menyelesaikan tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN.
DALAM .... 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-. Undang
No.
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN
ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN
ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI NIM : 0890561067
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN
Tesis ini untuk memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI NIM : 0890561067
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011
Lembar Persetujuan Pembimbing
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 16 DESEMBER 2011
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH NIP. 19550306 198403 1 003
Dewa Gede Rudy, SH, MH NIP. 19590114 198601 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU NIP. 19560419 198303 1 003
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 19851 02 001
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 16 Desember 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 2033/UN14.4/HK/2011, Tanggal 7 Desember 2011
Ketua
: Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH
Sekretaris : Dewa Gde Rudy, SH, MH Anggota
: Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU I Ketut Westra, SH, MH Ida Bagus Putra Atmaja, SH, MH
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Anak Agung Ayu Diah Indrawati
Tempat/Tanggal Lahir
: Denpasar/11 April 1981
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Dr. Sutomo No. 27 Trenggalek Jawa Timur
Nomor Telepon
: 081337023796
Jurusan
: Magister Ilmu Hukum (Hukum Bisnis)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila Penulisan Tesis ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan / atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan / atau sanksi hukum. Demikian surat pernyataan ini penulis buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Trenggalek, 25 November 2011 Yang menyatakan
(ANAK AGUNG AYU DIAH INDRAWATI) NIM 0890561067
UCAPAN TERIMA KASIH Om Swastiastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nyalah akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN”. Terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karenanya pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD (K) Rektor Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Prof.Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 4. I Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH, MH Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 5. Dr. I Wayan Wiryawan, SH, MH Pembimbing I, yang telah banyak memberikan masukan dan selalu mengingatkan untuk sesegera mungkin menyelesaikan tesis ini. 6. Dewa Gede Rudy, SH, MH Pembimbing II yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan saran serta semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
7. Bapak / Ibu Dosen pengajar dan seluruh staf administrasi Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam segala hal guna penyelesaian kuliah di Program Pascasarjana Universitas Udayana. 8. Suamiku tersayang A.A.Putu Putra Ariyana, SH, Anandaku yang tercinta A.A.Ayu Citra Nariswari, Ibundaku yang selalu memberi motivasi tiada henti I.G.A Puspawati, SH, MH, Ajiku I Gusti Putu Gde Suwirya, kakakku A.A.Putu
Agung
Suryakusuma,
ST,
dan
adikku
A.A.Gde
Agung
Prawiranegara, SE dan keluarga di Jero Grenceng dan di Jero Peguyangan yang begitu perhatian dan memberikan dukungan moril dan materiil dalam menyelesaikan kuliah di Program Pascasarjana Universitas Udayana. 9. Teman-teman kuliah serta rekan-rekan kerja di Pengadilan Negeri Tabanan dan Pengadilan Negeri Trenggalek yang selalu memberi semangat selama masa perkuliahan dan selama penyusunan tesis ini. Semoga kebaikan Bapak / Ibu dan Saudara sekalian mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata, apabila ada kekurangan dalam tesis ini penulis minta maaf dan besar harapan saya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Om Santi Santi Santi Om. Trenggalek,
November 2011
Penulis
ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PELABELAN PRODUK PANGAN Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label itu termuat informasi. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur adalah salah satu hak dari konsumen. Namun sayangnya, masalah label khususnya label pangan kurang mendapat perhatian dari konsumen maupun pelaku usaha, padahal label memegang peran penting dalam upaya perlindungan konsumen. Ketiadaan informasi yang benar, jelas dan jujur yang seharusnya tercantum dalam label bisa menyesatkan konsumen dan tentunya berakibat hukum pada pelaku usaha untuk bertanggungjawab apabila sampai merugikan konsumen. Untuk itu menarik untuk dikaji apakah pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen dan apakah akibat hukum dari informasi tidak benar, jelas dan jujur dalam label. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum normative, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek penelitian dalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan inventarisasi dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisa bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif. Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan label pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdata maupun pidana. Kata kunci : label, informasi, hak konsumen dan perlindungan konsumen.
ABSTRACT CONSUMER PROTECTION LAW IN LABELING FOOD PRODUCT Article 1 (3) of the Government Regulation 69 of 1999 on Food Labels and Advertising is meant to determine that food labels are : every description of food in the form of drawing, writings, a combination of both or any other form supplied with food, put in, affixed to or a part of food packinging. From the above definition, label can be seen that the information contained on the label. The right to correct information, clearly and honestly is one of the rights of consumers. But unfortunately, the problem of food labels, especially labels received less attention from consumers and businesses, whereas the label holds an important part in efforts to protect consumers. The absence of correct information, clear and honest that should be listed in the labels could mislead consumers and course the legal consequances on actors in the business to be responsible if to harm consumers. It is interesting to examine whether the labeling of food products as stipulated in Government Regulation 69 of 1999 has been compliance with the principles of consumer protection and wheather the legal effect of information that is not correct, clear and honest in the label. This type of research applied in this study was normative legal research, a study that puts the norm as a research object, in this case is Government Regulation 69 of 1999. This type of approach used in this research was the normative jurisdical approach that emphasizes research on the secondary data from the source material consisting of primary law, secondary, tertiary differences. The collection of data began with an inventory of legal materials by collecting and organizing legal materials. Analysis of legal materials in this study was qualititatively and comprehensively conducted. From the results, the conclusion can be obtained that the food product labeling provisions as stipulated in Government Regulation 69 of 1999 do not meet the principle of consumer protection, and violation of provisions of the food label by businesses may be subject to the responsibility of administarative, civil or criminal. Keywords : labels, information, consumer rights and consumer protection.
RINGKASAN Bab I Pendahuluan, menguraikan bahwa hak atas informasi yang benar adalah salah satu hak konsumen sebagaimana diatur dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Salah satu sumber informasi adalah label. Dalam kaitannya dengan pangan yang merupakan salah salah satu kebutuhan dasar manusia, maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya, yang mana hal itu semua bisa diketahui dari label pangan. Ketentuan mengenai label diatur dalam beberapa undang-undang diantaranya adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UndangUndang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, dan yang lebih spesifik lagi mengenai pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya. Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi. Namun sayangnya, dari hasil kajian yang dilakukan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) masalah label kurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapannya. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh pelaku usaha, sehingga di pasaran Indonesia saat ini dapat dengan mudah kita mendapati produk pangan yang tidak memberi informasi lengkap dalam label, misalnya saja produk dengan bahasa asing. Bagaimana label dengan bahasa asing bisa memberi informasi. Dalam hal seperti ini, hak konsumen menjadi terabaikan. Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Bab II, Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen menguraikan mengenai pengertian perlindungan konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen serta hak dan kewajiban pelaku usaha. Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UU).
Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan pasal 2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan konsumen serta asas kepastian hukum. Kelima asas itu mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Kelima asas tersebut melandasi tujuan dari perlindungan konsumen sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Mengenai hak-hak konsumen di Indonesia diatur dalam l pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya, laranganlarangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, iklan, dan lain sebagainya. Bab III, Ketentuan Label Pangan Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen, menguraikan mengenai pengertian label, label sebagai wujud hak konsumen atas informasi, arti penting label pangan bagi konsumen dan ketentuan label pangan terkait dengan asas perlindungan konsumen. Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Dari pengertian label diatas dapat diketahui bahwa didalam label itu termuat informasi. Informasi mana sangat berguna bagi konsumen, karena dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Informasi pada label tidak hanya bermanfaat bagi konsumen, karena label juga memberikan dampak signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan juga bagi pelaku usaha. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung
ide-ide atau asas-asas yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Akan tetapi setelah dicermati ketentuan-ketentuan yang ada di dalam PP No. 69 Tahun 1999, rupanya asas-asas perlindungan konsumen sebagaimana ditetapkan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 belum sepenuhnya memenuhi kelima asas-asas yang dimaksud. Mulai dari pengertian label sendiri yang masih memberi peluang terjadinya pelanggaran, masih adanya pengecualian penggunaan bahasa Indonesia, ketentuan penulisan masa kadaluarsa yang tidak ada keseragaman. Bab IV, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan, menguraikan bahwa dalam hal pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan label pangan maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban baik secara perdata, pidana maupun administrative. Penegakan peraturan (by the law enforcement) melalui hukum administrative berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen dengan perijinan dan pengawasan. Hukum pidana berfungsi untuk menanggulangi (represif) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman. Sedangkan hukum perdata berfungsi untuk memulihkan hak (curative/recovery) dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian. Bab V, Penutup, menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulan pertama : bahwa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, kedua : pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakan sanksi secara perdata, pidana maupun administrative. Adapun saran penulis terhadap permasalahan yang diteliti, Pertama : dalam rangka untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam masalah pelabelan pangan, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999) yang memuat panduan yang lebih kongkrit dan jelas mengenai label pangan. Dengan adanya rambu -rambu dan peraturan yang jelas dari pemerintah, maka konsumen terlindungi dari kemungkinan label yang tidak benar, atau bahkan menyesatkan. Kedua : Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlu melakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen, rendahnya kesadaran konsumen akan hak dan kewajibannya diakibatkan salah satunya oleh karena masih kurangnya upaya pendidikan konsumen oleh pemerintah. Disamping itu Pemerintah baik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih baik dan lebih ketat terhadap pelaku usaha dalam peredaran produk pangan, khususnya produk pangan yang tidak memperhatikan ketentuan pelabelan. Kepada pelaku usaha penulis juga berharap agar konsep label hendaknya disusun dengan tidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur sekaligus mendidik konsumen. Dan terakhir kepada konsumen agar selalu mengecek label sebelum membeli atau mengkonsumsi suatu produk.
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
viii
ABSTRACT.....................................................................................................
ix
RINGKASAN ..................................................................................................
x
DAFTAR ISI....................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1.
Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
1.2.
Rumusan Masalah............................................................................
16
1.3.
Tujuan Penelitian .............................................................................
17
1.3.1 Tujuan Umum.......................................................................
17
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................
17
Manfaat Penelitian ...........................................................................
17
1.4.1
Manfaat Teoritis ..................................................................
17
1.4.2
Manfaat Praktis....................................................................
18
1.4.
1.5.
Orisinalitas Penelitian......................................................................
18
1.6.
Landasan Teoritis ............................................................................
20
1.7.
Metode Penelitian ............................................................................
34
1.6.1 Jenis Penelitian ......................................................................
34
1.6.2 Jenis Pendekatan....................................................................
35
1.6.3 Sumber Bahan Hukum ..........................................................
36
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.....................................
38
1.6.5 Teknik Analisis......................................................................
38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
40
2.1.
Pengertian Perlindungan Konsumen ................................................
40
2.2.
Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ......................................
46
2.3.
Hak dan Kewajiban Konsumen .......................................................
56
2.4.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha...................................................
73
BAB III KETENTUAN LABEL PANGAN DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN .....................
78
3.1.
Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi....................
78
3.2.
Pentingnya Pelabelan Bagi Konsumen
3.3.
Untuk Mendapatkan Perlindungan ..................................................
95
Ketentuan Label Pangan Terkait Asas Perlindungan Konsumen ....
99
BAB IV TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM PELANGGARAN LABEL PANGAN............................................ 4.1.
Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan
115
Hukum Konsumen........................................................................... 4.2.
Tanggung Jawab Perdata Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan ...................................................
4.3.
121
Tanggung Jawab Pidana Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan...................................................
4.4.
115
139
Tanggung Jawab Administrasi Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan ...................................................
148
BAB V PENUTUP........................................................................................
157
5.1.
Kesimpulan......................................................................................
157
5.2.
Saran ................................................................................................
158
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “ aman “. 1 Posisi konsumen sebagai pihak yang lemah juga diakui secara internasional sebagaimana tercermin dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.A/RES/39/248 Tahun 1985, tentang Guidelines for Consumer Protection, yang menyatakan bahwa 2: “ Taking into account the interest and needs of consumers in all countries, particularly those in developing countries, recognizing that consumers often face imbalance in economic terms, educational levels, and bargaining power, and bearing in mind that consumers should have the right of access to nonhazard-ous products, as well as the right to promote just, equitable and sustainable economic and social development,”. Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal juga. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang lebih kuat dalam banyak 1
Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h. 33. 2 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 3.
hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji. 3 Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya.
4
Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang
memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas. Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal
3
Yusuf Sofie, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, GhaliaIndonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie I), h. 17. 4
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, h. 39.
dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.5 Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memiliki arti yang sangat penting. 6 Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. 7 Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga.
8
Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari
berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan 5
Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, h. 12. A.Z. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 76. 7 Erman Raja Guguk, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, 6
h. 2. 13.
8
Taufik Simatupang, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Kedua informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasilhasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen. Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya
disediakan
atau
dibuat
oleh
kalangan
usaha
dengan
tujuan
memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih. Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 9 Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen tersebut antara lain : a. b. c. d. e. f. g. h.
i.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 9
h. 71.
Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.10 Pentingnya informasi yang akurat dan lengkap atas suatu barang dan/atau jasa mestinya menyadarkan pelaku usaha untuk menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa berkualitas, aman dikonsumsi atau digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang wajar (reasonable). Disisi lain konsumen harus pula menyadari hak-haknya sebagai seorang konsumen sehingga dapat melakukan pengawasan sosial (social control) terhadap perbuatan dan prilaku pengusaha dan pemerintah. Bagaimanapun juga pada kenyataannya, konsumen pada masyarakat modern akan dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain: Pertama, bisnis modern menampakkan kapasitas untuk mempertahankan produksi secara massal barang baru sehubungan dengan adanya teknologi canggih serta penelitian dan manajemen yang efisien. Kedua, banyaknya barang dan jasa yang dipasarkan berada di bawah standar, berbahaya atau sia-sia. Ketiga, ketidaksamaan posisi tawar merupakan masalah serius (kebebasan berkontrak). Keempat, konsep kedaulatan mutlak konsumen bersandar pada
10
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 18.
persaingan sempurna yang ideal, namun persaingan terus menurun sehingga kekuatan konsumen di pasar menjadi melemah. Menurut pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang juga merupakan komoditas perdagangan, memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang etis, jujur, dan bertanggung jawab sehingga terjangkau oleh masyarakat. Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan reproduksi.11
11
Endrah, 2009, “ Kasus Tentang Perundangan Pangan “ diakses 2 Agustus 2010, available From URL : http://endrah.blogspot.com.
Dalam pasal 1 UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, disebutkan bahwa “ Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman”.. Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar. Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya.
12
Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan
pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.13 Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau
12
Purwiyatno Hariyadi, 2009, “ Mencermati Label dan Iklan Pangan “, diakses 29 Juni 2010, available from URL : http://www.republika.co.id. 13 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Yusuf Shofie II), h. 15.
perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan.
14
Label yang tidak jujur
dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia. Selain diatur didalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, norma hukum yang mengatur mengenai pelabelan diantaranya dapat dilihat dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan pelabelan produk pangan tidak diatur secara spesifik. Pengaturan secara lebih spesifiknya adalah PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan. Didalam pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang
14
Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen Cerdas Majalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “, Diakses 30 Juni 2010, Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Lebih lanjut didalam pasal 2 ditentukan bahwa : (1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. (2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : (1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Lebih lanjut dalam pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini. Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan :
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri. (2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam. Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya. Hal ini penting, karena kalau hanya nama produk yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia tidak begitu menjadi persoalan. Namun bagaimana bila itu menyangkut daftar bahan yang digunakan, tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, cara menggunakan produk, lebih-lebih bila itu menyangkut produk impor. Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan
konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang dibelinya. Banyak produk makanan dengan pelabelan lengkap, tetapi pesan informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa yang tidak dipahami konsumen. Akhir-akhir ini, di pasaran dengan mudah ditemukan produk impor dengan pelabelan menggunakan bahasa Negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.15 Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan. Pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 juga tidak memberi penjelasan, dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain. Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. 15
Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 15.
Dibandingkan
dengan
Negara-negara
tetangga,
Malaysia
misalnya,
Indonesia masih tertinggal beberapa langkah dalam upaya melindungi konsumen. Di Malaysia, pemberdayaan konsumen sudah ditangani oleh seorang Menteri, yaitu Menteri Urusan Konsumen, sedangkan di Indonesia masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan serta yang baru UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. 16 Pada kasus beredarnya makanan kedaluwarsa, mengetahui pihak yang bersalah lebih mudah, karena itu sudah menjadi tugas mereka untuk tidak menjual makanan dan minuman kedaluwarsa. Indonesia memang belum menerapkan pelabelan kedaluwarsa pada setiap makanan maupun minuman. Seperti yang tercantum dalam Permenkes No. 180/Menkes/1985, ada 13 jenis makanan dan minuman yang diharuskan mencantumkan tanggal kedaluwarsa : roti, makanan rendah kalori, nutrisi suplemen, coklat, kelapa dan hasil olahannya, minyak goreng, margarine, produk kacang, telur, saus dan kecap, minuman ringan tak berkarbonat, sari buah dan susu. Disamping itu pencantuman label kedaluwarsa sendiri sampai saat ini belum ada standar baku. Ada yang sudah mengunakan Bahasa Indonesia beserta kaidah penanggalannya (misalnya, sebaiknya digunakan sebelum : Januari 1999), dan tak jarang pula yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya (best before : 06.98). Namun ada juga yang hanya berisi angka-angka melulu yang bagi masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya.
16
Ibid.
Menurut hasil kajian BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ada 4 (empat) masalah utama yang terkait dengan keamanan konsumen terhadap makanan yang dikonsumsinya, yaitu 17: 1. Keracunan makanan yang terjadi karena makanan rusak dan terkontaminasi atau tercampur dengan bahan berbahaya 2. Penggunaan bahan terlarang yang mencakup : Bahan Pengawet, Bahan Pewarna, Bahan Pemanis dan Bahan-bahan tambahan lainnya 3. Ketentuan label bagi produk-produk industri makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan ketentuan label dan iklan pangan (PP 69 Tahun 1999) beserta Permenkes. 4. Produk-produk industri makanan dan minuman yang kedaluarsa. Menyangkut penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak ditemui adalah 18:
Penggunaan label tidak berbahasa Indonesia dan tidak menggunakan huruf latin, terutama produk impor.
Label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan
Tidak mencantumkan waktu kedaluarsa
Tidak mencantumkan keterangan komposisi dan berat bersih
17
Konsumen Cerdas, 2009, “ Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait Perlindungan Konsumen ”, diakses 15 Agustus 2010, available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc. 18
Ibid.
Tidak ada kode barang MD, ML atau P-IRT dan acuan kecukupan gizi yang tidak konsisten.
Tidak mencantumkan alamat produsen/importir (bagi produknya) Hasil kajian menemukan bahwa masalah label kurang mendapat perhatian
dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapannya. Khusus menyangkut keterangan halal sebagai bagian dari label, data lembaga pemeriksa halal (LP-POM MUI) menyebutkan saat ini baru sekitar 15% dari produk pangan di Indonesia yang telah memiliki sertifikat halal. LP POM MUI telah menerbitkan 3.742 sertifikat halal untuk sekitar 12.000 produk pangan. Sementara itu, industri pangan di Indonesia mencapai lebih dari satu juta, dimana sekitar 2000 diantaranya merupakan industri besar dan sisanya merupakan industri kecil dan menengah. Konsumen dituntut untuk selalu berhati-hati dalam berkonsumsi rasanya tidak adil. Harus ada langkah perlindungan yang nyata dari Pemerintah kepada konsumen. Penegakan hukum dengan menerapkan sanksi yang benar bagi pelaku usaha yang melanggar aturan harus dilaksanakan. Itu penting untuk mengajarkan tanggung jawab moral kepada pelaku usaha. Dalam kasus-kasus perlindungan konsumen ada beberapa hal yang perlu dicermati, yakni : 1. Perbuatan pelaku usaha baik sengaja maupun karena kelalaiannya dan mengabaikan etika bisnis, ternyata berdampak serius dan meluas. Akibatnya kerugian yang diderita konsumen missal (massive effect) karena menimpa apa saja dan siapa saja.
2. Dampak yang ditimbulkan juga bisa bersifat seketika (rapidy effect), sebagai contoh konsumen yang dirugikan (dari mengkonsumsi produk) bisa pingsan, sakit atau bahkan meninggal dunia. Ada juga yang ditimbulkan baru terasa beberapa waktu kemudian (hidden defect), contoh yang paling nyata dari dampak ini adalah maraknya penggunaan bahan pengawet dan pewarna makanan dalam sejumlah produk yang bisa mengakibatkan kanker di kemudian hari. 3. Kalangan yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Karena tidak punya pilihan lain, masyarakat ini terpaksa mengkonsumsi barang/jasa yang hanya semampunya didapat, dengan standar kualitas dan keamanan yang sangat minim. Kondisi ini menyebabkan diri mereka selalu dekat dengan bahaya-bahaya yang bisa mengancam kesehatan dirinya kapan saja.19 Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono 20 , Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berhadapan harus dapat dipertemukan dalam keselarasan dan harmonisasi yang ideal. Untuk itu, Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan campur tangan dalam memprediksi kemungkinan pelanggaran yang terjadi dengan menyediakan rangkaian perangkat peraturan yang mengatur sekaligus memberikan ancaman berupa sanksi apabila terjadi pelanggaran siapapun pelaku ekonomi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut ? 1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ? 19
N.H.T. Siahaan 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Bogor, h. 11. 20 Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, Bayu Media, Malang, h. 132.
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan ? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang konseptual tentang label sebagai perwujudan hak konsumen atas informasi kaitannya dengan perlindungan konsumen. Disamping itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan label, mengingat semakin banyaknya produk makanan yang beredar di masyarakat dengan bermacam-macam label, sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat membantu dalam usaha-usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri. 1.3.2
Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisa ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 apa telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen. 2. Untuk mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran ketentuan label pangan bagi pelaku usaha. 1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian
tesis
ini
diharapkan
dapat
memberi
pemahaman
dan
pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen khususnya tentang pelabelan. 1.4.2
Manfaat Praktis Penelitian tesis ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran
bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan konsumen baik Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI), lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, konsumen itu sendiri maupun pelaku usaha. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam
membentuk
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah. 1.5. Orisinalitas Penelitian Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian tentang “ Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan “, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti tentang yang terkait dengan pelabelan, yaitu : 1. Tesis Kamila Hetami pada Program Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Ekonomi dan Teknologi Universitas Diponogoro, Semarang, 2009 yang berjudul “ Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa Genetika
Sebagai
Wujud
Azas
Keterbukaan
Informasi
“.
Adapun
permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1) Bagaimana
implementasi perjanjian internasional mengenai organisme hasil rekayasa genetika ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. (2) Bagaimana perlindungan konsumen di Indonesia berkaitan dengan keterbukaan informasi produk-produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang berkaitan dengan pelabelan. (3) Bagaimana tanggung jawab produsen terhadap produk yang mengandung bahan rekayasa genetika khususnya yang berkaitan dengan pelabelan.21 2. Tesis Ali Amran Tanjung pada Program Magister Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, yang berjudul “ Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen “ . Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana pengaturan, penggunaan label halal terhadap produk makanan, (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan, (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal. 22 3. Selanjutnya ada juga penelitian dari Ari Fatmawati dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2011, yang berjudul “ Konsumen dan Label (Study tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam
21
Kamila Hetami, 2009, “Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ”. Diakses 1 Desember 2011, avalaible from http://eprints.undip.ac.id/18037/1/Kamila Hetami. 22 Ali Amran, Tanjung, 2009, “ Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ”. Diakses 1 Desember 2011, avalaible from http://repositoryusu.ac.id/handle/123456789/199922 .
Mengkonsumsi Produk Berlabel Halal di Kota Yogyakarta) “. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimanakah profil label dalam makanan kemasan yang beredar di kota Yogyakarta, (2) Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap masyarakat muslim sebagai konsumen makanan yang beredar di kota Yogyakarta.23
1.6.
Landasan Teoritis Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan
dan tersusun dalam suatu system deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki fungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian. Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam diperlukan teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.24 Teori ini juga sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan hukum positif konkrit. 25 Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van Koecke dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan yang merupakan
23
Ari Fatmawati, 2011, “ Konsumen dan Label “, diakses 1 Desember 2011, available from http://eprints.ums.edu.my/1436/1ae00000000209.pdf. 24 Burhan Ashsofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19. 25 Ibid.
pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai dasar dari studi ilmu pengetahuan terhadap aturan hukum positif. Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian setiap sektor hukum nasional haruslah bersumberkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pada bagian pembukaan UUD 1945, alenia ke-4 ada berbunyi “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ….“. Kata “ segenap bangsa Indonesia “ adalah asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (sila ke-3 Pancasila Persatuan Indonesia). Dan kata “ melindungi “ mengandung asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut, baik dia laki-laki, perempuan, kaya, miskin, baik dia pelaku usaha ataupun konsumen. Untuk menganalisa permasalahan pada penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori hukum, diantaranya teori system hukum dari Lawrence Friedman, teori pengayoman dari Suhardjo, teori perlindungan dari Philipus M. Hadjon, teori keadilan dari Aristoteles dan John Rawls, teori negara hukum dan teori / asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dari Lon. L. Fuller. Alasan menggunakan teori sistem hukum, karena penulis berpendapat bahwa ketentuan mengenai label merupakan elemen substansi dalam sistem hukum. Kemudian digunakannya teori perlindungan dan teori pengayoman karena ketentuan
mengenai label adalah ditujukan untuk perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat konsumen. Sedangkan digunakannya teori Negara hukum karena salah satu ciri khas Negara hukum adalah adanya pengakuan akan hak, termasuk hak konsumen akan informasi yang benar yang dapat diperoleh dari label. Disamping itu dalam konsepsi Negara hukum ada dikenal dua tipe Negara hukum yang salah satunya adalah Negara hukum dalam arti luas dimana Negara bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, termasuk berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Karena seluruh warga Negara adalah konsumen, maka perlindungan dan kesejahteraan konsumen menjadi tanggungjawab Negara. Digunakannya teori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dari Lon. L. Fuller karena nampaknya ketentuan label sebagaimana diatur dalam PP. No. 69 Tahun 1999 masih banyak ditemukan penyimpangan oleh pelaku usaha. Kemudian digunakannya teori keadilan dari Aristoteles karena seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa perlunya undang-undang perlindungan konsumen dan peraturan pelaksana dibidang konsumen termasuk diantaranya ketentuan label pangan dalam PP No. 69 Tahun 1999 karena karena lemahnya posisi konsumen dibanding posisi produsen/pelaku usaha. Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Selengkapnya tentang teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Lawrence M. Friedman mengungkapkan Three Elements of Legal System atau tiga komponen dari system hukum. Ketiga komponen yang dimaksud adalah (1) struktur (structure), (2) substansi (substance), dan (3) kultur (culture) atau budaya. 26 PSubstansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara menegakkannya, yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Substansi juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada di dalam buku-buku hukum/UU/putusan hakim. Struktural mencakup wadah maupun bentuk dari system tatanan lembaga-lembaga formal, hubungan antar lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya. Kultural mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku. Malcolm Walters menyebutkan culture consists of generally shared visions of meaning, value and preference.
27
Penegakan hukum sebagai suatu system
memerlukan sinergi antara komponen-komponennya (subsistem) tersebut diatas. Menurut H.L.A Hart “ the union of primary and secondary rules is at the centre of a legal system “ 28 (sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer sekunder).
26
Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12-18. 27 Malcolm Walters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, h.13. 28 Charles Samford, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwell Ltd, UK, h. 26.
Teori pengayoman dikemukakan oleh Prof. Suhardjo, Menteri Kehakiman dalam Kabinet Presiden Soekarno. 29 Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun pasif.
30
Secara aktif dimaksudkan
sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk mewujudkan pengayoman ini termasuk didalamnya adalah : 1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan 2. Mewujudkan kedamaian sejati 3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat 4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Kedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik lahir maupun bathin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka. Teori
perlindungan
yang
dikemukakan
oleh
Philipus
M.
Hadjon,
menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum
29
Bachsan Mustafa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 22. 30 Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 23.
represif dan perlindungan hukum preventif.
31
Perlindungan hukum represif yaitu
perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya. Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Menurut Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics maka pada dasarnya ada 2 (dua) teori tentang keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif/komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan bagian kepada setiap orang menurut jasanya, dan pembagian mana tidak didasarkan bagian yang sama akan tetapi atas keseimbangan. Sedangkan keadilan korektif/komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak 31
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h. 3.
mengingat jasa seseorang. Keadilan korektif/komutatif memegang peranan dalam hal tukar menukar pada peraturan barang dan jasa, dalam mana sedapat mungkin terdapat
persamaan
antara
apa
yang
dipertukarkan.
Sehingga
keadilan
korektif/komutatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat khususnya negara dengan perseorangan. Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.32 Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya.
Mewujudkan
perlindungan
konsumen
adalah
mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah. 33 Menurut Lon Fuller ada 8 (delapan) kriteria hukum yang baik, yakni : 1. …a failure to achieve rules at all, so that every issue must be diceded on an hoc basic (peraturan harus berlaku juga bagi penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya, dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc); 2. A failure to publicize, or at least to make available to the affected party, the rules he is expected to observe (aturan-aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut); 32 33
7.
Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40. Erman Raja Guguk, et.all, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta, h.
3. The abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide action, but undercuts the integrity of rules prospective in effect, since it puts them under the threat of retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memiliki daya laku surut atau harus non retroaktif, karena dapat merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang); 4. A failure to make rules understandable (dirumuskan secara jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti); 5. The anactment of contradictory rules (tidak boleh mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain); 6. Rules that require conduct beyond the poers if the affected party (tidak boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan); 7. Introductions such frequent changes in the rules that the subject cannot orient his action by them (tidak boleh terus-menerus diubah, artinya tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah-ubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang kehilangan orientasi); dan 8. A failure of congruence between the rules as announced and their actual administration (harus ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari). Dalam kaitannya dengan ketentuan label nampaknya ketentuan label sebagimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tidak memenuhi kriteria no. 8 dari teori Lon Fuller. Keberadaan
tentang
konsepsi
negara
hukum
sudah
ada
semenjak
berkembangnya pemikiran cita negara hukum itu sendiri. Plato dan Aristoteles merupakan penggagas dari pemikiran negara hukum. Pemikiran negara hukum dimunculkan Plato. Menurut Plato, penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum. Konsepsi negara hukum dalam kajian teoritis dapat dibedakan dalam dua pengertian. Pertama, negara hukum dalam arti formal (sempit/klasik) yaitu negara hukum sebagai Nachtwakerstaat atau Nachtwachterstaat (negara jaga malam) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat, urusan kesejahteraan didasarkan pada persaingan bebas (free fight), laisez faire, laisez ealler,
siapa yang kuat dia yang menang. Negara hukum dalam arti formal ini kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan kepentingan umum, seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undangundang), yaitu hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak asasi warganya secara pasif, tidak campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan kesejahteraan rakyat, karena yang berlaku dalam lapangan ekonomi adalah prinsip laiesez faire laiesizealler. Namun teori Negara hukum dalam arti sempit ini mulai ditinggalkan karena persaingan bebas ternyata makin melebarkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin. 34 Maka para ahli berusaha menyempurnakan teorinya dengan teori negara hukum dalam arti materiil (luas/modern) ialah negara yang terkenal dengan istilah welfare state (walvaar staat), (wehlfarstaat). Disini Negara bertugas menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan social (social security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar terjamin dan terlindungi. 35 Menurut teori ini, selain bertujuan melindungi hak dan kebebasan warganya, negara juga berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
34
A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h. 16. Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, h. 46. 35
Dalam penjelasan UUD 1945 dirumuskan bahwa “ Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) “. Jadi demikian jelas Negara Indonesia adalah Negara hukum.
36
Negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu : 1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 2) negara didasarkan pada teori trias politica. 3) pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang¬-undang (wetmatig bestuur). 4) ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Seperti telah diuraikan diatas, salah satu ciri khas dari Negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Termasuk dalam hak-hak asasi manusia adalah hak konsumen. Mengingat betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan “Generasi Keempat Hak Asasi Manusia” yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi dalam perkembangan umat manusia di masa-masa yang akan datang. 37 Dimana persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan 36
Bernard Arief Shidarta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 47. 37 Amstrong Sembiring, 2010, “ Menyoal Hak-Hak Konsumen “, diakses 8 Juni 2010, available from URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id
yang bersifat horisontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain. Hak konsumen dalam artian yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan
atau
tindakan-tindakan
sewenang-wenang
dalam
hubungan
kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya. Konsepsi generasi keempat ini dapat disebut sebagai Konsepsi Generasi Kedua apabila seluruh corak pemikiran atau konsepsi hak asasi manusia sebelumnya yang bersifat vertikal dikelompokkan sebagai satu generasi tersendiri dalam pertumbuhan dan perkembangan konsepsi hak asasi manusia. Konsepsi Generasi kedua adalah konsepsi hak asasi manusia untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy “Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen” saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang
suaranya nyaris tak didengar.” Yang di dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest. Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut: (1). the right to safety (hak atas keamanan) (2). the right to choose (hak untuk memilih) (3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi) (4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya). 38 Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hakhak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masingmasing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut, hak perlindungan kesehatan 38
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 27.
dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid), hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen), hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding), hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming), hak untuk didengar (recht om te worden gehord). Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly) pada tanggal 9 April 1985. Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN guidelines for Consumers Protection. Lobi yang konsisten oleh kelompok konsumen berdasarkan Guidelines tersebut merupakan kesinambungan untuk meningkatkan dan memperkuat perlindungan hukum bagi kelanjutan gerakan konsumen di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun di negara maju. Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson, menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product liability. Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak: (1). To select commodities and service of their own will; (2). To know the real circumstances of the price, quality, Weight-measurement, function, ect., of commodities and service; (3). To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes as stipulated by law; (4). To request receipts for payment in purcahsing commodities
and services; (5). To request repairing, replacing, or returning commodities or service because of unstatisfactory quality according to the standard provided by law agreed by the parties, to request compensation when persobal or property damage is caused thereof; (6). To have other rights as stipulated law. Dalam catatan, mengenai urutan hak-hak diatas tersebut telah beberapa kali diubah dan tidak bersifat tunggal untuk seluruh negara tersebut. 39 Di Indonesia, mengenai hak-hak konsumen diatur dalam pasal 4 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni : a. b.
c. d. e. f. g. h.
i.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang 39
Ibid.
mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.40 Signifikansi
pengaturan
hak-hak
konsumen
melalui
Undang-Undang
merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu Negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 di samping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide Negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19. Indonesia melalui Undnag-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan kesembilan hak konsumen
sebagai penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan
Negara kesejahteraan, yaitu pasal 27 ayat (2) dan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 1.6
Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.41 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan tesis ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau
40
Shidarta, Op.Cit, h. 18. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 42. 41
penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. 42 Data sekunder yaitu datadata yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan hukum.43 Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya kekaburan norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dalam kaitannya dengan penelitian hukum, maka Moris L. Cohen dan Kent. C. Olson memberikan definisi tentang penelitian hukum sebagai berikut : 44 Legal research is an assential component of legal practice. It is process of finding the law that the foverns an activity and materials that explain or analyse that law. The resource give the lawyers the knowledge with which orovide accurate and insigful advise, to draft effective document, or defend their clients rights in court. Artinya bahwa penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum, yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu kegiatan serta menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk membuat suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di Pengadilan. 1.6.2 Jenis Pendekatan 42
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali Jakarta (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II), h.15. 43 Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, h. 108. 44 Moris L. Cohen, Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, USA.
Penelitian hukum normatif mengenal beberapa jenis pendekatan yang dapat digunakan, yaitu : a. b. c. d. e. f. g.
Pendekatan Kasus (the Case Approach); Pendekatan Perundang-undangan (the Statute Approach); Pendekatan Fakta (The Fact Approach); Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analitical and Conseptual Approach); Pendekatan Prasa (Word and Phrase Approach); Pendekatan Sejarah ( Historical Approach); dan Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach); 45 Dalam penelitian ini dipergunakan pendekatan perundang-undangan (the
statue approach), pendekatan fakta (fact approach), dan pendekatan analisa konsep hukum (analytical and conceptual approach). Permasalahan dikaji dengan mempergunakan interpretasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara teoritik berdasarkan teori-teori dan konsep hukum yang ada. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, 46 yaitu: 1) Burgerlijke Wetboek (KUH Perdata).
45
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Penulisan Tesis, Universitas Udayana, h. 11-12. 46 Soerjono Soekanto & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34
2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. 3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 5) Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. 6) Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. 7) Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 8) Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan. 9) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 47 Disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan. Keunggulan dalam penggunaan ataupun pemakaian internet antara lain efisien, tanpa batas (without
47
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h. 141.
boundry), terbuka 24 jam (24 hours online), interaktif dan terjalin dalam sekejap (hyperlink).48 c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi. Bahan hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. 49 Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuanpenemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 50 1.6.5 Teknik Analisis Dari bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, dianalisis dengan menggunakan
tehnik
deskripsi,
interpretasi,
argumentasi,
evaluasi,
dan
sistematisasi. 51 Pengertian dari masing-masing tehnik analisis dimaksud adalah sebagai berikut :
48
Budi Agus Riswandi, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta, h. 325. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad 20, Alumni, Bandung, h. 150. 50 Romy Hanitidjo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 98. 51 Program Studi Magister Ilmu Hukum UNUD, Op.cit, h. 14-15. 49
a. Tehnik deskripsi, adalah uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau proposisiproposisi hukum maupun non hukum. b. Tehnik interpretasi, adalah penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum, terutama penafsiran kontekstualnya. c. Tehnik argumentasi, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. d. Tehnik evaluasi, yaitu penilaian tepat atau tidak tepat, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan atau proporsi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. e. Tehnik sistematisasi, adalah upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “. Istilah “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “ sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua “ cabang “ hukum itu identik. 52 M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature as consumer law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted. 53 Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. 52 53
Shidarta, Op.cit, h. 9. Ibid, h. 23.
Oleh Az. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen. Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut : Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang. Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi Negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum
yang mengatur upaya-upaya
untuk menjamin terwujudnya
perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta
membuka
akses
informasi
tentang
barang
dan/atau
jasa
baginya,
dan
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UU). Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, undangundang perlindungan konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu 54: 1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku. Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut :55 1. keselamatan fisik; 2. peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen; 3. standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa; 4. pemerataan fasilitas kebutuhan pokok; 5. upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti kerugian; 6. program pendidikan dan penyebarluasan informasi;
54 55
Yusuf Sofie II, Op.cit, h. 26. Taufik Simatupang, Op.cit, h. 11-13.
7. pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik. Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut56 : 1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945; 2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negative penggunaan teknologi; 3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional; 4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. Sedangkan menurut Setiawan, perlindungan konsumen mempunyai 2 (dua) aspek yang bermuara pada praktik perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practices) dan masalah keterikatan pada syarat-syarat umum dalam suatu perjanjian. Dalam pandangan ini secara tegas dinyatakan bahwa upaya untuk melakukan perlindungan konsumen disebabkan adanya tindakan-tindakan atau perbuatan para pelaku usaha dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yang tidak jujur sehingga dapat 56
Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 6.
merugikan konsumen, praktek-praktek yang dijalankan salah satunya mengunakan bahan kimia sebagai bahan campuran dalam pengawetan makanan, misalanya formalin. Menurut Adijaya Yusuf dan John W. Head, perlindungan konsumen adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dan usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen. Undang-undang perlindungan konsumen mempunyai suatu misi yang besar yaitu untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan makmur sesuai yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat macam kepentingan, yaitu sebagai berikut 57 : 1. Kepentingan fisik; Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan barang dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha. 2. Kepentingan sosial dan lingkungan; Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginan konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumbersumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang 57
M. Ali Mansyur, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, h. 81.
merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang benar mengenai produk yang mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan terjadi gejolak sosial apabila konsumen mengkonsumsi produk yang tidak aman. 3. Kepentingan ekonomi; Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi dayabeli konsumen juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan keuntungan semata tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang dihasilkan. 4. Kepentingan perlindungan hukum. Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku usaha yang merugikan. 2.2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prisip yang mendasari diterbitkannya undangundang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan
peraturan pelaksananya.58 Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya. 59 Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut : “ …bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut “. 60 Sejalan dengan pendapat Sudikno tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya, asas-asas hukum memberi makna etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta tata hukum. 61 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung
58
Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, h. 3. Yusuf Sofie, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie III)h. 25. 60 Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, h. 56. 61 Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I),h. 87. 59
tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturanperaturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. 62 Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan pasal 2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah : 1. Asas manfaat Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa. 2. Asas keadilan
62
Ibid, h. 85.
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 3. Asas keseimbangan Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan Pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen) dan Pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu Undang-Undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larang yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya. 5. Asas kepastian hukum Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya Undang-Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, Negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya. Memperhatikan substansi pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, 2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum. Radbruch menyebutkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian sebagai “ tiga ide dasar hukum “ atau “ tiga nilai dasar hukum “, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Sedangkan asas keseimbangan dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah. Kepentingan Pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan Pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Keseimbangan
perlindungan
antara
pelaku
usaha
dan
konsumen
menampakkan fungsi hukum yang menurut Roscoe Pound sebagai sarana pengendalian
hidup
bermasyarakat
dengan
menyeimbangkan
kepentingan-
kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.63 Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. 64 Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival manusia. Melalui prinsip atau asas 63
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 28. 64 Ibid.
solidaritas dikembangkan kemungkinan Negara mencampuri urusan yang sebenarnya privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan berama. Dalam hubungan inilah kepentingan Pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi. Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham Negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan Pemerintah sebagai lembaga eksekutif di dalam suatu Negara. Sesuai fungsi kehadiran Negara, maka Pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 2 UUPK secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab Pemerintah. Mengacu pada pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa :
“ perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen .“ Kata segala upaya adalah menyiratkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk membentengi tindakan sewenang-wenangan dan agar pihak pelaku usaha memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana mestinya. Agar segala upaya tersebut berjalan efektif, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang lainnya juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun dalam bidang hukum public (hukum pidana maupun hukum administrasi negara). Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Achmad Ali mengatakan bahwa “ masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus “.65 Hal itu tampak dalam pengaturan pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang juga mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen sekaligus membedakan tujuan umum. Rumusan tujuan perlindungan konsumen huruf a dan e mencerminkan tujuan hukum mendapatkan keadilan. Sedangkan rumusan huruf a, b, termasuk c dan d serta huruf f mencerminkan tujuan hukum memberikan kemanfaatan, dan tujuan hukum khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undangundang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali bahwa 65
Achmad Ali, 2002, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, (selanjutnya disebut Achmad Ali I), h. 25.
kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan. 66 Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana seperti yang telah dicita-citakan, hal ini harus diperkuat oleh kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang-undang perlindungan konsumen didukung oleh sarana dan fasilitas yang menunjang. 2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut : 67 1) membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk : a. Memberikan hak dan kewajiban; b. Menjamin hak-hak para subyek hukum; 2) Menegakkan peraturan (by the law enforcement) melalui : a. Hukum administrasi Negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan pengawasan;
66
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, 1988, Yarsif Watampone, Jakarta, (selanjutnya disebut Achmad Ali II),h. 191. 67 Wahyu Sasongko, 2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, h. 31.
b. Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman; c. Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian. Istilah “ perlindungan konsumen “ berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Sebagaimana disampaikan Munir Fuadi, kehadiran suatu kaedah hukum (legal procept), aturan hukum (regulayuris), alat hukum (remedium juris) dan ketegakan hukum (law enforcement) yang menatap adalah dambaan masyarakat Indonesia sekarang, sehingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan memetik hasilnya.68 Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. J.F Kennedy adalah Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. 68
Munir Fuadi, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 184.
Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak didengar.” Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut: (1). the right to safety (hak atas keamanan); (2). the right to choose (hak untuk memilih); (3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi); (4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya). Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masingmasing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk
memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut : 1. hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid); 2. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen); 3. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); 4. hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming); 5. hak untuk didengar (recht om te worden gehord). Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly). Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN Guidelines for Consumers Protection. Di dalam pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Guidelines for Consumer Protection) melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985, pada Bagian II tentang Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan konsumen yang diharapkan dapat dilindungi oleh setiap Negara di dunia adalah :
1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan keamanan konsumen; 2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis konsumen; 3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga mereka dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya; 4. Pendidikan konsumen; 5. Tersedianya ganti rugi bagi konsumen; 6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau lembaga lain yang sejenis dan memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk mengemukakan pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Resolusi ini lahir berkat perjuangan panjang selama kurang lebih sepuluh tahun dari lembaga-lembaga konsumen di seluruh dunia yang dipimpin oleh International Organization of Consumers Union (IOCU). Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson, menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product liability. Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak: 1. To select commodities and service of their own will; 2. To know the real circumstances of the price, quality, Weight-measurement, function, ect., of commodities and service; 3. To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes as stipulated by law; 4. To request receipts for payment in purcahsing commodities and services;
5. To request repairing, replacing, or returning commodities or service because of unstatisfactory quality according to the standard provided by law agreed by the parties, to request compensation when persobal or property damage is caused thereof; 6. To have other rights as stipulated law. Lahirnya gerakan perlindungan konsumen di Negara-negara maju, adalah bukti adanya hak-hak konsumen dijunjung tinggi dan dihargai, demikian juga dalam perkembangannya di Indonesia. Era globalisasi yang ditandai dengan membanjirnya aneka macam produk barang dan/atau jasa di pasaran, telah menuntut pula dilindunginya pihak konsumen sebagai pemakai produk tersebut.
69
Hak konsumen di Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani. Hak untuk
memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan
utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha. 69
C. Tantri D. Sulastri, 1995, Gerakan Organisasi Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta, h. 18.
Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya paham rasional di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak, penghargaan orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat pendapatan dan kepedulian konsumen itu sendiri. Dan secara khusus konsumen di negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi rentan, maka arti penting dari hak tersebut masih banyak diabaikan. Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan, baik secara ekonomi maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang perlu menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif dalam menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk-produk negeri kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari para produsen dalam negeri relatif masih kurang baik. Dan pasar internasional –
dimana tingkat kompetisinya cukup tinggi, jelas akan menyingkirkan produkproduk yang tidak mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen. Dengan demikian, pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan keselamatan konsumen, justru akan menguntungkan semua pihak. Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong bagi kebijakankebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah, sehingga menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke luar negeri. b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relatif rendah, maka hal ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya belinya.
Disamping itu hak konsumen dalam memilih barang atau jasa tidak akan ada artinya bila pengadaan barang atau jasa dimaksud dilakukan secara monopoli. Untuk kasus seperti ini, lagi-lagi golongan konsumen menengah ke atas tetap dapat mempraktekkan hak pilihnya, misalnya dengan mencari alternatif pilihan barang atau jasa yang lain tanpa mempersoalkan harganya. Namun bagi golongan konsumen dengan penghasilan rendahlah yang akan mengalami tekanan cukup parah dalam merealisasikan hak pilihnya. Oleh sebab itu dalam menembus pembatasan akan hak pilih ini, sudah saatnya konsumen menggalang kekuatan dengan meningkatkan rasa solidaritas. Karena dengan cara penggalangan kekuatan itulah kekuatan konsumen akan dapat terwujud. c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Informasi yang benar serta lengkap dari suatu produk barang/ jasa harus disertakan oleh produsen. Hal ini sangat penting, karena kelangkaan ataupun kekeliruan memberikan informasi akan memberikan gambaran yang salah dan membahayakan bagi konsumen. Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam menyampaikan informasi. Antara lain dapat dilakukan melalui: (a). disampaikan secara langsung; (b). melalui media komunikasi, seperti iklan; (c). dicantumkan dalam label barang atau jasa. Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja,
tetapi juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan keselamatan konsumen. Pemberian batas kadaluarsa, kandungan bahan serta sejumlah peringatan dan aturan penggunaan lainnya harus disertakan dan diberikan informasi secara benar pada konsumen. Namun apabila hal-hal tersebut tidak dapat diberikan oleh produsen/ pedagang, maka konsumen berhak untuk menuntutnya. Terhadap hak atas informasi ini, konsumen perlu waspada mengingat seringnya pihak produsen/ pedagang melakukan penyampaian informasi secara berlebihan. Sehingga, dalam banyak hal, pihak produsen/ pedagang tanpa tersadari sering mendorong konsumen untuk bertindak tidak lagi rasionil. Untuk itu konsumen perlu selektif terhadap informasi yang diberikan dan berusaha mencocokkan dengan kenyataan yang ada pada produk tersebut. Tak kalah pentingnya, konsumen pun harus jeli dalam membedakan mana rayuan, mana promosi dan mana kenyataannya. Hal itu merupakan tindakan yang bijak daripada mengalami kerugian di belakang hari. d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup banyak terjadi. Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu, konsumen
berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha bersangkutan. Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang sama, hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta keluhan konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun pedagang. Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu kepada produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini belum dimanfaatkan. Contoh yang paling sederhana misalnya, dalam ikatan transaksi jual beli atau sewa beli, kontrak-kontrak sepihak dan ketentuan-ketentuan yang tercantum pada bon pembelian yang biasanya hanya menguntungkan produsen/ pedagang, biasanya karena dipermasalahkan secara terbuka. Kalaupun telah merasakan ketidakseimbangan ketentuan tersebut, konsumen segan mengajukan usulan yang menjadi haknya. Kedepannya, hal tersebut perlu mendapat perhatian, agar konsumen jangan selamanya berada pada posisi yang dirugikan. e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Bahwasanya di dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup juga
kewajiban
untuk
melakukan
upaya-upaya
peningkatan
kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk berlaku jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya, antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling membutuhkan. f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif, seperti membiasakan untuk membaca label. Dan sebaliknya, sangat diharapkan peran serta pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.
Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian “ pendidikan “ tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi yang lebih komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Produsen mobil misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman. g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Contohnya, seorang pejabat tidak perlu antri tiket seperti konsumen lainnya, karena pelaku usaha memberikan perlakuan khusus. Begitu pula halnya ketika tiket kereta api hendak dibeli konsumen dengan harga sebagaiman tarif, oleh si penjual dikatakan telah habis, sementara bagi konsumen yang berani membelinya diatas tarif, maka tiket tersebut akan dengan mudahnya diperoleh.
Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku usaha. h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Ketika UUPK ini dirancang, para perumus RUUPK sangat memperhatikan dasardasar acuan untuk mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan hukum antara penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak penjual dan konsumen dirumuskan dengan jelas, ketiga konsumen sebagai pelaku perekonomian, keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat mendapat ganti rugi yang memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian sengketa kepada para pihak. Dasar-dasar tersebut telah menekankan pada pentingnya pemberian hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan mamupun tidak dalam kondisi sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidaksengajaan dari pihak penjual yang mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan sekalipun telah yakin terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh kasus ini telah melekat hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi.
Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk pengembalian pembayaran, mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk kompensasi lainnya sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, berupa : -
Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik. Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang tergabung dalam
The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah memperoleh ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ecolabeling Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000. -
Hak Untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya
untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan oleh si produsen curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula yang dirugikan. Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah ologopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia, dan telah sejak lama
diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hakhak konsumen bersifat universal. Lawan dari hak adalah kewajiban. Mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam pasal 5 UUPK, yakni : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2.4 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Dalam perdagangan pelaku usaha memiliki hak-hak yang harus diberikan dan dihormati oleh pihak-pihak lain dalam perdagangan tersebut, misalnya konsumen. Hak tersebut diimbangi dengan dibebankannya kewajiban pada pelaku usaha yang harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya antara hak dan kewajiban tersebut adalah seimbang. Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPK adalah : a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7, yakni : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada hakikatnya menurut Nurmanjito, larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak
edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, iklan, dan lain sebagainya.70 Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat. 71 Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut dibuat berupaya untuk memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman, layak konsumsi bagi konsumen. Dalam ketentuan pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang produksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa, antara lain : (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
70
Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Mandar Maju, Bandung, h. 18. 71 Ibid.
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Dalam ketentuan pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan-larangan
representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang berlaku/tidak melanggar hukum. Dalam ketentuan pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih berkaitan dengan larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau menyesatkan konsumen.
Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk mengingkari untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan pasal 14 UUPK yang menyebutkan : Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk : a. b. c. d.
tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa; memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan cara-
cara penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik maupun psikis konsumen. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 15 UUPK yang bunyinya : Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Salah satu cara pemaksaan produk yang dimaksud adalah door to door sale, rayuan dari sales tersebut ke rumah-rumah konsumen disadari baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologis konsumen. Penawaran barang melalui cara ini, dapat mengusik ketenangan konsumen, karena walaupun konsumen telah menyatakan tidak berminat terhadap barang yang ditawarkan, namun sales tetap berusaha merayu agar konsumen membelinya.
BAB III KETENTUAN LABEL PANGAN DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN
3.1
Label Sebagai Wujud Hak Konsumen Atas Informasi Ketentuan hukum mengenai pelabelan tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91. UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebagai undangundang payung tidak mengatur secara spesifik mengenai pelabelan khususnya produk pangan. Pengaturan secara lebih spesifiknya ada dalam PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan. Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Pengertian yang sama juga ada dalam ketentuan pasal 1 angka 15 UU No 7 Tahun 1996. Lebih lanjut didalam pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa : (1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemas pangan. (2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : (1). Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. (2). Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Dari penjelasan pasal-pasal diatas, dapatlah dilihat bahwa label itu berbeda dengan merek. Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang N0. 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. 72Merek memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahan yang satu dengan perusahaan yang lain.73 Ditinjau dari fungsi, merek dapat berfungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama sama atau badan hukum dengan produksi seseorang/beberapa orang atau badan hukum lain, sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya serta sebagai jaminan atas mutu barangnya.74 Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk, persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen terhadap merek yang tinggi. Dengan adanya merek yang membuat produk yang satu beda dengan yang lain, diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan terhadap suatu merek (brand loyalty). Kesetiaan konsumen terhadap suatu merek atau brand yaitu dari pengenalan, pilihan dan kepatuhan pada suatu merek. 75 Merek dapat dipahami lebih dalam pada tiga hal berikut ini :
73
Rachmad Usman, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 48. 74 Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 89. 75 Ahmad Fauzan, 2006, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Yama Widya, Bandung, h. 127.
1. Contoh brand name (nama) : nintendo, aqua, bata, rinso, kfc, acer, windows, toyota, zyrex, sugus, gery, bagus, mister baso, gucci, c59, dan lain sebagainya. 2. Contoh mark (simbol) : gambar atau simbol sayap pada motor honda, gambar jendela pada windows, gambar kereta kuda pada california fried chicken (cfc), simbol orang tua berjenggot pada brand orang tua (ot) dan kentucky friend chicken (kfc), simbol bulatan hijau pada sony ericsson, dan masih banyak contohcontoh lainnya yang dapat kita temui di kehidupan sehari-hari. 3. Contoh trade character (karakter dagang) : ronald mcdonald pada restoran mcdonalds, si domar pada indomaret, burung dan kucing pada produk makanan gery, dan lain sebagainya. Sehingga jelas, dalam hal ini label dan merek itu berbeda, merek semata-mata lebih difungsikan sebagai tanda pengenal, pembeda, alat promosi suatu produk, sedangkan label sebagai sumber informasi yang lebih lengkap bagi konsumen karena didalamnya termuat representasi, peringatan, maupun instruksi dari suatu produk. Informasi sebagai pengertian merupakan stimuli yang secara konsisten menggerakkan perilaku (behavior) antara si pengirim dan penerima informasi. 76 Selanjutnya Vincent Gaspersz, mengatakan informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu yang berguna bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata atau
76
Widyahartono, 1983, Industri Informasi dalam Dekade 80-an (Informatie Industrie In de Jarem Tachtig D. Overkleeft), Alumni, Bandung, h. V.
yang dapat dirasakan dalam keputusan-keputusan yang sekarang dan keputusankeputusan yang akan datang. 77 Pada dasarnya informasi adalah data yang penting yang memberikan pengetahuan yang berguna. Apakah suatu informasi itu berguna atau tidak tergantung kepada : (1) Tujuan Si Penerima Apabila informasi itu tujuannya untuk member bantuan, maka informasi itu harus membantu si penerima dalam apa yang ia usahakan untuk memperolehnya. (2) Ketelitian penyampaian dan pengolahan data Dalam menyampaikan dan mengolah data, inti pentingnya informasi harus dipertahankan. Jadi dengan informasi orang akan memperoleh keterangan yang jelas mengenai sesuatu hal. Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. Dengan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.
77
Vincent Gaspersz,1988, Sistem Informasi Manajemen (Suatu Pengantar), Armico, Bandung, h. 15.
Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang persyaratan dan/atau cara memperolehnya, terutama jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jas purna jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Kedua, informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-
hasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen. Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya
disediakan
atau
dibuat
oleh
kalangan
usaha
dengan
tujuan
memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih. Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. 78 Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang. Informasi dapat memberikan dampak signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap 78
Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, h. 71.
produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.79 Ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi. 80 Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam kaitannya dengan misrepresentation banyak sekali disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya kelemahan produk tersebut ditutupi.81 Informasi yang diperoleh konsumen melalui brosur tersebut dapat menjadi alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam gugatan konsumen terhadap produsen. Bahkan tindakan produsen yang berupa penyampaian informasi melalui
79
Ibid. Agnes M. Toar, 1998, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 55. 81 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, h. 54-55. 80
brosur-brosur secara tidak benar yang merugikan konsumen tersebut, dikategorikan sebagai wanprestasi. Karena brosur dikategorikan sebagai penawaran dan janji-janji yang bersifat perjanjian, sehingga isi brosur tersebut dianggap diperjanjikan dalam ikatan jual beli meskipun tidak dinyatakan secara tegas. Pertimbangan hakim yang menggolongkan perbuatan produsen sebagai wanprestasi diatas, dapat diartikan bahwa brosur yang dikeluarkan oleh produsen merupakan bagian dari perjanjian, sehingga sebagai konsekuensinya, yang dapat menuntut ganti kerugian hanya pihak yang terikat perjanjian dengan pelaku usaha. Hal ini berbeda dengan Section 402 B Rest 2d of Tort, yang menempatkan misrepresentasi sebagai alasan pertanggunggugatan pihak penjual terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen walaupun konsumennya tidak membeli atau terikat kontrak dengan penjual. Lebih jelasnya Section 402 B Rest 2d of Tort, menentukan 82: “ One engaged in the business of selling chattels who, by advertising, label, or otherwise, make the public a misrepresentation of a metrial fact concerning the character or quality of a chattel sold by him is subject to liability for physical harm harm to consumer of the chattel caused by justifiable reliance upon the misrepresentation, even though : a. It is not made fraudulently or negligently, and b. The consumer has not bought the chattel from or enterd into any contractual relation with seller. “ Pembebanan tanggung gugat/tanggung jawab terhadap produsen yang merepresentasikan suatu produk secara tidak benar, baik dengan alasan wanprestasi maupun dengan alasan perbuatan melanggar hukum, merupakan suatu sarana yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen, karena dengan adanya 82
Ibid.
pertanggungjawaban/pertanggunggugatan tersebut dapat menmbuat produsen lebih berhati-hati dalam merepresentasikan suatu produk tertentu, sehingga konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar terhadap suatu produk. Representasi ini lebih menuntut kehati-hatian bagi orang yang mempunyai keahlian khusus, karena apabila orang yang mempunyai keahlian khusus melakukan representasi kepada orang lain – berupa nasihat, informasi atau opini- dengan maksud agar orang lain mengadakan kontrak dengannya, maka dia berkewajiban untuk berhati-hati secara layak bahwa representasi itu adalah benar, serta nasihat, informasi atau opini itu dapat dipercaya. Jika ia tidak berhati-hati atau secara sembrono memberikan nasihat, informasi atau opini yang keliru maka ia akan bertanggung gugat dalam memberikan ganti kerugian. Repsentasi suatu produk dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Salah satu larangan yang berkaitan dengan representasi tersebut terlihat dalam ketentuan pasal 8 ayat (1) f dan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan. Disamping larangan diatas, masih banyak larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan barangnya kepada konsumen, namun secara garis besar, kesemuanya adalah mengenai kualitas/kondisi, harga, kegunaan, jaminan atas barang tersebut, serta pemberian hadiah kepada pembeli. Berdasarkan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan representasi produk dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka tidak dipenuhinya ketentuan tersebut oleh produsen yang menyebabkan kerugian konsumen, dapat dituntut
berdasarkan perbuatan melanggar hukum, yang berarti bahwa untuk menggugat pelaku usaha, konsumen tidak harus terikat perjanjian dengan pelaku usaha yang digugat. Dengan demikian ketentuan dalam UUPK dapat memberikan perlindungan hukum kepada pihak ketiga yang tidak terikat dengan pelaku usaha sebagaimana halnya ketentuan dalam Section 402 B Rest 2d of Tort. Hal tersebut merupakan langkah maju dibanding dengan menggolongkan misrepresentasi sebagai wanprestasi. Peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu produk yang merupakan informasi bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan penggunaan produk. Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi kepada konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang diberikan kepada konsumen ini memegang peranan penting dalam kaitan dengan keamanan suatu produk.83 Dengan demikian pabrikan (produsen pembuat wajib menyampaikan peringatan kepada konsumen). Hal ini berarti bahwa tugas produsen pembuat tersebut tidak berakhir hanya dengan menempatkan menempatkan suatu produk dalam sirkulasi. Produk yang dibawa ke pasar tanpa petunjuk cara pemakaian dan peringatan atau petunjuk dan peringatan yang sangat kurang/tidak memadai menyebabkan suatu 83
Endang Sri Wahyuni, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 73.
produk dikategorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Hal ini berlaku bagi peringatan sederhana, misalnya “ simpan di luar jangkauan anak-anak “ dan berlaku pula terhadap peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk tertentu.
Peringatan
demikian
maupun
petunjuk-petunjuk
pemakaian
harus
disesuaikan dengan sifat produk dan kelompok pemakai. Dalam kaitan dengan penyampaian informasi tentang penggunaan produk kepada konsumen, maka peringatan untuk obat-obatan selayaknya lebih lengkap dibanding dengan informasi untuk produk lainnya. Begitu pula jika kelompok pemakai adalah anak-anak, maka harus dicantumkan peringatan yang lebih jelas dan tegas. Kelalaian menyampaikan peringatan terhadap konsumen dalam hal produk yang bersangkutan memungkinkan timbulnya bahaya tertentu akan menimbulkan tanggung gugat bagi produsen, karena walaupun secara fisik produk tersebut tidak cacat, namun secara hukum produk tersebut dikategorikan sebagai produk cacat instruksi, karena dapat membahayakan konsumennya. Pembebanan tanggung gugat yang demikian hanya akan dibebankan kepada produsen manakala produsen tersebut mempunyai pengetahuan atau dapat mempunyai pengetahuan tentang adanya kecenderungan bahaya produk. Permasalahan
yang
sering
timbul
adalah
bahwa
produsen
telah
menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya, atau dapat pula terjadi bahwa peringatan itu telah disampaikan tapi tidak jelas atau tidak mengundang
perhatian konsumen untuk membacanya. Dalam kasus ER Squibb & Sons Inc V Cox, pengadilan berpendapat bahwa konsumen tidak dapat menuntut jika peringatannya sudah diberikan secara jelas dan tegas. Namun jika produsen tidak menggunakan cara yang wajar dan efektif untuk mengkomunikasikan peringatan itu, yang menyebabkan konsumen tidak membacanya, maka hal itu tidak menghalangi pemberian ganti kerugian pada konsumen yang telah dirugikan. Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen. Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai). Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca, atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. 84 Walaupun terdapat kewajiban bagi konsumen untuk mengikuti instruksi penggunaan suatu produk, namun instruksi tersebut tidak selamanya dipatuhi oleh konsumen, misalnya penggunaan suatu produk (obat-obatan) oleh dokter atau berdasarkan etiket produk tersebut telah diberikan instruksi bahwa pemakaiannya hanya dalam dosis tertentu, misalnya satu tablet per hari, namun konsumen sendiri yang tidak mematuhi instruksi tersebut. Kesalahan konsumen dalam penggunaan produk, juga banyak terjadi pada penggunaan obat bebas (obat tanpa resep). 84
Ibid, h. 60.
Walaupun obat bebas tersebut adalah obat yang dinyatakan oleh para ahli aman dan manjur apabila digunakan sesuai petunjuk yang tertera pada label beserta peringatannya, namun permasalahannya adalah mengobati diri sendiri dengan menggunakan obat bebas sesungguhnya bukanlah aktivitas yang mudah, sederhana dan selalu menguntungkan, karena tanpa dibekali dengan pengetahuan yang memadai, tindakan tersebuut dapat menyebabkan terjadinya ketidaktepatan penggunaan obat, yang bukannya menyembuhkan tetapi justru memperparah penyakit, memperburuk kondisi tubuh atau menutupi gejala yang sesungguhnya menjadi cirri utama penyakit yang lebih serius dan berbahaya. Instruksi yang disampaikan kepada konsumen suatu produk memang paling banyak berkaitan dengan produk obat-obatan, karena produk obat-obatanlah yang akan lebih banyak menimbulkan kerugian manakala konsumen melakukan kesalahan (ketidaksesuaian instruksi) dalam mengonsumsinya. Ini bukan berarti bahwa produk lain tidak membutuhkan instruksi tentang cara pemakaiannya, karena terhadap banyak produk lain, instruksi tersebut juga dibutuhkan oleh konsumen, karena setiap produk yang memiliki kemungkinan menimbulkan kerugian manakala terjadi penggunaan secara keliru seharusnya memiliki instruksi tentang cara pemakaiannya. Hak untuk mendapatkan informasi adalah salah satu hak konsumen yang paling mendasar. Melalui informasi yang benar dan lengkap inilah konsumen kemudian menentukan/memilih produk untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu, memberi informasi yang salah, menyesatkan dan tidak jujur melalui label, adalah
melanggar hak konsumen. Melanggar hak orang lain berarti pula melakukan perbuatan melanggar hukum.85 Oleh sebab itu, memberi informasi yang benar mengenai produk berarti membantu konsumen menentukan pilihannya secara benar dan bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhannya. Ini berarti pula memberi kesempatan kepada konsumen mempergunakan haknya yang lain, yaitu hak untuk memilih. Hendaknya produsen tidak mengharapkan konsumen memilih produknya karena konsumen khilaf atau sesat, tetapi benar-benar sebagai cerminan keinginan dan kebutuhannya. Dengan demikian, ada pegangan bagi produsen bahwa produknya benar-benar diminati dan dibutuhkan masyarakat, dan atas dasar inilah produsen menyusun kebijakan/strategi pengembangan melalui usahanya. Karenanya, memberi informasi yang benar (melalui label) adalah kebutuhan bersama antara konsumen dan produsen karena akan memberi keuntungan kepada produsen dan konsumen. Berkaitan dengan pentingnya informasi ini, Durrel B. Lucas dan Steuart Henderson Britt menggambarkan sebagai berikut : If consumers are well informed and armed with honest data, they will make choices that will end up maximizing their welfare, thereby promoting allocative efficiency 86 Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan 85
Yusuf Sofie & Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta, h. 59. 86 Celine Tri Siwi, Op.cit, h. 87.
dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan label dalam kemasan produk (barang). Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh (1) pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indicator yang jelas, dan (2) pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya khasiat tertentu padahal tidak. Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini : (1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya, (2) daya beli konsumen makin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen atau penjual. Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober 1998
membedakan konsumen berdasarkan hak ini.
87
Ia menyatakan, sebelum kita
melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu : a. Konsumen yang terinformasi (well-informed) b. Konsumen yang tidak terinformasi. Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah : -
Memiliki tingkat pendidikan tertentu;
-
Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan
-
Lancar berkomunikasi. Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab
dan relative tidak memerlukan perlindungan. Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciriciri, antara lain : -
Kurang berpendidikan;
-
Termasuk kategori kelas menengah ke bawah;
-
Tidak lancar berkomunikasi. Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab
Negara untuk memberikan perlindungan.
87
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit, h. 34.
Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh Negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif). Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi, akses kepada informasi yang tertutup, misalnya dalam praktik insider trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius. Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh masyarakat konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal dengan Consumer Ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif. 3.2 Pentingnya Pelabelan Pangan Bagi Konsumen Untuk Mendapatkan Perlindungan Informasi tentang pangan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena selama manusia hidup tidak akan pernah lepas dari yang namanya pangan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia. Artinya pangan adalah kebutuhan mendasar yang harus terpenuhi. Pangan yang cukup aman, bermutu, dan bergizi merupakan prasyarat utama yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan insan yang berharkat dan bermartabat serta sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan unsur terpenting dan sekaligus tujuan utama pembangunan nasional karena sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan nasional yang pada akhirnya ditentukan dengan tingkat konsumsi pangan / makanan yang bergizi serta tidak mengandung zat-zat kimia yang membahayakan kesehatan manusia serta terjaminnya ketersediaan pangan yang memadai serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Agar pangan yang aman tersedia secara memadai, perlu diupayakan terwujudnya suatu sistem pangan yang mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat yang mengkonsumsi pangan tersebut, maka pangan yang beredar dimasyarakat harus memenuhi persyaratan keamanan pangan. Peredaran pangan yang dikonsumsi masyarakat pada dasarnya melalui mata rantai proses yang meliputi produksi, penyimpanan, pengangkutan, peredaran hingga tiba ditangan konsumen. Agar mata rantai tersebut memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi makanan perlu diwujudkan suatu sistem pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang efektif dibidang keamanan , mutu dan gizi makanan.
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah, diperuntukan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku, dan bahan lainnya dalam diproses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan, dan minuman. Lebih lanjut pasal 1 ayat 1 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan makanan menyebutkan bahwa Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan, bahan baku makanan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Dalam hubungannya dengan masalah label, khususnya label pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasaran. Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk dari labelnya.
88
Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat menentukan
pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.89 Banyak masalah mengenai pangan terjadi di Indonesia. Hingga kini masih 88 89
Purwiyatno Hariyadi, Op.cit. Yusuf Shofie II, Op.cit, h. 15.
banyak kita temui pangan yang beredar di masyarakat yang tidak mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label, sehingga meresahkan masyarakat. Perdagangan pangan yang kedaluarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi makanan, makanan berformalin, makanan mengandung bahan pengawet, atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan. 90 Adalah UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa setiap label harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar. Produk pangan hendaknya tidak dinyatakan, didiskripsikan atau dipresentasikan secara salah, menyesatkan (misleading atau deceptive), atau menjurus pada munculnya impresi yang salah terhadap karakter produk pangan tersebut. Bahkan, diskripsi atau presentasi baik melalui kata-kata, gambar, atau cara lain hendaknya tidak secara sugestif, baik langsung atau tidak langsung, membuat konsumen mempunyai impresi dan asosiasi terhadap produk lain. Pengertian benar dan tidak menyesatkan berarti bahwa istilah yang digunakan pada label hendaknya diartikan sama, baik oleh pemerintah (untuk keperluan
90
Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen Cerdas Majalengka, 2009, “ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “, Diakses 30 Juni 2010, Available from : URL : http://www.konsumencerdas.co.cc
pengawasan), kalangan produsen (untuk keperluan persaingan yang sehat) maupun oleh konsumen (untuk keperluan menentukan pilihannya). Kebenaran suatu informasi pada label hendaknya dikaji dan dievaluasi dengan menggunakan prinsip ilmiah, yaitu berdasarkan pada fakta dan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting khususnya dalam hubungannya dengan perdagangan internasional. Namun, perlu disadari bahwa fakta dan data ini bisa saja berubah terhadap waktu. Bahkan bisa saja hal itu berbeda antar negara sehingga muncullah keperluan untuk melakukan transparansi informasi dan harmonisasi. Salah satu manfaat pencantuman informasi yang benar pada label dan iklan adalah untuk memberikan pendidikan kepada konsumen tentang hal yang berkaitan dengan pangan. Informasi penting yang umum disampaikan melalui label dan iklan tersebut antara lain berupa bagaimana cara menyimpan pangan, cara pengolahan yang tepat, kandungan gizi pada pangan tertentu, fungsi zat gizi tersebut terhadap kesehatan, dan sebagainya. 3.3 Ketentuan Label Pangan Terkait Asas Perlindungan Konsumen Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, maka produsen dan importir pangan berkewajiban untuk memberikan keterangan dan atau pernyataan yang benar dan tidak menyesatkan tentang pangan dalam label. Akan tetapi jika diperhatikan label pangan yang beredar saat ini terdapat beragam informasi di dalamnya, mulai dari nama produk tersebut hingga katakata/kalimat bombastis yang biasanya hanya untuk kepentingan promosi semata.
Untuk itu sebagai konsumen yang cerdas, maka kita harus membiasakan diri membaca/mengecek label dengan cermat. Sayangnya, dari hasil kajian yang dilakukan BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) ditemukan bahwa masalah label kurang mendapat perhatian dari konsumen dimana hanya 6,7% konsumen yang memperhatikan kelengkapan pada label. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan label pangan sesuai ketentuan pasal 1 angka 3 PP No. 69 Tahun 1999 adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Penggunaan kata ditempel pada pengertian label, menurut hemat penulis menimbulkan persoalan. Kata ditempelkan menimbulkan kesan bahwa label dapat ditempel kapan pun, padahal pada dasarnya label merupakan bagian tak terpisah dari kemasan. Penggunaan kata ditempel juga terkesan terpisah dan bisa dipalsukan. Selain bisa dipalsukan, label yang hanya berupa tempelan/stiker dapat dengan mudah dicabut, diganti kemudian dilabeli kembali oleh pelaku usaha yang curang. Label berupa stiker banyak ditemukan pada produk-produk impor. Hal ini pernah dikeluhkan oleh Ketua bidang Regulasi Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani. 91
91
“ Label Juga Harus Berbahasa Indonesia “ diakses 21 Juni 2010, available from : http: //www.hukumonline.com.
Pelabelan kembali dengan cara mencabut, mengganti label tempelan sangat mudah untuk dilakukan, bila dibandingkan jika produk itu labelnya disertakan pada kemasan pangan atau yang dimasukkan ke dalam kemasan pangan. Kecenderungan untuk mencapai untung yang tinggi secara ekonomis ditambah dengan persaingan yang ketat di dalam berusaha dapat mendorong sebagian pelaku usaha untuk bertindak curang dan tidak jujur. Kecurangan tidak hanya akan merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi pelaku usaha yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai melalui penindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan kecurangan dalam kegiatan usahanya. Asas manfaat dalam hukum perlindungan konsumen, menekankan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keamanan dan keselamatan konsumen menekankan bahwa keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan dijamin oleh Undang-Undang. Dengan adanya peluang untuk berbuat curang dalam pelabelan karena ketentuan yang ada terlalu mudah, maka potensi kerugian bagi konsumen dan pelaku
usaha yang jujur semakin besar. Sehingga jelas dalam hal ini asas manfaat dan asas keselamatan dan keamanan konsumen tidak terpenuhi. Guna terpenuhinya asas manfaat, asas keamanan dan keselamatan konsumen, tidakkah baiknya penggunaan kata ditempel pada pengertian label dihilangkan saja, karena dengan menghilangkan kata ditempelkan, maka dapat membuat label menjadi satu dengan kemasan. Penghilangan kata ditempelkan pada pengertian label setidaknya juga akan meminimalisir terjadi kecurangan-kecurangan seperti yang telah disebutkan diatas. Dari hasil kajian Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ditemukan bahwa penyimpangan terhadap peraturan pelabelan yang paling banyak terjadi salah satunya adalah label yang ditempel tidak menyatu dengan kemasan. Pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 menyebutkan : (1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. (2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa : (1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan. (2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Hal yang sama juga ditentukan dalam pasal 111 ayat (3) Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Point a, c, d dalam pasal 3 ayat (2) dalam pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 disebut sebagai bagian utama dari label. Yang dimaksud dengan bagian utama yaitu bagian yang memuat keterangan paling penting untuk diketahui konsumen. Nama produk penting karena nama produk menunjukkan identitas mengenai produk pangan. Padanya harus memberi penjelasan mengenai produk yang bersangkutan, tidak menyesatkan dan harus menunjukkan sifat dan atau keadaan yang sebenarnya. Bila terdapat gambar dalam label produk, gambar ini harus menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Misalnya, disuguhkan gambar buah-buahan, sayur, daging, ikan atau lainnya harus benar mengandung bahan-bahan itu. Penggunaan nama produk pangan tertentu yang sudah terdapat dalam Standar Nasional Indonesia, dapat diberlakukan dengan wajib dengan Keputusan Menteri Teknis. Dengan perkembangan teknologi di bidang pangan maka terdapat produk pangan tertentu yang tidak atau belum memiliki nama produk, misalnya makanan ringan yang dikenal dengan dengan istilah snack seperti chiki, tazzoz, dan lain-lain. Oleh karena itu cukup dicantumkan nama jenis produk pangan yang bersangkutan, seperti makanan ringan. Nama produk berbeda dengan nama dagang. Nama dagang adalah merek. Merek sebagaimana diterangkan adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur yang merupakan tanda pembeda produk yang satu dengan produk lan. Misal, nama produk : minyak goreng, nama dagang/merek : sania. Berat bersih (isi bersih) adalah pernyataan yang memberikan keterangan mengenai kuantitas atau jumlah produk pangan yang terdapat di dalam kemasan atau wadah. Penggunaan ukuran isi (liter dan sejenisnya) untuk makanan cair, ukuran berat (kg dan sejenisnya) untuk makanan padat. Dan ukuran isi atau berat untuk makanan semi padat atau kental. Khusus pangan yang menggunakan medium cair maka berat bersih harus diukur dengan medium cair (setelah ditiriskan, drained weight), dan disebut sebagai berat tiris. Contoh berat bersih 680 g. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia juga merupakan bagian utama dari label. Dalam hal pihak yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia berbeda dengan pihak yang mengedarkan, maka nama dan alamat pihak yang mengedarkan (distributor) juga harus dicantumkan dalam label. Pentingnya mencantumkan nama dan alamat ini adalah untuk memudahkan konsumen jika dikemudian hari produk yang dihasilkan menimbulkan kerugian pada konsumen. Nama dan alamat ini paling tidak menginformasikan nama kota, kode pos dan nama Negara. Daftar bahan yang digunakan (ingredient list) adalah daftar yang memuat setiap jenis bahan yang diformulasikan untuk produk pangan, kecuali vitamin, mineral, dan zat penambah gizi lainnya. Dicantumkan berurutan secara menurun mulai dari bahan yang dominan digunakan berdasarkan berat. Untuk air, bila dalam proses pengolahan ditambahkan maka harus dicantumkan sebagai bahan yang
digunakan, sedangkan bila merupakan kandungan suatu bahan atau mengalami penguapan selama proses pengolahan, maka air tidak perlu dicantumkan. Penyebutan nama bahan baku harus dalam nama umum/nama yang lazim digunakan/ nama yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia. Misalnya untuk bahan gula, tidak dicantumkan sebagai sukrosa. Dengan dicantumkannya daftar bahan yang digunakan dalam label, konsumen dapat mengetahui apakah produk tersebut aman untuk dikonsumsi, hal ini penting karena mungkin saja konsumen ada alergi pada suatu bahan makanan tertentu. Tanggal kadaluarsa adalah batas akhir suatu makanan dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan oleh produsen (pasal 1 huruf d Permenkes RI No. 180/1985), sedangkan makanan daluwarsa adalah makanan yang telah lewat tanggal kadaluarsa (pasal 1 huruf c Permenkes RI No. 180/1985). Makanan yang rusak baik sebelum dan maupun sesudah tanggal kadaluarsa dinyatakan sebagai bahan berbahaya (pasal 3 Permenkes RI No. 180/1985). Dari tanggal kadaluarsa yang tercantum pada label, konsumen dapat mengetahui batas tanggal suatu produk makanan masih layak dikonsumsi. Akan tetapi dari pengertian yang diberikan dalam pasal 3 Permenkes RI No. 180/1985, dapat diketahui bahwa belum tentu juga makanan yang masih dalam batas kadaluarsa aman untuk dikonsumsi. Jalan yang harus dilalui suatu produk dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen terkadang melalui mata rantai yang panjang. Panjangnya mata rantai yang
harus dilalui mengakibatkan banyak gangguan yang membuat makanan tak layak dikonsumsi sampai ke tangan konsumen meski secara de jure masih aman. Pencantuman masa kadaluarsa ini didasarkan pada aspek keamanan (parameter utamanya adalah cemaran mikrobiologi, seperti jamur dan bakteri pembusuk makanan) serta kelayakan konsumsi (parameter utamanya adalah organileptik: penampakan, rasa, tekstur, bau, kandungan kimiawi). Jangan pernah mengkonsumsi produk yang telah melewati masa kadaluarsanya. Dikhawatirkan ini menjadi pencetus timbulnya gejala keracunan atau jika bakteri yang berkembang seperti Clostridium botulinum maka dapat menyebabkan kematian. Gejala awal umumnya muntah-muntah maupun mual. Oleh sebab itu masyarakat sebagai konsumen harus proaktif dan kritis dalam menanggapi hal ini. Beberapa waktu yang lalu pun di media sempat ramai oleh berita beredarnya produk kadaluarsa di pasar-pasar tradisional yang dijual dengan harga yang sangat murah dari harga sebenarnya. Bahkan ada juga produsen yang mendaur ulang produk kadaluarsanya menjadi produk baru lagi. Tentulah kegiatan seperti tersebut diatas tidak boleh dilakukan dan melanggar peraturan yang ada. Pemerintah perlu melakukan tindakan pengawasan yang lebih baik lagi dan produsen harus menarik produknya dari peredaran sebelum waktu kadaluarsanya habis dan memusnahkannya sesuai prosedur yang berlaku. Semua produk pangan yang akan dijual di wilayah Indonesia, baik produksi lokal maupun impor, harus didaftarkan dan mendapatkan nomor pendaftaran dari Badan POM, sebelum boleh diedarkan ke pasar (pasal 30 PP No. 69 Tahun 1999).
Selain nomor pendaftaran, kode produksi pangan pun wajib dicantumkan pada label, wadah atau kemasan pangan. Kode produksi dicantumkan pada bagian yang mudah dibaca dan dilihat. Peraturan ini berlaku bagi semua produk pangan yang dikemas dan menggunakan label sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi Badan POM, nomor pendaftaran ini berguna untuk mengawasi produk-produk yang beredar di pasar, sehingga apabila terjadi suatu kasus akan mudah ditelusuri siapa produsennya dan akan mudah pula melakukan penarikannya. Apabila kita melihat pada produk-produk makanan dan minuman yang beredar di supermarket, toko, warung dan pasar, maka nomor pendaftaran dapat kita temukan di bagian depan label produk pangan tersebut dengan kode SP, MD atau ML yang diikuti dengan sederetan angka. Nomor SP adalah Sertifikat Penyuluhan, merupakan nomor pendaftaran yang diberikan kepada pengusaha kecil dengan modal terbatas dan pengawasan diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kodya, sebatas penyuluhan. Nomor MD diberikan kepada produsen makanan dan minuman bermodal besar yang diperkirakan mampu untuk mengikuti persyaratan keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan nomor ML, diberikan untuk produk makanan dan minuman olahan yang berasal dari produk impor, baik berupa kemasan langsung maupun dikemas ulang. Bagi produsen yang mempunyai beberapa lokasi pabrik yang berlainan, namun memproduksi produk yang sama, maka nomor MD yang diberikan adalah
berdasarkan kode lokasi produk. Sehingga dapat terjadi suatu produk pangan yang sama, akan tetapi mempunyai nomor MD yang berbeda karena diproduksi oleh pabrik yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan produsen bila terjadi suatu kasus terhadap suatu produk dari merek tertentu, yang mengharuskan terjadinya menghentian produksi atas produk tersebut. Maka yang terkena penghentian produksi hanyalah di lokasi yang memproduksi produk MD yang terkena masalah. Nomor pendaftaran tetap berlaku sepanjang tidak ada perubahan yang menyangkut komposisi, perubahan proses meupun perubahan lokasi pabrik pengolah dan lain-lain. Apabila terjadi perubahan dalam hal-hal tersebut di atas, maka produsen harus melaporkan perubahan ini kepada Badan POM, dan bila perubahan ini terlalu besar, maka harus diregistrasi ulang. Akhir-akhir ini semakin banyak produsen yang menggunakan jasa produksi dari pabrik lain, atas istilah tol manufaktur atau maclon. Dalam kasus ini, nomor MD adalah diberikan kepada pobrik yang memproduksi produk tersebut. Sehingga apabila produsen tersebut akan mengalihkan produksinya ke pabrik lain, maka harus mendaftar ulang kembali ke Badan POM. Sejauh ini pendaftaran makanan dan minuman untuk seluruh wilayah Indonesia ditangani langsung oleh Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM. Untuk makanan dalam negeri diperlukan fotokopi izin industri dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Formulir Pendaftaran dapat diperoleh di Bagian Tata Usaha Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM, Gedung D
Lantai III, Jalan Percetakan Negara No. 23 Jakarta Pusat, Telp. 021-4245267. Setelah formulir ini diisi dengan lengkap, kemudian diserahkan kembali bersama contoh produk dan rancangan label yang sesuai dengan yang akan diedarkan. Penilaian untuk mendapatkan nomor pendaftaran disebut penilaian keamanan pangan. Pada dasarnya klasifikasi penilaian pangan ada dua macam, yaitu penilaian umum dan penilaian ODS (One Day Service). Penilaian umum adalah untuk semua produk beresiko tinggi dan produk baru yang belum pernah mendapatkan nomor pendaftaran. Penilaian ODS adalah untuk semua produk beresiko rendah dan produk sejenis yang pernah mendapatkan nomor pendaftaran. Bagian keempatbelas PP No. 69 Tahun 1999 ada menentukan mengenai keterangan lain pada wajib dicantumkan pada label untuk pangan olahan tertentu. Pasal 38 Keterangan pada Label tentang pangan olahan yang diperuntukan bagi bayi, anak berumur dibawah lima tahun, ibu yang sedang hamil atau menyusui, orang yang menjalani diet khusus, orang lanjut usia, dan orang berpenyakit tertentu, wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampak pangan tersebut terhadap kesehatan manusia. Pasal 39
Pasal 40
(1). Pada Label untuk pangan olahan yang memerlukan penyiapan dan atau penggunaan nya dengan cara tertentu, wajib dicantumkan keterangan tentang cara penyiapan dan atau penggunaannya dimaksud. (2). Apabila tercantum keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mungkin dilakukan pada Label, maka pencantuman keterangan dimaksud sekurang-kurangnya dilakukan pada wadah atau kemasan Pangan. Dalam hal mutu suatu pangan tergantung pada cara penyimpanan atau memerlukan cara penyimpanan khusus, maka petunjuk tentang cara penyimpanan harus dicantumkan pada Label.
Lebih lanjut Pasal 15 PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa keterangan pada label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf Latin. Dalam bagian penjelasan dari pasal ini disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan olahan yang diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia. Khusus bagi pangan olahan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini. Kemudian pasal 16 menyebutkan : (1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan pangan ke luar negeri. (2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah dibaca. Ketentuan pasal ini tidak ada penjelasannya sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dan dapat pula ditafsirkan macam-macam. Bagian mana dari label itu yang boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam Bahasa Indonesia, hal ini tidak diberi penjelasan. Apa semua keterangan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 jo pasal 12 PP No. 69 Tahun 1999 boleh menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya. Sejak implementasi liberalisasi perdagangan dalam kerangka perdagangan bebas Asean China (Asean China Free Trade Agreement/ACFTA), praktis ketakutan terhadap membanjirnya produk impor makin kuat. Pasalnya, sebelum tarif sejumlah
sektor dibebaskan, produk impor terutama dari China telah beredar dengan bebas. Pasar Indonesia kini tengah menjadi sasaran empuk bagi produk impor, terutama dari China, seperti biskuit, permen, coklat, susu dan minuman ringan. Produk-produk tersebut beredar di pasaran tanpa mengindahkan ketentuan label sebagaimana ditentukan dalam PP No. 69 Tahun 1999, khususnya menyangkut masalah bahasa. 92 Bahasa yang digunakan dalam label produk tersebut masih bahasa asal produk yakni China. Darimana konsumen akan tahu mengenai nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa, keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, cara penyimpanan dan atau keterangan lain yang perlu diketahui, termasuk mengenai dampak pangan tersebut terhadap kesehatan manusia bila bahasa yang dipergunakan bukan bahasa Indonesia. Penggunaan label dengan bahasa Indonesia saja kadang bisa tidak dimengerti/dipahami konsumen, apalagi produk selain bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia pada label pangan memiliki peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko 92
“ YLKI Minta BPOM Tindaklanjuti Temuan Pangan Tanpa Label “, diakses 26 Oktober
2010, available from : http://m.antaranews.com
kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang dibelinya. Bagaimana konsumen tahu bahwa produk tersebut cocok, aman, bermanfaat baginya bila ia tidak paham. Keterangan atau penjelasan pada label terkait dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan konsumen. Konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau mengonsumsi produk (khususnya pangan). 93 Dengan demikian, setiap produk baik dari segi komposisi bahannya, dari desain dan kontruksinya, maupun dari segi kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen. Tidak dikehendakinya adanya produk yang dapat mencelakakan dan mencederai konsumen. Disinilah arti penting label, karena dari label konsumen dapat mengetahui adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan dirinya atau menerangkan secara lengkap perihal produknya sehingga konsumen dapat memutuskan apakah produk tersebut cocok. Informasi dalam label tidak hanya berdampak signifikan dalam meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk, tetapi di satu sisi label dengan informasi yang lengkap yang dapat dipahami konsumen akan mampu meningkatkan 93
“ Wajib Label Jangan Setengah Hati “,diakses 02 September 2010, available from :
http://bataviase.co.id
kesetiaan konsumen terhadap suatu produk, dan hal ini tentu akan memberikan keuntungan tersendiri bagi pelaku usaha. Pengecualian penggunaan bahasa Indonesia dalam label karena tidak ada padanannya atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia justru akan membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan produk pangan yang tidak dimengerti oleh konsumen sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan, karena pesan informasi tidak ditangkap konsumen, karena kendala bahasa. Dalam hal demikian, asas manfaat, asas keamanan dan keselamatan konsumen, asas kepastian hukum tidak dapat dipenuhi Permasalahan dalam pasal 16 PP No. 69 Tahun 1999 tidak hanya diberikannya lagi peluang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam label, permasalahan lainnya juga pasal tersebut tidak memberi penjelasan, dalam hal perdagangan pangan ke luar negeri (ekspor) bahasa apa yang harus dipergunakan. Bahasa Inggris, bahasa Latin, atau bahasa lain. Pasal 27 (1) Tanggal, bulan dan Tahun kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib dicantumkan secara jelas pada Label. (2) Pencantuman tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah pencantuman tulisan “Baik digunakan sebelum” sesuai dengan jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan. (3) Dalam hal produk pangan yang kadaluwarsanya lebih dari 3 (tiga) bulan, diperbolehkan untuk hanya mencantumkan bulan dan tahun kedaluwarsa saja.
Meski telah ditegaskan bagaimana penulisan pencantuman label kadaluarsa, tetapi hingga kini masih banyak produk yang tidak mengikuti ketentuan penulisan tersebut. Banyak produk yang masih memakai Bahasa Inggris dan aturan penanggalannya, seperti :
“ manufacturing or packing date “ (diproduksi atau
dikemas tanggal), “ sell by date “ (dijual paling lama tanggal), “ use by date “ (digunakan paling lama tanggal), “ date of minimum durability / best before ” (sebaiknya digunakan sebelum tanggal), “ exp ” (daluwarsa) yang diikuti angkaangka. Bahkan tak jarang pula hanya berisi angka-angka melulu yang bagi masyarakat awam tentu akan menimbulkan tanda tanya. Dalam hal demikian, asas manfaat, asas keadilan, kepastian hukum, asas keamanan dan keselamatan konsumen tidak terpenuhi. Mengapa tidak terpenuhi, karena pencantuman tanggal kadaluarsa pada label produk tidak hanya bermanfaat bagi konsumen, tetapi juga bagi distributor, penjual maupun produsen itu sendiri, yaitu : a. Konsumen dapat memperoleh informasi yang lebih jelas tentang keamanan produk tersebut; b. Distributor dan penjual makanan dapat mengatur stok barangnya (stock raotation); c. Produsen dirangsang untuk lebih menggiatkan pelaksanaan “ quality control “ terhadap produknya.
BAB IV TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA DALAM PELANGGARAN LABEL PANGAN
4.1 Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan Konsumen Hukum hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sarana menciptakan ketentraman dan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum akan tumbuh dan berkembang bila masyarakat menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum sendiri ialah untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat 94. Hukum juga dituntut untuk memenuhi nilai-nilai dasar hukum yang meliputi keadilan, kerugian/ kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum yang mengatur perlindungan konsumen tentu saja di tuntut pula untuk memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun kadang-kadang bila salah satu nilai tersebut tercapai nilai yang lain menjadi terabaikan. Keefektivan hukum bila di kaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka menurut G.G Howard dan R.S Summers ada faktor yang mempengaruhinya : a. Undang-undangnya harus dicanangkan dengan baik. Kaidah-kaidah yang bekerja mematuhi tingkah laku itu harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian; 94
Soerjono Soekanto ,1986, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h. 13.
b. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik dan harus menafsirkan peraturan tersebut secara seragam dan sedapat mungkin senafas dengan bunyi penafsiran yang mungkin dicoba dilakukan oleh warga masyarakat yang terkena; c. Aparat penegak hukum harus bekerja tanpa jenuh untuk menyidik dan menuntut pelanggar-pelanggar. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Oleh karena itu, persoalan konsumen untuk memperoleh perlindungan sebagai bagian dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya mewujudkan ide-ide tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan karena adanya kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya hukum dapat efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan struktur hukum yang berupa lembaga-lembaga penegak hukum sebagai sarana bagi pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan sistem hukum dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik. Keterlibatan negara atau pemerintah saja belum dapat menjamin terpenuhinya atau berjalannya suatu sistem hukum karena ddalam suatu sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman meliputi tiga hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
kultural hukum, a legal system is actual operation is complex organism in which sructure, substance and culturale interaction. Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) agar hukum (termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999) bisa menentukan corak hidup masyarakat(yang dalam hal ini corak hidup masyarakat selaku konsumen maupun pelaku usaha) bukanlah hal yang mudah, sebab banyak faktor yang mempengaruhinya, di samping bahwa dalam setiap individu akan tergantung pada pilihan-pilihan individu secara rasional untuk taat atau tidak taat kepada ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang No 8 Tahun 1999). The law, for Pound should act so to assure the maximum amount of fulfillment of interests in a society.95 Individu akan selalu memilih aktifitas yang menguntungkan baginya dan menghindari yang paling merugikan baginya di dalam area of choice menuntut tingkat rasional (yang paling baik). Perilaku rasional ini paling tidak berorientasi pada perilaku kebiasaan, nilai-nilai etik dan kebutuhan-kebutuhan individu. Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat konsumen dan pelaku usaha maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil teori Robert Seidman, yaitu bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga komponen dasar yakni pembuat hukum/ Undang-undang, birokrat pelaksana dan pemegang peran.
95
Dragan Milovanovic, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publishers, New York, h. 89.
Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran. Setiap anggota masyarakat (para konsumen dan pelaku usaha) sebagaimana pemegang peran, perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan darinya, namun bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut adalah 96: a. Sanksi yang terdapat dalam peraturan; b. Aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum; c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran. Perilaku konsumen dan pelaku usaha tentu saja juga tidak lepas dari tingkat pengetahuan, sikapnya terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, sehingga kemudian menimbulkan niat untuk berperilaku. Fishbein dan Ajzen mengenalkan model hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Menurut Hobbs dan Freud, bahwa pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan karenanya cenderung memuaskan kepentingannya sendiri. Akibat dari sifat manusia yang cenderung ingin memuaskan kepentingannya sendiri itu, maka sering menimbulkan benturan-benturan dengan fihak lain yang apabila hal ini dibiarkan terus berlangsung akan menciptakan penyimpangan sosial (deviasi sosial). Dalam hal ini peranan hukum sebagai upaya pembentukan perilaku sosial dalam diri seseorang untuk mampu berbagi kepentingan dengan orang lain diperlukan.
96
Satjipto Rahardjo, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), h. 36.
Ketaatan yang rendah terhadap hukum juga dimungkinkan karena warga masyarakat konsumen kurang memahami norma-norma tersebut, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui akan manfaaatnya untuk mematuhi akidah tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gastra Van Loon, bahwa efektifnya suatu perundang-undangan secara sederhana berarti tujuannya tercapai. Hal ini sangat tergantung berbagai faktor, antara lain tingkat pengetahuan tersebut dan pelembagaan dari Undang-undang pada bagian-bagian masyarakat sesuai dengan ruang lingkup undang-undang tadi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindungan hukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis ini biasanya dilakukan di Pengadilan. Pada hakekatnya perlindungan hukum itu berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan yaitu memberikan atau mengatur hak-hak terhadap subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya.
Perlindungan konsumen adalah merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya.
Mewujudkan
perlindungan
konsumen
adalah
mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91 dimaksudkan dalam upaya memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat konsumen. Oleh karena itu tanggung jawab pelaku usaha atas informasi yang tidak memadai dalam label menjadi kebutuhan yang mutlak. Tuntutan tanggung jawab merupakan perlindungan hukum represif sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Tanggungjawab yang dimiliki oleh suatu pihak dalam interaksinya dengan pihak lain seharusnya dipenuhi manakala akibat dari kesalahan dari perbuatannya menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Tanggungjawab ini harus dipenuhi tidak saja atas kesalahan perbuatan dari orang yang menjadi tanggungannya atau kerugian yang ditimbulkan akibat dari barang yang berada di bawah pengawasannya, hal ini dapat dicermati dari ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Dalam ketentuan pidana masalah perlindungan konsumen juga memperoleh perhatian sebagaimana diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan ini terutama berkaitan dengan hak konsumen untuk memperoleh informasi secara benar. Dari uraian tersebut maka dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat meliputi berbagai aspek dan dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu instrumen hukum perdata, instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum administrasi. 4.2
Tanggung Jawab Perdata Pelaku UsahaDalam Pelanggaran Label Pangan Produsen sebagai pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut
serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat yang menunjang bagi pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha. Etika bisnis merupakan salah satu pedoman bagi setiap pelaku usaha. Prinsip business is business , tidak dapat diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin, pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi pada peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan. Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatannya (pasal 7 angka 1) berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggungjawab
untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang pelaku usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnnya di bidang usaha. Atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka kepadanya dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi sebagai akibat hukum pelanggaran ini penting, mengingat bahwa menciptakan iklim berusaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Untuk ini sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula manakala telah terjadi pelanggaran (rehabilitasi) sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama. Terkait dengan pelanggaran pada label produk pangan yang dilakukan pelaku usaha, terdapat sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU Pangan maupun PP No. 69 Tahun 1999. Sanksi ini dapat berupa sanksi perdata, pidana maupun administratif. Bagi pelaku usaha, selain dibebani kewajiban sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya ternyata juga dikenakan larangan-larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan 17 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen. b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat, dan yang menyesatkan konsumen. Masuk dalam kualifikasi larangan kedua ini adalah pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha dalam pelabelan. Di samping adanya hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha, ada tanggung jawab produk (Product Liability) yang harus dipikul oleh pelaku usaha sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat kegiatannya dalam berusaha. Sehingga diharapkan adanya kewajiban dari pelaku usaha untuk selalu bersikap hatihati dalam memproduksi barang/jasa yang dihasilkannya. Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur khusus dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Pasal 19 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 20 Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pasal 21 (1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. (2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. Pasal 22 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila: a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut; b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 25 (1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut : a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila : a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi : a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu : a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu prinsip
yang
menyatakan
bahwa
seseorang
baru
dapat
diminta
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.97 Prinsip ini adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip ini dipegang secara teguh. Pasal 1365 KUH Perdata lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melanggar hukum, yang mempunyai empat unsur pokok, yaitu: 1. Adanya perbuatan 2. Adanya unsur kesalahan 3. Adanya kerugian yang diderita 4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Yang dimaksud dengan kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “ hukum “ tidak hanya bertentangan dengan Undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal 163 HIR atau 283 Rbg dan pasal 1865 KUH Perdata. Disitu dikatakan, barang siapa yang mengakui mempunyai hak, harus membuktikan adanya hak atau 97
Innosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, h. 48.
peristiwa itu. Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et altarem partem atau asas kedudukan yang sama antara pihak yang berperkara. b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of libility), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat. Pembuktian semacam ini lebih dikenal dengan sistem pembuktian terbalik. Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
rupanya
mengadopsi
system
pembuktian ini, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19, 22, 23 dan 28. Dasar pemikiran dari teori pembuktian terbalik ini adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk
selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah. d. Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict libility). Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminology diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiaannya. Selain itu ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan kedua pada ada tidaknya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam). Menurut R.C. Hoeber et.al, biasanya prinsip tanggungjawab mutlak ini diterapkan karena (1) konsumen tidak berada dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktuwaktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah
komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “ menjerat “ pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggungjawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal : (1) Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk; (2) Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan produk yang baik; (3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat (konsumen) tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang dideritannya. Selebihnya diterapkan strict liability. e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).
Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Kembali pada ulasan mengenai product liability. Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti “ tanggung gugat produk “ atau juga “ tanggung jawab produk “. Secara historis product liabity lahir karena ada ketidak seimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Revolusi industry yang melanda Eropa dan kemudian menyebar ke daratan Amerika Serikat menitik beratkan production centered development , dengan basis utamanya
adalah
industrialisasi.
Tujuan
pembangunan
adalah
pencapaian
pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin, dengan memperbesar saving, sementara
capital output ratio ditekan serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan terarah kepada mekanisme pasar, dan optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan capital. 98 Produsen lalu secara bebas dan leluasa memproduksi barang dan melemparkan hasil produksinya itu ke pasar tanpa perlu mencermati kualitas dan mutu barang. Pihak konsumenlah yang dituntut untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam membeli barang-barang tersebut demi keselamatan dirinya. Hal ini sesuai dengan adagium yang berlaku waktu itu : caveat emptor konsumen selaku pembeli haruslah berhati-hati. Perkembangan sejarah dunia kemudian mencatat tumbuhnya kesadaran dunia akan martabat manusia yang perlu dihormati. Hak-hak asasi manusia diperjuangkan dan diberi tempat yang tinggi dalam peradaban manusia. Tuntutan penghormatan akan hak-hak asasi ini melanda juga dunia industry dan perdagangan, sehingga mengakibatkan bergesernya adagium caveat emptor menjadi caveat venditor produsenlah yang harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan dan memasarkan barang-barangnya. Adagium caveat venditor mewajibkan pabrik dan produsen sebagai penjual bersikap cermat, agar barang-barang hasil produksinya tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan dan keselamatan konsumen, karena pihak konsumen memiliki hak asasi untuk mendapatkan barang-barang yang tidak mengandung cacat. Dalam suasana perdagangan inilah product liability sebagai instrument hukum perlindungan konsumen lahir. 98
John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 86.
Pengertian product liability dapat ditemukan pada beberapa sumber berikut, Henry Campbell dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan product liability sebagai berikut : Refers to the legal liability of manufacturers and sellers to compensate buyers, users, and even bystanders, for damages or injuries suffered because of defect in good purchase. Menurut Natalie O’Connor : Product Liability, These were designed to protect the consumer from faulty or defective goods by imposing strict liability upon manufacturers. Menurut Hursh : Product liability is the liability of manufacturer, processor or nonmanufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie menyatakan : Product Liability is the liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product. Sedangkan dalam convention on the Law Applicable to Products Liability (The Hague Convention), article 3 menyatakan: This convention shall applay to the liability of the following persons: 1. manufacturers of a finished product or of a component part; 2. producers of a natural product; 3. suppliers of a product; 4. other persons, including repairers, and warehousemen, in the commercial chain of preparation or distribution of a product. It shall also apply to the liability oh the agents or employees of the persons specified above.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan jika dilihat dari konvensi tentang product Liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badanbadan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda. Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal yang sudah kita kenal selama ini. Tanggung jawab produk, barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk (produsen) itu (Strict Liability). Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung pelaku usaha. Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau membahayakan, bahkan juga pemakai yang turut menjadi korban, merupakan
tanggung jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk itu sebagaimana diatur dalam pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan penerapan tanggung jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dia dapat membuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjadi tidak dapat di persalahkan kepadanya. Pada dasarnya konsepsi tanggung jawab produk ini, secara umum tidak jauh berbeda dengan konsepsi tanggung jawab sebagaiman diatur dalam ketentuan Pasal 1365 (dan 1865) KUHPerdata. Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah pihak yang menderita kerugian dapat membuktikan bahwa cacatnya produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan akibat kesalahan yang dilakukan oleh produsen. Perbedaan lainnya adalah ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan produsen, apakah sebagai konsumen, sesama produsen, penyalur, pedagang atau instansi lain. Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang menyebabkan urgenitas penerapan instrumen hukum product liability : 1. Hak para konsumen Indonesia yang bagian terbesar adalah rakyat sederhana perlu ditegakkan sebagai konsekuensi penghormatan hak asasi manusia.
2. Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) yang telah diratifikasi Indonesia, pada prinsipnya menekankan adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara produsen dan konsumen. 3. Tata hukum positif tradisional yang masih berlaku di Indonesia selama ini, tidak memberikan solusi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak konsumen. Tata hukum positif nasional hanya menyediakan dua sarana penyelesaian kasus gugatan oleh konsumen yang mengalami kerugian yaitu instrumen hukum wanprestasi (pasal 1243 KUH Perdata) instrumen hukum perbuatan melangaar hukum (pasal 1365 KUHPerdata). 4. Tanggung jawab produk ini memang riil dibutuhkan mengingat pada tanggung jawab produk ini tidak mengharuskan adanya hubungan kotraktuil antara produsen dan konsumen, disamping juga adanya pembuktian terbalik oleh pelaku usaha. 5. Seturut dengan teori fungsional dari hukum adalah bahwa hukum merupakan instrumen pengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Hukum haruslah menjadi sarana rekayasa sosial yang oleh Roscoeu Pound hukum adalah a tool of social engineering Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social Climate Theory, yaitu : 1. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk
menanggung
beban
kerugian,
dan
pada
setiap
kasus
yan
mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory. 2. Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual. Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal : pertama, bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen, kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian/kecelakaan, ketiga, adanya kerugian. Namun juga diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya tidak ada modifikasi-modifikasi). Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah : a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation),
b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian, c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis, d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat, f. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut, g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence), h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur. Dengan diberlakukannya prinsip strict liability diharapkan para produsen dan industriawan di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati
dalam memproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen, baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli produksi Indoensia. Namun demikian, dengan berlakunya prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Pentingnya hukum tentang tanggung jawab produsen (product liability) yang menganut
prinsip tanggung mutlak (strict
liability) dalam
mengantisipasi
kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang terlalu menguntungkan pihak produsen, sementara produsen memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat. 4.3 Tanggung Jawab Pidana Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan Disamping mempunyai aspek keperdataan, hukum perlindungan konsumen juga mempunyai aspek pidana. Karena itu, hukum perlindungan konsumen adalah juga bagian dari hukum pidana. Jelasnya, hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan di atas ada yang bernuansa publik sehingga dapat dipertahankan melalui hukum pidana. Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi kejahatan. Artinya, perbuatan produsen yang merugikan/melanggar hak konsumen yang bertentangan
dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai instrument pidana. Mengenai penerapan hukum pidana dalam upaya mewujudkan hak-hak konsumen, David Tench menuliskan pengalaman di negaranya sebagai berikut : 99 With the great expansion in consumer law we have experience to our great satisfaction mostly-in recent years we are now beginning to wonder whether the criminal law is the right way to control commercial behavior in the market place. Obviously, where questions are involved, the criminal law will be necessary, and consumers will always require some part of consumer law to remain criminal. Penuturan David Tench diatas, menunjukkan keampuhan hukum pidana dalam menanggulangi perilaku-perilaku curang para pelaku ekonomi, khususnya bidang hukum ekonomi, yang umumnya dimuat dalam bagian akhir dari undangundang tersebut, menunjukkan fungsi hukum sebagai pengendali. Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUH Pidana atau diluar KUH Pidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat perlengkapan Negara yang diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk itu. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LN 1981 No. 76) menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping polisi, pegawai negeri sipil tertentu juga diberi wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan.
99
Janus Sidabalok, op.cit, h. 59.
Penerapan KUHPidana dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh karena itu keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan hukum atau kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat memberatkan konsumen. Oleh karena itu fungsi perlindungan sebagian kepentingan konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku tindak pidana. Di dalam KUH Pidana
tidak disebutkan kata “ konsumen “. Kendati
demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain : -
Pasal 204 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan, menerimakan, atau membagi-bagikan barang, sedang diketahuinya bahwa barang itu berbahaya bagi jiwa atau keselamatan orang dan sifatnya yang berbahaya itu didiamkannya dihukum pernjara selama-lamanya lima belas tahun.”
-
Pasal 204 ayat (2) dalam pasal ini menentukan : “Kalau ada orang mati lantaran perbuatan itu si tersalah dihukum penjara seumur hidup atau penjara selamalamanya dua puluh tahun.”
-
Pasal 205 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan barang yang berbahaya bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan atau dibagi-bagikan , sedang si pembeli atau yang memperolehnya tidak mengetahui akan sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-lamanya sembilan bulan atau kurungan selamalamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).”
-
Pasal 205 ayat (2) dari pasal ini menyatakan : “Kalau ada orang mati lantaran itu, maka si tersalah dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
-
Pasal 205 ayat (3) menyatakan : “Barang-barang itu dapat dirampas.”
-
Pasal 382 bis menyatakan : “Barangsiapa melakukan perbuatan menipu untuk mengelirukan orang banyak atau seseorang yang tertentu dengan maksud akan mendirikan atau membesarkan hasil perdagangannya atau perusahaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, dihukum, karena bersaing curang, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.13.500,- (tiga belas ribu lima ratus rupiah) jika hal itu dapat menimbulkan sesuatu kerugian bagi saingannya sendiri atau saingan orang lain.”
-
Pasal 383 menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan dihukum penjual yang menipu pembeli yaitu yang sengaja menyerahkan barang lain daripada yang telah ditunjuk oleh pembeli dan tentang keadaan, sifat atau banyaknya barang yang diserahkan itu dengan memakai alat dan tipu muslihat.”
-
Pasal 386 ayat (1) menyatakan : “Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau minuman atau obat, sedang diketahuinya bahwa barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”
-
Pasal 386 ayat (2) dari pasal ini menyebutkan : “Barang makanan atau minuman atau obat itu dipandang palsu, kalau harganya atau gunanya menjadi kurang sebab sudah dicampuri dengan zat-zat lain.”
-
Pasal 387 ayat (1) menyatakan : “Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun dihukum seorang pemborong atau ahli bangunan dari suatu pekerjaan atau penjual bahan-bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan-bahan bangunan itu melakukan suatu alat tipu, yang dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan negara pada waktu ada perang.”
-
Pasal 387 ayat (2) dari pasal ini mengatur dengan hukuman itu juga dihukum : “ Barangsiapa diwajibkan mengawas-ngawasi pekerjaan atau penyerahan bahanbahan bangunan itu dengan sengaja membiarkan akal tipu tadi.”
-
Pasal 390 menyatakan : “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menurunkan atau menaikkan
harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.” Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan adalah jika pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, sedang pelaku usaha itu mengetahui dan menyadari bahwa barang-barang itu berbahaya bagi jiwa atau kesehatan si pemakai barang dimana pihak pelaku usaha (produsen) tidak mengatakan atau menjelaskan tentang sifat bahaya dari barangbarang tersebut, tapi jika pelaku usaha yang akan menjual barang yang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan, mengatakan terus terang kepada konsumen tentang sifat berbahaya itu maka tidak dikenakan pasal ini. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen hal ini tercantum dalam pasal 18.
Barang-barang yang termasuk dalam pasal 204 dan 205 KUHPidana
tersebut misalnya makanan, minuman, alat-alat tulis, bedak, cat rambut, cat bibir dan sebagainya. Sedangkan dalam pasal 382 bis dan 383, 387, 390 KUHPidana dalam pasal 382 bis, yaitu adanya persaingan yang curang dimana pelaku usaha melakukan suatu perbuatan menipu konsumen baik konsumen itu terdiri dari publik atau seorang yang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu keuntungan di dalam perdagangan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha lainnya. Pasal 383 adanya perbuatan penjual menipu pembeli misalnya saja kualitas/mutu suatu barang dimana penjual barangnya yang sudah lama/tua kepada pembeli dan mengatakannya pada pembeli bahwa barang tersebut adalah barang baru. Pasal 386 adanya perbuatan yang dilakukan oleh penjual dengan menjual barang palsu dan kepalsuan tersebut disembunyikan oleh pihak penjual. Misalnya
penjual memalsukan barang makanan atau minuman dengan cara membuat barang lain yang hampir serupa, atau menyampurinya dengan bahan-bahan lain sehingga harga, kekuatan, guna atau kemanjurannya dapat berkurang. Pasal 387 adanya perbuatan penipuan yang dilakukan pihak pemborong atau ahli bangunan yang dapat membahayakan jiwa orang lain, misalnya suatu gedung yang baru dibangun, roboh karena tidak kuatnya pondasi dari bangunan, hal ini bisa terjadi karena bahan-bahan yang digunakan tidak memadai hal tersebut terjadi karena adanya perbuatan penipuan dari seorang pemborong atau ahli bangunan, sehingga merugikan masyarakat. Pasal 390 adanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu menyiarkan kabar bohong yaitu dengan cara mempromosikan atau mengiklankan harga atau tarif suatu barang/jasa, tanggung atau jaminan, hak ganti rugi atau suatu barang dan jasa, adanya penawaran potongan harga atau hadiah menarik. Sanksi pidana dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur dalam pasal 61, 62 dan 63. Pasal 61 : Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak daja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Hal ini menurut Nurmandjito merupakan upaya yang bertujuan menciptakan sistem bagi
perlindungan konsumen.
100
Melalui ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan
sebagai subjek hukum pidana. Pasal 62 : (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Ketentuan pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai tingkat pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha,
yaitu pelanggaran
yang
mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, terhadap ilustrasi yang dikemukakan berkenaan dengan ketentuan pasal 61 sebelumnya, persoalan pidananya diselesaikan berdasarkan ketentuan KUHP sepanjang akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh PT sebagai subjek hukum, memenuhi kualifikasi luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian konsumen.
100
Nurmandjito, Op.cit, hal. 30.
Hal lain yang juga dapat diketahui dari ketentuan ini, bahwa sanksi pidana yang dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ada 2 (dua) tingkatan, yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), dan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Khusus menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam rumusan pasal 62, khususnya pasal 62 ayat (3) masih perlu ditinjau kembali karena akibatakibat dari pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 62 ayat (3) tersebut, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikualifikasi sebagai kejahatan. Sanksi pidana yang berupa denda sebagaimana dikemukakan diatas, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dalam jenis hukuman pokok, sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 10 yang menentukan bahwa : Hukuman-hukuman ialah : a. Hukuman-hukuman pokok : 1. Hukuman mati, 2. Hukuman penjara, 3. Hukuman kurungan, 4. Hukuman denda. b. Hukuman-hukuman tambahan ; 1. Pencabutan beberapa hak tertentu,
2. Perampasan barang tertentu 3. Pengumuman keputusan hakim. Menjadi masalah apabila sanksi pidana berupa denda yang dijatuhkan atas perbuatan pidana yang dilakukan pelaku usaha berbadan hukum, hanya dipandang sekedar “ ongkos “ sebagaimana halnya ongkos yang harus dikeluarkan dalam rangka operasional produksi suatu perusahaan. Demikian hal ini lebih jelasnya dikemukakan oleh Susanto bahwa, melihat praktek penegakan hukum terhadap pelanggaranpelanggaran yang dilakukan korporasi,agaknya bagi korporasi, pelanggaran hukum hanya dipandang sekadar ongkos, yakni biaya atau pengurangan dari keuntungan “ melalui denda “ yang dikalkulasikan dan diperhitungkan sebelumnya dengan cara yang sama seperti halnya dengan setiap ongkos yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan dan memasarkan produk dari korporasi yang bersangkutan. Adanya pidana denda yang dipandang sebagai sekedar ongkos operasional produksi atau pemasaran seperti itu, aan mengakibatkan perusahaan sebagai subjek hukum pidana tidak menjadi jera atau sanksi pidana yang dimaksud tidak mengubah perilaku perusahaan yang dimaksud. Akibatnya perbuatan pidana dapat selalu berulang. Jika hal ini terjadi berarti sanksi pidana denda saja, masih belum cukupteristimewa sanksi pidana denda yang dimaksud jumlahnya kecil-sehingga harus ada pertimbangan terhadap kemungkinannya memberikan sanksi tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 63 UUPK. Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha. 4.4
Tanggung Jawab Administrasi Pelaku Usaha Dalam Pelanggaran Label Pangan Di atas sudah diuraikan bahwa Pemerintah memegang peranan penting dalam
upaya mewujudkan perlindungan hukum atas hak-hak konsumen, sebagaimana tipe Negara kesejahteraan. Peranan itu dapat dimainkan dalam tiga hal, yaitu regulasi, kontrol penaatan hukum/peraturan (termasuk punishment), dan social engineering. Pemerintah dalam permasalahan konsumen tidak bisa lepas tangan, dimana telah menjadi kewajiban Pemerintah untuk memperhatikannya sesuai dengan tujuan Negara yang tercantum dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, perlindungan konsumen dan penanganan masalah konsumen merupakan bagian tugas dari memajukan kesejahteraan umum secara luas. 101
Di
bidang
regulasi,
Pemerintah
dapat
mengambil
peran
melalui
pembuatan/penciptaan peraturan-peraturan yang berisikan pengakuan dan penegasan 101
Muhammad Djumhana, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 345.
hak-hak konsumen yang harus dihormati oleh pihak lain. Misalnya, membuat sejumlah peraturan yang harus dipenuhi oleh produsen dalam rangka memproduksi dan mengedarkan produknya ke masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan bahan baku, tahapan-tahapan produksi (pengolahan), pengemasan, pengangkutan, promosi, label dan periklanan, serta harga. Kemudian, Pemerintah perlu mengontrol / mengawasi penaatan terhadap peraturan-peraturan
tadi.
Sekedar
membuat
peraturan
tanpa
mengawasi
pelaksanaannya di lapangan tidaklah bermanfaat banyak. Justru yang paling penting itu adalah bagaimana produsen menaati peraturan tersebut di dalam usahanya memproduksi dan mengedarkan produknya. Dengan demikian, jangan sampai beredar ke masyarakat produk yang tidak memenuhi syarat (standar), yang kemudian dapat merugikan konsumen. Dalam kaitan ini, Agnes M. Toar mengatakan bahwa meskipun sudah banyak peraturan mengenai perlindungan konsumen, namun kontrol penaatan peraturan tersebut (masih) sangat kurang. Kontrol penaatan peraturan ini menjadi penting apabila berkaitan dengan produk yang berhubungan erat dengan kesehatan dan keselamatan manusia, seperti produk pangan. Tentu tidak perlu menunggu lebih dahulu jatuh korban keracunan makan baru kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap sarana dan prasarana produksinya. Akan tetapi, aparat Negara yang bertugas dan berwenang untuk ini harus proaktif memeriksa dan mengawasi proses produksi dan peredaran pangan tersebut.
Pelaksanaan peraturan perlindungan konsumen juga menjadi penting dalam kaitannya dengan pemberian hukuman (punishment) atas setiap pelanggaran ketentuan yang berlaku. Pemberian hukuman ini kadang kala menjadi suatu keharusan apabila pelanggaran itu sudah sedemikian rupa supaya tidak terulang lagu dan atau pihak lain tidak mengulanginya. Hukuman atau sanksi yang diberikan oleh Pemerintah ini berupa sanksi administratif yang dapat diterapkan secara berjenjang mulai dari teguran/peringatan, denda, sampai pada pencabutan ijin usaha. Akhirnya, faktor yang juga tidak kalah penting adalah faktor situasi dan kondisi yang memungkinkan produsen melakukannya dengan baik sekaligus yang memungkinkan untuk memperoleh hak-haknya. Artinya, harus tercipta iklim yang kondusif (bagi produsen) yang memberi kesempatan baginya untuk berperilaku sesuai dengan peraturan yang ada. Kondisi seperti tentulah tidak muncul begitu saja, tetapi harus diciptakan oleh Pemerintah. Tegasnya pihak Pemerintah harus memberi kebebasan yang cukup bagi produsen untuk memenuhi aturan hukum yang ada. Kesalahan Pemerintah di tahun-tahun sebelumnya adalah terlalu banyak pungutan yang dibebankan kepada produsen sehingga menimbulkan biaya tinggi, yang kemudian oleh produsen dijawab dengan tawaran berkolusi, yang pada gilirannya dapat merugikan konsumen dan bahkan kehidupan berbangsa secara umum. Kemudian, perlu juga iklim yang kondusif bagi konsumen untuk menuntut haknya manakala konsumen telah menderita kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk. Artinya, jika konsumen bermaksud mempertahankan atau menuntut haknya, seharusnya ia mendapat dukungan yang positif dari lembaga
eksekutif dan lembaga-lembaga Negara lainnya yang terkait. Tidak seharusnya aparat Pemerintah atau aparat keamanan berdiri di belakang produsen yang diduga merugikan konsumen, tetapi harus mengambil posisi yang netral. Aneh sekali kalau sekelompok konsumen menuntut haknya kepada produsen lalu pejabat Pemerintah berdiri sebagai juru bicara produsen yang menegaskan bahwa produsen tidak bersalah. Kecenderungan masyarakat berdelegasi ke Dewan Perwakilan Rakyat (daerah atau pusat) antara lain disebabkan oleh praktik ini, dimana lembaga Pemerintahan dirasa sudah tidak netral lagi. Berjalannya pengadilan sesuai dengan harapan masyarakat pencari keadilan juga banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik suatu Negara. Oleh karena itu, adalah tugas Pemerintah pula untuk menciptakan suasana sosial politik yang kondusif sehingga memungkinkan badan-badan peradilan berfungsi dengan baik. Artinya, hendaknya Pemerintah membiarkan dan menghormati kebebasan badan peradilan, bukan malah mempengaruhi jalannya peradilan. Akhirnya, tugas dan tanggungjawab Pemerintah pulalah untuk mengarahkan seluruh lapisan masyarakat, baik produsen, konsumen maupun aparat Pemerintah sendiri, untuk menaati hukum demi keadilan dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Jangan sampai timbul kesan bahwa kalau mematuhi hukum yang berlaku malah mendatangkan kerugian dan sebaliknya lebih menguntungkan kalau bertindak melawan hukum. Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum
secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administrative.102 Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Pemerintah kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, ijin-ijin tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah. Pencabutan ijin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hukum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut
dengan
bantuan hukum perdata dan/atau pidana. Campur tangan administrator Negara idealnya harus dilatarbelakangi itikad melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya disini terutama berkenaan dengan kesehatan dan jiwa. Itulah sebabnya, sejak prakemerdekaan peraturan-peraturan tentang produk pangan diawasi secara ketat. Syarat-syarat pendirian perusahaan yang bergerak di bidang tersebut dan pengawasan terhadap proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati. Peraturan-peraturan masa kolonial itu bahkan cukup banyak yang masih berlaku sampai sekarang. 102
Shidarta, Op.cit, hal. 95.
Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini. 1. Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian, karena penguasa sebagai pihak pemberi ijin tidak perlu meminta persetujuan dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan, mungkun dari instansi-instansi Pemerintah terkait. Sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan. Memang, bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk “ membela diri “, antara lain mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif. 2. Sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “ jera “ bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibanding dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen dihadapkan pada posisi tawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si produsen. 103 Walaupun secara teoritis instrument hukum administrasi ini cukup efektif, tetap ada kendala dalam penerapannya, dimana sanksi administrasi sangat jarang dijatuhkan oleh Pemerintah terhadap produsen. Pemerintah masih mengandalkan inisiatif konsumen untuk mempersalahkannya. Pemerintah nampaknya menjadikan 103
Shidarta, op.cit, h. 96.
sanksi administrative ini sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentu saja, kedua pertimbangan tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan konsumen tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang cukup. Dalam kaitannya dengan pelabelan produk pangan, dalam pasal 61 PP No. 69 Tahun 1999 disebutkan : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. peringatan secara tertulis; b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan atau; f. pencabutan izin produksi atau izin usaha. (3). Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, c, d, e dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan sebanyak – banyaknya tiga kali. (4). Pengenaan tindakan administrative sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuai dengan kewenangannya berdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan. Hal yang sama disebutkan pula dalam pasal 57 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen bentuk pertanggungjawaban administratif yang dapat dituntut dari produsen sebagai pelaku usaha diatur di dalam pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang : a. Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen (pasal 19 ayat (2) dan ayat (3)); b. Periklanan yang tidak memenuhi syarat (pasal 20); c. Kelalaian dalam menyediakan suku cadang (pasal 25); dan d. Kelalaian memenuhi garansi/jaminan yang dijanjikan. Berdasarkan ketentuan pasal 60 UUPK, maka pelaku usaha yang lalai memenuhi tanggung jawabnya, maka dapat dijatuhi sanksi yang jumlahnya maksimum Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ganti kerugian tersebut merupakan bentuk pertanggunggugatan terbatas, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menganut prinsip ganti kerugian “ subjektif terbatas “. Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian subjektif terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai Negara yang industrinya masih dalam perkembangan dinilai tepat. Oleh karena, disamping memberikan perlindungan kepada konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian yang tanpa batas. Masalah lain yang muncul dari rumusan pasal 60 tersebut adalah untuk siapa uang Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tersebut. Apabila untuk konsumen yang dirugikan, maka bagaimanakah kalau jumlah konsumen yang dirugikan cukup
banyak. Masalah-masalah inilah yang harus diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara penetapan sanksi administratif tersebut.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 1. Ketentuan pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum memenuhi asas-asas perlindungan konsumen yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keselamatan dan kepastian hukum. Hal mana dapat dilihat dari pengertian label sendiri yang masih menimbulkan persoalan. Penggunaan kata ditempel pada pengertian label, menimbulkan kesan bahwa label dapat ditempel kapan pun, padahal pada dasarnya label merupakan bagian tak terpisah dari kemasan. Penggunaan kata ditempel juga terkesan terpisah dan bisa dipalsukan. Selain bisa dipalsukan, label yang hanya berupa tempelan/stiker dapat dengan mudah dicabut, diganti kemudian dilabeli kembali oleh pelaku usaha yang curang. Masih dimungkinkannya pengecualian terhadap penggunaan bahasa Indonesia juga menyebabkan asas-asas perlindungan konsumen menjadi terabaikan. 2. Dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat meliputi berbagai aspek dan dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu instrumen hukum perdata, instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum administrasi. Oleh karena itu pelanggaran oleh pelaku usaha terhadap ketentuan label pangan dapat dikenakan pertanggungjawaban atau sanksi secara perdata, pidana dan administratif. Sanksi secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi
administrative. Sanksi administratif ini seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana, oleh karena, pertama, sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak, kedua sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “ jera “ bagi pelakunya, nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibanding dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen dihadapkan pada posisi tawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si produsen. 5.2
Saran
1. Untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam masalah pelabelan pangan, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999) yang memuat panduan yang lebih kongkrit dan jelas mengenai label pangan. Dengan adanya rambu rambu dan peraturan yang jelas dari pemerintah, maka konsumen terlindungi dari kemungkinan label yang tidak benar, atau bahkan menyesatkan. Konsep label hendaknya disusun dengan tidak hanya bertujuan menjual, tetapi juga jujur sekaligus mendidik konsumen. 2. Pemerintah melalui instansi-instansi terkait perlu melakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen, rendahnya kesadaran konsumen akan hak dan
kewajibannya diakibatkan salah satunya oleh karena masih kurangnya upaya pendidikan konsumen oleh pemerintah. Disamping itu Pemerintah baik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih baik dan lebih ketat terhadap pelaku usaha dalam peredaran produk pangan, khususnya produk pangan yang tidak memperhatikan ketentuan pelabelan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdoel Djamali, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta. Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta. Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Adi Nugroho, Susanto, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ali, Achmad, 2002, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Cetakan Kedua, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta. __________, 1988, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta. Ali, Mansyur M, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta. Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Ashsofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, St. Paul Minn West Publishing Co. Cohen, Morris L. Kent. C. Olson. 2000, Legal Research, West Group, USA.
Djumhana, Muhammad, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang. Fuadi, Munir, 1994, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Fauzan, Ahmad, 2006, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Yama Widya, Bandung. Friedman, Lawrence M. 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung. Gaspersz, Vincent, 1988, Sistem Informasi Manajemen (Suatu Pengantar), Armico, Bandung. Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. Hartono, Sri Redjeki, 2000, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung. Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada akhir abad 20, Alumni, Bandung. Marzuki, Peter, Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, M. Toar Agnes, 1998, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Mertokusumo, Sudikno, 1996, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta. Milovanovic, Dragan, A Primer in the Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publishers, New York. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mustafa, Bachsan, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasution, A.Z., 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Nurmandjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Mandar Maju, Bandung. Pieris, John dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Kadaluarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______________, 1977, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Raja Guguk, Erman, et. All, 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta. Riswandi, Budi Agus, 2003, Hukum Internet, UII Press, Yogyakarta. Samford, Charles, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwell Ltd, UK.
Samsul, Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab
Mutlak,
Universitas
Indonesia,
Fakultas
Hukum
Pascasarjana. Sasongko, Wahyu,
2007, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan
Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju, Bandung. Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Bogor. Sidabalok, Janus, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta. Shidarta, Bernard Arief, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Shofie, Yusuf, 2007, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Ghalia-Indonesia, Jakarta. ___________, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung. ___________, 2002, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
___________, & Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai Persoalan Mendasar BPSK, Piramedia, Jakarta. Simatupang, Taufik, 2004, Aspek Hukum Periklanan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Soemitro, Romy Hanitidjo, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. ________________, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta. ________________,1986, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung. ________________ & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta. Soesilo, Zumroetin K., 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta. Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sulastri, C. Tantri D.,1995, Gerakan Organisasi Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jakarta. Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta. Thaib, Dahlan, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum, dan Konstitusi, Yogyakarta, Liberty. Tri Siwi Kristiyanti, Celine, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.
Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis 2008, Denpasar. Usman, Rachmad, 2003, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Wahyuni, Endang Sri, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Walters, Malcolm ,1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London. Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Widyahartono, 1983, Industri Informasi dalam Dekade 80-an (Informatie Industrie In de Jarem Tachtig D. Overkleeft), Alumni, Bandung.
Artikel Dalam Format Elektronik (Internet) Amran Tanjung, Ali, Pengaturan, Penggunaan dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ”. Diakses 1 Desember
2011,
avalaible
from
http://repositoryusu.ac.id/handle/123456789/199922. Amstrong Sembiring, 2010, “ Menyoal Hak-Hak Konsumen “, diakses 8 Juni 2010, available from URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id Dedi Barnadi – YLBK (Yayasan Lembaga Bantuan Konsumen) Konsumen Cerdas Majalengka, 2009,
“ Makanan Jajanan (Street Food) Anak Sekolah “,
Diakses
30
Juni
2010,
Available
from
:
URL
:
http://www.konsumencerdas.co.cc Endrah, 2009, “ Kasus Tentang Perundangan Pangan “ diakses 2 Agustus 2010, available From URL : http://endrah.blogspot.com. Fatmawati, Ari, 2011, “ Konsumen dan Label “. Diakses 1 Desember 2011, available from http://eprints.ums.edu.my/1436/1ae00000000209.pdf. Hetami, Kamila 2009, “Pelabelan Produk Pangan Yang Mengandung Bahan Rekayasa Genetika Sebagai Wujud Azas Keterbukaan Informasi ”. Diakses 1 Desember 2011, avalaible from http://eprints.undip.ac.id/18037/1/Kamila Hetami. Purwiyatno Hariyadi, 2009, “ Mencermati Label dan Iklan Pangan “, diakses 29 Juni 2010, available from URL : http://www.republika.co.id “ Label Juga Harus Berbahasa Indonesia “ diakses 21 Juni 2010, available from : http: //www.hukumonline.com. “ YLKI Minta BPOM Tindaklanjuti Temuan Pangan Tanpa Label “, diakses 26 Oktober 2010, available from : http://m.antaranews.com “ Wajib Label Jangan Setengah Hati “,diakses 02 September 2010, available from : http://bataviase.co.id
Peraturan Perundang-Undangan Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Peraturan Pemerintah No. 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 180/Menkes. Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.