Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi Nusa Tenggara ...

4 downloads 144 Views 23MB Size Report
Tujuan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) Nusa Tenggara. Barat 2011-2015 adalah: (1) meningkatkan status gizi masyarakat dengan.
i

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

ii

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

iii

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

iv

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

v

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

RINGKASAN Tujuan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) Nusa Tenggara Barat 2011-2015 adalah: (1) meningkatkan status gizi masyarakat dengan target penurunan prevalensi balita gizi buruk dan kurang menjadi 18.8 persen, dan penurunan prevalensi balita pendek dan sangat pendek menjadi 36.6 persen, serta menurunkan proporsi penduduk rawan pangan menjadi 10 persen pada tahun 2015, (2) mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan berbasis kemandirian untuk menyediakan ketersediaan energi perkapita minimal 2,200 kkal/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari, (3) meningkatkan keragaman konsumsi pangan rata-rata perkapita untuk mencapai gizi seimbang dengan kecukupan energi 2,000 kkal/hari dan protein sebesar 52 gram/ hari dan cukup zat gizi mikro, serta meningkatkan keragaman konsumsi pangan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) menjadi 84 pada tahun 2015, dan (4) meningkatkan keamanan dan mutu pangan yang dikonsumsi masyarakat dengan menekan dan meminimalkan pelanggaran terhadap ketentuan keamanan pangan. Rencana aksi ini disusun melalui pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi: (1) perbaikan gizi masyarakat, terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan anak melalui peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi, dan anak balita dua tahun, (2) peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam melalui peningkatan ketersediaan dan akses pangan yang difokuskan pada keluarga rentan pangan dan miskin, (3) peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan melalui peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi, (4) peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) melalui peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal, terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu, dan (5) penguatan kelembagaan pangan dan gizi melalui penguatan kelembagaan pangan dan gizi di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, serta sampai tingkat desa. vi

Pemantauan pencapaian RAD-PG 2011-2015, berdasarkan indikator yang telah disusun dalam matriks pada dokumen ini akan difokuskan pada kegiatan yang sedang dilaksanakan agar secepatnya dapat diketahui kelemahan untuk segera diantisipasi. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk mengetahui dampak kegiatan sesuai dengan rencana target yang telah ditentukan.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

DAFTAR ISI SAMBUTAN i PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PANGAN DAN GIZI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2011-2015 ii RINGKASAN vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x BAB I

PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 2 B. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi 7 1. Ketahanan Pangan 10 2. Ketahanan gizi 11 3. Kerentanan 11 C. Maksud dan Tujuan 12 D. Ruang Lingkup 12 E. Sasaran 13 F. Landasan Hukum 14

BAB II

ANALISIS KONDISI UMUM PENCAPAIAN PANGAN DAN GIZI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 17 A. Produksi dan Ketersediaan Pangan 19 A.1 Produksi Pangan 19 A.2 Ketersediaan Pangan 21 B. Distribusi dan Akses Pangan 22 C. Konsumsi dan Keamanan Pangan 26 C.1. Konsumsi Pangan 26 C.1.1 Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein 22 C.2 Penduduk Rawan Konsumsi Pangan 28 C.3 Konsumsi Beberapa Komoditas Pangan Utama 28 C.4 Pola Konsumsi Pangan Pokok 31 C.5 Kualitas Konsumsi Pangan 31 D. Permasalahan dan Tantangan 33 D.1 Peningkatan Perbaikan Gizi Masyarakat 33 D.2 Peningkatan Aksesibilitas Pangan 39 D.2.1 Ketersediaan Pangan 39 D.2.2 Daya Beli Pangan 41 D.2.3 Peningkatan Akses Terhadap Pangan 43 D.2.4 Cadangan Pangan 44 D.2.5 Kerawanan Pangan 45 D.3 Peningkatan Pengawasan dan Mutu Pangan 52 D.4 Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 54 D.5 Peningkatan Penguatan Kelembagaan Pangan dan Gizi 56 Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

vii

BAB III

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENCAPAIAN PANGAN DAN GIZI 59 A. Kerangka Umum Konsep Implementasi RAD-PG 2011-2015 Provinsi Nusa Tenggara Barat 60 B. Strategi 63 C. Kebijakan 64 D. Target Sasaran 65

BAB IV

RENCANA AKSI DAERAH PANGAN DAN GIZI

BAB V

PELAKSANAAN PEMANTAUAN DAN EVALUASI 71 A. Tim Pelaksana 72 B. Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi 72

BAB VI

PENUTUP 75

69

LAMPIRAN 77 LAMPIRAN 1. MATRIKS RENCANA AKSI DAERAH PANGAN DAN GIZI PROVINSI NTB TAHUN 2011 - 2015 78 LAMPIRAN 2. PERBANDINGAN PENGHIDUPAN DAN KETAHANAN PANGAN TIAP KECAMATAN DI PROVINSI NTB PADA TAHUN 2030 DENGAN PETA KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN TAHUN 2010 96 LAMPIRAN 3. PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PANGAN DAN GIZI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2011-2015 99

viii

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Produksi Komoditas Pangan Hewani NTB 2006-2010 Tabel. 2

20

Perkembangan Ketersediaan Energi, Protein dan Lemak untuk Konsumsi Penduduk di NTB Tahun 2006-2010

22

Tabel. 3 Tingkat Konsumsi Energi dan Protein di NTB Tahun 2010

27

Tabel. 4 Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Provinsi NTB Tahun 2006-2010 29 Tabel. 5 Konsumsi Pangan Sumber Protein di Provinsi NTB Tahun 2006-2010 30 Tabel. 6

Perkembangan Capaian PPH di Provinsi NTB Tahun 2006-2010

Tabel. 7 Jumlah Surplus Beras di Provinsi NTB Tahun 2006-2010

32 40

Tabel. 8 Perkembangan Ketersediaan Energi di Provinsi NTB Tahun 2006-2010 41 Tabel. 9

Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 2010

46

Tabel.10 Presentase Kecamatan Rentan Terhadap Kerawanan Pangan Prioritas 1-3 per Kabupaten 2010

48

Tabel.11 Presentase Kecamatan yang Lebih Tahan Pangan, Prioritas 4-6 per Kabupaten 2010 48 Tabel.12 Jumlah Kasus Keracunan dari Tahun 2006-2010 di NTB

52

Tabel.13 Sasaran Rencana Aksi Pangan dan Gizi di Provinsi NTB 2011-2015 65 Tabel.14 Sasaran Ketersediaan dan Konsumsi Pangan di NTB (TON)

66

Tabel.15 Sasaran Pola Pangan Harapan di Provinsi NTB 2011-2015

67

Tabel.16 Program/Kegiatan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi 2011-2015 70 Tabel.17 Pelaksana dan Indikator Monitoring dan Evaluasi RAD-PG NTB

73

ix

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi Model Unicef (1990) 8 Gambar 2. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (WFP, 2009)

9

Gambar 3. Produksi Beberapa Komoditas Pangan Periode 2005-2009 di NTB 20 Gambar 4. Konsumsi Pangan Sumber Lemak dan Vitamin/Mineral di Provinsi NTB Tahun 2006-2010

30

Gambar 5. Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Berat Badan Menurut Umur di Provinsi NTB Tahun 2006-2010

34

Gambar 6. Grafik Indeks Berat Badan/Umur (Gizi Buruk) Tiap-Tiap Kabupaten Tahun 2006-2010 di Provinsi NTB

35

Gambar 7. Grafik Indeks Stunting Berdasarkan Tinggi Badan/Umur (%) Tahun 2006-2010 di Provinsi NTB

37

Gambar 8. Grafik Indeks Tinggi Badan/Umur (%) Tiap-Tiap Kabupaten di Provinsi NTB Tahun 2006-2010 Gambar 9. Peta Ketahanan dan Kerawanan Pangan Provinsi NTB (FSVA)

38 49

Gambar 10. Tipologi penghidupan untuk NTB berbasis pada pelayanan ekosistem utama di Kecamatan, dan proyeksi dampak relatif pada kesejahteraan pada tahun 2030, 2060, 2100, kapasitas adaptasi tahun 2011 (AC) dan kerentanan pada tahun 2030 dan 2100

50

Gambar 11. Nisbi kerentanan terhadap penghidupan dan ketahanan pangan pada tiap-tiap kecamatan di NTB tahun 2030

51

Gambar 12. Data Hasil Pemeriksaan Sarana Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) 2006-2010 53 Gambar 13. Data Pengujian Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Periode 2006- 2010 53 Gambar 14. Kerangka Konsep Implementasi Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi NTB 2011-2015

x

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

62

A. LATAR BELAKANG Tujuan pembangunan pada dasarnya adalah untuk mensejahterakan masyarakat baik lahir maupun batin secara berkelanjutan. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas lahir maupun batin, yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima dan pikiran yang cerdas. Keadaan yang demikian sangat ditentukan oleh status gizi setiap insan masyarakatnya, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah dan kualitas pangan yang dikonsumsi. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan, maka pembangunan ketahanan pangan harus menjadi kerangka dasar (plat form) pembangunan sektorsektor lainnya. Di samping itu, dalam pembangunan ketahanan pangan dan gizi dipandang perlu untuk memperhatikan sumber pendapatan dan penghidupan (livelihood) masyarakat NTB yang didasarkan pada ketersediaan produk dan pelayanan ekosistem (AusAID-CSIRO Alliance, University of Mataram, NTB Government, 2011) serta memperhatikan dan memprioritaskan lokasi daerah NTB yang rentan terhadap kerawanan pangan dan gizi berdasarkan indikator-indikator yang telah ditentukan (Pemerintah Provinsi NTB, BKP dan WFP, 2010). Pembangunan Ketahanan Pangan menjamin ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang baik pada tingkat daerah, rumah tangga, maupun perorangan. Hal ini harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan, dan kearifan lokal. Pembangunan Ketahanan Pangan juga harus dapat mengakomodir permasalahan, kepentingan, kebutuhan serta aspirasi perempuan dan laki-laki secara seimbang.

2

Peningkatan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan yang ideal (skor PPH 100) memerlukan upaya yang sungguh-sungguh. Upaya tersebut tidak cukup pada sisi penyediaan saja, tetapi juga peningkatan pendapatan dan peningkatan pengetahuan tentang perbaikan gizi yang mempengaruhi perbaikan mutu gizi masyarakat. Status gizi merupakan muara dari sistem ketahanan pangan. Dengan kata lain status gizi merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan suatu daerah.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Dalam rangka mencapai tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dimana perbaikan status gizi masyarakat merupakan salah satu dari 8 fokus prioritas dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014, Kementerian Kesehatan akan melaksanakan Program Perbaikan Gizi agar seluruh Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat menerapkan gizi seimbang dalam kehidupan sehari-hari, maka muncul sebuah gagasan perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan Nasional Sadar Gizi (Gernas Darzi) Menuju Indonesia Prima. Sejalan dengan gerakan ini, pada tatanan global PBB telah menginisiasi Gerakan SUN (Scaling-Up Nutrition Movement). Gerakan SUN memfokuskan pada peningkatan intervensi gizi yang terbukti paling costeffective untuk mencegah dan mengatasi gizi kurang, dengan prioritas utama pada ibu hamil sampai anak berusia 24 bulan, atau periode “1,000 hari pertama kehidupan”. Masalah kekurangan gizi tidak terjadi serta merta, tetapi ada proses panjang. Ini berarti ada proses panjang yang harus dilakukan untuk pencegahan. Dalam konteks inilah keberadaan Gerakan Gizi 1,000 hari dimaksudkan. Masa rentan kualitas hidup manusia ditentukan saat masih dalam kandungan hingga usia dua tahun. Pada rentang usia itulah pembentukan jaringan tubuh berlangsung dengan pesat. Ironisnya, masamasa tersebut justru kurang mendapat perhatian. Padahal hasil penelitian Shrimpton et. al. (2001) yang berjudul ‘Worldwide Timing of Growth Faltering: Implication for Nutritial Interventions, memperlihatkan bahwa indeks berat badan menurut umur (BB/U) sebagai salah satu indikasi kondisi gizi seorang anak justru sudah cenderung mengalami penurunan pada saat usia 3 bulan. Tingkat penurunan ini semakin cepat hingga anak berusia 12 bulan, baru melambat pada umur 18-19 bulan. Kondisi yang tak jauh berbeda bila memantau kondisi anak dengan mengacu pada indeks berat badannya menurut tinggi badan (BB/TB), penurunan dimulai sekitar umur 3 bulan sampai umur 15 bulan. Ini berarti harus diberikan perhatian sejak anak masih dalam kandungan hingga setidaknya usia dua tahun, atau 1,000 hari, 280 hari (9 bulan 10 hari) ketika dalam kandungan, 180 hari (usia 0-6 bulan) periode ASI eksklusif, 60 hari (usia 6-8 bulan) periode transisi dari ASI eksklusif ke makanan cair/lumat, 120 hari (usia 8-12 bulan) transisi ke makanan lembek dan lunak/semi padat dan 360 hari (usia 1224 bulan) transisi ke makanan padat. Prioritas perhatian ini bukan berarti mengabaikan proses tumbuh kembang anak setelah ia berusia dua tahun.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

3

Langkah ini lebih disebabkan untuk mengantisipasi adanya hasil kajian yang menunjukkan bahwa ketidaksempurnaan pembentukan organ tubuh pada rentang waktu tersebut akan bersifat menetap (irreversible). Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab kematian 3.5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lancet 2003 ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu dan umumnya menimpa anak pada usia dua tahun pertama. WHO 2002 memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi buruk. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak normal. Permasalahan kekurangan gizi secara perlahan namun pasti akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita serta usia harapan hidup. Dampak lain yang disebabkan kekurangan gizi adalah rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan dan produktivitas kerja serta lambatnya pertumbuhan ekonomi.

4

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, upaya peningkatan SDM diatur dalam UUD 1945 pasal 28 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap individu berhak hidup sejahtera, dan pelayanan kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia. Dengan demikian pemenuhan pangan dan gizi untuk kesehatan warganegara merupakan investasi untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Sementara pengaturan tentang pangan tertuang dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat. Pemenuhan hak atas pangan dicerminkan pada definisi Ketahanan Pangan yaitu: ”kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau“. Kecukupan pangan yang baik mendukung tercapainya status gizi yang baik, sehingga akan memperlancar penerapan Program Wajib Belajar 9 Tahun sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terpenuhinya kecukupan pangan dan gizi bagi ibu hamil, bayi dan balita serta adanya pola hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, nantinya akan dapat menghasilkan generasi muda yang berkualitas. Kesetaraan gender merupakan dimensi penting dalam peningkatan gizi ibu dan anak untuk mengurangi kurang gizi pendek. Peran gender telah Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

membentuk dan mempengaruhi perilaku individu dalam masyarakat maupun komunitas. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan persepsi mengenai laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh norma-norma sosial dan gender berdasarkan adat, agama dan kebiasaan. Status ekonomi perempuan, tingkat pendidikan dan usia perkawinan telah diidentifikasi sebagai faktor yang mempengaruhi kesehatan ibu dan anak (Laporan Rapid Gender Assessment, World Food Programme) Hal ini sejalan dengan Visi dan Misi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat 2008-2013 yaitu “Terwujudnya Masyarakat Nusa Tenggara Barat Yang Beriman dan Berdaya Saing (NTB Bersaing)” dengan misinya: (1) Mengembangkan masyarakat madani yang berakhlak mulia, berbudaya, menghormati pluralitas dan kesetaraan gender, (2) Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkeadilan, terjangkau dan berkualitas, (3) Menumbuhkan ekonomi pedesaan berbasis sumberdaya lokal dan mengembangkan investasi dengan mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan, (4) melakukan percepatan pembangunan infrastruktur strategis dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, (5) menegakkan supremasi hukum, pemerintahan yang bebas KKN dan memantapkan otonomi daerah. Upaya-upaya yang tersirat pada visi dan misi di atas telah tercakup didalamnya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi serta kesempatan pendidikan yang juga berarti mendukung pencapaian komitmen Milenium Development Goals (MDGs) terutama pada sasaran: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) menurunkan angka kematian anak; (4) meningkatkan kesehatan ibu pada tahun 2015. Pemerintah Daerah berusaha menciptakan proses pembangunan yang berkeadilan, sebagaimana diamanatkan dalam Rencana pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTB 2009-2013. Isu kesetaraan gender telah menjadi bagian penting dalam proses pembangunan di NTB. Untuk mencapai kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan, strategi pembangunan dalam segala bidang haruslah berarusutama gender sebagaimana yang telah diatur dalam Permendagri No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di Daerah. Inpres No. 9/2000 mengenai pengarusutamaan gender (PUG) mengemukakan bahwa PUG adalah: “suatu strategi untuk mencapai kesetaraan melalui kebijakan public. PUG merupakan suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang memasukkan pengalaman-pengalaman dan permasalahan-permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

5

dan evaluasi kebijakan dan program dalam bidang-bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan”. Tujuan PUG adalah untuk memastikan perempuan dan laki-laki menikmati manfaat pembangunan secara adil dan merata. Upaya yang sedang dan akan dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat juga selaras dengan komitmen global lain sebagai landasan pembangunan pangan dan gizi adalah : The Global Strategy for Health for All 1981, The World Summit for Children 1990, The Forty-eight World Health Assembly 1995, World Food Summit 1996 yang selanjutnya dalam World Food Summit lima tahun berikutnya (World Food Summit five years later (WFS:fyl) komitmen tersebut diperkuat lagi dengan dibentuknya Aliansi Internasional melawan kelaparan (International Alliance Against Hunger). Salah satu butir kesepakatan dalam aliansi tersebut adalah perlunya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan mendapat perhatian dalam upaya peningkatan ketahanan pangan. Komitmen global lainnya adalah Health for All in the Twenty-first Century 1988 serta Gerakan SUN (Scaling –Up Nutrition Movement) yang diinisiasi oleh PBB. Disamping itu Indonesia sudah menyusun Master Plan tentang akselerasi dan ekspansi pembangunan ekonomi Indonesia 2011-2025 dan Provinsi Nusa Tenggara Barat menjadi koridor ketahanan pangan dan pariwisata nasional (koridor lima). RPJMD Propinsi NTB telah meletakkan pembangunan pangan, kesehatan, dan pendidikan sebagai prioritas seperti terlihat pada visi dan misi tersebut yang telah dijabarkan dalam rencana strategis daerah. Kemudian ditindak lanjuti dengan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai upaya konkrit melaksanakan misi daerah untuk mewujudkan visi “NTB Bersaing”. Sebagai bentuk komitmen terhadap status gizi dan kesehatan masyarakat, Pemerintah Daerah juga telah membentuk Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Perlindungan dan Peningkatan Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak Balita.

6

Dalam rangka menjabarkan kebijakan dan langkah terpadu di bidang pangan dan gizi serta dalam rangka mendukung pembangunan SDM berkualitas, perlu disusun Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015 yang responsif gender. RADPG yang responsif gender harus dilakukan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan yang lebih fokus, berkesinambungan, berkeadilan dan mencapai tingkat kemungkinan keberhasilan yang tinggi (optimal), dengan mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, aspirasi, dan permasalahan target sasaran (perempuan dan laki-laki).

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

B. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”. Terdapat dua faktor langsung penyebab gizi kurang pada anak balita, yaitu faktor makanan dan penyakit dan keduanya saling mendorong. Sebagai contoh, anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang infeksi. Sebaliknya penyakit infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dapat mengakibatkan asupan gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik sehingga berakibat pada gizi buruk. Oleh karena itu, mencegah terjadinya infeksi juga dapat mengurangi kejadian gizi kurang dan gizi buruk. Berbagai faktor penyebab langsung dan tidak langsung terjadinya gizi kurang digambarkan dalam kerangka pikir UNICEF (1990). Faktor penyebab langsung pertama adalah makanan yang dikonsumsi, harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, yang pada tingkat makro ditunjukkan oleh tingkat produksi nasional dan cadangan pangan yang mencukupi; dan pada tingkat regional dan lokal ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi pangan. Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga akan berpengaruh pada komposisi konsumsi pangan. Makanan lengkap bergizi seimbang bagi bayi sampai usia enam bulan adalah air susu ibu (ASI), yang dilanjutkan dengan tambahan makanan pendamping ASI (MP-ASI) bagi bayi usia 6 bulan sampai 2 tahun. Data menunjukkan masih rendahnya persentase ibu yang memberikan ASI, dan MP-ASI yang belum memenuhi gizi seimbang oleh karena berbagai sebab. Faktor penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya, gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Kedua faktor penyebab langsung gizi kurang itu memerlukan perhatian dalam kebijakan ketahanan pangan dan program

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

7

perbaikan gizi serta peningkatan kesehatan masyarakat. Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Apabila kondisi ketiganya kurang baik menyebabkan gizi kurang. Rendahnya kualitas konsumsi pangan dipengaruhi oleh kurangnya akses rumah tangga dan masyarakat terhadap pangan, baik akses pangan karena masalah ketersediaan maupun tingkat pendapatan yang mempengaruhi daya beli rumah tangga terhadap pangan. Pola asuh, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan dipengaruhi oleh pendidikan, pelayanan kesehatan, informasi, pelayanan keluarga berencana, serta kelembagaan sosial masyarakat untuk pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan. Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat. Upaya mengatasi masalah ini bertumpu pada pembangunan ekonomi, politik dan sosial yang harus dapat menurunkan tingkat kemiskinan setiap rumah tangga untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan dan gizi serta memberikan akses kepada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Gambar 1. Kerangka Konsep Ketahanan dan Gizi model Unicef (1990)

8

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Pada FSVA provinsi 2010, analisis dan pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Unicef 1990) yang disesuaikan juga dengan kondisi-kondisi terkini. Pada kerangka konsep ini, FSVA juga menekankan pada kerentanan pangan terhadap penghidupan goncangan dan bencana alam termasuk perubahan iklim, kekeringan dan banjir. Secara lebih terperinci, kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik. Gambar 2 : Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (WFP. 2009)

9

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

1). Ketahanan Pangan Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Seperti FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, FSVA provinsi NTB dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (i) ketersediaan pangan; (ii) Distribusi pangan; dan (iii) Konsumsi dan keamanan pangan. Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat. Distribusi pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas.

10

Konsumsi dan keamanan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan individu untuk menyerap dan mengolah zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene, budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga. Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan provinsi tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat diakses namun sebagian anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila kelompok ini Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun keragaman atau apabila kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan yang tidak tepat atau karena sedang sakit. Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspekaspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik. 2) Ketahanan Gizi Ketahanan gizi didefinisikan sebagai “akses fisik, ekonomi, lingkungan dan sosial terhadap asupan makanan seimbang, air layak minum, kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar”. Ini berarti bahwa ketahanan gizi membutuhkan kombinasi dari komponen makanan dan non-makanan. Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan dan pola asuh tingkat individu. Kerawanan pangan adalah salah satu dari 3 penyebab utama masalah gizi. Penyebab utama lainnya adalah status kesehatan dan kondisi lingkungan masyarakat, dan pola asuh. Oleh karena itu, di manapun terjadi kerawanan pangan, maka akan berisiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah gizi kurang, tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan dan pola asuh seperti kurangnya akses ke air layak minum, sanitasi, fasilitas dan pelayanan kesehatan, rendahnya kualitas pola asuh dan pemberian makan anak serta tingkat pendidikan ibu, dll. 3) Kerentanan Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang dapat membuat suatu masyarakat yang berisiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor risiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan maupun tidak. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

11

C. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud disusunnya buku ini adalah untuk memberikan panduan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan pangan dan gizi yang bagi institusi pemerintah, masyarakat, dan pelaku lain yang bergerak dalam perbaikan pangan dan gizi di Provinsi Nusa Tenggara Barat baik dalam tataran provinsi, kabupaten/kota sampai dengan tingkat rumah tangga. Mengacu pada kesepakatan internasional (MDGs), Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAN-PG), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTB, serta memperhatikan situasi pangan dan gizi, maka provinsi NTB terus bertekad untuk pemantapan ketahanan pangan dan gizi. Adapun tujuan pembangunan pangan dan gizi pada tahun 20112015 (MDGs) sebagai berikut : 1. Meningkatkan status gizi masyarakat dengan memprioritaskan pada penurunan prevalensi balita gizi buruk dan kurang menjadi 18.8 persen, dan penurunan prevalensi balita pendek dan sangat pendek menjadi 36.6 persen, serta menurunkan kerawanan pangan masyarakat menjadi 10 persen pada tahun 2015. 2. Mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan berbasis kemandirian untuk menyediakan ketersediaan energi perkapita minimal 2,200 Kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari. 3. Meningkatkan keragaman konsumsi pangan perkapita untuk mencapai gizi seimbang dengan kecukupan energi minimal 2,000 kkal/hari dan protein sebesar 52 gram/hari dan cukup zat gizi mikro, serta meningkatkan keragaman konsumsi pangan dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) menjadi 95 pada tahun 2015. 4. Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi masyarakat dengan menekan dan meminimalkan pelanggaran terhadap ketentuan keamanan pangan menjadi 16% pada tahun 2015. 5. Tercapainya perilaku hidup sehat dan bersih dengan indikator persentase rumah tangga berprilaku hidup bersih dan sehat mencapai 65% dari penduduk.

12

D. RUANG LINGKUP. Rencana Aksi Daerah ini meliputi kebijakan strategi, program dan kegiatan yang akan dilakukan dalam perbaikan pangan dan gizi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan meningkatkan status gizi masyarakat, yang tercermin pada tercukupinya kebutuhan pangan baik jumlah, keamanan, dan kualitas gizi yang seimbang di tingkat rumah tangga. Rencana Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Aksi Daerah ini mengacu pada Visi dan Misi Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2008-2013, komitmen pencapaian MDGs, serta dokumendokumen kebijakan pembangunan nasional maupun daerah di bidang pangan dan gizi diantaranya adalah (a) Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Indonesia, 2005, (b) Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005, (c) Kebijakan Umum ketahanan Pangan 2006-2009, (d) Grand Strategy Peningkatan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat . Dalam dokumen ini diuraikan mengenai peran pangan dan gizi sebagai investasi pembangunan dan cerminan hasil pelaksanaan pembangunan pangan dan gizi serta sasaran yang belum sepenuhnya tercapai pada RAD-PG Provinsi NTB tahun 2009-2013 dan masih relevan untuk dilanjutkan dalam Rencana Aksi Pangan dan Gizi Tahun 2011-2015. Dalam bagian ini disajikan pula langkah-langkah untuk mengatasi tantangan baru sesuai dinamika yang terjadi pada tingkat daerah khususnya yang terkait dengan empat pilar pembangunan pangan dan gizi yaitu: (a) akses terhadap pangan, (b) keamanan pangan, (c) status gizi, dan (d) pola hidup sehat. Kemudian pada Bab IV diuraikan isu strategis pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk isu strategis pembangunan pangan dan gizi dan tujuan yang akan dicapai melalui RAD-PG Provinsi Nusa Tenggara Barat 2011-1015 serta kebijakan, sasaran, dan strategi penguatan ketahanan pangan dan perbaikan gizi periode 2011-2015, yang diuraikan lebih lanjut pada Bab V dalam bentuk matriks rencana aksi yang mencakup kebijakan, sasaran program, kegiatan pokok, peran stakeholders, dan instansi penanggungjawab. Dengan demikian setiap kegiatan akan dapat dijabarkan oleh institusi di daerah (kabupaten/kota) serta pengguna lainnya sesuai dengan kondisi di wilayah masing-masing. E. SASARAN RAD-PG ini merupakan dokumen operasional yang secara terpadu menyatukan pembangunan pangan dan gizi dalam rangka mewujudkan SDM berkualitas sebagai modal sosial pembangunan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dokumen RAD-PG disusun sebagai acuan pelaksanaan program ketahanan pangan dan perbaikan gizi bagi semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat yang memiliki tanggungjawab melakukan upaya perbaikan pangan, gizi dan kesehatan.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

13

F. LANDASAN HUKUM 1. 2. 3. 4.

14

Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 5. Undang-undang Nomor 23 1992 tentang Kesehatan. 6. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang 9. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan 11. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 13. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Pemerintahan Daerah. 14. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. 15. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wiliyah Provinsi. 16. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. 17. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan, 18. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009. 19. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 8 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2009-2013. 20. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

21. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2005-2025. 22. Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2011 Tentang perlindungan dan peningkatan kesehatan ibu, Bayi dan anak balita. 23. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Perlindungan Dan Peningkatan Kesehatan, Ibu, Bayi dan Anak Balita. 24. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan Yang Berkeadilan. 25. Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender

15

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas lahir maupun batin, yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima dan pikiran yang cerdas. Ukuran kualitas sumber daya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat. Untuk menyediakan sumberdaya manusia yang berkualitas, maka pembangunan dari aspek pendidikan, kesehatan dan ekonomi harus mendapat porsi berimbang dan berkelanjutan. Dari Aspek ekonomi, faktor ketersediaan pangan, kemampuan keluarga dalam mengakses pangan, dan keamanan pangan merupakan faktor penting yang berkontribusi pada pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Dari aspek pendidikan, tingkat pengetahuan keluarga tentang pola konsumsi dan gizi berimbang, pemahaman tentang ketersediaan pangan dan informasi harga pasar juga merupakan faktor yang akan mempengaruhi asupan gizi, terutama pada ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan balita. Dari aspek kesehatan, pangan dan gizi merupakan salah satu faktor penting dalam pencapaian IPM. Pola asupan gizi pada siklus kehidupan manusia, terutama pada saat kehamilan menjadi tahapan penting untuk diperhatikan, karena pada tahap kehamilan hingga dua tahun pertama kehidupan merupakan ‘periode emas’ dimana 80 persen otak manusia mulai dibentuk. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat dijumpai beranekaragam permasalahan gizi seperti gizi lebih, gizi kurang dan gizi buruk, serta masalah gizi mikro. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi provinsi untuk kurang gizi kronis (stunting) adalah 43.65%, angka ini tergolong tinggi untuk tingkatan kesehatan masyarakat. 5 kabupaten memiliki prevalensi yang sangat tinggi (> 40%) dan 2 kabupaten lainnya memiliki prevalensi yang tinggi (30-39%). Riskesdas terakhir tahun 2010 menunjukkan prevalensi provinsi untuk stunting meningkat (48.21%).

18

Secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi kurang gizi (berat badan menurut umur) pada balita dari 18.4 persen tahun 2007 menjadi 17.9 persen tahun 2010. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5.4 persen pada tahun 2007 menjadi 4.9 persen tahun 2010. Tidak terjadi penurunan pada prevalensi gizi kurang, yaitu tetap 13 persen. Prevalensi pendek pada balita adalah 35.7 persen, menurun dari 36.7 persen pada tahun 2007. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi balita pendek yaitu dari 18 persen tahun 2007 menjadi 17.1 persen tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita sangat pendek hanya sedikit menurun yaitu dari 18.8 persen tahun 2007 menjadi 18.5 persen tahun 2010. Penurunan

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

juga terjadi pada prevalensi anak kurus, dimana prevalensi balita kurus menurun dari 13.6 persen tahun 2007 menjadi 13.3 persen tahun 2010. Seiring dengan peningkatan produksi pangan pokok utama, produksi pangan hewani, khususnya daging ternak besar (sapi dan kerbau), daging ayam, telur, susu dan ikan juga menunjukkan kecenderungan meningkat dengan laju peningkatan tertinggi dicapai oleh daging sapi dan kerbau (3.25%) dan daging ayam (4.04%). Bila diiringi dengan peningkatan aksesibilitas ekonomi masyarakat, kondisi ini memungkinkan terjadinya peningkatan konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia yang saat ini tergolong masih rendah. Hasil studi mengungkapkan bahwa ketahanan pangan baik keluarga maupun nasional tak terlepas dari peran perempuan. Perempuan berperan dalam produksi, pengolahan dan distribusi pangan di tingkat rumah tangga. Ibu adalah anggota keluarga yang paling menentukan jenis makanan apa yang akan dihidangkan untuk keluarga. Selain pada sub-sektor produksi pangan, kontribusi perempuan yang tidak kalah pentingnya dalam ketahanan pangan adalah pada kelangsungan keanekaragaman hayati, yang merupakan hal penting dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Dalam hal ini, masalah gender berkaitan dengan pangan dalam rumah tangga perlu mendapat perhatian lebih lanjut. A. Produksi dan Ketersediaan Pangan A.1. Produksi Pangan Perkembangan produksi pangan nabati di Provinsi Nusa Tenggara Barat periode tahun 2006–2010, secara umum mengalami peningkatan seperti padi, jagung dan sayuran, sementara ubi kayu dan ubi jalar mengalami penurunan. Selama lima tahun terakhir, produksi pangan pokok khususnya beras cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan sebesar 2.08 persen/tahun. Walaupun demikian, peningkatan produksi ini belum menjamin terpenuhinya kebutuhan penduduk secara terus menerus, karena kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya dan masih rendahnya akses pangan sebagian dari kelompok masyarakat. Di sisi lain kemampuan lahan yang terus menurun antara lain disebabkan karena konversi lahan ke non pertanian dengan laju pertumbuhan konversi lahan sebesar 2.7 persen/tahun pada periode 2002-2007, dan produktivitas lahan yang semakin menurun sebagai akibat berkurangnya tingkat kesuburan tanah.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

19

Gambar 3. Produksi beberapa komoditas pangan periode 2006-2010 di NTB.

Sumber data: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB 2010.

Tabel 1. Produksi Komoditas Pangan Hewani NTB Tahun 2006-2010

No

20

Komoditas

Tahun Daging (Ton)

Telur (Ton)

Ikan (Ton)

2

2006

20,634

2,538

109,975.6

3

2007

20,851

4,777

128,318.5

4

2008

21,307

4,885

146,123.85

5

2009

31,923

6,071

182,790.40

6

2010

39,923

5,030

266,724.34

Sumber data :

1. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB 2010 2. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB 2010

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Jika peningkatan produksi pangan pokok utama, produksi pangan hewani khususnya komoditas daging, telur dan ikan diiringi dengan peningkatan aksesibilitas ekonomi masyarakat, maka pada kondisi ini memungkinkan terjadinya peningkatan konsumsi pangan hewani masyarakat yang saat ini tergolong masih rendah. Oleh karena itu, peningkatan ketersediaan pangan hewani diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap komoditas pangan tersebut. Pemenuhan kebutuhan pangan yang mengandalkan produksi di daerah Nusa Tenggara Barat telah dilakukan dengan berbagai program terutama pada sektor Pertanian. Seperti program peningkatan produksi pada semua sub-sektor pertanian dan sektor perikanan dengan melakukan inovasi-inovasi dan terobosan-terobosan baru. A.2. Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan mencerminkan pangan yang tersedia untuk dikonsumsi masyarakat, merupakan produksi daerah yang dikoreksi dengan mempertimbangkan penggunaan untuk bibit/benih, industri, kehilangan/susut, ekspor dan stok ditambah import. Ketersediaan pangan secara makro tidak sepenuhnya menjamin ketersediaan pada tingkat mikro. Masalah produksi yang hanya terjadi di wilayah tertentu dan pada waktu panen saja akan mengakibatkan konsentrasi ketersediaan pangan berada di sentra-sentra produksi. Pola konsumsi yang relatif sama antar individu, antar waktu dan antar daerah mengakibatkan adanya masa-masa defisit dan lokasi-lokasi defisit pangan. Dengan demikian mekanisme pasar dan distribusi pangan antar lokasi serta antar waktu dengan mengandalkan “stok” akan berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan konsumsi serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor keseimbangan yang terefleksi pada harga sangat berkaitan dengan daya beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan demikian, meskipun komoditas pangan tersedia di pasar namun apabila harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga, maka rumah tangga tidak akan dapat mengakses pangan yang tersedia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Perkembangan ketersediaan pangan dari komoditas yang ada dari tahun 2006 - 2010 disajikan pada tabel 2. di bawah ini.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

21

Tabel 2. Perkembangan Ketersediaan Energi, Protein, dan Lemak untuk Konsumsi Penduduk di NTB Tahun 2006-2010 No  Ketersediaan 



Energi 



Protein 



Lemak 

Ketersediaan Per Tahun (Kkal/kapita/hari)  2006  2007  2008  2009  2010                          3,013.13   3,077.58   3,367.96   3,559.25   3,343.04                                                93.32   96.39   111.90   117.08   114.49                                                         25.27   34.58   43.57   44.53   43.27  

Rata‐rata Perkembangan  Per Tahun (%)     0.3  1.04  16.76 

Sumber : NBM BKP Provinsi NTB 2010

Kemampuan penyediaan pangan dalam energi perkapita di Provinsi NTB selama tahun 2006-2010 relatif mengalami perkembangan setiap tahunnya dengan rata-rata perkembangan sebesar 0.3 persen pertahun, dengan demikian penyediaan pangan dalam energi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang dianjurkan sebesar 2,000 kkal/kap/hari. Ketersediaan protein juga melebihi standar yang dianjurkan sebesar 57 gr/kap/hari dengan rata-rata perkembangan sebesar 1.04 persen/tahun. Seiring meningkatnya intensitas perubahan iklim di NTB yang secara simultan mengancam ketersediaan pangan, maka pengkajian dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan pangan telah dilakukan. Data terbaru menunjukkan kerusakan komoditas pangan padi dan jagung juga mengalami penurunan produksi akibat puso. selama periode 2007-2009. Kerusakan tanaman padi terjadi di tahun 2008 (0.80%), tahun 2009 (0.41%) dan tahun 2007 (4.04%). Pada tahun 2007 tingkat kerusakan terparah tanaman padi ditemukan di Bima (9.85%), Lombok Tengah (7.0%) yang diikuti Dompu (5.39%) dan Sumbawa Barat (2.41%). Demikian pula pada kerusakan tanaman jagung dengan persentase yang kecil pada tahun 2008 (0.56%), tahun 2009 (0.18%) dan tahun 2007 (9.23%). Pada tahun 2007, tingkat kerusakan tertinggi tanaman jagung terdapat di Sumbawa Barat (40.65%) diikuti Dompu (10.48%) (BPS, 2009: FSVA,2010). 22

B. Distribusi dan Akses Pangan Ketersediaan pangan yang memadai di tingkat wilayah provinsi NTB merupakan faktor penting, namun belum cukup memadai untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Rendahnya ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

rumah tangga dapat terjadi karena adanya masalah dalam distribusi dan akses ekonomi rumahtangga terhadap pangan. Pemerataan distribusi pangan hingga menjangkau seluruh pelosok wilayah Nusa Tenggara Barat pada harga yang terjangkau merupakan upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat, sehingga tujuan untuk mengurangi kelaparan hingga setengahnya pada tahun 2015 dan tujuan pertama MDGs serta kesepakatan Gubernur selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi yang dicanangkan pada tahun 2006 untuk menurunkan kelaparan dan kemiskinan 1 persen pertahun dapat dicapai. Setiap wilayah memiliki kemampuan yang berbeda dalam produksi dan penyediaan pangan, termasuk dalam hal mendatangkan pangan dari luar daerah. Di daerah yang terisolir, kelangkaan ketersediaan pangan seringkali menjadi penyebab utama rendahnya akses rumah tangga terhadap pangan. Dengan kondisi pembangunan yang semakin baik dan semakin terbukanya daerah yang terisolasi, kemampuan rumahtangga dalam mengakses pangan ditentukan oleh daya beli. Kemiskinan menjadi faktor pembatas utama dalam mengakses pangan, setiap rumah tangga memiliki kemampuan yang berbeda dalam mencukupi kebutuhan pangan secara kuantitas maupun kualitas untuk memenuhi kecukupan gizi. Di sisi lain, perubahan iklim yang fluktuatif seperti banjir dan kekeringan akan menyebabkan suplai pangan untuk didistribusikan menjadi terganggu karena ketersediaan pangan lokal menjadi tidak menentu. Keadaan ini juga kemudiaan diperparah dengan dampaknya terhadap menurunnya bahkan menghilangkan sumber pendapatan dan penghidupan utama (>80%) masyarakat terutama rumah tangga dalam upaya mendapatkan akses untuk pangan. Rumah tangga yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai dan berkesinambungan dapat berubah menjadi tidak berkecukupan dan daya beli menjadi sangat terbatas, sehingga menyebabkan mereka tetap miskin dan rentan terhadap kerawanan pangan. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk menjamin agar rumah tangga dan individu memiliki akses terhadap pangan yang tersedia. Upaya atau kebijakan umum yang diterapkan adalah stabilisasi harga pangan pokok agar mekanisme pasar dan distribusi yang ada dapat menyediakan pangan pokok dengan harga yang terjangkau serta memperkuat cadangan pangan pemerintah daerah dan masyarakat.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

23

Stabilitas harga beras diukur berdasarkan perkembangan harga ratarata data koefisien variasinya dan dimonitor terus menerus. Selama kurun waktu tahun 2006-2010 perkembangan harga gabah/beras di kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2007 yaitu harga GKP (Gabah Kering Panen) Rp.2,600,-/ Kg, GKG (Gabah Kering Giling) Rp.2,900,-/kg dan harga beras ratarata Rp.5,600,-/kg menunjukkan perkembangan fluktuasi harga masih relatif stabil. Kebijakan pengendalian harga memiliki dua tujuan seperti halnya yang diatur pada Inpres nomor 13 tahun 2005 dan kemudian diperbaharui dengan Inpres nomor 1 tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan. Pemerintah menerapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk memberikan harga produsen yang mencukupi kepada petani agar petani tidak menerima harga lebih rendah dibanding harga produksi. Gabah hasil pembelian petani digunakan untuk cadangan beras pemerintah dan program Raskin. Disamping menerapkan kebijakan pengendalian harga beras, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan stabilisasi pangan pokok melalui Surat Menko Perekonomian nomor S-19/M.Ekon/02/2008 tanggal 1 Februari 2008. Kebutuhan pokok yang termasuk dalam kebijakan ini adalah beras, minyak goreng, kedele, gula dan minyak tanah. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi dan merespon kondisi perekonomian global saat ini, terutama yang terkait dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, khususnya minyak dan pangan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak gejolak kenaikan harga, menstabilkan harga dan pada gilirannya diharapkan dapat menurunkan harga. Instrumen kebijakan yang digunakan adalah instrumen fiskal, tata niaga dan kerjasama dengan dunia usaha. Secara operasional kebijakan dilaksanakan secara terpadu dan diarahkan untuk mengurangi biaya perdagangan melalui penyederhanaan tataniaga (arus keluar/masuk) komoditi pangan serta tidak mengenakan retribusi bagi komoditas pertanian yang keluar maupun masuk dari dan keluar baik di dalam provinsi maupun antar provinsi. 24

Untuk meningkatkan akses pangan rumah tangga miskin, pemerintah telah mengembangkan program subsidi/bantuan pangan berupa beras untuk rumah tangga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Mengingat beras adalah bahan pangan pokok yang paling banyak dikonsumsi, maka prioritas utama pemerintah adalah untuk menjamin masyarakat agar dapat mengakses beras dalam jumlah yang mencukupi melalui program subsidi pangan untuk rumah tangga miskin (Raskin). Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Melalui program ini pemerintah mendistribusikan beras dengan harga bersubsidi sehingga masyarakat miskin yang daya belinya sangat terbatas bisa mendapatkan bahan pangan pokok yaitu beras. Penyaluran Raskin di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2007 sebesar 55,809,794 kg dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 98,646,560 kg dan tahun 2009 meningkat 105,582,780 sedangkan pada tahun 2010 menurun menjadi 95,077,600. Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam penyaluran raskin adalah volume beras yang disalurkan tidak mencukupi kebutuhan sesuai norma sebesar 20 kg/ KK/bulan. Pada umumnya kendala tersebut diselesaikan di tingkat masyarakat melalui musyawarah desa, namun demikian sebagai akibatnya beras dibagi kepada tiap keluarga miskin dalam jumlah kurang dari 20 kg/KK/bulan. Survei evaluasi yang dilaksanakan oleh 35 perguruan tinggi pada tahun 2003 menemukan bahwa rata-rata penerimaan beras raskin adalah 13.3 kg/KK/bln. Pasa saat standar pembagian raskin pada tahun 2007 sebesar 10 kg/KK/bln, pembagian raskin di tingkat masyarakat tetap mengalami permasalahan. Hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Universitas Mataram pada tahun 2007 bahwa pembagian raskin di tingkat rumahtangga miskin di Nusa Tenggara Barat rata-rata sebesar 7-8 kg/KK/bln. Terlepas dari adanya kelemahan dalam penentuan penerima manfaat, program Raskin dinilai telah memberikan kontribusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan dengan beberapa alasan, yaitu: 1). Program Raskin telah mempersempit celah kemiskinan (poverty gap) sekitar 20 persen, 2). Tingkat konsumsi kalori keluarga miskin penerima raskin lebih tinggi antara 17.50 kkal/hari dibandingkan dengan mereka yang tidak memperoleh raskin, 3). Memberikan stimulasi tidak langsung terhadap permintaan agregat karena adanya efek ganda (multiplier effect) dari transfer pendapatan yang meningkatkan daya beli penerima raskin (Tabor dan Sawit, 2005). Instrumen kebijakan lain yang telah diterapkan untuk stabilisasi harga adalah cadangan pangan yang dimiliki pemerintah dan cadangan pangan masyarakat. Wujud nyata upaya peningkatan akses pangan masyarakat yang dituangkan dalam beberapa program seperti pemberian penguatan modal melalui program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM). Penguatan modal melalui Program LUEP di Provinsi NTB memberikan dampak terjadi peningkatan kemampuan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk menyerap gabah petani baik dalam gapoktan maupun di luar Gapoktan. Penyerapan gabah petani ini merupakan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

25

salah satu alternatif yang dilakukan oleh Gapoktan penerima dana LDPM sebagai cadangan pangan di tingkat masyarakat. Cadangan pangan masyarakat juga dilakukan oleh petani dengan cara menitip gabah melalui gapoktan yang akan diambil pada masa-masa paceklik yang berlangsung antara bulan Oktober sampai bulan Februari tahun berikutnya. C. KONSUMSI DAN KEAMANAN PANGAN C.1. Konsumsi Pangan C.1.1 Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Evaluasi konsumsi pangan dapat dilakukan dari dua aspek, yaitu secara kuantitatif dan secara kualitatif. Untuk menilai apakah penduduk telah terpenuhi kebutuhan pangannya secara kuantitatif dapat didekati dari konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan proteinnya. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) tahun 2004 menganjurkan konsumsi energi dan protein penduduk Indonesia masing-masing adalah 2,000 kkal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2,100 kkal/kap/hr dan kecukupan protein sebesar 56 g/kap/hari. Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara nyata dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan.

26

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Tabel 3. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein di NTB Tahun 2010 No

Kelompok Pangan

Gr/Kap/Hr

Tingkat Konsumsi Energi Kkal/ % AKE Kap/Hr

Tingkat Konsumsi Protein Gr/Kap/Hr

% AKP

1

Padi-padian

360.3

1,393

69.6

32.3

62.1

2

Umbi-umbian

32.0

40

2.0

0.3

0.6

3

Pangan Hewani

83.5

136

6.8

14.4

27.6

4

Minyak dan Lemak

16.2

144

7.2

0.0

0.1

5

Buah/Biji berminyak

4.2

23

1.2

0.3

0.6

6

Kacang-kacangan

20.6

68

3.4

5.8

11.2

7

Gula

17.3

63

3.1

0.1

0.1

8

Sayur dan buah

252.2

98

4.9

4.1

7.9

9

Lain-lain

71.0

44

2.2

2.0

3.8

2,009

100.5

59.3

114.0

Total Sumber: Data Konsumsi Pangan BKP NTB 2010

Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa tingkat perkembangan konsumsi energi dan protein masyarakat di Nusa Tenggara Barat menunjukkan masih di atas standar kebutuhan konsumsi energi sebesar 2,000 Kkal/kap/hari dan protein sebesar 52 gram/kap/ hari, yaitu 2,009 Kkal/kap/hari dan 59.7 gr/kap/hari. Walaupun demikian, terpenuhinya kebutuhan energi sebagian besar masyarakat Nusa Tenggara Barat merupakan sumbangan yang berasal dari pangan nabati padi-padian sebesar 69.6% dari kalori, umbi-umbian 2.0% dari kalori, minyak dan lemak 7.2% dari kalori, buah biji berminyak 1.2% dari kalori,gula 3.1% dan protein dari sumber protein nabati 62.1% dari protein. Sedangkan konsumsi energi dan protein yang berasal dari pangan hewani hanya menyumbang sebesar 6.8% dan 27.6% dari jumlah konsumsi energi dan protein sesuai anjuran. Kondisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan masyarakat NTB masih didominasi oleh tingginya ketergantungan masyarakat pada kelompok pangan padi-padian terutama beras, dimana pada tahun 2010 konsumsi beras adalah sebesar 118.1 kg/kapita/tahun dan diharapkan konsumsi beras akan turun menjadi 107.7 kg/kapita/tahun pada tahun 2015, dan sebesar 90.2 kg/kapita/tahun pada tahun 2025.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

27

C.2. Penduduk Rawan Konsumsi Pangan Penduduk dikatakan rawan konsumsi energi apabila rata-rata konsumsi energinya kurang dari jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup aktif dan sehat. Pada umumnya penduduk rawan konsumsi pangan (energi) dibagi atas dua kelompok, yaitu sangat rawan (tingkat konsumsi energi < 70% AKE) dan mereka yang memiliki kerawanan ringan sampai sedang (tingkat energi 70-90% AKE). Berdasarkan analisis data Susenas 2002 hingga 2008, ditemukan bahwa kondisi penduduk rawan pangan masih cukup tinggi, meski secara umum jumlah dan persentase penduduk rawan pangan mengalami penurunan selama periode 2002-2008. Penurunan ini terjadi karena 2 (dua) hal:1) karena keberhasilan program dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan yang berimbas pada meningkatnya rata-rata konsumsi energi dan 2) Penurunan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dialamatkan dalam WNPG. Dimana AKE yang semula 2,100 kkal/ kap/hr (2004) turun menjadi 2,000 kkal/kap/hr. C.3. Konsumsi Beberapa Komoditas Pangan Utama. Persyaratan kecukupan untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dengan demikian gambaran konsumsi pangan secara aktual dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Perkembangan konsumsi kelompok pangan 5 tahun terakhir di Provinsi NTB ( 2006-2010) dapat dilihat pada tabel 4 berikut.

28

Pada tahun 2009 konsumsi sebagian besar kelompok pangan sumber karbohidrat cenderung menurun, kecuali jagung, terigu, kentang dan gula merah. Konsumsi beras selama 4 tahun terakhir yakni 2006-2010 mengalami penurunan dengan laju pertumbuhan sebesar – 2.06% per tahun yakni dari 360.8 gram/kap/hari atau setara 131.7 kg/kap/tahun (tahun 2006), turun menjadi 323.5 gram/kap/hari atau setara 118.1 kg/ kap/tahun pada tahun 2010. Mengacu pada data selama 5 tahun terakhir diharapkan secara linear dengan pertumbuhan yang sama maka konsumsi karbohidrat yang Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

bersumber dari beras akan mengalami penurunan menjadi 304.6 gram/ kap/hari atau setara beras sebesar 111.2 kg/kap/tahun pada tahun 2013 dan sebesar 295.0 gr/kap/hari atau setara dengan 107.7 kg/kap/ tahun pada tahun 2015. Terjadinya penurunan konsumsi energi yang bersumber dari karbohidrat diharapkan akan dilengkapi oleh meningkatnya konsumsi pangan yang bersumber dari konsumsi kelompok pangan umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah biji berminyak, kacang-kacangan, gula dan sayur-sayuran dan buah. Tabel. 4. Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di Provinsi NTB tahun 2006 – 2010 No.

Kelompok Pangan

1

Beras

2

Jagung

3

Terigu

4

Ubi Kayu

5

Ubi Jalar

6

Kentang

7

Gula Pasir

8

Gula Merah

Satuan

2006

(gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th)

360.8 131.7 1.5 0.6 23.7 7.7 26.6 9.7 2.8 1.0 0.7 0.2 17.9 6.5 0.7 0.3

2007 333.4 121.7 8.9 3.3 29.0 10.6 25.4 9.3 2.4 0.9 0.5 0.2 15.9 5.8 0.5 0.2

2008 350.3 127.9 5.7 2.1 27.2 9.9 22.7 8.3 2.0 0.7 0.4 0.1 14.60 5.30 0.40 0.10

2009 327.9 119.7 4.0 1.5 29.4 10.7 24.8 9.0 2.0 0.7 1.5 0.6 14.80 5.40 1.00 0.40

2010 323.5 118.1 4.1 1.5 32.8 12.0 25.6 9.3 2.1 0.8 0.8 0.3 15.3 5.6 1.9 0.7

Rata-rata Perkembangan (%)

-2.6 107.3 14.2 -1.3 -9.3 51.5 -4.0 48.1

Sumbe data : BKP Provinsi NTB 2010

Realitas menunjukkan bahwa konsumsi pangan yang bersumber dari protein hewani yang meliputi daging ruminansia, unggas, telur dan susu pada 4 (empat) tahun terakhir 2006-2010 mengalami peningkatan, sedangkan konsumsi ikan dan kacang tanah mengalami penurunan (lihat tabel 5). Terjadinya penurunan konsumsi energi yang bersumber dari beras dan meningkatnya konsumsi energi yang bersumber dari pangan hewani dan pangan nabati (umbi-umbian), buah dan sayur, mengindikasikan meningkatnya kualitas konsumsi pangan masyarakat Provinsi NTB.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

29

Tabel. 5. Konsumsi Pangan Sumber Protein di Provinsi NTB tahun 2006 – 2010 No.

Kelompok Pangan

1

Kedelai

2

Kacang Tanah

3

Kacang Hijau

4

Ikan

5 6

Daging Ruminansia Daging Unggas

7

Telur

8

Susu

Satuan (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th) (gr/kap/hr) (kg/kap/th)

2006 14.3 5.2 2.6 0.9 1.1 0.4 53.4 19.5 4.7 1.7 4.2 1.5 11.9 4.4 2.3 0.8

2007 13.1 4.8 2.9 1.1 0.5 0.2 41 15 3.4 1.2 3.7 1.4 13.4 4.9 2.0 0.7

2008 10.9 4.0 2.30 0.80 0.50 0.20 44.1 16.1 3.4 1.2 4.1 1.5 11.9 4.3 2.4 0.9

2009 14,9 5.5 2.40 0.90 0.80 0.30 40.5 14.8 7.4 2.7 8.1 3 14 5.1 3.8 1.4

2010

Rata-rata Perkem bangan (%)

14.9 5.4 2.6

0.9 1.6

0.6 50.0 18.3 7.5 2.7 8.2 3.0 14.7 5.4 3.2 1.2

3.1 0.2 26.6 0.3 23.7 25.2 6.9 17.1

Sumber data : Konsumsi Pangan BKP Provinsi NTB 2007-2010

Demikian pula konsumsi pangan sumber minyak dan lemak cenderung menurun, dan diharapkan akan meningkat menjadi 6.7 kg/kap/tahun 2015. Konsumsi sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral pada masyarakat NTB cenderung meningkat yakni masing-masing dari 60.1 kg/kap/tahun pada tahun 2006 menjadi 62.3 kg/kap/tahun pada tahun 2010, dan buah-buahan 17.5 kg/kap/tahun meningkat menjadi 29.8kg/kap/tahun pada periode yang sama. Kecenderungan peningkatan konsumsi sayur dan buah mengindikasikan adanya perbaikan dalam pola konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral serta serat makanan. Gambar 4. Konsumsi Pangan Sumber Lemak dan vitamin/ mineral di Provinsi NTB Tahun 2006–2010

30

Sumber data: BKP Provinsi NTB 2007-2010 Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Dari gambar tersebut di atas diketahui masih diperlukan upaya keras untuk meningkatkan diversifikasi konsumsi pangan masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Upaya yang harus dilakukan disamping meningkatkan produksi, akses pangan masyarakat, juga diperlukan upaya percepatan diversifikasi pangan. Upaya-upaya itu diperlukan untuk meningkatkan kemandirian pangan melalui pengembangan pangan lokal, penguatan sistem cadangan pangan masyarakat, perbaikan jalur distribusi dan peningkatan efisiensi pemasaran serta pemanfaatan pekarangan perlu terus ditingkatkan di masa mendatang. C.4. Pola Konsumsi Pangan Pokok Perkembangan menarik dalam konsumsi sumber pangan pokok, adalah kecenderungan menurunnya energi dari jagung dan umbi-umbian seiring peningkatan pendapatan. Suatu komoditas pangan akan masuk ke dalam pola konsumsi apabila memiliki kontribusi energi sekurangkurangnya 5% terhadap total konsumsi energi. Semakin banyak pangan yang memiliki kontribusi energi diatas 5% akan semakin beragam pola konsumsinya. Hasil Susenas 1999 s/d 2007 menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah, terutama di pedesaan mengarah kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, khususnya mie instan. Terigu dan hasil olahannya (khususnya mie instan) menyumbang energi secara signifikan bukan hanya pada rumahtangga berpendapatan tinggi tetapi juga pada rumah tangga berpendapatan rendah. Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum adalah komoditas impor dan tidak diproduksi di Indonesia, sehingga arah perubahan pola konsumsi itu dapat menimbulkan ketergantungan pangan pada import. Program diversifikasi pangan dalam arti luas menuju gizi seimbang, dan diversifikasi pangan sumber karbohidrat menjadi sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadi ketergantungan yang sangat tinggi pada satu jenis pangan saja. C.5. Kualitas Konsumsi Pangan Kualitas konsumsi pangan ditentukan oleh berbagai faktor. Dalam bahasan berikut, kualitas konsumsi pangan dilihat dari komposisi konsumsi pangan masyarakat berdasarkan kontribusi energi setiap kelompok pangan yang dikombinasikan dengan tingkat kecukupan energinya. Penilaian kualitas atau mutu konsumsi pangan seperti ini dilakukan dengan menggunakan skor keanekaragaman pangan yang dikenal dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Nilai/skor mutu Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

31

PPH ini dapat memberikan informasi mengenai pencapaian kuantitas dan kualitas konsumsi, yang menggambarkan pencapaian ragam (diversifikasi) konsumsi pangan. Semakin tinggi skor PPH maka kualitas konsumsi dan keragaman bahan pangan dalam arti jumlah dan komposisi dinilai semakin baik. Jika dilihat perkembangan secara keseluruhan konsumsi pangan masyarakat NTB (konsumsi energi, protein) dari tahun 2006-2010, menunjukkan adanya perbaikan, hal ini ditunjukkan oleh capaian angka konsumsi energi dan protein yang masih diatas standar nasional. Demikian pula dengan angka skor pola pangan harapan yang setiap tahun meningkat. Perkembangan capaian Pola Pangan Harapan Provinsi Nusa Tenggara Barat selama kurun waktu 5 (lima) tahun (2006-2010) dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel 6. Perkembangan Capaian PPH Provinsi NTB Tahun 2006-2010 No

Komponen

Capaian PPH NTB

%

2006

2007

2008

2009

2010

(- / +)

1.

Konsumsi energi (Kkal/kap/hr)

2,049

2,003

2,004

2,036

2,009

-0.5

2.

% Konsumsi Energi (AKG/E)

102.4

100.2

100.2

101.8

100.5

-0.5

3.

Konsumsi Protein (gr/kap/hr)

58.9

55.8

56.5

57.4

59.3

0.2

4.

% Kontribusi Protein

113.2

107.3

108.6

110.4

114.0

0.2

5.

Skor PPH

69.6

72.7

73.4

74.1

76.7

2.5

Sumber. BKP NTB. 2010.

32

Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa perkembangan konsumsi energi dan persentase konsumsi energi (AKE) tidak mengalami peningkatan yang signifikan (-0.5) PPH, sedangkan konsumsi dan persentase kontribusi protein yang dicapai selama kurun waktu 20062010, menunjukkan adanya peningkatan yaitu masing-masing 0.2% dan 2.5%. Perkembangan capaian konsumsi energi dan protein diharapkan mendekati anjuran standar kebutuhan nasional yaitu 2,000 Kkal/kap/hr dan 52 gr/kap/hr untuk konsumsi protein. Meningkatnya skor PPH dari tahun ke tahun memberikan gambaran bahwa telah terjadi perubahan dalam pola konsumsi pangan yang

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

mengarah pada pola konsumsi yang semakin beragam dan bergizi seimbang. Ini berarti bahwa kualitas konsumsi pangan masyarakat semakin meningkat seiring dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi masyarakat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa selama periode 2006-2010 terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka harapan terjadinya peningkatan skor PPH sebesar 84.8 pada tahun 2015 merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan ketahanan pangan pada periode 2011-2015. Namun demikian, perlu disadari bahwa konsumsi energi masyarakat NTB yang bersumber dari kelompok padi-padian khususnya beras pada tahun 2009 masih cukup tinggi yaitu sebesar 72.7%, dan diharapkan pada tahun 2015 akan menurun menjadi 61.91% persentase ini masih lebih tinggi dari persentase konsumsi energi anjuran PPH sebesar 50% yang bersumber dari padi-padian atau khususnya beras. Meski cenderung meningkat, skor pola pangan harapan tersebut masih cukup jauh dari kondisi ideal. Belum idealnya mutu konsumsi pangan ini terjadi karena pola konsumsi pangan masyarakat masih sangat tergantung pada beras, di samping itu ketersediaan beras di NTB cukup tinggi, dan masih rendahnya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayuran dan buah serta kacang-kacangan. D. Pemasalahan dan Tantangan D.1 Peningkatan Perbaikan Gizi Masyarakat Status gizi masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat dilihat dari masalah gizi lebih, gizi kurang dan gizi buruk dalam lima tahun terakhir cenderung menurun. Permasalahan gizi kurang sering luput dari pengamatan biasa dan sering kali tidak cepat ditanggulangi, padahal dapat memunculkan masalah besar dan serius. Selain gizi kurang secara bersamaan Provinsi Nusa Tenggara Barat juga mulai menghadapi masalah gizi lebih walaupun keadaannya cenderung menurun. Berarti di Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam waktu yang bersamaan menghadapi masalah gizi ganda yang bila tidak ditangani secara serius dapat menimbulkan beragam permasalahan baru. 33

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Gambar 5. Grafik Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Berat Badan menurut Umur Tahun 2006-2010

Sumber data : PSG Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2006 - 2010

Data di atas menunjukkan status gizi masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat masih ditemui permasalahan sehingga masih perlu ditingkatkan walaupun cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya, sehingga diperlukan upaya penanganan yang dilakukan secara integratif oleh pemerintah, swasta maupun oleh masyarakat. Dari grafik tesebut diatas diketahui bahwa kecenderungan gizi balita di Provinsi NTB baik gizi lebih maupun gizi kurang mengalami penurunan selama kurun waktu lima tahun terakhir ini (2006-2010) kecuali gizi buruk yang cenderung meningkat di tahun 2009 dan 2010 jika dibandingkan dengan data tiga tahun sebelumnya.

34

Terjadinya kasus gizi kurang dan gizi buruk disaat tercukupinya pangan secara regional, menggambarkan tidak meratanya distribusi dan akses pangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Kondisi seperti ini dapat mencerminkan bahwa masih banyak kelompok masyarakat yang menghadapi kendala dalam mengakses kecukupan pangan yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA), hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti ekonomi/daya beli masyarakat terhadap pangan masih rendah, dukungan infrastruktur jalan dan transportasi sehingga menjangkau daerah yang terpencil masih relatif terbatas. Upaya perbaikan gizi masyarakat secara terus menerus diupayakan untuk ditingkatkan, oleh karena itu adanya intervensi berbagai program kegiatan pembinaan gizi yang dilaksanakan di Provinsi NTB mampu menurunkan persentase gizi kurang mencapai 23.60 persen tahun Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

2006 dan turun menjadi 15.83 persen pada tahun 2010, sedangkan persentase gizi buruk menurun dari 3.74 persen pada tahun 2006 menjadi 3.18 persen pada tahun 2008 namun di tahun 2009 Gizi buruk meningkat menjadi 5.9 persen dan menurun sedikit menjadi 4.77 persen di tahun 2010. Adapun kecenderungan gizi buruk yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2006-2010 di masing-masing kabupaten/ kota dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 6. Grafik Indeks Berat Badan/Umur (Gizi Buruk) Tiap-Tiap Kabupaten Tahun 2006-2010 di Provinsi NTB

Sumber: PSG Dinas Kesehatan Provinsi NTB 2006-2010 Catatan: Kabupaten Lombok Utara Merupakan Kabupaten Termuda dan Belum Memiliki Data Lengkap

Upaya perbaikan gizi masyarakat seharusnya melibatkan berbagai komponen masyarakat maupun institusi-institusi yang telah berkembang di masyarakat. Institusi-institusi lokal yang berkembang di masyarakat sampai di tingkat rukun tetangga dapat dijadikan mitra kerja pemerintah dalam rangka perbaikan konsumsi dan gizi masyarakat. Beberapa contoh institusi lokal adalah posyandu, PKK, Dasa Wisma, organisasi sosial masyarakat non formal seperti: Peradah, Majelis ta’lim dan sebagainya. Institusi ini dapat berperan dalam mendeteksi masalah serta memfasilitasi upaya-upaya dalam peningkatan kualitas konsumsi dan perbaikan gizi masyarakat.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

35

Gangguan pertumbuhan dari usia balita dapat berlanjut pada saat anak masuk sekolah. Selama kurun waktu lima tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah persentase balita yang mengalami stunting, pada tahun 2006 angka stunting pada balita mencapai 31.76% dan terus meningkat sampai 42.63% tahun 2010. Pada Gambar 7 disajikan data perkembangan pertumbuhan balita hasil PSG tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Masalah gizi kronis (stunting) masih tetap tinggi di provinsi NTB. Masalah gizi kronis merupakan akibat kurang optimalnya pertumbuhan janin dan bayi di usia dua tahun pertama kehidupannya, terutama karena gabungan dari kurangnya asupan gizi, paparan terhadap penyakit yang tinggi serta pola pengasuhan yang kurang tepat. Semua faktor ini dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, yang akhirnya dapat menyebabkan meningkatnya beban penyakit dan kematian pada balita. Kurang gizi pada usia dini, terutama stunting, dapat menghambat perkembangan fisik dan mental yang akhirnya mempengaruhi prestasi dan tingkat kehadiran di sekolah. Anak yang kurang gizi lebih cenderung untuk masuk sekolah lebih lambat dan lebih cepat putus sekolah. Dampak ke masa depannya adalah mempengaruhi potensi kemampuan mencari nafkah, sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Anak yang menderita kurang berat badan menurut umur (kurang gizi) dan secara cepat berat badannya meningkat, maka pada dewasa cenderung untuk menderita penyakit kronik yang terkait gizi (kencing manis, tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner). Dampak jangka panjang, oleh kurang gizi pada masa anak-anak juga menyebabkan rendahnya tinggi badan dan pada ibu-ibu dapat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yang akhirnya menyebabkan terulangnya lingkaran masalah ini pada generasi selanjutnya.

36

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Gambar 7. Grafik indeks stunting Berdasarkan Tinggi Badan/Umur (%) tahun 2006 – 2010 Provinsi NTB

Sumber: PSG Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2006-2010

Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam upaya perbaikan gizi masyarakat antara lain : 1. Masih tingginya prevalensi kurang gizi pada balita yang erat kaitannya dengan kurangnya konsumsi energi dan protein pada wanita usia subur (ibu hamil) sehingga menyebabkan tingginya bayi yang lahir dengan kondisi BBLR (berat bayi lahir rendah). 2. Rendahnya pengetahuan kesehatan, pangan dan gizi serta masih adanya perilaku masyarakat yang menghambat upaya perbaikan gizi. 3. Belum optimalnya penanganan masalah gizi pada penduduk miskin. 4. Belum optimalnya pelayanan kesehatan dan gizi bagi penduduk miskin. 5. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam hal pemberian ASI eksklusif. 6. Masih rendahnya kesadaran dalam pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) 7. Tingginya penyakit infeksi pada balita yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. 8. Rendahnya cakupan penggunaan garam beryodium 9. Masih adanya kesenjangan gender dalam pemberian pengetahuan tentang gizi di masyarakat. 10. Tingkat pendidikan perempuan masih relatif rendah. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

37

Gangguan pertumbuhan dari usia balita dapat berlanjut pada saat anak masuk sekolah. Selama kurun waktu tiga tahun terjadi peningkatan status gizi balita yang diukur dengan tinggi badan menurut umur (TB/U). Jumlah balita yang ukuran tinggi badan dengan kategori pendek mencapai 34.35% pada tahun 2007, menurun menjadi 42.63% pada tahun 2010. Oleh karena itu diperlukan perhatian dan tindakan yang maksimal untuk mengatasinya. Untuk lebih jelas, pada gambar 8 di bawah ini disajikan data perkembangan pertumbuhan balita 20062010. Gambar 8. Grafik Indeks Tinggi Badan/Umur Tiap-Tiap Kabupaten di Provinsi NTB (2006-2010)

Sumber data : PSG Dinas Kesehatan Provinsi NTB 2010 Catatan: Kabupaten Lombok Utara Merupakan Kabupaten Termuda dan Belum Memiliki Data Lengkap

38

Masalah gizi lainnya adalah anemia gizi pada anak balita yang ditunjukkan adanya gangguan pertumbuhan. Kurang darah atau dikenal dengan anemia gizi dan rendahnya konsumsi garam yang beryodium serta rendahnya cakupan pengguna garam beryodium merupakan salah satu penyebab masih tingginya persentase anak usia sekolah yang mengalami gangguan pertumbuhan sehingga termasuk dalam kategori pendek. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat jumlah cakupan pengguna garam beryodium pada tahun 2006 tercatat sebesar 33.95 persen dan meningkat menjadi 44.27 persen pada tahun 2010. Meskipun cakupan penggunaan garam beryodium untuk setiap tahun mengalami peningkatan permasalahan gizi sering dijumpai di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Permasalahan kekurangan gizi secara perlahan namun pasti akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita serta rendahnya usia harapan hidup. Dampak lain yang disebabkan oleh kekurangan gizi adalah rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan dan produktivitas kerja serta lambatnya pertumbuhan ekonomi. Permasalahan kekurangan gizi ini bukan saja menjadi permasalahan daerah maupun regional tetapi sudah menjadi masalah dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan pentingnya penanggulangan kekurangan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas SDM pada seluruh kelompok umur sesuai siklus kehidupan (National Throughout Life Cycle 4 A report on The World Nutrition Situation, Januari, 2000). Melihat situasi demikian maka investasi di sektor sosial menjadi sangat penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Beberapa dampak buruk dari kurang gizi atau kekurangan gizi adalah: (1) rendahnya produktivitas kerja, (2) kehilangan kesempatan sekolah, dan (3) kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi (World Bank, 2006). Agar individu tidak kekurangan gizi, maka akses setiap individu terhadap pangan harus dijamin. Akses pangan setiap individu ini sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengaksesnya secara kontinyu, secara kewilayahan, dan waktu. Kemampuan mengakses pangan dipengaruhi oleh daya beli, yang sudah tentu berkaitan erat dengan tingkat pendapatan seseorang. D.2 Peningkatan Aksesibilitas Pangan D.2.1. Ketersediaan Pangan Ketersediaan beras di Provinsi Nusa Tenggara Barat terlihat selalu surplus setiap tahunnya, dari surplus tersebut dapat dijelaskan bahwa yang dikuasai oleh pemerintah melalui BULOG Provinsi Nusa Tenggara Barat berkisar antara 7 - 9% dari total produksi, sedangkan sisanya beredar dalam pasar antar wilayah dalam provinsi dan sebagian keluar ke provinsi lain melalui perdagangan antar pulau. Angka surplus di masyarakat sampai saat ini belum dapat didata secara pasti, sehingga kedepan diperlukan suatu perhitungan Marketable Surplus terhadap komoditas pangan ini untuk dapat mengetahui dengan pasti surplus komoditas pangan yang ada di masyarakat.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

39

Tabel 7. Jumlah Surplus Beras di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2006 -2010 Nomor

Tahun

1 2 3 4 5

2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (GKG) (Ton) 1,552,627 1,526,347 1,750,888 1,870,775 1,774,499

Prod.Beras Bersih (Ton)

Kebutuhan (ton)

Surplus ( ton)

892,947 877,833 990,972 1,049,022 995,035

541,798 520,050 556,864 530,751 531,475

347,695 305,985 434,108 518,271 463,561

Sumber : BKP Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2008

Kemampuan penyediaan pangan dari komoditas yang ada pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 8. Padi-padian (serealia) merupakan penyumbang energi tertinggi dalam ketersediaan pangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, diikuti oleh buah/biji berminyak dan penyumbang energi yang terendah adalah dari komoditas susu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi secara umum di Provinsi Nusa Tenggara Barat masih bertumpu pada beras.

40

Ketersediaan pangan di Provinsi NTB saat ini juga sangat dipengaruhi oleh keadaan perubahan iklim yang tidak menentu. Perubahan-perubahan parameter perubahan iklim lainnya seperti meningkatnya temperature udara (0.5oC) pada tahun 2015 (BMKG, 2011) dan kenaikan muka air laut yang mencapai 1.32 m pada tahun 2020 (GTZ, 2011) akan mengancam aspek-aspek ketahanan pangan utama seperti pertanian, sumberdaya hutan dan air, perikanan darat dan laut bahkan peternakan. Beberapa hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa kenaikan temperature 0.5oC dapat menurunkan hasil serealia 0.5 ton ha. Degradasi hutan di NTB (DisHUt NTB, 2007) mencapai 20 ribu ha per tahun dan dengan program pemerintah (gerhan) pemerintah hanya mampu merehabilitasi 5,000 ha/tahun. Di sisi lain, degradasi hutan akan memberi dampak terhadap sumber air (kualitas dan kuantitas) baik air untuk irigasi maupun air bersih. Erosi tanah sebagai akibat dari pembersihan lapisan penutup tanah, akan menyebabkan sedimentasi/endapan pada jalan air, yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap kegiatan di hilir atau dataran rendah. Kekurangan air juga akan mempengaruhi sistem pertanian, perikanan dan pengoperasian bendungan. Sedangkan dalam sektor peternakan, perubahan temperatur akan mempengaruhi produktivitas daging akibat cekaman iklim (physicological stress) dan menurunkan harga jual ternak. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Tabel 8. Perkembangan Ketersediaan Energi di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2006-2010 No

Kelp. Jenis Bahan Makanan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Padi-padian Makanan berpati Gula Buah/biji berminyak Buah-buahan Sayur-sayuran Daging Telur Susu Ikan Minyak dan lemak

Perkembangan Energi Per kapita per hari 2006 2007 2008 2009 2010 2,301.97 2,166.80 2,615.65 2,775.95 2,580.42 79.41 74.67 59.82 72.29 61.18 83.62 72.94 20.01 20.24 1.15 404.71 295.76 351.89 331.54 353.49 53.10 84.07 83.04 105.77 97.19 10.58 50.10 43.32 63.67 34.90 37.86 36.83 32.47 34.98 45.76 5.18 5.37 5.33 6.34 6.97 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 34.05 40.25 67.02 67.01 79.46 2.65 251.42 89.41 81.47 82.53

Sumber : NBM BKP Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010

D.2.2 Daya Beli Pangan Akses pangan merupakan aspek kritis dalam perwujudan ketahanan pangan yang dicerminkan dengan terpenuhinya pangan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi baik dalam tataran wilayah sampai rumah tangga. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumah tangga baik secara ekonomi, fisik maupun sosial untuk mendapatkan pangan yang cukup secara tetap. Sumber pangan yang dapat diakses oleh masyarakat dapat diperoleh dari cadangan pangan sendiri, produksi rumah tangga, pembelian di pasar dan bantuan pangan. Akses masyarakat terhadap pangan ditentukan oleh akses fisik, akses ekonomi dan akses sosial. Dari ketiga aspek tersebut masing-masing dipengaruhi oleh faktor yang mendukung berjalan atau tidaknya setiap aspek dalam rangka menjamin akses pangan masyarakat. • Akses fisik. Akses fisik menggambarkan tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah. Aspek ini dipengaruhi antara lain oleh produksi dan distribusi. Produksi dipengaruhi oleh jumlah produksi dan produkstivitas untuk setiap jenis bahan pangan, sedangkan distribusi sangat dipengaruhi oleh tersedianya infrastruktur di suatu wilayah seperti ada atau tidaknya pasar, akses jalan/sungai, serta tersedianya modal transportasi. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

41

• Akses Ekonomi. Akses ekonomi menggambarkan kemampuan rumah tangga untuk mengakses pangan melalui daya beli. Daya beli masyarakat dipengaruhi antara lain oleh pendapatan yang berasal dari hasil pekerjaan yang dilakukan pada berbagai mata pencaharian. Selain faktor pendapatan, faktor harga barang/komoditi juga menentukan daya beli masyarakat. Oleh karena itu kedua faktor ini menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Upaya atau kebijakan umum yang diterapkan adalah stabilisasi harga pangan pokok agar mekanisme pasar dan distribusi yang ada dapat menyediakan pangan pokok dengan harga yang terjangkau serta memperkuat cadangan pangan pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk menggambarkan perkembangan daya beli masyarakat NTB secara ideal seharusnya menggambarkan daya beli seluruh masyarakat NTB, namun tidak salah pula jika menggambarkan daya beli tersebut cukup dari masyarakat petani, karena jumlah penduduk terbesar berada di perdesaan dan masyarakat petani berada didalamnya. Daya beli petani dapat diukur dari Nilai Tukar Petani (NTP) dimana NTP ini juga merupakan indikator daya beli. Selama kurun waktu 4 tahun (2003 – 2006) perkembangan NTP di NTB mengalami penurunan yaitu dari 87.15 persen (2003) menjadi 51.94 persen (2006). Ini artinya daya beli petani mengalami penurunan selama periode tersebut. Disamping itu dilihat dari nilai NTP tersebut masih dibawah 100 persen yang berarti pula kemampuan belanja petani masih dibawah 100 persen.

42

Selama periode 2003 - 2006 juga terlihat daya beli petani terhadap kelompok tanaman bahan makanan semakin menurun. Hal ini digambarkan dari perkembangan NTP pada kelompok tanaman bahan makanan yang menurun dari 74.58 persen (2003) menjadi 54.48 persen (2006). Ini berarti untuk mengkonsumsi atau mengakses bahan makanan masih rendah terutama untuk komoditas padi, palawija, dan sayuran. Rendahnya akses untuk kelompok bahan makanan berimplikasi terhadap ketahanan pangan masyarakat yang mana ketahanan pangannya semakin rendah. Bila dilihat perkembangan daya beli petani di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2009 maka pada tahun ini daya beli mengalami penurunan. Meskipun ada kenaikan sejak Pebruari dari 95.29 persen menjadi 96.11 persen dan bulan Maret menjadi 96.58 Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

persen, namun kemampuan belanja mereka masih tetap di bawah 100 persen. Dan secara kelompok petani, yang terendah diantara para petani umumnya, daya beli petani yang disebut sebagai Nilai Tukar Petani (NTP) padi dan palawija hanya 91.27 persen. Ini disebabkan gejolak harga yang terjadi di pedesaan pada tujuh kabupaten se NTB. NTP masyarakat petani yang tertinggi adalah petani peternakan mencapai 108.97 persen, petani hortikultura 105.32 persen. Lainnya, NTP petani perkebunan rakyat 95.26 persen, petani nelayan 95.19 persen. Perkembangan daya beli masyarakat NTB yang rendah terhadap pangan dalam 6 tahun terakhir menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat secara umum untuk mengakses pangan masih rendah. Daya beli yang rendah ini disebabkan oleh tekanan inflasi yang begitu besar yaitu 13.29 persen tahun 2007 dan 11.89 persen tahun 2008 yang kemudian menurunkan pendapatan riil masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung pada masa yang akan datang tanpa ada cara mengatasinya, maka akan mengancam ketahanan pangan masyarakat NTB. Oleh karena itu perlu ada kebijakan pemerintah yang tepat dalam hal meningkatkan pendapatan masyarakat, serta meminimalkan biaya produksi, dan lainnya. • Akses sosial Akses sosial menggambarkan pemenuhan kebutuhan pangan melalui aktivitas sosial. Akses sosial antara lain dipengaruhi oleh adanya bantuan sosial dan pendidikan. Bantuan sosial dapat berupa raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT) sampai dengan kegiatan padat karya. Upaya ini diiringi dengan pengentasan kemiskinan sehingga tujuan pertama MDGs serta kesepakatan Gubernur selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi yang dicanangkan pada tahun 2008 untuk menurunkan kelaparan dan kemiskinan 1% pertahun dapat dicapai. D.2.3 Peningkatan Akses Terhadap Pangan. Setiap rumah tangga memiliki kemampuan yang berbeda dalam mencukupi kebutuhan pangan secara kuantitas maupun kualitas untuk memenuhi kecukupan gizi. Berkaitan dengan itu, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk menjamin agar rumah tangga dan individu memiliki akses terhadap pangan yang tersedia. Upaya atau kebijakan umum yang diterapkan adalah stabilisasi harga pangan pokok agar mekanisme pasar dan distribusi yang ada dapat menyediakan pangan pokok dengan harga yang terjangkau. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

43

Salah satu instrumen kebijakan untuk menjaga kemampuan daya beli masyarakat adalah dengan menjaga kestabilan harga pangan. D.2.4. Cadangan Pangan. Cadangan pangan, selain digunakan untuk operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga, Cadangan Beras Pemerintah (CBP) juga digunakan untuk mengatasi kekurangan pangan yang terjadi sebagai akibat bencana alam. Di tingkat yang lebih tinggi cadangan beras pemerintah juga digunakan untuk memenuhi komitmen pemerintah dalam menyediakan cadangan beras. Untuk memenuhi kekurangan pangan akibat bencana, Gubernur dan Bupati/Walikota mempunyai kewenangan untuk meminta cadangan beras pemerintah secara langsung dengan batas maksimum masing-masing 200 ton dan 100 ton dalam setahun. Dengan adanya cadangan beras pemerintah dan kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah tersebut, masyarakat yang terkena dampak bencana akan dapat terpenuhi kebutuhan konsumsi pangan pokoknya. Sampai saat ini cadangan pangan untuk keperluan tanggap darurat hanya berupa beras. Dalam kondisi darurat pada saat bencana, masyarakat mengalami kesulitan pula untuk mendapatkan bahan bakar, air bersih, serta peralatan masak. Dengan demikian, bantuan pangan dalam bentuk beras sering kali tidak dapat mengatasi kekurangan pangan secara cepat. Perlu dipikirkan penyediaan cadangan siap konsumsi untuk keperluan darurat, terutama pangan yang disukai masyarakat setempat. Untuk itu cadangan pangan yang siap digunakan oleh daerah dan cocok dengan pola konsumsi daerah sangat penting untuk dikembangkan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan untuk pengembangan cadangan pangan daerah Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam mengatasi masalah pangan sebagian besar masih bertumpu pada pemerintah pusat. 44

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

D.2.5. Kerawanan Pangan Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor struktural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemrintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat pendidikan. Kerawanan pangan sementara adalah ketidakmampuan jangka pendek atau sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor dinamis yang berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan pangan sementara yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga, menurunkan daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis. Berdasarkan FSVA Provinsi NTB (2010), analisis ketahanan pangan komposit digunakan untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas dengan memetakan 105 kecamatan yang memiliki data lengkap untuk 9 indikator terkait ketahanan pangan kronis. Di antara 105 kecamatan tersebut, ditetapkan 64 kecamatan dengan prioritas yang lebih tinggi yang terdiri dari 26 kecamatan prioritas 1, 31 kecamatan prioritas 2, dan 7 kecamatan dengan prioritas 3 dengan jumlah penduduk sekitar 3.1 juta orang. Empat puluh satu kecamatan lainnya dikelompokkan menjadi prioritas 4-6. Kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan secara komposit ditentukan berdasarkan 9 indikator yang berhubungan dengan ketersediaan pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan dan status gizi balita. Selain itu, juga digunakan 4 indikator ketahanan pangan sementara/transien. Indikator-indikator tersebut disajikan pada table 8 di bawah ini: 45

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Tabel 9. Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB, 2010 Kategori Ketersediaan Pangan

Akses Pangan dan Matapencahari an

Indikator 1. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih ‘padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar’

2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai.

Definisi dan Perhitungan 1. Data rata-rata produksi bersih tiga tahun (2007-2009) padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar pada tingkat kecamatan dihitung dengan menggunakan faktor konversi standar. Untuk rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk mendapatkan nilai yang ekivalen dengan serealia. Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. 2. Ketersediaan bersih serealia per kapita per hari dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah populasinya (data penduduk pertengahan tahun 2008). 3. Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tidak tersedia pada tingkat kecamatan. 4. Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari. 5. Kemudian dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi serealia. Nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan-kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk hidup secara layak. Dihitung dengan metode Small Area Estimation (SAE) Lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat.

Sumber Data Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten (data 2007-2009)

SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, PODES (Potensi Desa) 2008, BPS PODES 2008, BPS

46 4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik

Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator. Dihitung dengan metode SAE.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

Pemanfaatan Pangan

5. Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan 6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih

7. Perempuan Buta Huruf 8. Berat badan balita di bawah standar (Underweight)

9. Angka harapan hidup pada saat lahir

Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Transien

Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, paramedik, dan sebagainya) Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. Dihitung dengan metode SAE. Persentase perempuan di atas 15 tahun yang tidak dapat membaca atau menulis. Dihitung dengan metode SAE. Anak di bawah lima tahun yang berat badannya kurang dari -2 Standar Deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu (Standar WHO 2005) Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Dihitung dengan metode SAE.

PODES 2008, BPS

SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS Pemantauan Status Gizi (PSG) 2009, Dinas Kesehatan NTB SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

10. Bencana alam

Data bencana alam yang terjadi di NTB Badan Nasional dan kerusakannya selama periode 1990 Penanggulangan - 2009 Bencana (BNPB) 2010 tahunan curah hujan Badan Meteorologi, 1. Data rata-rata 11. Penyimpangan pada musim hujan dan kemarau selama Klimatologi dan Curah Hujan 10 tahun terakhir (1997-98 sampai 2007- Geofisika (BMKG) NTB, 2010 08) dihitung. 2. Kemudian dihitung persentase dari perbandingan nilai rata-rata 10 tahun terhadap nilai normal rata-rata 30 tahun (1971-2000). 12. Persentase daerah Persentase dari daerah ditanami padi Sensus Pertanian puso yang rusak akibat kekeringan, banjir dan (SP) 2009, BPS organisme pengganggu tanaman (OPT). 13. Deforestasi hutan Deforestasi adalah perubahan kondisi Perhitungan penutupan lahan dari hutan menjadi non deforestasi hutan. Angka deforestasi hutan Indonesia tahun berdasarkan angka citra satelit Landsat 2008, Departemen pada tahun 2002/2003 dan 2005/2006. Kehutanan

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

47

Tabel 10. Persentase Kecamatan Rentan Terhadap Kerawanan Pangan, Prioritas 1-3 per Kabupaten 2010

Sumber: FSVA NTB 2010

Tabel 11. Persentase Kecamatan yang Lebih Tahan Pangan, Prioritas 4-6 Tabel 11: Persentase Kecamatan yang Lebih Tahan Pangan, Prioritas 4-6 per Kabupaten per Kabupaten 2010 2010

No.

Kabupaten

Jumlah Kecamatan saat ini

% Kecamatan yang Relatif Tahan Pangan

Estimasi Jumlah Penduduk

1 2 3

Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur

10 12 20

0 0 0

0 0 0

4 5 6 7 8

Lombok Utara Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Total

5 24 8 18 8 105

0 87.5 0 83.33 62.5 29.16

0 351,724 0 327,172 71,260 750,156

Sumber: FSVA NTB 2010

48

Dari tabel di atas, terlihat bahwa semua kabupaten yang berada di pulau Lombok serta kabupaten Dompu berada dalam situasi rentan terhadap kerawanan pangan. Sehingga perhatian yang lebih besar perlu diberikan kepada kabupaten yang memiliki lebih banyak kecamatan yang rentan terhadap kerawanan pangan. Adapun hasil Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi (FSVA) NTB Tahun 2010 disajikan pada gambar 9 di bawah ini. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Gambar 9. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTB Tahun 2010

Terdapat 26 kecamatan prioritas 1, 14 kecamatan berada di Lombok Timur, 11 kecamatan di Lombok Tengah, dan 1 kecamatan di Lombok Utara, dengan jumlah penduduk sekitar 1.6 juta orang. Tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan terutama disebabkan karena rendahnya akses terhadap listrik, tingginya angka perempuan buta huruf, terbatasnya akses terhadap air bersih, terbatasnya akses jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, dan tingginya angka kemiskinan. Dari 31 kecamatan di prioritas 2, 10 kecamatan berada di Lombok Barat, 5 kecamatan di Lombok Timur, dan 9 kecamatan di Dompu, dengan jumlah penduduk sekitar 1.3 juta orang. Faktor penentu utama kerentanan pangan di prioritas 2 yaitu: rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir, tingginya angka kemiskinan, tingginya angka perempuan buta huruf, terbatasnya akses terhadap listrik dan air bersih. Dari 7 kecamatan prioritas 3, 2 kecamatan di Lombok Utara, dan masing-masing 1 kecamatan di Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Bima, Sumbawa Barat, dengan jumlah penduduk sekitar 202 ribu orang. Kerentanan terhadap tingkat kerawanan pangan pada prioritas 3 terutama disebabkan karena tingginya angka kemiskinan, prevalensi underweight pada balita, rendahnya angka harapan hidup, terbatasnya akses terhadap listrik, dan tingginya angka perempuan buta huruf.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

49

Di sisi lain, kerentanan terhadap perubahan iklim, bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Perubahan iklim, bencana alam atau bencana teknologi yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi secara bertahap, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemik penyakit, konflik sosial, terganggunya pelayanan ekosistem dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan serta lebih luas lagi dapat mempengaruhi sumber penghidupan utama masyarakat NTB. Gambar 10. Tipologi penghidupan untuk NTB berbasis pada pelayanan ekosistem utama di Kecamatan, dan proyeksi dampak relatif pada kesejahteraan pada tahun 2030, 2060, 2100, kapasitas adaptasi tahun 2011 (AC) dan kerentanan pada tahun 2030 dan 2100. Harap diperhatikan bahwa seluruh dampak yang diproyeksikan negatif. Tipologi yang paling rentan pada tahun 2030 adalah tipologi 3 (beras dan tambak bandeng), 4 (beragam pertanian dan pemanfaatan hasil hutan), 7 (beragam hasil tanam dan kegiatan pesisir) dan 5 (beras dan tembakau).

50 Sumber: AusAID-CSIRO Alliance, University of Mataram, NTB Government, (2011).

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Karakteristik wilayah NTB yang sangat tergantung pada sektor pertanian dan perikanan sebagai mata pencaharian penduduk, sangat rentan terhadap perubahan iklim (pola hujan), karena secara langsung akan berdampak terhadap kegagalan panen (produksi bahan pangan khususnya padi/beras). Kegagalan panen, perkembangan penyakit-penyakit yang terkait dengan iklim yang tidak terkendali, kerusakan infrastruktur jalan maupun pengairan dan lainnya yang diakibatkan oleh iklim yang ekstrim merupakan salah satu dampak dari perubahan iklim. Penelitian AusAID-CSIRO Alliance, University of Mataram, NTB Government (2011) telah menentukan tujuh (7) jenis tipologi penghidupan dan kerentanannya terhadap perubahan iklim di wilayah provinsi NTB berdasarkan produk dan jasa lingkungan, indikator kesejahteraan manusia dan kapasitas adaptasi wilayah yang disajikan pada gambar 10. Dengan mengkombinasikan data pada tipologi penghidupan yang rentan terhadap perubahan iklim dan tekanan populasi penduduk pada tahun 2030 dan data kerentanan pangan saat ini pada tiap Kecamatan di NTB, maka dihasilkan peta kerentanan pada penghidupan dan kerentanan pangan dengan KecamatanKecamatan yang menjadi prioritas utama. Kecamatan-Kecamatan yang paling rentan tersebut berada Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur di Pulau Lombok, dan juga Kabupaten Bima dan Dompu di Pulau Sumbawa. Seluruh Kecamatan tersebut berada pada tipologi 3 (padi dan tambak bandeng) atau tipologi 5 (padi dan tembakau). Begitu juga dengan Kecamatan-Kecamatan yang paling rentan ke-2 yang berada pada tipologi 3 dan tipologi 5 ditambah dengan tipologi 4 (pertanian campuran dan hutan) dan tipologi 7 (pertanian campuran dan kegiatan pesisir) (lihat lampiran untuk melihat secara detil Kecamatan-Kecamatan yang dimaksud tersebut). Gambar.11. Nisbi kerentanan terhadap penghidupan dan ketahanan pangan pada tiap-tiap kecamatan di NTB tahun 2030.

51

Sumber: WFP, AusAID-CSIRO Alliance, University of Mataram, NTB Government, (2011) Ket: Kecamatan-Kecamatan yang berada pada ranking 6 merupakan kecamatan-kecamatan yang paling rentan diikuti dengan Kecamatan-Kecamatan yang memiliki ranking lebih rendah. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

D.3. Peningkatan Pangawasan dan Mutu Keamanan Pangan Berdasarkan data WHO tahun 2000 menyatakan bahwa penyakit karena pangan (foodbome disease) merupakan penyebab (70%) dari sekitar 1.5 milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3 juta kematian anak berusia dibawah 5 tahun. Parameter utama yang paling mudah dilihat untuk menunjukkan tingkat keamanan pangan di suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat pangan. Sesuai data yang ada, di Nusa Tenggara Barat terdapat jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan, jumlah orang yang sakit dan jumlah orang yang meninggal karena kasus pangan. Terkait dengan hal ini dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 12. Jumlah Kasus Keracunan dari Tahun 2006-2010 di NTB

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

ΣKLB 8 3 9 1 0

ΣKPng 8 3 8 54 93

Sumber data : BBPOM NTB 2010 Σ KLB: Jumlah Kejadian Luar Biasa Σ KPng: Jumlah Keracunan Pangan Σ sakit : Jumlah Orang Sakit

52

Σsakit Σmeninggal 788 45 2 408 382 2 462 1

CPR IR 0 0.00008 4.44 0.00003 0 0.000009 0 0.000001 -

Σ meninggal : Jumlah orang meninggal CPR : Perbandingan orang meninggal dengan yang sakit kali 100 IR : Angka kejadian per 100.000

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa masih banyak terjadi kasus keracunan bahkan mengakibatkan meninggal dunia. Namun demikian secara berangsur-angsur setiap tahunnya terus mangalami penurunan bila dilihat dari jumlah angka kejadian per 100,000 orang. Jumlah Kasus Luar Biasa (KLB) tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan 2008, keracunan yang disebabkan oleh produk pangan tertinggi terjadi pada tahun 2006 . Demikian juga CPR terendah terjadi pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena tingkat pelayanan kesehatan di NTB telah mengalami peningkatan. Indikator lain yang menunjukkan upaya dalam hal mengatasi keracunan oleh produk makanan adalah pemeriksaan sarana produksi industri pangan rumah tangga dan jumlah pelanggaran terhadap produk pangan jajanan anak sekolah yang tidak memenuhi syarat. Untuk lebih jelas tentang hal ini dapat dilihat pada grafik di bawah ini. Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Gambar 12. Data Hasil Pemeriksaan Sarana Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) 2006-2010

Sumber data : BBPOM NTB 2010

Dari grafik tersebut diatas menunjukkan bahwa Sarana Produksi Industri Rumah Tangga Pangan (IRT-P) pada umumnya masih termasuk dalam katagori kurang (Tidak Memenuhi Ketentuan/TMK). Selama 5 (lima) tahun terakhir jumlah TMK relatif besar karena sarana IRTP tidak menerapkan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPM-IRT). Gambar 13. Jumlah Kasus Pelanggaran Terhadap Produk Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Tidak Memenuhi Syarat.

53 Sumber data : BBPOM NTB 2010

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Dari data/ tabel menunjukkan rata-rata produk Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) setiap tahun Tidak Memenuhi Syarat hampir 50%. Sampel PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat tersebut mengandung Pewarna yang dilarang yaitu Rhodamin B (Pewarna Kertas), Bahan Berbahaya Boraks, Formalin, dan adanya Cemaran Mikroba. Masih ditemukannya kasus PJAS yang tidak memenuhi syarat akan membawa dampak yang tidak baik bagi kesehatan manusia terutama dampaknya terhadap timbulnya penyakit-penyakit degeneratif yang akan dirasakan pada beberapa tahun setelah mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan berbahaya tersebut. Terjadinya pelanggaran ini mengindikasikan masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran dari produsen IRTP dalam proses produksi. Terkait dengan perubahan iklim, Suhu udara harian yang meningkat dapat meningkatkan frekuensi keracunan makanan terutama pada daerah-daerah beriklim sedang (temperate). Sedangkan pada daerah-daerah pesisir di wilayahwilayah tropis, peningkatan suhu laut dapat menyebabkan keracunan pada manusia jika mengkonsumsi hewan laut seperti kepiting dan udang (ciguatera). D.4 Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sehingga seseorang atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Indikator PHBS meliputi persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang bayi dan balita di Posyandu, menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat, mencuci tangan dengan sabun, memberantas jentik di rumah, penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak merokok, penduduk yang umur 10 tahun ke atas yang melakukan aktivitas fisik setiap hari, penduduk usia 10 tahun ke atas yang makan sayur dan buah setiap hari. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini berkaitan dengan faktor sosial dan budaya, antara lain kesadaraan individu dan keluarga untuk berperilaku hidup bersih dan sehat, termasuk sadar gizi. 54

Masalah kekurangan gizi pada anak balita ini merupakan dampak dari rendahnya pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan pemberian makanan dan pendamping yang tidak tepat, karena diberikan terlalu dini atau terlalu terlambat, jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan bayi pada setiap tahapan usia dan tidak bergizi seimbang untuk memenuhi asupan kalori, protein dan gizi Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

mikro (vitamin dan mineral). Sampai dengan tahun 2011 hanya 69.5% masyarakat NTB yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Rendahnya pemberian ASI eksklusif ini dipengaruhi oleh beberapa hal, terutama masih sangat terbatasnya tenaga konselor laktasi untuk memberikan informasi yang benar kepada keluarga, serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi dan promosi terkait pemberian ASI maupun MP-ASI. Secara Nasional hanya 41% keluarga yang mempunyai perilaku pemberian makanan bayi yang benar. Ketersediaan pangan lokal beragam telah dapat diakses oleh sebagian keluarga yang memberikan makanan pendamping ASI karena dari 41% keluarga yang memberikan makanan pendamping ASI yang benar tersebut ternyata MP-ASI yang diberikan berasal dari sumber pangan lokal yang memenuhi 70% kebutuhan besi dan 87% kebutuhan vitamin A. Buruknya Hygiene perorangan dan kesehatan lingkungan mengakibatkan bayi dan anak sering menderita diare dan penyakit infeksi lain sehingga memperburuk status gizinya. Walaupun Posyandu merupakan pilihan utama untuk penimbangan anak balita, tetapi hanya 79.3% masyarakat yang menimbang balitanya ke Posyandu secara rutin berturut-turut sebanyak 4 kali atau lebih (data pemantauan PHBS Provinsi NTB tahun 2011). Dengan demikian masih 20.7% sasaran belum memanfaatkan Posyandu sehingga mempunyai risiko terjadinya gizi buruk pada balita karena pertumbuhannya tidak terpantau. Perilaku merokok juga sangat memperihatinkan dan semakin lama semakin meningkat pada usia sangat muda. Anak 5-9 tahun yang merokok meningkat, dari 1.2% pada tahun 2007 menjadi 1.7% pada tahun 2010. Berdasarkan data hasil pemantauan PHBS Provinsi NTB tahun 2011 ditemukan penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok setiap hari mencapai 63.1% dan sebagian masih merokok di dalam rumah ketika berkumpul dengan anggota keluarga lainnya. Tingginya angka merokok ini disebabkan karena kebiasaan merokok yang sulit dihindari dan masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang bahaya akibat merokok. Di sisi lain kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsi sayur dan buah secara rutin mencapai 80.8% ini pun tidak seluruh anggota keluarga yang mengkonsumsi sayur dan buah, 1 s/d 3 anggota keluarga saja. Masih belum optimalnya konsumsi sayur dan buah di masyarakat ini disebabkan karena faktor ekonomi masyarakat selain itu ketersediaan buah yang bersifat musiman. Masyarakat yang mengakses jamban untuk mandi cuci dan kakus mencapai 78.3%, perilaku masyarakat untuk mencuci tangan yang Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

55

benar hanya dilakukan oleh 75.9% keluarga. Secara umum berdasarkan hasil pemantauan rumah tangga sehat yang dilakukan di 10 Kab/Kota, rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat hanya 33.9%. Hal ini menggambarkan bahwa hanya 1 diantara 3 penduduk yang telah melakukan PHBS. Perilaku tersebut ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan anggota keluarga. Curah hujan yang ekstrim dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit yang disebabkan oleh lemahnya manajemen pengelolaan air bersih terutama pada daerah-daerah pedesaan yang secara tradisional belum memiliki sanitasi air bersih yang baik. Fakta ini juga terlihat pada dampak terjadinya banjir pada daerah-daerah perkotaan yang infrastruktur sanitasi air bersih masih kurang memadai. Hal ini dapat meningkatkan jumlah individu dalam masyarakat yang terkena wabah penyakit seperti kolera dan malaria sehingga menurunkan kemampuan individu dalam pemanfaatan pangan. D.5 Peningkatan Penguatan Kelembagaan Pangan dan Gizi Pemenuhan kecukupan pangan merupakan hak asasi setiap individu untuk dapat hidup sehat dan produktif dari waktu ke waktu; baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan terjadinya bencana. Sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan menjadi tanggung jawab pemerintah bersama-sama masyarakat. Oleh karena itu ketahanan pangan pemerintah di tingkat propinsi, kabupaten/kota dan desa merupakan bagian integral dari ketahanan pangan nasional, sehingga perlu ditempatkan sebagai salah satu prioritas pembangunan daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menegaskan bahwa ketahanan pangan sebagai urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Sebagaimana dimaklumi bahwa masalah kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi buruk masih menjadi persoalan utama baik di Nusa Tenggara Barat maupun di tingkat nasional, oleh karena itu perlu ditangani secara terpadu dan terintegrasi. 56

Secara umum, masalah yang menyangkut kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi buruk yang dialami Provinsi Nusa Tenggara Barat sampai dengan saat ini mencakup aspek ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi dan keamanan pangan. Dalam rangka memantapkan kelembagaan ketahanan pangan dan sumberdaya manusia yang mendukung ketahanan pangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat maka Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, maka dibentuk Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. Dewan Ketahanan Pangan Provinsi mempunyai tugas untuk membantu Gubernur dalam hal : a. Merumuskan kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan Provinsi dengan memperhatikan kebijakan yang ditetapkan Dewan. b. Merumuskan kebijakan dalam rangka mendorong keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan. c. Melaksanakan evaluasi dan pengendalian perwujudan ketahanan pangan Provinsi. Secara garis besar tugas Dewan Ketahanan Pangan Provinsi mencakup aspek penyediaan pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi. Dewan Ketahanan Pangan dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik di lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi di dalam atau di luar Dewan Ketahanan Pangan. Dalam rangka memantapkan pelaksanaan tugas Dewan Ketahanan Pangan, Gubernur selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan membentuk Kelompok Kerja Tenaga Ahli Dewan Ketahanan Pangan. Selanjutnya sebagai implementasi tugas pokok dan fungsi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan sekaligus sebagai upaya dan dukungan untuk merealisasikan Hasil kesepakatan Dewan Ketahanan Pangan Regional Kabupaten/Kota tahun 2008, secara operasional sasaran program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat ditujukan terhadap hal-hal sebagai berikut : 1. Mengurangi kemiskinan/kelaparan 1% pertahun sebagaimana komitmen di Deklarasi Roma 1996 dan Millenium Development Goals. 2. Meneguhkan dan memantapkan upaya diversifikasi pangan, mutu dan keamanan pangan. 3. Mengamati secara dini kerawanan pangan dan pengembangan cadangan pangan. 4. Menjaga ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi dan produktivitas. 5. Mengembangkan Desa Mandiri Pangan dengan mengalokasikan anggaran daerah dan masyarakat.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

57

6. Memantapkan kelembagaan ketahanan pangan dan penyuluhan pertanian. 7. Menyelenggarakan ketahanan pangan di daerah, memberikan akses petani terhadap sarana produksi. 8. Meningkatkan pendidikan dan penyuluhan pertanian, kependudukan, gizi, kesehatan lingkungan dan lain-lainnya. 9. Tersusunnya instrumen monitoring dan evaluasi sebagai pedoman Dewan Ketahanan Pangan.

58

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

A. Kerangka Umum Konsep Implementasi RAD-PG 2011-2015 Provinsi Nusa Tenggara Barat Konsep ketahanan pangan dan gizi yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang. Ukuran tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak daripada masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik. Dalam rangka mencapai tujuan MDGs, salah satu arah kebijakan utama pemerintah provinsi NTB khususnya dalam mencapai ketahanan pangan dan gizi, tertuang dalam RPJMD yakni peningkatan kualitas hidup masyarakat dalam segala aspek terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan dasar, pekerjaan, air bersih, sumber daya alam dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan, laki-laki dan kelompok muda. Pemenuhan kebutuhan ini saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga apabila salah satu hak dasar tidak terpenuhi, maka berpengaruh pada pemenuhan hak lainnya.

60

Pemerintah berupaya menjalankan fungsi pokok dengan mengarah dan mengajak masyarakat termasuk organisasi berbasis masyarakat, sektor swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat baik lokal maupun internasional untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, dengan merumuskan kebijakan pangan dan gizi yang sesuai kebutuhan masyarakat dan menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien dalam mengimplementasikan kebijakan. Adanya Sinergisitas dan kerjasama ini akan menguatkan sistem yang dapat menjamin kelangsungan pemenuhan pangan dan gizi masyararakat.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Berdasarkan konsep tersebut , maka dalam penyusunan RAD-PG 20112015, pemerintah provinsi NTB harus mengacu pada keluaran Akses Universal Pangan dan Gizi pada tahun 2015, yakni: Penurunan prevalensi gizi kurang anak balita dan Penurunan Prevalensi pendek anak balita, dan pencapaian konsumsi pangan dengan asupan kalori 2,000 Kkal/ kapita/hari. Pencapaian harus dilakukan secara bertahap dan indikator keluaran yang terukur. RAD-PG NTB dirancang bersinergi dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTB dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG). Sebagaimana diketahui bahwa keberhasilan pembangunan ditunjukkan melalui indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang merupakan tujuan pembangunan di NTB. Oleh karena itu untuk mendukung peningkatan IPM tersebut, maka sasaran RAD-PG NTB adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Penurunan prevalensi gizi buruk dan kurang balita Penurunan prevalensi pendek balita Penurunan kerawanan pangan masyarakat Peningkatan ketersediaan pangan berbasis kemandirian Peningkatan keragaman konsumsi pangan Masyarakat Peningkatan mutu dan keamanan pangan yang dikonsumsi masyarakat

Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, maka akan dilakukan berbagai program dan kegiatan dalam bentuk Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi NTB 2011-2015. Program dirancang dalam satu rencana yang integratif dan dalam 5 pilar rencana aksi, yang terdiri atas: 1. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan anak 2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam 3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan 4. Peningkatan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) 5. Penguatan kelembagaan pangan dan Gizi.

61

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

Gambar 14. Kerangka Konsep Implementasi Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi NTB 2011-2015

Masalah  Pangan  dan Gizi  

Ketersediaan (food  avaibility) 

5  PILAR RENCANA AKSI  RAN‐PG  2011‐2015 

Akses pangan (food access)  Penyerapan Pangan (food  utility  Stabiltas  Pangan   Akar    M asalah Pangan  Dan    Gizi   Kondisi  sosial masyarakat  Kondisi ekonomi  masyarakat 

1. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan anak 2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam

RAD‐PG  NTB  2011‐2015 

3. Peningkatan pengawasan Mutu dan keamanan pangan 4. Peningkatan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS)

RPJMD NTB 

5. Penguatan kelembagaan pangan dan Gizi.    

Masalah infrastruktur   Masalah layanan   Target MDGs  pemerintah  2015 

KELUARAN 

Masalah kelembagaan    Indek  Pembangunan  Manusia (IPM)  Pendidikan 

Kesehatan 

Daya Beli  62

 

1. Penurunan  prevalensi  gizi  buruk  dan  kurang  balita  2. Penurunan    prevalensi  pendek   balita  3. Penurunan  kerawanan  pangan masyarakat  4. Peningkatan ketersediaan pangan berbasis kemandirian 5. Peningkatan keragaman  konsumsi  pangan  Masyarakat  6. Peningkatan mutu dan  keamanan pangan yang  dikonsumsi masyarakat   

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

 

B. Strategi 1. Perbaikan gizi masyarakat. Peningkatkan ketersediaan dan jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan yang difokuskan pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, anak bawah dua tahun (baduta), dan anak bawah lima tahun (balita). 2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam. Peningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang difokuskan pada keluarga rawan pangan dan miskin. 3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Peningkatkan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. 4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Peningkatkan pemberdayaan masyarakat dan peran pimpinan formal serta non formal terutama dalam perubahan perilaku atau budaya konsumsi pangan yang difokuskan pada penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, perilaku hidup bersih dan sehat, serta merevitalisasi posyandu. 5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi. a. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang mempunyai kewenangan merumuskan kebijakan dan program bidang pangan dan gizi. b. Peningkatan kerjasama lintas sektor melalui integrasi dan koordinasi pangan dan gizi di koordinasikan pelaksanaannya melalui Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tanggara Barat dan Dewan Ketahanan Pangan kabupaten/kota termasuk melibatkan Badan/bagian/kantor Pemberdayaan Perempuan. c. Revitalisasi kelembagaan dan operasionalisasi siatem Kewaspadaan pangan dan gizi yang telah dilaksanakan selama ini di provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. d. Pemantapan keterlibatan dan peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan program pangan dan gizi dalam kegiatan kelembagaan masyarakat yang ada. e. Menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya masyarakat untuk menumbuhkan kepedulian masyarakat dalam menaggulangi permasalahan pangan dan gizi. f. Peningkatan kapasitas SDM petugas lapangan, tokoh masyarakat dan pemuka agama melalui diklat baik formal maupun non formal. g. Peningkatan dukungan, fasilitas sarana dan prasarana dari pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam mendukung kelembagaan.

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015

63

C. Kebijakan

64

1. Perbaikan gizi masyarakat. Arah kebijakan adalah: (a) peningkatan pembinaan Gizi masyarakat dan (b) peningkatan layanan kesehatan bagi ibu pra-hamil, ibu hamil, anak bawah dua tahun, dan anak bawah lima tahun (balita). 2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam. Arah kebijakan adalah: (a) pengembangan ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi dan mutu Tanaman Serealia, aneka kacang dan umbi, tanaman buah, perkebunan, peternakan dan perikanan, (b) pengembangan sistem distribusi dan stabilitas harga pangan, (c) pengembangan penganeka ragamaan Konsumsi pangan dan peningkatan keamanan pangan segar. 3. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Arah kebijakan adalah: (a) pengawasan obat dan makanan, (b) pengawasan produk dan bahan berbahaya, (c) inspeksi dan sertifikasi makanan, (d) peningkatan jumlah dan kompetensi tenaga penyuluh keamanan pangan (PKP) dan pengawas pangan, (e) bimbingan teknis pada industri rumah tangga pangan (IRTP), (f) bimbingan Teknis dan monitoring pada kantin sekolah 4. Peningkatan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS). Arah kebijakan adalah menciptakan kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat, dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui pendekatan pimpinan, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat. Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui: (a) pembinaan PHBS pangan dan Gizi, dan (b) pengembangan kebijakan sehat bidang pangan dan gizi. 5. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi. Arah kebijakan adalah: (a) penguatan kelembagaan Dewan Ketahanan pangan pada level kabupaten/kota, (b) penguatan koordinasi antar insitusi di tingka provinsi, koordinasi antar insitusi tingkat provinsi dengan tingkat kabupaten, (c) peningkatan tenaga profesional di tingkat pemerintahan paling bawah yakni tingkat kecamatan dan desa, (d) peningkatan kelembagaan masyarakat tingkat desa, (e) perbaikan sistem pendataan pangan dan gizi, dan (e) penguatan lembaga sistem kewaspadaan pangan dan gizi di tingkat kabupaten/kota sampai tingkat desa, (d) pengembangan inovasi ketahanan pangan berbasis sumberdaya dan kearifan lokal, (e) Pengarusutamaan gender. Kebijakan yang akan dilakukan berkaitan dengan pengarusutamaan gender (PUG) dalam pangan dan gizi, yaitu:

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi | Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2011-2015





• •

Melibatkan para pihak yang bekerja untuk pemberdayaan perempuan dan isu gender dalam struktrur Dewan Ketahanan Pangan. Stakeholder ini selanjutnya akan menjadi Gender Focal Point (GFP) dalam kegiatan perbaikan sistem ketahanan pangan dan gizi di provinsi NTB. Keterlibatan GFP dimulai pada tingkat propinsi sampai tingkat desa. Meningkatkan kapasitas GFP dalam pangan dan gizi. Kapasitas yang dikembangkan meliputi penguasaan materi, kapasitas pengelolaan dan penggunaan data terpilah, pengembangan teknik advokasi, kampanye dan pendidikan masyarakat. Melakukan penelitian mengenai dampak peran gender terhadap status gizi masyarakat, khususnya status gizi ibu hamil, ibu menyusui, anak