meliputi kegiatan pengajuan proposal penelitian, penyebaran kuesioner
penelitian, wawancara ... Kemampuan menyampaikan layanan secara benar (K3
).
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Perubahan lingkungan usaha yang bergerak begitu pesat tidak hanya
mempengaruhi sektor perekonomian,
tetapi juga setiap aspek kehidupan
masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia. Perubahan yang terjadi telah membalikkan paradigma lama tentang pengelolaan dan pengendalian bisnis yang benar. Perubahan ini juga secara radikal mengubah pola-pola perilaku konsumen (Kotler, et al, 2003 : 27). Perubahan-perubahan yang dimaksud tersebut terdiri atas
lima kekuatan yaitu: perubahan tekonologi, politik,
sosial/kultural, ekonomi, dan perubahan pasar. Perubahan ditingkat pola perilaku
konsumen telah membawa
konsekuensi persaingan yang demikian ketat di dunia usaha sehingga mengharuskan setiap pelaku usaha untuk selalu berusaha mengikuti perubahan yang terjadi dan menyesuaikan strateginya untuk dapat merebut hati konsumen. Kotler dan Amstrong (2001 : 28) menyatakakan bahwa perubahan yang demikian cepat dapat membuat strategi yang berhasil di masa lalu menjadi usang. Memperkuat pendapat ini, Kotler dan Amstrong (2001 : 28) mengutip hasil pengamatan pemikir manajemen Drucker yang menyatakan bahwa suatu formula perusahaan yang berhasil untuk dasawarsa ini mungkin akan menghancurkan di dasawarsa mendatang. Beberapa contoh perusahaan yang dulunya besar seperti General Motors, IBM, Sears, dan Zenith semuanya kehilangan pangsa pasar yang
1
cukup besar karena mereka gagal menyesuaikan strategi pemasarannya terhadap perubahan pasar (Kotler dan Amstrong, 2001 : 25). Sebagai konsekuensi dari persaingan yang demikian ketat itu maka setiap pelaku usaha harus meletakkan pemahamannya tentang
perilaku konsumen
pada skala prioritasnya. Untuk itu, fungsi pemasaran menjadi subsistem yang menjadi tumpuan bagi setiap perusahaan untuk memerankan tugas tersebut. Kotler dan Amstrong (2001 : 6), menyatakan bahwa usaha pemasaran yang keras menentukan suksesnya perusahaan manapun – kecil atau besar, pencari laba atau nirlaba, domistik atau global. Terkait dengan itu, filosofi konsep pemasaran pun dalam perjalanan sejarahnya mengalami pergeseran orientasi – sesuai dengan perubahan perilaku konsumen - dari bermula hanya berorientasi pada produksi, kemudian bergeser ke konsep produk, penjualan, pemasaran dan sampai kepada konsep pemasaran yang berwawasan sosial (Kotler dan Amstrong, 2001 : 22). Perkembangan konsep pemasaran tersebut mengarah kepada sebuah sasaran yang muaranya adalah kepuasan konsumen. Pada era globalisasi ini, kualitas dipandang sebagai salah satu alat untuk mencapai keunggulan kompetitif, karena kualitas merupakan salah satu faktor utama yang menentukan keputusan konsumen untuk memilih suatu barang atau jasa. Tujuan dari perusahaan adalah untuk menghasilkan barang dan jasa yang dapat memuaskan konsumen. Kepuasan konsumen akan tercapai apabila kualitas barang atau jasa yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Data empiris menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu tingkat indeks kepuasan konsumen cenderung mengalami perkembangan
ke tingkat
2
yang lebih tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh hasil meliputi
survai nasional yang dilakukan terhadap 19 industri,
139 produk/merek, di mana indeks kepuasan konsumen tahun 2003
sebesar 3,890 meningkat menjadi 3,926 pada tahun 2004,
sebesar 3,952 pada
tahun 2005 dan sebesar 3, 951 (Djatmiko (2008 : 7). Perusahaan asuransi sebagai suatu perusahaan jasa, juga tidak terlepas dari upaya untuk selalu berusaha mengikuti perubahan yang terjadi, termasuk perubahan perilaku konsumen. Dengan dukungan perkembangan teknologi yang semakin canggih, konsumen akan sangat mudah melakukan akses terhadap sumber-sumber informasi, sehingga
komunikasi antar sesama konsumen pun
akan sangat mudah terjadi. Tidak jarang terjadi pengalaman yang kurang baik yang dialami oleh
konsumen pada sebuah perusahaan asuransi
akan
menyebabkan konsumen tersebut berpaling ke perusahaan asuransi lainnya. Kejadian seperti ini sudah tentu akan berpengaruh terhadap
citra
industri
asuransi secara umum, sehingga untuk masyarakat Indonesia yang belum begitu insurance minded maka hal ini
akan berpengaruh terhadap minat konsumen
untuk berasuransi. PT. Jasaraharja Putera, - dengan nama merek JP Insurance - adalah salah satu dari 94 perusahaan asuransi kerugian yang ada di Indonesia, yang berdiri setelah lahirnya Undang-Undang No. 2 tahun 1992 yaitu tentang usaha perasuransian (Anonim, 2009).
Sejak lahirnya pada November 1993, JP
Insurance telah dihadapkan pada berbagai kondisi kompetisi yang cukup berat, mulai dari persyaratan permodalan yang cukup besar, keharusan tersedianya tenaga ahli profesi di setiap kantor cabang, keharusan adanya transparansi premi,
3
keharusan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan underwriting (prudent underwriting), keharusan pencadangan modal untuk setiap jenis risiko yang dijamin, sampai keharusan adanya back-up dari re-insurance company. Semua ketentuan tersebut bertujuan untuk melindungi
kepentingan konsumen.
Maka sejak awal berdirinya JP Insurance telah menyadari betul bahwa cara untuk bisa tumbuh dan berkembang dalam persaingan yang demikian ketat ini adalah merebut hati konsumen. Pada tataran idealisme, manajemen JP Insurance telah mewujudkan komitmennya melalui visi : “menjadi asuransi terkemuka di Indonesia” serta misi : “menyediakan produk tepat guna dengan pelayanan prima”. Sejalan dengan visi dan misi perusahaan, JP Insurance Cabang Denpasar yang mempunyai wilayah operasional diseluruh Bali, selalu berusaha agar dapat mengimplementasikan visi dan misi dimaksud, sehingga kualitas layanan yang bermuara pada kepuasan dan loyalitas konsumen dapat terwujud. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh JP Insurance Cabang Denpasar untuk mengetahui kualitas layanan yang diberikan oleh karyawannya yaitu dengan menyediakan kotak saran untuk menampung setiap ungkapan perasaan yang dialami oleh pelanggan, baik berupa ungkapan kekecewaan, perasaan puas, dengan saat ini,
berupa masukan maupun saran-saran. Sampai
belum pernah ditemukan ungkapan kekecewaan maupun
perasaan tidak puas dari para pelanggannya. Namun demikian, data ini belum dapat dijadikan dasar untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa kualitas layanan yang diberikan oleh JP Insurance Cabang Denpasar telah membuat para pelanggannya puas dan loyal. Disamping karena belum memenuhi kaidah-kaidah
4
ilmiah secara lengkap seperti ukuran sampel, variabel penelitian maupun alat pengujiannya,
juga
bisa saja
ketika para pelanggan yang diminta untuk
mengungkapkan perasaannya secara tertulis kedalam kotak saran, mereka dalam kondisi psikologis ketergesa-gesaan atau dalam kondisi diselimuti perasaan ewuh pakewuh/sungkan atau malu-malu, sehingga informasi atau masukan yang diperoleh dari pelanggan belum mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini. Ketatnya persaingan yang dihadapi oleh JP Insurance Cabang Denpasar bukan berasal dari perusahaan asuransi saja, tetapi juga berasal dari perusahaan perbankan. Berdasarkan data yang diperoleh dari sekretariat Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Denpasar,
wadah organisasi perusahaan asuransi
umum/kerugian, sampai dengan November 2009, tercatat
sebanyak 38
perusahaan asuransi kerugian yang beroperasi di Denpasar, termasuk perusahaan asing. Sebanyak 24 perusahaan telah mendapat ijin dari Departemen Keuangan untuk menerbitkan surety bond, di mana salah satunya adalah JP Insurance. Selain dari sisi jumlah perusahaan asuransi, ketatnya persaingan juga diwarnai oleh praktek-praktek underwriting yang tidak sehat yang dilakukan oleh pesaing,
yang sangat menyimpang dari prinsip prudent underwriting. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukkan, ada perusahaan asuransi yang sangat berani menyerahkan blangko jaminan kosong yang sudah ditandatangani terlebih dahulu oleh pihak asuransi untuk selanjutnya diisi sendiri oleh para kontraktor/principal sesuai jaminan yang dikehendaki.
5
Pesaing dari perusahaan perbankan, berdasarkan data Bank Indonesia Cabang Denpasar sampai dengan November 2009, tercatat 80 bank umum yang beroperasi di Bali. Dengan demikian
total pelaku usaha yang menyediakan
produk surety bond atau bank garansi berjumlah 104 perusahaan. Kondisi ini menggambarkan betapa
ketatnya persaingan di bidang penyediaan jasa
penjaminan, baik berupa Surety Bond/Bonding oleh perusahaan asuransi maupun dalam bentuk Bank Garansi oleh perusahaan perbankan. Sampai saat ini memang belum ada data yang dapat memberikan gambaran berapa sebetulnya jumlah perusahaan asuransi kerugian yang ideal untuk wilayah Bali dikaitkan dengan potensi yang ada. Namun demikian, dimata konsumen, semakin banyak pilihan, akan semakin menguntungkan, karena diharapkan akan terjadi persaingan layanan yang semakin meningkat Ketatnya persaingan ini tidak terlepas dari kontribusi sektor pariwisata terhadap pembangunan Bali. Menurut hasil penelitiannya, Erawan (1999) dalam Astawa (2008 : 2), mengemukakan bahwa sektor pariwisata di Bali mampu menjadi leading sector karena dampaknya menyebar ke sektor ekonomi rakyat seperti industri kecil, industri kerajinan, dan pertanian. Hal ini pula yang mendorong banyaknya usaha-usaha pendukung sektor pariwisata seperti bank dan asuransi beroperasi di Bali. JP Insurance mempunyai produk unggulan dan bukan unggulan. Kedua kelompok produk ini dibedakan oleh sistem pemasarannya, unggulan sistem pemasarannya
dimana produk
secara door to door selling, baik melalui
pendekatan secara retail maupun secara korporasi. Sementara
6
produk bukan
unggulan sistem pemasarannya lebih banyak digandengkan dengan produk yang ada hubungannya dengan produk dari induk perusahaan PT. (Persero) Jasa Raharja, atau sistem pemasarannya memanfaatkan mitra kerja induk perusahaan seperti Organda (Organisasi Angkutan Darat), Gapasdaf (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Ferry), Perusahaan Airline dan Perusahaan Kereta Api.
Sehingga tantangan pemasaran produk unggulan tentunya lebih berat
dibandingkan dengan produk bukan unggulan. Hal inilah yang mendasari pertimbangan memilih
salah satu produk unggulan untuk dijadikan obyek
penelitian. Produk bukan unggulan diantaranya; Asuransi Tanggung Gugat Pihak Ketiga (Sigap Darat, Sigap Laut dan Sigap Udara), Asuransi Tanggungjawab Pengangkut (ATJP Kendaraan dan ATJP Barang), dan Asuransi Kecelakaan Dalam Perjalanan (AKDP). Sedangakan keempat jenis produk unggulan dimaksud adalah sebagai berikut : 1.
Surety bond dengan nama merek JP Bonding
2.
Asuransi kendaraan bermotor dengan nama merek JP Astor
3.
Asuransi kecelakaan diri pribadi dengan nama merek JP Aspri
4.
Asuransi kebakaran untuk bangunan/gedung dengan nama merek JP Graha.
Penelitian ini meneliti pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan dan loyalitas
pelanggan JP Bonding pada JP Insurance Cabang Denpasar. Ada
beberapa pertimbangan dipilihnya JP Bonding sebagai obyek penelitian; Pertama, disamping merupakan salah satu produk unggulan, kontribusi pendapatan produk
7
JP Bonding dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang meningkat dengan angka yang cukup signifikan. (Tabel 1.1).
Kedua,
sebagian besar
pelanggan JP Bonding sudah menjadi pelanggan lebih dari tiga tahun. Ketiga, pelanggan JP Bonding berbentuk badan hukum (PT dan CV), dimana domisilinya tidak berpindah-pindah, sehingga akan memudahkan untuk melakukan penelitian. Keempat, data base pelanggan JP Bonding relatif lebih lengkap dibandingkan dengan pelanggan ketiga produk unggulan lainnya. Bonding atau surety bond itu sendiri mempunyai pengertian sebagai suatu perjanjian antara tiga pihak, yaitu antara pihak pertama (surety), pihak kedua
(principal) dan pihak ketiga (obligee), dimana pihak surety memberikan
jaminan kepada pihak principal bagi kepentingan pihak ketiga (obligee), bahwa apabila principal oleh sebab sesuatu hal lalai atau gagal melaksanakan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan dengan obligee, maka pihak surety akan bertanggungjawab terhadap obligee untuk menyelesaikan kewajibankewajiban principal tersebut (Sianipar, 2001 : 2). Produk surety bond ini adalah sebagai alternatif lain dari bank garansi yang dapat dipakai menjamin proyek-proyek pembangunan yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) atau juga proyek-proyek yang dibiayai oleh pihak swasta.
1.2.
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
8
1.
Apakah kualitas layanan yang diberikan JP Insurance Cabang Denpasar berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan produk JP Bonding
2.
Apakah kualitas layanan yang diberikan JP Insurance Cabang Denpasar berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan JP Bonding.
3.
Apakah kepuasan
pelanggan
berpengaruh positif
terhadap
loyalitas
pelanggan JP Bonding.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui pengaruh kualitas layanan yang diberikan JP Insurance Cabang Denpasar terhadap kepuasan pelanggan produk JP Bonding .
2.
Untuk mengetahui pengaruh kualitas layanan yang diberikan JP Insurance Cabang Denpasar terhadap loyalitas pelanggan produk JP Bonding.
3.
Untuk mengetahui pengaruh kepuasan pelanggan
terhadap loyalitas
pelanggan JP Bonding.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis bagi para pihak yang berkepentingan, yaitu : 1.
Sebagai bahan referensi bagi para akademisi yang akan melakukan penelitian dibidang yang sama, baik untuk tujuan pendalaman penelitian sejenis, maupun untuk penelitian dari sudut kajian yang lain.
9
2.
Sebagai bahan masukan bagi para praktisi di industri asuransi, khususnya bagi JP Insurance Cabang Denpasar agar selalu berusaha meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan kualitas layanannya kepada konsumen.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Jasa Banyak para akhli telah berkontribusi memberikan gambaran tentang jasa, yang pada intinya mempunyai kesamaan satu dengan yang lainnya. Beberapa diantaranya dikutip dalam penelitian ini. Menurut Kotler (2002 : 486) jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak yang lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apa pun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik. Rangkuti (2003 : 26) mendefinisikan jasa sebagai pemberian suatu kinerja atau tindakan yang tidak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain, yang umumnya diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, dimana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut. Kedua definisi ini sama-sama menunjukkan bahwa jasa adalah sesuatu yang sifatnya tidak kasat mata, dan karena itu sudah tentu mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan barang yang kasat mata. Jasa mempunyai karakteristik yang spesifik dan unik. Berdasarkan berbagai riset dan literatur manajemen dan pemasaran jasa mengungkapkan bahwa jasa mempunyai empat karakteristik yang unik. Lovelock dan Gummeson (2004) dalam Tjiptono dan Chandra (2005 : 22) merumuskannya kedalam Paradigma IHIP : Intagibility, Heterogeneity/Variability/Inconsitensy, Insperability, dan Perishability.
11
1.
Intangibility Jasa bersifat intangible dimaknai sebagai sesuatu yang tidak dapat dilihat,
dirasa, dicium, didengar atau dirasa sebelum dibeli atau dikonsumsi. Jika barang merupakan suatu obyek, alat, material atau benda, maka jasa merupakan perbuatan, tindakan, pengalaman, kinerja, proses atau usaha (Berry, 1980, dalam Tjiptono dan Chandra, 2005 : 22). Dengan pemahaman ini, maka jasa hanya bisa dikonsumsi, tidak seperti halnya barang yang selain bisa dikonsumsi juga sekaligus bisa dimiliki. Walaupun ketika jasa tersebut dikonsumsi, seringkali didukung dan berkaitan dengan produk fisik. Sebagai contoh, kendaraan bermotor, kapal laut, dan pesawat udara dalam jasa transportasi (Tjiptono dan Chandra, 2005 : 22). Implikasi dari karakteristiknya yang intangible ini,
menurut Zeithaml,
Parasuraman dan Berry (1985) dalam Tjiptono dan Chandra (2005 : 31) jasa mempunyai beberapa masalah yaitu, jasa tidak bisa disimpan, jasa tidak dapat dilindungi dengan hak paten, organisasi jasa tidak dapat dengan mudah dan cepat menunjukkan atau mengkomunikasikan suatu jasa, dan harga jasa sukar ditentukan.
2.
Heterogeneity/variability/inconsistency Karaketristik ini memberi pemahaman bahwa
jasa bersifat sangat variabel
karena tidak ada standarisasi output, tergantung siapa, kapan dan dimana jasa tersebut diproduksi. Dengan demikian akan banyak sekali terdapat variasi bentuk, jenis dan kualitas jasa yang diproduksi. Hal ini bisa terjadi karena jasa melibatkan
12
unsur manusia dalam proses produksi dan konsumsinya. Berbeda dengan unsur mesin, manusia biasanya tidak bisa diprediksi dan cenderung tidak konsisten dalam hal sikap dan perilakunya. Menurut Bovee, Houston dan Thill (1995) dalam Tjiptono dan Chandra (2005 : 24), variabilitas kualitas jasa disebabkan oleh tiga faktor, yaitu ;
(1)
kerjasama atau partisipasi pelanggan selama penyampaian jasa; (2) moral/motivasi karyawan dalam melayani pelanggan; dan (3) beban kerja perusahaan. Masalah yang berkaitan dengan karakteristik heterogeneity adalah sangat sulit melakukan standarisasi dan pengendalian kualitas jasa (Zeithaml, Parasuraman dan Berry, 1985, dalam Tjiptono dan Chandra, 2005 : 31)
3.
Inseparability Berbeda dengan produk fisik, untuk jasa, tidak ada keterpisahan waktu
antara saat jasa itu diproduksi dan saat jasa itu dikonsumsi. Untuk produk berbentuk fisik biasanya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual, lalu baru dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam pemasaran jasa. Dalam hubungan kedua pihak ini, efektifitas individu yang menyampaikan jasa merupakan unsur penting.
Oleh karena itu, keberhasilan
bisnis jasa terletak pada keberhasilan proses rekrutmen, kompensasi, dan pengembangan karyawannya (Tjiptono dan Chandra, 2005 : 26).
13
Berkaitan dengan karakteristik inseparability ini, Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1995) dalam Tjiptono dan Chandra (2005 : 31) mengemukakan bahwa jasa mempunyai permasalahan sebagai berikut : konsumen terlibat dalam aktifitas produksi jasa, aktifitas pemasaran dan produksi jasa sangat interaktif dan produksi massa yang terpusat sangat sukar dilakukan dalam jasa.
4.
Perishability Ini berarti bahwa jasa merupakan produk yang tidak tahan lama, tidak dapat
disimpan untuk pemakaian ulang diwaktu datang, tidak dapat dijual kembali atau tidak dapat dikembalikan (Edget dan Parkinson, 1993; Zeithaml dan Bitner, 2003 dalam Tjiptonio dan Chandra, 2005 : 26). Dengan memahami berbagai karakteristik khusus dan unik pada jasa, serta permasalahan-permasalahan yang terkait dengan karateristik tersebut, setiap tindakan yang diambil oleh penyedia jasa,
maka
harus selalu mengacu pada
karakteristik dan permasalahan tersebut, sehingga upaya pemenuhan kepuasan dan loyalitas pelanggan akan selalu dapat tercapai.
2.2.
Kualitas Jasa Mengingat sifatnya yang spesifik dan unik, maka menilai kualitas jasa
tentunya berbeda dengan menilai kualitas produk atau barang yang sifatnya kasat mata. Tjiptono dan Chandra (2005 : 121) menyatakan bahwa Lewis dan Booms (1983) merupakan pakar yang pertama kali mendefinisikan kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan
14
harapan pelanggan.
Karena sifatnya yang bervariasi (variability), maka sulit
dilakukan standarisasi dan pengendalian kualitas jasa. Penilaian atas kualitas jasa yang sejenis akan berbeda dari masing-masing orang, tergantung dari perspektif mana mereka menginterpretasikan. Menurut Garvin (1988) dalam Tjiptono dan Chandra (2005 : 113), perspektif kualitas bisa diklasifikasikan dalam lima kelompok : transcendental approach, product-based approach, user-based approach, manufacturing-based approach,
dan value-
based approach. Lebih lanjut Garvin (1988) dalam Tjitono dan Chandra (2005 : 113) menjelaskan pengertian masing-masing perspektif tersebut sebagai berikut :
1)
Transcendental approach Perspektif ini memandang kualitas
sebagai innate excellence, yaitu
sesuatu yang bisa dirasakan atau diketahui, tapi sulit didefinisikan, dirumuskan atau dioperasionalisasikan. Dengan perspektif ini, orang hanya bisa belajar memahami kualitas melalui pengalaman yang didapatkan dari eksposur berulang kali. Aplikasi biasanya pada bidang seni seperti : seni tari, seni rupa, seni drama dan seni musik.
2)
Product-based approach Perspektif ini mengasumsikan bahwa kualitas dapat direpresentasikan oleh
atribut-atribut obyektif yang dapat dikuantitatifkan dan diukur. Makin banyak atribut-atribut yang dimiliki oleh produk, dianggap makin berkualitas. Contoh
15
atribut spesifik untuk sebuah hand phone misalnya : ketersediaan fitur, harga, daya tahan battery, kejernihan suaranya dan lain-lainnya. 3)
User-based approach Perspektif ini mendasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung
pada penilaian orang yang mengkonsumsi produk tersebut. Produk yang paling memuaskan keinginan seseorang dianggap produk yang berkualitas paling tinggi.. Penilaian ini bersifat subyektif sehingga
masing-masing individu akan
mempunyai penilaian yang berbeda.
4)
Manufacturing-based approach Jika pada perspektif user-based approach berorientasi pada pemakainya
(demand oriented), maka
perspektif ini berorientasi pada sisi supply (supply
oriented) yang cenderung menekankan kesesuaian dengan spesifikasi produksi dan standar prosedur operasi yang disusun secara internal. Perusahaanlah yang menilai kualitas melalui penetapan
standar-standar terlebih dahulu,
bukan
pengguna produk/jasa. Dalam konteks bisnis jasa, kualitas berdasarkan perspektif ini cenderung bersifat operations-driven.
5)
Value-based approach. Perspektif ini memandang kualitas dari aspek nilai (value) dan harga
(price).
Dengan mempertimbangkan faktor
kinerja dan harga, kualitas
didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menghasilkan nilai yang luar biasa (excellence). Dari sudut pandang ini kualitas sifatnya relatif, sehingga produk
16
yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Tapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli (best buy). Penjelasan dari kelima perspektif tersebut memberi pemahaman mengapa masing-masing individu mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap kualitas suatu barang atau jasa. Kurtz dan Clow (1998) dalam Supriyadi (2005 : 2), menyatakan bahwa mengukur kualitas barang relatif lebih mudah dibandingkan dengan mengukur kualitas jasa. Kualitas jasa tidak diciptakan melalui proses produksi dalam pabrik untuk selanjutnya diserahkan kepada konsumen sebagaimana kualitas barang. Sebagian besar kualitas jasa diberikan selama penyerahan jasa terjadi dalam proses interaksi antara konsumen dan produsen/penyedia jasa, dimana dalam proses interaksi tersebut terdapat kontak personal. Terkait
dengan
pengukuran
menggunakan lima variabel
kualitas
jasa,
dalam
penelitian
ini
dimensi kualitas jasa yang ditemukan oleh
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988), dalam Tjiptono dan Chandra, 2005 : 133). Kelima dimensi kualitas jasa tersebut adalah : reliability/kehandalan, yaitu kemampuan untuk melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan; responsiveness/daya tanggap, yaitu kemampuan untuk menolong
dan
kesediaan
untuk
melayani
pelanggan
dengan
baik;
assurance/jaminan, yaitu pengetahuan, kesopanan petugas serta sifatnya yang dapat dipercaya sehinnga pelanggan terbebas dari risiko; empathy/empati, yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, serta kemudahan untuk dihubungi;
17
dan
tangibles/bukti fisik, yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan sarana komunikasi (Tjiptono dan Chandra, 2005 : 133, dan Rangkuti, 2003 : 30).
2.3.
Kepuasan Pelanggan Menurut Kotler (2002 : 42), pengertian kepuasan pelanggan mengacu
kepada dua variabel, yaitu jasa yang dirasakan (perceived service) dan jasa yang diharapkan (expected service) oleh pelanggan. Pelanggan dikatakan puas apabila jasa yang mereka rasakan melebihi dari apa yang mereka harapkan. Sementara ketidakpuasan akan terjadi manakala pelanggan merasakan sesuatu yang kurang dari apa yang mereka harapkan. Mengacu dari dua variabel tersebut Kotler (2002 : 42) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai berikut ; perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja (atau hasil) suatu produk dan harapan-harapannya. . Ada beberapa faktor pendorong kepuasan pelanggan. Irawan (2007 : 37) menyebutkan ada lima faktor, yaitu : kualitas produk, harga, kualitas jasa (service quality), emotional factor, dan yang berhubungan dengan biaya serta kemudahan untuk mendapatkan produk atau jasa tersebut. Menyangkut faktor pendorong pertama, yaitu kualitas produk, sedikitnya ada enam elemen kualitas produk : performance(tampilan yang baik), durability (awet/tidak cepat rusak), feature (memiliki banyak fasilitas), reliability (dapat dihandalkan), consistency (tidak ada gangguan), dan design(disain yang menawan). Pada umumnya pelanggan akan puas apabila produk yang digunakan berkualitas. Elemen ini seringkali tidak
18
mampu menciptakan keunggulan bersaing dalam kepuasan pelanggan, karena sangat mudah ditiru oleh pesaing. Faktor pendorong yang kedua, faktor harga. Secara umum, bagi pelanggan yang sensitif, harga murah merupakan sumber kepuasan yang penting karena mereka akan mendapatkan value for money yang tinggi. Untuk industri ritel, komponen harga merupakan hal penting dan sangat signifikan pengaruhnya terhadap kepuasan pelanggan. Sementara bagi pelanggan yang tidak sensitif, faktor harga relatif tidak begitu penting kontribusinya terhadap penciptaan kepuasan pelanggan. harga
Sama halnya dengan faktor pendorong pertama, faktor
juga tidak mampu menciptakan keunggulan bersaing dalam kepuasan
pelanggan, karena kebijaksanaan harga sangat rentan terhadap duplikasi. Faktor pendorong yang ketiga adalah faktor kualitas jasa atau service quality/ServQual. Faktor ini sangat bergantung pada tiga hal, yaitu sistem, teknologi, dan sumber daya manusia.
Karena faktor sumber daya manusia
memberi kontribusi yang sangat besar (70%), maka faktor ini sangat sulit ditiru oleh pesaing (Irawan, 2007 : 38). Kualitas jasa ini berfokus pada lima dimensi yang ditemukan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry 1988, yaitu
masing-
masing adalah : reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangible (Tjiptono dan Chandra, 2005 : 133). Faktor pendorong keempat adalah emotional factor. Umumnya ini berlaku untuk beberapa produk yang berhubungan dengan gaya hidup, seperti mobil, kosmetika, dan pakaian. Bagi kelompok pelanggan yang lebih menekankan emotional value,
mereka akan merasakan kepuasannya
19
apabila mereka
menggunakan produk-produk yang dapat merepresentasikan
kesuksesannya,
sehingga mereka akan merasa bangga, lebih percaya dan terhormat. Faktor pendorong yang kelima adalah hal-hal yang berhubungan dengan biaya dan kemudahan untuk memperoleh produk atau jasa tersebut. Pelanggan akan semakin puas apabila relatif mudah, nyaman dan efisien dalam memperoleh pelayanan. Dalam dunia perbankan misalnya, ketersediaan ATM (automatic teller machine) yang nyaman dan mudah dicari, akan memberikan kepuasan bagi pelanggan. Lebih lanjut Irawan (2007 : 39) menyatakan bahwa pemahaman atas kelima faktor tersebut belumlah cukup bagi perusahaan untuk bisa merancang strategi dan program peningkatan kepuasan pelanggan. Masih diperlukan pengetahuan lainnya seperti berapa bobot masing-masing faktor tersebut dalam menciptakan kepuasan pelanggan. Industri yang bersifat komoditas (barang dagangan) umumnya faktor harga merupakan faktor yang sangat penting. Produkproduk seperti koran dan media cetak lainnya, kualitas produk merupakan faktor yang sangat dominan. Sedangkan industri perbankan, perhotelan, rumah sakit, sangat ditentukan oleh faktor kualitas layanan/jasa. Mengingat perusahaan asuransi termasuk kelompok perusahaan jasa, seperti halnya perbankan, perhotelan, dan rumah sakit, maka kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan
diduga lebih dipengaruhi oleh faktor kualitas layanan
dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya seperti kualitas produk, harga dan yang berhubungan dengan biaya serta kemudahan untuk mendapatkan produk atau jasa tersebut . Karena itu pula, dalam penelitian ini berfokus pada faktor yang
20
ketiga, yaitu faktor kualitas layanan. Disamping itu, faktor kualitas layanan di satu sisi sifatnya spesifik, tidak mudah diduplikasi, dimana kualitas layanan yang diberikan oleh penyedia jasa yang satu belum tentu sama dengan yang diberikan oleh penyedia jasa yang lain. Di sisi lain, tolok ukurnya sudah jelas, yaitu dengan menggunakan lima dimensi kualitas layanan seperti yang dirumuskan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry tahun 1988
: reliability, responsiveness,
assurance, empathy, dan tangibles (Tjiptono dan Chandra, 2005 : 133). Sedangkan faktor kualitas produk dan harga untuk produk surety bond, sudah diatur oleh regulator, dalam hal ini Departemen Keuangan, sehingga sifatnya homogen diantara penyedia jasa surety bond. Demikian juga menyangkut faktor yang berhubungan dengan biaya serta kemudahan untuk mendapatkan produk atau jasa tersebut, karena faktor ini sangat mudah diduplikasi, maka bukan merupakan faktor penentu yang spesifik diantara sesama penyedia jasa surety bond. Sedangkan sulitnya untuk mengukur hal-hal yang menyangkut emotional factor menjadi pertimbangan tidak dilakukannya penelitian terhadap faktor tersebut. Ada beberapa metode pengukuran yang digunakan perusahaan untuk mengukur kepuasan konsumen. Kortler (2002 : 45) mengidentifikasi ada empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan : sistem keluhan dan saran, ghost shopping, lost customer analysis, dan survai kepuasan pelanggan. Gerson (2004 : 65) menyatakan bahwa sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survai. Karena dengan metode ini perusahaan akan mendapatkan tanggapan dan masukan secara langsung dari pelanggan dan
21
pelanggan akan merasa mendapat perhatian dari perusahaan. Atas pertimbangan itu pula dalam penelitian ini digunakan metode survai, dimana
lima dimensi
kualitas jasa yang ditemukan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Bery tahun 1988 digunakan sebagai variabel pengukurannya (Tjiptono dan Chandra, 2005 : 133).
2.4.
Loyalitas Pelanggan. Harapan para pelaku usaha tidak berhenti pada suatu titik di mana para
pelanggannya mengalami kepuasan. Mereka akan selalu berharap bahwa pelanggan
yang
dikonsumsinya itu.
terpuaskan
itu
menjadi
loyal
terhadap
Menurut Olorunniwo, et.al, 2006;
produk
yang
Michel, et. al, 2000;
Kandampully, et. al, 2000; Kartajaya, 2007 dalam Astawa, 2008 : 22, bahwa banyak peneliti sependapat bahwa pelanggan yang terpuaskan cenderung untuk loyal terhadap penyedia barang atau jasa. Dengan kata lain, bahwa loyalitas umumnya didahului oleh kepuasan yang dialami oleh pelanggan. Ada beberapa indikasi perilaku pelanggan yang menunjukkan loyal tidaknya pelanggan tersebut kepada penyedia barang/jasa. Pertama, pelanggan akan cenderung melakukan pembelian/pengkonsumsian ulang terhadap barang atau jasa tersebut. Kedua, pelanggan
yang
pengalamannya
terpuaskan kepada
akan
terdorong
pelanggan
untuk lainnya
mengkomunikasikan (word-of-mouth
communication/komunikasi dari mulut ke mulut). Wujud komunikasi dari mulut ke mulut ini dapat berupa pengungkapan hal-hal yang baik tentang penyedia barang atau jasa, dapat berupa rekomendasi kepada calon pelanggan lain, dan dapat berupa dorongan untuk melakukan bisnis dengan penyedia barang atau jasa
22
tersebut. (Zeithaml et. al, 2003 dalam Astawa, 2008 : 23). Ketiga, pelanggan yang puas cenderung untuk mempertimbangkan penyedia barang atau jasa yang mampu memuaskan sebagai pertimbangan pertama jika ingin membeli produk atau jasa yang sama. (Kotler dan Keller, 2009 : 179). Menurut Setiadi (2003 : 199), loyalitas pelanggan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu loyalitas merek (brand loyalty) dan loyalitas toko (store loyalty). Seorang pelanggan dikatakan mempunyai loyalitas terhadap merek apabila dia sudah sangat sering melakukan pembelian produk dengan merek tersebut, walau suatu ketika pembeliaannya,
merek tersebut tidak tersedia ditempat
dia tidak akan mau beralih ke merek lain. Bahkan dia bersedia
menunggu berlama-lama sampai merek tersebut tersedia. Loyalitas merek dapat didefinisikan
sebagai
sikap
menyenangi
terhadap
suatu
merek
yang
direpresentasikan dalam pembelian yang konsisten terhadap merek tersebut sepanjang waktu. Sama halnya dengan loyalitas merek,
loyalitas toko juga
diindikasikan oleh perilaku pelanggan yang konsisten, hanya saja konsistensi tersebut terdapat pada frekuensi kunjungan di toko tempat pembelian produk tersebut. Jika pada loyalitas
merek disebabkan oleh kualitas produk yang
memuaskan, dalam loyalitas toko disebabkan oleh kualitas pelayanan yang diberikan oleh karyawan di toko tersebut. Menyangkut loyalitas merek, Setiadi (2003 : 200) menyebutkan ada dua pendekatan untuk memahaminya. Pertama, pendekatan instrumental conditioning, di mana indikatornya adalah frekuensi dan konsistensi perilaku pembelian terhadap merek tertentu.
Pendekatan ini mengandung kelemahan, karena 23
menyandarkan pada perilaku pelanggan masa lalu. Berdasarkan pendekatan ini, pelanggan yang sudah melakukan pembelian merek tertentu sampai tujuh kali misalnya, sudah bisa dikatakan loyal terhadap merek tersebut. Padahal loyalitas juga berhubungan dengan estimasi pembelian dimasa mendatang. Dicontohkan, jika pelanggan melakukan pembelian sampai tujuh kali terhadap merek tertentu, dan sebenarnya pada pembelian kedelapan pelanggan tidak lagi memilih merek tersebut, tapi membeli merek lain karena sudah bosan atau ingin mencoba merek lain. Maka hal ini menunjukkan bahwa perilaku pembelian tujuh kali terhadap suatu
merek
bukan
merupakan
loyalitas,
tetapi
hanya
merupakan
kebiasaan(habitual) saja. Pendekatan kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada teori kognitif. Berdasarkan teori ini, beberapa
peneliti meyakini bahwa perilaku pembelian
berulang tidak mencerminkan loyalitas merek. Loyalitas menyatakan komitmen terhadap merek yang mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus menerus. Karena, pembelian berulang atas merek tertentu bisa saja disebabkan oleh
harganya yang murah, dan ketika harganya naik pelanggan
tersebut akan beralih ke merek lain. Uraian di atas menunjukkan bahwa masih banyak perdebatan
perihal
pengukuran loyalitas pelanggan, sehingga generalisasi mengenai loyalitas tidak dapat dirumuskan. Namun demikian Assael (1992) dalam Setiadi (2003 :201) mengemukakan
empat karakteristik umum
yang mencirikan loyal tidaknya
pelanggan terhadap suatu merek tertentu, yaitu : 1)
Pelanggan yang loyal cenderung lebih percaya diri terhadap pilihannya
24
2)
Pelanggan yang loyal lebih memungkinkan merasakan tingkat resiko yang tinggi dalam pembeliaannya.
3)
Pelanggan yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap toko
4)
Kelompok pelanggan yang minoritas cenderung lebih loyal terhadap merek
2.5.
Hubungan antara Kualitas Layanan, Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan.
Menyangkut hubungan antara kepuasan dan loyalitas pelanggan, Hallowell (1996 : 28) menyatakan bahwa ada dua kategori literatur yang menyinggung perihal hubungan
antara kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan.
Pertama, literatur manajemen jasa dan yang kedua literatur marketing. Kedua kategori literatur tersebut menyimpulkan bahwa kepuasan pelanggan berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan, dimana pada akhirnya juga akan mempengaruhi keuntungan perusahaan.
Sementara, kepuasan pelanggan itu
sendiri salah satunya disebabkan oleh kualitas layanan/jasa (Irawan, 2007 : 38). Apabila seorang pelanggan memperoleh layanan yang berkualitas, yang diukur dari lima dimensi
kualitas layanan/jasa,
responsiveness/daya
tanggap,
tangibles/bukti fisik,
yaitu ;
assurance/jaminan,
reliability/kehandalan, emphaty/empati,
dan
maka pelanggan yang bersangkutan akan merasakan
kepuasan. Pelanggan yang puas cenderung melakukan pembelian ulang atas layanan/jasa tersebut serta akan merekomendasikan ke pelanggan lain untuk
25
membeli produk/jasa tersebut. Oleh Gremler dan Brown (1997) dalam Hasan (2009 : 83), pelanggan demikian disebut pelanggan yang loyal. Sementara itu, kepuasan seorang pelanggan belum tentu menunjukkan loyalitas pelanggan tersebut terhadap
merek produk/jasa tertentu. Ada suatu
kondisi di mana pelanggan mengalami kepuasan yang tinggi, tapi dia sendiri tidak loyal terhadap produk atau jasa yang dikonsumsinya.
Hasan (2009 : 83)
menggambarkan pola hubungan antara kepuasan dengan loyalitas pelanggan tersebut dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Hubungan antara Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan Kepuasan Pelanggan
Rendah
Loyalitas Pelanggan Rendah
Loyalitas Pelanggan Tinggi
Failures :
Forced Loyalty :
Tidak puas dan tidak Tidak puas, namun terikat loyal pada program promosi loyalitas perusahaan
Defectors : Tinggi
Puas tapi tidak loyal
Successes : Puas, loyal, dan paling mungkin memberikan wordof-mouth positif
Sumber : Hasan (2009)
Setiap pelaku usaha sudah tentu menginginkan kondisi hubungan yang successes, dimana tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggannya tinggi. Karena pada posisi ini, perusahaan akan memperoleh banyak manfaat seperti; disamping merangsang pelanggan untuk bercerita hal-hal positif kepada pelanggan lain 26
(word of mouth communication), juga dapat mengurangi biaya pemasaran, menarik pelanggan baru, merespon ancaman pesaing, serta memperoleh nilai kumulatif bisnis berkelanjutan (Aaker, 1995, dalam Hasan, 2009 : 79). Untuk sampai pada sasaran tersebut, maka setiap pelaku usaha harus selalu dapat memuaskan pelanggannya melalui peningkatan kualitas layanannya, yang terukur melalui dimensi-dimensi reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (mampu memberikan jaminan), empathy (empati), dan tangibles (bukti langsung secara fisik).
27
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kerangka berpikir bahwa untuk dapat merebut hati pelanggan di era persaingan yang semakin ketat ini tidak cukup hanya mengandalkan strategi konvensional marketing mix yang dirumuskan oleh Kotler (2002 : 431) saja, tapi diperlukan kombinasi antara keunggulan keempat markering mix (poduct, price, place dan promotion) tersebut dan keunggulan dalam kualitas layanan (reliability, responsiveness, emphaty, assurance dan tangible). Karena proses duplikasi oleh pesaing atas komponen-komponen yang terdapat dalam marketing mix sangat mudah dilakukan, sedangkan tidak demikian halnya pada kualitas layanan (Irawan, 2007 : 38). Kualitas layanan adalah sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya sangat personal/pribadi, terutama variabel-variabel yang sifatnya intangible seperti reliability, responsiveness, dan emphaty, sementara marketing mix adalah sesuatu yang lebih banyak menyangkut hal-hal yang bersifat artificial/fisik-kebendaan. Maka ketika suatu perusahaan melakukan strategi pada unsur kemasan product misalnya, perusahaan lainnya akan sangat mudah menirunya. Demikian seterusnya pada unsur price, place dan promotion. Tapi pengalaman seorang pelanggan yang sangat tersentuh batinnya oleh pelayanan karyawan suatu perusahaan, belum tentu akan merasakan hal
28
yang sama dari perusahaan lain, walaupun karyawan yang bersangkutan telah melakukannya sesuai dengan prosedur standar operasional perusahaan tersebut. Merebut hati pelanggan bukan saja bagaimana untuk memuaskannya, tapi juga bagaimana membuatnya menjadi loyal kepada perusahaan, sehingga ada kontinuitas pembelian secara konsisten sepanjang waktu, tanpa terinterupsi oleh iming-iming produk sejenis dari perusahaan lain, bahkan dari pelanggan ini diharapkan akan diperoleh pelanggan baru atas rekomendasinya. Sehingga sistematika kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dijabarkan secara sederhana sebagai berikut : kualitas layanan yang terbaik diharapkan dapat memuaskan pelanggan, dan kepuasan ini diharapkan dapat membuat pelanggan tersebut menjadi loyal terhadap perusahaan. Namun demikian, dapat saja terjadi dimana loyalitas tercapai tanpa melalui kepuasan terlebih dahulu. Kasus ini terutama terjadi pada kondisi dimana pelanggan tidak mempunyai kebebasan memilih atas jasa yang mereka konsumsi. Kerangka konseptual ini dilandasi oleh teori hubungan antara kualitas layanan, kepuasan, dan loyalitas pelanggan
yang dikembangkan oleh Hallowel
(1996 : 28), Irawan (2007 : 38), dan Gremler dan Brown (1997) dalam Hasan (2009 : 83) serta didukung oleh hasil studi empiris oleh para peneliti seperti Supriyadi (2005), Aryantini (2005), Mudiardana (2007), Astawa (2008), Fen, Lian, and KDU College (2008), Ziaul Hoq and Amin (2009), Eboli and Mazzula (2007), dan Wu (2007). Berdasarkan kerangka berpikir diatas, maka dapat dirumuskan konsep penelitian sebagai berikut:
29
Kepuasan Pelanggan Kualitas Layanan
Loyalitas Pelanggan Gambar 3.1 Konsep Penelitian
3.2. Hipotesis Penelitian 3.2.1.Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Kepuasan Pelanggan Hipotesis penelitian berikut dikembangkan berdasarkan konsep penelitian yang disajikan pada Gambar 3.1 dengan didukung oleh beberapa hasil studi empiris yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Irawan (2007 :37) menyatakan bahwa kualitas jasa atau layanan adalah salah satu faktor dari lima faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Kualitas jasa ini berfokus pada lima dimensi yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry sejak tahun 1988, yaitu masing-masing adalah : reliability, responsiveness, assurance, emphaty, dan tangible (Tjiptono dan Chandra, 2005 : 133). Menurut Irawan (2007 : 39), kepuasan pelanggan untuk industri perbankan, perhotelan, dan rumah sakit sangat ditentukan oleh faktor kualitas jasa atau layanannya. Mengingat perusahaan asuransi adalah merupakan perusahaan jasa, maka kepuasan pelanggannya juga sangat dipengaruhi pula oleh kualitas jasa atau layanannya
30
Beberapa studi empiris juga telah dilakukan oleh para peneliti untuk mengetahui pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan pelanggan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1.
Supriyadi (2005) meneliti pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan mahasiswa Program Pascasajana Magister Manajemen UPN Veteran Yogyakarta.
Dalam penelitian ini ukuran sampelnya adalah 74 orang
mahasiswa dari jumlah populasi sebanyak 90 orang. Sampel diambil secara random sampling dan analisis data menggunakan metode analisis regresi linier berganda. Temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : (a). Pelayanan yang diterima mahasiswa Program Pascasarjana Magister Manajemen UPN Veteran Yogyakarta masih belum sesuai dengan keinginan mahasiswa. (b). Kualitas layanan, yang terdiri atas dimensi reliability, responsiveness, assurance, emphaty, dan tangible memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan mahasiswa Program Pascasarjana Magister Manajemen UPN Veteran Yogyakarta. (c). Dimensi yang paling berpengaruh terhadap kepuasan mahasiswa Program Pascasarjana Magister Manajemen UPN Veteran Yogyakarta adalah dimensi emphaty.
2.
Aryantini (2005), meneliti pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien askes sosial
di Poliklinik Badan Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Tabanan. Populasi penelitian diambil dari
31
rata-rata jumlah
pasien perbulan pada tahun 2004, yaitu sebanyak 920 orang pasien. Dengan mengambil secara proporsional sebesar 30% dari masing-masing populasi poliklinik, maka diperoleh ukuran sampel
sebanyak 279 orang sebagai
responden. Data dianalisis dengan regresi linier berganda, dengan hasil penelitian adalah sebagai berikut : (a)
Ada pengaruh secara simultan dari variabel reliability, responsiveness, assurance, emphaty, dan tangible terhadap kepuasan pelayanan pasien askes sosial. Secara uji parsial, didapatkan hanya
tangible,
responsiveness, dan emphaty yang berpengaruh secara parsial terhadap kepuasan. (b)
Diantara variabel yang berpengaruh, maka variabel tangible yang dominan mempengaruhi kepuasan pasien askes sosial di Poliklinik BRSUD Tabanan.
(c)
Adapun indikator
yang kinerjanya perlu ditingkatkan adalah
diperlukannya brosur tentang penjelasan besaran biaya yang menjadi tanggungan peserta pada saat pelayanan dan keadaan lingkungan yang kurang nyaman , khususnya tempat parkir dan taman sekitar halaman rumah sakit.
3.
Eboli and Mazzula ( 2007) meneliti hubungan antara atribut-atribut kualitas layanan dengan kepuasan pengguna bus kampus di wilayah perkotaan Cozensa, Italia Selatan. Populasi penelitian adalah mahasiswa Universitas Calabria yang merupakan pengguna tetap sarana transportasi bus kampus.
32
Dengan sampel sebanyak 763 orang mahasiswa (sekitar 8,6% dari seluruh populasi) dan dengan metode analisis SEM diperoleh
bahwa kualitas
layanan yang diberikan oleh agen transportasi angkutan bus kampus menentukan kepuasan mahasiswa pengguna angkutan bus dimaksud. Bahwa semakin baik kualitas layanan, semakin tinggi kepuasan mahasiswa pengguna bus kampus. Berdasarkan teori dan studi empiris tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai barikut :
H1: Kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan JP Bonding.
3.2.2.Pengaruh Kepuasan terhadap Loyalitas Pelanggan Setiap para pelaku usaha berharap bahwa pencapaian upayanya tidak berhenti pada suatu titik di mana para pelanggannya mengalami kepuasan, tetapi selalu berharap bahwa pelanggannya akan menjadi loyal terhadap produk atau jasa yang dikonsumsinya. Karena, menurut Olorunniwo, et.al, 2006; Michel, et.al, 2000; Kandampully, et.al, 2000; Kartajaya, 2007 dalam Astawa, 2008 : 22, pelanggan yang terpuaskan cenderung untuk loyal terhadap penyedia barang atau jasa. Menurut Hasan (2009 : 83), pada tingkat di mana pelanggan berada pada tingkat kepuasan dan loyalitas yang tinggi, maka pada posisi itu paling mungkin memberikan word-of-mouth positif (lihat Tabel 2.1).
33
Teori di atas didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, yang diantaranya dikutip dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.
Astawa (2008) meneliti pengaruh kualitas layanan dan kepuasan pada niat beli ulang pelanggan
Hotel Inna Kuta Beach.
Dengan basis rata-rata
pelanggan pertahun selama tiga tahun (2005 – 2007) sebagai populasi penelitian, ukuran sampel ditentukan sebanyak 185 orang (berdasarkan kreteria analisis SEM). Sampel yang dijadikan responden ditentukan berdasarkan metode convenience sampling sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan metode angket. Dengan metode analisis data Structural Equation Modeling (SEM), ditemukan bahwa : (a). Kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan pada kepuasan pelanggan. (b). Kualitas layanan berpengaruh tidak signifikan pada niat pelanggan untuk menginap kembali di Hotel Inna Kuta Beach. Ini menunjukkan bahwa kualitas layanan secara langsung tidak berpengaruh secara signifikan untuk mendorong terjadinya niat beli ulang. (c)
Kepuasan pelanggan berpengaruh positif dan signifikan pada niat pelanggan untuk menginap kembali di Hotel Inna Kuta Beach.
(d)
Kualitas layanan berpengaruh positif pada niat pelanggan untuk menginap kembali di Hotel Inna Kuta Beach melalui kepuasan pelanggan
34
2.
Ziaul Hoq and Amin ( 2009) meneliti peranan kepuasan pelanggan dalam meningkatkan loyalitas pelanggan bank muslim dan non-muslim
di
Malaysia. Sebagai unit sampel ditentukan masing-masing dua bank yang berbasis Islam (full-fledged Islamic bank) dan dua bank umum (dualwindow banking system) di delapan wilayah kerajaan Malaysia, sehingga terdapat 32 bank sebagai unit sampel. Dengan metode quota sampling, diperoleh 660 orang sampel, dimana jumlah kuesioner yang kembali sebanyak 440 kuesioner. Hasil analisis data dengan metode Structural Equation Models (SEM) diperoleh bahwa kepuasan pelanggan mempunyai korelasi yang positif didalam meningkatkan loyalitas pelanggan, baik pada bank muslim maupun non-muslim, dan sebaliknya, kepuasan pelanggan mempunyai korelasi yang negatif terhadap keinginan pelanggan untuk berpindah bank.
Berdasarkan teori dan hasil studi empiris tersebut, dalam penelitian ini dirumuskan hiptesis sebegai berikut :
H2 : Kepuasan pelanggan berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan JP Bonding.
3.2.3.Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Loyalitas Pelanggan Secara teori, biasanya loyalitas didahului oleh perasaan puas yang dialami oleh pelanggan/konsumen setelah mengkonsumsi suatu produk atau jasa
35
(Olorunniwo, 2006, et.al; Michel, et.al, 2000; Kandampully, et.al,2000; Kartajaya, 2007
dalam
Astawa,
2008
:22).
Kepuasan
ini
akan
mendorong
konsumen/pelanggan untuk melakukan pembelian atau pengonsumsian secara berulang terhadap barang atau jasa yang menimbulkan kepuasan tersebut. Pembelian atau pengonsumsian secara berulang ini adalah salah satu indikasi terjadinya loyalitas pelanggan. Walaupun demikian, secara empiris terdapat suatu kondisi, di mana loyalitas pelanggan tanpa diawali terlebih dahulu oleh perasaan puas oleh pelanggan/konsumen. Hal ini diperkuat oleh studi-studi sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah sebagai berikut : 1.
Mudiardana (2007), meneliti pengaruh kualitas pelayanan terhadap tingkat loyalitas nasabah PT. BPR Ayudhana Semesta Ubud, Gianyar. Populasi penelitian adalah nasabah tabungan, nasabah kredit, dan nasabah deposito yang telah melakukan transaksi lebih dari sekali dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006. Dengan menggunakan rumus Slovin, dari populasi sebanyak 2.850 orang, diperoleh ukuran sampel sebanyak 100 orang. Metode pengambilan sampel menggunakan metode proporsional cluster random sampling. Data dianalisis dengan metode analisis regresi linier berganda. Adapun temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : (a)
Secara simultan terdapat pengaruh yang signifikan antara kualitas pelayanan terhadap loyalitas nasabah PT BPR Ayudhana Semesta . Secara parsial dimensi kualitas pelayanan yang terdiri atas reliability, responsiveness, assurance, dan tangible berpengaruh positif terhadap loyalitas nasabah PT BPR Ayudhana Semesta, sedangkan dimensi
36
emphaty menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap loyalitas nasabah PT BPR Ayudhana Semesta. (b)
Diantara kelima dimensi kualitas pelayanan tersebut, yang paling dominan berpengaruh terhadap loyalitas nasabah PT BPR Ayudhana Semesta adalah dimensi assurance.
(c) Kepuasan pelanggan berpengaruh positif dan signifikan pada niat pelanggan untuk menginap kembali di Hotel Inna Kuta Beach. (d)
Kualitas layanan berpengaruh positif pada niat pelanggan untuk menginap kembali di Hotel Inna Kuta Beach melalui kepuasan pelanggan.
2.
Fen, Lian, and KDU College (2008) meneliti hubungan kualitas layanan dan kepuasan pelanggan terhadap niat berkunjung ulang pelanggan family restaurant
Fusion, Klang Valley, Malaysia. Populasi penelitian adalah
pengunjung restaurant Fusion antara Juni 2006 sampai dengan Oktober 2006, yang telah berkunjung minimal tiga kali dalam enam bulan. Dari kuesioner yang disebarkan kepada 420 orang pelanggan, sebanyak 377 kuesioner yang kembali. Hasil pengolahan data berdasarkan metode regresi linier berganda menunjukkan bahwa baik kualitas layanan maupun kepuasan pelanggan, kedua-duanya mempunyai pengaruh yang positif terhadap niat pelanggan untuk berkunjung kembali ke restaurant dimaksud. Kepuasan pelanggan secara parsial juga mempunyai pengaruh yang lebih kuat didalam
37
menimbulkan keinginan untuk berkunjung kembali ketimbang kualitas layanan.
3.
Wu (2007) meneliti pengaruh kualitas layanan elektronik dan kualitas layanan perbaikan elektronik terhadap loyalitas konsumen elektrotonik yang membeli secara online. Populasi penelitian adalah konsumen elektronik di Amerika serikat yang membeli barang elektronik melalui online. Berdasarkan data base konsumen tahun 2005 (Agustus - Oktober 2005), Wu memperkirakan populasinya mencapai 177.500 online shoppers of consumer electronics. Dengan quota and sowball sampling diperoleh ukuran sampel sebanyak 359 orang. Hasil analisis data yang dikumpulkan melalui survai secara online ini menunjukkan bahwa kualitas layanan perbaikan elektronik tidak langsung
mempengaruhi kepuasan
konsumen, tapi langsung
berpengaruh terhadap kualitas layanan elektronik dan loyalitas konsumen, dan berpengaruh secara tidak langsung terhadap kepuasan konsumen. Temuan ini tidak sesuai dengan Miller, Craighead, and Karwan (2000) and Smith and Bolton (2002) dalam Wu (2007). Lebih lanjut dinyatakan bahwa ada dua perspektif untuk hal tersebut. Pertama, konsumen langsung menjadi loyal/setia dari proses perbaikan layanan. Saat mereka merasakan kualitas perbaikan layanan yang meningkat, mereka beralih dari konsumen yang setia menjadi e-tailer yang spesifik. Kedua, konsumen berharap mendapat layanan yang lebih baik dalam transaksi berikutnya meskipun merasakan kualitas perbaikan layanan yang meningkat. Bilamana mereka mendapatkan
38
pengalaman belanja yang lebih baik dalam transaksi berikutnya, maka kepuasan dan kesetiaannya akan meningkat.
Berdasarkan studi empiris tersebut, dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H3
: Kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan JP Bonding
39
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis Penelitian Menurut Umar (2002 : 32), penentuan rancangan penelitian sangat
tergantung pada tujuan penelitian itu sendiri.
Disebutkan bahwa tujuan
penelitian adalah untuk melakukan kajian secara ilmiah untuk mengetahui tentang obyek tertentu (what) mendeskripsikan tentang subyek tertentu (who), lokasi kejadian (where), waktu kejadian (when) dan mengapa (why), atau bagaimana (how) mengukur sesuatu sebagai jawaban atas hal-hal yang dipermasalahkan. Rancangan penelitian itu sendiri didefinisikan oleh para ahli sebagai suatu rencana kerja yang terstruktur dan komprehensif mengenai hubungan-hubungan antar variabel yang disusun sedemikian rupa agar hasil penelitiannya dapat memberikan jawaban atas pertanyaanpertanyaan penelitian (Umar, 2002 : 36). Dikaitkan dengan tujuan penelitian, maka sesuai dengan pendapat Malhotra (1993) dalam Umar (2002 : 39), rancangan penelitian dapat dibagi atas tiga macam, yaitu rancangan eksploratif, deskriptif dan kausal. Sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk memaparkan/mendeskripsikan pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya, maka rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif (Umar, 2002 : 39). Sehingga dengan demikian, jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif.
40
ke dalam kelompok
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan di PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar
dimana proses penelitiannya membutuhkan waktu sekitar sembilan bulan, meliputi kegiatan pengajuan proposal penelitian, penyebaran kuesioner penelitian, wawancara, pengolahan data, analisis data, dan penulisan hasil penelitian. Periode pengumpulan data dimulai sejak Mei 2010 hingga bulan Juli 2010. Selebihnya adalah proses pengolahan data, analisis data, dan penulisan hasil penelitian.
4.3.
Variabel Penelitian Dalam penelitian pemasaran atau perilaku konsumen, sebagian besar
variabel penelitian tidak bisa diukur secara langsung, melainkan diukur secara tidak langsung. Variabel seperti itu disebut dengan konstruk atau unobserved variable.
4.3.2. Identifikasi Konstruk Ada dua jenis konstruk dalam penelitian ini, masing-masing adalah konstruk bebas atau eksogen dan konstruk
tidak bebas atau endogen.
Konstruk bebas atau eksogen adalah konstruk yang tidak tergantung oleh konstruk
lain, sedangkan konstruk tidak bebas atau endogen
adalah
konstruk yang terikat atau ditentukan oleh konstruk yang lain. Tabel 4.1. menyajikan jenis konstruk, dimensi dan indikator masing masing-masing konstruk dimaksud.
41
Tabel 4.1.
Klasifikasi, Nama, Dimensi dan Indikator Masing-masing Konstruk Klasifikasi Konstruk Bebas/ Eksogen
Nama Konstruk Kualitas Layanan
Dimensi 1.Reliability
Indikator/Variabel - - Tepat waktu (K1) - - Kehandalan menangani masalah pelanggan (K2). - - Kemampuan menyampaikan layanan secara benar (K3). - - Memberikan layanan sesuai dengan waktu yang dijanjikan (K4) . - - Menyimpan catatan/dokumen tanpa kesalahan (K5).
2.Responsiveness
- - Informasi kepada pelanggan tentang kepastian waktu penyampaian jasa (K6). - - Kecepatan/kesigapan memberikan layanan (K7). - - Kesediaan untuk membantu pelanggan (K8). - - Kesiapan untuk merespon permintaan pelanggan (K9) -
3.Assurance
- - Kemampuan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan (K10). - - Kemampuan utk membuat pelanggan merasa aman sewaktu menerima layanan (K11). - - Kemampuan untuk bersikap santun secara konsisten (K12) - - Kemampuan menjawab pertanyaan dari pelanggan (K13) -
4.Empathy
- - Perhatian secara personal kepada pelanggan (K14). - - Menjalin relasi yang baik dengan pelanggan (K15). - - Bersungguh-sungguh mengutamakan kepentingan pelanggan (K16) . - Memahami kebutuhan pelanggan (K17) - Pemberlakuam jam operasi kantor yang nyaman (K18)
5.Tangible
- Ketersediaan fasilitas kantor (K19) - Kebersihan ruangan (K20) - Kenyamanan ruangan (K21) - Media promosi (K222) - Kerapian penampilan karyawaan (K23). - Tempat parkir (K24) - Ketersediaan sumber informasi (K25)
Tdk bebas/ Endogen
Kepuasan
-
- Pelayanan secara keseluruhan memuaskan (P1). - Perasaan senang menjadi pelanggan JP Bonding (P2). - Perasaan bangga menjadi pelanggan JP Bonding (P3).
Loyalitas
-
- Kenginan untuk datang lagi memanfaatkan layanan JP Bonding (L1) - Niat untuk menceritakan pengalaman-pengalaman baik (L2) - Niat untuk mengajak orang lain (L3). - Niat untuk tetap menjadikan pilihan pertama (L4)
Sumber : Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988 : 38-40 (dimodifikasi).
42
4.3.3.
Definisi Operasional Konstruk dan Variabel Untuk menyamakan persepsi terhadap beberapa konstruk dan
variabel yang akan dianalisis
dalam penelitian ini, maka berikut ini
dijabarkan definisi operasional dari masing-masing konstruk dan variabel dimaksud.
1.
Konstruk Kualitas Layanan JP Bonding
Kualitas layanan adalah tingkat kinerja yang diharapkan oleh pelanggan JP Bonding untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Ukuran kualitas layanan tersebut terdiri atas : kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), empati (empathy) dan fasilitas fisik (tangible). Berikut adalah penjelasan dari kelima dimensi kualitas layanan tersebut beserta masing-masing indikatornya, yang diadaptasi dari Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1988 : 38-40).
a)
Kehandalan (reliability), adalah kemampuan karyawan PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar, baik hard skill maupun soft skill nya,
untuk
memberikan layanan yang terbaik sesuai dengan harapan pelanggan JP Bonding. Kemampuan hard skill adalah menyangkut penguasaan karyawan terhadap segala sesuatu tentang produk JP Bonding (product knowledge), sedangkan kemampuan soft skill adalah segala sesuatu yang menyangkut aspek
kepribadian/personality
dari
43
karyawan,
seperti
human
relationshipnya, keramahtamahannya dan lain-lainnya. Indikator-indikator tersebut adalah :
(1).
Kemampuan memberikan layanan sesuai dengan yang dijanjikan (K1)
(2).
Dapat diandalkan dalam menangani masalah layanan
pelanggan
(K2)
b)
(3).
Kemampuan menyampaikan layanan secara benar (K3)
(4).
Memberikan layanan sesuai dengan waktu yang dijanjikan (K4)
(5).
Menyimpan catatan/dokumen tanpa kesalahan (K5)
Daya tanggap (responsiveness), adalah kesigapan karyawan PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar dalam memberikan layanan kepada pelanggan JP Bonding dengan sesegera mungkin, tanpa harus bertele-tele, sesuai dengan moto pelayanan yang dicanangkan, zero time respon, baik saat mereka mengurus jaminan JP Bondingnya maupun saat
mereka mengadukan
keluhan (complain). Indikator-indikator tersebut adalah : (1).
Memberikan informasi kepada pelanggan tentang kepastian waktu penyampaian layanan (K6)
(2).
Kecepatan/kesigapan memberikan layanan (K7)
(3).
Kesediaan untuk membantu pelanggan (K8)
(4).
Kesiapan untuk merespon permintaan pelanggan (K9)
44
(c)
Jaminan (assurance), adalah kemampuan karyawan PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar untuk menciptakan kepercayaan dan keyakinan dihati pelanggan
JP
Bonding
sesuai
dengan
pengetahuan,
sikap
dan
keterampilannya dalam memberikan layanan. Indikator-indikator tersebut adalah : (1).
Kemampuan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan (K10)
(2).
Kemampuan untuk membuat pelanggan merasa aman sewaktu pelanggan menerima layanan (K11)
(d)
(3).
Kemampuan untuk bersikap santun secara konsisten (K12)
(4).
Kemampuan menjawab pertanyaan dari pelanggan (K13)
Empati (empathy), adalah kemampuan karyawan PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar untuk memberikan kepedulian dan perhatian terhadap segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan harapan pelanggan JP Bonding. Indikator-indikator tersebut adalah: (1).
Kemampuan untuk memberikan perhatian secara individual kepada para pelanggan (K14)
(2).
Karyawan mengupayakan menjalin relasi yang baik (K15)
(3).
Bersungguh-sungguh mengutamakan kepentingan pelanggan (K16)
(4).
Kemampuan memahami kebutuhan pelanggan (K17)
(5).
Pemberlakuan jam operasi kantor yang nyaman (K18)
45
(e)
Fasilitas fisik (tangible),
adalah segala sesuatu yang tampak kasat
mata/berwujud, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kelancaran dan kenyamanan pelanggan JP Bonding, baik yang terkait
dengan
sumber
daya
manusianya
maupun
sarana
pendukungnya, seperti kerapian dan kebersihan pakaian karyawan, kondisi ruangan dan lain-lain. Indikator-indikator tersebut adalah :
2.
(1).
Ketersediaan peralatan kantor yang mutakhir/terbaru (K19)
(2).
Kebersihan ruangan yang digunakan untuk bertransaksi (K20)
(3).
Kenyamanan ruang yang disediakan saat melakukan transaksi (K21)
(4).
Ketersediaan media promosi yang berpenampilan menarik (K22).
(5).
Kerapian penampilan karyawaan (K23).
(6).
Ketersediaan tempat parkir (K24)
(7).
Ketersediaan sumber informasi saat menunggu (K25)
Konstruk Kepuasan Pelanggan JP Bonding Kepuasan adalah perasaan senang dan puas yang dirasakan oleh pelanggan
JP Bonding atas layanan yang diberikan oleh karyawan PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar, baik saat mereka mengurus atau membeli JP Bonding maupun saat mereka mengadukan keluhan-keluhan manakala mereka mengalami kendala atau kesulitan dalam pengurusan atau pembelian JP Bonding. Adapun indikatorindikatornya adalah sebagai berikut :
46
(a). Perasaan puas yang dirasakan oleh pelanggan JP Bonding atas layanan secara keseluruhan yang diberikan oleh karyawan PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar (P1). (b). Perasaan yang menyenangkan yang dialami oleh pelanggan JP Bonding selama menjadi pelanggan di PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar (P2). (c). Perasaan bangga menjadi pelanggan JP Bonding ( P3)
3.
Konstruk Loyalitas Pelanggan JP Bonding Loyalitas pelanggan JP Bonding adalah sikap konsistensi yang ditunjukkan
oleh pelanggan JP Bonding untuk membeli produk JP Bonding secara berulangulang/secara terus menerus dalam waktu yang lama dan menjadikan JP Bonding sebagai prioritas pilihannya,
menularkan pengalaman positifnya secara ikhlas
dan sukarela kepada calon pelanggan lain dan
mengajaknya untuk membeli
produk JP Bonding. Adapun indikator-indikatornya adalah sebagai berikut : (a). Niat untuk datang kembali menggunakan layanan JP Bonding dimasa-masa mendatang secara terus menerus (L1). (b). Niat untuk menceritakan pengalaman-pengalaman baik yang dialami di PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar (L2) (c). Niat untuk mengajak orang lain untuk menjadi pelanggan JP Bonding (L3). (d). Niat untuk tetap memperttimbangkan JP Bonding sebagai pilihan pertama (L4).
47
4.4.
Prosedur Pengumpulan Data
4.4.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang dapat dinyatakan dalam bentuk angka-angka, seperti jumlah pelanggan, jumlah responden, biaya pengurusan JP Bonding dan lain-lainnya, sedangkan data kualitatif adalah data yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk angka-angka, seperti stándar prosedur operasional layanan, suasana kerja karyawan dan lain-lain. Dilihat dari sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu : (a). Sumber primer, adalah data yang bersumber langsung dari responden, yang digali melalui kuesioner seperti data identitas responden, persepsi responden mengenai kualitas layanan, kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. (b). Sumber sekunder, adalah data yang bersumber dari laporan-laporan PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar, instansi-instansi terkait, seperti Bank Indonesia, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan lain-lain.
4.4.2. Populasi dan Sampel Penelitian 4.4.2.1.Populasi Penelitian Lingkup penelitian ini sifatnya terbatas Bonding
hanya pada
pelanggan JP
yang berdomisili di wilayah Kota Denpasar, baik yang berbadan
hukum PT (Perseroan Terbatas) maupun yang berbadan hukum CV, karena pelanggan JP Bonding yang berdomisili di wilayah Kota Denpasar memberikan 48
kontribusi yang cukup besar (65%) terhadap pendapatan JP Bonding. Sampai dengan akhir Desember 2009, tercatat sebanyak 200 pelanggan JP Bonding yang berdomisili di wilayah Kota Denpasar.
4.4.2.2.Unit Sampel Penelitian Unit sampel dalam penelitian ini adalah pelanggan JP Bonding yang berbadan hukum PT ataupun CV, sedangkan yang dijadikan responden adalah karyawan atau karyawati dari perusahaan yang menjadi pelanggan JP Bonding yang biasa datang mencari jaminan/surety bond/JP Bonding ke PT Jasaraharja Putera Cabang Denpasar.
Dasar pertimbangannya adalah, karena mereka inilah
yang merasakan secara langsung pelayanan yang diberikan oleh karyawan PT. Jasaraharha Putera.
4.4.2.3. Ukuran Sampel Berdasarkan pertimbangan bahwa variabel-variabel dalam penelitian ini diukur secara tidak langsung serta analisis data menggunakan alat analisis SEM (Structural Equation Modeling), maka ukuran sampel penelitian disesuaikan dengan kedua pertimbangan tersebut. Berdasarkan metode analisis
SEM (Structural Equation Modeling),
ukuran sampel berkisar antara 100 hingga 200 ( Hair, et.al. dalam Ferdinand, 2002 : 47). Lebih jauh dinyatakan bahwa pedoman untuk ukuran
sampel
tergantung dari jumlah indikator dikalikan 5 sampai 10. Dalam penelitian ini jumlah indikatornya adalah 32, sehingga ukuran sampel yang layak berdasarkan
49
kriteria ini adalah antara 160 sampai 320. Berdasarkan kedua kriteria tersebut, maka seluruh
pelanggan yang berdomisili di Kota Denpasar sebanyak 200
perusahaan dijadikan sampel dalam penelitian ini.
4.4.2.4. Metode Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan melalui survai dengan menyebarkan kuesioner yang dilengkapi sendiri oleh responden, sedangkan data sekunder diperoleh melalui laporan rutin bulanan yang dibuat oleh PT. Jasaraharja Putera Cabang Denpasar dan laporan-laporan lainnya. Data primer meliputi data yang menyangkut ketiga konstruk, yaitu kualitas layanan, kepuasan, dan loyalitas pelanggan, sedangkan data sekunder meliputi data jumlah pelanggan, pendapatan, profil perusahaan dan data pendukung lainnya.
4.5.
Instrumen Penelitian, Uji Validitas dan Reliabilitas Model
4.5.1. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan (kuesioner) yang sifatnya terstruktur, dimana setiap pertanyaan telah tersedia jawabannya, sehingga responden tinggal memilih satu jawaban yang paling sesuai dengan pengalaman pribadinya menjadi pelanggan JP Bonding. Pengukuran dilakukan terhadap setiap indikator dalam masing-masing variabel dengan menggunakan skala Likert lima poin (1 – 5), dimulai dari sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), netral (N), setuju (S) sampai sangat setuju (SS) (Kinnear, 1988, dalam Umar, 2002 : 98)
50
Dalam penelitian ini, uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian tidak diujicobakan terlebih dahulu kepada beberapa responden, akan tetapi kuesioner penelitian langsung disebarkan kepada seluruh sampel, dalam hal ini kepada 200 responden. Dasar pertimbangannya adalah bahwa daftar pertanyaan dalam kuesioner tersebut sudah dibuat berdasarkan standar yang telah baku yang dirumuskan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Barry (1988) dan validitas serta reliabilitasnya telah dibuktikan oleh beberapa kali penelitian selama bertahuntahun. Sehingga dalam penelitian ini hanya dilakukan uji terhadap validitas dan reliabilitas model. Menurut Santoso (2007 : 11), Model SEM ada 2(dua) jenis model, yaitu neasurement model dan structural model. Tujuan utama terhadap analisis model SEM ini adalah untuk menguji apakah model tersebut fit dengan data yang ada. Pengujian model SEM dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu : 1.
Menguji validitas measurement model
2.
Menguji validitas structural model
4.5.2. Uji Validitas Model 4.5.2.1.Uji Validitas Measurement Model Measurement model adalah bagian dari model SEM yang terdiri atas sebuah variabel laten (konstruk) dan beberapa variabel manifes (indikator) yang menjelaskan variabel laten tersebut. Tujuan pengujian adalah untuk mengetahui seberapa tepat variabel-variabel manifes dapat menjelaskan variabel laten yang ada. Dasar pengujian adalah sebagai berikut (Santoso, 2007 : 95) :
51
a.
Jika secara teori sebuah indikator menjelaskan keberadaan konstruk (variabel laten) maka akan ada hubungan diantara keduanya. Oleh karena variabel laten tidak mempunyai nilai tertentu proses pengujian dilakukan diantara indikator-indikator yang membentuknya.
b.
Dilakukan perhitungan kovarians dari data sampel untuk mengetahui hubungan indikator-indikator dengan konstruk. Dari penghitungan tersebut, karena melibatkan banyak variabel akan muncul matriks kovarians sampel.
c.
Penghitungan menggunakan prosedur estimasi maximum likelihood menghasilkan
matriks
kovarians
estimasi.
Selanjutnya
dilakukan
perbandingan matriks kovarians sampel dengan matriks estimasi. Uji perbandingan ini dinamakan uji goodness of fit dengan menggunakan estimasi maximum likelihood. Ketentuannya adalah : 1.
Absolute Fit index ( X 2 ) > 0,05
2.
GFI (Goodness of fit Index) dan AGFI (Adjusted goodness of fit index) berkisar antara 0 sampai 1. Semakin hasilnya mendekati 1, maka akan semakin baik model tersebut dalam menjelaskan data yang ada. Selain itu, dapat juga ditentukan dari nilai CFI (Comparative Fit index) dan TLI (Tucker Lewis Index) Setelah model fit, selanjutnya adalah uji validitas konstruk (variabel laten) dengan menganalisis faktor loading nya. Hair, et al. dalam erdinand (2002:23) menyatakan bahwa sebuah indikator merupakan
52
bagian dari konstruk dengan faktor loading tersebut adalah lebih besar atau sama dengan 0,50. Persamaan untuk Measurement Model dari konstruk yang dikembangkan adalah sebagai berikut. a.
Variabel Exogenous pertama yaitu Kualitas Jasa Model pengukurannya adalah : X1.1 = 1 kualitas jasa + 1 X1.2 = 2 kualitas jasa + 2 X1.3 = 3 kualitas jasa + 3 X1.4 = 4 kualitas jasa + 4 X1.5 = 5 kualitas jasa + 5 X2.1 = 6 kualitas jasa + 6 X2.2 = 7 kualitas jasa + 7 X2.3 = 8 kualitas jasa + 8 X2.4 = 9 kualitas jasa + 9 X3.1 = 10 kualitas jasa + 10 X3.2 = 11 kualitas jasa + 11 X3.3 = 12 kualitas jasa + 12 X3.4 = 13 kualitas jasa + 13 X4.1 = 14 kualitas jasa + 14 X4.2 = 15 kualitas jasa + 15 X4.3 = 16 kualitas jasa + 16 X4.4 = 17 kualitas jasa + 17 X4.5 = 18 kualitas jasa + 18 X5.1 = 19 kualitas jasa + 19 X5.2 = 20 kualitas jasa + 20 X5.3 = 21 kualitas jasa + 21 X5.4 = 22 kualitas jasa + 22 53
X5.5 = 23 kualitas jasa + 23 X5.6 = 24 kualitas jasa + 24 X5.7 = 25 kualitas jasa + 25
Bila digambarkan dalam model untuk uji dimensi dari kosntruk penelitian melalui confirmatory factor analisys, model pengukurannya adalah seperti pada gambar 4.1 b. Variabel Exogenous kedua adalah Kepuasan Pelanggan Model pengukurannya adalah : Y1.1 = 26 kepuasan pelanggan + 26 Y1.2 = 27 kepuasan pelanggan + 27 Y1.3 = 28 kepuasan pelanggan + 28 Bila digambarkan dalam model untuk uji dimensi dari konstruk penelitian melalui confirmatory factor analisys, model pengukurannya adalah seperti pada gambar 4.2. c.
Variabel Endogenous yaitu Loyalitas Pelangngan Model pengukurannya adalah : Y2.1 = 29 word of mouth + 29 Y2.2 = 30 word of mouth + 30 Y2.3 = 31 + word of mouth + 31 Y2.4 = 32 + word of mouth + 32
54
1
e33
X1.1
e1
1
1 e2
1
X1.2 X1.3
e3
1
Keandalan
1 X1.4
e4
1 X1.5
e5
e34
1
1 X2.1
e6
1 X2.2
e7
1
Daya tanggap
1 e8
1
X2.3 X2.4
e9
e35
1
1
Kualitas Layanan
X3.1
e10
Jaminan
1 X3.2
e11
1
1 X3.3
e12
1 X3.4
e13
1 e14
1
X4.1
e36
1
X4.2
e15
1
1
X4.3
e16
Empati
1 X4.4
e17
1
1 X4.5
e18
1
e37
x5.1
e19
1
1 x5.2
e20
1 x5.3
e21
1
Fasilitas Fisik
1 x5.4
e22
1 e23
x5.5
1 e24 e25
1
x5.6 x5.7
Gambar 4.1 Model Pengukuran Kualitas Jasa
55
e26
e28
e27
1
1
1
Y1.1
Y1.2
Y1.3
1
Kepuasan Pelanggan
Gambar 4.2 Model Pengukuran Kepuasan Pelanggan
Bila digambarkan dalam model untuk uji dimensi dari konstruk penelitian melalui comfirmatory factor analisys, model pengukurannya adalah seperti pada gambar 4.3.
4.5.2.2.Uji Structural Model Setelah melakukan uji Measurement Model, maka pengujian berikutnya dilanjutkan dengan Uji Structural Model. Pada dasarnya Uji Measurement Model menguji apakah model secara keseluruhan pada sebuah konstruk dapat dikatakan fit dengan data sampel yang ada. Jika sebuah measrement model tidak dapat dikatakan fit, maka proses pengujian seharusnya tidak diteruskan ke pengujian Structural Model. Namun, jika sebuah Measurement Model telah lolos dalam
56
pengujian, dapat dilakukan dengan Structural Model yang meliputi dua bagian utama yaitu:
Loyalitas Pelanggan
1
y2.1
y2.2
1
1
e29
e30
y2.3
y2.4
1
1
e31
e32
Gambar 4.3 Model Pengukuran Loyalitas Pelanggan
1. Menguji keseluruhan model (overall model fit) dari Structural model. 2. Menguji structural parameter estimates, yakni hubungan di antara konstruk atau variabel independen-independen yang ada dalam structural model (Santoso, 2007:130).
4.5.3. Uji Reliabilitas Model Reliabilitas adalah ukuran konsistensi internal indikator-indikator sebuah variabel bentukan yang menunjukkan derajat sampai dimana masing-masing indikator itu mengindikasikan sebuah variabel bentukan yang umum. Untuk
57
menguji reliabilitas digunakan rumus Construct reliability (Ghozali, 2005:134), sebagai berikut. Construct-reliability=
( Std .loading ) 2
( Std .Loading ) 2 j
(1)
Dimana: a. Std. Loading diperoleh langsung dari Standardizes Loading untuk tiap-tiap indikator (diambil dari perhitungan komputer dengan menggunakan program AMOS 16.0). b. j adalah measurement error dari tiap-tiap indikator. Nilai batas yang digunakan untuk menilai atau untuk menguji apakah setiap variabel dapat dipercaya, handal dan akurat dipergunakan koefisien Alpha Cronbach. Variabel dapat dinyatakan reliabel apabila Koefisien Alpha Cronbach lebih besar dari 0,70. Artinya tingkat reabilitas sebesar 0,70 merupakan indikasi realibelnya sebuah konstruk.
4.6.
Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul digunakan teknik
Structural Equation Modeling (SEM), di mana dalam proses perhitungannya dibantu dengan paket program komputer Statistical Package for Social Scinece (SPSS) 13.0 for windows dan program Analysis of Moment Structure (AMOS) 4.01.
58
4.6.1. Asumís-asumsi Penggunaan SEM Menurut Ferdinand (2002 : 51-54), asumís-asumsi yang harus dipenuhi dalam prosedur pengumpulan dan pengolahan data yang dianalisis dengan premodelan SEM adalah sebagai berikut :
1.
Ukuran Sampel Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam premodelan SEM ádalah berkisar
antara 100 hingga 200. Selanjutnya dinyatakan bahwa pedoman untuk ukuran sampel menggunakan perbandingan lima sampai dengan sepuluh observasi untuk setiap parameter/indikator yang diestimasi. Karena itu apabila mengembangkan model dengan 32 parameter/indikator, maka ukuran sampel yang harus digunakan adalah berkisar antara 160 hingga 320.
2.
Normalitas dan Linearitas Agar data dapat diolah lebih lanjut dalam premodelan SEM, maka sebaran
data harus dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui apakah asumsi normalitas data sudah terpenuhi. Normalitas data dapat diuji dengan metode-metode statistik atau dapat pula dilakukan dengan melihat gambar histogram data. Menurut Santoso (2007 : 67), sebaran data dikatakan normal jika Critical Ratio (CR) Skeweness (kemiringan) atau CR Curtosis (keruncingan) terletak antara -2,58 sampai + 2,58. Uji linearitas dapat dilakukan dengan mengamati scatter plot (diagram pencar) dari data, yaitu dengan memilih pasangan data dan dilihat pada
59
penyebarannya untuk menduga ada tidaknya linearitas. Menurut Santoso, (2002 : 43),
linearitas adalah keadaan di mana hubungan antara variabel dependen
dengan vaiabel independen bersifat linier (garis lurus) dalam range/kisaran variabel independen tertentu.
3.
Outliers Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim, baik
secara univariat maupun multivariat, yaitu yang muncul karena kombinasi karakteristik yang unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dengan observasi-observasi lainnya. Terhadap data outliers dapat dilakukan treatment khusus, sepanjang diketahui bagaimana munculnya outliers itu.
4.
Multicollinearity/ dan Singularity Multicolinearity atau Multikolinearitas dan Singularity atau Singularitas
dapat dideteksi dari determinan matriks kovarian. Nilai determinan matriks kovarians yang sangat kecil memberi indikasi adanya masalah multikolineritas atau singularitas (Ferdinand, 2002 : 55).
4.6.2. Tahapan-tahapan SEM Menurut Ferdinand (2002 : 33), analisis dengan teknik SEM ini menempuh tahapan-tahapan sebagai berikut : 1).
Pengembangan sebuah model teoritis penelitian, yang dalam hal ini bertajuk Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan.
60
2).
Pengembangan diagram alur (path diagram). Dalam tahapan ini, model yang telah dibentuk pada tahap pertama akan digambarkan dalam sebuah path diagram untuk mempermudah melihat hubungan kausalitas yang akan diuji
3).
Mengonversi
path diagram kedalam bentuk persamaan struktural
(structural equations) dan persamaan spesifikasi model pengukuran (measurement model). 4).
Memilih matriks input dan estimasi model. Pada tahapan ini akan memilih jenis matriks yang digunakan sebagai input operasi SEM. Apakah dalam bentuk
matriks kovarians atau matriks
korelasi. Menurut Hair dkk (1966) dalam Ferdinand (2002 : 47), matriks kovarians lebih sesuai apabila untuk memvalidasi hubungan-hubungan kausalitas. Dalam penelitian ini mengacu pada anjuran Hair dkk. Sedangkan teknik estimasi model, karena ukuran sampel dalam penelitian ini kecil, yaitu berada dalam kisaran 100 – 200 orang, maka menurut hasil studi Hu, Bentler and Kano (1992) dalam Tabachick and Fidel (1997) dalam Ferdinand (2002 : 47), menggunakan maximum likelihood estimation (ML) 5).
Mengantisipasi kemungkinan munculnya masalah identifikasi (identification problem). Problem identifikasi adalah problem mengenai ketidakmampuan model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Namun dengan program AMOS 4.01, problem identifikasi akan diatasi langsung oleh program. Apabila estimasi tidak dapat dilakukan, maka program akan memberikan pesan pada monitor komputer mengenai kemungkinan sebab-
61
sebab mengapa program tersebuttidak dapat melakukan estimasi, sehingga peneliti dapat melakukan tindakan perbaikan. 6).
Evaluasi kriteria goodness of fit. Tahapan ini mengevaluasi kesesuaian model melalui telaah terhadap berbagai kriteria goodness of fit, dimana langkah pertama yang dilakukan adalah mengevaluasi apakah data yang digunakan dapat memenuhi asumsiasumsi SEM, seperti; ukuran sampel, normalitas dan linearitas data, outliers, dan multicollinearity dan singularity.
Apabila asumsi-asumsi ini sudah
terpenuhi, maka model dapat diuji melalui berbagai cara uji. Berikut ini adalah beberapa indeks kesesuaian dan cut-off value nya untuk digunakan dalam menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak (Ferdinand, 2002 : 51). (1). X2 – Uji Chi Square Statistic. Alat uji ini fundamental untuk mengukur overall fit adalah likelihood ratio chi square statistic. Chi Square ini sangat sensitif terhadap besarnya sampel yang digunakan. Model yang diuji akan dipandang baik atau memuaskan apabila nilai chi square nya rendah. Semakin kecil nilainya, semakin baik model tersebut. (2). RMSEA (The Root Mean Square Error of Approximation) RMSEA adalah sebuah indeks yang dapat digunakan untuk mengompensasi chi square statistic dalam sampel yang besar (Baumgartner and Homburg, 1996, dalam Ferdinand, 2002 : 56). Nilai RMSEA menunjukkan goodness of fit yang dapat diharapkan bila
62
model diestimasi dalam populasi (Hair et al., 1995 dalam Ferdinand, 2002 : 56). Nilai RMSEA yang lebih kecil atau sama dengan 0,08 merupakan indeks untuk dapat diterimanya model yang menunjukkan sebuah close fit dari model itu berdasarkan degree of freedom (Browne and Cudek, 1993, dalam Ferdinand, 2002 : 56). (3). GFI (Goodness of Fit Index) Indeks kesesuaian (fit index) ini akan menghitung proporsi tertimbang dari varians dalam matriks kovarians sampel yang dijelaskan oleh matriks kovarians populasi yang terestimasikan (Bentler, 1983, Tanaka and Huba, 1989, dalam Ferdinand, 2002 : 57). GFI adalah sebuah ukuran non-statistical yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 1,0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah kesesuaian yang lebih baik (better fit). (4). AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) Sama halnya dengan GFI, AGFI juga merupakan kriteria yang memperhitungkan proporsi tertimbang dari varians dalam sebuah matriks kovarians sampel. Menurut Tanaka and Huba (1989) dalam Ferdinand (2002 : 57), GFI adalah analog dari R2 dalam regresi berganda. Fit index ini dapat di adjust terhadap degrees of freedom yang tersedia untuk menguji diterima tidaknya model (Arbuckle, 1999, dalam Ferdinand, 2002 : 57). Nilai AGFI yang direkomendasikan adalah apabila nilainya sama dengan atau lebih besar dai 0,90 (Hair et al., 1995; Hulland et al., 1996, dalam Ferdinand, 2002 : 58). Nilai
63
sebesar 0,95 dapat diinterpretasikan sebagai tingkatan yang baik (good overall model fit), sedangkan nilai antara 0,90 – 0,95 menunjukkan tingkatan cukup/adequate fit ( Hulland et al., 1996 dalam Ferdinand, 2002 : 58). (5). CIMIN/DF The minimum sample discrepancy function (CMIN) dibagi dengan degree of freedom akan menghasilkan indeks CMIN/DF, yang umumnya dilaporkan oleh para peneliti sebagai salah satu indikator untuk mengukurr tingkat fit-nya sebuah model. Dalam hal ini CMIN/DF tidak lain adalah statistik chi square, X2 dibagi DF-nya sehingga disebut X2 relatif. Nilai X2 kurang dari 2,0 atau bahkan kadang kurang dari 3,0 adalah indikasi dari acceptable fit antara model dan data (Arbuckle, 1997, dalam Ferdinand, 2002 : 58). (6). TLI (Tucker Lewis Index) TLI
adalah
sebuah
alternatif
incremental
fit
index
yang
membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model (Baumgartner and Homburg, 1996, dalam Ferdinand, 2002). Nilai yang direkomendasikan sebagai acuan untuk diterimanya sebuah model adalah penerimaan ≥ 0,95 (Hair dkk, 1995, dalam Ferdinand, 2002 : 59), dan nilai yang sangat mendekati 1 menunjukkan a very good fit (Arbuckle, 1997, dalam Ferdinand, 2002 : 60).
64
(7). CFI (Comparatif Fit Index) : Besaran dari indeks ini adalah pada rentang nilai sebesar 0 – 1, dimana semakin mendekati 1, mengindikasikan tingkat fit yang paling tinggi – a very good fit (Arbuckle, 1997, dalam Ferdinand, 2002 : 60). Nilai yang direkomendasikan adalah CFI ≥ 0,95. keunggulan dari indeks ini adalah bahwa indeks ini besarnya tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel karena itu sangat baik untuk mengukur tingkat penerimaan sebuah model (Hulland et al., 1996; Tanaka, 1993, dalam Ferdinand, 2002 : 61). Berikut ini adalah ringkasan dari indeks-indeks tersebut yang dapat digunakan untuk menguji kelayakan sebuah model. Tabel 4.2. Goodness of fit indexes Goodness of Fit Indexes Goodness of fit indexes X – Chi Square
Cut off value Diharapkan kecil
Significance probability
≥ 0,05
RMSEA
≤ 0,08
GFI
≥ 0,90
AGFI
≥ 0,90
CMIN/DF TLI FI
≤ 2,00 ≥ 0,95 ≥ 0,95
2
Sumber : Ferdinamd (2002 : 61).
7).
Interpretasi dan Modifikasi Model Langkah terakhir adalah menginterpretasikan model dan memodifikasi
model-model yang tidak memenuhi syarat pengujian yang dilakukan. Setelah 65
model diestimasi, residualnya haruslah kecil atau mendekati nol dan distribusi frekuensi dari kovarians residual harus bersifat simetrik (Tabachnick and Fidel, 1997, dalam Ferdinand, 2002 : 64).
66
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1.
Gmbaran Umum PT Jasaraharja Putera PT Asuransi Jasaraharja Putera – disingkat PT Jasaraharja Putera (JP-
INSURANCE) - yang sebelumnya bernama PT Asuransi Aken Raharja, lahir pada tanggal 27 Nopember 1993 dan secara efektif mulai beroperasi pada tanggal 01 Januari 1994, dengan pemegang saham mayoritas PT Jasa Raharja (Persero). Perubahan nama dari PT Aken Raharja menjadi PT
Jasaraharja Putera adalah
berdasarkan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Pemegang saham PT Jasaharja Putera pada tanggal 29 Desember 1995. Berdasarkan data pada Company Profile PT Jasaraharja Putera tahun 2009, sampai dengan 30 September 2009, PT Jasaraharja Putera yang berkantor pusat di Jakarta, mempunyai 26 Kantor Cabang dan 62 Kantor Pemasaran yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pengendalian operasional dipegang
PT Jasaraharja Putera
oleh Dewan Direksi yang terdiri atas Direktur Utama, Direktur Ritel,
Direktur Korporasi dan Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dewan Direksi dibantu oleh Unit Kerja Divisi dan Unit Kerja Kantor Cabang. Unit Kerja Tingkat Divisi berkedudukan di Kantor Pusat Jakarta, terdiri atas enam unit kerja, meliputi Divisi Ritel, Divisi Korporasi, Divisi Keuangan, Divisi
Sumber
Daya
Manusia
(SDM),
Biro
Litbang
(Penelitian
dan
Pengembangan), dan Internal Audit. Sedangkan Unit Kerja Kantor Cabang terdiri atas lima Kantor Cabang Tingkat I, 20 Kantor Cabang Tingkat II dan satu Kantor Cabang Khusus tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kantor Cabang Tingkat I 67
membawahi Bagian Operasi, Seksi Korporasi, Seksi Ritel, Seksi Klaim, Seksi Keuangan dan SDM serta Kantor Pemasaran Tingkat I dan Kantor Pemasaran Tingkat II, dan Kantor Cabang
Tingkat II maupun Kantor Cabang Khusus
membawahi Seksi Korporasi, Seksi Ritel, Seksi Klaim dan Seksi Keuangan dan SDM serta Kantor Pemasaran Tingkat II. Visi perusahaan adalah “Menjadi Perusahaan Asuransi Terkemuka Di Indonesia”
dengan
indikator
keberhasilan
yang
harus
dicapai
adalah
menempatkan diri pada level 10 hingga lima besar di deretan perusahaan asuransi kerugian dari segi gross premium income, net underwriting result dan profit. Sedangkan misinya adalah “Menyediakan Produk Tepat Guna Dengan Pelayanan Prima”. Sebagai landasan berpijak dalam upaya mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan tersebut, PT Jasaraharja Putera merumuskan butir-butir Budaya Perusahaan (Corporate Culture), “ Jujur, Disiplin, Tanggap, Cermat, dan Santun” serta moto perusahaan “Protector for Protection”. Dari segi pembagian tanggungjawab perdivisi, produk PT Jasaraharja Putera dikelompokkan ke dalam kelompok produk korporasi dan produk ritel. Produk korporasi, yang berada dibawah tanggungjawab Divisi Korporasi, terdiri atas tiga jenis produk, yaitu Surety Bond (JP Bonding), Asurasni Engineering dan Asuransi Kredit Perdagangan (Askredag).
Sedangkan
produk ritel yang
merupakan tanggungjawab Divisi Ritel, terdiri atas sekitar 26 jenis produk, diantaranya Asuransi Kendaraan Bermotor (JP Astor), Asuransi Kebakaran (JP Graha),
Asuransi Kecelakaan Pribadi (JP Aspri), Property All Risk (PAR),
Asuransi Pengangkutan, Asuransi Hole In One dan lain-lain.
68
Sebagai strategi marketing, dari kedua kelompok/jenis produk tersebut, PT Jasaraharja Putera mengemas empat jenis produk unggulan, yaitu masingmasing adalah JP Bonding, JP Astor, JP Graha, dan JP Aspri. Keempat produk unggulan tersebut telah memperoleh pengakuan atas stándar kualitas internasional berupa sertifikasi ISO 9001 : 2000. Disamping itu, berbagai upaya juga terus dilakukan oleh PT Jasaraharja Putera untuk terus mengembangkan perusahaan, diantaranya melakukan rating pada lembaga independen yang kredibel sejak tahun 2007, yaitu yang dilakukan oleh lembaga rating PT Pefindo, disaat mana perusahaan lain
yang sejenis belum melakukannya.
Berdasarkan hasil
pemeringkatan tahun 2009, PT Jasaraharja Putera berada pada peringkat id A (Single A, Stable Outlook). Dengan peringkat ini, PT Jasaraharja Putera termasuk kategori perusahaan asuransi yang memiliki kekuatan keuangan yang memadai untuk memenuhi kewajiban membayar klaim. Dari sisi pemenuhan modal sendiri, PT Jasaraharja Putera juga telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan RI No. 124/PMK.010/2008, yaitu modal sendiri minimal Rp. 250.000.000.000,00 (dua ratus milyar rupiah) bagi perusahaan asuransi umum yang memasarkan produk asuransi kredit dan suretyship.
Sampai September
2010, baru 17 dari 89 perusahaan asuransi umum/kerugian yang bisa memenuhi persyaratan tersebut (Infobank, 2010 : 30).
69
5.2.
Gambaran Umum Produk JP Bonding Produk Surety Bond – di PT Jasaraharja Putera diberi nama merek JP
Bonding - di Indonesia dirintis pertama kali oleh PT Jasa Raharja (Persero) pada tahun 1978. Namun pelaksanaanya praktis baru mulai berjalan pada tahun 1980 dengan
dikeluarkannya
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan
RI
No.
27/KMK.011/1980 sebagai pelaksanaan dari pasal 18 Keppres 14 A tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah. Sedangkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut memerinci nama-nama Bank yang boleh menerbitkan Jaminan Bank (Bank Garansi) dan baru PT Jasa Raharja (Persero) satu-satunya yang diberikan ijin menerbitkan Surety Bond (Sianipar, 2001 :1). Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 2 tahun 1992 yaitu tentang Pengelolaan Perusahaan Perasuransian pada tanggal 01 Januari 1994, dimana perusahaan asuransi sosial seperti PT Jasa Raharja (Persero) tidak diperkenankan lagi mengelola bisnis diluar asuransi sosial, maka bisnis Surety Bond dikelola oleh anak perusahaannya, yaitu PT Jasaraharja Putera atau JP Insurance. Sianipar (2001 : 1) menyatakan bahwa sejak dikeluarkannya Surat Kepmen Keuangan RI No. 27/KMK.011/1980, Keputusan Menteri megenai jaminan Surety Bond ini setiap tahun dierbaharui dengan kemungkinan merubah nama-nama bank pemerintah / swasta nasional yang boleh menerbitkan garansi bank, tetapi sampai tahun 1990 baru satu Lembaga Keuangan Non-Bank yaitu PT Jasa Raharja (Persero) yang boleh menerbitkan Surety Bond.
70
Lebih lanjut Sianipar (2001 : 2) menyatakan bahwa tujuan pemerintah mengeluarkan Keprpres 14 A tahun 1980 adalah sebagai berikut : 1.
Memperluas jaminan yang dapat dipergunakan oleh para kontraktor dalam pengerjaan
pemborongan
dan/atau
pembelian.
Dengan
demikian
memberikan alternatif pemilihan jaminan, sehingga para kontraktor berkesempatan memakai jaminan yang menurutnya lebih murah biayanya. 2.
Menciptakan pasar jaminan yang kompetitif, sehingga tidak dimonopoli hanya oleh bank pemerintah saja. Adanya persaingan seperti ini di samping bisa memberikan biaya yang lebih murah, ternyata mendorong para pemberi jaminan membuka kesempatan dan pelayanan yang lebih mempermudah bagi para kontraktor.
3.
Memberikan kesempatan berusaha bagi kontraktor yang mempunyai kemampuan mengerjakan proyek, tetapi kekurangan modal kerja sehingga perlu diberikan bantuan uang muka. Pemberian uang muka seperti ini jarang dilakukan di negara lain. Dengan adanya uang muka sampai dengan 20% dapat diperkirakan bahwa kontraktor yang baik pasti akan bisa menyelesaikan pekerjaan yang dipercayakan kepadanya walaupun ia sendiri tidak perlu atau tidak mempunyai dana sama sekali.
4.
Dengan menunjuk lembaga asuransi sebagai pengelola Surety Bond, dimaksudkan agar insurance minded di kalangan kontraktor khususnya dan di masyarakat pada umumnya semakin meningkat. Surety Bond itu sendiri didefinisikan sebagai suatu bentuk perjanjian
antara tiga pihak, dimana yang satu pihak (Surety/Perusahaan Penjamin, dalam hal
71
ini asuransi) memberikan jaminan kepada pihak kedua (Principal/Kontraktor) untuk kepentingan pihak ketiga (Obligee/Pemilik Proyek). Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa apabila pihak yang dijamin (Principal) lalai atau gagal menyelesaikan kewajibannya terhadap pihak Obligee sesuai apa yang telah diperjanjikan, maka pihak Surety akan memberikan ganti rugi atas biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban yang belum terselesaikan tersebut. Perjanjian pemberian jaminan (Surety Bond) bersifat perjanjian tambahan (Accesoir) terhadap perjanjian pokok (Underwriting Contract) yang dibuat antara pemilik proyek (Obligee) dengan Kontraktor (Principal) (Sianipar, 2001 : 2). Perjanjian tiga pihak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Pemilik Proyek (=Obligee)
Perjanjian Pokok (= Kontrak)
Kontraktor (=Principal)
Perjanjian Tambahan (Accesoir)= Jaminan/Surety Gambar : 5.1 bond Perjanjian antara Obligee, Principal, dan Surety Co. Surety Company
Sumber : Sianipar, 2001 : 3
Berbeda dengan di luar negeri, di Indonesia badan usaha yang mengelola Surety Bond masih sangat terbatas, sehingga jenis jaminan yang dapat diberikan juga baru mencakup untuk Contstruction Contract (Jaminan atas Kontrak Konstruksi), Supply Contract (Jaminan atas Kontrak Pengadaan Barang) dan
72
Consulting Contract (Jaminan atas Konsultasi), yang semuanya ini berkaitan dengan kontrak pembangunan (Sianipar, 2001 : 4) Lebih lanjut Sianipar (2001 : 4) menyebutkan bahwa untuk kegiatankegiatan tersebut ada beberapa jenis Bond yang biasa dikeluarkan, yaitu : 1.
Bid Bond / Tender Bond (Jaminan Penawaran)
2.
Performance Bond ( Jaminan Pelaksanaan)
3.
Advance Payment Bond (Jaminan Uang Muka)
4.
Maintenance Bond (Jaminan Pemeliharaan).
5.3.
Karakteristik Responden Seluruh responden yang mewakili 200 perusahaan yang berdomisili di
wilayah administratif
Kota Madya
Denpasar, semuanya mengembalikan
kuesioner yang sudah dijawab sesuai dengan petunjuk pengisian kuesioner. Rekapitulasi karakteristik responden disajikan pada Tabel 5.1. Pada Tabel 5.1. terlihat bahwa komposisi responden perempuan lebih banyak dibandingkan dengan responden laki-laki, yaitu sebesar 70% dari total 200 responden. Hal ini diduga erat kaitannya dengan sifat kaum perempuan yang umumnya mempunyai sifat atau karakter lebih fleksibel/luwes dan lebih sabar ketimbang kaum laki-laki.
Karakter seperti ini sangat mendukung untuk
mempersiapkan persyaratan-persyaratan
administrasi tender yang seringkali
dihadapkan pada suatu kondisi waktu yang sangat singkat.
Dari segi usia,
sebagian besar responden berada pada kisaran usia antara 25 tahun hingga 50
73
tahun, yaitu sebesar 79,50%. Kisaran usia ini dapat dikatakan merupakan sebuah representasi produktifitas dan kematangan pemahaman atas suatu permasalahan. Tabel 5.1. Rekapitulasi Karakteristik Responden Jumlah Karakteristik Responden Jenis Kelamin
Usia (tahun)
Pendidikan Terakhir
Jabatan Responden
Bentuk Badan Hukum Preusan
Klasifikasi Karakteristik Laki-laki Perempuan Jumlah 25 25-50 50 Jumlah SMA Diploma S1 S2 S3 Lain-lain Jumlah Pimpinan Pemegang jabatan Staf Jumlah CV PT Jumlah
Kurang dari 3 th. 3 th – 6 th. Diatas 6 th. Jumlah Sumber : Lampiran 2 : Frekuensi Lamanya Menjadi Nasabah di JP
Orang
%
60 140 200 36 159 5 200 120 25 52 1 1 1 200 41 18 141 200 130 70 200
30 70 100 18,0 79,5 2,5 100 60 12,50 26 0,50 0,50 0,50 100 20,50 9,00 70,50 100 65 35 100
30 70 100 200
15 35 50 100
Sehingga jika memperhatikan masalah tender yang seringkali tenggat waktunya sangat singkat/mepet antara waktu pengumumuman tender dengan waktu penutupan pendaftaran peserta tender, maka dapat dipahami apabila responden pada penelitian ini didominasi oleh responden yang berada pada kisaran usia ini. Terkait dengan latar belakang pendidikan responden, sebagian besar responden (60%) mempunyai pendidikan akhir setingkat SMA. Hal ini juga dapat 74
dimaklumi, karena umumnya untuk mempersiapkan persyaratan-persyaratan administrasi sebuah proyek, seperti pengurusan persyaratan tender, dimana di dalamnya termasuk pengurusan jaminan Surety Bond/JP Bonding tidaklah diperlukan persyaratan latar belakang pendidikan yang tinggi. Demikian juga menyangkut masalah jabatan responden, tidak diperlukan jabatan khusus bagi responden untuk mengurus jaminan Surety Bond/JP Bonding, sehingga dapat dipahami apabila sebagian besar responden (70%) hanya merupakan staf biasa pada prusahaannya. Berdasarkan
bentuk badan hukum,
dijadikan unit sampel
sebagian besar perusahaan yang
berbadan hukum CV( Perusahaan Komanditer), yaitu
sebesar 65%. Hal ini diduga terkait dengan keberadaan proyek-proyek yang ada di Bali yang sebagian besar (65%) berupa proyek pengadaan barang dan jasa, yang merupakan segmen dari perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum CV. Sementara proyek-proyek fisik yang umumnya pendanaannya cukup besar, jumlahnya relatif sedikit di Bali (35%), yang mana umumnya proyek-proyek ini merupakan segmennya perusahaan yang berbadan hukum PT (Perseroan Terbatas). Terkait dengan lamanya perusahaan-perusahaan menjadi pelanggan di PT Jasarahara Putera, sebagian besar (85%) telah menjadi pelanggan di atas 3 tahun. Hal ini diduga berkaitan dengan posisi PT Jasaraharja Putera sebagai perintis di produk Surety Bond, sehingga dari segi pengalaman melayani pelanggan di bisnis ini diharapkan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan para pesaingnya.
75
5.4.
Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, perhitungan composite reliability dihitung dengan
menggunakan standardized loading butir-butir konstruk yang didapat dari pengujian model pengukuran. Dengan melihat hasil perhitungan pada Lampiran 3 dapat disajikan tabel hasil pengujian construct reliability dari masing-masing variabel laten seperti pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 Hasil Uji Reliabilitas Variable Keandalan Daya Tanggap Jaminan Empati Fasilitas Fisik Kepuasan Pelanggan Loyalitas Pelanggan
Construct Reliability 0,786 0,865 0,721 0,819 0,822 0,854 0,843
Sumber : Lampiran 3 : Hasil Uji Reliabilitas Konstruk
Pada Tabel 5.2 terlihat bahwa semua konstruk penelitian yaitu keandalan, daya tanggap, jaminan, empati, fasilitas fisik, kepuasan pelanggan, dan loyalitas pelanggan sudah memenuhi syarat reliabel. Hal ini dapat dilihat dari nilai reliabilitas konstruknya semua di atas 0,70. Nunally dan Bernstein (1994) dalam Ferdinand
(2002
:
63)
memberikan
pedoman
yang
baik
untuk
menginterpretasikan indeks reliabilitas. Mereka menyatakan bahwa nilai indeks reliabilitas antara 0,50 – 0,60 sudah cukup untuk menjustifikasi sebuah hasil penelitian.
Oleh karena semua reliabilitas konstruk dalam penelitian ini lebih
besar dari 0,70, maka dapat diinterpretasikan sudah cukup reliabel.
76
5.5.
Hasil Uji Asumsi-asumsi SEM Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi atau yang menjadi persyaratan dalam
analisis SEM, antara lain: ukuran sampel, normalitas data, outliers, serta multikolinieritas dan singularitas.
5.5.1. Ukuran Sampel, Normalitas Data, Outliers, serta Multikolinieritas Singularitas Ukuran sampel, yang besarnya 200 responden, baik dari jumlah minimum sampel maupun dari perbandingan minimum observasi untuk setiap parameter, juga telah memenuhi ketentuan. Dimana Hair, et.al dalam Ferdinand (2002 : 47) menyatakan bahwa ukuran sampel yang layak berdasarkan kedua kriteria dimaksud berkisar antara 160 sampai 320. Demikian juga hasil uji terhadap normalitas data, karena telah memenuhi salah satu kriteria yaitu Critical Ratio Skewness nya tidak berada di luar ± 2,58, maka dapat dinyatakan bahwa data untuk masing-masing variabel dalam penelitian ini sebarannya normal (Tabel 5.3). Tetapi secara multivariate datanya tidak normal karena nilai Critical Ratio Skewness nya di atas 2,58, yaitu 4,087. Hasil pengujian terhadap ada tidaknya data outliers dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ditemukan tiga variabel yang nilai p1 atau p2 nya di bawah 0,05, artinya data tersebut menunjukkan gejala outliers, yaitu data observasi nomor 153, 100, dan 99 (Lampiran 4). Dalam penelitian ini, gejala outliers yang ditemukan pada observasi tersebut tidak dihilangkan dari analisis karena tidak ada alasan khusus untuk profil responden tersebut yang menyebabkannya harus dikeluarkan dari analisis ini. 77
Variable X5.7 Y2.1 X5.6 X4.1 X4.2 X2.4 X3.4 Y1.2 Y1.1 Y2.4 X1.5 X5.5 Y2.2 Y2.3 Y1.3 X1.1 X5.1 X5.2 X5.3 X5.4 X4.3 X4.4 X4.5 X3.1 X3.2 X3.3 X1.2 X1.3 X1.4 X2.1 X2.2 X2.3 Multivariate
Tabel 5.3 Hasil Uji Normalitas Data Min Max Skew c.r. 1.000 5.000 -.129 -.744 1.000 5.000 -.293 -1.690 1.000 5.000 -.061 -.353 1.000 5.000 -.284 -1.538 1.000 5.000 -.477 -2.554 1.000 5.000 -.378 -2.180 1.000 5.000 -.213 -1.232 1.000 5.000 -.391 -2.258 1.000 5.000 -.240 -1.383 1.000 5.000 -.277 -1.598 1.000 5.000 -.216 -1.250 1.000 5.000 -.379 -2.188 1.000 5.000 -.352 -2.035 1.000 5.000 -.424 -2.450 1.000 5.000 -.352 -2.035 1.000 5.000 -.124 -.713 1.000 5.000 -.146 -.845 1.000 5.000 -.335 -1.933 1.000 5.000 .252 1.458 1.000 5.000 -.389 -2.243 1.000 5.000 -.422 -2.437 1.000 5.000 -.349 -2.014 1.000 5.000 -.223 -1.288 1.000 5.000 -.063 -.363 1.000 5.000 .083 .478 1.000 5.000 -.009 -.049 1.000 5.000 -.189 -1.093 1.000 5.000 -.156 -.900 1.000 5.000 -.244 -1.409 1.000 5.000 -.424 -2.446 1.000 5.000 -.309 -1.786 1.000 5.000 -.441 -2.547
Kurtosis -1.229 -1.346 -1.209 -1.329 -.792 -1.063 -1.262 -.817 -1.244 -.971 -1.274 -1.052 -1.018 -1.037 -.905 -1.210 -1.215 -1.150 -.892 -.939 -1.184 -1.303 -1.154 -1.180 -1.237 -1.212 -.991 -1.199 -1.145 -1.111 -.958 -.988 26.961
c.r. -3.548 -3.887 -3.489 -3.838 -2.286 -3.070 -3.644 -2.360 -3.591 -2.802 -3.678 -3.036 -2.939 -2.994 -2.612 -3.494 -3.509 -3.319 -2.574 -2.710 -3.417 -3.761 -3.332 -3.407 -3.570 -3.499 -2.860 -3.461 -3.305 -3.206 -2.765 -2.851 4.087
Sumber: Lampiran 4.; Normalitas, Outliers, Multikulineeritas dan Singularitas Data /Assesment of normality/Group number 1.
Hasil pengujian terhadap kemungkinan adanya data multikolinieritas dan singularitas juga menunjukkan hasil bahwa data dalam penelitian ini layak untuk 78
digunakan karena nilai output determinant of sample covariance matrix jauh dari nilai nol, yaitu 18,892 (Lampiran 4)
5.6
Hasil Uji Measurement Model Uji measurement model terdiri atas dua pengujian yaitu uji kecocokan
model (goodness of fit model) dan uji validitas model pengukuran. Uji kecocokan digunakan untuk mengetahui apakah model yang terbentuk sudah sesuai dengan data yang tersedia. Sedangkan validitas model pengukuran untuk mengetahui apakah semua muatan faktor (loading factor) baik pada tingkat pertama (First order CFA) dan atau tingkat kedua (Second order CFA) mempunyai validitas yang baik.
5.6.1. Second Order Confirmatory Factor Analysis (CFA) Kualitas Layanan Konstruk Kualitas Layanan terdiri atas lima dimensi dan masing-masing dimensi diukur dengan beberapa indikator. Oleh karena demikian, uji measurement model untuk Kualitas Layanan pertama-tama harus dilakukan uji Second Order CFA. Kemudian baru dilakukan uji First Order CFA untuk masing-masing dimensi Kualitas Layanan.
1).
Hasil Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit Test) Hasil uji terhadap kesesuaian (goodness of fit) model menunjukkan
bahwa indikator-indikator untuk kesesuain model nilainya sudah memenuhi kriteria yang ditentukan, kendati untuk tiga indikator (GFI, CFI, dan AGFI)
79
bersifat marjinal. Ini berarti model sudah sesuai dengan data yang tersedia (Tabel 5.4). Tabel 5.4 Goodness of Fit Indexes Model Kualitas Layanan Goodness of Fit Index
Cut of Value *
X2-Chi-Square Probability (P) GFI CMIN/DF TLI CFI RMSEA AGFI
Diharapkan kecil ≥ 0,05 ≥ 0,90 ≤ 2,00 ≥ 0,95 ≥ 0,95 ≤ 0,08 ≥ 0,90
Hasil Model** 305,644 0,067 0,895 1,132 0,976 0,895 0,026 0,873
Keterangan Baik Baik Marginal Baik Baik Marginal Baik Marginal
Sumber: *) Ferdinand (2002) dan **) Lampiran 5. Second Order CFA Kualitas Layanan.
2).
Hasil Uji Validitas Konstruk (Koefisen Loading Factor) Hasil uji validitas model
menunjukkan bahwa kelima dimensi
(Keandalan, Daya Tanggap, Jaminan, Empati, dan Fasilitas Fisik)
signifikan
membentuk Konstruk Kualitas Layanan dengan nilai signifikansi di bawah 0,05. Ini berarti bahwa dimensi-dimensi yang membentuk konstruk adalah valid (Tabel 5.5).
Tabel 5.5 Estimasi Regression Weights Model Kualitas Layanan Unstandardized Standardized Estimate Estimate X3 X4 X5 X1 X2