18 Mei 2013 ... cahaya matahari menjadi energi listrik disebut solar cell. (sel surya). ... A.
Maximum Power Point .... mengalami pemantulan dan pembiasan.
ISSN : 2338-2368 Vol. 1, No. 1, Tahun 2013
Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kelimpahan berkat, rahmat dan kesehatan yang diberikan, sehingga Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 ini dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 yang diadakan Knowledge Department, Keluarga Mahasiswa Kimia FMIPA UGM ini ini mengambil tema “Energi Terbarukan, Solusi Energi Masa Depan Bangsa” dan bertempat di Ballroom Hotel Santika Premiere Jogjakarta pada tanggal 18 Mei 2013. Prosiding ini berisi kumpulan makalah-makalah dari berbagai nusantara yang telah dipresentasikan dan didiskusikan pada acara seminar ini. Prosiding ini dibuat dengan tujuan memberikan pengetahuan bagi khalayak luas terkait penelitian dan perkembangan energi terbarukan. Yang diharapkan dapat menambah pengetahuan, komunikasi dan motivasi terkait energi terbarukan, sehingga aplikasi energi terbarukan dapat terus dikembangkan di Indonesia, demi terciptanya Indonesia yang mandiri energi. Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 ini berisi pemakalah dari universitas di Indonesia. Yang pada saat acara, pemakalah dibagi menjadi 2 yaitu presentasi oral dan presentasi poster. Adanya sesi diskusi pada sesi oral maupun poster diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pemakalah untuk terus berinovasi sekaligus menjadi koreksi diri untuk perbaikan dikemudian hari. Kami menyadari bahwa Prosiding ini tentu saja tidak luput dari kekurangan, untuk itu segala saran dan kritik kami harapkan demi perbaikan Prosiding pada terbitan tahun yang akan datang. Akhirnya kami berharap Prosiding yang terlampir ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.
Yogyakarta, 18 Mei 2013 Ketua Panitia
Daniel Oktavianto J
i
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL KIMIA 2013 “Energi Terbarukan, Solusi Energi Masa Depan Bangsa”
Pelindung
: Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Pratikno, M.Soc, Sc., Direktur Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada Dr. Drs. Senawi, M.P. Dekan FMIPA Universitas Gadjah Mada Drs. Pekik Nurwantoro, M.S., Ph.D.
Penasehat
: Ketua Jurusan Kimia FMIPA UGM Prof. Dr. Triyono, S.U
Penanggung Jawab
: Ketua Umum KMK Puguh Arif Nur Hidayat
SC
: Endhy Putra Kesuma Fadillah Putri Patria
Ketua Panitia
: Daniel Oktavianto Jusuf
Sekretaris
: Heriyanto
Bendahara
: Benny Wahyudianto Silke Arinda Maulina
Sie Acara
: Fandy Edward Mamahit Adimas Ammar Farasi Ermaya Puspita Ferry Rachmadani Saputra Firman Widyawan Tri Sulestio
Sie PDD
: Sofan Hadi Ahmad Fauzan Faisal Rizki Pratomo Margareta Dita P. Wahyu Dwi Widayanti
ii
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Sie Perlengkapan
: Abdul Afif Almuflih Azki Syaifi Aji Hafiz Aji Aziz Hamonangan Rekso Diputro Sitompul Mohammad Samsudin Hafid Roni Wicaksono
Sie Humas
: Iis Setyo Budi Arsyati Fitri P. Lusi Tersiana Muhammad Rif’at Riko Krisianto Wenggi Lavendi
Sie Dana Usaha
: Elvina Apriliani P. Debi Krisna Fajar Amelia Rachmawati Putri Kurniawan Eka Satrya Stevin Carolius Angga Tubagus Singgih
Sie Konsumsi
: Hariyanti Hutabarat Ayu Dewi Susiana Erry Nandya Noviarizki Setiyani Novitasari Restu Ananda
Sie KSK
: Putu Ayu Kenanga Harum Sari Tjana Citra Santikasari I Nyoman Agus Aryawan Karolina Martha Rina Setiyaningrum Trisatya Baskara
iii
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar Ketua Panitia .......................................................................................
i
Susunan Panitia ............................................................................................................
ii
Daftar Isi ......................................................................................................................
iv
ANALISIS PENGARUH JUMLAH BLADES PADA TURBIN ANGIN TERHADAP DAYA LISTRIK MENGGUNAKAN GENERATOR INDUKSI DENGAN SIMULASI MATLAB Moch. Miftachul Arif, Parmaputra W., M. Husni Faraby, Destiany P., Triwahju H. .....
1
ANALISIS PENINGKATAN EFISIENSI SEL SURYA DENGAN PENAMBAHAN LAPISAN SURFACE TEXTURING PADA PERMUKAAN ATAS SEL SURYA Fajar Pandega, Ferdiansjah .........................................................................................
8
ANALISIS POTENSI ENERGI TERBARUKAN BIOMASSA SAWIT DI DAERAH SEMUNTAI, KALIMANTAN TIMUR Lukita Wahyu Permadi, Ari Wibowo, Cindy Malfica ....................................................
14
BIOSOLUBILIZATION OF GAMMA IRRADIATION LIGNITE BY Penicillium sp. I. Sugoro, D. Sasongko, D. Indriani, P. Aditiawati .......................................................
19
KARAKTERISASI EKSTRAK KASAR SISTEM SELULASE POTENSIAL DARI Bacillus subtilis Yoni Rina Bintari, Evi Susanti ......................................................................................
24
KARAKTERISTIK RESERVOIR GEOTHERMAL Muhammad Destrayuda, Ruth Amelia, Nanda Ayu Safira Mariska ...............................
31
MOLLUSK SHELL WASTE OF ANADARA GRANOSA AS A HETEROGENEOUS CATALYST FOR THE PRODUCTION OF BIODIESEL Nurhayati, Muhdarina, Wiji Utami ...............................................................................
36
OPTIMASI FERMENTASI HASIL HIDROLISIS AMPAS TEBU MENJADI BIOETANOL MENGGUNAKAN RAGI TAPE Cahyaning Rini U., Evi Susanti ....................................................................................
40
iv
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
OPTIMASI HASIL SURFAKTAN DAN GLISEROL DARI MINYAK/LEMAK LIMBAH INDUSTRI KRIMER DITINJAU DARI SUHU PEMANASAN, KONSENTRASI KATALIS, DAN LAMA PEMANASAN Devy Kartika Ratnasari, A. Ign. Kristijanto, Sri Hartini ...............................................
46
OPTIMASI PRODUKSI BIOETANOL DARI NIRA NIPAH MENGGUNAKAN MIKROBA INDIGENOUS Saccharomyces spp. DENGAN VARIASI KONSENTRASI STARTER DAN GLUKOSA Warsono El Kiyat, Wiludjeng Trisasiwi, Gunawan Wijonarko ......................................
54
PENGARUH PERLAKUAN BASA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR BAGAS TEBU Anastasia Wheni Indrianingsih, Vita T. Rosyida, Roni Maryana ...................................
60
PENGARUH SUBSITUSI Ba TERHADAP KERAPATAN MEMBRAN PENGHANTAR ION OSKIDA LaCo0,8Fe0,2O3 Vivi Zulaicha, Wahyu Prasetyo, Hamzah Fansuri .........................................................
65
PENGOLAHAN AIR GAMBUT MENJADI AIR BERSIH DENGAN METODE AOP DI KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU Sutrisno Salomo Hutagalung, Anto Tri Sugiarto, Veny Luvita ......................................
73
PROPULSI MAGNETOHIDRODINAMIKA SEBAGAI ENERGI RAMAH LINGKUNGAN PADA KAPAL Yudha Megantara, M Wahyu Abdul Ghofur, Octavia Olga Citra Dewi, Marwah Firdausul Akmal, Bryan Hidayat Soelaiman, Triwahju Hardianto ................................
81
STUDI KINETIKA SEDERHANA REAKSI DEGRADASI GLISEROL DALAM MEDIA AIR SUBKRITIS Yuyun Yuniati, Mahfud, Sumarno ..................................................................................
86
STUDIES ON AUGMENTATION : RECIRCULATION SLURRY AND EM-4 TO BOOST BIOGAS PRODUCTION FROM Jatropha curcas Linn HUSK CAPSULE IN TWO STAGE DIGESTION Roy Hendroko, Satriyo K. Wahono, Ahmad Wahyudi, Praptiningsih, Tony Liwang, Salafudin, Andi Sasmito ...............................................................................................
91
WASTE COOKING OIL PRETREATMENT FOR PRODUCTION OF BIODIESEL Puji Hartono, Ratih Dyah Puspitasari, Angga Kurniawan, Rudy Syah Putra ................
100
v
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Analisis Pengaruh Jumlah Blades Pada Turbin Angin Terhadap Daya Listrik Menggunakan Generator Induksi Dengan Simulasi MATLAB Moch. Miftachul Arif1, Parmaputra W2, M.Husni Faraby3, Destiany P4,Triwahju H5 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Jember, Tegal Boto ,Jember 68121 Indonesia Telepon (0331) 484977 Facsimile (0331) 484977 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRACT Answering the problem of energy necessity which increase nowadays we need alternative friendly environment of power generator. In a PLTB, the most important component is turbine. Wind turbine is a machine with rotation of blade that convert wind kinetic energy into mechanic energy to rotate a rotor. Because of that, it needs optimal turbine design so it is also obtained optimal output power. And one of the factor of optimal turbine design is the total blade used. If wind turbine is designed at low tip speed ratio, the blade will be increasing. This research is continuing the experiment thas has been done by Mustaqim Indrawa titled “ Analysis and Simulation of wind turbine power generator at Watu Ulo Shore” From field observation, average wind speed of 4,209 m/s, 2 3 turbine area of 17,193 m , air density of 1,1626 kg/m and power coefficient (CP) of 0.59, then we analyze the relation of amount of the blade with electrical power using Matlab Simulink. The result of simulation shows the blade with amount as 2,3,6, and 8 have output power each of them as 1469, 2283, 3506 and 4628 Watt, so the more amount of blade used, the output power will be increasing. Key word : Amount of Blade, Tip Speed Ratio (TSR), Matlab Simulation PENDAHULUAN
masyarakat terhadap bahan bakar minyak (Kepres no.10 tahun 2005 tentang penghematan energi) dan meningkatkan pemanfaatan sumber energi alternatif terbarukan, seperti tenaga angin dan photovoltaic. Angin merupakan salah satu sumber energi terbarukan, artinya sumber energi yang dapat diperbaharui dan tidak akan pernah habis meskipun digunakan terus menerus. Sumber energi angin dapat dimanfaatkan dengan cara mengubah energi tersebut ke dalam bentuk energi mekanik yang lebih berguna. Alat yang berfungsi untuk mengubah energi angin menjadi energi mekanik disebut turbin angin. Energi mekanik yang dihasilkan oleh turbin angin dapat digunakan untuk menggerakkan beban seperti generator listrik, pompa air, dan lain-lain. Pengembangan desain turbin angin ke arah yang lebih sederhana sangat diperlukan, agar masyarakat dapat secara mandiri memanfaatkan potensi angin di daerahnya untuk memenuhi kebutuhan energi. Salah satu faktor perancangan desain yang optimal adalah pada jumlah sudu turbin angin. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh jumlah sudu pada turbin angin terhadap daya listrik dengan menggunakan generator induksi, dimana penelitian ini melanjutkan
Semakin meningkatnya kebutuhan energi dan menipisnya cadangan minyak bumi mendorong manusia untuk mencari sumber-sumber energi baru sebagai sumber energi alternatif. Hal ini mempengaruhi ketergantungan pada salah satu jenis energi dimana hingga saat ini pemakaian bahan bakar minyak masih menjadi sumber energi utama dan hampir semua sektor kehidupan menggunakan bahan bakar ini termasuk menyediakan energi listrik, sementara hal tersebut belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh pemerintah. Sumber daya listrik pemerintah selama ini memanfaatkan energi fosil khususnya minyak, batu bara, dan gas bumi yang merupakan sumber daya energi utama dan merupakan salah satu income sumber devisa negara. Kenyataannya cadangan energi fosil negara kita sangat kecil bila dibandingkan dengan cadangan minyak dunia. Di samping itu, dengan penggunaan yang terus menerus, persediaan kedua sumber energi di atas semakin lama akan habis dikarenakan kedua sumber energi tersebut merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui. Semakin berkurangnya cadangan minyak dunia, termasuk Indonesia, telah mendorong pemerintah untuk mengurangi ketergantungan
1
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
penelitian dari saudara Mustaqim Indrawa, yang mengobservasi kecepatan angin di Pantai Watu Ulo kabupaten Jember, dan hasil observasi itu diaplikasikan menggunakan simulasi MATLAB 7.11.1. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menghasilkan sebuah analisa berdasarkan perhitungan MATLAB bahwa jumlah sudu pada turbin angin yang menggunakan generator induksi akan berpengaruh terhadap estimasi pertambahan daya listrik. Dalam perencanaan pembangunan pembangkit listrik tenaga angin yang diperhitungkan adalah kecepatan angin yang tiap saat berubah-ubah. Maka daya yang dihasilkan akan berubah-ubah pula. [1]. Generator yang mudah untuk digunakan dalam pembangkit listrik tenaga angin adalah generator induksi 3 phasa. Karena generator tersebut tidak membutuhkan pasokan daya untuk eksitasi pada stator.Dalam hal ini kita bias melihat estimasi daya yang dihasilkan dari simulasi dengan menggunakan software-software statistika,salah satunnya adalah MATLAB 7.11.1
Flowchard dan tahapan penelitian dan simulasi
METODE PENELITIAN Perlatan dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Satu unit Komputer / laptop. Komputer digunakan untuk melakukan simulasi rancangan sistem serta melakukan analisis hasil simulasi. Computer ini didukung dengan perlengkapan hardware lainnya sehingga memudahkan dalam melakukan simulasi seperti mouse, keyboard, dan printer.
Study literatur Studi literatur yang digunakan adalah literatur baik dari jurnal nasional maupun jurnal internasional mengenai Pengaruh Jumlah sudu terhadap estimasi daya yang dihasilkan dapa PLT Angin.
b. Software Matlab 7.11.1. Perancangan dan simulasi sistem kendali menggunakan software Matlab 7.11.1 Alasan digunakannya software ini karena di dalam Matlab 7.11.1 telah memiliki kelengkapan untuk merancang dan melakukan simulasi konversi energi listrik. Khususnnya pada energy angin.
Pemodelan matematika pembangkit Listrik Tenaga Angin. Turbin angin dalam simulasi menggunakan MATLAB Math Function Blockset yang bertujuan agar dapat diubahubah karakteristik turbin sesuai dengan perhitungan model matematika. [2]
Prosedur Prosedur dalam penelitian ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Mensimulasikan listrik.
2
model
pembangkit
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Simulasi yang digunakan adalah dengan menggunakan Matlab 7.11.1 untuk mengetahui hubungan antara hubungan Jumlah sudu ,Tip Speed Ratio, dan estimasi daya yang dihasilkan.
perhitungan model matematika. Sedangkan model matematika dari turbin angin ini adalah sebagai berikut: [2]
1 Pm AV 3 ……..……………………..(4) 2
Melakukan pengujian respon simulasi sistem pembangkit yang telah dirancang. Pengujian respon ini dengan melihat grafik yang dihasilkan dari simulasi sehingga kita mampu menganalisis hubungan factorfaktor yang mempengaruhinnya.
1 Tm AV 2 RCT .….……………………(5) 2 353,049 ( 0,034 T ) .………………….(6) e T 2 n 2 R .………………….(7) , 60 v Cp 16 , C p 0,59 [3,12]…...……..(8) Ct 27 1 2 A 2 R …………………………….(9) 4
Analisis hasil simulasi Analisa dilakukan dengan melihat pengaruh jumlah sudu pada Pembangkit Listrik Tenaga angin terhadap estimasi daya yang dihasilkannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari persamaan matematika diatas dapat dikonversikan ke dalam bentuk blockset simulasi denagn menggabungkan beberapa fungsi matematika yang telah tersedia didalam software MATLAB 7.11.1 dan menyiapkan masukan dan keluaran dari blockset turbin angin tersebut. Inisialisasi masukan dan keluaran turbin angin yaitu: Masukan: R =Merupakan jari-jari dari radius rotor (m), V =Merupakan kecepatan angin pada titik pengukuran (ms-1), T =Suhu udara pada sebuah titik pengukuran (oK), Z =Elevasi ketinggian saat pengukuran kecepatan angin (m). N =Kecepatan putaran rotor (RPM).
Konsep Dasar Angin Energi kinetik dari uap denga masa udara m, dan bergerak dengan kecepatan V, dapat dirumuskan: [2,11]
1 E mv2 2
Z
…...………………………..(1)
Daya dari sebuah masa udara yang mengalir pada kecepatan V dan sebuah area lintasan angin A dapat dikal kulasikan sebagai: [2]
1 Daya Angin av 3 ( watt ) ………...(2) 2 Dimana : ρ = masa jenis udara (kg m -3); V = kecepatan angin (ms-1).
Keluaran: Pm = Daya mekanik turbin angin (W) Tm = Torsi mekanik turbin angin (N.m)
Area lintasan angin (A) adalah sebuah luasan dimana sebuah hembusan angin yang melewati sebuah turbin. Area lintasan angin (A) memiliki daerah lintasan membentuk lingkaran dengan jari-jari lintsan angin sama dengan jari-jari rotor (R). sehingga area lintasan angin (A) dapat direpresentsikan sebagai berikut [2]
1 A R 2 ………………………………..(3) 4 Turbin Angin Turbin angin dalam simulasi menggunakan MATLAB Math Function Blockset yang bertujuan agar dapat diubahubah karakteristik turbin sesuai dengan
3
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Gambar 1. Simulasi pembangkit listriktenaga angin dengan turbin tunggal Sumber : MATLAB 7.11.1.
daya reaktif yang dibutuhkan oleh generator induksi untuk menghasilkan medang putar stator.Nilai kapasitor yang digunakan adalah 3 kvar dengan tegangan nominal 400 V. Generator induksi digunakan karena mudah dalam penggunaan, untuk kecepatan angin rendah dapat dihandalkan dan tidak terlalu terpengaruh pada isu kestabilan daya. Untuk menentukan daya reaktif yang dibutuhkan oleh generator menggunakan persamaan: [4,29]
Rancangan blockset turbin angin yang digunakan adalah sebagai berikut:
S 3V i
…………………………..(10)
P S cos
……………………..……(11)
Q S 2 P 2 …………………………..(12) Sedangkan untuk mengetahui nilai kapasitor menggunakan persamaan:[7]
V …………...………………………..(13) i 1 …………………………...(14) C 2f Xc Qc
Gambar 2. Rancang blockset turbin angin Sumber : MATLAB 7.11.1.
Konsep Jumlah Sudu Jumlah sudu pada rotor turbin angin bervariasi, dan tidak ada tinjauan teoritis yang benar sebagai konsep terbaik, tetapi lebih ditentukan oleh jenis penggunaannya, misalnya untuk pembangkit listrik atau pompa air, serta kecepatan angin saat rotor mulai berputar. Konsep satu sudu, sulit setimbang, membutuhkan angin yang sangat kencang untuk menghasilkan gaya angkat memutar, dan menghasilkan noise di ujungnya. Konsep dua sudu, mudah untuk setimbang, tetapi kesetimbangannya masih mudah bergeser. Disain sudu harus memiliki kelengkungan yang tajam untuk dapat menangkap energi angin secara efektif, tetapi pada kecepatan angin rendah (rata-rata sekitar 3 m/s) putarannya sulit dimulai. Konsep tiga sudu, lebih setimbang dan kelengkungan sudu lebih halus untuk dapat menangkap energi angin secara efektif. Konsep ini paling sering dipakai pada turbin komersial. Konsep multi sudu (4 sudu atau lebih), justru memiliki efisiensi rendah, tetapi dapat menghasilkan momen gaya awal yang cukup besar untuk mulai berputar, cocok untuk kecepatan angin rendah walaupun
Generator Induksi Generator yang terhubung dengan turbin angin adalah generator induksi 3 phasa. Dengan masukan generator yaitu torsi mekanik yang akan disuplai dari turbin angin.
Gambar 3.Blockset generator induksi Sumber : simulink MATLAB 7.1 Spesifikasi untuk blockset generator tersebut adalah: Tipe rotor = squirell-cage (sangkar bajing), Daya nominal = 4 kva, tegangan line to line = 400 V, frekuensi = 50Hz, Pasang kutub = 2, kecepatan = 1500 RPM Pada generator induksi dipasang sebuah kapasitor untuk membangkitkan
4
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
dioperasikan dengan transmisi gear sampai 1:10. [2,6]
Dalam sebuah perancangan pembangunan sistem yang baru, tidak akan sertamerta melakukan pembangunan secara fisik dari sistem yang akan dirancang. Akan tetapi diperhitungkan terlebih dahulu untuk hasil dari sistem apabila diberi masukan data-data dari sebuah daerah yang akan dibangun. Salah satu perencanaan pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah program simulasi dengan bantuan perangkat komputer. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari resiko kecelakaan dan menambah efisiensi suatu penelitian yang dilakukan. Salah satunya dengan menggunakan bantuan program MATLAB 7.11.1 untuk merancang sebuah simulasi suatu sistem. Suatu Sistem Pembangkit Tenaga Listrik objek dapat dirancang kedalam sebuah simulasi apabila data-data dan karakteristik suatu objek tersebut telah didapatkan. Sebuah turbin angin yang dirancang akan dapat bekerja pada suatu wilayah tersebut apabila data-data tentang karakteristik kecepatan angin dan masa jenis udara pada suatu tempat telah didapatkan dan akan dimasukkan untuk referensi perancangan turbin angin yang cocok untuk suatu wilayah tersebut.
Times Speed Ratio (TSR) Dalam merancang turbin angin, rasio antara ujung baling-baling (blade) dan kecepatan angin (λ) juga harus diperhatikan. Karena akan berpengaruh terhadap daya torsi mekanik (Tm) yang dihasilkan oleh turbin angin. Setiap keluaran turbin pada setiap titik pengukuran akan berbeda, karena banyak parameter yang mempengaruhi kinerjanya. Rasio kecepatan ujung atau tip speed ratio (λ) dapat diperoleh dari persamaan: [2,15]
2 R ………………………………...(15) V
Hasil Simulasi Dengan memasukan nilai Tip Speed ratio pada simulasi didapatkan data seperti dibawah ini : Tabel 2.Hasil Simulasi
Gambar 3. Hubungan antara Jumlah sudu dengan Tip Speed Ratio [2] Table 1. Hubungan antara jumlah Sudu dengan Tip Speed Ratio (TSR) NO
JUMLAH SUDU
TIP SPEED RATIO
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
2 3 4 5 6 8 9 10 12
6 3,9 3,27 2,85 2,55 1,94 1,78 1,55 1,19
Simulasi Perancangan Listrik Tenaga Angin
NO
TIP SPED RATIO
Torsi Mekanik (N.m)
Vrms (volt)
Irms (A)
Daya Listrik (Watt)
1.
6
-2,716
315
6,7
1469
2. 3. 4. 5. 6.
3,9 3,27 2,85 2,55 1,94
-4,179 -4,984 -5,719 -6,392 -8,401
397 435 468 495 567
8,3 9,1 9,8 10,4 11,9
2283 2740 3139 3506 4628
7. 8. 9.
1,78 1,55 1,19
-9,157 -10,52 -13,70
595 638 725
12,5 13,4 15,2
5044 5798 7588
Dimana : Kecepatan Rotor = 1522 rpm Frekuensi = 50,72 Herz Sumber : Simulink Matlab
Pembangkit
5
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Berikut beberapa grafik yang dihasilkan (sample)
Dengan melakukan simulasi dengan menggunakan software matlab 7.11.1 kita sudah mendapatkan beberapa nilai hubungan antara jumlah sudu PLT angin yang mempengaruhi Tip Speed ratio sehingga akan mempengaruhi daya yang dihasilkan oleh turbin. Dalam simulasi ini kita menggunkan generator induksi induksi 3 Phase. Penelitian ini melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mustaqim Indrawa S.T yang berjudul “Analisis Dan Simulasi Pembangkit Litrik Tenaga Angin Di Daerah Tepi Pantai Watu Ulo”. Dari observasi lapangan didapatkan kecepatan angin rata-rata 4,209 m/s, 2 diameter turbin 17,193 m , massa jenis udara 1,1626 kg/m3 dan koefisien tenaga (CP) 0,59. Kita ketahui bersama bahwa dalam merancang turbin angin, rasio antara ujung baling-baling (blade) dan kecepatan angin (λ) juga harus diperhatikan. Karena akan berpengaruh terhadap daya torsi mekanik (Tm) yang dihasilkan oleh turbin angin. Setiap keluaran turbin pada setiap titik pengukuran akan berbeda, karena banyak parameter yang mempengaruhi kinerjanya. Dengan memplot nilai Tip Speed Ratio pada jumlah sudu maka didapatkan : pada saat jumlah sudu 2 maka TSR adalah 6, kemudian saat sudu 3 TSRnya adalah 3,9. Sedangkan Secara berurutan pada sudu 4,5,6,8,9, dan 10 TSRnya adalah 3,27 ;2,85 ;2,55 ;1,94 ;1,78 ;1,55 dan 1,19. Dari hasil Tip Speed ratio tersebut kemudian kita masukan kedalam simulasi di software matlab untuk mengetahui nilai Kecepatan rotor (dalam rpm), frekuensi (Herz), Torsi mekanik (N.m), Vrms (Volt) dan Arus Irms (Ampere) serta didapatkan estimasi daya listrik dalam watt. Dari data percobaan didapatkan pada saat kita mengganti Tip Speed Ratio (TSR) maka terjadi perubahan pada torsi Mekanik,Vrms,irms dan daya listriknnya. Sementara untuk Kecepatan rotor dan frekuensi nilainnya tetap yaitu 1522 rpm dan 50,72 Hz. Pada saat kita memasukan tip speed ratio 6, nilai Torsi mekaniknnya adalah -2,716N.m, sementara Vrms adalah
Saat Tip Speed Ratio = 6 jumlah sudu 2
Saat Tip Speed Ratio = 3.9 Jumlah sudu 3
Saat Tip Speed Ratio=2.85 Jumlah sudu 5
Grafik hubungan Jumlah Sudu daya yang dihasilkan
dengan
Gambar 4. Grafik hubungan Jumlah Sudu dengan daya yang dihasilkan. (Sumber Ms. office excel 2010)
Analisis dan Pembahasan
6
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
SARAN
315 Volt, untuk nilai arus Irms adalah 6,7 A. dari sini didapatkan estimasi daya 1469 Watt. Kemudian kita mengganti nilai TSR menjadi 3,9 didapatkan Tm,Vrms,Irms secara berurutan sebesar -4,179 N.m, 397 Volt dan 8,3 A, daya listrik yang dihasilkan senilai 2283 Watt. Pada saat TSR diganti dengan 3.27, dengan kecepatan rotor tetap dihasilkan Torsi mekanik -4,984,Vrms 435 Volt, irms 9,1 A daya listriknnya 2740 Watt. Hal ini juga berpengaruh terhadap jumlah sudu yang besar. Pada saat jumlah sudu 9, TSRnnya adalah 1,78. Daya listrik yang dihasilkan adalah 5044 watt. Saat TSR 1,19 artinya jumlah sudu 12 daya yang dihasilkan adalah 7588 watt. Dari uraian data tersebut kita peroleh astimasi daya yang dipengaruhi oleh jumlah sudu pada turbin. Semakin banyak jumlah sudu suatu turbin maka akan berpengaruh pada torsi mekanik, karena jelas semakin banyak maka semakin berat, torsi awal yang dibutuhkan juga semakin tiggi. Selain itu jumlah sudu juga berpengaruh pada daya yang dihasilkan. Semakin banyak sudu maka daya yang dihasilkan akan semakin besar.
Untuk penelitian lebih lanjut perlu adanya pembahasan tetang efisiensi dan efektifitas jumlah sudu pada PLT Angin jika ditinjau dari segi ekonomi. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini, Dirjen Dikti yang telah membiayai dana untuk penelitian, bapak Triwahju Hardianto yang senang tiasa membimbing, Mas Mustaqim yang telah bemberi jalan untuk melakukan penelitian ini dantidak lupa teman-teman dari teknik elektro universitas jember 2010 yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan dukungan baik moral materiil kepada tim untuk menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA 1. Indrawa,Mustaqim. 2009. Analisis Dan Simulasi Pembangkit Litrik Tenaga Angin Di Daerah Tepi Pantai Watu Ulo. Jember. 2. Mathew, Sathyajith. 2006. Wind Energy Fundamentals, Resource Analysis and Economics: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Netherland. 3. Stiebler, Manfred. 2008. Wind Energy Systems for Electric Power Generation: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Germany. 4. Ackermann, Thomas. 2005. Wind Power In Power System: John Wiley & Sons Ltd., The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England. 5. Burton Tony, Sharpe David, Jenkins Nick, dan Bossanyi Ervin. 2001. Wind Energy Handbook: Baffins Lane, Chichester, West Sussex PO191UD, England. 6. Manwell, J.F., McGowan, J.G., and Rogers, A.L. 2002. Wind Energy Explained Theory, Design and Application: John Wiley & Sons Ltd., Baffins Lane, Chichester, West Sussex PO19 IUD, England. 7. Nafis, Subhan. 2008. Motor Induksi Sebagai Generator (MISG): http://www.ccitonline.com/mekanikal/tikiread_article.php?articleId=70
KESIMPULAN PLT Bayu merupakan salah satu energi alternativ dalam dewasa ini mengigat semakin berkurangnya gas bumi, berbagai macam teknologi diciptakan untuk menghasilkan daya yang besar. Dalam penelitian ini didapatkan semakin banyak jumlah sudu dalam turbin angin, maka daya listrik yang dihasilkan akan semakin besar, terbukti dari simulasi dengan menggunakan software MATLAB 7.11.1, dengan menggunakan sudu 3, 5, 8, 9, dan12; daya listrik yang dihasilkan secara berurutan adalah 2283 watt, 3139 watt, 4628 watt, 5044 watt,dan hampir 7588 watt. Ini menjawab pertanyaan tentang energi alternative yang ramah lingkungan dan menghasilkan daya listrik yang besar.
7
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
ANALISIS PENINGKATAN EFISIENSI SEL SURYA DENGAN PENAMBAHAN LAPISAN SURFACE TEXTURING PADA PERMUKAAN ATAS SEL SURYA Fajar Pandega1, Ferdiansjah2 1,2
Jurusan Teknik Fisika FT UGM Jln. Grafika 2 Yogyakarta 55281 INDONESIA 1
[email protected] [email protected]
2
Intisari— Surface texturing berfungsi untuk meningkatkan transmisi cahaya diseluruh daerah panjang gelombang yang diserap dalam sel surya. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi surface texturing pada sel surya berbasis wafer silikon monokristal tipe-p. Optimasi pada front texture angle dengan simulasi menggunakan software PC1D, yang dilakukan pada wafer. Hasil simulasi menunjukkan bahwa semakin besar kedalaman surface texturing maka akan meningkatkan efisiensi yang dihasilkan oleh sel surya pada ketebalan wafer silikon monokristal 300 mikron adalah 15,6-16,65%. Kata kunci— refleksi, surface texturing, PC-1D, front texturing angle, efisiensi Abstract— Surface texturing which has a function to increase the light transmission of all wavelength that is absorbed by the solar cell. The optimization of surface texturing is conducted on p-type mono crystalline silicon wafer-based solar cell. The optimization of the front angle is simulated by using PC-1D software performed on wafer. According to the simulation result, the greater of the front texture angle, the solar cell efficiency of 15.6016.65% can be obtained with an addition of surface texturing on 300 microns of mono crystalline silicon wafer. Keywords—reflection, surface texturing, PC-1D, front texturing angle, efficiency I. PENDAHULUAN berhasil untuk sel surya komersial adalah berupa sketsa Energi memiliki peran vital untuk kehidupan manusia. piramida anisotropik (piramida yang memiliki variasi satu Berbagai aktifitas kegiatan manusia sebagian besar atau lebih sifat material terhadap arahnya) pada memerlukan energi. Seperti contoh kegiatan setiap permukaan kristal tunggal silikon (100). Piramida skala malam hari berupa menonton televisi, dimana menonton mikro terbentuk ketika permukaan Si datar (100) televisi memerlukan energi listrik untuk menghidupkan terlapisi oleh kalium hidroksida (KOH). Pada permukaan televisi. Selain itu, bepergian menggunakan kendaraan tekstur, cahaya terpantul dari piramida yang sering bermotor, dimana energi utama dari kendaraan membentur piramida yang lain, sehingga kemungkinan bermotor tersebut adalah energi fosil yaitu minyak cahaya kedua yang masuk tidak akan hilang. Efisiensi mentah. Agar kebutuhan akan energi terpenuhi maka serapan sel surya kristal tunggal Si sebesar 24,4% diperlukan energi alternatif bahkan energi terbarukan dicapai pada tekstur permukaan piramida. Efisiensi untuk menggantikan energi fosil tersebut. serapan sebesar 19,8% pada sel surya polikristalin Si Salah satu contoh yang sudah ada saat ini adalah dicapai pada tekstur permukaan cetakan tertentu, pemanfaatan sinar matahari. Energi matahari yang karena sketsa berbasis KOH anisotropik hanya bekerja dimanfaatkan adalah cahaya matahari yang diubah pada kristal tunggal Si [1]. Gambar 1 menunjukan dalam bentuk energi yang lain antara lain energi listrik, pembentukan surface texturing pada permukaan atas energi yang digunakan untuk menggerakkan mobil, sel surya. energi kalor, dan lain-lain. Perangkat untuk mengubah cahaya matahari menjadi energi listrik disebut solar cell (sel surya). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi performa solar sell ketika diberikan surface texturing, antara lain ketebalan surface texturing dan sudut surface texturing. Oleh karena itu, perlu diperhatikan faktor apa yang paling mempengaruhi performa solar cell tersebut. II. STUDI PUSTAKA A. Surface Texturing Desain optik dari sel surya fotovoltaik dibuat untuk meminimalkan refleksi dan memaksimalkan penyerapan sinar matahari yang masuk. Desain optik yang paling
8
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Proses terbentuknya sambungan lapisan p-n dari penggabungan lapisan p dengan lapisan n ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 1 Pembentukan surface texturing pada permukaan atas sel surya [2] III. DASAR TEORI A. Proses Penyerapan Cahaya Pada Sel Surya Ketika cahaya jatuh ke materi semikonduktor, dengan energi foton (Ef) yang kurang dari energi celah pita (Eg) hanya berinteraksi lemah dengan semikonduktor. Namun, energi foton yang lebih besar dari energi celah pita (Ef > Eg) berinteraksi dengan elektron dalam ikatan kovalen, dengan menggunakan energinya untuk memutuskan ikatan dan membuat electron-hole pairs, yang kemudian dapat bergerak bebas. Ilustrasinya terdapat pada Gambar 2
Gambar 4 Proses penggabungan lapisan p dengan lapisan n[3] Penggabungan semikonduktor tipe-p dengan semikonduktor tipe-n membentuk p-n junction. Sambungan yang lengkap terdiri dari tiga daerah semikonduktor yang berbeda. Bagian deplesi dapat digambarkan sebagai bagian yang muncul ketika dua bagian sambungan lapisan dibawa bersama-sama dan elektron donor yang aktif berdifusi ke sisi p dari sambungan, meninggalkan inti ion positif yang imobil. (Sebaliknya, hole berdifusi ke sisi n dan meninggalkan bagian inti ion negatif yang tetap). Bagian yang mengalami pemanjangan beberapa mikron dari sambungan disebut bagian deplesi karena bagian tersebut dikosongkan oleh muatan pembawa yang aktif [4]. Medan listrik (Ê) kemudian menumbuk bagian deplesi disekitar sambungan untuk menghentikan aliran [3]. C. Sel Surya Sel surya menerima penyinaran matahari dalam satu hari sangat bervariasi. Hal ini disebabkan sinar matahari memiliki intensitas yang besar ketika siang hari dibandingkan dengan pagi hari. Untuk mengetahui kapasitas daya yang dihasilkan dilakukan pengukuran terhadap arus (I) dan tegangan (V) pada gugusan sel surya yang disebut modul. Untuk mengukur arus maksimum, maka kedua terminal dari modul dibuat rangkaian hubung singkat sehingga tegangannya menjadi nol dan arusnya maksimum. Dengan menggunakan amperemeter akan didapatkan sebuah arus maksimum yang dinamakan short circuit current atau Isc. Pengukuran terhadap tegangan (V) dilakukan pada terminal positif dan negatif dari modul sel surya dengan tidak menghubungkan sel surya dengan komponen lainnya. Pengukuran ini dinamakan open
Gambar 2 Penciptaan electron-hole pairs ketika disinari dengan energi cahaya Eph = hf, dimana Eph > Eg [3] Energi foton yang lebih tinggi diserap lebih dekat ke permukaan semikonduktor dari energi foton yang lebih rendah, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3
Gambar 3 Energi cahaya bergantung pada susunan electron-holes [3] B. Sambungan Lapisan p-n
9
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 circuit voltage atau Voc. Hasil pengukuran arus (I) dan tegangan (V) ini dapat digambarkan dalam sebuah grafik yang disebut kurva I-V seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
∇. 𝐽𝑝 𝜕𝑝 =− +𝐺−𝑈 𝜕𝑡 𝑞
(4)
∇. 𝜀∇𝜓 = −𝜌
(5)
Untuk menunjukkan variasi pada struktur pita energi, program PC1D memperkenalkan persamaan potensial pita konduksi dan pita valensi. Persamaan potensial ini dapat menunjukkan pergeseran ke arah pusat pita terlarang dari pita konduksi dan pita valensi terhadap titik referensi (x = 0) setelah mempertimbangkan efek elektrostatik. 𝑘𝑇 𝑁𝑐 𝑥 − 𝑥𝑟 𝑉𝑛 = 𝑙𝑛 + + ∆Egc (6) 𝑞 𝑁𝑐𝑟 𝑞 𝐸𝑔 − 𝐸𝑔𝑟 𝑥 − 𝑥𝑟 𝑘𝑇 𝑁𝑣 𝑉𝑝 = 𝑙𝑛 − − (7) 𝑞 𝑁𝑣𝑟 𝑞 𝑞 + ∆𝐸𝑔𝑣
Gambar 5. Kurva I-V [3] Pada kurva I-V terdapat beberapa hal-hal yang sangat penting yaitu : A. Maximum Power Point B. Open Circuit Voltage (Voc) C. Short Circuit Current (Isc) D. Fill Factor (FF) D. Konsep Perhitungan PC-1D Pada sel surya berlaku 5 persamaan dasar, yaitu 2 persamaan arus listrik untuk elektron (persamaan 1) dan lubang bebas (persamaan 2), 2 persamaan kontinuitas untuk elektron (persamaan 3) dan lubang bebas (persamaan 4), dan 1 persamaan Poisson (persamaan 5) [5]. Persamaan arus listrik menyatakan hubungan antara densitas elektron dan lubang bebas (Jn, Jp) dengan mobilitas elektron dan lubang bebas (µn, µp), konsentrasi elektron pada pita konduksi dan lubang bebas pada pita valensi (n, p), dan gradien dari quasi energi Fermi untuk elektron dan lubang bebas 𝛻𝐸𝐹𝑛 , 𝛻𝐸𝐹𝑝 . Persamaan kontinuitas menyatakan perubahan konsentrasi muatan elektron dan lubang bebas yang disebabkan oleh muatan yang masuk dan keluar elemen volum dan yang disebabkan oleh generasi dan rekombinasi muatan di dalam elemen volum (G, U). Persamaan Poisson menyatakan hubungan antara potensial elektrostatik (ψ) dengan densitas muatan (ρ). (1) 𝐽𝑛 = 𝜇𝑛 𝑛 ∇E𝐹𝑛
Di mana Vp dan Vn adalah potensial pita konduksi dan pita valensi, Nc dan Nv adalah densitas keadaan energi pada pita konduksi dan pita valensi, x adalah afinitas elektron, dan ∆Egc dan ∆Egv adalah penyempitan pita energi dari ujung pita konduksi dan pita valensi.
𝐽𝑝 = 𝜇𝑝 𝑝∇𝐸𝐹𝑝
(2)
𝜕𝑛 ∇. 𝐽𝑛 = +𝐺−𝑈 𝜕𝑡 𝑞
(3)
Konsentrasi elektron pada pita konduksi dan konsentrasi lubang bebas pada pita valensi dinyatakan oleh persamaan : 𝐸 𝐹𝑛 −𝐸 𝑐 (8) 𝑛 = 𝑁𝑐 𝑒 𝑘𝑇 E v −E Fp
p = Nv e
kT
(9)
Dengan menggabungkan persamaan potensial pita konduksi (persamaan 6) dengan persamaan konsentrasi elektron pada pita konduksi (persamaan 8) dan dengan menggabungkan persamaan potensial pita valensi (persamaan 7) dengan persamaan konsentrasi lubang bebas pada pita valensi (persamaan 9) akan didapatkan persamaan : 𝑞 𝜓 +𝑉 𝑛 −𝜙 𝑛 𝑘𝑇
(10)
𝑞 −𝜓 +𝑉 𝑝 +𝜙 𝑝 𝑘𝑇
(11)
𝑛 = 𝑛𝑖 𝑒 𝑝 = 𝑛𝑖 𝑒
10
Di mana 𝜙𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝜙𝑝 adalah quasi energi Fermi untuk elektron dan lubang bebas. Selanjutnya persamaan 20 akan dimasukkan ke dalam persamaan arus listrik untuk elektron (persamaan 1) dan persamaan 11 akan dimasukkan ke dalam persamaan arus listrik untuk lubang bebas (persamaan 11). Pada program PC1D, persamaan arus listrik untuk elektron (persamaan 1) akan digabungkan dengan persamaan kontinuitas untuk elektron (persamaan 3) dan persamaan arus listrik untuk lubang bebas (persamaan 2) akan digabungkan dengan persamaan kontinuitas untuk lubang bebas (persamaan 4). Dari 2 persamaan kontinuitas tersebut dan 1 persamaan
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Poisson akan dicari potensial elektrostatik dan quasi energi Fermi untuk elektron dan lubang bebas. E. Light Trapping Light trapping adalah cara untuk memperpanjang jarak tempuh cahaya yang masuk kedalam sel surya dengan membuat tekstur pada permukaan atas dan bawah pada sel surya. Pada sel surya berbentuk kristal atau amorphous silikon, light trapping dapat mengurangi ketebalan sel surya tanpa mengurangi penyerapan cahaya pada sel surya. Light trapping juga dapat meningkatkan tegangan rangkaian terbuka (Voc) [6]. Light trapping dapat dimodelkan menjadi dua yaitu cahaya yang tidak dihamburkan dan cahaya yang dihamburkan, baik mengikuti distribusi Lambertian atau yang secara optimal dihamburkan. Cahaya yang tidak dihamburkan oleh permukaan atas dan tidak diserap di sepanjang badan sel surya memiliki kesempatan untuk dihamburkan oleh permukaan bawah [7]. Rasio perbandingan antara cahaya yang dihamburkan oleh permukaan atas terhadap cahaya yang datang disebut front transmitted haze, sedangkan rasio perbandingan antara cahaya yang dihamburkan oleh permukaan bawah terhadap cahaya yang datang disebut rear transmitted haze. Untuk pemodelan cahaya yang tidak dihamburkan, fraksi cahaya yang diserap (A) mengikuti hukum Beer-Lambert [7] : (12) 𝐴 = 1 − 𝑒 −𝛼 𝑠 𝑑 di mana : αs = koefisien absorpsi d = ketebalan wafer silikon Untuk pemodelan cahaya yang dihamburkan dan mengikuti distribusi Lambertian, fraksi cahaya yang diserap (A) mengikuti persamaan: 1 − 𝑇𝑟 1 + 𝑅𝑏 𝑇𝑟 𝑛𝑠2 1 − 𝑅𝑓 𝐴= (13) 𝑛𝑠2 − 𝑅𝑏 𝑛𝑠2 − 1 + 𝑅𝑓 𝑇𝑟2 di mana : ns = indeks bias wafer silikon Rf = front texture angle (derajat) Rb = rear texture angle (derajat) Tr = cahaya yang ditransmisikan oleh permukaan tanpa tekstur Fraksi cahaya yang ditransmisikan oleh permukaan tanpa tekstur (Tr) mengikuti persamaan : 2 (14) 𝑇𝑟 = 𝑒 −𝛼 𝑠 𝑑 1−𝛼 𝑠 𝑑 𝛼 𝑠 𝑑 𝐸1 𝛼 𝑠 𝑑 Untuk pemodelan cahaya yang dihamburkan secara optimal, fraksi cahaya yang diserap (A) mengikuti persamaan: 2 (15) 𝐴 = 1 − 𝑒 −𝛼 𝑠 4𝑛 𝑠 𝑑
11
Gambar 6 Front and rear surface texturing [7] Gambar 6 menunjukkan permukaan sel surya yang secara sebagian atau secara penuh menghamburkan cahaya yang datang. Garis panah berwarna merah merepresentasikan cahaya yang tidak dihamburkan (persamaan 12). Garis panah berwarna hitam merepresentasikan cahaya yang dihamburkan (persamaan 13 – persamaan 15) [7]. IV. PELAKSANAAN PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan simulasi. Simulasi yang dilakukan yaitu menggunakan software PC1D. PC1D adalah software yang digunakan untuk menganalisis secara numerik sifat fisis dari sel surya. Dalam penelitian yang akan dilakukan adalah menganalisa performa sel surya berbasis wafer silikon monokristal dengan penambahan surface texturing. Pada software PC1D perlu dilakukan perubahan pada parameter yang mempengaruhi performa sel surya. Parameter tersebut antara lain front texture angle. Untuk parameter dasar tidak diubah karena hanya menganalisa dari parameter device pada sel surya. Kemudian setelah diperoleh hasil simulasi, perlu dilakukan analisa performa sel surya tersebut setelah diberi penambahan surface texturing. Untuk mengetahui perubahan performa yang terjadi pada sel surya ketika diberikan penambahan surface texturing, dilakukan perbandingan dengan sel surya yang tanpa diberi surface texturing. Nilai-nilai fisik yang dapat dianalisa yaitu efisiensi yang dihasilkan sel surya Pada Gambar 7 menunjukkan diagram alir yang menyatakan jalannya penelitian:
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 16,8
Mulai
surface texturing vs efisiensi
16,6 16,4 Studi Literatur
16,2 efisiensi 16
Simulasi
Series1
15,8 15,6
Analisis Pengaruh Front Textute Angle
15,4 0,00
front texture angle (degree) 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00
Gambar 8 Grafik Surface Texturing vs efisiensi Pada gambar 8 menunjukkan bahwa semakin meningkatnya perubahan sudut pada surface texturing, akan meningkatkan nilai efisiensi pada sel surya. Hal ini disebabkan oleh banyaknya cahaya yang masuk kedalam sel surya dan mengurangi efek pemantulan cahaya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, efisiensi sel surya yang diberikan surface texturing pada bagian atas sel surya dengan panggabungan kedua variabel profil surface texturing sebesar 15,6-16,65%. Efisiensi tersebut menunjukkan bahwa panel surya yang diberikan penambahan surface texturing mampu menggunakan daya yang minimum untuk menghasilkan keluaran yang maksimum. Sel surya dengan penambahan lapisan surface texturing memiliki efisiensi yang lebih besar dibandingkan panel surya tanpa adanya lapisan surface texturing, dimana efisiensi panel surya tanpa lapisan anti refleksi sebesar 9,73%. Semakin besar efisiensi sel surya maka sel surya tersebut semakin mampu menghasilkan energi yang lebih besar karena dapat meminimalkan daya yang digunakan. Oleh karena itu, sel surya mampu menyimpan energi listrik lebih besar. Penelitian ini membuktikan bahwa adanya penambahan surface texturing pada permukaan atas sel surya maka akan meningkatkan daya maksimum serta efisiensi dari panel surya tersebut. Efisiensi sel surya tersebut dapat lebih ditingkatkan dengan berbagai cara seperti penambahan lapisan surface texturing dengan ketebalan yang lebih kecil tetapi jumlah lapisan lebih banyak dan meningkatkan kerapatan antar piramida lapisan surface texturing sehingga dapat memperkecil efek refleksi dari cahaya matahari dan meningkatkan kemampuan penyerapan serta penyimpanan energi dalam sel surya. Selain itu, dapat pula dilakukan kombinasi antara lapisan antirefleksi dengan surface texturing dan daya yang masuk pada sel surya dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga akan memberikan keluaran yang maksimal dan efisiensi akan lebih besar
Analisis Perubahan Efisiensi Sel Surya
Selesai
Gambar 7 Alur Penelitian V. HASIL DAN PEMBAHASAN Cahaya matahari merupakan gelombang transversal yang terdiri atas gelombang elektromagnetik, dimana memiliki beberapa sifat diantaranya adalah refleksi (pemantulan), refraksi (pembiasan), interfetrensi (penggabungan dua gelombang), dispersi (penguraian), dan polarisasi. Cahaya matahari yang mengenai dua medium yang memiliki indeks bias yang berbeda akan mengalami pemantulan dan pembiasan. Surface texturing pada sel surya berfungsi untuk memfokuskan cahaya matahari agar masuk ke dalam sel surya sehingga penyerapan cahaya pada sel surya dapat maksimal. Selain itu agar cahaya matahari memantul keluar setelah pembentukan surface texturing, permukaan atas sel surya dilapisi oleh lapisan antireflection. Lapisan ini berfungsi untuk memperangkap sinar matahari agar tidak terpantul keluar sel surya. 1. Pengaruh penambahan surface texturing terhadap efisiensi sel surya Simulasi pertama pada penelitian ini hanya dioptimasi pada parameter front texture angle dengan rentang sudut 00-900.
12
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 VI. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut : 1. Surface texturing merupakan permukaan bertekstur yang terdapat pada panel surya yang memiliki beberapa kelebihan, seperti dapat memfokuskan sinar matahari yang masuk sehingga dapat terjadi penyerapan yang maksimal. Lapisan ini ditambahkan pada bagian atas panel surya. 2. Parameter yang mempengaruhi performa sel surya adalah front texture depth dan front texture angle. Front texture angle sangat mempengaruhi nilai sel REFERENSI [1] Tao, Meng, Zhou, Weidong, Yang, Hongjun, Chen, Li, 2007, Surface Texturing by Solution Deposition for Omnidirectional Antireflection, Applied Physics Letter, Volume 91 : 1-3 2 Baker-Finch, Simeon C., McIntosh, Keith R., 2010, Analysis and Optimisation ofSilicon Solar Cell Front Surface Optics, Departement of Engineering and Computer Science, Australian National University, Canberra 3 Wenham, Stuart R., Green, Martin A., Watt, Muriel E., Corkish, Richard, 2007,Applied PhotovoltaicsSecond Edition, TJ International Ltd, London
13
surya jika dibandingkan dengan front texture depth. Pada front texture depth tidak mempengaruhi performa sel surya secara signifikan. Oleh karena itu, nilai optimalisasi dari front texture depthdapat diabaikan. 3. Efisiensi yang dihasilkan pada sel surya dengan pembentukansurface texturingpada bagian atas adalah sebesar 15,6-16,65%.
4
5 6 7
Serway, Raymond A., Moses, Clement J., Moyer, Curt A., 2005, Modern Physics Third Edition, Thomson Learning Academic Resource Center, London Basore, P. A., 1991, PC-1D Installation Manual and User’s Guide, Livermore: Sandia National Laboratories Markvart, Tom, Castener, Luis, 2005, Photovoltaics Fundamentals and Application, Elsevier Ltd, Oxford Petti, Christopher, Newman, Bonna, Brainard, Robert, Li, Jian, 2012, Optimal Thickness For Crystalline Silicon Solar Cells, Twin Creeks Technologies, Inc
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
ANALISIS POTENSI ENERGI TERBARUKAN BIOMASSA SAWIT DI DAERAH SEMUNTAI, KALIMANTAN TIMUR Lukita Wahyu Permadi1, Ari Wibowo2, and Cindy Malfica3 1
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl Grafika No 2, Yogyakarta 55281 Indonesia E-mail:
[email protected] 2
Politeknik LPP, Jl LPP no 1A, Balapan, Yogyakarta 55281 Indonesia E-mail:
[email protected] 3
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl Grafika No 2, Yogyakarta 55281 Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRACT The increasing of load growth is a condition that cannot be avoided and will continue to grow each year. Limitations of the installed capacity of electrical power caused the energy crisis, especially in Indonesia. East Kalimantan is one of the areas experiencing electrical energy crisis with a deficit of 30 MW of power. One solution to meet the electricity needs in East Kalimantan is to use the potential of renewable energy. It is supported by the potential energy in that area by having palm biomass energy. This paper will discuss the calculation of palm oil potential as the power plant which is located in Semuntai area, East Kalimantan. In 2012, Semuntai produces an average 775 tons of fresh fruit bunches per day. This amount can produce 309.87 tons of biomass per day. The Biomass is used as fuel in the boiler of steam generation using Rankine Cycle. The electrical energy that is converted from biomass can generate up to 5,42 MW. This electrical energy can provide power for 18.07% from the total power deficit in East Kalimantan. Keywords : Energy Crisis, Renewable Energy, Palm Biomass Potential, Electrical Energy
PENDAHULUAN
mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir di provinsi Kalimantan Timur. Kalimantan Timur merupakan distrik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII (Persero) yang beroperasi pada sektor perkebunan kelapa sawit. PTPN XIII memiliki 3 unit kebun, salah satunya di daerah Semuntai. Daerah Semuntai pada tahun 2012 dapat memproduksi rata-rata 775 ton sawit setiap harinya. Sawit tersebut lalu diproses di pabrik hingga menghasilkan minyak kelapa sawit dan limbah sawit yang berupa cangkang, serat dan tandan kosong [3]. Limbah tersebut biasanya dijadikan sebagai pupuk untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Namun, ternyata limbah sawit tersebut memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Proses penguraian limbah sawit tersebut akan menimbulkan efek panas dan mengeluarkan gas CH4 yang cukup berbahaya bagi lingkungan [3]. Limbah sawit sebaiknya didiamkan terlebih dahulu hingga proses penguraian selesai, sebelum digunakan sebagai pupuk. Proses ini membutuhkan lahan yang sangat besar sehingga tidak efektif.
Pertumbuhan beban listrik merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari. Keterbatasan kapasitas pembangkit tenaga listrik menyebabkan krisis energi. Krisis energi merupakan masalah yang sangat fundamental di Indonesia. Energi listrik saat ini memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi nasional. Di negara-negara maju maupun negara berkembang, penggunaan energi listrik secara tepat dan berdaya guna tinggi merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan kegiatan ekonomi nasional [1]. Keterbatasan energi primer juga merupakan salah satu masalah krisis energi di Indonesia. Sehingga perlu adanya energi baru dan terbarukan guna memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat. Kalimantan Timur merupakan provinsi di Indonesia yang masih mengalami krisis energi. Kebutuhan listrik di Kalimantan Timur adalah sekitar 234,35 MW. Beban puncak di Kalimantan Timur sendiri adalah sekitar 264,38 MW [2]. Kekurangan daya listrik di Kalimantan Timur sebesar 30,03 MW. Hal ini
14
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Pengolahan limbah dengan mengkonversinya menjadi biomassa merupakan cara yang cukup efisien. Biomassa tersebut akan digunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkitan tenaga listrik. Pembangkitan tenaga listrik akan dapat menanggulangi masalah krisis energi di Kalimantan Timur.
Luas areal perkebunan sawit di daerah Semuntai mencapai 17.569 Ha. Dalam aktivitasnya, produksi pabrik kelapa sawit menghasilkan limbah dalam volume yang besar. Tandan buah segar (TBS) merupakan hasil produksi dari perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan produk utama, yaitu minyak mentah CPO dan kernel [4]. Selain itu juga dihasilkan limbah padat berupa serat, cangkang dan tandan kosong [5]. Berdasarkan Tabel I, pada tahun 2012 total produksi Tandan Buah Segar (TBS) di daerah Semuntai adalah sekitar 247.900 Ton/Tahun. Pengoperasian pabrik dalam setahun yakni 320 hari operasi. Sehingga didapatkan total rata-rata produksi TBS dalam sehari yakni sekitar 775 ton.
METODE PENELITIAN Mulai
Menentukan Subjek
Tabel I. Realisasi dan Proyeksi Total TBS Terolah
Menentukan Objek
Pengolahan Data
Analisis Biomassa Sawit
Analisis Potensi Pembangkitan Biomassa Sawit Selesai Gambar I. Diagram alir metode penelitian
Tahun
Total TBS (Ton/Tahun)
Total TBS (Ton/hari)
2006
177.612
555
2007
161.334
504
2008
179.513
561
2009
239.483
748
2010
241.992
756
2011
231.863
725
2012
247.900
775
*2013
196.277
613
*2014
200.122
625
*2015
197.068
616
* proyeksi produksi TBS terolah pada tahun berikutnya
Penelitian ini menggunakan metode survei kualitatif. Metode ini merupakan metode yang bersifat deskriptif dan induktif dengan menggunakan data yang ada. Metode ini menggunakan subjek area perkebunan sawit di daerah Semuntai dengan objek penelitian adalah produksi tandan buah segar (TBS) di daerah Semuntai dan kebutuhan listrik di Kalimantan Timur. Data objek diambil melalui data sekunder produksi kelapa sawit dari laporan tahunan distrik PT Perkebunan Nusantara XIII (Persero). Data kebutuhan listrik di Kalimantan Timur diperoleh dari data statistik neraca daya PT PLN (Persero) 2012.
Potensi biomassa sawit di Semuntai Potensi biomassa limbah padat yang diperoleh dari total keseluruhan produksi TBS terolah (ton/hari) terdiri dari bagian 5% cangkang, 12% serat dan 23% tandan kosong [5]. Tabel II. Realisasi dan Proyeksi Total Potensi Biomassa (ton)
Tahun
Total Produksi (Ton/hari)
2006
555
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi kelapa sawit di Semuntai
15
Total Biomassa (Ton/hari) 222.015
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Tahun
Total Produksi (Ton/hari)
Total Biomassa (Ton/hari)
2007
504
201.668
2008
561
224.391
2009
748
299.354
2010
756
302.490
2011
725
289.829
2012
775
309.875
2013*
613
245.346
2014*
625
250.153
2015*
616
246.335
Gambar III. Diagram T-S Siklus Rankine Uap Boiler dimasukkan ke dalam Turbin Kondensasi (condensing turbine) yang memiliki exhaust pressure mendekati keadaan vacuum. Selisih kalor yang masuk dan keluar semuanya akan diekstraksi menjadi tenaga untuk membangkitkan Listrik melalui Turbin Alternator [6]. Hasil kondensat yang divacuumkan di kondenser akan di pompa kembali untuk seterusnya dimasukkan ke tangki kondensat dan disirkulasikan kembali sebagai air isian ke Boiler sehingga siklus akan berulang.
* proyeksi biomassa yang dihasilkan pada tahun berikutnya Mengacu pada Tabel II, pada tahun 2012 diperoleh nilai total TBS terolah rata-rata sebesar 775 ton/hari. Berdasarkan analisis perhitungan dari 5% limbah padat cangkang diperoleh potensi biomassa sebesar 38.73 ton, 92.96 ton dari 12% serat dan 178.18 ton dari 23% tandan kosong yang dihasilkan setiap harinya. Total potensi biomassa yang dapat dihasilkan adalah sebesar 309.875 ton/hari.
Analisis Potensi Pembangkitan Biomassa Sawit Produksi kelapa sawit (Tandan Buah Segar) di daerah Semuntai Kalimantan Timur adalah sekitar 775 ton/hari. Dalam setiap jam, produksi tandan buah segar dapat mencapai sekitar 33.991,22 kg/jam. Dari produksi tersebut didapatkan berat cangkang 2.039 kg/jam, serat 4.419 kg/jam, dan tandan kosong 7.648 kg/jam. Kalori yang dapat dihasilkan dari bahan bakar cangkang, serat dan tandan kosong dapat dihitung melalui nilai Lower Heating Value (LHV) [5]. LHV merupakan Nilai kalor yang diperoleh dari pembakaran 1 kg bahan bakar tanpa memperhitungkan panas kondensasi uap air.
Teknologi Pembangkitan Pada dasarnya konsep pembangkitan tenaga listrik biomassa sawit (PLTBS) mengacu pada siklus dasar uap Rankine [6], dimana konsepsi thermodinamikanya dimulai dari proses pembangkitan uap di dalam Boiler. Air isian Boiler yang mengalami treatment sesuai parameter kerjanya diuapkan di dalam pipa-pipa Boiler dengan pemberian panas melalui pembakaran bahan bakar cangkang dan sabut maupun tandan kosong. Uap yang dihasilkan Boiler melalui superheater merupakan jenis superheat steam yang memiliki nilai enthalphi yang tinggi.
LHVcangkang = (19.385 – M(%).218,9) x 0,24 (1) LHVserat
= (18.631 – M(%).211,3) x 0,24 (2)
LHVtankos
= (16.957– M(%).194,6) x 0.24 (3)
Dari persamaan (1),(2) dan (3) diperoleh nilai kalor masing-masing sebesar 2.540 kkal/kg pada cangkang, 2.433 kkal/kg pada serat dan tandan kosong sebesar 1.734 kkal/kg.
Gambar II. Proses Siklus Rankine
16
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Besar nilai kalori tersebut dihitung pada kadar air (%M) cangkang dan serat 40% dan tandan kosong 50%. Energi panas ini akan digunakan sebagai energi untuk boiler. Dengan asumsi, boiler menggunakan tekanan 0 pada 55 bar, temperatur uap 400 C, dan efisien 85% maka kapasitas uap yang dihasilkan adalah sekitar 36.257 kg/jam dan enthalpy yang dihasilkan sekitar 3.184,48 kJ/kg. Uap boiler akan dimasukkan ke dalam Turbin Kondensasi dengan tekanan -0,5 bar o dan temperatur 48 C. Enthalpy yang dihasilkan dari proses ini adalah sekitar 2.645,9 kJ/kg. Tenaga yang dapat dibangkitkan merupakan selisih energi kalor yang masuk dan keluar dikalikan dengan kapasitas uap [7]. W = KU x (h1-h2) x 0.0002777 W KU h1 h2
tahun 2012 yang mencapai 775 ton/hari menunjukkan bahwa daerah Semuntai memiliki potensi biomassa sawit sebagai energi alternatif terbarukan yang cukup besar. 2. Pemanfaatan limbah padat sawit sebagai potensi biomassa merupakan langkah yang tepat dan sangat bermanfaat dalam menanggulangi krisis energi di Kalimantan Timur serta menjadi solusi dalam mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat penumpukan limbah sawit. 3. Daya listrik yang dapat dibangkitkan dari biomassa sawit adalah sebesar 5.42 MW. Daya tersebut dapat menyediakan 18.07% dari total kekurangan daya listrik di Kalimantan Timur 4. Pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa sawit (PLTBS) perlu direalisasikan sebagai pemanfaatan energi terbarukan di Kalimantan Timur.
(4)
: Daya terbangkit (kW) : Kapasitas Uap (kg/jam) : Nilai enthalpy boiler (kJ/jam) : Nilai enthalpy turbin kondensasi (kJ/jam)
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami waktu serta kesehatan sehingga dapat menyelesaikan paper ini dengan baik. Terima kasih kepada distrik Kalimantan Timur PT Perkebunan Nusantara XIII (persero) yang telah memberikan datadata yang dibutuhkan. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Drs. Sukoco, M.Pd, M.T. atas masukan dan saran yang diberikan selama pembuatan paper ini.
Dari hasil perhitungan pada persamaan (4) didapatkan daya terbangkit sekitar 5.472 kW atau sekitar 5,47 MW. Dengan krisis energi di Kalimantan Timur, yakni sekitar 30,4 MWh, Daya yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga biomassa sawit tersebut dapat menyediakan 18.07% dari kekurangan daya listrik.
Tahun
Total Produksi (Ton/hari)
Daya Terbangkit (MW)
2006
222,02
3,89
2007
201,67
3,53
2008
224,39
3,93
2009
299,35
5,24
2010
302,49
5,29
2011
289,83
5,07
2012
309,87
5,42
2013*
245,35
4,29
DAFTAR PUSTAKA 1. Fauzi, Farit., 2009, Pemanfaatan Sel Surya sebagai Catu Daya Peralatan Penerangan. 2. Tim PLN., 2012, Buku Statistik PLN 2012, Vol 1, Hal 1. 3. Budiarto, dan Agung., 2009, Potensi Energi Limbah Pabrik Kelapa Sawit, Hal 24. 4. Basiron., Sukaimi., Darus., and Yusof., 1985, Palm Oil Factory Process Handbook, Palm Oil Research Institute of Malaysia, Malaysia. 5. Lynn, Wright., Boundy, Bob., G Badger , Philip., Periack, Bob., and Davia, Stacy., 2009, Biomass Energy Data Book : Edition 2, Oak Ridge, Tenesse, US. 6. Vandagrif., 2001, Practical Guide To Industrial Boiler Systems, Marcell Dekker.Inc., New York, US.
2014*
250,15 4,38 2015* 246,34 4,31 * proyeksi daya terbangkit yang dihasilkan pada tahun berikutnya KESIMPULAN 1. Areal perkebunan yang luas serta produktivitas rata-rata kelapa sawit pada
17
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 7. Mujeebu, M. Abdul., and Abdullah, MZ., 2009, Biomass Based Cogeneration and Trigeneration for Effective Heat Recovery and Waste Management, Kuwait Waste Management 2009.
18
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
BIOSOLUBILIZATION OF GAMMA IRRADIATION LIGNITE BYPenicillium sp. I.Sugoro1, D. Sasongko3, D. Indriani2, P.Aditiawati2 1
Center for Application of Isotope and Radiation Technology – BATAN JalanLebakBulus Raya 43, Jakarta Selatan, Indonesia 2 Department of Chemical Engineering – Faculty of Industrial Technology - ITB JalanGanesha 10, Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia 3 School of Life Science and Technology – ITB JalanGanesha 10, Bandung 40132, Jawa Barat, Indonesia Email :
[email protected]
ABSTRACT Biosolubilization is a processing technology for converting solid coal to liquid oil at ambient temperature by microorganisms such as fungus. Previous research has isolated Penicillium sp. from Sumatran lignite which has potency as biosolubilization agent. Aims of this research wereto investigate the biosolubilization of gamma irradiation pre-treated lignite by Penicillium sp. and characterized its products. Pre-treated dosages was 20kGy and autoclaved lignite was used as a comparison. Type of culture was submerged and incubated at room temperature and agitated at 150 rpm for 28 days. Parameters observed were biosolubilizationrate measured by spectrosphotometry UV-Visand product characterization measured by gas chromatography – mass spectrometry (GC-MS). The result showed Penicillium sp. could growth in the gamma irradiated lignite as well as autoclaved. Biosolubilization rate of gamma irradiation pre-treated was 2.01/days after 14 days incubation and 1.36/days after 7 days incubationfor phenolic and aromatic compound respectively. Pretreated of gamma irradiated resulted the biosolubilization product has similarity with gasoline and diesel approximately about 61.24% and 18.52% area. Pre-treated of autoclaved has different value of bisolubilization ratefor phenolic and aromatic compoundin the presence of0.219/days after 7 days and 0.005/days after 14 days incubation. Pre-treated of autoclaved resulted product which has similarity with gasoline and diesel approximately in the presence of73.24% and 9.39% area. It could be concluded that pre-treated of gamma irradiated has potency to used in lignite bisolubilization process by Penicillium sp. Keywords:biosolubilization,lignite, gamma iradiation, autoclaved, Penicilliumsp.
PENDAHULUAN Batubara menjadisumberenergi yang penting di dunia, seiring dengan semakin terbatasnya cadangan minyak dan gas alam [1]. Indonesia memiliki cadangan batubara terbukti sebesar 4,3miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara terbukti dunia. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignit sebesar 59% dan subbituminus sebesar 27%, sedangkan jenis bituminous mencapai 14% danantrasit 0,5%. Diperkirakan akan dapat memenuhi kebutuhan untuk 90 tahun ke depan [2]. Batubara banyak digunakan untuk pembangkit tenaga listrik dan panas.Umumnya jenis batubara yang digunakan adalah kualitas rendahdari jenis lignit sebesar 96,4 % untuk hal tersebut dan mengakibatkan polusi udara cukup
serius. Emisi dari pembakaran lignit terutama berupa sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), karbondioksida (CO2) dan logam berat [3]. Maka, pembakaran bukan merupakan teknologi yang baik dilihat sisi perlindungan lingkungan.Oleh sebab itu dibutuhkan teknologi baru untuk penanganannya. Biosolubilisasi adalah salah satu teknologi yang menjanjikan dengan memanfaatkan mikroba untuk mengsolubilisasi atau mencairkan padatan batubara sehingga diperoleh sumber energi dengan produk bersih [3].Produk biosolubilisasi yang berupa cairan hitam menyimpan 97,5% dari nilai pemanasan lignit mentah [4]. Dibandingkan dengan liquefaksi termal batubara, biosolubilisasi memiliki beberapa keuntungan, yaitu proses dilakukan dalam kondisi suhu dan
19
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 tekanan atmosfer, mikroba dapat menggunakan hydrogen dari air dan tidak membutuhkan energy eksternal hydrogen untuk membentuk lignit tersolubilisasi. Produk yang dihasilkan pun tidak menghasilkan Sox dan NOx selama proses pembakaran dan itulah sumber energy bersih [5]. Dengan alasan di atas maka, biosolubilisasi batubara menjadi menarik untuk diteliti lebih dalam. Akan tetapi, hasil solubilisasi yang rendah dan dibutuhkannya waktu konversi yang lama menjadi hambatan pengembangan biosolubilisasi batubara serta jenis batubara yang berbeda untuk setiap lokasi. Salah satu cara untuk mempercepat proses solubilisasi adalah pemberian pelakuan secara kimia seperti penambahan asam nitrat. Perlakuan ini menyebabkan perubahan gugus fungsi batubara sehingga reaksi enzimatis menjadi meningkat [6]. Dalam penelitian ini akan dilakukan metode secara fisika dengan memanfaatkan iradiasi gamma. Iradiasi batubara akan menyebabkan terputusnya ikatan komplek dan diharapkan dapat meningkatkan site adsorpsi enzim. Kapang yang digunakan adalah Penicillium sp. Yang merupakan hasil isolasi dari pertambangan batubara dan memiliki kemampuan mengsolubilisasi batubara [6]. Sebagai pembanding akan digunakan batubara hasil autoklaf. Berdasarkan hal tersebut di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh batubara hasil iradiasi gamma terhadap biosolubilisasi batubara lignit oleh Penicillium sp.
kapang, lalu spora dilepas dengan bantuan ose. Sebanyak 1 ml inokulum spora kapang dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer yang berisi 250 ml medium Minimum Salt Medium dan sukrosa 0,1%. Kemudian, sebanyak 5% serbuk batubara dimasukkan ke dalam medium tersebut. Kultur diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 150 rpm selama 28 hari. Parameter yang diukur adalah pH media, kolonisasi miselia, tingkat biosolubilisasi dan karakterisasi produknya. Tingkat biosolubilisasi diukur dengan bantuan spektrofotometer pada 250 dan 450 dan karakterisasi produk dianalisis dengan GCMS untuk perlakuan yang memiliki tingkat biosolubilisasi tertinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan pH Media Media kultur perlakuan yang diuji dalam proses biosolubilisasi menunjukkan terjadinya perubahan pH selama inkubasi hingga hari ke-28 dan memiliki pola yang sama (Gambar 1). pH awal medium perlakuan autoklaf lebih rendah dibandignkan dengan perlakuan iradiasi gamma. Hal ini mengindikasikan bawah iradiasi gamma tidak menyebabkan terlepasnya senyawa-senyawa organik yang bersifat asam terlepas ke media. Setelah itu, pH medium mengalami penurunan hingga hari ke-7 dan setelahnya cenderung stasioner. Penurunan pH mengindikasikanterjadinya proses pertumbuhan kapang dan biosolubilisasibatubara lignit [7].
pH media
METODE PENELITIAN PersiapanSerbuk Batubara Batubara yang digunakan dari jenis lignit dengan ukuran partikel 0,2 mm dan berasal dari Pertambangan di Sumatera Selatan. Sebanyak 12,5g sampel batubara dimasukkan ke dalam plastic polyetilen, kemudian di iradiasi dengan sinar γ dengan dosis 20 kGy (lajudosis 20 kgy/jam) di iradiator IRKA – PATIR o BATAN dan autoklaf pada suhu 121 C dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit.
4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
0
7
14
waktu (hari) Autoklaf
21
28
20 kGy
Gambar 1. Nilai pH media perlakuan biosolubilisasi batubara hasil iradiasi gamma dan autoklaf yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 150 rpm.
Biosolubilisasi Batubara olehKapang Isolat kapang yang diremajakan pada cawan petri, diinkubasi pada suhu ruang sampai menghasilkan spora. Sebanyak 5 ml NaCl 0,85% dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi inokulum spora
20
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Penurunan pH dalam media kultur menunjukkan telah terjadinya aktivitas metabolisme yang dilakukan oleh kapang Penicilliumsp. Hal tersebut, terbukti dengan adanya pertumbuhan kapang T Penicillium sp. (Gambar 2A dm B). Penurunan pH dapat disebabkan oleh pembentukan asam-asam organik berupa asam karboksilat, asam fulvat yang merupakan senyawa humat yang terdapat dalam batubara [8]. Batubara yang mengandung senyawa sulfur [] diduga mengalami desulfurisasi yaitu pelarutan sulfur ke dalam media cair dalam bentuk ion sulfat (SO42-) sehingga terbentuk asam sulfat sehingga menciptakan kondisi media asam [9]. Keasaman media juga disebabkan dalam proses biosolubilisasi batubara terbentuk produk berupa fenol, aldehid dan gugus keton [10]. Keberadaan senyawa asam organik terkait erat dengan aktivitas degradasi kapang yang melibatkan enzim diantaranya lignin peroksidase, fenol oksidase, dan mangan peroksidase [8].
gugus hidroksil dan karbonil akibat pemutusan senyawa komplek [11]. Pola biosolubilisasi Penicilliumsp. selama 21 hari menunjukkan pola yang berbeda untuk nilai absorbansi pada 250nmdan 450nm(Gambar 3). Pengukuran pada 250nm digunakan untuk mengukur adanya senyawa fenolik sedangkan 450nm untuk mengukur adanya senyawa aromatik terkonjugasi [8]. Laju absorbansi tertinggi senyawa fenolik terjadi pada hari ke-7 untuk perlakuan autoklaf sebesar 0,22/hari, sedangkan perlakuan iradiasi gamma terjadi pada hari ke-14 sebesar 2,01/hari. Berbeda dengan laju absorbansi tertinggi senyawa aromatik. Laju tertinggi pada perlakuan autoklaf, terjadi pada hari ke-14 sebesar 0,0046/hari dan perlakuan iradiasi gamma terjadi pada hari ke-7 sebesar 1,36/hari.
3
A
A
A250 nm
2,5
B
2 1,5 1 0,5 0 0
7
B
14
21
28
waktu (hari) Autoklaf 20 kGy
0,12
A450 nm
0,1
Gambar 2. Kolonisasi kapang Penicilliumsp. pada batubara (kiri) dan supernatan hasil biosolubilisasi pada hari ke-7 (kanan) (A : Autoklaf dan B :20 kGy).
0,08 0,06 0,04 0,02 0 0
7
14
waktu (hari) Autoklaf
Perubahan nilai pH dan pertumbuhan kapang Penicilliumsp. menyebabkan terjadinya biosolubilisasi. Warna supernatan menjadi lebih gelap (Gambar 2 C dan D).Interaksi yang terjadi pada perlakuan hasil iradiasi gamma menunjukkan adanya pengaruh pra perlakuan iradiasi gamma jumlah batubara yang terjebak dalam matrik miselia kapang. Jumlah batubara yang terjebak cenderung lebih banyak dibandingkan dengan kontrol. Iradiasi diperkirakan dapat menyebabkan peningkatan site adsorpsi sel atau enzim dengan terbukanya gugus-
21
28
20 kGy
Gambar 3. Nilai absorbansi supernatan perlakuan biosolubilisasibatubara hasil iradiasi gamma dan autoklaf yang diinkubasi pada suhu ruang dan agitasi 150 rpm.
Meningkatnya nilai absorbansi diduga telah terjadinya proses biosolubilisasi batubara lignit padat yang diurai menjadi batubara terlarut. Batubara terlarut mengandung senyawa fenol yang merupakan hasil penguraian senyawa
21
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 karbon yang lebih sedikit, yaitu (C5 – C24). Akan tetapi senyawa yang mendominasi adalah sama, yaitu asam aromatik, alifatik, dan fenil ester.
lignin penyusun terbesar batubara. Senyawa lignin diuraikan oleh adanya aktivitas enzim lignin peroksidase yang mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin [12]. Keberadaan senyawa fenol didukung pula dengan kondisi pH yang menurun pada hari inkubasi ke-2 (Gambar 8). Senyawa fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus benzen dan hidroksi yang bersifat asam dan mudah dioksidasi. Nilai absorbansi senyawa fenol berangsur-angsur menurun setelah hari ke-7 dan 14 untuk perlakuan autoklaf dan iradiasi gamma. Hasil berbeda terjadi pada nilai absorbansi supernatan kedua perlakuan. Perlakuan iradiasi gamma mengalami kenaikan kembali setelah hari ke-14, sedangkan pada perlakuan autoklaf mengalami penurunan terus setelah hari ke-14. Perubahan tersebut disebabkan proses biosolubilisasi terus berlangsung. Diduga aktivitas mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim lakase yang mampu mendegradasi unit fenolik [7]. Identifikasi senyawa yang dihasilkan dari proses biosolubilisasi menggunakan GCMS dinyatakan dalam persen area. Sampel yang digunakan adalah supernatant media perlakuan hari ke-7 yang menunjukkan laju tingkat biosolubilisasi tertinggi pada analisis senyawa fenolik dan aromatik di masingmasing perlakuan(Gambar 3).Senyawa awal yang terdeteksi setelah untuk perlakuan iradiasi gamma adalah8 buah dan autoklaf adalah 9 buah. Setelah itu mengalami perubahan jumlah senyawa setelah inkubasi, yaitu 20 senyawa untuk perlakuan autoklaf dan11 senyawa untuk perlakuan iradiasi gamma (Tabel 1). Kisaran jumlah rantai karbon yang terdeteksi adalah C9 – C22untuk perlakuan iradiasi gamma dan C8 – C22 untuk perlakuan autoklaf. Senyawa yang terdeteksi dengan konsentrasi tertinggi untuk perlakuan autoklaf adalah 3,7dimetilundekana (C13H28) yaitu 23,18% area, sedangkan haril iradiasi gamma adalah 2,4-dimetilheptana (C9H20). Senyawa yang terdeteksi ini merupakan produk biosolubilisasi yang memiliki rantai karbon terpanjang. Produk yang dihasilkan memiliki berat molekul rendah dan struktur sederhana dibandingkan dengan batubara (C661) [9]. Jenis senyawa yang mendominasi produk biosolubilisasi adalah asamaromatik, alifatik dan fenil ester. Penelitian yang dilakukan oleh Yin dkk. [5] menghasilkan produk biosolubilisasi dengan rantai
Tabel 1. Karakterisasi senyawa-senyawa produk biosolubilisasi batubara.
Jika dibandingkan dengan komposisi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada bensin dengan jumlah atom karbon sebanyak 7 sampai 11, dan minyak solar yang memiliki panjang rantai karbon 10 sampai 24 [13], maka senyawa hidrokarbon yang terdapat pada keempat sampel hasil solubilisasi batubara lignit memiliki kemiripan dengan jumlah atom karbon pada bensin dan sola. Produk biosolubilisasi perlakuan batubara hasil iradiasi gamma yang komponennya serupa dengan bensin dan solar sebesar 61,24% dan 18,52% sedangkan perlakuan autoklaf adalah 73,24% dan 9,39% area. Produk biosolubilisasi batubara hasil iradiasi gamma berpotensi untuk digunakan sebagai pengganti minyak bumi. Akan tetapi masih adanya produk yang mengandung oksigen, maka perlu dilakukan deoksigenasi sehingga kualitas bahan bakar dapat ditingkatkan. Adanya
22
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Revised dan Expdaned”, Marcel Dekker Inc., New York. 10. Faison, B. D., C. D. Scott, dan N. H. Davison. 1989, Biosolubilization of coal in aqueous dan non-aqueous media. Journal of American Chemical Society 85: 196 11. Sugoro, I. ,D. Indriani, D. Sasongko Aditiawati, P., 2011,Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Lignit oleh Kapang Indigenosdari Tanah Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan. Jurnal Persatuan Biologi Indonesia – LIPI. 12. Hofrichter, M. dan Fritche, W.,1997,Depolymerization of Low Rank Coal by Extracellular Fungal Enzyme Systems II. The Ligninolytic enzymes of the Coal-Humic-AcidDegrading Fungus Nematolomafrowardii b19. Applied of Microbiology Biotechnology, 47, 419– 424. 13. American Testing Society, 2009, Coal, http:www.ats.org,Diakses 5 September
oksigen pada produk biosolubilisasi menyebabkan nilai kalor menjadi rendah. KESIMPULAN Kapang Penicillium sp. dapat tumbuh dalam media yang mengandung batubara hasil iradiasi gamma 2 kGy sebaik pada batubara hasil autoklaf. Tingkat biosolubilisasi batubara hasil iradiasi gamma adalah 2,01/hari setelah 14 hari inkubasi dan 1,36/hari setelah inkubasi 7 hari untuk senyawa fenolik dan aromatik, sedangkan perlakuan autoklaf sebesar 0,219/hari setelah 7 hari dan 0.005/hari setelah 14 hari. Produk biosolubilisasi perlakuan batubara hasil iradiasi gamma yang komponennya serupa dengan bensin dan solar sebesar 65% dan 27.74%area sedangkan perlakuan autoklaf adalah 35% dan 82.01% area. DAFTAR PUSTAKA 1. IEA, 2011, International Energy Outlook. Coal,:www.ieo.org, pada 19 Desember 2011. 2. ESDM, 2012,Hand Book of Energy dan Economic Statistics of Indonesia 2011. 3. Fakoussa, R.M. danHofrichter, M.,1999, Biotechnology and Microbiology of Coal Degradation. Applied Microbiology and Biotechnology, 52, 25–40. 4. Shi, K.Y., Tao, X.X., Yin, S. D., andDu, Y. Lv. ZP.,2009, Bio-solubilization of Fushun lignite. The 6th Proceeding Conference on Mining Science & Technology in Procedia Earth and Planetary Science I : 627–633 5. Yin, S.D., Tao, X.X. dan Shi, K.Y., 2009, Bio-solubilization of Chinese Lignite II: Protein Adsorption onto the Lignite Surface. Mining Science and Technology, 19, 363–368. 6. WISE, D.L., 1990, Bioprocessing dan Biotreatment of Coal. Marcel Dekker Inc., New York. 7. Sugoro, I., Pikoli M.R., Kuraesin T., dan Aditiawati P., 2011,Isolasi dan Seleksi Kapang Pengsolubilisasi Batubara. Jurnal Biologi & Lingkungan Al-Kauniyah UIN Syahid, (2) : 30 – 34. 8. Selvi, A.P., Banerjee R.B., Ram L.C. and Singh G.,2009, Biodepolymerization Studies of Low Rank Indian Coals. World J Microbiol Biotechnol 25:1713–1720. 9. SPEIGHT, J.G., 2009,The Chemistry dan Technology of Coal, 2nd edition,
2009.
23
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Karakterisasi ekstrak kasar sistem selulase potensial dari Bacillus subtilis Yoni Rina Bintari, and Evi Susanti Chemistry Department, Faculty of Mathematic and Science, State University of Malang. Malang 65145 Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Cellulase system is a cellulase enzyme produced by cellulolitic microbes that have some activity, that is endocellulase (CMCase), excocellulase (aviselase) or β-glucosidase. Preliminary studies report cellulase system of Bacillus subtilis more potential than the Bacillus circulans and Bacillus coagulans. This study aims to determine the optimum concentration of avisel in media production and the characteristics of the crude extract of Bacillus subtilis cellulase system, as the basis of commercial cellulase production technology to support the production of bioethanol made from cellulose. Aviselase and CMCase activity was measured based on the amount of reduced sugar produced after assay the method of Somogyi-nelson. The results showed that: (1) avisel optimal inducer in the growth medium of Bacillus subtilis in producing cellulase system was 0.5% with CMCase activity of 93.36 μmol/hr and aviselase activity of 106.98 μmol/hr,(2) the higest cellulose system activity was found at pH 6-7, temperature 50ºC and incubation time of 2 h, (3) the VMax and KM values of CMCase activity are 1047,12 μg/h and 9,09% respectively, concentration the VMax and KM values of aviselase activity are 625 μg/ h and 4,16% respectively, and (4) CMCase and aviselase activity decreased during 5 days observation.
Keywords: characterization, crude extract cellulase system, Bacillus subtilis. PENDAHULUAN
dapat ditingkatkan dengan pengaturan kondisi pertumbuhan atau rekayasa genetik [15]. Genus Bacillus merupakan salah satu kelompok bakteri selulotik [5,15]. Waenokul, et.al,[17] melaporkan bahwa ekstrak kasar sistem selulase dari Bacillus circulans B6 memiliki aktivitas karboksimetilselulase (CMCase), aviselase, selobiohidrolase, βglukosidase dan β-xilosidase. Susanti [16] menyatakan Bacillus circulans strain lokal menghasilkan CMCase dan aviselase. Suhardi [14] menunjukkan bahwa Bacillus subtilis strain lokal memiliki aktivitas CMCase dan aviselase yang lebih tinggi dibanding dengan selulase dari Bacillus coagulan dan Bacillus circulans strain lokal. Produksi sistem selulase oleh mikroba selulolitik sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis induser. Induser akan mengontroll ekspresi sistem selulase [15]. Avisell diketahui mampu menginduksi produksii sistem selulase dari Bacillus subtilis [14] tetapi belum diketahui jumlah optimumnya. Informasi mengenai karakteristik enzim yang dihasilkan sangat diperlukan untuk aplikasinya sebagai enzim komersial. Maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui
Selulase (1,4-β-D-glukan glukanohidrolase, EC 3.2.1.4) secara umum adalah enzim yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi glukosa dengan memutus ikatan (β 1 4) glikosidik yang menghubungkan antar unit D-glukosa [3]. Berdasarkan aktivitasnya dibedakan menjadi: (i) endoselulase atau endoglukanase atau 1,4-ß-D-glukan-4glukanohidrolase (EC 3.2.1.4), (ii) eksoselulase atau eksoglukanase (EC 3.2.1.9.1), dan (iii) β-glukosidase atau βglukosid glukohidrolase (EC 3.2.1.21) [3,5,8]. Selulase digunakan secara luas dalam industri tekstil untuk pelembut katun, deterjen untuk melindungi warna, pulp dan kertas. Selulase juga berpotensi digunakan pada produksi bioetanol berbahan baku selulosa [13]. Mikroba selulolitik umumnya menghasilkan sistem selulase yaitu campuran selulase yang memiliki lebih dari satu jenis aktivitas selulase yang bekerja secara sinergis [15]. Mikroba selulolitik merupakan sumber enzim selulase yang potensial dibandingkan dengan tumbuhan dan hewan, karena pertumbuhannya cepat, media pertumbuhannya murah dan hasilnya
24
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 konsentrasi avisel optimum dalam media produksi dan karakteristik ekstrak kasar sistem selulase Bacillus subtilis, sebagai dasar produksi selulase komersial untuk mendukung teknologi produksi bioetanol berbahan baku selulosa.
Merujuk [18], maka pembuatan starter dilakukan dengan cara menginokulasikan 5 ose Bacillus subtilis dari medium nutrien agar ke dalam 10 mL medium nutrien Broth cair secara aseptis, diinkubasi semalam pada 37oC dan 86 rpm. Sebanyak 2 mL starter diinokulasikan secara aseptis masing-masing ke dalam 100 mL medium garam mineral Berg cair yang mengandung 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,5; 0,6; 0,7 dan 0,8% avisel pada pH 9 secara aseptis. Kultur biakan diinkubasi pada 37oC dan 85 rpm. Pada harI ke-5, sebanyak 6 mL media pertumbuhan diambil secara aseptis dan disentrifugasi 3000 rpm selama 20 menit. Sentrat yang diperoleh merupakan ekstrak kasar enzim selulase, ditentukan aktivitas CMCase dan Aviselase . 2.1 Penentuan Aktivitas CMCase
METODE PENELITIAN Bahan Bahan-bahan yang digunakan berderajat p.a. adalah: amonium molibdat, asam sulfat, besi(II) sulfat-7-hidrat, garam Rochelle, glukosa, kalium hidrogen posfat, kalsium klorida-2-hidrat, karboksimetil selulosa (CMC), avisel, magnesium sulfat-7hidrat, mangan sulfat monohidrat, natrium hidroksida, natrium karbonat, natrium karbonat anhidrat, natrium nitrat, natrium dihidrogen fosfat-12-hidrat, dinatrium hidrogen fosfat-7-hidrat, dinatrium hidrogen arsenat-7-hidrat, natrium sulfat anhidrat, dan tembaga(II) sulfat-5-hidrat. Serta beberapa bahan lain yaitu, aquades, etanol teknis dan serbuk nutrien agar. Biakan murni bakteri Bacillus subtilis yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi Universitas Brawijaya.
Dalam tabung reaksi dicampurkan 2 mL ekstrak kasar enzim, 2 mL CMC 1% dalam buffer pospat pH 7,0, dan 1 mL buffer pospat pH 7,0. Selanjutnya diinkubasi pada 45oC selama 120 menit. Jumlah substrat yang tereduksi menjadi gula ditentukan dengan metode Somogyi-Nelson.
Peralatan
2.2 Penentuan Aktivitas Aviselase
Dalam penelitian digunakan alat-alat sebagai berikut: a). Peralatan gelas yang terdiri dari cawan petri, gelas arloji, batang pengaduk, pipet tetes, pipet volume 20 mL, corong, beaker glass 50 mL dan 250 mL, erlenmeyer 250 mL, labu takar 50 mL, labu takar 100 mL, dan labu takar 500 mL. b). Peralatan khusus yang terdiri dari jarum ose, neraca analitik, laminar flow (enkase), autoklaf, inkubator, shaker water bath, sentrifugator, pH meter, dan spektronik 20.
Dalam tabung reaksi dicampurkan 2 mL ekstrak kasar enzim, 2 mL avisel 1% dalam buffer pospat pH 7,0, dan 1 mL buffer pospat pH 7,0. Selanjutnya diinkubasi pada 45oC selama 120 menit. Jumlah substrat yang tereduksi menjadi gula ditentukan dengan metode Somogyi-Nelson. 2.3 Penentuan Kadar Gula Reduksi dengan Metode Somogyi-Nelson Pada 1 mL sampel dan masing-masing 1 mL larutan glukosa yang mengandung 0 (blanko), 25, 50, 75, 100 ppm glukosa, ditambahkan 1 mL pereaksi Nelson aduk homogen. Kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 20 menit. Campuran tersebut kemudian didinginkan dalam suhu ruang dan ditambahkan 1 mL pereaksi arsenomolibdat. Ditambahkan aquades sebanyak 7 mL untuk mengurangi kepekatan. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm. 3. Karakterisasi Ekstrak Kasar Sistem Selulase 3.1 Penentuan pH Optimum
Prosedur 1.
Peremajaan Biakan Murni
Peremajaan biakan murni Bacillus subtilis dilakukan secara aseptis menggunakan jarum ose, dari biakan murni diinokulasikan ke medium nutrien agar, diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 sampai 3 hari. 2. Optimasi konsentrasi avisel dalam produksi ekstrak kasar sistem selulase dari Bacillus subtilis
25
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 3.4 Penentuan Nilai Vmaks dan KM CMCase dan Aviselase dalam Sistem Selulase Bacillus subtilis
Sebanyak 8 buah tabung reaksi, 4 tabung masing-masing diisi dengan 2,0 mL substrat avisel 1% yang pHnya telah diatur sebelumnya yaitu pH 5,0; 6,0; 7,0; dan 8,0, kemudian ditambahkan 2 mL ekstrak kasar selulase dan 1 mL buffer pospat pH 5,0; 6,0; 7,0; 8,0. 4 tabung yang lain masing-masing diisi dengan 2,0 mL substrat CMC 1%, yang pHnya telah diatur sebelumnya, yaitu pH 5,0; 6,0; 7,0; dan 8,0 kemudian ditambahkan 2 mL ekstrak kasar selulase dan 1 mL buffer pospat pH 5,0; 6,0; 7,0; 8,0. Tiap campuran o ini diinkubasi pada temperatur 45 C selama 120 menit. Kadar gula reduksi tiap tabung dianalisis secara spektrofotometri menggunakan metode Somogyi-Nelson.
Sebanyak 10 buah tabung reaksi, 5 tabung masing-masing diisi dengan 2,0 mL substrat avisel yang divariasi yakni 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0% , ditambahkan 2 mL ekstrak kasar sistem selulase dan 1 mL buffer pospat pH optimum. 5 tabung lain diisi dengan 2 mL substrat CMC yang divariasi yakni 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0% , ditambahkan 2 mL ekstrak kasar sistem selulase dan 1 mL buffer pospat pH optimum. Tiap campuran ini diinkubasi pada temperatur optimum selama waktu inkubasi optimum yang diperoleh sebelumnya. Kadar gula reduksi tiap tabung dianalisis secara spektrofotometri menggunakan metode Somogyi-Nelson.
3.2 Penentuan Waktu Inkubasi Optimum Sebanyak 14 buah tabung reaksi, 7 tabung masing-masing diisi dengan 2,0 mL substrat avisel 1% yang pHnya merupakan pH optimum, kemudian ditambahkan 2 mL ekstrak kasar selulase dan 1 mL buffer pospat pH optimum. 7 tabung lain masingmasing diisi dengan 2,0 mL substrat CMC 1% yang pHnya merupakan pH optimum, kemudian ditambahkan 2 mL ekstrak kasar selulase dan 1 mL buffer pospat pH optimum. Tiap campuran ini diinkubasi pada temperatur 45oC dengan variasi waktu 30; 60; 90; 120; 180; 240; dan 300 menit. Kadar gula reduksi tiap tabung dianalisis secara spektrofotometri menggunakan metode Somogyi-Nelson.
3.5 Penentuan Stabilitas Sistem Selulase Bacillus subtilis terhadap Lama Penyimpanan pada Suhu 4°C Ekstrak kasar sistem selulase disimpan dalam lemari pedingin pada suhu 4°C. Selama penyimpanan hari ke 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 ditentukan aktivitas CMCase dan aviselasenya. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
3.3 Penentuan Suhu Optimum
Optimasi Konsentrasi Avisel untuk Produksi Sistem Selulase Bacillus subtilis Strain Lokal
Enzim selulase adalah enzim indusibel, yakni enzim akan terekspresi jika adanya induser. Induser akan mengontrol ekspresi enzim selulase [10,15]. Pada penelitian ini digunakan avisel sebagai satu-satunya sumber karbon di dalam media pertumbuhan Bacillus subtilis yang berfungsi sebagai induser. Gambar 1 menunjukkan aktivitas CMCase dan aviselase meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi induser avisel dalam media pertumbuhan tetapi menurun pada pertambahan di atas 0,5%. Hal ini diduga semakin banyak sumber karbon, maka semakin banyak sistem selulase yang harus diekspresikan oleh sel Bacillus subtilis, tetapi jumlah avisel yang terlalu besar memicu berkurangnya oksigen dalam media sehingga metabolisme sel menurun termasuk produksi selulase.
Sebanyak 14 buah tabung reaksi, 7 tabung masing-masing diisi dengan 2,0 mL substrat avisel 1% yang pHnya merupakan pH optimum, kemudian ditambahkan 2 mL ekstrak kasar sistem selulase dan 1 mL buffer pospat pH optimum. 7 tabung lain diisi dengan 2,0 mL substrat CMC 1% yang pHnya merupakan pH optimum, kemudian ditambahkan 2 mL ekstrak kasar sistem selulase dan 1 mL buffer pospat pH optimum Tiap campuran ini diinkubasi pada tem-peratur yang divariasi yakni suhu kamar; 30; 35; 40; 45; 50; 55oC selama waktu inkubasi optimum yang diperoleh sebelumnya. Kadar gula reduksi tiap tabung dianalisis secara spektrofotometri menggunakan metode Somogyi-Nelson.
26
140 120 100 80 60 40 20 0 -20 0
aktivitas enzim (μmol/jam)
aktivitas enzim (μmol/jam)
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
117,54
93,36
0,5
konsentrasi avisel (%)
CMCase
1
300 250 200 150 100 50 0
213,96213,96213,96225,23 197,07 191,44 180,18 180,18180,18174,55 157,65
5
6
6,2 6,4 6,6 6,8
7
8
pH CMCase
Avicelase
Avicelase
Gambar 1 Kurva pengaruh konsentrasii avisel dalam media pertumbuhan terhadap aktivitas sistem selulase
Gambar 2 Kurva Pengaruh pH Reaksi Enzimatis Terhadap Aktifitas Ekstrak Kasar Sistem Selulase
Kondisi ini mungkin dapat diatasi dengan peningkatkan aerasi melalui penambahan kecepatan penggojokan. Dengan bertambahnya kadar oksigen maka Bacillus subtilis bersifat aerob masih bisa melakukan metabolisme sel termasuk ekspresi selulase. Berdasarkan hasil tersebut maka produksi sistem selulase optimum pada penggunaan avisel sebagai induser sekaligus sumber karbon sebesar 0,5% dengan aktivitas CMCase dan aviselase rata-rata yang dihasilkan masing-masing sebesar 93,36 μmol/jam, dan 117,54 μmol/jam. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Immanuel, et al., [4] bahwa enzim endoglukanase yang diisolasi dari Bacillus sp. memiliki aktivitas optimum pada konsentrasi substrat sebesar 0,5%.
Pada pH 6-7 diduga ionisasi residu asam amino pada pusat enzim menyebabkan residu tersebut dapat mengikat substrat dengan efektif. Perubahan pH berpengaruh terhadap ionisasi gugus fungsi pada pusat aktif enzim, yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan konformasi enzim selulase dan sifat katalitiknya. Kondisi ini menyebabkan penurunan aktivitas enzim selulase ketika terjadi perubahan pH. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alam, et al., [1] yang melaporkan bahwa selulase yang diisolasi dari Streptomyces omiyaensis memiliki aktivitas optimum untuk CMCase dan aviselase pada pH 6,5. Shailendra, et al., [12] juga melaporkan bahwa aktivitas selulase optimum pada pH 6,5-7,5. 2.2 Penentuan Suhu optimum
2.
Kondisi optimum reaksi enzimatis sistem selulase dari Bacillus subtilis strain lokal 2.1 Penentuan pH optimum
Gambar 3 menunjukkan aktivitas enzim meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga mencapai optimum, kemudian mengalami penurunan. Suhu antara 25°C hingga 45°C aktivitas baik CMCase dan aviselase naik secara signifikan, karena peningkatan suhu menyebabkan peningkatan tumbukan efektif antara enzim dengan substrat. Aktivitas CMCase optimum pada suhu 45°C dengan aktivitas 80,13 μmol/jam, dan aviselase optimum pada suhu 50°C dengan aktivitas 101,49 μmol/jam. Peningkatan suhu lebih lanjut akan menurunkan aktivitas ekstrak kasar enzim, aktivitas CMCase mulai turun pada suhu 50°C dan aktivitas aviselase turun pada suhu 55°C.
Enzim memiliki pH spesifik untuk menjalankan aktivitasnya, yaitu pH optimum yang dapat menghasilkan aktivitas optimum dalam mengkatalisis suatu reaksi. Gambar 2 menunjukkan aktivitas CMCase dan aviselase bekerja pada range pH optimum 6-7. Enzim selulase memiliki sisi aktif dengan gugus fungsi tertentu yang berperan sebagai katalis dalam pembentukan kompleks enzim-substrat (ES).
27
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
120
50 0 -50
25 30 35 40 45 50 55 suhu inkubasi (°C)
CMCase
106,98
100
101,49 80,13
100
aktivitas enzim (μmol/jam)
aktivitas enzim (μmol/jam)
150
Avicelase
90,08
80 60 40 20 0 0
Gambar 3 Kurva Pengaruh Suhu Reaksi Enzimatis Terhadap Aktivitas Ekstrak Kasar Sistem Selulase
2
4
6
waktu inkubasi (jam) CMCase
Avicelase
Gambar 4 Kurva Pengaruh Waktu Reaksi Enzimatis Terhadap Aktivitas Ekstrak Kasar Sistem Selulase
Hal ini disebabkan karena enzim mengalami denaturasi. Enzim mengalami perubahan konformasi pada suhu yang terlalu tinggi, sehingga substrat tidak bisa berikatan pada sisi aktif enzim. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Shabeb, et al., [12] menyatakan selulase yang diisolasi dari Bacillus subtilis strain KO memiliki aktivitas optimum pada suhu 45°C. Immanuel, et al., [4], melaporkan bahwa enzim selulase yang diisolasi dari Cellulomonas, Bacillus, and Micrococcus spp., memilki aktivitas optimum untuk menghidrolisis selulosa pada rentang suhu (20-50°C) dengan suhu optimum 40°C. Shailendra, et al., [11] juga melaporkan bahwa aktivitas selulase optimum pada suhu 40°C-50°C.
substrat, sehingga produk yang terbentuk masih sedikit pada saat reaksi dihentikan Pada saat waktu inkubasi optimum yakni waktu inkubasi selama 2 jam, substrat terikat secara optimum oleh sisi aktif enzim, sehingga pada saat ini proses katalitik terjadi secara maksimum pula dan dihasilkan produk yang melimpah. Aktivitas CMCase dan aviselase mengalami penurunan dengan penambahan waktu inkubasi lebih lanjut. Hal ini disebabkan karena sisi aktif enzim telah jenuh oleh substrat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi, sehingga produk yang dihasilkan hanya mengalami peningkatan relatif kecil. Pada waktu inkubasi selama 5 jam baik aktivitas CMCase dan aviselase bernilai nol, kondisi ini diduga karena reaksi enzimatis pada suhu 45ºC selama 5 jam mengakibatkan denaturasi selulase sehingga proses katalitik terhenti dan tidak dihasilkan produk. Penurunan aktivitas CMCase dan aviselase juga diduga karena ekstrak kasar sistem selulase merupakan enzim yang belum murni, sehingga disamping adanya enzim selulase juga terdapat enzim-enzim lain seperti protease, sehingga aktivitas protease dapat mendegradasi sistem selulase, yang berakibat aktivitas CMCase dan aviselase mengalami penurunan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susanti, [16] melaporkan bahwa waktu inkubasi optimum ekstrak kasar sistem selulase dari Bacillus circulans selama 2 jam.
2.3 Penentuan Waktu Inkubasi Optimum Waktu inkubasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh enzim untuk berikatan dengan substrat. Penentuan waktu inkubasi optimum dilakukan pada kondisi optimum yang telah diperoleh sebelumnya, yaitu pada pH 7 dan temperatur 45ºC. Gambar 4 menunjukkan bahwa aktivitas CMCase dan aviselase meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi hingga diperoleh waktu inkubasi optimum yakni selama 2 jam, dengan aktivitas CMCase rata-rata sebesar 90,08 μmol/jam dan aktivitas aviselase rata-rata 106,98 μmol/jam Sisi aktif ekstrak kasar sistem selulase dalam mengikat substrat secara optimum membutuhkan waktu yang cukup. Jika waktu yang dikondisikan pada enzim dan substrat kurang dari cukup, maka sisi aktif dari enzim belum optimal dalam mengikat
28
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Nilai Vmaks dan KM merupakan parameter kinetika enzim, Vmaks digunakan untuk mengetahui konsentrasi substrat maksimum yang terikat pada enzim, sedangkan KM bermanfaat untuk mengetahui ukuran afinitas enzim-substrat (E-S) [3]. Harga VMaks dan KM ini dapat ditentukan dengan menggunakan pemetaan kebalikan ganda atau Lineawever-Burk [3]. Gambar 5 untuk aktivitas aviselase diperoleh Vmaks = 625 µg/jam, KM = 4,16%. Gambar 6 untuk aktivitas CMCase diperoleh Vmaks = 1047,12 µg/jam, sedangkan KM = 9,09%. Hasil ini mengindikasikan bahwa B. subtilis menghasilkan selulase dengan karakter afinitas aviselase terhadap substrat lebih tinggi dibandingkan CMCase, tetapi kecepatan reaksi CMCasenya lebih cepat daripada aviselase.
Enzim terutama dalam bentuk ekstrak kasar biasanya mengalami penurunan aktivitas jika disimpan. Hal ini karena ekstrak kasar masih banyak mengandung protease. Penyimpanan pada suhu 4°C dimaksudkan untuk memperlambat aktivitas protease tersebut. Gambar 7 dan tabel I menunjukkan bahwa selulase selama penyimpanan pada suhu 4°Cpun, aktivitas CMCase maupun aviselase tetap mengalami penurunan secara bertahap.
Aktivitas enzim (μmol/jam)
2.5 Stabilitas Ekstrak Kasar Sistem Selulase Terhadap Lama Penyimpanan pada suhu 4 ͦ C
1/Vo
2.4 Penentuan nilai Vmaks dan KM CMCase dan Aviselase dalam sistem selulase dari Bacillus subtilis
0,04 0,035 0,03 0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0
CMCase Avicelase
2
4
6
lama penyimpanan (hari)
Gambar 7 Kurva lama penyimpanan waktu (hari) pada suhu 4ºC terhadap aktivitas enzim
0
2 4 6 1/[S] Gambar 5 Kurva Hubungan 1/[S] terhadap 1/[Vo] aktivitas aviselase 0,05
Tabel I Persentase Penurunan Aktivitas Enzim terhadap Aktivitas Awal Penyimpanan (0 Hari)
0,04 1/Vo
140 120 100 80 60 40 20 0 -20 0
Lama Penyimpanan 1
0,03 0,02
2
0,01 3
0 0
2 4 6 1/[S] Gambar 6 Kurva Hubungan 1/[S] terhadap 1/[Vo] aktivitas CMCase
4
5
Aktivitas CMCase
% Penurunan Aktivitas Enzim 13,63%
Aviselase
13,40%
CMCase
18,17%
Aviselase
30,43%
CMCase
36,36%
Aviselase
80,30%
CMCase
100%
Aviselase
95,65%
CMCase
100%
Aviselase
100%
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk meningkatkan stabilitas
29
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 6.
selama penyimpanan dilakukan pemurnian dan penambahan protease.
7. KESIMPULAN 8.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data yaitu konsentrasi optimum avisel sebagai induser dalam media pertumbuhan untuk menghasilkan sistem selulase Bacillus subtilis adalah 0,5% dengan aktivitas CMCase sebesar 93,36 μmol/jam dan aktivitas aviselase sebesar 117,54 μmol/jam. Sistem selulase dari Bacillus subtilis memiliki kondisi reaksi enzimatis o optimum pada pH = 6,0-7,0, suhu 50 C dan waktu inkubasi 2 jam dengan aktivitas CMCase 90,08 μmol/jam dan aviselase 106,98 μmol/jam. CMCase dalam sistem selulase Bacillus subtilis memiliki nilai VMaks = 1047,12 μg/jam dan KM= 9,09%. Aviselase dalam sistem selulase Bacillus subtilis memiliki nilai VMaks= 625 μg/jam dan KM= 4,16%. CMCase dalam sistem selulase selama masa penyimpanan pada suhu 4°C mengalami % penurunan aktivitas mulai hari ke-1 hingga ke-5, yaitu 13,63%; 18,17%; 36,36%; 100%; 100%. Aviselase dalam sistem selulase mengalami % penurunan aktivitas mulai hari ke-1 hingga ke-5 yaitu 13,40%; 30,43%; 80,30%; 95,65%; 100%.
9.
10.
11.
12. 13.
14.
UCAPAN TERIMA KASIH 15.
Penulis sangat berterimakasih kepada Staf Laboratorium Kimia Universitas Negeri Malang yang memfasilitasi pelaksanaan penelitian ini.
16. 17.
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4.
5.
Alam, M.Z, Manchur & Anwar, 2004, Pakistan Journal of Biological Sciences 7 (10): 1647-1653. Arjit D., Sourav, B., & Lakshmi M.. 2010, American-Eurasian J. Agric & Environ Sci., 8 (6): 685-691. Ekperigin, M.M., 2007, African Journal of Biotechnology, 6 (1): 028-033 Immanuel, G., Dhanusa R., Prema, P., dan Palevaseman. 2005. Int. J. Environ. Sci. Tech, (3): 25-34. Lynd, L. R., Weimer, P. J., van Zyl W.H., and Pretorius, I. S., 2002, Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66:506-577.
30
Nakano MM., 1998, Annu Rev Microbiol 52: 165–90. Naz., B.A., Akhtar, M.W., Malik N.N. and Sami, A.J, 1986, Pakistan Journal of Biochemistry vol. 19, pp19-25. Perez, J., Munoz-Dorado, J., de la Rubia, T., and Martinez, J., 2002 International Microbiology, Vol. 5, No. 2, pp. 53-63. Rajesh R., Arthe R., Rajesh E.M., Rajendran, and Jeya C., 2008, Electronic Journal of Environtmental, Agricultural and Food Chemistry, 7(6): 2984-2992. Seiboth B., Hartl L., Pail M., Fekette E., & Kubicek, C.P, 2004, Mol Microbiol (51): 1015-1025. Shailendra, S., J. Bahadur, and Ajit. 1991, Appl. Microbial Biotechol, 34: 668-670. Shabeb, S.A, Magdi A.M., Younis, Francis F., and Mustofa A., 2010, World Applied Science Journal,8(1): 35-42. Sonia Sethi, Aparna Datta, B. Lal, Gupta, and Saksham Gupta, 2013, Hindawi Publishing Corporation ISRN Biotechnology, 7 pages. Suhardi, W. 2009. Eksplorasi Sistem Selulase dari Bacillus Sebagai Upaya Mendukung Mendukung Kebijakan Pemerintah Memproduksi Bahan Bakar Nabati dari Bahan Pertanian Non Pangan. PKMP. Malang: UM Sukumaran, R.K., Reeta R.S., and Ashok,P., 2005, Journal of scientific & Industrial Research, (64): 832-844. Susanti, E., 2011, Jurnal Ilmu Dasar vol.12 No.1, Januari 2011: 40-49. Waenokul, R., Kyu, K.L., and Khanok, R, 2006,Multiple Cellulase and Xylanase from Bacillus Circulans B6 during Growth on Avisel under an Aerobic Condition. Bangkok: King Mongkut’s University.
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
KARAKTERISTIK RESERVOIR GEOTHERMAL Muhammad Destrayuda, Ruth Amelia, Nanda Ayu Safira Mariska Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2 Yogyakarta, 55281 Telp. (0274)513668, 6491380 Fax. (0274) 513668 Website: http://www.geologi.ugm.ac.id Email:
[email protected]
ABSTRACT There are many problems in energy demand, especially when dealing with fossil fuel as main resource of energy in the world. As the fossil fuel quantity decreases, the demand for energy increases. This problem leads to a new solution for renewable energy which can fulfill the need of energy and also eco-friendly. One example to a renewable energy is geothermal, energy that comes from the heat generated by the earth itself. To know how a geothermal system works, we need to know the characteristics of the reservoir rocks which contain fluid to generate the generator inside the powerplant. In this paper, we will give simple, brief, and clear description and explanation about the characteristics of geothermal reservoir rocks. Kata Kunci: characteristic, energy, geothermal, reservoir, rocks. PENDAHULUAN
sirkum besar di dunia, yakni Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik. Namun sayangnya, pemanfaatan geothermal ini belum dimanfaatkan secara maksimal karna sumber daya manusia yang belum mencukupi dan juga dukungan teknologi yang terbatas. Padahal geothermal itu sendiri bisa menjadi salah satu energi alternatif terhadap kebutuhan energi yang semakin besar ini.
Energi geothermal adalah salah satu jenis energi yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang sebagai sumber daya alternatif. Menurut etimologinya, geothermal berasal dari kata Yunani “Geo” yang berarti bumi dan “Thermal” berarti suhu. Pemanfaatan energi panas bumi dilakukan dengan menangkap panas di bawah kerak bumi untuk menjadikannya sebagai sumber daya energi yang dihasilkan oleh magma. Magma yang bisa berupa intrusi inilah yang nantinya akan memanaskan air di sekitarnya sehingga menghasilkan uap panas. Uap panas tersebut dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin yang akan memutar generator sehingga menghasilkan energi untuk memenuhi kebutuhan yang ada, seperti listrik. Pembangkit listrik tenaga panas bumi hampir tidak menimpulkan polusi atau emisi gas rumah kaca. Selain itu, hemat ruang dan pengaruh dampak visual yang minimal. Ini mampu memproduksi secara terus-menerus selama 24 jam sehingga tidak membutuhkan tempat penyimpanan energi karena tingkat ketersediaan yang sangat tinggi, yaitu di atas 95%. Tenaga listrik panas bumi dapat langsung dimanfaatkan untuk kegiatan usaha pemanfaatan energi atau fluida.
Gambar 1. Lokasi Lapangan Lapangan Panas Bumi di Indonesia (Sumber : LIPI , 2005)
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang kami gunakan dalam pengerjaan paper ini adalah dengan menggunakan metode studi pustaka. Metode ini digunakan dengan mengambil beberapa literatur dan jurnal yang nantinya menjadi dasar penulisan paper dan pembahasan mengenai geothermal ini. Bahan
Indonesia yang merupakan daerah dengan potensi geothermal yang sangat besar karena merupakan pertemuan dari 2
31
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa literatur dan jurnal yang berkaitan dengan geothermal, hidrogeologi, dan alterasi hidrotermal.
Setelah pengumpulan data dilakukan, lalu dilakukan tahap analisis data. Tahap ini meliputi hasil dan pembahasan yang tertera dalam paper ini. Di tahap inilah literatur dan jurnal diperlukan menjadi dasar pemikiran yang lebih baik dalam pembuatan paper ini. 6. Kesimpulan Kesimpulan berisi rangkuman keseluruhan yang bisa menjadi suatu pedoman bagi para saintis untuk mengembangkan energi yang dibahas dalam paper ini. 7. Penerbitan Penerbitan dilakukan dalam acara Seminar Nasional Kimia UGM 2013 dengan cara display poster dan presentasi dari paper yang telah dibuat.
Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer sebagai media sumber, analisis, dan penyimpanan data; serta alat tulis. Prosedur Prosedur ini merupakan langkah kerja yang telah kami lakukan selama pembuatan pengerjaan paper ini. Prosedur ini dapat terbagi menjadi beberapa sub prosedur, diantaranya : 1. Penentuan topik dan judul Topik yang dibahas adalah mengenai energi terbarukan yakni panas bumi (geothermal) dengan mengambil spesifikasi dari aspek reservoir. Ini menjadi dasar pembuatan judul yakni Karakteristik Reservoir Geothermal. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan minat dan pengetahuan dasar para saintis muda dalam mengembangkan energi terbarukan ini. 2. Pengumpulan data dari literatur yang terkait Data yang digunakan adalah data berupa literatur dan jurnal yang terkait dengan topik yang telah dipilih. Data ini akan bersinergi dan dikomparasikan agar mendapatkan sifat dinamis, sehingga pemikiran dan kesimpulan yang dihasilkan dapat berkembang. 3. Pembuatan abstrak Abstrak dimaksudkan untuk memberi gambaran secara umum atau garis besar dari isi paper yang telah dibuat. Abstrak ini menjadi dasar pengembangan dalam pembuatan paper ini. 4. Pengumpulan data Pengumpulan data ini dilakukan kedua kalinya untuk mendapatkan sumber data dan referensi yang lebih banyak sehingga dapat dibandingkan antara satu data dengan yang lainnya. 5. Analisis data dari berbagai sumber
HASIL DAN PEMBAHASAN Geothermal sebagai suatu sistem dapat dimanfaatkan menjadi sumber energi bersih, ramah lingkungan, dan terbarukan. Sistem Geothermal dapat diklasifikasikan berdasar keseimbangan sistem, suhu sistem, tipe fluida, dan batuan sumber yang ada pada suatu reservoir geothermal. Berdasarkan keseimbangan sistem, sistem geothermal dapat dibagi menjadi sistem dinamis (apabila panas ditransfer melalui mekanisme konveksi) dan sistem statis (apabila panas ditransfer melalui mekanisme konduksi). Berdasarkan suhu sistem, geothermal dibagi menjadi sistem suhu tinggi (apabila suhu sistem >1500 C) dan sistem suhu rendah (apabila suhu sistem 5x103 m/hari (Suharyadi, 1984). Selain reservoir geotermal, sistem geotermal juga membutuhkan suatu batuan penutup atau cap rock yang berfungsi untuk mencegah kalor menyebar sehingga uap tidak terbentuk secara optimal. Batuan ini identik dengan akuiklud pada istilah hidrogeologi, yaitu tubuh batuan yang dapat menyimpan air namun tidak dapat mengalirkan air dalam jumlah cukup berarti. Nilai Konduktivitas Hidrolika antara 10-4 – 10-6 bagi lapisan setengah kedap air dan Konduktivitas -6 Hidrolika sebesar 98%. Key words: biodiesel, heterogeneous catalysis, transesterification, mollusk shell, CaO PENDAHULUAN
telah diselidiki mempunyai aktivitas tinggi pada reaksi transesterifikasi trigliserida dengan alcohol [5-7]. Selain itu kondisi operasi dengan menggunakan katalis padat basa dapat dilakukan pada tekanan atmosferik, dengan suhu kisaran 60–100°C. Penggunaan katalis CaO untuk sintesis biodiesel selain tidak terlalu beracun, potensi pembentukan sabun juga sangat minim dibandingkan menggunakan katalis NaOH [2] Cangkang kerang mempunyai potensi yang baik untuk digunakan sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel karena mengandung kalsium karbonat (CaCO3) [8,9] yang merupakan bahan dasar dari katalis CaO. Dari data Dinas Perikanan Propinsi Riau tahun 2012, bahwa di perairan Propinsi Riau terdapat berbagai jenis kerang antara lain kerang darah, kerang hijau dan simping, sedangkan jumlah terbanyak terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir yaitu dari jenis kerang darah (anadara granosa) yang berjumlah sekitar 37,775 juta pada tahun 2011 [10]. Pemamfaatan cangkang kerang sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel selain mengurangi limbah perairan, cangkang kerang dapat dikatakan sebagai biokatalis sehingga tidak beracun dan ramah lingkungan.
Biodiesel adalah minyak diesel alternatif yang secara umum didefinisikan sebagai ester monoalkil (Fatty acid methyl esters = FAME) dari minyak tanaman, atau lemak hewan. Oleh karena semakin minimnya ketersediaan bahan bakar petroleum, akhir – akhir ini biodiesel memberikan perhatian yang menarik karena dihasilkan dari sumber yang dapat diperbaharui. Selain itu karena kandungan sulfur dan karbon relatif rendah sehingga penggunaan biodiesel dapat mengurangi karbonmonoksida dan sulfur pada emisinya. Biodiesel diperoleh dari hasil reaksi transesterifikasi antara minyak dengan alkohol monohidrat dalam suatu katalis alkalin. Tetapi nilai produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai produksi yang berasal dari bahan bakar petroleum. Untuk menurunkan harga dan membuat biodiesel bersaing dengan dengan petroleum, maka pemilihan bahan dasar dan katalis yang lebih murah untuk pembuatan biodiesel perlu di perhitungkan. Penggunaan katalis padat menjanjikan proses yang menguntungkan seperti pemisahan produk yang mudah, dan katalisnya bisa didaur ulang. Dari berbagai katalis padatan basa yang telah digunakan untuk sintesis biodiesel tersebut [1-4], CaO
36
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Makalah ini akan membahas tentang sintesis katalisis heterogen dari limbah cangkang kerang darah (anadara granosa) asal Riau dan aplikasinya pada pembuatan biodiesel. Biodiesel disintesis melalui reaksi transesterifikasi menggunakan minyak, metanol serta katalis tersebut dengan variasi berat katalis dan waktu reaksi. Hasil produksi (yield) biodiesel ditentukan dengan membandingkan berat biodiesel yang terbentuk terhadap berat minyak yang digunakan. Sedangkan komposisi biodiesel ditentukan dengan kromatografi gas (GC).
methanol dan katalis cangkang kerang. Sebanyak 100 gr minyak goreng dipanaskan o pada suhu 105 C selama 30 menit untuk menghilangkan kandungan air. Pada bagian lain 2 gr katalis dan metanol (perbandingan mol minyak methanol 1:6) direfluks selama 1 o jam. Setelah suhu diturunkan (50 C), minyak dimasukkan ke dalam campuran katalis dan metanol. Campuran ditransesterifikasi selama 3 jam pada suhu 60oC. Setelah bereaksi selama waktu tertentu, campuran dimasukkan ke dalam corong pisah dan dibiarkan semalaman sehingga terbentuk dua lapisan, dimana biodiesel pada lapisan atas dan gliserol pada lapisan bawah. Biodiesel dipisahkan, kemudian dicuci o dengan air panas (50 C) sehingga diperoleh biodiesel murni. Perlakuan sama seperti di atas dilakukan dengan variasi waktu reaksi dan berat katalis.
METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cangkang kerang darah, minyak kelapa sawit yang dijual dipasaran, metanol (Merk), dan aquades.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Katalis dengan XRD
Peralatan Sampel cangkang kerang setelah dikalsinasi 800oC dan 900oC selama 3 jam diidentifikasi kandungannya melalui analisis difraksi sinar-X (XRD). Analisis tersebut dilakukan di Fakultas Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung, dan difraktogramnya terlihat pada Gambar 1.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu leher tiga yang dilengkapi dengan kondensor, pengaduk magnetik, hot plate stirrer, thermometer, kertas saring Wathman 42, Difraktometer (Philips PW1710 BASED), Oven (Gallenkamp), kromatografi gas (GC), Furnace (vulcanTM seri A-130), Mortar, dan peralatan gelas lainnya. Prosedur Penelitian ini dilakukan beberapa tahap mulai dari sintesis katalis heterogen CaO sampai pada penerapannya yaitu pada sintesis biodiesel. Sintesis katalis Cangkang kerang dicuci dengan air sampai bersih dan ditumbuk kasar. Cangkang dikeringkan dalam oven pada suhu 110˚C selama 24 jam, kemudian dikalsinasi pada suhu 800˚C dan 900oC selama 3 jam. Cangkang digerus dan diayak 200 mesh, lalu sampel dianalisa dengan XRD menggunakan Difraktometer (Philips PW1710 BASED).
Gambar 1. Difraktogram katalis dari cangkang kerang yang dikalsinasi pada o o 800 C (CK 800 C) dan 900 C (CK 900 C). Hasil kalsinasi ini diharapkan Ca(CO)3 akan berubah menjadi CaO yang merupakan senyawa aktif untuk sintesis biodiesel. Dari hasil XRD tersebut diketahui bahwa limbah cangkang kerang yang dikalsinasi pada suhu 800oC dan 900oC selama 3 jam telah menunjukkan adanya spesies baru CaO dengan intensitas tinggi pada nilai 2θ adalah
Sintesis biodiesel Biodiesel disintesis melalui reaksi transesterifikasi menggunakan minyak,
37
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 o
32,22 ; 37,39; 53,86; 64,18; 67,42. Nilai 2θ ini spesifik untuk senyawa CaO sesuai dengan pola difraksi standar JCPDS. Selain itu dari hasil XRD terlihat cangkang kerang yang dikalsinasi pada suhu 800oC dan o 900 C selama 3 jam masih mengandung Ca(OH)2. Puncak Ca(OH)2 lebih banyak terlihat pada cangkang kerang yang dikalsinasi pada suhu 800oC. Empikul dkk [11] mengkalsinasi limbah cangkang telor, siput dan cangkang kerang mutiara pada o suhu 800 C selama 4 jam untuk menghasilkan CaO. Sedangkan Muntamah [12] memdapatkan CaO dari kalsinasi cangkang kerang pada suhu 1000oC selama 24 jam. Adanya Ca(OH)2 pada penelitian ini mungkin disebabkan karena cangkang kerang mempunyai lapisan yang sangat keras sehingga kalsinasi pada suhu dan waktu tersebut masih belum menghasilkan perubahan sempurna CaCO3 menjadi CaO. Oleh sebab itu perlu studi lanjut untuk mempelajari pengaruh suhu dan lama kalsinasi terhadap cangkang kerang darah sehingga diperoleh CaO murni.
Dari gambar terlihat bahwa walaupun hasil XRD cangkang kerang yang dikalsinasi o o pada suhu 800 C dan 900 C menunjukkan masih adanya Ca(OH)2, tetapi setelah reaksi selama 2 jam biodiesel sudah terbentuk sebanyak 49,7% dan 48,3% masing-masing dengan menggunakan cangkang kerang yang dikalsinasi pada suhu 800oC dan 900oC. Hasil biodiesel maksimum diperoleh pada penelitian ini diperoleh pada cangkang o kerang yang dikalsinasi pada suhu 800 C selama 3 jam dengan hasil sebesar 74,43%. Selanjutnya cangkang kerang yang dikalsinasi pada suhu 800oC ini akan digunakan untuk mempelari pengaruh berat katalis. Pengaruh berat katalis Untuk mempelajari pengaruh berat katalis terhadap produksi biodiesel, sintesis dilakukan dengan variasi berat katalis 2 sampai 5 gr. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa berat katalis yang optimal yaitu 4 gr dengan hasil biodiesel sebesar 85,94%. Adanya peningkatan berat katalis lebih dari 4 gr menyebabkan penurunan perolehan biodiesel, karena penggunaan katalis yang berlebihan akan banyak produk yang membentuk sabun dan emulsi.
Synthesis Biodiesel Transesterifikasi reaksi untuk sintesis biodiesel dilakukan dengan menggunakan kedua sampel cangkang kerang, baik yang dikalsinasi 800oC maupun 900oC dengan variasi waktu reaksi dan berat katalis. Pengaruh waktu reaksi Pengaruh waktu reaksi terhadap produksi biodiesel dilakukan dengan memvariasikan waktu reaksi yaitu 2,3,dan 5 jam, sedang variabel lain adalah konstan dan hasilnya terlihat pada Gambar 2.
Gambar 3. Pengaruh berat katalis reaksi terhadap produksi biodiesel (Temperatur o 60 C, rasio mol minyak:methanol 1:6, dan waktu reaksi 3 jam). Selanjutnya, komposisi biodiesel yang diperoleh pada kondisi optimum tersebut o diatas (cangkang kerang kalsinasi 800 C dan waktu reaksi 4 jam) akan dianalisis menggunakan kromatogarafi gas (GC) dan hasilnya terlihat pada gambar 4. Gambar 2. Pengaruh waktu reaksi terhadap produksi biodiesel (Temperatur 60oC, rasio mol minyak:methanol 1:6, berat cangkang 2 gram)
38
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
2.
3. 4. Gambar 4. Kromatogram biodiesel
5.
Hasil analisis dengan GC menunjukkan bahwa konversi metil ester yang dihasilkan sebanyak 98,7%, sedangkan sisanya adalah digliserida dan monogliserida.
6. 7.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa limbah cangkang kerang dapat digunakan sebagai katalis untuk sintesis biodiesel. Pada penelitian ini, hasil maksimum biodiesel diperoleh sebanyak 85,94% yaitu pada reaksi menggunakan cangkang kalsinasi 800oC selama 3 jam, temperatur reaksi 60oC, rasio mol minyak:methanol 1:6, reaksi selama 3 dan jumlah katalis cangkang 4 gr. Sedangkan konversi minyak sawit menjadi metil ester asam lemak (FAME) yang diperoleh dari hasil analisis GC adalah 98,94%.
8. 9.
10.
11. 12.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada DIKTI dan Universitas Riau yang telah membiayai penelitian ini melalui skim Penelitian BOPTN tahun 2013. DAFTAR PUSTAKA 1. Arzamendi G., Campoa I., Argui˜narena E., S´anchez M., Montes M.,. Gand´ıa
39
L.M. 2007. Chemical Engineering Journal, Vol. 134, hal. 123–130. Lee, D., Park, Y., and Lee, K., 2009. Catalysis Surveys from Asia, Vol. 13, hal. 63–77. Nurhayati, Akbar, E., Yaakob, Z., 2011. Prosiding Seminar HKI 2011. FMIPA UR, Pekanbaru. Nurhayati, 2012. Prosiding Seminar URUKM ke-7, FMIPA UR 2012, Pekanbaru. Samart, C., Chaiya, C., Reubroycharoen, P., 2010. Energy Conver. Manag., Vol. 51, hal. 1428– 1431. Yan, S., Lu, H., and Liang, B., 2008. Energy & Fuels, Vol. 22, hal. 646–651 Shiu, P.J., Gunawan, S., Hsieh, W.H., Kasim, N.S., Ju, Y.H., 2010. Bioresour. Technol., Vol. 101, hal. 984–989 Wahyuni, M.S. dan Hastuti, E., 2010. Jurnal Neutrino, Vol. 3, hal. 32 – 43. Empikul, N.V., Krasae, P., Puttasawat, B., Yoosuk, B., Chollacoop, N., and Faungnawakij, K., 2010. Bioresource Technology, Vol. 101, hal. 3765–3767 Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau, 2012. Statistik Perikanan Tangkap Propinsi Riau, hal. 15-64. Viriya, E.N., Krasae, P., Nualpaeng, W., Yoosuk, B., and Faungnawakij, K., 2012. Fuel, Vol. 92, hal. 239–244 Muntamah, 2011. Thesis. Program Pascasarjana, IPB Bogor.
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Optimasi Fermentasi Hasil Hidrolisis Ampas Tebu menjadi Bioetanol Menggunakan Ragi Tape. Optimization of The Hidrolized-Bagasse Fermentation to Bioethanol Using Ragi Tape Cahyaning Rini U., and Evi Susanti Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang, Semarang, Malang 65145 Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Ragi tape known to perform alcoholic fermentation because it contains Saccharomyces cereviciae. Ragi tape is very easy to obtain and cheap. The aims of the research are to determine the optimum fermentation 500 mL of the hydrolysis of 10 grams of bagasse into bioethanol using ragi tape. Determination of optimum amount of ragi tape was done by a set of ragi tape addition, 2, 5, 10, 15 and 20% (w/v) and fermentation time was done in a serial time of 12, 24, 48, 72, 96, and 120 hours. Purification of bioethanol on the research carried out by fractional distillation. Alcohol concentration in the distillate was then measured using alkoholmeter. identification of bioethanol from fermentation process using a qualitative test and GC-MS. Rendement bioethanol is defined as ethanol per kilogram of bagasse. The results showed that the fermentation 500 mL of the hydrolysis of 10 grams of bagasse into bioethanol requires of 10% (w/v) ragi tape with fermentation time of 24 hours and yielding of 175 mL/Kg. Based on the qualitative test (CAN, FeCl3, Lucas and flame test) and GC-MS showed that ethanol is the main product of fermentation. Key Words: fermentation, bioethanol, bagasse, ragi tape.
hasil fermentasi untuk menghasilkan produk etanol. Fermentasi alkohol untuk menghasilkan etanol dapat dilakukan oleh mikroba biakan murni maupun biakan campuran. Fermentasi alkohol menggunakan biakan murni dilakukan dalam bidang riset, sedangkan fermentasi alkohol menggunakan biakan campuran umumnya digunakan oleh masyarakat, misalnya dalam pembuatan tape dari bahan berpati dan minuman beralkohol. Hidayat (2006), menyatakan bahwa penggunaan biakan campuran memiliki keuntungan dapat mengurangi resiko apabila ada mikroba yang tidak aktif melakukan fermentasi. Salah satu biakan campuran yang umum digunakan adalah ragi tape. Ragi tape terdiri dari campuran mikroba yaitu Amylomyces rouxii, Mucor sp., dan Rhizopus sp., Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomycopsis malanga, Pichia burtonii, Saccharomyces cerevisiae, Candida utilis,
PENDAHULUAN Bioetanol dapat diproduksi dari bahan yang mengandung gula, bahan berpati dan selulosa (Krishna, 2000). Ampas tebu berpotensi sebagai bahan baku bioetanol karena mengandung selulosa sebesar 37,65% (Sarkar et al., 2012). Penggunaan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol akan meningkatkan nilai ekonomis dari ampas tebu yang selama ini kurang dimanfaatkan dan dapat menekan biaya operasional produksi bioetanol. Menurut Hermiati (2009), produksi bioetanol dari ampas tebu melalui tahap umum, yaitu perlakuan awal ampas tebu untuk merusak struktur lignoselulosa sehingga mudah dihidrolisis menjadi glukosa secara enzimatis, sakarifikasi untuk mengubah lignoselulosa menjadi glukosa secara enzimatis, fermentasi untuk mengubah glukosa menjadi bioetanol dan pemurnian
40
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Pediococcus sp. dan Bacillus sp. (Barnett et al. 2000). Ragi tape sudah lama digunakan untuk fermentasi bahan berpati menjadi tape. Anjarwati (2009) menunjukkan bahwa ragi tape dapat mengkonversi hasil hidrolisis bubur pati menjadi etanol. Secara ekonomis, penggunaan ragi tape menguntungkan karena murah, mudah diperoleh dan feasible. Susanti et al., (2011) telah meneliti kondisi optimum fermentasi hasil hidrolisis ampas tebu menggunakan Saccharomyces cerevisiae murni dan melaporkan bahwa hasil hidrolisis dari 10 g ampas tebu menghasilkan bioetanol dengan rendemen 160 mL/Kg ampas tebu meggunakan 10% (v/v) kultur Saccharomyces cerevisiae akhir fase logarithmik dengan waktu fermentasi selama 3 hari. Kemampuan ragi tape untuk memfermentasi ampas tebu belum pernah diteliti maka penelitian ini bertujuan menentukan kondisi optimum fermentasi hasil hidrolisis 10 g ampas tebu menggunakan ragi tape dan potensinya untuk proses produksi bioetanol dari ampas tebu. Parameter yang dioptimasi adalah jumlah mikroba dan waktu fermentasi karena kedua faktor ini akan mengalami perubahan jika jenis mikroba yang digunakan diganti, sedangkan untuk faktor suhu dan pH fermentasi diasumsikan mengikuti suhu dan pH optimum pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae (mikroba utama yang melakukan fermentasi etanol dalam ragi tape) yaitu 37oC dan pH 45 (Tortora, 1995). Kondisi optimum untuk fermentasi dan rendemen bioetanol hasil penelitian ini selanjutnya dibandingkan dengan penelitian Susanti et al. (2011) untuk mengetahui potensi ragi tape yang digunakan dalam proses produksi bioetanol dari ampas tebu.
tidak ditentukan seperti ampas tebu, media nutrien broth dan akuades, serta (3) mikroba berupa Bacillus circulans dan ragi tape merk NKL. Peralatan Alat yang digunakan dalam penelitian ini:(1) peralatan gelas berupa: gelas piala 50, 100, 600, 1000, 2000 mL; erlenmeyer 250 mL; gelas ukur 5, 10, 25, 50, 100 mL; corong kaca; pengaduk; termometer; tabung reaksi; pipet tetes; pipet volum 1 dan 5 ml dan (2) alat penunjang lain seperti 1 set alat destilasi fraksional, alkoholmeter, pemanas listrik, kertas saring kasar, pisau, neraca analitik, statif, klem, kawat kasa, kaki tiga, lampu spiritus, penjepit tabung, spektronik Genesys-20, kuvet, botol semprot, autoklaf, laminar flow, sentrifuge, jarum ose, kapas, kassa, aluminium foil, dan oven inkubator. Prosedur Hidrolisis Ampas Tebu Menggunakan Ekstrak Kasar Sistem Selulase Bacillus circulans Cara kerja tahap penelitian ini merujuk Susanti et al. 2011. Isolasi ekstrak kasar sistem selulase Bacillus circulans yang digunakan untuk hidrolisis merujuk Susanti, 2011. Penentuan Waktu dan Jumlah Ragi Tape optimum Fermentasi Hasil Hidrolisis Ampas Tebu Filtrat hasil hidrolisis diukur volumenya kemudian dimasukkan wadah plastik. Ditambah ragi tape perdagangan dengan variasi 2; 5; 10; 15 dan 20% (b/v) masingmasing pada wadah plastik yang berbeda dan ditutup rapat. Masing-masing diinkubasi pada suhu 37 ºC dengan variasi waktu fermentasi 0,5; 1; 2; 3; 4; dan 5 hari. Hasil fermentasi didestilasi dengan suhu terkontrol 75-78 ºC (titik didih etanol) selama ±24 jam dan sampai tidak ada yang keluar sebagai destilat. Destilat yang diperoleh merupakan bioetanol, kemudian ditentukan volume dan kadar alkoholnya dengan alkoholmeter. Kadar alkohol (%) : Fp x Pembacaan skala alkoholmeter (%).
METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini: (1) bahan-bahan dengan derajat p.a seperti glukosa, natrium nitrat, kalium hidrogen fosfat, magnesium sulfat heksahidrat, karboksimetil selulosa (CMC), mangan sulfat monohidrat, natrium karbonat, natrium karbonat anhidrat, besi(II) sulfat heksahidrat, asam sulfat pekat, etanol, kalsium klorida dihidrat, avicel, tembaga(II) sulfat 5-hidrat, serbuk agar, indikator universal, natrium sulfat anhidrat, arsenomolibdat, (2) bahan dengan kualitas
Identifikasi Bioetanol yang Dihasilkan Identifikasi bioetanol yang dihasilkan diuji secara kualitatif menggunakan uji CAN,
41
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
FeCl3, Lucas, dan uji nyala sesuai dengan prosedur praktikum Marfu’ah (2003). Destilat bioetanol hasil destilasi dikonfirmasi menggunakan GCMS-QP2010S merk SHIMADZU di laboratorium kimia organik FMIPA UGM.
Rendemen bioetanol yang dihasilkan setelah mencapai rendemen tertinggi mengalami penurunan. Terjadinya penurunan kemungkinan disebabkan pada kondisi tersebut jumlah glukosa yang ada dalam media jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah ragi tape, sehingga mengakibatkan metabolisme glukosa menjadi alkohol kurang optimal. Kemungkinan lain disebabkan karena etanol mengalami perubahan karena aktivitas mikroba lainnya mengingat ragi tape adalah suatu campuran mikroba. Sebagai contoh bakteri Acetobacter yang terdapat dalam ragi tape mampu menguraikan alkohol menjadi asam asetat (Dwidjoseputro, 2005). Penentuan rendemen bioetanol optimum yang dihasilkan ditentukan dari rendemen tertinggi yang dihasilkan pada penambahan ragi tape yang berbeda-beda. Rendemen bioetanol optimum dari masingmasing variasi ragi tape yang ditambahkan dapat dilihat pada Gambar II.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Bioetanol Yang Dihasilkan Pada Variasi Waktu Dan Jumlah Ragi Tape Peningkatan rendemen bioetanol yang terjadi selama produksi bioetanol pada konsentrasi ragi tape tinggi (10%, 15% dan 20%) mempunyai profil berbeda dengan konsentrasi ragi tape rendah (2% dan 5%). Profil berbeda pada konsentrasi ragi tape rendah dan konsentrasi ragi tape tinggi tersebut dapat dilihat pada Gambar I.
Gambar I. Rendemen Bioetanol terhadap waktu konversi hidrolisat ampas tebu menjadi bioetanol.
Gambar II.Rendemen Bioetanol Optimum Pada Berbagai Penambahan Jumlah Ragi Tape
Pada pemberian ragi tape dengan konsentrasi rendah, kenaikan rendemen bioetanol meningkat secara perlahan hingga hari ketiga sedangkan pada pemberian ragi tape konsentrasi tinggi, kenaikan rendemen bioetanol meningkat tajam mulai jam ke 12 hingga ke jam ke- 24. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak ragi tape yang ditambahkan maka semakin banyak pula jumlah mikroba yang melakukan fermentasi, sehingga jumlah produk alkohol yang terbentuk pada waktu yang sama semakin meningkat. Hal ini didukung oleh Setyohadi (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah ragi tape, semakin banyak khamir dan bakteri yang terdapat dalam campuran fermentasi dan semakin banyak etanol yang dihasilkan pada waktu yang sama.
Gambar II menunjukkan bahwa rendemen bioetanol pada penambahan 10% ragi tape merupakan rendemen paling tinggi sebesar 175,00 mL/Kg, sedangkan rendemen terendah sebesar 30,25 mL/Kg pada penambahan 2% ragi tape. Berdasarkan hal tersebut maka diketahui jumlah ragi tape optimum adalah dengan penambahan 10% (b/v) ragi tape dengan waktu fermentasi selama satu hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rendemen bioetanol menggunakan ragi tape lebih tinggi daripada penelitian Susanti et al. (2011) yang fermentasinya menggunakan Saccharomyces cerevisiae biakan murni.
42
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Identifikasi Fermentasi
Etanol
Dalam
Hasil
t-butanol -
Ragi tape merupakan campuran biakan yang terdiri dari beberapa spesies mikroba. Beberapa mikroba dalam ragi tape tersebut diduga memiliki kemampuan untuk menghasilkan etanol. Mikroba dalam ragi tape yang mampu mengkonversi glukosa menjadi etanol adalah Saccharomyces cerevisiae, Candida utilitis dan Hansenulla (Dwidjoseputro, 2005). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan identifikasi uji kualitatif dan GCMS. Uji kualitatif untuk membuktikan apakah hasil fermentasi menggunakan ragi tape mengandung produk utama etanol atau tidak. Jika hasil positif maka dikonfirmasi kebenarannya menggunakan GC-MS untuk melihat struktur dan senyawa yang dihasilkan berdasarkan hasil kromatogram dan pola fragmentasinya. Tabel I menerangkan hasil uji kualitatif yang dilakukan pada penelitian ini.
Fenol -
Hasil uji kualitatif tersebut menunjukkan bahwa bioetanol yang dihasilkan mempunyai karakter yang sama dengan etanol sebagai kontrol positif alkohol primer. Pada uji CAN dan uji nyala yang telah dilakukan, etanol, 2propanol, t-butanol dan fenol sama-sama menghasilkan warna merah dan menyala. Warna merah tersebut menandakan bahwa sampel mengandung gugus hidroksil dan merupakan alkohol. Identifikasi sampel bioetanol hasil fermentasi yang memiliki karakter sama dengan etanol juga ditunjukkan pada uji Lucas. Bioetanol yang dihasilkan pada uji Lucas menunjukkan bahwa mempunyai hasil yang sama dengan etanol, yaitu setelah didiamkan dalam waktu 1 jam tidak terdapat gas (awan) pada dinding tabung dan larutan tetap jernih. Hal tersebut berbeda dengan Uji Lucas pada 2-propanol sebagai kontrol alkohol 2º (sekunder) dan t-butanol yang merupakan golongan alkohol 3º (tersier). Pada pengujian terhadap 2-propanol, dapat terbentuk awan putih setelah 5 menit. Sedangkan pada pengujian terhadap tbutanol, hanya dalam waktu 1 menit saja sudah terbentuk awan putih. Setelah uji kualitatif telah dilakukan, identifikasi selanjutnya dengan menguji sampel bioetanol hasil fermentasi menggunakan GC-MS. Tujuan dari uji GCMS pada sampel adalah untuk mengetahui bahwa alkohol primer yang terbentuk adalah etanol melalui potongan fragmen dari alkohol yang terbentuk. Profil kromatogram hasil fermentasi dapat dilihat pada Gambar III.
Tabel I : Identifikasi bioetanol Uji Kualitatif Jenis Sampel
Uji Seri Uji Amo- Besi nium (III) Nitrat Klorida (CAN)
Uji Lucas
Uji Nyala
Aquades Hasil Hidrolisis ampas tebu Bioetanol hasil fermentasi dengan ragi tape Etanol 70% 2propanol
-
-
-
-
Gambar III. Kromatogram GC-MS hasil fermentasi.
43
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
menghasilkan bioetanol dari ampas tebu. Beberapa parameter yang dibandingkan dapat dilihat pada Tabel II.
Dari hasil spektra pada Gambar III dapat diketahui adanya satu puncak utama, yaitu etanol. Senyawa etanol muncul pada waktu retensi 2,234 menit dan memiliki tinggi puncak 100% dari puncak (peak) keseluruhan. Spektrum massa bioetanol dari ampas tebu menggunakan ragi tape disajikan pada Gambar IV.
Tabel II. Perbandingan Efisiensi Ragi Tape dan S.cerevisiae untuk fermentasi hasil hidrolisis ampas tebu menjadi bioetanol, masingmasing pada kondisi optimum Jenis Ragi Saccharomyces Mikroba Tape cerevisiae Jumlah 50 g 50 mL kultur mikroba fasa akhir logarithmic Waktu 1 hari 3 hari fermentasi Hasil ( 175,00 160 mL/Kg Rendemen) mL/Kg Uji Alkohol Alkohol primer kualitatif primer Perkiraan Rp. Rp. 88.500,00 harga 4.500,00 mikroba Alat Oven Peralatan gelas penunjang inkubator Laminar yang dan Autoklaf diperlukan laminar Oven inkubator untuk Shaker inkubator fermentasi
Gambar IV. Pola Fragmentasi Bioetanol Hasil Fermentasi Hasil spektrum massa yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan Library WILEY7.LIB senyawa etanol atau etil alkohol. Pola fragmentasi limpahan ion utama yaitu m/z 28, 31 (base peak) dan 45. Berdasarkan pola fragmentasi diatas, fragmen dengan m/z 31 sebagai puncak dasar dan m/z 45 sebagai ion molekul sama dengan library, sedangkan fragmen m/z 28 muncul pada hasil fragmentasi dan berbeda dengan library. Fragmen m/z 28 tidak terlalu diperhitungkan karena relatif berbeda untuk setiap hasil karena memiliki kestabilan yang rendah dibandingkan fragmen lain. Tinggi fragmen menyatakan kestabilan fragmentasi, makin tinggi puncak, makin stabil strukturnya (Sutrisno, 2010). Fragmen dengan m/z 45 dari hasil spektrum massa diduga akibat lepasnya radikal hidrogen.
Berdasarkan Tabel II, jika dibandingkan dari jumlah mikroba yang digunakan, keefektifan antara keduanya tidak dapat langsung dibedakan, akan tetapi dapat dibandingkan dengan jelas berdasarkan perkiraan harga mikroba dan waktu fermentasi. Penggunaan 50 gram ragi tape untuk satu kali fermentasi hanya membutuhkan biaya sebesar Rp. 4.500,00 untuk biaya harga ragi tape satu pak dan listrik yang terpakai, sedangkan untuk membuat 50 mL Saccharomyces cerevisiae biakan murni memerlukan biaya sebesar Rp. 88.500,00. Biaya tersebut berasal dari penyediaan biaya untuk pembuatan media Saccharomyces cerevisiae, sterilisasi, pemakaian listrik dan pembelian dan peremajaan biakan murni. Dari segi biaya, terlihat bahwa penggunaan Saccharomyces cerevisiae diperkirakan 20 kali lebih mahal dibandingkan menggunakan ragi tape. Efisiensi penggunaan ragi tape juga tampak dari waktu optimum fermentasi. Fermentasi hasil hidrolisis ampas tebu menjadi bioetanol menggunakan ragi tape cukup membutuhkan waktu 1 hari, sedangkan penggunaan Saccharomyces
Efisiensi Fermentasi Hasil Hidrolisis Ampas Tebu Menggunakan Ragi Tape Dibandingkan Dengan Saccharomyces cerevisiae Biakan Murni. Sasaran lain dari penelitian ini adalah melihat efisiensi penggunaan ragi tape dalam proses fermentasi untuk menghasilkan bioetanol dari ampas tebu dengan beberapa parameter yang dibandingkan selain rendemen bioetanol. Hal tersebut untuk mengetahui apakah ragi tape efektif untuk menggantikan S.cerevisiae biakan murni dalam proses fermentasi
44
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
cerevisiae memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 3 hari untuk menghasilkan etanol dengan rendemen yang hampir sama besarnya. Penggunaan ragi tape untuk fermentasi lebih praktis karena hanya membutuhkan peralatan inkubator saja. Penggunaan Saccharomyces cerevisiae lebih banyak menggunakan peralatan pendukung terutama sterilisasi alat dan media pertumbuhan karena menggunakan biakan murni haruslah dalam keadaan steril atau tidak ada kontaminan.
3. 4.
5.
6.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitan maka banyaknya ragi tape optimum fermentasi hasil hidrolisis dari 10 gr ampas tebu menjadi bioetanol adalah 10% (b/v) dengan waktu fermentasi selama 1 hari. Rendemen bioetanol yang dihasilkan pada banyaknya ragi tape dengan waktu fermentasi optimum sebesar 175,00 ±25 mL/Kg. Hasil tersebut hampir sama dengan fermentasi menggunakan Saccharomyces cerrevisiae yang dilakukan oleh Susanti et al. (2011) sebesar 160 mL/Kg. Uji kualitatif (CAN, FeCl3 serta Lucas) dan GC-MS menunjukkan bahwa etanol merupakan produk utama dari hasil fermentasi tersebut.
7.
8.
9. 10.
UCAPAN TERIMA KASIH 11.
Penulis sangat berterimakasih kepada Staf Laboratorium Kimia Universitas Negeri Malang yang memfasilitasi penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Anjarwati, E. 2009. Optimasi pH Hasil Sakarifikasi oleh Aspergillus Niger pada Pembuatan Bioetanol dari Ubi Jalar Putih dan Penentuan Rendemen Bioetanol Tanpa Sakarifikasi oleh Ragi Tape dan Ragi Roti. Skripsi. Malang: Program Sarjana Universitas Negeri Malang. 2. Barnet et. al. 2002b. Ethanol Production from enzimatic hidrolysates of surgarcane bagasse using recombinant
12.
13.
45
xylose-utilising yeast. Microbial Technol 31: 274-282. Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Hermiati, E. 2009. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian vol 29(4):121-130. Hidayat, N. dan Suhartini, S. 2006. Mikrobiologi Industri. Malang: Tek. Industri Pertanian FTP Univ. Brawijaya Malang. Krishna, S.H. and G.V. Chowdary. 2000. Optimization of Simultaneous Saccharification and fermentation for the production of ethanol from Lignocellulosic biomass. J. Agric. Food Chem. 48: 1971−1976. Marfuah, S. 2003. Petunjuk Praktikum Kimia Organik I. Malang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang. Sarkar et al. 2012. Bioethanol Production from Agricultural Wastes: An Overview. Renewable Energy 37, 19-27. Setyohadi, 2006. Proses Mikrobiologi Pangan. Medan: USU-Press. Susanti, E. 2011. Optimasi Produksi dan Karakteristik Sistem Selulase dari Bacillus circulans Strain Lokal dengan Induser Avicel. Jurnal Ilmu Dasar, Vol 12 No.1, Januari 2011:40-49. Susanti, E., Neena Zakia and Sumari. 2011. Production From Sugarcane Bagasse Using Separated Hydrolysis and Fermentation Method based on Cellulase System of Bacillus circulans. Proceeding of International Conference Basic science, 17 February 2011. Malang: Brawijaya University. Sutrisno, 2010. Spektroskopi Massa. Malang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang. Tortora, Gerard J., Berdell R. Funke, & Christine L. Case. 1995. Microbiologi an Introduction 5th edition. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
OPTIMASI HASIL SURFAKTAN DAN GLISEROL DARI MINYAK/LEMAK LIMBAH INDUSTRI KRIMER DITINJAU DARI SUHU PEMANASAN, KONSENTRASI KATALIS, DAN LAMA PEMANASAN Devy Kartika Ratnasari1, A. Ign. Kristijanto1, and Sri Hartini1 1
Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga 50711 Indonesia e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study is to determine the optimization yield of surfactant and glycerol from oils/fats creamer industrial’s waste as revealed by heating temperature, catalyst concentration, period of heating, and the interaction of those three factors. Data were analyzed by Factorial Design (2x3x3) and it was laid out using Randomized Completely Block Design (RCBD), three replications and the time of analysis was used as block. The first factor is catalyst concentration consist of two levels, which are 0,5% and 1,5%, respectively. The second factor is heating temperature which consist of three levels: 400, 600, and 750C, respectively and the third factor is the period of heating which consist of three levels: 30, 45, and 60 minute. To compare between means of surfactant and glycerol yield, the Honestly Significant Differences (HSD) at 5% significant level was used. Result of this study showed that there is an interaction between heating temperature and catalyst concentration on the surfactant yields. The highest yields of surfactant (76,13 ± 10,54 gram) obtained on the use of 0,5% catalyst concentration and 400C of heating temperature, while the highest yields of glycerol (112,01 ± 2,61 gram) obtained on the use of 1,5% catalyst concentration and 750C of heating temperature. Keywords: creamer industry’s waste, glycerol, oils/fats, optimization, surfactant.
PENDAHULUAN Salah satu industri yang ada di Kota Salatiga adalah industri krimer di Dukuh Cabean, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti. Warga setempat mengeluhkan bau tidak sedap dari pabrik tersebut [1]. Areal persawahan di Dukuh Cabean, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti pun diduga tercemar limbah pabrik. Akibatnya, beberapa petak yang sudah ditanami padi, akarnya membusuk dan akhirnya mati [2]. Untuk menjawab persoalan pencemaran lingkungan oleh industri krimer dapat dilakukan dengan cara menerapkan prinsip dan aktivitas nir limbah (zero waste) dalam proses industri. Berdasarkan pengertiannya, aktivitas zero waste didefinisikan sebagai “aktivitas meniadakan limbah dari suatu proses produksi dengan pengelolaan proses produksi yang terintegrasi dengan minimisasi, segregasi dan pengolahan limbah”. Dengan kata lain, pelaku industri harus berupaya agar meminimalkan limbah
yang dihasilkan dan apabila masih tetap dihasilkan limbah maka diupayakan untuk diolah sehingga menjadi produk yang aman namun masih memiliki nilai ekonomis [3]. Limbah padat industri krimer mengandung minyak/lemak (40%) dan berpotensi untuk menjawab pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dengan cara mengolahnya kembali menjadi surfaktan dan gliserol. Perolehan kembali (recovery) limbah industri krimer tersebut selain memiliki nilai guna, juga memiliki nilai ekonomis, yaitu limbah yang sudah tidak terpakai dapat diubah menjadi produk yang laku untuk diperdagangkan, tanpa mengeluarkan tambahan biaya produksi yang besar. Tambahan pula, produk yang dihasilkan ramah lingkungan sehingga penggunaannya akan digemari masyarakat Barat yang melek pelestarian lingkungan. Metode pembuatan surfaktan metil ester yang telah dipatenkan, yaitu metode transesterifikasi atau esterifikasi asam lemak dengan poli (alkil eter). 46
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Penelitian yang telah dilakukan, salah satunya, asam stearat direaksikan dengan poli (etilen glikol) monometil eter menggunakan katalis natrium metoksida sambil diaduk dan dipanaskan suhu 1700C menghasilkan ester surfaktan jenuh [4]. Penelitian lain menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk mengisolasi 55,61% metil laurat diperoleh melalui reaksi antara minyak kelapa dan metanol pada suhu reaksi 600C dengan waktu reaksi 2 jam dan konsentrasi katalis NaOH 2% bobot minyak [5]. Lebih lanjut, kondisi optimum untuk memperoleh 37,26% gliserida melalui reaksi antara minyak sawit dan gliserol 1:3 (b/b) dengan 1% katalis natrium metoksida dan diaduk dengan pengaduk mekanik dengan kecepatan 3.500 rpm sampai natrium metoksida larut (1 jam) [6]. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tujuan penelitian adalah: 1. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol antar konsentrasi katalis. 2. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol antar suhu pemanasan. 3. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol antar lama pemanasan. 4. Menentukan optimasi hasil surfaktan dan gliserol ditelaah dari interaksi antara konsentrasi katalis, suhu pemanasan, dan lama pemanasan.
dengan kapas untuk memisahkan air dan minyak/lemak dari pengotor. Campuran air dan minyak/lemak yang didapat dimasukkan ke dalam corong pisah untuk dilakukan pemisahan minyak/lemak dari air. Separasi Minyak/Lemak dengan Kromatografi Kolom [7] Netral lipid, glikolipid, dan fosfolipid dari minyak/lemak limbah industri krimer dipisahkan dengan menggunakan metode kromatografi kolom menggunakan fase gerak kloroform, aseton, metanol secara bergantian dan sebagai fase diam berupa silica gel. Hasil pemisahan diuapkan dengan rotary evaporator, kemudian dihitung persentase netral lipid, glikolipid, dan fosfolipid. Sintesis Surfaktan dan Gliserol [5] Mula-mula dilakukan preparasi katalis (NaOH) dengan cara melarutkan dalam metanol 96% volume untuk membentuk natrium metoksida (NaOCH3) dan air, dengan reaksi: NaOH + CH3OH NaOCH3 + H2O NaOCH3 yang diperoleh dicampur dalam reaktor batch kaca berkepala tiga dengan minyak dari limbah industri krimer dan Poli Etilen Glikol (PEG) dalam jumlah mol yang sama. Reaktor tersebut ditutup lalu diletakkan di dalam waterbath. Sebelumnya, campuran diaduk dengan stirer dan reaksi ini dilakukan dengan variasi suhu (45 0C, 600C, dan 750C), lama pemanasan (30, 45, dan 60 menit), dan bobot katalis (0,5% dan 1,5% dari bobot minyak). Metil ester hasil transesterifikasi dipisahkan dari gliserol menggunakan corong pisah, lalu dicuci dengan H2SO4 10 % untuk mendeaktivasi katalis NaOH. Selanjutnya, setelah air pencucian dengan H2SO4 tersebut dikeluarkan, ditambahkan akuades hangat ke dalam metil ester agar sisa metanol, gliserol, H2SO4 dan pengotorpengotor lainnya terpisah dari metil ester. Terakhir, Na2SO4 anhidrat ditambahkan ke dalam metil ester agar air yang masih tersisa dapat diserap dan
METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan, yaitu limbah industri krimer di Dukuh Cabean, Kelurahan Mangunsari, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Peralatan Peralatan yang diperlukan, yaitu beaker glass, corong pisah, neraca digital, kolom, silica gel, rotary evaporator, set reaktor batch kepala tiga, waterbath, stirer, dan termometer. Prosedur Ekstraksi Minyak/Lemak dari Limbah Industri Krimer Limbah industri krimer dilarutkan dalam akuades dengan perbandingan 1:1 (b/b) dengan cara dididihkan. Selanjutnya, campuran larutan disaring 47
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Na2SO4 kemudian dipisahkan dari metil ester dengan cara penyaringan. Hasil gliserolisis dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan dietil eter dan asam sitrat sehingga terbentuk dua lapisan, lapisan atas dicuci dengan akuades dan dietil eter diuapkan. Residu yang diperoleh kemudian dikeringkan dengan alat vakum.
terjadi hidrolisis surfaktan metil ester yang dihasilkan [5]. Untuk reaksi transesterifikasi metanolisis minyak jarak menjadi metil risinoleat, reaksi mencapai kondisi optimum pada suhu 20-350C. Penelitian lain, dalam reaksi transesterifikasi etanolisis minyak bunga matahari mencapai yield 90% pada suhu kamar [8]. Lebih lanjut, reaksi transesterifikasi dalam metanolisis minyak kedelai dengan katalis 1% NaOH dan variasi suhu 32,50-60,50C memperoleh hasil optimum pada suhu 32,5 0C [9]. Demikian pula halnya dengan sintesis etil ester dari minyak Cynara cardunculus L. mencapai yield sebesar 91,6% dengan reaksi transesterifikasi pada suhu kamar [10]. Di sisi lain, purata hasil gliserol (dalam gram ± SE) antar berbagai suhu pemanasan (400, 600, dan 750C) berkisar antara 104,89 ± 2,65 gram dan 109,03 ± 2,57 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa purata hasil gliserol dari minyak/lemak limbah industri krimer berbeda secara bermakna antar suhu pemanasan (Tabel II.).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Hasil Surfaktan dan Gliserol dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer Purata hasil surfaktan (dalam gram ± SE) antar berbagai suhu pemanasan (400, 600, dan 750C) berkisar antara 68,96 ± 6,81 gram sampai 74,05 ± 6,56 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa purata hasil surfaktan dari minyak/lemak limbah industri krimer berbeda bermakna antar suhu pemanasan (Tabel I.). Tabel I. Purata Hasil Surfaktan (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer antar berbagai Suhu Pemanasan Suhu Pemanasan (0C) SE (dalam gram) W = 2,87
75
60
40
68,96 ± 6,81 (a)
70,84 ± 6,01 (b)
74,05 ± 6,56 (c)
Tabel II. Purata Hasil Gliserol (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer antar berbagai Suhu Pemanasan Suhu Pemanasan (0C) SE (dalam gram) W = 2,87
Keterangan: * Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda secara bermakna, sebaliknya angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna. Keterangan ini berlaku juga untuk Tabel II, III, dan IV.
40
60
75
104,89 ± 2,65 (a)
106,74 ± 1,89 (ab)
109,03 ± 2,57 (b)
Penggunaan Poli Etilen Glikol (PEG) dalam reaksi bertujuan untuk mengurangi terbentuknya kembali trigliserida dalam minyak/lemak limbah industri krimer karena dengan penambahan PEG ke dalam reaksi maka trigliserida akan mengalami gliserolisis untuk membentuk gliserol [11]. Suhu berpengaruh pada kelarutan PEG dalam trigliserida [12]. Gliserolisis (sintesis gliserol) berjalan baik pada suhu tinggi karena
Dari Tabel I. terlihat bahwa hasil surfaktan metil ester maksimum pada suhu pemanasan 400C, sebaliknya pada suhu 600C dan 750C hasil surfaktan metil ester menurun. Adanya penurunan hasil surfaktan metil ester pada suhu pemanasan lebih tinggi karena telah 48
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
suhu dapat meningkatkan homogenitas campuran reaksi [13]. Semakin homogen campuran, semakin banyak molekul yang bertumbukan dan menghasilkan produk. Gliserol yang polar harus ditingkatkan kelarutannya pada minyak yang cenderung bersifat non polar, yaitu dengan menaikkan suhu reaksi. Pada kondisi kamar, kurang lebih hanya 4% gliserol saja yang bisa terlarut dalam minyak tanpa adanya pelarut. Temperatur yang cukup tinggi diperlukan untuk meningkatkan kelarutan gliserol dalam minyak (fase trigliserida). Semakin banyak gliserol yang larut dan bereaksi dengan minyak, makin besar pula konversi yang diperoleh. Selain meningkatkan kelarutan PEG dalam trigliserida, kenaikan suhu pemanasan menyebabkan molekulmolekul mendapat energi dan bergerak lebih efektif sehingga terjadi tumbuhan yang menyebabkan reaksi berjalan lebih cepat [14]. Semakin tinggi suhu pemanasan, tumbukan antar molekul semakin sering terjadi karena molekulmolekul mendapat energi untuk bergerak lebih besar, sehingga hasil gliserol yang diperoleh semakin besar. Kondisi optimum untuk menghasilkan yield DAG (DiAsilGliserol) 48,44% dari minyak safflower dengan katalis enzim lipase, yaitu reaksi pada suhu 46,90C [15]. Reaksi tidak berlangsung pada suhu tinggi karena katalis enzim lipase akan rusak pada suhu tinggi sehingga hasil optimum yield gliserol jenis DAG hanya mencapai 48,44%. Pada penelitian ini, yield gliserol semakin tinggi seiring dengan peningkatan suhu. Dalam reaksi transesterifikasi CPO dengan katalis MgO sejalan dengan peningkatan suhu, maka molekulmolekul mendapatkan energi dan bebas bergerak sehingga menimbulkan terjadinya tumbukan yang menghasilkan reaksi. Lebih lanjut diperoleh suhu optimum antara 700-900C untuk mendapatkan yield gliserol sampai 97% dan hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini.
Pengaruh suhu pada proses gliserolisis minyak sawit dengan butanol dan katalis MgO menunjukkan bahwa suhu optimum untuk memperoleh konversi gliserol 94-98% berada pada kisaran 700-1000C [16]. Hasil tersebut selaras dengan hasil penelitian ini. Penelitian lain menunjukkan kondisi optimum dalam gliserolisis stearin minyak sawit terjadi pada suhu 200 0C dengan katalis NaOH 2% dan hasil monogliseroda yang diperoleh mencapai 62% [17]. Dalam penelitian ini diperoleh persen yield gliserol lebih tinggi pada suhu lebih rendah, sehingga lebih ekonomis energi. Pengaruh Konsentrasi Katalis terhadap Hasil Surfaktan dan Gliserol dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer Purata hasil surfaktan (dalam gram ± SE) antar konsentrasi katalis berkisar antara 68,77 ± 4,82 gram sampai 73,80 ± 5,37 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa hasil surfaktan dari minyak/lemak limbah industri krimer antar berbagai konsentrasi katalis berbeda secara bermakna (Tabel III.). Tabel III. Purata Hasil Surfaktan (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer antar Konsentrasi Katalis Konsentrasi Katalis (%) SE (dalam gram) W = 1,95
1,5
0,5
68,77 ± 4,82 (a)
73,80 ± 5,37 (b)
Hasil surfaktan tinggi pada konsentrasi katalis (NaOCH3) yang rendah (0,5%) [8]. Pada penelitian lain, produksi metil ester dari CPO melalui reaksi transesterifikasi metanolisis menurun dengan peningkatan konsentrasi katalis NaOH dari 0,5%-1,5%. Konversi maksimum metil ester dicapai pada konsentrasi katalis NaOH 0,5% [10]. Demikian pula halnya dengan kenaikan konsentrasi katalis (NaOCH3) 2% meningkatkan laju reaksi pembentukan surfaktan metil laurat, 49
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
minyak dan yield DAG (diasilgliserol) yang diperoleh 48,44% [15]. Pada penelitian ini, katalis NaOCH3 (NaOH dalam pelarut metanol) merupakan katalis yang tepat karena peningkatan konsentrasi katalis dapat meningkatkan perolehan gliserol. Purata Hasil Surfaktan dan Gliserol dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer ditinjau dari Interaksi antara Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis Purata hasil surfaktan (gram ± SE) ditinjau dari interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis berkisar antara 66,18 ± 3,67 gram sampai 76,13 ± 2,61 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan adanya interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis pada bobot surfaktan yang dihasilkan (Tabel V.).
sedang pada penambahan konsentrasi katalis 3% akan menurunkan konsentrasi metil laurat [5]. Purata hasil gliserol (dalam gram ± SE) antar konsentrasi katalis berkisar antara 104,42 ± 1,81 gram dan 109,35 ± 1,78 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa hasil gliserol dari minyak/lemak limbah industri krimer antar berbagai konsentrasi katalis berbeda secara bermakna (Tabel IV.). Tabel IV. Purata Hasil Gliserol (gram ± SE) dari Minyak/Lemak Limbah Industri Krimer Antar Berbagai Konsentrasi Katalis Konsentrasi Katalis (%) SE (dalam gram) W = 1,95
0,5
1,5
104,42 ± 1,81 (a)
109,35 ± 1,78 (b)
Hasil gliserol meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi katalis (Tabel IV.). Katalis berfungsi untuk mengurangi energi aktivasi sehingga reaksi lebih mudah berlangsung. Namun, katalis juga berfungsi untuk mengarahkan gugus OH ke arah pembentukan gliserol [18]. Semakin besar konsentrasi katalis, maka reaksi gliserolisis akan semakin cepat berlangsung dan hasil gliserolisis yang diperoleh semakin banyak. Gliserolisis merupakan reaksi yang berjalan lambat tanpa adanya katalis. Katalis berperan dalam meningkatkan laju reaksi. Dalam reaksi transesterifikasi CPO menunjukkan konsentrasi katali MgO pada kisaran 1,5-5,0% optimum untuk mendapatkan konversi gliserol dari CPO 97,87% [13]. Semakin banyak katalis, konversi reaksi menjadi gliserol semakin meningkat karena katalis dapat menurunkan energi aktivasi dan mempercepat reaksi. Dalam gliserolisis minyak sawit dengan butanol, konsentrasi katalis MgO pada kisaran 2,5-4,0% optimum untuk memperoleh gliserol 94-98% [16]. Penelitian lain menunjukkan kondisi optimum dalam gliserolisis minyak safflower pada katalis enzim lipase 0,75% dari bobot
Tabel V. Purata Hasil Surfaktan (gram ± SE) ditinjau dari Interaksi antara Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis Suhu (0C)
Konsentrasi Katalis (%) 0,5
1,5
76,13 ± 10,54 (b)
71,96 ± 9,69 (b)
(b)
(a)
60
73,52 ± 9,59 (a)
68,17 ± 8,78 (a)
(b)
(a)
75
71,75 ± 11,27 (a)
66,18 ± 9,55 (a)
(b)
(a)
40
Keterangan: * Angka-angka yang diikui oleh huruf yang sama, baik pada lajur maupun baris yang sama, menunjukkan antar perlakuan tidak berbeda bermakna, sebaliknya angkaangka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antar perlakuan berbeda bermakna. Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel VI. * W = 2,32 untuk uji BNJ 5% antar suhu pemanasan dalam setiap konsentrasi katalis. * W = 1,58 untuk uji BNJ 5% antar konsentrasi katalis dalam setiap suhu pemanasan.
50
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Dari Tabel V. terlihat bahwa rataan hasil surfaktan menurun pada setiap suhu pemanasan dengan penggunaan katalis 1,5%. Demikian juga halnya dengan rataan hasil surfaktan antar suhu pemanasan. Rataan hasil surfaktan menurun pada peningkatan suhu pemanasan, baik dengan penggunaan katalis 0,5% maupun 1,5%. Rataan hasil surfaktan maksimum diperoleh pada suhu terendah (40 0C) dengan penggunaan katalis terkecil (0,5%) (Gambar 1.).
Purata hasil gliserol (gram ± SE) ditinjau dari interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis berkisar antara 102,26 ± 3,67 gram dan 112,01 ± 2,61 gram. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan adanya interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis pada bobot gliserol yang dihasilkan (Tabel VI.). Tabel VI. Purata Hasil Gliserol (gram ± SE) ditinjau dari Interaksi antara Berbagai Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis Suhu 0 ( C)
Konsentrasi Katalis (%) 0,5
1,5
40
102,26 ± 3,67 (a) (a)
107,53 ± 3,82 (a) (b)
60
104,97 ± 1,996 (ab) (a)
108,52 ± 3,26 (a) (b)
75
106,04 ± 4,18 (b) (a)
112,01 ± 2,61 (b) (b)
Keterangan: * W = 3,36 untuk uji BNJ 5% antar suhu pemanasan dalam setiap konsentrasi katalis. * W = 2,29 untuk uji BNJ 5% antar konsentrasi katalis dalam setiap suhu pemanasan.
Gambar 1. Hasil Surfaktan ditinjau dari Interaksi antara Berbagai Suhu Pemanasan dan Konsentrasi Katalis
Hasil surfaktan metil ester optimum diperoleh pada suhu rendah dengan konsentrasi katalis NaOCH3 0,5% dari bobot minyak [8]. Kenaikan katalis menjadi 1,5% pun menyebabkan hidrolisis surfaktan metil ester meningkat sehingga hasil surfaktan metil ester menurun. Kenaikan konsentrasi katalis menginisiasi reaksi lebih banyak antara katalis dan alkohol (metanol). Akibatnya, kandungan air dari reaksi antara katalis dan metanol meningkat. Kandungan air yang ada menyebabkan hidrolisis surfaktan metil ester. Pada suhu 600C dan 750C, surfaktan metil ester mengalami hidrolisis. Kenaikan suhu pemanasan menyebabkan hidrolisis surfaktan metil ester semakin meningkat sehingga hasil surfaktan metil ester mengalami penurunan.
Dalam setiap suhu pemanasan, pemakaian katalis 1,5% menunjukkan peningkatan rataan hasil gliserol. Demikian juga halnya penggunaan katalis antar suhu pemanasan menunjukkan hasil gliserol pada suhu 750C, baik pada penggunaan katalis 0,5% maupun 1,5% lebih tinggi dari pada suhu 400 dan 600C (Gambar 2.).
Gambar 2. Hasil Gliserol ditinjau dari Interaksi antara Berbagai Suhu
51
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
3. Sulaeman, D. 2008. Zero Waste: Prinsip Menerapkan Agro-industri Ramah Lingkungan. Jakarta: Departemen Pertanian. 4. Hutchinson J. C., dkk. 2006. United States Patent Aplication Publication: Method of Making Methyl Ester Surfactants. Chicago. 5. Arbianti, R., Tania S. U., dan Astri N. 2008. Isolasi Metil Laurat dari Minyak Kelapa sebagai Bahan Baku Surfaktan Fatty Alcohol Sulfate (FAS). Makara, Teknologi, 12, II: 61-64. 6. Sihotang, H dan Mimpin Ginting. 2006. Pembuatan Monogliserida melalui Gliserolisis Minyak Inti Kelapa Sawit menggunakan Katalis Natrium Metoksida. Jurnal Sains Kimia, 10, II:5157. 7. Bawa, M. P. A. 2009. Komposisi Asam Lemak dari Minyak Biji dan Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas Ekstrak Metanol Biji Delima (Punica granatum L.). Salatiga: Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana. 8. Freedman, B., E. H. Pryde, dan T. L. Mounts. 1984. Variables Affecting the Yield of Fatty Esters from Transesterified Vegetables Oils, JAOCS, Vol 61, No. 10: 1638-1643. 9. May, C. Y. 2004. Transesterification of Palm Oil: Effect of Reaction Parameters, Jurnal of Oil Palm Research, Vol. 16, No. 2:1-11. 10. Attanatho, L., Sukunya, M., dan Peesamai, J. 2004. Factors Affecting the Synthesis of Biodiesel from Crude Palm Kernel Oil ,International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE)” Hua Hin Thailand. 11. Noureddini, H. dan Medikonduru. 1997. Glycerolysis of Fats and Methyl Esters, Papers in Biochemicals, Paper 11. 12. Noureddini, H., Harkey, dan Gutsman. 2004. A Continous Process for the Glycerolysis of Soybean Oil, Papers in Biochemicals, Paper 15. 13. Pramana, Y. S. dan Sri M. ?. Proses Gliserolis CPO menjadi Mono dan Diacyl Gliserol dengan Pelarut Tert-Butanol dan Katalis MgO. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. 14. Harismawati dan Prasetyo. ?. Produksi Mono- dan Digliserida dengan Proses Gliserolisis Pseudohomogen dari Minyak Goreng Bekas. Semarang: Jurusan
Pemanasan dan Konsentrasi Katalis
Semakin tinggi suhu pemanasan, kelarutan PEG dalam trigliserida semakin besar sehingga reaksi berjalan semakin cepat. Tingginya suhu pemanasan pun memberikan energi pada molekul-molekul untuk bergerak dan bertumbukan sehingga hasil gliserol yang didapat semakin meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Kenaikan konsentrasi katalis mempercepat terbentuknya gliserol, terutama penggunaan katalis basa (NaOCH3). Semakin besar konsentrasi katalis, hasil gliserol yang diperoleh semakin besar karena semakin banyak gugus OH yang terarah pada pembentukan gliserol. KESIMPULAN 1. Hasil surfaktan metil ester dan gliserol dari minyak/lemak limbah industri krimer dipengaruhi oleh suhu pemanasan, konsentrasi katalis, sedangkan lama pemanasan tidak berpengaruh terhadap hasil surfaktan metil ester dan gliserol. Ada interaksi antara suhu pemanasan dan konsentrasi katalis dalam hasil surfaktan maupun gliserol yang dihasilkan. 2. Hasil surfaktan maksimum 76,13 ± 10,54 gram pada suhu pemanasan 400C dengan katalis NaOCH3 0,5%, sedangkan hasil gliserol maksimum 112,01 ± 2,61 gram pada suhu pemanasan 750C dengan katalis NaOCH3 1,5%. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak A. Ign. Kristijanto yang telah membimbing penulis dalam penelitian dan penulisan, serta Ibu Sri Hartini atas saran dan rekomendasi yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA 1. Suara Merdeka, Agustus 28, 2009. Bau Busuk, Pabrik Kiviet Diprotes Warga. 2. Suara Merdeka, Februari 23, 2010. Limbah PT Kiviet Diduga Cemari Sawah
52
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. 15. Sahafi, S. M., Sayed A. H. G., dan Mahdi K. 2012. Production of A DiacylglycerolEnriched Safflower Oil Using LipaseCatalyzed Glycerolysis: Optimization by Response Surface Methodology, International Journal of Food, Nutririon, and Public Health, Vol. 5, No. 4: 295-306. 16. Anggoro, D. D. dan Faleh S. B. 2008. Proses Gliserolisi Minyak Kelapa Sawit Mono dan Diacyl Gliserol dengan Pelarut Butanol dan Katalis MgO, Reaktor, Vol. 12, No. 1: 22-28. 17. Chetpattananondh, P. dan Chakrit T. 2007. Synthesis of High Purity Monoglycerides from Crude Glycerol and Palm Stearin, Songklanakarin Journal of Science and Technology, 30 (4): 515521. 18. Purwaningtyas, E. F. dan Bambang P. 2009. Pembuatan Surfaktan Polyoxyethylene dari Minyak Sawit: Pengaruh Rasio Mono-Digliserida dan Polyethylene Glykol. Jurnal Reaktor, 12, III:175-182. Semarang: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
53
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
OPTIMASI PRODUKSI BIOETANOL DARI NIRA NIPAH MENGGUNAKAN MIKROBA INDIGENOUS Saccharomyces spp. DENGAN VARIASI KONSENTRASI STARTER DAN GLUKOSA Warsono El Kiyat1, Wiludjeng Trisasiwi2, Gunawan Wijonarko3 1
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Utara, Banyumas 53123 Indonesia E-mail:
[email protected]
2
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Utara, Banyumas 53123 Indonesia E-mail:
[email protected]
3
Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Utara, Banyumas 53123 Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK This research is a type of experimental research. The factors tested include the concentration of the starter (A) and the concentration of sugar (B). As for the extent of the starter tries to concentration (A), namely: A1=5%, A2=7,5%, and A3=10%, while the concentration of sugar (B), namely: B1=13%, B2=15%,and B3=17%. Total sugar analysis results of nypa palm is high enough that 13.3%. These results can be interpreted that the nypa palm has the potential to serve as a raw material in the process of fermenting bioetanol. Results of the chemical analysis include pH is 4, total solids are 23.5 (brix), dissolved proteins are 0.73% and sugar total are 13.36%. Based on discussions that have been described, a conclusion that can be obtained namely: optimal concentration of a starter: 7.5 %, while the concentration of sugar optimal which is 13%. The combination of best treatment is on an increase in the concentration of sugar 7.5% and 13% (A2B1), the concentration of sugar where the level of ethanol produced namely 5,21% with rendemen of 39,02%. Recommendations are need more research related long incubation fermentation bioethanol using microbes indigenous. Keywords: Nypa palm, bioethanol, glucose and starter concentrations
terhadap metabolit primer yang dihasilkan dalam proses fermentasi [5]. Konsentrasi gula yang baik untuk permulaan fermentasi adalah 16% [6]. Penelitian terkait produksi bioetanol menggunakan nira nipah telah banyak dilakukan, akan tetapi kadar etanol yang dihasilkan belum maksimal. Oleh karena itu, perlu dicari kondisi yang optimal dari konsentrasi starter dan konsentrasi gula yang digunakan nipah untuk mendapatkan etanol dengan kadar tinggi. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menentukan konsentrasi starter dan glukosa yang optimal dalam menghasilkan etanol dengan rendemen tinggi, serta menentukan kombinasi perlakuan yang terbaik.
PENDAHULUAN Nira nipah memiliki potensi yang relatif besar sebagai bahan dasar bioetanol. Luas daerah tanaman nipah di Indonesia yaitu 10% dari luas daerah pasang surut sebesar 7 juta ha [1]. Fermentasi nira nipah lebih optimal jika menggunakan kultur murni yang diperoleh dari isolasi lingkungan tanaman yaitu mikroba indigenous. Mikroba indigenous akan lebih efektif digunakan karena mikroba sudah teradaptasi dengan baik pada lingkungan [2]. Faktor yang mempengaruhi fermentasi etanol yaitu konsentrasi starter dan glukosa yang terkandung di dalam nira. Konsentrasi starter yang digunakan harus tepat [3]. Banyaknya konsentrasi starter yang digunakan dalam fermentasi belum tentu menghasilkan etanol yang tinggi [4]. Konsentrasi gula selama fermentasi mempengaruhi bioetanol yang dihasilkan. Penambahan glukosa akan berpengaruh
METODE PENELITIAN Penelitian Laboratorium Universitas
54
ini dilakasanakan di Teknologi Pertanian Jenderal Soedirman,
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Purwokerto. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental. Faktor yang dicoba meliputi konsentrasi starter (A) dan konsentrasi gula (B). Adapun taraf yang dicoba untuk konsentrasi starter (A), yaitu: A1 = 5%, A2 = 7,5%, dan A3= 10%; sedangkan konsentrasi gula (B), yaitu: B1= 13%, B2 = 15%, dan B3 = 17%.
8%, kemudian ditambah nutrien yaitu 0,3% ZA dan 0,1% pupuk NPK, pH diatur antara 4,5–4,8. Selanjutnya dilakukan pemanasan sampai mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, diinokulasi dengan Saccharomyces spp. yang sudah ditumbuhkan dalam agar miring sebanyak 5 ose, kemudian o diinkubasikan pada suhu 35 C selama 24 jam.
Bahan
Fermentasi nira nipah untuk produksi bioetanol
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi nira nipah dari pengrajin gula Desa Nusapole, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, Saccharomyces spp. yang merupakan mikroba indigenous yang diperoleh dari isolasi, gula, media PGYE, media MEA, alkohol, Mg SO4, 7H2O, kalium dikromat sulfat, kalium karbonat jenuh, pupuk ZA dan NPK.
Penelitian ini menggunakan media produksi berupa nira nipah yang sudah diencerkan menggunakan air dengan perbandingan 1:1, sebanyak 100 ml setiap unit percobaan dan ditempatkan dalam erlenmeyer volume 500 ml yang dilengkapi penutup dari karet dan diberi selang plastik untuk mengeluarkan gas CO2 yang terbentuk, dan untuk mempertahankan kondisi anaerob ujung selang dimasukkan ke dalam air. Media produksi tersebut selanjutnya ditambah dengan 0,3% ZA dan 0,1% NPK, pH 4,5–4,8 dan dipanaskan sampai mendidih selama 10 menit. Setelah dingin, ditambahkan dengan gula sampai konsentrasi gula mencapai (13%, 15% dan 17%) (b/v), diinokulasi dengan starter Saccharomyces spp. dengan konsentrasi (5%; 7,5%; 10%) (v/v) dan diinkubasi selama 4 hari pada suhu 35oC.
Peralatan Peralatan yang digunakan antara lain: erlenmeyer 500 ml, selang, tutup karet, inkubator, spektrofotometer, sentrifuge, autoclave, cawan petri, cawan conway, jarum ose, bunsen, tabung reaksi, gelas ukur, pH meter, dan peralatan gelas lain untuk analisis kimia.
Prosedur Persiapan kultur
Analisis bioetanol nira nipah hasil fermentasi
Kultur yang digunakan adalah Saccharomyces spp. yang diperoleh dari hasil isolasi, kemudian diremajakan dengan menginokulasikan pada agar miring (PGYE) yang telah disterilkan. Selanjutnya o diinkubasi pada suhu 35 C selama 48 jam. Saccharomyces spp. pada media PGYE ini menjadi stok kultur yang diregenerasi pada media PGYE yang baru sebelum digunakan.
Analisis meliputi: kadar etanol [8], kadar gula reduksi [7], total mikroba [9] dan rendemen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Bahan Baku Nira Hasil analisis kandungan kimia nira nipah yang diperoleh dari Desa Nusapole, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas dapat dilihat pada Tabel 1.
Analisis kimia terhadap bahan baku nira Analisis meliputi: kadar gula total, kadar garam, kadar protein terlarut dan total padatan [7] dan pH.
Tabel 1. Hasil analisis kimia nira nipah Komposisi kimia Jumlah Total padatan (brix) 23,5 pH 4 Kadar gula total (%) 13,36 Kadar protein terlarut (%) 0,73 Kadar garam (%) 0,28
Pembuatan starter Nira nipah dengan perbandingan tertentu diencerkan menggunakan air, sehingga kadar gula totalnya menjadi sekitar
55
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
(10%, 17%) Tabel 1. menunjukkan bahwa kandungan gula nira nipah dari Desa Nusapole cukup tinggi yaitu sebesar 13,36%. Hasil ini dapat diartikan bahwa nira nipah memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan baku dalam proses fermentasi bioetanol. Kandungan gula yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian lain yaitu 13.3% [3]. Kadar sukrosa, gula perreduksi dan kadar abu dari nira nipah berturut-turut yaitu: 13-15%; 0,2-0,5% dan 0,3-0,7% [10]. Etanol yang dihasilkan akan sedikit jika gula yang digunakan selama fermentasi terlalu rendah. Sebaliknya, jika konsentrasi gula yang digunakan terlalu tinggi maka aktifitas mikroba dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak semua gula dapat terfermentasi. Gula merupakan bahan pengawet terhadap kerusakan akibat mikroba, selain itu juga gula dapat menurunkan Aw yang menyebabkan pertumbuhan mikroba terhambat dan menyebabkan meningkatnya tekanan osmosis di luar sel [9].
Kadar gula reduksi Kadar gula reduksi pada media di akhir fermentasi nira dapat menggambarkan jumlah gula yang tersisa dan tidak dikonversi menjadi etanol. Hasil nilai kadar gula reduksi sisa fermentasi pada variasi konsentrasi starter dan glukosa dapat dilihat pada gambar 1. Interaksi perlakuan antara konsentrasi starter dan glukosa yang menyisakan kadar gula reduksi tertinggi adalah pada perlakuan A3B3 yaitu sebesar 1,04% dan yang paling rendah adalah pada perlakuan A1B3 yaitu sebesar 0,8%. Hal tersebut diduga dengan semakin banyaknya konsentrasi starter di dalam nira maka antara mikroba yang satu dengan yang lain saling bersaing untuk memperoleh nutrisi dari media sehingga sebagian mikroba tidak dapat bereproduksi dan menyebabkan konversi glukosa tidak berjalan optimal.
Hasil Proses Fermentasi Hasil proses fermentasi bioetanol dari nira nipah menggunakan mikroba indigenous Saccharomyces spp. dengan variasi konsentrasi starter dan glukosa disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil proses fermentasi Perlakuan Gula Total reduksi mikorba (%) (cfu/ml) A1B1 0,88 7,0x107 (5%, 13%) 7 A1B2 0,91 1,55x10 (5%, 15%) 7 A1B3 0,80 4,45x10 (5%, 17%) A2B1 0,89 4,70x107 (7,5%, 13%) 7 A2B2 0,94 2,4x10 (7,5%, 15%) A2B3 0,84 3,1x107 (7,5%, 17%) A3B1 0,93 2,95x107 (10%, 13%) 7 A3B2 0,88 1,05x10 (10%, 15%) 7 A3B3 1,04 4,3x10
Kadar etanol (%) 4,6
Perlakuan
4,31
Gambar 1. Interaksi antara konsentrasi starter dan glukosa terhadap kadar gula reduksi.
3,05 5,21
Semakin banyaknya konsentrasi starter dalam medium fermentasi, maka akan terjadi persaingan dalam mendapatkan nutrisi sehingga banyak mikroba yang terhambat pertumbuhannya [3].
2,66 4,03 4,42
Total mikroba 4,62 Total mikroba merupakan penentu keberhasilan suatu proses fermentasi.
4,43
56
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Gambar 2. menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan terrendah adalah A3B2 dengan total mikroba yang diperoleh yaitu 1,05x107 (cfu/ml), sedangkan total mikroba tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan A1B1 yaitu 7,0x107 (cfu/ml). Penambahan konsentrasi starter sebanyak 5% dan gula 13% dapat meningkatkan total mikroba dalam di dalam media fermentasi, sedangkan penambahan konsentrasi starter sebanyak 10% dan gula 15% menyebabkan total mikroba menurun. Hal ini diduga karena dengan semakin banyaknya konsentrasi starter dalam medium fermentasi, maka akan terjadi persaingan dalam mendapatkan nutrisi sehingga banyak mikroba yang terhambat pertumbuhannya. Pola pertumbuhan mikroba pada kultur tetap (batch culture) akan cepat terjadi persaingan dalam mendapatkan nutrisi, hal ini dikarenakan dalam sistem tersebut selama dalam fermentasi tidak ada penambahan nutrisi [9].
Gambar 3. Interaksi antara konsentrasi starter dan glukosa terhadap kadar etanol. Gambar 3. menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan terbaik terhadap kadar etanol yang dihasilkan yaitu A2B1 dimana kadar etanol yang diperoleh mencapai 5,21%. Sedangkan kadar etanol terrendah adalah 2,66% pada kombinasi perlakuan A2B2. Kemungkinan, hal ini disebabkan oleh konsentrasi starter 7,5% dan gula 13% merupakan kondisi optimal dari feremntasi bioetanol sehingga menghasilkan kadar etanol yang tinggi. Akan tetapi kadar etanol cenderung menurun pada saat konsentrasi gula ditinkatkan sepeti pada perlakuan penambahan konsentrasi gula sebesar 15%. Hal tersebut juga diduga dengan semakin banyaknya konsentrasi glukosa yang ditambahkan akan menghambat aktivitas mikroba indigenous sehingga menyebabkan proses produksi etanol tidak berjalan optimal, walaupun konsentrasi starter yang terdapat di dalam nira tersebut relatif banyak. Konsentrasi gula yang digunakan untuk fermentasi sangat mempengaruhi bioetanol yang dihasilkan. Penambahan glukosa akan berpengaruh terhadap metabolit primer yang dihasilkan dalam proses fermentasi alkohol [5]. Konsentrasi starter yang digunakan unuk fementasi bioetanol dengan menggunakan Zymomonas mobilis mempengaruhi kandungan gula reduksi nira nipah, semakin banyak konsentrasi starter, kandungan gula reduksi yang tersisa dalam medium fermentasi semakin menurun [4]. Gula merupakan sumber karbon dan energi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba maupun untuk produksi metabolit. Starter khamir yang ditambahkan ke dalam sari buah banyaknya sekitar 2-5% dari volume sari buah. Pada industri fermentasi alkohol jenis khamir yang umum digunakan adalah dari golongan Saccharomyces cereviceae, dimana khamir ini mempunyai kesanggupan yang tinggi untuk menghasilkan alkohol [11]. Persyaratan yang dibutuhkan agar produk fermentasi yang dihasilkan optimum yaitu: pH dan kadar karbohidrat substrat, temperatur dan kemurnian dari khamir itu sendiri [12]. Penelitian lain membuktikan bahwa konsentrasi starter tertinggi pada fermentasi nira nipah selama 4 hari sebesar 7,5% (v/v)
Perlakuan Gambar 2. Interaksi antara konsentrasi starter dan glukosa terhadap total mikroba.
Kadar etanol
Perlakuan
57
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
menghasilkan etanol sebesar 7,199% (v/v) [3]. Konsentrasi starter yang digunakan harus tepat karena jika starter yang digunakan untuk mengkonversi glukosa menjadi bioetanol sedikit maka kemampuan starter untuk fermentasi menjadi berkurang, sehingga proses produksi bioetanol berjalan lambat. Banyaknya konsentrasi starter yang digunakan dalam fermentasi belum tentu menghasilkan etanol yang tinggi. Hal ini dikarenakan banyak konsentrasi starter sehingga persaingan mendapatkan nutrisi di antara mikroba semakin meningkat dan menyebabkan penurunan produksi bioetanol [4]. Produksi etanol maksimal pada fermentasi corn meal hydrolyzates yaitu 10,05% (v/v) dihasilkan pada konsentrasi starter 5% (v/v) [13]. Fermentasi biasanya dilakukan dengan kultur murni yang dihasilkan di laboratorium. Kultur ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau dibekukan. Proses fermentasi tergantung pada banyak sedikitnya penambahan khamir dalam bahan. Semakin banyak jumlah ragi yang diberikan berarti semakin banyak jumlah khamir yang terlibat, sehingga kadar alkohol meningkat [14]. Tinggi rendahnya kadar gula dan kadar alkohol setiap gramnya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan karbohidrat [15]. Hal ini menunjukkkan bahwa kadar karbohidrat yang lebih tinggi mempengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi karbohidrat. Gula yang ditambahkan pada sari buah bertujuan untuk memperoleh kadar alkohol yang lebih tinggi, tetapi bila kadar gula terlalu tinggi aktivitas khamir akan terhambat [6].
karbohidrat dalam bentuk glukosa. Senyawa tersebut akan diubah oleh reaksi-reaksi dengan katalis enzim menjadi suatu bentuk lain misalnya aldehid dan dapat dioksidasi menjadi asam [12]. Pembentukan alkohol dari gula dilaksanakan oleh khamir penghasil alkohol, seperti Saccharomyces [17]. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin banyak konsentrasi starter yang ditambahkan, rendemen yang dihasilkan akan mencapai titik optimum dan kemudian akan menurun. Pada penambahan konsentrasi starter sampai 7,5% terjadi peningkatan rendemen, sedangkan pada penambahan konsentrasi starter yang lebih besar dari 7,5% tidak terjadi peningkatan rendemen. Hal ini diduga karena terjadi persaingan antar mikroba dalam memperoleh nutrisi. Peningkatan rendemen pada konsentrasi starter 7,5% diduga karena meningkatnya jumlah koloni yeast sehingga kemampuan yeast dalam merombak gula menjadi etanol semakin besar sehingga terjadi peningkatan kadar etanol dan rendemennya [3].
KESIMPULAN Konsentrasi starter yang optimal yaitu 7,5%, sedangkan konsentrasi gula yang optimal yaitu 13%. Kombinasi perlakuan terbaik diperoleh pada penambahan konsentrasi gula sebesar 7,5% dan konsentrasi gula sebanyak 13%, dimana kadar etanol yang dihasilkan yaitu 5,21% dengan rendemen sebesar 39,02%. Nira nipah yang diperoleh dari Desa Nusapole Kecamatan Sumpiuh cukup baik untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol karena memiliki kadar gula yang tergolong tinggi dan lebih tinggi daripada nipah pada umumnya. Hasil analisis kimia nira nipah yaitu: pH 4, total padatan 23,5 (brix), protein terlarut 0,73% dan gula total 13,36%.
Rendemen Rendemen dihitung berdasarkan etanol yang dihasilkan terhadap kadar gula total yang terkandung dalam bahan baku nira nipah. Tinggi-rendahnya rendemen dipengaruhi oleh kadar etanol yang dihasilkan. Semakin besar kadar etanol yang diperoleh dari fermentasi makan semakin besar juga rendemen yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen tertinggi diproleh pada kombinasi perlakuan A2B1. Proses yang terjadi pada saat fermentasi, glukosa akan dikonversi oleh Saccharomyces cerevisiae yang sudah dikembangkan dalam starter menjadi bioetanol [16]. Senyawa organik yang biasa digunakan sebagai substrat adalah
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengakui bahwa penulisan makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari rekan-rekan organisasi kami, perguruan tinggi dan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA 1. Rachman, A.K. dan Y. Sudarto. 1992. Nira Sumber Pemanis Baru. Kanisius.
58
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
2. Febriani, C.D. 2012. Efektivitas Konsorsia Bakteri Indigenous dalam Bioremediasi Petroleum pada Tanah Terkontaminasi Petroleum: In Vino. Tesis. Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 3. Mukti, A.A. 2012. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Lama Inkubasi terhadap Produksi Bioetanol dari Nira Nipah Menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 4. Trisasiwi, W., A. Asnani, dan R. Setyawati. 2010. Pembuatan Bioetanol Dari Nira Nipah (Nypha Fruticans) Menggunakan Bakteri Zymomonas Mobilis. Makalah. Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 5. Kunaepah, U. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi dan Konsentrasi Glukosa terhadap Aktivitas Antibakteri, Polifenol Total dan Mutu Kimia Kefir Susu Kacang Merah. Tesis. Progam Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. 6. Sa’id, G.E. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. 7. Sudarmadji, S.B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. 8. Kartika, B., A.D. Guritno, D. Purwadi dan D. Ismoyowati. 1992. Petunjuk Evaluasi Produk Industri Hasil Pertanian. Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama antar Universitas (Bank Dunia XVII) – PAU Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 9. Fardiaz, S. 1988. Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. 10. Bandini, Y. 1996. Nipah Pemanis Alami Baru. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. 11. Frazier W.C. and D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. 4th Edition. Graw-Hill Book. Publishing. Co. Ltd, New York. 12. Winarno, F.G. dan D. Fardiaz. 1990. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 13. Rakin, M., L. Mojovic, S. Nikolic, M. Vukasinovic and V. Nedovic. 2009. Bioethanol production by immobilized saccharomyces cerevisiae var. ellipsoideus cells. African Journal of Biotechnology, Vol. 8 (3) : 464-471. 14. Tarigan, J. 1988. Pengantar Mikrobiologi. Departemen Pendidikan, Jakarta. 15. Sriyanti. 2003. Studi Komparatif Kadar Gula dan Alkohol pada Tape Singkong dengan Varietas yang Berbeda. Skripsi. FKIP Jurusan Biologi. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. 16. Sari, R.P.P. 2009. Pembuatan Etanol Dari Nira Sorgum dengan Proses Fermentasi. Skripsi. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. 17. Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan M. Muljoharjo. Universitas Indonesia, Jakarta.
59
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Pengaruh Perlakuan Basa terhadap Perubahan Struktur Bagas Tebu
1
Anastasia Wheni Indrianingsih, Vita T. Rosyida, Roni Maryana UPT. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI, Gading, Playen, Gunungkidul, Yogyakarta, 55861, Telp: 0274-392570, email:
[email protected] Abstrak
Bagas tebu merupakan suatu limbah lignoselulosa dari pengolahan pabrik gula. Pada penelitian ini dilakukan proses perlakuan awal/delignifikasi bagas tebu dari PT. Madukismo Yogyakarta dengan perlakuan basa KOH. Proses deligifikasi ini dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan lignin sehingga bagas tebu bisa diproses lebih lanjut untuk menghasilkan bioetanol. Pada penelitian ini dipelajari tentang pengaruh proses perlakuan basa terhadap struktur bagas tebu. Perlakuan bagas tebu dilakukan dengan metode refluks dan autoklaf dengan variasi konsentrasi KOH, temperature dan waktu. Analisis bagas tebu sebelum dan sesudah perlakuan awal dengan basa KOH dilakukan dengan Difraksi Sinar X (XRD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kristalinitas bagas tebu sesudah dilakukan perlakuan basa KOH. Kata kunci: bagas tebu, lignoselulosa, delignifikasi, struktur kimia, bioetanol Abstract Sugarcane bagasse is a lignocellulosic waste from the processing of sugar mills. In this research, pretreatment of sugarcane bagasse was conducted by alkaline treatment using potassium hydroxide (KOH). Sugarcane bagasses were obtained from PT. Madukismo Yogyakarta. Pretreatment process was done to remove lignin so that sugarcane bagasse can be further processed to produce bioethanol. This research was evaluated the effects of alkaline pretreatment process on the structure of sugarcane bagasse. Pretreatment of sugarcane bagasse was conducted by reflux and autoclave method with variation in concentration of KOH, temperature and time. Analysis of sugarcane bagasse before and after pretreatment with KOH was analyzed with X-ray Diffraction (XRD). The results showed an increase in the crystallinity of sugarcane bagasse after KOH alkaline treatment performed. Keywords: sugarcane bagasse, lignocellulose, pretreatment, chemical structure, XRD Pendahuluan 60
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Isu lingkungan seperti pemanasan global yang disebabkan oleh efek gas rumah kaca dan kenyataan bahwa bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui [1], memicu para peneliti untuk mencari solusi alternatif bahan bakar yang dapat diperbaharui. Salah satu sumber alternatif energi terbarukan adalah biomassa. Bagas tebu merupakan material yang banyak mengandung selulosa dan dapat diubah secara enzimatis menjadi glukosa. Hal ini menyebabkan bagas tebu merupakan salah satu material yang potensial untuk dijadikan sebagai sumber bahan bakar alternatif terbarukan karena bisa diolah menjadi bioetanol [2]. Akan tetapi, lignin dan hemiselulosa yang juga terdapat dalam bagas tebu menyebabkan kinerja enzim selulosa tidak maksimal. Telah diketahui bahwa keberadaan lignin dalam bagas tebu menyebabkan penghambatan enzim selulase pada substrat [3]. Produksi bioetanol pada dasarnya sudah sangat dikenal dan secara umum dilakukan dengan proses fermentasi dari tanaman yang mengandung gula menggunakan ragi. Akan tetapi tanaman biomassa terdiri dari polimer gula yang terdapat dalam suatu matriks lignoselulosa yang tidak mudah terfermentasi sehingga menyebabkan diperlukan suatu perlakuan awal untuk mengolahnya. Perlakuan awal yang digunakan untuk memproduksi bioetanol antara lain: (1) perlakuan awal secara fisika, meliputi penggilingan, hidrotermal, radiasi, uap panas bertekanan tinggi dan pirolisis; (2) perlakuan awal secara kimia dan fisikokimia meliputi: basa, asam, gas, agen pengoksidasi, ekstraksi pelarut; (3) perlakuan awal secara biologi meliputi jamur dan actinomycetes [4].
Gambar 1. Efek perlakuan awal terhadap kemampuan enzim dalam mendegradasi bahan lignoselulosa [4].
Perlakuan awal ini memberikan pengaruh terhadap proses selanjutnya, jika perlakuan awal yang digunakan terlalu lemah, maka proses fermentasi akan menghasilkan bioetanol yang kurang maksimal, dan sebaliknya jika proses perlakuan awal terlalu kuat, maka dikhawatirkan akan terjadi degradasi yang tidak diinginkan, sehingga diperlukan proses perlakuan awal yang optimal. Metodologi Bahan: Bagas tebu, Aquades, Asam Sulfat (H2SO4), Kalium Hidroksida (KOH), kertas pH Alat: Alat-alat gelas laboratorium, Timbangan analitis, pH meter, Autoklaf, XRD Metode: 1. Delignifikasi bagas tebu dengan metode refluks Bagas sebanyak 30 g dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan ditambahkan 400 ml larutan KOH dengan konsentrasi 1% (b/v). Refluks dilakukan selama satu jam. Setelah direfluks, bagas tebu dicuci dengan aquades hingga netral dan dikeringkan. Prosedur ini dilakukan kembali dengan 61
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
variasi konsentrasi KOH 2% (b/v) dan 5% (b/v) dan waktu refluks 3 jam. 2. Delignifikasi bagas tebu dengan metode autoklaf Bagas sebanyak 30 g dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan ditambahkan 400 ml larutan KOH dengan konsentrasi 1% (b/v). Pemanasan dengan autoklaf dilakukan pada suhu 121oC selama 30 menit. Setelah diautoklaf, bagas tebu dicuci dengan aquades hingga netral dan dikeringkan. Prosedur ini dilakukan kembali dengan variasi konsentrasi KOH 2% (b/v) dan 5% (b/v). 3. Analisis dengan X-ray Difraktometer (XRD) Karakterisasi bagas sebelum dan sesudah perlakuan dengan basa KOH dilakukan dengan difraktometer sinar-X merk Shimadzu yang ada di FMIPA UGM Yogyakarta. Kondisi alat XRD saat pengukuran adalah sebagai berikut:
(KOH). Perlakuan basa dilakukan dengan variasi konsentrasi KOH sebesar 1%, 2% dan 5% (b/v) dan variasi metode pemanasan dengan refluks dan autoklaf. Pemanasan dengan refluks divariasi waktu selama satu jam dan tiga jam, sedangkan pemanasan dengan autoklaf dilakukan pada suhu 121°C selama 30 menit. Hasil analisis lignin menunjukkan bahwa metode pemanasan dengan refluks, hasil lignin terendah sebesar 6,293% diperoleh dengan konsentrasi KOH 2% (b/v) selama 3 jam. Sedangkan pada metode pemanasan dengan autoklaf, hasil lignin terendah sebesar 5,130% diperoleh dengan konsentrasi KOH 5% (b/v) [5]. Berdasarkan hasil tersebut maka analisis difraksi sinar X dilakukan untuk bagas dengan perlakuan refluks menggunakan KOH 2% selama 3 jam (Pr) dan bagas dengan perlakuan autoklaf menggunakan KOH 5% (Pau). Difraksi sinar-X digunakan untuk untuk mengetahui tingkat kristalinitas bagas tebu sebelum dan sesudah perlakuan dengan basa KOH. Difraktogram bagas ditampilkan pada gambar 2.
Tabel 1. Kondisi kerja XRD Tabung Sinar-X Target Cu (1,5406 Å) Tegangan 40 kV Arus 30 mA
Scanning Range 3-80 o
Mode Kecepata n
Continous 5 o/menit
Hasil dan Pembahasan Konversi dari bagas tebu menjadi bioetanol memiliki beberapa proses yakni perlakuan awal, hidrolisis, fermentasi dan pemurnian bioetanol. Pada penelitian ini dipelajari tentang perlakuan awal bagas tebu dengan perlakuan basa kalium hidroksida 62
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Pr
Po
Pau
Gambar 2. Difraktogram bagas awal (Po), bagas sesudah perlakuan basa dengan metode refluks (Pr) dan bagas sesudah perlakuan basa dengan metode autoklaf (Pau).
Dari difraktogram di atas terlihat bahwa secara umum, tingkat kristalinitas bagas sesudah perlakuan basa KOH yakni dengan metode pemanasan refluks (Pr) maupun dengan metode pemanasan autoklaf (Pau) memiliki tingkat kristalinitas yang lebih baik dari bagas awal (Po), ditunjukkan dengan dua puncak difraktogram pada sekitar 2Ɵ=23o dan 2Ɵ=15o yang lebih tinggi dan ramping. Selain itu, puncak difraktogram kecil yang muncul pada bagas awal sekitar 2Ɵ=35o, menjadi agak menghilang pada bagas sesudah perlakuan refluks dan autoklaf. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan awal bagas tebu dengan basa
KOH meningkatkan kristalinitas selulosa yang terdapat dalam bagas tebu, karena proses perlakuan awal tersebut telah menghilangkan sebagian lignin yang terkandung dalam bagas tebu. Perlakuan bagas ini juga memunculkan adanya puncak baru yang muncul di sekitar 2Ɵ=21o walaupun belum terlihat begitu jelas. Puncak baru yang muncul ini mengindikasikan adanya alomorf selulosa I dan selulosa II. Ketiga difraktogram bagas menunjukkan dua buah puncak pada sekitar 2Ɵ=15o (untuk indeks bidang 110) dan 2Ɵ=23o (untuk bidang 200) yang merupakan karakteristik dari selulosa [6]. Kristalinitas selulosa pada difraktogram ini ditentukan dengan persamaan: Ic=[(I200-Iam)]/I200 x 100…….Persamaan 1[7]. dimana Ic=kristalinitas, I200=tinggi puncak pada 2Ɵ=23o dan Iam=tinggi puncak diantara 2Ɵ=15o dan 2Ɵ=23o, yakni 2Ɵ=19o. Pada bagas awal sebelum perlakuan basa diperoleh Ic=20,59; bagas dengan perlakuan basa menggunakan pemanasan refluks, diperoleh Ic=49,21; bagas dengan pemanasan autoklaf diperoleh Ic=48,39. Berdasarkan hasil ini, maka dapat diketahui bahwa perlakuan awal dengan basa KOH pada bagas tebu bisa meningkatkan kristalinitas dari selulosa yang terkandung dalam bagas tebu. Kesimpulan Perlakuan basa KOH pada perlakuan awal bagas tebu dapat meningkatkan struktur kristalinitas selulosa pada bagas tebu. Pada penelitian ini penggunaan basa KOH dengan metode pemanasan refluks dan autoklaf masing-masing meningkatkan tingkat
63
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
kristalinintas selulosa sebesar 49,21 dan 48,39.
masing-masing
content on the enzymatic hydrolysis of softwoods. Bioresource Technology, 64(2), 113–119.
Ucapan Terima Kasih [4] Taherzadeh, M. J., & Karimi, K. (2008). Pretreatment of lignocellulosic wastes to improve ethanol and biogas production: a review. International journal of molecular sciences, Vol. 9, pp. 1621–51).
Terima kasih kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atas dana kegiatan tematik bioetanol 2013, kepada UPT. BPPTK LIPI atas fasilitas penelitian serta Sdr. Fitri Nurjanah dan Andri Suwanto yang membantu kegiatan teknis penelitian.
[5] Indrianingsih, A. W., Nurjanah, F., Maryana, R., 2013. Delignifikasi Bagas Tebu dari PT . Madubaru Yogyakarta dengan Perlakuan Basa. Diseminarkan di Seminar Nasional FKIP UNS, Solo.
Daftar Pustaka [1] Dejan Brkic, (2009). Are Fossil Fuels The Main Cause of Today’s Global Warming?, Factas Universitatis, 6, 29– 38.
[6] Klemm D, Heublein B, Fink HP, Bohn A. (2005). Cellulose : fascinating biopolymer and sustainable raw material .Angew. Chem. Int. Ed. Engl., 44(22), 15861454.
[2] Sendelius, J. (2005). Steam Pretreatment Optimisation for Sugarcane Bagasse in Bioethanol Production. Master of Science Thesis, Dept. of Chemical Engineering, Lund University, Sweden.
[7] Mandal, A., & Chakrabarty, D. (2011). Isolation of nanocellulose from waste sugarcane bagasse (SCB) and its characterization. Carbohydrate Polymers, 86(3), 1291–1299.
[3] Mooney, C. a., Mansfield, S. D., Touhy, M. G., & Saddler, J. N. (1998). The effect of initial pore volume and lignin
64
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
PENGARUH SUBSITUSI Ba TERHADAP KERAPATAN MEMBRAN PENGHANTAR ION OKSIDA LaCo0,8Fe0,2O3 Vivi Zulaicha1*, Wahyu Prasetyo1, and Hamzah Fansuri1 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 60111 Indonesia E-mail:
[email protected] ABSTRAK Membran rapat oksida perovskit yang bersifat sebagai penghantar ion oksigen telah berhasil dibuat dari oksida perovskit La1-xBaxCo0,8Fe0,2O3-δ (LBCF) dengan 0,3≤x≤0,7 yang disintesis dengan metode solid state melalui kalsinasi pada suhu 1150 °C. Data difraksi sinar-X menunjukkan bahwa oksida LBCF memiliki kekristalan yang tinggi dengan sedikit pengotor. Membran LBCF dibuat dengan cara mencetak serbuk hasil sintesis dengan tekanan 4 ton dan kemudian disinter dengan suhu 1250 °C. Membran yang dihasilkan berbentuk koin dengan diameter 12 mm dan ketebalan 2 mm. Membran yang diamati menggunakan SEM menunjukkan bahwa semua LBCF memiliki kerapatan yang tinggi. Pengaruh substituen Ba ditunjukkan oleh semakin kecilnya ukuran pori yang tersisa pada membran ketika jumlah Ba yang disubsitusikan semakin besar. Kerapatan tertinggi membran LBCF ditunjukkan pada x terbesar yaitu pada La0,3Ba0,7Co0,8Fe0,2O3-δ. Kata kunci: Perovskit, penghantar ion oksigen, La1-xBa xCo0,8Fe0,2O3-δ, membran perovskit. ABSTACT Danse LBCF (La1-xBaxCo0,8Fe0,2O3-δ) with 0,3≤x≤0,7 Oxygen Ion Transfer Membran (ITM) have been succesfully synthesized from LBCF powders. The powders were prepared from a stoichiometric mixture of each metal oxides and calcined at 1150°C. X-ray difraction data showed that the resulted powder were LBCF perovskite oxides with high cristallinity and minor unidentified phase. The perovskites were pressed in a hardened stainless steel mold into green membranes (12 mm diameter and 2 mm thick) by applying pressure of 4 tonnes followed by sintering process at 1250 °C. SEM analysis of membranes morphology show that all LBCF membranes are danse with small amount of surface pores. The density of membrane surface increase with the increase of Ba substituen. The highest density is showed by the highest Ba concentration (i.e when x=0,7). Keyword : Perovskite, Membrane, La1-xBaxCo0,8Fe0,2O3-δ, perovskite membrane.
65
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
PENDAHULUAN
matang dan telah dikembangkan sejak tahun 60-an oleh SASOL dengan bahan baku batubara (Dwi, 2005). Cara lainnya adalah dengan oksidasi parsial secara langsung untuk mengubah metana menjadi metanol. Metode steamreforming membutuhkan energi yang sangat besar dan dalam skala industri yang besar pula. Karena itu, maka metode ini hanya cocok digunakan untuk mengkonversi sumber gas alam yang cadangannya besar, namun tidak praktis digunakan untuk Indonesia yang memiliki sumber-sumber gas alam dengan cadangan yang kecilkecil. Untuk kasus Indonesia maka metode yang lebih tepat adalah oksidasi parsial. Oksidasi parsial gas metana menjadi metanol memerlukan kontrol suplay oksigen yang ketat karena produk reaksinya (yaitu metanol) masih dapat teroksidasi lebih lanjut dengan O 2 dan berakhir menjadi CO2. Hanya dengan kontrol oksigen yang ketat maka selektivitas reaksi yang tinggi terhadap metanol dapat dicapai (Ismunandar, 2004). Membran penghantar ion oksigen dapat memainkan peran sebagai pengatur konsentrasi oksigen yang tersedia untuk terjadinya reaksi oksidasi parsial metana menjadi metanol. Salah satu jenis bahan yang dapat digunakan sebagai membran penghantar oksigen adalah oksida perovskit LBCF (La1-xBaxCo1-yFe yO3-δ) ( Pang, 2012a). Oksida perovskit ini dapat menghantarkan oksigen dalam bentuk ion oksigen melalui kisi-kisi kristalnya sehingga penghantaran oksigen yang terjadi memiliki selektivitas yang sangat tinggi untuk oksigen (Thoriyah, 2010). Sebagai tambahan, kandungan ion-ion Co3+ dan Fe3+ pada LBCF akan dapat berperan sebagai pusat aktif katalis bagi terjadinya reaksi oksidasi metana (Wulandari, 2012). Dengan demikian maka LBCF ini dapat berperan ganda yaitu sebagai penghantar ion oksigen yang dapat mengatur suplay oskigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi parsial, sekaligus sebagai katalis yang dapat mengaktifkan gas metana agar lebih mudah teroksidasi. Sebagai akibatnya, maka LBCF, jika dibentuk menjadi
Bahan bakar fosil hingga saat ini merupakan kebutuhan primer sebagai penggerak kehidupan perekonomian negara. Berdasarkan informasi dari Kepala Balai Besar Teknologi Energi (B2TE) BPPT, Dr.Ir. Soni Solistia Wirawan, M.Eng (2012), sumber daya alam energi fosil dalam bentuk minyak bumi di Indonesia terancam habis akibat dari penggunaan energi fosil tanpa adanya upaya nyata untuk menggantikannya dengan energi terbarukan. Kebutuhan energi akan meningkat sebesar 1,5 kali kebutuhan saat ini dengan adanya skenario Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (Alievien, 2012). Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka hampir dapat dipastikan bahwa pada tahun 2050 sudah tidak ada lagi sumber bahan bakar fosil yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi manusia. Keadaan ini sungguh sangat memprihatinkan, sehingga diperlukan bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar fosil. Beberapa alternatif bahan bakar yang dapat digunakan antara lain bioetanol, biodiesel, hidrogen, gas alam dan masih banyak bahan alternatif lainnya. Namun, dalam masa transisi dari bahan bakar minyak ke bahan bakar terbarukan, pemanfaatan gas alam adalah suatu pilihan yang sangat menjanjikan mengingat persediaannya di alam masih sangat banyak. Gas alam dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar. Namun, fasanya yang berupa gas menyebabkan penggunananya menjadi tidak praktis dan memerlukan biaya transportasi yang tinggi. Karena itu, pemanfaatan gas alam akan menjadi lebih menarik apabila telah dikonversi menjadi bahan bakar cair seperti metanol. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengubah gas alam dengan komponen utama metana menjadi metanol diantaranya adalah steamreforming untuk mengubah metana menjadi syn-gas yang selanjutnya dikonversi menjadi hidrokarbon dengan reaksi Fischer Tropsch, Metode ini sudah 66
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
membran katalis, akan dapat digunakan untuk mengoksidasi parsial metana menjadi metanol. Sifat hantaran oksigen melalui mekanisme hantaran ion oksigen mensyaratkan bahwa membran LBCF harus rapat sehingga tidak dimungkikan terjadinya aliran oksigen melalui pori maupun celah-celah retakan yang ada pada membran LBCF. Jika terdapat oksigen yang dapat menembus membran melalui pori dan celah-celah tersebut, maka membran tidak dapat berfungsi sebagai pengatur konsentrasi oksigen untuk reaksi oksidasi parsial. Makalah ini melaporkan hasil-hasli penelitian yang telah dilakukan dalam menyiapkan membran rapat LBCF serta pengaruh konsentrasi Ba2+ terhadap kerapatan membran yang dihasilkan. Membran yang rapat akan menjamin tidak adanya gas oksigen yang dapat menembus membran sehingga dapat menjamin pula selektivitas metanol yang tinggi, yang dikatalisis oleh membran LBCF ini.
Pembuatan LBCF Oksida perovskit LBCF dibuat dengan metode solid state seperti yang telah dilaporkan oleh Idayati (2009) untuk pembuatan oksida perovskit LBCF. Untuk mendapatkan komposisi yang diinginkan maka dilakukan variasi komposisi bahan baku yang dIgunakan untuk La 2O3, BaO, Co3O4, dan Fe2O3 berdasarkan perhitungan stokiometrinya. Proses pencampuran dilakukan menggunakan mortar porselen. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pang, et.al. (2012), batas subsitusi Ba terhadap La adalah antara 0,3 sampai 0,7. Masingmasing oksida perovskit disiapkan sebanyak 30g. Oksida-oksida logam tersebut selanjutnya dicampur sesuai dengan stoikiometrinya dan dihomogenkan melalui penggerusan menggunakan mortar dan alu berbahan porselen. Penggerusan dilakukan selama satu jam untuk meningkatkan kontak antara bahan sehingga dapat bercampur sempurna. Campuran oksida logam yang telah homogen selanjutnya dikalsinasi dalam atmosfir udara pada suhu 1000 °C (Wulandari, 2012) dan 1150 °C (Pang et al., 2012). Proses kalsinasi dilakukan secara berulang untuk memastikan kesempurnaan reaksi. Sebelum dikalsinasi ulang, sampel digerus dan dihomogenkan menggunakan alu dan mortar porselen. Total lama sintering adalah 8 jam, sesuai dengan yang dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya (Mabruroh, 2011).
METODE PENELITIAN Membran rapat LBCF dibuat dari serbuk oksida perovskit LBCF dengan pencetakan menggunakan cetakan baja tahan karat yang diperkeras. Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah La2O3, Co3O4, Fe2O3 dan BaO. Semua bahan berupa serbuk dengan kualitas p.a. (pro analis). Peralatan Peralatan utama yang digunakan meliputi furnace yang dapat digunakan untuk pemanasan hingga 1400 °C serta XRD dan SEM untuk menganalisis fasa kristal dari produk hasil sintesis dan morfologi membran yang dihasilkan.
Pengujian Fasa dengan XRD Padatan serbuk hasil sintesis selanjutnya dianalisis menggunakan difraktometer sinar-X dengan sumber sinar Cu Kα yang dihasilkan oleh tegangan 40 kV dan arus 30 mA serta sudut 2 mulai dari 20° hingga 60° dengan step size 0.04o. Pengukuran dilakukan untuk menentukan fasa yang terbentuk dari hasil sintesis.
Prosedur Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penyiapan oksida perovskit LBCF beserta karakterisaasinya dan sintesis membran keramik beserta pengujian morfologinya. 67
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Pembuatan Membran
5582, LBCF 4682 dan LBCF 3782. Masing-masing LBCF berbeda pada jumlah substituen ion Ba 2+ pada situs ion La3+. Jumlah total ion La2+ dan Ba2+ sama dengan jumlah total ion Co 3+ dan Fe3+ yaitu satu untuk membentuk perovskit dengan rumus umum ABO3. Sebagaimana telah diulas pada bagian metode penelitian, LBCF disiapkan dari serbuk oksida-oksida La2O3, BaO, Co3O4 dan Fe2O3. Campuran oksida perovskit sebelum dan setelah digerus ditunjukkan oleh Gambar 4.1. Setelah digerus, campuran yang sebelumnya terdiri dari beberapa warna menjadi satu warna sebagaimana diperlihatkan oleh Gambar 4.1. (b). Serbuk campuran yang telah homogen ini selanjutnya dikalsinasi untuk mengubah campuran menjadi oksida perovskit LBCF.
Membran LBCF dibuat dari serbuk LBCF yang telah disiapkan sebelumnya. Membran tersebut dibuat menggunakan cetakan (Gambar 3.1) berdiameter 12 mm. Ketebalan membran yang dihasilkan dibuat sekitar 2 mm dengan mengatur jumlah serbuk yang dicetak. Membranmembran tersebut dicetak dengan pemberian tekanan sebesar 4 ton selama 15 menit. Hasil dari tahap ini disebut sebagai membran mentah (green). Membran mentah selanjutnya disinter untuk menghasilkan membran rapat. Sintering dilakukan dengan kenaikan suhu secara bertahap. Tahap pertama dilakukan dengan target suhu 900 °Cdengan laju kenaikan 3° menit-1.Pada suhu-suhu tertentu dilakukan penahanan selama satu jam yaitu pada 150 °C, 400 °C. Selanjutnya suhu ditahan selama dua jam yaitu pada 700 °C dan suhu 900 °C. Setelah kembali ke suhu kamar, dilakukan sintering tahap kedua dengan target suhu akhir 1250 °C selama dua jam dengan penahanan pada 600 dan 1000°C, masing-masing selama 2.
(a)
(b)
Gambar 4.1 Campuran oksida: (a) sebelum digerus dan (b) setelah digerus Gambar 4.3. menunjukkan serbuk hasil sintesis. Pada gambar tersebut, partikelpartikel berwarna putih adalah material penutup furnace yang jatuh ke dalam krusibel. Kotoran tersebut dapat dipisahkan dengan mudah dari serbuk oksida perovskit yang dihasilkan.
Gambar 3.1.Proses pencetakan membran Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)Membran yang dihasilkan selanjutnya dianalisis porositas dan morfologi permukaannya menggunakan SEM. Selanjutnya, untuk memastikan kandungan yang terdapat di dalam membran dilakukan pengujian SEM EDX. HASIL DAN PEMBAHASAN
(a)
(b)
Preparasi LBCF dengan Metode Solid Gambar 4.2 oksida perovskit setelah kalsinasi terakhir (a) suhu 1000°C dan (b) suhu 1150°C
State Oksida perovskit LBCF yang disintesis menggunakan metode solid state meliputi LBCF 10082 (atau LCF 1082), LBCF 7382, LBCF 6482, LBCF
Hasil analisis difraksi sinar X terhadap ke lima LBCF yang dihasilkan 68
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
setelah dikalsinasi pada suhu 1000 dan 1150 oC ditunjukkan oleh Gambar 4.4.
23°, 32°, 41°, 47°, 53° dan 58° (Thoriyah, 2010). Di lain pihak, difraktogram hasil kalsinasi pada suhu 1000°C, walaupun telah memiliki pola yang sama dengan yang dihasilkan oleh kalsinasi pada 1150°C, puncak-puncaknya masih lebar yang menunjukkan bahwa kekristalan oksida perovskit yang dihasilkan masih belum sempurna dan masih ditemukan pola difraksi oksida-oksida penyusunnya. Puncak-puncak oksida tersebut yaitu untuk 2 28,5 dan 57 merupakan puncak oksida barium, untuk 2 33,5; 43 dan 46 merupakan puncak oksida besi, untuk 2 31 merupakan puncak oksida cobalt, untuk 2 38 merupakan puncak oksida lanthanum. Berdasarkan data difraksi yang ada, hampir tidak ditemukan adanya pengotor kecuali pada difraktogram LBCF 7382 Keberadaan pengotor ditunjukkan oleh puncak-puncak difraksi pada 2 36,5, 37, 38,5 dan 42°. Sedikitnya pengotor ini dikarenakan tahap-tahap pembentukan oksida perovskit telah sempurna, sehingga semua oksida pembentuk telah bereaksi membentuk oksida perovskit. Berdasarkan pencarian data pada data base ICDD (CAS, 2012) puncak-puncak pada 36,5, 37 dan 38,5 o adalah milik Co3O4 sementara puncak pada 42 o adalah milik La2O3. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada oksida kobalt dan lantanum yang belum bereaksi secara sempurna menjadi oksida perovskit yang dimungkinkan oleh belum homogennya campuran yang disiapkan dari oksidaoksida logamnya.
(a)
Membran LBCF Membran LBCF mentah yang dihasilkan dari proses pencetakan dan setelah disinter ditunjukkan oleh Gambar 4.4. dan 4.5. Membran yang telah disinter berwarna lebih gelap dari pada sebelum disinter. Pengujian dengan tetes air menunjukkan bahwa membran hasil sintering pada 1250°C memiliki porositas yang sangat rendah yang diindikasikan oleh bertahannya butir tetesan air di permukaan membran. Jika membran masih berpori, butir tetesan air akan
(b) Gambar 4.3 Difraktogram XRD perovskit LBCF (a) suhu 1000, (b) suhu 1150 Gambar 4.3 menunjukkan bahwa semua difraktogram memiliki pola yang sama dengan difraktogram oksida perovskit untuk hasil kalsinasi pada 1150 o C (Lavasseur dan Kaliaguine, 2009) yang ditandai dengan puncak difraksi pada 2 69
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
segera hilang terserap ke dalam pori-pori membran.
Foto-foto SEM menunjukkan bahwa keadaan pemukaan LBCF berbeda-beda tergantung kepada jumlah substituen Ba2+-nya. Semakin rendah jumlah substituen barium, semakin rendah pula kerapatan permukaan membran yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan Ba memiliki kemampuan sebagai pelebur (flux) sehingga dapat menurunkan titik leleh bahan. Kerapatan membran di permukaan ternyata juga diikuti oleh kerapatan di dalam bodi membran sebagaimana ditunjukkan oleh foto SEM penampang lintang membran (Gambar 4.7). Foto-foto SEM pada permukaan maupun penampang lintang LBCF menunjukkan bahwa kerapatan membran sangat dipengaruhi oleh jumlah substituen Ba2+. Walau demikian, secara keseluruhan membran LBCF yang dihasilkan telah cukup rapat untuk dapat digunakan sebagai membran rapat penghantar ion oksigen.
Gambar 4.4 Membran mentah setelah di cetak
Gambar 4.5 Membran setelah disinter pada suhu 1250 oC Walaupun pada umumnya telah rapat, masing-masing membran memiliki porositas permukaan yang berbeda beda. Gambar 4.6 menunjukkan morfologi permukaan pada skala mikro dari membran LBCF yang dihasilkan.
(a)
(c)
(e)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(b)
(d)
Gambar 4.7 Foto SEM penampang lintang membran (a) LBCF 3782, (b) LBCF 4682, (c) LBCF 5582, (d) LBCF 6482, (e)LBCF 7382 dan (f) LCF 1082
(f)
Meskipun telah terbentuk membran yang rapat dan pola difraksi perovskit, diperlukan pula pengecekan ulang kandungan yang terdapat di dalam membran diuji menggunakan SEM
Gambar 4.6 Foto SEM permukaan membran (a) LBCF 3782, (b) LBCF 4682, (c) LBCF 5582, (d) LBCF 6482, (e)LBCF 7382 dan (f) LCF 1082 70
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
EDX dengan HV 20 kv. Hasil SEM EDX seperti yang terlihat pada Gambar 4.8.
DAFTAR PUSTAKA Alivien, (2012), Energi Fosil Masih Dominan Hingga 2030, Teknologi Indonesia. Dwi,
Didi Anggoro, (2005), Produksi Bahan Bakar cair dari Gas Alam Menggunakan Katalis Logam ZSM5, Departemen Teknik Kimia, Universitas Diponerogo, Semarang.
Idayati. (2009) Sintesis La1-xSrxCoO3 mengunakan metode solgel, solid state dan kopresipitasi. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Ismunandar (2004) Padatan Oksida Logam: Struktur, Sintesis, dan Sifat-sifatnya., Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Gambar 4.8 Foto SEM EDX LBCF 7382
Pada Gambar 4.8 terlihat kandungannya adalah Ba, La, Fe, Co dan O. Kandungan yang diperoleh ini telah sesuai dengan oksida yang digunakan pada pernelitian ini.
Mabruroh laily (2011) Synthesis Of Ceramic Membrane La0,7Sr0,3Co0,8Fe0,2O3-δ. Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil-hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa suhu kalsinasi sangat berpengaruh terhadap kristalinitas dan kemurnian hasil sintesis oksida perovskit La 1xBaxCo0,8Fe0,2O3- dengan 0,3≤x≤0.7. Oksida perovskit dengan kristalinitas lebih tinggi dihasilkan pada kalsinasi 1150 oC. Berdasarkan hasil analisis SEM, kerapatan membran LBCF dipengaruhi oleh jumlah substituen Ba2+. Semakin besar jumlah substituen Ba2+, semakin rapat membran yang dihasilkan.
Pang S., Jiang X., Li X., Wang Q. and Su Z. (2012a) A comparative study of electrochemical performance of La0.5Ba0.5CoO3−δ and La0.5Ba0.5CoO3−δ– Gd0.1Ce0.9O1.95 cathodes. International Journal of Hydrogen Energy37, 2157–2165. Pang S. L., Jiang X. N., Li X. N., Wang Q. and Zhang Q. Y. (2012b) Structural stability and high-temperature electrical properties of cationordered/disordered perovskite LaBaCoO. Materials Chemistry and Physics131, 642–646.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat terlaksana atas dukungan dana dari Kementrian Riset dan Teknologi melalui skema insentif Riset Dasar tahun 2009-2012.
Solistia, Soni Irawan, (2012), Energi Fosil Di Zona Merah, Listrik Indonesia.
71
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Thoriyah A. (2010) Sintesis Oksida Perovskit La1-xBaxCoO3 dengan Metode Kopresipitasi dan karakterisasinya. Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Wulandari, Evi. (2012). Pembuatan Membran Keramik La1xSrxCo0,8Fe0,2O3-δ (0,0≤x≤0,4). Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
72
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
PENGOLAHAN AIR GAMBUT MENJADI AIR BERSIH DENGAN METODE AOP DI KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU
Sutrisno Salomo Hutagalung1), Anto Tri Sugiarto2), dan Veny Luvita 3), 1,2 ,3)
Puslit KIM-LIPI, Komplek Puspiptek Serpong – Tangerang
E-mail:
[email protected],
[email protected], dan
[email protected],
ABSTRAK Pada dasarnya air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa atau dataran rendah yang mempunyai ciri-ciri umum yaitu intensitas warna yang tinggi berwarna kuning atau merah kecoklatan, pH rendah antara 3-5, rasanya masam, kandungan zat oranik tinggi, serta rendahnya konsentrasi partikel dan kation. Dalam penelitian ini diambil bahan baku air gambut dari 3 lokasi di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Dalam penelitian ini diteliti nilai pH, warna, bau, turbiditas, Organik (KMnO 4), dan kadar amoniak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung dalam bahan baku air gambut, penelitian merekomendasikan prototipe dengan menggunakan instrumentasi metode Advanced Oxidation Processes (AOP). Untuk dapat meningkatkan efektifitas dan standar baku mutu air bersih, maka diusulkan adanya perubahan cara pengolahan bahan baku air gambut dengan metode AOP. Hasil yang diperoleh nilai pH berturut-turut 5,37;5,92;3,69.Warna berturut-turut coklat kekuningan; agak sedikit keruh; tidak berwarna. Ketiga sampel air tidak berbau, zat organic berturut-turut 338,436; 30,399; 8,06 ppm. Dapat disimpulkan bahwa air gambut masih memerlukan pengolahan khusus dengan metode AOP plus UV terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai sumber air untuk keperluan domestik. Kata kunci: ozone, ultraviolet, AOP, instrumentasi, standar mutu
Abstract Basically peat water is a surface water that are common in swampy or low-lying areas that have common characteristics, namely high intensity color is yellow or brownish red, pH about 3-5, sour taste, high organik compound, as well as low concentration or particles and cations. In order to use the peat water must be clarified first. In this study were drawn from the 3 point of peat water in Kampar- In the present study investigated the value of pH, colors, odor, turbidity, organik cmpoun and ammonia levels. To overcome polutan that implied in liquid peat water materials, research recommends prototype by using instrumentation of Advanced Oxidation Processes (AOP) method. To improve efectivity and quality standard of clean water, for that reason proposed the changing of peat water materials with AOP method treatment. The result obtained pH value respectively 5.37 ; 5.92 ; 3.69. Colors consecutive fawn, little bit murky, colorless. The three water samples odorless, organik substance successive 338.436 ; 30.399 ; 8.06 ppm. It can be concluded that the peat water still requires special processing before it can be used as a source of water for domestic purposes. Keyword: Ozone, ultraviolet, AOP, instrumentation, standard quality
Luas lahan gambut di dunia adalah sekitar 424 juta ha dan sekitar 38 juta ha terdapat di [1] wilayah tropis . Sebagian besar lahan
PENDAHULUAN
73
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
gambut di wilayah tropis tersebut terdapat di Indonesia yaitu seluas 20.10 juta ha. Di Indonesia, mayoritas lahan gambut ditemukan di luar pulau Jawa dengan luas sekita 6,45% dari luas lahan gambut di [2] dunia .
Pemerintah yang memenuhi nilai baku mutu air minum. Oleh karena itu, air baku yang diolah untuk menjadi air minum harus sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002[8], tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Hutan gambut (peat swamp forest) memiliki ciri-ciri yang sangat khas yaitu iklim selalu basah, lahannya selalu tergenang air gambut, lapisan gambut berada pada ketinggian 1 sampai 2 meter dari permukaan tanah dan dengan derajat keasaman (pH) 3,2. Lahan jenis ini banyak terdapat di Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Jambi [3]. Penduduk yang tinggal di rawa bergambut di sebagian Sumatera dan Kalimantan mengalami kesulitan dalam hal penyediaan air bersih. Hal ini di sebabkan air yang terdapat di wilayah tersebut bersifat asam (pH rendah), berwarna kecoklatan dan mengandung material organik. Zat organik pada air gambut di dominasi oleh senyawa humat yang bersifat sulit dirombak oleh mikroorganisme atau bersifat nonbiodegradable [4].
DASAR TEORI Air merupakan kebutuhan pokok sehari-hari bagi kehidupan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya manusia selalu memerlukan air terutama untuk minum, mandi, mencuci dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih sudah menjadi masalah yang sangat umum dan belum teratasi di hampir sebagian besar wilayah Indonesia pada umumnya terutama di daerah-daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dalam upaya penyediaan air bersih dan sehat bagi masyarakat pedesaan yang mana kualitas air tanahnya buruk serta belum mendapatkan pelayanan air minum dari PAM, perlu memasyarakatkan alat pengolah air minum sederhana yang murah dan dapat dibuat oleh masyarakat dengan menggunakan bahan yang ada di pasaran setempat.
Di Propinsi Riau terdapat lahan rawa/gambut seluas ± 4,3 juta Ha[5]. Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa atau dataran rendah yang mempunyai ciri-ciri umum yaitu intensitas warna yang tinggi (kuning atau merah kecoklatan), pH rendah antara 3 sampai 5, rasanya masam, kandungan zat organik tinggi serta rendahnya konsentrasi partikel dan kation[6]. Air gambut masih memerlukan pengolahan khusus terlebih dahulu.
Ozon Ozon (O3) merupakan bagian dari oksigen aktif yang ada di alam bebas. Setiap molekul ozon terdiri dari 3 buah atom oksigen. Ozon adalah pembersih alami yang tidak berwarna dan memiliki bau. Ozon terbentuk secara alami oleh sinar ultraviolet dari matahari, juga oleh petir [9] [10]. Ozon dapat bekerja sebagai sterilisasi, deodorasi, decolorasi dan degradasi. Melalui sterilisasi, ozon dapat membunuh berbagai mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Melalui deodorasi, ozon dapat menghilangkan bau yang diakibatkan oleh berbagai senyawa aromatik dan mikroorganisma. Melalui decolorasi, ozon dapat menghilangkan zat pewarna organik. Melalui degradasi, ozon dapat menguraikan berbagai senyawa organik dan mengoksidasi logam berat [11] [12].
Air pada lahan gambut memiliki warna kuning atau merah kecoklatan di sebabkan oleh tingginya kandungan zat organik terlarut, terutama dalam bentuk asam humus dan derivatnya. Zat-zat ini berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon, dan kayu. Zat-zat organik ini memiliki sifat sangat tahan terhadap mikroorganisme dalam waktu yang cukup [7] lama . Dari berbagai keadaan tersebut diatas, maka permasalahan umum yang terjadi adalah sulitnya mendapatkan air bersih untuk keperluan rumah tangga. Air yang dapat dikonsumsi adalah air yang sesuai dengan parameter yang ditentukan oleh
Sistem kerja dasarnya adalah memanfaatkan teknologi advanced oxidation process, atau proses oksidasi lanjutan, yang mengombinasikan teknologi plasma dari radiasi sinar ultraviolet, ozon, dan
74
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
plasma. Dalam reaktor plasma yang disebut reaktor ozonized water, terjadi proses pelarutan gas ozon dalam air. Gas ozon memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri serta mengurai bakteri.
Gambar 1. Konsep dasar pengolahan bahan Baku Air Gambut dengan teknologi AOP
Reaksinya adalah sebagai berikut : O2 + O(1D)
O3 + UV O(1D)
Air gambut merupakan air permukaan dari tanah bergambut dengan ciri yang sangat mencolok karena warnanya merah kecoklatan, mengandung zat organik tinggi serta zat besi yang cukup tinggi, rasa asam, pH 3-5 dan tingkat kesadahan rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut.
+ H2O basah)
HO* + HO* (udara
O(1D) + H2O HO* + HO* H2O2 (dalam air)
Plasma Di dalam ilmu fisika dan ilmu kimia, plasma merupakan gas yang terionisasi secara parsial, di mana proporsi tertentu dari elektron berada dalam keadaan bebas daripada berikatan dengan atom atau molekul. Plasma juga dapat dikatakan sebagai atom yang kehilangan elektron karena beberapa atau semua elektron di orbit atom luar terpisah dari atom atau molekulnya. Hasilnya adalah sebuah ion atau elektron yang tidak lagi berikatan satu sama lain. Kemampuan muatan positif dan muatan negatif untuk sedikit berpindah dengan bebas membuat plasma bersifat induktif secara listrik sehingga memberikan respon yang kuat pada bidang elektromagnetik. Oleh karena itu plasma mempunyai sifat tidak sama dengan padatan, cairan atau gas dan dianggap sebagai satu keadaan materi yang berbeda. Plasma berbentuk gas netral seperti awan, tidak mempunyai bentuk dan volum terbatas, kecuali dalam kotak tertutup, tetapi tidak sama dengan gas, dalam pengaruh medan magnet, plasma mungkin membentuk struktur seperti kawat pijar, sinar dan lapisan ganda.
Ozon adalah spesies aktif yang memiliki sifat radikal, di mana mudah bereaksi dengan senyawa organik apa saja tanpa terkecuali, terutama senyawasenyawa organik yang selama ini sulit atau tidak dapat diuraikan dengan metode mikrobiologi atau membran filtrasi. Ozon juga merupakan allotrope atau bentuk lain dari oksigen sehingga apabila ozon telah bereaksi, ozon akan kembali kebentuk asalnya yaitu oksigen. Dalam perkembangannya kombinasi dari beberapa proses seperti ozone, hydrogen peroxide, ultraviolet light, titanium oxide, photo catalyst, sonolysis, electron beam atau lebih dikenal dengan metode advanced oxidation processes (AOP) merupakan proses untuk menghasilkan hidroksil radikal. Hidroksil radikal adalah spesies aktif yang dikenal memiliki oksidasi potensial tinggi 2,8 V melebihi kemampuan ozon yang memiliki oksidasi potensial hanya 2,07 V [11]. Hal ini membuat hidroksil radikal sangat mudah bereaksi dengan senyawasenyawa lain yang ada di sekitarnya. Mengingat akan hal tersebut maka ozon akan sangat tepat untuk diaplikasikan dalam proses pengolahan air gambut, dimana ozon akan bekerja untuk menghilangkan sianida dengan tanpa menimbulkan dampak lain terhadap lingkungan.
Plasma (electrical discharge) adalah zat keempat disamping gas klasik padat, cair, dan gas. Plasma ini ditemukan pada tahun 1928 oleh ilmuwan Amerika bernama Irving Langmuir (1881-1957), dalam eksperimennya melalui lampu tungsten filament. Plasma adalah zat terionisasi dalam lucutan listrik, jadi plasma dapat didefinisikan sebagai percampuran kuasinetral dari elektron, radikal, ion positif, dan negatif. Percampuran antara ion-ion yang bermuatan positif dengan elektron-
Rangkaian dasar sistem yang diajukan diperlihatkan pada gambar 1, Air Gambut
AOP
Filtrasi
Air Bersih
75
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
elektron yang bermuatan negatif memiliki sifat-sifat yang sangat berbeda dengan gas pada umumnya dan materi pada fase ini disebut fase plasma. Maka secara sederhana plasma dapat didefinisikan sebagai fase materi keempat setelah fase padat, cair dan gas.
Penentuan kekeruhan (turbiditas) dalam air merupakan salah satu parameter dalam penentuan kualitas air. Oleh karena keterbatasan maka kita tidak dapat membedakan secara baik kekeruhan air sehingga air yang terlihat jernih belum tentu kualitasnya baik. Untuk itu diperlukan suatu metode yang dapat menentukan kekeruhan air secara presisi. Salah satu metode yang dilakukan yaitu dengan spektrofotometri.
METODOLOGI Pada penelitian ini diambil 3 sampel air dari 3 titik di Kabupaten Kampar provinsi Riau, (1) Rimbo Panjang Kecamatan Tambang Kampar Provinsi Riau, (2) Kampar Kiri Hilir Kampar Provinsi Riau dan (3) Kecamatan Tapung Hilir diperlihatkan pada gambar 2. Salah satu sumber air permukaan yang ada di Provinsi Riau,khususnya kabupaten Kampar adalah air gambut yaitu air permukaan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah gambut dibawahnya.
Prinsip Dengan metode spektrofotometri kekeruhan atau turbiditas dapat ditentukan dengan membandingkan sampel dengan standar yang mengandung campuran hidrazin sulfat dan mthylen tetraamin dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm. Analisis pH Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter. Analisis Bau dan Warna Untuk parameter bau dan warna dilakukan secara manual dengan menggunakan indra pembau dan indra penglihatan dimana akan sangat tergantung pada indera penciuman seseorang.
(a) Rimbo Panjang Kecamatan Tambang Kampar Provinsi Riau.
Analisis Organik (KMnO4) Penetapan kadar zat organik sebagai nilai permanganat pada air minum isi ulang menggunakan metode asam. Prinsip : Zat organik didalam sampel dioksidasi oleh KMnO4 berlebih dalam keadaan asam dan panas. Sisa KMnO4 direduksi dengan larutan asam oksalat berlebih. Kelebihan asam oksalat dititrasi kembali dengan KMnO4
(b) Kampar Kiri Hilir Kampar Provinsi Riau.
Diukur dengan menggunakan kromatografi ion, dengan menggunakan +. pembanding NH4 Luas area sampel kemudian dibandingkan dengan luas area standar untuk mengetahui kadar NH4+ dalam air. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung kadar adalah :
(c) Kecamatan Tapung Hilir Kampar Provinsi Riau. Gambar 2. Lokasi Titik Sampling
Kadar NH4+ dalam sampel = area sampel/area standar x konsentrasi standar
Analisis Turbiditas
76
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Analisis total koliform
HASIL DAN PEMBAHASAN
Presumtive Test (Uji Dugaan)
Instalasi Sistem Instrumentasi AOP
Menyiapkan medium Brilliant Green Bile Broth (BGBB) 2% (40 gram BGBB dalam 1 liter aquades) larutan semua bahan dan panaskan, kemudian masukkan medium ke dalam tabung reaksi masingmasing 10 ml bersama tabung Durham yang terbalik dan berisi media (tidak boleh ada gelebung udara dalam tabung Durham), tutup rapat semua tabung dengan kapas. Sterilkan menggunakan autoclave pada suhu 121 oC selama 15 menit, angkat dan dinginkan.
Sistem instrumentasi yang digunakan adalah metode Advanced Oxidation Processes (AOP). Sistem AOP yang dipergunakan adalah kombinasi antara Ozon-UV-H2O2 dan karbon aktif diperlihatkan pada Gambar 3. Sistem AOP bekerja memanfaatkan hydroxyl radical (*OH) yang dihasilkan dari reaksi antara kombinasi Ozon-UV-H2O2 dalam air. Karbon aktif bekerja dalam membantu proses absorpsi mikro polutan hasil oksidasi dari sistem AOP [12][13].
Memasukkan sampel masing-masing sebanyak 10 ml ke dalam 3 tabung medium BGBB 0.1 ml sampel ke dalam 3 tabung medium BGBB serta 1 ml aquades steril ke dalam 1 tabung medium BGBB untuk control. Pengisian tabung dilakukan secara aseptik. Inkubasikan pada suhu 37 oC selama 24-48 jam. Mengamati semua tabung, bila terbentuk gas dan asam berarti hasilnya positif. Asam dilihat dari perubahan warna hijau tua menjadi hijau kekuningan dan gas dapat dilihat dalam tabung durham berupa gelembung udara.
Gambar 3. Skema Sistem Instalasi AOP Laboratorium Sistem instalasi AOP ditunjukkan dengan skema seperti pada Gambar 3. Dari skema percobaan ini dapat dijelaskan tahapan-tahapan proses pengolahan air gambut sebagai berikut:
Banyaknya kandungan bakteri coliform dapat dilihat dengan menghitung tabung yang menunjukan reaksi positif dan lihat tabel MPN/JPT (Most Probable Number/Jumlah Perkiraan Terdekat). Bila inkubasi 1 x 24 jam negatif, inkubasi 2 x 24 jam.
Air gambut dilewatkan ke unit AOP untuk direaksikan dengan O3-UV-H2O2. Proses oksidasi terjadi di unit AOP. Air gambut yang sudah teroksidasi dilewatkan unit karbon (CA), selanjutnya air gambut yang sudah melewati tahapan-tahapan AOP diuji analisa parameternya.
Confirmed Test (Uji Ketetapan) Hasil dari uji dugaan dilanjutkan dengan uji ketetapan. Dari tabung yang positif gas dan asam, tanamkan susupensi pada medium EMB agar (Eosin Metilen Blue agar) secara aseptik dengan menggunakan kawat ose. Inkubasi pada suhu 37 oC selama 1 x 24 jam.
Peralatan instrumentasi yang digunakan dalam uji laboratorium Gambar 4. adalah: a) Unit AOP skala prototipe dengan kapasitas olah 100 ltr/jam. b) Unit filter CA skala laboratorium dengan kapasitas olah 1 ltr. c) Ozone generator kapasitas maks 10 gr/hr. d) Oxygen (tabung) kapasitas 7m3. e) H2O2 konsentrasi 50% dari 1 liter.
Koloni bakteri E. coli (coliform fekal) tumbuh berwarna merah kehijauan dengan kilat metalik atau koloni merah muda atau merah muda dengan lendir untuk kelompok coliform lainnya.
77
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Analisis turbiditas Sebelum dilakukan pengukuran,dibuat kurva kalibrasi dengan variasi dosis sbb: Kurva kalibrasi dgn konsentrasi 0, 4, 8, 12, 16, 20 NTU. Absorbansi kurva kalibrasi dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Absorbansi kurva kalibrasi untuk pengukuran tubiditas air Standar
Absorban
Konsentrasi
1
0,000
0,000
2
0,014
4,000
Gambar 4. Sistem prototipe pengolah air gambut dengan metode AOP .
3
0,029
8,000
4
0,049
12,000
Hasil analisa laboratorium dilakukan untuk menguji paremeter sampel bahan baku air gambut yang sudah diolah menggunakan metode AOP.
5
0,079
16,000
6
0,104
20,000
KI= 186,0
KO=1,484
Hasil Uji Sampel dengan Proses AOP Dilakukan uji sampel air gambut menggunakan AOP untuk setiap sampel dengan metode uji masing-masing sampel bereaksi terhadap proses AOP plus filter selama 1 jam, dan hasil uji diperlihatkan pada gambar 5 dan 6.
Gambar 7. Kurva kalibrasi untuk pengukuran tubiditas air Hasil persamaan kurva kalibrasi digunakan untuk pengukuran air sehingga diperoleh hasil sesuai dengan Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi turbiditas dalam air Gambar 5. Sampel uji air gambut kode sampel 0126 , 0127 dan 0128
Gambar 6. Hasil uji air gambut kode sampel 0126 , 0127 dan 0128
Kode
Absorban
Konsentrasi (NTU)
0126
∞
∞ ( terlalu pekat)
0127
0,109
21,78
0128
0,05
10.84
Analisis secara turbidimetri merupakan analisis berdasarkan pengukuran turbiditas
78
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
(S) atau kekeruhan dari suatu suspensi. Kekeruhan dapat disebabkan oleh bahanbahan tersuspensi yang bervarisasi dari ukuran koloidal sampai dispersi kasar, tergantung dari derajad turbulensinya.
pembanding. Dari pengukuran sampel air dengan menggunakan pH meter diperoleh hasil sesuai dengan Tabel 3. Tabel 3. pH sampel air dengan menggunakan pH meter
Pengukuran intensitas cahaya yang ditransmisi sebagai fungsi dari konsentrasi fase terdispersi adalah dasar dari analisis turbidimetri. Dalam membuat kurva kalibrasi dianjurkan dalam penerapan turbidimetri karena hubungan antara sifat-sifat optis suspensi dan konsentrasi fase terdispersinya paling jauh adalah semi empiris. Intensitas cahaya bergantung pada banyaknya dan ukuran partikel dalam suspensi sehingga aplikasi analitik dapat dimungkinkan.Prinsip spektroskopi absorbsi dapat digunakan pada turbidimeter. Untuk turbidimeter, absorpsi akibat partikel yang tersuspensi diukur. Untuk sampel yang terlalu pekat seperti pada sampel 0126, tidak dapat dilakukan karena warna yang terlalu pekat sehingga terjadi bias pada absrobansi yang diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan spketrofotometer.
Kode
Absorban
0128
3,69
0127
5,92
0126
5,37
Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa ketiga sampel air dari kabupaten Kampar Provinsi Riau menunjukkan sifat asam, pH 5 NTU (persyaratan permenkes,turbiditas < 5NTU). Analisis pH
Analisis organik (KMnO4) dapat dilihat sesuai dengan Tabel 4 berikut.
pH adalah suatu satuan ukur yang menguraikan derajat tingkat kadar keasaman atau kadar alkali dari suatu larutan. Unit pH diukur pada skala 0 sampai 14. Pada pengukuran pH air ini digunakan pH meter. Prinsip kerja pH pada prinsipnya adalah didasarkan pada potensial elektro kimia yang terjadi antara larutan yang terdapat didalam elektroda gelas (membran gelas) yang telah diketahui dengan larutan yang terdapat diluar elektroda gelas yang tidak diketahui.
Tabel 4. Analisis organik (KMnO4)
Hal ini dikarenakan lapisan tipis dari gelembung kaca akan berinteraksi dengan ion hydrogen yang ukurannya relatif kecil dan aktif, elektroda gelas tersebut akan mengukur potensial elektrokimia dari ion hidrogen atau diistilahkan dengan potential of hidrogen. Untuk melengkapi sirkuit elektrik dibutuhkan suatu elektroda
Kode
KMnO4
0126
338,436
0127
30,399
0128
8,026
Gambar 8. Kurva Analisis organik (KMnO4)
79
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Adanya zat organik dalam air tersebut telah tercemar oleh kotoran manusia, hewan atau sumber lain. Zat organik merupakan bahan makanan bakteri atau mikroorganisme lainnya. Makin tinggi kandungan zat organik di dalam air, maka semakin jelas bahwa air tersebut telah tercemar. Dari tabel di atas menunjukkan bahwa ketiga sampel air gambut mengandung zat organik, sedangkan persyaratan air minum berdasarkan Permenkes mempersyaratkan tidak ada zat organik yang tekandung di dalam air minum. Hasil menunjukkan bahwa teknologi instrumentasi pengolah air gambut dengan metode AOP + UV memungkinkan untuk diaplikasikan dilapangan. Dapat disimpulkan bahwa air gambut masih memerlukan pengolahan khusus terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai sumber air untuk keperluan domestik.
1. Khalkhali, R. Ansari dan R. Omidvari, 2005, Polish Journal of Environmental Studies, Adsorption of Mercuric Ion from Aqueous Solutions Using Activated Carbon, Vol. 14, No. 2, 185-188. 2. (www.google.com, November 2012). 3. Aziz, H., Bukasir, Y.P., dan Puryanti, D. 2007. Filtrasi Air Rawa Gambut dengan Paduan Perlit-Semen- Kapur. J. Riset Kimia. Vol. 1 No.1. ISSN: 1978-628X. September 2007. 4. Zouboulis AI, Loukidou MX, Matis KA (2004). Biosorption of toxic metals from aueous solutions by bacteria strains isolated from metal -polluted soils. Proc. Biochem. 39:909-916. 5. Balitbang Riau. 2001. Laporan Akhir Pengembangan Purigatro Provinsi Riau. 6. Susilawati (2010) Model Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih Dengan Metoda Elektrokoagulasi 7. Mahmud. 2002. Penurunan Warna dan Zat Organik pada Pengolahan Air Gambut Menggunakan Membran Ultrafiltrasi dengan Sistim Aliran Dead-End, Tesis Program Magister, Institut Teknologi Bandung. 8. KEP 907/MENKES/SK.VII. 2002. Tentang Standar Baku Mutu Air Minum. Menurut PERMENKES 9. Brownell, A., R. Chakrabarti, M. Kaser, 2008, Journal of Water and Health, Assessment of A Low-Cost, Point-ofUse, Ultraviolet Water Disinfection Technology, Vol. 06, No. 1, 53-65. 10. Rodriguez, M. 2003. Fenton and UV-vis Based Advanced Oxidation Processes in Wastewater Treatment: Degradation, Mineralization and Biodegradability Enhancement. Universitat de Barcelona. 11. Ozotech. 2004. “Ozone Generator”. Ozotech, Inc. USA 12. Sugiarto, A T. 2004. Sistem Kompak Oksidasi Pengolahan Limbah Cair Industri. Hand Out Presentasi di Nusantara Water Expo Jakarta 13. Warren (Pete) Luedke , 2007. Water Treatment Process Automation and Control, Application Data Document. Website: www.EmersonProcess.com/Remote
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian kompetitif LIPI periode 2012 s.d 2014. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Pemda Kabupaten Kampar Propinsi Riau atas kerjasamanya dalam menyediakan lokasi penelitian.
80
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
PROPULSI MAGNETOHIDRODINAMIKA SEBAGAI ENERGI RAMAH LINGKUNGAN PADA KAPAL Yudha Megantara1.* M Wahyu Abdul Ghofur2 Octavia Olga Citra Dewi3 Marwah Firdausul Akmal 4 Bryan Hidayat Soelaiman5 Triwahju Hardianto 6
1
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik, Universitas Jember, Kampus bumi tegal boto, Jember 68121 Indonesia 2
3
e-mail:
[email protected] [email protected] [email protected] 4 5 6
[email protected] [email protected] [email protected]
ABSTRAK The Magnetohydrodynamic (MHD) propulsion is designed to use magnetohydrodynamic force generated by sending electric current through two terminals which cut magnetic field in sea water fluid. The principle of MHD propulsion is to apply the Fleming's left hand rule of electromagnetics to sea water directly. When electric current is sent to sea water at right angles to the magnetic field, and electromagnetic force (Lorentz force) acts on sea water in the direction perpendicular to both the direction of magnetic field and electric current. Propulsion force is gained as a reaction force of this Lorentz force. In our experiment, by using two magnets are placed on the sides of the channel to make a pull – attractive force, and giving a magnetic field in channel, 18 volt batteries that are put on the positive and negative terminals and such that the direction of current flow perpendicular to the magnetic field, and move the ship being driven using Lorentz force which resulted from the relationship of current and magnetic field. Kata Kunci: Magnetohydrodinamics, propulsion, magnet field, electromagnet force PENDAHULUAN METODE PENELITIAN Paper ini, berisi tentang pemanfaatan konsep magnetohidrodinamika yang digunakan sebagai tenaga dorong pada kapal.[1] Propulsi magnetohidrodinamika ini sebelumnya telah dilakukan riset pada kapal Yamato milik Jepang, dalam konsep sederhana, paper ini menjelaskan tentang prinsip magnetohidrodinamika sebagai tenaga dorong dengan lebih sederhana. [2]. Prinsip kerja dari Propulsi Magnetohidrodinamika ini menggunakan kaidah tangan kiri fleming, dimana sebuah arus listrik yang mengalir melalui dua terminal memotong medan magnet secara tegak lurus dan juga arus listrik yang dialirkan melalui air laut pada medan magnet akan menghasilkan sebuag gaya lorenzt yang arahnya tegak lurus terhadap medan magnet dan arus listrik, tenaga dorong tersebut terjadi karena reaksi gaya lorenzt [3],[2] Propulsi magnetohidrodinamika ini menawarkan beberapa keuntungan yaitu, dalam system pendorong mekanik akan mengurangi level getaran pada kapal untuk mengurangi gangguan mekanis yang dihasilkan dan tidak ada pembatasan fisik pada kecepatan yang dihasilkan magnetohidrodinamika propulsion.[1]
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian propulasi magnetohidrodinamika ini adalah garam/air laut, gabus dengan tebal 1 cm, baterai 1.5 dan 9 volt, lempeng tembaga dengan ukuran lebar 5, 7, 10, dan 12 mm dan magnet Neodymium sebanyak 2 buah,lem astro. Peralatan Dalam penilitian ini alat yang digunakan adalah multimeter, kabel penghubung, cutter, penggaris, spidol, notebook/PC Prosedur Prosedur kerja yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : Pembuatan model kapal Kapal pada penelitian, adalah sebuah prototype yang nantinya digunakan untuk mendeteksi variable – variable yang berhubungan antara satu dengan yang lain.Dengan dimensi pangjang 33.5 cm, lebar 10 cm , dan tinggi 7 cm,hal pertama
81
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
kita lakukan adalah membuat sebuah plot gambar model kedalam gabus dengan bantuan spidol, setelah itu dipotong sesuai dengan ukuran menggunakan cutter lalu direkatkan menggunakan lem, hingga membentuk sesuai dengan desain yang ada. Desain kapal secara keseluruhan adalah sebagai berikut.
elektromagnetik tegangan.
jika
diberikan
sebuah
Gambar 5.Bagian – bagian channel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1.Model kapal secara umum
Penelitian ini menghasilkan sebuah data – data tentang hubungan antara fluksmagnet, arus dan gaya elektromagnetik terhadap kecepatan kapal. . Pengaruh dimensi medan magnet terhadap fluks magnet Magnet yang digunakan adalam magnet Neodymium yang mempunyai nama kimia NdFeB, merupakan magnet yang terdiri dari atom neodymium, besi dan boron.
Gambar 2.Model kapal tampak samping
Gambar 3.Model kapal tampak belakang
Gambar 6. komposisi magnet NdFeB [4] Fluks magnetik yang sering dilambangkan dengan B,dapat dihitung pada dua buah magnet balok dengan Gambar 4.Model kapal tampak atas
Pembuatan channel Channel merupakan bagian pada kapal yang terletak di bawah kapal yang merupakan media aliran air yang akan mendorong kapal.Dalam channel dipasang sebuag magent dan elektroda ( kutub positif dan negatif ) dari tembaga pipih yang berguna untuk menghasilkan gaya
82
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Hubungan Magnet sisa (Br) kerapatan medan magnet (B)
rumusan:
dengan
Magnet Neodymium memiliki beberapa jenis yang berbeda – beda dalam beberapa variable, bahan yang digunakan dalam magnet, kurva B-H dan termasuk magnet sisa (Br), magnet sisa adalah besarnya medan magnet yang masih ada saat pengaruh medan magnet dihilangkan yang disebabkan oleh oleh sulitnya domain – domain atom untuk kembali kea rah acak (masih tertahan)
[5] dimana
B Br P L T Z X1 X2
= Medan magnet = Magnet sisa = Panjang magnet = lebar magnet = ketebalan magnet = jarak antar magnet = jarak medan magnet dengan magnet A = jarak medan magnet dengan magnet B
(Gauss) (Gauss) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm)
Gambar 8. Domain dalam medan magnet [7] Berikut ini adalah tabel magnet sisa yang dihasilkan oleh magnet Neodymium (NdFeB) dengan berbagai macam tipe
ika kita masukkan panjang 30 mm, lebar 25 mm dan tebal 5 mm, serta jarak antar magnet 10 mm, maka akan menghasilkan grafik:
Tabel I. Magnet sisa dalam megnet neodymium [8]
Gambar 7. Grafik jarak medan magnet terhadap B [6]
dalam table diatas, semakin besar tipe magnet, maka magnet sisa yang dapat dihasilkan juga semakin besar, dan menghasilkan sebuah medan magnet yang besar pula. Jika kita mengontrol variable yang lain dan membebaskan variable ini (Magnet sisa), maka akan kita peroleh grafik berikut:
Dalam grafik diatas jelas menerangkan bahwa jikat semakin dekat jarak antar magnet, maka kerapatan yang dihasilkan juga semakin besar, demikian sehingga bila jaraknya diperlebar maka akan memperkecil kerapatan medan magnet dibuktikan dengan turunnya grafik secara kuadratik.
83
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
lurus maka akan timbul sebuah gaya (gaya elektromagnetik)
Gambar 9.Grafik Br terhadap B [6] disana terlihat bahwa nilai Br tidak mengalami perbedaan yang tinggi jika diubah – ubah.Artinya tidak ada perbedaan serius jika kita ingin mengganti magnet dengan berbagai macam tipe
Gambar 11. kaidah tangan kiri Fleming [9] atau jika jelaskan dalam sebuah koordinat cartesius XYZ, jika terdapat fluks magnet pada arah X , dan didalamnya terdapat arus listrik dalam arah Y, maka akan timbul gaya yang dihasilkan dalam arah Z
Hubungan Medan Magnet (B) dengan dimensi dari magnet Berdasarkan rumusan diatas, dapat kita peroleh bahwa dimensi sangat berpengaruh besar pada medan magnet, jika dijadikan grafik menjadi :
Implementasi pada kapal Dalam penelitian ini, kapal dengan sumber bateari 9V akan menyupai tegangan yang disalurkan melalui elektroda, arus disini akan mengalir melalui fluida berupa air garam/air laut, dan memotong medan magnet secare tegak lurus sehingga timbul sebuah gaya elektromagnetik
Gambar 10. Grafik panjang magnet terhadap B [6]
B
pada awalnya, kerapatan medan magnet dengan panjang 6 mm akan memiliki medan yang kecil, tetapi jika jarak antar magnet diperlebar maka dimensi ini akan melampaui medan magnet dimensi panjang yang lain seperti 12 mm, 28 mm dan 30 mm.
L .
I
F
Sistem kerja propulsi MHD. Hukum dasar
Gambar 12. Hubungan B, I, L dan F pada channel [3]
Mekanisme magnetohidrodinamika ini menggunkan kaidah fleming dimana, terdapat tiga variable yang saling berkaitan yaitu adanya arus yang mengalir yang memotong medan magnet secara tegak
sehingga melalui hukum Lorentz, kita dapat mengetahui hubungan B, I, dan L terhadap F, yaitu F = B.I.L dimana
84
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
F B I L
= gaya yang dihasilkan = kuat medan = kuat arus = panjang channel
(newton) (tesla) (ampere) (meter)
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikam kepada bapak Dr Triwahju Hardianto S.T.,M.T yang telah membimbing penulis dalam penulisan paper ini, Ditlitabmas Dikti atas hibah PKM sehingga dapat membantu penulis dalam penelitian ini, dan rekan – rekan yang membantu moral dan teknis sehingga terwujudnya paper ini.
oleh karena itu semakin besar kuat medan sebuah magnet, semakin besar arus yang diberikan serta semakin panjang channel pada kapal, akan memperbesar gaya yang dihasilkan oleh kapal, yang berpengaruh semakin cepatnya kapan akan bergerak. Untuk selajnutnya hamya perlu memasukkan pada hukum Newton tentang gerak yaitu F = m . a, dengan m adalah massa dari kapal, sehingga memperoleh percepatannya.Untuk memperoleh kecepatan kapal, semisal kecepatan kapal untuk 30 detik, maka kita kalikan antara percepatan dengan waktu 30 detik sehingga menghasilkan kecepatan kapal. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA 1. Doss, E. D., H. K. Geyer and G. D. Roy Mhd Undersea Propulsiona Novel Concept With Renewed Interest. 2. Takezawa Setsuo et al.,1995, Operation of the Thruster for Superconducting Electromagnetohydrodynamic Propulsion Ship "YAMATO 1” Vol. 23, No.1.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa nilai medan magnet sangat dipengaruhi oleh magnet sisa yang dapat dihasilkan, dimana semakin besar magnet sisa yang dapat dihasilkan, maka nilai medan magnet juga akan membesar dan untuk jarak antar magnet tidak berpengaruh pada variable magnet sisa, sedangkan pengaruh panjang magnet untuk jarak yang dekat akan cenderung menghasilkan besar medan magnet yang sama, namun ketika jarak antar magnet diperlebar, sedikir demi sedikit akan berbeda ( semakin panjang magnet maka medan akan semakin kecil ).Semakin besar jarak antar magnet maka medan magnet pun semakin kecil, hal ini berpengaruh pada posisi penempatan channel kapal yang nantinya diharapkan mendapatkan kecepatan yang maksimum.Dalam hal mempercepat laju kapal variable yang seharusnya diperbesar adalah medan magnet (B), arus listrik yang mengalir (I) dan L (panjang channel), dan juga mengjaga massa dari kapal agar tidak terlalu berat sehingga menghasilkan percepatan dan kecepatan yang maksimal.
3. Gabriel I. Fontand and Scott C. Dudley,2004, Magnetohydrodynamic Propulsion for the Classroom.Vol 42. 4. Ginting, Masno., Muljadi.,Perdamean Sebayang,2006,Pembuatan Magnet Permanen Isotropik berbasis Nd-Fe-B dan karakteristiknya.Vol 28,1,27-30. 5. http://www.magneticsolutions.com.au/ma gnet-formula.html
6. http://www.magneticsolutions.com.au/cgibin/flux-graphs.pl 7. Chapman, J Stephen.,2005, Electrical machinery Fundamental, Mc Graw Hill, New York. 8. http://www.kjmagnetics.com/specs.asp
9. Bakshi, U.A.,V.U Bakshi.,2009, Basic Electrical Engineering, Publications,Pune.
85
Technical
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
STUDI KINETIKA SEDERHANA REAKSI DEGRADASI GLISEROL DALAM MEDIA AIR SUBKRITIS Yuyun Yuniati1, Mahfud2 , Sumarno2 1
2
Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Email :
[email protected]
Abstrak Kinetika reaksi degradasi gliserol dipelajari dalam media air pada kondisi subkritis yaitu temperatur 200350oC dan tekanan operasi 250 bar. Reaksi ini dilakukan dengan menggunakan reaktor tipe batch dengan waktu reaksi antara 10-60 menit yang dilengkapi dengan thermocouple, indikator tekanan, dan pemanas listrik. Reaksi degradasi gliserol menghasilkan beberapa produk kimia antara lain metanol, etanol, dan asetaldehid. Berdasarkan perhitungan konstanta kinetika reaksi memberikan hasil peningkatan nilai jika reaksi diterapkan mulai dari 200oC hingga 350o C. Energi aktivasi untuk reaksi ini adalah 49096 J/ mol. Sedangkan faktor frekuensi sebesar 161 men-1 dengan persamaan Arrhenius yang diperoleh adalah k = 161 exp (- 49096/RT). Kata kunci : gliserol, degradasi, kinetika sederhana, subkritis
PENDAHULUAN
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, yaitu dikonversi menjadi bahan kimia non bahan bakar ataupun dikonversi menjadi bahan bakar alternatif. Sebagai langkah untuk mendukung sumber energi nasional berbasis nabati, maka gliserol didegradasi untuk menghasilkan bahan bakar. Salahsatu penelitian yang dilaporkan oleh Buhler dkk (2002) adalah melakukan degradasi gliserol pada kondisi subkritis hingga superkritis yang bertujuan untuk mempelajari interaksi kompleks dari berbagai jalur reaksi yang berbeda dan keterkaitannya terhadap kondisi operasi. Percobaan itu dilakukan dengan memakai reaktor pipa horisontal dimana pompa membran dipakai untuk mengalirkan air dan pompa HPLC untuk mengalirkan gliserol. Reaksi dijalankan pada temperatur 622-748 K dan tekanan 25, 35, dan 45 MPa dan waktu reaksi antara 32-165 detik dengan konsentrasi awal gliserol-air yang berbeda-beda. Produk utama dari reaksi ini adalah metanol, asetaldehid, propionaldehid, acrolein, allil alkohol, etanol, formaldehid, karbon monoksida, karbondioksida, dan hidrogen. Demikian juga dengan Byrd dkk (2007) yang telah melakukan penelitian transformasi gliserol menggunakan teknologi steam reforming
Kebutuhan energi sebagai bahan bakar terus meningkat tanpa bisa dielakkan lagi seiring dengan kenaikan populasi dunia. Di samping itu tuntutan akan bahan bakar yang ramah lingkungan juga semakin tinggi. Sebagai respon atas permasalahan tersebut, saat ini sudah cukup banyak dikembangkan di negara-negara maju biodiesel sebagai pengganti minyak solar fosil. Di Indonesia, industri biodiesel juga menunjukkan perkembangan yang baik, dimana baru-baru ini telah diremiskan lagi pabrik biodiesel yang beroperasi di Site PT.Adaro Indonesia dengan kapasitas produksi 1,1 juta ton/ hari berbahan baku minyak sawit mentah. (Anonim, 2011). Pembuatan biodiesel telah banyak dikembangkan melalui berbagai macam teknologi dengan hasil samping berupa senyawa gliserol. Senyawa ini mempunyai sifat tidak berwarna, tidak berbau, dan merupakan larutan encer yang sangat luas penggunaannya, antara lain untuk pelarut, pemanis, pengawet makanan, pengganti gula, zat anti beku dan masih banyak lagi kegunaan yang lain. Berbagai teknologi telah dipelajari untuk mengolah gliserol menjadi produk kimia
86
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 gliserol di daerah subkritis air. Pada percobaan itu digunakan gliserol dengan kemurnian 99,5% dan katalis Ru/Al2O3. Proses menggunakan reaktor alir jenis pipa pada variasi suhu 700o 800 C, waktu tinggal antara 1 hingga 4 detik, dan tekanan dipertahankan tetap yaitu 241 atm. Melalui penelitian tersebut diperoleh hidrogen dengan yield sebesar 7 mol H2/ mol gliserol ketika temperatur operasi pada 800oC dan waktu tinggal mencapai 1(satu) detik. Selain gas hidrogen, diperoleh pula produk-produk lain seperti gas karbondioksida, karbonmonoksida, dan metana. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kinetika reaksi degradasi gliserol secara sederhana dalam media air subkritis yang belum banyak dilaporkan dan merupakan penyempurnaan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan dengan melengkapi variabel temperaratur reaksi yang diterapkan (Yuniati dkk, 2010).
subkritis hingga superkritis, seperti konstanta dieletrik dan densitas yang semakin rendah, konsentrasi ion hidrogen yang meningkat, dan perubahan polaritas air memberikan dampak terhadap proses degradasi bahan organik dimana dengan perubahan sifat tersebut air menjadi lebih reaktif atau radikal. Oleh karenanya, penggunaan air sebagai media sekaligus reaktan dalam suatu reaksi kimia masih dapat diteliti lebih lanjut pada berbagai batasan temperatur dan tekanan reaksi yang diinginkan. Pada kondisi ini, untuk menggambarkan reaksi degradasi gliserol digunakan persamaan reaksi orde satu dalam reaktor batch. Reaksi degradasi gliserol merupakan reaksi antara reaktan gliserol dan molekul air (H2O) untuk menghasilkan produk degradasi. Dengan menganggap gliserol (G) dan air (A) sebagai reaktan serta produk (P) maka persamaan reaksi yang berlaku adalah : k1 G A P
DASAR TEORI Pada proses degradasi gliserol paka kondisi subkritis air hal yang paling penting adalah ketersediaan air sebagai penyedia molekul ionik maupun radikal bebas. Berbagai sintesis penting dalam proses kimia mempengaruhi selektivitas dan konversi, mulai dari reaktan, produk, serta reaksi yang tidak diinginkan, sehingga yield sebesar 100% jarang sekali terjadi. Dalam bidang reaksi kimia, dengan menerapkan teknologi subkritis dan superkritis dapat lebih mengoptimalkan proses serta mengurangi pemakaian katalis (Broll dkk, 1999). Air pada kondisi subkritis adalah air pada fase cair dimana keadaaan tekanan dan temperatur terletak diantara titik didih dan titik kritis, yang mana memiliki daerah temperatur dan tekanan yang lebih tinggi. Daerah ini tidak dapat disebut sebagai daerah gas maupun daerah cair. Fasa cair dapat diuapkan dengan menurunkan tekanan pada temperatur tetap. Sedang fase gas dapat dikondensasikan dengan menurunkan temperatur pada tekanan tetap. Pemakaian air sebagai media reaksi sangat menguntungkan karena selain bahan ini sangat murah, air pada kondisi subkritis hingga superkritis dapat berfungsi sebagai pereaksi sekaligus katalis. Adanya perubahan sifat air dari kondisi normal hingga dalam keadaan
(1)
dengan k sebagai konstanta kecepatan reaksi orde satu. Persamaan kecepatan jika digunakan reaktor batch adalah :
dCG k1.CG .C A dt
(2)
Percobaan dilakukan pada perbandingan mol reaktan gliserol- air sebanyak 1:51. Pada kondisi ini air sangat berlebih jika dibandingkan dengan jumlah mol (konsentrasi) gliserol. Oleh karenanya, nilai CA dapat dianggap konstan atau relatif tetap selama proses reaksi berlangsung. Dengan nilai CA tetap, maka akan mempengaruhi nilai k1 sebagai tetapan reaksi, yaitu : k’ = k1. CA (3) Oleh karenanya, persamaan kecepatan reaksi degradasi gliserol menjadi :
dCG k'.C G dt
(4)
Dimana nilai k’ merupakan nilai konstanta kecepatan reaksi orde satu semu. Integrasi persamaan (4) dengan memasukkan faktor
87
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 konversi, XG untuk menyatakan CG memberikan hasil persamaan : -
Ln (1- XG ) = k’.t
(5)
Pengujian model kinetika reaksi orde satu dilakukan dengan membuat grafik hubungan antara –ln(1-XG) terhadap waktu proses batch (t) pada berbagai temperatur proses yang diterapkan. Pada percobaan ini pengujian dilakukan pada suhu di daerah subkritis air yang dimulai dari 200, 250, 300, dan o 350 C sehingga nilai konstanta kecepatan reaksi (k’) dapat ditentukan.
Cara penelitian Gliserol yang digunakan dalam percobaan ini mempunyai kemurnian 87% dan diencerkan dengan pelarut air pada perbandingan massa gliserol-air 1:10 atau sekitar 1:51 dalam perbandingan mol. Sebelum digunakan untuk reaksi, campuran itu terlebih dahulu dilakukan degassing yang bertujuan untuk menghilangkan gas-gas terlarut dilanjutkan dengan mendinginkan larutan reaktan. Selanjutnya, reaktan diletakkan ke dalam reaktor dan dilakukan pressurisasi gas ke dalamnya hingga tercapai tekanan tertentu. Pemanasan dilakukan hingga tercapai temperatur reaksi 200-350oC yang bersamaan dengan tercapainya pula tekanan proses 250 bar. Waktu reaksi mulai dihitung dan dihentikan apabila sudah tercapai waktu yang diinginkan. Reaktor didinginkan mendadak untuk menghentikan reaksi dan hasil dikeluarkan untuk dianalisis menggunakan metode Gas Chromatograph.
METODE PENELITIAN Bahan Pada penelitian ini bahan yang digunakan sebagai reaktan adalah campuran gliserol-air dengan perbandingan massa 1:10. Gliserolnya dari E.Merck dengan kemurnian 87% dan sebagai bahan gas untuk keperluan pressurisasi digunakan gas Nitrogen jenis UHP dengan kemurnian 99,99%. Peralatan Reaksi degradasi gliserol dijalankan pada reaktor batch yang dilengkapi dengan pengukur temperatur, pengukur tekanan, dan pemanas elektrik. Reaktor batch terbuat dari tubing stainless steel jenis super duplex yang diperoleh dari swagelok. Dimensi reaktor antara lain, diameter luar ½ in, diameter dalam 0,402 in panjang 12 cm dengan volume sekitar 10 ml. Sebagai temperatur kontroler digunakan kontroler tipe SR 64 yang diperoleh dari Shimaden yang berfungsi untuk mengatur temperatur didalam reaktor agar sesuai dengan setting point. Skema peralatan yang dipakai pada penelitian degradasi gliserol dapat dilihat pada Gambar 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil konsentrasi produk degradasi pada berbagai temperatur reaksi dapat dilihat pada Gambar.2 – 4.
Gb.2. Molaritas asetaldehid versus waktu reaksi pada berbagai temperatur reaksi Gambar 1. Skema peralatan proses degradasi:1)Reaktor; 2)Band Heater; 3).Isolator; 4).Termocouple; 5).Pengendali temperature; 6).Voltage Regulator; 7).Sumber listrik; 8). Pressure gauge; 9).Tabung nitrogen; 10).Valve ke booster hydraulic;11).Booster hydraulic; 12).Valve menuju udara; 13). Valve menuju reaktor;14). Safety valve
88
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 Data Tabel 1. diolah dengan menggunakan persamaan (4) dan (5) yaitu untuk reaksi orde satu dan diplotkan dalam bentuk grafik. Hasil perhitungan disajikan dalam Gambar.5. 1 T=200 C (data) y=0.0009x T=250 C (data) y=0,001x T=300 C (data) y=0,006x T =350 C (data) y=0,015 x
- ln (1-XG)
0.8
0.6
0.4
0.2
Gb.3. Molaritas metanol versus waktu reaksi pada berbagai temperatur reaksi
0
10
20
30
40
50
60
70
Waktu batch (men)
Gambar 5. Hubungan – ln (1-XG) dengan waktu batch (men) untuk kinetika reaksi orde satu
Besarnya konstanta kecepatan reaksi orde satu pada degradasi gliserol dalam media air subkritis untuk temperatur 200, 250, 300, dan 350oC berturut-turut sebesar 0,0009; 0,001; 0.006; dan 0,015 men-1. Linearisasi data percobaan mempunyai faktor korelasi (R2) untuk temperatur 200, 250, 300, dan 350oC sebesar 0,94; 0,95; 0,984; dan 0,962. Dengan memberikan tambahan pada batas temperatur reaksi ternyata memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan pada penelitian kinetika sebelumnya, dimana setelah dilakukan linearisasi pada data percobaan yang diterapkan mempunyai faktor korelasi tinggi. Berdasarkan nilai faktor korelasi dapat disimpulkan bahwa degradasi gliserol dalam media air pada kondisi subkritis mengikuti kinetika reaksi orde satu. Besarnya energi aktivasi dalam reaksi ini ditentukan seperti pada Gambar 6.
Gb.4. Molaritas etanol versus waktu reaksi pada berbagai temperatur reaksi
Untuk studi kinetika degradasi gliserol dipakai data percobaan pada temperatur di daerah subkritis air yang dimulai dari 200, 250, 300, dan 350oC. Nilai konversi gliserol yang diperoleh pada berbagai temperatur diberikan pada Tabel.1 berikut ini. Tabel 1. Data konversi gliserol (XG%) pada berbagai temperatur dan waktu reaksi Waktu Temperatur reaksi o o o o Menit 200 C 250 C 300 C 350 C 10 0,360 1,4235 2,6869 4,5534 20 1,425 2,1057 10,535 36,969 30 2,134 4,4473 19,811 39,404 40 1,938 4,8319 21,304 43,987 50 4,096 8,1161 27,678 57,020 60 5,001 10,277 32,944 59,613
89
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 pyrolisis of glycerol as competing reaction pathways in near- and supercritical water “, Supercritical Fluid, 22, 37-53.
8 data percobaan linearisasi (y=5.905x - 5.081)
7
5. Yuyun Yuniati, Sumarno, Mahfud, “Kinetic 6
- ln k
Study Degradation of Glycerol in Subcritical Water”, INDUSTRI, Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi, Vol.9, No.2, Juni 2010
5
6. Yuniati,Y. (2012), Studi reaksi Degradasi 4
3
1
1.5
2
Gliserol dalam Air (Subkritis/ Superkritis) dan Penggunaan Teknologi Sonokimia, Laporan Disertasi, Jurusan Teknik Kimia, ITS, Surabaya.
2.5
1000/ T
Gambar 6. Hubungan antara – ln k dengan (1000/T)
Dari Gambar 6. dapat diketahui bahwa dengan konstanta gas ideal R sebesar 8,3144 J/mol maka energi aktivasi untuk reaksi ini adalah 49096 J/ mol. Sedangkan faktor frekuensi sebesar 161 men-1. Persamaan Arrhenius yang diperoleh adalah k = 161 exp (- 49.096/RT). KESIMPULAN
1. Reaksi degradasi gliserol dalam air pada kondisi subkritis menghasilkan produk asetaldehid, metanol, dan etanol. 2. Reaksi degradasi gliserol dapat didekati dengan kinetika reaksi sederhana orde satu dan dihasilkan persamaan Arrhenius k = 161 exp (- 49.096/RT). DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. Tulisan berjudul Menteri ESDM Resmikan Biodiesel Fuel Plant Di Site PT.Adaro. Berita Migas online, 31 Mei 2011
2. Byrd, A.J., Pant,K.K., Gubta, R.B. (2008), “ Hydrogen Production from Glycerol by Reforming in Supercritical Watert over Ru/ Al2O3 Catalyst”, Fuel Journal, 2956-2960.
3. Broll, D., Kaul, C., Kramer, A., Krammer, P., Richter, T., Jung, M., Vogel, H., Zehner, P. (1999), “ Chemistry in supercritical water “, Angew. Chem. Int. Review, 38, 2988 – 3014.
4. Buhler, W., Dinjus, E.., Ederer, H.J., Kruse, A., Mas, C. (2002),
“ Ionic reactions and
90
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
STUDIES ON AUGMENTATION : RECIRCULATION SLURRY AND EM-4 TO BOOST BIOGAS PRODUCTION FROM Jatropha curcas Linn HUSK CAPSULE IN TWO STAGES DIGESTION Roy Hendroko1, Satriyo K. Wahono2, Ahmad Wahyudi3, Praptiningsih, G.A4., Tony Liwang5, Salafudin6 and Andi Sasmito5 1
Graduate Student – Renewable Energy University of Darma Persada, Jakarta 13450 E-mail : roy
[email protected]
2
Technical Implementation Unit for Development of Chemical Engineering Processes – Indonesian Institute of Sciences, Yogyakarta 55861 E-mail :
[email protected],
[email protected]
3
Faculty of Agriculture and Animal Husbandry, University of Muhammadiyah, Malang 65144 E-mail:
[email protected] 4
Faculty of Agrotechnology, University of Merdeka, Madiun 63131 E-mail :
[email protected]
5
PT Sinarmas Agroresources and Technology Tbk., Jakarta 10350 E-mail :
[email protected] ;
[email protected] 6
Departement of Chemical Engineering, ITENAS, Bandung 40123 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Biofuels are often contrasted with the food and feed demand. Even though, biogas as gaseous biofuel has many benefits, they are recycling waste, minimizing groundwater and river pollution, preventing global warming, renewable energy, producing slurry and sludge which enabled as organic fertilizer and animal feed. Biogas belongs to modern cooking oil and the most efficient biomass conversion energetically. This paper reports the biogas production enhancement efforts made from Jatropha curcas Linn husk capsule with augmentation treatment, as a series of biorefinery research that has been conducted since 2010. The research was conducted at the PT Bumimas Ekapersada research garden, Bekasi, West Java on April – August 2012. A liter glass bottle which filled with glass wool as growth immobilized was used as the methanogenesis digester. The bottle was placed in water bath under 32°C with three replications for 28 days of Hydrolic Retention Time. The augmentation treatment was added with 5% EM-4, 5% F2-EM4 and 50% recirculation methanogenesis slurry to hydrolysis digester. Observation parameters were biogas production, pH, temperature, and acetate acid levels. The results showed that 5% EM-4 and F2-EM4 could increase biogas production by 2.654,53% and 633,76% respectively, while recirculation slurry could increase biogas production by 875,51% compared to control. Key words : Biogas, Jatropha curcas Linn, Husk capsule, Two stages digestion, Augmentation treatment.
PENDAHULUAN
kg sebesar Rp 5 triliun [2]. Kompas, 28 Februari 2013 mengemukakan bahwa Pertamina sejak 2006 merugi Rp 16 triliun sebagai akibat menjual elpiji 12 kg di bawah harga keekonomian [3]. Data mengemukakan ketersediaan Elpiji di dunia tidaklah besar karena hanya dapat dihasilkan dari lebih kurang 8 persen gas alam dan 8 persen dari kilang minyak bumi [4]. Terkait ketersediaan LPG yang relatif terbatas, Aep Saepudin [4] meyarankan menggunakan biogas sebagai
Bahan bakar di dapur-dapur masyarakat Indonesia beranjak dari solid (kayu bakar, arang, dll) ke liqued (kerosin), dan saat ini ke gas (Elpiji - LPG). Namun program konversi LPG tersebut tidak menjadikan Indonesia mandiri energi karena 60,6% LPG yang digunakan di Indonesia berasal dari impor [1]. Bahkan audit laporan keuangan Pertamina tahun 2012, melaporkan kerugian dalam bisnis elpiji 12
91
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
gaseous biofuel. Pertimbangan hal ini antara lain, biogas terkatagori modern cooking oil [5], proses konversi biomassa yang efisien [6 dan 7], berperan dalam minimasi global warming dan tidak bersaing dengan tanaman pangan [8 dan 9], Indonesia kaya biomassa sebagai bahan baku biogas dan penggunaan gaseous biofuel ini relatif luas [10], teknologi relatif sederhana, peralatan skala rumah tangga mampu dibuat di Indonesia, dan iklim tropika di Indonesia mampu menunjang proses anaerobik dengan murah sepanjang tahun [11], mampu meminimasi pencemaran air tanah [12] serta menghasilkan pupuk organik yang kaya nutrisi [13] sebagai bahan pembenah kesuburan tanah. Biogas di Indonesia, lazim menggunakan bahan baku kotoran hewan sapi. Bahan baku ini dipilih karena biomassanya berwujud lumat, membentuk larutan koloid, dan mengandung mikrobia sehingga proses pencernaan anaerobik dapat berlangsung dengan mudah. Namun kotoran hewan sapi tidak tersedia di setiap wilayah dalam jumlah cukup, antara lain karena hewan ternak tidak dikandangkan [14] Suswono [15] menyatakan potensi limbah sebagai sumber bioenergi dan teknologi konservasinya merupakan prioritas dari KEMENTAN RI. Langkah konkrit adalah pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber energi nabati yang digunakan secara in-situ. Telaah data menunjukkan limbah dari Jatropha curcas Linn (JcL) berupa organik adalah big business [16]. Bungkil JcL (seed cake, Jatropha curcas press cake, Jatropha curcas defatted waste) limbah dari pengolahan Crude Jatropha Oil (CJO) akan menjadi bisnis besar sebagai pakan ternak [17]. Limbah pengolahan CJO yang lain adalah kulit/daging buah
(jatropha fruit coat, capsule husk , fruit husk, hulls, shell, fruit shell, peel, fruit encapsulate). Limbah DH-JcL ini sebesar 30 – 80 persen dari berat buah segar/ basah [18 dan 19] atau 8 – 15 persen dari berat kering [20]. DH-JcL tidak direkomendasi sebagai pupuk organik karena C/N rasio tinggi [20]. DH-JcL dinyatakan pula tidak cocok untuk substrat biogas [21,22] karena proses perombakan relatif lambat. Namun sekelompok peneliti [14, 23, 24, dan 25] telah melakukan serangkaian kajian untuk mengatasi permasalahan DH-JcL sebagai substrat biogas. Makalah ini melaporkan kajian lebih lanjut tentang unjuk kerja DHJcL pada digester dua tahap dengan perlakuan augmentasi. Kajian ini bertujuan memacu komoditas JcL di Indonesia yang saat ini terbengkalai. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian di laboratorium kebun riset PT Bumimas Ekapersada, Bekasi, Jawa Barat pada bulan April – Agustus 2012. Penelitian menggunakan digester kaca volume satu liter sebagai digester metanogenensis dan volume dua liter sebagai digester hidrolisis yang disusun RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan tiga ulangan dalam water bath 320C, seperti Gambar 1. Sebagai growth immobilized digunakan glass wool sejumlah 40 gram yang dimasukkan ke dalam digester metanogenensis. Bahan penelitian adalah DH-JcL kultivar JatroMas kategori toksik sebagai substrat yang dicampur dengan air perbandingan 1 : 8 untuk perlakuan kontrol. Sebagai stater digunakan inokulum semi buatan [26] yakni slurry dari digester berbahan baku DH-JcL.
Gambar 1. Skematis digester two stage sebagai alat penelitian
92
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013 pada suhu hidrolisis 34,300C – 34,570C dan suhu metanogenensis 33,180C – 34,180C. Berdasar acuan pustaka, suhu ideal mesofilik 300C – 350C [36, dan 37] maka penelitan ini berlangsung pada kondisi ideal. Tabel I mencantumkan pengamatan rataan pH di dua jenis digester pada dua perlakuan augmentasi dibanding kontrol.
Kajian augmentasi terdiri dari dua bagian. Kajian I adalah introduksi EM-4, sebagai stater buatan [26] sejumlah 5% (v/v), dan F2-EM4 sejumlah 5% (v/v) ke digester hirolisis. F2-EM4 dibuat dari 150 liter air + EM-4 1 liter + gula merah 1 kg + urea 50 gram yang ditahan dalam drum selama satu minggu. Kajian II adalah resirkulasi 50% slurry metanogenensis, sebagai stater semi buatan [26] ke digester hidrolisis. Hidrolik retention time digester diatur selama empat minggu. Setiap hari umpan sejumlah empat gram DH-JcL dan 32 ml air dimasukkan dan dikeluarkan dari digester hidrolisis berdasar draw and fill method [27]. Substrat yang keluar dari digester hidrolisis dimasukkan ke digester metanogenensis. Variabel yang diamati adalah volume produksi biogas dengan water displacement method [28], pH dan suhu di effluent dengan pH meter dan termometer digital, kadar gas metana dengan ceinhorn's saccharometer [29], dan kadar asam asetat dengan metode titrasi. Data produksi biogas diolah statistika dengan BNJ 5% dan T test.
Tabel I. Rataan pH di larutan hidrolisis dan metanogenensis pada dua perlakuan augmentasi (EM-4 & F2-EM4) dan kontrol Perlakuan EM-4 F2-EM4 Kontrol
Hidrolisis 6,29 6,56 7,02
Methanogenesis 7,65 7,45 7,47
Tabel I menunjukkan di digester hidrolisis, perlakuan EM-4 menghasilkan rataan pH terendah yakni 6,29 dengan selang pH minimal dan maksimal sebesar 5,30 – 6,73. Temuan pH terendah di perlakuan EM-4 juga diperoleh di penelitian terdahulu [38]. Pada peringkat ke-2 adalah perlakuan F2-EM4 dengan rataan pH 6,56 pada selang 5,5 – 6,8. Kontrol menghasilkan rataan pH tertinggi sebesar 7,02 dengan selang 6,60 – 7,80. Mengacu sejumlah pustaka tercantum pH hidrolisis 5,0 – 7.0 [11], sehingga pH di perlakuan kontrol relatif tidak ideal. Dampak pH akan tampak di pengamatan asam acetat. Sejumlah pustaka mensyaratkan pH di metanogenesis pada selang 6,0 – 8,5 [11]. Berdasar acuan ini maka pH metanogenesis di tabel I terkatagori normal. Namun pH 7,65 di perlakuan EM-4 lebih tinggi (dengan selang 7,02 – 7,43) dibanding perlakuan kontrol dengan rataan pH 7,47 (selang pH 6,17 – 6,95). Di perlakuan F2-EM4 tercatat rataan pH 7,45 dengan selang 5,62 – 6,83. Asam acetat adalah prekursor utama dari pembentukan gas metana [34, 39, dan 40]. Gambar 2 menunjukkan kadar asam acetat sebagai dampak tabel I.
HASIL dan PEMBAHASAN Pustaka mengemukakan bahwa perombakan anaerobik tergantung, antara lain pada diversitas dan jumlah mikrobia [30]. Jumlah dan diversitas mikrobia tersebut dapat ditingkatkan dengan tindakan augmentasi, yakni penambahan mikrobia dari luar sistem [31, dan 32]. Augmentasi diperlukan karena terdapat kemungkinan mikrobia mengalami wash out, yakni terbawa keluar dari digester bersama slurry dan juga mengatasi pertumbuhan mikrobia indigenous yang cenderung lambat Sejumlah pustaka diantaranya [33, 34, dan 35] mengemukakan reaksi hidrolisis berperan utama atau pengendali pada sistem digester dua tahap. Dengan acuan ini maka kajian dilakukan pada tindakan augmentasi pada digester hidrolisis. Kajian terdiri dari dua bagian: Kajian I Penambahan stater buatan [26] berupa mikrobia EM-4 sejumlah 5% (v/v) di digester hidrolisis. Namun menyadari EM-4 relatif mahal maka dengan tujuan efisiensi dikaji pula substitusi mikrobia EM-4 dengan membuat F2-EM4. Penelitian berlangsung
93
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Gambar 2. Kadar asam asetat di digester hidrolisis dan metanogenesis dengan dua perlakuan augmentasi (EM-4 & F2-EM4) dan kontrol Gambar 2 mendukung Tabel I, tampak bahwa perlakuan EM-4 menghasilkan kadar asam acetat tertinggi di digester hidrolisis di hari ke-4 sebagai dampak pH terendah, seperti ditunjukkan di tabel I. Temuan serupa telah dikemukakan dalam penelitian terdahulu [38]. Perlakuan F2-EM4 dan kontrol di digester hidrolisis di hari ke-4 menghasilkan kadar asam acetat yang sama. Tetapi di pengamatan hari-hari selanjutnya tampak kadar asam acetat perlakuan F2-EM4 lebih rendah dibanding kontrol. Artinya reaksi perombakan F2-EM4 lebih tinggi/ cepat dibanding kontrol. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya [38, 41, 42, dan 43] bahwa EM-4 memperpendek fase adaptasi atau lag phase sehingga dari segi waktu proses pendegradasian akan lebih cepat. Pengamatan di digester metanogenesis, menunjukkan perlakuan EM-4 menghasilkan kadar asam acetat paling rendah. Artinya di digester metanogenensis pada perlakuan EM-4 terjadi perombakan asam acetat ke metana paling banyak. Dengan kondisi asam acetat di digester hidrolisis dan metanogenesis maka akan terjadi produksi biogas paling tinggi di perlakuan EM-4. Gambar 3 menampilkan hal ini
Gambar 3 menunjukkan produksi biogas ml/g VS di digester hidrolisis, tampak bahwa EM-4 dan F2-EM4 menghasilkan produksi relatif sama, dengan kecendrungan F2-EM4 lebih tinggi. Perlakuan kontrol menghasilkan biogas yang terendah. Artinya, augmentasi EM-4 dan F2-EM4 mampu melakukan reaksi fermentasi lebih cepat/ banyak dibanding kontrol. Pustaka [44, dan 45] mengemukakan bahwa produksi gas di digester hidrolisis didominasi CO2 dan H2, (dan relatif kecil CH4). Mengacu pendapat ini maka kajian diutamakan di digester metanogenensis. Pengamatan di digester metanogenensis seperti ditunjukkan di gambar 3, menunjukkan perlakuan EM-4 menghasilkan produksi tertinggi, perlakuan F2-EM4 di peringkat 2, selanjutnya diikuti perlakuan kontrol. Persentase peningkatan produksi perlakuan EM-4 dan F2-EM4 masing-masing sejumlah 2.654,53% dan 633,76% dibanding kontrol. Kenaikan produksi ini lebih tinggi dibanding penelitian terdahulu yang melaporkan kenaikan produksi sebesar 477,16% pada aplikasi EM-4 di substrat co-digestion jerami padi dan limbah sayuran [42] Pengolahan data secara statistika, dicantumkan di tabel II.
Gambar 3. Produksi biogas dalam perlakuan augmentasi (EM-4 dan F2-EM4) dibanding kontrol di digester hidrolisis (kiri) dan digester metanogenesis (kanan)
94
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Tabel II. Produksi biogas di digester metanogenensis pada perlakuan augmentasi (EM-4 dan F2-EM4) dibanding kontrol Perlakuan EM-4 F2- EM4 Kontrol BNT 5%
Tabel IV. pH di larutan hidrolisis dan metanogenensis pada perlakuan resirkulasi 50% slurry dan kontrol Perlakuan Resirkulasi Kontrol
Total produksi gas 247,0505 c 65,8101 b 8,9689 a 34,6436
Tabel III. Kadar CH4 di digester metanogenensis pada perlakuan augmentasi (EM-4 dan F2-EM4) dibanding kontrol Min 75,47 85,50 88,67
Max 93,42 94,47 95,00
Metanogenensis 7,42 6,95
Tabel IV mengungkapkan bahwa perlakuan resirkulasi 50% slurry menghasilkan pH lebih ideal dibanding perlakuan kontrol. pH di digester hidrolisis perlakuan resirkulasi (pH 6,69) lebih asam dibanding perlakuan kontrol (pH 7,02) menunjukkan proses fermentasi lebih banyak terjadi di perlakuan resirkulasi 50% slurry dibanding kontrol. Pada digester metanogenensis di perlakuan resirkulasi terjadi kenaikan pH dari hidrolisis (pH 6,69) ke metanogenensis (pH 7,42) menunjukkan bahwa proses di digester metanogenensis berlangsung seimbang karena asam-asam organik dari proses pengasaman mampu diubah menjadi gas metana oleh archaea metanogen [47, dan 48]. Sebaliknya di perlakuan kontrol, terjadi penurunan pH digester metanogenesis (pH 6,95) dari digester hidrolisis (pH 7,02) sebagai dampak akumulasi asam-asam organik [40, dan 49]. Pengamatan kadar asam acetat sebagai prekursor utama gas metana disajikan di gambar 4.
Tabel II menunjukan antar perlakuan berbeda sangat nyata dan dengan uji BNT 5% produksi gas paling tinggi dicapai di perlakuan EM-4, selanjutnya diikuti oleh perlakuan F2-EM4 di peringkat ke-2. Pengamatan kadar metana di perlakuan augmentasi dibanding kontrol disajikan di tabel III.
Perlakuan EM-4 F2-EM4 Kontrol
Hidrolisis 6,69 7,02
Rataan 87,66 89,48 91,48
Tabel III menunjukkan rataan kadar metana di perlakuan kontrol relatif lebih tinggi dibanding dua perlakuan augmentasi. Rataan kadar CH4 di F2-EM4 lebih tinggi dibanding perlakuan EM4. Temuan ini menarik karena EM-4 mampu memacu produksi biogas (tabel II dan gambar 2), tetapi kadar metananya relatif rendah. Penyebab hal ini membutuhkan kajian lebih lanjut, namun hal serupa dilaporkan di penelitian terdahulu [46]. Kajian II Kajian ini dilaksanakan dengan menambah mikrobia semi buatan [26] yakni slurry digester metanogenesis sejumlah 50% (v/v) yang di resirkulasi ke digester hidrolisis. Penelitian dilaksanakan pada rataan suhu di perlakuan kontrol hidrolisis 31,270C (selang 27,400C – 34,300C), dan di digester metanogenesis 31,790C (selang 0 0 29,60 C – 34,57 C), sedang rataan suhu di perlakuan resirkulasi di digester hidrolisis dan metanogenesis masing-masing adalah 33,370C dan 33,150C. Pengamatan pH ditunjukkan di tabel IV.
Gambar 4. Kadar asam acetat di digester hidrolisis dan metanogenesis pada perlakuan resirkulasi dan kontrol .
95
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar acetat di digester metanogenensis pada perlakuan resirkulasi 50% slurry menghasilkan kadar acetat terkecil. Hal ini menunjukkan di perlakuan resirkulasi terjadi perombakan asam acetat paling banyak ke gas metana. Temuan serupa dikemukakan di penelitian terdahulu [14, dan 38]. Sebaliknya pada perlakuan kontrol di digester metanogenesis terjadi kenaikan kadar asam acetat di minggu ke-12 dan minggu ke-28. Kenaikan kadar asam acetat ini ditunjukkan dengan angka pH yang relatif lebih rendah seperti ditunjukkan di tabel 4. Dampak hal ini, tampak pada produksi biogas yang ditampilkan di gambar 5.
Tabel V menunjukkan rataan kadar CH4 di digester metanogenesis pada perlakuan resirkulasi 50% slurry (92,29%) relatif sama dibanding kontrol (91,48%), bahkan cenderung lebih tinggi. Fenomena ini tidak terjadi pada perlakuan augmentasi dengan EM-4 dan F2-EM4. Demikian pula tampak kenaikan kadar CH4 dari digester hidrolisis ke metanogenesis relatif lebih besar di perlakuan resirkulasi dibanding kontrol. Artinya tindakan augmentasi dengan resirkulasi 50% slurry metanogenensis ke digester hidrolisis dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas biogas. KESIMPULAN dan SARAN Dari dua kajian augmentasi pada substrat DH-Jcl, dapat disimpulkan : 1. Introduksi tambahan mikrobia dari EM-4, F2-EM4, dan juga resirkulasi slurry digester metanogenensis ke digester hidrolisis mampu meningkatkan produksi biogas. 2. Kenaikan produksi EM-4, F2-EM4, dan resirkulasi dibanding kontrol masingmasing sebesar 2.654,53%, 633,76%, dan 875,51%. 3. EM-4 dan F2-EM4 tidak meningkatkan kadar gas metana.
Gambar 5. Produksi biogas dalam perlakuan resirkulasi 50% slurry dibanding kontrol di digester metanogenesis
Butir 3 membutuhkan kajian lebih lanjut. Demikian pula disarankan kajian resirkulasi slurry metanogenensis ke digester methanogenesis dan/atau resirkulasi kedua digester yakni hidrolisis dan metanogenesis. Kajian alkalinitas dibutuhkan pada resirkulasi slurry untuk menekan kemungkinan dampak negatif terhadap produksi biogas.
Gambar 5 menunjukkan produksi biogas di perlakuan resirkulasi 50% slurry lebih banyak dibanding kontrol. Analisis statistika dengan T test menunjukkan produksi perlakuan resirkulasi slurry (262.47621 ml/gr VS) berbeda sangat nyata dibanding produksi biogas perlakuan kontrol (26.90668 ml/gr VS). Namun dibutuhkan tindakan perhatian karena penelitian terdahulu [38] melaporkan kenaikan pH sebagai dampak resirkulasi slurry secara bertahap menurunkan produksi biogas. Pengamatan kadar gas metana ditunjukkan di tabel V.
DAFTAR PUSTAKA 1. Oktaufik, M.A.M., 2012, Ketergantungan elpiji impor perlu solusi, Harian Kompas, 20 Februari 2012, Hal. 14. 2. Evy, R., 2013, Elpiji menambal kerugian, Harian Kompas, 28 Februari 2013, Hal. 17. 3. Evy, R., 2013, Kenaikan harga elpiji ditunda. Kondisi sosial ekonomi jadi pertimbangan, Harian Kompas, 8 Maret 2013, Hal. 18. 4. Tunggal, N., 2012, LIPI mengoptimalkan biogas, Harian Kompas, 2 Maret 2012, Hal.14.
Tabel V. Kadar CH4 di digester hidrolisis dan metanogenensis pada perlakuan resirkulasi 50% slurry dibanding kontrol Perlakuan Resirkulasi 50% hidro Resirkulasi 50% meta Kontrol hidro Kontrol meta
Min
Max
Rataan
76,00
95,00
85,73
90,25 76,00 88,67
94,47 95,00 95,00
92,29 88,89 91,48
96
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
5. World Bank, 2011, One goal, two paths, achieving universal access to modern energy in East Asia and the Pacific, Washington DC. 6. Sivasamy, A., Zinoviev, S., Foransiero, P., Miertus, S., Langer, F.M., Kaltschmitt, M., Vogel, A., dan Thraen, D., 2007, Bio-fuels technology status and future trends, Technology Assessment and Decision Support Tools. 7. Soerawidjaja, T.H., 2011, Prospek dan potensi teknologi pencernaan anaerobik di dalam perekonomian berbasis nabati, Seminar Nasional Green Productivity II “desa produktif berwawasan lingkungan”. Kadin, Jakarta, 20 April 2011. 8. Warnika, K., 2011, Memasuki era energi baru terbarukan untuk kedaulatan energi nasional, Seminar energi baru dan terbarukan Kadin Indonesia dengan para pelaku industri di Indonesia, Jakarta, 14 Juli 2011. 9. Warnika, K., Potensi peluang dan peranan energi nabati dalam mewujudkan kedaulatan energi nasional, Simposium dan Seminar Bersama PERAGI - PERHOTI – PERIPI - HIGI mewujudkan kedaulatan pangan dan energi berkelanjutan, Bogor, 1 - 2 Mei 2012. 10. Soerawijaya,T.H., 2011, Rintanganrintangan percepatan implementasi bioenergi, Seminar Kadin “memasuki era energi baru dan terbarukan untuk kedaulatan energi nasional”, Jakarta, 14 Juli 2011. 11. Hendroko, R., 2013, Biogas - bahan ajar mata kuliah teknologi konversi biomassa, Pasca sarjana energi terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta. 12. Bensah, E.C., Atwi, E., dan Ahiekpor, J.C., 2010, Improving sanitation in Ghana – Role of sanitary biogas plants, Journal of Engineering and Applied Sciences 5 (2), 125 – 133. 13. Wahyuni, S., 2011, Biogas energi terbarukan ramah lingkungan dan berkelanjutan, Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) ke10, Jakarta, 8 – 10 November 2011. 14. Praptiningsih, G. A., Liwang, T., Salafudin, Nelwan, L.O., Sakri, Y., dan Hendroko, R., 2011, Study optimization of jatropha fruit coat hydrolysis phase in two stage anaerobic digestion,
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
97
International Conference and Exhibition on Sustainable Energy and Advanced Materials, Solo Indonesia, 3 - 4 October 2011. Suswono, 2013, Kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan dan energi berbasis pertanian, Makalah kunci Menteri Pertanian Republik Indonesia, Seminar Nasional Akselerasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Menuju Kemandirian Pangan dan Energi, Universitas Sebelas Maret, Solo, 17 April 2013. Nolten, W., 2008, Waterland working in synergy with the people and elements of nature, Jatropha Summit, Kuala Lumpur, 16 - 17 February 2008. Jatro Solution, Patent on method for detoxification of Jatropha curcas seed cake, kernel meal and protein isolate. Dikutip pada tanggal 5 April 2011 dari http://www.jatrosolutions.com/index.php ?option=com_content&view=article&id= 91&Itemid=103Iang=en Sotolongo, J.A., Beatón, P., Diaz, A., de Oca, S.M., del Valle, Y., Pavón ,S.G., dan Zanzi, R., Jatropha curcas L. as a source for the production of biodiesel: A Cuban experience. Dikutip pada tanggal 20 Mei 2011 dari http://hem.fyristorg.com/zanzi/paper/W2 257.pdf Hasanudin, U., dan Haryanto, A., 2010, Sustainability assesment of biomass utilization for bioenergy case study in Lampung Indonesia, Abstracts Biomass as Sustainable Energy, The 7th. Biomass Workshop Asia, Jakarta, 29 November – 1 December 2010. Praptiningsih, G.A., Hendroko, R., Liwang, T., dan Salafudin, 2010, Pengamatan awal pertumbuhan dan produktivitas provenan jarak pagar (Jatropha curcas L.) non toksik dibandingkan kultivar harapan Jatromas, Seminar Energi Terbarukan I (SNETI – I), Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, 18 – 19 Desember 2010. Makkar, H.P.S., dan Becker, K., 2009, Jatropha curcas, A promising crop for the generation of biodiesel and valueadded coproducts, Eur. J. Lipid Sci. Technol, No. 111, 773 – 787.
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
22. Halford, N.G., dan Karp, A., 2010, Energy Crops, Royal Society of Chemistry, Cambridge, p 213. 23. Salafudin, Hendroko, R., dan Marwan, R., 2010, The effect of organic loading, husk freshness and types of inoculum to the performance Jatropha curcas Linn husk anaerobic digestion, International Conference on Tehnology for New and Renewable Energy (ICTNRE 2010), Jakarta, 1 - 2 December 2010. 24. Praptiningsih, G. A, Liwang, T., Salafudin, Leopold, O. N ., Sakri, T., Satriyo, K.W. , dan Hendroko, R., 2012, Kajian optimasi konsentrasi dan waktu tunda panen di reaktor hidrolisis berbahan baku limbah Jatropha curcas L. dalam pencernaan anaerobik sistem dua tahap, Seminar Nasional Teknik Kimia, Universitas Parahyangan, Bandung, 25 April 2012. 25. Hendroko, R., Liwang, T., Salafudin, Praptiningsih, G. A., Nelwan, L.O., Sakri, Y., dan Satriyo, K.W., 2012, The Modification for Increasing Productivity at Hydrolysis Reactor with Jatropha curcas Linn Capsule Husk as Bio-Methane Feedstocks at Two Stage Digestion, International Conference on Sustainable Energy Engineering and Aplication, Jogya, 6 - 8 Nov 2012. 26. Kamaruddin, A., Abdul, K.L., Siregar, N., Agustina, E., Almansyah, M., Yamin, Edy, H., Purwanto, Y.A., 1995, Energi dan listrik pertanian, Academic Development of The Graduate Program, IPB, Bogor. 27. Velmurugan, B., dan Ramanujam, R.A., 2011, Anaerobic digestion of vegetable wastes for biogas production in a bed-batch reactor, Int. J. Emerg. Sci., No. 1(3), 478 - 486. 28. Budiyono, dan Kusworo, T.D., 2011, Biogas production from cassava starch effluent using microalgae as biostabilisator, Internet. J. of Sci. and Eng., Vol. 2(1), 4 – 8. 29. Schnürer , A., dan Jarvis, A., 2010, Microbiological handbook for biogas plants, Swedish Waste Management U2009:03, Swedish Gas Centre Report 207. 30. Gerardi, M.H., 2003, The microbiology of anaerobic digesters, John Wiley & Sons, Inc., Publication, Hoboken, New Jersey.
31. He Fang, Hu Wenrong, Li Yue Zhong, 2004, Biodegradation mechanisms and kinetics of azo dys 4BS by a micobial consortium, Chemosphere, No.57, 293 - 301. 32. Sastrawidana, I.D.K., dan Sukarta, I.N., 2011, Uji toksisitas air limbah tekstil hasil pengolahan pada reaktor biofilm konsorsium bakteri anaerob – aerob menggunakan ikan nila, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sains & Humaniora, No. 5(3), 271 – 282. 33. Veeken, A., Kalyuzhnyi, S., Scharff, H., dan Hamelers, B., 2000, Effect of pH and VFA on hydrolysis of organic solid waste, Journal of Environmental Engineering, Vol. 126, No. 12, 1076 – 1081. 34. Hutnan, M., Drtil, M., Derco, J., Mrafkova, L., Hornak, M., dan Mico, S., 2001, Two-step pilot-scale anaerobic treatment of sugar beet pulp, Polish Journal of Environmental Studies, Vol. 10, No. 4, 237 – 243. 35. Adrianto, A., Setiadi, T., Syafilla, M., dan Liang, O.B., 2001, Studi kinetika reaksi hidrolisis senyawa kompleks organik dalam proses biodegradasi anaerob, Jurnal Biosains 6 (1), 1-9. 36. Fry, L.J., 1973, Methane digesters for fuel gas and fertilizer, The New Alchemy Institute, Massachusetts. 37. Wahidah, 2004, Pengaruh variasi baffel, jumlah baffel dan waktu detensi terhadap kinerja anaerobic baffled reactor (ABR) dalam pengolahan limbah domestik khusus grey water, Tesis Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung. 38. Salafudin, Praptiningsih, G.A., Liwang, T., Nelwan, L.O., Sakri, Y. dan Hendroko, R., 2011, Study biorefinery capsule husk from Jatropha curcas L. waste crude jatropha oil as source for biogas, World Renewable Energy Congress Indonesia, International Conference and Exhibition on Renewable Energy and Energy Efficiency, Nusa Dua Bali, 17 - 19 October 2011. 39. Veronika,S., 2007, Biogas as renewable energy resource. Dikutip tanggal 24 Desember 2011 dari http://nvwaterloo.weebly.com/uploads/1 /0/8/8/108809/biogas.pdf. 40. Meilany, D., dan Setiadi, T., 2009, Pengaruh pH pada produksi asam organik volatil dari stillage bioetanol ubi
98
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
41.
42.
43.
44.
kayu secara anaerobik, Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses, Universitas Diponegoro, Semarang, 27 - 28 Juli 2009 Yulistiawati, E., 2008, Pengaruh suhu dan C/N rasio terhadap produksi biogas berbahan baku sampah organik sayuran, Skripsi Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Herawati, D.A., dan Wibawa, A.A., 2010, Pengaruh pretreatment jerami padi pada produksi biogas dari jerami padi dan sampah sayur sawi hijau secara batch, Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 4, No. 1. Elisa, S., 2010, Pengaruh rasio EM4 dan urea terhadap pembuatan biogas dari campuran limbah industri tahu dan eceng gondok, Skripsi Politeknik Negeri Sriwijaya. Barıs Calli. Anaerobic reaktor technologies, chapter 7, Marmara University, Department of Environmental Engineering Kadıköy, Istanbul, Turkey. Dikutip tanggal 6 April 2012 dari http://mebig.marmara.edu.tr/Enve424/C hapter7.pdf
45. Deublin, D., dan Steinhauser, A., 2008, Biogas from waste and renewable resources. Wiley- -VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. USA. 46. Santoso, E., 2010, Pengaruh effective micro organism 4 (EM4) pada tekanan gas methana biodigester continous model fixed drum terhadap lama gas mampu terbakar, Skripsi Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Ponorogo. 47. Dennis, A., dan Burke, P.E., 2011, Dairy waste anaerobic digestion handbook, Environmental Energy Company, 6007 Hill street Olympia, W.A 98516. 20p. 48. Lane, A.G., 1980, Process operation and monitoring-pH, redox, volatile fatty acid, alkalinity, inorganic oxygen, oxygen, In Nasional Workshop on Biogas Technology, Kuala Lumpur, 23 – 24 March 1981. 49. Mahajoeno, E., 2008, Pengembangan energi terbarukan dari limbah cair pabrik minyak kelapa sawit, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
99
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
WASTE COOKING OIL PRETREATMENT FOR PRODUCTION OF BIODIESEL PRETREATMENT MINYAK JELANTAH UNTUK PRODUKSI BIODIESEL Puji Hartono1, Ratih Dyah Puspitasari1, Angga Kurniawan2, dan Rudy Syah Putra1 1
2
Jurusan Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Islam Indonesia, Jl. Kaliurang Km 14.5, Yogyakarta 55584 Indonesia E-mail:
[email protected]
Jurusan Analis Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Universitas Islam Indonesia, Jl. Kaliurang Km 14.5, Yogyakarta 55584 Indonesia
ABSTRACT For low-quality waste oils containing a high proportion of free fatty acids (FFAs) and water, acid catalysts are sometimes selected in order to avoid the undesirable side reactions, such as saponification, which could lead to serious problem of product separation and low fatty acid methyl ester (FAME) yield. Many low-cost feed stocks (i.e. waste cooking oil) contained large amount of water, and a pretreatment process to reduce the water content to less than 0.1 wt.% was necessary. In this study, a pretreatment of waste cooking oil before used it as a feedstock for the production of biodiesel fuel (BDF) by using various adsorbents such as Activated Carbon (AC) and clay materials, for example Kaolinite (K), Bentonite (B), Smectite (S) and Powdered Earthenware (PE) was evaluated. The oil obtained from pretreatment was compared with oil without pretreatment process. Here we report a basic difference in material ability to the oil, depending on the adsorption condition with respect to the physic-chemical parameters, e.g. refractive index (R), density (ρ), water content (W), FFAs. Our finding showed that generally for each method, the FFAs in the oil has decreased significantly, except in the PE material. However, the water content in the oil sharply decreased when using AC as an adsorbent, showing clay materials have high permeability properties. The refractive index value has quit similar compared with oil without pretreatment process, meanwhile the oil density increased after pretreatment using clay materials. These results showed that the transparent of oil for visible light was not influenced by treatment process, but clay materials were dissolved during the treatment process. Keywords: waste cooking oil, biodiesel, clay materials, adsorbent, physic-chemical properties berbahaya lainnya (Guan danKusakabe, 2009). Bahan baku minyak nabati yang melimpah di Negara kita adalah minyak jelantah karena konsumsi rutin masyarakat Indonesia terhadap minyak goreng kelapa sawit. Hampir semua jenis masakan di Negara kita ini memerlukan minyak goreng dalam proses pembuatannya sehingga kebutuhan akan minyak goreng akan terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2011 lalu konsumsi minyak goreng di Indonesia berada pada angka 3,4 juta ton dan tahun 2012 ini diperkirakan mencapai 4,5–4,8 juta ton (Noeltrg, 2012). Besarnya konsumsi minyak goreng tersebut juga akan meningkatkan ketersediaan minyak jelantah sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Konversi minyak jelantah menjadi biodiesel ini merupakan langkah cerdas, yang memberikan tiga keuntungan sekaligus yaitu: nilainya yang ekonomis, menjadi solusi penanganan limbah minyak goreng dan menghasilkan produk biodiesel yang ramah lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap perbedaan dasar kemampuan
PENDAHULUAN Kebutuhan minyak bumi sebagai sumber energi dewasa ini semakin meningkat. Peningkatan tersebut tidak diimbangi oleh ketersediaan sumber energi yang sudah ada, namun terjadi penurunan sumber energi. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk menciptakan sumber energi baru. Salah satu upaya yang dikembangkan saat ini adalah pembuatan biodiesel. Biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi transesterifikasi bahan baku minyak atau lemak yang mengandung trigliserida dengan alkohol. Secara kimiawi, biodiesel merupakan campuran metil ester dengan asam lemak rantai panjang yang dihasilkan dari sumber hayati seperti minyak nabati dan lemak hewani atau dari minyak goreng bekas pakai (Leung, 2010]. Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif mempunyai beberapa keunggulan sifat dibandingkan bahan bakar fosil, seperti sifatnya yang ramah lingkungan, non toxic, renewable, biodegradable, bebas sulfur, dan emisi
100
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
adsorben dalam menyerap asam lemak bebas dan air yang terkandung dalam minyak jelantah, ditunjukkan dengan parameter fisikokimia. Parameter yang diukur yaitu berat jenis, indeks bias, kadar air, kadar asam lemak bebas (FFA).
Pengukuran Berat Jenis minyak jelantah
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak jelantah, karbonaktif, bentonit, kaolin, smektit, lempung gerabah, etanol, KOH, indikator fenolftalin, asam oksalat, akuades.
Ditimbang alat piknometer kosong yang volumenya 10 mL, kemudian minyak jelantah dimasukkan kedalam alat piknometer sampai penuh kemudian ditutup dan direndam dalam air yang suhunya 25oC selama 30 menit. Selanjutnya dikeringkan bagian luar piknometer dan ditimbang. Dengan cara yang sama dilakukan terhadap minyak hasil saringan dari karbon aktif, bentonit, kaolin, smektit, dan lempung gerabah.
Peralatan
Penentuan Indeks Bias minyak jelantah
METODE PENELITIAN Bahan
Siapkan sampel yang akan dianalisis. Buka prisma refraktometer kemudian dibersihkan menggunakan etanol, selanjutnya dikeringkan. Setelah kering diteteskan sampel sampai menutup semua permukaan prisma dan kemudian ditutup. Diatur cahaya yang masuk, apabila belum jelas putar mikrometer hingga terlihat garis batas gelap terang. Diatur kembali mikrometer hingga garis batas gelap terang memotong titik perpotongan dua garis diagonal yang ada pada alat tersebut. Dibaca angka yang tertera pada layar bagian bawah sebagai nilai indeks bias sampel tersebut dan dicatat juga suhu sampel.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, refraktometer, magnetic stirrer, termometer, oven, komporlistrik, desikator, piknometer, cawan porselen, dan peralatan gelas lainnya. Prosedur Penyaringan minyak jelantah a. Tahap I Penyaringan tahap pertama dilakukan dengan menggunakan kertas saring untuk menghilangkan partikel-partikel padatan dasarnya. b. Tahap II Penyaringan tahap kedua dengan menggunakan karbon aktif, bentonit, kaolin, smektit, dan lempung gerabah. Minyak jelantah masing-masing sebanyak 50 g dimasukkan kedalam gelas beker yang berbeda kemudian dipanaskan sampai suhu 100oC. Setelah tercapai suhu 100oC karbon aktif, bentonit, kaolin, smektit dan lempung gerabah sebanyak 5 g dimasukkan kedalam masing-masing gelas beker yang berisi minyak jelantah. Selanjutnya dilakukan pengadukan selama 80 menit. Campuran kemudian disaring dan filtrat dianalisis untuk mengetahui sifat fisikokimianya yang meliputi berat jenis, indeks bias, kadar air, dan kadar asam lemak bebas (FFA).
Penentuan Kadar Air minyak jelantah Ditimbang cawan porselen kosong. Kedalam cawan porselen dimasukkan 5 g o sampel kemudian di oven pada suhu 110 C selama 1 jam. Wadah yang berisi sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat konstan. Penentuan Kadar Asam Lemak Bebas (FFA) Penentuan bilangan asam dilakukan Dengan cara titrasi menggunakan larutan basa KOH. Ditimbang sebanyak 5 g minyak kelapa, kemudian ditambahkan dengan etanol 97 %. Campuran tersebut selanjutnya dipanaskan sampai mendidih selama 10 menit di atas penangas air sambil diaduk-
101
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
aduk. Setelah dingin selanjutnya dititrasi dengan larutan KOH 0,1 N dengan menggunakan indikator fenolftalin sebagai indikator sampai terbentuk warna merah muda. Larutan KOH 0,1 N yang digunakan untuk titrasi distandarisasi dengan larutan asam oksalat 0,1 N.
menghilangkan kemampuan katalitiknya (Freedman dkk., 1984). Pada gambar 1 terlihat hasil analisis fisikokimia minyak jelantah yang akan menghasilkan biodiesel dengan kualitas baik adalah minyak jelantah dari penyaringan menggunakan karbon aktif dan smektit. Karena memiliki kadar air rendah yaitu 0.33% dan 0% serta memiliki kadar asam lemak bebas yang rendah yaitu 0.233% dan 0.421%. Semakin tinggi angka asam semakin rendah kualitas biodieselnya (Mittelbach, 2006). Angka asam yang tinggi dapat menyebabkan endapan dalam sistem bakar dan juga merupakan indikator bahwa bahan bakar tersebut dapat berfungsi sebagai pelarut yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas pada sistem bahan bakar (Soerawidjaja, dkk. 2005). Angka asam yang tinggi diasosiasikan terjadi korosi pada media (Mittelbach, 2006) disamping itu juga dapat mengurangi umur dari pompa dan filter (Soerawidjaja, dkk. 2005).
perhitungan %FFA =
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas minyak jelantah dapat diketahui dengan melakukan analisis fisikokimia. Analisis tersebut meliputi berat jenis, indeks bias, kadar air, dan kadar asam lemak bebas (FFA). Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Pada tabel 1 terlihat bahwa pretreatment untuk setiap metode mampu menurunkan kadar air dan kadar asam lemak bebas (FFA) secara signifikan, kecuali lempung gerabah. Kadar air dalam minyak jelantah menurun tajam ketika menggunakan adsorben karbonaktif dan smektit. Nilai indeks bias tidak berbeda jauh dibandingkan antara minyak jelantah awal dengan minyak hasil treatment. Hasil ini menunjukkan bahwa kejernihan minyak jelantah tidak dipengaruhi oleh proses treatment menggunakan adsorben. Transesterifikasi atau alkoholisis adalah proses penggantian alkohol dan ester (trigliserida) dengan alkohol lain melalui bantuan katalis asam atau basa. Beberapa kondisi reaksi yang mempengaruhi konversi serta perolehan biodiesel melalui reaksi transesterifikasi antara lain: minyak nabati harus memiliki Gambar 1.Grafik angka asam < 1. Berbagai penelitian parameter kimia menganjurkan agar kandungan asam lemak bebas < 0.5 %. Selain itu bahan baku juga harus terbebas dari air atau memilki kadar air rendah (< 1 %) sehingga katalis tidak akan bereaksi dengan air yang akan Tabel 1. Parameter fisikokimia minyak jelantah hasil penyaringan
jenis
adsorben
vs
Parameter Berat Jenis (g/mL) Indeks Bias
Minyak
Karbonaktif
Bentonit
Kaolin
Smektit
Lempunggerabah
0.828
0.83
0.931
0.93
0.931
0.935
1.462
1.463
1.463
1.462
1.462
1.463
Kadar Air (%)
2
0.33
1.97
2
0
1.32
Kadar FFA (%)
0.488
0.233
0.377
0.397
0.421
0.543
102
ISSN: 2338-2368 Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM 2013
http://ditjenpdn.kemendag.go.id/index.p hp (diakses 16 September 2012) Soerawidjaja, Tatang, H, dkk., 2005, Standar dan Metode Uji Biodiesel di Indonesia, Departemen Teknik Kimia ITB, Bandung. Suastuti, D.A., 2009, Kadar air dan bilangan asam dari minyak kelapa yang dibuat dengan cara tradisional dan fermentasi, Jurnal Kimia 3, 2, hal. 69-74
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: a. Pretreatment minyak jelantah menggunakan adsorben lebih berpengaruh pada kandungan asam lemak bebas, kadar air, dan berat jenis. b. Pretreatment dengan karbonaktif dan smektit menghasilkan kualitas biodiesel terbaik dibandingkan menggunakan lempung. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada DIKTI atas bantuan dana sehingga dapat terlaksana penelitian ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S., 1989, Kimia Organik, Edisi ke-3, Erlangga, Jakarta. Freedman, B., Pryde, E.H., Mounts, T.L.,1984, Variables affecting the yields of fatty esters from transesterfied vegetable oils, Journal of the American Oil Chemists Society, 61 (10), hal. 1638-1643. Guan, G., dan Kusakabe, K., 2009, Synthesis of biodiesel fuel using an electrolysis method, Chemical Engineering, 153, hal. 159-163. Julianto, T.S., 2011, Pengaruh Variasi Berat Kitosan sebagai Katalis Basa Heterogen pada Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah, Eksakta,12, hal. 2-7 Leung D.Y.C., Wu X., dan Weung M.K.H., 2010, A review on biodiesel production using catalyzed transesterification, Applied Energy, 87, hal. 1083-1095. Mittelbach, M., Remschmidt, C., 2006, Biodiesel: The Comprehensive Handbook. University Graz, Austria. Noeltrg, 2012, Indonesia Bebas Minyak Curah Tahun 2015.
103