SISWI HAMIL DAN UN Nanang Martono Hari ini ribuan pelajar SMA ...

14 downloads 78 Views 13KB Size Report
Siswi yang hamil dianggap sebagai siswa yang akhlaknya kurang baik, tidak dapat menjadi contoh bagi teman-temanya. Mereka dianggap tidak etis dan ...
SISWI HAMIL DAN UN Nanang Martono Hari ini ribuan pelajar SMA kembali menghadapi UN (Ujian Nasional) di sekolah masing-masing. Keberadaan UN bagi sebagian besar pelajar adalah sebuah momok yang menakutkan. Tidak heran jika banyak di antara mereka yang melakukan berbagai “ritual”, mulai belajar, berdoa, dan sholat bersama, sampai beberapa di antaranya juga ada yang meminta petunjuk paranormal. Singkatnya mereka rela melakukan berbagai usaha asalkan mereka dapat lulus UN. Hak Siswa Mengikuti UN adalah hak siswa yang telah menempuh pendidikan selama sekian tahun. Namun, sering kali ada beberapa faktor yang dinilai menjadi penghambat bagi seorang siswa untuk mengikuti UN. Salah satunya adalah siswi yang hamil. Beberapa pemberitaan di media massa menyebutkan sebagian pemerintah daerah melarang siswi yang hamil untuk mengikuti UN. Alasannya bukan alasan kesehatan fisik, namun lebih pada masalah moral. Siswi yang hamil dianggap sebagai siswa yang akhlaknya kurang baik, tidak dapat menjadi contoh bagi teman-temanya. Mereka dianggap tidak etis dan mencederai dunia pendidikan. Alasan tersebut tidak selalu benar. Siswi hamil ketika menempuh pendidikan tidak melanggar norma dan etika. Mereka bukanlah pihak yang salah dalam hal ini. UU perkawinan yang berlaku di Indonesia bahkan membolehkan seorang wanita menikah di usia 16 tahun. Ini artinya, di usia SMA mereka sudah diperbolehkan menikah. Sehingga, menghalangi siswi hamil mengikuti UN adalah peraturan yang melanggar UU perkawinan. Peraturan tersebut harus dikoreksi. Hamil sebelum menikah Siswi yang hamil di luar nikah juga harus diperbolehkan mengikuti UN. Terlepas dari alasan etika, norma dan agama, mereka tidak seharusnya diposisikan sebagai korban yang harus menanggung segala risiko atas perbuatannya. Mengapa hanya siswi yang menjadi fokus perhatian? Bagaimana dengan siswa yang menghamilinya? Ini adalah sebuah bentuk ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mendiskriminasi pihak perempuan. Sekolah tidak pernah melakukan koreksi diri. Siswi adalah bagian dari sistem yang sangat besar. Di sekelilingnya ada keluarga, sekolah dan masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya juga harus disalahkan. Keluarga gagal menanamkan nilai-nilai fundamental. Sekolah gagal melakukan pendidikan nilai. Masayarakat gagal mengontrol perilaku siswa. Media massa gagal memberikan tayangan yang mendidik. Semuanya turut berperan. Masalah pelanggaran nilai agama, itu bukanlah wewenang sekolah untuk menghakimi dan memutuskan bahwa siswi tersebut bersalah. Dan akhirnya sekolah memberikan hukuman setimpal bagi siswi tersebut. Peran sekolah adalah melakukan pendidikan dan pembinaan moral siswanya. Hukuman adalah bagian pembinaan ini, dan seharusnya hukuman yang diberikan siswa bersifat pembinaan

dan kontrol. Hukuman yang diterapkan sekolah bagi siswa yang hamil sebelum menikah lebih diorientasikan hanya untuk mempertahankan citra sekolah. Sekolah tidak ingin nama baiknya tercoreng hanya karena salah satu siswinya hamil sebelum menikah. Hal serupa juga berlaku ketika sekolah memperlakukan siswa yang melakukan tindakan negatif, tawuran dan tindakan kriminal lainnya. Hukuman ala kapitalis Motivasi sekolah menghukum siswa bukan didasarkan pada motivasi untuk mendidik, namun lebih didasarkan pada kepentingan praktis dan bisnis sekolah. Mereka tidak ingin kehilangan peminat. Sekolah menggunakan logika kapitalis. Motivasi ini menyebabkan siswa selalu berada pada posisi yang salah dan layak dihukum, sementara sekolah selalu benar. Inilah mekanisme kapitalis yang selalu menyalahkan bawahan, sementara atasan mereka tidak melakukan otokritik. Kapitalis sangat mudah memecat karyawan karena alasan menyelamatkan perusahaan. Sama halnya dengan sekolah yang lebih memilih mengeluarkan siswa dengan mempertahankan nama baik sekolah. Sekolah dan kapitalis sama-sama menerapkan prinsip zero accident. Jika anak-anak bermasalah tersebut dikeluarkan dari sekolah, siapa yang bertanggung jawab untuk mendidik mereka? Yang terjadi adalah mereka justru akan menjadi pemicu munculnya masalah baru di masyarakat. Kesempatan mereka untuk mengenyam pendidikan hilang dalam sekejap, akibatnya masa depan mereka menjadi suram. Mereka juga sulit diterima masyarakat dan akhirnya menjadi pengangguran. Dampak yang lebih parah adalah mereka selamanya akan memosisikan dirinya sebagai anak nakal, dan pikiran tersebut akan diwujudkan dalam tindakannya ketika dia dikeluarkan dari sekolahnya. Siswa dan siswi yang dinilai melanggar etika harus tetap sekolah. Reputasi sekolah dipertaruhkan dalam mengatasi masalah ini, dan nama baik sekolah seharusnya dilihat dari sejauh mana sekolah mampu mengubah tabiat siswanya, mengubah citra diri siswa yang bersangkutan. Bagaimana sekolah mampu mengubah siswa yang nakal menjadi siswa yang sangat cerdas. Inilah citra dan prestasi sekolah yang sebenarnya. Sekolah tidak seharusnya fokus pada masalah akademik saja tanpa melakukan pembinaan nilai dan etika pada siswanya. Sekolah lebih fokus pada prestasi yang bersifat fisik dengan menunjukkan sejumlah piala di ruang tamu. Evaluasi pendidikan nilai tidak berhenti pada ujian sekolah saja. Sekolah harus berkolaborasi dengan keluarga untuk mengontrol perilaku siswanya, sehingga komunikasi antara orang tua dan guru menjadi satu hal yang sangat penting. Ini bukanlah tugas yang ringan, dan inilah tantangan sekolah yang harus diapresiasi pemerintah. Pemerintah dan masyarakat seharusnya tidak menggunakan indikator fisik saja dalam menilai kualitas sekolah. Sekolah harus mampu menciptakan teknologi baru dalam mengatasi masalah ini, sehingga teknologi pendidikan tidak berhenti pada upaya meningkatkan prestasi siswa.