan akan menciptakan hasil penelitian yang lebih kaya.

20

Beberapa saran yang dapat dikemukakan oleh peneliti dari hasil penelitian, antara lain : 2. Bagi Perempuan yang Menjadi Kepala Keluarga Bagi Perempuan yang Menjadi Kepala Keluarga agar dapat lebih memperbanyak ketrampilan guna menambah keahlian sehingga dapat meningkatkan taraf perekonomian dan lebih memperhatikan bagaimana seharusnya melanjutkan hidup daripada memikirkan peristiwa kehilangan yang dialami sehingga tidak mengarah pada depresi. 2. Bagi PEKKA Bagi PEKKA, saran peneliti adalah semakin ditingkatkannya ketrampilanketrampilan selain yang sudah ada guna meningkatkan kemampuan para perempuan kepala keluarga tersebut untuk dapat mandiri dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Selain itu, akan lebih baik jika diberikan ijazah bagi mereka yang sudah lulus dalam pendidikan ketrampilan tersebut agar dapat digunakan sebagaimana mestinya dalam mencari pekerjaan. Hilangnya ketergantungan pada perempuan kepala keluarga tersebut terhadap PEKKA akan dapat membuat PEKKA berkembang menjadi lebih leluasa dalam memberikan pendidikan bagi yang lainnya sehingga terjadi regenerasi yang baik. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk meneliti topik yang sama disarankan untuk meneliti lebih lanjut dengan faktor-faktor yang yang lebih bervariasi dan jumlah subjek yang lebih banyak sehingga penelitian menjadi

21

lebih luas. Penelitian yang lebih luas dan didukung oleh informasi-informasi yang relevan dengan banyaknya faktor-faktor penyebab depresi yang digunakan akan menciptakan hasil penelitian yang lebih kaya.

22

DAFTAR PUSTAKA

Barlow, D.H. & Durand,V. M.2006. Intisari Psikologi Abnormal. Edisi keempat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beck, A. T. 1985. Depression. Cause and Treatment. Philadephia. Unversity of Pennsylvania Press Burns, D.D. 1988. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru bagi Penanganan Depresi. Jakarta : Erlangga. Julianto, A. 2008. Tingginya Tingkat Perceraian http//www.arifjulianto.wordpress.com.05/06/08.

Di

Mus.

Era

2008. Depresi dan Faktornya http//www.Indnesian.irib.ir.01.05.08.

Di

Indonesia.

Digital.

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pranowo, H. 2004. Depresi dan Solusinya. Cetakan I, Yogyakarta; Tugu Publisher. Retnowati, S. & Aditomo, A. 2004. Perfeksionisme, Harga diri dan Kecenderungan Depresi Pada Remaja Akhir. Jurnal Psikologi,1,1-15. Retnowati, S. & Pujiastuti, E. 2004. Kepuasan Pernikahan dengan Depresi Pada Kelompok Wanita Menikah Yang Bekerja dan Yang Tidak Bekerja. Humanitas Indonesian Psychological Journal,1,1-9. Retnowati, S. & Hadjam, M. N. R. 1991. Hopelessness dan Depresi Pada Remaja Putus Sekolah. Laporan Penelitian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Risnawaty, W. & Regina, S. 2007. Gambaran Makna Hidup Perempuan Dewasa Madya Yang Bercerai Karena Perselingkuhan Suami. Jurnal Arkhe, 2,143152. Suardiman, S. P. 2001. Perempuan Kepala Rumah Tangga. Cetakan I. Yogyakarta: Jendela. Sukamto., Wahyuningsih, S., & Nanik. 2000. Hubungan Antara Pemenuhan Kebutuhan Berafiliasi dengan Tingkat Depresi Pada Wanita Lanjut Usia di Panti Werdha. Anima, Indonesian Psychological Journal,15, .

23

Wad. Boy. 2007. Penderita Gangguan Jiwa Meningkat Pesat. Kompas,4 juli. Wirawan, H.E. Satiadarma, M. P. & Suryadi, D. 2004. Gambaran Konflik Emosional Perempuan Dalam Menentukan Prioritas Peran Ganda. Jurnal Ilmiah Psikologi Arkhe,1,11-22. . 2008. Kenali Gejala Depresi. http//www.badungkab.go.id.15/10/08.

24

IDENTITAS PENULIS

Nama Mahasiswa

: Haliyah Al Hadad

Alamat Rumah

: Jl. Kaliurang km 13, Perumahan Taman Modena No.A5, Candiwinangun, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta

Nomor Handphone

: 02749441796