PP. Nurur Riyadhah Probolinggo - Kemenag Jatim

51 downloads 147 Views 551KB Size Report
hanya bahasa Inggris dan Arab saja – sebagaimana galibnya ... Belajar Bahasa Asing Melalui Doa nya terdapat ... ngan cepat mengakses bahasa asing. Yang.
PP. Nurur Riyadhah Probolinggo

Belajar Bahasa Asing Melalui Doa Pernah dengar pesantren tempat penggemblengan bahasa asing? Itu terdapat di ujung Timur Probolinggo. Tak hanya bahasa Inggris dan Arab saja – sebagaimana galibnya pondok modern, tapi juga bahasa Jerman, Perancis, Rusia, Portugis, Belanda, Spanyol, Jepang, Cina, Thailand, India, atau sebut saja

KH. Muhammad Khusnadi Sholeh

bahasa dunia yang lain. Jika tak percaya, datang saja ke desa Alas Tengah Timur. Untuk menuju lokasi pesantren, aksesnya juga tak rumit. Jarak dari pertigaan Paiton hanya sekitar 3 Km ke arah selatan menuju Pakuniran. Setelah melewati Polsek Paiton dan Perumahan karyawan PLTU Paiton, ada jalan berkelok melintasi areal persawahan yang kini belum menguning. Lalu terhamparlah suasana pedesaan nan asri, dengan pohon-pohon rindang menjulang. Di bawahnya ada dua anak sungai yang mengalir deras. Di sebelah kiri sungai irigasi dan sisi kanannya adalah anak sungai dari pegunungan. Tak berselang lama perjalanan, di sebelah kanan jalan terpampanglah papan nama pondok pesantren Nurur Riyadhah. Di belakang-

nya terdapat pohon bambu yang berjajar rapat. Meski waktu Shubuh telah lama berlalu, “pondok bahasa” itu masih diselimuti gulita pagi yang berkabut. Jam pun menunjukkan pukul 05.30 Wib. Tapi para santri sudah mengasah kemampuan bahasa asing mereka. Uniknya, itu tak dila-

Ustad Muhammad Nurul Qomar

kukan di ruangan kelas. Mereka bergerombol di halaman tengah pesantren, yang ditumbuhi sederetan pohon mangga. Para santri itu terbagi menjadi dua kelompok besar. Sisi Barat pohon mangga kelompok bahasa Inggris, sedangkan di sisi Timurnya adalah kelompok bahasa Arab. Setelah itu, mereka terpecah ke dalam kelompok-kelompok kecil; dua orang-dua orang yang berdiri saling berhadap-hadapan. Masing-masing kelompok terlihat asyik ber-cas cis cus satu sama lain. Suasana pagi pun ramai oleh suarasuara santri yang dengan semangat melakukan percakapan bahasa asing. Keriuhan itu terdengar indah karena ditingkahi kicauan burung-burung dari balik pohon bambu yang mengitari pesantren. “Saban pagi dan malam hari mereka biasa mela-

kukan kegiatan seperti ini,” tutur ustadz Muhamamd Nurul Qomar ikhwal kegiatan santri tersebut. Gemblengan bahasa itu merupakan menu wajib santri. Meski lebih mengutamakan pendidikan salafiyah, namun pesantren ini sengaja membekali para santri dengan skill bahasa asing. “Nantinya dari kegiatan ini akan ditingkatkan menjadi hari wajib berbahasa asing,” tukasnya. “Lagipula bahasa asing telah menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan di tengah percaturan global,” ujar Bendahara Yayasan Pondok Pesantren Nurur Riyadhah ini menambahkan. Kegiatan semacam itu memang kebilang terlambat. Sebab sudah jauh hari pondok dengan luas 2 hektar ini dikenal masyarakat luas sebagai “pondok bahasa”. Pasalnya, selama ini banyak sekali masyarakat dari luar Probolinggo yang datang ke sini untuk “mengambil” penguasaan bahasa asing dengan waktu singkat. “Kan tidak lucu, kita dikenal sebagai pesantren bahasa tapi santri di sini malah tak dibekali kemampuan berbahasa asing,” tutur ayah satu anak ini dengan senyum. Sejak tahun 1980-an, KH. Muhammad Khusnadi Sholeh memang kerap membantu masyarakat perihal penguasaan bahasa asing. Meski pengasuh pondok ini bukanlah sarjana linguistik ataupun jebolan Fakultas Bahasa dan Sastra, namun dirinya saggup “mengeluarkan” bahasa asing cukup dalam waktu dua jam saja. Itulah yang menjadi daya tariknya. Bayangkan, hanya dengan waktu dua jam peluang pemguasan bahasa dari berbagai belahan dunia terbuka lebar. Tak ayal jika sejak pesantren berdiri di tahun 1995, sudah banyak masyarakat dari berbagai daerah yang datang ke sana. “Bahkan pernah ada orang bule yang datang dan me-

Bangunan utama PP. Nurur Riyadhah serta suasana para santri yang sedang mengasah bahasa asing di pagi hari

MPA 317 / Pebruari 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd 27

1/28/2013, 12:36 PM

27

Rimbun. Di balik pepohonan bambu inilah pesantren berada

minta diajari penguasan bahasa Indonesia dan Madura secara kilat,” ungkap ustadz Nurul Qomar meyakinkan. Tentu saja Gus Sholeh, panggilan akrab Kiai Khusnadi Sholeh, tak memanfaatkan waktu singkat itu untuk memberikan kursus bahasa. Maka jangan harap ada fasilitas laboratorium bahasa yang wah, atau ruang multimedia yang canggih. Bahkan di sana tak terdapat tumpukan buku-buku asing, kamus bahasa, majalah berbahasa Arab, atau surat kabar berbahasa Inggris. Apalagi media digital yang dengan cepat mengakses bahasa asing. Yang ada justru tumpukan kitab-kitab kuning yang lusuh karena setiap hari dikaji para santri. Fasilitas kursus dan aneka perlengkapannya memang tak dipentingkan atau bahkan tidak dibutuhkan di sini. Sebab cara penguasaan bahasa asing yang dilakukan memang sama sekali berbeda dengan yang lain. Para peminat bahasa disuguhi air putih yang telah diberi doa-doa oleh sang pengasuh pesantren. “Itu adalah sarana membuka aura fitrah bahasa,” ucap Gus Sholeh singkat. Yang dipahamkan pada masyarakat, tutur pria kelahiran Probolinggo 12 Juni 1963 ini, wilayah tautan kebahasaan dalam diri manusia selama ini disandarkan pada otak manusia. Oleh karenanya, metode pembelajarannya pun selalu diarahkan pada wilayah otak. “Padahal bahasa itu berangkat dari hati yang dikeluarkan melalui bahasa otak. Dan otak manusia itu tidak sejernih hati,” paparnya. “Keuntungan penguasaan bahasa semodel ini, bahasa yang telah dikuasai tidak akan pernah sirna. Hanya jika lama tak digunakan ya terasa kaku saja,” kilahnya. Baginya, kemampuan berbahasa adalah fitrah yang dimiliki semua orang. Setiap manusia dibekali suratan tersebut sejak lahir seperti

28

Guru Sebaya. Para santri sedang belajar bersama

halnya rezeki, umur dan jodoh. “Aura fitrah adalah aura kesucian laksana bayi. Di sanalah tersimpan bibit bahasa. Sayangnya bibit tersebut banyak terpengaruh lingkungan sekitar, sehingga hanya bahasa tertentu saja yang kuat,” urainya. “Jadi tugas saya hanyalah membuka fitrah itu. Sifatnya cuma melenturkan lidah dan tenggorokan sajalah,” kilahnya. Semua orang, apapun agamanya, pasti bisa dibuka fitrahnya. Sebab tiada keterkaitan antara fitrah dengan agama. Hanya saja, meski semua orang bisa dibuka, tentu tingkatan kefasihan berbahasa bisa saja berbeda. Sebab setelah aura fitra bahasa itu terbuka, lanjut putra kedua pasangan Jauhari dan Fatimah ini, keberhasilan penguasan bahasa tersebut masih memerlukan dua tahapan lagi. “Karena bahasa yang keluar masih campur semisal Cina dan Inggris, maka harus dilakukan

pemisahan bahasa agar lebih terfokus,” jelasnya. Proses pemisahan tersebut membutuhkan waktu tiga hari. Selama tiga hari itu, peminat bahasa harus memperbanyak doa-doa tertentu. Setelah itu baru disempurnakan dengan proses pengertian atau penyempuranaan makna. Proses ini ditempuh setelah dua bulan dari pertama kali pembukaan. “Bisa saja kurang dari dua bulan. Asalkan pelafalan sudah bagus, maka peminat bahasa harus memperbanyak mendengarkan media sesuai dengan bahasa yang diinginkan,” sarannya. “Sebab itu untuk mempercepat mengasah pelafalan bahasa,” ujar Kiai asal Jabung ini. Mengenai persyaratan penguasaan bahasa asing di sini, tutur Gus Sholeh, sebenarnya cukup dengan berpuasa buahbuahan. Yakni menghindarkan diri dari makanan dan minuman yang terkena proses pemanasan api. Adapun lamanya pun bervariasi; ada yang 9 hari, 21 hari, hingga 41 hari. Tapi sejak tahun 2000-an, rupanya ada solusi alternatif. Bagi mereka yang berminat dan tak sanggup berpuasa buah, maka cukup dengan membayar “mahar”. Ada tiga varian mahar; yakni 650 ribu, 1 juta dan 1,5 juta. “Biaya tersebut sebagian digunakan untuk tasyakuran atas nama peminat bahasa. Dan sebagian lagi untuk operasional pesantren,” terangnya. “Sebab seluruh santri yang mukim di pesantren ini tak dipungut biaya sepeser pun,” ungkapnya. Perbedaan biaya itu hanya terletak pada prosesnya saja. “Sedangkan hasil penguasaan bahasa, tergantung masing-masing individu dari sisi keaktifannya mendengarkan media baik berupa video, lagu, berita atau membaca, dan juga berbicara,” ucap Kiai dengan 8 anak ini meyakinkan. “Dan yang terpenting, adalah keberanian untuk mempraktekkan,” imbuhnya mengingatkan.z Pri

MPA 317 / Pebruari 2013

02 LAYOUT B - HAL 26 - 43 - PEBRUARI 2013.pmd 28

1/28/2013, 12:36 PM