Kepemimpinan Kiai Ach. Muzakki Syah sebagai sosok kiai memiliki keunikan-
keunikan. Yaitu dengan modal kepemimpinan spiritual kharismatik, Kiai Muzakki
...
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
KEPEMIMPINAN SPRITUAL KHARISMATIK (Telaah Kritis Terhadap Kepemimpinan KH. Achmad Muzakki Syah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qodiri) Oleh: M. Walid1
ABSTRAK
Tugas seorang kiai memang multifungsi: sebagai guru, muballigh (penceramah), sekaligus manajer. Sebagai seorang guru, kiai menekankan kegiatan pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki kepribadian muslim yang utama. Sebagai muballigh, kiai berupaya menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun berdasarkan (amar ma’ruf nahi munkar). Dan sebagai manajer, kiai memerankan pengendalian dan pengaturan pada bawahannya. Kepemimpinan Kiai Ach. Muzakki Syah sebagai sosok kiai memiliki keunikan-keunikan. Yaitu dengan modal kepemimpinan spiritual kharismatik, Kiai Muzakki dapat eksis dan berhasil menularkan pengaruhnya kepada santri maupun masyarakat luas. Hal ini dapat ditelusuri dari perkembangan santri yang mondok sudah mencapai 4000 orang santri dan santriwati yang berada di dalam pesantren. Sementara itu, pengaruh Kiai Muzakki di luar pesantren sangat besar dengan adanya jama’ah manaqib yang datang dari penjuru tanah air. Key Word: kiai, guru, mubaligh, manager Pendahuluan Berbicara tentang kepemimpinan di kalangan pesantren, kiai merupakan aktor utama. Posisi kiai tersebut yang memungkinkan kiai sebagai perintis pesantren, pengasuh, dan yang menentukan mekanisme belajar dan kurikulum serta mewarnai pesantren dalam kehidupan seharihari sesuai dengan keahlian dan kecenderungan yang dimilikinya. Karena itu, karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui profil kiainya. Kiai ahli fikih akan mempengaruhi pesantrennya dengan kajian fikih, kiai ahli ilmu ‛alat‛ juga mengupayakan santri di pesantrennya untuk mendalami Adalah kandidat Doktor pada Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Jember. Dosen Sekolah Tinggi Al-Falah As-Sunniyah (STAIFAS) Kencong Jember dan Dosen STAIN Jember. 1
13
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
ilmu ‛alat‛, begitu pula dengan keahlian lainnya juga mempengaruhi idealisme fokus kajian di pesantren yang diasuhnya (Qomar, 2002: 64). Tugas seseorang kiai memang multifungsi: sebagai guru, muballigh (penceramah), sekaligus manajer (Farhan dan Syarifuddin, 2002: 8-69) Seorang guru, kiai menekankan kegiatan pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki kepribadian muslim yang utama; sebagai muballigh, kiai berupaya menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun berdasarkan (amar ma’ruf nahi munkar); dan sebagai manajer, kiai memerankan pengendalian dan pengaturan pada bawahannya. Berdasarkan fungsi kiai sebagai guru bagi santri dan masyarakat serta sebagai manager pesantren banyak berhubungan dengan kepemimpinan kiai pesantren sebab fungsi-fungsi tersebut merupakan bagian dari kepemimpinan kiai pesantren sebagai pendiri, pemilik dan pengasuh pondok pesantren. Sedangkan fungsi kiai, sebagai muballigh merupakan bagian dari kepemimpinan kiai panggung.2 Dari tiga fungsi tersebut, fungsi mana yang paling dominan sehingga mempengaruhi penampilan kiai? Tampaknya fungsi sebagai muballigh yang lebih mempengaruhi performance-nya, termasuk penampilan ketika mengelola pesantren. Oleh karenanya, ditemukan pola-pola manajerial serba mono dan serba informal. Menurut tradisinya, kegiatan dakwah tidak dijalankan dengan rencana yang matang, pengorganisian yang mapan maupun pengawasan yang ketat. Dengan pengertian lain, kegiatan dakwah bi al-lisan biasanya dipraktikkan ala kadarnya. Bertitik tolak dari tiga fungsi kiai tersebut, Nur Syam menambahkan lagi tiga fungsi kiai: Pertama, sebagai agen budaya. Kiai memainkan peran sebagai penyaring budaya yang merambah masyarakat: Kedua, kiai sebagai mediator, yaitu menjadi penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat, terutama kelompok elite, dengan elemen masyarakat lainnya. Ketiga, sebagai makelar budaya dan mediator. Kiai menjadi penyaring budaya sekaligus penghubung berbagai kepentingan masyarakat (Syam, 2005: 79-80). Pendapat Nur Syam ini tampaknya dialami oleh penelitian Clifford Greertz yang manyatakan bahwa kiai berperan sebagai cultural broker (makelar budaya) yaitu kemampuan kiai untuk melakukan filterisasi terhadap budaya asing yang distortif terhadap budaya pesantren. Di kalangan masyarakat, kiai mendapat posisi yang terhormat. Kiai senantiasa diperlukan sebagai orang tua atau sesepuh sehingga bisa menjadi tempat mengadu dalam berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Misalnya, persoalan sosio-kultural, sosio-politik, sosio ekonomi, maupun persoalan-persoalan pembanguan desa, bahkan tidak jarang menyangkut masalah kesehatan.
14
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
Penghargaan masyarakat kepada kiai begitu tinggi karena masyarakat semacam ini, kiai dianggap sebagai bapak yang selalu mendidik dan tidak mungkin menyesatkan, sehingga mereka menaruh kepercayaan penuh padanya. Konsekuensinya, (segala) perintah kiai mendapat respons yang tinggi dari masyarakat. Oleh karena itu, kiai menjadi patron bagi masyarakat sekitar terutama yang menyangkut kepribadian utama. Sebagai patron, ‛kiai‛ dalam pandangan Martin Van Bruinessen, ‛memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru‛3. Ia bukan sekedar menempatkan dirinya sebagai pengajar dan pendidik santri-santrinya, melainkan juga aktif memecahkan masalah-masalah krusial yang dihadapi masyarakat. Ia memimpin kaum santri, memberikan pembimbingan dan tuntunan kepada mereka, menenangkan hati seseorang yang sedang gelisah, menggerakkan pembangunan, memberikan ketetapan hukum tentang berbagai masalah aktual, bahkan tidak jarang ia bertindak sebagai tabib dalam mengobati penyakit yang diderita orang yang mohon bantuannya. Maka kiai mengemban tanggung jawab moral-spritual selain kebutuhan materi’il. Tidak berlebihan jika terdapat penilaian bahwa figur kiai sebagai pemimpin kharismatik menyebabkan hampir segala masalah kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya harus dikonsultasikan lebih dahulu kepadanya sebelum mengambil sikap terhadap masalah itu.4 Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kiai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem sosio-psikis-kulturalpolitik-religius menyebabkan kiai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang kelompok orang Islam yang disebut Clifford Geertz sebagai ‛abangan‛ secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai. Sehubungan dengan peran pondok pesantren dan kiai dalam perubahan sosial masyarakat, setidaknya kiai disebut sebagai elite agama yang menduduki posisi ganda, yaitu selaku pemimpin spiritual, yaitu pemimpin yang senantiasa aktif mengajarkan etika dan moralitas keagamaan di masyarakat, misalnya bagaimana beribadah yang baik dan Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), 21. Nazaruddin et al., Seri Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan Kerja, (Jakarta: Depag RI, 1986), 28 3 4
15
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
benar, bagaimana bertani yang islami, bagaimana berdagang yang Islami, pelayan masyarakat maupun juga aktivis dalam politik, yaitu aktifitas Kiai yang kadang kala senantiasa menjadi tempat rujukan untuk beraplikasi dengan partai dan kelompok tertentu. Keberadaan kiai dengan posisinya sebagai elite agama, memiliki peran khas di tengah-tengah masyarakat, yaitu sebagai pemimpin spiritual. Posisi sebagai pemimpin spiritual itu biasanya diperoleh melalui inherited status (proses pewarisan)5. Hubungan antara kiai dengan umatnya bersifat emosional, dalam jarak yang dekat, membentuk hubungan bapak-anak (paternalistik) dan patron-klein, di mana pemberi dan penerima nasehat mampu membentuk ikatan yang kukuh. Pola hubungan seperti ini akan melahirkan sikap-sikap loyal dan kepatuhan yang tinggi kepada sang patron. Para jamaahnya melihat kiai sebagai sosok manusia yang berilmu, pewaris nabi, contoh teladan dalam kehidupan, tempat bertanya, penolonglewat bantuan doanya yang dianggap sebagai barokah-dan bahkan mereka menganggap kiai sebagai tumpuan semua persoalan dalam kehidupan. Di sisi lain, kiai sendiri berdasar atas posisi dan peranannya, selalu berorientasi pada upaya menyejahterakan umatnya paling tidak dari sisi pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi pengajaran agama Islam, tujuannya tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang Islami, ‚tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengerjakan kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Di antara cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan‛. Kiai yang mengajarkan mata pengajian bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan sehari-hari. Sang kiai sangat besar perhatiannya terhadap kemampuan santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya. ‚Karena hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak disentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan dari cara-cara D. Karl,Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafitti, 1990), 203 5
16
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
mensucikan diri untuk melakukan ibadah ritual, hingga kepada ketentuan prosedural tata niaga yang diperkenankan oleh agama, maka pemberian pengajian oleh sang kiai kepada santrinya sama saja artinya dengan sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri. Nilai-nilai (values) yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari-hari inilah yang dikenal dengan nama ‚cara kehidupan santri‛. 6 Wawasan untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di kelak kemudian hari, menempati kedudukan yang penting dalam tata nilai di pesantren, yang kemudian diterjemahkan deagan keikhlasan. Keikhlasan itu sangat menjiwai pada seluruh kehidupan di pesantren. Di segi lain dari pandangan hidup pesantren adalah kesediaan yang tulus untuk menerima apa saja kadar yang diberikan oleh kehidupan, terutama bila dipandang dari sudut kehidupan materiil, ia akan merasa puas selama pandangan ukhrowiyah telah terpenuhi, yang kemudian diistilahkan dengan ‚qona’ah‛. Sang kiai dalam pesantren merupakan figur yang berdiri kokoh di atas kewibawaan moral, yang bisa membawa santri ke jalan kebenaran dan melangkah meninggalkan kesesatan. Cukup besar wibawa kiai atas diri santri, sehingga santri terbiasa menjadikan kiai sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moril dalam kehidupan pribadinya. Maka tidak mengherankan bila seorang santri itu akan selalu hormat dan ta’dhim terhadap kiainya dan implikasinya ia akan tetap ta’dhim dan hormat serta menghargai kepada orang yang secara hirarki lebih dari dirinya. Bertitik tolak dari realitas kiai pesantren tersebut, ternyata kepemimpinan kiai Ach. Muzakki Syah memiliki keunikan-keunikan, yaitu dengan modal kepemimpinan spiritual kharismatik beliau dapat eksis dan berhasil menularkan pengaruhnya kepada santri maupun masyarakat luas. Hal ini dapat ditelusuri dari perkembangan santri yang mondok sudah mencapai 4000 orang santri dan santriwati.7 Sedangkan pengaruhnya di masyarakat luas dapat ditelusuri dari perkembangan jemaah dzikir manaqib syekh Abd. Qodir Jailani yang hadir setiap malam Jum'at lagi dimana lebih dari 250.000 jemaah (menurut alat syuting Ibu Siti Fadilah Supari, ketika jadi Menkes) hadir di Pondok pesantren Al-Qodiri yang terdiri dari Jawa Timur, Cirebon, Jakarta, Lampung dan Malaysia. Dan kehadiran mereka tidak melalui undangan. Masyarakat hadir ke Pondok Pesantren Al-Qodiri dengan sebuah matan
Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur dalam Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1990), 42 7 Posmo, Edisi 586, 11 Agustus 2010 dan Majalah Dzikir Pencerah Hati Umat, No. 006, November 2007 : 80. 6
17
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
untuk ikut berdzikir bersama-sama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan sebuah keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan Nilai Barokah dan Rahmat dari Allah. K.H Achmad Muzakki Syah mengakui, awalnya peserta dzikir manaqib hanya beberapa orang. Namun, dengan efektifitas dan daya kabul yang tinggi dalam meloloskan berbagai hajat, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pengikutnya, gerakan dzikir tersebut berkembang pesat. Tidak hanya di kawasan Jember dan sekitarnya, namun sudah merambah keseluruh penjuru dunia. Sebut saja Malaysia, Brunei Darussalam, India, Australia, Mesir dan Arab Saudi. 8 Ditegaskan Kiai Muzakki, kendati memiliki peserta mencapai ratusan ribu orang, namun mereka tidak memiliki kartu anggota, "Orang yang ikut dzikir manaqib datang dari berbagai kalangan dan daerah. Mereka datang karena kuasa Allah dan mereka tidak punya kartu anggota". ungkapnya Makanya tak heran jika setiap kamis malam (malam Jumat) jamaah yang hadir ribuan orang. Jika dzikir manaqib hari biasa jumlahnya 5.000 sampai 7.000 orang, dihari besar yaitu pada malam jumat legi mencapai 500.000 orang. Tua-muda, lelaki dan perempuan berpakaian serba putih mengikuti dzikir manaqib KH.Muzakki. Pada malam itu maka seluruh masyarakat jember larut dalam balutan dzikir manaqib pimpinan KH.Muzakki, manfaat dari dzikir manaqib di bawah pimpinan Imam Besar KH.Muzakki, sejatinya tidak berbeda dengan manfaat dzikir lainnya secara umum yakni dalam rangka taqarrubilalloh .9 Di sinilah keunikan kepemimpinan kiai H. Achmad Muzakki Syakh melalui kepemimpinan kiai tarekat mampu menghipnotis ratusan ribu jemaah dzikir manaqib yang sudah memposisikan beliau sebagai imam besar jemaah dzikir manaqib syekh Abd.Qodir Jaelani, yang memiliki kelebihan mukasyaffah (kemampuan dapat membaca sesuatu yang belum terjadi). Dan istijabah (apa yang beliau doakan kebanyakan terkabulkan oleh Allah SWT). Kelebihan Kiai H. Achmad Muzakki Syah yang bisa mukasyaffah dan istijabah serta karomah (kejadian-kejadian ajaib yang di luar nalar manusia yang diberikan Allah kepada seorang hamba-Nya yang soleh dan dekat kepada-Nya) memperkokoh posisi dan wibawa kepemimpinan KH. Achmad Muzakki Syah di mata masyarakat luas bahkan dengan sebab mukasyafah dan istijabah serta karomah tersebut telah mengantarkan posisi Kiai H. Achmad Muzakki Syah sebagai salah satu pemimpin spiritual kharismatik yang amat berpengaruh dan berwibawa di Kabupaten Jember,
8 9
Majalah Dzikir Pencerah Hati, 2007, 47 Majalah Dzikir Pencerah Hati, 2007, 48.
18
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
yang tidak sedikit di antara masyarakat yang menempatkan Kiai H. Achmad Muzakki Syah Waliyullah. Adalah karakter kepemimpinan KH. Ach. Muzakki Syah mengayomi siapa saja dan dari mana saja, merupakan tekad beliau mewakafkan seluruh hidupnya hanya untuk perubahan umat. Bila Rasulullah SAW kehadirannya dimaksudkan sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam), maka kehadiran kepemimpinan beliau bagaikan samudera tak bertepi, maksudnya siapa saja dan dari mana saja, setiap orang boleh mencicipi airnya, berlayar di atasnya, menyelaminya, mengambil ikan atau karangnya dan menikmati semua keindahan yang dikandungnya. Mengingat dakwah beliau tidak ekslusif, berorientasi pada siapa saja dan dari kalangan mana saja, maka tidak heran dakwah beliau diikuti oleh bermacam jenis umat, mulai tukang becak hingga presiden, mulai masyarakat pedesaan hingga masyarakat perkotaan, mulai kaum pinggiran berstrata bawah hingga kaum pejabat tinggi, mulai orang baik-baik hingga para preman dan hostes. "Berbeda dengan tokoh lain yang mengambil posisioning dan segmentasi tertentu dari pola dakwahnya, Kiai Ahmad Muzakki Syah tidak mengambil segmentasi tertentu secara parsial, melainkan bersifat universal dan rahmatan lil alamin. Inilah keunikan pola dakwah kepemimpinan Kiai Muzakki. Dalam pandangan Kiai karismatik ini, totalitas kemanusiaan terletak di hati, maka yang menjadi fokus dakwah beliau adalah memperbaiki aspek tersebut, mengawalnya menuju Allah lewat doa, memenuhi kebutuhan praktis mereka dan menyelesaikan problematika yang dihadapi mereka, karena itu siapapun dan dari manapun membutuhkan kesembuhan dan penyelesaian atas semua persoalannya boleh masuk dalam bahtera dakwah terapiotik Kiai Muzakki" .10 Realitas tersebut di atas menempatkan posisi K.H. Achmad Muzakki Syah dengan kiai-kiai lain di kota Jember. Sebut saja K.H. Khotib Umar Sukowono Jember. Beliau tokoh kharismatik di kota Jember berbasis Pondok Pesantren, tetapi K.H. Khotib Umar tidak punya jamaah yang begitu besar seperti K.H. Achmad Muzakki Syah, serta tidak memiliki lembaga pendidikan formal di pondoknya. Demikian pula dengan K.H. A. Muchit Muzadi. Beliau tokoh kharismatik sampai ke tingkat nasional. Beliau mantan pengurus PBNU, tetapi beliau tidak memiliki Pondok Pesantren, lembaga-lembaga formal serta jamaah dzikir manaqib. Begitu pula dengan K. Syadid Jauhari Kencong, beliau tokoh kharismatik Pengurus Besar NU sekarang, Hefni Zain, Moch. Holili, Mutiara di Tengah Samudra, Biografi, Pemikiran dan Perjuangan KH. Achmad Muzakki Syah, (Surabaya : El-Kaf, 2007), 58. 10
19
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
kendatipun beliau punya Pondok Pesantren, dan lembaga-lembaga formal sampai perguruan tinggi (STAIFAS) Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember, akan tetapi beliau tidak memiliki ratusan ribu jamaah manaqib seperti K.H. Achmad Muzakki Syah. Fakta inilah yang disoroti K.H. Said Agil Siradj sebagai berikut: Kyai Muzakki adalah salah seorang dari sedikit ulama yang memiliki keempatnya secara komplit, artinya di samping setiap hari di datangi ratusan tamu dari berbagai tempat untuk konsultasi spiritual, hari-harinya juga dihabiskan melayani undangan umat untuk berceramah, majelis dzikirnya diikuti ribuan jamaah dari dalam dan luar negeri, melengkapi itu beliau juga memiliki pesantren besar yang berdiri kokoh di atas tanah seluas 28 hektar dengan jumlah santri empat ribu lebih" .11 Jadi dapat disederhanakan, bahwa kepemimpinan spiritual kharismatik K.H. Achmad Muzakki Syah bermuara pada kelebihan-kelebihan beliau yang mukasyafah, istijabah dan karomah. Tiga kelebihan di atas yang mengantarkan K.H. Achmad Muzakki Syah sebagai sosok sufi kota, sebagaimana dikutip di Majalah Dzikir Pencerah Hati, sebagai berikut: Tidak semua orang mampu hening di tengah gelombang bising, mampu berdzikir di tengah gelombang pikir, mampu tulus di tengah gelombang palsu, mampu menangis di tengah gelombang tawa, mampu ikhlas di tengah gelombang dinamis, dan mampu bersufi tanpa meninggalkan aspek kewajaran yang berlaku di masyarakat. K.H. Achmad Muzakki Syah, satu di antara sekian kiai yang memilih melakoni pilihan hidup seperti itu. Di kalangan ulama di Jawa Timur, K.H. Achmad Muzakki Syah digolongkan sebagai seorang sufi kota atau sufi kontemporer. Istilah ini tidak tertulis di dalam literatur tasawuf. Ia hanyalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada penerapan pola hidup sufi di tengah kehidupan kota yang cenderung materialis. Dalam konsep K.H. Achmad Muzakki Syah, pola hidup sufi dilukiskan dengan pernyataan, ‚Jangan bergaul dengan Allah SWT. kecuali dengan muwafaqoh (mentaatinya). Jangan bergaul dengan sesame makhluk kecuali dengan munasabah (saling menyayangi). Jangan bergaul dengan nafsu kecuali dengan mukhalafah (menundukkannya), dan jangan bergaul dengan setan kecuali dengan muharabah (memeranginya). 12 Realitas ini ternyata kontradiktif dengan dinamika kehidupan masyarakat yang telah terinjeksi dengan pola-poa hidup global yang SKH. Said Agil Siradj, pengantar dalam, Hefni Zain, Moch. Holili, Mutiara di Tengah Samudra, Biografi, Pemikiran dan Perjuangan KH. Achmad Muzakki Syah, (Surabaya : El-Kaf, 2007), xiii. 12 Dzikir Pencerah Hati, 2007, 46 11
20
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
cenderung individualistis materialistis dan hedonis. Hal ini relevan dengan ungkapan Burhanuddin Daya sebagai berikut: Perubahan besar yang disambut penuh optimistis sebagai zaman renaissance atau pencerahan dan reformasi ini membuahkan sekularisme, materialisme dan nilai-nilai lain yang mengguncang kemapanan agama. 13 Dari realitas faktual tersebut di atas muncul sebuah pertanyaan apakah kepemimpinan K.H. Achmad Muzakki Syah yang cenderung berorientasi sufi yang lebih menekankan pada aspek spiritualitas batiniah, masih cukup relevan dengan pola hidup masyarakat sekarang? Faktorfaktor apa saja yang memungkinkan kepemimpinan spiritual batiniah K.H. Achmad Muzakki Syah menjadi pilihan masyarakat global yang cenderung individualistis, sekularistis dan materialistis? Dimanakah letak rahasia kepemimpinan spiritual batiniah K.H. Achmad Muzakki Syah dapat berpengaruh dan menjadi pilihan atau alternatif masyarakat global? Kajian tentang Kiai Menurut asal-usulnya, istilah kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar dengan peruntukan yang berbeda sama lain. Pertama, kiai sebagai gelar kehormatan bagi benda-benda yang dianggap keramat, misalnya Kiai Garuda Kencana, sebagai nama bagi salah satu kereta kuda milik kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar kehormatan untuk orang tua pada umumnya. Dan, ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam (ulama) yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. 14 Istilah kiai memiliki makna yang tidak tunggal. Dalam beberapa hal, nama kiai melekat terhadap berbagai status. Salah satunya adalah kiai sebagai tokoh agama. Dalam pengertian ini, kiai merupakan figur penting di dalam struktur masyarakat Islam di Indonesia. Posisi penting kiai tidak lepas dari karakteristik pribadinya yang sarat dengan berbagai nilai lebih. Pada diri kiai melekat kuat otoritas karismatik karena ketinggian ilmu agama, kesalehan dan juga kepemimpinan. Kondisi inilah yang menjadikan kiai diposisikan oleh masyarakatnya sebagai uswatun hasanah, atau contoh panutan yang baik di dalam lilngkungan masyarakatnya (Moesa, 2002: 211). Segala sesuatu yang berkaitan dengan semua sisi kehidupan kiai dijadikan rujukan oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Aspek yang diteladani oleh masyarakat tidak hanya aspek agama, tetapi semuanya termasuk urusan ekonomi, sosial, politik, budaya maupun aspek lainnya.
Burhanudin Daya, Agama Dialogis, Merenda Dealiktika-Idealitas dan Realitas Hubungan Antar Agama, (Yogyakarta: LKIS,2004),193 14 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai,( Jakarta: LP3ES, 1990),55 13
21
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Istilah kiai memiliki pengertian yang plural. Kata kiai bisa berarti: 1) sebutan bagi alim ulama (cerdik pandai dalam agama Islam); 2) Alim ulama; 3) Sebutan bagi guru ilmu gaib (dukun dan sebagainya); 4) Kepala distrik (di Kalamantan Selatan); 5) Sebutan yang mengawali nama benda yang dianggap bertuah (senjata, gamelan, dan sebagainya); dan 6) Sebutan samaran untuk harimau (jika orang melewati hutan). 15 Dahulu orang memandang seseorang yang pandai di bidang agama Islam baru layak disebut kiai bila ia mengasuh atau memimpin pesantren. Sekarang, meskipun tidak memimpin pesantren, bila ia memiliki keunggulan dalam menguasai ajaran-ajaran Islam dan amalan-amalan ibadah sehingga memiliki pengaruh yang besar di masyarakat, sering juga disebut kiai seperti Kiai Ali Yafie, Kiai Abdul Muchit Muzadi, Kiai Yasin Yusuf dan Kiai Zainuddin MZ. Hanya saja berkaitan dengan wacana politik pendidikan pesantren yang senantiasa dikendalikan kiai, maka pemakaian istilah kiai dalam konteks ini lebih mengacu pada pemahaman lama yakni kiai sebagai pemimpin pesantren, tetapi bukan hanya mengajarkan kitabkitab Islam klasik semata seperti pemahaman awal tersebut, melainkan juga meliputi pengajaran kitab-kitab modern atau kontemporer. Pemakaian istilah kiai tampaknya merujuk pada kebiasaan daerah. Pemimping pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah disebut kiai, sedang di Jawa Barat digelari ajengan. Paralel dengan kiai adalah ulama, yang merupakan istilah yang ditransfer dari dua sumber skriptural al-Qur’an dan al-Sunnah serta digunakan secara nasional. Kiai dan ulama berbeda asal usul bahasanya, tetapi memiliki esensi kualitas yang relatif sama. Keduanya, memiliki karakter fundamental yang berkualitas tinggi dalam hal iman, takwa, dan ilmu sebagai ciri khas. Gelar kiai tidak diusahakan melalui jalur-jalur formal sebagai sarjana misalnya, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus memberikannya tanpa intervensi pengaruh-pengaruh pihak luar. Kehadiran gelar ini akibat kelebihan-kelebihan ilmu dan amal yang tidak dimiliki lazimnya orang dan kebanyakan didukung pesantren yang dipimpinnya.16 Secara lebih ringkas, warga NU memberikan beberapa kriteria bagi seseorang untuk dihormati dan bisa dipanggil kiai: pertama, ia memiliki pesantren; kedua, bertakwa kepada Allah; ketiga, mengemban tugas utama mewarisi misi (risalah) rasul yang meliputi ucapan, ilmu, tekun beribadah (baik yang wajib maupun yang sunnah), zuhud (melepaskan diri dari ukuran dan kepentingan materi duniawi), mempunyai ilmu akhirat (ilmu Depag RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, Edisi II, 1991), 499 Ali Maschan Moesa, Agama dan Demokrasi; Komitmen Muslim Tradisional Terhadapa Nilai-Nilai Kebangsaan, (Surabaya: Pustaka Da’i Muda, 2002), 28 15 16
22
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
agama dalam kadar yang cukup), mengerti kemaslahatan umat atau masyarakat, dan mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dengan dilandasi niat yang benar, baik dalam berilmu maupun beramal . 17 Jadi yang dimaksud dengan kiai dalam pembahasan ini adalah kiai yang memiliki pesantren, sehingga menjadi kepemimpinan kiai pesantren. Kajian tentang Kepemimpinan Definisi Kepemimpinan Istilah kepemimpinan, berasal dari kata ‚pimpin‛. kata ‚pimpin‛ yang diawali dengan ‚ke‛ dan di akhiri dengan ‚an‛, adalah menunjukkan arti perihal memimpin. Sementara itu Anoraga, beliau mengatakan: Pemimpin adalah orang yang memimpin dan mengarahkan orang lain sehingga orang yang di pimpin itu mematuhi dengan sukarela. Pemimpin diartikan sebagai seorang yang mempunyai wewenang untuk memerintah orang lain yang di dalam pekerjaanya untuk mencapai tujuan. 18
Sedangkan menurut Keating, kepemimpinan adalah suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama. 19 Menurut Nawawi, beliau mengatakan bahwa kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang (dua atau lebih) agar bekerja sama dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama.20 Asas-Asas dan Ciri-Ciri Kepemimpinan Asas-asas kepemimpinan yang baik menurut K. Kartono; (1) kemanusiaan, mengutamakan sifat-sifat kemanusiaan. Pembimbing manusia oleh manusia, untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya setiap individu, demi tujuan-tujuan kemanusiaan.(2) Effesiensi, effesiensi tehnis atau sosial, berkaitan dengan terbatasannya sumber, material dan manusia, atas prinsip penghematan dan adanya nilainilai ekonomis, serta asas-asas managemen modern. (3) Kesejahteraan kebahagiaan lebih merata, menuju taraf kehidupan yang lebih tinggi. 21
Mudjamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2002), 58 18 Pandji Anoraga, Psikologi Kepemimpinan, (Yogyakarta: Renika Cipta, 1992),1 19 J. Keating Charles, Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 9 20 Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: UGM Press, 1993),9 21 K. Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: C.V. Rajawali Press, 1986), 61 17
23
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Dalam kaitan ini Garungan (1991: 137) tiap-tiap pemimpin sekurang-kurangnya hendaknya memiliki tiga ciri kemampuan. Yaitu : (1) persepsi sosial, yang dimaksud adalah kecakapan untuk dapat melihat dan memahami perasaan-perasaan, sikap-sikap dan kebutuhan. (2) kemampuan berpikir abstrak, bahwa pemimpin-pemimpin itu mempunyai kecakapan untuk berpikir abstrak yang lebih tinggi dari pada rata-rata anggota kelompoknya. (3) kestasbilan emosi, bahwa kestabilan dan kemantapan emosi merupakan faktor penting dalam kepemimpinan. Asas-asas kepemimpinan dan ciri-ciri kepemimpinan ini tidak ditemui di dalam kepemimpinan kiai pesantren, sebab di dalam pesantren penerimaan santri pada kepemimpinan kiai lebih disebabkan oleh pertimbangan struktural, teologis maupun kultural. Secara struktural, posisi kiai di pesantren bagaikan raja di dalam kerajaan. Jadi, kiai memiliki posisi tertinggi yang tidak mungkin ditandingi orang lain. Secara teologis, diyakini kiai dapat membantu dan memberikan kenikmatan. Sementara secara struktural, kiai sebagai orang tua, baik karena faktor usia ataupun dituakan karena kedalaman ilmunya sehingga harus dihormati dan dijadikan panutan (Qomar, 2007: 65). Robert M. Muller merumuskan kepemimpinan era globalisasi setidaknya memiliki karakteristik antara lain : a. Orientation toward people (berorientasi kepada manusia ) b. Concivu with implementation (memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap implementasi) c. Competitif spirit (semangat untuk bersaing) d. External puspective (memperhatikan dan memanfaatkan kondisi lingkungan) e. Orientation toward system (berorientasi) pada cara berpikir sistem f. Pragmatism, flexibility and ability to deal with ambiquity and pluralism (pragmatis, fleksibel dan mampu mengelola ketidakpastian dan keragaman) g. Orientation toward future (orientasi masa depan). 22 Tipe-Tipe Kepemimpinan Tipe atau tipologi kepemimpinan menurut Siagian, (1991:21) beliau mengatakan dari gaya kepemimpinan yang ada meskipun belum ada kesepakatan bulat tentang tipologi kepemimpinan yang secara luas, di kenal dewasa ini lima tipe kepemimpinan yang diakui keberadaannya yatiu otokratik, paternalistik, kharismatik, laissez faire dan demokratik. a. Tipe Otokratik
22
(Muller, 1989 dalam Kristiadi, 1997: 67-70)
24
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
Oleh Siagian dikemukakan (1991:32-33) bahwa pemimpin otokratik dalam prakteknya akan menggunakan gaya kepemimpinan yang menuntut ketaatan penuh dari bawahannya dalam menegakkan disiplin menunjukkan kekakuan, benada keras dalam pemberian perintah atau interuksi dan menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya penyimpangan oleh bawahan. Perilaku kepemimpinan ini menurut Nawawi, menunjukkan ciri-ciri antara lain: (1) pelaksanaan tugas merupakan kegiatan terpenting, untuk itu ornag yang dipimpin harus diberi instruksi-instruksi agar melaksanakan tugasnya. (2) sanksi atau hukuman dijadikan alat agar orang-orang yang dipimpinnya berusaha melaksanakan tugasnya tanpa membuat kekeliruan (1993: 83). Dalam sistem otoriter, proses kreatifitas masyarakat tumbuh lamban. Semua kegiatan keputusan terpusat pada diri pemimpin dalam hal ini pemimpin sering kali secara pihak menentukan apa, bagaimana dan kapan partisipasi para anggota harus dilaksanakan. Ciri kepemimpinan otoriter adalah tidak memberikan kesempatan kepada bawahan untuk melakukan sesuatu, tetapi harus mengerjakan sesuatu atas perintahnya dengan penyelesaian yang tepat serta menggunakan paksaan, ancaman dan kekerasan untuk menjalankan disiplin.23 b. Tipe Paternalistik Tipe paternalistik yaitu tipe kepemimpinan yang kebapakan. Seperti yang diuraikan K. Kartono (1986: 85) dengan memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) dia menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak atau belum dewasa. (2) dia bersikap terlalu melindungi. (3) jarang dia memberikan kesempatan pada bawahannya untuk mengambil keputusannya sendiri. (4) dia hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk berinisiatif. (5) tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikutnya untuk mengembangkan fantasi dan daya kreatifitas.(6) selalu bersikap maha tahu dan maha besar. Gaya kepemimpinan seorang yang paternalistic lebih bercorak pelindung, bapak dan guru. Artinya, kebersamaan bagi para anggota organisasi sedangkan pemimpin yang bersangkutan berada diatas para anggota tersebut. c. Tipe Kharismatik Kepemimpinan yang kharismatik diartikan sebagai kemampuan mengerakkan orang lain dengan mendayagunakan keistimewaan atau
Fred Luthan, Organization Behavior, (New York: MC Groaw-Hill Book Company, Third Edition, 1981), 413. 23
25
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
kelebihan dalam sifat atau aspek kepribadian yang dimiliki pemimpinan, sehingga menimbulkan rasa menghormati, segan dan kepatuhan. Kepemimpinan kharismatik didasarkan pada kualitas luar biasa yang dimiliki oleh seseorang sebagai pribadi. Pengertian ini sangat teologis, karena untuk mengidentifikasi daya tarik pribadi yang melekat pada diri seseorang harus menggunakan asumsi bahwa kemampuan dan kualitas kepribadian yang dimiliki merupakan anugerah Tuhan. Penampilan seseorang dianggap kharismatik dapat diketahui dari ciri-ciri fisiknya, misalnya matanya yang bercahaya, suaranya yang kuat, dagunya yang menonjol atau tanda-tanda lain. Ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa seseorang memiliki jiwa sebagai pemimpin kharismatik seperti kepemimpinan para nabi dan sahabatnya. 24 d. Tipe Laissez Faire Menurut Kartono, beliau mengatakan tipe kepemimpinan kebalikan dari tipe otokratik atau otoriter. Pada tipe kepemimpinan laissez faire ini sang pemimpin praktis, sebab dia membiarkan kelompoknya berbuat semua sendiri, pemimpin tidak berpatisipasi dalam kegiatan kelompoknya (1986: 85). Pemimpin semacam ini menurut Siagian (1991:38) beranggapan bahwa para anggota sudah mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada permainan yang berlaku. Seorang pemimpin seperti ini cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasinya berjalan menurut temponya sendiri dan tanpa mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan di gerakkan. e. Tipe Demokratis Kepemimpinan demokratis menempatkan manusia sebagai faktor utama dan yang terpenting dalam setiap kelompok. Tipe ini diwarnai dengan usaha mewujudkan dan mengembangkan hubungan manusiawi yang efektif berdasarkan prinsip saling menghormati dan menghargai yang satu dengan yang lain. Ralph White dan Ronald Lippi mengatakan sesuai yang dikutip oleh winardi tipe demokratis ini memiliki karakter sebagai berikut : 1) Semua police merupakan bahan pembahasan kelompok dan keputusan kelompok yang dirangsang dan dibantu oleh pemimpin. 2) Perspektif aktifitas dicapai selama diskusi berlangsung. Dilukiskan langkah-langkah umum kearah tujuan kelompok dan apabila diperlukan nasehat tehnis, maka pemimpin itu menyarankan dua atau lebih banyak prosedur-prosedur alternatif yang dapat dipilih. 3) Para anggota bebas bekerja dengan siapa yang mereka kehendaki dan pembagian tugas terserah kepada kelompok. 24
M Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad SAW, (Jakarta: PT. Yudhistira, 1989), 80.
26
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
4) Pemimpin bersifat obyektif dalam pujian dan kritiknya, ia berusaha menjadi anggota kelompok secara mental tanpa terlampau banyak melakukan pekerjaan tersebut. Keberagaman pola kepemimpinan ini juga bergantung pada tipetipe pemimpin. Sampai sekarang ini dikenal ada lima tipe pemimpin yakni otokratis, militeris, paternalistis, kharismatis dan demokratis. Pemimpin tipe otokratis ialah pemimpin yang memperlakukan organisasi yang dipimpinnya sebagai miliknya pribadi. Hanya kemauannya sajalah yang harus berlangsung. Ia beranggapan bahwa orang-orang yang dipimpinnya adalah alat semata-mata. Pemimpin tipe ini sangat mengagungkan kekuasaan formalnya. Karena itu sangat tertutup pada kritikan, saran dan pendapat orang lain. Ia beranggapan pikiran yang pendapatnya sajalah yang pasti benar, karena itu harus dilaksanakan dan dipatuhi secara mutlak. Pemimpin tipe militeristis, yang dimaksud bukan pemimpin organisasi militer, orang sipil juga bisa bertipe militeristis, ialah gaya kepemimpinannya bersifat perintah yang harus ditaati dengan sikap disiplin, kaku dan suka menghardik. Pemimpin paternalistis ialah, pemimpin yang menganggap bahawan atau orang yang dipimpinnya tidak pernah dewasa. Karena itu, ia jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi, inisiatif dan mengambil keputusan dalam bidang tugas yang dibebankan kepadanya. Pemimpin tipe kharismatis, ialah pemimpin yang memiliki daya pikat yang sangat besar. Karena itu ia beroleh banyak pengikut yang mau mengerjakan apa saja yang disuruhnya. Pemimpin tipe demokratis, ialah pemimpin yang berusaha menyinkronkan antara kepentingan dan tujuan organisasi dan kepentingan serta tujuan orang yang dipimpinnya. Ia lebih mengutamakan kerja sama dalam pencapaian tujuan. Ia terbuka terhadap kritik, mau menerima saran dan pendapat orang lain. Pokoknya dalam mengambil keputusan sering bermusyawarah. Ia tidak khawatir tersaingi oleh bawahannya, bahkan berusaha membina bawahannya agar lebih maju, selain dari dirinya sendiri terus berusaha untuk maju. 25 Kepemimpinan KH. Muzakki Syah Di kalangan masyarakat tertentu, para kiai memperoleh posisi yang amat istimewa, karena dengan kemampuan dan pengetahuannya itu mereka telah menempatkan dirinya sebagai ulama, pewaris Nabi Muhammad saw. Atau menjadi ‚penjaga‛ utama proses sosialisasi ajaran Islam. Anggapan seperti itu dalam perkembangan selanjutnya menjadi tali Nouruzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), 99-110 25
27
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
pangikat ‚emosi religius‛ baik bagi lapisan bawah (yang kebanyakan bercirikan tradisional agraris) maupun lapisan menengah yang telah mengenyam pendidikan modern. Berkembanglah kemudian hubungan ‚kiai-santri‛ yang khas dan menggambarkan suatu kepatuhan yang hampir tanpa syarat. Sikap hormat, takzhim dan kepatuhan kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri. Kepetuhan itu mutlak dan diperluas, sehingga mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan, a fortiori, ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajarinya. Kepatuhan ini, bagi pengamat luar, tampak lebih penting daripada usaha menguasai ilmu; tetapi bagi kiai hal itu merupakan bagian integral dan ilmu yang akan dikuasai.26 Tradisi kepatuhan tersebut kemudian melahirkan sikap, persepsi dan perilaku politik yang unik. Pada umumnya para jamaah yang merupakan pengikut setia kiai menjadikan fatwa sebvagai referensi utama dalam menyikapi dan mengakomodasi peristiwa dan kegiatan politik. Lebih-lebih dalam Islam terdapat anggapan bahwa semua kegiatan kehidupan termasuk politik adalah merupakan badian integral dalam agama. Karena kiai dianggap orang yang paling ‘paham agama’, maka fatwa kiai harus menjadi rujukan dalam segala bentuk kegiatan politik, baik yang bersifat antagonis maupun kompromis kepada pemerintah. Pemahaman semacam itu bisa berkembang menjadi mores atau ketentuan sosial yang harus diikuti dan dijalankan, serta melahirkan sanksi pengucilan sosial apabila diingkari. Dalam kajian kepemimpinan, mengikuti perspektif yang dikemukakan Weber, kiai bisa dimasukkan dalam otoritas tradisional dan otoritas kharismatik. Weber (1947: 358-381) membedakan otoritas menjadi tiga, yaitu otoritas rasional, otoritas tradisional dan otoritas kharismatik. Otoritas tradisional, tidak birokratik, hanya didasarkan pada tradisi, sedangkan otoritas kharismatik diperoleh seseorang kerana kharisma pribadinyam keperkasaan, keturunanm kepribadian serta kelebihan lainnya. Kharisma kiai ini memperoleh dukungan dari masyarakat karena memiliki kemantapan moral dan kualitas keilmuan, sehingga akhirnya melahirkan suatu bentuk kepribadian yang magnetis (penuh daya tarik) bagi para pengikutnyam sekalipun proses itu mula-mula beranjak dari kalangan terdekat, kemudian menjalar ke luar, ke tempat-tempat yang jauh, misalnya kharisma K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang, Kiai As’ad Syamsul Arifin dari Sutubondo dan sebagainya. Konjungtor Sosial Politik di Jagat NU Pasca KHittah 26: Pergulatan NU Dekade 90-an, dalam Elyasa K.M. Akarwis, Gus Dur dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), 18. 26
28
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
Kiai tidak hanya dikatagorikan elite agama, tetapi juga sebagai elite pesantren, yang memiliki otoritas tinggi dalam menyimpan dan menyebarkan pengetahuan keagamaan serta berkompeten mewarnai corak dan bentuk kepemimpinan yang ada di pondok pesantren. Tipe kharismatik yang melekat pada dirinya menjadi tolok ukur kewibawaan pesantren. Dipandang dari segi kehidupan santri, kharisma kiai adalah karunia yang diperoleh dari kekuatan Tuhan Sejarah pondok pesantren ini melukiskan betapa kuat pengaruh kharisma kiai pada masa tertentu. Mereka menjadi tempat berkiblat bagi santri dan pendukungnya. Segala kebijakannya yang dituangkan dalam kata-kata dijadikan referensi atau panutan. Bahasa-bahasa kiasan yang dilontarkannya manjadi bahan renungan. Posisi yang serba menguntungkan kiai ini membentuk mekanisme kerja pondok pesantren, baik yang berkaitan dengan struktur organisasi kepemimpinan maupun arah perkembangan lembaga pesantren. Dari gaya kepemimpinan kharismatik ini, Mastuhu kemudian menemukan dua pola hubungan yang unik antara kiai dan santri. Sebagaimana gaya kepemimpinan sang kiai, dua pola hubungan ini juga terdapat di semua pondok pesantren yang dijadikan sebagai obyek penelitiannya. Dua pola hubungan tersebut adalah sebagai berikut27 : Pertama, pola hubungan otoriter-paternalistik. Yaitu pola hubungan antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C. Scoot, patron-client relationship; dan tentunya sang kiailah yang menjadi pemimpinnya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya, sangat kecil, untuk mengatakan tidak ada; dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan sang kiai. Seiring dengan itu, pola hubungan ini kemudian diperhadapkan dengan pola hubungan diplomatic-partisipatif. Artinya, semakin kuat pola hubungan yang satu semakin kemah yang lainnya. Kedua, pola hubungan laissez faire. Yaitu pola hubungan kiai –santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlash, barakah, dan ibadah, sehingga pembagian kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kiai, sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. Pola hubungan ini diperhadapkan dengan pola hubungan birokratik. Yaitu pola hubungan di mana pembagian kerja dan fungsi dfalam lembaga pendidikan pesantren sudah diatur dalam sebuah struktur organisasi yang jelas.
Mastuhu, Gaya Dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren, Jakarta, Jurnal Ulumul Qur an,Volume II, No.7. 27
29
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
Dari sini dapat dipahamiu bahwa kharisma yang dimiliki atau bahkan dilekatkan, baik sadar ataupun tidak, kepada seorang kiai inilah yang kemudian menyebabkan mereka mempunyai peran kepemimpinan dalam lingkungannya. Bahkan, dengan kekharismaan yang demikian besar, kiai tidak hanya berperan sebagai pengasuh atau tokoh spiritual dalam sebuah masyarakat. Lebih dari itu, mereka juga berperan atau diperankan sebagai pimpinan masyarakat, bapak, dan pelindung.28 Menurut Max Weber, kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa disenut kepemimpinan kharisma atau charismatic autbority. Kepemimpinan jenis ini didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain. Makna identifikasi adalah keterlibatan emosional seseorang individu dengan individu lain yang akhirnya nasib orang itu sendiri berkaitan dengan nasib oranglain. Bhagi para pengikut, pimpinan adalah harapan untuk suatu kehidupan yang lebih baik untuk suatu kehidupan yang lebih baik. Ia adalah penyelamat dan pelindung.29 Seringkali seseorang dianggap berkharisma karena ada orang yang mempercayai bahwa ia mempunyai kekuatan dan keampuhan luar biasa dan mengesankan di hadapan khalayak banyak. Karenanya yang bersangkutan sering berpikir mengenai sesuatu yang gaib, meloakukan meditasi untuk mencari inspirasi, sehingga membuatnya terpisah dari kebiasaan yang dilakukan oleh orang lain. Seseorang yang berkharisma tidaklah mengharuskan semua ciri khas senantiasa melekat pada dirinya. Baginya yang terpenting adalah sifat-sifat luar biasa yang dianggap orang lain sebagai atribut dari orang itu. Para pengikut pemimpin kharismatik sering bertingkah labil dan mudah berubah-ubah. Artinya mereka telah terpengaruh oleh peran pemimpin kharismatik yang cenderung bersifat individualistik, tergantung inspirasi pemimpinnya. Dan pemimpin itu terkadang datang ke para pengikutnya manakala mereka mengahdapi kesulitan serius. Motivasi dan nasihat pemimpin yang diberikan kepada para pengikutnya diterima sebagai suatu yang mencerminkan mutu kepribadian yang luar biasa, yang diyakini bersumber dari tangan-tangan kekuasaan Tuhan. Dengan demikian, kepercayaan para pengikut terhadapnya semakin lengket, karena pemimpin dianggap memiliki kemahiran mengetahui sesuatu yang terjadi pada diri para
Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), 80-81 Max Weber, Economy and Society, I, (London, Unimenurutty of California Press, Barkeley , 1966), 358 28 29
30
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
pengikutnya. Di kalangan para anggota tarekat, istilah tersebut sering disebut ma’rifat. 30 Sesuai dengan paparan pendapat para ahli tentang kepemimpinan kharismatik, kepemimipinan K.H. Ach. Muzakki Syah adalah bermuara pada kepemimpinan spiritual kharismatik, yaitu suatu kepemimpinan yang dalam mempengaruhi dan mendoktrin para santri dan para pengikutnya berbasis pendekatan-penmdekatan ritual peribadatan, seperti sholat, dzikir, shodakoh dan sebagainya. Kamudian karena sikap istiqomah beliau maka pengaruh dan dakwah tersebut begitu mutklak dan besar pengaruhnya bagi para santri dan ratusan ribu jamaah manaqib. Ditambah lagi dengan kebiasaan beliau yang tidak pernah tidur malam, karena menghadiri pengajian dan majlis dzikir jamaah manaqib Syeh Abd. Qodir Al-Jailani yang secara rutin pukul 2 atau 3 malam baru pulang ke pesantren, kemudian beliau menemui tamunya sampai nyambung dengan salat subuh. Di antara doktrin spirual yang khas adalah bahwa semua tamu yang datang ke Kiai Muzakki Syah harus diniati untuk beribadah dan taqarrub kepada Allah. Beliau menyebut dengan istilah lillah dan billah. Lillah artinya setiap yang akan datang ke pondok Al-Qodiri harus ikhlas kerena Allah. Karena ikhlas karena Allah, maka akan billah. Semua gerak-geriknya akan bersama dengan Allah dan semua hajatnya terkabulkan. Kemudian doktrin berikutnya adalah lirraasul wabil rasul. Bahwa yang datang ke pondok AlQodiri karena mencintai Rasul. Karena mencintai Rasul maka segala tutur kata dan perilakunya mencerminkan ajaran-ajaran Rasul. Kepemimpinan spiritual kharismatik K.H. Ach. Muzakki Syah sudah diakui secara nasional, bahkan sampai di Malaysia dan Brunei Darussalam. Hal ini ditandai dengan : 1. Ada ± 4000 santri yang mondok, terdiri dari putra-putri termasuk di dalamnya pondok anak. 2. Setiap hari rata-rata 100 tamu yang hadir di pondok pesantren Al-Qodiri dengan hajat dan keperluan masing-masing. Ada yang datang untuk memondokkan anak, ada yang karena sakit, ada yang bangkrut ekonominya, ada yang ingin lulus ujian dan seterusnya. 3. Ribuan jamaah manaqib Syekh Abd. Qodir Al-Jailani yang datang secara sukarela setiap Jum'at legi melengkapi bukti pengaruh kepemimpinan beliau. Menurut alat syuting yang pernah dibawa mantan Menkes (Ibu Siti Fadhilah Supari) lebih dari 250.000 jamaah yang hadir pada setiap malam Jum'at Legi.
Anthoni Gidden, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisa Karya Max, Durkheim, dan Max Weber, (Jakarta, UI Press, 1986) 30
31
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
4. Setiap malam dalam 1 bulan, beliau mengisi ceramah di berbagai tempat tidak pernah absen, artinya jadual pengajian beliau amat padat. 5. Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah mengangkat beliau sebagai guru spiritualnya. Hal ini dibuktikan pada awal Juli 2010, beliau diminta mendampingi bapak Presiden malakukan umroh ke Makkatul Mukarromah, tapi beliau tolak, karena jadualnya berbarengan dengan Jum'at Legi. 31 Kharisma dan pengaruh beliau menjadi lebih lengkap karena diperkuat dengan kepemimpinan Tarekat, di mana beliau sebagai Imam besar dari jamaah dzikir manaqib Syekh Abd. Qodir Al-Jailani, diyakini memilliki keistimewaan berupa keahliah Mukasyafah dan Ma'rifah. Ini yang kemudian dikalangan masyarakat luas dikenal dengan istilah Bukti Nyata. Artinya setiap yang datang ke Ponpes Al-Qodiri, mereka yang sakit dengan kuasa dan idzin Allah menjadi sembuh, yang nyalon-nyalon pilkada menjadi sukses, yang punya hutang menjadi lunas dan sebagainya. Sekedar contoh terpilihnya Azwar Anas sebagai pemenang pilkada Banyuwangi, dimana selama 4 Jum’at Legi, Azwar Anas aktif di Ponpes AlQodiri dan beliau ikut selamatan dengan menyembelih kambing. Contoh yang lain adalah kasus yang dialami perusahaan Damami (Mitra Tani Mangli Jember). Ketika mengirimkan 28 kontainer ke Jepang, berdasarkan uji laboratorium di Surabaya tertulis ada unsur pestisida yang memungkinkan 28 kontainer itu ditolak. Atas dasar itu maka ada 5 orang direksi yang datang menemui K.H. Ach. Muzakki Syah, mereka memohon petunjuk Kiai bagaimana agar tulisan ada unsur pestisida yang dibawa direkturnya ke Jepang bisa terhapus. Kiai menjawab : Saya tidak bisa. Tapi ada yang bisa, yaitu Allah. Sampeyan berlima percaya bahwa Allah itu Maha Kuasa? Ya, percaya Kiai. Sampeyan berlima yang yakin bahwa Allah Maha Kuasa dan dapat merubah apa saja, seraya beliau mengoleskan minyak wangi ke tangan 5 orang direksi tadi. Perintah beliau, gosok-gosokkan tangan kalian sambil baca AlFatihah agar Allah berkenan menghapus tulisan pestisida. Maka akhirnya dengan kuasa dan idzin Allah tulisan pestisida yang dibawa oleh direktur Damamai manjadi terhapus dan 28 kontainer menjadi diterima.32 Namun demikian, dibalik pengaruhnya yang amat besar dan di tengah-tengah kesibukannya, beliau tetap komitmen kepada para santrinya dengan secara istiqomah mengimami salat 5 kali sehari semalam, mengajarkan tafsir dan sebagainya. Baliau berprinsip bahwa santri adalah
31 32
Ceramah K.H. Ach. Muzakki Syah, pada tanggal 2 Juli 2010 Wawancara tanggal 3 Juli 2010.
32
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
segala-galanya bagi beliau. Di sinilah letak keunikan beliau yang setiap mempertahankan eksistensi sebagai Kiai pesantren. Kemudian yang menjadikan kharisma beliau tetap bertahan adalah kemitmennya yang tidak mau terkooptasi dan berafiliasi dengan partai manapun. Kalaupun banyak tokoh politik yang datang menemuinya, keterpihakan beliau hanya sebatas mendo’akan kesuksesan mereka. Di samping itu beliau tidak pernah memanfaatkan kunjungan para pejabat untuk mendapatkan dana bantuan. Bahkan secara terang-terangan beliau melarang para Kepala Sekolah dan pimpinan Perguruan Tinggi untuk membuat proposal bantuan. Sikap inilah yang menjadi keunikan kepemimpinan K.H. Ach. Muzakki Syah, beliau tidak mau masuk menjadi pendukung suatu partai. Sebab kalau itu dilakukan, maka pudarlah kepemimpinan kharismatik beliau. Sebagai contoh tokoh sejuta ummat K.H. Zainuddin MZ menjadi pudar karena beliau terlibat sebagai pemimpin partai. Begitu pula dengan A.A. Gym yang pengaruhnya menjadi pudar karena baliau beristri dua. Penutup Kepemimpinan spritual kharismatik merupakan tipologi kepemimpinan yang khas pesantren. Kepemimpinan spritual kharismatik adalah kepemimpinan dengan pola hubungan otoriter paternalistik yang melahirkan bentuk patron-client relationship. Kepemimpinan spritual kharismatik juga melahirkan pola hubungan laizez faire, yaitu pola hubungan yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas, melainkan didasarkan pada konsep ikhlas, barakah dan ibadah. Kepemimpinan KH. Muzakki Syah (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qodiri Jember) bermuara pada kepemimpinan spiritual kharismatik yang ditunjang dengan kemampuan mukasyafah, istijabah dan karamah.
33
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
DAFTAR PUSTAKA
Anoraga, Pandji, 1992, Psikologi Kepemimpinan, Yogyakarta: Renika Cipta, Daya, Burhanudin, 2004, Agama Dialogis, Merenda Dealiktika-Idealitas dan Realitas Hubungan Antar Agama, Yogyakarta: LKIS Depag RI, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, Edisi II, Dhofier, Zamakhsyari, 1990, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta, LP3ES Farhan, Hamadan dan Syarifuddin, 2002, Titik Tengkar Pesantren, Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren, Yogyakarta: Pilar Religia Gidden, Anthoni,1986, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisa Karya Max, Durkheim, dan Max Weber, Jakarta, UI Press Gerungan, W.A, 1991, Psikologi Sosial, Bandung: P.T. Ereseo Haikal, Husein, M. 1989, Sejarah Hidup Muhammad SAW, Jakarta: PT. Yudhistira. Jackson, D. Karl, 1990, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafitti Kartono, K., 1986, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: C.V. Rajawali Press Keating, J. Charles, 1994, Kepemimpinan Teori dan Pengembangannya, Yogyakarta: Kanisius Kristiadi, J.B, 1997, Perspektif Administrasi Publik Menghaadapi Tantangan Abad 21, Pascasarjana, Bandung: Unpad Luthan, Fred, 1981, Organization Behavior, New York: MC Groaw-Hill Book Company, Third Edition. Maschan, Ali Moesa, 2002, Agama dan Demokrasi; Komitmen Muslim Tradisional Terhadapa Nilai-Nilai Kebangsaan, Surabaya: Pustaka Da’i Muda 34
M.Walid, Kepemimpinan Spiritual Kharismatik
Mastuhu, 1990, Gaya Dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren, Jakarta, Jurnal Ulumul Qur an,Volume II, N0.7 Nawawi, Hadari, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Yogyakarta: UGM Press Nazaruddin et al., 1986, Seri Monografi Pondok Pesantren dan Angkatan Kerja, Jakarta: Depag RI Qomar, Mudjamil, 2002, Manajemen Pendidikan Islam, Strategi Baru Pengelolaan lebaga pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga,. -----------------------, 2007, Manajemen Pendidikan Islam, Malang, Erlangga,. Shiddiqi, Nouruzzaman, 1996, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Jogjakarta: Pustaka Pelajar Offset Siagian, S.P., 1999, Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung,. Sukamto, 1999, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES. Syam, Nur, 2005, Kepemimpinan Dalam Pengembangan Pondok Pesantren, dalam A. Halim et.al (ed.) Menegemen Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,. Turner, Bryan, 1984, Sosiologi Islam, Suatu Telaah Analisa Atas Teori Soiologi Weber, Yakarta, Rajawali. Van Bruinessen, Martin, 1992, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan,. -----------------------------, 1994, Konjungtor Sosial Politik di Jagat NU Pasca KHittah 26: Pergulatan NU Dekade 90-an, dalam Elyasa K.M. Akarwis, Gus Dur dna Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LkiS Wahid, Abdurrahman, 1990, Pesantren sebagai Subkultur dalam pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES Weber, Max, 1947, Economy and Society, I, London, Unimenurutty of California Press, Barkeley
35
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 2 September 2011
----------------, 1947, 1966, The Theory Of Sosial and economic Organization, New York, The Free Press. Zain, Hefni, Moch. Holili, 2007, Mutiara di tengah samudra, Biografi, Pemikiran dan Perjuangan KH. Achmad Muzakki Syah, Surabaya : El-Kaf Posmo, edisi 586 11 Agustus 2010 Majalah Dzikir Pencetak Hati Umat, no. 004, September 2007 -------------------------------------------, No, 006, September 2007
36