Membangun dan menjalin relasi dengan anak-anak bukan pekerjaan mudah.
Orangtua memang pernah menjadi anak tetapi anak belum pernah menjadi ...
Tantangan Relasi Orangtua dan Anak Membangun dan menjalin relasi dengan anak-anak bukan pekerjaan mudah. Orangtua memang pernah menjadi anak tetapi anak belum pernah menjadi orangtua. Memiliki anak mungkin merupakan hal yang mudah, tetapi menjadi orangtua memerlukan perjuangan karena sebelumnya tidak pernah belajar menjadi orangtua, karena memang tidak ada sekolah untuk menjadi orangtua. Pada saat orangtua belajar menjadi orangtua dan anak belajar menjadi anak, timbullah hambatanhambatan yang mesti dihadapi, baik oleh orangtua maupun oleh anak itu sendiri. Kemajuan jaman menyebabkan terjadinya pergeseran budaya, perubahan paradigma, perkembangan teknologi, dan sebagainya. Perbedaan generasi sekitar 20-30 tahun, dimana masa kanak-kanak yang dialami oleh orangtuanya berbeda dengan masa kanak-kanak sekarang. Umumnya orangtua memperlakukan anak-anak mereka sebagaimana orangtua mereka memperlakukan mereka saat masih kanak-kanak dahulu. Ini terjadi turun-temurun. Salah satu warisan turun-temurun itu adalah kekuasaan yang besar yang dimiliki oleh para orangtua terhadap anak-anaknya, memperlakukan anak sebagai milik mereka, dan bahkan “menjadi Tuhan” bagi anak-anaknya. Anak-anak menganggap bahwa orangtuanya adalah “wakil Tuhan” yang mesti dipatuhi tanpa syarat.
A. Peran anak di dalam keluarga Banyak orangtua meyakini bahwa anak adalah “titipan Tuhan”, oleh karenanya anak mesti dibesarkan dengan sebaik-baiknya, sebagai bentuk tanggung-jawab orangtua kepada Tuhan yang menitipkan anak itu. Sesungguhnya kalau dikaji lebih jauh, maka: a. Untuk apa Tuhan menitipkan anak kepada orangtuanya? b. Titipan adalah milik orang lain, bukan milik orangtuanya. c. Sebagai titipan, suatu saat akan diambil kembali oleh pemiliknya. Anak adalah anugerah Tuhan yang mengikat, yang diberikan kepada pasangan suami-istri, sebagai buah-cinta di antara keduanya. Di dalamnya tercermin pengertian tentang hak dan sekaligus kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya.
Seringkali orangtua kebingungan ketika ditanya, untuk apa punya anak. Alasan yang umum adalah: a. Anak adalah penjamin masa depan, yang akan mengurusi orangtua ketika sudah tua nanti. b. Anak adalah tenaga kerja, yang membantu orangtua bekerja. c. Anak adalah properti, sama seperti rumah, kendaraan, atau properti lainnya. d. Anak adalah sumber kebanggaan, yang membuat orangtuanya bangga jika anaknya sukses. e. Anak merupakan pemenuhan tuntutan sosial, malu kalau tidak punya anak atau dianggap mandul. f. Anak adalah proses biologis-alamiah, penerus keturunan. g. Anak adalah kesempatan untuk memperbaiki kegagalan orang tua. Seringkali pasangan suami-istri merasa belum lengkap tanpa kehadiran anak-anak di dalam keluarga, tetapi tidak jarang orangtua justru menyia-nyiakan kehadiran anaknya. Kehadiran anak semestinya memperkaya kehidupan berkeluarga, bukan semata-mata menjadi beban orangtua mulai sejak kehamilan sampai anaknya menjadi orangtua. Kehadiran anak seharusnya merupakan lem yang mempererat relasi suami-istri dalam upaya mempertahankan keutuhan keluarga. Harapan ini akan terwujud jika orangtua mampu membangun relasi yang baik dengan anakanaknya, membantu terbentuknya relasi yang baik di antara sesama anaknya, dengan terlebih dahulu membangun relasi yang baik di antara pasangan suami-istri itu sendiri.
B. Mengenal Anak secara utuh Umumnya orangtua sangat mengenal ciri-ciri biologis dan kondisi fisik dari anak-anaknya. Mereka juga mengenali watak dan prilaku dari anak-anaknya. Orangtua juga mesti mengenali kompetensi anak, harapan-harapannya, kegemarannya, kebutuhannya, kondisi psikologis, kenyamanannya, dan lain sebagainya. Secara terus-menerus, orangtua juga mesti memahami perasaan, kondisi, dan situasi anak, yang berubah-ubah oleh karena faktor-faktor internal ataupun faktor-faktor eksternal. Mengenal anak secara utuh seperti ini hanya bisa dilakukan jika orangtua bersungguh-sungguh memperhatikan anaknya, memiliki waktu yang dengan sengaja diluangkan untuk anaknya, dan dengan kerelaan menyadari kelebihan maupun kekurangan anak.
Relasi yang baik dengan anak dapat diwujudkan jika orangtua mampu mengenal anaknya secara utuh, bukan meminta anak yang memahami orangtuanya, karena orangtua adalah pengendali relasi dengan anak-anaknya. Dengan kata lain, relasi mesti dibangun dengan berorientasi kepada anak, bukan orangtua.
C. Mengatasi hambatan relasi dengan anak Hambatan-hambatan dalam membangun relasi yang berkualitas dengan anak merupakan tantangan sendiri bagi para orangtua. Keberhasilan orangtua menghantar anaknya menuju masa depannya sangat tergantung dari kemampuan orangtua itu sendiri dalam menghadapi dan mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Beberapa hambatan yang umum terjadi dan berdampak cukup penting dalam relasi orangtua dan anak, adalah:
1. Ambisi orangtua Masa depan anak seyogyanya menjadi milik anak, bukan milik orangtuanya. Ambisi orangtua bisa jadi membunuh masa depan anak, yaitu ambisi untuk membentuk anak seperti yang diinginkan oleh orangtuanya, tetapi bukan menjadi keinginan anak. Ambisi orangtua ini bisa merusak relasi dengan anak.
2. Keseragaman dan harmonisasi orangtua Anak sering dibuat bingung ketika meminta pendapat orangtuanya, jawaban ayah dan ibunya berbeda dan seringkali malah saling bertentangan. Latar belakang sang ayah dan ibu adalah penyebab utama tidak terbentuknya keseragaman dan harmonisasi di antara kedua orangtua itu. Relasi orangtua dan anak sangat ditentukan oleh keseragaman pola pandang dan pola pikir dari kedua orangtuanya.
3. Penegakan Disiplin dan kepatuhan anak Ada banyak teknik dalam menegakkan disiplin anak, dan teknik yang termudah adalah dengan cara otoriter, menggunakan kekuasaan orangtua untuk memaksa anak menjadi patuh dan tunduk terhadap kehendak orangtua. Sesungguhnya kekuatan dan kualitas relasi orangtua dan anak justru jauh lebih ampuh dibandingkan teknik disiplih yang manapun. Penegakan disiplin yang semena-mena akan merenggangkan relasi dengan anak. Perlu disadari bahwa orangtua tidak dapat memaksa anaknya untuk patuh, karena kepatuhan itu datangnya dari anak, bukan dari orangtua.
4. Luka batin anak Sebagian besar anak pernah mengalami perlakuan yang menyebabkan luka batin, dan sebagian besar penyebab luka batin berasal dari orangtuanya. Luka batin pada masa kanak-kanak sangat sulit dihapuskan, terus membekas sampai anak itu besar. Luka batin yang dialami anak, tidak saja menghambat perkembangan anak tetapi juga menjadi penyebab memburuknya relasi dengan orangtuanya.
5. Kegagalan membangun Komunikasi yang setara Seringkali orang tua merasa lebih penting untuk memberikan nasehat dari pada mendengarkan anak, padahal keduanya sama-sama penting. Relasi yang setara antara orangtua dan anak akan efektif kalau keduanya mau saling mendengarkan. Diperlukan keterampilan dalam berkomunikasi dengan anak, serta melatih anak agar anak mampu mengungkapkan perasaannya. Orangtua yang mau mendengarkan anak akan membuat anak merasa berarti dan dihargai. Inilah yang diharapkan anak dari orangtuanya.
6. Kegagalan menjadi idola bagi anak Dalam pertumbuhannya, anak membutuhkan sosok atau figur yang bisa menjadi idolanya, dan akan lebih efektif jika sosok itu adalah orangtuanya, karena anak akan memiliki kesempatan yang lebih luas untuk meniru perilaku yang baik dari idolanya itu. Orangtua memiliki kesempatan besar untuk menjadi idola bagi anak-anaknya, jauh melebihi orang lain yang hebat sekalipun. Oleh karenanya orangtua disebut sebagai guru yang primer dan tak tergantikan. Relasi dengan anak akan meningkat secara signifikan jika orangtua mampu menjadi idola bagi anak-anaknya. Membina iman anak diyakini tidak berhasil jika orangtua menggurui anaknya. Orangtua mesti menjadi teladan, memberi contoh sehari-hari, agar itu pula yang dilakukan oleh anaknya.
7. Kemampuan memahami kelemahan dan kebutuhan anak Orangtua mesti meyakini bahwa Tuhan memberikan karunia talenta kepada setiap orang, masing-masing menerima karunia yang berbeda-beda. Orangtua yang berorientasi kepada kelemahan anak, apalagi dengan mengabaikan kelebihan anak, akan membuat anak berbohong untuk menutupi kesalahan atau kelemahannya, menghindari kemarahan orangtuanya.
8. Menganggap anak masih kecil dan tak tahu apa-apa Seringkali orangtua lupa bahwa setiap hari anaknya tumbuh semakin dewasa.
Orangtua selalu menganggap anaknya masih kecil, masih belum mengerti apa-apa. Perlakuan seperti ini akan menghambat kemandirian anak, sementara relasi pun akhirnya tidak berkembang sesuai dengan perkembangan anak.
9. Kekhawatiran yang berlebihan Menyadari akan banyaknya rintangan dan bahaya yang mungkin dihadapi anak seringkali membuat orangtua merasa was-was yang berlebihan, menganggap anaknya lemah dan belum mampu menghadapi rintangannya, yang akhirnya menghasilkan anak yang lemah dan rentan. Orangtua pun akhirnya mengeluarkan banyak aturan dan larangan bagi anaknya, yang pada akhirnya juga akan menghambat relasi. Semestinya orangtua berperan mendampingi anaknya menghadapi rintangannya, bukan mengambil alih rintangan yang mesti dihadapi anaknya.
D. Penutup Memiliki anak, bagi sebagian besar orangtua, bukanlah hal yang sulit. Tetapi menjadi orangtua bagi anak-anaknya adalah perjuangan dan kerja keras. Untuk bisa menjadi orangtua, mengerti masalah-masalah pendidikan anak, psikologis anak, ataupun pengetahuan sosial lainnya, tentu akan membantu. Tetapi di luar semua itu, syarat mutlak menjadi orangtua adalah “unconditional parental love”, yaitu kasih sayang orangtua yang tulus.
Paroki Santo Yosef, Kepundung Minggu, 22 Mei 2011 Disadur dari berbagai sumber oleh Pasutri Sandy – Erna.