usaha terhadap wanprestasi yang terjadi dalam transaksi jual beli melalui ...
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI BLACKBERRY MESSENGER (BBM) Oleh. Ardhita Dwiyana NIM. B 111 08 873 Pembimbing: Prof.Dr. Ahmadi Miru, S.H.,M.H. Hj. Sakka Pati, S.H., M.H. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai transaksi jual beli melalui BlackBerry Messenger (BBM) dan bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap wanprestasi yang terjadi dalam transaksi jual beli melalui BlackBerry Messenger (BBM). Penelitian ini dilakukan di kota Makassar. Penelitian ini dilakukan dengan menetapkan responden yang akan diberikan kuesioner dengan melakukan broadcast message yaitu pengiriman jasa pesan singkat ke banyak tujuan. Kemudian memilih responden yang pernah melakukan transaksi jual beli melalui BlackBerry. Hasil penelitian di lapangan diolah dan deskriptif dan argumentatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai transaksi jual-beli melalui BlackBerry Messenger (BBM) tidak jauh berbeda dengan pengaturan jual beli konvensional yaitu berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) dimana persyaratannya yaitu adanya kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak yang membuat perjanjian, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal, hanya saja transaksinya dilakukan dalam bentuk transaksi elektronik dalam hal ini melalui BlackBerry Messenger (BBM) sedangkan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pelaku usaha jika dalam praktik jual-beli yang dilakukan melalui BlackBerry Messenger (BBM) adalah dengan melakukan penggantian barang, ganti rugi, dan renegosiasi kontrak seperti pemberian potongan harga, pembebasan biaya pengiriman dan mengembalikan uang yang telah diterima.
I.
PENDAHULUAN
Kegiatan bisnis perdagangan melalui BlackBerry yang dikenal dengan istilah Electronic Commerce merupakan suatu kegiatan yang banyak dilakukan oleh setiap orang, karena transaksi jual beli secara elektronik ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang dimanapun dan kapanpun. Dengan demikian semua transaksi jual beli melalui BlackBerry ini dilakukan tanpa ada tatap muka antara para pihaknya, mereka mendasarkan transaksi jual beli tersebut atas rasa kepercayaan satu sama lain, sehingga perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara elektronik pula, oleh karena itu tidak ada berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional. Kondisi seperti itu tentu saja dapat menimbulkan berbagai akibat hukum dengan segala konsekuensinya, antara lain apabila muncul suatu perbuatan yang melawan hukum dari salah satu pihak dalam sebuah transaksi 1
jual beli secara elektronik ini, akan menyulitkan pihak yang dirugikan untuk menuntut segala kerugian yang timbul dan disebabkan perbuatan melawan hukum itu, karena memang dari awal hubungan hukum antara kedua pihak termaksud tidak secara langsung berhadapan, mungkin saja pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum tadi berada di sebuah negara yang sangat jauh sehingga untuk melakukan tuntutan terhadapnya pun sangat sulit dilakukan tidak seperti tuntutan yang dapat dilakukan dalam hubungan hukum konvensional/biasa. Kenyataan seperti ini merupakan hal-hal yang harus mendapat perhatian dan pemikiran untuk dicarikan solusinya, karena transaksi jual beli yang dilakukan melalui BlackBerry semakin marak, sementara perlindungan dan kepastian hukum bagi para pengguna BlackBerry tersebut tidak mencukupi, dengan demikian harus diupayakan untuk tetap mencapai keseimbangan hukum dalam kondisi termaksud.1 Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) yang salah satu gunanya untuk mengatur transaksi elektronik yang saat ini marak digunakan. Penulisan proposal skripsi yang berjudul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli BlackBerry Messenger (BBM) bertujuan untuk menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip transaksi elektronik berdasarkan UU ITE, Keabsahan transaksi jual beli, wanprestasi dalam jual beli, dan pembuktian dalam jual beli melalui media elektronik. Untuk menjawab permasalahan itu digunakan hukum normatif melalui penggunaan data sekunder, seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan, perjanjian baku jual beli melalui BlackBerry dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam transaksi elektronik prinsip-prinsip yang terdapat pada UU ITE tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip kontrak pada umumnya. Keabsahan transaksi elektronik sama halnya dengan transaksi pada umunya, hanya saja dilakukan melalui media elektronik. Pembuktian hukum perdata yang masih men ggunakan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari : bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaanpersangkaan, pengakuan dan bukti sumpah (Pasal 1866 BW atau 164 HIR). UU ITE menambahkan bukti elektronik disarankan untuk adanya pengaturan yang jelas mengenai prinsip-prinsip transaksi elektronik. Dilakukannya sosialisasi UU ITE agar masyarakat dapat memahami dan mengetahui perihal keabsahan transaksi elektronik. Klausula baku diharapkan seimbang antara hak dan kewajiban bagi pembeli dan penjual. Pembeli sebelum melakukan transaksi terlebih dahulu meneliti klausula baku. Pemerintah seharusnya memberikan pengawasan yang lebih ketat lagi bagi para pihak yang melakukan transaksi elektronik supaya tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. 2
1
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/tinjauan-hukum-mengenai-perbuatanmelawan-hukum-dalam-transaksi-jual-beli-e-commerce-dihubungakan-dengan-buku-iiikuh-perdata/ 2 http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17962
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahirnya Suatu Perjanjian 1. Syarat Sahnya Perjanjian Untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan 4 syarat:3 a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. suatu hal tertentu; d. suatu sebab yang halal. Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:4 a. dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan b. dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjamjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Dalam Pasal 1330, ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:5 a. orang-orang yang belum dewasa; b. mereka yang ditaruh dibawah pegampuan; c. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang; dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Khusus huruf c di atas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat perjanjian tertentu. 2. Unsur-Unsur Perjanjian
3
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm 67-73. 4 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, Hlm 93-94 5 Ahmadi Miru, Op. cit, hlm. 29-30.
3
Kontrak lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu kontrak atau perjanjian. Dalam suatu kontrak atau perjanjian dikenal 3 unsur, yaitu sebagai berikut.6 a. Unsur Esensiali Unsur esensiali merupakan unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada perjanjian. b. Unsur Naturalia Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undangundang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak atau perjanjian, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturilia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. c. Unsur Aksidentalia Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. B. Transaksi Jual Beli 1. Jual beli menurut KUH Perdata Berdasarkan Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Wujud dari hukum jual-beli adalah rangkaian hak-hak dan kewajibankewajiban dari pihak-pihak, yang saling berjanji, yaitu penjual dan pembeli. Penyerahan yang dimaksud ialah bahwa penyerahan tersebut adalah penyerahan barang oleh penjual untuk menjadi kekuasaan dan kepemilikan dari pembeli. Dalam jual-beli, kewajiban penjual adalah untuk menyerahkan barang kepada pembeli. Dengan adanya perjanjian jual-beli maka hak milik dari benda yang di jual belum pindah hak miliknya kepada si pembeli. Pemindahan hak milik baru akan terjadi apabila barang yang dimaksud telah diberikan ke tangan pembeli. Maka selama penyerahan belum terjadi, maka hak-hak milik barang tersebut masih berada dalam kekuasaan pemilik/ penjual. Tujuan utama dari jual-beli ialah memindahkan hak milik atas suatu barang dari seseorang tertentu kepada orang lain.7 Dalam perjanjian jual-beli, terdapat dua subjek yaitu si penjual dan si pembeli yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Subjek yang berupa manusia harus memenuhi syarat-syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Begitu pula dengan badan hukum dalam melakukan perjanjian jual-beli harus memenuhi syaratsyarat untuk melakukan perbuatan hukum yang sah pula. Selain kewajiban, penjual juga memiliki hak dalam proses jual beli antara lain :8 1. Menentukan dan menerima harga permbayaran atas penjualan barang, yang kemudian harus disepakati oleh pembeli. 2. Penjual juga berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pembeli yang beritikad tidak baik, kemudian haknya untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam suatu penyelesaian sengketa yang 6
Ibid, hlm 31-33. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1-2 8 Subekti, Op.cit, hal.8 7
4
dikarenakan barang yang dijualnya, dalam hal ini tidak terbukti adanya kesalahan penjual dan sebagainya. C. Transaksi Elektronik Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), ditentukan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya.9 Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 18 UU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. D. BlackBerry 1. Tentang BlackBerry BlackBerry merupakan perangkat seluler yang mempunyai fitur push mail, telepon, SMS, browsing internet, BBM (BlackBerry Messenger), dan berbagai kemampuan nirkabel lainnya. BlackBerry pertama kali diperkenalkan pada tahun 1997 oleh RIM (Research in Motion), perusahaan asal Kanada. Kemampuannya menyampaikan informasi melalui jaringan data nirkabel dan layanan perusahaan telepon genggam sangatlah mengejutkan dunia.10 2. BlackBerry Messenger (BBM) Salah satu pembeda antara ponsel BlackBerry dengan ponsel lainnya adalah tersedianya fitur layanan chat yang khusus diperuntukkan bagi pengguna BlackBerry. Dalam BBM tersebut, kita bisa membentuk suatu komunitas dengan cara membentuk suatu grup BBM. Hal tersebutlah yang bisa di manfaatkan sebagai pasar potensial untuk memasarkan barang dagangan yang di jual, selain mempromosikan pada orang per orang secara pribadi tentunya.11 Dengan BBM, para pengguna BlackBerry bebas berkomunikasi dengan pengguna BlackBerry lainnya, tidak ada batasan wilayah, negara, dan benua sekalipun. Selama mereka tahu PIN BlackBerry yang ingin diajak komunikasi, dan si penerima juga menyetujui permintaan untuk menambahkan kontaknya ke dalam kontak mereka, maka mereka pun bebas melakukan komunikasi berbasis chat tersebut. Bahkan sanggup pula berkirim file layaknya email. Selain melakukan chat secara pribadi orang per orang, dalam komunitas BBM, tidak ada salahnya jika kita membentuk suatu grup BBM atau ikut dalam suatu grup BBM melalui suatu undangan dari teman. Hal tersebut sangat potensial sebagai media promosi barang-barang produk yang dijual.12 E. Perlindungan Konsumen 9
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik
10 11
http://id.wikipedia.org/wiki/BlackBerry
Ibid., hal 44 12 Ibid.,
5
1. Hukum Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usaha-usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri. Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi.13 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah : “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.”14 Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab.15 2. Pengertian Konsumen Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Unsur-unsur definisi konsumen menurut Shidarta yakni :16 a. Setiap Orang; b. Pemakai; c. Barang dan/atau jasa; d. Yang tersedia dalam masyarakat; e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain; f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan. 3. Asas Perlindungan Konsumen Menurut Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ini adalah: 1. Asas manfaat 13
Teknologi membawa pengaruh yang cukup kompleks dalam kehidupan manusia sehingga menumbuhkan pemikiran-pemikiran baru mengenai pemanfaatan dan penanggulangan dampaknya, termasuk dengan pemikiran-pemikiran hukum baru. 14 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar (cet. 1; Jakarta: Daya Wirya, 1999), hlm. 23. 15 Adrian sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta, 2008), Hlm.8. 16 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta, 2006), hlm. 4.
6
2. Asas keadilan 3. Asas keseimbangan 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, serta 5. Asas kepastian hukum Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah yang berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :17 1) Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen. 2) Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3) Asas kepastian hukum. 4. Tujuan Perlindungan Konsumen Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 mengatur bahwa Perlindungan Konsumen bertujuan sebagai berikut : 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri. 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. 4. Menciptakan perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha. 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 5. Hak dan Kewajiban Konsumen a. Hak Konsumen Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu: 1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; 2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
17
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, 2004), hlm. 26.
7
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:18 1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan; 2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan 3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi. b. Kewajiban Konsumen Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 mengatur bahwa kewajiban konsumen adalah : 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; 2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha a. Hak Pelaku Usaha Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ditentukan bahwa hak pelaku usaha sebagai berikut : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 18
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm. 46-47
8
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. b. Kewajiban Pelaku Usaha Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ditentukan bahwa kewajiban pelaku usaha sebagai berikut : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; 2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/jasa diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; 6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. 7. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Adapun ketentuan-ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha lebih lanjut diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen antara lain : 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Tidak sesuai dengan berat isi, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan 9
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. 19 8. Tanggung Jawab Produsen Sebagai Pelaku Usaha Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menetapkan : a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan. b. Ganti rugi dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis dan setara nilainya atas perawatan kesehatan serta pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi. d. Pemberian ganti rugi sebgaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan konsekuensi hukum yang jauh berbeda di dalam pemenuhan tanggung jawab berikut hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penuntutannya.20 Tidak adanya atau kurangnya kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai pelaku usaha akan berakibat fatal dan menghadapi risiko bagi kelangsungan hidup/kredibilitas usahanya. Rendahnya kualitas akan produk atau adanya cacat pada produk yang
19
Sofyan Lubis, Mengenal hak konsumen dan pasien (cetakan pertama; Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm. 47-48.
20
Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (cet II; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 101.
10
dipasarkan sehingga menyebabkan kerugian bagi konsumen serta berakibat pada tuntutan kompensasi (ganti rugi).21 Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat disarankan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum.22 Kedua dasar tuntutan ganti kerugian adalah : 1. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dan penggugat (produsen dengan konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi. Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian.23 Disamping ketentuan yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan tentang ganti kerugian yang dibuat oleh para pihak, ketentuan tentang ganti kerugian yang bersumber dari hukum pelengkap juga harus mendapat perhatian, seperti ketentuan tentang wanprestasi dan cacat tersembunyi serta ketentuan lainnya. Ketentuanketentuan ini melengkapi ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, dan ketentuan ini hanya dapat dikesampingkan jika para pihak menjanjikan lain.24 2. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, tiap-tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kemudian, dalam Pasal 1367 KUH Perdata diatur mengenai pertanggungjawaban khusus sehubungan dengan perbuatan melawan hukum, yaitu pertanggungjawaban atas barang sebagai berikut : seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.25 Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum, hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian, harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :26 1. Ada perbuatan melanggar hukum; 21
Erman Radjaguguk, dkk. Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen (Cet I; Bandung : Mandar Maju, 2000), hlm 42. 22 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm. 127-129 23 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm. 127-128 24 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm. 129 25 Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (cet II; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 107. 26 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm. 130
11
2. Ada kerugian; 3. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian; dan 4. Ada kesalahan. III.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan judul yang penulis bahas maka penulis menentukan lokasi penelitian di Kota Makassar dengan pertimbangan bahwa Kota Makasar adalah pusat pemerintahan dengan jumlah pemakai BlackBerry cukup banyak di Sulawesi Selatan. Adapun jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: (1) Data Primer. Data ini diperoleh dari pihakpihak terkait yang diteliti dalam penulisan ini melalui kuesioner dan wawancara kepada pemilik BlackBerry yang pernah atau melakukan transaksi jual beli melalui grup pada BlackBerry Messenger. (2) Data Sekunder. data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan menelaah literatur berupa buku-buku ilmiah, artikel-artikel, makalah, internet, Peraturan Perundang-Undangan dan lain sebagainya yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu: (1) Field research. Langkah pertama yaitu menetapkan 30 responden yang akan di wawancarai dengan melakukan broadcast message yaitu pengiriman jasa pesan singkat ke banyak tujuan.27 Langkah kedua yaitu melakukan wawancara secara langsung melalui tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan untuk memperoleh data yang diperlukan. (2) Library research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber dan mempelajari buku-buku dan literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang penulis angkat untuk memperoleh dasar teoritis dalam penulisan tugas akhir Semua data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder telah dianalisis secara kualitatif, yang berlaku dengan kenyataan sebagai gejala data primer yang dihubungkan dengan data sekunder. Data disajikan secara deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan dan menjelaskan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan penulisan skripsi ini. Berdasarkan hasil pembahasan kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
27
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f8415186031e/kegiatan-promosilewat-sms-broadcast-dan-hak-pribadi-pengguna-ponsel
12
Pada prinsipnya, penggunaan media komunikasi BBM atau suatu media elektronik lainnya untuk transaksi jual beli produk diserahkan kepada kebebasan para pihak untuk menentukannya (tergantung dari kesepakatan antara penjual dan pembeli). Pasal 19 UU ITE mengatur bahwa: “Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati.” Transaksi jual beli yang terjadi melalui layanan BBM itu sah dan mengikat para pihak sepanjang kontrak elektroniknya (perjanjian jual beli yang dibuat/dilakukan dengan cara komunikasi melalui layanan BBM) memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya” Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu; ”1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal.” Sedangkan menurut Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) yaitu: “(1) Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. (2) Kontrak Elektronik dianggap sah apabila: a. terdapat kesepakatan para pihak; b.dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. terdapat hal tertentu; dan d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.” Jadi menurut penulis syarat sahnya kontrak elektronik berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) yaitu: 1. Syarat Subjektif yang mana jika tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak (selama belum ada pembatalan maka perjanjian tetap sah), yaitu: a. Adanya kesepakatan para pihak mengenai harga dan produk, tanpa ada paksaan, kekhilafan maupun penipuan; b. Kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. Pada dasarnya orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh undang-undang (seperti tidak dinyatakan pailit oleh pengadilan) adalah cakap menurut hukum. Sedangkan, “Dewasa” berdasarkan
13
Pasal 330 KUHPerdata adalah berusia sudah 21 tahun atau sudah/pernah menikah. 2. Syarat objektif yang mana jika tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum, dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, yaitu: a. Produk yang merupakan objek perjanjian harus tertentu (definite) dan dapat dilaksanakan (possible). b. Sebab yang halal (lawful), isi dan tujuan dari perjanjian jual beli tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebagai contoh: jual beli dilakukan bukan untuk barang yang dilarang oleh peraturan perundangundangan (contohnya bukan barang illegal) Informasi elektronik berupa isi percakapan/komunikasi melalui BBM antara penjual dan pembeli dapat dijadikan salah satu alat untuk membuktikan dan menerangkan perjanjian yang terjadi antar para pihak. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menentukan bahwa: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Jadi, suatu transaksi jual beli tidak akan disangkal keabsahannya hanya karena bukti transaksi jual belinya semata-mata dalam bentuk elektronik. Adapun bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pelaku usaha jika dalam praktik jual-beli yang dilakukan melalui BlackBerry Messenger (BBM) adalah dengan melakukan penggantian barang, ganti rugi, dan renegosiasi kontrak dengan pemberian keuntungan tertentu kepada pembeli seperti pemberian potongan harga dan pembebasan biaya pengiriman.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengaturan mengenai transaksi jual beli melalui BlackBerry Messenger (BBM) hampir sama dengan pengaturan jual beli konvensional hanya saja transaksinya menggunakan transaksi elektronik dalam hal ini melalui BlackBerry Messenger (BBM). Pengaturannya diatur berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). Jadi, suatu transaksi jual beli tidak akan disangkal keabsahannya hanya karena bukti transaksi jual belinya semata-mata dalam bentuk elektronik. 2. Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pelaku usaha jika dalam praktik jual-beli yang dilakukan melalui BlackBerry Messenger (BBM) adalah dengan melakukan penggantian barang, ganti rugi, dan renegosiasi kontrak dengan pemberian keuntungan tertentu kepada pembeli seperti pemberian potongan harga dan pembebasan biaya pengiriman.
B. Saran
14
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut : 1. Hendaknya para pihak senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan transaksi jual-beli melalui BlackBerry Messenger (BBM) karena praktik ini tidak mempertemukan para pihak secara langsung melainkan hanya melalui media elektronik sehingga rawan terjadi penipuan. 2. Hendaknya para pembeli teliti sebelum membeli barang, jangan hanya karena barang yang ditawarkan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan standar harga barang di pasaran lantas pembeli langsung tertarik untuk membeli. Hal ini dapat membuat pembeli dituntut secara pidana berdasarkan pasal penadahan. 3. Hendaknya pemerintah senantiasa melakukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas perdagangan melalui transaksi elektronik untuk memberikan keamanan dan kenyamanan kepada para pihak untuk mengadakan transaksi.
DAFTAR PUSTAKA Buku Adrian sutedi. 2008. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen .Jakarta Ahmadi Miru dan Sakka Pati. 2011. Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW. Rajawali Pers. Jakarta. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali Pers. Jakarta. Aunurrofiq Manzur. 2011. Kendalikan Dagang Online dengan BlackBerry, Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Az. Nasution. 1999. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar .Jakarta. Daya Wirya Herlien Budiono. 2010. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Janus Sidabalok. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja.. 2010. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Rajawali Pers. Jakarta Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Sofyan Lubis. 2009. Mengenal Hak Konsumen dan Pasien. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. Sumber Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Undangundang_Informasi_dan_Transaksi_Elektr onik (diakses tanggal 2 juli 2012) http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17962 15
(diakses tanggal 9 juli 2012) http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/tinjauan-hukum-mengenaiperbuatan-melawan-hukum-dalam-transaksi-jual-beli-ecommerce-dihubungakan-dengan-buku-iii-kuh-perdata/ (diakses tanggal 9 juli 2012)
16