Desa adat sebagai lembaga tradisional otonom, komunitas budaya tradisional,
kesatuan ... Prinsip ekonomi tradisional atau pandangan akan nafkah hidup bagi.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Desa adat sebagai lembaga tradisional otonom, komunitas budaya tradisional, kesatuan masyarakat hukum adat, dan identitas kolektif masyarakat Bali, mengalami banyak perubahan fisik dan transformasi sosial budaya dalam kehidupan masyarakat di dalamnya. Realitas ini diterima dan disadari oleh komuniti desa adat, dalam hal ini Desa Adat Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, yang terkalahkan dalam kontrol dan proteksi tata ruang di wilayah ‘otonominya’. Demikian keberadaan Desa Adat Kuta dalam ruang kulturalnya, termasuk tanah pekarangan tempat tinggal mereka masing-masing, yang sebagian besar tertutup secara fisik oleh deretan bangunan komersial berupa toko-toko cinderamata, barang-barang kerajinan dan seni, produk jasa dan berbagai produk dengan cap dagang yang mendunia. Kekalahan ruang budaya ini tampak di sepanjang ruas-ruas jalan di kawasan industri pariwisata Kuta yang didominasi atau tertutup oleh bangunan-bangunan komersial dan turistik. Kondisi ini diterima sebagai sebuah kenyataan hidup dalam bentang kawasan wisata dan merupakan sebuah pilihan ekonomis, dengan pertimbangan segala konsekuensi sosial, budaya dan nilai moral, sebagai dampak dan pengaruh langsung kebijakan yang diberlakukan di kawasan ini. Hubungan desa adat dan kawasan
1
2
industri pariwisata, tampak dilematis, dengan adanya konflik ruang budaya tersebut di atas. Dominasi ruang komersial di kawasan wisata ini, bisa diklasifikasikan dalam tiga
kelompok besar, yaitu
(1)
kelompok bangunan kecil-kecil
komersial berupa tempat outlet atau tempat etalase produk-produk tertentu, toko-toko
kebutuhan wisatawan sehari-hari
yang dikenal dengan mini
market, tempat-tempat layanan jasa, seperti laundry, money changer dan lainlainnya; (2) kelompok bangunan rekreasi dan hiburan wisata seperti: spa, karaoke, café dan rumah makan; dan (3) kelompok banguna-bangunan besar dan luas untuk akomodasi wisata seperti penginapan, hotel-hotel melati, hotel berbintang hingga terminal perusahaan biro perjalanan wisata (Dispar. Kab. Badung, 2006). Perkembangan kawasan Kuta sejak tahun 1969, tahun 1980 hingga 1990-an memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat Kuta. Masyarakat yang mau membuka usaha-usaha dagang untuk penyediaan kebutuhan wisatawan, seperti toko-toko cinderamata, pakaian jadi, dan lainlainnya, sudah bisa meningkatkan taraf hidupnya masing-masing. Pengembangan usaha yang lebih besar tentu meraup hasil yang lebih besar. Pada tiga dekade tersebut, pengaruh pariwisata
sudah sangat
besar
mencetak
kelas-kelas
ekonomi menengah-atas baru di Desa Kuta. Praktik ekonomi sederhana pun meraup hasil yang berlipat ganda sebagai pengaruh ‘memusatnya’ aktivitas pariwisata di Kuta sebagai kawasan wisata. Pemerintah Kabupaten Badung
3
mulai melihat adanya sumber pendapatan yang signifikan dari kawasan pariwisata Kuta. Prinsip ekonomi tradisional atau pandangan akan nafkah hidup bagi orang Kuta, terdorong dan berkembang cepat menjadi prinsip-prinsip komersial dan kapitalistik. Ruang budaya diwarnai dan didominasi oleh ruang ‘gerak’ aktifitas ekonomi kawasan wisata yang established dan legitimit. Pada kekiniannya Kuta berubah mulai dari wajah depan hingga pelosok-pelosok terdalam ruang dan tempat tinggal penduduknya. Bangunan kori atau pintu gerbang rumah tradisional, termasuk tlajakan bahkan tembok pekarangannya hilang, dan difungsikan sebagai tempat-tempat komersial untuk meraih pendapatan dari uang penyewaannya atau digunakan untuk tempat usaha sendiri. Laporan kependudukan terakhir Kelurahan Kuta pada Bulan Januari 2007, mencatat jumlah penduduk migran yang masuk di wilayah kelurahan ini sebanyak 11.357 jiwa yang tersebar di dua belas lingkungan banjar. Keberadaan mereka masing-masing; 106 jiwa dari desa-desa lainnya di Kabupaten Badung; 991 jiwa dari kabupaten lainnya di wilayah Provinsi Bali, dan 10.000 jiwa lebih dari luar Provinsi Bali. Penduduk musiman yang tercatat
di
dalamnya
sebanyak
3.661
jiwa, masih
terdata
tinggal
di
lingkungan banjar. Para pendatang musiman yang belum terdata, diperkirakan mencapai angka 1000-an, misalnya mereka yang tinggal di bedeng-bedeng di lingkungan Banjar Jaba Jero atau arah tenggara Kelurahan Kuta, belum termasuk mereka yang datang ‘mengadu nasib’ di Kuta, dengan tinggal
4
sementara di ruko, gudang perusahaan dan tempat-tempat yang belum terdata. Kehadiran para pekerja dan pebisnis yang melakukan aktifitasnya di kawasan Kuta, dan para wisatawan asing atau domestik yang tinggal sementara, melengkapi intensitas aktifitas kawasan ini sejak pagi, siang hingga malam harinya berlanjut keesokan harinya tanpa henti. Citraan dan istilah tourist-resort (baca: kawasan wisata) pun digunakan oleh para pebisnis dan perusahaan jasa wisata, sebagai penguat pencitraan ruang komersial, turistik dan citra kemapanan sentralisasi akomodasi dan atraksi pariwisata. Silang tanda dan pencitraan masing-masing individu pelaku usaha, perusahaan akomodasi dan penjual jasa, mengkondisikan Kuta sebagai satu ‘medan tanda’, yang tampak sekilas menarik perhatian dan menghibur setiap orang yang melewati ruas-ruas jalan di kawasan ini. Penampilan tanda komersial dan turistik ini, menyampaikan ‘salam’ dan tawaran kepada setiap pengunjung, terutama ditujukan pada para wisatawan untuk mencoba dan yakin dengan produk-produknya. Re-presentasi tanda turistik tersebut menampakkan karakteristik kawasan wisata ini begitu profan, dengan wajah depannya yang diramaikan oleh kontestasi tanda promosi komersial-turistik dan bazar tanda pariwisata (Darmadi, 2005). Kebijakan dalam pandangan mayarakat lokal, khususnya indigenous people atau warga Desa Adat Kuta, tampak masih ambivalen. Terlebih lagi dalam sebutan masyarakat awam, baik sebagai penduduk pendatang atau warga desa adat, kebijakan tampak masih samar dan ‘jauh tinggi’ dari jangkauan pemikiran dan pengetahuan mereka, kelompok masyarakat awam
5
menerimanya sebagai regulasi mutlak pemerintah yang disebut dengan ‘aturan dari atas’. Perubahan tataruang yang terus berjalan cepat pada pembangunan fasilitas pariwisata oleh pemerintah, swasta hingga perubahan tataruang pekarangan rumah, diterima sebagai sebuah pilihan atau langkah ekonomis dan kenyataan hidup di kawasan wisata. Berbagai dampak implementasi kebijakan di kawasan ini, diterima sebagai kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebagai konsekuensi ‘kebijakan kawasan’ bagi desa adat dan masyarakat lokal kawasan secara umum. Konfirmasi kewenangan atau otoritas dari Dinas Pariwisata Kabupaten Badung yang berlokasi di tengah-tengah lingkungan Desa Adat Kuta, masih menyiratkan adanya ambivalensi. Di mana adanya sistem serta mekanisme pengawasan, kontrol
dan
otoritas
pengeluaran
perizinan
hanya
sebatas
perizinan untuk usaha rekreasi dan hiburan wisata, penginapan hingga hotel melati. Keberadaan toko atau kios-kios di seluruh kawasan wisata Kuta, ditangani
dan
menjadi
wewenang
dinas-dinas
dan
otoritas
lain
di
pemerintahan Kabupaten Badung dan selebihnya untuk perizinan hotel berbintang tiga ke atas, merupakan otoritas dinas pariwisata provinsi. Pariwisata budaya
sebagai sektor handalan daerah Bali, sebagai
leading sector di bidang ekonomi, memiliki ‘lintasan orbit’ yang luas (Darmadi, 2005), melewati dan melampaui sektor-sektor ekonomi lainnya hingga
bidang-bidang kehidupan
lain.
Merupakan
peluang besar
pengusaha
kecil dan menengah dalam berusaha, bila
pengaruh
tidak
langsung
multiplying-effect
atau
efek
bagi
bisa menangkap pelipatgandaan
6
pendapatan bagi sumberdaya dan potensi yang digunakan sebagai komoditas dan pendukung usaha atau industri jasa yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata, yang sangat berpengaruh besar pada
peningkatan
pendapatan
dan
pertumbuhan
ekonomi
masyarakat
kawasan. Erawan (1996: 10-16) menemukan efek pelipatganda ini berpengaruh besar pada industri kecil dan menengah, terlebih lagi bagi para pengrajin dan pelaku-pelaku usaha jasa dan akomodasi lokal dalam siklus perputaran uang di kawasan wisata. Kini, melewati tiga dekade hubungan dan interaksi masyarakat lokal dengan
aktifitas
pariwisata, segala
keuntungan
dan
kerugiannya
sudah
dipertimbangkan oleh masyarakat Bali, khususnya masyarakat Kuta. Interaksi pariwisata dengan tradisi, seni dan budaya, sebagai sektor multidimensional, dirasakan
pengaruhnya
yang
sangat
besar
bagi
masyarakat.
Sehingga
pariwisata ditolerir atau ‘diiakan’ sebagai legitimasi pemanfaatan sumberdaya hingga komodifikasi eksotika alam, budaya dan kesenian, yang tidak disadari menjadi domain baru
budaya turistik dalam kehidupannya.
pariwisata
dibuat
pun
mesti
sebagai
realisasi
agenda
atau
Kebijakan program
perencanaan dan kontrol pembangunan ekonomi oleh pemerintah daerah kabupaten. Secara sosiologis, dalam konteks politik dan birokrasi, posisi masyarakat lokal hingga masyarakat ‘perantau’ atau the others, tampak intriguing atau semakin menarik perhatian untuk ditelusuri keberadaannya. Peningkatan
infrastruktur
pariwisata
bersamaan
dengan
realisasi
pembangunan fisik daerah dan nasional, mengkondisikan masyarakat Kuta
7
‘ada’ dan ‘mengada’ dalam pariwisata di atas space and place atau ruang dan tempat komunitas pendukung budaya setempat atau indigenous people, yaitu ruang desa adat. Pada masa awalnya, jalan-jalan penepi siring Kuta atau perkampungan pesisir Kuta, merupakan jalan atau akses tempat-tempat suci dan fasilitas kegiatan adat, yang harus menerima fungsi baru sebagai akses atau infrastruktur kawasan industri pariwisata. Perbaikan wajah dan fisik Desa Adat Kuta menjadi penanda perubahan cepat yang kurang dari hitungan
dekade
atau
sewindu,
kemudian
perubahan
mendasar
pun
mempengaruhi tataruang perumahan, banjar atau lingkungan dan desa adat. Realitas perubahan dan konflik ruang yang diterima sebagai keniscayaan era global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara berpikir, sikap dan pandangan atas relevansi dan berlakunya nilai-nilai lokal atau indigenous values. Seperti halnya pengakuan Bendesa Adat Kuta dan warga Desa Adat Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya sebagai ‘daerah terbuka’(sebutan ruang terbuka). Satu ungkapan yang mengandung kesadaran, kekhawatiran dan resistensi atas konsekwensi keberadaan lingkungannya sebagai kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka dengan tersedianya banyak akses jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara yang begitu dekat, memungkinkan siapa pun bisa masuk ke desa adat kami pada jam dan tempat yang mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat hiburan selalu menyapa dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di
8
daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian mengibarkan ‘bendera desa adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Hal ini dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan hegemonik kekuasaan rezim
penguasa
negara
dalam
waktu
yang
cukup
lama, kemudian
terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang dipelajari sejak lama. Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta, dengan tekanan kekuatan politik desa adat. (Pitana et al, 2000). Kesiagaan, koordinasi
dan
komunikasi
antardesa
adat, ternyata
kemudian mendapatkan insiden ‘ledakan bom teroris’ pada tanggal 12 Oktober 2002 di depan sebuah café-bar di perbatasan Desa Adat Kuta dengan desa adat Legian. Musibah yang tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat Kuta bahkan oleh masyarakat Bali, mematri suasana traumatik yang lama dan akhirnya harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Aksi teroris bom yang lebih kecil terjadi lagi di sudut Kuta lainnya, tetapi menambah parah trauma pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat lokal di lingkungan Desa Adat Kuta, ditambah satu terror bom di lingkungan desa adat Jimbaran, sekitar 5km arah selatan Kawasan Wisata Kuta, kembali merobek citra keamanan pariwisata Bali. Kenyataan pahit ini harus diterima sebagai bentuk ancaman yang bisa terjadi kapan pun di lingkungan desa adatnya, sebagai konsekuensi kehidupan masyarakat kawasan wisata ke masa depan. Ancaman ini juga menghantui desa-desa adat yang ada di sekitar bentang kawasan Kuta
9
Keberadaan monumen tragedi terror bom Kuta tahun 2000, yang lebih dikenal dengan ground zero, menjadi penanda terbukanya sebuah kawasan yang harus ditangani bersama semua komponen masyarakat dan pemerintah. Ingatan traumatik zero ground sebagai penanda ‘zero tourism’ yaitu kekhawatiran akan berakhirnya sebuah kawasan turistik dengan citraancitraannya. Sekarang semuanya diterima sebagai sebuah kenyataan oleh seluruh komponen sektor pariwisata Bali, dengan dampak sosial-ekonomi yang berkepanjangan terhadap perekonomian rakyat
dan
pendapatan pemerintah
daerah Kabupaten Badung dan kabupaten lainnya yang mengusahakan obyek dan daya tarik wisata sesuai potensi daerahnya masing-masing. Dua kali ledakan dahsyat bom di kawasan wisata Kuta dan Pantai Jimbaran tersebut, terasa seperti ‘luka yang berangsur sembuh tertoreh kembali’. Dalam situasi traumatik ini, ada
tiga
reaksi utama (Couteau, 2003)
yang menandai
peristiwa tersebut, yaitu gelombang solidaritas, kecendrungan ke arah ritual dan ketegangan stabilitas yang mendorong politisasi lembaga adat untuk memperketat kontrol terhadap arus masuk penduduk pendatang, dan termasuk penertiban identitas penduduk pendatang asal daerah luar Bali. Nilai atau kearifan lokal atas ruang dan waktu atau space and time, berupa konsep dan nilai desa, kala, patra sebagai lokal values yang berlaku pada ruang dan waktu ‘ada’ dan ‘mengada’ manusia Kuta dengan tradisi atau adat-istiadatnya, sekarang harus menerima, menyetujui dan melepaskan ruang-ruang yang ada untuk tempat komersial dan turistik. Di balik itu, dalam representasi religio-magis mereka, atau ruang niskala yang invisible,
10
Desa Adat Kuta dikelilingi oleh situs-situs magis tempat kekuatan-kekuatan magis yang dipercaya sebagai pancaran manifestasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Religiusitas dan magisme tradisional ini, masih berpengaruh kuat dalam kehidupan sehari-hari warga Desa Adat Kuta, ditengah perubahan sosial yang begitu cepat, internasionalisasi kawasan wisata dan globalisasi. Melalui proses internasionalisasi ini, posisi desa adat dalam kawasan wisata, sebagai masyarakat penerima wisatawan, yaitu sebagai ‘tourism society dan host community’ (Pitana, 2000), masih menjadi pokok permasalahan, ketika muncul resistensi masyarakat lokal sebagai indikator ambivalensi dan rasa ketidakadilan yang menuntut kompensasi atas pemanfaatan segala potensi keindahan alam dan tradisi secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, wacana pariwisata Bali dalam promosi pariwisata budaya menutup representasi budaya masyarakat kawasan Kuta, yaitu Kuta sebagai kawasan turistik yang global bukan sebagai kawasan wisata yang kultural. Berhentinya pentas-pentas kesenian tradisional di Kuta pada tahun 1980-an yang disusul dengan bertambahnya tempat hiburan diskotik dan karaoke, menarik perhatian dalam investigasi ini, untuk dicari sebab-musababnya. Representasi
tataruang
turistik
dan
komersial
Kawasan
Wisata
Kuta,
mengesankan ‘Kuta bukan Kuta yang dulu lagi’ tapi Kuta yang ‘kalahmenyerah’ terhegemoni dalam belengu kawasan turistik, global dan profan. Retrospeksi kolektif pasca konflik kawasan, (Pitana, et al, 2000: 108110) bahkan kondisi pascadua kali teror ledakan bom, senantiasa mendorong sikap resisten dan mawas diri. Pembentukan identitas kultural dengan
11
berbagai akar nilai dan tradisi hingga aspek geneologis menguat menjadi politik identitas. Hal ini memberi pengaruh progresif pada tindakan pengawasan dan penertiban penduduk pendatang dan kelompok penghuni ‘bedeng’ yang sering menghindar dari petugas kelurahan dan desa adat untuk didaftar status domisilinya. Penguatan elemen-elemen desa adat, upaya pelestarian bangunan dan perangkat ritual hingga atrubut-atribut adat dan religius secara cultural, untuk menjawab representasi profan-turistik kawasan Kuta selama ini. Ungkapan ‘daerah terbuka’ terhadap situasi dan kondisi desa adat mereka, sangat bermakna mendasar dalam konteks ruang dan waktu mereka sebagai masyarakat terbuka. Realitas sosial ini merupakan kehidupan kawasan wisata yang turistik, penuh dengan berbagai aktifitas pelayanan akomodasi, hiburan dan penjualan produk-produk pariwisata sepanjang hari di tempattempat yang ditata untuk tampil turistik sedemikian rupa sejak pagi hingga matahari terbit keesokan harinya. Dominasi tempat komersial dalam ruang desa adat ini, menandakan ambivalensi dalam realitas sosial di mana terjadi hegemoni kawasan yang tidak disadari oleh warga Desa Adat Kuta. Pariwisata disadari membawa ancaman keamanan terhadap desa adat, dengan terjadinya aksi terorisme bom pertama dan kedua yang masih dinilai sebagai sebuah ironi besar, dan harus ditanggung dan dirasakan oleh warga desa adat yang turun-temurun hidup di desa ini. Poskolonialitas sebagai suatu kondisi dan realitas sosial, berpangkal pada adanya ambivalensi atau kegamangan dalam unconsciousness atau
12
ketidaksadaran masyarakat akan fenomena sosial di lingkungannya. Nalar pikiran awam atau common sense mengiyakan segala bentuk dominasi, dengan tidak melihat atau merasakan hegemoni atas kehidupan mereka. Sehingga identitas ‘keBalian’ mereka secara kolektif dan perorangan sudah terinjak di desa kelahiran sendiri, yang sesungguhnya memiliki akar kuat pada kultur dan nilai yang sudah melembaga dalam bentuk desa adat, dengan tradisi yang menyatu dengan budaya hidup sehari-hari, norma, nilai dan pandangan hidup yang tersirat dan terukir dalam simbol budaya atau atribut adat yang bahkan bernuansa magis dan spiritual. Poskolonialitas dalam Kawasan Industri Pariwisata Kuta, menyatukan kerangka studi dalam realitas sosial dinamika desa adat dan perkembangan kawasan wisata, dengan penanda-penanda ‘poskolonialitas’, menarik semua perhatian pada titik temu polemik nilai, konflik ruang, resistensi lembaga dan representasi budaya masyarakat lokal, antara tradisional dan modern, spiritual dan material, sakral dan pascamodern.
Penanda
profan, bahkan modern dan konteporer polemik
atau
‘dan’ (baca: frase penghubung) antara
poskolonialitas pariwisata dan politik identitas desa adat, menjadi titik temu antagonik skenario pariwisata dengan skenario formasi penguatan identitas kultural desa adat. Investigasi ‘representasi budaya’ pada domain tersembunyi di dalam realitas, menyatukan arah paradigma cultural studies penelitian yang emansipatif dan politis dalam pembelaan identitas lokal, budaya dan pandangan ke-Indonesia-an, atau masyarakat dunia ketiga yang disebut ekskoloni barat atau the others dalam kaca mata barat.
13
Kajian kritis-emansipatif dengan metode kajian budaya atau cultural studies, terlebih lagi dalam menyikapi local people dari perspektif pariwisata dalam konteks Bali, akan menemukan masyarakat lokal yang kultural, multikultural dan global. Posisi dan peran desa adat dalam hal ini, sangat urgen untuk diperjuangkan dalam kerangka politik cultural studies dan studi poskolonial
dengan
konsep-konsep
grounded
dan
paradigma
kekajian
budayaan yang emansipatif.
1.2 Rumusan Masalah Searah dengan latar belakang penelitian, konsekuensi keberlajutan industri pariwisata di Bali dengan pengembangan tipe pariwisata budaya secara resmi, dudukung oleh kebijakan dan peraturan pemerintah, akan disoroti dari keberadaan dan peran masyarakat lokal, serta kebertahanan desa adat di kawasan industri pariwisata yang secara fisik berkembang paling pesat di Bali, yaitu Kawasan Pariwisata Kuta. yang berinteraksi dengan Desa Adat Kuta dan desa adat lainnya. Adapun masalah yang diangkat mencakup pertanyaan-pertanyaan berikut. (1) Bagaimana bentuk representasi budaya masyarakat lokal dan politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan pariwisata? (2) Bagaimana proses representasi budaya masyarakat
lokal dan
politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan pariwisata?
14
(3) Bagaimana makna representasi budaya masyarakat lokal dan politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan pariwisata?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan menginterpretasi
penelitian secara
ini
secara
mendalam
umum
atau
depth
untuk
mengetahui
interpretation
dan
terhadap
kehidupan masyarakat lokal dalam poskolonialitas kawasan pariwisata Kuta. Masyarakat lokal terdiri atas seluruh penduduk yang berdomisili di wilayah Kelurahan
Kuta, warga
Desa
Adat
Kuta
termasuk
semua
penduduk
pendatang yang belum terdaftar di kantor kelurahan dan desa adat, hingga ‘pengadu nasib’ yang tinggal tidak menetap atau the others dalam wajah masyarakat multikultural di kawasan wisata Kuta. Poskolonialitas dalam konteks ini, merupakan suatu realitas kehidupan masyarakat di kawasan wisata, yang didominasi oleh ruang, tempat dan citra kehidupan turistik, komersial dan global.
1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini untuk investigasi dan pemahaman permasalahan berikut ini.
15
(1) Untuk mengetahui representasi budaya masyarakat lokal dan politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan pariwisata. (2) Untuk
memahami
proses
berlangsungnya
representasi budaya
masyarakat lokal dan politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan pariwisata. (3) Untuk menginterpretasi makna
representasi
budaya
masyarakat
lokal dan politik identitas Desa Adat Kuta dalam poskolonialitas kawasan pariwisata.
1. 4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat penelitian secara teoretis adalah untuk menambah khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan interpretasi kritis terhadap poskolonialitas sebagai konsep-teori dan realitas dalam representasi budaya kawasan industri pariwisata, yang diwarnai oleh dominasi dan hegemoni kawasan wisata, kekalahan ruang budaya tradisional dan ‘terinjaknya’ identitas budaya lokal. Semuanya itu mendorong menguatnya politik identitas masyarakat lokal. Penelitian ini menambah studi dan aplikasi metode kajian budaya atau cultural
studies
terhadap
kehidupan
transformasional
global
kawasan
pariwisata yang memiliki kaitan erat dengan studi pembangunan, kajian kebijakan (publik) pembangunan, kajian pariwisata dan disiplin ilmu lainnya, dalam fenomena transisional, perubahan sosial, transformasi kebudayaan, dan pergeseran konsep ruang dan waktu. Penelitian ini juga menjadi bahan acuan
16
dan masukan dalam
melengkapi kepustakaan kajian budaya, kontribusi
konsepsi dan konstruk teori kajian budaya yang eklektis, multiparadigma dan emansipatoris, terhadap disiplin ilmu yang terkait dengan penelitian ini, sekaligus aktualisasi paradigma cultural studies sebagai politik emansipatif intelektual.
1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
untuk
memberikan
masukan bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan (dari input hingga outcome)
pengembangan
pariwisata, khususnya
pembangunan
kawasan
pariwisata. Pencerahan atau insight bagi stakeholder dalam mempertimbangkan masyarakat lokal dengan wajah multikultural Indonesia, terlebih lagi dengan keberadaan desa adat yang memiliki lembaga tradisional, memiliki nilai dan pandangan hidup yang menyatu dengan identitas budaya mereka. Bagi masyarakat lokal kawasan pariwisata, penelitian ini memberikan wawasan dan pemahaman tentang posisi dan peran mereka dalam proses kebijakan publik pembangunan dan regulasi kawasan wisata.
17
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Hubungan antara masyarakat lokal dan kawasan pariwisata, diposisikan secara normatif dengan interaksi budaya
antara
‘host
and
guest’
atau
hubungan antara pelayan dan tamu atau wisatawan. Nash (Smith, 1989: 2330), melihat hubungan antara budaya masyarakat lokal dengan budaya wisatawan yang terkait dengan bertemunya ritual tradisional dengan ritual tourism atau pariwisata yang bersifat modern dan internasional. Nash (idem, 38-51) menyebut pariwisata sebagai bentuk imperialisme baru pada zaman ini, sebagai bagian dari pergerakan imperium-imperium ekonomi dunia, yang disebut global empire atau Capra (2004: 145-148) menyebutnya dengan kapitalisme global. Cohen dalam Sociology of Tourism (Apostolopoulos, ed., 1996: 51-74) mencantumkan pendekatan Neo-kolonialisme sebagai pendekatan terakhir dari delapan
pendekatan
sosiologisnya
terhadap
pariwisata, yaitu;
pariwisata
sebagai commercialized hospitality, pariwisata sebagai democratized travel, pariwisata sebagai aktifitas modern leisure, dan empat pendekatan lainnya dalam konteks hubungan etnis, budaya
dan proses akulturatif melalui
pariwisata. Semuanya digunakan untuk mengkaji the intriguing phenomenon of tourism atau fenomena tourisme yang semakin menarik perhatian untuk
17
18
diteliti. Searah dengan perpektif poskolonial tentang pariwisata, yang melihat adanya koloni-koloni industri pariwisata di berbagai kawasan destinasi dan obyek daya tarik wisata, bahkan tidak jarang menggunakan tempat-tempat dan bangunan kolonial sebagai tempat rekreasi dan daya tarik pariwisata. Melihat budaya dan tipe wisatawan, The Tourist (1978) karya monumental Dean MacCanell senantiasa menjadi acuan sekaligus juga mejadi acuan dalam membahas tentang leisure atau liburan yang merupakan kebutuhan sekaligus trend kehidupan baru yang berkembang ke arah kapital, di mana liburan dikemas dalam paket-paket siap bayar. Leisure kemudian menjadi penanda kelas baru, lengkap dengan segala perlengkapan paketnya, visitcourtesy hingga ritual wisata yang berkembang alami dengan tanda atau cirikhas gaya pada pakaian, dandanan dan hari-hari atau bulan musimannya. Signifikasi leisure dalam kelas kemudian merebak melalui komodifikasi dan periklanan wisata, yang betul-betul menempatkannya sebagai label kelas baru, hingga penyebutan leisure class. Kebiasaan, gaya dan gerak-gerik mereka di destinasi wisata pun dipelajari, sebagai bagian dari masyarakat kawasan wisata atau tourist resort dalam sebuah negara. Masyarakat lokal di satu kawasan, sebut saja Kuta, tentu sangat dipengaruhi oleh kehadiran wisatawan mancanegara di lingkungan tempat tinggal mereka setiap hari. Terkait representasi budaya dalam wacana pariwisata, MacCannell (1978: 78-83) menangkap adanya representasi budaya lokal atau daerah di mana sebuah kawasan pariwisata dikembangkan, dan berkembang menjadi elemen justifikasi dalam istilah harmony and subject matter representasi
19
berbagai asosiasi warisan atau peninggalan seni-budaya, keindahan alam dan potensi kesenian, tradisi dan budaya yang masih hidup. Representasi dalam konteks operasional-mekanis ini, disebut dengan istilah ‘re-presentation’. Proses re-presentasi diawali dari fungsi dan tipe museum, yaitu collections and re-presentations atau koleksi-koleksi dan re-presentasi, yaitu penyajian yang intensif dan berulang-ulang. Re-presentasi ini berkembang sebagai teknik penyajian dan pemajangan produk atau arrangement of objects dalam rekonstruksi situasi secara total, di mana bisa ditemukan boneka-beneka pajangan pakaian, perhiasan hingga boneka-boneka binatang yang dipajang untuk re-presentasi habitat alami binatang seperti hutan artifisial. Semangat zaman atau zeitgeist yang sangat berpengaruh dalam membangun cultural studies sangat terasa dalam membaca keberadaan objek dan fenomena-fenomena yang berkembang, pada objek ‘mengada’ dengan pengada-pengadanya. Sehingga dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sedang dalam masa transisional, khususnya masyarakat Bali, apa yang disebut sebagai fase cultural studies modern dan posmodern oleh Piliang, masih ditemui semuanya dalam satu realitas budaya yang berkembang dengan arah pergerakan makna yang saling silang. Konsep dan teori cultural studies baik dalam Barker (2000: 340-370) dan Lewis (2002: 334-376) memandu pembacaan gejala-gejala ambiguitas dan ambivalensi, yang dimaknai secara lebih radikal dan politis dalam studi poskolonial. Konsep-konsep kunci seperti; dominasi, marginalisasi, subaltern, hegemoni dan lain sebagainya, akan mengelaborasi kajian secara kompleks dan eklektik. Piliang (2005: 1–2)
20
menyebut cultural studies atau kajian budaya sebagai ide yang terus berkembang
atau
becoming
atau
menjadi, dipetakan
dalam
dua
fase
pemikiran, yaitu modernisme dan posmodernisme. Pada fase ‘cultural studies modern’ isyu sentral yang diangkat tentang budaya popular, budaya massa, industrialisasi, kebudayaan dan industri, media massa, komodifikasi, struktur budaya, kode budaya, ideologi, subjek, hegemoni, struktur kelas, demokrasi dan kelas, resistensi, subversi dan perlawanan. Pada fase ‘cultural studies posmodernisme’, isyu-isyu bergeser menjadi subject matter gerakan posmodernisme sendiri: yaitu isyu-isyu genesis, perubahan, produktifitas tanda, permainan bebas tanda, permainan relativitas
pengetahuan,
mesin
hasrat
(desiring
bebas
machine),
interpretasi, ketaksadaran
(unconsciousness), ekonomi libido, heterogenitas, skizofrenia, nomadisme, simulasi, hiperrealitas, relasi pengetahuan dan kekuasaan (geneologi), discourse, pengetahuan lokal dan etnisitas (Piliang, 2005). Wayne Parson menyatakan, kebijakan pun sebagai penentu mekanis terhadap hajat hidup orang per orang yang kemudian disebut publik atau masyarakat. Terkait kebijakan di kawasan wisata, tentunya harus melibatkan dan memposisikan masyarakat sebagai subjek pembuat kebijakan, melengkapi konsep kebijakan publik yang harus lahir dari kesepakatan dan konsensus antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat (Wayne Parson, 2004: 133) tiga elemen penentu jalannya pembangunan ini merupakan tiga pilar (Perlas, 2000: 266) yang harus mendapatkan perhatian dan pertimbangan dalam
21
pembangunan sektor dan bidang apapun yang menyentuh hak, ruang dan tempat hidup masyarakat. Berangkat dari representasi budaya daerah dan re-presentasi kawasan atau
destinasi
wisata, segala
yang
ada
di
dalamnya, dengan
mudah
dikomoditisasi secara berulang-ulang. Bahkan dengan perspektif global, tidak mustahil
lagi
bila
Bali
pun
dikomodifikasi
atau
dalam
perpektif
commmodification of destination yang terjadi karena adanya mass production of certain commodities (Burns, 1995: 105-106). Bila demikian halnya, kemudian, Bali sudah merupakan sebuah komoditas, dengan nilai image atau citra Bali; dengan image of Kuta, image of Ubud, image of Tanah Lot, image of Besakih dan hasil citraan lain di dalamnya. Semua citraan tersebut dikuatkan dengan alih-alih ‘mitos’ Bali dengan berbagai julukan dalam tulisan-tulisan
barat
yang
merepresentasikan
keindahan, kedamaian
dan
keunikan seni-budayanya pada sekitar tahun 1920-an hingga 1950-an, seperti tulisan Mrs. Menc atau Ni Ktut Tantri yang lama tinggal di Kuta hingga membangun hotel, dalam bukunya Revolt in Paradise atau Revolusi di Nusa Damai (1964). Temuan-temuan tentang fenomena pariwisata dari sumber-sumber di atas, menguatkan
konstruk
teori
posstruktural
penulis
dalam
membaca
fenomena medan tanda budaya massa, silang kontestasi tanda komersial hingga bazaar tanda dalam pariwisata budaya. Bersamaan dengan fungsi dan kekuatan mitos yang disebutkan oleh Barthes (2007, 295-297) bahwa mitos merupakan suatu sistem komunikasi, suatu pesan (mode pertandaan) atau
22
mode of signification. Mitos tidak sama dengan objek atau konsep atau gagasan. Bisa dihubungkan dalam kontestasi tanda ini, mitos merupakan mode atau cara penyampaian pesan yang kemudian menyatu dengan simulasi atau pencitraan. Teori Posstruktural (Piliang, 2005) memberikan kontribusi metode dan teknik diskursif dalam dekonstruksi yang berperan menyudahi penelusuran-analitis di atas dengan menyasar langsung pada titik kekuatan dan kelemahan permainan tanda dan bahasa tersebut. Ardika (Darma Putra, 2004: 20-31) melihat fenomena pengaruh budaya turistik ini sebagai sebuah konsekuensi pengembangan pariwisata, yang tentu dapat dikendalikan dengan regulasi pemerintah, strategi budaya, pemahaman dan apresiasi budaya seluruh komponen masyarakat Bali. Terkait otonomi daerah dalam pemerintahan dan pemanfaatan sumberdaya daerah, kebijakan pemerintah daerah Bali sangat menentukan perjalanan pariwisata ke depan. Searah dengan potensi budaya
yang
dimiliki oleh daerah Bali dan
kecendrungan pariwisata global yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, nilai sumberdaya manusia, proteksi budaya dan hak cipta hingga konsensus nasional pun patut diadakan untuk memberlakukan peraturan lokal, nasional, dan internasional tentang kebudayaan dalam konteks pariwisata. Kegiatan wisata
seks, kasino
dan
aktifitas
sejenis
yang
tidak
sesuai
dengan
Kebudayaan Bali harus bisa ditekan atau ditertibkan. Arah politik intelektual poskolonial hingga dekolonisasi metodologi (Smith, 2006: 88-96) menuju pembebasan representasi diri yang selama ini diposisikan sebagai objek orientalisme barat. Kritik metodologi barat selalu
23
merujuk signifikansi dan relevansi teori poskolonial dalam kajian budaya yang senantiasa sarat dengan misi dan isyu-isyu politik intelektual yang emansipatoris. Poskolonial merupakan ujung tombak dekolonisasi metodologi logosentris barat yang juga signifikan dalam cultural studies untuk menolak logosentrisme, oposisi biner kekuasaan
yang
hegemoni
dan
dan
memenjarakan dominasi.
koloni-koloni makna, pengetahuan dan manusia
Poskolonialitas
dalam akan
sel-sel
oposisi
menyambung
binari,
fenomena
imperialisme dan neo kolonialisme sebagai subjectmatter dan sasaran politik identitas sebagai konsep, teori dan perjuangan dalam cultural studies. Indigenisasi metodologis yang sedang hangat-hangatnya diwacanakan menjadi agenda
permanen
intelektual-poskolonial
untuk
melawan
praktik-praktik
positivisme logis, menisbikan representasi ‘barat dan timur’ yang relevan dan searah dengan aktualisasi cultural studies sebagai gerakan emansipatorispolitis intelektual, pembelaan terhadap subaltern dan the others. Studi Poskolonial menguatkan metode cultural studies sebagai politik intelektual, mengarahkan pada pengembangan kerangka dan peta pikir yang lebih luas dan mendasar. Arah dan perkembangan studi poskolonial di Indonesia, menurut Melani Budianta, seperti dipetik oleh Susanto (2003: 270) dalam buku “ Politik dan Poskolonialitas di Indonesia”, melihat adanya idealisasi wacana poskolonialisme dalam studi komunitas-komunitas lokal atau indigenous community di tanah air, ketika menemukan berbagai budaya dan identitas mereka memiliki lembaga, bahasa, nilai, tradisi atau adat dalam praktis
kehidupan sehari-hari.
Penggambaran
realitas
sosial pada satu
24
komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses dan ‘hal-ihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktik) poskolonial. Adapun lapangan sasaran studi poskolonial, menukik pada proses dominasi, ambivalensi, ambiguitas, keterpinggiran atau marginalisasi hingga hegemoni, menemukan fenomena yang searah pada fenomena kehidupan desa adat bentang ‘zoning’ kawasan pariwisata, dalam hal ini desa adat. Hall, C. Michael & Hazel Tucker dalam Tourism and Post Colonialism (2004: 1-5), berasumsi bahwa poskolonial lahir untuk menandai tantangan, yang awalnya berupa tantangan sastra terhadap pusat kekuasaan atau literary challenges to the hegemonic power of the centre, yang tentu saja bukan merupakan fenomena baru pada saat ini. Konsep poskolonialisme pada tahun 1990-an banyak menyebarkan teorisasi budaya, yang kemudian semakin meningkat mempengaruhi para intelektual yang berkecimpung pada lapangan studi pariwisata. di negara-negara berkembang, untuk memperhatikan identitas dan representasi, konstruk teori terhadap lingkungan, sangat kuat mengarahkan referensi pada diskursus poskolonial. Adapun tujuan dan sasaran Hall dan Tucker dalam buku itu, untuk menguji beberapa jenis alat analisis dalam studi poskolonial yang bisa memberikan distribusi metode dan kritik pada studi pariwisata. Hall dan Tucker (2004:1-5) menyatakan bahwa masalah bahasa dalam pendeskripsian fenomena
dan
masalah, menunda
berbagai
pencatatan
hingga
studi
poskolonial tampak “tidak mungkin” untuk diterangkan dalam membedah
25
fenomena tourisme atau pariwisata. Hall dan Tucker dalam buku ini, menguji beberapa jenis alat analsis dalam studi poskolonial yang bisa memberikan distribusi pada studi pariwisata. Selain untuk mencari temuan bahwa pemikiran poskolonial itu relevan dengan studi pariwisata, tetapi juga menguji bagaimana turisme itu sendiri bisa memberikan penerangan perpektif dalam poskolonialisme. (Loomba 1998; Young 2001; Goldberg & Quayson 2002, dalam Hall & Tucker, 2004) Studi tentang Kuta dalam kaitan dengan pariwisata, sudah dilakukan Mudana (2000) terhadap usaha pengembangan BPW di kawasan Kuta. Semadi (2010) mengangkat warisan dan tradisisi budaya sebagai modal budaya masyarakat kawasan. Wesna Astara (2010) mengangkat aspek-aspek dinamika sosial politik Desa Adat Kuta dalam kawasan industri pariwisata global
2.2 Konsep Sesuai dengan hubungan antar fenomena yang berkembang di Kuta, baik dalam konteks desa adat maupun dalam konteks kawasan pariwasata dengan realitas sosial yang terjadi, digunakan konsep masyarakat lokal, desa adat, kawasan industri pariwisata, dari multiparadigma ke multiteori atau eklektisisme; ranah budaya, bahasa dan ideologi dengan tekanan perspektif bentuk, fungsi dan makna, mencairkan wujud dan elemen budaya yang selama ini bersifat kanonikal, given atau finished, dengan menggunakan konsep-konsep hegemoni, dominasi, komodifikasi, kapital, kesadaran simulasi hingga subaltern dan the others.
26
2.2.1 Representasi Budaya Kehidupan di kawasan pariwisata menarik perhatian pada representasi kawasan (MacCannell,1978:78-83) sebagai bentang ruang pengembangan industri jasa pada level ekonomi tersier yang dewasa ini berkembang secara internasional dan global. Penampilan objek daya tarik turistik-komersial merupakan pola re-presentasi mekanis untuk memposisikan objek dan tempat dengan berbagai nuansa dan pencitraan sesuai dengan kelompok audiens yang disasar atau diinginkan. Re-presentasi pada pola kebiasaan pelaku dagang, bisnis, dan industri keramah-tamahan, biasa dilakukan dengan polapola pemajangan atau display atau pameran. Pola pengelolaan yang berkembang maju, mencitrakan objek daya tarik komersial-turistik dengan mode simulasi yang sudah didorong dan diwarnai oleh ideologi turisme, kapitalistik dan komodifikatif. Representasi pada konteks ini, dilakukan secara sadar untuk memberikan energi dan citraan baru pada sebuah objek atau produk untuk tampil lebih bernuansa dan bernilai lebih. Sesuai dengan pola representasi yaitu bagaimana sebuah objek dihadirkan kembali sesuai dengan kepentingan, ide atau ideologi diBaliknya.
Dalam
hubungan
citraan
kawasan
sebagai
bentang
ruang
pengembangan pariwisata yang penuh dengan tempat-tempat komersial dan turistik, representasi budaya masyarakat lokal mendapatkan perhatian awal dalam
studi
ini.
Representasi
budaya
kawasan
turistik, diasumsikan
menyatukan ambivalensi atau kegamangan kawasan bagi masyarakat lokal dan pihak luar atau outsiders. Secara fisik, dengan pemampatan ruang
27
kawasan ke
dalam
tempat-tempat komersial-turistik,
mendominasi ruang
budaya tradisional warga Desa Adat Kuta. Representasi kehidupan kawasan akhirnya menutup representasi budaya masyarakat lokal kawasan Kuta dalam studi ini. Representasi budaya kawasan pariwisata berlangsung sejak pagi, siang, hingga malam dini hari dan kembali berulang esok harinya. Representasi Masyarakat Lokal menjadi pusat perhatian utama dalam studi ini, setelah melihat representasi kawasan pariwisata yang turistikkomersial penuh dengan dominasi tempat-tempat komersial, turistik dan kapitalistik. Representasi merupakan bagian sekaligus produk proses sosial yang terkait dengan tanda dan penandaan makna yang ada dalam satu komunitas.
Sehingga
konsep
ini
sangat
penting
untuk
melihat
dan
menyatukan apa yang selama ini tampak terpisah, antara penanda-penanda makna yang beragam, ideologi, dan penyikapan keadaan. Representasi budaya dalam studi ini, merupakan proses sosial untuk menghadirkan dan memosisikan tanda dalam pola penandaan yang sudah ada untuk menguatkan makna dalam sikap, wacana, tulisan, aktifitas, penampilan atau postur individu, kelompok, hingga citra individu, kelas, lembaga dan komunitas (Barker,2004: 226-231) Representasi budaya membuka ruang untuk melihat, menerima, dan menyikapi re-presentasi sebagai proses mekanis pemosisian tanda dalam penandaan rekaan (baca: rekayasa penandaan), untuk memosisikan dan mempekerjakan kembali tanda dalam penandaan yang sesungguhnya dalam lingkungan sesuai dengan norma dan kesepakatan yang ada.
28
Dinamika hubungan desa adat dan desa dinas melewati beberapa kali konsensus dan konformitas yang sepakat bersama-sama menyikapi dan menghadapi fenomena turistik-kapitalistik dan desa global di depan mata. Terlebih lagi dengan pemekaran Kuta sebagai kelurahan sesuai dengan kewilayahan Desa Adat Kuta, rasa memiliki dan dedikasi pun menyatu dari 13 (tiga belas) banjar dinas. Masalah ruang menjadi masalah utama untuk disikapi dalam setiap kesempatan, sebagai bagian utama dari perubahan sosial Kuta. Pariwisata baru disikapi sebagai bagian parubahan yang selama ini dipisahkan dengan perubahan tata guna ruang, yang menarik pengadaan tempat-tempat akomodasi turistik, komersial turistik, dan tempat kapitalistik yang dewasa ini sangat sesak dan melebihi daya tampung kelurahan atau Desa Adat Kuta. Fenomena kepariwisataan ini masih dalam kegamangan cara melihat masyarakat lokal atau masih kuatnya ambivalensi dalam pola pikir hingga cara pandang mereka. Ruang Budaya tradisional ditutup oleh dominasi ruang turisme, sehingga identitas masyarakat tradisional mengalami pergeseran dalam perubahan sosial dan budaya sejak tahun 1960-an. Para tokoh masyarakat menginventarisir resistensi dan konflik yang pernah terjadi selama 5 (lima) dekade. Ruang publik Kuta diposisikan kembali pada kewilayahan desa adat dan kelurahan, dengan pengawasan terhadap tempattempat akomodasi, komersial, hiburan dan atraksi wisata.
29
2.2.2 Masyarakat Lokal Masyarakat lokal atau lokal people dalam pariwisata (Burns, 1995, 99115) menjadi krusial untuk dikedepankan, ketika melihat kuat dan luasnya representasi budaya dalam wacana turistik kawasan Kuta hingga representasi Bali sebagai destinasi wisata internasional. Di Balik ‘re-presentasi’ kawasan wisata, tampak masyarakat kawasan yang multikultural, sebuah desa wisata, atau desa global yang meliputi komunitas professional, wiraswasta atau bisnis lokal, nasional dan internasional, dan penduduk yang sangat heterogen dalam konteks agama, etnis dan kelas sosial. Di Balik itu semua, komunitas asli atau indigenous people Desa Adat Kuta hidup dengan dinamika budaya yang transformatif, progresif dan senantiasa menjaga dan merajut identitas, nilai, pandangan dan tradisi budayanya. Karakter dan kesadaran identitas kultural
warga
Kuta, dengan
karakter
keindonesiannya, tampak
sebagai
artikulasi yang terus berkembang dengan habitus mereka dalam perubahan besar dan cepat yang dirasakan selama ini. Perubahan terjadi di semua bidang, termasuk berubah dan hilangnya sebagian habitat budaya mereka dalam aspek spiritual dan material. The indigenous people sebagai penduduk asli masih sangat kuat memiliki lembaga tradisional, nilai budaya dan tradisi yang melekat dengan identitas dan praktik budaya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penduduk non Bali yang berdomisili di Kelurahan Kuta, jumlahnya cukup banyak, sebagian sudah menjadi warga tamyu atau warga tamu di lingkungan komunitas Desa Adat Kuta. Kehidupan ‘bedeng’ atau kompleks
30
rumah-rumah darurat dan sangat sederhana, merupakan tempat the others yang dipastikan menjadi tempat tinggal dari ratusan pendatang yang tidak terdata dalam catatan migrasi kependudukan. Mereka betul-betul menempati ruang pinggiran yang tidak diperhitungkan oleh warga desa, kecuali sebagai kantong pendatang musiman, pengadu nasib dan migran tak terdaftar di kelurahan atau desa adat, karena lama tinggalnya dianggap tidak menentu. Keberadaan para ‘pengadu nasib’ yang datang di kawasan wisata ini, tepat disebut wong liyan atau the others di kawasan wisata ini. Sehingga melihat kehidupan masyarakat lokal di Kawasan Pariwisata Kuta
sebagai, harus
masyarakat, dalam
menelusuri
konteks
aspek
multikultural
Bali sebagai
dan
heterogenitas
komunitas desa
adat, konteks
Indonesia yang terdiri atas lima agama dan lebih dari 300 suku bangsa. Kompleksitas tersebut senantiasa mewarnai Kuta sebagai ruang budaya multikultural, yang
merujuk
pertimbangan
kompleks
untuk
memahami
keberadaan masyarakat lokal di Kuta khususnya dan Bali pada umumnya.
2.2.3 Kawasan Industri Pariwisata Kawasan secara teknis merupakan bentang wilayah atau ruang penataan fisik, yaitu pengendalian dan pengaturan pembangunan sarana dan prasarana atau terwujudnya infrastruktur dan suprastruktur. Ruang dalam kaitan ini lebih mengacu pada ruang publik atau public sphere (Parson, 2001:45,77) Ruang-ruang individu terlebih lagi ruang budaya tidak mendapatkan perhatian dalam proyeksi ruang-kawasan, apabila dilihat bagaimana Masterplan
31
Sceto Tahun 1969 mendefinisikan dan menetapkan arah pembangunan dan penataan kawasan pariwisata. Kawasan pariwisata sebagai bentang ruang pengembangan pariwisata dengan
segala
sarana
dan
prasarananya, kembali
menjadi
titik
tolak
pertanyaan atas keberlanjutan pariwisata Bali yang mengusung bendera ‘pariwisata budaya’.
Segala
dampak langsung maupun tidak langsung
pariwisata terhadap masyarakat lokal dengan budaya dan tradisinya, menjadi antithesis atas keberlanjutan atau sustainability yang sedang dibina dan dijaga keberhasilannya. Jenis usaha industri jasa atau akomodasi pariwisata yang ada Munculnya spacial-problem atau masalah ruang dalam pertumbuhan kawasan pariwisata menjadi pembuka celah-celah masalah kestabilan ruang publik atau public sphere. Citra kemapanan ruang publik selama ini mematikan ruang individu, atau ketika space
diperhitungkan secara teknis
dan komersial, ruang-ruang publik menjadi terkoyak-koyak kemapanan dan keharmonisannya, demikian halnya ruang-ruang privat yang direlakan hilang dalam proses itu. Space menjadi potensi, peluang dan sekaligus masalah dalam penataan kawasan. Space masih dikendalikan oleh masyarakat lokal pewaris ruang budaya tradisional, tetapi sekaligus di lepas dengan kekalahan pada desakan kepentingan komersial.
32
2.2.4
Poskolonialitas Realitas sosial-budaya yang ditangkap sebagai poskolonialitas dalam
penelitian
ini, bertolak
dari
adanya
ambivalensi
realitas
dalam
ruang
kesadaran masyarakat lokal kawasan wisata, khususnya desa adat. Kuatnya representasi kawasan wisata yang menguatkan citraan dan dominasi ruang kawasan turistik, menguatkan poskolonialitas kawasan pariwisata. Sehingga dalam
hal
ini, konsep
poskolonialitas digunakan
untuk merekonstruksi
dominasi kawasan pariwisata dalam berbagai aspek, baik aspek politik, ekonomi, dan budaya. Representasi kawasan wisata, menunjukkan dimensi terjadinya dominasi kawasan yang bisa digambarkan secara fisik, citraan dan psikologis. Hall, C. M.& Hazel Tucker dalam “Tourism and Post Colonialism” (2004:1-5), cukup kuat mengawali studi poskolonial dalam realitas kawasan turisme. Melihat Kuta, baik sebagai desa adat dan destinasi wisata, merupakan percampuran ruang budaya tradisional dengan ruang budaya popular-turistik dan kapitalistik yang menutup permukaan ruang budaya tradisional. Di dalamnya terjadi kontestasi simbol kultural dan komersial, konflik ruang kultural dan komersial hingga konflik nilai budaya yang sama-sama kuat, membuka medan kontestasi tanda budaya dan tanda artifisial. Penggambaran realitas sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses dan ‘hal-ihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktek) poskolonial. Adapun lapangan sasaran studi poskolonial yang menukik pada proses dominasi, ambivalensi, ambiguitas,
33
keterpinggiran atau marginalisasi hingga hegemoni yang terjadi. Fenomena tourism atau pariwisata merupakan realitas berjalannya imperium kapitalistik atau imperialism. (Nash: Smith, 1998) Masyarakat Indonesia yang merupakan negara dunia ketiga dan bekas koloni penjajahan Hindia Belanda, tidak bisa lepas dari ingatan, resepsi dan penyembuhan kesadaran-jajahan. Apa yang disebut “kesadaran diskursif” dalam teori strukturasi Giddens, atau doxa dan habitus dalam teori praktik Bourdieu, menyimpan kuat ingatan yang sarat dengan nilai penjajahan, resepsi hidup di daerah koloni, penyembunyian identitas yang tertekan dan ambiguitas dan/atau ambivalensi makna-makna seluruh perikehidupan yang terjajah. Tourism sebagai realita dan fenomena sangat intriguing atau menarik perhatian untuk dikaji dan menurut Hall (2004) studi kritis dalam tourism sangat membantu pemahaman aplikatif-grounded dalam penggunaan teori pos
kolonial, untuk
menembus
bentuk-bentuk
dominasi, place
and
displacement, kematian identitas dalam fenomena poskolonialitas. Demikian juga sebaliknya teori pos kolonial akan menguatkan analisis atau kajian terhadap pariwisata secara menyeluruh dan mendalam. Kajian terhadap tourism
atau
kepariwisataan
dalam
metode
cultural
studies, senantiasa
menyingkap makna-makna dan permainan tanda dalam pariwisata, dan pos kolonial memasang ranah tanda sekaligus emansipasif terhadap makna-makna poskolonial yang ambivalen dan hegemonik. Fenomena pariwisata di dunia ketiga eks-koloni penjajahan, akan membuka munculnya temuan-temuan pos kolonial dan fenomena kekajian budayaan.
34
2.2.6
Politik Identitas Keberadaan ruang budaya direinterpretasi sebagai bagian dari medan
wacana dan kuasa yang memiliki potensi politik dan kekuasaan budaya. Sehingga publik dan pribadi, mereposisi diri dan mempertimbangkan kembali peran-peran negara dan komunitas, ideologi negara dalam desa, nilai budaya dan pandangan desa dalam negara, hingga kekuatan desa adat ‘republik’ otonom masyarakat kultural dalam kancah kehidupan multikultural dan global. Perbedaan geneologi, posisi dan peran masyarakat sebagai subjek ‘mengada’, membuka makna yang labil dan ketidakstabilan posisi dalam formasi politik identitas ke arah politik perbedaan atau politics of difference, politik penamaam atau politics of naming (Lewis, 2002), hingga politik wacana dalam wacana budaya dan wacana nasional. Pembentukan politik identitas dalam ranah kognitif dan kesadaran, dengan
pengaruh
rasionalitas
berpikir
dan
paradigma
kritis, kemudian
melibatkan elit masyarakat dan tokoh intelektual. Hal ini menjadi fenomena subjektifitas yang searah dengan konsep kognitif Habermas (Hardiman, 2002: 176) dalam teori Tindakan Komunikatif atau The Theory of Communicative Action, di mana Habermas menekankan kembali “rasionalitas yang bermakna” melalui
proses
bentukan
kognitif
dan
kesadaran
dari
“rasionalitas
komunikatif” dan “kompetensi komunikatif” yang harus di bangun dan dimiliki dalam ruang kognitif dan kesadarannya (Lubis, 2006: 5-7). Dalam dilema kelas ekonomi dan sosial ini, terkait dengan fenomena masyarakat lokal di kawasan wisata Kuta, politik identitas merupakan
35
konsepsi
atas
keseluruhan
proses
formasi
dan
pembentukan
identitas
masyarakat lokal. Dalam budaya atau praktik kehidupan sehari-hari ini, peran dan fungsi kesadaran, wacana, habitus, dan praksis menentukan setiap langkah dalam formasi identitas. Politik identitas sangat jelas direpresentasikan dengan keterlibatan elit-elit masyarakat, dengan adanya kekuatan dan peran organisasi dan lembaga, pengaruh fungsi ideologi dan kekuatan
wacana, hingga
fungsi simbol dan atribut budaya sebagai elemen
intrinsik
sekaligus penguat geneologi identitas. Kesadaran akan posisi dan peranan sebagai masyarakat lokal dalam kawasan pariwisata, mendorong munculnya kegelisahan akan dominasi ruang turistik komersial kapitalistik terhadap ruang budaya desa adat yang disebut dengan karang desa. Formasi identitas Kuta yang progresif secara individual dan kolektif, dipengaruhi oleh naturalisasi primordialisme tokoh elit desa yang mapan secara ekonomi. Pengendapan makna dalam refleksi atas semua resistensi dan konflik yang pernah terjadi, mendisposisikan urgensi untuk membangun kekuatan agensi budaya desa adat dengan seluruh ruang dan elemen desa adat. Ideologi identitas Kuta membangun strategi dan unifikasi ideologis dalam representaasi politik identitas. Kesadaran kultural dan nalar awam tokoh elit menyebut politik identitas sebagai ’politik budaya’. Praktik politik lokal ini memosisikan, konflik dan resistensi
berbagai resistensi dalam
dalam
formasi
representasi budaya
identitas, resistensi
dalam
relasi
pariwisata, politik
dan
kekuasaan, pengetahuan sebagai wujud resistensi, sebagai jejak pembentukan
36
ideologi identitas dan strategi politis. Adanya tantangan dan ancaman, mendorong pembentukan
identitas
kearah
formasi politik
dan doktrin
pembinaan relasi kekuasaan (bersama) keluarga, kerabat, kelompok atau organisasi, seperti penguatan wacana lembaga banjar dan desa adat di Bali. Politik identitas masyarakat lokal dalam konteks ini, merupakan representasi identitas dalam politik representasi budaya, sebagai reaksi atas representasi turistik kawasan wisata, representasi komersial dan kapitalistik industri pariwisata, dan posrepresentasi budaya pariwisata global dalam media
‘maya’
identitas
teknologi
informasi.
Sehingga
seperti disebutkan, politik
yang terjadi, searah dengan gerakan
kiri baru dan gerakan
intelektual kritis dalam menyikapi bentuk-bentuk (pos)representasi turistik pariwisata, representasi komersial dan kapitalistik kawasan wisata yang meniadakan
kelas
sosial
masyarakat
lokal, hingga
alienasi
keberadaan
identitas budaya indigenous people atau penduduk asli. Penduduk di luar agama Hindu dan Islam pun tidak mau kalah langkah dalam formasi identitas mereka dengan turut mengusung nilai ‘kebhinekaan’ dalam Pancasila sebagai ideologi negara dan pijakan konsep masyarakat multikultural bagi kaum intelektual dan tokoh-tokoh mereka. Sehingga representasi sekaligus resistensi budaya kawasan turistik ini, merupakan representasi atas representasi masyarakat lokal, representasi desa adat, dan representasi identitas budaya dalam representasi diri atau pribadi masing-masing individu. Bisa diasumsikan bahwa kearifan-multikultural akan mendapatkan energinya dalam self-representation atau representasi diri dalam
37
ruang privat, yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus, dalam konteks agama, etnis, kepentingan, dan opini.
2.2.3
Desa Adat Pemahaman tentang indigenous people di Bali, mengharuskan untuk
melihat desa-desa adat di Bali. Keberadaan desa adat di Bali sudah dipelajari oleh Liefrinct mulai tahun 1878 mulai dari desa-desa tua di Bali utara. Ketika itu di Bali, berlaku penyebutan desa adat yang berasal dari istilah karaman atau pakaraman (Parimartha, 2003: 1-10). desa adat sebagai identitas awal desa adat di Bali, diangkat dan ditetapkan kembali, hingga pemerintah Provinsi Bali pun mengakomodir dengan Perda. No. 3 Tahun 2001 tentang desa adat. Istilah desa adat secara etimilogis berarti desa tempat hidupnya komunitas adat yang disebut karaman atau krama. Sejak awal Keberadaannya, Krama memiliki dasar identitas kolektif dan ikatan adat-istiadat yang kuat. Pada awalnya pekraman atau pakaraman (Parimartha, 2004) berawal dari titik nol catus pata atau perempatan desa, balai agung dan pura desa. Pada mulanya, ruang pertama ini disebut pekraman. Pura Desa identik dengan desa adat, sebagai tempat bermusyawarah, mengadakan upacaraupacara besar dan ditempatkannya semua pratima dan pelawatan di Balai Agung pada rangkaian Hari Raya Nyepi setiap tahun atau pada rangkaian upacara besar Ngusaba Desa yang dilaksanakan setiap 35 tahun hingga 50 tahun sekali. Pekraman pada masa itu, diartikan secara praktis dengan
38
upakaramaan yaitu ruang yang paling sering digunakan dan mendapatkan upakara atau sesajian dan ritual. Sehingga dalam perkembangan kulturalnya pada zaman kerajaan, elemen desa adat terdiri dari: (1) Ulu atau kepalanya adalah pura khayangan tiga, (2) Jantungnya adalah prajuru desa atau perangkat pengurus desa adat, (3) Nafasnya adalah kehidupan pekraman, (4) Badanya adalah karang desa. Kata desa adat digunakan untuk penyesuaian regulasi pemerintahan, Kemudian searah dengan berkembangnya wacana pemurnian tradisi dan nilai budaya dalam desa adat, identitas desa adat pun dikembalikan ke nama desa adat. Setelah lahirnya perda desa adat, sebagai aktualisasi identitas budaya, nilai lokal dan budaya, desa adat ditetapkan kembali sebagai nama, penanda dan tatanan budaya, nilai dan adat-istiadat di masing-masing desa. Dikotomi desa dinas atau kelurahan dengan desa adat atau desa adat, pernah menjadi masalah hegemoni dinas dan pemerintah daerah untuk mempersempit ruang gerak dan peran desa adat dalam wilayahnya yang disebut karang desa. Satu desa dinas bisa terdiri atas satu desa adat secara utuh, satu desa dinas bisa terdiri atas dua hingga empat desa adat, atau sebaliknya satu wilayah desa adat bisa terdiri atas dua desa dinas dan wilayah atau keterikatan adat-istiadat satu desa adat terhadap krama atau komunitas dan individunya, bisa melewati wilayah desa dinas dan desa adat lainnya. Beberapa
kabupaten
tetap
bertahan
untuk
menggunakan
nama
identitas sebagaimana halnya sebelum perda bersangkutan lahir, merupakan sebuah politik budaya yang melewati penanda, simbol dan makna identita
39
desa
adat.
‘Pematokan’
ruang
desa
adat
seperti
sedia
kala
dengan
kelembagaan, tradisi, aturan tak tertulis ‘awig-awig’, perangkat organisasi hingga
hak dan kewajiban seluruh warga desa adat maupun warga
pendatang, dipertahankan untuk menahan perubahan besar pada tata ruang, tempat tinggal, alih fungsi lahan dan kepemilikannya. Desa Adat Kuta sama halnya dengan desa-desa adat se-Kabupaten Badung, tetap menggunakan nama desa adat.
2.3 Landasan Teori Pendekatan multidisipliner dalam multiparadigma cultural studies untuk melihat fungsi dan urgensi penggunaan teori dari keunggulannya, dalam melihat dan membedah objek permasalahan, menjadi cirikhas eklektisitas metode cultural studies dan poskolonial. Dalam hal ini, penempatan teori tindakan komunikatif, strukturasi dan kebijakan publik dalam kebutuhan untuk pisau analisis, masih bernuansa tradisional dan modern, terkait pada masalah fungsi kesadaran atau consciousness, bahkan falseconsciousness dalam transisi budaya atau transformasi masyarakat Indonesia, disamping untuk menyesuaikan tradisi dan nilai budaya tradisional yang sedang menempuh perubahan transformatif dan revolusioner. Permasalahan
pariwisata
sebagai
industri
modern
yang
masih
memegang dan menguatkan nilai budaya tradisional, tentu akan menguatkan representasi tradisional atas masyarakat di dalamnya sebagai objek dan pelayan atau host. Konteks-konteks sosial dan budaya hidup sehari-hari,
40
dengan
tekanan
metphora
dan
diskursus, menarik
alur
analisis
pada
penerapan teori-tepri kajian budaya dan Teori Poskolonial. Pluralitas makna dalam konstruksi-konstruksi sosial dan fenomena yang sedang dihadapi, membutuhkan acuan interdisipliner khususnya dalam kajian kebijakan secara interpretif, diskursif dan teknis. Tekanan politik intelektual cultural studies yang emansipatif dan tidak bebas nilai, memprasyaratkan kearifan ontologis untuk tidak memperkosa subjek, hingga akhirnya harus memasang konstruk teori-teori secara multiteori dan eklektis.
2.3.1 Teori Tindakan Komunikatif Habermas
mengemukakan
Teori
Tindakan
Komunikatif
dengan
tekanan pada kesadaran subjek dan kompetensi komunikatif, yang jelas-jelas akan membawa mainstream kajian pada bagaimana berfungsinya kapasitas kognitif manusia yang harus berperan sebagai subjek nantinya sampai pada penyikapan.
Satu
versi teori kritis Habermas(Agger, 2003: 189)
yang
melewati batas teori-teori lain dari Mashab Frankfurt asli, yang belum membedakan kerangka filsafat Yunani, Idealisme Jerman dan bahkan konsep Marx tentang hubungan subjek(orang) dengan objek (orang lain dan alam). Habermas
mengemukakan
perubahan
dari
“paradigma
kesadaran”, yang
menyetujui dualitas barat atas subjek dan objek, ke “paradigma komunikasi”. Paradigma komunikasi ini mengkonseptualisasikan pengetahuan dan praktik sosial bukan dalam hal dualitas antara subjek dan objek, tetapi
melalui
rekonseptualisasi
Subjek
subjek
sebagai
intersubjektif
yang
inheren.
41
intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi komunikasi, bukan hanya kapasitas kerja. Teori Tindakan Komunikatif yang dikemukakan oleh Habermas, secara komprehensif memperkenalkan pijakan dasar eklektisisme aplikasi teori-teori sosial yang harus bisa menangkap dan membedah permasalahan secara kritis, reflektif, grounded dan emansipatoris. Berangkat dari Teori Kritis, Habermas menyadari masih tersisanya ruang dan fenomena yang belum bisa diselesaikan oleh Teori Kritis. Fenomena modernitas yang dilihat secara emik belum bisa dimengerti dan diikuti oleh masyarakat dan individu-individu
yang
diharapkan
mampu
sebagai
subjek
didalamnya.
Sehingga dikatakan Modernisasi belum selesai. Dalam usaha perjuangan emansipatoris, Habermas mengkonstruksi ulang Teori Tindakan, Fenomenologi, dan Hermeneutika, menjadi Teori Tindakan Komunikatif. Teori Kritis baik sebagai teori maupun sebagai filsafat dan mainstream studi kognitif dan kesadaran, dilibatkan didalamnya, dengan menilik kembali “rasionalitas” yang banyak menuai kritikan, terlebih lagi penolakan Lyotard (Lubis, 2006: 221) terhadap “rasionalitas universal” yang justru menutup pemikiran kritis, bahkan disensus dan ketidaksepakatan radikal yang tidak bisa dipungkiri adanya.
Dengan
Teori
Tindakan
Komunikatif
atau
The
Theory
of
Communicative Action, Habermas menekankan kembali “rasionalitas yang bermakna” melalui proses bentukan kognitif dan kesadaran dari “rasionalitas komunikatif” dan “kompetensi komunikatif” (Habermas dalam Hardiman, 2002: 176 dan Lubis, 2006).
42
Teori Tindakan Komunikatif sebagai rekonstruksi dan sintesa dari Fenomenologi, Teori
Komunikasi, Teori
mensyaratkan
eklektisisme
subjek-subjek
yang
dan
emansipasi
terpinggirkan, tertindas
Tindakan, dan
Hermeneutika
perjuangan
intelektual
bagi
dan
berdaya’
tanpa
‘tak
kompetensi komunikasi. Posisi subjek harus lebih mendapatkan perhatian dalam masalah kapitalisme akhir, Kata Habermas (Agger, 2003) di mana sistem ‘menjajah’ dunia kehidupan berjalan sedemikian rupa, sehingga orang terhambat
untuk
mengembangkan
makna
budaya
bersama
komunitas
berdasarkan pengalaman hidup sehari-sehari dan bahasa. Upaya perjuangan membangun
kapasitas
komunikatif
masyarakat
untuk
mengikuti
atau
menggelar diskusi rasional yang merupakan dasar demokrasi. Upaya-upaya ini
dapat
muncul
sebagai
satu
gerakan
sosial
baru, termasuk
environmentalisme, feminisme dan pascakolonialisme, berdasarkan prinsif etis komunikasi rasional yang tak terdistorsi untuk membangun ‘subjek-kolektif’ transformatif.
2.3.2 Teori Strukturasi Dengan teori strukturasi, Giddens menyerang atau mengkritisi sistem melalui fungsi-fungsi struktur dan aktor di dalamnya (Capra, 2004: 16), dia memastikan kemampuan individu untuk berperan dalam masyarakat atau komunitas budayanya, yang masih kuat dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat yang membentuk paham strukturalisme sosial dan budaya dalam praktik sosial dan budaya dalam kehidupannya sehari-hari. Paradigma atau
43
asumsi-asumsi dasar teori strukturasi, melihat posisi dan peran manusia di dalam struktur dilihat dari kemampuan manusia sebagai aktor hingga kemampuan agensinya di dalam dan/atau terhadap struktur tersebut. Giddens (1990: 5) berangkat dari teori subjek atau theory of the subject (Giddens, 1986: 22-38), memandang posisi dan peran manusia di dalam struktur, bersyarat dan bertolak dari kemampuan agensinya, di mana tindakan sosial adalah hasil bentukan struktur, demikian juga struktur sendiri merupakan bentukan agen. Di sini terlihat letak adanya dualitas struktur, yaitu struktur merupakan medium dan agensi sekaligus pada saat yang sama merupakan outcome agensi. Teori strukturasi menekankan beberapa hal pada hubungan manusia dengan struktur atau agency and structure, dan pertimbangan ruang dan waktu dalam perubahan sosial atau konsep time, space and sosial change. Pertama, hubungan pelaku (agency) dan struktur merupakan dualitas dan bukan dualisme, yaitu adanya hubungan dualitas-timbal balik agen dan struktur, didalamnya terdapat hubungan tindakan aktor dan struktur yang saling mengandaikan dan mempengaruhi. Kedua, sentralitas pengaruh ruang dan waktu, di mana ruang (space) dan waktu (time) bukan arena tindakan melainkan unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian masyarakat, hingga perubahan sosial yang terjadi. Sehingga space, time and sosial change
dinyatakan
berbengaruh
secara
menyeluruh
terhadap
segala
perubahan dan keberlanjutan, kemampuan actor hingga reproduksi struktur
44
dan sosialisasi agensi dengan pertimbangan ideologi dan kesadaran (Giddens, 1989: 49, 98, 167, 198-201). Dalam konteks nilai budaya Bali di Kuta, konfirmasi di mana dan kapan manusia ‘ada’ melakukan sesuatu, menemui ‘bilamana’ manusia bertindak, dalam nilai desa, kala, patra, yaitu; ruang, waktu, dan kondisi. Jadi konsep-teori Giddens dalam
konteks ruang dan waktu
mempengaruhi
tindakan aktor dan/atau agen dalam mencapai tujuannya, akan menemui prakondisi dan kondisi ‘bilamana’ manusia bertindak. Kondisi bertalian dengan
syarat
dan
situasi
dalam
pertimbangan
nilai
kultural, yang
menyebabkan selalu adanya pergeseran, transisi, dan pertimbangan ‘tawarmenawar’ posisi ruang dan waktu dalam kearifan budaya tradisional dan budaya modern. Sehingga searah dengan perkembangan teorinya (Giddens, 2004: 56, 80), Giddens menyatakan bahwa aktifitas manusia bersifat rekursif, yaitu aktifitas
yang
dilakukannya
tidak
selalu
terbawa
dalam
arus
setting
lingkungan sosialnya, tetapi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan secara terus menerus dan dibentuk kembali dalam/oleh aktifitas manusia melalui
pengertian
yang
kemudian
diekspresikan
sendiri
oleh
agen.
Dijelaskannya, bagaimana berpartisipasi atau bagaimana bertindak dalam konteks kehidupan sosial, mencakup bagaimana mematuhi aturan(rule) dalam struktur sosial. Sehingga peraturan merupakan haluan dalam media(struktur) sekaligus tolak-ukur dan stimulator dilakukannya berbagai tindakan dan praktek sosial. Sehingga menguatkan asumsi atas hubungan dan saling
45
ketergantungan antara struktur dan aktor/individu, struktur dengan tindakan dan agensi, di mana struktur memungkinkan adanya tindakan, sebagai media dan pada saat yang sama struktur merupakan outcome reproduksi tindakan (Giddens, 1989:
96-112), demikian
halnya
berlanjut
pada
praktek
dan
aktifitas sosial di mana aturan (rule) sebagai alat dan bahkan struktur sendiri menjadi sarana dilakukannya aktifitas sosial.
2.3.3 Teori Praktik Bourdieu (Ritzer & Goodman, 2003: 518) sebagai seorang sosiolog posmodernis-konstruktivis-kontemporer, menggunakan
pendekatan
yang
inovatif dengan model kajian yang transdisipliner.
Ia menggabungkan
konsep-konsep sosiologi, linguistik, dan filsafat dari Bachelar, Weber, Marx, Mauss, dan Durkheim, menjadi proyek intelektual yang kreatif dan produktif menurut Bourdieu (Lubis, 2006: 58, 163-164). Pendekatan Bourdieu ini disebut sebagai sosiologi refleksif, untuk menunjukkan bahwa teorinya bukan hanya merefleksikan masyarakat, akan tetapi juga
status obyektif dan status
subyektif dalam suatu kerangka diskursif dan sosial. Dengan
pendekatan-pendekatan
dan
konsep
yang
transdisipliner
tersebut, teori dan metode Bourdieu disebut beraliran konstruktivisme genetis, yaitu adanya pertimbangan historis dan ruang sosial pada kerja struktur mental individu (Ritzer & Goodman, 2003:518-520) dan
karena
sifatnya
kritis,
metodenya sering disebut Sosiologi Kritis. Peta gagasan-pemikiran Bourdieu ini mewariskan konsep-konsep penting yang sering dipinjam dalam tradisi
46
ilmu-ilmu sosial hingga cultural studies, seperti: habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbolik, dan modal budaya yang kemudian mempengaruhi teori sumberdaya
dan
komoditas.
Dalam
pertalian
konsep-konsep
tersebut,
Bourdieu menawarkan formulasi-generatif (Harker, et al , 2005: xxi, 9-22) dengan rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini digunakan untuk menyingkap intensitas dan orientasi individu untuk melakukan praktikpraktik sosial. Rumus ini menggantikan relasi sederhana antara individu dan struktur melalui relasi habitus, modal dan ranah. Dengan Sosiologi refleksif, Piere Felix Bourdieu (Ritzer & Goodman, 2003, 518-520) menawarkan sebuah pendekatan untuk memahami praktek intelektual pada sosiologi, ilmu alam, dan pendidikan. Sasaran epistemik bagi peneliti, menurut Bourdieu (Lubis, 2006: 163-164) adalah untuk menggali ‘ketidaksadaran epistemologi dari disiplin ilmunya’ masing-masing. Sasaran utamanya adalah: (1) menggali ketidaksadaran intelektual dan sosial yang tertanam dalam perangkat dan cara kerja analitik, (2) memastikan adanya tindakan
dan
tanggung
jawab
kolektif
atau
individual, jadi
tekanan
refleksivitas bukan untuk melemahkan, tetapi untuk memperkuat epistemologi suatu disiplin ilmu Relasi
kesadaran, bahasa
dalam
komunikasi, persepsi
hingga
penyusupan ideologi kepentingan untuk melakukan tindakan, menunjukkan urgensi penggunaan teori praktis dengan konsep-konsep budaya hidup sehari-hari yang sangat dekat dengan paradigma kajian budaya. Untuk meneliksik tindakan dan ideologi, Bourdieu mengemukakan konsep habitus,
47
doxa dan disposisi yang selalu berhubungan erat dengan referensi dan inferensi individu di dalam otak atau perangkat berpikir dalam ruangkognitifnya.
Sehingga
ideologi
pun
digantikan
dengan
doxa, untuk
menghindari bias ide, distorsi dan ketidaksadaran. Inilah yang menjadi titiktitik perhatian dan acuan dalam diagnose Bourdieu untuk membedah praktik dan budaya
manusia
sehari-hari.
Berangkat dari asumsi-asumsi dalam
sosiologi pendidikan (Ritzer&Goodman, 2004:518-520, 534) yang merupakan bidang awal dan permanennya, hingga
sekarang dia
disebut beraliran
Sosiologi refleksif-kritis-konstruktivis-posmodern-kontemporer (Lubis, 2006). Bourdieu menekankan praktik sebagai konsep dan teori untuk menengahi silang paradigma positivisme dan verstehen atau fenomenologis. Paradigma teori praksis melihat kebudayaan dari sudut pandang konstruktivisme yang diartikan secara umum sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dengan memperhatikan perilaku-perilaku tertentu mereka di Balik aktifitas dan peran individu bersangkutan. Dalam An Outline of a Theory of Practice (Harker, 2005: 24), disebutkan prinsipprinsip dasar teori praksis yaitu: (a) perubahan selalu tersirat dalam proses sosial, tidak ada sistem sosial yang statis; (b) satuan analisa pendekatan menekankan hubungan dialektis antara praktek-praktek sosial para individu dan struktur obyektif masyarakat manusia; (c) tindakan sosial adalah perwujudan dari nilai-nilai budaya (satu arah) yang jadi pedoman bagi pelaku. Praxis bukan hanya nilai-nilai budaya tetapi
juga berbagai
kepentingan pribadi sehingga dapat mengubah sistem kebudayaan yang
48
bersangkutan; (d) practice berkaitan dengan maksud, intensitas dan orientasi pelaku, apa yang mendorong pelaku untuk melakukan praktik tertentu adalah apa yang menurut pelaku dianggap pantas atau appropriate dan bernilai secara budaya yang sedang berlaku dan sesuai ukuran pribadi. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranahsenantiasa menjadi titik perhatian karena adanya pengaruh doxa dan disposisi untuk menentukan habitus untuk bertindak dalam praktik. Referensi yang tersimpan pun disesuaikan dengan inferensi yang dimiliki untuk mempertimbangkan disposisi yang dipengaruhi oleh doxa. Sehingga habitus menjadi demikian kuatnya mempengaruhi praktis dan tindakan seseorang dalam habitat atau lapangan yang berbeda pula. Terbentuk dan tersimpannya habitus sangat dipengaruhi oleh habitat dalam proses historis di lingkungan atau komunitasnya (Harker, 2005: 80-87)
2.3.4 Teori Posstruktural Konsep kunci cultural studies, bila dilihat dari konsepsi Barker (2004), Lubis (2006) menakar dan meneliksik makna pada sudut-sudut ruang dan sisi-sisi terpinggir ranah kehidupan dengan budaya kesehariannya. Dalam kaitan tulisan ini, digunakan konsep-konsep kunci Dominasi, Hegemony, Theothers, Articulation, Resistensi, Representasi, Posrepresentasi, Poskolonial, Politics of Identity, Space, place and displacement, dan Counter Hegemony
49
yang harus menggandeng posmodernisme dan posstrukturalisme. Sehingga Cultural Studies yang diterjemahkan secara halus dengan Kajian Budaya, dalam
tulisan
ini, digunakan
secara
konseptual
dan
teoritis
dalam
penyingkapan makna-makna fenomenal masyarakat adat dalam ruang budaya di
mana
mereka
sudah
lama
hidup
kultural, kemudian
menghadapai
perkembangan industri keramahtamahan, akomodasi dan wisata yang tumbuh semakin progresif dan kapitalistik sebagai kawasan industri pariwisata. Piliang (2005: 1-13) menyatakan bahwa cultural studies sebagai idepemikiran yang terus berkembang, melalaui proses histories, dipengaruhi dan dibangun oleh dua ‘semangat jaman’ (zeitgeist) yaitu modernisme dan posmodernisme. Pada fase cultural studies modern,
isyu sentral yang
diangkat tentang budaya populer, budaya massa, industrialisasi, komodifikasi, media massa, struktur
budaya, kode
budaya, ideology, subyek, hegemoni,
resistensi, dan lain-lain. Pada fase postmodern, isyu-isyu yang diangkat bergeser ke arah isyu yang menjadi subject matter gerakan posmodernisme sendiri:
yaitu
permainan
isyu-isyu
bebas
tentang
genesis, perubahan, produktifitas
tanda, ekonomi
libido, mesin
tanda,
hasrat, ketaksadaran,
heterogenitas, skizofrenia, nomadis, simulasi, hiperrealitas, geneologi atau relasi pengetahuan dan kekuasaan, pengetahuan lokal dan etnisitas. Para pemikirnya adalah Foucault, Deleuze, Guattari, Lyotard dan Baudrillard, yang banyak dipengaruhi oleh kelompok posstrukturalis seperti Derrida, Barthes dan Kristeva. Dua fase cultural studies dengan isyu-isyu dan subject matter-nya tersebut, sangat dekat dengan fenomena sosial di Kuta sebagai kawasan
50
industri
pariwisata
dengan
berbagai
gejala
turistifikasi, komodifikasi,
pencitraan, simulasi dan hiperrealitas mitos dan budaya pariwisata yang menyatu dengan atmosfir kawasan turistik internasional. Posstrukturalisme menantang paham modernitas, di mana ‘logos’ bagi post-strukturalis tidak lebih dari justifikasi dan legitimasi hasrat ‘kehendak untuk berkuasa’ yang tidak disadari, sehingga standar-logos menjadi absurd. Demikian juga dalam paham modernitas, memandang kekuasaan terstruktur dan tertutup, kekuasaan yang memusat memiliki otoritas sebagai standartkebenaran, legitimasi kebenaran atau kebenaran kekuasaan. Dalam wacana pengetahuan/kekuasaan menurut Foucoult (Barker, 2004: 82-82), menyatakan bahwa kekuasaan bersifat menyebar dalam jaring-jaring relasi sosial yang saling ketergantungan yang kompleks dan kontekstual, bukan terstruktur rapi secara hirarkis sehingga diperlukan standart-nilai yang bersifat pluralistikkontekstual, bukan standart nilai universal yang bersumber pada pemikiran. Ideologi dalam hal ini disebut dengan diskursus oleh Foucoult, karena lahir dan bergerak sangat cepat dan mencair ketika menemukan kembali mediamedia diskursif atau bahasa. Dalam ranah wacana yang melibatkan tanda dan reproduksi makna dalam permainan bahasa sebagai istilah Witgenstein dan Derrida (Barker, 2004:90-93) secara
konseptual
merayakan
kehadiran
perbedaan
atau
difference. Perbedaan sama pentingnya dengan persamaan atau kemiripan sehingga disinilah pengetahuan lokal atau pluralitas mendapatkan advokasi pemaknaan sosial. Perbedaan bagi Derrida justru tampil amat obyektif
51
sehingga nilai standart dan standart kebenaran menjadi sesuatu yang bersifat relatif
(Vattimo, 2003:29, 217, 219). Kepercayaan
akan adanya
kebenaran yang obyektif dan universal terlepas dari konteks dan motif-motif kekuasaan mulai diragukan. Bahkan bahasa dalam pandangan Derrida sarat akan permainan dan ‘kelihaian’ bahasa dalam penandaan dan reproduksi ungkapan dengan makna-makna politis, emotif, persuasif atau provokatif. Sehingga tepat bila dikatakan bahasa memiliki posisi labil dalam produksi makna dan bukanlah ‘cermin’ utuh di mana bisa dilihat adanya keterkaitan representasional dengan realitas dunia, tetapi senantiasa
berkembang
dalam
proses
‘cermin retak’ di mana makna
reproduksi
makna, petanda
yang
bertambah jumlahnya dari satu penanda, atau hilangnya penanda. Maknamakna tersembunyi akan semakin banyak, baik makna tertunda, makna labil atau lenyapnya makna asali dalam konsep ambivalensi poskolonial. Sehingga harus mencetuskan penundaan atas perbedaan dengan DifferEnce/DifferAnce atau perbedaan/penundaan terhadap makna tertunda/tersembunyi yang disebut dengan ‘metafisika kehadiran’ oleh Heidegger, tercermin dalam teks sebagai jejak logika ‘adalah, jika’ (as/if). Signifikasi dalam wacana, ketika tanda lahir baik dalam bahasa tulis atau lisan, ‘peristiwa’ yang mendahuluinya sudah mati atau hilang, ‘situasi’ bahasa dan ‘kehadiran’ pun bisa dihilangkan dengan dimatikannya ‘peristiwa’ terlebih dalam realita komunikasi-maya global yang sesungguhnya merupakan hiperrealitas yang jauh dari realita sebenarnya. Dalam fenomena post-strukturalitas, sangat dibutuhkan metode
52
dan strategi dekonstruktif untuk menelusuri jejak atau trace peristiwa di mana digunakannya teks, baik dalam tindakan komunikatif lisan atau tertulis.
2.3.5 Teori Poskolonial Studi Poskolonial menguatkan metode cultural studies sebagai politik intelektual, yang mengarahkan pada pengembangan kerangka dan peta pikir yang lebih luas dan membumi. Arah dan perkembangan studi poskolonial di Indonesia, menurut Budianta, seperti dipetik oleh Susanto (2003: 270) dalam buku “Politik dan Poskolonialitas di Indonesia”, melihat adanya idealisasi wacana poskolonialisme dalam studi komunitas-komunitas lokal atau indigenous community di tanah air, ketika secara sadar menemukan berbagai budaya dan identitas mereka memiliki lembaga, bahasa, nilai, tradisi atau adat dalam praktis kehidupan sehari-hari. Penggambaran realitas sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses dan ‘hal-ihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktik) poskolonial. Adapun lapangan sasaran studi poskolonial, menukik pada proses dominasi, ambivalensi, ambiguitas, keterpinggiran atau marginalisasi hingga hegemoni budaya dan kekuasaan dalam wacana atau representasi pihak luar atau penguasa terhadap komunitas. Poskolonialitas akan menyambung fenomena imperialisme dan neo kolonialisme sebagai subjectmatter dan sasaran politik identitas sebagai konsep, teori dan perjuangan dalam cultural studies. Indigenisasi metodologis yang sedang hangat-hangatnya diwacanakan menjadi
53
agenda
permanen
intelektual-poskolonial
untuk
melawan
praktik-praktik
positivisme logis, menisbikan representasi ‘barat dan timur’ yang relevan dan searah dengan aktualisasi cultural studies sebagai gerakan emansipatorispolitis intelektual, pembelaan terhadap subaltern dan the others. Michel Foucault (Lubis, 2006: 224-227) menyingkap secara terbuka bahwa
pemikiran
barat
yang
selalu
mendengung-dengungkan
ilmu
pengetahuan murni dan bebas dari nilai dan pengaruh kekuasaan adalah suatu kebohongan besar. Foucault dan Derrida menganjurkan agar pemikir barat menganalisis ulang dan mereinterpretasi pemikiran
yang mereka
hasilkan atau ilmu pengetahuan barat sebenarnya melahirkan pemahaman spesifik atas dominasi barat, dominasi kuasa dan pengetahuan barat. Teori pascakolonial sering disebut kritik pascakolonial (post-colonial criticism) atau kajian wacana kolonial (colonial discourse) yang berkembang di dunia ilmiah setelah kemerdekaan India tahun 1947 dan juga sebagai reorientasi gerakan kiri di dunia ketiga. Buku Frantz Fanon “The Wrecthed ot The Earth” (1961), dijadikan sebagai sumber utama inspirasi teori kritik pascakolonial. Fanon, dalam bukunya, menyerang pembedaan keturunan kulit hitam Afrika dengan kulit putih, sebagai wajah dari rasialisasi dan dinamika kolonialisme
dan
merupakan
politik
metafisika
(Selden:
Lubis, 2006)
Serangan Thomas Kuhn, Polanyi, Habermas dan Foucault terhadap paradigma positivisme, khususnya terhadap prinsip bebas nilai dan universalitas ilmu sosial-budaya, juga
menjadi
landasan
poskolonialisme
yang
sama-sama
membongkar rasionalisme barat. Derrida dan Foucault menyebut rasionalitas
54
barat yang begitu terstruktur adalah rasionalitas rasis dan imperialis. Jelas mereka
berdua
menentang
keras kebenaran universal kebudayaan dan
epistemologi barat. Pemikiran Derrida dan Foucault menjadi sumber energi bagi teori poskolonial dalam merumuskan gagasan-gagasannya.(Lubis, 2006: 220) Hall, C.
Michael & Hazel Tucker
dalam
“Tourism
and
Post
Colonialism” (2004: 1-5), dengan asumsi bahwa poskolonial lahir untuk menandai tantangan, yang awalnya berupa tantangan sastra terhadap pusat kekuasaan atau literary challenges to the hegemonic power of the centre, yang tentu saja bukan merupakan fenomena baru pada saat ini. Konsep poskolonialisme pada tahun 1990-an sudah banyak menyebarkan teorisasi budaya, yang kemudian semakin meningkat mempengaruhi para intelektual yang
berkecimpung
pada
lapangan
studi pariwisata.
di
negara-negara
berkembang, untuk memperhatikan identitas dan representasi, konstruk teori terhadap lingkungan, sangat kuat mengarahkan referensi pada diskursus poskolonial. Adapun tujuan dan sasaran Hall dan Tucker dalam buku itu, untuk menguji beberapa jenis alat analisis dalam studi poskolonial yang bisa memberikan distribusi metode dan kritik pada studi pariwisata.
2.3.6 Teori Kebijakan Publik Kebijakan sebagai bagian permasalahan dan subject matter yang sangat signifikan dalam tulisan ini, terkait bagaimana pariwisata ‘mengada’ dalam ruang budaya tradisional, dan bagaimana masyarakat lokal ‘mengada’ dalam ruang kawasan industri pariwisata, menempatkan kebijakan sebagai
55
masalah krusial dalam penelitian ini. Dalam kerangka teori eklektis kajian budaya, untuk mempertemukan dan menginvestigasi isyu-isyu pariwisata yang terkait dengan sirkulasi kekuasaan dan reproduksi wacana dan relasi kuasa politik
kebijakan
bagaimana
pariwisata
atau
sebuah
kawasan
wisata
dikembangkan. Terbukanya realitas ini, membuka jalan untuk investigasi terhadap
berkembangnya
gejala-gejala
adanya
hegemoni, dominasi,
marginalisasi, permainan bebas tanda komersial, komodifikasi, simulasi dan fenomena lainnya yang menguatkan isyu dan fenomena poskolonialitas yang sedang dihadapi. Penempatan Teori Kebijakan Publik, sangatlah strategis untuk menggambarkan dan membedah sirkulasi kekuatan sektor pariwisata di kawasan wisata Kuta, serta untuk menetralisir kekuatan wacana dan kekuasaan pemerintah dan pengusaha di Balik kehidupan kawasan wisata, di atas posisi diam dan commonsense masyarakat lokal khususnya desa adat. Wayne Parson (2001) dalam bukunya “Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis”, atau dalam terjemahan Kencana Prenada Media (2005) “Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan”, berangkat dari dan/atau menuju konsep dan kerangka kerja
‘kajian analisis kebijakan’
filosofis, sosiologis, politis, dan
dengan landasan dan latar belakang
ekonomi
di
Balik
perkembangan
teori
kebijakan publik. Konteks dan diskursus, wacana dan isyu, respon, apresiasi, dan tindakan, mendapatkan perhatian krusial bagi Parson (2001: 70-75) untuk mengkaji analisis kebijakan.
56
Dengan rekomendasi dan rujukan pada konsep-konsep diskursus Habermas dan Foucoult, yang menunjukkan multiparadigma dan sikap akademis yang kritis, berangkat dari wacana Thomas Kuhn tentang kritik terhadap positivisme yang tidak memahami fakta sebagai bentuk-bentuk nilai, Parson berasumsi bahwa kebijakan publik untuk khalayak dalam ruang publik, harus melibatkan publik atau masyarakat dari pembuatan kebijakan hingga evaluasi implementasi dan dampak kebijakan tersebut. Karena dalam posisi dan peran strategis seperti itu, masyarakat benar-benar menempati posisi dan peran sebagai subjek dan bersama-sama dengan pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang menyangkut kehidupan dan masa depannya. Parson (2005: 1-4) menyebut ide “kebijakan publik” dan menelaah arti dari gagasan tentang ruang publik (public sphere) dan privat yang senantiasa berubah itu senantiasa membentuk suatu kebijakan publik. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Cultural policy atau kebijakan budaya dalam konsep cultural studies (Lewis, 2002: 217) menekankan dan memproyeksikan future culture dalam menakar pemetaan budaya masa depan, yang dipandang krusial sebagai salah satu agenda politik cultural studies oleh Lewis (2003: 217) dengan menyasar pada kebijakan yang berfungsi mekanis dan strategis melintasi domain politik kebudayaan. Sustainability dalam kebijakan pembangunan pariwisata, tidak sebatas sustainable community, economy, politic, culture and
57
environment, tetapi
keberlanjutan dari buah pemikiran bersama antara
pemerintah, masyarakat dan pengusaha sebagai stakeholder pembangunan. Hal ini searah dengan konsep Nicanor Perlas (2001: 197) dalam kerangka three folding of society dan tiga pilar pembangunan (Mudana, 2005) yang ideal dalam kehidupan global. Konsep
Tiga
Pilar
(negara, masyrakat
dan
pengusaha)
yang
dikemukakan oleh Perlas, sering tidak berjalan dan berfungsi dalam realitas sesungguhnya. Hal ini terkait dengan postulat Althusser (2004, 18-27) tentang Ideological State Appratus (ISA) dan Represive State Apparatus (RSA), di mana pemerintah dalam konteks pengendalian kawasan Kuta, merupakan
simbol
negara, dari
kelurahan
hingga
kabupaten, sehingga
senantiasa ada jarak antara masyarakat dan pemerintah, hingga lahirnya keputusan-keputusan
politis
individu
pejabat
penentu
kebijakan
selaku
stakeholder kunci.
2.4 Model Penelitian Penelitian
kualitatif
dengan
metode
kajian
budaya
ini
akan
menyingkap makna-makna cultural studies dalam eksplorasi bentuk, fungsi dan makna representasi budaya masyarakat lokal Kawasan Wisata Kuta dalam poskolonialitas kawasan turistik dan politik identitas desa adat. Eklektisisme teoritis dan indigenisasi metodologi tercermin dalam model penelitian berikut, sebagai peta pikir analitik dalam penelitian dan analisis dalam studi tesis ini.
58
2. 4 Model Penelitian PEMERINTAH
KEBUDAYAAN
PARIWISATA GLOBAL
BALI KEBIJAKAN DI
PENGUATAN
KAWASAN PARIWISATA
NILAI
PENGUATAN SISTEM
IDENTITAS
PARIWISATA
BUDAYA
BALI REPRESENTASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL DAN
RESISTENSI,
DOMINASI,
POLITIK IDENTITAS
STRATEGI
HEGEMONI
DESA ADAT KUTA
BUDAYA
PARIWISATA
DLM POSKOLONIALITAS
LOKAL
KAWASAN PARIWISATA
BENTUK
PROSES
MAKNA
Keterangan Model Penelitian:
: menunjukkan adanya relasi, representasi dan pengaruh nilai, budaya, wacana, dan kekuasaan. : menunjukkan adanya hubungan dan pengaruh timbal-Balik antara dua domain atau ranah yang berbeda.
Kuta sebagai desa adat dan Kawasan Industri Pariwisata, dalam kekiniannya, diliputi fenomena turistik yang digerakkan oleh komersialisasi
59
dan kapitalisasi produk yang mengatasnamakan pariwisata. Sehingga dalam alir analisis sampai hasil studi di kawasan wisata Kuta ini, fenomena turistik dilihat searah dan identik dengan aktifitas komersial dan kapitalistik global atau mendunia. Citraan kapitalistik semakin menguat dan mendominasi penempatan ruang secara nyata dengan representasi turistik. Komodifikasi membuka (re)produksi budaya turistik dengan cangkokan makna-makna budaya artifisial dengan silang-kontestasi tanda komersial-turistik. Dalam kontestasi tanda turistik komersial kapitalistik global ini, berbagai mode simulasi
dan
komodifikasi, dominasi
dan
hegemoni
tampak
semakin
ambivalen bagi masyarakat lokal yang heterogen, dalam representasi global dan
multikultural
dengan
menipisnya
karakter
keindonesiaan
sebagai
masyarakat kawasan wisata. Menguatnya kesadaran publik Kuta sejalan dengan gerak politik identitas, yang menguatkan posisi hubungan antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah sebagai tiga pilar negara (Perlas, 2004) yang harus dikuatkan dalam kehidupan global.
60
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan kerangka kerja interpretative cultural studies atau kajian budaya, teori-teori yang menjadi landasan penelitian atau acuan analisis, dikonstruk secara eklektis sesuai dengan konsepsi penelitian yang multidisipliner. Obyek penelitian ini adalah realitas sosial yang mencakup gerak individu dan lembaga di dalamnya, dengan identitas, nilai, budaya, tradisi, masyarakat lokal di kawasan wisata. Realitas sosial dalam hal ini searah dengan tekanan poskolonialitas dalam kawasan pariwisata. Data deskriptif yang dihasilkan dalam penelitian, baik dalam bentuk data lisan, tertulis, atau dokumen-dokumen dari sumber berkompeten dan para informan (kunci dan ahli) akan dikumpulkan dengan menggunakan teknik dan metode penelitian eksploratif kualitatif. Peneliti sebagai instrumen turun langsung ke lapangan dengan pengamatan terlibat atau partisipatoris untuk mengadakan pengamatan, pencatatan, dan pengambilan dokumentasi foto, rekaman suara dan lain sebagainya selama proses-proses signifikan berlangsung. Teknik penelitian eksploratif ini dilakukan untuk mendapatkan data berupa keterangan deskriptif yang rinci mengenai makna suatu benda, tindakan, interaksi dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, peneliti mengeksplorasi sisi subjek, dari pola 60
61
pikir, sikap dan praksis dalam tindakan budaya sekaligus tindakan ekonomi masyarakat lokal dalam dinamika kawasan pariwisata.
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi
Penelitian
ini
adalah
wilayah
Desa
Adat
Kuta
yang
posisinya berada dalam bentang ‘zoning’ kawasan industri pariwisata Kuta sebagai bagian ikonik dari Bali sebagai world tourism destination atau tujuan kunjungan pariwisata dunia di Indonesia. Pemilihan lokasi penelitian didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1. Desa Adat Kuta merupakan desa adat yang memiliki kontak dan interaksi langsung dengan aktifitas industri pariwisata. 2. Kawasan Pariwisata Kuta merupakan kawasan turistik dengan perkembangan
yang paling pesat secara fisik, komersial dan
global, yang
menjadi ikon Bali sebagai destinasi wisata dunia.
Hal ini menarik perhatian untuk meneliti keberadaan ‘masyarakat lokal’ atau lokal people yang terdiri atas warga Desa Adat Kuta, penduduk yang berdomisili di Kelurahan Kuta dan penduduk pendatang yang tidak terdaftar atau the others.
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan untuk penyusunan tesis ini adalah data kualitatif. Dalam penelitian ini, data akan dikumpulkan dari sumber primer dan sekunder, yaitu data primer yang didapatkan langsung dari informan di
62
lapangan, serta
data
sekunder
yang
diperoleh
dari
dokumen-dokumen,
tulisan/artikel, laporan hasil penelitian, dan buku-buku literatur dari sumber yang berkompeten, terkait erat dengan kehidupan desa adat dalam dinamika kawasan pariwisata di Bali dan khususnya di kawasan wisata Kuta. Data sekunder dikumpulkan dari sumber-sumber, data statistik provinsi, kabupaten, kecamatan
dan
desa/kelurahan, dan
tulisan
berkompeten, yang
memuat
dinamika kepariwisataan, penataan kawasan pariwisata, posisi dan peranserta desa adat dalam pariwisata.
3.4 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen dengan menggunakan
alat
Bantu;
notebook, anecdote, tape-recorder, kamera
dan
video-recorder, disamping pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan yang disebut interview guide. Nawawi (1992: 69, 74) menegaskan bahwa pengumpulan data harus dilakukan dengan menggunakan instrumen yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. Ditegaskannya (Nawawi, idem) dalam melakukan penelitian, mulai dari tahap observasi harus mencatat dengan telitidan seksama semua gejala-gejala dalam fenomena di sekeliling objek penelitian.
Dari semua fenomena
yang diamati, harus bisa
hubungan antar fenomena yang berkembang.
ditemukan
63
3.5 Teknik Pengumpulan Data Hubungan interaksional sikap dan perilaku seseorang, kelompok dan masyarakat, merupakan fokus analisis dalam studi eksploratif ini, dengan fokus perhatian pada wacana, dialog atau ungkapan yang muncul dalam setiap interaksi atau komunikasi. Wawancara dilakukan oleh peneliti sebagai instrumen penelitian, yang menempatkan setiap individu atau informan sebagai subjek penelitian (Faisal: Bungin, 2006: 9-16). Sehingga penerapan triangulasi sangat penting (Mantra, I.B., 2004: 79-89) dengan mengadakan ‘crosscheck’ antar sumber data, domain, sequence atau runutan makna dan hubungan antar fenomena, sesuai keterkaitan metode dan hubungan antar teori hingga pendekatan, untuk mengukur sejauh mana validitas temuan penelitian dengan pembuktian atau klarifikasi dari berbagai sisi yang berbeda. Demikian pengumpulan data dengan triangulasi pada temuantemuan dari sumber-sumber data yang ada dengan memakai empat tehnik pengumpulan
data
dari
beberapa
tehnik
yang
ada
yaitu;
observasi,
wawancara, focus group discussion, dan studi dokumentasi.
3.5.1 Wawancara Dilakukan dengan informan yaitu orang yang dekat dengan Sumber masalah; para ahli di bidang terkait yang tidak terikat dengan tempat domisili dan informan insidental yaitu orang ditemukan secara tidak sengaja di lokasi penelitian yang bisa memberikan informasi secara jelas.
64
3.5.2 Pengamatan Langsung Dalam
penelitian
kualitatif
ini, peneliti
mempergunakan
teknik
observasi langsung, yaitu kegiatan pengamatan, pengindraan dan pencatatan fenomena atau hubungan antar fenomena yang terjadi di Desa Adat Kuta dengan komunitas budaya, lembaga, tradisi dan nilai yang melekat dengan identitasnya, dalam dinamika kawasan pariwisata Kuta dengan aspek turistik, komersial, kapitalistik, terbuka dan global yang
menyatu dengan image
atau citranya sebagai satu kawasan Kuta yang lebih luas dan lebih besar dari wilayah Desa Adat Kuta. Sehingga dalam dalam intensitas tertentu, observasi terhadap Kuta sebagai desa adat dan kawasan industri pariwisata, mesti penulis lakukan selama 24 jam lebih, sesuai dengan Nawawi (94: 1995) menyebutkan bahwa metode observasi adalah cara pengumpulan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaanya langsung pada tempat di mana suatu peristiwa, keadaan atau situasi sedang terjadi.
3.5.3 Dokumentasi Studi dokumentasi yaitu pengumpulan data dari bahan-bahan tertulis seperti Bali dalam Angka, Badung Dalam Angka, Profil Kelurahan Kuta, perda, surat keputusan, Laporan Penelitian BUIP dan dokumentasi lainnya yang terkait dengan masalah penelitian ini. Cara ini dilakukan dengan mencari, memahami dan langsung mencatat data-data yang relevan dengan
65
masalah penelitian disamping temuan data dari survey awal, observasi dan wawancara.
3.6 Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif-kualitatif, dengan metode dan kerangka studi kajian budaya atau cultural studies. Pendekatan analisis ethnografis (Bungin, 2006: 168-184), dalam satu analisis kualitatif (Bungin, 2006: 83-93), dalam
hal
ini menggunakan teknik analisis content (isi)
analysis, analisis domain dan analisis taksonomik pada beberapa domain yang siginifikan. Teknik triangulasi (Moleong, 2001: 178) dilakukan untuk mendapatkan data yang valid, setelah data lapangan terkumpul.
3.7 Teknik Penyajian Hasil Hasil penelitian ini akan disajikan secara deskriptif-kualitatif dalam bentuk laporan ilmiah, yaitu secara formal disusun dengan kata-kata yang tercakup dalam satu bentuk tesis, dan secara informal didukung dengan table, grafik, foto dan gambar.
66
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1
Profil Kawasan Pariwisata Kuta Pariwisata
yang
sudah
dilembagakan
di
Indonesia, memberikan
wacana dan sirkulasi formal tentang sektor ekonomi tersier. Label industri jasa
yang digerakkan oleh mesin ekonomi pariwisata, sudah menarik,
melibatkan dan mendorong banyak pihak (baca: stakeholder) untuk menaruh perhatian besar dan investasi di dalamnya. Dinamika Bali pada kekiniannya, menarik perhatian untuk melihat lebih dalam dank e belakang pada jejakjejak transformasi dan perkembangan masyarakatnya di Balik citra destinasi wisata internasional. Kuta sebagai lokasi penelitian tesis ini, tidak pernah selesai untuk diamati dan dikaji secara cultural studies atau kekajianbudayaan. Kawasan pariwisata Kuta memiliki luas wilayah sebesar 15.521 has, yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Kuta. Kedudukan Kawasan Kuta secara geografis terletak pada posisi 080 36’20” -080 50’ 80” Lintang Selatan (LS) dan 115 0 5’ 0”- 1150 14’ 30” Bujur Timur (BT), dengan batas-batas fisik wilayah sebagai berikut: di sebelah utara di sebelah timur adalah Kodya Denpasar di bagian utara dan Selat Badung di bagian selatannya Selat Badung, sebelah selatan dan barat adalah samudra Indonesia dan sebelah utara berbatasan dengan Kota Denpasar dan Desa Kerobokan (Kuta Utara). Kelurahan Kuta sebelum tahun 2000, mencakup Desa Adat 66
67
Legian dan Desa Adat Seminyak yang merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan paling tinggi sehingga tidak berlebihan kalau daerah ini dikatakan sebagai pusat pengembangan kawasan wisata ini. Wilayah yang merupakan fokus wilayah studi ini, yaitu Desa Adat Kuta
dengan tiga
belas banjar adat dan dua belas banjar dinas atau lingkungan dalam kewilayahan Kelurahan Kuta sebagai pusat Kecamatan Kuta. Pulau Bali sebagai tujuan wisata internasional, sudah berkembang secara fisik dengan banyak perubahan tata ruang. Hal ini searah dengan pengaruh pertambahan jumlah dan mobilitas penduduk di masing-masing kota kabupaten, kota, dan provinsi secara umum. Pusat-pusat perekonomian tentunya membuka dan menarik mobilitas penduduk. Kawasan pariwisata tentunya memberikan pengaruh yang searah dengan kota sebagai pusat perekonomiankabupaten. Aktifitas jasa kepariwisataan yang
dikembangkan
sejak tahun 1920-an, mengkondisikan titik-titik pusat daya tarik wisata, objek turistik, kawasan akomodasi, sentra seni dan kerajinan, dan tempat-tempat jasa pelengkap
pariwisata
hingga
pertokoan dan pasar
seni, kerajinan
dan
cinderamata. Sesuai dengan permasalahan dan konsep metodologi tesis ini, yang memilih Desa Adat Kuta sebagai tempat lokasi penelitian, karena latar belakang tersebut yang masih berkembang kuat sebagai fenomena pariwisata dan ekonomi global. Kuta mengawali cairnya turisme pelancong asing dengan turisme ‘jiwa dagang’ masyarakat lokal. Pemanfaatan sumber daya seni dan potensi ekonomi untuk kepariwisataan sudah dilakukan sejak
68
sekitar tahun 1968. Ketika Bali masih sepi dan diliputi trauma pecahnya suasana revolusi dalam masa penumpasan PKI dan ormas-ormasnya. Masa transisi pemerintahan orde lama ke orde baru juga memberikan suasana mengambang di daerah. Kedatangan para hippies di Kuta, membuka kesan baru bagi masyarakat lokal. Masyarakat lokal kawasan Kuta (baca: sebutan mekanis sekarang) pada masa itu, sedang diliputi masa sulit pangan, sandang, dan perumahan. Terlebih lagi pendidikan belum dirasakan sebagai kebutuhan bagi sebagian besar warga, sehingga tamat SMP sudah cukup bagi warga Kuta, dengan penghasilan di berternak, bertani di sawah atau tegalan. Adatasi ekonomi sederhana yang dilakukan oleh warga Kuta terhadap kedatangan, kebutuhan, dan keinginan para pelancong (baca: wisatawan sekarang), menjadikan sebagian warga Kuta menduduki posisi kelas ekonomi baru, namun sebaliknya ada yang tetap hingga sekarang menjadi peternak, pedagang kecil, nelayan dan pemulung. Pengaruh baik dan buruknya harus diterima dan memang diiakan dalam keterdesakan dan posisi kekalahan warga Kuta. Semangat untuk mengenyam pendidikan tinggi, mencari terobosan potensi komersial atau perekonomian. Sebaliknya minuman keras juga menjadi hal biasa bagi generasi muda Kuta. “Siapa yang tidak bisa minum (alkohol) di Kuta?”, demikian tungkas beberapa pemuda yang ditemui oleh penulis. Mangku Urip mengkonfirmasi efek pariwisata bagi masyarakat lokal, dalam konteks moral, ”pengaruhnya sesuai dengan tingkat intelektual kita masing-masing”.
69
Pengaruh citraan kawasan pada ruang kesadaran, sesuai daya
nalar individu
di dalamnya, yang akan mendorong sikap dan representasi mereka masingmasing dalam komunitas. Kebijakan pembangunan pariwisata Bali yang dikembangkan adalah Pariwisata budaya sesuai dengan Perda Propinsi Tk. I Bali nomor 3 tahun 1991. Kelahiran bentuk pariwisata budaya sendiri sebenarnya melalui suatu proses yang panjang sejak tahun 1970-an. Istilah pariwisata budaya mulai mendapat tanggapan serius sejak dilaksanakannya seminar pariwisata budaya daerah Bali, tanggal 15-17 Okteober 1971. Bila mengacu pada Perda Tingkat I Bali nomor 3 tahun1991, maka yang dimaksud dengan Pariwisata Budaya
adalah
jenis
kepariwisataan
yang
dalam
perkembangan
dan
pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan Nasional Wacana di atas berkembang kini dengan wacana keselarasan adat, seni, dan budaya yang saling mendukung dengan pariwisata budaya. Sehingga konsep learning and experience dalam pariwisata menjadi penanda bahwa semua pihak atau
stakeholder harus senantiasa menyikapi dan belajar
pada
perkembangan dan dinamika pariwisata sebagai industri global. Kebijakan yang akan dilakukan pun harus bercermin pada fenomena, dinamika dan kebutuhan masyarakat lokal. Sesuai dengan Keputusan gubernur Kepala Daerah tingkat I Bali nomor, 528 Tahun 1993, Bali memiliki 21 kawasan wisata. Dari 21 kawasan yang ditetapkan ini, maka pada tahun 1999 ditinjau kembali dan kemudian
70
ditetapkan menjadi hanya 15 kawasan wisata. Khusus kabupaten Badung memiliki 3 kawasan wisata yang meliputi kawasan wisata Nusa Dua, Kuta dan Tuban. Berdasarkan ketetapan gubernur Bali nomor 528 tahun1993, kawasan wisata Kuta meliputi Kelurahan Kuta (992 Ha), desa Kerobokan (1, 598 Ha) dan desa Canggu (1, 173 Ha), dengan luas keseluruhan adalah 3, 763 Ha. Berdasarkan
kebijakan
dari
Pemerintah
pusat
melalui
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun1979, sudah dilakukan penyerahan sebagian urusan pemerintah dalam bidang kepariwisataan kepada daerah Tk.1 menjadi urusan otonomi Daerah. Urusan yang dieserahkan meliputi 12 yaitu : Urusan Objek Wisata, menurut peraturan perundang-undangan yang akan berlaku tidak menjadi urusan pusat yaitu: 1. Urusan Pramuwisata. 2. Urusan Losmen dan Hotel Melati. 3. Urusan Penginapan Remaja. 4. Urusan Pondok Wisata. 5. Urusan Perkemahan. 6. Urusan rumah Makan. 7. Urusan Bar. 8. Urusan Mandala Wisata. 9. Urusan Kawasan Wisata. 10. Urusan Rekreasi 11. Urusan Hiburan Umum.
71
12. Urusan Promosi Pariwisata Daerah. Lebih
lanjut
Pemerintah daerah
Tk. 1
Bali
mengembangkan
pembangunan kepariwisataan di seluruh Daerah Tk. II atau kabupaten sesuai dengan potensi dan sarana prasarana yang ada. Oleh karenanya pemerintah daerah Tk.1 Bali mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 1989, tentang penyerahan sebagian urusan Pemerintah daerah Tk.1 di bidang kepariwisataan kepada kabupaten daerah Tk.II. urusan yang diserahkan itu meliputi urusan objek wisata, sepanjang menurut peraturan perundangundangan yang berlaku atau akan berlaku tidak menjadi urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, yaitu: 1. Urusan Perkemahan. 2. Urusan mandala Wisata. 3. Urusan Rekreasi dan Hiburan Umum, kecuali disko dan rekreasi air. 4. Urusan promosi di wilayahnya. Sementara itu dari data sebaran investasi baik dengan fasilitas dari Penananan Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) pada sektor pariwisata dan perhubungan di masing-masing Daerah Tk.II atau kabupaten di Bali, secara kumulatif dari tahun 1961 sampai 1991 konsentrasi investasinya terbanyak ada di kabupaten Badung, yaitu mencapai 95, 63%
(BKMD
Provinsi
Bali, 1992).
Kondisi
ini
memperlihatkan
pertumbuhan yang kurang merata dan akan berdampak kurang baik, sebagai suatu
kesenjangan
dan
ketimpangan
sosial
antar
daerah
dan
dalam
kehidupan masyarakat. Akibatnya akan dapat pula mendorong terjadinya
72
urbanisasi ke Kabupaten Badung (khususnya Kuta dan sekitarnya), serta mengakibatkan kerawanan keamanan dan kenyamanan dan mudah terjadinya konflik sosial. Berdasarkan pengalaman ini, dan dengan adanya penyerahan sebagian urusan
kepariwisataan
pelaksanaan
otonomi
ke
kabupaten-kabupaten, dengan
daerah, maka
kini mulai
dimantapkannya
diupayakan
sebaran
memeratakan penanaman investasi dalam pengembangan kepariwisataan di seluruh Bali. Dalam bidang akomodasi misalnya dari 32.865 jumlah kamar yang ada di Bali tahun 2000, sekitar 21.007 kamar yang ada di Kabupaten Badung, atau sekitar 63, 92%. Sedangkan di Kabupaten Karangasem hanya ada 1.356 kamar (4, 13%). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan sarana pariwisata berupa akomodasi masih kurang seimbang. Pertumbuhan
hotel bintang di Kabupaten Badung
menunjukkan
tingkat perkembangan yang paling tinggi di Bali. Tahun 1995 dan 1996 di Kabupaten Badung terdapat 57 hotel berbintang dengan jumlah kamar sekitar 11.128 kamar, kemudian bertambah lagi pada tahun 1998 menjadi 69 hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 12.967 kamar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kabupaten Badung dengan tiga kawasan wisata yang dimiliki yakni : Nusa Dua, Kuta dan Tuban adalah merupakan daerag hunian/ tourist resort yang paling banyak diminati, mengingat jaraknya yang tidak begitu jauh dari Bandara Internaasional Ngurah Rai (3-5 Km) dari ketiga wilayah kawasan wisata yang ada. Demikian juga posisi strategis Kuta, Tuban dan Nusa Dua sangat dekat dengan Ibu Kota Provinsi Bali,
73
Denpasar dan sekitarnya yang lebih kurang jaraknya sekitar 8 Km ke Kuta dan jarak terjauh ke Nusa Dua sekitar 15 Km. Jika
dihubungkan
wisatawan nusantara
dengan
kunjungan
wisatawan
maupun mancanegara, selama
ke
Bali
baik
lima tahun terakhir
(1996-1999) adalah sebagai berikut: 4.048.755 (tahun 1966), 4.506.471 (1997), 4.066.150 (tahun 1998) dan 4.041.017 (tahun 1999). Terlihat adanya fluktuasi kunjungan wisatawan ke Bali, sedangkan jumlah kamar hotel yang ada meningkat terus sehingga ada kecenderungan terjadi “over supply” di samping akan terjadinya persaingan usaha yang semakin ketat dan bebas, sehingga cenderung muncul persaingan yang kurang sehat. Perkembangan pariwisata
yang
tampak
pesat
ini, juga
diimbangi
dengan
adanya
pertumbuhan dalam bidang jasa entertainment yakni makin banyaknya pusatpusat
perbelanjaan
yang
terkait
dengan
kebutuhan
untuk
pariwisata.
Demikian juga kian banyak berkembang rumah makan atau restaurant dan kafe yang kini lagi sedang banyak diminati tidak hanya oleh wisatawan dan juga masyarakat lokal. Perkembangan
kepariwisataan
Bali
sebenarnnya
juga
tidak
bisa
dilepaskan dari peranan Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang ada dan dengan gencarnya membuat serta menjual paket wisata atau tour packages sehingga wisatawan tertarik dan mau dibawa ke Bali. Keberadaan BPW dan beberapa travel Agent yang berjumlah 178 buah merupakan ujung tombak dari pemasok
utama
wisatawan
mancanegara
ke
Bali.
Perkembangan
kepariwisataan yang kini merabah ke seluruh daerah di Bali sudah dirasakan
74
manfaatnya dengan semakin terbukanya peluang kesempatan kerja. Terkait partisipasi masyarakat dalam pariwisata dalam pertumbuhan awal destinasi Bali dengan mengemas pariwisata budaya sebagai modal budaya sekaligus penanda pariwisata sebagai sektor handalan, sangat menarik untuk melihat kembali dalam perkembangan sektor pariwisata pada dekade 1990-an. Pesatnya tingkat perkembangan kepariwisataan Bali dalam ruang resepsi budaya
masyarakat lokal kawasan
dan masyarakat Bali pada
umumnya. Motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dan bergelut dalam profesi dan usaha yang langsung maupun tidak langsung kontak dengan pariwisata. Demikian juga terjadi indikasi seBaliknnya pada sektor pertanian yang cenderung menurun dalam serapan tenaga kerja. Keadaan seperti ini juga dapat dipahami mengingat pengembangan pariwisata
menghabiskan
banyak lahan pertanian menjadi daerah kawasan dan demikian juga banyak merobah
peruntukannya
sebagai
sarana
prasarana
kepariwisataan
yang
diperlukan seperti: akomodasi, pertokoan/art shop, reataurant, kafe, pub dan atraksi
wisata.
Banyaknya
terjadi
pengalihan
fungsi
lahan
untuk
pengembangan pariwisata oleh masyarakat Bali, dilakukan juga di Kuta dengan hilangnya sekitar 40an hektar Abianbase yang identik dengan sebutan
persawahan di lingkungan Banjar persawahan ’Abian Baase’ yang
artinya tempat produksi beras atau ladang beras.
75
4.2
Sejarah dan Perkembangan Kepariwisataan Kuta Sejarah Kuta menjadi sebuah petit histoir atau sejarah kecil yang
menarik bila dilanjutkan dengan lahirnya turisme di pantai putih yang indah pada masa 1960-an. Kisah Miss Menk atau Ayu Poppies yang romantik, menjadi
penanda-penanda
turisme
dan
semangat
glokalisme
dalam
kekiniannya. Kuta begitu akrab dan terkenal. Hampir di seluruh masyarakat dunia mengenal nama Kuta. Demikian desa Kuta yang sudah sejak ratusan tahun lalu, dihuni oleh beragam etnik. Mereka datang dari Jawaa, bersama bala tentara Kerajaan Majapahit dalam politik ekspedisi Gajah Mada dalam kurun waktu 1343-1846. Kedatangan penduduk Jawa lainnya dalam masa zaman Samparangan sekitar tahun 1350-an sebagai pengikut Dalem ketut Sri kresna Kepakisan, kemudian muncul pula orang-orang Cina pedagang. Hal ni bisa dibuktikan dengan adanya kelenteng yang diperkirakan berumur lebih dari dua ratus tahun (lihat Monografi Kec. Kuta, 1991/92 dan 1997). Secara historis, ada empat tahapan waktu yang dapat dikemukakan dalam pengembangan wilayah tersebut sebagai daerah wisata yang masingmasing memperlihatkan kondisi yang khas dan memberikan gambaran bahwa sebagai daerah waisata, desa Kuta mempunyai potensi-potensi yang khusus pula sesuai tahapan perkembangannya.
4.2.1 Kuta sebelum Kemerdekaan Kuta menjadi penanda historis Bali selatan sejak zaman kerajaan. Pertama, Kuta merupakan sebuah desa magis yang dijadikan pelabuhan kuno
76
yang disebut Kuta dalam kaitan nama tempat di antara Tuban dan Canggu sebagai representasi bekas ekspansi Kerajaan Majapahit sejak abad ke 13, kemudian dihuni oleh pendatang dari Jawa, Bugis dan orang-orang buangan pada masa pemerintahan Kerajaan Bali yang berpusat di Gelgel pada sekitar abad ke 15 sampai abad ke 16. Kedua, Kuta sebagai wanua atau desa adat baru di bawah Kerajaan Mengwi pada abad ke 17, merupakan hutan pesisir yang sangat indah yang disebut Kuta Mimba. Pemetaan tradisional pada masa ini, masih dalam bentang wilayah kerajaan tradisional Mengwi, sebagai desa pesisir. Ketiga, Kuta identik dengan kota (baca: kota dalam lafal Bali), di bawah kekuasaan Kerajaan Badung, yaitu kota kecil pelabuhan yang memiliki dua sisi dermaga alami yaitu sisi barat di Pantai Kuta dan sisi timur di Sungai Mati. Cerita turun-temurun tentang Tuan Lange, terkait dengan situasi pada masa ini, dimana Mads J. Lange mendapat kepercayaan dari Kerajaan Badung untuk memegang posisi syah bandar sekaligus Perbekel Kuta dengan julukan ’Tuan Made Lange Tua”. Wajah multikultural Kuta, terbentuk sejak sebelum abad ke 17, yang tercatat dalam kedatangan warga Tionghua di Kuta sekarang. Keempat, Kuta merupakan desa pesisir penghubung perbukitan selatan kaki Pulau Bali dan Badung (baca: Denpasar sekarang), yang nihil aktifitas ekonomi berskala makro. Kondisi ini merupakan keadaan yang tidak banyak diketahui orang, baik dari mulut ke mulut maupun bahan-bahan tertulis lainnya. Sebagaimana dengan desa-desa lainnya, penduduk desa Kuta terdiri
77
atas penduduk Bali yang hidup dan mata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pekerjaan ini cukup lama digeluti walaupun sarana transportasi belum lancar. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, pada sekitar tahun 1930 sampai 1940-an, Kuta mendapatkan perhatian dari seorang wanita asing berkulit putih berkebangsaan Amerika datnag dan kemudian tinggal di Bali ”Nyonya Manx (Bahasa Bali diucapkan, Meng)” adalah sebutan yang diberikan oleh penduduk Kuta kepada wanita asing tersebut. Hal ini mungkin sebuah kelakar saja dari rambut wanita asing yang pirang itu seperti warna kucing (dalam bahasa Bali ”meng”). Nama Nyonya Manx, sesungguhnya adalah merupakan nama fam atau keturunannya dari ayahnya bangsa manx, di Skotlandia. Orang-orang manx sangat percaya tahyul, sihir dan orang kerdil dan masalah-masalah gaib serta sebagai rakyat yang ulet, mempunyai daya tahan yang aneh dalam menghadapi cobaan hidup. Dan ketika tahun 1932 menurut nyonya Manx, dalam buku revolt in paradisenya yang dialih bahasa oleh Abdul Bar Salim, (1964) mula pertama adalah berawal dari ia menonton film The Last Paradise atau ”Bali Sorga Terakhir” di sebuah bioskop di Hollywood menggugah hatinya untuk datang ke Bali sebagai tempat yang selama ini diinginkannya (K’tut Tantri, 1964, 33-36). Bali dengan pantai Kuta, religiusnya dan ketenangannya dan keadaan hidup yang damai dalam suasana yang penuh kasih sayang dalam film tersebut akhirnya menggugah hatinya untuk segera mengunjunginya.
78
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kemasyuran Bali sebagai daerah wisata ke manca negara sudah mulai dikenal jauh sebelum tahun 1932. ketika sudah di Bali Nyonya Menx selanjutnya diangkat anak oleh raja Bangli, dan diberi nama, K’tut Tantri. Semenjak diangkat anak anak, maka ia semakin diterima di tengah-tengah masyarakat Bali dan banyak dapat kemudahan ketika ia mendirikan sebuah hotel di Kuta yang bernama hotel Suara samudera. Hotel yang begitu terkenal dengan gaya arsitektur campuran antara Bali tradisional, puri dan Eropa, dikerjakan oleh Wayan dan arsitek Bagus, serta bantuan yang banyak dari putra raja yang bernama Anak Agung Ngurah (K’tut tantri, 1964, 139-161). Mungkin inilah salah satu hotel yang pertama berdiri di Kuta dan menjadi terkenal sebagai tempat yang unik dan memperoleh sukses. Semangat persahabatan sangat terasa, sehingga tamu konon sampai keluar masuk dapur untuk ikut belajar bagaimana membuat masakan Bali/Indonesia. Kata orang bahwa hotel suara samudera adalah tempat di mana tamu menunggu pelayan, bukan pelayan menunggu tamu. Hal ini tidak berlangsung lama, akrena polisi kolonial Belanda berusaha menutup dan menangkap para pelayan hotel, dengan alasan bahwa hotel ini tempat cabul dan prostitusi. Kolonial Belanda melaui Gubernur Jendralnya memerintahkan membersihkan semua homo-seksual, sebagai dalih agar dapat melakukan penangkapan pada orang-orang yang tidak berdosa dan bersalah yang mungkin
dicurigai.
Kekhawatiran
para
controllir
Belanda
ini
tampak
membatasi pergaulan antara orang lokal dengan bangsa berkulit putih, dan
79
senantiasa membodohi masyarakat lokal. Bila hotel Suara Samudera terus berkembang dan interaksi antara masyarakat lokal makin intensif, maka dikhawatirkan akan terjadi banyak perlawanan yang menyulitkan kedudukan pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia dan Bali khususnya. Apapun persoalan itu yang jelas berdasarkan hal ini, Hotel Suara Samudera dan K’tut Tantri di Pantai Kuta sebagai awal dari sejarah pantai Kuta sebagai tempat wisata yang terkenal ke manca negara. Selanjutnya
pada
masa
pendudukan
Jepang
yang
mengalahkan
Belanda, hotel Suara Samudera ini dicurigai sebagai tempat berkumpulnya para opsir-opsir Belanda, dan terutama dicurigai sebagai tempat bertemunya para pejuang Pergerakan Kemerdekaan Republik dalam melawan upaya merencanakan
dan
melawan
Jepanjg.
Oleh
karenanya
tentara
Jepang
akhirnya menghancurkan hotel Suara Samudera tersebut. Lenyaplah semua kebanggaan
Nyonya
Menx
alias
K’tut
tantri
bersama
hotelnya
dan
keiKutannya dalam pergerakan kemerdekaan maka ia pun akhirnya sempat dipenjarakan. Tidak berarti ketenaran dan keindahan pantai Kuta lantas menjadi tenggelam, ternyata jumlah kunjungan masyarakat sekitar dan Denpasar serta wisatawan mancanegara semakin banyak yang datang menikmati keindahan pantai dan alamnya sebagai daerah wisata yang terus berkembang.
4.2.2
Tumbuhnya Turisme Kuta setelah Masa Kemerdekaan Memasuki masa
kemerdekaan
Indonesia
hingga
tahun 1970-an.
Turisme tumbuh dari embrio hasil interaksi yang semakin lama antara
80
warga desa dan pelancong asing. Dengan referensi artikel dan informasi di negaranya, para wisatawan menemukan sendiri pantai Kuta dengan datang sebagai pelancong (baca: sebutan turis pada masa ini) yang datang ke Bali dan khususnya menyenangi pantai Kuta. Keadaan ini dapat digambarkan melaui perkembangan kepariwisataan Kuta yang cepat dan tanggapnya para wisatawan usia muda (young traveller) terutama yang berasal dari Australia yang datang ke Kuta semakin ramai pada masa-masa akhir dasa warsa 60an. Pada awal tahun 70-an, pantai Kuta diramaikan oleh pengunjung yang pada masa itu, disebut hippies yang pergi tanpa suatu program perjalanan tertentu, lebih senang mengurus diri sendiri daripada terikat dan ditangani oleh agen wisata atau biro perjalanan umum. Mereka kebanyakan pergi dengan berpasang-pasangan dan sangat jarang berkelompok/bergroup. Demikian juga pada mulanya mereka penduduk, makan
di
ini lebih senang tinggal di rumah-rumah
warung-warung
penduduk
dengan
apa
adanya,
berkendaraan sepeda motor dengan berpakaian sederhana seperti layaknya petani dan nelayan dipantai Kuta. Para wisatawan jenis ini tampak lebih berkualitas dan belum menunjukkan adanya ugly tourist. Mereka masih sopan, senang melihat budaya dan bahkan karena tinggal di rumah penduduk sehingga
tidak
sedikit
yang
ikut
mau
berpartisipasi
dalam
aktivitas
masyarakat dalam kehidupannya berumah tangga sehari-hari. Kedatangan yang terus meningkat ini, maka oleh masyarakat Kuta berupaya memanfaatkan kehadiran para wisatawan itu dengan membuka
81
usaha
penyewaan
rummah
penginapan, penyewaan
sepeda
motor, serta
membuka warung-warung makan serta cenderamata (souvenir), dan jasa lainnya yang sesuai dengan kebutuhan para wisatawan. Oleh karenanya pada masa tahun 1970-an Kuta marak dengan model penginapan dan tempat makan seperti : home stay, pondok wisata, pension, inn, bar, dan beberapa agen perjalanan wisata. Sejak masa inilah, masyarakat Kuta semakin banyak yang terlihat dalam kegiatan kepariwisataan, dengan berbagai pertarungan antara berpandangan positif dan negatif terhadap hubungan yang dekat dengan wisatawan (bule) dengan adanya upaya-upaya
komersialisasi adat dan
budaya yang ada semata-mata untuk wisatawan. Perkembangan selanjutnya menjadi semakin merobah bentuk Kuta, di mana tidak hanya masyarakat Kuta saja yang terlihat dalam kegiatan pariwisata, melainkan juga masyarakat Bali lainnya, dan bahkan orang dari luar Bali yang banyak datang mencari pekerjaan di Kuta. Sedangkan dari kemajuan yang ada maka terlihat juga bahwa home stay pun semakin berkembang menjadi beberapa hotel, warung berubah menjadi restaurant, dan demikian mulai dibangun beberapa art shop, serta dipinggir pantai mulai ada penyewaan papan selancar dengan banyaknya muncul berbagai pedagang acung. Rasa tanggap masyarakat Kuta akan keperluan dan kebutuhan para wisata atau wisatawan, sehingga benar-benar sebagai salah satu peluang untuk berusaha membuka berbagai jasaa pelayanan yang sebaik-baiknya. Hal ini
merupakan
ciri
khas
dari
kondisi
tahap
kedua
dalam
sejarah
82
perkembangan kepariwisataan Kuta. Jadi ciri khas dari masa pertumbuhan awal ini menjadi semacam pusat tempat pengembangan kepariwisataan daerah pesisir pantai dan berbagai macam bentuk adanya home stay yang tidak dimiliki oleh daerah wisata lainnya. Adanya home stay sebagai tonggak
awal
dari
sistem
perkembangan
kepariwisataan
Kuta, yang
selanjutnya terkait erat dengan sub-sub sistem lainnya dalam pemenuhan kebutuhan kepada wisatawan, selain potensi pantai yang cocok untuk olah raga air seperti selancar (surfing) didukung oleh keindahan alam dan sinar matahari seharian sangat menggoda, menyengat dan menantang dalam mandi matahari atau sunbathing yang sudah tidak asing bagi masyarakat lokal. Tourist sangat menikmati aktifitas berjemur seharian di sepanjang pantai.
4.2.3
Masa Pengembangan Kawasan Turistik Kuta Masa pengembangan fisik kawasan secara fisik dan kebijkan pada
masa ini, membuka perkembangan daerah (baca: sebutan kawasan pada masa ini) wisata Kuta yang komersial dalam dasa warsa 80-an sampai 90-an. Selama kurang lebih sepuluh tahun dari perkembangan home stay sebagai pusat sistem dan sub sistem berkembang dalam memenuhi kebutuhan wisatawan, semakin memperlihatkan suatu keadaan bahwa pariwisata dapat dipandang sebagai suatu agent dari perubahan Kuta. Perkembangan sebagai suatu perubahan yang positif dari kondisi kedua, ternyata
melebar dan
meluas dari Desa Adat Kuta, mempengaruhi desa adat tetangga seperti : desa adat Legian, Seminyak, Tuban, Jimbaran dan Kerobokan. Sepanjang jalur
83
pantai mulai berdiri hotel-hotel besar hingga bintang lima, kemudian art shop, restaurant, bar, pub, diskotek, money
changer, yang
berjejer
dan
berhimpit sampai pada gang-gang kecil di lorong-lorong Kelurahan Kuta. Di beberapa
tempat
bahkan
berdiri
pusat-pusat
pelayanan
informasi
kepariwisataan, serta menjamurnya traver egent, biro-biro perjalanan wisata, dan
transport
semakin
berkompetisi, bersaing
menawarkan
berbagai
keunggulan produk yang dimilikinya. Walaupun
dari
karakteristik
wisatawan
yang
menyukai
Kuta
umumnya adalah berusia muda, dari Australia, jepang, dan juga dri benoa Eropa, tetapi dalam perjalanan wisatanya juga cukup banyak yang bepergian secara bersama-sama untuk menekan biaya perjalanan tersebut. Ramainya kunjungan wisatawan manca negara yang sengaja berjemur dan melakukan olah raga air, surfing di pantai Kuta, juga menjadi daya tarik utama kepada wisatawan domestik untuk datang ke pantai Kuta guna melihat dari dekat aktivitas wisatawan mancanegara, yang terkenal dengan sebutan bule-bule itu ketika saat
berjemur di sepanjang pantai
Kuta.
Mereka
ingin lebih
mengetahui karakteristik wisatawan, kemudian senang bisa berfoto bersama di samping ikut bersama-sama menikmati keindahan alam dan pantai Kuta.
4.2.4 Perkembangan Kuta ke Arah kapitalistik Perubahan fisik dan ruang Kuta berjalan cepat sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000 dalam perspektif pembangunan, dalam perkembangan kepariwisataan Kuta, tercatat ada dua pengaruh besar
kebijakan pemerintah
84
terhadap kehidupan kawasan, yakni : (1) bahwa akibat adanya kemudahan dan terbukanya intervensi para investor asing yang boleh mendirikan hotel-hotel bintang lima di Kuta. Kebijakan ini bagai pedang bermata dua yang satu sisi menguntungkan pemerintah pusat untuk pajak dan pendapatan serta bagi masyarakat lokal Bali (bukan hanya Kuta) yang dapat menikmati terbukanya peluang kerja. Bagi masyarakat Kuta sendiri cukup berdampak negatif, yang mengakibatkan penginapan lokal atau home stay yang ada sebelumnya semakin
sulit
bersaing
dalam
mendapatkan
tamu, termasuk
semakin
meluasnya dominasi ruang turistik komersial dan kapitalistik terhadap karang desa atau ruang budaya lokal. Demikian juga terjadi cukup banyak pelanggaran terhadap kebijakan lain seperti masalah lingkungan, sepadan pantai dan terutama dari segi peruntukan
wilayah.
Terhadap
persoalan
ini
maka
upaya
mengatasi
penekanan terhadap pemilik home stay, maka tahun 1999 ada upaya penggabungan (merger) ini dimungkinkan dengan adanya bantuan kredit bank, di mana para pemilik mulai meningkatkan kualitas fasilitas kamar setara dengan pemenuhan terhadap kebutuhan wisatawan sebagai mana hotel-hotel besar yang bertaraf internasional, dengan bergerak bersama dalam managemen
dan
pemasarannya.
Pada
kondisi
ini
semua
home
stay
sesungguhnya masih tetap ingin dipertahankan walaupun dalam jumlah yang kecil adanya tetapi akan memberikan dampak dan citra yang tinggi dalam pola pariwisata budaya. (2) Adanya kebijakan pemerintah yang membuka lebar-lebar pintu bandara Ngurah Rai sebagai bandara internasional dan
85
diberlakukannya kebijakan pemerintah ”bebas visa” sejak 17 Agustus 1992, maka terjadi peningkatan jumlah penerbangan asing dari berbagai negara yang langsung ke Bali tanpa harus melalui jakarta. Kebijakan penerbangan ini terwujud juga atas desakan para invenstor yang
menanamkan
modalnya di dalam bentuk hotel berbintang lima di Kawasan Pariwisata Kuta dan sekitarnya. Kenyataan ini dapat dibuktikan berdasarkan distribusi prosentase PDRB Bali atas harga yang berlaku dari tahun 1994-1999 pada sektor pariwisata (perdagangan, hotel dan restaurant) memberikan masukan yang paling banyak dan jauh meninggalkan sektor pertanian yang memberikan sumbangan maksimal 23, 31% tahun 1998. sedangkan sumbangan sektor pariwisata terus meningkat setiap tahunnya yakni 30, 11% tahun 1994; 30, 51% tahun 1995; 30, 78% tahun 1996; 30, 50% tahun 1997 (awal krisis); 30, 49% tahun 1998 (puncak krisis) dan menjadi 31, 26% tahun 1999 (PDRB) Prop. Bali 1994-1999: 20). Sejak saat itu maka perkembangan kepariwisataan Kuta melaju dengan pesatnya. Semakin ramainya dan padatnya pengunjung ke pantai Kuta, pada kondisi keempat ini mulai sekitar tahun 1997 semakin terjadi kerawanan terhadap
kebersihan, keamanan
dan
kenyamanan, ketertiban
penggunaan
pantai, kesemrawutan para pedagang acung dan sebagainya. Oleh karena itu keberadaan pantai Kuta perlu dikelola dengan baik dan terarah agar senantiasa tampak asri, bersih, aman, nyaman dan lestarindengan fungsinya yang masih digunakan sebagai tempat pelaksanaan ibadah agama Hindu,
86
seperti : melasti, nganyut, mekiis dan sebagainya. Atas dasar pertimbangan ini maka
pemerintah
daerah
kabupaten Badung melakukan
kerjasama
pengelolaan pantai Kuta dengan puskopad Kodan IX Udayana. Kerjasama ini secara tegas mengatur hak dan kewajiban sebagai pengelola dan dengan mengindahkan kaidah-kaidah sosial budaya masyarakat lokal khususnya Desa Adat Kuta. Demikian dalam pelaksanaan Puskopad Kodam IX Udayana sebagai pengelola pantai Kuta, ternyata mampu menata dan mengikat serta melindungi para pedagang acung dan kaki lima yang berjualan di wilayah Kelurahan Kuta.
4.2.5 Konflik Ruang dan Resistensi Kawasan Wisata Penertiban
dan
penghimpunan
terhadap
pedagang
acung
yang
berjualan di sepanjang pantai Kuta tampak semakin bertambah dan tidak terkontrol didominasi penduduk pendatang. Memang ada kontribusi dengan pemungutan
retribusi
masuk
ke
pantai.
Demikian
akhirnya
semakin
membludak bertebaran cafe dan tenda di sepanjang pantai yang penuh sesak, sehingga bermasalah ketika ada upacara melasti/mekiyis menyucikan simbul-simbul keagamaan sebelum upacara dimulai dan tiga hari menjelang Nyepi, masyarakat Desa Adat Kuta yang akan melakukan upacara merasa kesulitan mendapat tempat untuk pelaksanaan upacara. Permasalahan lain pada menjelang tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, wisatawan sepi, sedangkan para pedagang acung semakin banyak dan berkeliaran di jalan-jalan, gang-gang, di depan-depan warung, restaurant, art
87
shop yang mulai dirasakan saingan sangat mengancam keberadaan para pengusaha kepariwisataan. Akhirnya terjadilah resistensi kawasan dan situasi ketegangan sampai terjadi bentrok fisik antara antara pedagang toko, art shop dengan pedagang acung, hingga jatuh korban di pihak pedagang acung. Demikian ulah pedagang acung yang sewmakin berani melawan dan sering berbuat nakal terhadap wisatawan, dengan maraknya pencopetan, jambret, pencurian, maka sejak tahun 1999 kerja Puskopad Kodam IX udayana dievaluasi dan oleh Desa Adat Kuta memohon agar pengelolaan Pantai Kuta diserahkan kepada Desa Adat Kuta saja. Atas dasar itu maka mulai 1 Juni 1999 secara resmi hingga sampai saat ini maka pengelolaan sepanjang pantai Kuta sesuai dengan batas Desa Adat Kuta menjadi tanggung jawab penuh oleh Desa Adat Kuta.
4.3
Pertumbuhan Kuta sebagai Kawasan Wisata Global Semenjak pengelolaan ini maka tidak ada lagi istilah pedagang acung
yang boleh berjualan berpindah-pindah dengan menjajakan barang dagangannya. Mereka kini berjualan dengan menetap di tempat yang ditentukan. Demikian juga seluruh bentuk cafe yang di bangun permanen semua dibongkar dan tidak ada lagi yang boleh mendirikan cafe permanen di pinggir pantai, kecuali toilet dan tempat ganti atau pembilasan mandi. Seluruh jumlah pedagang yang kini dikelola oleh Desa Adat Kuta berjumlah 1.192 pedagang. Dari jumlah ini sebanyak 313 yang berasal dari warga Desa
88
Adat Kuta dan sisanya 862 pedagang berasal dari luar wilayah Desa Adat Kuta seperti daerah lain yang ada di Bali (terutama dari Kintamani, Buleleng), Jawa dan Madura, serta banyak juga yang dari Lombok. Secara rinci, jenis dagangan yang ada di sepanjang pantai Kuta dapat dilihat pada tabel berikut ; Tabel 4.1 Jumlah dan Jenis Pedagang Sepanjang Pantai Kuta Wilayah Pantai Kuta Jenis Dagangan
No.
Utara
Tengah
Selatan
Jumlah
1
Massage
87
37
49
173
2
Papan surfing
55
12
-
67
3
Soft drink
67
13
-
80
4
Kain
90
43
75
208
5
Patung
69
28
33
130
6
Kutek kuku
60
34
45
139
7
Perak
32
26
11
69
8
Makanan
26
15
-
41
9
Buah/manisan dll
31
-
-
31
10
Sumpitan
-
33
-
33
11
Jam
-
28
23
51
12
Tato
-
43
-
43
13
Gambaran
-
14
-
14
14
Layangan
-
7
-
7
15
Sandal
-
4
-
4
16
Kaca mata
-
21
-
21
17
Kreditan barang Keliling
-
9
-
9
18
Kerang
-
-
16
16
19
Rokok
-
-
19
19
Tikar dan Payung
-
-
37
37
517
367 308
J u m l a h
1.192
Sumber : data diolah dari unit Pengelola Pantai Kuta Desa Adat Kuta, 2007
89
Posisi Desa Adat Kuta kini semakin dikuatkan dan diakui sebagai lembaga tradisional yang memiliki otonomi penuh dalam mengatur segala aktivitas di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan rencana pemberdayaan masyarakat
dalam
pemerintah
Tingkat
konsep I
pariwisata
Bali.
budaya
sebagai
ini
bersamaan
Keadaan
arah
kebijakan
pula
dengan
menggelindingnya format reformasi dalam era keterbukaan. Sehingga dengan demikian
maka
segala
perencanaan
dan
pembangunan
dalam
bidang
kepariwisataan maka keterlibatan masyarakat melalui lembaga Banjar dan desa adat sebagai perwakilan selalu dilibatkan secara aktif. Pertimbanganpertimbangan secara adat dan sosial budaya yang terkait dengan agama Hindu semuanya diputuskan melalui musyawarah Desa Adat Kuta. Demikian pada kondisi keempat sampai dengan sekarang dalam sejarah perkembangan kepariwisataan Kuta menempatkan dan memantapkan posisi Desa Adat Kuta sebagai salah satu komponen yang turut menentukan keputusan dan arah kebijakan dari pola pengembangan Kuta sebagai tujuan wisata utama Bali dan bahkan muingkin sebagai ”Desa Internasional”.
4.4 Tata Ruang Kawasan Wisata Kuta Kuta merupakan sudah berkembang dengan pesat, di mana pola perkembangannya cenderung cepat dan kompleks. Bagi pemerintah kabupaten, penataan Kuta harus dilakukan secara integral development dan klasifikasi pengembangannya berlangsung secara organic dan induced (baca: melibatkan seluruh stakeholder dan mendasar). Kedua pola perkembangan ini dikenalkan
90
oleh para antropolog dan sosiolog yang menyatakan bahwa perkembangan integrated development, adalah pembangunan tourist resoprt atau tempat tinggal menginap wisatawan di tengah-tengah tempat pemukiman masyarakat lokal. Sedangkan klasifikasi perkembangan secara organicn dimaksudkan adalah di mana perkembangan pantai Kuta yang terjadi secara spontan yang dimulai tanpa adanya suatu perencanaan (master plan), dan kemudian dengan munculnya berbagai persoalan dikemudian hari, maka terjadi induced, yakni intervensi Pemerintah Daerah Tk. I Bali dan Daerah Tingkat II Kabupaten Badung, yang semakin peduli dengan adanya perkembangan kepariwisataan Kuta, dan membuat berbagai perencanaan sebagai master plan yang digodok dengan matang dari berbagai pertimbangan dan dari berbagai komponen yang terkait dan terlibat termasuk dari masyarakat. Pola perkembangan daerah Wisata Kuta yang lebih bersifat organik dapat dilihat pada kondisi awal dari sejarah perkembangan kepariwisataan Kuta. Pantai Kuta yang indah, dengan deburan ombak dan arusnnya yang kuat, serta pasir putih dengan rindangnya pohoh-pohon kelapa yang ada disepanjang pantai mewujudkan sebuah perpaduan keindahan alam manakala matahari terbenam yang lebih dikenal dengan indahnya Sun Set Beach demikian mempesona. Semua ini merupakan faktor yang menarik dan sangat penting dalam perkembangan wisata Kuta. Sebuah ilustrasi kecil dari cerita yang tersebar, bahwa pada pertengahan tahun 1968, Dokter Made Mandara membenahi rumahnya di Kuta untuk bisa menampung temannya yang akan mengadakan penelitian. Ketika itu jalan masuk ke desa Kuta seperti
91
kubangan kerbau. Pada malam hari gelap, keadaan pantai kotor, dan perahu nelayan berhamburan tidak beraturan. Para peneliti kesehatan/medis ini sering kedapatan mandi di pantai sambil bercengkerama dengan para nelayan. Ketika para peneliti meninggalkan Kuta, muncul lagi penelitipeneliti di bidang lainnya. Demikian setiap tamu yang datang selalu diterima dengan baik oleh tuan rumah.
4.4.1 Penataan Fisik Daerah Tujuan Wisata Kuta Pantai Kuta mulai dikenal orang-orang kota, juga tamu-tamu dari luar negeri. Kebanyakan tamu yang datang berasal dari Australia. Mereka datang dan tahu hanya dari informasi mulut-ke mulut, bahwa pantai Kuta indah dengan ombaknya yang besar dan sangat cocok untuk berselancar. Hal ini menginat
kegiatan berselancar
merupakan salah satu
kesenangan dari
wisatawan. Sebagai pengaruh dari promosi dan informasi yang mereka bawa secara oral ini ternyata membawa pengaruh yang sangat besar terhadap jumlah kunjungan wisatawan asing yang datang ke Kuta. Kedatangan mereka ternyata sudah barang tentu membutuhkan tempat menginap, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Ternyata cara Bapak Mandara yang menjamu di rumahnya menjadi inspirasi penduduk Kuta dalam menanggapi arus wisatawan
yang
datang
sementara.
Kamar-kamar
wisatawan
asing
ke tidur
berkantong
Kuta, yang di tipis.
membutuhkan
rumahnya Penduduk
mulai yang
tempat
tinggal
disewakan
untuk
mulanya
hanya
menyewakan kamar-kamar, tanpa fasilitas lainnya. Pada malam harinya
92
hanya disediakan lampu minyak tanah karena belum ada listrik. Tahun 1970-an, listrik masuk ke Kuta sehingga situasi pantai semakin ramai dengan turis-turis, dan kemudian masyarakat Kuta beramai-ramai membangun home stay. Sebuah kamar mandi dan WC. Sewa penginapan rata-rata terdiri atas empat kamar, sebuah kamar mandi dan WC. Sewa penginapan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya fasilitas yang disediakan, seperti misalnya sarapan. Harga sewa kamar yang beragam disesuaikan dengan fasilitas yang disesuaikan oleh pemilik kamar. Peningkatan
arus segi
pariwisata
dampak
terhadap
kehidupan
dampak
pembangunan, baik
tahun-tahun
terakhir
ini
masyarakat, diantaranya
pembangunan
sarana
maupun
membawa
adalah
pada
non-sarana
pariwisata. Pembangunan sarana dan prasarana kepatiwisataan kebanyakan ditangani oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan juga pihak swasta. Masuknya para investor dari luar Bali mempercepat pembangunan fisik di Kuta. Mereka menanam investasi uangnya untuk membangun hotel-hotel berbintang, restaurant, home stay, pub, discotic, dan sarana lainnya yang dibutuhkan oleh para wisatawan. Kuta semakin padat dengan munculnya banyak warung-warung, kios-kios cendramata/kerajinan, pakaian, kain batik dan endek khas Bali, topi, tas yang semua bercorak Bali. Tukang jahit yang memproduksi mode yang disenengi wisatawan juga semakin menjamur. Usaha penyewaan sepeda motor, mobil dan surf board juga berkembang. Demikian juga beberapa Biro Wisata, Travel Agent, mulai terbuka dan
93
berkembang dengan berbagai tawaran kemudahan dan produk wisatanya menarik. Dalam Rancangan Undang-Undang Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Badung, Kuta ditetapkan sebagai kawasan pariwisata karena Kuta merupakan embrio berkembangnya industri jasa pariwisata di Kabupaten Badung. Perkembangan pembangunan fasilitas sarana prasarana kepariwisataan seperti penataan jalan, listrik, telpon dan zona peruntukan wilayah dan sebagainya, ternyata kalah cepat dibandingkan dengan pembangunan fasilitas akomodasi, transportasi, restaurant dan kini berkembang departement store, duty free dan banyak lagi yang lainnya. Para investor tampak berlomba-lomba dan tidak sabar untuk membangun, sehingga akibatnya kini pembangunan gedunggedung hotel, restaurant, toko, warung/art shop, atraksi wisata dengan rumahrumah penduduk saling menghimpit satu dengan yang lainnya. Pembangunan hotel dengan kualitas bintang lima yang pertama kali dan penduduk tidak kuasa untuk membendungnya adalah munculnya Hotel Kartika Plaza. Hotel ini adalah diprakarsai oleh Kodam IX Udayana beserta investor dengan alasan sebagai tempat untuk menerima kunjungan tamutamu negara dan kedinasan lainnya. Masyarakat yang semula terikat dalam aturan desa adat pun lunak dan lemah, sehingga harus membebaskan tanah milik mereka semata demi kepentingan pemerintah. Sejak itu belakangan diikuti oelh tempat lain bagaikan wabah menjamur munculnya pembebasan dan penjualan tanah untuk pembangunan hotel-hotel yang berbintang lima yang semuanya hampir berupaya menjarah dan mendekat ke pantai Kuta.
94
Syukur dalam hal ini pemerintah melalui kabupaten Badung dan aparat Desa Kuta cukup tanggap, sehingga keberadaan sepadan pantai Kuta dan jalan sepanjang pantai tetap dapat dipertahankan, sehingga tidak mengganggu aktivitas adat dan keagamaan serta kepentingan umum. Keterlibatan Desa Adat Kuta dalam pengelolaan beberapa usaha wisata yang ada di Kuta antara lain adalah : Pengelolaan pasar seni Kuta Pengelolaan Pertokoan Pengelolaan pantai dan pedagang di sepanjang pantai Kuta Pengelolaan parkir Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Pengelolaan Keamanan wilayah Pengelolaan sampah/kebersihan. Berdasarkan hasil studi yang pernah dilakukan oleh Tim Peneliti Politeknik Negeri Bali, (2000, : 79-85) yang menyatakan dalam temuannya bahwa secara umum di Bali keterlibatan-keterlibatan desa adat masih kurang banyak
dirasakan.
Dari
280
responden
yang
diwawancarai
diperoleh
sebanyak 55, 7% (156) menyatakan tidak pernah dilibatkan. Lebih lanjut juga dinyatakan bahwa posisi tawar (bargainning power) oleh desa adat dalam memperjuangkan masyarakat, karena dalam proses perencanaan dan perijinan, lembaga sehingga
dan masyarakat desa adat tidak pernah dilibatkan,
masyarakat
setempat
hanya
dapat
menerima
setiap
kegiatan
kepariwisataan berlangsung di daerahnya. Semua proses perijinan hanya
95
melaqlui dinas, disamping dalam Peraturan Daerah yang akan dipakai sebagai pedoman/acuan dalam kegiatan kepariwisataan masyarakat desa adat tidaklah
mempunyai
kesempatan
untuk
mengoreksi, seandainya
suatu
pembangunan fasilitas kepaiwisataan akan berlangsung di wilayah desa adatnya. Pesatnya pembangunan fisik merubah suasana Kuta dari tenang sepi, ketika tahun 1968 sebagai mana awalnya beberapa wisatawan yang datang sebagai peneliti. Pada tahun 1970-an semakin bertambahnya kunjungan wisatawan
adventure
yang
ingin
menikmati
pantai
Kuta
sehingga
masyarakatpun tanggap dan demikian juga para investor dalam dan luar negeri. Untuk itu maka sesuai dengan empat tahapan kondisi dari sejarah perkembangan Kuta sesuai sub bab 4.2 di atas, maka keadaan pembangunan fisik untuk fasilitas resaturant dan akomodasi sampai saat ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 4.2 Jumlah Rumah Makan, Restaurant dan Bar di Kuta No
Nama Fasilitas
Jumlah
Rumah Makan
133
7.352
Reastaurant
61
10.647
Bar
52
-
J u m l a h
246
17.999
Sumber : diolah dari data Diparda Tk.II Badung
Jumlah Seat
96
Tabel 4.3 Jumlah Pondok Wisata Hotel Melati dan Berbintang di Kuta No
Jenis Hotel
Klasifikasi
Jumlah
Jumlah
Hotel
Kamar
Pondok Wisata
-
99
471
Hotel Melati
Melati I
100
1.139
Melati II
70
1.775
Melati III
95
3.278
Sumber : diolah dari data Diparda Tk.II Badung
Selain
fasilitas
kebutuhan
akan
penginapan
dan
makan
yang
dikembangkan dan dibangun di Kuta, juga dilakukan penataan kawasan pantai objek dan daya tarik wisata yang ada sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Badung Nomor 2028 tahun 1994. Pembangunan dan penyempurnaan ini terus diupayakan secara terpadu dari pemerintah kabupaten Badung, bersama dengan pihak swasta dan masyarakat Kuta. Peningkatan ini terus dilakukan
sehingga
para
wisatawan
merasa
puas
senang
dan
selalu
merasakan kenyamanan dan keamanan di pantai Kuta. Guna melengkapi dan memenuhi kebutuhan wisatawan akan aktifitas hiburan dan permainan lainnya, maka di Kuta juga terdapat beberapa atraksi kepariwisataan seperti: waterboom park, Bali Bungy, Bungy Jumping, Pub, Karaoke dan discotic, seperti : Gado-gado, Double Six, Taj Mahal, Planet Hollywood, Hard Rock Cafe dan lain sbagainya. Secara rinci jjenis dan jumlah atraksi dan hiburan untuk wisatawan yuang ada di Kuta, dapat di lihatdalam tabel berikut :
97
Tabel 4.4 Jenis Rekreasi dan Hiburan Umum yang ada Di Kuta Yang Berijin Resmi No
Jenis Usaha
Jumlah
Beberapa Contoh Nama Usaha
1.
Discotique
1
Bounty, paddys, dll
2.
Panggung Tertutup
15
Musro, Hard Rock, (lainnya terlampir)
3.
Karaoke
10
Ayu Komang, Kuta Timur
4.
Bilyard/Rumah Bola
20
Karaoke, (alainnya terlampir)
5.
Botak(BolaKetangkasan)
8
Kuta Billyar, Citra Billyar,
6.
Gelanggang
Permainan 28
dan Ketangkasan
dll Millenium UD.88, rembulan, dll Permainan
anak-anak
Rajawali, Matahari
Time
Zone (Lainnya Terlampir).
J u m l a h
82
Sumber : Diolah dari Data Diparda Tk.II Badung
Upaya pemuasan terhadap kebutuhan wisatawan tampak tidak pernah ada hentinya dilakukan. Untuk itu maka dalam pemenuhan akan acsescibility atau diupayakan berbagai kemudahan dalam mendapatkan souvenir/cenderamata kini semakin menarik dalam penyajian di toko, art shop dan demikian juga dibangun beberapa swlayan shopping centre yang lengkap dan menarik seperti Kuta Square Shopping Centre, Gelael Shopping Centre dan lainnya. Semua pengembangan pembangunan fisik yang terjadi di Kuta tampak penuh dengan model arsitektur dari berbagai daerah dan bahkan dari
98
berbagai negara lainnya, semata-mata hanya untuk pemoles nilai seni dan menjadi ciri khas yang mampu memberikan daa tarik kepada wisatawan.
4.4.2
Perubahan Fisik Kuta sebagai Kawasan Wisata Tumbuh dan berkembangnya pariwisata di Kuta, tentunya tidak lepas
dari peran masyarakat setempat. Peran tersebut terwujud dalam aktifitas kehidupan sehari-hari yang menilai tinggi sistem ekonomi bisnis untuk peningkatan income atau pendapatan, sehingga pada akhirnya memberi dampak positif terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Sejauhmana kegiatan pariwisata mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kuta, dan bagaimana sebaliknya yang terjadi aktifitas ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kuta dalam kegiatan kepariwisataan. Penggunaan tanah di Desa Pakraman Kuta sebagian besar digunakan untuk pertokoan. Di pinggir jalan, dari jalan utama sampai jalan kecil-kecil nampak penuh dengan pertokoan. Warga masyarakat banyak membuat pertokoan
dan
pembangunan
perumahan
untuk
dikontrakkan
kepada
pengontrak. Di gang-gang kecil juga penuh dengan rumah dengan jumlah kamar antara 5-20 kamar. Kamar-kamar tersebut dikontrakkan, ada yang dikontrakkan bulanan serta tahunan. Pemilik toko dan kios-kios kebanyakan dimiliki oleh masyarakat setempat (anggota Desa Pakraman Kuta). Pemilik kemudian mengontrakkannya kepada anggota masyarakat lainnya, baik dari Desa Pakraman Kuta maupun kepada masyarakat yang bukan merupakan anggota Desa Pakraman Kuta. Pengontrakkan kamar, rumah pertokoan,
99
maupun tanah, terjadi sangat pesat. Hal ini mungkin disebabkan karena sejak tahun 1993, ada himbauan dari
Bendesa
adat Desa Pakraman Kuta I
Made Wendra agar masyarakat tidak menjual tanahnya. Ini dimaksudkan untuk menghindari agar kepemilikan tanah tidak dimiliki oleh bukan warga Desa Pakraman Kuta. Walaupun ada himbauan dari I
Made
Wendra, alih
fungsi
Bendesa
lahan
di
Adat Desa Pakraman Kuta
Kelurahan
Kuta
tidak
dapat
dihindarkan. Pembangunan pertokoan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun terakhir ini. Dari luas lahan 723 Ha, digunakan untuk bangunan pertokoan 199, 3 Ha (27, 57%) pada tahun 2000 dan pada tahun 2001 berkembang menjadi 289, 3 Ha(40, 91%) atau ada alih fungsi lahan 90 Ha
(13, 34%).
Pembangunan
pemukiman
juga
sangat
pesat.
Terjadi
perubahan lahan dari 65 Ha (8, 99%) untuk penggunaan pemukiman pada tahun
2000, menjadi
175
Ha
(24, 20%)
tahun
2001
atau
terjadi
perkembangan pemukiman 110 Ha (15, 21). Tanah yang digunakan untuk pemukiman dan pertokoan kebanyakan tanah tegalan. Perubahan penggunaan tanah di wilayah Desa Pakraman Kuta secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.5 Perubahan Penggunaan Tanah di Wilayah Desa Pakraman Kuta Tahun 2000-2001 No
Penggunaan Tanah Pemukiman a. KPR BTN b. Umum Untuk bangunan
Tahun 2001
Tahun 2002
1, 5 65
1, 5 175
Perubahan lahan 0 110
100
a. Perkantoran
125 1, 5
135 1, 5
10 0
199, 3 0, 5 2
289, 3 0, 5 2
90 0 0
2 13, 7
2 13, 7
0 0
174 1, 5 137 723 Ha
36 1, 5 65 723 Ha
b. Sekolah c. Pertokoan d. Pasar e. Terminal f.
Kuburan
g. Jalan Ladang Tempat Rekreasi Lain-lain J u m l a h
-138 0 -72
Sumber : Monografi Kelurahan Kuta (2001)
Melihat tabel diatas, nampak bahwa tata ruang Desa Pakraman Kuta sebagian besar untuk bangunan yakni 600, 8 Ha (83, 10%), dari 723 Ha tanah, 102, 5 Ha (14, 18%) untuk tegalan dan penggunaan lain-lain serta sisanya 19, 7Ha (2, 72%) untuk fasilitas umum. Bukan hanya di Kuta, tetapi hal ini terjadi dimana-mana di Bali. Pengalihan tata guna ini menurut Young (1973) merupakan salah satu dampak negatif dari perkembangan pariwisata karena banyak tanah pertanian digunakan untuk sarana pariwisata seperti hotel, restaurant dan sarana pariwisata lainnya. Bahkan seperti dikemukakan diatas, di Desa Pakraman Kuta, ladang/tegalan hanya tersisa 36 Ha tahun 2001. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dengan tidak adanya lahan pertanian, maka pertanian
sebagai
penopang
kemungkinan akan hilang.
budaya
agraris
pada
masyarakat
Kuta
101
4.5
Profil Geografis Kelurahan Kuta Perkembangan
desa
Kuta
sebagai
wilayah
wisata
tidak
dapat
dipisahkan dari perkembangan daerah tersebut sebagai tempat pemukiman penduduk secara umum. Desa Kuta, sebagai halnya desa-desa lainnya di Bali yang terdiri atas desa adat dan kesatuan administratif (desa Dinas) yang juga memiliki pola pengembangan yang sama, hanya saja dalam perkembangan sewlanjutnya sebagai daerah wisata, desa Kuta berkembang sangat pesat dan cepat. Kelurahan Kuta adalah merupakan salah satu desa/kelurahan di kecamatan Kuta, kabupaten Daerah Tingkat II badung, Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Kecamatan Kuta yang dengan luas wilayah 152.21 Km2 pada tahun 1997 memiliki jumlah penduduk mencapai 103.038 jiwa, dengan penyebaran penduduk merata dengan rata-rata 500 jiwa/Km2 (Monografi Kecamatan Kuta, 1997). Berdasarkan hal ini maka pada bulan Juli 1999 Kecamatan
Kuta
masing-masing
akhirnya
Kecamatan
dimekarkan Kuta
menjadi
tiga
utara, Kecamatan
kecamatan
Kuta
Tengah
yakni dan
Kecamatan Kuta Selatan. Dalam pemekaran itu, kecamatan Kuta Utara membawahi 6 desa/kelurahan, yaitu : (1) canggu, (2) Kerobokan, (3) Kerobokan Utara, (4) Kerobokan Selatan, (5)Canggu, (6) Dalung. Kecamatan Kuta Tengah, meliputi 6 Desa/Kelurahan, yaitu : (1) Seminyak, (2) Kedonganan, (3) Legian, (4) Tuban, (5) Kuta dan (6) Jimbaran. Kecamatan Kuta Selatan terdiri atas 4 Desa/Kelurahan, yaitu : (1) Pecatu, (2) Benoa, (3) Tanjung Benoa dan (4)
102
Ungasan. Pemekaran ini diresmikan oleh Gubernur Bali, Dewa Made Beratha di Wantilan Kantor Lurah Kuta. Sebelum menjadi kelurahan seperti saat ini, Kelurahan Kuta bernama desa Kuta, yang mewilayahi Desa Adat Kuta, Desa Adat Legian, Desa Adat Seminyak. Masing-masing desa adat tersebut memiliki beberapa banjar Dinas. Desa Adat Kuta terdiri atas 7 banjar dinas, yaitu : (1) Jaba Kuta, (2) buni Kuta, (3) tegal Kuta, (4) Pande Kuta, (5) Pengabetan Kuta, (6) Temacun Kuta dan (7) Pelasa Kuta. Sedangkan desa adat Legian terdiri atas 3 banjar dinas, yaitu : (1) Legian Kelod, (2) Legian Tengah dan (3) Legian Kaja., Desa Adat Seminyak terdiri atas dua banjar dinas, yaitu : (1) Seminyak dan (2) Basangkasa. Dalam perkembangannya, Desa Kuta dimekarkan menjadi tiga desa/ kelurahan pada tahun 1998 masing-masing terpisah, yakni : (1)Kelurahan Kuta, (2) Kelurahan Legian, dan (3) Kelurahan Seminyak. Atas pemekaran ini, maka luas Kelurahan Kuta dari sebelumnya 1.293 Hektar berkurang menjadi hanya seluas 723 hektar, dengan batas-batas kelurahan sebagai berikut : Sebelah Utara : Kelurahan Legian Kecamatan Kuta Sebelah Selatan: Kelurahan Tuban Kecamatan Kuta Sebelah barat : Samudera Indonesia Sebelah Timur: Kelurahan Pemogan Kecamatan Denpasar Selatan. Secara Topografi Kelurahan Kuta yang membentang di pinggir pantai bagian Barat kaki pulau Bali, dengan ombak yang besar dan arus yang
103
sangat kuat dari pengaruh Samudera Indonesia, seluruhnya berbentuk dataran. Kondisi geografis berada kurang dari 500 meter di atas permukaan laut, dan kesuburan tanahnya terolong subur dan sedang. Untuk saat ini Kelurahan Kuta tidak memiliki lahan kritis, lahan terlantar, gambut, lahan pasang surut dan juga padang ilalang. Keadaan ini sebagai dampak dari penyempitan lahan dan berubahnya peruntukan lahan sebagai akibat dari perkembangan kepariwisataan. Berdasarkan Daftar Isian Profil Kelurahan Kuta tahun 2000, maka jumlah penduduk yang tercatat adalah 10, 043 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 2.199 KK. Dari jumlah tersebut terdapat 21 jiwa dari warga negara keturunan (asing), dengan perincian 7 laki-laki dan 14 perempuan. Dalam hubungan ini orang asing yang terdaftar itu bukanlah wisatawan. Secara rinci berdasarkan jenis kelamin penduduk Kelurahan Kuta adalah : sebanyak 5.071 jiwa laki-laki, sebanyak 4.942 jiwa perempuan, dengan kepadatan penduduk mencapai 13, 7 per Km
4.6
Kewilayahan Desa Adat Kuta Desa Adat Kuta, wilayahnya hampir sama dengan Kelurahan Kuta.
Covarubias (1972) merumuskan pengertian desa adat sebagai kesatuan masyarakat di mana rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat oleh wilayah tertentu (karang desa) dengan batas-batas yang jelas dan terikat pula
oleh
satu
sistem
tempat
persembahyangan
yang
disebut
Pura
Kahyangan Tiga yang terdiri atas Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem.
104
Desa Adat Kuta merupakan daerah Pariwisata memlki luas wilayah 723 ha, dengan batas utara Kelurahan Legian, timur desa Pemogan, selatan desa Tuban
dan
barat
berbatasan
dengan
samudra
Indonesia.
Daerah
ini
merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan pantai. Ketinggian ratarata di bawah 100 meter dari permukaan air laut, dengan kemiringan ratarata 0-3%. Desa apakraman Kuta memiliki 13 banjar adat, serta tergabung ke dalam banjar dinas dan 5 banjar persiapan. Nama-nama banjar dinas dan banjar adat tersebut disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.6 Nama Banjar dinas dan Banjar Adat di Desa Adat Kuta tahun 2001 No
Nama Banjar Dinas
Nama Banjar Adat
1
Pelasa
Pelasa
2
Pengabetan
Pengabetan
3
Pering
Pering
4
Pemamoran
Pemamoran
5
Temacun
Temacun
6
Pande Mas
Pande Mas
7
Buni
Buni
8
Tegal
Tegal
9
Tebasari
10
Jabajero
Jabajero
11
Abianbase
Mertajati
12
Anyar
Anyar
13
Segara
Segara
Sumber : Kuta (2001)
Bendesa
adat Desa Adat Kuta dan Statistik Kelurahan
105
Lokasi Desa Adat Kuta sangat strategis sebagai daerah pariwisata. Memiki pantai
yang berpasir putih, dan berhadapan langsung dengan
matahari terbenam (sun set), sehingga para wisatawan dapat langsung menikmati keindahan ini. Letaknya tidak jauh dari pusat Kota Denpasar, hanya 12 Km dan 11 km. dari kota propinsi serta pusat perkantoran.
Gambar 4.1 Peta Wilayah Desa Adat Kuta. Sumber: Dok. Desa Adat Kuta
Posisi Kuta yang memiliki pantai di sisi barat dan sisi timur desa inilah yang menjadikan Kuta sebagai pusat perdagangan sejak zaman kerajaan, sebagai Bandar pelabuhan yang hingga kini terkenal Mad J. Lange sebagai syah Bandar
sekaligus pernah sebagai kepala
desanya.
Kuta
memiliki keadaan musim yang tidak berbeda dengan daerah lainnya di Bali, yakni musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan turun pada bulan
106
Oktober sampai Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan April sampai dengan Oktober. Akhir-akhir ini bila musim hujan sering kebanjiran. Hal ini mungkin disebabkan karena konstruksi dari drenaise kurang baik, walaupun sebenarnya ada sungai yang menampung air hujan untuk mengalirkannya ke laut. Ada beberapa sungai yang mengalir di daerah Kuta dengan debit air yang kecil, tetapi sungai cukup besar yang mengaliri Kuta aalah Tukad Mati bermuara ke wilayah Timur. Penggunaan tanah di Desa Adat Kuta sebagian besar digunakan untuk pertokoan. Di pinggir jalan, dari jalan utama sampai jalan kecil-kecil nampak penuh dengan pertokoan. Warga masyarakat banyak membuat pertokoan
dan
pembangunan
perumahan
untuk
dikontrakkan
kepada
pengontrak. Di gang-gang kecil juga penuh dengan rumah dengan jumlah kamar antara 5-20 kamar. Kamar-kamar tersebut dikontrakkan, ada yang dikontrakkan bulanan serta tahunan. Pemilik toko dan kios-kios kebanyakan dimiliki oleh masyarakat setempat (krama Desa Adat Kuta). Pemilik kemudian mengontrakkannya kepada anggota masyarakat lainnya, baik dari Desa Adat Kuta maupun kepada masyarakat yang bukan merupakan krama Desa Adat Kuta. Pengontrakkan kamar, rumah pertokoan, maupun tanah, terjadi sangat pesat. Hal ini mungkin disebabkan karena sejak tahun 1993, ada himbauan dari tidak
menjual
Bendesa
tanahnya.
Adat Kuta I Made Wendra agar masyarakat Ini
dimaksudkan
untuk
menghindari
kepemilikan tanah tidak dimiliki oleh bukan warga Desa Adat Kuta.
agar
107
Walaupun ada himbauan dari
Bendesa
adat Desa Adat Kuta I
Made Wendra, alih fungsi lahan di Kelurahan Kuta tidak dapat dihindarkan. Pembangunan pertokoan mengalami perkembangan yang sangat pesat pada tahun terakhir ini. Dari luas lahan 723 Ha, digunakan untuk bangunan pertokoan 199, 3 Ha (27, 57%) pada tahun 2000 dan pada tahun 2001 berkembang menjadi 289, 3 Ha(40, 91%) atau ada alih fungsi lahan 90 Ha (13, 34%). Pembangunan pemukiman juga sangat pesat. Terjadi perubahan lahan dari 65 Ha (8, 99%) untuk penggunaan pemukiman pada tahun 2000, menjadi
175
Ha
(24, 20%)
tahun
2001
atau
terjadi
perkembangan
pemukiman 110 Ha (15, 21). Tanah yang digunakan untuk pemukiman dan pertokoan kebanyakan tanah tegalan.
Perubahan penggunaan tanah di
wilayah Desa Adat Kuta secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut :
No
Tabel 4.7 Perubahan Penggunaan Tanah di Wilayah Desa Adat Kuta Tahun 2000-2001 Penggunaan Tahun 2001 Tahun 2002 Perubahan Tanah Lahan Pemukiman KPR BTN Umum Perkantoran Sekolah Pertokoan Pasar Terminal Kuburan Jalan Ladang Rekreasi Lain-lain
1, 5 65 125 1, 5 199, 3 0, 5 2 2 13, 7 174 1, 5 137
1, 5 175 135 1, 5 289, 3 0, 5 2 2 13, 7 36 1, 5 65
J u m l a h 723 Ha 723 Ha Sumber : Monografi Kelurahan Kuta (2001)
0 110 10 0 90 0 0 0 0 -138 0 -72
108
Melihat tabel di atas, nampak bahwa tata ruang Desa Adat Kuta sebagian besar untuk bangunan yakni 600, 8 Ha (83, 10%), dari 723 Ha tanah, 102, 5 Ha (14, 18%) untuk tegalan dan penggunaan lain-lain serta sisanya 19, 7Ha (2, 72%) untuk fasilitas umum. Bukan hanya di Kuta, tetapi hal ini terjadi di mana -mana di Bali. Pengalihan tata guna ini merupakan salah satu dampak negatif dari perkembangan pariwisata karena banyak tanah pertanian digunakan untuk sarana pariwisata seperti hotel, restaurant dan sarana pariwisata lainnya. Bahkan seperti dikemukakan di atas, di Desa Adat Kuta, ladang/tegalan hanya tersisa 36 Ha tahun 2001. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena dengan tidak adanya lahan pertanian, maka pertanian sebagai penopang budaya agraris pada masyarakat Kuta kemungkinan akan hilang.
4.7
Hubungan Sosial-Geografi Kelurahan dan Desa Adat Kuta Hubungan Kelurahan dan Desa Adat Kuta, secara historis merupakan
pengaruh kerajaan dan penjajahan kolonial Belanda, yang mewarisi hubungan desa adat dan desa dinas hingga berstatus kelurahan sekarang. Sebelum tahun 1998, ketika Kelurahan Kuta mewilayahi tiga desa adat, yaitu; Desa Adat Kuta, Desa Adat Legian, dan Desa Adat Seminyak, nampak kedudukan desa dinas atau kelurahan hanya sebagai lembaga formal yang mengurus domisili dan administrasi penduduk. Setelah pemekaran Kuta menjadi tiga kelurahan sesuai wilayah desa adat, posisinya menjadi lebih dinamis dan aspiratif
walaupun
Lurah
ditempatkan
secara
dinas
oleh
Pemerintah
109
Kabupaten Badung. Kelurahan Kuta, Kelurahan Seminyak
identik
dengan
nama
dan
Legian
wilayah
dan
desa
Kelurahan adat, dengan
masyarakatnya. Pitana (1994, 2000) menyebutkan bahwa ciri-ciri sebuah desa adat, mempunyai wilayah dengan bayas-batas wilayah yang jelas. Batas ini dapat berupa sungai, hutan, jurang, pantai ataupun batas-batas buatan seperti tembok penyengker dan lain-lain. Mempunyai anggota (krama) yang jelas dengan persyaratan tertentu, sebagian besar anggota berdomisili di desa adat yang bersangkutan dan anggota desa adat memiliki ikatan yang sangat kuat terhadap Desa adatnya. Keberadaan Pura Khayangan Tiga atau kahyangan desa sangat mutlak. Kahyangan tiga biasanya terdiri atas Pura Puseh, Pura Desa, Bale agung dan Pura Dalem. Tapi di desa adat tertentu menyesuaikan karena untuk di daerah pantai, ada yang menggarap Pura Segara sebagai Pura Desa. Desa adat mempunyai otonomi baik keluar maupn ke dalam. Otonomi ke dalam berarti kebebasab atau kekuasaan dalam mengatur rumah tangganya sendiri, dan otonomi keluar diartikan sebagai kebebasan untuk mengadakan kontak langsung dengan institusi di luar desa adatnya sendiri. Sebagai satu kesatuan wilayah hukum adat, desa adat memiliki satu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat) sendiri berlandaskan pada peraturan-peraturan sendiri (awig-awig) baik tertulis maupun tidak tertulis. Dikatakan pula bahwa desa adat merupakan salah satu monumen yang menajdi ciri kehidupan sosial budaya religius dalam masyarakat Bali.
110
Monumen tradisional ini berperan dalam pembangunan masyarakat Bali dalam berbagai aspek seperti sosial, budaya, ekonomi, religius, politik dan keamanan. Secara umum semua orang Bali (Hindu) adalah bagian dari Desa adat, karena hampir semua manusia Bali menjadi salah satu atau lebih anggota Desa adat. Adapun pengempon masing-masing pura di Desa Adat Kuta dapat dilihat pada tabel berikut ;
Tabel 4.8 Nama Pura, Banjar Pengempon dan Anggota Pemaksan Pura No Nama pura Banjar Pengempon Jumlah Odalan Anggota Puseh Pelasa, Br.Anyar 351 Paing Galungan Dalem Pande Mas 365 Anggar Pengabetan Kasih Medangsia Pura Desa/ Pering, Pemamoran, 221 Pemacekan Baleagung Temacun Agung Pura Segara Teba Sari, Segara 300 Buda Cemeng Kelau Penataran Jaba Jero, Jaba jati 202 Anggar Kasih Medangsia Penyarikan Buni, Tegal 250 Buda Cemeng Langkir Jumlah 1689 KK Sumber : Statistik Desa Adat Kuta 2001
4.7.1
Kehidupan Sosial Ekonomi Kuta Pembangunan perekonomian Bali dan Kuta khususnya kini tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa pariwisata adalah sebagai leading sector yang memberikan
berbagai
peluang
bagi
masyarakat
untuk
berkiprah
atau
111
beraktivitas pada bidang tersebut. Beberapa tolok ukur riil yang biasanya digunakan dalam suatu studi untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi
dalam
Peningkatan
kehidupan
pendapatan
masyarakat
per kapita, atau
yang
terutama
dalam
mengukur
adalah :
(1)
kemakmuran
wilayah maka yang digunakan adalah produk Domestik regional Bruto (PDRB); (2) tingkat kepemilikan tempat tinggal yang layak; (3) kepemilikan barang-barang mewah di luar kebutuhan primer; dan (4) kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan dan perjalanan wisata/tour, serta (5) tingkat pemenuhan dalam masalah-masalah sosial budaya lainnya. Pertumbuhan pariwisata yang demikian pesat ini hingga sekarang memberikan peningkatan perekonomian masyarakat Kuta yang berarti juga secara otomatis merupakan peningkatan pendapatan masyarakat di atas ratarata. Perkembangan kepariwisataan memberikan corak mata pencaharian masyarakat Kuta yang benar-benar berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Pada tahap pertama perkembangan home stay, masyarakat beramai-ramai beralih dari petani dan nelayan menjadi pengusaha home stay. Untuk pengembangan home stay dibutuhkan lahan yang cukup banyak, maka ladang dan kebunpun menjadi home stay. Dalam hal ini banyak petani penggarap kehilangan pekerjaannya, karena pemilik tanah ada yang menjual tanahnya untuk membangun hotel dan gedung-gedung lainnya. Demikian juga berdiri banyak warung, toko dan sejenis art shop, yang menjual berbagai kebutuhan wisatawan. Muncul pula jasa transportasi, pemandu
112
wisata (guide), dan lainnya yang merupakan sebuah multiplying effect atau efek penggandaan modal dalam pariwisata.
4.7.2
Mata Pencaharian Masyarakat Lokal Kuta Dari informasi masyarakat setempat diketahui bahwa pada awalnya
penduduk di daerah Kuta bermatapencaharian sebagai petani, sebagian lagi bekerja sebagai nelayan dan sebagian lagi bekerja sebagai pedagang serta bekerja pada kerajinan emas dan perak. Setelah Kuta diperkenalkan sebagai salah satu daerah yang layak dikunjungi dengan pantainya yang indah serta sun setnya yang indah, maka lambat laun daerah Kuta berkembang sangat pesat menjadi daerah pariwisata. Para petani yang mula-mula menggarap lahannya di sawah, kini beralih menjadi pedagang, pengusaha penginapan, pengusaha rumah makan, beberapa anggota masyarakat yang pada mulanya sebagai nelayan, kini dengan berkembangnya pariwisata beralih menjadi pengusaha jukung untuk mengantar wisatawan ke laut berwisata. Jumlahnya dapat di lihat pada tabel berikut :
Tabel 4.9 Jumlah Penduduk Kuta Menurut Mata Pencaharian No
Jenis Pekerjaan
Jumlah (Orang)
1
Petani
-
2
Nelayan
-
3
Pedagang
608
4
ABRI danb PNS
397
113
5
Tukang
285
6
Buruh
468
7
Pegawai/lain-lain
1227
Jumlah
2984
Sumber : Monografi Kelurahan Kuta Tahun 2009
4.7.3
Aktivitas Sosial Budaya Aktivitas sosial budaya untuk masyarakat Kelurahan Kuta hampir
sama dengan desa-desa/kelurahan lainnya yang ada di Bali. Penggerak utama seluruh aktivitas sosial budaya yang tercermin dalam adat dan agama Hindu di lakukan oleh lembaga yang tidak asing lagi di Bali yang di sebut dengan desa adat, yang dipimpin oleh seorang
bendesa
adat. Pada tingkat
yang paling bawah dari desa adat, disebut Banjar Adat, yang dipimpin oleh kelihan Adat. Baik desa adat maupun banjar adat masing-masing memiliki lingkup kesatuan yaitu desa/banjar adat dan dinas. desa adat dan banjar adat membatasi lingkup keasatuannya berdasarkan adat dan kesatuan secara genealogis, sedangkan desa/banjar dinas membatasi lingkup kesatuannya secara administratif. Dengan
berkembangnya
kepariwisataan
di
Kuta
maka
banyak
penduduk dari luar desa dan luar Bali mencari ekerjaan dan tinggal menetap di Kuta. Berdasarkan pembatasan yang tesebut di atas, maka bentuk dan wujud dari organisasi banjar dan Desa Adat Kuta akan tetap berbeda dengan struktur dari organisasi banjar dan desa dinas akan mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhannya. Kegiatan sosial
114
dan kemasyarakatan di Kelurahan Kuta juga dibedakan atas adat dan dinas. Penduduk asli Kuta termasuk dalam kedua keanggotaan baik adat maupun dinas. Sedangkan bagi penduduk pendatang hanya sebatas administratif kedinasan. Pembedaan ini karena pada penduduk asli memiliki kegiatan sosial budaya dan tanggung jawab religius terhadap keterikatan-keterikatan sebagai warga desa asli. Muncul juga beberapa organisasi sosial lainnya yang membantu dan melengkapi
sistem
kepemudaan, wanita
organisais dan
yang
organisasi
sudah lainnya
ada, seperti di
bidang
:
organisasi
kepariwisataan,
misalnya Unit Pengelolaan Pantai Desa Adat Kuta, Unit Pengelolaan Pasar Seni
Desa
Adat
Pantai/Balawista
Kuta, Persatuan
Badung, Sekeha
Peselancar, Organisasi Kesenian, dan
secara
Penyelamat menyeluruh
dikoordinasikan oleh Lembaga Pemberdayaa Masyarakat (LPM) Kuta, sampai pada pengelolaan retribusi lokal Kuta yang
diserahkan oleh Pemerintah
Kabupaten Badung.
4.7.4
Kehidupan Tradisi dan Keagamaan Sebagai salah satu daya tarik dari kunjungan wisatawan ke Bali
adalah mereka ingin melihat keunikan tradisi dan agama Hindu yang ada di Bali. Terjadi hubungan yang kausal jika antara perkembangan kepariwisataan dikaitkan dengan pelestarian dan peningkatan pelaksanaan kehidupan tradisi dan keagamaan tersebut. Kenyataan inilah yang menyiratkan bahwa Bali
115
memang tepat menetapkan model kepariwisataan yang berdasarkan dan berjiwakan kebudayaan. Sampai saat ini tradisi yang masih tetap berkembang dan tumbuh subur di lingkungan masyarakat Kuta, berupa pelaksanaan tata upacara daur hidup (life cycle), dengan tata cara upacara keagamaam baik pada pemujaan keluarga di rumah-rumah tinggal, dan dadia soroh klen, serta pelaksanaan yang semakin marak dan terarah di pura pemujaan Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem). Kenyataan yang sangat mudah dipahami, terkait dengan peningkatan pendapat
masyarakat
sebagai
akibat
dari pariwisata, maka
bangunan tempat ibadah (pura, sanggah/merajan) semakin diperbaiki dengan gaya arsitektur yang lebih bagus dan kuat, serta kuantitas pelaksanaan upacara besar semakin banyak dan sering. Semua ini merupakan rasa syukur masyarakat dan sebagai nilai tabunngan plus yang terkait dengan hukum ‘karma pahala’ dan konsep ‘yadnya’ atau pengorbanan dengan menirukan konsep ekonomi, pengorbanan yang sedikit untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Begitulah sebuah teori fungsional, dalam masalah penerapan kehidupan sosial budaya di Bali dan Kuta khususnya, bahwa tolong menolong sebagai wujud nyatanya, dan lebih abstrak lagi dalam
konsep
persembahan
yakni
adanya
‘yadnya’
sebagai
korban
persembahan guna mendapatkan berkah yang lebih banyak dari Yang Maha Kuasa dengan sebutan Ida Sanghyang Widi Wasa. Desa Adat Kuta memiliki 6 barong yang memiliki pemaksan masingmasing, yakni Barong di banjar Pande Mas, Banjar Tegal, barong di Puri
116
Satria Dalem Kaleran dan satu lagi berupa barong landung (lanang-istri) yang pemaksannya dari banjar Segara. Pemaksan ini tidak jumlahnya tidak mesti berasal dsari banjar di mana barong tersebut berada, tetapi hanyalah berdasarkan kemauan hati. Tiap-tiap barong memiliki odalan masing-masing. Di samping odalan, semua barong biasanya ngelaang setiap tahun sekali (sasih keenem, sekitar Bulan Desember) secara bersama-sama. Hal in merupakan atraksi budaya yang sangat menarik bagi wisatawan. Desa Adat Kuta memiliki 4 kuburan (setra) yakni setra kauh lokasinya di banjar segara, setra kangin berlokasi di banjar tegal, setra alit (khusus untuk anak-anak sebelum remaja) dan setra khusus keluarga Puri Satria Dalem Kaleran berlokasi di banjar anyar. Seperti daerah-daerah di desa adat lainnya di Bali, biasanya di samping setra terdapat Pura Dalem dan Meraja Pati. Di Desa Adat Kuta hanya memiliki 2 Pura Dalem yakni dalem Tunon khusus keluarga Puri Satria dalem Kaleran dan Dalem Kahyangan. Bagi setra yang tidak memiliki pura dalem seperti setra alit dan setra kauh, biasanya masyarakat hanya bersembanhyang pada pohon pule yang sudah dianggap keramat yang hidup di areal setra tersebut. Bagi warga banjar pengempon pura, mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan kegiatan di pura tersebut. Upacara di Pura dilakukan setiap enam bulan sekali dengan bergilir diantara pengempon banjar. Misalnya di Pura Segara yang berkewajiban melaksanakan upacara adalah Banjar Segara dan banjar adat Tebasari. Jika pada piodalan yang
117
sekarang yang mendapat kewajiban adalah banjar segara, maka pada enam bulan berikutnya adalah yang berkewajiban melaksanakan prosesi upacara adalah banjar Teba sari. Demikian selanjutnya setiap enam bulan sekali secara bergiliran. Bagi banjar yang pada saat odalan tidak mendapat giliran, maka anggota banjar tersebut datang bersembanhyang ke pura hanya pada saat hari odalan. Demikian juga warga masyarakat lainnya yang ingin bersembahyang dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap prosesi upacara, maka mereka juga akan datang pada saat hari upacara. Mereka datang hanya bersembahyang, setelah sembahyang akan langsung pulang. Khusus di lokasi pasar seni, ada juga sebuah pura yang disebut pura melanting. Penyungsungnya adalah semua pedagang yang beragama hindu di pasar seni tersebut. Setiap hari nampak penuh dengan canang sari karena para pedagang biasanya setelah membuka kiosnya akan bersembahyang dulu di pura dan di depan kios tempat mereka berdagang. Pura ini juga memiliki odalan sendiri dan semua biaya upacara ditanggung sepenuhnya oleh desa adat. Disamping pura-pura di atas, masing-masing banjar adat juga memiliki pura yang ada di bale banjar masing-masing. Yang bertanggung jawab sepenuhnya
pada
pura
di
masing-masing
banjar
adalah
banjar
yang
bersangkutan. Termasuk juga biaya untk ngodalin (mengadakan upacara) sepenuhnya merupakan tanggung jawab banjar setempat. Untuk biaya ini biasanya di ambil dari kas banjar. Kas banjar dikumpulkan dari iuran masing-masing anggota banjar yang besarnya bervariasi dari Rp 5000, -
118
hingga Rp 15.000, -, tidak ada aturan secara pasti. Hal ini sepenuhnya dikelola oleh banjar adat setempat. Di samping upacara odalan, setiap Purnama (bulan penuh) masyarakat di Desa Adat Kuta selalu melaksanakan upacara yang lebih besar dari biasanya
yang
dilakukan
di
desa
adat
lainnya
di
Bali.
Ini
sudah
berlangsung sejak tahun 1993. Dari informasi masyarakat setempat bahwa ada dua alasan dilaksanakannya upacara ini, yakni di samping memang tulus untuk berbakti mengucapkan terima kasih atas berkah yang didapatkan oleh Hyang Kuasa kepada umatnya, juga sebagai faktor penarik wisatawan untuk menikmati atraksi budaya yakni upacara agama Hindu di Bali. Semua keluarga
yang beragama
Hindu memiliki merajan.
Ada
merajan yang disungsung oleh lebih dari satu keluarga. Disamping merajan, nampak pula bahwa pada masing-masing rumah memiliki “penunggun karang” dan Padma sana”. Geria, sebagai tempat sulinggih ada dua buah yakni Geria dauh Kutuh dari warga Pasek dan Geria Tegeh yang pendetanya dari warga Brahmana. Kedua Geria tersebut memiliki banyak tukang banten. Tukang banten ini biasa melayani warga setempat untuk membuat banten dalam pelaksanaan upacara. Di samping melayani keluarga-keluarga, juga banyak permintaan dari pengusaha (bukan beragama Hindu) untuk membuatkan banten untuk pelaksanaan upacara pada tempat usahanya. Karena banyaknya permintaan maka nampaknya para tukang banten sangat sibuk, sehingga dengan bekerja membuat banten, mereka idak sempat lagi mencari pekerjaan
119
lain untuk menambah penghasilan, karena merupakan
pekerjaan
pokok
sebagai
membuat banten ini sudah
pekerjaan
yang
menghasilkan
pendapatan. Para tukang banten ini lebih sibuk lagi pada hari-hari rainan besar agama Hindu seperti : Tumpek Landep, Purnama, Tilem, dan Odalan Rambut Sedana sebagai hari suci untuk Dewa-dewi kemakmuran. Wilayah Desa Adat Kuta hampir sama dengan Kelurahan Kuta, hanya satu banjar yakni banjar Abian Base masuk ke lingkungan wilayah desa adat Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan kota Denpasar. Kelurahan Kuta memiliki masyarakat yang multi etnik. Bahkan warga atau etnik Tionghoa diperkirakan sudah menempati daerah tersebut sejak ratusan tahun yang lalu. Anggota warga Tionghoa ini terdiri atas 64 KK, mengelompokkan diri menjadi satu kelompok warga yakni kelompok Darma Semadi merupakan salah satu kelompok banjar yang anggotanya semua warga Tionghoa. Ada warga negara asing 20 orang dan yang lainnya WNI. WNI ini sebagian besar warga atau suku Bali yang beragama Hindu yakni 7758 orang. Suku lainnya antar lain : Jawa, Lombok Sumbawa, Flores, Sumatra, Menado dan lain sebagainya. Dari berbagai suku tersebut, tercatat 1322 orang beragama Islam, 525 orang beragama Kristen, 331 orang beragama Budha. Seperti disebutkan di atas bahwa Desa Adat Kuta terdiri atas 13 banjar. Banjar adalah merupakan kesatuan sosial atas dasar ikatan wilayah. Masing-masing banjar dikepalai oleh seorang kelian banjar. Yang menjadi anggota di banjar adat ini adalah semua warga yang sudah menikah. Jika
120
mereka baru melaksanakan perkawinan, maka tiga bulan setelah menikah mereka resmi menjadi anggota banjar adat. Astika (1985) mengatakan bahwa
di
Bali
ada
yang
menggunakan
pemesuan
atau
ada
yang
menggunakan KK (kepala keluarga). Bagi anggota banjar yang suaminya sudah meninggal atau sudah menjanda mereka tidak menjadi anggota banjar penuh. Mereka hanya dikenakan iuran wajib sebagai anggota banjar yang besarnya bervariasi perbulan yang diambil setiap bulan pada saat sangkepan banjar. Anggota banjar ini akan dilanjutkan nanti setelah anaknya yang lakilaki menikah. Organisasi yang dikenal dengan nama sekaa juga dijumpai di Desa pekraman Kuta. Sekaa yang menurut Geertz (1989: 89) secara harfiahnya berarti “menjadi satu”, adalah suatu kelompok sosial dibentuk berdasarkan kriteria tunggal dan eksklusif, kriteria keanggotaan dicurahkan untuk mencari tujuan sosial tertentu dan biasanya agak khusus, misalnya keagamaan, politik, ekonomi atau apa saja. Sekaa juga diartikan sebagai suatu kelompok (perkumpulan atau kesatuan sosial yang memiliki tujuantujuan khusus tertentu. Dasar keanggotaannya umumnya sukarela (Astika, 1985). Berdasarkan penggolongan tersebut, dapat dikemukakan bahwa di Desa Adat Kuta ada satu sekaa jemaah kuil, yakni pemaksan tapakan barong. Perkumpulan sukarela yaitu sekaa teruna, sekaa gong, sekaa wayang, sekaa angklung, sekaa pesantian, sekaa arisan dan PKK. Di Desa Adat Kuta ada 12 STT. STT merupakan lembaga sosial yang bersifat tradisional terutama bergerak di bidang adat dan agama. Selain STT, terdapat pula di
121
masing-masing banjar sekaa gong dan sekaa shanti. Di samping sekaa di masing-masing banjar ada juga sekaa atau kelompok di luar tersebut yakni sekaa angklung di Br. Jaba Jero dan gender. Sekaa yang berhubungan dengan pengairan dan pertanian saat penelitian ini sudah tidak ditemukan lagi. Perubahan ini terjadi skitar tahun 60-70an, setelah berkembangnya pariwisata di daerah Kuta. Tanah pertanian beralih fungsi menjdi toko-toko, perumahan hotel dan sejenisnya sehingga saat ini subak sebagai suatu organisasi tradisional pengelola pengairan tidak ditemukan lagi di Desa Adat Kuta. Sekaa nelayan yang dulu biasa membawa jukung ke laut mencari ikan, kini berubah fungsi tidak masih mencari ikan, tetapi digunakan untuk keperluan wisatawan yang ingin berwisata ke laut dengan menggunakan jukung. Ada beberapa anggota masyarakat memiliki gender. Ada 20 gender. Gender biasanya digunakan untuk menggiring prosesi upacara yaitu ngaben, mesangih (potong gigi) dan juga kadang-kadang ada yang menggunakan dalam upacara odalan di hotel-hotel. Gender ini ada yang dimiliki secara perorangan dan ada juga lebih dari satu orang. Di samping mengiringi upacara ada juga pemilikan gender hanya sekedar menyalurkan hoby. Kesenian dalam hubungannya dengan prosesi upacara berkembang baik. Dalam mengiringi prosesi upacara agama di masing-masing banjar ada kelompok mesanti yang anggotanya terdiri atas bapak-bapak dan ibu-ibu. Masing-masing banjar memiliki gong. Gong (gambelan) merupakan syarat mutlak dalam mengiringi upacara terutama upacara di Pura-pura. Dengan
122
demikian maka masing-mainmg banjar terdapat kelompok (sekaa gong). Di samping itu, kesenian santi (mekidung) dan ada juga yang dilakukan sendiri yakni seni gender. Sanggar seni tari juga ditemui di sana. Seni tari lebih banyak bersifat sosial, karena di samping melengkapi kegiatan upacara juga dopertunjukkan untuk kegiatan pergaulan, misalnya, ulang tahun banjar, mudamudi dan lain-lain. Mereka tidak mau menari di hotel atau di tempat wisata dengan alasan di samping honornya kecil, katanya mereka tidak mau terikat dengan waktu, karena umumnya yang menari tersebut rata-rata sedang sekolah. Sekaa topeng ada 1 group. Topeng ini juga biasanya ditarikan dalam mengiringi upacara di pura. Ada juga digunakan dalam mengiringi kegiatan upacara manusa yadnya seperti pernikahan, potong gigi dan upacara ngaben. Jika top[eng dipertunjukkan di Pura sebagai pengiring upacar, maka itu semua ngaturan ayah (bersifat sosial, tanpa di bayar). Tetapi jika memang diundang untuk kegiatan manusa yadnya, ada yang dibayar, ada juga hanya sekedar diberikan tidak menggunakan tarif tertentu. Ada 3 group wayang dan satu group topeng. Dalang dari 3 group ini adalah group wayang dari mangku Swera, group wayang dari mangku Tama dan satu group dari anak agung Aji dari banjar Temacun. Wayang biasanya dipentaskan saat upacara keagamaan yang dilaksanakan masyarakat desa adat Temacun. Wayang biasanya dipentaskan saat upacara keagamaan yang
dilaksanakan
masyarakat
Desa
Adat
Kuta.
Di
samping
untuk
melengkapi prosesiupacara keagamaan, group wayang ini juga dipentaskan
123
dengan secara komersial di lingkungan Desa Adat Kuta juga di luar lingkungan Desa adat. Jadi dari uraian di atas, dapat disimpukan Desa Adat Kuta memiliki potensi kebudayaan yang amat kaya. Sebagian besar melibatkan anggota banjar laki-laki, kelompok-kelompok kesenian ini dapat berkembang, karena diklakukan lebih banyak dalam mengikuti dan sebagai pelengkap upacara keagamaan.
4.7.5
Hubungan Desa Adat, Kelurahan dan Kawasan Wisata Potensi yang dimiliki Desa Adat Kuta dalam memberdayakan Desa
adatnya adalah pasar seni, pedagang pantai (PPPK) dan lembaga perkreditan desa (LPD). Pasar seni dikelola langsung oleh Desa Adat Kuta. Letaknya sangat strategis, yaitu jalan menuju pantai Kuta, tepat langsung berlangsung atau berbatasan dengan pantai. Hal ini lebih memudahkan para turis yang mau berbelanja di pasar seni tersebut sambil menikmati keindahan pantai Kuta. Barang-barang yang dijual disana beraneka ragam kebutuhan para turis seperti : pakaian renang, pakaian pantai, alas tempat berjemur di pantai, sandal, kaca mata, hingga barang-barang kerajinan yang lainnya seperti patung, lukisan, hasil kerajinan perak, hiasan, baju/kain, patung dan lain-lain. Pasar seni ini di bangun tahun 1994 dan saat ini memiliki 201 kios yang dikontrakkan semuanya kepada krama Desa Adat Kuta. Dari jumlah pedagang yang ada, pada awal pembentukannya, semuanya berasal dari krama Desa Adat Kuta. Dalam perkembangan selanjutnya hingga saat ini
124
yang berjualan di pasar seni 159 (80%) adalah warga Desa Adat Kuta dan sisanya 42 orang bukan warga Desa Adat Kuta. Perubahan persentase ini karena ada beberapa anggota desa adat yang memberikan pengelolaan kios pasar seni kepada warga
yang bukan termasuk Desa adat. Hal ini
disebabkan karena berbagai alasan antara lain karena sibuk mengurus bisnis yang lain, atau juga ada yang mengatakan mengurangi kesibukannya karena kegiatan terlalu banyak agar dapat lebih leluasa “menyama braya”. Sewa kios antara krama Desa Adat Kuta dan bukan anggota desa adat dibedakan. Hal ini menurut pengelola pasar seni di Desa Adat Kuta, I Nyoman Subaga (49 tahun) mengatakan tujuannya semata-mata untuk memberdayakan
desa
adat
agar
kesejahteraan
anggotanya
dapat lebih
meningkat. Sewa kios untuk tahun 2001 adalah Rp 2, 5 juta pertahun untuk anggota desa adat dan Rp 7, 5 juta pertahun bagi warga yang bukan krama Desa Adat Kuta. Walaupun ada selisih hingga Rp 5 juta pertahun, sangat banyak warga yang bukan anggota desa adat yang menginginkan untuk berjualan di pasar seni, tetapi tidak diijinkan. Di samping kios juga bagi orang yang berjualan di sekitar pasar seni juga diminta iuran yang jumlahnya bervariasi tergantung dari besar lkecilnya barang yang dijajakan. Semua hasil yang diperoleh dari penyewaan kios di pasar seni diserahkan ke Desa Adat Kuta dan disimpan di LPD Desa Adat Kuta. Tahun 2001 hasil bersih yang diserahkan ke desa adat adalah sebesar Rp 635.806.875, (enam ratus tiga puluh lima juta delapan ratus enam ribu delapan ratus tujuh puluh lima rupiah). Hasil bersih didapatkan dari hasil seluruh sewa
125
jios dikurangi gaji pegawai dan biaya upacara di pura melanting. Pura melanting adalah pura yang terdapat diareal pasar seni yang disungsung oleh semua pedagang di pasar seni tersebut, tetapi
tidak menutup
kemungkinan bagi anggota masyarakat lainnya yang mau bersembahyang di sana. Pedagang pantai adalah pedagang yang berjualan di sekitar pantai Kuta yang secara aktif menjajakan barang dagangannya kepada turis. Tempatnya berpindah-pindah dari satu tempat ke twmpat yang lainnya tetapi masih dalam satu areal tertentu di pantai Kuta. Adapun 19 jenis usaha jasa/barang
yang ditawarkan meliputi pedagang kain/baju, tukang pijat
(massage), tukang gambar, kaca
kutex
(maniqure), makanan, minuman, layang-layang,
mata, topi/tikar, sandal, surfing, buah-buahan, perak, patung,
sumpitan, rokok, es krim, tato dan jam. Pedagang pantai ini berada di bawah naungan PPPK (Persatuan Pedagang Pantai Kuta). Semua anggota memiliki kartu anggota yang ditandatangani oleh
Bendesa
adat setempat yakni I
Gusti Ketut Sudira. Pedagang pantai Kuta ada 1151 orang, 297 diantaranya krama Desa Adat Kuta dari berbagai banjar. Dari jumlah pedagang pantai yang 233 (78, 5%) perempuan. Desa Adat Kuta mengelola pedagang pantai ini sejak tanggal 1 Juni 1999. Sejak saat itu tidak pernah ada penambahan anggota baru. Hal ini sengaja dilakukan karena jumlah pedagang pantai sudah dianggap jenuh. Bahkan dari awalnya sudah ada banyak yang berhenti terutama yang berasal bukan krama Desa Adat Kuta. Sebelumnya dikelola oleh Puskopad. Setiap anggota PPPK berkewajiban membayar iuran
126
anggota. Besarnya iuran dibedakan antara warga anggota desa adat dengan bukan krama Desa Adat Kuta. Untuk anggota desa adat dikenakan iuran sebesar Rp 15.000 per bulan dan yang bukan anggota desa adat dikenakan iuran Rp 30.000, -. Jika berturut-turut dalam waktu tiga bulan tidak membayar iuran, maka akan dikenakan teguran dan jika hingga 5 kali maka anggota tersebut dicabut dari keanggotaannya. Seperti halnya pasar seni, maka jumlah total iuran yang terkumpul di PPPK dikelola sepenuhnya oleh Desa Adat Kuta, setelah dikurangi biaya operasional dan gaji karyawan. Uang ini diserahkan setiap akhir tahun. Untuk tahun 2001 besarnya hasil retribusi pedagang pantai yang diserahkan kepada desa adat adalah Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). LPD (lembaga perkreditan Desa) di Desa Adat Kuta didirikan pada tahun 1997. Keberadaan LPD sebagai wadah ekonomi pedesaan keberadaannya sudah dituangkan secara formal dalam bentuk peraturan daerah yaitu Perda Bali No 2 tahun 1988, dengan sumber modalnya berasal dari Pemda Tingkat 1 Bali Rp 6 Juta, Pemda Tk II Rp 1, 6 Juta, Desa Adat Kuta Rp 25 Juta, simpanan wajib serta tabungan anggota. Hingga omzet LPD Desa Adat Kuta mencapai 35
milyar
rupiah.
LPD
ini dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Yang boleh memanfaatkan LPD adalah masyarakat Bali, baik yang berasal dari Desa Adat Kuta, maupun orang di luar Desa Adat Kuta tetapi memiliki rumah tinggal di Kuta. Warga di luar desa adat diperkenankan meminjam, tetapi harus ada rekomendasi dari anggota warga desa adat setempat. Nasabah dari
127
LPD tersebut kebanyakan berasal dari Desa Adat Kuta. Karyawan yang bekerja di LPD ada 42 orang yang mana semuanya adalah anggota desa adat setempat. Segala kegiatan LPD selalu dilaporkan kepada prajuru desa adat guna diteruskan kepada masyarakat. Semua usaha yang dimiliki desa adat hasilnya dikumpulkan dan dikelola oleh desa adat. Hasil usaha ini digunakan untuk pemberdayaan Desa Adat Kuta. Dana ini juga digunakan untuk melestarikan budaya setempat, seperti pembangunan atau perbaikan pura sebagai sarana untuk melakukan kegiatan upacara Dewa Yadnya, biaya untuk upacara odalan di pura di lingkungan Desa Adat Kuta ditanggung sepenuhnya oleh desa adat. Termasuk juga rangkaian upacara sugihan sampai kuningan dan saraswati. Sebagai gambaran, untuk kegiatan sugihan sampai kuningan Banjar Adat anyar diberikan dana Rp 10 Juta. Purnama diberikan dana Rp 1, 5 juta. Demikian pula nyepi termasuk melasti ditanggung sepenuhnya oleh desa adat. Kegiatan upacara di masing-masing pura di bale banjar, ditanggung oleh banjar dengan mengambil iuran dari masing-masing anggota banjar. Dari uraian di atas, di ketahui bahwa LPD di Desa Adat Kuta sangat berdaya sebagai lembaga yang sangat berperanan dalam kemajuan di desa adatnya. Hal ini mendukung penelitian Gunarsa (1990: 30) di daerah kabupaten Badung, yang menemukan bahwa LPD memberikan sumbangan yang nyata dalam pembangunan di desa adat, yakni dalam pembentukan pendapatan masyarakat melalui peranannya sebagai lembaga jasa keuangan di tingkat desa.
128
Adapun berbagai usaha di sektor pariwisata di Kuta yang dimiliki penduduk lokal maupun investor dari luar Bali. Jenis usaha industri pariwista
tersebut
adalah
hotel
(berbintang, jenis
kelas
melati
dan
penginapan), restaurant, rent car, biro perjalanan wisata, money changer dan atraksi
wisata.
pengelolaannya
Retribusinya dilakukan
oleh
tidak
dikelola
Kelurahan
oleh Kuta
desa
adat, tetapi
dipergunakan
untuk
keperluan pembanunan desa/kelurahan. Retribusi ini tidak membedakan apakah pemilik atau pengusaha itu merupakan krama Desa Adat Kuta atau tidak. Besarnya retribusi yang dikenakan tergantung jenis dan besarnya usaha yang dikelola pengusaha tersebut. Untuk hotel bintang 5 dikenakan Rp 150.000, - per bulan dan kecil seperi pondok wisata hanya dikenakan Rp 50.000, - per bulan. Besarnya masing-masing retribusi ini diatur dalam SK no 6 tahun 2001 tentang sumbangan di Kelurahan Kuta.
129
BAB V BENTUK REPRESENTASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL DAN POLITIK IDENTITAS DESA ADAT KUTA DALAM POSKOLONIALITAS KAWASAN PARIWISATA
Dihadirkannya kembali posisi dan peranan masyarakat lokal kawasan pariwisata dengan permasalahanya sebagai subyek, akan dibahas dalam bab V ini. Bentuk representasi budaya masyarakat lokal Kuta, dibedakan dalam bentuk
representasi
tradisional, representasi
modern, dan
representasi
postmodern. Representasi budaya akan searah dengan gerak transformasi sosial budaya masyarakat dan laju pertumbuhan kawasan turistik sebagai bagian destinasi turisme global.
5.1 Ketersesakan Daya Tampung Kawasan Bali menjadi pulau yang sarat kepentingan dan dinamika berparas global, protokoler, turistik dan hedonis.
Demikian representasi outsiders
melihat Bali dari kesan kesemrawutan tata ruang kawasan wisata Kuta yang sudah
berwajah
global
village.
Sebuah
novel
pendek
(Panuju, 2007)
berusaha menggugah kesadaran masyarakat lokal kawasan Kuta dengan sebuah satire yang berjudul “Bali Sorga Para Anjing”. Dengan segala kekurangannya, novel pendek ini menjadi penanda resistensi turistik dalam studi
ini.
Representasi
sorga
para
anjing menyambung
keterbatasan
representasi insiders untuk menembus pagar etika dan santun-bahasa di Bali. Penanda satire Panuju menyasar dominasi ruang turistik dan representasi barat dalam kepariwisataan Kuta, bahkan menggoyang ikon-ikon pariwisata 129
130
dan penanda regulasi-kebijkan pariwisata yang sangat mendominasi dan hegemonik, tetapi
penuh konformitas kapital. Keterpinggiran dan kekalahan
masyarakat lokal kawasan wisata, mendapatkan perhatian mendalam dari outdiser atau pihak luar. Panuju menyerang simbol dan penanda dominasi kapitalistik di pantai Kuta memalui novel satir, dengan representasi anjing seperti gambar 5-1 berikut ini.
Gambar 5.1 Satir untuk Dominasi Kapitalistik, Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi
5.1.1 Dilema Turisme Global dalam Lokalitas Desa Adat Kuta Permasalahan ruang, lingkungan dan tanah dalam resistensi kawasan, merupakan kesadaran masyarakat lokal atas efek komodifikasi Bali dalam budaya turistik kawasan wisata. Representasi turisme yang commonsense berupa (1) tanah berharga emas, ruang adalah uang dan tempat adalah segala-galanya. (2) deviasi harapan kosong dan harapan utopia pariwisata
131
sebagai ideologi (3) Kemandegan kebijakan publik di kawasan pariwisata, pernah menjadi referensi resistensi kawasan pada tahun 1998. Melihat kembali kehidupan Kuta sebagai kampung terbuka global, dengan catatan kritis dan representasi masyarakat lokal terhadap fenomena di sekitar lingkungan mereka, menyambung seluruh fenomena kawasan yang dilihat sebagai ambivalensi kawasan wisata. Peningkatan
infrastruktur
pariwisata
bersamaan
dengan
realisasi
pembangunan fisik daerah dan nasional, mengkondisikan masyarakat Kuta ‘ada’ dan ‘mengada’ dalam pariwisata di atas space and place atau ruang dan tempat komunitas pendukung budaya setempat atau indigenous people, yaitu ruang desa adat. Pada masa awalnya, jalan-jalan penepi siring Kuta atau perkampungan pesisir Kuta, merupakan jalan atau akses tempat-tempat suci dan fasilitas kegiatan adat, yang harus menerima fungsi baru sebagai akses atau infrastruktur kawasan industri pariwisata. Perbaikan wajah dan fisik Desa Adat Kuta menjadi penanda perubahan cepat yang kurang dari hitungan
dekade
atau
sewindu, kemudian
perubahan
mendasar
pun
mempengaruhi tataruang perumahan, banjar atau lingkungan dan desa adat. Realitas perubahan dan konflik ruang yang sudah diterima sebagai keniscayaan era global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara berpikir, sikap dan pandangan atas relevansi dan berlakunya nilai-nilai lokal atau indigenous values. Seperti halnya pengakuan
Bendesa
Adat Kuta dan
warga Desa Adat Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya sebagai ‘daerah terbuka’ (sebut: ruang terbuka ). Satu ungkapan yang
132
mengandung
kesadaran, kekhawatiran
dan
resistensi
atas
konsekwensi
keberadaan lingkungannya sebagai kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka dengan tersedianya banyak akses jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara yang begitu dekat, memungkinkan siapa pun bisa masuk ke desa adat kami pada jam dan tempat yang mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat hiburan selalu menyapa dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
5.1.2
Trauma Konflik, Resistensi, dan Terrorisme Sesuai dengan konsep
Kartohadikusumo, Soepomo, Surpha(Windia,
2008:8-14), desa merupakan suatu wilayah, ruang, situasi dan tanah air. Desa adat sebagai ruang budaya dan wilayah masyarakat hukum adat, merupakan elemen identitas yang menjadi habitat sekaligus locus formasi identitas masyarakatnya. Pada masa perubahan situasi sosial politik dari masa sebelum tahun 1998 ke masa tahun 1999 sampai sekarang, membuka sekatsekat kuasa pemerintah dalam hegemoni sampai di tingkat desa. Perubahan situasi ini, menjadi catatan ideologis bagi masyarakat Kuta dalam hal pentaan dan pengelolaan kawasan termasuk apresiasi terhadap kebijakan pemerintah bagi Kuta. Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian sudah mengibarkan ‘bendera desa adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Hal ini dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan hegemonik kekuasaan
133
rezim
penguasa
negara
dalam
waktu
yang
cukup
terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang
lama, kemudian dipelajari sejak
lama. Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta, dengan tekanan kekuatan politik desa adat. (Pitana et all, 2000) Resistensi dominasi dan hegemoni di Balik tanggung jawab keramahtamahan dan ketertiban umum, bermetamorfosis dalam agensi-agensi budaya para elit Kuta, agenda perjuangan politik representasi lokal. Kearifan lokal Hindu sangat mempengaruhi etika politik para tokoh elit desa adat, sehingga nilai kearifan budaya berupa; drestha, sima, desa-kala-patra, sad kerthih, hingga tri hita karana, meredam gejolak anarkis ke dalam representasi politik budaya. Sebutan politik budaya, menuru Bagiana Karang, merupakan pengaruh wacana media dan jargon politik LSM. Sehingga dalam himbauan doktrinernya, dia kerap kali memperkenalkan politik budaya sebagai; (1) politik yang santun, (2) politik yang berbudaya, (3) politik pada jalan dharma. Pesan ideologis inilah meluas pada tokoh elit lainnya, menyebar secara ideologis dengan representasi gaya, jargon, dan pendekatan yang bervariasi. desa adat sebagai label dan resistensi terhadap perda desa adat (Wesna, 2010), mendapatkan locus penolakan awal di Kuta dengan dasar permasalahan kependudukan, dinamika global, dan takanan politik lokal. Kesiagaan, koordinasi
dan
komunikasi
antar
desa
adat, ternyata
kemudian mendapatkan insiden ‘ledakan bom teroris’ pada tanggal 12 Oktober 2002 di depan sebuah café-bar di perbatasan Desa Adat Kuta dengan desa adat Legian. Musibah yang tidak pernah terbayangkan oleh
134
masyarakat Kuta bahkan oleh masyarakat Bali, mematri suasana traumatik yang lama dan akhirnya harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Aksi teroris bom yang lebih kecil terjadi lagi di sudut Kuta lainnya, tetapi menambah parah trauma pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat lokal di lingkungan Desa Adat Kuta, ditambah satu terror bom di lingkungan desa adat Jimbaran, sekitar 5km arah selatan Kawasan Wisata Kuta, kembali merobek citra keamanan pariwisata Bali. Kenyataan pahit ini harus diterima sebagai bentuk ancaman yang bisa terjadi kapan pun di lingkungan desa adatnya, sebagai konsekuensii kehidupan masyarakat kawasan wisata ke masa depan. Ancaman ini juga menghantui desa-desa adat yang ada di sekitar bentang kawasan Kuta
5.2 Representasi Budaya dalam Ambivalensi Kehidupan Kawasan Bentuk representasi budaya masyarakat lokal Kuta, dibedakan antara representasi tradisional, representasi modern, dan representasi postmodern. Representasi tradisional meliputi; (1) Representasi desa atau ruang, (1) Representasi kala atau waktu, dan (3) Representasi patra atau kondisi. Representasi modern meliputi; (1) Representasi diri atau individu, (2) Representasi kolektif atau komunitas. Representasi Posmodern meliputi; (1) Representasi subyek, (2) Representasi posisi, (3) Representasi Obyek. Peranan dan Fungsi diasosiasikan dalam keberadaan subyek mawujud. Dinamika merupakan kluster wacana perubahan positif dan dilemma merupakan kluster wacana adaptasi subyek atau antar subyek. Obyek merupakan permasahalan
135
Kuta yang baru sebagian bisa diartikulasikan pada domain hubungan pengusaha di Kuta dan domain kebijakan publik pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten Badung. Hubungan antara komunitas lokal dengan pariwisata yang hingga sekarang berkembang menjadi industri global, menunjukkan masih adanya jarak budaya antara ‘host and guest’ atau hubungan antara pelayan dan tamu (sebut: wisatawan). Seperti halnya Nash (Smith, 1989: 23-30), melihat hubungan antara budaya masyarakat lokal dengan budaya wisatawan yang terkait dengan bertemunya ritual tradisional dengan ritual tourism atau pariwisata yang bersifat modern dan internasional. Nash menyebut pariwisata sebagai bentuk baru imperialisme pada zaman ini, bagian dari pergerakan imperium-imperium ekonomi dunia, yang disebut global empire atau Capra (2004: 145-148) menyebutnya dengan kapitalisme global. Meminjam
konsep
Cohen
dalam
“Sociology
of
Tourism”
(Apostolopoulos, Ed.1996: 51-74) yang mencantumkan pendekatan Neokolonialisme
sebagai
pendekatan
terakhir
dari
delapan
pendekatan
sosiologisnya terhadap pariwisata, yaitu; pariwisata sebagai commercialized hospitality, pariwisata sebagai democratized travel, pariwisata sebagai aktifitas modern leisure, dan empat pendekatan lainnya dalam konteks hubungan etnis, budaya dan proses akulturatif melalui pariwisata. Semuanya digunakan untuk mengkaji the intriguing phenomenon of tourism atau fenomena tourisme yang semakin menarik perhatian untuk diteliti. Searah dengan perpektif poskolonial tentang pariwisata, yang melihat adanya koloni-koloni
136
industri pariwisata di berbagai kawasan destinasi dan obyek daya tarik wisata, bahkan tidak jarang menggunakan tempat-tempat dan bangunan kolonial sebagai tempat rekreasi dan daya tarik pariwisata. Melihat budaya dan tipe wisatawan, leisure atau liburan yang merupakan kebutuhan sekaligus trend kehidupan baru yang berkembang ke arah kapital, di mana liburan dikemas dalam paket-paket siap bayar. Leisure kemudian menjadi penanda kelas baru, lengkap dengan segala perlengkapan paketnya, visit-courtesy hingga ritual wisata yang berkembang alami dengan tanda atau cirikhas gaya pada pakaian, dandanan dan hari-hari atau bulan musimannya. Signifikasi leisure dalam kelas kemudian merebak melalui komodifikasi
dan
periklanan
wisata, yang
betul-betul
menempatkannya
sebagai label kelas baru, hingga penyebutan leisure class. Kebiasaan, gaya dan gerak-gerik mereka di destinasi wisata pun dipelajari, sebagai bagian dari masyarakat kawasan wisata atau tourist resort dalam sebuah negara. Masyarakat lokal di satu kawasan, sebut saja Kuta, tentu sangat dipengaruhi oleh kehadiran wisatawan mancanegara di lingkungan tempat tinggal mereka setiap hari. Terkait representasi budaya dalam wacana pariwisata, MacCannell (1978:78-83) menangkap adanya representasi budaya lokal atau daerah di mana sebuah kawasan pariwisata dikembangkan, dan berkembang menjadi elemen justifikasi dalam istilah harmony and subject matter representasi berbagai asosiasi warisan atau peninggalan seni-budaya, keindahan alam dan potensi kesenian, tradisi dan budaya yang masih hidup. Representasi dalam
137
konteks operasional-mekanis ini, disebut dengan istilah ‘re-presentation’. Proses re-presentasi diawali dari fungsi dan tipe museum, yaitu collections and re-presentations atau koleksi-koleksi dan re-presentasi, yaitu penyajian yang intensif dan berulang-ulang. Re-presentasi ini berkembang sebagai teknik penyajian dan pemajangan produk atau arrangement of objects dalam rekonstruksi situasi secara total, di mana bisa ditemukan boneka-beneka pajangan pakaian, perhiasan hingga boneka-boneka binatang yang dipajang untuk re-presentasi habitat alami binatang seperti hutan artifisial. Temuan fenomena pariwisata dari sumber-sumber di atas, menguatkan konstruk teori posstruktural penulis dalam membaca pola pikir (baca: representasi) masyarakat lokal fenomena medan tanda budaya massa, silang kontestasi tanda komersial, komodifikasi, pencitraan Kuta, hingga bazaar tanda dalam pariwisata budaya, yang masih ambivalen atau sangat gamang bagi sebagian besar masyarakat lokal Kuta. Bersamaan dengan fungsi dan kekuatan mitos Turisme, seperti istilah teori Barthes (2007, 295-297) bahwa mitos merupakan suatu sistem komunikasi, suatu pesan (mode pertandaan) atau mode of signification. Mitos tidak sama dengan objek atau konsep atau gagasan. Bisa dihubungkan dalam kontestasi tanda ini, mitos merupakan mode atau cara penyampaian pesan yang kemudian menyatu dengan simulasi
atau
pencitraan.
Dalam
krisis
ontologis
inilah, konsep-teori
Posstruktural (Piliang, 2005) memberikan kontribusi metode dan teknik diskursif dalam dekonstruksi objek yang berperan menetralisir posisi dan hubungan objek dan subjek.
138
Ardika (Darma Putra, 2004: 20-31) melihat fenomena pengaruh budaya turistik ini sebagai sebuah konsekuensi pengembangan pariwisata, yang tentu dapat dikendalikan dengan regulasi pemerintah, strategi budaya, pemahaman dan apresiasi budaya seluruh komponen masyarakat Bali. Terkait otonomi daerah dalam pemerintahan dan pemanfaatan sumberdaya daerah, kebijakan pemerintah daerah Bali sangat menentukan perjalanan pariwisata ke depan. Searah dengan potensi budaya yang dimiliki oleh daerah Bali dan kecendrungan
pariwisata
global
yang mempengaruhi
kebijakan pemerintah, nilai sumberdaya manusia, proteksi budaya dan hak cipta hingga konsensus nasional pun patut diadakan untuk memberlakukan peraturan lokal, nasional, dan internasional tentang kebudayaan dalam konteks pariwisata. Kegiatan wisata seks, kasino, dan aktivitas sejenis yang tidak sesuai dengan Kebudayaan Bali harus bisa ditekan atau ditertibkan. Kuta sudah berbenah untuk urusan abu-abu ini, sehingga menjadi referensi gerakan penyadaran dan praksis ekonomi politik nantinya.
5.3 Representasi Politik Identitas dalam Keterjajahan Masyarakat Lokal Kuatnya ambivalensi kawasan turistik Kuta, yang sementara ini disebut dengan kegamangan situasi oleh tokoh elit masyarakat, mendorong representasi budaya dalam pengembalian jatidiri Kuta. Gambar 5-2 di bawah, memperlihatkan prosesi ritual sebagai elemn identitas budaya. Penulis mengikuti prosesi Ngerehang ini di Pura Dalem Tunon selama 24 jam lebih. Representasi identitas kultural dari keluarga Puri Satria Dalem
139
menjadi penanda energi politik identitas Kuta dalam kawasan turistik global
Gambar 5.2 Iringan Rangda dan Barong Singa menyusuri pantai Kuta. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
Pola kehidupan tradisional seperti pedesaan masih ada di kampung turistik Kuta, di Balik make up kawasan yang sensual dan menggoda. Angka kemiskinan (baca: masyarakat ekonomi lemah) masih ada di tiap-tiap banjar. Nyoman Parna mantan Kepala Lingkungan Segara menyebutkan masih ada 122 orang kepala keluarga (KK) miskin di kelurahan Kuta. Mangku
Urip
dan Made
Sumer
yang duduk sebagai Ketua
DPRD
Kabupaten Badung, mengakui adanya 122 KK miskin di Kelurahan Kuta. ”Mungkin mereka ini bisa kita sebut orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi dalam melihat peluang atau mengembangkan potensi yang mereka miliki” demikian tungkas Bapak Sumer terkait keberadaan penduduk miskin atau warga tidak mampu di Kuta.
140
Pertumbuhan kawasan Kuta dalam tiga dekade ini, belum mengubah pola hidup mereka, bahkan semakin tidak mungkin untuk berubah dalam himpitan peluang ekonomi dan nihil kemampuan. Ingatan kultural mereka tentang habitat di masa desa pesisir Kuta masih nihil pariwisata, justru menguatkan resepsi ruang dan diskursus pariwisata pada kekiniannya. Bourdieu (Harker, 2005:43, 87, 88, 97) menyebut habitus seseorang sangat menentukan kemampuannya dalam menempuh atau melewati habitat-habitat baru dengan segala perbedaan budaya hidup dan sirkulasi budaya, termasuk pemosisian modal dalam budaya dan ekonominya. Sebut saja Kari dan Sari yang sekarang hidup dengan mata pencaharian
yang belum berubah sejak tahun 1970-an,
memberikan referensi dan penanda budaya masyarakat bawah di Kuta, dari kondisi
sosial
beberapa
orang
lainnya
dengan
mimikri-penampilan
masyarakat lokal kawasan wisata. Representasi masyarakat ekonomi lemah ini tentang Kuta, semakin menguatkan
poskolonialitas
kawasan
pariwisata, dan
menjadi
penanda
signifikan dalam investigasi dominasi ruang turistik-komersial atar ruang budaya tradisional. Orientasi mereka terhadap Kuta, masih kuat dipengaruhi oleh habitat tanah kelahiran. Sebut saja, banjar, pura, dan pasar sudah dipinggirkan oleh orientasi ruang kawasan dengan penyebutan alamat; jalan, perusahaan, hotel, restoran, artshop, dan perkantoran. Bahkan beberapa sudah hilang, seperti lingkungan persawahan, tegalan, sungai, hingga padang ilalang yang tak terurus pada sekitar tahun 1960-an ke belakang.
141
‘Ayam mati di lumbung padi’, demikian halnya kekalahan masyarakat lokal dalam kawasan turistik-komersial. Ungkapan ini sering muncul di media massa yang mengkritisi perkembangan kapitalistik Kuta. Fenomena global village menguat dengan pertubuhannya sendiri. Kuta
berkembang
sebagai
kenyamanan
kawasan
pasar
turistik
yang
sangat
menjanjikan
akomodasi dan ‘saku’ tourist. Komodifikasi realitas (baca: komodifikasi segala hal) dalam pariwisata budaya, semakin kuat dilihat dalam fenomena bazaar tanda turistik yang senyatanya menjadi hal biasa bagi masyarakat lokal, sebagai pasar turistik yang memang memiliki makna searah, sehingga fenomena ini membuka posisi mitos sang turisme yang justru dengan
posisi
ideologisnya
pariwisata
dalam
lebih kuat
signifikansi
kebijakan
pemerintah daerah dan ekonomi politik PAD. Pariwisata budaya memang senyatanya sebagai modal budaya yang sudah mengadopsi dan mengadatasi agensi
budaya, transformasi
budaya
dan
praksis
kultural
dalam
pengembangan sistem pengembangan sang leading sector pariwisata budaya. Barker
melihat
bahwa
etnisitas, ras, dan
nasionalitas
merupakan
konstruksi diskursif atau discursive-performative construction yang tidak mengacu pada sesuatu yang nyata. Mereka lebih pada contingent cultural strategies daripada fakta biologis. Etnisitas sebagai sebuah konsep mengacu pada formasi dan pembertahanan keberadaan budaya yang memiliki stressing advantage manfaat penekanan sejarah, budaya, dan bahasa. Jadi kekalahan dalam ambivalensi kawasan wisata ini, tidak ada kaitannya dengan nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat Desa Adat Kuta. Pariwisata
142
disadari sebagai usaha dan aktifitas ekonomi turistik dan komersial yang didasari oleh kewirausahaan dan modal. Barker(2004: 226-231) menandaskan, bahwa hubungan representasional etnisitas, ras, dan nasionalitas adalah konstruksi performatif diskursif yang tidak mengacu pada ‘hal’ yang sudah ada sejak lama. Jadi, mereka lebih merupakan kategori budaya yang relatif ketimbang sebagai ‘fakta’ biologis dan universal. Etnisitas sebagai suatu konsep mengacu pada pembentukan dan pemeliharaan sekat-sekat budaya dan memiliki keuntungan berupa penekanan pada sejarah, kebudayaan, dan bahasa. Ras adalah suatu ide problematik karena asosiasinya dengan diskursus biologi tentang superioritas (darah keturunan) dan subordinasi yang bersifat intrinsik dan tak terelakkan. Ide tentang rasialisasi atau pembentukkan ras memiliki keuntungan berupa penekanan
kepada
kekuasaan, kontrol
dan
dominasi, karena
seperti
dikemukakan oleh Jordan dan Weedon (Barker, 2004:226-231) kendati rasisme benar-benar merupakan suatu diskursus tentang perbedaan. Ia juga hampir diyakini sebagai diskursus tentang brutalitas dan anarkisme. Dapat dicatat adanya titik temu antara ras, etnisitas, bangsa, kelas, umur, dan gender, sehingga identitas budaya harus dipahami dalam hal artikulasi diskursus yang saling berkelindan ini. Gagasan tentang ras, etnisitas, dan
bangsa
antarmereka, contohnya
harus dalam
dieksplorasi kemurnian
dalam
hal
etnis
bangsa
ketergantungan sebagaimana
dikemukakan dalam diskursus nasionalis dan peran yang menjelaskan
143
permainan metafora dalam konstruksi bangsa, yaitu gtanah air, ibu pertiwi, dan lain-lain.
5.4
Resepsi Turisme dalam Kekalahan Masyarakat Lokal Dominasi ruang turistik dengan budaya turisme global, menguatkan
posisi kekalahan masyarakat lokal secara simbolik, ekonomi dan budaya. Resepsi turisme global yang searah dengan wacana orientalisme barat terhadap timur, sudah melekat dalam representasi pribumi (baca: masyarakat lokal.
Gambar 5.3 Suasana kawasan Kuta pada pukul 03:00 pagi. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2009.
Turisme disikapi dengan representasi ideologis dan simbolik dalam praksis-praksis
radikalisme
budaya
dalam
kesenian, arsitektur
rumah,
’pemuliaan’ prosesi ritual atau upacara di ruang terbuka, pemaknaan kembali simbol-simbol agama yang disebut niasa, dan pemuliaan arsitektur bangunan
144
suci dan bangunan adat. Muatan satir klasik dalam dialog pemain dramatari Arja atau Calonarang, selalu memfragmentasikan modus ideologi turisme dan mengingatkan warga desa adat untuk menjaga identitas dan budaya. Suastika (1992) sudah membedah secara intertekstual makna Calon Arang dalam tradisi Bali, telah mengalami akulturasi budaya secara tekstual, religio magis dan kultural. Calon Arang sebagai pentas tradisional yang lazim dengan sebutan Calonarang, sudah menjadi bagian penta sakral di Bali. Dalam praktik representasional dan politik identitas, Calonarang mendapatkan posisi simbolis representasi kultural dan identitas dalam dinamika kultural masyarakat lokal Kuta, baik warga desa adat maupun warga non Hindu telah merasakan dan memahami makna seram dan magis dalam pentas sakral Calonarang di Kuta. Setting
kehidupan
masyarakat
kecil
sering
mewarnai
dialog
punakawan dalam pentas teatrikal Calonarang dalam durasi rata-rata 5 lima jam, seperti dialog berikut; ”Buin mani, pules-pules cai tusing tau teken umah caine suba asah tanah”, demikian kata Penasar, yang artinya ”Besok pagi, tidur-tidur kamu tidak sadar pada rumahmu yang sudah rata tanah”. Tungkas Kartala, ”Yehh, dadi keto Bli?”(artinya: Wah, kenapa begitu Kak?”). Penasar menjawab setelah menari memutar sambil menyanyikan Sinom Uwug Payangan, ”Lacure hidup mejajah buin tusing nyidayang mayah pajeg umah lan pekarangan”, artinya ”Sengsaranya hidup dijajah tidak bisa membayar pajak bangunan dan tanah pekarangan” Ungkapan resisten yang sarat pesan penyadaran ini, sering ditemukan dalam pentas kesenian teater tradisional pada saat upacara-upacara adat yang besar, seperti; Arja, Calonarang, Wayang Kulit, dan yang paling sering tari Topeng Bondres. Sebelum pentas, para penari diberikan masukkan untuk memberikan
145
sindiran dan penyadaran akan budaya dan adat dalam situasi kehidupan dalam kawasan pariwisata global. Habermas (Lubis, 2006: 6-7) memosisikan rasionalitas instrumental sebagai produk positivisme yang disebut melahirkan manusia picik oleh Marcuse, sehingga Habermas mengajukan rasionalitas komunikatif sebagai jalan keluar untuk mencapai situasi pembicaraan yang ideal dalam melihat realitas. Perkara politik ingatan terprovokasi dalam dilema HAM. Semuanya menguatkan friksi wacana kebijakan yang analog dengan kebangsaan dalam republik, berseberangan dengan menguatnya resepsi turisme yang analog dengan kawasan dalam republik destinasi, atau friksi citraan destination dan nation dalam dominasi citraan ruang global. Arah dan perkembangan studi poskolonial di Indonesia, menurut Melani Budianta, seperti dipetik oleh Susanto (2003: 270) dalam buku “Politik dan Poskolonialitas di Indonesia”, melihat adanya idealisasi wacana poskolonialisme dalam studi komunitaskomunitas lokal atau indigenous community di tanah air, ketika menemukan berbagai budaya
dan identitas.
Studi Poskolonial menguatkan metode
cultural studies sebagai politik intelektual, mengarahkan pada pengembangan kerangka dan peta pikir yang lebih luas dan mendasar. Arah politik intelektual poskolonial hingga dekolonisasi metodologi (Smith, 2006: 88-96), menuju pembebasan representasi diri yang selama ini diposisikan sebagai objek orientalisme barat. Kritik metodologi barat selalu merujuk signifikansi dan relevansi teori poskolonial dalam kajian budaya yang senantiasa sarat dengan misi dan isyu-isyu politik intelektual yang emansipatoris.
146
Representasi keterjajahan dalam praktis tradisi dan kehidupan seharihari, menembus solidaritas masyarakat lokal dan pemberdayaan desa adat dalam menghadapi kehidupan global. Seperti konsep Smith (2006: 88-96) Poskolonial merupakan ujung tombak dekolonisasi metodologi logosentris barat
yang
juga
signifikan
logosentrisme, oposisi biner kekuasaan
yang
hegemoni
dan
dalam dan
memenjarakan dominasi.
cultural
studies
untuk
menolak
koloni-koloni makna, pengetahuan dan manusia
Poskolonialitas
dalam akan
sel-sel
oposisi
menyambung
binari,
fenomena
imperialisme dan neokolonialisme sebagai subjectmatter dan sasaran politik identitas sebagai konsep, teori dan perjuangan dalam cultural studies. Indigenisasi metodologis yang sedang hangat-hangatnya diwacanakan menjadi agenda
permanen
intelektual-poskolonial
untuk
melawan
praktik-praktik
positivisme logis, menisbikan representasi ‘barat dan timur’ yang relevan dan searah dengan aktualisasi cultural studies sebagai gerakan mereka memiliki lembaga, bahasa, nilai, tradisi atau adat dalam praktis kehidupan sehari-hari. Penggambaran realitas sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses dan ‘hal-ihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktik) poskolonial. Hall, C. Michael & Hazel Tucker dalam “Tourism and Post Colonialism” (2004: 1-5), menandai tantangan teori poskolonial awalnya berupa tantangan sastra terhadap pusat kekuasaan atau literary challenges to the hegemonik power of the centre, yang tentu saja searah dengan kearifan lokal dewasa ini. Konsep poskolonialisme pada tahun 1990-an banyak menyebarkan teorisasi
147
budaya
yang semakin meningkat, mempengaruhi para
intelektual
yang
berkecimpung pada lapangan studi pariwisata. di negara-negara berkembang, untuk memperhatikan identitas dan representasi, konstruk teori terhadap lingkungan, sangat kuat mengarahkan referensi pada diskursus poskolonial. Ethnografi beberapa tokoh adat Kuta membantu analisis poskolonial membedah fenomena turisme atau pariwisata. Sehingga dengan emamnsipasi masyarakat lokal kawasan pariwisata, bisa memberikan distribusi pada studi pariwisata. Selain untuk mencari temuan bahwa pemikiran poskolonial itu relevan dengan studi pariwisata, tetapi sendiri
bisa
memberikan
penerangan
juga menguji bagaimana turisme itu perpektif
dalam
poskolonialisme.
(Loomba 1998; Young 2001; Goldberg & Quayson 2002, dalam Hall & Tucker, 2004)
5.4.1 Representasi Budaya Turistik dan Komersial Wawancara
dengan
beberapa pengelola
hotel dan restoran,
mengungkapkan adanya pengaruh kuat pantai pada posisi tempat usaha mereka yang tidk pernah sepi pengunjung. Satu diantaranya, Ida Bagus Made sangat bersemangat dengan kiat-kiat dan strategi grilya untuk menembus pasar turistik Kuta. Rosso Vivo (merah berani) demikian semboyan tempat makan dan hotel ini, selalu siaga dalam kompetisi selama 24 jam melayani pengunjung di pantai Kuta.
148
Gambar 5.4 Sunset Pantai Kuta. Sumber : Dok. IGNA Eka Darmadi, 2011
Perkembangan kawasan Kuta sejak tahun 1969, tahun 1980 hingga 1990an memberikan dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat Kuta. Bagi mereka yang mau membuka usaha-usaha dagang untuk penyediaan kebutuhan wisatawan, seperti toko-toko cinderamata, pakaian jadi, dan lainlainnya, sudah
bisa
meningkatkan
taraf
hidupnya
masing-masing.
Pengembangan usaha yang lebih besar tentu meraup hasil yang lebih besar. Dalam
tiga
dekade
tersebut, pengaruh
pariwisata
sudah
sangat
besar
mencetak kelas-kelas ekonomi menengah-atas baru di Desa Kuta. Praktik ekonomi sederhana pun meraup hasil yang berlipat ganda sebagai pengaruh ‘memusatnya’ Pemerintah
aktivitas Kabupaten
pariwisata Badung
di
Kuta
sebagai
kawasan
wisata.
pun
mulai
melihat
adanya
sumber
pendapatan yang signifikan dari kawasan pariwisata Kuta.
149
5.4.1.1 Dominasi Ruang Turistik Komersial Dominasi ruang turistik
komersial di kawasan wisata
ini, bisa
diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar, yaitu: (1) kelompok bangunan kecil-kecil komersial berupa tempat outlet atau tempat etalase produk-produk tertentu, toko-toko kebutuhan wisatawan sehari-hari yang dikenal dengan mini market, tempat-tempat layanan jasa, seperti laundry, money changer dan lain-lainnya. (2) kelompok bangunan rekreasi dan hiburan wisata seperti: spa, karaoke, café dan rumah makan, dan (3) kelompok banguna-bangunan besar dan luas untuk akomodasi wisata seperti penginapan, hotelhotel melati, hotel berbintang hingga terminal perusahaan biro perjalanan wisata (Dispar. Kab.Badung, 2006)
Gambar 5.5 Dominasi ruang pariwisata dalam sebuah peta project. Sumber: Dok. Bappeda Kabupaten Badung, 2007
150
Berbagai cerita pengalaman warga Kuta tentang situasi tahun 1970an, pada tahun awal terbukanya kawasan Kuta, talanjang atau sedikit telanjang menjadi bagian hidup orang Bali. Resepsi budaya ini tentunya memiliki hubungan erat dengan banyak ritual dan budaya Bali, seperti kebisaaan mandi bersama juga merupakan hal biasa bagi masyarakat agraris atau masyarakat nelayan yang masih lugu dengan kepolosan libido dan sikap tradisionalnya. Telanjang sudah diiakan sebagai sikap dasar bagaimana manusia lahir dan meninggal nantinya. Seperti ritual ngaben di Bali tidak ada bedanya dengan tradisi yang masih dipegang oleh masyarakat adat Kuta. Mulai dengan bunyi kentongan banjar tentang kematian seorang warga, pengurusan, dan ritual jenazah sudah menjadi tanggung jawab desa adat melalui pembagian kerja adat di banjar bersangkutan. Bagi orang asing, proses pemandian jenazah mungkin dipandang sadis atau barbar, dengan pemandian bersama dan ditutup dengan banyak ikatan tali bambu yang sangat kuat, semuanya memiliki makna ritual dan filosofis. Bourdieu menggarisbawahi histori habitus (Ritzer&Goodman, 2003:522524) terkait dengan adanya kesenjangan praktik dalam kekiniannya, terlebih lagi dengan berbagai ketidakstabilan realitas dalam habitat kekiniannya. Dari informasi dan pandangan para tokoh adat termasuk rohaniawan di Kuta, fenomena telanjang dengan bikini atau secabik kain penutup genital pun, dilihat pada ruang dan dimensi yang berbeda, seperti representasi dalam ungkapan berikut; “Siapa, kapan, dan di mana dulu telanjangnya? Kalau telanjang di jalan dan mal, ya, repot dan merepotkan. Bikini di pantai, ya, wajar.
151
Apalagi semua tahu kalau pantai Kuta adalah objek wisata internasional. Gaya dan mode bikini apa yang tidak bisa diintip. Yang lokal, kalau mau ngintip atau makai bikini di sana, ya, silakan.” Ruang-waktu, struktur dan subjek sangat didominasi oleh representasi turisme Kuta. Ikon bikini telah menisbikan telanjang sebagai penanda pariwisata ada. Ungkapan
ini
pun
searah
dengan
respons
mereka
terhadap
isu
diberlakukannya Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi oleh DPR dan pemerintah pusat. Bagi mereka, masalahnya adalah ruang dan waktu pornografi dan pornoaksi itu dilakukan. Kalau objek wisata pantai sudah pasti sama halnya dengan budaya wisata pantai di negara-negara lainnya karena pariwisata itu industri internasional.
5.4.1.2 Dominasi Turisme dan Ruang Komersial Kapitalistik Citraan kawasan dan istilah tourist-resort (baca: kawasan wisata) pun digunakan oleh para pebisnis dan perusahaan jasa wisata, sebagai penguat pencitraan ruang komersial, turistik dan citra kemapanan pemusatan kawasan atau sentralisasi akomodasi pariwisata di kawasan kuta. Realitas komodifikasi Kuta yang dipenuhi dengan perang bebas tanda kapitalistik dalam hutan simulakrum turistik kuta, mengkondisikan pemakaian ’tandaan’ dalam studi ini, yang digunakan sebagai pengganti istilah ’tanda artifisial’ di kawasan Kuta, terkesan tendensius, yang membedakannya dengan tanda budaya yang nyata,
152
Gambar 5.6 Tempat-tempat turistik komersial di jalan Pantai Kuta. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2009
bermakna, dan memiliki kodifikasi konvensional lokal. Silang tanda dan pencitraan masing-masing individu pelaku usaha, perusahaan akomodasi dan penjual jasa, mengkondisikan Kuta sebagai satu ‘medan tanda’, yang tampak sekilas menarik perhatian dan menghibur setiap orang yang melewati ruasruas jalan di kawasan ini. Penampilan tanda komersial dan turistik ini, menyampaikan ‘salam’ dan tawaran kepada setiap pengunjung, terutama ditujukan pada para wisatawan untuk mencoba dan yakin dengan produkproduknya. Re-presentasi tanda turistik tersebut menampakkan karakteristik kawasan wisata ini begitu profan, dengan wajah depannya yang diramaikan oleh kontestasi tanda promosi komersial-turistik dan bazar tanda pariwisata (Darmadi, 2005). Marker
turistik
berkembang
mengikuti
kecanggihan
teknologi
informatika multimedia. Sign dan ikon-ikon turistik tampak hidup di
153
sepanjang jalan-jalan utama kawasan hingga jalan masuk lingkungan rumah warga desa adat yang semuanya merupakan jalan-jalan desa Kuta pada awalnya. Penanda artifisial yang selama ini dipastikan tanpa petanda atau referensi tidak real tetapi
sangat jelas basis interest dan kapitalnya. Marker
turistik-komersial
meramaikan
yang
kontestasi
tanda
turistik
ini,
merepresentasikan kawasan wisata sebagai touristic village, place of sight, place of attraction dan bazar tanda turistik yang tidak pernah berhenti sepanjang hari dalam kehidupan kawasan wisata atau touristic resort. Ideologi pariwisata diiakan oleh fenomena global turistik marker, bazar turistik, hingga pasar turistik, yang menginterpelasi orang-orang awam untuk mengiakan pariwisata sebagai emerging global field yang berkembang dengan lintas ’ orbit’ yang luas. Pada domain kebijakan sudah cair dengan wacana pariwisata walau pun masih kuat ditemukan posisinya dalam pembagian wilayah perdagangan dan industri, jasa akomodasi, transportasi, rekreasi dan hiburan, hingga jalur retribuisi dan/atau cukai. Krisis identitas pun menjadi penanda budaya, dengan representasi jatidiri yang menjadi terma final pasca ‘pengganyangan makna’ budaya, doxa, energi, dan penanda lokal geneous, mereposisi masyarakat lokal dalam solidaritas multikultural. Kegelisahan para tokoh elit Kuta, sangat dipengaruhi oleh tertutupnya ruang desa adat oleh perang alat promosi dan reklame. Efek kerja tanda dan ikon-ikon kapital di kawasan Kuta, mempengaruhi emansipasi para agen budaya lokal Kuta. Dengan kesadaran kultural, mereka melihat kegamangan
154
yang terjadi sebagai sebuah pertemuan kehidupan budaya komersial, turistik dan
kapitalistik.
Kegelapan
cara
melihat
dan
berpikir
senyatanya
mempengaruhi bagaimana posisi individu dalam ambivelansi kehidupan global yang sangat dirasakan di kawasan pariwisata. Dualisme ekonomi (McKean, 1989: 119-124) dalam kehidupan destinasi wisata, dikondisikan dan bukti kerja operasi hospitality industry. Dengan prinsip produksi dan pengelolaan masing-masing penggiat bazar turistik, memacu sekaligus menarik semua pihak termasuk stake holder untuk menyesuasikan peranan dan posisi. Terdapat dua area berbeda yang masingmasing terdapat pertentangan, yaitu: (1) ’tourist world’ yang di dalamnya sedang terjadi perubahan sosial-budaya yang disebabkan oleh turisme dan ’host area’ yang dijadikan model tempat kunjungan. (2) ’Native world’ di mana belum terjadi perubahan dan kehidupan masyarakat berjalan alami dan patut di lihat dan dijaga sebagai model ideal. Dualisme menjadi pengaruh atas berbagai perubahan, pola interaksi sampai mode produksi untuk saling menguatkan dengan saling potong. Demikian juga agensi budaya dan politik identitas yang terus menguat dengan berbagai referensi perubahan dan dominasi budaya turistik-kapitalistik. Imagined community dalam kontradiksi kehidupan kawasan, searah dengan imagined village dan imagined resort yang memiliki intensitas semakin tinggi di tengah pembangunan daerah wisata. Peranan desa adat dalam kontrol ruang dan kawasan, memainkan fungsi ekonomi politik dan politik kebudayaan, disadari atau tidak disadari oleh para elit dan agen
155
kebudayaan lokal. Diaspora tanda turistik yang dikuatkan oleh kontestasi tanda turistik, persaingan representasi marker pariwisata hingga persaingan menu bazaar pariwisata, mengiakan ambivalensi kehidupan kawasan di mata masyarakat
lokal.
Brah (Barker, 2004:207) menyebut karakter diaspora
berkarakter lokal sekaligus global. Realitas ini terkait dengan konsep lama diaspora yang fokus pada gerak penyebaran melalui wisata, perjalanan, rumah dan batas-batas yang berkaitan tentang siapa bepergian ’kemana, di mana, bagaimana, dan dalam situasi apa’.
Dalam kekiniannya, diaspora ditandaskan sebagai
jaringan idenitifikasi transnasional yang mencakup komunitas ’terbayang’ dan komunitas yang ’saling bertemu’. Harapan ideal masyarakat lokal tentang kawasan wisata merupakan kawasan terbayang atau imagined mengkontribusikan kegamangan
resort yang
yang tidak pernah terjawab dan hanya
terjawab dengan perubahan ruang dan konversi lahan yang terus terjadi. Barker (Barker, 2004:130) melihat komunitas terbayang terbentuk dari pertemuan wacana politik media, aktor dan institusi dalam, serta ideologi gerakan sosial baru yang bekerja dibalik berita-berita aktual, even simbolis dan berbagai bentuk politik representatif. Realitas Kuta kini dominan ditandai oleh ’denyut nadi’ pariwisata
merupakan usaha
’memancing dan
memutar
dolar’, industri
global, dan pariwisata sebagai ’penjajahan baru”, baru bisa dilihat oleh kegelisahan budaya masyarakat lokal, sebagai penggerak perubahan ruang dan budaya.
156
5.4.1.3 Perkembangan ke Arah Kawasan Wisata Pasar Prinsip ekonomi tradisional atau pandangan akan nafkah hidup bagi orang Kuta, terdorong dan berkembang cepat menjadi prinsip-prinsi komersial dan kapitalistik. Ruang budaya diwarnai dan didominasi oleh ruang ‘gerak’ aktifitas ekonomi kawasan wisata yang established dan legitimit. Pada kekiniannya Kuta berubah mulai dari wajah depan hingga pelosok-pelosok terdalam ruang dan tempat tinggal penduduknya. Bangunan kori atau pintu gerbang rumah tradisional, termasuk tlajakan bahkan tembok pekarangannya hilang, dan difungsikan sebagai tempat-tempat komersial untuk meraih pendapatan dari uang penyewaannya atau digunakan untuk tempat usaha sendiri. Laporan kependudukan terakhir Kelurahan Kuta pada Bulan Januari 2007, mencatat jumlah penduduk migran yang masuk di wilayah kelurahan ini sebanyak 11.357 jiwa yang tersebar di dua belas lingkungan banjar. Keberadaan mereka masing-masing; 106 jiwa dari desa-desa lainnya di Kabupaten Badung; 991 jiwa dari kabupaten lainnya di wilayah Provinsi Bali, dan 10.000 jiwa lebih dari luar Provinsi Bali. Penduduk musiman yang tercatat
di
dalamnya
sebanyak
3.661
jiwa, masih
terdata
tinggal
di
lingkungan banjar. Para pendatang musiman yang belum terdata, diperkirakan mencapai angka 1000-an, misalnya mereka yang tinggal di bedeng-bedeng di lingkungan Banjar Jaba Jero atau arah tenggara Kelurahan Kuta, belum termasuk mereka yang datang ‘mengadu nasib’ di Kuta, dengan tinggal sementara di ruko, gudang perusahaan dan tempat-tempat yang belum
157
terdata. Kehadiran para pekerja dan pebisnis yang melakukan aktifitasnya di kawasan Kuta, dan para wisatawan asing atau domestik yang tinggal sementara, melengkapi intensitas aktifitas kawasan ini sejak pagi, siang hingga malam harinya berlanjut keesokan harinya tanpa henti. Kebijakan dalam pandangan mayarakat lokal, khususnya indigenous people atau warga Desa Adat Kuta, tampak masih ambivalen. Terlebih lagi dalam sebutan masyarakat awam, baik sebagai penduduk pendatang atau warga desa adat, kebijakan tampak masih samar dan ‘jauh tinggi’ dari jangkauan pemikiran dan pengetahuan mereka, kelompok masyarakat awam menerimanya sebagai regulasi mutlak pemerintah yang disebut dengan ‘aturan dari atas’. Perubahan tataruang yang terus berjalan cepat pada pembangunan fasilitas pariwisata oleh pemerintah, swasta hingga perubahan tataruang pekarangan rumah, diterima sebagai sebuah pilihan atau langkah ekonomis dan kenyataan hidup di kawasan wisata. Berbagai dampak implementasi kebijakan di kawasan ini, diterima sebagai kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebagai konsekuensi ‘kebijakan kawasan’ bagi desa adat dan masyarakat lokal kawasan secara umum. Konfirmasi kewenangan atau otoritas dari Dinas Pariwisata Kabupaten Badung yang berlokasi di tengah-tengah lingkungan Desa Adat Kuta, masih menyiratkan adanya ambivalensi. Di mana adanya sistem serta mekanisme pengawasan, kontrol
dan
otoritas
pengeluaran
perizinan
hanya
sebatas
perizinan untuk usaha rekreasi dan hiburan wisata, penginapan hingga hotel melati. Keberadaan toko atau kios-kios di seluruh kawasan wisata Kuta,
158
ditangani
dan
menjadi
wewenang
dinas-dinas
dan
otoritas
lain
di
pemerintahan Kabupaten Badung dan selebihnya untuk perizinan hotel berbintang tiga ke atas, merupakan otoritas dinas pariwisata provinsi. Pariwisata budaya sebagai sektor andalan daerah Bali, sebagai leading sector di bidang ekonomi, memiliki ‘lintasan orbit’ yang luas (Darmadi, 2005), melewati dan melampaui
sektor-sektor
ekonomi
lainnya
hingga
bidang-bidang kehidupan lain. Merupakan peluang besar bagi pengusaha kecil dan menengah dalam berusaha, bila bisa menangkap pengaruh tidak langsung
multiplying-effect
atau
efek
pelipatgandaan
pendapatan
bagi
sumberdaya dan potensi yang digunakan sebagai komoditas dan pendukung usaha atau industri jasa yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan pariwisata, yang sangat berpengaruh besar pada peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat kawasan. Erawan (1996: 10-16) menemukan efek pelipatganda ini berpengaruh besar pada industri kecil dan menengah, terlebih lagi bagi para pengrajin dan pelaku-pelaku usaha jasa dan akomodasi lokal dalam siklus perputaran uang di kawasan wisata. Sementara masyarakat lokal hanya sebagai penonton dan terhimpit secara ekonomi dan tekanan pajak tinggi sesuai nilai jual objek pajak.
5.4.2 Keterpinggiran dan Kekalahan Masyarakat Lokal Ambivalensi kawasan turustik Kuta bagi masyarakat lokal, menjadi bagian representasi masyarakat lokal dan dimensi keterpinggiran, ketika realitas perubahan dan konflik ruang yang diterima sebagai keniscayaan era
159
global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara berpikir, sikap dan pandangan atas tradisi yang diwarnai oleh nilai-nilai lokal atau indigenous values. Seperti halnya pengakuan
Bendesa
Adat Kuta dan warga Desa
Adat Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya sebagai ‘daerah terbuka’ (sebut: ruang terbuka ). Satu ungkapan yang mengandung kesadaran, kekhawatiran dan resistensi atas konsekwensi keberadaan lingkungannya sebagai kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka dengan tersedianya banyak akses jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara yang begitu dekat, memungkinkan siapa pun bisa masuk ke desa adat kami pada jam dan tempat yang mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat hiburan selalu menyapa dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian mengibarkan ‘bendera desa adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Hal ini dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan hegemonik kekuasaan rezim
penguasa
negara
dalam
waktu
yang
cukup
lama, kemudian
terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang dipelajari sejak lama. Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta, dengan tekanan kekuatan politik desa adat. (Pitana et all, 2000) Kesiagaan, koordinasi
dan
komunikasi
antar
desa
adat, ternyata
kemudian mendapatkan insiden ‘ledakan bom teroris’ pada tanggal 12 Oktober 2002 di depan sebuah café-bar di perbatasan Desa Adat Kuta
160
dengan desa adat Legian. Musibah yang tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat Kuta bahkan oleh masyarakat Bali, mematri suasana traumatik yang lama dan akhirnya harus diterima sebagai sebuah kenyataan. Aksi teroris bom yang lebih kecil terjadi lagi di sudut Kuta lainnya, tetapi menambah parah trauma pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat lokal di lingkungan Desa Adat Kuta, ditambah satu terror bom di lingkungan desa adat Jimbaran, sekitar 5km arah selatan Kawasan Wisata Kuta, kembali merobek citra keamanan pariwisata Bali. Kenyataan pahit ini harus diterima sebagai bentuk ancaman yang bisa terjadi kapan pun di lingkungan desa adatnya, sebagai konsekuensii kehidupan masyarakat kawasan wisata ke masa depan. Ancaman ini juga menghantui desa-desa adat yang ada di sekitar bentang kawasan Kuta. Nilai Jual Objek Pajak atau NGOP menjadi penanda kekalahan personal
sekaligus
komunitas
tradisional, ketika
diartikulasikan
sebagai
hegemoni dan penjajahan baru, bahkan sebagai ’penjerumusan’ ke lubang kemiskinan di desa sendiri. Penanda kekalahan dan keterpinggiran yang sering dianalogikan dalam ungkapan lokal, seperti ”Orang Kuta umumnya jadi
Satpam, Bossnya
Bule
atau
orang
Jakarte”.
Penanda
kuat
ini
menguatkan ambivalensi dalam representasi masyarakat lokal Kuta.
5.5
Poskolonialitas Turisme Global Realitas sosial-budaya yang ditangkap sebagai poskolonialitas dalam
kekiniannya bertolak dari adanya ambivalensi realitas dalam ruang kesadaran
161
masyarakat lokal kawasan wisata, khususnya desa adat. Kuatnya representasi kawasan wisata yang menguatkan citraan dan dominasi ruang kawasan turistik menguatkan poskolonialitas kawasan pariwisata. Dalam hal ini, konsep poskolonialitas digunakan untuk merekonstruksi dominasi kawasan pariwisata dalam berbagai aspek, baik aspek politik, ekonomi, dan budaya. Representasi kawasan wisata menunjukkan dimensi terjadinya dominasi kawasan yang bisa digambarkan secara fisik, citraan, dan psikologis. Citraan turistik menarik semua bentuk representasi, ikon, dan tandaan wisata Kuta dalam medan simulakra kawasan pantai internasional. Citraan Kuta sudah berkembang dengan arah pergerakan makna yang saling silang. Barker (2000: 340-370) dan Lewis (2002: 334-376) memandu pembacaan gejalagejala ambiguitas dan ambivalensi yang dimaknai secara lebih radikal dan politis
ke dalam studi poskolonial. Karena realitas poskolonialitas, akan
membuka adanya;
dominasi, marginalisasi, subaltern, hegemoni
dan
lain
sebagainya dalam keberlimpahan simulakra yang sudah cenderung skizofrenik dan pasti hedonis. Piliang (2005: 1–2) menyebut realitas ini terus berkembang atau becoming atau menjadi posrealitas yang tetap dipetakan dalam dua fase budaya modernisme dan posmodernisme, yang berpusat dan menyebar pada representasi pelaku dan audiensnya. Searah dengan fase pemikiran ‘cultural studies modern’ diangkat isyu sentral yang berkaitan pada budaya
popular, budaya
massa, industrialisasi,
kebudayaan dan industri, media massa, komodifikasi, struktur budaya, kode budaya, ideologi, subjek, hegemoni, struktur
kelas, demokrasi
dan
kelas,
162
resistensi,
subversi
dan
perlawanan.
posmodernisme’, isyu-isyu posmodernisme
sendiri:
tanda, permainan
bergeser yaitu
bebas
Pada
menjadi
isyu-isyu
obyek
‘cultural
studies
subject
matter
gerakan
genesis, perubahan, produktifitas
tanda, permainan
bebas
interpretasi, relativitas
pengetahuan, mesin hasrat (desiring machine), ketaksadaran (unconsciousness), ekonomi libido, heterogenitas, skizofrenia, nomadisme, simulasi, hiperrealitas, relasi pengetahuan dan kekuasaan (geneologi), discourse, pengetahuan lokal dan etnisitas (Piliang, 2000) Berangkat dari representasi budaya daerah dan re-presentasi kawasan atau
destinasi
wisata, segala
yang
ada
di
dalamnya, dengan
mudah
dikomoditisasi secara berulang-ulang. Bahkan dengan perspektif global, tidak mustahil
lagi
bila
Bali
pun
dikomodifikasi
atau
dalam
perpektif
commmodification of destination yang terjadi karena adanya mass production of certain commodities (Burns,1995:105-106). Bila demikian halnya, kemudian, Bali sudah merupakan sebuah komoditas, dengan nilai image atau citra Bali; dengan image of Kuta, image of Ubud, image of Tanah Lot, image of Besakih dan hasil citraan lain di dalamnya.
Semua citraan tersebut
dikuatkan dengan alih-alih ‘mitos’ Bali dengan berbagai julukan dalam tulisan-tulisan
barat
yang
merepresentasikan
keindahan, kedamaian
dan
keunikan seni-budayanya pada sekitar tahun 1920-an hingga 1950-an, seperti tulisan Mrs. Menc atau Ni Ktut Tantri yang lama tinggal di Kuta hingga membangun hotel, dalam bukunya Revolt in Paradise atau Revolusi di Nusa Damai (1964)
163
Akhirnya, dirasakan
masih
kecil
pembacaan
wacana
poskolonial
apalagi perhatian terhadap poskolonialitas dalam bentang ketidaksadaran dan ketakberdayaan masyarakat lokal kawasan wisata. Masih sempit wawasan dan masih lemah posisi tawar rakyat untuk mengkritisi kebijakan public dalam alam globalisasi yang penuh dengan laizes faire atau free fight liberalism. Masih kuatnya
ego-disipliner
yang mekanis dan pragmatis
mengecilkan sumbangan pemikiran kebangsaan yang hanya diperingati setiap bulan Mei.
5.6
Representasi Politik Identitas Menghadapi Turisme Pariwisata
sudah
jelas
menjadi
praktek
Global
neo-imperialisme
dan
kolonialisme, di mana jejaring global dan telekomunikasi informatika global mengecilkan dunia ini dalam kompresi jarak, bentuk dan ukuran ruang dengan pemotongan waktu. Ruang berhasil dikalahkan dengan percepatan dan
kompresi
ruang
(Piliang, 2005)
demikian
juga
nihilnya
jarak
memudahkan kapitalisme global untuk berkuasa. Membaca kembali genre pariwisata, berarti
menakar
kembali
kekuatan
ideologi
turisme
yang
dirayakan dengan bazar sejuta tanda turistik-komersial. Tanda, warna, rupaan bentuk atau citraan semu, semua harus diterima sebagai bagian realitas komodifikasi realitas dalam pariwisata (Darmadi, 2005) akhirnya harus diterima sebagai kenyataan bagi masyarakat lokal dalam desa kelahirannya sendiri. Realitas absurd yang diwarnai pseudo budaya dan tanda artifisial, merupakan langgam dunia kontemporer sekarang
164
ini. Tanpa terpikirkan lagi pariwisata untuk sebagian lebih kebutuhan leisure class, pasti mengajak setiap orang untuk tamasya turistik yang penuh atraksi dan berbagai produk turistik. Lainnya. Komodifikasi sebagai bagian dari mode produksi pariwisata, lebih banyak dodorong oleh ideology capital yang juga sama halnya dengan komodifikasi realitas dalam kotak TV dan multimedia lainnya. Ideologi ekonomi politik turisme, menakar barbagai potensi seni, ekologi, panorama alam hingga atraksi tubuh manusia, dengan nilai uang. Sehingga dualisme ekonomi tetap membayangi para praktisi hingga pembuat kebijakan.
Sama
halnya
dengan konformitas authenticity, sakral–profan,
ekpresif-progresif, idealistikmerupakan
kultur
pragmatis.
kehidupan
global
Sehingga atau
realitas
realitas
komodifikasi
kehidupan
manusia
kontemporer. Sign atau tanda dalam representasi marker turisme, baik dalam sightseeing, attraction, and
adventure
pariwisata, dicitrakan
dengan
’the
colour of...’ atau ’the spirit of.....’ sehingga pengaruh hampir sama dengan mitos dan nilai kesakralan totemic atau religius. Kontestasi
tanda
pariwisata, merupakan persaingan
representasi
dalam
persaingan marker
deru
persaingan
representasi turistik
yang
tanda
kehidupan
kawasan
komersial
sama-sama berada
global, pada
posrepresentasi global dengan kekuatan teknologi dan kapital global. Sudah tentu semuanya nerupakan tanda artifisial – hedonis dengan untuk pemuasan hasrat dan keinginan turistik bergaya Leisure class. Bagi masyarakat lokal, ini menjadi suguhan imagined village, place of attraction and village of
165
sight. Kelemahan kesadaran masyarakat lokal, akan membentuk kesadaran palsu akan ekonomi kawasan yang hanya bisa dikuasai oleh kapital global. Ingar-bingar
transportasi
wisata
hampir
tidak
pernah
berhenti
sepanjang hari, seperti ’ronda’ penjaga malam kawasan wisata dengan turisme yang semakin kuat. Masyarakat lokal sudah terbiasa dengan kehidupan turistik dan berbagai event dan atraksi wisata. Dengung suara musik cafe, pub dan diskotik, sejak lama menjadi teman tidur para tetangga (baca: masyarakat lokal) yang membludak pada momen-momen tahun baru dan high season atau bulan-bulan puncak kunjungan wisata, dari bulan Juni sampai Agustus. Permasalahan yang selama ini menjadi sekam dalam ambivalensi kehidupan kawasan, merupakan unarticulated problem of society, closed public discourse and people with commonsense. Resistensi dan perlawanan yang pernah keluar dengan clash action, ditarik dengan konformitas lokal untuk mensiasati kegelisahan moral, politik identitas, ekonomi politik desa adat hingga politik budaya dalam agenda masa depan para agen desa adat. Agensi budaya menjadi praktik politik lokal yang bergerak dan berkembang alamiah. Disadari atau tidak dalam pemikiran para agen, kebijakan masa depan tercantum dalam catatan dan agenda kritis mereka untuk masa depan desa mereka. The shadow of tourism atau bayang-bayang pariwisata yang selama ini menjadi tabir dominasi pariwisata, bisa dikonfirmasi kembali dengan; dominasi turisme kapital, pegaruh kontestasi jejaring kapital pariwisata,
166
hingga hegemoni kebijakan kawasan yang menyatu dalam ambivalensi kehidupan kawasan pariwisata. Pengaruh pariwisata kemudian dihidupkan oleh bayang-bayang turisme dan kota turistik yang terbayang dalam daya tarik kawasan atau the gravity of touristic resort.
167
BAB VI PROSES REPRESENTASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL DAN POLITIK IDENTITAS DESA ADAT KUTA DALAM POSKOLONIALITAS KAWASAN PARIWISATA
Bab
ini
memaparkan
representasi
masyarakat
lokal
khususnya
masyarakat adat Kuta dalam melihat dan menyikapi dinamika kehidupan kawasan pariwisata. diterima
sebagai
Proses perubahan dan
konsekuensi berterimanya
konflik wilayah
yang terjadi, sudah desa adat
dengan
kawasan turistik-komersial.
6.1 Tertutupnya Representasi Lokal dalam Kawasan Wisata Global Kontestasi tanda turistik dan komersial di permukaan atau wajah kawasan Kuta, merukapan penanda artifisial-mekanis atas dominasi kawasan turistik atas ruang budaya desa adat. Tanda turistik yang artifisial, terutama tanda komersial dalam studi ini, dibedakan menjadi tandaan hingga bab terakhir tesis ini. Dengan pertimbangan ideologis dan modus kapital global, tandaan turistik diasosiasikan analog dengan tandaan komersial dan tandaan kapitalistik global. Tandaan turistik sudah menyangkut
seluruh media
promosi dan informasi di kawasan wisata Kuta yang paling banyak memusat di wilayah Desa Adat Kuta. Semangat
emansipasi
para
tokoh
elit
masyarakat
adat
Kuta,
direpresentasikan dalam domain pemikiran dan sirkulasi mereka masingmasing.
Komunitas
tradisional
berinteraksi 167
dengan
kelompok-kelompok
168
solidaritas
masyarakat
lokal
kawasan
yang
multikultural.
Pluralitas
masyarakat lokal kawasan yang sempat menguat dalam wacana media, analog dengan ambivalensi kawasan bagi outsiders atau pihak luar yang mengkritisi kehidupan kawasan Kuta.
Gambar 6.1 Sebuah tempat makan dalam ketersesakan ruang Kuta Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2010
6.1.1
di Gang
Poppies.
Pariwisata Bali dalam Representasi Masyarakat Lokal Kuta Dalam representasi masyarakat lokal, Bali dan Kuta khususnya,
pariwisata masih dilihat sebagai sektor penting milik pemerintah. Kuta sebagai desanya sendiri masih dirasakan sebagai titik silang-temu-pandang manusia
dari
berbagai
negara
untuk
melepas
lelah, kerinduan, dan
keingintahuan tentang pulau seribu pura. Dari the last paradise hingga the morning of the world, hingga referensi global village, menampakkan Bali sebagai pulau yang baru melewati proses modernisasi, dan orang Kuta sudah
169
merasa tidak berada di Bali lagi. Pariwisata sudah menanamkan kebiasaan representasi ruang, objek, dan waktu (baca: kesempatan) yang turistik dengan pencitraan yang tak kunjung selesai atau berkesudahan, berlimpah ruah dan tidak pernah berhenti. Tidak pernah ada titik jenuh karena tamu-tamu (baca: wisatawan) yang dinanti-nanti dan disasar (baca: tourist) dipastikan berganti terus. Kepentingan dalam profitabilitas investasi modal industri penerbangan sipil, menurut Truong (1992:344) telah memacu pertumbuhan dramatis turisme internasional dalam berbagai cabang terkaitnya. Potensi keuntungan ini hanya dapat diwujudkan melalui dua sarana: (1) promosi turisme internasional untuk menyerap surplus penghasilan Negara-negara industri; (2 penciptaan infrastruktur dan jasa untuk tujuan-tujuan peripheral. Konsep turisme
dileburkan
dalam
praktik-praktik
diskursif
komunitas
ilmiah,
birokratis, promo organisasi internasional, dan pemerintah di bawah kedok nilai pendidikan dan internasionalis. Sirkulasi pariwisata Bali
menemukan putaran yang tak pernah
berhenti, progressif dan menembus batas ruang-ruang sektor lainnya, dengan ‘lintas orbit’ melewati batas-batas bidang, daerah dan batas Negara. Bali direpresentasikan di seluruh kawasan wisata, sebagai tanda kultural, penguat cap dagangan, hingga marker turuistik. Hospitality industry
mewarnai
Bali sebagai daerah pariwisata, pulau kunjungan wisata internasional, tujuan wisata dunia, destinasi wisata dunia, semarak dengan rona-rona marker
170
pariwisata yang masing-masing menguatkan diri untuk tampil mapan atau established. Ajang
kontestasi
tanda
turistik-komersial, menguatkan
nuansa
kepariwisataan di Bali yang mendunia karena pengaruh kekuatan kapitallistik global dan daya tarik atau gravity kawasan itu sendiri. Bersimbah bayangan turisme global yang sarat kepentingan stabilitas, keamanan dan ketertiban masyarakat, kebijakan pun harus diimplementasikan searah sirkulasi (baca: tradisi)
kehidupan kawasan dan prinsip
kerja
mewujudkan hospitality atmosphere dengan
keramah-tamahan untuk
implementasi
kebijakan
di
kawasan pariwisata atau hospitality policy yang didukung dengan hospitality guardian, termasuk
antisipasi
terrorisme
nasional
yang
membayangi
pariwisata.
6.1.2
Representasi Kuta dalam Bayang-Bayang Turisme Global Bayang-bayang pariwisata demikian juga cermin turistik Kuta bagi
masyarakat lokal, yang menjanjikan rezeki dan kenikmatan, akhirnya disadari sebagai koin gamang pariwisata. Pada satu sisi berwajah peluang dan wajah ancaman pada sisi di Baliknya. Melihat permasalahan ruang, lingkungan dan tanah
dari
efek
komodifikasi
Bali
dalam
simulasi
kawasan
turistik,
menemukan resepsi insiders yang commonsense seperti dipaparkan pada awal bab V, berupa (1) masalah ruang atau ’tanah berharga emas’, (2) mimpi kemakmuran dan harapan atau utopia turisme (3) masalah kebijakan publik di kawasan pariwisata. Peningkatan infrastruktur pariwisata bersamaan
171
dengan realisasi pembangunan fisik daerah dan nasional, mengkondisikan masyarakat Kuta ‘ada’ dan ‘mengada’ dalam pariwisata di atas space and place atau ruang dan tempat komunitas pendukung budaya setempat atau indigenous people, yaitu ruang desa adat. Pada masa awalnya, jalan-jalan penepi siring Kuta atau perkampungan pesisir Kuta, merupakan jalan atau akses tempat-tempat suci dan fasilitas kegiatan
adat, yang harus menerima
fungsi
baru
sebagai
akses
atau
infrastruktur kawasan industri pariwisata. Perbaikan wajah dan fisik Desa Adat Kuta menjadi penanda perubahan cepat yang kurang dari hitungan dekade atau sewindu, kemudian perubahan mendasar pun mempengaruhi tataruang perumahan, banjar atau lingkungan dan desa adat.
Gambar 6.2 Suasana pertokoan di jalan utama Legian-Kuta. Sumber: Dok. Darmadi, 2009
IGNA
Eka
Realitas perubahan konflik ruang yang diterima sebagai keniscayaan era global, mendorong dan mempengaruhi perubahan cara berpikir, sikap dan
172
pandangan atas relevansi dan berlakunya nilai-nilai lokal atau indigenous values. Seperti halnya pengakuan
Bendesa
Adat Kuta dan warga Desa
Adat Kuta, harus menerima situasi dan kondisi desa adatnya sebagai ‘daerah terbuka’ (sebutan ruang terbuka ). Satu ungkapan kesadaran, kekhawatiran
dan
resistensi
atas
yang mengandung
konsekwensi
keberadaan
lingkungannya sebagai kawasan pariwisata. Sebuah ruang terbuka dengan tersedianya banyak akses jalan masuk ke Kuta, bahkan bandar udara yang begitu dekat, memungkinkan siapa pun bisa masuk ke desa adat kami pada jam dan tempat yang mereka kehendaki. Akomodasi dan tempat hiburan selalu menyapa dan menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Kasus-kasus atau peristiwa konflik antara masyarakat lokal dan pendatang, atau dengan pengembang pariwisata, seperti yang terjadi di daerah-daerah lainnya di Bali, hampir sebagian mengibarkan ‘bendera desa adat’ untuk mengamankan aset-aset dan wilayah desa adatnya. Kawasan Ubud, Sanur, bahkan kawasan Tulamben yang masih sepi pun memiliki catatan resistensi dan perlawanan masyarakat lokal. Tempat objek daya tarik wisata Tanah Lot yang sempat disebut kawasan (Mudana, 2006) menuai wacana politik lokal yang lama, tetapi
selesai dengan konformitas pribadi
dan kelompok. Hal ini dicermati juga sebagai luapan reaksi atas tekanan hegemonik kekuasaan rezim penguasa negara dalam waktu yang cukup lama, kemudian terlampiaskan pada satu masalah dominasi ruang yang dipelajari sejak lama. Konflik senada pernah terjadi di kawasan Kuta, dengan tekanan kekuatan politik desa adat. (Pitana et all, 2000) Ubud
173
dengan rural areas-nya, pernah menuai konflik atas komodifikasi tebing yang disulut oleh kecemburuan masyarakat lokal yang tidak kebagian rezeki multiplying effect pariwisata.
6.2 Representasi Pariwisata Bali dalam Ambivalensi Kuta Posisi desa adat dan dinas dalam bentang kawasan turistik global, menandakan terjadinya transformasi social budaya yang cukup cepat sejak awal pertumbuhan hingga kini. Sejak tahun 1968 hingga kini, selama empat dekade, membentuk
beberapa
segmen
generasi
muda
yang
semakin
pragmatis. Representasi masyarakat multikultural dalam wacana normatif pariwisata Bali yang searah dengan konsensus ke-bhineka-an pada wacana negara, memang diiakan oleh warga Kuta dalam melihat penduduk plural yang semakin memadati Kuta. Multikulturalisme merupakan kata kunci stabilitas dan kemapanan kawasan, yang menjadi ruang kerja berbagai kepentingan. Kebijakan kawasan mengkondisikan desa-desa turistik sebagai tuan rumah atau host dalam kawasan pariwisata Kuta. Sebagai masyarakat lokal kawasan, pada tahun 1976 sampai 1982, Kuta pernah marak dengan pentas kesenian tradisional. Seperti penuturan Mangku Urip Suardana, Bagiana Karang, Jero Made Meder, dan, hampir senada mengingat kembali situasi Kuta yang lebih damai pada tahun 1980-an.
174
Gambar 6.3 Pembangunan akomodasi di bagian dalam kawasan Kuta. Sumber : Dok: IGNA Eka Darmadi, 2011 ”Kita sudah pernah lakukan seperti Ubud, bahkan duluan”, demikian ungkapan kritisnya tentang partisipasi masyarakat yang akhirnya hilang akibat
perkembangan
Kuta
menjadi
semakin
glamor, komersial, dan
kapitalistik sejak tahun 1990-an. Ingatan kultural Made Karma pada masa kecil, menjadi penanda hilangnya ruang budaya tradisional
karena dominasi
kuat ruang turistik komersial turistik saat ini. Bagi warga Kuta sendiri, Kuta memang desa kelahiran yang unik dengan pantai berpasir putih di barat dan pantai prapat (baca: Hutan Bakau) di timur. Turisme lokal akhirnya tumbuh dalam konformitas atas kehidupan tradisional dan modern, dimana aktifitas pantai Kuta terkadang menjadi obyek daya tarik turisme masyarakat lokal. ”Ya cuci mata, ketemu pacar bule atau sampai ketemu rekan tamu bisnis” demikian kilah Made Karma.
175
Gambar 6.4 Made Karma dan Mangku Urip, dua tokoh di balik layar pemberdayaan. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2011.
Tugas spiritualnya sebagai balian tetakson, meyakinkan dirinya untuk harus menjaga kelestarian Kuta dalam korps Satuan Keamanan Desa. Dalam kesibukan penulis, hanya sekali saja bisa membantu membuat rerajahan di kamar sucinya. Mangku Urip dalam studi ini, menjadi penanda masyarakat lokal tradisional yang menyadari betul dinamika masyarakatnya dalam perkembangan kehidupan global. ”Ruang tradisional harus kita lihat dengan mata hati, bukan bersaing dengan penglihatan emosi”, demikian tandasnya mengenai representasi masyarakat lokal atas perubahan ruang termasuk konflik ruang Kuta. Semakin banyak pasien bule yang datang untuk berobat alternatif di rumahnya.
176
Gambar 6.5 Mangku Urip yang sedang memimpin pengangkatan tengkorak untuk sarana ritual ngerehan. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
Mangku Urip sering mengajak penulis dalam kegiatan ritual dan spiritualnya. Dia mengaku; ”Saya menekuni pengobatan alternatif tradisional, tepatnya usada, termasuk lika-liku mistik Bali dipercayakan pada saya oleh masyarakat. Tokoh-tokoh membusungkan dada di depan umum, tapi kalau sudah masuk daerah tenget atau beresiko, baru nyebut nama saya”
Demikian ungkapan sentimentilnya keluar ketika mengajak Penulis untuk mengangkat tengkorak manusia yang akan digunakan untuk ngerehang, yaitu ritual testimoni sekaligus penguatan kekuatan magis pada rangda di Pura Dalem Pengastulan yang dikoordinir oleh Mangku Suweja, Pemilik Hotel Bakungsari. Hal ini meyakinkan penulis bahwa ruang budaya tradisional Kuta
adalah
karang desa yang dipertimbangkan keberadaannya (baca: ada
177
sebelum karang desa ada) sebagai ruang magis spiritual dalam bathin mereka, yang tidak akan pernah bisa diubah, ditutup atau didominasi oleh ruang turistik komersial. Gerakan ini sudah nyata sebagai gerakan sosial dalam rangka meluruskan kondisi sosial yang diarahkan kepada pihak yang melakukan eksploitasi pantai dan kepada pemerintah sebagai stakeholder kunci. Suwarsono dan Alvin Y.SO (Suwarsono&Alvin, 2000:44-47) mencatat berbagai bentuk situasi-situasi modernisasi yang memprihatinkan, yaitu posisi inferior masyarakat kelas yang menerima pengaruh tindakan politik kelas menengah-atas, dan pemerintah dengan berbagai kebijakannya. Jika gerakan reformis tidak diperhatikan oleh pemerintah, justru akan berkembang gerakan ekstrimis karena masalah dan kesenjangan kebijakan akan diambil oleh partai-partai politik sebagai proyek politik atau bahan ’dagangan’produk politik. Globalisasi, glokalitas, dan perdagangan bebas bagi masyarakat awam belum dianalogikan dengan pariwisata. Kepariwisataan sebagai terminal budaya global, menarik segala perhatian untuk melihat bagaimana interaksi dan transfromasi budaya masyarakat lokal di kawasan-kawasan pariwisata. Melihat adaptasi dan bekerjanya agensi budaya oleh para aktor politik budaya di dalamnya, praksis budaya glokal hanya merupakan representasi budaya para elit masyarakat lokal yang sangat intelektual yang bisa melihat semua fenomena tanpa ambivalensi. Adaptasi intelektual berawal dari tumbuhya budaya kawasan pariwisata, yang berupaya menyatukan semua potensi dan prospek sebagaimana harmoni pertemuan harapan dan kenyataan dalam wacana kebijakan pemerintah dalam pariwisata.
178
Gambar 6.6 Wawancara dengan pengelola Hard Rock Cafe yang sudah mendunia. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2009
6.3
Kawasan Turistik Kuta: Kawasan Komersial Kapitalistik Global Tepat di depan pantai Kuta dan masih dekat dengan pos Balawista
sekaligus sebagai menara tanda tsunami, berdiri Hard Rock Café yang menanmbah penanda turistik global untuk kawasan Kuta. Yang menarik dari Hard Rock, usaha ini bertolak dari pengalaman dan sense atau rasa entertaining atau hiburan di Inggris. Cirikas rasa dan pengalaman yang dijual kepada siapa pun. Sehingga pengunjung bisa datang dengan sandal jepit atau hanya mengenakan bikini di tempat ini. Citra Hard Rock yang mendunia ini cukup mendominasi citraan turistik di jalan pantai Kuta. Menelusuri jalan utama hingga masuk lorong atau jalan kecil kampung turistik ini, menjumpai banyak marker turistik yang menawarkan berbagai keindahan, pesona dan kenyamanan atraksi dan obyek wisata. Tidak
179
berlebihan untuk mencatat bila perlu memotret kembali kontestasi tanda dari berbagai suguhan menu bazar turistik. Bahkan mencitrakan kembali wisata tanda turistik bagi
kaum
belia, awam
dan sebagian domestik dalam
gemerlap-glamornya desa turistik atau kampung atraksi wisata global. Menu sightseeing, atraksi wisata hingga adventure
menjadi menu rutin bazar
turisme di Kuta.
6.3.1 Kawasan Turistik: Ajang Kontestasi Tanda Komersial Kapitalistik Gerak kapitalistik yang mengepung Kuta, mendapat dalih gravity atau daya
tarik
kawasan
dan
penyulut
mode
produksi
pariwisata, bisa
ditangguhkan sementara dengan bedah tanda turistik atau touristic sign yang disadari atau tidak membentuk kubangan melting pot turistik dan lubang skizofrenik yang akan menghapus kesadaran kultural para wisatawan yang imannya tipis.
Gambar 6.7 Usaha tempat makan oleh masyarakat lokal. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2011
180
Komodifikasi yang dilihat sangat mekanistik justru merupakan alat ideologi kapital untuk produksi dan reproduksi, dengan simulasi untuk membuat citraan atau touristic image. Sekilas simulasi dalam proses komodifikasi turistik yang memainkan sight, sign, and marker, bahkan tourist and attraction, digambarkan dalam figur berikut ini:
TANDA / SIGN
IDEOLOGI KAPITALISTIK
TOURISTIC / WISATA, SIMULATION { tourist / sight / marker }
DESTINATION
Artifisial, Pseudo, Fetish, Skizofrenik
leisure, attraction(MacCannel, 1976) TOURISM REALITAS KOMODIFIKASI REALITAS (Baudrillard, 1994) Gambar 6.8 Skema kontestasi tanda turistik komersial kapitalistik Keterangan Skema: Dengan pendekatan ekonomi politik, realitas masyarakat lokal kawasan, merupakan kehidupan masyarakat kontemporer yang dipenuhi dengan ruang pencitraan simulacrum (Baudrillard, 1994), sehingga tak asing lagi bila komodifikasi atau usaha melipatgandakan citraan, fungsi dan nilai sebuah objek untuk siap dijual di pasar, merupakan ideologi dan pendekatan mekanis kapitalistik di balik industri pariwisata. Marker pariwisata merupakan representasi sekaligus tandaan ikonik untuk simulasi produkproduk pariwisata yang berupa paket informasi, panduan, referensi dan daftar menu suguhan turistik yang dibuat menggiurkan hasrat turistik di suatu kawasan atau lebih.
181
6.3.2
Identitas Kuta dalam Kampung Global Global village Kuta diapresiasi sebagai penanda gerbang akses dan
potensi ekonomi global. Labeling global terhadap Kuta, diapresiasi dan diterimanya Kuta sebagai ikon Bali global, dan sebagai adaptasi mekanis dan
kemajuan
ekonomi
dalam
pertumbuhan
kawasan
pariwisata.
pun
disemangati dengan desa multikultural berparas global. Representasi budaya masyarakat lokal kawasan pariwisata, memberikan gambaran terbalik dari desa global yang dekat dengan pertumbuhan pariwisata global. Representasi terbalik ini sesungguhnya hal-hal yang terlewatkan oleh proyek transformasi sosial, seperti (1) Representasi tentang pariwisata, (2) Representasi tentang gaya hidup, (3) Representasi Budaya lokal dalam globalisasi, (4) Representasi hedonis dan leissure class. Transformasi
budaya
yang
berkepanjangan
dalam
commonsense
masyarakat lokal, menuai tertundanya pencapaian harapan-harapan kemajuan, yang sesungguhnya hanya harapan kosong (Fromm, 1996) tetapi
justru
mengembalikan motivasi tradisional untuk amanat dan cita-cita budaya tradisional yang citraan produk budayanya mulai mendapatkan tempat dalam ruang-ruang rezeki pariwisata, seperti: barang-barang antik bernuansa kultural magis, rangkaian permata manik-manik, dan produk budaya lainnya. Penemuan kembali identitas Kuta, digerakkan oleh representasi politik identitas para tokoh elit desa yang tak pernah tinggal diam seperti zaman pergerakan pada masa kolonial. Nyoman Parna mantan Kepala Lingkungan Banjar Segara dalam gambar 6.9, merepresentasikan identitasnya dengan mem-
182
Gambar 6.9 Representasi identitas dalam tataruang dan arsitektur tradisional Bali Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
bangun rumah barunya dengan arsitektur Bali di perbatasan lingkungan Kuta dan
Tuban.
Gaya
arsitektur
Bali
dan
tata
ruangnya
menandakan
keBaliannya. Simpang-siur kompetisi komersial dengan berbagai bentuk dan gaya komodifikasinya yang semakin genit dan berani, menantang para elit desa untuk melawan dengan perang simbolik dan perang makna, dan menetralisir perangai ’hutan tandaan artifisial tanpa makna ini’, dengan gerakan penyadaran dalam berbagai kesempatan formal dan informal. Lacan (Piliang, 1999: 102-107) menyebut fenomena ini sebagai skizofrenia, yaitu produk, gaya, citraan yang datang dan pergi silih berganti, hanya menciptakan
183
hutan rimba tanda-tanda yang silang menyilang dan saling kontradiktif, menciptakan jaringan pertandaan tumpang tindih. Kampung
halaman
Kuta yang menyejarah
dalam
cara
pandang
masyarakat lokal, dalam sejarah kecil Kuta disebutkan Kuta sebagai kota maya, serambi kerajaan Badung dengan dua dermaga yang sangat ramai. Kepala desanya pun sekaligus sebagai syahbandar, sempat dipegang oleh orang asing yang bernama Mads J. Lange yang dekat dengan kerajaan dan kompeni Belanda. Riwayat inferior Kuta tersebut mulai disadari oleh pemuda Kuta secara netral, karena sesungguhnya energi perubahan kedepan tergantung pada bagaimana jatidiri tersebut diposisikan antara pencapaian harapan dan cita-cita. “Lascarya dan selalu menyikapi situasi bersama!”, demikian ungkapan kaum tua warga Desa Adat Kuta dalam melihat dinamika kawasan Kuta kini. Rezeki pariwisata
dirasakan pahit-manisnya selama tiga dekade,
sekarang dibutuhkan pengendalian diri dalam lautan desa turistik yang glamour. Tokoh adat, Sri Empu dan para pemangku, dan sesepuh adat masih berpegang pada orientasi tradisional, di mana perubahan yang terjadi pada lingkungan desanya ini, hanya pencapaian ego dan libido semata dan tidak abadi. Yang abadi tetap ada, sehingga keberadaan toko-toko dan ruang komersial termasuk akomodasi wisata dilihatnya seperti make up belaka. Sehingga tanpa sikap nekengtuwas atau keiklasan untuk menjaga desa secara multi aspek, baik sebagai desa adat, kawasan wisata hingga lahan PAD Badung, tentunya mereka sudah lama kehilangan harapan dan jatidiri. Medan
184
perang tandaan turistik ini, dijadikan tempat adu mesin hasrat atau desiring machine (istilah Deleuze & Guattari dalam Piliang, 1999) yang bisa mewujudkan ideologi kapital dalam produk, menu, hingga kemasan benda dan jasa untuk membujuk-rayu para turis atau pengunjung Kuta.
6.4
Bikini sebagai Ikon Budaya Turistik MacCannel (1968)
sudah menarik budaya turistik ini sebagai trend
manusia modern yang menemukan kembali dirinya dalam budaya liburan sebagai kebutuhan hidup, yang membawa mereka keluar sesaat dari sirkulasi budaya lokal masing-masing. Pariwisata merupakan aktivitas usaha jasa dan re-presentasi objek-objek dan daya tarik rekreasi dan hiburan dan secara profesional bisa tampil standar yang disebut turistik. Dengan segala aspek dan efeknya dalam studi ini, turisme semakin kongkrit sebagai bagian dari revolusi dunia 4T yaitu Trade, Transfortation, Telecomunication, Tourism. Proses turistifikasi bahkan institusionalisasi semua hal dalam satu area turistik mengharuskan semua mode komodifikasi melakoni simulasi yang semaksimal mungkin (perang bebas dan tidak pernah henti). Pencitraan kawasan turistik sebagai satu simulasi raksasa pun terus berjalan tiada henti. Kapitalisme pariwisata
bergerak di
balik
aroma dan rona-rona
simulasi turistik itu dengan memanfaatkan semua potensi turistik yang diprogram
dalam
mesin
hasrat
turistik.
Kawasan
pariwisata
yang
terinstitusionalisasikan, justru memastikan peta pasar turistik untuk produkproduk ’cetakan’ mesin hasrat tersebut. Imperialisme modern
menguasai
185
jagat ini di mana kapitalisme berjingkrang dengan ribuan mesin komersialkapitalistiknya, seperti McDonaldisasi dan deretan franchise global dan hotelhotel berbintang internasional dan jaringan pasar wisata lainnya.
Gambar 6.10 Bikini sebagai ikon produk dan kawasan wisata pantai. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
Ikon-ikon franchise atau waralaba makanan siap saji, konveksi, dan binatu, yang sesungguhnya merupakan usaha perdagangan komersial zaman ini, memulai
usaha
dari
ruang-ruang
kawasan
pariwisata.
Sehingga, dalam
persaingan dan representasi komersial ini, pariwisata menjadi kambing hitam. Bikini sebagai ikon turistik yang memang bisa ditemukan di kawasan wisata pantai seperti Kuta, menjanjikan titik-titik pointer hubungan industri pariwisata dengan mode ekonomi politik tanda yang sangat menantang kecanggihan alat dan metode peneliti dalam kampung kawasan wisata
186
sebagai lokus studi. Keberhasilan mengangkat dan medekonstruksi posisi dan pengaruh ikon bikini, memberikan cara melihat baru terhadap bikini
dalam
kepariwisataan, yaitu; (1) bikini sebagai jarak antara lokal dan asing, (2) bikini sebagai ikon libido pariwisata, (3) bikini sebagai libido ekonomi politik pariwisata, (4) bikini
sebagai
resepsi
gender, (5) bikini sebagai pointer
barometer produktivitas kawasan wisata, dan (6) bikini adalah jarak host and guest, hingga (7) bikini adalah needs and wants yang sarat dengan cultural background of visitors (temuan penelitian tesis penulis). Dengan meminjam konsep skizofrenia
Lacan
(Piliang, 1999), resepsi
bikini
dalam
turisme
merupakan lubang skizofrenik global yang siap menarik siapa saja yang punya hasrat konsumerisme tinggi, masuk dalam kawasan Kuta sebagai arena simulakrum raksasa. Bikini melengkapi fenomena global village di kawasan Kuta, yang menbedakannya dengan kawasan Ubud sebagai kawasan desa tradisional. Dalam kawasan pedesaan, situasi hanya memungkinkan kehadiran bikini di kolam renang. Bikini sebagai ikon turistik memiliki re-presentasi subjektif atas tourist dan lokal people. Posisi ikoniknya dalam pasar tanda pariwisata tidak bisa dilepaskan dari proses komodifikasi terus-menerus terhadap segala objek dan daya tarik kawasan. Setelah komodifikasi kawasan menarik semua libido turisme termasuk pemakai bikini, yaitu tourist, sirkulasi pariwisata pun terus berputar, sehingga posisi terakhir bikini juga sebagai penanda daya tarik kawasan dan ekonomi politik pariwisata. Turunannya menjadi ekonomi politik kawasan dengan
187
banyak metamorfosis yang salah satunya adalah ekonomi politik pantai. Pada titik sirkulasi ini, bikini betul-betul menghidupkan suasana pantai Kuta sebagai pantai internasional. Seperti disebutkan di atas, bikini juga menjadi penanda objek dan daya tarik wisata domestik dan masyarakat lokal. Terjadi sedikit pembalikan sense wacana wisata. Kalau bare-breast perempuan Bali (dahulu) dikejar jauh-jauh dari Eropa, sekarang wisatawan domestik dan orang lokal tidak perlu jauh-jauh melihatnya, cukup dengan modal kaca mata hitam bisa puas jalan-jalan di sepanjang pantai Kuta.
6.5
Posrealitas Pasih Perahu ke Pasih Turis Realitas
neokolonialisme
dalam
pariwisata senyatanya
dirasakan
melalui gerak dan mode kapitalisme pariwisata. Mengingat pariwisata pada awalnya di Bali, memang masih segar dalam ingatan, diprakarsai oleh koloni dagang Belanda yang disebut KPM, menggagas koloni-koloni pariwisata dengan
pengadaan
tranfortasi, akomodasi, bispak-peristirahatan
hingga
pembenahan beberapa tempat yang hingga kini menjadi bagian obyek daya tarik wisata (Robinson, 2007) Sehingga neokolonialisme sebagai pendekatan terakhir studi sosiologi pariwisata (Cohen, 1996), menjadi penanda kuat wacana pariwisata sebagai industri global pada era kini dan industri ekonomi tersier di negara dunia ketiga dengan warisan turisme kolonial atau warisan representasi wisata oriental oleh bangsa penjajah pada masanya. Dalam sub bab VI ini, posrealitas pasih perahu merupakan metafora yang diangkat dari ungkapan lokal, untuk penanda makna postradisional.
188
6.5.1
Transformasi Budaya Lokal ke Turistik Global Transformasi
budaya
pada
masa
kini, senyatanya
memposisikan
pariwisata sebagai bagian dari budaya transformasional berdimensi global dan lokal. Sebagai industri modern, pariwisata memiliki mode, aturan main dan santun usahanya sendiri. Sebagai industri berbasis potensi lokal dan sumberdaya
lokal, pariwisata
mengkondisikan
transformasi
kearifan dan
inventaris budaya lokal untuk obyek daya tarik turistik yang bisa diterima secara
global.
Arsitektur
postmodern
pun
lahir
dari
kolaborasi
pendayagunaan bangunan tradisional dan adatasi arsitektur modern yang menyatu dan berkembang terus. Kenyamanan-kenyamanan modern pun harus dimasukkan dalam
pertimbangan konstruksi bangunan akomodasi
yang
berparas tradisional. Persandingan tanda lokal dan global pun mewarnai perkawinan budaya tersebut. Hal tersebut menjadi ambivalensi bagi masyarakat, yang disebut dengan singkat sebagai kegamangan situasi atau kondisi gamang yang di dalamnya juga tidak ada lagi ruang bagi host atau masyarakat tuan rumah. Host and Guest atau tuan rumah dan tamu lama dikondisikan oleh pemerintah dengan sopan-santun dan perangkat nilai budaya, tetapi
belum
bisa mengendalikan siang-malam, kapan para backpackers bergerak dengan survey kecil untuk membeli bukit, sawah dan ladang, untuk memulai usaha
189
Gambar 6.11 Iringan umat atau krama mengusung pratima dalam prosesi melasti Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
lokal berbasis global yang jelas keluar dari harapan atas multiplying effect pariwisata. Lanjutan transformasi budaya dalam momen ini, sarat dengan kontestasi tanda tanpa henti, yaitu simpang siur tanda budaya lokal dan budaya
global.
Kontestasi tanda
turistik, komersial dan kapitaistik ini
disadari oleh tokoh-tokoh desa adat, sehingga sejak tahun 2001 yang lalu, tampak perubahan drastis dalam pelaksanaan ritual Melasti atau upacara penyucian alat-alat suci upacara sebelum memasuki Nyepi dan tahun baru Isaka, yang lebih semarak dari desa-desa adat lainnya. Kontestasi simbol di Kuta, juga sebagai bagian dari penanda dan aspek pariwisata sebagai modal budaya dan budaya pariwisata itu sendiri. Bila masyarakat lokalnya commonsense, mereka akan dinyatakan kalah atau terpinggir. Berikut digambarkan pertemuan ruang dan waktu tradisional dan modern dalam transformasi budaya di desa global.
190
Gambar 6.12 Kebersamaan prajuru desa adat, pengurus LPM dan kepala lingkungan dalam Melasti 2008. Dok. IGNA Eka Darmadi
6.5.2
Dominasi Ruang Kapitalistik dalam Kompresi Ruang Lokal
Dengan adanya kompresi atau pemampatan ruang dalam usaha pencapaian kepentingan-kepentingan dagang barang dan jasa turistik dengan modus progresif, jelas terjadi perang tanda yang selama ini oleh masyarakat lokal hanya bisa menyebutnya hanya dengan kegamangan, kesimpang-siuran, perang merk, yang semuanya memang sebuah ambivalensi kapitalisme global. Satu kasus tanda ikonik kawasan pantai yaitu bikini yang selama ini hanya dilihat sebagai penanda kehadiran wanita, tentunya menyimpan kekuatan penanda
kapital modern yang menembus dimensi
global karena sudah
diterima global sebagai penanda ketidak-telanjangan. Penyebutan pasih bikini merupakan sebuah penyadaran dalam proses mengangkat representasi budaya masyarakat lokal, yang masih begitu arif mentolerir dominasi tanda
191
Global Neokolonialisme
Kapitalisme Global:
Pariwisata:dominasi
bikini, product luar,
kapitalistik,
ikon global, marker
pasar
Eropa/global,
turistik
Past
Future Transformasi budaya
sosial
masyarakat
tradisional
kawasan
turistik:pasih, pantai,
segara,
beach,
sand,
wave, sun, sense
Transformasi Modal Budaya Lokal: pariwisata budaya, pariwisata
Bali
tuan rumah/host Lokal
Gambar: 6.13 Skema Transformasi Budaya dan Kontestasi Tanda Global Keterangan : Poskolonialitas pariwisata adalah kondisi ambivalen kehidupan masyarakat lokal dalam dominasi kawasan wisata yang dipenuhi diaspora tanda turistik, ruang kapital global.
ruang kapital pariwisata, seperti halnya bagaimana sebutan pasih perahu sejak sebelum masa kolonial, masih kuat dipakai sampai sekarang.
6.5.3
Kuta sebagai Ikon Turisme Global McCannel(1968)
menarik budaya turistik ini sebagai trend manusia
modern yang menemukan kembali dirinya dalam budaya liburan atau leissure trend sebagai kebutuhan hidup, yang membawa mereka keluar
192
Gambar 6.14 Poster Kuta Karnival yang menguatkan citraan Kuta sebagai destinasi wisata internasional. Sumber: Dok. Supatra Karang, 2008
sesaat dari budaya lokal masing-masing. Pariwisata merupakan aktifitas usaha jasa dan re-presentasi obyek-obyek daya tarik rekreasi dan hiburan secara professional untuk bisa tampil standar disebut turistik. Sehingga proses turistifikasi bahkan institusionalisasi semua hal dalam satu area turistik, mengharuskan semua mode komodifikasi melakoni simulasi yang semaksimal mungkin. Pencitraan kawasan turistik pun berjalan tiada henti. Komersialisasi dan kapitalisme pariwisata yang bergerak di balik aroma dan rona-rona simulasi turistik kawasan Kuta, membangun citra Kuta sebagai ikon wisata global di Bali. Pelaku wisata memanfaatkan semua potensi turistik tanpa kenal batas ruang dan waktu. Kesan pariwisata sebagai imperialisme modern
semakin kuat, dengan deretan logo-logo yang mendunia termasuk
McDonald dan deretan franchise global lainnya. Dalam persaingan dan representasi komersial ini, pariwisata menjadi kambing hitam.
193
6.6
Resepsi Turisme dalam Politik Identitas Resepsi
turisme
dalam
kesadaran
masyarakat
lokal
merupakan
kesadaran atas sektor ekonomi pemerintah yang berdimensi lokal dan global. Pada aras lokal, pariwisata dianggap bisa memberikan peluang besar pada semua pihak untuk berusaha meninggkatkan pendapatan ekonomi. Dalam bincang pribadi, bendesa adat pernah mepelesetkan sekala-niskala dengan ”di Kuta sekala-niskala itu batasnya tipis, sekarang miskin besok bisa kaya, sekarang kaya besok bisa miskin. Banyak yang sukses mengadu nasib ke Kuta dengan bermodal satu ransel, ada juga yang sampai kehilangan pekarangan dan warisannya. Pada aras global yang bertolak dari daerah dilihat oleh masyarakat sebagai wilayah pemerintah dan ruang regulatif belaka. Kebijakan baru dirasakan pada terbukanya pintu untuk desa adat bisa mengelola pantai dan retribusi saja, yang juga belum diketahui oleh masyarakat kecil yang tidak berperan dalam desa adat maupun lembaga setingkat desa dinas.
Gambar 6.15 Penulis sedang berbincang dengan tokoh-tokoh Kuta seusai persembahyangan di Pura Khayangan. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2009
194
Sebagai mesin devisa, pariwisata mengkondisikan konformitas nilai bagi masyarakat lokal untuk menjaga bahkan mengawal situasi dan kondisi kawasan sebagai tempat operasi mesin pencetak uang, mesin industri jasa, dan mesin penghibur para leisure class sebagai tamu terhormat. Ideologi turisme
menginterpelasi
semua
orang
dalam
masyarakat
lokal, untuk
merayakan kepariwisataan sebagai generator atau penggerak ekonomi desa, daerah, dan Negara. Interpelasi budaya lokal ke dalam budaya pariwisata, mengiakan segala konformitas nilai budaya, ruang, waktu, hingga etika yang tampak jelas pada gaya hidup masyarakat lokal. Hal ini tidak bisa ditutupi oleh terutama anak-anak muda di kawasan wisata dan dalam bentang graviti kawasan pariwisata. Gaya hidup masyarakat sangat dipengaruhi oleh sense dan aroma turisme
kawasan
pariwisata.
Berbagai
dandanan-solek
para
turis
menyemaraki semua tempat dan jalan-jalan kawasan sebagai desa pesolek, desa bergaya dan desa bernuansa turistik. Dalam semarak gaya hidup turistik ini, sangat menarik skeptisme penulis untuk sedikit ‘iseng’ mengejar tindak-mimikri masyarakat lokal Kuta dalam pengaruh dan bayang-bayang turisme global. Selain Made dan pemuda lainnya termasuk beberapa bajangbajang Kuta, menyatakan bahwa “Anak muda sini sudah biasa pakai bikini, lihat saja bokongnya?”, ada yang pernah mendapat pengakuan dari ibu-ibu; “Kapan-kapan kita juga boleh kan jadi turis?”, “apalagi untuk suami, atau yang muda untuk si pacar”. Berbagai pengakuan dan ungkapan-resepsi gaya
195
turis, juga memilih bikini sebagai penanda gaya hidup dan kelas ekonomi yang terkait dengan harga dan kaitan aktifitas dan kebisaaan hidup. Sense dan gaya mencairkan kelas dan bangsa, searah dengan bikini bagi para turis sebagai tiket untuk berjemur dan jalan-jalan di pantai. Semua etalase pakaian atau konveksi memajang bikini sebagai item cirikhas kawasan Kuta. Hal ini juga dilakukan di kawasan pantai Sanur dan Nusa Dua, tetapi
pengaruh dan resepsi budayanya hanya ditiru oleh segelintir
kelas ekonomi menengah ke atas. Asesoris dandanan pantai memang mendominasi tempat komersial atau toko-toko pakaian di Kuta, terlebih lagi dengan pemasangan billboard dan baliho besar yang mengundang perhatian setiap pengunjung Kuta. Persaingan antar mereka membangun citra Kuta sebagai kawasan pantai turistik, komersial, dan glamour. Jelas wajah desa adat sebagai ruang budaya tradisional tertutup oleh pasar tanda turistik (Darmadi, 2005). Brand pakaian dan aseoris dandanan anak muda juga terpusat di Kuta dan sekitarnya. Bayang-bayang barat (baca: budaya pop global) menarik anak-anak muda Kuta, Denpasar, hingga Gianyar, datang ke Kuta untuk melihat dandanan dan solek-molek para tourist muda khususnya pada musim liburan bulau Juni sampai Agustus. Motivasi usaha para pebisnis pakaian jadi yang berlogo luar negeri, tiada lain untuk para wisatawan asing yang ingin mendapatkan produk-produk standar dengan gaya dan merk mendunia. Memang diakui beberapa pembeli lokal mengambil item-item pakaian yang mereka pajang.
196
6.7
Representasi Kawasan Wisata Pantai: Tertutupnya Representasi Lokal Bikini menjadi ikon kehadiran dan sensualitas wanita seperti halnya
para turis wanita di pantai Kuta. Diterimanya bikini sebagai ikon wisata, searah dengan ’turisme lokal’ yang melihat turis sebagai obyek wisata tersendiri. Bersamaan dalam turisme lokal tersebut, resepsi kehadiran turis menetralisir ruang dan waktu lokal dan global. Bikini sebagai ikon sekaligus obyek komodifikasi
pakaian, akhirnya
mengkomodifikasi
pemakainya
sekarang.
Bahkan di pantai Kuta sering tampil monokini yang berarti satu kain penutup organ genital atau kemaluan wanita saja tanpa penutup dada, menyambung julukan Bali silam sebagai bare breast island. Perkembangan bentuk kini di kemudian hari hingga sekarang, memunculkan sensualitas melihat dan menilainya. Ketika kini diminimalisir menjadi bikini atau dua potong kecil kain penutup organ genital. Bahkan kemudian bentuknya pun diperkecil menjadi mikrokini, atau stringbikini yang hanya dihubungkan dengan tali kecil. Perkembangan bentuk-bentuknya pun semakin beresiko dengan monokini atau
minikini
yang hanya
menjadi
penanda ‘tidak
telanjang’ di pantai, kolam renang atau tempat turistik lainnya. Bila kembali melihat bagaimana para hippies di Kuta tahun 1968-1970 (McKean, 1971), mereka justru telanjang seharian dan melakukan hubungan sex seperti di pulau
tidak
berpenghuni.
Hampir semua pemuda Kuta tahun 1960-an,
menyimpan pengalaman kanak-kanak dalam mengenal kehadiran hippies di desa pesisir ini pada lima puluhan tahun lalu.
197
6.7.1 Ambivalensi dalam Representasi Kawasan Kuta Masuknya
industri
leisure
dalam
pembagian
kerja
pemerintah
menunjukkan bagaimana keterjalinan diskursus kebudayaan dan ekonomi telah
mengkondisikan
pengintegrasian
negara-negara
berkembang
serta
penduduk perempuannya ke dalam struktur total produksi industri leisure. Tercatat (Truong, 1992:343) Kebangkitan penyediaan jasa leisure dalam negara-negara industri di kurun 1950-an dan 1960-an berkaitan utama pada factor: (1) pertumbuhan ekonomi pasca perang di Barat yang menciptakan surplus penghasilan dan surplus waktu melalui intervensi Negara (waktu libur dan perundang-undangan, (2) respons pemodal yang bertujuan untuk menyerap surplus penghasilan melalui produksi jasa yang digunakan di saat surplus waktu. Kebangkitan leisure berjarak-jauh telah dirangsang oleh berbagai berbagai inovasi dalam wilayah transportasi udara dan teknologi informasi. Berbagai inovasi tersebut telah menciptakan fasilitas yang luar biasa
yang
perdagangan
tak dan
dapat
diserap
pemerintahan.
oleh
semata-mata
Promosi
tturisme
ekspansi di
aktivitas
negara-negara
berkembang, menyasar ruang-ruang periferal dan penduduk miskin sebagai pelayan. Mengingat turisme
(Truong; 1992)
memiliki hubungan
simbiosis
dengan periklanan yang meleburkan berbagai elemen yang tak berkaitan pada turisme dan mentrasformasikannya ke dalam produk turisme, termasuk persentuhan hubungan komersial dengan wilayah personal, telah menciptakan sebuah kultur homogen dimana domain seksualitas memperoleh penekanan
198
khusus dalam cara yang terfragmentasi. Ini mempengaruhi cara-cara melalui mana jasa-jasa lokal diorganisasikan dan disediakan. (Truong; 1992) Faktor tambahan yg berperan dalam peleburan sistematis pelayanan seksual ke dalam turisme. Ini mencakup hubungan gender yg berakar pada agama dan struktur kelas serta situasi geo-politik spesifik Asia Tenggara periode 1960an dalam kaca mata Barat. Posisi
ikonik
global
bikini
bagi
insider
maupun
outsiders,
sesungguhnya memposisikan bikini sebagai penanda turistik yang mampu mentralisir kelas, bangsa dan batas ruang. Justru turis tanpa bikini tampak aneh di pantai, yang membuat sangsi penjaga pantai; “apakah mereka tidak nyaman lagi di pantai ini?” Berbagai bentuk kini atau bikini di pantai Kuta, sudah ditolerir oleh pengalaman silam tentang wisata para hippies di pantai Kuta dahulu. Bahkan fenomena ‘bule melalung’ pada masa itu, menjadi daya tarik wisata bagi pemuda dan masyarakat lokal. Para pemuda dari Denpasar pun datang bergantian untuk menikmati pemandangan aurat dan ‘bulu jagung’ (baca: sebutan lokal). Sekarang fenomena daya tarik wisata yang satu ini menjadi rahasi umum masayarakat lokal dan wisatawan domestic yang menikmati liburan di Bali. Ungkapan lokal pun kerap keluar, seperti; “Tanpa mengunjungi pantai Kuta, belum lengkap berwisata di Bali”, ada juga ungkapan; “Kalau mau menikmati Bali, harus jalan-jalan dulu di pantai Kuta”, atau “Rugi liburan di Bali tanpa menikmati pemandangan pantai Kuta”, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan lainnya dari wisatawan lokal. Masyarakat lokal pun sudah menyadari hal itu, sehingga sulit juga
199
bagi mereka untuk menutupi ruang libido turistik ini pada anak-anak yang di bawah umur. Seperti apa yang dikhawatirkan olen Haji Bambang, tokoh muslim Kuta, menyampaikan: “Saya tidak mau mendiami rumah tua di belakang Kuta Beach Hotel, ya karena takut dengan yang itu tadi. Anak-anak harus tumbuh norma dulu, nanti kalau sudah dewasa mereka sudah punya wawasan tentang itu. Makanya saya putuskan untuk tingga di perumahan ini, agar jauh dari ‘hawa pantai Kuta’.
Tokoh komuniti muslim ini, telah melihat pariwisata sebagai realitas budaya artifisial, glamour, dan hedonis. Kegelisahannya Haji Bambang telah ditandai oleh ikon bikini wisata. Tidak disadarinya, bikini telah mematok kegelisahan Haji Bambang dalam konteks; (1) representasi budaya turistik, (2) dominasi ruang kawasan turistik kapitalistik, (3) kematian budaya dan identitas desa adat Kuta yang sering disebut dengan penduduk asli Kuta. Generalisasi Kuta dalam kegelisahan outsiders (baca: media, buku dan peneliti luar) tentang resepsi masyarakat lokal atas pasih bikini, tentunya tidak seperti Haji Bambang yang telah jauh melihat nilai leteh melalung atau telanjang membuka aurat di segara, namun masih bisa membedakan realitas ekonomi dan realitas sosial budaya. Terlebih
lagi, tanpa
menyelami
dulu
bagaimana masyarakat lokal melihat dan menyikapi pemandangan para leisure class yang berjemur dan buka-bukaan di pantai. Searah dengan adatasi masyarakat, bikini mendapatkan tempat dalam ruang etika berpakaian yang sudah diterima dengan nyaman oleh masyarakat lokal sebagai ikon budaya tourist.
200
Kembali pada masa awal Kuta sebagai kawasan pariwisata, dari masa hippies tahun 1968 hingga turis dengan semua gaya leisure class-nya pada masa kini, terbalik dengan sikap Haji Bambang, justru
gaya turis berbikini
menjadi obyek wisata baru bagi masyarakat lokal. Pengakuan ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat lokal Kuta, untuk ‘mencuci’ mata pada jam-jam sun bathing atau mandi matahari para turis pada pukul 11: 00 wita sampai sore hari. Mereka menemukan wajah-wajah yang mirip dengan bintang Hollywood dan gaya ‘barat-barat’ lainnya. Pada jam-jam ini, tampak ikon bikini memenuhi pantai Kuta dan kaca mata hitam anti sinar matahari dengan berbagai mode dan gaya dandanannya. Angin pantai sewaktu-waktu meniup bau krim tabir surya para tamu pantai Kuta, bau tersebut menguatkan penanda bikini dalam pemandangan
yang sangat
turistik, di mana petanda-petandanya belum bisa ditunjuk oleh orang-orang lokal yang baru menemukan libido-turistik di tempat ini. Dari ambivalensi ini, kembali terbukti kuatnya ideologi pariwisata yang bisa menginterpelasi individu
dalam
kubangan
turisme.
Kelompok-kelompok
gigolo
sudah
memasang focus sasarannya pada semua tourist muda yang memang sebagian besar merupakan langganan Kuta, yaitu surfer, anak muda dan backpackers yang lebih banyak memesan kamar bintang tiga ke bawah. Resistensi terhadap hal ini, tentunya tidak pernah muncul dari kalangan masyarakat Bali dan Kuta khususnya. Seperti pengalaman mereka pada tahun awal terbukanya kawasan Kuta, kebiasaan para hippies telanjang atau sedikit telanjang relatif sama dengan kebiasaan awam masyarakat Bali
201
mandi bersama pada masa itu. Resepsi budaya ini tentunya memiliki hubungan erat dengan banyak ritual dan budaya Bali, seperti kebisaaan mandi bersama juga merupakan hal bisaa bagi masyarakat agraris atau masyarakat nelaya yang masih lugu dengan kepolosan libido dan sikap tradisionalnya. Telanjang sudah diiakan sebagai sikap dasar bagaimana manusia lahir dan meninggal nantinya. Seperti ritual Ngaben di Bali, tidak ada bedanya dengan tradisi yang masih dipegang oleh masyarakat adat Kuta. Mulai dengan bunyi kentongan banjar tentang kematian seorang warga, pengurusan dan ritual jenasah sudah menjadi tanggung jawab desa adat melalui pembagian kerja adat di banjar bersangkutan. Bagi orang asing, proses pemandian jenasah mungkin dipandang sadis atau barbarik, dengan pemandian bersama dan ditutup dengan banyak ikatan tali dan anyaman bambu yang sangat kuat. Semuanya memiliki makna ritual dan filosofis Hindu bagi krama adat dan karang adat. Watangan atau jenasah menjadi tanggung jawab desa adat yang dilaksanakan oleh banjar adat, sejak status meninggal disampaikan oleh pihak keluarga kepada kelihan adat banjar. Persiapan ngaben dilakukan oleh banjar adat lanang-istri atau pria dan wanita. Ngaben dilaksanakan harus pada hari yang sesuai dengan perhitungan waktu desa adat yang disebut padewasan ngaben, karena pelaksanaannya akan berpengaruh pada karang desa dan krama desa adat. Bendesa Adat Gung Aji Sudira menjelaskan; ”Segala sesuatunya tentang ngaben menjadi arahan dari desa adat dan keluarga diharapkan mau menerima demi keharmonisan karang desa milik kita bersama. Kalau salah padewasan dan tatacara, bisa
202
menyebabkan hal buruk atau meped atau grubug atau kematian beruntun” Praktik budaya tradisional memengaruhi semua praktik sosial krama desa terutama pada hal-hal yang menyangkut karang desa atau wilayah desa adat. Doxa menjadi penggerak utama dan mendasar bagi komunitas desa adat. Prihal ruang publik yang sangat dinamis masih dinomer duakan oleh prihal karang desa yang ’dianggap ada hukum sebab-akibatnya sampai kapanpun’ atas segala hal kebendaan material di atas karang desa. Sehingga mutlak doxa juga mendisposisikan karang desa sebagai kekuatan basis ekonomi politik desa adat di balik politik identitas. Kebuntuan
orientasi
budaya
dan
ekonomi
dalam
kehidupan
masyarakat lokal destinasi wisata, menjadi bukti efek kerja operasi kapital di balik hospitality industry, yang
memacu sekaligus menarik semua pihak
sebagai stakeholder dalam kontradiksi dan paradoks, ’tourist world’ dan ’Native world’, dunia host and guest” lebih membuka peluang bagi modus ekonomi politik global dalam konteks ke-pariwisata-an. Kehidupan Kawasan pariwisata, di mana belum terjadi perubahan yang berarti pada kehidupan masyarakat
lokal
kelas
bawah
yang
berjalan
alami
dengan
sirkulasi
pendapatan tradisional, patut dilihat dan diberikan tempat untuk berusaha dan mendapatkan cipratan multiplying efffect pariwisata.
6.7.2
Kesadaran Publik Kuta dalam Ambivalensi Dualisme menjadi pengaruh atas berbagai perubahan, pola interaksi
sampai mode produksi untuk saling potong pengaruh pasar. Demikian juga
203
habitat dan habitus commonsense yang tercatat selama ini, menjadi referensi agensi budaya dalam politik identitas untuk terus menguatkan representasi publik kawasan yang sadar dengan potensi dan ancaman desa mereka dalam referensi perubahan dan dominasi budaya turistik-kapitalistik. Kegelisahan ini searah dengan ; Behaviour is only one of the visible public representation of sosial structure found in public places........Public behaviour and these other visible public parts of society are tourist attraction. (MacCannel, 1976)
Pendekatan
poskolonial
yang
sebelumnya
mendapatkan
banyak
referensi dari turisme, memberikan energi pada penemuan kembali kebijakan di kawasan pariwisata sebagai kebijakan yang bermakna. Inventarisasi potensi, nilai, dan cirikhas identitas budaya sebagai dasar advokasi budaya, membentuk historisisme baru Milner (2002) yang searah dengan materialisme budaya Marvin Harris (1999) dan Saefuddin (2005) Sehingga bukan alih-alih belaka bila studi poskolonial mendapatkan banyak referensi kasus-kasus aktual dalam implementasi cultural studies atau poskolonial itu sendiri pada turisme. Dengan emansipasi pasca kolonial, pendekatan materialisme historis pun menjadi sandaran dialektis dalam referensi historis sebuah budaya atau produk/karya komunitas budaya. Representasi historis dan etnografis pun kadangkala ditemukan dalam kontestasi tanda atau marker turistik yang sama ramainya dengan berbagai resistensi dan perlawanan yang pernah dilakukan oleh indegenous people atau masyarakat lokal kawasan, menuai berbagai adatasi kebijakan kawasan
204
yang lebih mengena kepentingan dan masalah sosial-ekonomi masyarakat kawasan. Perbedaan ektrim dan kontradiksi public discourse dan wacana kritis masyarakat, mengiayakan adanya paradoks global dalam desa-desa tujuan wisata atau desa-desa kawasan turuistik. Belum lagi mengangkat berbagai korban konversi tanah, limbah budaya sampai limbah fisik yang merusak air dan tanah. Bali mengalami involusi kehidupan tradisional ke kehidupan global yang ditandai oleh resepsi masyarakat terhadap turisme sebagai praktik ekonomi dan wacana sampai kebijakan pariwisata itu sendiri. Involusi pertanian, involusi budaya, hingga involusi ekonomi tradisional ke ekonomi kapitalistik yang akhirnya diterima dengan kegelisahan budaya lokal dalam gemuruh era global. Implikasi dan pengaruhnya jelas merasuki infrastruktur hingga suprastruktur masyarakat Bali. Sementara struktur yang dipercayakan kepada pemerintah pun masih menemukan pertentangan dan kontradiksi. Kondisi ’bawaan lahir’ negara berkembang dan eks jajahan kolonial, mematri label kekalahan dan kelemahan potensi lokal untuk masuk dalam domain
ekonomi
global.
Ambivalensi
budaya
dan
ekonomi
kawasan
pariwisata, dikuatkan kembali atmosfirnya oleh berbagai masalah sosialbudaya atau unarticulated problem yang sebetulnya tidak diketahui oleh masyarakat
itu
sendiri, walau
bisa
dirasakan
adanya
kejanggalan dan
kontrasiksi dalam kegamangan kehidupan sosial-ekonomi kawasan pariwisata. Atmosfir tipikal kawasan pariwisata di Bali yang dipetakan menjadi enam (6) kawasan pariwisata (RIPP Bali, 2005) dan objek-objek wisata
205
lainnya
(ODTW), secara
masyarakat lokal di atas.
umum
bisa
ditarik
ke
dalam
representasi
Perkembangan masing-masing kawasan mengalami
pertumbuhan dan percepatan sirkulasi ekonomi produksi barang dan jasa dengan gravity dan pencitraan masing-masing. Mode-mode produksi turistik, patut dilihat lebih awal dari titik pandang infrastruktur ideologis yang sering dikesampingkan pada era orde baru, sehingga resistensi dan perlawanan meledak setelah orde itu berakhir. Seperti halnya komodifikasi pariwisata yang bisa
ditangkap
modusnya
oleh
masyarakat
lokal, patut
mempertimbangkan kearifan dan nilai budaya lokal yang merupakan bagian dari identitas mereka. Poor tourism atau layanan wisata masyarakat miskin sudah selayaknya diberikan tempat untuk menguatkan masyarakat lokal dan konformitas ideologis atas suprastruktur kehidupan bersama.
Ganbar 6.16 Ibu-ibu tukang pijat dan perawatan kuku turis, sedang menawarkan jasa kepada turis domestik. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
206
Pantai bikini menjadi objek turisme lokal termasuk anak-anak muda. Sex tourism secara moral belum dilihat pada aspek representasi diri yang menikmati. Penulis mendapatkan informasi lengkap dari para tokoh pemuda termasuk anak-anak pelajar, bahwa mereka sangat terhibur bila melihat para turis yang sedang bermandi sinar matahari dengan mengenakan bikini dan tidak jarang telanjang dada. Dengan bermodal kaca mata hitam, mereka bisa menikmati objek turistik sepuas-puasnya.
Warga
yang sekarang sudah
berumur 50-an tahun, juga mengaku memiliki perasaan yang sama ketika masih muda senang ngintip turis telanjang dada dan telanjang bulat pada tahun 1960-an. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, disamping masalah bersama dan merupakan bagian kebutuhan manusia dewasa, bahkan menjadi penanda kawasan wisata pantai. Seperti bikini dan surfing yang memang banyak mempangaruhi psikologi generasi muda di kawasan wisata. Pemuda yang lebih nekat, baik lokal maupun luar Bali, berani menghampiri dan merayu turis untuk diajak jalan-jalan sampai pacaran. Hal inilah yang menutupi fenomena gigolo di Kuta sejak tahun 1980-an.
6.7.3
Ambivalensi dalam Pusat Pasar Turistik Gravity kawasan dalam penglihatan kasat mata, dirayakan dengan
representasi marker turistik dan ikon produk-produk komersial dan turistik. Pada area infrastruktural, berkembang ekonomi kapitalistik yang penuh kontestasi
saling
silang
dan
saling
potong
pengaruh
promoso
dan
207
pemasaran. Pelipatgandaan modal dalam pariwisata mendorong dan menarik pihak-pihak yang berkepentingan untuk menguasai ruang-ruang pada area pusat kawasan. Sementara diaspora tanda turistik yang bergerak terus tidak disadari berlangsung dengan kekuatan capitalistic dan tehnologi informatik global. Masyarakat awam masih sebagian besar terinterpelasi dalam gravity dan riuh kehidupan kawasan turistik, dalam kegamangan kesadaran dan ambivalensi kehidupan global. masyarakat
lokal
kawasan
Artikulasi kekalahan dan
pariwisata, sementara
bisa
keterpinggiran
dijawab
dengan
’penjajahan baru’ dengan kekalahan peralatan dan pengetahuan dalam ingatan politik kolonial Belanda dan Fasis Jepang.
Gambar 6.17 Prasasti peresmian gedung pusat informasi pariwisata. Dok: Darmadi, 2010
IGNA
Eka
Dengan semua investagasi dan ekonstruksi system ke-pariwisata-an, bisa direkomendasikan pendekatan yang bermakna dalam perencanaan dan implementasi kebijakan pemerintah khususnya di area objek turisrik dan
208
kawasan
wisata.
Peluang
berusaha
bagi
masyarakat
lokal
termasuk
masyarakat lemah bisa diposisikan pada area indigenous culture yang masih menjadi daya tarik wisata. Di dalamnya bisa disuguhkan wisata kuliner, traditional performance, hingga traditional games. bisa teratasi.
209
BAB VII MAKNA REPRESENTASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL DAN POLITIK IDENTITAS DESA ADAT KUTA DALAM POSKOLONIALITAS KAWASAN PARIWISATA
Dalam Bab terakhir ini, Pariwisata dilihat sebagai fenomena sosial yang tidak akan pernah terbahas tuntas dengan hanya menelusuri rekayasa genre kepariwisataan yang justru cenderung semakin mengecilkan arti studi yang akhirnya terinterpelasi ke dalam kubangan libido dan medan tanda turistik. Sehingga politik identitas diangkat sebagai penanda representasi budaya masyarakat lokal kawasan pariwisata Kuta khusunya warga (baca : masyarakat tradisional) Desa Adat Kuta yang tidak mau disebut desa adat.
7.1. Politik Identitas sebagai Gerakan Penyadaran Budaya Mode industri jasa dan hospitality industry yang sudah berlabel pariwisata
di
Indonesia
mendapatkan
tempat
dan
legalitas
untuk
mengembangkan dan menjalankan berbagai resep dan paket wisata untuk wisatawan. Genre pariwisata sebagai sebuah sense of writing, discoursivemode and style, belum masuk pada posisi registrasi tema, ranah, dan subjek/objek masalah, yang sering disebut dengan mode, field and tenor dalam sebuah bangun teks. Sehingga, untuk melihat realitas sesungguhnya atas realitas turisme, dibutuhkan pemahaman sesungguhnya ke dalam habitat masyarakat lokal dalam lokus studi di mana peneliti juga harus bisa “menjadi” insider. 209
210
Gambar 7.1 Anak-anak yang akan menari Rejang dalam ritual Melasti. Dok: IGNA Eka Darmadi, 2009
7.1.1
Kesadaran Kultural dalam Lingkungan Kampung Turistik Hanya dalam bentuk yang berbeda, suguhan tari striptis dengan
sebutan sexy dancer and bikini dance diiakan sebagai atraksi hiburan wisata walaupun promosinya mangkal di koran lokal. Beberapa klub malam memakainya sebagai program tetap dan terbuka untuk umum. Budaya turistik ini berjalan dengan berbagai ritual-ritual hedonis di dalamnya untuk tampil turistik dan glamor. Resepsi dan reprsentasi masyarakat lokal terhadap fenomena ini begitu cepat mengiakan legalitas sang ekonomi politik pariwisata. Sehingga, tidak salah jika dalam diskusi ini, bikini dilupakan untuk disebut sebagai penanda toleransi budaya. Mungkin inilah elemen identitas terakhir Kuta sebagai global village pascapenyakit lama:
211
drugs, crime, and prostitution. Dalam alibi dan pledoi Amrozy dkk, hal inilah yang lebih mendorongnya untuk meledakkan pub gelap Sari Club yang tidak bisa dikunjungi oleh orang lokal, setelah survainya beberapa hari dengan mengantongi KIPS dari Banjar Segara. Secara inklusif, beberapa tokoh masyarakat Kuta melakukan kegiatankegiatan yang sifatnya penyadaran masyarakat lokal kawasan pariwisata Kuta. Sejak tahun 1999, kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal diterima publik hingga sekarang, seperti; (1) pendirian sekehe shanti di masing-masing banjar, (2) gagasan Kuta Carnival yang disambut positif oleh Pemkab Badung, (3) optimalisasi Pasar Manjalangu sebagai rangkaian merayakan tahun baru Isaka, (4) revitalisasi organisasi pecalang desa adat, (5) pendirian sekehe gong wanita kelurahan, dan pemberdayaan semua organisasi yang ada di lingkungan Kelurahan Kuta, untuk menyatukan persepsi dan melangkah bersama membangun Desa Adat Kuta beserta peningkatan harkat dan martabatnya. Gerakan yang bersifat ekonomi politik dilakukan dengan resistensi hegemoni represif negara terhadap pengelolaan pantai Kuta yang ’dipegang’ oleh Puskovad sejak tahun 1980-an. Sehingga momen reformasi tahun 1998 dijadikan puncak aksi resistensi militerisme dan premanisme di wilayah Desa Adat Kuta. Kontan seluruh tokoh masyarakat Kawasan Kuta turun menggalang massa untuk mengepung semua sarana-perlengkapan Puskovad di pantai Kuta dari Seminyak di utara hingga ke selatan sampai batas pantai
Tuban.
Kondisi
Kelurahan
Kuta
yang
pada
masa
itu
masih
212
mengkornisasikan administrasi sipil desa adat Seminyak, Legian, dan Kuta, termasuk LPM-nya, yaitu Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, mempermudah gerakan para elit agensi politik budaya untuk mengepung semua unsur Puskovad dan kroni-kroninya yang bercokol di wilayah Kelurahan Kuta. Mastra menuturkan, ”Kurang lebih lima hari anggen tyang gawe, tanpa tidur, dan semua tokoh didukung seluruh pemuda pegang senjata”.
Dalam
wawancara terpisah, Mangku Suweja juga menyampaikan hal yang sama bahkan lebih prinsipil dan keras, ketika dirinya harus memperhitungkan dirinya selaku anggota dewan di Kabupaten Badung, dari Fraksi Karya Pembangunan, mewakili Golongan Karya sebagai partai terbesar pada masa Orde Baru. ”Saya harus memutuskan untuk siap keluar dari legislatif termasuk dari Golkar, karena ini menyangkut hati nurani, masa depan anak cucu kami, dan untuk kebenaran dan keadilan”, demikian penuturan Suweja. Beberapa tokoh masyarakat Kuta menyampaikan pandangan dan sikap yang sama. Seluruh pemuda Kuta yang pada waktu itu berumur 20-an atau di atas 15 tahun, ke luar rumah bahkan beberapa tokohnya tidak pulang ke rumah karena dihantui penangkapan (baca:investigasi) aparat keamanan. Semua kegelisahan terhadap hegemoni pemerintah telah terjawab oleh Gedung Lotring pada pembahasan akhir dan serah-terima Kantor Lurah Kuta yang baru, eks Kantor Disparda Badung dalam gambar 7.2 berikut ini.
213
Gambar 7.2 Kantor Lurah Kuta. Sumber : Dok. IGNA Eka Darmadi, 2010
7.1.2
Konsolidasi Politik Identitas dalam Agensi Budaya Lokal Bagiana Karang selaku ketua LPM pada saat itu, melakukan banyak
pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan pemuda untuk memutuskan gerakan resistensi militerisme dan premanisme. Situasi politik pemerintahan orde baru, tidak mengelakkan terjadinya komunikasi politik dengan para elit PDI yaitu Partai Demokrasi Indonesia sebagai partai marginal yang selalu dioposisikan dalam percaturan politik nasional hingga orang-orangnya (baca: simpatisan dan kadernya) di tingkat banjar dan desa. Sehingga sosok Bagiana Karang akhirnya didukung oleh masyarakat Kuta untuk mewakili rakyat di DPRD Kabupaten Badung pada masa bhakti 2004 – 2009. Bagiana
menuturkan
ketika
situasi
sudah
pecah
dan
massa
menghancurkan semua sarana-perlengkapan Puskovad, Bagiana dan tokoh-
214
tokoh kunci gerakan lainnya, bergerilya sambil mengatur taktik menghadapi respon militer. ”Pantai Seminyak hingga Pantai Jerman sudah diduduki oleh massa bersenjata, bakara-bakaran terus dilakukan hingga berlanjut pada pembakaran alat-alat pedagang souvenir yang dihimpun oleh Puskovad di dalam lingkungan desa juga dibakar habis”. Mangku Suweja mengenang peristiwa panas saat itu, ”Aksi massa tentunya akan berbuntut banyak kerusakan dan masalah tentunya, tetapi itu bukan aksi kesukuan apalagi isu SARA pada masa orba sangat tajam”. Aksi massa yang tak pernah terlupakan itu, dilakukan dengan sadar tanpa intervensi aktor politik dari luar desa, bahkan dilakukan dengan semangat mesatya. Representasi pemaknaan segara atau pantai sebagai penanda karang desa dalam hal ini, searah dengan konsep Volosinov (Barker, 2004:74-75), ketika makna bisa dinegosiasikan, harus diperjuangkan dan menjadi arena perjuangan kelas. Lebih jelasnya dalam petikan konsep Volosinov; Tanda tidak memiliki makna namun menguasai ’kualitas dialektis dalam’ dan ’aksen evaluatif’ yang menjadikan mereka mampu memberikan rentang makna tertentu. Pemaknaan berubah karena konvensi sosial dan perjuangan sosial berusaha menetapkan makna. Jadi makna tidaklah tetap melainkan dapat dinegosiasikan. Mangku
Suweja
yang
pada
saat
itu
sudah menekuni
ajaran
kepemangkuan dan wahwya dyatmika di beberapa tokoh spiritual Bali, sementara mengkordinir seluruh pemangku di Desa Adat Kuta untuk turut berdoa dan melakukan ritual untuk memohon agar masyarakat Kuta bisa memenangkan situasi dan tidak ada pihak-pihak luar Kuta yang bisa melakukan keonaran dan kekacauan di wilayah Desa Adat Kuta. Dia memiliki posisi ganda sebagai elit desa yang dikondisikan oleh ambivalensi dan
215
ambiguitas dinamika kawasan Kuta sebagaimana konsepsi perlawanan tradisional Hall (Barker, 2004: 360-361) Tungkas akhir Mangku Suweja; ”Beberapa balian dan paranormal juga kita libatkan untuk mengusir ’orang-orang Puskovad itu’ dari tanah Kuta”. Tentang komunikasi politik dengan oposisi orba, Suweja mengakui, ”Ya, kembali pada identitas manusia Bali kita, partai akhirnya betul-betul saya lihat sebagai pilihan hati nurani dan pilihan politik, siapa yang berani nindihan kita, itu yang kita tindihin juga. Makanya saya dorong terus saudara kita seperti Sumer dan Bagiana untuk menyuarakan hati nurani Kuta di DPRD Kabupaten Badung”. Demikian ungkapan politis dari Mangku Suweja. Dalam kaitan pemaknaan pantai secara kultural dan sosial sebagai penanda karang desa di kawasan wisata, Made Sumer sebagai tokoh elit desa, telah mengambil ancang-ancang dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPRD Kabupaten Badung, untuk melakukan evaluasi penataan ruang pantai Kuta sebagai bagian kawasan sekaligus tempat ritual bagi krama desa adat Kuta. Sikap evaluatif dan praktis ini sebagai pengaruh tertutupnya pantai sebagai tanda dan penanda desa adat dalam dominasi kawasan turistik Kuta. Searah dengan dinamika intelektual masyarakat, aksen dialektis dan evaluatif (Barker, 2004: 74-75) ini akan berkembang terus dari representasi personal ke dalam wacana kolektif. Representasi Upacara Melasti yang semakin lengkap, menjadi akumulasi perlawanan dan resistensi ritual yang sarat politik budaya yang menyatukan gerak tubuh, simbol dan metafora yang terkait atau melawan dengan arus tanda. Hall (Barker, 2004:360-361) menyatukan bentuk resistensi atau perlawanan ini dalam kekuatan Resistance Through Rituals yang terletak dalam konsepsi perlawanan sebagai tantangan dan negosiasi terhadap tatanan dominan yang tidak dapat diasimilasikan dengan baik kepada kategori tradisional atau lokal. Pemosisian
216
modal budaya (Sumadi, 2009) sebagai dasar pengembangan pariwisata tampak sebagai representasi makro Bali yang sudah terinstitusionalisasi. Namun bagi masyarakat lokal Kuta, modal budaya sebagai elemen identitas yang terus bergerak sekaligus terancam oleh dominasi budaya turistik.
7.2 Romantisme Revitalisasi Adat dan Pengembalian Identitas Kuta Global village
diterima
sebagai
label pengganti
yang moderat
terhadap kawasan wisata yang terkesan mekanis dan menutup tempat bagi masyarakat
lokal berperan sebagai subjek.
Masyarakat
hanya
sebagai
penanda adaptasi mekanis dan kemajuan ekonomi dalam pertumbuhan kawasan pariwisata, yang sesungguhnya lebih memerlukan kekuatan dan kapasitas untuk melihat dan menyikapi semua fenomena yang memang benar global.
Gambar 7.3 Iringan Barong Singa melewati Discovery Mall Kartika Plaza. Sumber: Dok: IGNA Eka Darmadi, 2007
217
7.2.1 Kampung Multikultural, Kampung Global Kuta Kuta sudah menjadi desa multikultural berparas global. Representasi budaya masyarakat lokal kawasan pariwisata memberikan gambaran terbalik dari desa global yang dekat dengan pertumbuhan pariwisata global. Representasi terbalik ini sesungguhnya hal-hal yang terlewatkan oleh proyek transformasi sosial, yang selama ini meragukan fungsi kesadaran dan kearifan budaya masyarakat lokal seperti (1) representasi tentang pariwisata, (2) representasi tentang gaya hidup, dan (3) representasi budaya lokal dalam globalisasi. Seperti pemandangan dramatis gambar 7.3 di atas, sering terjadi dan menampakkan penanda dominasi ruang turistik kapitalistik dalam ruang budaya lokal.
Gambar 7.4 Wisatawan asing dan domestik menyaksikan prosesi Ngaben. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
Transformasi budaya yang berkepanjangan dalam common sense masyarakat lokal menuai tertundanya pencapaian harapan-harapan kemajuan, yang sesungguhnya hanya harapan kosong (Fromm, 1996: 67-70) tetapi
218
motivasinya adalah amanat dan cita-cita budaya tradisional yang mulai mendapatkan tempat dalam ruang-ruang rezeki pariwisata. Perubahan sudah menadi cirikhas Kuta sebagai lingkungan pasar turistik. Dengan realitas perubahan fisik yang begitu cepat, transformasi budaya yang terjadi sesungguhnya transformasi budaya konformitas lokal dan global, adat dan kawasan, hingga sakral dan profan yang searah dengan dinamika desa adat dan desa dinas. Persoalan yang begitu besar menyangkut masa depan Kuta, telah mencairkan sekat adat dan dinas yang menyatukan semangat dan aksi advokasi budaya lokal. Perubahan di Desa Adat Kuta, sudah menyejarah dalam cara pandang masyarakat
lokal.
Bourdieu tidak pernah melepaskan referensi historis dari
habitus individu (Ritzer & Goodman, 2003:518-520) Dalam sejarah kecilnya, disebutkan Kuta sebagai kota maya, serambi kerajaan Badung dengan dua dermaga yang sangat ramai. Pada abad 18-an, kepala desanya pun sekaligus sebagai syahbandar, yaitu Mads J. Lange yang dekat dengan kerajaan Badung dan kompeni Belanda. Riwayat inferior Kuta tersebut mulai disadari oleh pemuda Kuta secara netral karena sesungguhnya energi perubahan ke depan
tergantung
pencapaian
pada
harapan
dan
bagaimana
jatidiri
tersebut
diposisikan
antara
cita-cita. Referensi habitus ini, mempengaruhi
’morphogenesis ganda’ dalam gerakan (Sztompka, 2005: 338-350), yaitu adanya dinamika internal dan dinamika eksternal dalam gerakan sosial, yang dipengaruhi oleh perubahan dan histori perubahan itu sendiri. Kondisi historis akan dikaitkan dengan berbagai kajian yang terjadi termasuk berjalannya struktur norma-norma dalam menyiapkan sebuah peristiwa sejarah dan usaha membangun gerakan.
219
Pendirian intelektual ini tentunya keluar dari hasil renungan dalam mengumpulkan nilai-nilai budaya terlebih lagi dalam sastra yang masih relevan dan dibutuhkan sebagai obat kebingungan dalam
kegamangan
kehidupan Kuta. Searah dengan renungan Sri Empu, para pemangku dan sesepuh adat yang masih berpegang pada orientasi tradisional, di mana perubahan
yang
terjadi
pada
lingkungan
desanya
hanya
merupakan
pencapaian ego dan libido semata dan tidak abadi seperti ungkapan Sri Empu; ”Yang abadi tetap ada, sehingga keberadaan toko-toko dan ruangruang komersial termasuk akomodasi wisata dilihatnya seperti make up belaka. Sehingga, dimensi spiritual dalam kesadaran, tentunya mereka sudah lama kehilangan harapan dan jatidiri”. Ungkapan bernuansa magis ini, hampir sama juga dari beberapa informan atau tokoh Kuta seperti mitos. Sztompka mengakui mitos mampu menggerakan tindakan sosial (Sztompka, 2005:349) dipetik sebagai berikut; Mitos sering mampu menggerakkan petani untuk bertindak tetapi hanya menyediakan visi bersama, belum mampu mengorganisasikan kerangka tindakan. Mitos yang menyatukan itu belum bisa mengorganisasikan mereka. Kuatnya kepercayaan magis dalam kesadaran ruang seorang pendeta, menjadi penanda sikap warga Kuta terhadap perubahan ruang dan transformasi sosial budaya. Bourdieu (Harker, et al, 2005 : 20) sangat mempertimbangkan doxa yaitu kesesuaian struktur objektif dan mental yang searah dengan fungsi ideologi dalam kerja habitus individu di dalam maupun di luar habitatnya. Habitat Kuta secara umum masih dipertimbangkan secara historis dan struktur tradisional sebagai karang desa.
220
Tampilan fisik kawasan yang profan dalam dominasi ruang fisik kawasan, dianggap sebagai dinamika kekuasaan koersif pemerintah dan kuasa otonomi budaya dari struktur tradisional. Ranah-ranah ekonomi dan praktik-praktik otonom merupakan bentukan intelektual, yang hanya bisa dikenali oleh para agen yang memiliki modal simbolik. Mangku Urip tidak henti-hentinya merenungi fenomena turisme di desanya sendiri, demikian halnya Pak Nyoman Bagiana Karang yang sudah sibuk dengan kehidupan spiritual selepas tugasnya sebagai anggota DPRD Kabupaten Badung. Krisis identitas juga menjadi penyulut gerakan dalam dinamika internal secara kolektif, ketika kebutuhan individu akan penghargaan dan identitas menyatu dalam representasi kolektifnya. Francis (Francis, 2002:139-141)menyebut identitas sebagai salah satu kebutuhan fundamental individu. Dikaitkan dengan transformasi konflik dalam artian sebagai usaha resolusi, patut memperhatikan martabat setelah pemosisian identitas. Hal ini mengarah pada pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pada domain politik. Pengakuan identitas dan kehormatan martabat komunitas dalam implementasi kebijakan nantinya, menurut Francis, harus nyata dalam tindakan yang dalam kekiniannya bisa disatukan dengan penghargaan kearifan budaya, modal budaya dan ruang budaya sebagai elemen identitas lokal. Permainan tanda artifisial menurut Piliang (Piliang, 2003:54-57) merupakan kekuatan hyper-sign yang mampu membuat batas kabur ketika bersanding dengan tanda otentik. Representasi ideologi penopengan (masquerade of information) menurut Baudrillard mempersandingkan informasi yang ’salah’ dan distorsif pada informasi yang ’benar’. Eco menyebut tanda palsu atau tanda
221
dusta sebagai alat dusta. Sejak tahun 1960-an, Kuta sudah terbentuk menjadi medan perang tanda, komodifikasi, citraan, dan permainan bebas tanda atau tandaan dalam studi ini, yang membentuk sebuah kawasan simulakrum, medan perang tanda, bazaar tandaan turistik, dan pasar bebas tanda dan gaya. Meminjam istilah Eco (Piliang, 2003: 54-57), hyper-signification telah terjadi dalam realitas Kuta yang menjadi sebuah posrealitas bagi masyarakat lokal, dan simulakrum turistik bagi wisatawan. Hal ini dibentuk oleh tandaan dan penandaan ekstrim secara terus-menerus di semua sisi dan bagian ruang Kuta.
7.2.2
Poskolonialitas Kuta: Penjajahan Karakter Generatif Kuatnya representasi kawasan wisata dengan meluasnya citraan dan
dominasi
ruang
pariwisata.
kawasan
Dalam
hal
turistik
menguatkan
ini, konsep
poskolonialitas
poskolonialitas
digunakan
kawasan untuk
merekonstruksi dominasi kawasan pariwisata dalam berbagai aspek, baik politik
maupun
ekonomi
dan
budaya.
Representasi
kawasan
wisata
menunjukkan dimensi terjadinya dominasi kawasan yang bisa digambarkan secara fisik, citraan, dan psikologis. Nuansa kuat poskolonialitas terletak pada dominasi posisi tandaan turistik komersial, yang menguatkan citra ruang kapitalistik yang mengangkangi ruang budaya atau ’tanah desa Kuta’ (baca: sebutan masyarakat awam) selama menjadi kawasan turistik.
Tampak pada
gambar 7-5 di bawah, dua model hidup dipajang pada etalase sebuah toko pakaian wisata pantai untuk wanita. Dua gadis ini digunakan untuk menguatkan citraan turistik dengan tanda hidup. Praktik penutupan sifat
222
artifisial pada tandaan komersial ini justru memperlihatkan modus kekuasaan kapitalistik (yang tidak disadari) di balik toko pakaian wisata pantai ini
Gambar 7.5 2 (dua) model perempuan hidup di sebuah toko busana. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
Representasi jatidiri dalam pengaruh dominasi kawasan turistik, justru menjadi sebuah keprihatinan manusiawi untuk mengingatkan para pelaku usaha
yang
datang
dari
berbagai
tempat.
Keberlimpah-ruahan
citraan
kawasan turistik sebagai hutan simulakrum raksasa yang skizofrenik, justru menjadi energi terbalik yang akan membangun ”pengganyangan makna” budaya, doxa, energi kapitalistik, dengan ’pengaruh energi reflektif’ sikap dan praktik
kultural
Pelaksanaan
masyarakat
ritual
Nangluk
lokal
khusunya
krama
desa
adat
Kuta.
Merana, Tawur dan upacara lainnya, yang
dilaksanakan di perempatan jalan utama, menggugah masyarakat lokal dan pihak-pihak pelaku usaha komersial di Kuta
223
Gambar 7.6 Caru Tawur Agung di pertigaan Kuta, Nyepi 2008. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi
Terjadi penyingkapan dan penyikapan hak-hak indigenous people dalam perjalanan transformasional berbangsa dan bernegara. Kontribusi idepemikiran poskolonial menglarifikasi
dilema
orientalisme
yang
sangat
ambivalen merasuki emosi-emosi intelektual pribumi yang senyatanya surut dan mandeg lantaran kebodohan dan keblinger dalam common sense oksidental lokal. Sehingga, melihat Kuta dari bikini, salah satunya adalah untuk menghindari penghakiman etik terhadap mentalitas lokal yang bisa berbuntut pembunuhan karakter dan genocide yang lebih dahsyat dalam prahara ideologis dan polemik pada ruang privat sendiri. Fobia modernisme yang lebih ditonjolkan dengan penyikapan mekanis resepsi
glokal
alias
global-lokal.
Judgement
berakhir dalam ruang berupa
common
sense
masyarakat lokal juga akan melemahkan harapan pada situasi dan kondisi Kuta yang lebih baik.
224
Giddens mengedepankan masalah waktu dan ruang dalam perihal keagenan dan struktur (Ritzer & Goodman, 2003:511-512), pemosisian diri individu dalam sebuah momen pertemuan atau hajatan, akan memastikan keberadaan individu sebagai aktor atau agen dalam struktur atau di luar struktur. Berbagai perubahan atas tatanan sosial, institusi sosial dalam lintas ruang dan waktu, pola sosial baru, hingga pengaruh modernisasi terhadap masyarakat. Terlebih lagi masyarakat lokal kawasan Kuta yang sudah merasakan perubahan ruang dan lingkungan yang sudah begitu turistik. Terkait pengaruh lingkungan pada individu atau komunitas, Bourdieu (Ritzer & Goodman, 2003: 522 – 523) memperhatikan habitus yaitu struktur mental dan kognitif yang digunakan aktor dalam menghadapi kehidupan sosial. Habitus yang terbentuk secara historis dalam kehidupan sosial, merupakan juga produk struktur, sehingga disebut ’struktur yang menstruktur’ yaitu struktur yang diinternalisasikan yang mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan walaupun tidak menentukan keputusan. Habitus mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan dan dilakukan seseorang. Habitus menyediakan prinsip-prinsip untuk aktor dalam membuat pilihan dan strategi dalam kehidupan sosial. Lingkungan bagi Bourdieu, merupakan arena pertarungan, wilayah perjuangan, dan pasar kompetisi yang mempertemukan berbagai modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik), hingga terakhir lingkungan juga lingkungan politik yang melibatkan kekuasaan secara hierarkis dan generatif, melewati ruang kesadaran individu. Dengan kesadaran kultural, mereka melihat kegamangan yang terjadi sebagai
sebuah
pertemuan
kehidupan
budaya
komersial, turistik
dan
225
kapitalistik.
Kegelapan
cara
melihat
dan
berpikir
senyatanya
memengaruhi bagaimana posisi individu dalam ambivelansi kehidupan.
Gambar 7.7 Penataan posisi dan fungsi simbol adat dan agama dalam Melasti. Sumber: Dok: IGNA Eka Darmadi, 2010
Perlawanan simbolik seperti pada gambar 7.7 di atas, menandai kembali representasi jatidiri Kuta dan ruang budaya desa adat atau karang desa. Pantai sebagai pelemahan desa adat juga ditandai sebagai bagian dari identitas Bali. Pemaknaan segara sempat tertutup oleh hegemoni kroni pemerintah pada masa orde baru sampai tahun 1998. Melasti satu hari ini menandai pantai sebagai segara yang disucikan. Segara sebagai penanda ruang budaya desa adat dan ruang magis yang dipertimbangkan secara sekala-niskala (baca: spiritual religius) Pada hari-hari biasa, kembali ditutup oleh aktifitas wisata, dengan berbagai model bikini sebagai ’ticket’ masuk pantai Kuta bagi para turis.
226
7.3
Pengembalian Segara dari Pasih Bikini Bikini masih menjadi fenomena seksualitas yang sering menandai
dalih sindrom komodifikasi seksual di bawah industri leisure ini. Kritikan media massa pada wajah Kuta yang semrawut dan penuh kekalahan, mendorong representasi identitas Kuta untuk berbenah diri di semua aspek.
Gambar 7.8 Hasil program reklamasi pantai Kuta oleh Pemkab Badung. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2010
Pemerintah kabupaten Badung telah menggagendakan banyak hal untuk masyarakat Kuta, terkait dengan kependudukan, kompetisi usaha hingga reklamasi pantai Kuta yang baru selesai pada tahun 2010 lalu. Gede Adnyana, Ketua DPRD Kabupaten Badung tahun 2004 -2009, menyebut kependudukan dan tata ruang merupakan masalah mendasar yang harus dipecahkan dan dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Diungkapkannya: ”Penyelematan Kuta sudah kita antisipasi dengan penempatan lurah-lurah yang punya kapasitas di lima desa tersebut; Kuta, Seminyak, Legian,
227
Tuban, Kedonganan, termasuk Jimbaran ke selatan. Karena penduduk asli sudah kalah jumlahnya bila dibandingkan dengan penduduk pendatang”. Untuk tata ruang, kita akan menerapkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) dengan pengembalian selektif kepada rakyat ekonomi lemah. Reklamasi nanti akan menjawab abrasi yang terjadi selama ini di pantai Kuta”. Hal senada dan searah juga pernah diungkapkan oleh Ketua DPRD Badung tahun 1999 – 2003, I.B. Suryatmaja yang juga mantan pelaku pariwisata. Aksi yang lebih kongkrit dengan pendekatan struktural, dilakukan oleh Made Sumer selaku Ketua DPRD tahun 2009-2013. Sebagai warga Kuta, Sumer merasakan desakan kehidupan global dengan turisme sebagai salah satu pintu masuknya. Sehingga dia memprogramkan seluruh anggota DPRD Badung untuk mengawasi dan memediasi realisasi program pembangunan masyarakat desa yang sudah tembus musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) maupun yang belum tembus musrenbang. Wesna Astara (2009) menemukan kuatnya peranan desa adat dalam hal ini, yang bahkan menolak disebut desa pekraman karena masih kuat berpegang pada aturan lama sebagai desa adat dan definitif dengan nama desa adat. Adaptasi aktor perubahan dengan habitus dalam perubahan lingkungan dan agensi struktur dalam perubahan ruang (Giddens; Ritzer & Goodman, 2003:522523), memang akhirnya akan memasuki lingkungan atau arena politik, yaitu bertemu domain pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
7.3.1
Genre Wacana Pariwisata: Mode Kapitalistik Global Berbagai
genre
wacana pariwisata
dalam
banyak
tulisan
yang
memasang pariwisata sebagai tema wacana dan budaya berawal dari kegelisahan etik outsiders (baca: kalangan media dan penulis) dalam melihat
228
semak
tandaan global dalam hutan simulakrum Kuta ini, sehingga
tersesat
dalam kegelisahan generalisasi dan common sense semiotika budaya dalam sirkulasi budaya pariwisata
yang tak pernah berhenti mengembangkan
model-model kemasan komodifikatif dan turistik. Kegalauan mesin industri pariwisata pun menambah histeris kegelisahan outsiders dalam ambivalensi kehidupan
pariwisata.
Rutinitas
kehidupan
masyarakat
lokal, budaya
tradisional, dan budaya turistik, hidup bersama dengan lantunan kidung dewa yadnya atau desis musik kafe dengan petikan gitar akustik live music yang menggoda labirin semua orang untuk berhenti merenung; “Kuta tempat liburan dan entertainment, bukan tempat merenung apalagi termenung!”
Gambar 7.9 Dokar turut beroperasi di desa adat Kuta selama 24 Jam. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2009
”Let’s join us !”, ungkapan di club-club malam seperti ini menjadi penanda malam-malam Kuta dan menarik semua wisatawan yang lewat
229
untuk bergabung bersama. Tokoh pemuda bernama Made Karma banyak membantu penulis dalam menembus ruang-ruang turistik desa wisata ini. Hubungan antarfenomena yang selama ini berbau etik, akhirnya cair dalam satu malam, dari pukul 21.00 wita sampai 03.15 Wita, dan membuka tabir sang turisme bahwa Kuta (memang) tidak pernah tidur. Bisnis rekreasi dan entertainment yang sudah berjalan ini sangat menjanjikan pendapatan yang berlimpah. Dengan ungkapan vulgar, Made berseloroh “Di Kuta weekend everyday!” Kesibukannya sebagai tim pengamanan (swakarsa) Kuta, di samping tokoh pemuda, hanya memberikan kesempatan istirahat empat jam sehari, di samping besarnya rasa memiliki Desa Kuta tercintanya.
Gambar 7.10 Pantai Kuta pada Saat Hari Raya Nyepi. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
7.3.2
Pemaknaan Kembali Kuta sebagai Desa Segara Pesisir Kembali
pada ungkapan pasih
menjadi keniscayaan bagi siapa saja
bikini, realita budaya
turistik sudah
yang melihat kemapanan situasi
230
kehidupan kawasan wisata pesisir ini. Sebagai desa pesisir, Kuta merupakan tempat terbuka yang tidak dapat menutup diri terhadap budaya luar. Dengan kawasan turistik sekarang, pengaruh luar sudah masuk kuat dengan tandaan global yang hedonis dan glamor.
Gambar 7.11 Upacara Melasti yang paling lengkap di Bali. Sumber: Dok: Sumadi, 2009
Realitas neokolonialisme dalam pariwisata sudah senyatanya dirasakan melalui gerak dan mode kapitalisme pariwisata. Pariwisata pada awalnya di Bali, memang masih segar dalam ingatan, diprakarsai oleh koloni dagang Belanda yang
disebut
KPM
yang
menggagas
koloni-koloni
pariwisata
dengan
pengadaan transportasi, akomodasi, bispak-peristirahatan hingga pembenahan beberapa tempat yang hingga kini menjadi bagian objek dan daya tarik wisata
(Robinson, 2007), sehingga
neokolonialisme
sebagai
pendekatan
terakhir studi sosiologi pariwisata (Cohen, 1996) menjadi penanda kuat
231
wacana pariwisata sebagai industri global pada era kini dan industri ekonomi tersier di negara Dunia Ketiga dengan warisan turisme kolonial atau
warisan representasi
wisata
oriental
oleh
bangsa
penjajah pada
masanya. Hal ini sering menjadi topik diskusi penulis dan keluarga Bendesa Adat Gung Aji Sudira pada saat-saat ritual usada pada hari Kajeng Kliwon di rumah Gung Aji Mangku Desa, seperti gambar 7-10 di bawah.
Gambar 7.12 Diskusi spiritual di sela-sela ritual kajengkliwon di rumah Gusti Mangku Desa. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008.
7.3.3
Politik Identitas sebagai Transformasi Budaya Kuta Pada aras makro, transformasi budaya pada masa kini
memosisikan
pariwisata
sebagai
bagian
dari
budaya
senyatanya
transformasional
berdimensi global dan lokal. Sebagai industri modern, pariwisata memiliki
232
mode, aturan main, dan santun usahanya sendiri. Sebagai industri berbasis potensi lokal dan sumberdaya lokal, pariwisata mengondisikan transformasi kearifan dan inventarisasi budaya lokal untuk objek daya dan tarik turistik yang bisa diterima secara global. Arsitektur posmodern pun lahir dari kolaborasi pendayagunaan bangunan tradisional dan adatasi arsitektur modern yang menyatu dan berkembang terus. Kenyamanan-kenyamanan modern pun harus dimasukkan dalam pertimbangan konstruksi bangunan akomodasi yang berparas tradisional. Persandingan tanda lokal dan global pun mewarnai perkawinan budaya tersebut, yang pada tingkat desa seperti Kuta, disemangati dengan representasi formasi identitas pada pemuliaan tampilan arsitektur bangunan tempat tingga, balai banjar, pura, dan bangunan publik lainnya. Seperti terlihat pada foto di atas, Bendesa adat sangat antusias dengan penelitian ini, yang dianggap bisa mengkritisi keberadaan Desa Adat Kuta di tengah
kawasan wisata.
Acara-acara adat dan ritual
selalu
diinformasikan kepada penulis, termasuk dari tokoh-tokoh lainnya seperti; Bagiana Karang, Mangku Urip, Made Karma, Wayan Soma beberapa pemuda lainnya. ”Kuta diwarnai oleh warna-warna kehidupan global” demikian kata Bagiana Karang. Diskusi dengan tokoh yang satu ini bisa menghabiskan waktu sampai jam 05.00 pagi, membahas masalah-masalah sosial budaya Kuta dan fenomena magis yang pernah dialaminya. Pasih sebagai terma tradisional atas laut tampak sangat kuat dalam representasi budaya masyarakat lokal dan masih memiliki sederet ungkapan lokal yang linear dalam komunikasi sehari-hari. Pasih perahu merupakan
233
sebutan area pantai di bagian selatan, di sebelah utara Bandara Ngurah Rai. Sebutan ini menjadi penanda lokal atas tempat berlabuhnya perahu-perahu nelayan Kuta. Penyebutan perahu menjadi penanda kuat bagi masyarakat lokal untuk menandai lokasi operasi para nelayan Kuta sekaligus habitat tradisional masyarakat pantai. Pasih dalam hal ini menjadi artefak wacana tradisional bahwa Kuta dahulu masih memiliki penanda. Pantai Kuta kini dengan bias pasih toris-nya juga diterima sebagai kelanjutan Kuta masa lalu. Melasti di Kuta atau pentas Calonarang di Kuta dalam representasi kekiniannya, bisa dipastikan sebagai ritual yang paling lengkap di Bali. Hal ini menandakan pemuliaan kembali makna ruang budaya. Segara sebagai satu ruang ekologis yang harus dijaga dalam konteks holistik-religius. Terkait dengan politik identitas, segara menjadi referensi doxa yang akan mendisposisikan kearifan-kearifan segara. Sri Empu menjelaskan; ”Segara kerthih dan desa kerthih yang termasuk dalam sad kerthih, lengkapnya buana kerthih, patut kalaksanayang secara menyatu dan membumi dalam praktik dan langkah bersama”. Demikian penuturan Sri Empu yang kerap disapa Anak Lingsir, cukup disegani oleh para elit desa dan masyarakat.
234
Gambar 7.13 Pawai iringan pratima sebagai simbol religio-magis Bali. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
7.4
Representasi Politik Identitas dalam Poskolonialitas Kawasan Dominasi ruang turistik diakui hanya bisa ditangkap oleh tokoh elit
desa adat yang intelektual, dan tokoh masyarakat lokal di luar agama Hindu yang intelektual seperti Haji Bambang (tokoh Islam), Indra Suarlim dan Tjik Mangku Koncho (tokoh Budha), dan tokoh pelaku pariwisata yang sudah dewasa melihat Kuta Referensi
poskolonial
dalam
doxa
para
elit
desa
selama
ini,
ditransformasikan dalam seni, ritual, dan gaya arsitektur. Bagi Bapak Mastra, yang searah dengan pemikiran Bapak Sumer, Bagiana Karang, Made Karma, Bendesa Adat Gung Sudira, Sri Empu, dan lain-lain, ”Perjuangan kami belum selesai, regenerasi atau kaderisasi yang menjadi agenda panjang ke depan”, demikian tandas Made Mastra. Secara ideologis dapat dilihat adanya aspek
235
unifikasi identitas budaya, doktrin formasi identitas, fragmentasi dominasi budaya turistik, dan reifikasi tujuan agama Hindu Dharma.
7.4.1 Pentas Calonarang di Kuta: Representasi Politik Identitas Dalam beberapa pentas Calonarang di Kuta seperti gambar 7-14 di bawah, dapat direfleksikan beberapa hal yang menarik dalam kajian politik identitas, yang sampai saat ini disebut oleh para aktor sebagai politik budaya. Dalam representasi politik, terdapat; (1) Kolaborasi pendekatan kultural, estetika, dan mitos yang membalut dogma agama sebagai unifikasi doxa dalam praktik politik representasi.
Gambar 7.14 Pentas Calonarang di Kuta. sumber Dok: IGNA Eka Darmadi, 2009
(2) Unifikasi persepsi dan apresiasi seluruh warga desa adat untuk membangun kesadaran kultural dan formasi identitas Kuta dalam kondisi terjajah secara ekonomi. (3) Representasi politik identitas dengan doxa
236
(baca: mitos dan dogma) nilai kearifan budaya Bali. Semua representasi tersebut memang diapresiasi dan disambut baik pada domain kesadaran. Ideologi politik identitas yang digerakkan selama ini oleh para elit desa, dimaksudkan untuk, merupakan penyemaian generatif wacana penyadaran intelektual terhadap masyarakat agar bisa melihat secara kritis realitas kini di Kuta. Bias pasih merupakan ungkapan lama
sebagai pengandaian
kuantitas sebuah objek, dalam hal ini tourist yang jumlahnya begitu banyak di pantai pada jam-jam berjemur. Pribumi melihat poskolonialitas pariwisata sebagai pertemuan realitas neokolonialisme
dan kapitalisme
pariwisata.
Kondisi tersebut membuat diaspora tanda turistik, kepentingan, dan budaya, yang tidak bisa dilihat dengan jelas oleh masyarakat lokal. Hal tersebut menjadi ambivalensi bagi masyarakat, yang disebut secara sederhana sebagai kegamangan situasi atau kondisi gamang yang di dalamnya juga tidak ada lagi ruang bagi host atau masyarakat tuan rumah.
7.4.2 Pengembalian Ruang Budaya Desa Adat Transformasi budaya, dalam hal ini, sarat dengan kontestasi tanda tanpa henti, yaitu tanda dari budaya lokal dan budaya global. Kontestasi tanda turistik, komersial, dan kapitalistik ini disadari oleh tokoh-tokoh desa adat, sehingga sejak tahun 2001, tampak perubahan drastis dalam pelaksanaan ritual keagamaan melasti atau upacara penyucian alat-alat suci upacara sebelum memasuki Nyepi dan tahun baru Isaka. Simbol-simbol ritual diusung secara lengkap dari pura menuju segara (sebutan laut sebagai
237
sumber mata air suci). Selama ritual berlangsung, areal upacara dipagari dengan tombak dan bendera panji-panji adat, sehingga para turis yang memakai bikini tidak diizinkan lewat atau masuk. Bahkan, instrumen gong lengkap dan tari sakral Rejang Dewa mengiringi prosesi Melasti, hingga menjadi melasti yang terlengkap di Bali. Situasi magis dalam prosesi Pasupati Barong Singa dari Puri Satria Dalem mengingat warga pada ruang budaya atau karang desa Kuta. Secara niskala
atau
religio-magis, krama
menyebut
ruang
budaya
dengan
wewidangan Kuta. Sepanjang perjalanan dari Pura Dalem Tunon, para sadeg (Baca: pelaku trans magis) mencari titik-titik posisi magis yang dulunya merupakan tempat-tempat untuk kuburan, tempat suci, dan bekas pohon besar. Seorang keluarga puri berkata: ”Oh, sajan setrane pidan ditu di kolam renange ento, beh melaib turise?.....Suba tawange teken Satpame, hmm”. Artinya, ”Oh, benar kuburan dulu di sana di kolam renang itu, wah lari turisnya?.....sudah tau Satpamnya, hmm”. Representasi
identitas
mendapatkan
ruang
dan
waktunya
pada
momen-momen ritual, khususnya ritual yang melibatkan trans para Sadeg seperti dalam gambar 7.15. Hal ini memberikan representais kultural generatif kepada generasi muda Kuta di samping kebiasaan mereka meniru gaya mode pakaian yang turistik.
238
Gambar 7.15 Seorang yang sedang trans dalam iringan Barong. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2008
Dewa Sarma Kaling. Br. Jaba Jero sedang mendampingi seorang sadeg yang sedang kerawuhan dalam perjalanan balik dari Pura Dalem Tunon melewati
Pantai Kuta menuju Puri Satria Dalem. Wajah-wajah histeris pun
tampak pada muka para Sadeg yang sedang menangis seperti sedang menangisi ruang budaya desa adat atau karang desa yang telah berubah total. Seperti temuan Fashri (2007: 105-109), simbol memang kuat disebut sebagai
instrumen
dominasi
atau
penanda
dominasi
dan, sebaliknya
kekalahan tetapi kontrolnya ada dalam fungsi kesadaran. Kontestasi simbol di Kuta juga merupakan bagian dari penanda dan aspek pariwisata sebagai modal budaya dan budaya pariwisata itu sendiri. Bila masyarakat lokalnya
239
common sense, mereka akan dinyatakan kalah atau terpinggir. Berikut digambarkan kembali pertemuan ruang dan waktu tradisional, modern dan lokal yang menjadi tempat sirkulasi kehidupan kawasan pariwisata, di mana terjadi diaspora tanda turistik sebagai mode gerak kapitalistik global, semakin nyata dan menguat terus. . Dengan adanya kompresi atau pemampatan ruang dalam usaha pencapaian
kepentingan
atau
tujuan-tujuan
progresif, perang
tanda, dan
diaspora tanda turistik yang selama ini oleh masyarakat lokal hanya bisa menyebutnya
dengan
kegamangan, kesimpang-siuran, perang
merek, yang
semuanya memang sebuah ambivalensi kapitalisme global. Bikini yang selama ini hanya dilihat sebagai penanda kehadiran perempuan tentunya menyimpan kekuatan penanda kapital modern yang menembus dimensi global karena diterima global sebagai penanda ketidak-telanjangan, ’free past to the beach’, dan penanda diaspora tanda turistik dalam studi ini. Penyebutan pasih bikini merupakan sebuah penyadaran dalam proses mengangkat representasi budaya masyarakat lokal, yang masih begitu arif menolerir dominasi tanda dan ruang kapital pariwisata, seperti halnya bagaimana sebutan pasih perahu sejak sebelum masa kolonial, akhirnya harus masih kuat dipakai sampai sekarang dalam rangka politik identitas dan menetralisir kegamangan atas dominasi kawasan turistik terhadap ruang budaya desa adat, dengan diaspora tanda turistik kapitalistik global. Sehingga
melihat
harapan
beberapa
tokoh
masyarakat, bisa
digambarkan posisi netral kehidupan kawasan pariwisata yang diharapkan
240
bisa
memposisikan
masyarakat
lokal
dengan
konsensus
dan
kendali
kebijakan pemerintah yang seimbang dan proporsional, dengan figurasi skema pada gambar 7.16 di bawah.
Future
Reposisi
Modal
Budaya
Transformasi
dan
lokal di tengah dominasi
representasi budaya lokal:
ruang kapitalisme global:
karakter
dan
Bikini, produk
kultural,
advokasi
luar, ikon
Global
praktik dan
Lokal
Neokolonialisme pariwisata:
Transformasi
dominasi
pasar
global,
kearifan
diaspora
tanda
turistik,
nilai
dan
budaya-tradisional:
pasih, segara, pantai, beach, sand, wave, sense
diáspora ruang global. Past
Gambar 7.16 Dengan Skema Transformasi dan Politik Identitas dalam Ambivalensi Kawasan Kuta. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi
7.4.3 Konformitas Politik Identitas dalam Kearifan Masyarakat Pariwisata Transformasi budaya banyak mendapatkan pengaruh dari referensi resistensi kawasan turistik yang pernah terjadi. Representasi politik bergerak seperti figurasi operasi ideologis pada gambar 7.16 di atas. Politik identitas yang disebut politik budaya oleh tokoh-tokoh Kuta, juga mendapat pengaruh
241
dari media cetak dan media elektronik yang merepresentasikan kekalahan masyarakat lokal kawasan Kuta dalam ruang– ruang pantai, jalan utama, dan hilangnya ruang publik desa adat. .
Gambar 7.17 Tokoh Pecalang Desa Adat Kuta. Sumber: Dok: IGNA Eka Darmadi, 2007
Pasca tahun 1998, dengan perjuangan
moderat, para tokoh elit dan
intelektual Kuta menyatukan persepsi dan langkah untuk terus berjuang mengangkat martabat dan identitas masyarakat lokal Kuta khusuny Desa Adat Kuta. Momen-momen ritual dan adat dijadikan kesempatan diskusi dan penggalangan kekuatan untuk politik budaya (baca: politik identitas). Tokoh pecalang Wayan Meder pada gambar 7.17 di atas, menyimpan banyak catatan jejak perlawanan dan resistensi kawasan pada masa orde baru dan masih ingat betul pada situasi politik pada tahun 1965. Pada tahun 1965, Made Meder sudah merasakan bagaimana situasi desa yang tenang berubah menjadi mencekam karena situasi politik Bali dan nasional. Tidak adanya
242
keterlibatan warga Kuta dalam partai terlarang pada saat itu, memudahkan tokoh desa untuk menghalau atau menolak pembantaian-pembantaian yang dibawa ke Kuta. ”Deriki nenten wenten sane terlibat, tyang ten nerima ada pembantaian di tanah Kuta” demikian ucapnya mengingat ungkapan warga pada saat itu. Sekarang, dia mengembalikan berbagai representasi politik warga Kuta
pada
kesadaran
masing-masing
individu
dan
persatuan
’masyarakat kawasan yang beranekaragam’ (baca: masyarakat lokal yang heterogen). Memaknai beberapa kali diskusi tentang tradisi dan ritual Bali, dengan Pak Meder, representasi identitas dipengaruhi oleh representasi tanda atau ikon-ikon budaya luar berupa ikon-ikon komersial, turistik, fantasi, hobi, dan deretan merk yang mendunia. Ketika ruang budaya yang merupakan habitat kulturalnya didominasi ruang turistik dan ditutup rapat oleh perang tanda
turistik
komersial
kapitalistik, representasi
identitas
kultural
pun
tertantang keluar untuk merepresentasikan jatidiri, roh kebudayaan yang masih hidup, ruang budaya atau karang desa. Pak Meder mengungkapkan; ”Banyak tokoh desa adat di Bali yang datang ke rumah saya, untuk menanyakan bagaimana caranya membangun pasukan adat yang kuat dan disegani seperti Pecalang Adat Kuta” ”Bahkan tokoh adat dari Sumbawa, Lombok dan Bugis pernah datang kepada saya. Ya, saya jawab; pertama, harus berangkat dari pikiran suci penuh pengabdian, kedua, orang-orangnya harus pilihan yang punya prinsip, bila perlu sakti. Bukan ririgan (giliran) seperti pecalang di di desa-desa lain, ya pasti dilecehkan. Anak baru tamat SMA jadi pecalang, kan jelas belum tahu aturan dan tatakrama adat ya” demikian tungkasnya. Commonsense pariwisata searah dengan commonsense politik dan ekonomi politik, yang sebenarnya sudah dipraktikan secara politis dan efektif,
243
banyak dikondisikan oleh situasi habitat para elit dengan masyarakatnya. Perlawanan fisik pun sudah dilakukan pada tahun 1998 yang menjadi catatan dalam pemberdayaan ke depan.
Intelektualitas (baca: representasi) individu
tidak menjadi persoalan dalam pergerakkan tokoh masyarakat dan ’Pemuda Kuta Bersatu’ demikian sebutan mereka, bila dikaitkan dengan ’politik budaya’ (sebutan lokal) untuk merepresentasi politik lokal yang sarat akan pola dan ideologi politik identitas. Dapat ditangkap secara ideologis, yang menggerakkan politik identitas dalam hal ini ideologi identitas Kuta dengan elemen; (1) Tanah sebagai penanda identitas desa, (2) Ruang budaya yang terdominasi oleh ruang turistik, (3) Dogma agama tirta, mitos nilai-nilai adat, dan keyakinan religio magis yang menyatu menjadi doxa di Balik praktik politik identitas. Praktik budaya yang sarat dengan misi panjang dan historis menurut Bourdieu (Harker, et al, 2005) didorong keras oleh doxa yang sudah dipenuhi dengan banyak referensi historis dan disposisi otak para aktor yang bekerja dalam beberapa fase pergerakkan. Tanah desa adat atau karang desa sebagai ruang budaya tradisional, jelas menjadi pertaruhan yang melekat secara ideologis
dengan
habitat, historis, dan
formasi
identitas
individu
dan
komunitas. Kaderisasi pun dilakukan secara jelas dalam lembaga-lembaga desa dinas dan desa adat; LPM, Angga Kertha, kepala lingkungan, Satuan Pengamanan Desa, hingga ketua sekehe teruna, yang diawasi oleh para tokoh desa di masing-masing banjar.
244
Apresiasi pemerintah) tendensi
bersama
sebagai
cukup disikapi
resistensi, sangat
masyarakat
pariwisata
dengan arif, sehingga diantisipasi.
Stakeholder
(baca:
setiap
label
gerakan atau
pariwisata
menjadi
perhatian para aktor politik, sebagai terma baru yang secara politis dijadikan jargon untuk mengarahkan sasaran politik identitas. Dalam paradigma kebijakan publik (Parson, 2007), apapun yang menjadi langkah implementasi kebijakan pemerintah pada satu ruang publik, patut dilahirkan melalui pola komunikatif dan konsensus bersama untuk menjamin keberlanjutan secara sinergis.
Stakeholder
secara
praktis diterjemahkan (www.wikipedia.com)
dengan pemangku kepentingan atau segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang diangkat. Dengan
pertimbangan
stakeholder, kebijakan
posisi
publik akan
dan
peranan
masyarakat
menjadi elegan, bila
selaku
diketahui dan
dikawal bersama masyarakat. Masyarakat lokal adalah stakeholder primer yang
berhadapan
dna
mendapatkan
manfaat
langsung
nanti
setalah
implementasi kebijakan direalisasikan untuk sebuah proyek fisik dan lain sebagainya.
Stakeholder
sekunder
merupakan
pihak-pihak
yang
tidak
memiliki kaitan kepentingan langsung terhadap suatu kebijakan, program atau proyek, tetapi
sangat peduli dan memiliki keprihatinan terhadap masalah-
masalah kebijakan keputusan legal pemerintah. LSM, dinas-dinas yang tidak terkait langsung, perguruan tinggi dan pengusaha atau badan usaha yang terkait
dengan
bidang
atau
domain
bersangkutan.
Stakeholder
kunci
245
merupakan unsur eksekutif sesuai tingkatannya, baik bupati atau muspida terkait, DPR atau perangkat legislatif dan dinas-dinas terkait. Mudana (2005) menemukan adanya hegemoni pemerintah dalam pembangunan sebuah hotel besar di desa adat Braban di Kabupaten Tabanan, ketika posisi, sikap dan peranan masyarakat tidak dilihat sebagai stakeholder atau penentu keberhasilan sebuah kebijakan. Mudana meminjam konsep
Perlas
(2000)
tentang
hubungan
posisi
dan
peranan
antara
pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Bila hubungan ini difungsikan secara seimbang, akan menjadi pilar pembangunan masyarakat dan negara yang sinergis, sehingga disebut Three Folding atau tiga pilar negara. Wisnumurti (2011) menyebut keseimbangan hubungan posisi dan peranan tiga pilar negara ini, dengan sebutan Masyarakat Trisula. Seperti pembahasan pada bab VI tentang peranan dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan di Kelurahan Kuta, disebutkan sebagai kebijakan partisipatif dengan pola top-down sesuai RTRW, dan pola buttomup sesuai aspirasi dan usulan masyarakat yang akan dikaji dan diakomodir oleh eksekutif beserta dinas-dinas terkait.
Seperti Pantai Kedonganan di
bagian selatan kecamatan sekaligus kawasan Kuta, tepatnya di sebelah selatan Bandara Ngurah Rai, dikelola oleh desa adat Kedongan sejak tahun 2010, setelah Pemilukada Badung 2010.
246
7.5 Politik Identitas dalam Poskolonialitas Kawasan Kuta Jargon glokalitas tepat dipinjam untuk menyebut representasi politik identitas Kuta. Dewa Ketut Adi menyadari situasi Kuta yang total.
Identitas
baginya
berada
pada
spiritualitas
dan
berubah
keberagamaan
masyarakat, khususnya keluarga besarnya. Seperti halnya restorasi Barong Singa dilakukan sesuai petunjuk leluhur dan roh barong yang dijelaskannya dengan ”Ida sane ngiyangin mapikayun metangi malih mangda sidha macecingak ring sekala” artinya ” Beliau yang memberi roh barong tersebut, berkeinginan
untuk
diwujudkan
secara
fisik
lagi
agar
bisa
mengawasi dalam dunia nyata” Formasi identitas juga menyatu dengan representasi politik identitas, seiring dengan berkah kemajuan ekonomi. ”Ruang kawasan ya ruang kawasan, ruang niskala tetap niskala” demikian tungkasnya tentang dominasi ruang kawasan global Kuta, searah dengan tokoh-tokoh Kuta yang menekuni spiritualitas dan ritual magis. Sikap terhadap kebijakan kawasan tersebut dilakukan lebih banyak dengan resistensi dan transformasi budaya lokal terhadap budaya global yang sangat progresif. Segala muatan budaya lokal, baik energi kulturalisme, nilai budaya etnisitas, formasi identitas, mistisisme, dan mitosisasi, yang justru menguatkan counter dominasi ruang turistik komersial. Elit intelektual yang bisa memahami hal ini, bisa dihitung jari, yaitu: Made Sumer, Bagiana Karang, Mangku Urip, Mastra, dan,
Bendesa
adat, dan
Bapak Lurah.
Selebihnya lagi semangat dengan perlawanan simbolik dengan transformasi budaya dalam diri, keluarga, dan komunitas.
247
7.5.1
Pengembalian Identitas Kuta dengan Gedung Lotring Berdirinya Gedung Lotring pada tahun 2011 ini, menjadi penanda
kuat representasi masyarakat lokal yang diformat sejak tahun 1999, dengan peta ekonomi politik dalam ruang budaya desa adat. Nama Lotring yang terkenal sebagai tokoh seniman tari dan tabuh Bali di selatan, diformat
sebagai
nama
bangunan
yang
monumental.
Banjar
lama Tegal
menggunakannya sebagai nama jalan dan nama sanggar seni tari yang dikoordinir oleh anak-cucunya Lotring. Dengan satu model figurisasi Lotring ini, politik
budaya
bagi
tokoh
elit
masyarakat
Kuta, akan
terus
direpresentasikan dalam praktik sehari-hari. Menurut penuturan Mangku Urip, Komang
Graha, dan
Made Sumer, Lotring masih banyak memiliki murid
seniman hingga sekarang di sekitar Denpasar dan Badung.
Gambar 7.18 Gedung Lotring untuk mengenang nama seniman Lotring. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2011.
248
Gedung Lotring merupakan penanda kontrak politik masyarakat Kuta dengan Anak Agung Gde Agung sebagai calon Bupati incumbent pada Pemilukada 2010 yang lalu. Dengan janji dana awal tiga milyar rupiah. Akhirnya pasca dalam perjalanan satu tahun gedung ini berdiri sesuai desain
yang
diiniginkan
oleh
warga
Kuta.
Gedung
ini
sebelumnya
merupakan kantor Lurah Kuta yang diganti dengan kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Badung di jantung Kuta atau jalan utama. Semangat glokal itu pula yang akhirnya menarik energi nasionalisme sebagai penguat wacana emansipasi kebangsaan dan legitimasi semangat kedaerahan sebagai bagian kekuatan negara bangsa. Ketika semangat negara adat masih memerlukan energi untuk menghadapi negara destinasi wisata global.
Komunitas
terbayang
dalam
negeri
destinasi, di-real-kan
oleh
progresifitas komodifikasi dan turistifikasi dengan berbagai varian simulasi dan mistifikasi mode dan produk wisata di dalamnya. Penanda komunitas negara bangsa hanya bekerja dalam intensitas yang rendah dan momenmomen
formal
saja.
Kesadaran
kebangsaan
inilah
yang
menguatkan
kegelisahan atas segala bentuk dominasi dan hegemoni dalam ambivalensi kawasan, yang mengiakan kembali posisi ‘terjajah dan tersingkirkan’ bagi masyarakat lokal yang lemah secara ekonomi dan intelektual.
249
7.5.2
Konformitas Nilai Kepariwisataan dalam Politik Identitas Desa Adat Kuta Resepsi
pariwisata
dalam
ruang
kesadaran
masyarakat
lokal
dikondisikan oleh kebutuhan individu dan komunitas yang susungguhnya masuk pada domain ekonomi politik pariwisata, baik dari pemerintah daerah maupun desa adat dan kelurahan. Hal ini menjadi penanda kesadaran budaya kawasan dan desa global yang menjadi referensi politik identitas. Pariwisata budaya diterima sebagai simbol kecerdasan budaya sekaligus modal budaya yang masih disebut sebagai strategi pariwisata Bali. Bourdieu (Harker et al, 2005: 110-111) memposisikan modal budaya sebagaimana modal ekonomi, yang terkait dengan kemampuan reproduksi kelompok generatif dan habitus praktik budaya dominan. Modal budaya teruji melalui proses asimilasi dan reproduksi budaya kelompok dengan habitus kesuksesan dan kegagalan. Hall menyebutkan (Barker, 2004: 371-372) politik identitas sebagai usaha penamaan dalam gerak politik representasi dan perlawanan simbolis yang dibangun di atas wilayah perjuangan hegemonik. Pertanggung jawaban politik budaya seperti pengakuan Bagiana Karang dan tokoh lainnya, baru sebatas artikulasi representatif yang belum memenuhi rentang pemaknaan politik budaya hingga kebijakan budaya seperti konsep Hall, Gray, Jordan&Weedon (Barker, 2004:367-368) Ekonomi politik menyangkut kebutuhan riil individu masyarakat yang berkaitan erat dengan pasar dan kekuasaan. (Galbraith; Caporaso & Levine, 1992:389-391) Yang lebih tegas lagi disebutkan bahwa perekonomian terutama
250
perekonomian pasar kapitalis adalah sebuah sistem kekuasaan. Makna kekuasaan menurut Lukes adalah sejauh kita bisa menghubungkan antara kekuasaan dengan perekonomian pasar, dan kembali pada apa makna kekuasaan yang kita gunakan untuk melihat. Kekuasaan ekonomi dilihat oleh Weber mulai dari kehendak koersi, kolektif/bersama dan institusional (Caporaso & Levine, 1992:389-391) Pariwisata
sekaligus
menjadi
gerak
ekonomi
politik
untuk
menggunakan semua potensi sebagai modal dalam operasi ekonomi lokal dan nasional. Pariwisata Budaya dengan semua pendekatan kultural, regulasi, dan kebijakan pemerintah, melegitimasi
semua usaha dan aktivitas di
dalamnya sebagai angkatan kerja ekonomi politik daerah dan negara. Sebagai mesin devisa, pariwisata mengondisikan konformitas nilai bagi masyarakat lokal untuk menjaga bahkan mengawal situasi dan kondisi kawasan sebagai tempat operasi mesin pencetak uang, mesin industri jasa, dan mesin penghibur para leisure class sebagai tamu terhormat. Kebutuhan masing-masing individu melahirkan kepentingan-kepentingan ekonomi dalam berbagai bentuk representasi untuk menembus sumbersumber pendapatan atau pemenuhan kebutuhan. Balbus (1992) menyebut kepentingan riil adalah kepentingan dianggap sebagai ada kepada individu berdasarkan situasi objektif dimana individu itu berada. Disadari atau tidak oleh individu, kepentingan inilah yang menentukan kekuatan ekonomi pada masing-masing orang, ketika individu tidak memiliki kepentingan pada pasar, menandakan ketidakberdayaan dan tiada kekuasaan individu secara ekonomi.
251
Caporoso&Levin (1992) menyimpulkan bahwa pasar kapitalistik yang tampak seolah-olah bebas memberikan harapan kekayaan bagi semua pihak dan masyarakat, tetapi
justru menimbul ketidak merataan dan peminggiran
yang tidak berdaya. Ideologi turisme menginterpelasi semua orang dalam masyarakat lokal untuk merayakan kepariwisataan sebagai generator atau penggerak ekonomi desa, daerah, dan negara. Interpelasi budaya lokal ke dalam budaya pariwisata mengiakan segala konformitas nilai budaya, ruang, waktu, hingga etika, yang tampak jelas pada gaya hidup masyarakat lokal. Hal ini tidak bisa ditutupi oleh terutama anak-anak muda di kawasan wisata dan masyarakat lain dalam bentang gravitas kawasan pariwisata. Gaya hidup masyarakat sangat dipengaruhi oleh sense dan aroma turisme kawasan pariwisata. Berbagai dandanan-solek para turis menyemaraki semua tempat dan jalan-jalan kawasan sebagai desa pesolek, desa bergaya, dan desa turistik. Dalam semarak gaya hidup turistik ini, sangat menarik skeptisme penulis untuk sedikit iseng mengejar tindak-mimikri masyarakat lokal Kuta dalam pengaruh dan bayang-bayang turisme global. Selain Made dan pemuda lainnya termasuk beberapa bajang Kuta, menyatakan, “Anak muda sini sudah biasa pakai bikini, lihat saja bokongnya!” Ada yang pernah mendapat pengakuan dari ibu-ibu, “Kapan-kapan kita juga boleh ’kan jadi turis?”, ... “apalagi untuk suami, ... atau yang muda untuk si pacar”.
Berbagai pengakuan dan ungkapan-resepsi gaya turis juga memilih bikini sebagai penanda gaya hidup dan kelas ekonomi yang terkait dengan perbedaan atau differentiation atas penampilan, gaya, selera dan harga produk
252
dalam aktivitas dan kebisaaan hidup. MacCannell (1976: 181, 184) tidak pernah melepaskan perhatian dari perbedaan dan artikulasi budaya hidup masyarakat lokal di bawah pengaruh turisme. Terlebih lagi kelompok pemuda-pemudi yang tidak bisa menyembunyikan sikap eksplisit dan logisnya terhadap pengaruh gaya hidup, struktur, dan kelas dalam penampilan. Sehingga tidak bisa dipungkiri kekuatan bikini sebagai penanda resepsi turisme Kuta dan kelas baru terbayang di Kuta, yang disebut leisure class oleh MacCannel, sebagai peniruan gaya hidup turistik. Sense dan gaya mencairkan kelas dan bangsa, searah dengan bikini bagi para turis sebagai tiket untuk berjemur dan jalan-jalan di pantai. Semua etalase pakaian atau konveksi memajang bikini sebagai item ciri khas kawasan pantai. Hal ini juga dilakukan di kawasan pantai Sanur dan Nusa Dua tetapi pengaruh dan resepsi budayanya hanya ditiru oleh segelintir kelas ekonomi menengah ke atas. Aksesori dan danan
pantai
memang
mendominasi tempat komersial atau toko-toko pakaian di Kuta, terlebih lagi dengan pemasangan billboard besar yang mengundang perhatian setiap pengunjung Kuta. Persaingan antarmereka membangun citra Kuta sebagai kawasan pantai turistik, komersial, dan glamor. Jelas wajah desa adat sebagai ruang budaya tradisional tertutup oleh pasar tanda turistik (Darmadi, 2005). Brand pakaian dan aksesori dandanan anak muda juga terpusat di Kuta dan sekitarnya. Bayang-bayang Barat (baca: budaya pop global) menarik anak-anak muda Kuta, Denpasar, hingga Gianyar, datang ke Kuta untuk melihat dandanan dan solek-molek para turis muda, khususnya pada
253
musim liburan bulau Juni sampai Agustus. Motivasi usaha para pebisnis pakaian jadi yang berlogo luar negeri, tiada lain untuk para wisatawan asing yang ingin mendapatkan produk-produk standar dengan gaya dan merek mendunia. Memang diakui, beberapa pembeli lokal mengambil item-item pakaian yang mereka pajang. Dominasi kawasan turistik dalam ruang budaya desa adat ditandai oleh tersebarnya ikon-ikon dagang yang mendunia dalam kacamata usaha dagang komersial. Bikini memang mendunia sebagai ikon turistik global, sebagai penanda kawasan pantai. Pernah ada kejadian yang tidak bisa dilupakan dalam studi ini, ketikapenulis melepas pandangan sesaat sambil mengamati situasi pantai Kuta pada siang hari, saat para wisatawan mandi sinar matahari atau sun bathing. Siang itu banyak sekali turis yang berjemur hingga aroma khas krim tabir surya menyebar sampai di jalan raya. Setelah beberapa menit, penulis duduk sambil menikmati rujak buah segar, terdengar
seorang
petugas
keamanan
pantai
memanggil
dan
menghampiri turis bule perempuan yang baru saja turun merasakan deburan ombak pantai Kuta. ”Hi, Lady, come, come here up!”, sambil menghapiri ke dalam, dia tampak menjelaskan aturan mandi di pantai, sambil mengajak ke turis bule itu ke pantai. Anak-anak pantai yang mungkin sudah terbiasa dengan hal tersebut, malah menertawakan. Kata seorang anak penunggu papan ski sewaan, ”Ya, ga boleh pakai celana dalam gitu, nanti bisa putus, harus pakai bikini di pantai”
254
Konformitas nilai budaya tradisional dan budaya turistik, dapat dilihat pada momen-moment ritual; Melasti, Mepajar, Ngerehang, Ngaben, Nangluk Merana, dan upacara-upacara adat dan agama yang mengambil tempat di jalan, pantai, dan ruang-ruang publik, dengan melibatkan banyak orang umat. Ketika pelaksanaan Melasti yang tercatat sebanyak empat kali Hari Raya Nyepi dari tahun 2007 sampai 2010, representasi simbol-simbol adat dan budaya semakin kuat. Untuk sekali sore ini, pantai Kuta memang betul-betul dipatok oleh pecalang selama pelaksanaan melasti, dengan durasi paling cepat dua jam. Instrumen tetabuhan gong barungan lengkap dengan tari wali sakral Rejang Dewa mengiringi upacara Melasti. Konformitas nilai selama ini berjalan dengan penuh toleransi. Permasalahan ruang dalam politik identitas, sesungguhnya pada ruang ekonomi politik yang direpresentasikan dalam posisi dan peran lembaga setingkat
kelurahan
untuk
pengelolaan
ruang-ruang
terbuka
seperti:
pengamanan pantai Kuta, pengaturan pedagang acung dan tukang pijat, pungutan
parkir
di
depan
pantai, pasar, dan
pemasangan
bahan-bahan
promosi komersial di lingkungan desa adat dan kelurahan. Ideologi politik identitas dan politik ekonomi untuk pengelolaan dan pendapatan, tentunya bukan pengembangan modal budaya, tetapi
praksis ekonomi politik yang
berjalan berdampingan dengan politik identitas. Representasi politik menguat sejak resistensi orde baru dalam turisme pantai Kuta berhasil menyatukan pandangan dan langkah antara Desa Adat Kuta, Legian, dan Seminyak.
255
7.5.3
Dekonstruksi Perang Tanda Kawasan Turistik Global Pasar global yang menyentak berita lebar-lebar di media cetak dan
elektronik
sejak tahun
2000-an, ditangkis dengan
sikap
represif
pada
pematokan wilayah desa adat secara kultural dan ekonom politik. Hinggar bingar musik glamor dan perang marker turistik serta tandaan artifisial komersial kapitalistik menjadi salah satu indikator dominasi yang disikapi dengan representasi politik dan ekonomi politik. Poskolonialitas sebagai suatu kondisi dan realitas sosial, ditandai oleh adanya ambivalensi yang tidak bisa ditangkap dengan unconsciousness atau ketidaksadaran masyarakat akan fenomena sosial di lingkungannya. Nalar pikiran awam atau commonsense mengiyakan segala bentuk dominasi, dengan tidak melihat atau merasakan hegemoni atas kehidupan mereka. Nyepi satu hari, telah menghilangkan audiens simulakrum turistik Kuta. Dekonstruksi simulakrum dan skizofrenik Kuta, terjadi bilamana; (1) nihil aktifitas turistik, (2) situasi traumatik seperti ketika terjadi bom, (3)Penyepian Hindu, dan (4) kesadaran moral yang bisa menetralisir segala bentuk pencitraan artifisial. Identitas ‘keBalian’ mereka secara kolektif dan perorangan sudah terinjak di desa kelahiran sendiri, yang sesungguhnya memiliki akar kuat pada kultur dan nilai yang sudah melembaga dalam bentuk desa adat, dengan tradisi yang menyatu dengan budaya hidup sehari-hari, norma, nilai dan pandangan hidup yang tersirat dan terukir dalam simbol budaya atau atribut adat yang bahkan bernuansa magis dan spiritual.
256
Gambar 7.19 Suasana pertokoan dan mal pada Hari Raya Nyepi. Sumber: Dok. IGNA Eka Darmadi, 2007
Poskolonialitas dalam Kawasan Industri Pariwisata Kuta, menyatukan kerangka studi dalam realitas sosial dinamika desa adat dan perkembangan kawasan wisata, dengan penanda-penanda ‘poskolonialitas’, menarik semua perhatian pada titik temu polemik nilai, konflik ruang, resistensi lembaga dan representasi budaya masyarakat lokal, antara tradisional dan modern, spiritual dan material, sakral dan profan, bahkan modern dan kontemporer atau pascamodern. Penanda polemik ‘dan’ antara poskolonialitas pariwisata dan politik identitas desa adat, menjadi titik temu antagonik skenario pariwisata dengan skenario formasi penguatan identitas kultural desa adat. Investigasi ‘representasi
budaya’
pada
domain
tersembunyi
di
dalam
realitas,
menyatukan arah paradigma cultural studies penelitian yang emansipatif dan politis dalam pembelaan identitas lokal, budaya dan pandangan ke-Indonesia-
257
an, atau masyarakat dunia ketiga yang disebut eks-koloni barat atau the others dalam kaca mata barat. Kajian kritis-emansipatif dengan metode kajian budaya atau cultural studies, terlebih lagi dalam menyikapi lokal people dari perspektif pariwisata dalam konteks Bali, akan menemukan masyarakat lokal yang kultural, multikultural dan global. Posisi dan peran desa adat dalam hal ini, sangat urgen untuk senantiasa diperjuangkan dalam kerangka politik cultural studies dan studi poskolonial dengan konsep-konsep grounded dan paradigma kekajian budayaan yang emansipatif dan multidimensional. Penggambaran realitas sosial pada satu komunitas untuk bisa kuat disebut sebagai poskolonialitas, memerlukan catatan historis atas segala proses dan ‘halihwal’ kolonisasi ‘mengada’ dan ‘menjadi’ (praktik) poskolonial. Adapun lapangan
sasaran
studi
poskolonial, menukik
pada
proses
dominasi,
ambivalensi, ambiguitas, keterpinggiran atau marginalisasi hingga hegemoni, menemukan fenomena yang searah pada fenomena kehidupan desa adat dalam bentang kawasan pariwisata, dalam hal ini Desa Adat Kuta. Makna poskolonial jika dikembalikan pada konsep Hall, C. Michael & Hazel Tucker dalam “Tourism and Post Colonialism” (2004: 1-5), berasumsi bahwa poskolonial lahir untuk menandai tantangan, yang awalnya berupa tantangan sastra terhadap pusat kekuasaan atau literary challenges to the hegemonik power of the centre, yang tentu saja bukan merupakan fenomena baru pada saat ini. Audiens poskolonial dalam studi sosial atau kajian budaya, merupakan audiens sekaligus subjek. Seperti pembahasan-pembahasan pada bab-
258
bab sebelumnya, poskolonialitas ditandai oleh adanya; (1) dominasi pada ruang lokal, (2) ketidaksadaran masyarakat lokal, (3) ambivalensi dalam realitas sosial budaya lokal. Gambar 7.20 berikut, cukup mewakili representasi media massa yang memiliki perhatian terhadap masyarakat lokal Kuta, termasuk para akademisi dan intelektual Bali.
Gambar 7.20 Representasi ambivalensi Kuta dan Bali global. Sumber: Dok: T-Shirt Jangkrik, 2009.
7.6
Diaspora Tanda Turistik Global : Diaspora Ruang Global Sebagai konsekuensi metodologis dalam penerapan paradigma cultural
studies yang emansipatoris dan eklektis, yang merekomendasikan eksplorasi realitas atas realitas yang dihadapi, bisa disampaikan temuan konseptual teoritis grounded dalam hasil studi ini sesuai dengan nouvelty temuan-temuan penelitian ini. Format penelitian ini berusaha menyambung tali temali ontologis-epistemologis
dan
aksiologis
dalam
pencandraan
paradigmatik
secara eklektis dan sudah pasti postparadigmatis. Tekanan emansipatoris
259
dalam penelitian ini mendorong kiat-kiat entonagrafis untuk meneliksik kesenjangan
fenomena
dan
cara
melihat
masyarakat
lokal
kawasan
pariwisata terhadap realitas, di mana sesungguhnya masih ada kesenjangan makna; pariwisata, kawasan pariwisata, budaya pariwisata (Picard, 1997) dan pariwisata budaya yang sudah dipertimbangkan sebagai modal budaya dalam kehidupan global. Modal budaya
yang yang dianalogkan dengan warisan budaya
tradisional (Semadi, 2009), dalam penelitian ini masih menjadi agenda perjuangan politik identitas yang baru melihat pariwisata budaya sebagai modal budaya masyarakat Bali. Kemampuan mengolahnya tergantung pada kapasitas
pengembangan
sirkulasi
budaya
tradisional, modern
dan
postradisional, dan jejaring kapital atau modal-modal pendukung lainnya. Seperti pembahasan pada bab sebelumnya, pentas-pentas kesenian yang pernah berjaya pada tahun 1980an, sudah tidak bisa dikembangkan lagi pada saat sekarang, karena semua warga harus berlari ’nyagjagin belin baas’ atau mengejar nafkah untuk beli beras. Pendapatan dari pentas-pentas kesenian sudah dikalahkan oleh omset sebuah warung makan atau toko pakaian, cinderamata, dan lain sebagainya. Dengan pertimbangan nouvelty dan kontribusi keilmuan, ’diaspora tanda turistik’ diangkat sebagai temuan studi ini, dalam rangka konsekuensi metodologis yang menggunakan konsep dan teori diaspora Bgarker (Barker, 2004: 207, 403) secara eklektis dan multiparadigmatis kajian budaya di antara konstruk teori ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Analisis pasca paradigmatis
260
yang mengikuti fenomena obyek penelitian dan kultur masyarakat secara ethnografis,
sangatlah labil untuk mendeskripsikan hasil penelitian secara
eksplisit, sehingga temuan Diaspora tanda turistik bisa mewakili titik temu seluruh
fenomena
masyarakat
yang
tercatat
dalam
studi
ini.
Ketika
kontestasi tanda turistik diikuti oleh tanda komersial kapitalistik menjadi budaya
kawasan wisata, bahkan bazaar turistik tidak asing lagi bagi
masyarakat lokal, fenomena kawasan pasar turistik tidak bisa ditolak lagi sebagai
fenomena
pasar
global
yang
mempengaruhi
seluruh
domain
kehidupan, terlebih lagi kawasan atau destinasi turistik. Sehingga ditegaskan kembali fenomena yang dihadapi dalam penelitian yaitu: (1) fenomena dominasi ruang kawasan terhadap ruang budaya desa adat, (2) fenomena konflik ruang turistik komersial kapitalistik di atas ruang budaya tradisional, (3)fenomena perang tanda artifisial. Secara konseptual dan multiparadigmatis, ketiga fenomena tersebut merupakan fenomena ambivalensi dalam representasi budaya masyarakat lokal terhadap budaya kawasan pariwisata. Representasi budaya masyarakat lokal dalam aspek tradisional, modern dan posmodern, dalam studi ini, masih terbentur pada sulitnya memilah konflik ruang dan perang tanda yang dikepung oleh dominasi pasar komersial turistik global. Sebagai konsep baru dari hasil studi ini, Diaspora tanda turistik bisa digunakan
sebagai
penanda
baru
dalam
melihat
ambivalensi
sebagai
fenomena, konsep dan akhirnya dalam temuan ini mengangkat ambivalensi sebagi teori yang salah satu premisnya, keluar dari studi ini, yaitu Diaspora tanda turistik yang berimplikasi pada (1) kompetisi marker turistik dalam
261
perang
tanda, (2)
diaspora
manusia
yang
diliputi
aspek
globalisasi
(Appadurai: Ardika, 2005, Featherstone, 2002), (2) gerak lintas waktu dan ruang yang mencitrakan diaspora ruang turistik global, (3) konflik ruang dan kepentingan, (4) dominasi kapital global (baca:
jaringan global)
yang
bergerak dengan mode komodifikasi, perang tandaan turistik, dan imagologi makanistik.
7.6.1
Diaspora Ruang Global dalam Ruang Budaya desa adat Titik kesenjangan makna tersirat sejak awal pada proposal penelitian
ini, yang
menyatu menjadi bab I, II, dan III, yang tersurat dengan lugas
dalam mengangkat ambivalensi sebagai satu aspek permasalahan dan focus studi. Kegamangan atau ambivalensi kemudian dieksplorasi secara investigative untuk menemukan kesenjangan makna yang erat kaitannya dengan representasi masyarakat lokal kawasan pariwisata Kuta, khususnya di wilayah Desa Adat Kuta. Mobilitas masyarakat Kuta mencerminkan kehidupan global ke depan, yang
dilengkapi dengan penggunaan media teknologi informatika dan
berjalannya
industri pariwisata dan komersial di kawasan wisata ini.
Pertemuan ruang dan waktu dari pagi hingga siang, sore dan penghujung malam, masyarakat Kuta yang mencapai angka rata-rata: 40.000 orang per bulan dalam catatan kependudukan di Kelurahan Kuta, menandakan adanya ruang pemukiman yang berfungsi ganda yang bisa menjadi tempat bagi mereka selama 24 jam untuk menetap. Hal ini dipastikan oleh Lurah Kuta
262
I Gede Suardika, sebagai angka rata-rata catatan penduduk di masing-masing kelurahandi kawasan Kuta, kecuali Kedonganan yang lebih rendah catatan penduduk musimannya. Kelurahan Kuta dan Tuban selalu melaporkan angka penduduk musiman
yang tinggi, demikian juga
menyusul Legian dan
Seminyak dengan angka yang sedikit lebih rendah tetapi
dengan ruang
yang lebih sempit. Dengan intensitas kegiatan komersial dan pariwisata di siang hari, angka 40.000 orang tentunya bertambah mencapai 50.000 orang lebih di Kelurahan Kuta, demikian juga kondisi di kelurahan tetangga di satu kawasan Kuta. Dalam pemampatan ruang seperti sekarang ini, orientasi individu tentunya sangat didominasi oleh pengaruh keberadaan turisme dan aktifitas komersial. Bisa dilihat beberapa pengaruh dari pemampatan ruang oleh gerak kehidupan kawasan dan komersial, yaitu: A. Menguatnya
penanda
ruang
yang
didominsi
oleh
marker
pariwisata; cap dagang, nama cafe, nama hotel, nama agen wisata, nama toko, nama mall, nama pub atau discothic, nama tempat rekreasi, nama
apartemen, dan
nama
toko
yang
paling
mendominasi. B. Penanda ruang tradisional (masih dipegang oleh kaum tua) yang dikondisikan oleh penanda-penanda komersial dan pariwisata yang semuanya mendunia.
bisa
disebut
sebagai
marker
turistik
yang umum
263
C. Kekalahan ruang budaya desa adat yang menyebabkan beberapa bentuk resistensi dan bahkan konflik ruang hingga konflik sosial politik. D. Kekalahan
waktu
tradisional
memaksa
adanya
konformitas
aktifitas adat terhadap aktifitas pariwisata yang menandakan harus adanya adaptasi tinggi warga adat Kuta terhadap waktu modern dan waktu global. Bahkan nomenklatur perarem atau pelaksanaan teknis awig-awig pun harus mengakomodir kepergian dan domisili warga banjar di luar negeri dan sebaliknya warga asing untuk berdomisili di Desa Adat Kuta. E. Totalitas ruang turistik yang harus diterima oleh masyarakat lokal khususnya krama adat Kuta, yang menyangkut dominasi ruang turistik dan komersial
kawasan wisata
Kuta
dengan segala
pemasangan marker turistik komersial di berbagai tempat di lingkungan desa adat. Tanpa
kemampuan
dekonstruktif
untuk
melihat
dan
memilah
fenomena perang tanda turistik dan konflik ruang, ambivalensi kawasan wisata Kuta dalam cara melihat dan cara berpikir masyarakat Kuta, akan semakin menumpulkan kesadaran masyarakat lokal dalam representasi diri dan representasi kawasan sebagai ruang komersial kapitalistik global. Keterpingiran di desa adat sendiri merupakan posisi ekonomi belaka tanpa harus meniadakan identitas sebagai masyarakat lokal yang sudah
264
kehilangan ruang budaya. Karena advokasi budaya desa adat juga sudah melawan dengan perang simbol budaya dan agama. Kekalahan ruang budaya hanya diterima sebagai kekalahan peran individu dalam ekonomi dan penguasaan pasar turistik kawasan Kuta, yang terpaksa sebagai penonton secara ekonomi.
7.6.2
Diaspora Tanda Turistik Mencitrakan Diaspora Ruang Global. Gerak ruang komersial-turistik dalam menjangkau seluruh kawasan,
audiens kawasan, berkompetisi dalam kawasan, dengan teknologi informasi untuk pasar global. Pergerakan yang terjadi dapat dilihat dalam: penandaan marker turistik, pencitraan Kuta pada nama dan design tempat, re-presentasi tempat dan produk yang mengalahkan representasi budaya tradisional. Cara melihat Kuta sebagai objek dalam hal ini, harus disatukan dengan paradigma multitafsir terhadap fenomena yang kompleks, atau dengan multiparadigma sosial yang juga mesti dikonfirmasikan dahulu kepada masyarakat lokal atau masyarakat Desa Adat Kuta yang betul-betul bisa melihat fenomena komersial-turistik di Desa Adat Kuta sejak awal (1960an). Sehingga cara pandang Kuta dalam studi ini merupakan cara pandang paradigmatis yang multiparadigma, yang harus dan atau dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada masyarakat lokal. Diaspora tanda turistik dalam lintas pertemuan waktu dan yang
sesungguhnya
merupakan
gerak
lintas
ruang
kepentingan
ruang yang
mangadu penandaan dan marker komersial-turistik sebagai alat sekaligus
265
modus pencitraan dalam komodifikasi maupun imagologi media promosi komersial.
Hal
ini
belum
bisa
dilihat
oleh
masyarakat
lokal.
Bisa
digambarkan kontestasi tanda turistik mengkondisikan sebuah bazaar marker atau tanda turistik, pasar turistik dan dalam tiga dekade (1990, 2000, 2010), menguatkan fenomena yang dalam studi ini diangkat sebagai temuan yaitu diaspora
tanda
turistik
yang
bergerak
semakin
kuat
dan
bervariasi
mengkondisikan semua ruang yang ada sekarang, baik pada ruang global, modern dan tradisional. Ideologi politik identitas dan ekonomi politik yang mendorong peranan untuk pemetaan dan pengelolaan ruang terbuka dan pendapatan desa, tentunya
bukan
berorientasi
pengembangan
modal
budaya, tetapi
praksis ekonomi politik yang berjalan berdampingan dan saling tergantungan dengan politik identitas. Representasi politik yang menguat sejak tahun 1998, pasca resistensi orde baru dalam turisme pantai Kuta, mengambil bentuk politik identitas Desa Adat Kuta, setelah berpisah dalam pemekaran Kelurahan Kuta pada tahun 1988, menjadi tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Kuta, Kelurahan Legian, dan Kelurahan Seminyak. Menguatnya pola pasar global bagi masyarakat lokal, disikapi dengan langkah
represif pada pematokan wilayah desa adat secara kultural dan
ekonom politik. Hinggar minggar musik glamor dan perang marker turistik serta tandaan artifisial komersial kapitalistik menjadi salah satu indikator dominasi kawasan turistik kapitalistik yang disikapi dengan representasi politik dan ekonomi politik.
266
Asumsi penulis bahwa diaspora tanda turistik global akan terus menguat dalam kehidupan kawasan ke depan karena semakin canggih dan kuatnya modus operasi kapital ke dalam kawasan turistik Kuta, akan beradaptasi untuk tampil menyatu dengan citra kawasan turistik. Semakin meluas dan menguatnya kontestasi tanda turistik, walaupun dengan tandaan artifisal, akan didorong oleh berbagai modus-modus ideologi kapital.
Ruang Posmodern / Global
Ruang Modern Ruang Tradisional
Gambar 7.21 (Lintas ruang-waktu tradisional, modern, posmodern/global) Keterangan:
: Lintas waktu dan ruang tradisional
: Lintas waktu dan ruang modern :
Lintas waktu global
267
Dengan cara pandang posstruktural dan poskolonial dalam studi ini, bisa
direferensikan
temuan
Diaspora
tanda
turistik
yang
membangun
ambivalensi dalam representasi Kuta selama ini. Bahkan ruang pun nampak bergerak dan menyebar atau diaspora karena saking kuatnya pencitraan dalam ritual komodifikasi dan imagologi. Dalam hal ini, figurisasi pertemuan ruang-waktu tradisional, modern dan pos modern di atas. Diaspora tanda turistik bergerak dengan penyesuaian lintas
waktu dan bentuk ruang
tradisional, modern dan pos modern, yang kemudian dengan tekanan dan pengaruh pasar global, bergerak tanpa batas ruang dan waktu.
7.6.3 Diaspora Ruang Global: Signifikansi dan Kontribusi Konseptual Kontribusi temuan studi ini, dalam studi kajian budaya khususnya studi poskolonial di Bali, untuk menguatkan lebih menguatkan cara pandang atau paradigma teoritis kajian budaya terhadap; (1) Ambivalensi kehidupan global, (2) Ambivalensi kehidupan kawasan turistik, komersial, kapitalistik, (3) Bagaimana agensi budaya atau advokasi budaya dilakukan dalam lintas ruang dan waktu global yang harus diadaptasi oleh pola kehidupan modern dan kehidupan tradisional dalam kawasan turistik global, dan (4) Bagaimana membangun kesadaran dengan orientasi masyarakat lokal yang sesungguhnya nihil atau masih disorientasi. (5) Bagaimana representasi budaya masyarakat lokal kawasan Kuta, dapat dipaparkan sebagai berikut: A. Cara
melihat
realitas
sebagai
bagian
dinamika
masyarakat
tradisional, modern dan global, merupakan cara melihat masyarakat
268
adat
Kuta
yang
masih
terpengaruh
dan
berpengaruh
pada
representasi kolektif Kuta sebagai kelurahan dan desa kawasan wisata.
Representasi budaya
masyarakat lokal Kuta masih
diwarnai pola pemikiran tradisional dengan prinsip-prinsip, nilai budaya dan pandangan hidup, disamping hegemoni pemerintah melalui
wacana
pariwisata
budaya, sirkulasi
budaya
kawasan
wisata, dan destinasi wisata yang melegitimasi dominasi ruang turistik komersial dan kapitalistik. B. Perubahan orientasi tanpa pijakan jelas, diposisikan sebagai arah berpikir, sikap dan pandangan masyarakat yang disadari atau tidak disadari, sedang mencari bentuk dan formasi identitas dalam proses transformasi sosial budaya. C. Representasi
Masyarakat
Kuta
dalam
politik
identitas, baru
diartikulasikan dalam representasi kolektif sebagai politik budaya (baca: strategi kebudayaan), yang sesungguhnya telah dipraktikkan secara koersif dengan referensi resistensi, konflik, dan terorisme yang pernah terjadi di Kuta. Ideologi ini menjanjikan berlanjutnya perjuangan
politik
identitas
masyarakat
lokal
Kuta, untuk
menghadirkan kembali, penyikapan, pemosisian masyarakat lokal dalam ruang budaya Kuta yang selama ini diposisikan sebagai ruang publik Kuta dan ruang kawasan wisata global. D. Masyarakat lokal Kuta yang multikultural, dikonsolidasikan oleh Desa
Adat
Kuta
secara
persuasif
dan
kultural
dengan
269
mempertimbangkan kepentingan
berbagai
pragmatis
perbedaan
khususnya
etnis, agama, dan
dalam
kaitan
industri
keramahtamahan. Arah Penandaan Tempat dan Ruang yang selama ini dipertimbangkan secara kasat mata dan mekanis, bahwa ruang bergerak dan berlari, hanya merupakan efek citraan mekanik dan pengaruh ideologis komodifikasi. Ruang mengecil dan bergerak merupakan ruang citraan dan ruang jejaring maya mekanis. Waktu menguat karena manusianya semakin kuat dan banyaknya
sirkulasi
kepentingan
ekonomi
kapitalistik
dengan
variasi
kepentingan kelompok dan individu yang terlibat, sesungguhnya mengecilkan posisi dan gerak individu karena dalam diaspora tanda turistik, individu menjadi obyek complement atau pelengkap dalam penandaan dan pencitraan ruang-ruang terkait. Degradasi makna budaya tradisional yang diikuti dengan kegamangan budaya modern sampai pada ambivalensi global tidak akan pernah terungkap tanpa dekonstruksi perang tanda dengan penandaan artifisial atau tandaan dalam komodifikasi dan imagologi mekanis. Sebagai bagian dari masyarakat pragmatis dan komsumerime, Kuta sebagai penanda destinasi dan budaya turistik global, harus didekonstruksi terus oleh para tokoh dan intelektual Kuta, untuk menemukan karakter Kuta dan keseimbangan makna Kuta sebagai desa adat, desa dinas atau kelurahan, dan sebagai ruang ekonomi sumber pendapatan desa dan daerah.
270
Secara refleksif, akhirnya temuan ini dikontribusikan untuk studi-studi dalam cultural studies, bahwasanya cultural studies atau kajian budaya sarat akan konsep teoritis eklektik yang sarat akan metode analisis semiotik, ethnografis, dekonstruksi, dan refleksif, seperti dideskripsikan oleh Barker (2004: 10–19) yang bisa diposisikan dan dimaknai kembali dalam studi ini, sebagai berikut; A. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda dan penandaan yang sangat penting sebagai titik point wacana dan titik pandang makna dan pemaknaan dalam analisis, khususnya dalam cultural studies yang sarat tafsir makna dan pos kolonial
yang
refleksif
dan
sarat
rekomendasi
emansipatoris. B. Ethnografi senantiasa menjadi metode, nafas dan energi yang disadari atau tidak dalam studi ilmu-ilmu sosial. Cultural studies sangat memerlukan ethnografi untuk studi yang
bersifat
mikro
maupun
makro, sehingga
sangat
menguatkan cara pandang dan analisis secara ontologis yang bisa menentukan penggunaan paradigma dalam studi, dari obyek ke subyek, atau dari ruang ke penandaan. C. Dekonstruktif merupakan ciri analisis cultural studies atau kajian budaya yang sarat tafsir sosial dan pemaknaan setiap tanda dan representasi, sehingga dengan ethnografi objek yang lengkap, bisa dimemposisikan kembali semua
271
tanda yang real, kemudian mendekonstruksi objek dengan seluruh representasi dan pemaknaan yang tidak real, untuk mengemBalikan
objek
pada
posisi
makna
yang
sesungguhnya (baca: sesuai locus studi dan manusianya) Konsep refleksif merupakan ciri tulisan kajian budaya yang emansipatif, keluar dari narasi konseptual teoritis dan pasca filosofis sesuai fenomena yang dihadapi, sehingga dengan temuan Diaspora tanda turistik, sesungguhnya merekomendasikan penggunaan narasi konseptual-teoritis dalam kajian budaya untuk melekatkan ’pesan’ dan pemaknaan refleksif dalam setiap studi.
7.7
REFLEKSI Pariwisata
Bali
mewakili
fenomena
kepariwisataan
di
negara
berkembang, yang tumbuh bersamaan dengan pengadaan infrastruktur negara dan daerah. Pengkondisian segala fasilitas kawasan pariwisata, kemudian mengkondisian desa adat sebagai kampong turistik yang diupayakan terus menjadi eksotik hingga sekarang. Turistifikasi semua sudut ruang dan potensi
kawasan, membentuk
ambivalensi
dalam
representasi
budaya
masyarakat lokal atas fenomena di depan matanya. Dilema kehidupan kawasan Kuta bagi masyarakat lokal dalam realitas sosial budaya yang multidimensional ini, memposisikan masyarakat adat dalam garis marginal di lingkungan mereka sendiri. Representasi identitas, peran, dan posisi
subjektifitas
personal
mereka
masing-masing
menjadi
272
semakin
lemah dalam dominasi ruang turistik, komersial dan kapitalistik.
Kemandegan komunikasi dan konsensu komuniti, terbentur ambivalensi dalam kesadaran kolektif-komunitas mereka dan krisis kepercayaan diri. Perubahan berjalan sangat cepat, melewati dinamika sosial dalam karang desa atau ruang budaya mereka. Eksplorasi
berbagai
konstruksi
sosial
dalam
penelitian
ini,
mengantarkan studi pada wacana pariwisata yang relative sama dengan kawasan lainnya di Bali, tetapi berbeda dalam sikap dan resepsi budaya turistik pariwisata. Wacana kebijakan dan manajemen kawasan pariwisata, termasuk mode-mode
komersialisasi
dan
turisitifikasi
potensi
kawasan, hampir
menguatkan ambivalensi tersebut di atas. Tanpa penggunaan konsep-teori posstruktural dalam tesis ini, berbagai kegamangan dan kejanggalan kehidupan kawasan akan larut dalam kemapanan turistik dan gemerlap eksotik pasar wisata Kuta. Investigasi cultural studies mengantarkan studi pada temuan domaindomain
signifikan
dalam
kehidupan
masayarakat
kawasan
pariwisata.
Sehingga masyarakat kawasan mesti dibagi menjadi; -masyarakat lokal atau host, dan masyarakat pengusaha dan pekerja (casa grande and labour ). Pengajuan temuan dalam penelitian ini, bertolak dari nouvelty dan tanggung jawab
emansipatoris
konsep-konsep
dengan
perjuangan cultural aplikasi
teori
studies, konsekuensi
secara
pemakaian
eklektk. Sehingga
amanat
multiparadigmatis, mendorong untuk adanya konstruk temuan tesis yang fenomenal, konseptual dan teoritis. Secara mekanis, temuan ini menawarkan
273
pemaknaan baru yang merekomendasikan ruang baru dalam penelitian dan studi kawasan pariwisata. Intriguing
phenomenon
of
tourism(Cohen, 1998)
atau
fenomena
pariwisata yang selalu menarik perhatian, tentunya tidak dikuatkan lagi oleh tulisan
ini.
Karena
ambivalensi
yang
selama
ini
berkembang
dalam
ketidakberdayaan cara pandang subyektifitas personal dalam masyarakat lokal, dibuka satu per satu dari konstruksi- multidimensional-nya. Demikian juga
pemetaan posisi leadingsector,
multiplying
effect(McCintosh),
dan
keberadaaan pariwisata sebagai panglima atas semua sektor yang bergerak terus dengan gravitasi global. Agensi pemberdayaan masyarakat lokal Kuta, dibangun terus oleh para aktor adat, aktor politik dan sosial budaya yang berusaha menyatu dalam solidaritas dan konsensus politik budaya. Perhitungan time and space dalam agensi masyarakat adat, menarik urgensi transformasi nilai dan kearifan budaya dalam bingkai politik budaya dan ekonomi politik desa adat dalam kancah glokal. Dalam menakar kembali segala potensi dan sumberdaya Kuta, segala kepentingan dan sasaran atau interest and goal attainment
menjadi
consensus
dan
pertimbangan
pencapaian
bersama.
Multiplying income suatu saat akan menjadi rasio baru dalam consensus masa depan, ketika seluk-beluknya diketahui, sementara sekarang menjadi bagian ambivalensi dalam kesadaran kritis mereka. Memperhatikan proses akulturasi dan artikulasi budaya dalam politik representasi masyarakat lokal, menemukan proses transformasi budaya dalam
274
perubahan cepat dengan gemuruh mesin turisme dan deru berbagai bentuk operasi komodifikasi dan tusitifikasi di kawasan pariwisata. Hal ini menjadi penanda masih lemahnya ruang public masyarakat lokal Kuta. Praksis budaya dalam representasi budaya masyarakat lokal, masih diwarnai oleh transhabitus tradisional ke penemuan habitus-habitus baru (baca: instant dan mekanik) dalam proses transformasi dan perubahan cepat. Hanya beberapa tokoh
masyarakat
adat
yang
kritis, bisa
melihat
adanya
kejanggalan
implentasi kebijakan pembangunan (baca: sebutan masyarakat lokal) di lingkungan desanya. Krisis ruang publik berimplikasi pada lemahnya kontrol masyarakat sebagai publik terhadap kebijakan publik yang diberlakukan di kawasan di mana desa adat mereka ada. Pendekatan etnometodologis dalam penerapan prinsip-prinsip etnografis, menemukan sudut-sudut ruang publik Kuta yang ambivalen, dengan titik-titik representasi budaya publik Kuta yang plural. Apa yang menjadi tekanan Habermas dalam teori kritis hingga teori tindakan komunikatif, menuai kelemahan-kelemahan ruang publik dalam hasil temuan penelitian ini. Globalisasi, glokalitas, dan perdagangan bebas bagi masyarakat awam dianalogikan dengan pariwisata yang sudah diterima sebagai budaya turistik global. Kepariwisataan
sebagai
terminal
perhatian untuk melihat bagaimana
budaya
global, menarik
segala
interaksi dan transfromasi budaya
masyarakat lokal di kawasan-kawasan pariwisata. Setelah melihat adaptasi dan bekerjanya agensi budaya oleh para aktor politik budaya di dalamnya,
275
praksis budaya glokal hanya merupakan representasi budaya para elit masyarakat lokal yang sangat intelektual yang bisa melihat semua fenomena tanpa ambivalensi. Adaptasi intelektual berawal dari tumbuhya budaya kawasan pariwisata, yang berupaya menyatukan semua potensi dan prospek sebagaimana harmoni pertemuan harapan dan kenyataan dalam wacana kebijakan pemerintah dalam pariwisata. Ketika
semangat
negara
adat
masih memerlukan
energi
untuk
menghidupi negara destinasi wisata global. Komunitas terbayang dalam negeri destinasi, di-real-kan oleh progresifitas komodifikasi dan turistifikasi dengan berbagai varian simulasi dan mistifikasi mode dan produk wisata di dalamnya. Penanda komunitas negara bangsa hanya bekerja dalam intensitas yang rendah dan momen-momen formal saja. Kesadaran kebangsaan inilah yang menguatkan kegelisahan atas segala bentuk dominasi dan hegemoni dalam ambivalensi kawasan, yang mengiakan kembali posisi ‘terjajah dan tersingkirkan’ bagi masyarakat lokal yang lemah secara ekonomi dan intelektual. Ketika representasi budaya lokal tidak mendapatkan momen yang maksimal, politik identitas menguat sebagai lanjutan representasi budaya. Representasi politik lahir dari mode ekonomi politik yang memediasi berbagai kepentingan kelompok dan kebutuhan pragmatis individu dalam komuniti. Representasi politik menjadi energi penggerak dalam praktik ekonomi politik, di sisi lain politik budaya (baca: sebutan lokal) mengkondisikan budaya politik yang ‘berkearifan’ melanjutkan gerakan ’si ekonomi politik’ yang bermetamorfosis dalam varian-varian bentuk representasi politik dan politik
276
representasi. Sehingga dengan penundaan makna atau difference, temuan di atas
bisa
menghentikan
sementara
pengejaran
makna
dalam
format
eksplorasi betuk, fungsi dan makna budaya, yang semuannya digarisbawahi dengan
budaya
kawasan
pariwisata di atas permukaan representasional
kehidupan lokal. Temuan penelitian ‘budaya kawasan pariwisata’ yang merupakan rincian dari budaya turistik (Picard, 1992) membuka
ruang berpikir
baru untuk
menarik semua fenomena kepariwisataan ke dalam matriks budaya kawasan pariwisata. Sehingga kemungkinan commonsense dan apriori bisa digantikan dengan energi emansipatoris yang tepat dan cermat dalam ‘membidik’ sasaran kritrik, advokasi, dan sedikit provokasi keilmuan. Terlebih lagi untuk masuk pada poskolonialitas pariwisata dan fenomena yang kongruen lainnya. Konsep budaya pariwisata yang ditawarkan oleh Picard, masih lemah untuk dipertanggung jawabkan secara metodologis. Karena jejak-jejak operasi wacana pariwisata, kebijakan dan ekonomi politik yang digarisbawahi dengan budaya pariwisata, masih putus-putus dalam keterhubungannya sebagai satu hubungan
fenomena.
Semangat
dan
amanat
emansipatifnya, sangat
mendorong usaha dan membangkitkan energi konseptual dan eksploratif. Diaspora tanda turistik dan diaspora ruang global sebagai temuan studi ini, dapat direpresentasikan bersama, bagaimana pariwisata Bali khususnya Kuta, akan semakin kuat dan sangat
kompleks
menutup
kesadaran-kritis untuk
menyikapi, kontrol dan menata kawasan pariwisata khusunya dan Bali secara multidimensional. Kuatnya pengaruh pencitraan dan komodifikasi
sebagai
277
mode produksi dagangan pariwisata, pada kenyataannya, memojokkan posisi masyarakat lokal dalam kelemahan representasi budaya dan artikulasi masalah simbolik, ruang budaya secara fisik, dan arena tanda budaya global di dalam desa adat. Bali menjadi pulau yang sarat kepentingan dan dinamika berparas global, protokoler, turistik, dan
hedonis
(Darmadi, 2008).
Demikian
representasi outsiders dalam melihat Bali dari ”cermin-cermin turistik” kawasan wisata yang sudah berwajah global village seperti, salah satunya dan terutama, Kuta. Sebuah satir dari Redi Panuju berusaha menggugah kesadaran masyarakat lokal kawasan Kuta dengan sebuah novel kurban yang berjudul “Bali Surga para Anjing” (2007). Kulit luar novel kecil ini menyoal sosok turis (bule) yang mengenakan bikini dan membawa sebuah papan selancar. Kepala anjing yang digunakan untuk menggantikan kepala turis
tersebut
menunjukkan
resistensi-radikal
outsiders
yang
melebihi
resistensi insider. Dalam ruang kritis intelektual Bali, memang kehadiran novel pendek ini menyambung keterbatasan representasi insiders untuk menembus pagar etika dan santun-bahasa di Bali. Penanda satir anjing berhasil menyaingi bahkan menggoyang ikon-ikon pariwisata dan penanda regulasi-kebijakan pariwisata yang sangat mendominasi dan hegemonik, termasuk
ikon
bikini
yang
mau
dimatikan
dengan
kepala
anjing.
Keterpinggiran dan kekalahan masyarakat lokal kawasan wisata sangat mendapatkan perhatian mendalam Panuju, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya.
278
Revitalisasi membangun
civil
modal
sosial
community
merupakan
untuk
dapat
kekuatan
yang
meningkatkan
mampu
pembangunan
patisipatif. Dengan menggunakan basis modal sosial (Fukuyama, 2004) berupa trust (kepercayaan), ideologi, dan religi. Modal sosial mengandung kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Ini mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan. Modal sosial juga sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara
konseptual
yang
mengombinasikan
perspektif
sosiologis, politik,
budaya, dan ekonomi. Pengertian ini dipertegas dengan nilai dan kearifan lokal Tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan lingkungan, dan sesama manusia. Manajemen desa adat direvitalisasi terus secara konstruktif, dengan pertimbangan segala kelemahan dan kelebihannya, untuk bisa digunakan terus sebagai media penggerak semua modal sosial dan modal budaya dalam proyeksi ekonomi politik dan ekonomi budaya Bali ke depan. Dalam pandangan ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Dengan pendekatan konstruktivis, modal belum final bila dilihat hanya dari aspek ekonomi, tetapi
secara sosiologis
(Bourdieu; Harker et al, 2005) dapat diperhitungkan menjadi (1) modal material: uang, gedung, barang, (2)
modal budaya: kualitas pendidikan,
kearifan lokal, manajemen organisasi desa adat, pariwisata budaya, (3) modal sosial: kebersamaan, kewajiban sosial
yang diinstitusionalisasikan dalam
279
bentuk
kehidupan
bersama, peran, wewenang, tanggung
jawab, sistem
penghargaan, dan keterikatan lainnya, yang menghasilkan tindakan kolektif. Kebersaman, solidaritas, toleransi, dan semangat kerjasama yang menyatu dalam tradisi menyama braya merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial tersebut dapat dipastikan menjadi indikasi krisis kesatuan masyarakat desa adat, yang dicekoki oleh individualisme dan krisis subjektivitas personal sebagai elemen publik. Polemik personal atas Kuta between nation and destination (Darmadi, 2007) pun menjadi penanda ambruknya ikatan sosial budaya sebagai energi modal sosial dan budaya yang tersimpan dalam desa adat yang menjadi kerdil di Balik the establishment of touristic destination atau berdiri mapannya kawasan wisata. Wacana negara bangsa tentu lebih jauh dari harapan para founding father. Dengan pendekatan dekonstruktif, bikini digunakan sebagai stimulasi penyadaran
yang
netral
lantaran
kekuatan
simulasi-turistiknya
terbukti
menjadi tiket bagi pemakainya untuk tidak disebut telanjang, melalung atau nude. Tanpa kesadaran tentang penanda budaya, tentunya melasti Desa Adat Kuta akan tidak pernah bersih seperti sekarang, yakni bersih dari tanda turistik dan komersial, walaupun proses perubahannya melewati konflikkonflik kecil. Secara semiotik, poskolonialitas atau realitas pariwisata sangat menarik dilihat dari ”lubang bikini” dalam arti secara non-binary opposition dan keniscayaan
atas
distingsi atau
keragaman
nuansa
budaya
yang
menerima kebusukan, kenistaan polusi budaya, di mana sesungguhnya bisa
280
ditemukan kembali solusi budaya
(Darmadi, 2005)
yang kuat dengan
pegangan nilai rwa bhineda dan kebinekaan budaya. Seperti dharma usadha di Bali, untuk mengobati penyakit kritis yang menahun, seorang Balian harus bertanya pada penyakit itu sendiri. Polusi-polusi budaya sering dilewati bahkan tidak pernah muncul dalam cermin pariwisata budaya, atau karena ”cermin itu keburu retak” (Pitana, 2000)
oleh
panasnya situasi kompetitif dalam kehidupan kawasan
turistiktik Kuta. Sensasi dan perubahan adrenalin kaum hawa kelas menengah Kuta mungkin berhasil meningkatkan energi untuk terus bekerja sambil menyama braya atau justru menjadi individualis dan eksklusif bila memakai bikini. Benar atau tidak, itu hanya ilustrasi penulis bersama Made Karma yang sangat bersemangat dengan konsep-konsep penulis. Renungan dalam diskusi kecil dan sms (pesan singkat telepon genggam) bersama para tokoh masyarakat
Kuta
menjadi
penyadaran
pemuda
Kuta
tugas
tetap
penulis
sudah
tumbuh
untuk
sehingga
Kuta.
tidak
Minimal,
terjadi
lost
generation, dan tidak common sense, termasuk doyan memakai bikini juga bukan mimikri lagi tetapi
sudah melihat diri sama dengan tourist sebagai
pemilik kawasan wisata sekaligus kampung halaman Kuta. Gaya hidup global yang diakui sebagai hasil didikan media, sama halnya dengan teks kontemporer yang tidak bisa tidak diungkapkan sesekali sebagai representasi intelektual, kecuali disebut masyarakat tertutup. Selain
menyikapi
gerak
kapitalisme
global, media Bali
Post
mengharapkan Gubernur harus bisa mengelola modal sosial dengan semua
281
kearifan budaya dan lokal genius untuk menggerakkan pembangunan Bali yang jagadhita. Artinya, bagaimana pemimpin bisa menyejahterakan rakyat tanpa polusi dan kehabisan sumberdaya alam tetapi dinamis tanpa kehilangan jatidiri. Nilai panutan dan etika pemimpin masih relevan dalam masyarakat kontemporer ini, yang terasa ambar lantaran degradasi budaya sudah mulai menggerogoti mentalitas budaya individu. Potret diri Bali selama ini adalah pelanggaran norma, krisis kepemimpinan, kerenggangan hubungan sosial, dan dehumanisasi. Kondisi ini menyebabkan kontrol sosial lemah, sentimen kelompok, individualisme, dan materialisme semakin buas. Terjadi egoisme sektoral para pemimpin, di mana kondisi ini akan menyebabkan anomali, resistensi dan pembangkangan, konflik, hingga perilaku menyimpang. Revitalisasi desa adat patut mendorong kualitas partisipasi, kontribusi, dan daya kontrol masyarakat agar mampu memainkan agent of change dalam menggerakkan potensi ekonomi lokal dengan lokal genius. Harapan bias pasih toris di Kuta juga tentunya melewati berbagai renungan dan refleksi masyarakat lokal dan para intektual dan pelaku pariwisata, untuk menakar ulang pariwisata budaya sebagai modal budaya baru bagi masa depan Bali. Menguatnya representasi outsiders tentang Bali, khususnya Kuta, mendorong pengamatan sekaligus penelitian ini di desa turistik Kuta. Penandaan Kuta sebagai ikon wisata Bali, mengiakan juga Kuta sebagai global village yang mengakar, tumbuh dan cair dengan budaya turistik, konsumeris dan kapitalistik.
282
Semangat memperjuangkan indigenous
kekajian
budayaan
masyarakat
lokal
culture, menarik
atau cultural
dengan
perhatian
budaya
pada
studies
untuk
tradisionalnya
poskolonialitas
atau
sebagai
unarticulated problem dalam ruang abu-abu yang belum terpikirkan dan belum tersentuh oleh kesadaran masyarakat lokal. Sisanya hanya menjadi penyulut
kegelisahan
dan
kebimbangan
manusia
Kuta
yang menerima
semuanya sebagai sebuah kekalahan dan keterjajahan. Berbagai bentuk dan warna pajangan produk konsumerisme turistik, aroma aneka masakan untuk para bule dan ekspatriat global, menutup ruangruang kritis masyarakat lokal. Debur ombak dan angin malam mengingatkan insan Bagiana Karang, Mastra, Mangku Tama, Wendra, dan tokoh muda lainnya untuk menyikapi kenyataan dan bertanya serta menyadarkan seluruh saudara dan warga desa untuk meyakinkan diri atas identitas dan tradisi yang dimiliki di tanah pesisir Kuta.
283
BAB VIII SIMPULAN, SARAN, REKOMENDASI
8.1 SIMPULAN Representasi
budaya
tradisional
masyarakat
lokal
khususnya
masyarakat desa adat Kuta yang disebut krama, sarat dengan transformasi kehidupan yang kompleks. Posisi kekalahan ruang budaya atau karang desa dalam dominasi kawasan turistik komersial kapitalistik, menguatkan dasar advokasi dengan pijakan emansipasi masyarakat lokal kawasan pariwisata Kuta yang sangat plural. Representasi budaya mengahadirkan kembali ruang dan subyek budaya dengan posisi dan peranannya secara kultural, ekonomi, dan politik. Tertutupnya representasi budaya masyarakat lokal kawasan Kuta pada permukaan sudah bisa diasumsikan adanya dominasi ruang kawasan dengan dinamika ekonomi turistik, komersial dan kapitalistik. Dengan formasi identitas dan doxa atau ideologi budaya dalam kesadaran masyarakat lokal (baca: gerakan elit desa), dominasi ruang budaya turistik
komersial
disikapi
secara
ideolologis
dan
represif.
Resistensi
ekonomi turistik yang pernah menguat ’angkat bendera’, mengambil bentuk representasi politik dan ekonomi politik desa adat. Langkah tegas dengan wacana
emansipatif, mengiyakan
penjajahan
baru
yang
harus dihadapi
dengan politik budaya. Transformasi budaya lokal ke global, memberikan perspektif ekonomi politik dalam studi ini. 283
284
Poskolonialitas sebagai realitas keterpinggiran posisi, terdominasi dan terhegemoni, membuka ruang kesadaran kolektif komunitas untuk mereposisi diri dan merepresentasikan diri secara kolektif. Politik representasi menjadi energi awal politik identitas desa adat atas kesadaran masing-masig individu untuk bersatu menggalang kekuatan. Kekalahan masyarakat lokal yang disuarakan oleh media massa, diiakan sebagai representasi outsiders yang belum memasuki area ekonomi politik, tetapi
tetap diagendakan dalam
menyikapi perjalanan Kuta ke depan sebagai kampung global atau global village dan kawasan pasar turistik global. Politik identitas desa adat dipandang wajar sebagai gerak dinamis dalam representasi masyarakat lokal dan formasi identitas manusia global. Konformitas nilai budaya tradisional dan budaya turistik global, merupakan berterimanya masyarakat lokal terhadap pertumbuhan kapitalistik kawasan pariwisata, yang disambut dengan
politik identitas dan ekonomi politik desa
adat. Pasar turistik global yang ditandai oleh lintas kompetisi marker turistik global, tandaan(baca: tanda artifisial) komersial global, dan budaya turistik global yang hedonis glamor, dilihat sebagai gerak politik ekonomi kapital oleh krama desa adat. Kesadaran bathin kultural ini ditumbuhkan sendiri oleh hawa hiruk-pikuk kehidupan kawasan yang kelewat batas moral dan etika ekonomi. Tuduhan gravity kawasan Kuta yang menarik banyak pengikut usaha berlabel wisata, mengharuskan krama untuk bersiaga dan bersahaja dalam penyadaran budaya dan advokasi identitas kultural.
285
Dengan pijakan ekonomi politik desa adat dalam politik identitas, diangkat temuan ”Diaspora Tanda Turistik: Diaspora Ruang Global” dalam proses Kuta menjadi kawasan pasar turistik global. Sebagai kontribusi pemahaman baru terhadap studi kepariwisataan dan kawasan secara umum, temuan ini memposisikan ruang-ruang budaya lokal sebagai ruang-ruang yang hilang bila masyarakatnya tidak bisa memetakan peta politik identitas dan
ruang
ekonomi
politik.
Berkibarnya
bendera
politik
representasi
masyarakat lokal, akan membangun romantika republik-republik kecil atau komunitas terbayang dalam kawasan kapitalistik global. Tri Angga masyarakat sipil Kuta dipertimbangkan pada posisi bergerak dengan dinamika masing-masing pihak sebagai stakeholder. Keseimbangan domain politik, ekonomi dan budaya dalam konsepsi Three Folding (Perlas, 2002), Tiga Pilar (Mudana, 2005), dan Masyarakat Tri Sula (Wisnu Murti, 2010), menjadi pertimbangan reposisi subyektif masyarakat sipil dalam kebijakan dan pembangunan masyarakat sipil dalam era global. Tri Angga dalam tesis ini berpijak pada (1) dinamika representasional ketiga pihak dalam ’sengketa’ makna budaya, (2) angga
atau bagian tubuh (diri) masyarakat sipil khususnya
masyarakat lokal kawasan Kuta, (3) indigenisasi metodologi dalam representasi masyarakat lokal dengan berbagai kearifan lokal yang masih hidup di dalamnya, menginspirasikan Tri Angga keluar dari indigenisasi metodologi dalam representasi atau pemosisian subyek masyarakat lokal Kuta yang sarat dengan nilai ; (1) kearifan lokal, (2) budaya lokal, (3) warisan budaya sebagai basis
286
pariwisata budaya sebagai modal budaya baru, terakhir (4) angga merupakan identitas kolektif dan individu sebagai tubuh sosial krama desa atau pekraman. Dalam
signifikansi
methateori
sosial,
teori
poskolonial
sudah
mengantarkan studi ini sebagai pisau analisis sekaligus sebagai alat konstruk konsep dan pengembangan semua teori pada eksplorasi realitas yang ada. Pembahasan pada setiap bab sudah sampai pada ruang ideologi budaya dan ekonomi politik baru dengan meminjam konsep Caporoso et al. Demikian juga teori praktis Bourdieu sudah memberikan konstruk konsep lingkungan atau habitat pada angel atau aspek analisis gerak budaya pada teori strukturasi Giddens, teori poskolonial dan teori kebijakan publik Wayne Parson. Teori posstruktural dalam studi ini berhasil menajamkan setiap analisis teoritis, sekaligus mendapatkan makna baru dalam penerapannya dalam ranah kehidupan Timur atau masyarakat lokal Kuta.
8.2 SARAN Masyarakat
lokal
khususnya
krama
desa
adat
harus
bisa
mengelola potensi desa di dalam kawasan wisata, mulai dari penataan lingkungan pemukiman para pendatang hingga sedapat mungkin menata posisi alat-alat promosi wisata dan komersial yang permanen maupun sementara di wilayah desa adat atau kelurahan. Pengusaha yang berkepentingan dengan keberlanjutan kawasan Kuta,
287
agar memahami latar belakang budaya dan karakter masyarakat Kuta, untuk bisa mengambil langkah nyata untuk membantu dan memberdayakan masyarakat lokal sebagai tuan rumah kawasan yang bermartabat. Pemerintah
sebagai
penentu
kebijakan
dan
stakeholder
kunci
pembangunan, agar melakukan kajian evaluasi menyeluruh sampai pada penggunaan pembangunan
bangunan fisik
dan
areal
pantai, tidak
hanya
berhenti
pada
saja. Hubungan pemerintah, pengusaha dan masyarakat
dalam tesis ini disebut Tri Angga Masyarakat Bali khusunya masyarakat lokal Kuta. Tri Angga merupakan tiga bagian tubuh sekaligus subyek sosial masyarakat yang juga bisa disebut pekraman sebagai sebutan lokal untuk komunitas dan penduduk. Wisatawan bisa belajar banyak tentang kehidupan dan hidup orang Bali, khususnya proses transformasi budaya, dimana warisan budaya tradisional masih kuat melekat, karena masih menyatu dengan karakter, identitas, dan ruang budaya komuniti atau desa adat. Walaupun Kuta sudah didominasi dan tertutup oleh ruang dan bangunan kawasan turistik, kearifan lokal dan warisan seni budayanya masih melekat kuat dengan nuansa magis dan spiritual.
8.3 REKOMENDASI Merekomendasikan
secara
keilmuan,
studi
pariwisata
patut
mengembangkan konsep multidimensional untuk menyikapi dinamika global, sebagaimana halnya kajian budaya melihat pariwisata yang multidimensional dari lokal sampai global.
288
Merekomendasikan konsep Tri Angga Masyarakat Bali dalam domain kebijakan masyarakat
publik
sebagai
khususnya
di
domain
bersama
kawasan
pemerintah, pengusaha, dan
pariwisata. Tri Angga keluar dari
indigenisasi metodologi dalam representasi atau pemosisian subyek masyarakat lokal Kuta yang sarat dengan nilai ; (1) kearifan lokal, (2) budaya lokal, (3) warisan budaya sebagai basis pariwisata budaya sebagai modal budaya baru, terakhir (4) angga merupakan identitas kolektif dan individu sebagai tubuh sosial krama desa atau pekraman. Advokasi budaya dan emansipasi masyarakat lokal kawasan wisata, patut
dilakoni oleh seluruh penentu kebijakan bersama masyarakat lokal
khususnya desa adat setempat. Demikian juga studi atau penelitian dalam bidang ilmu sosial di desa atau kawasan ini, patut mengangkat permasalahan riil Kuta.
289
DAFTAR PUSTAKA Agger, Ben., 2003, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Althusser, Louis., 2004, Tentang Ideologi: Marxisme Struktural, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra Amin, Samir., 2005, Unity and Changes in The Ideology of Political Economy, dalam
Cultural
Studies:
from
Theory to
Action. Pepi
Leistyna (ed.) USA: Blackwell Publishing Ltd., hal. 19 - 28 Anderson, Benedict. 2001, Imagined Community: Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Appadurai, Arjun, 1993, Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy, dalam
Global
Culture: Nationalism, Globalization
and
Modernity. Mike Featherstone (ed.) London: SAGE Publications, hal. 295-310 Apostolopoulos, Y., Leivadi S, et al. (ed.) 2002, Sociology of Tourism, New York: Routledge Ardika, I Wayan (ed.), 2003, Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan Harapan di tengah Perkembangan Global. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata Universitas Udayana _________., 2004, Pariwisata
Bali:
Membangun
Pariwisata-Budaya
dan
Mengendalikan Budaya-Pariwisata” dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. I Nyoman Darma Putra (ed.)Denpasar: Pustaka Bali Post, hal. 20–34 Arif, Saiful. 2000, Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Astara, I W. Wesna, 2009, Dinamika Desa Adat Kuta: dari Desa Adat ke Desa Pekraman (Perspektif Kajian Budaya), Disertasi, Program S3 Kajian Budaya, Universitas Udayana Aziz, M. Imam. 2001, Galaksi Simulacra: Esai-Esai Jean Baudrillard. Yogyakarta: LkiS
290
Bauman, Zygmunt., 2005, Time and Class, dalam Cultural Studies: from Theory to Action. Pepi Leistyna, (ed.) USA: Blackwell Publishing Ltd., hal. 56 – 67 ______ . 1993, Modernity
and
Ambivalence
dalam
Global
Culture:
Nationalism, GloBalization and Modernity. Mike Featherstone, (ed.) London: SAGE Publications, hal. 143-170 Barthes, R. 2004, Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. ______, 2007, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika/Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra Berger, Athur Asa. 2005, Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu
Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Berger, Peter L.1982, Piramida Kurban Manusia. Jakarta: LP3ES Bleicher, J. 2003, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai Metode, Filsafat dan Kritik .Yogyakarta: Fajar Pustaka. Barker, Chris. 2000, Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publications Ltd. ___________, 2004, Cultural Studies: Teori & Praktik (terjemahan). Yogyakarta: Kreasi Wacana Bagus, I G.N. 1990, “Dari Objek ke Subjek: Mengada dan Menjadi dalam Proses Pengembangan Pariwisata“, Majalah Widya Pustaka Tahun VII No. 4, Juli 1990, Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, hal. 1 - 9 ______ . 2002, Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam Pembangunan. Denpasar: P.S. S2 Magister Kajian Budaya Universitas Udayana ______ . 2004, Mengkritisi Peradaban Hegemonik. Denpasar: Kajian Budaya Universitas Udayana. Beilharz, P. 2004, Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta: Bentang. Budiman, H. 2002, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. Bungin, Burhan. (Ed.) 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT
291
RajaGrafindo Persada _____ . 2006, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Burns,
Peter.,
1999,
“Paradoxes
in
Planning:
Tourism
Elitism
or
Brutalism?” Jurnal Annals of Tourism Research, Vol. 26, No. 2, 1999, hal. 329- 348 Burns, Peter M. & Holden A. 1995, Tourism, a New Perspective, London: Prentice Hall Butcher, Jim. 2006, Cultural Politics, Cultural Policy and Cultural Tourism dalam Cultural Tourism in a Participation
and
(Re)presentation.
Changing World: Politics,
Smith, K.
Melanie
& Mike
Robinson, (ed.)Great Britain: Channel View Publications Capra, F. 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya ______ . 2004, The Hidden Connections: Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru. Yogyakarta: Jalasutra. Caporaso, James A.&Levine, David P., 1992, Teori-Teori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Christomy, T & Untung Y., 2004, Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Depok. Darmadi, IGNA Eka., 2005, “Komodifikasi Realitas dalam Pariwisata Budaya”, Jurnal Kajian Budaya, P.S Kajian Budaya, Unud, Vol 3, No.6, Juli 2005, hal. 81-96 Dharmayudha, S. 2001, Desa adat: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali. Denpasar: Upada Sastra. Dwipayana, AAGN Ari., 2004, Geneologi Politik: desa adat Bali dan Ruang Demokrasi, dalam
Bali
Menuju
Jagaditha:
Aneka
Perspektif. I
Nyoman Darma Putra, (Ed.) Denpasar: Pustaka Bali Post, hal. 53-82 Elliade, Mircea., 2002, Sakral dan Profan: Menyingkap Hakikat Agama. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
292
Endraswara, Suwardi. 2003, Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Erawan, I Nyoman. 1996, Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali sebagai Kasus). Denpasar: Upada Sastra Fairclough, N. 1995, Discourse and Sosial Change. Cambridge: Polity Press Fakih, M, 2003, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Featherstone, Mike. 2001, Posmodernisme dan Budaya konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar ______ . (Ed.) 1993, Global Culture: Nationalism, GloBalization and Modernity. London: SAGE Publications Foucault, Michel. 1972, The Archeology of Knowledge and The Discourse on Language. NewYork: Pantheon Books ______ .2002, Power/Knowledge, Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang Fiske, J., 2004, Cutural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Francis, Diana, 2002, Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta: Quills Fukuyama, Francis., 2002, Trust:Kebajikan
Sosial
dan
Penciptaan
Kemakmuran. Yogyakarta: Qalam Gadamer, H.G. 2004, Truth and Method (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gandhi, Leela. 2001, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam Geertz, Clifford. 1973, The Interpretation of Cultures. Newyork: Basic Books, Inc., Publishers Geriya, I Wayan. 2000, Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Giddens, A. 1986, Central Problems in Sosial Theory: Action, structure and contradiction in sosial analysis. Berkeley and los Angeles: University
293
of California Press ______, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Penerbit Pedati ______, 2001, Tumbal Modernitas: Ambruknya Pilar-Pilar Keimanan. Yogyakarta: IRCiSoD Graem, MacRae. 1997, “Economy, Ritual and History in Balinese Tourist Town”, (tesis) Program of Doctor of Philosophy. New Zealand: School of Sosial and Cultural Studies. _____ . 1999, “Acting Global, Thingking Lokal in Balinese Tourist Town” dalam Rubinstein, R., (Ed.) Staying Lokal in The Global Village: Bali in The Twentieth Century. Hawaii: University of Hawaii Press, hal. 123-154. Halim, Fachrizal. 2002, Beragama dalam Belengu Kapitalisme. Magelang: Indonesiatera Hall, C. Michael & Hazel Tucker (Ed.) 2006, Tourism and Postcolonialism: Contested discourse, identities, and representations. London and New York:
Routledge Taylor & Francis Group
Hardiman, F. B.2000, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Posmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius _______ . 2005, Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Harker, R., & Mahar, C. 2005, . (Habitus x Modal)+Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra Hobart, Mark. 2000, After Culture: Anthropology as Radical Metaphysical Critique. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Kleden, Ignas. 1987, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES _______ . 2006, “Cultural Studies dan Masalah Kebudayaan di Indonesia”, makalah Seminar Nasional HUT X Kajian Budaya, Unud, Denpasar Lewis, Jeff. 2002, Cultural Studies, The Basic. London: SAGE Publications
294
Ltd. Lury, Celia. 1998, Budaya Konsumen. Jakarta: Yayasan Obor Janamijaya, IG. et al (Ed.). Eksistensi desa adat di Bali. Denpasar: Yayasan Tri Hita Karana Bali Jenkins, Richard. 2004, Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana Kellner, Douglas. 1994, Baudrillard: A Critical Reader. UK & Cambridge: Blackwell Publishers Kuta Ratna, Nyoman. 2005, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Lacan, Jacques. 2005, Diskursus dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Jalasutra Lubis, Akhyar
Yusuf.
2006, Dekonstruksi
Epistemologi
Modern:
Dari
Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu Long, Elizabeth., 1997, From Sociology to Cultural studies, a New Perpectives. USA: Blackwell Publisher Inc. McIntosh, Robert W dan C. R. Goulner. 1986, Tourism: Principles, Practices and Philosophies. USA: John Wiley & Sons Inc. Mariyah, Emiliana. 2006, “Kekinian Kajian Budaya di Bali”, Jurnal Kajian Budaya, P.S. Kajian Budaya, Unud. Vol. 3 No. 6, hal. 1 - 18 Maunati, Yekti. 2004, Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS McKean, Philip F., 1989, Towards a Theoretical Analysis of Tourism: Economic Dualism and Cultural Involution in Bali, dalam Host and Guest:
The
Anthropology
of
Tourism, Smith Valene
L.
(Ed.),
Philadelphia: University of Pennsylvania Press Mudana, I Gde., 2005, “Pembangunan Bali Nirwana Resort di Kawasan Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Beraban, Tabanan, Bali”, (disertasi) Program Doktor Kajian Budaya, P.S. S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Denpasar.
295
Muhadjir, Noeng.
2001.
Filasafat
Ilmu, Positivisme, PostPositivisme, dan
PostModernisme, Edisi II. Yogyakarta: Rake Sarasin Nash, Dennison. 1989, Tourism as a Form of Imperialism, dalam Host and Guest:
The
Anthropology
of
Tourism, Smith Valene L.(ed.) .
Philadelphia: University of Vennsylvania Press Nawawi, Hadari dan Martini H., 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Norris, Christopher., 2003, Membongkar Teori Dekonstruksi
derrida.
Yogyakarta: Penerbit Ar-Ruzz Nuryanti, W.(Ed)., 1996, Tourism and Culture, Global Civilization in Change. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. O’Sullivan, Tim, et al., 1994, Key concepts in Communication and Cultural Studies. London and New York: Routledge. Parimartha, IG., 2004, Desa adat, Desa Dinas dan desa adat di Bali: Tinjauan Historis Kritis, dalam Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik, . I Wayan Ardika dan Darma Putra (ed.)
Denpasar: Fakultas Sastra
Universitas Udayana dan Bali Mangsi Press, hal. 13-43 Parson, Wayne. 2005, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Prenada Media Philpot, Simon. 2001. Meruntuhkan Indonesia: Politik Poskolonial dan Otoritarianisme. Yogyakarta: LkiS Perlas, Nicanor. 2000, Shaping Globalization: Civil Society, Cultural Power and Three Folding. Philippines: CADI & GlobeNet3 Picard, M., 2006, Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPGForum Jakarta-Paris Piliang, Y.A., 2003, Hiper Semiotika, Telaah Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. ______, 2005, “Cultural
Studies
dan
Posmodernisme:
Isyu, Teori
dan
Metode”, makalah Seminar Cultural Studies Program Magister dan Doktor Kajian Budaya, Universitas Udayana, Denpasar. ______ . 2005, Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas.
296
Yogyakarta: Jalasutra Pitana, I G. 1994, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: Offset B.P. ______ & Gayatri, G.P. 2005, Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi. ______ et al. 2000, Kuta Cermin Retak Pariwisata Bali. Denpasar: Penerbit BP ______. 2000, Cultural Tourism in Bali: A Critical Appreciation. Denpasar: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Pariwisata Universitas Udayana Pujaastawa, IBG. 2006, Anarki Kapitalisme dalam Pariwisata, dalam Wacana
Antropologi:
Kusumanjali untuk
Drs.
I Wayan
Griya,
Pujaastawa, IBG (ed.) . Denpasar: Pustaka Larasan, hal.174-186 Pusat
Penelitian
Kebudayaan
dan
pariwisata.
2006, “Rencana
Induk
Pengembangan Pariwisata Bali” (Laporan tidak diterbitkan), Kerjasama dengan Dinas Pariwisata Provinsi Bali Richards, G. 1997, Cultural Tourism in Europe, UK: CAB Internasional. ______ . 2003, Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana ______ & Douglas J.Goodman, 2004, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media ______ . 2001, Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka Sanit, Arbi. 2003, Sistem Politik Idonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Salim, Agus. 2002, Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana Simon, R., 2004, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Smith, Linda T. 2005, Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: Insist Press Soros, George. 2002, Krisis Kapitalisme Global: Masyarakat Terbuka dan Ancaman Terhadapnya. Yoygyakarta: Qalam Sosialismanto, Duto. 2001, Hegemoni Negara: Ekonomi Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama Spivak, Gayatri C. 2003, Membaca Pemikiran Jacques Derrida, Sebuah
297
Pengantar. Yogyakarta: Ar-Ruzz Steger, Manfred B. 2006, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta: Lafadl Pustaka Suastika, I M., 1997, Calon Arang dalam Tradisi Bali: Suntingan Teks, Terjemajan, dalam Analisis Proses Pem-Bali-an. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Sudikan, S. Y. 2001, Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana. Sujaya, I Made. 2002, Sepotong Nurani Kuta: Catatan Seputar Sikap Warga Kuta dalam Tragedi 12 Oktober 2002. Kuta: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kuta. Sumadi, I Ketut, 2009, Modal Budaya Sebagai Dasar Pengembangan Pariwisata di Desa Adat Kuta. Disertasi, Program S3 Kajian Budaya, Universitas Udayana Susanto, Budi S.J. 2003, Politik dan Poskolonialitas di Indonesia.Yogyakarta: Kanisius Sutrisno, M. & H. Putranto (Ed.) 2004, Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius Suwarsono, Alvin Y. So. 2000, Perubahan Sosial dan Pembangunan, Jakarta: LP3ES Suyanto, Bagong & Sutinah (Ed.)2005, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Pendekatan Alternatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Sztompka, Piötr. 2005, Sosiologi Perubahan sosial. Jakarta: Prenada Media Truong, Thanh-Dam.1992, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES Turner, Bryan. 2003, Teori-Teori Sosiologi Modernitas dan Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Wiana, I Ketut. 2004, Menuju Jagadhita: Tri Hita Karana Sehari-hari, dalam Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. I Nyoman Darma Putra (ed.), Denpasar: Pustaka Bali Post, hal. 263 – 254
298
LAMPIRAN : 1. Daftar Informan 2. Panduan Wawancara
299