TIM KOMPENDIUM BIDANG HUKUM TENTANG ... - Bphn.go.id

47 downloads 120 Views 871KB Size Report
perpajakan tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VII B. Pasal 23A ... perpajakan5 yang mana dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia.
TIM KOMPENDIUM BIDANG HUKUM TENTANG LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Pembangunan hukum merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam rangka pembangunan suatu negara, untuk itu berhasilnya suatu pembangunan di pengaruhi produk peraturan yang mengaturnya. Hukum berfungsi memberi kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan

Disusun Oleh Tim Kerja Di bawah Pimpinan

(zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).1 Di samping itu juga

Dr. Tjip Ismail, S.H., M.H., MBA

hukum sebagai alat untuk mengatur tata tertib masyarakat. Peraturan yang tumpang tindih atau bertentangan antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain sangat merugikan masyarakat dan negara, karena menimbulkan “ambiguitas” dan ketidakpastian hukum. Untuk itu, hukum sebagai sarana kontrol sosial dapat memberikan solusi dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut. Dalam suatu masyarakat yang sedang membangun peranan hukum memegang arti penting, fungsi peranan itu

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL JAKARTA 2011

dilakukan dengan memanfaatkan hukum yang telah dipercaya untuk

1

Sudikno dan Pitlo, 1993, hlm. 1.

2 3

mengembangkan misinya yang paling baru, yaitu sebagai sarana

bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

perubahan sosial (social engineering) dan sarana pembinaan hukum di

Demikian pula di negara-negara maju berlaku slogan dalam pemungutan

masyarakat (social control and dispute settlement). Kepercayaan ini

pajak: “no taxation without representation” bahwa tidak ada pajak tanpa

didasarkan pada hakikat dan potensi hukum sebagai inti kehidupan

persetujuan

masyarakat.

representation is robbery” bahwa pemungutan pajak tanpa persetujuan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

atau

“taxation

without

Negara kita berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan tidak

Dewan Perwakilan Rakyat berarti pencurian. Untuk itu fungsi pajak

berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachtsstaat), hal ini ditemukan pada

sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan umum,

beberapa ketentuan yakni:2 (a) penjelasan UUD 1945 mengenai sistem

pengaturan

pemerintahan, (b) penegasan penolakan terhadap kekuasaan yang bersifat

pembangunan menyebabkan setiap negara menghendaki agar pemungutan

absolutisme, (c) negara hukum di Indonesia dalam arti materiil, (d) sejalan

pajak dapat terlaksana dengan baik. Apalagi penerimaan negara dari

dengan negara demokrasi, (e) kekuasaan kepala negara terbatas bukan tak

sektor pajak menjadi salah satu indikator kunci keberhasilan pemerintah.

terbatas, (f) dan dalam batang tubuh mengatur rumusan tentang hak-hak

Jika ditarik lebih lanjut, apapun sistem pajak yang dilaksanakan maka

kemanusiaan. Dalam negara hukum yang bertujuan mensejahterakan

ukuran keberhasilan akan berpulang pada jumlah setoran pajak pada kas

seluruh warga negaranya (walfare state), pemungutan pajak negara harus

negara.4 Hal tersebut bukan pekerjaan mudah untuk seluruh aparatur

didasarkan pada undang-undang.3 Politik hukum nasional di bidang

Dirjen Pajak, mengingat perubahan tingkat kepatuhan wajib pajak (tax

perpajakan tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VII B

payer) belum signifikan, sedangkan target perorehan pajak dari tahun ke

Pasal 23A, yang menyatakan bahwa “pajak dan pungutan lain yang

tahun diharapkan selalu meningkat.

Marbun, 2003, hlm. 11-13. Soemitro, 2004, hlm. 16.

4

ekonomi,

Huda, 2005, hlm. 70.

pemerataan

pendapat

dan

peningkatan

Keberhasilan dalam pemungutan pajak dipengaruhi oleh sistem perpajakan5 yang mana dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia

membayar pajak, sedang fiskus sebagai pemungut dibebani pemasukan negara dari pajak yang sangat besar.

berlandaskan pada ajaran The Four Maxims. Adam Smith (1723-1970)

Dalam bagian menimbang pada Undang-Undang Nomor 14

dalam bukunya yang berjudul An Inquire into the Nature and Cause of the

Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak LNRI 2002 Nomor 27 TLNR

Wealth of Nations yang diterbitkan 1776 menyatakan asas the four

14189 menyebutkan: ... diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai

maxims itu terdiri dari: equity (keadilan), certainty (kepastian), ekonomis

dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu

dan efisien (convenience of payment). 6 Akan tetapi akan prakteknya sukar

menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa

dipahami dan tidak sederhana dalam implementasinya yang pada akhirnya

pajak. Hanya saja dalam realitas sekarang apakah keberadaan pengadilan

berujung pada terusiknya rasa keadilan masyarakat pada umumnya dan

pajak itu sudah mencerminkan sistem kekuasaan kehakiman seraya

wajib pajak pada khususnya. Dalam pemungutan pajak patut diperhatikan

dengan perubahan beberapa ketentuan undang-undang baik Undang-

mengenai ketelitian dan kebenaran administrasi dan fiskus. Hal ini

Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang sudah diubah menjadi Undang-

berkaitan dengan munculnya ketidakpuasan dari wajib pajak yang tidak

Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah menjadi Undang-Undang

mau menerima tindakan fiskus sehingga menimbulkan adanya sengketa

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta beberapa

antara wajib pajak dan fiskus. Sengketa pajak sangat terbuka mengingat

peraturan lainnya.

wajib pajak sering berpendapat untuk membayar pajak itu harus sekecil

Keberadaan pengadilan pajak diatur secara khusus dalam

mungkin bahkan kalau perlu menghindarkan diri dari kewajiban

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara tentang

5 6

Muqodim, 1999, hlm. 24. Hadi Irawan, 2003, hlm. 10. dan Moh. Zain, 1990, hlm. 33-35.

sengketa pajak.7 Sengketa pajak dimaksud adalah antara lain adalah

pengadilan pajak Mahkamah Agung. Permohonan peninjauan kembali

banding atas keberatan wajib pajak terhadap keputusan kepala daerah.8

tersebut hanya dapat diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui

Permohonan banding diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak

pengadilan pajak dengan tidak menangguhkan atau menghentikan

keputusan keberatan diterima.

pelaksanaan putusan pengadilan pajak.

Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan

Disamping permohonan banding, wajib pajak dapat mengajukan

mempunyai kekuatan hukum tetap.9 Namun demikian pihak-pihak yang

gugatan atas pelaksanaan penagihan kepada Pengadilan Pajak. Dalam hal

bersengketa

wajib pajak merasa keberatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak oleh

dapat

mengajukan

peninjauankembali

atas

putusan

pemerintah daerah, wajib pajak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan 7

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa: (1) WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala daerah/pejabat yang ditunjuk atas: a. Surat ketetapan pajak daerah; b. Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar; c. Surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan; d. Surat ketetapan pajak daerah lebih bayar; e. Surat ketetapan pajak daerah nihil; f. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan di daerah yang berlaku; (2) Keberatan diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas; (3) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, wajib pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. 8 Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menyatakan bahwa Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002.

Pajak. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan pelaksanaan pengadilan pajak daerah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan sengketa pajak sebagai sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dan pejabat pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa.10 Menurut R. Santoso Brotodiharjo, sengketa pajak

pengadilan ini tidak mungkin masuk dalam lingkup Peradilan Umum

terjadi karenan penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan/

karena Pengadilan Pajak menyelesaikan sengketa negara yang tidak puas

penyulundupan (tax evasion), dan pelalaian pajak.11 Sebenarnya yang

dengan keputusan yang diberikan oleh Negara, khususnya Kantor

merupakan sengketa pajak adalah hanya pengelakan/penyulundupan dan

Perpajakan baik itu di daerah dan/atau di pusat. Secara singkat dapat

pelalaian pajak saja, sedangkan penghindaran pajak pada dasarnya dapat

dinyatakan obyek gugatan dalam pengadilan Pajak adalah putusan dari

dilakukan oleh wajib pajak karena tidak bertentangan dengan Undang-

pejabat Negara. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

Undang Perpajakan.12

Pengadilan Pajak memiliki kemiripan dengan Pengadilan Tata Usaha

Saat ini Indonesia telah memiliki empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan

Negara. Dalam ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 ayat 1 dan ayat 5 menyatakan sebagai berikut :

Peradilan Agama. Amademen terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 hingga pada

Ayat 1 menyatakan:

perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tidak

Badan pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi

merubah ketentuan apapun mengenai hal ini. Amandemen tersebut

badan peradilan dalam lingkup peradilan umum, peradilan agama,

menimbulkan permasalahan tersendiri pada saat Pengadilan Pajak

peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.

dibentuk. Keberadaan Pengadilan Pajak, sekilas dapat diketahui bahwa 10

Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. LN Nomor 27 Tahun 2002 dan TLN Nomor 4189 Tahun 2002. 11 R. Santoso Brotodiharjo, Ilmi Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1987, hlm. 14. 12 Mardiasmo, perpajakan,

Ayat 5 menyatakan: Peradilan tata usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa

tata usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang

undangan.

berpuncak di Mahkamah Agung, karena itulah diperlukan suatu

Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya

pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di

peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea masuk dan cukai,

Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum di

dan pajak daerah, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya

Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam

peningkatan keadailan terhadap para wajib pajak itu sendiri. Karenanya

penyelesaian sengketa pajak.4

masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak, seringkali merasakan bahwa

Kehadiran Pengadilan Pajak diharapkan dapat Iebih memberikan

peningkatan kewajiban,perpajakan/ bea tidak memenuhi asas keadilan,

keadilan dan kepastian hukum yang tidak didapatkan dari institusi

sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan dan

penyelesai sengketa pajak sebelumnya. Ekspektasi inilah yang hendak

pihak Wajib Pajak. Untuk mempermudah penyelesaian sengketa

dicoba untuk dijawab oleh Pengadilan Pajak. Sejak awal pendiriannya,

perpajakan, dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu

Pengadilan Pajak cukup diminati oleh para pihak yang bersengketa pajak

badan peradilan khusus untuk menanganinya.

dan dianggap cukup menjanjikan sebagai suatu badan peradilan yang baru

Walaupun

sebelumnya

telah

didirikan

lembaga

khusus

dibentuk dalam hal kepastian hukum.

penyelesai sengketa pajak yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian

Undang Undang Pengadilan Pajak memberikan pengertian

Sengketa Pajak (BPSP) sejak Tahun 1998, namun kebutuhan untuk

mengenai yang dimaksud dengan sengketa pajak yang terdapat dalam

membentuk badan peradilan seperti Pengadilan Pajak yang sekarang,

pasal 1 angka 5 yang berbunyi:

ternyata tetap ada. Dalam butir-butir pertimbangan pada Undang-undang Pengadilan Pajak Nomor 14 Tahun 2002 dikatakan bahwa Badan

"sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada

Pengadilan Pajak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang penagihan pajak dengan Surat Paksa."

perundang-undangan yang dikecualikan untuk dapat diperiksa di Pengadilan Pajak setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah tertera dalam Undang-undang. Wajib pajak menurut Ketentuan

Adapun yang menjadi Keputusan dijelaskan lebih lanjut dalam Perpajakan, dapat terdiri dari: (1) orang pribadi (2) badan (termasuk pasal 1 angka 4 undang undang Pengadilan Pajak, yaitu: badan hukum dan badan-badan usaha lainnya), (3) bentuk usaha tetap. "Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan Dengan demikian ketiga wajib pajak tersebut dapat menyelesaikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan sengketa pajaknya di Pengadilan Pajak. peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka Hal unik pada Pengadilan pajak ini adalah adanya 2 (dua) jenis pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat upaya hukum yang dapat diajukan, yaitu pengajuan banding dan gugatan. Paksa." Banding adalah upaya yang dilakukan wajib pajak bila ia merasa tidak Dalam Undang Undang Pengadilan Pajak ini juga memberi puas dengan keputusan atas Keberatan yang diajukan. Gugatan adalah pengertian mengenai pajak dalam pasal 1 angka 2, yaitu: upaya hukum yang dapat diajukan wajib pajak bila ia merasa tidak puas "Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah dengan prosedur penagihan pajak atau keputusan lain di bidang Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dart pajak yang dipungut perpajakan/bea dan cukai. Upaya hukum banding dapat mengakomodasi oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundangketidakpuasan terhadap penyelesaian sengketa pajak yang dicoba undangan yang berlaku." diselesaikan dengan mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal

Pengertian pajak di atas memberikan pemahaman bahwa tidak ada satu jenis sengketa pajak pun yang diatur dalam peraturan

Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan (out of court settlement).13

Sama halnya dengan subyek pada Peradilan Tata Usaha Negara, subyek pada Pengadilan Pajak dalam keadaan yang tidak seimbang,

Namun tidak seperti halnya pengadilan lain, Pengadilan Pajak

antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang

tidak mengenal upaya hukum banding ke pengadilan tinggi maupun

berwenang. Hakim yang independen akan mengambil peranan untuk

kasasi. Hanya ada satu upaya hukum terhadap putusan Pengadilan pajak

membuat keadaan ini mejadi lebih seimbang. Hakim pada Pengadilan

yaitu Peninjauan Kembali yang dapat diajukan pada Mahkamah Agung.

Pajak

Mahkamah Konstitusi dalarn putusan atas permohonan judicial review

mempunyai keahlian khusus di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana

yang diajukan oleh Cornelius Moningka Vega atas pasal 33 ayat (1) jo.

Hukum atau Sarjana lain. Secara praktek, hakim pada pengadilan pajak

Pasal 77 ayat (1) Unndang Undang Pengadilan Pajak yang mengeliminasi

sebagian besar adalah mantan pejabat pada Departemen Keuangan pada

upaya hukum banding maupun kasasi, lebih lanjut mengatakan bahwa

khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan bukan hakim karir yang berasal

proses pengadilan pajak berdasarkan Undang Undang Nomor 14 Tahun

dari sistem pembinaan karir pada umumnya. Selain itu pembinaan

2002 sama dengan proses pemeriksaan pada Pengadilan Tinggi Tata

terhadap hakim pengadilan pajak memang bukan di bawah Mahkamah

Usaha Negara karena tersedianya upaya banding administratif bagi

Agung namun dibawah Departemen Keuangan. Banyak kaiangan yang

pencari keadilan. Penulis tidak sepenuhnya setuju terhadap hal ini karena

mengkhawatirkan bahwa keadaan ini akan mempengaruhi independensi

selain dari banding ada upaya hukum lain yang dapat diajukan ke

hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pengadilan Pajak yaitu upaya hukum gugatan. 14

diharuskan

Pada

memiliki

dasarnya

tenaga-tenaga

Pengadilan

Pajak

Hakim

khusus

memang

yang

mempunyai

karakteristik yang hampir menyerupai Peradilan TUN dilihat dari jenis 13

Desita Sari. Sistem Peradilan Pajak. Jurnal Teropong Vol.III No. 12 Desember 2004., hlm. 126. 14 Ibid., hlm. 127.

sengketa (obyek sengketa) yang dapat diperiksa dan diputus. Pada subyek

sengketa terdapat sedikit perbedaan dikarenakan Peradilan TUN hanya

Selain itu, bukanlah hal yang tabu bila kita merubah 4 Iingkup

mengakui orang dan badan hukum perdata saja yang dapat mengajukan

peradilan seperti sekarang ini bila kondisi sosial masyarakat menuntut hal

perkaranya untuk diperiksa.

ini. Keempat lingkup peradilan yang kita anut bukan bentuk baku namun

Pengadilan Pajak mengakui Bentuk Usaha Tetap sebagai salah

hal ini memang akan merombak peraturan perundang-undangan yang

satu subyek yang dapat mengajukan perkara untuk diperiksa di

menjadi payung pada sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kesiapan

Pengadilan Pajak. Hal ini bagi sebagian akademisi tidak sesuai sehingga

infrastruktur, sosiologis, dan sumber daya manusia harus diperhitungkan

tidak sepantasnyalah apabila Pengadilan Pajak berada di bawah Peradilan

dalam hal ini.

Tata Usaha Negara. Sebagian kalangan kemudian mengartikan Pengadilan

Diberlakukannya

amandemen

undang-undang

Kekuasaan

Pajak sebagai pengadilan tersendiri yang terpisah dari 4 lingkup Peradilan

Kehakiman seharusnya dapat menghilangkan kesimpangsiuran yang ada.

di Indonesia. Namun hal ini tidaklah terlalu tepat dikarenakan tidak ada

Selain itu tidak ada suatu aturan khusus apapun yang mengatur batasan

satupun pasal di Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang

kekhususan suatu pengadilan khusus yang berada di bawah 4 lingkup

menyiratkan bahwa Pengadilan Pajak adalah Pengadilan tersendiri. Salah

peradilan yang telah ada. Mencontoh kepada pengadilan khusus yang

satu penjelasan Umum alinea terakhir pada Undang-undang tersebut

telah berjalan sekian lama selama ini seperti Pengadilan Anak, Pengadilan

hanya menyebutkan:

Niaga, Pengadilan HAM yang berada di dalam lingkup Peradilan Umum,

"...bahwa ada kekhususan-kekhususan yang terdapat pada

maka kekhususan-kekhususan itu diperbolehkan untuk ada sebagai ciri

Pengadilan Pajak karenanya dalam Undang-undang ini diatur

khas dari Pengadilan tersebut agar penyelesaian sengketa dapat

hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan

disesuaikan dengan tujuan pembentukan pengadilan tersebut.

Pajak."

Pengadilan Pajak ini memberi warna baru dalam sistem peradilan

Dengan demikian eksistensi pengadilan pajak menurut Pasal 27

di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 dan Pasal 33 Undang-Undang

2004 yang sudah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Nomor 14 Tahun 2002 Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994

tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana dalam ketentuan peraturan

dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tidak konsisten

tersebut terlihat sekali terjadi ketidaksinkronan dari pasal-pasal yang ada

dengan sistem peradilan yang berlaku sebagai ketentuan dalam Undang-

antar peraturannya melahirkan ketidakpastian hukum. Ketentuan Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2004 yang sudah diubah dalam Undang-

Undang di atas saling tarik ulur untuk menempatkan peradilan pajak

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal

dalam lingkup kompetensinya sebagaimana amanah dalam Undang-

18 mengenal empat lembaga peradilan yaitu: lingkungan peradilan umum,

Undang Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi di pihak lain Undang-Undang

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pengadilan Pajak mendapatkan dirinya dalam peradilan “istimewa” yang

Idealnya pengadilan pajak yang menyelenggarakan peradilan

kita analisa ketentuan ini tidak mau menundukkan dalam sistem peradilan

pajak kedudukannya berada dalam sistem peradilan di Indonesia sesuai

yang ada sesuai dengan ketentuan Kekuasaan Kehakiman. Undang-

ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, dan juga

Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang sudah diubah dengan Undang-

peradilan pajak seharusnya dapat memberikan perlindungan hukum

Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun

terhadap pencari keadilan yaitu wajib pajak, sehingga dapat tercapai

2002 merupakan “lex post prior” jika dibanding dengan Undang-Undang

supremasi hukum (rechtmatigheid) dalam sistem peradilan (unity court

Nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

system) di Indonesia

merupakan “lex prior”.

Pembina Hakim di Pengadilan Pajak

mempengaruhi setiap keputusan dalam sengketa pajak yang melibatkan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan

pihak yang membinanya dari segi organisasi, administrasi dan keuangan,

pajak pada bagian keempat tentang pembinaan Pasal 5 ayat (1)

semua ini akan berpengaruh terhadap independensi dari putusan sengketa

menyatakan bahwa: “pembinaan teknis peradilan bagi pengadilan pajak

pajak. Apabila ada sengketa maka permohonan atau wajib pajak mustahil

dilakukan oleh Mahkamah Agung” dan ayat (2) menyatakan: “pembinaan

mendapatkan keadilan di pengadilan pajak karena hakim-hakimnya

organisasi, administrasi, dan keuangan bagi pengadilan pajak dilakukan

digaji/tunjangan oleh eksekutif (Menteri Keuangan) serta tempat

oleh Kementerian Keuangan. Rumusan ini menunjukkan bahwa

persidangan bertempat di gedung keuangan (eksekutif) sehingga akan

pengadilan pajak adalah bentuk penggabungan kekuasaan yudikatif dan

dirasa setiap keputusan cenderung tidak independensi. Keberadaan

eksekutif. Dari ketentuan kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa hakim

ketentuan pasal tersebut dirasa bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2)

pengadilan pajak “berkepala dua atau satu kapal bernahkoda dua” yaitu

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Kekuasaan Kehakiman

Mahkamah Agung dan Kementerian Keuangan “Jika ditilik dari sisi

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di

Mahkamah Agung pembinaan teknis tersebut tentunya tidak menjadi

bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan

masalah artinya tidak terlalu menimbulkan kekhawatiran akan kebebasan

Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Akan tetapi pembinaan

Ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 yang sudah

organisasi, administrasi dan keuangan oleh Kementerian Keuangan akan

diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dengan perubahan

menjadi polemik dan akan memunculkan keraguan bagi wajib pajak

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang KUP menyatakan:

pencari keadilan. Sehingga dapat dirasakan adanya ketergantungan

“Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan Keputusan Tata Usaha

hakim-hakim pengadilan pajak kepada Menteri Keuangan sehingga akan

Negara” rumusan pasal ini semakin menunjukkan ketidakjelasan

eksistensi pengadilan pajak dalam sistem pengadilan di Indonesia.

Mahkamah Agung pada bagian menimbang menyatakan: bahwa untuk

Mengingat ketetapan yang dikeluarkan Dirjen Pajak merupakan tata usaha

melaksanakan Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 4

negara sehingga upaya hukumnya melalui pengadilan tata usaha negara

Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman perlu menetapkan peralihan

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5

organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan peradilan umum,

Tahun 1986 yang berbunyi: keputusan tata usaha negara adalah suatu

peradilan tata usaha negara dan peradilan agama di Mahkamah Agung

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha

dengan Keputusan Presiden (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal

negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan

42). Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 diatur dalam Pasal 21

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, dan

yaitu: Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan

final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan

perdata.

Mahkamah Agung. Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan Semula badan-badan peradilan itu secara organisasi, administrasi

finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk

dan finansial ada di bawah kekuasaan masing-masing kementerian yang

masing-masing lingkungan peradilan diatur dalam undang-undang sesuai

bersangkutan kemudian secara tegas beralih di bawah kekuasaan

dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Dengan

kehakiman (yudikatif) sehingga terjadi pemisahan secara tegas kekuasaan

ketidakjelasan

yudikatif dan kekuasaan eksekutif. Adapun pengalihan tersebut diatur

kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta

dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004

pembinaan para hakimnya maka akan mengusik tujuan hukum dalam

tentang pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan

masyarakat.

peradilan umum dan peradilan tata usaha negara dan peradilan agama ke

status

pengadilan

pajak

dalam

sistem

kekuasaan

Sampai saat ini penanganan terhadap penyelesaian sengketa pajak

masih

mengalami

kerancuan,

untuk

itu

perlu

diadakan

administrasi negara (lex generalis), sedangkan Pengadilan Pajak sebagai peradilan khusus bidang perpajakan (lex specialis).

pemberdayaan peradilan pajak melalui penyempurnaan peraturan

Selain itu, sesuai dengan asas lex posteriori derogat lex

perundang-undangan yang memberikan kewenangan justicial kepada

anteriori, apabila terdapat perbedaan-perbedaan pengaturan dalam

peradilan pajak yang bebas dari campur tangan eksekutif atau pihak lain,

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (dalam hal ini penjelasan

peningkatan sumber daya manusia pada peradilan pajak, serta sosialisasi

Pasal 48) dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka yang berlaku

masalah perpajakan kepada seluruh lapisan masyarakat.

haruslah aturan dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak karena Undang-

Sesuai dengan asas legalitas dan hukum positif yang berlaku, Badan Peradilan Pajak di Indonesia saat ini adalah Pengadilan Pajak,

Undang Nomor 14 Tahun 2002 terbit lebih akhir dari Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

sebagai diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 dan

Sedangkan cara beracara dalam sidang Peradilan Pajak, maka

peraturan pelaksanaannya. Kedudukan Pengadilan Pajak sebagai badan

sesuai dengan tuntutan reformasi dalam bidang hukum dan tranparansi

peradilan khusus juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 13 Undang-

kebijaksanaan perpajakan oleh fiskus, pemeriksaan sengketa pajak yang

Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun

dilakukan secara terbuka untuk umum pada Pengadilan Pajak harus lebih

1999 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan sesuai dengan asas

diusahakan lebih memungkinkan keikutsertaan masyarakat, sehingga

hukum lex specialis derogat lex generalis. Berdasarkan hal tersebut,

kebenaran materiil dalam putusan peradilan pajak tersebut dapat diikuti

sebenarnya tidak ada kerancuan, dualisme, atau pertentangan antara

dan dinilai oleh masyarakat. Apabila Wajib Pajak mengajukan banding

Pengadilan Pajak dengan PTUN, karena PTUN sebagai badan peradilan

atau gugatan ke Pengadilan Pajak maka kewajiban fiskus untuk menjaga dan melindungi kerahasiaan data Wajib Pajak di depan sidang pengadilan

tidak berlaku lagi karena Wajib Pajak sendiri lebih dahulu mengekpos

require the Taxpayer to pay to the United States a penalty not in excess of

data perpajakannya kepada pengadilan.

US $ 25.000.

Dalam hal Wajib Pajak akan mengajukan perkara pajak, agar

Sanksi denda terhadap Wajib Pajak yang menggugat ke

Pengadilan Pajak tersebut dapat memenuhi tuntutan pencari keadilan

pengadilan di luar pengadilan pajak di Amerika Serikat juga dapat

sebagai peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan maka

dijatuhkan terhadap wajib pajak yang tidak mempunyai dasar hukum yang

pengajuan gugatan atau banding ke pengadilan pajak dapat ditetapkan

kuat dan hanya mencoba-coba untuk menghindari pembayaran pajak

atau dimungkinkan tanpa melunasi dahulu utang pajaknya. Namun untuk

dengan denda maksimum US $ 10.000.

mencegah jangan sampai Wajib Pajak atau pihak ketiga mengajukan

Mengingat pentingnya peran pajak di Indonesia pada saat ini dan

gugatan hanya sebagai upaya untuk menunda atau mengelak pembayaran

masa yang akan datang, maka sanksi atau hukuman denda bagi wajib

pajak, hakim peradilan pajak diberi kewenangan untuk memberikan

pajak atau penanggung pajak yang berusaha mengajukan sengketa pajak

sanksi kepada Wajib Pajak yang nakal tersebut. Hukum acara tersebut

dengan maksud untuk menunda pembayaran hutang pajak tersebut dapat

ditetapkan pada pengadilan pajak di Amerika Serikat sebagai diatur dalam

dikenakan denda sebesar 200 % (dua ratus persen) dari hutang pajak yang

Pasal 6673 ayat (1) Internal Revenue Code (ICR) ... Procedures instituted

belum dibayar.

primarily for delay, etc. Whenever it appears to the Tax Court that: Proceedings before it have been institute or maintained by the taxpayer primarily for delay; The Taxpayer’s positon in such proceeding is

B.

Perumusan Masalah Dalam

penulisan

Kompendium

mengenai

LEMBAGA

frivolour or groundless, or; The Taxpayer unreasonally failed to pursue

PENYELESAIAN SENGKETA PERPAJAKAN proses masalah secara

available administrative remedies. The Tax Court, in its decision, may

spesifik tidak akan ditentukan, hal ini disebabkan karena kompendium

sendiri mempunyai arti adalah “kumpulan pendapat dari para pakar”. Dengan demikian, maka jika judul telah ditentukan dalam suatu topik

Ketua

:

Dr. Tjip Ismail, S.H., M.H., MBA

menuangkan

Sekretaris

:

Artiningsih, S.H., M.H.

Anggota

:

1.

Noor M. Aziz, S.H., M.H., M.M.

2.

Syprianus Aristeus, S.H., M.H.

3.

Drs. Ulang Mangun Sosiawan, M.H., APM

Seperti halnya dalam proses masalah, maka dalam Metode

4.

Dr. Hari Djatmiko, S.H.

Penelitian ini akan ditentukan oleh anggota yang akan melakukan

5.

Dr. Machfud Sidik, S.E., M.Sc

penulisan/penelitian terhadap maksud sesuai dengan judul compendium

6.

Revosia EP Sinaga, SE., Ak., M.Si

atau terkait dengan judul compendium, dan anggotalah yang menentukan

7.

Dr. Ali Kadir, S.H., M.Si

pemikirannya

mengingat

judul

mengenai

Lembaga

Metode Penelitian

metode sesuai dengan kehendaknya.

D.

Personalia Tim

untuk penulisan akan diberikan kepada setiap anggota untuk dapat

Penyelesaian Sengketa Perpajakan disebut tulisan ilmiah.

C.

E.

Jangka Waktu Penelitian Kegiatan

Kompendium

Tentang

Lembaga

Penyelesaian

Sengketa Perpajakan dilaksanakan selama 6 (enam) bulan terhitung mulai bulan April sampai dengan September 2011, Pembiayaan kegiatan ini berasal dari anggaran Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2011.

perpajakan yang harus mengikuti sistem pemerintahan dan tujuan

BAB III

bernegara tersebut, menjelaskan bahwa kenapa pada dasarnya

TINJAUAN LPSP DARI BERBAGAI ASPEK

sistem

perpajakan antar negara berbeda, dan kenapa sistem perpajakan selalu A.

berubah dari waktu ke waktu. Salah satu aspek dari suatu sistem

Pajak dan Keadilan Keberadaan

pajak

terutama

berlangsung

sejak

lahirnya

perpajakan adalah keadilan di bidang perpajakan. Tidak ada sistem

pemerintahan civil, dan dapat dikatakan bahwa pajak merupakan harga

perpajakan yang sempurna di berbagai Negara termasuk Negara-negara

yang harus dibayar oleh kehidupan masyarakat civil yang demokratis,

OECD ( Organization of Economic Cooperation and Development), tetapi

bebas dan terorganisir. Pajak tidak hanya mengandung arti berpindahnya

idealnya sistem perpajakan yang modern seharusnya memenuhi prinsip-

dana masyarakat ke pemerintah untuk menyediakan barang publik dan

prinsip sistem perpajakan yang baik terutama sistem perpajakan

melaksanakan pelayanan publik yang diinginkan masyarakat, namun

seharusnya meminimalkan dampai negatif terhadap kehidupan masyarakat

pajak juga dimaksudkan sebagai refleksi nilai sosial-budaya dan

dalam berbagai aspek sosial ekonomi, politik dan keadilan.

merealisasikan prioritas permintaan masyarakat dalam pelayanan publik

Konsep kesetaraan dan keadilan di bidang perpajakan merupakan

dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat (social and economic

urat nadi sistem perpajakan yang baik. Pemimpin politik memberi

welfare). Sistem perpajakan harus dimaknai sebagai bagian dari model

penghargaan kepada cita-cita di hampir setiap bidang pembuatan undang-

sosial ekonomi, yang merepresentasikan masyarakat sosial, politik dan

undang dan peraturan perpajakan. Warganegara, apalagi, amat peka

kebutuhan ekonomi masyarakat pada periode tertentu, yang berarti bahwa

terhadap argumen tentang keadilan di hampir setiap debat kebijakan

perubahan cita-cita bernegara suatu masyarakat bangsa akan memberikan

perpajakan. Namun, semua kontroversi yang bersifat populis tersebut,

implikasi terhadap perubahan sistem perpajakan. Karakteristik sistem

keadilan pajak kurang dipahami dan sering kali penerapannya tidak

sejalan dengan sistem perpajakan yang baik. Konsep keadilan di bidang

banyak ahli menyarankan bahwa ketika keadilan di bidang perpajakan

perpajakan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dimensi yang berbeda

tidak dapat diterapkan, maka melalui kebijakan fiskal secara utuh koreksi

yaitu: keadilan horizontal, vertikal, dan keadilan individu. Penerapan di

atas kelemahan sistem perpajakan sebaiknya dapat dilakukan terutama

antara komponen-komponen ini mempersulit upaya untuk mencari

melalui kebijakan belanja Negara dan daerah. Selain itu, kebijakan pajak

kebijakan pajak yang baik, mendorong debat politik yang lebih banyak

yang adil semakin dirancukan dengan pemikiran konvensional tentang

menyita retorika keadilan di bidang perpajakan tanpa menyentuh

pajak

substansinya. Argumen yang paling gencar tentang keadilan di bidang

penghasilan, konsumsi, kekayaan atau dasar pengenaan pajak yang lain.

perpajakan adalah pada hubungan yang tidak simetris antara keadilan

Suatu basis pajak tertentu sering kali memiliki prinsip-prinsip dan ukuran

vertikal yang paling sering diwujudkan pada penerapan pajak progresif

keadilan dan kesetaraan yang unik, berbeda dengan prinsip-prinsip

dan struktur pengeluaran dan tuntutan keadilan individu, di mana individu

keadilan dan kesetaraan sistem perpajakan secara umum. Kontroversi dan

bebas melakukan transaksi yang mereka pilih sendiri. Sementara

kompleksitas masalah keadilan di bidang perpajakan ini, memunculkan

dukungan untuk beberapa aplikasi keadilan vertikal tampak jelas, dalam

banyak teori

penentuan tingkat progesivitas`yang tepat, dalam hal ini aspek progresif

ekonom, khususnya, sering beranggapan bahwa

dalam perpajakan telah terbukti sulit untuk diterapkan.

merupakan masalah estetika dari pada analisis. Salah satu argumen

Berbagai upaya secara teknis untuk mengimplementasikan ketiga komponen keadilan di bidang perpajakan tersebut,

sulit untuk

dilaksanakan secara simultan. Progresivitas dalam pengenaan pajak tetap menjadi batu ujian dalam perdebatan kebijakan perpajakan. Untuk itu,

yang

sesuai

dengan dasar

pengenaan pajak berdasarkan

yang memperkuat argumentasi masing-masing. Banyak keadilan lebih

tentang keadilan di bidang perpajakan adalah sudut pandang efisiensi ekonomi.

1.

Kriteria Pajak Yang Baik

embodies the principle of equity or justice. It provides the

Para peneliti di bidang perpajakan telah menaruh perhatian

concept of the equality of sacrifice. The amount of the tax paid is

besar pada pemikiran klasik tentang keadilan di bidang perpajakan

to be in portion to the respective abilities of the tax payers. It is

antara lain dipengaruhi oleh pemikiran Adam Smith di abad ke-18

not very unreasonable that the rich should contribute to the

dan Richard Musgrave di abad 20.

public expense not only in proportion to their revenue but some

Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into The Nature and

thing more than that proportion. Canon of equality or ability:

Causes of The Wealth of Nations (1776) antara lain menyatakan

Canon of equality, or ability is considered to be a very important

suatu sistem perpajakan yang baik harus memenuhi kriteria yang

canon of taxation. By equality we do not mean that people

dikenal sebagai Canons of Taxation, yang terdiri dari empat kriteria

should pay equal amount by way of taxes to the government. By

yang dikenal sebagai Four Criteria for a "good tax" yaitu :

equality is meant equality of sacrifice, that is people should pay

a.

Equality – equal treatment of similarly situated taxpayers.

taxes in proportion to their incomes. This principle points to

Horizontal equity: all purchasers of the same equity pay the same

progressive taxation. It states that the rate or percentage of

tax vertical equity: unequally situated taxpayers being taxed on

taxation should increase with the increase in income and

their ability to pay as per progressive taxation philosophies. For

decrease with the decrease in income. In the words of "The

mining industry – natural conflicts. Mining goal is the

subject of every state ought to contribute towards the support of

maximization of resource utilization; Taxing authority goal is the

the government as early as possible in proportion to their

maximization of social economic benefits to the individual state

respective abilities that is in proportion to the revenue which they

of taxing power. It is most important canon of taxation which

respectively enjoy under the protection of the State".

b.

c.

Convenient – a tax that can be readily and easily assessed,

payment, the quantity to pay, should all to be clear and plain to

collected, and administered. Canon of convenience: By this

the contributor. Canon of certainty: The Canon of certainty

canon, means that the tax should be levied at the time and the

implies that there should be certainty with regard to the amount

manner which is most convenient for the contributor to pay it.

which taxpayer is called upon to pay during the financial year. If

For instance, if the tax on agricultural land is collected in

the taxpayer is definite and certain about the amount of the tax

installments after the crop is harvested, it will be very convenient

and its time of payment, he can adjust his income to his

for the agriculturists to pay it. Similarly, property tax, house tax,

expenditure. The state also benefits from this principle, because

income tax, etc., etc., should be realized at a time when the

it will be able to know roughly in advance the total amount

taxpayer is expected to receive income. The manner of payment

which it is going to obtain and the time when it will be at its

of tax should also be .convenient. If the tax is payable by

disposal. If there is an element of arbitrariness in a tax, it will

cheques, the contributor will be saved from much inconvenience.

then encourage misuse of power and corruption in this

In the Words of "Every tax ought to be levied at the time or in

connection remarks: "The tax which each individual is bound to

the manner in which it is most likely to be convenient for the

pay ought to be certain and not arbitrary. The time of payment,

contributor to pay it".

the manner of payment, the quantity to be paid all ought to be

Certainty – the consistency & stability in the prediction of

clear and plain to the contributor and to every other person".

taxpayers' bills and the amount of revenue collected over

d.

Economy – compliance and administration of a tax should be

time.Canon of Certainly: The tax paid by each individual should

minimal in terms of cost. Canon of Economy: The canon of

be certain but not arbitrary. The time of payment, the manner of

economy implies that the expenses of collection of taxes should

not be excessive. They should be kept as little as possible,

small taxes which produce less revenue and are expensive in

consistent with administration efficiency. If the government

collection.

appoints highly salaried, staff and absorbs major portion of the

b.

Canon of elasticity: Canon of elasticity states that the tax

yield, the tax will be considered uneconomical. Tax will also to

system should be fairly elastic so that if at any time the

regarded as uneconomical if it checks the growth of capital or

government is in need of more funds, it should increase its

causes it to emigrate to other countries, In the words of "Every

financial resources without incurring any additional cost of

tax is to be so contrived as both to take out and keep out of the

collection. Income tax, railway fares, postal rates, etc., are very

pockets of the people as little as possible over and above what it

good examples of elastic tax. The government by raising these

brings into the public treasury of the state".

rates a little, can easily meet its rising demand for revenue.

Beberapa prinsip sistem perpajakan yang baik yang

c.

Canon of simplicity: Canon of simplicity implies that the tax

dikemukakan para ahli yang lain selain Canons of Taxation Adam

system should be fairly simple, plain and intelligible to the tax

Smith, antara lain Musgrave (1959), Samuelson and Nordhaus

payer. If it is complicated and difficult to understand, then it wilt

(2005), Stiglitz (2000) secara garis besarnya dapat dikemukakan

lead to oppression and corruption.

berikut ini : a.

d.

Canon of diversity: Canon of diversity says that the system of

Canon of productivity: The canon of productivity indicates that

taxation should include a large number of taxes whish are

a tax when levied should produce sufficient revenue to the

economical. The government should collect revenue from its

government. If a few taxes imposed yield a sufficient fund for

citizens by levying direct and indirect taxes. Variety in taxation

the state, then they should be preferred over a large number of

in desirable from the point of view of equity, yield and stability.

Dari kutipan tersebut di atas, menurut Adam Smith

d.

Prinsip efisiensi (efficiency), pajak hendaknya menimbulkan

pengenaan pajak harus memenuhi prinsip-prinsip yang baik yang

kerugian yang minimal dalam arti jangan sampai biaya

disebut dengan the four canons of taxation, yaitu, (James dan Nobes,

pemungutannya lebih besar dari jumlah penerimaan pajaknya

1992: 13) sebagai berikut.

dan pajak hendaknya mampu menghilangkan distorsi terhadap

a.

tingkah laku wajib pajak (prinsip netralitas).

Prinsip keadilan (equality), artinya bahwa beban pajak harus sesuai dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak.

b.

Perbedaan dalam tingkat penghasilan harus digunakan sebagai

sistem perpajakan yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

dasar dalam distribusi beban pajak itu sehingga bukan beban

a.

Efisiensi ekonomi (economic efficiency) : sistem perpajakan

pajak dalam arti uang, tetapi beban riil dalam arti kepuasan yang

sedapat mungkin tidak mempengaruhi alokasi sumber daya

hilang.

ekonomi yang efisien

Prinsip kepastian (certainty), pajak hendaknya tegas, jelas, dan

b.

Kesederhanaan

dalam

pengadministrasian

(administrative

menjamin kepastian bagi setiap wajib pajak sehingga mudah

simplicity) : sistem perpajakan harus mudah, sederhana dan

dimengerti oleh wajib pajak dan juga akan memudahkan

relatif murah dalam pengadministrasiannya

administrasi pemerintah sendiri. c.

Berbeda dengan Smith, Stiglitz (2000) berpendapat bahwa

c.

Fleksibilitas (flexibility) : sistem perpajakan harus sedemikian

Prinsip kecocokan (convenience), pajak jangan sampai terlalu

fleksibel untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi suatu

menekan wajib pajak sehingga wajib pajak akan dengan senang

negara

hati melakukan pembayaran pajak kepada pemerintah.

d.

Diterima secara politis (political responsibility) : sistem perpajakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga terdapat

e.

kepastian tentang seberapa besar masing-masing jenis pajak yang

Prinsip keadilan sebagaimana dikemukakan baik oleh

harus ditanggung oleh seseorang yang merefleksikan keinginan

Smith, Stiglitz, maupun Break, tersebut di atas, pada dasarnya dapat

masing-masing individu dalam masyarakat

dilihat dari empat aspek. Pertama, kejujuran (fairness) yang dikenal

Kejujuran (Fairness):sistem perpajakan harus mencerminkan

sebagai prinsip kemampuan membayar (ability to pay) yang pertama

keadilan terhadap masing-masing individu dalam masyarakat

kali diperkenalkan oleh Adam Smith lebih dari 200 tahun yang lalu.

Prinsip perpajakan yang baik menurut Break (1957) harus

Dalam hal ini

Smith berpendapat

bahwa pada dasarnya pajak

memenuhi uji standar sebagai berikut.

dikenakan tidak atas dasar kriteria penerimaan maslahat (the benefit

a.

Aspek Teori

received criterion), tetapi lebih kepada kemampuan membayar

1) Keadilan (equality), mencakup keadilan horizontal dan

(ability to pay). Secara sederhana suatu sistem perpajakan yang adil

keadilan vertikal. 2) Efisiensi (efficiency), meliputi efisiensi fiskal dan efisiensi ekonomi. b.

dalam pelaksanaannya seharusnya tidak memerlukan biaya dan waktu yang berlebihan dan tidak mengganggu tujuan masyarakat untuk mencapai penggunaan sumber ekonomi yang optimal. Ada 3 ukuran

Praktikal

yang biasanya dipergunakan untuk mengukur kemampuan seseorang

1) Netralitas (neutrality)

membayar pajak, yaitu: penghasilan konsumsi dan kekayaan. Ketiga-

2) Kesederhanaan (simplicity)

tiganya merupakan ukuran kemakmuran seseorang, tetapi pada

3) Kepastian (certainty)

umumnya ukuran yang dipakai adalah penghasilan sehingga prinsip

4) Likuiditas (liquidity)

kemampuan membayar pajak pada akhirnya diukur dengan suatu konsep pengorbanan sebagai fungsi dari penghasilan seseorang yang

dipergunakan untuk membayar pajak. Ilustrasi di bawah ini

atau potensi penghasilan yang menjadi dasar pengenaan pajak. Dalam

memberikan gambaran tentang tidak adanya kesepakatan secara utuh

praktek tentunya tidak mungkin mengenakan pajak penghasilan atas

tentang basis pengenaan pajak yang paling baik yang dikaitkan

dasar potensi penghasilan seseorang. Persoalan lain yang muncul

dengan prinsip kemampuan membayar. Dalam prinsip kemampuan

mengenai prinsip kejujuran, apakah penghasilan atau konsumsi

membayar, seseorang yang mempunyai kemampuan lebih harus

sebagai pilihan yang paling baik sebagai dasar pengenaan pajak?

membayar pajak lebih besar dari yang lainnya. Misalnya dua orang

Penghasilan yang diterima seseorang secara luas menjadi ukuran

masing-masing bernama Sugianto dan Sugiarto, keduanya memiliki

untuk menentukan dasar pengenaan pajak,

kemampuan yang identik, latar belakang pendidikan yang sama dan

pajak penghasilan. Banyak ahli ekonomi juga berpendapat bahwa

potensi penghasilan yang sama. Sugianto memilih untuk menjadi

konsumsi merupakan pilihan yang lebih baik sebagai dasar

konsultan ekonomi dan setiap minggunya bekerja selama 42 jam,

pengenaan pajak, yang dikenal dengan cukai, pajak penjualan, atau

sedangkan Sugiarto memilih menjadi dosen yang dalam satu

Pajak Pertambahan Nilai. Dilihat dari segi keadilan horizontal, jenis

minggunya bekerja selama 30 jam dan sisa waktunya dipergunakan

pajak atas konsumsi dianggap cukup adil jika indeks keadilan

untuk olahraga dan menyalurkan hobi lainnya, keduanya menyenangi

tersebut dinyatakan dari segi konsumsi. Demikian pula dilihat dari

masing-masing pekerjaannya. Sudah barang tentu Sugianto akan

segi keadilan vertikal, pajak atas konsumsi

memperoleh penghasilan yang lebih besar daripada Sugiarto.

proporsional terhadap konsumsi. Akan terlihat tidak adil jika

Apakah adil bila Sugianto dikenakan pajak penghasilan yang lebih

indeksnya dinyatakan dari segi penghasilan. Pengenaan pajak

tinggi daripada

tersebut akan bersifat regresif terhadap penghasilan karena konsumsi

Sugiarto?

Berdasarkan prinsip kemampuan

membayar, masih perlu dipertanyakan apakah ukuran penghasilan riil

yang dikenal sebagai

akan bersifat

sebagai persentase penghasilan akan menurun jika skala penghasilan mengalami kenaikan.

Ketiga, beban pajak (tax incidence), ialah keadilan yang dikaitkan dengan bukan hanya pada titik-titik mana pajak tersebut

Kedua, prinsip keadilan di bidang perpajakan dikenal

harus dibebankan, tetapi siapa sebenarnya yang pada akhirnya

dengan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal

menanggung beban pajak tersebut. Keempat, keadilan atas dasar

mengandung arti bahwa mereka yang mempunyai kemampuan yang

manfaat yang diterima oleh wajib pajak (the benefit-received

sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama (equals

criterion) adalah prinsip pengenaan pajak berdasarkan atas manfaat

treated equals), sedangkan keadilan vertikal mengandung arti bahwa

yang diterima oleh wajib pajak atas pelayanan barang publik yang

mereka yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar

disediakan oleh pemerintah.

pajak yang lebih besar pula. Penerapan kedua kaidah tersebut

pilihan utama atau preferensi terhadap barang publik yang berbeda-

memerlukan ukuran kuantitatif mengenai kemampuan membayar.

beda sehingga formula pengenaan pajak berdasarkan prinsip ini akan

Idealnya, ukuran ini disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan secara

tergantung pada elastisitas pendapatan dan harga terhadap permintaan

menyeluruh

meliputi

barang publik. Menurut prinsip ini, beban akhir suatu pajak dapat

penghasilan, konsumsi, tabungan, pemilikan kekayaan, waktu yang

dilihat dari keseimbangan anggaran pemerintah untuk menyediakan

luang untuk rekreasi, dan kenikmatan lainnya. Sayangnya, ukuran

barang-barang publik. Karena setiap orang mempunyai preferensi

yang bersifat komprehensif ini tidak mudah untuk diperoleh,

yang berbeda-beda, maka orang yang berkepentingan dengan

sehingga keadilan dalam pengenaan pajak menurut kaidah ini juga

penyediaan suatu barang publik akan bersedia membayar sejumlah

mengandung beberapa kelemahan.

tertentu sesuai dengan skala permintaannya, sehingga tercapai suatu

yang

dapat

diperoleh

seseorang

yang

Namun, setiap orang mempunyai

efisiensi dalam penyediaan barang publik dan belanja pemerintah.

Keseimbangan anggaran dan preferensi masyarakat terhadap barang

kadang-kadang lebih mengutamakan kepastian dan kesederhanaan

publik ini dikenal dengan model pertukaran suka-rela (voluntary

untuk menghindari kecanggihan dan kompleksitas perhitungan yang

exchange model). Namun, banyak pula penyediaan pelayanan

pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian. Pertimbangan likuiditas

pemerintah seperti pertahanan, keamanan, dan pelestarian lingkungan

muncul pada saat kewajiban perpajakan harus dipenuhi dengan

hidup, serta model pertukaran suka-rela tidak dapat digunakan untuk

pembayaran pajak yang terutang dalam bentuk uang daripada dalam

menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak

bentuk natura.

karena tidak ada seorangpun yang secara suka-rela bersedia untuk menanggung penyediaan barang publik jenis ini.

Prinsip

kecocokan

mengandung

arti

bahwa

dalam

pengenaan pajak harus memperhatikan saat yang tepat kapan

Selanjutnya, prinsip kepastian dan likuiditas mengandung

kewajiban perpajakan tersebut harus ditunaikan oleh wajib pajak

arti bahwa pengenaan pajak harus tegas, jelas, dan memiliki unsur

sedemikian rupa sehingga wajib pajak dengan sukarela akan

kepastian khususnya

atas objek, subjek, dan jumlah pajak yang

memenuhi kewajiban perpajakannya kepada pemerintah. Untuk itu,

terutang yang harus ditanggung oleh wajib pajak sehingga mudah

setiap pajak harus dipungut pada waktu dan dengan cara yang paling

dimengerti oleh wajib pajak dan juga

akan memudahkan

menyenangkan bagi wajib pajak. Misalnya pemungutan PBB di

administrasi pemerintah sendiri. Prinsip kepastian dalam pelaksanaan

daerah pertanian, seyogyanya dilaksanakan setelah para wajib pajak

pengenaan pajak secara implisit harus melindungi wajib pajak untuk

menjual hasil pertaniannya.

dibebani pajak melebihi yang seharusnya dibayar. Prinsip kepastian

Prinsip efisiensi mengandung arti bahwa pengenaan pajak

dan kesederhanaan seringkali mengabaikan prinsip keadilan dan

harus benar-benar memperhatikan biaya pemungutan yang sekecil-

efisiensi. Dengan kata lain, suatu peraturan perundangan perpajakan

kecilnya jika dibandingkan dengan penerimaan yang berasal dari

pemungutan pajak tersebut, dampak distorsi terhadap keputusan

tingkah laku ekonomi dari wajib pajak sehingga tidak menimbulkan

wajib pajak dalam produksi, konsumsi serta mekanisme harga harus

ketidakefisienan atau excess burden yang berarti.

dapat diminimalkan. Menurut James dan Nobes (1992: 33-34), dan

Kenetralan pengenaan

poll-tax terhadap alokasi sumber

Ontario Fair Tax Commission (1993), biaya pemungutan yang relatif

daya ekonomi dapat berlangsung sepanjang wajib pajak tidak

kecil,

administrasi

mengubah keputusannya untuk memperkecil jumlah keluarganya

pemungutan pajak dan biaya wajib pajak untuk melaksanakan

misalnya melalui keluarga berencana sehingga pengenaan poll-tax

kewajiban perpajakannya harus murah dan sesederhana mungkin (on

pun masih mungkin memberikan dampak distorsi.

the grounds of efficiency on administrative costs and compliance

kerajaan Inggeris pada tahun 1990

cost). Prinsip efisiensi yang dikaitkan dengan dampak distorsi yang

tetapi negara tersebut kurang memperhatikan aspek lainnya dari

minimal, atau pengenaan pajak sedapat mungkin netral terhadap

prinsip perpajakan yang baik, yaitu keadilan. Poll-tax dikenal sebagai

mekanisme harga, keputusan wajib pajak dalam memproduksi dan

suatu jenis pajak yang tidak adil dan memberatkan keluarga

konsumsi. Hampir semua ahli berpendapat bahwa sangat sulit untuk

berpenghasilan rendah.Kisah poll-tax di Inggeris ini menggambarkan

mendapatkan jenis pajak yang sama sekali tidak memberikan dampak

secara jelas suatu dilema penting di masyarakat modern mengenai

negatif terhadap alokasi sumber daya ekonomi.

pilihan antara efisiensi dan keadilan dalam menentukan kebijakan

pada

umumnya

berkaitan

dengan

Pengenaan suatu pajak yang bersifat setiap orang yang dikenal sebagai

biaya

lump-sum terhadap

poll-tax, barangkali tidak

memberikan distorsi yang berarti karena pajak ini tidak membedakan

Pemerintah

memberlakukan poll-tax ini,

ekonomi khususnya di bidang perpajakan (Stiglitz, 2000). 3.

Teori Ekonomi Perpajakan Ekonom menempatkan teori perpajakan sebagai bagian dari teori Public Finance, antara lain menyatakan bahwa sistem

perpajakan yang baik terutama harus memenuhi keadilan di bidang

we get more from the poor by way of taxes, it is against the

perpajakan yang pada dasarnya dapat dikutip berikut ini.

principle of justice?

a.

Benefit Theory, According to this theory, the state should levy

b.

The Cost of Service Theory; Some economists were of the

taxes on individuals according to the benefit conferred on them.

opinion that if the state charges actual cost of the service

The more benefits a person derives from the activities of the

rendered from the people, it will satisfy the idea of equity or

state, the more he should pay to the government. This principle

justice in taxation. The cost of service principle can no doubt be

has been subjected to severe criticism on the following grounds:

applied to some extent in those cases where the services are

Firstly, If the state maintains a certain connection between the

rendered out of prices and are a bit easy to determine, e.g.,

benefits conferred and the benefits derived. It will be against the

postal, railway services, supply of electricity, etc., etc. But most

basic principle of the tax. A tax, as we know, is compulsory

of the expenditure incurred by the state cannot be fixed for each

contribution made to the public authorities to meet the expenses

individual because it cannot be exactly determined. For instance,

of the government and the provisions of general benefit. There is

how can we measure the cost of service of the police, armed

no direct quid pro quo in the case of a tax. Secondly, most of the

forces, judiciary, etc., to different individuals? Dalton has also

expenditure incurred by the slate is for the general benefit of its

rejected this theory on the ground that there s no quid pro qua in

citizens, It is not possible to estimate the benefit enjoyed by a

a tax.

particular individual every year. Thirdly, if we apply this

c.

Ability to Pay Theory; The most popular and commonly

principle in practice, then the poor will have to pay the heaviest

accepted principle of equity or justice in taxation is that citizens

taxes, because they benefit more from the services of the state. If

of a country should pay taxes to the government in accordance

with their ability to pay. It appears very reasonable and just that

this not absurd and unjustifiable that a person, earning large

taxes should be levied on the basis of the taxable capacity of an

income is exempted from taxes and another person with small

individual. For instance, if the taxable capacity of a person A is

income is taxed? (b) Tax on the Basis of Expenditure: It is also

greater than the person B, the former should be asked to pay

asserted by some economists that the ability or faculty to pay tax

more taxes than the latter.It seems that if the taxes are levied on

should be judged by the expenditure which a person incurs. The

this principle as stated above, then justice can be achieved. But

greater the expenditure, the higher should be the tax and vice

our difficulties do not end here. The fact is that when we put this

versa. The viewpoint is unsound and unfair in every respect. A

theory in practice, our difficulties actually begin. The trouble

person having a large family to support has to spend more than a

arises with the definition of ability to pay. The economists are

person having a small family. If we make expenditure. as the test

not unanimous as to what should be the exact measure of a

of one's ability to pay, the former person who is already

person's ability or faculty to pay. The main view points advanced

burdened with many dependents will have to' pay more taxes

in this connection are as follows: (a) Ownership of Property:

than the latter who has a small family. So this is unjustifiable. (c)

Some economists are of the opinion that ownership of the

Income as the Basics: Most of the economists are of the opinion

property is a very good basis of measuring one's ability to pay.

that income should be the basis of measuring a man's ability to

This idea is out rightly rejected on the ground that if a persons

pay. It appears very just and fair that if the income of a person is

earns a large income but does not spend on buying any property,

greater than that of another, the former should be asked to pay

he will then escape taxation. On the other hand, another person

more towards the support of the government than the latter. That

earning income buys property, he will be subjected to taxation. Is

is why in the modern tax system of the countries of the world,

income has been accepted as the best test for measuring the

d.

ability to pay of a person.

Fourth, the burden of taxes should be distributed in proportion to the ability of the tax-payer, i.e., it should be progressive in

Selanjutnya menurut ekonom klasik, pengenaan pajak harus

character.

proporsional terhadap penghasilan individu wajib pajak, hal ini

e.

berarti bahwa pengenaan pajak sejalan dengan pengorbanan yang

Fifth, taxes should he levied at such a time or in the manner which is most likely to be convenient for the tax-payer to pay it.

proporsional bagi individu wajib pajak. Pendapat ini berbeda dengan

f.

Sixth, tax system should be fairly elastic.

ekonom modern yang menyatakan bahwa pengorbanan yang adil

g.

Seventh, there should be certainty with regard to the time and

hanya dapat dicapai melalui pengenaan pajak yang bersifat progresif,

the amount to be paid to the government.

yaitu makin tinggi tingkat penghasilan akan dibebani tarif pajak yang

h.

lebih tinggi. Esensi sistem perpajakan yang baik ditengarai oleh prinsip-prinsip berikut ini (Nightingle, 2000) : a.

b.

c.

First, a good tax system should lead to fair and equal distribution

Eighth, the system of taxation should be fairly simple, It should also be easy to administer.

4.

Pragmatisme Implementasi Keadilan Pajak Dalam kurun waktu akhir abad 20 dan menginjak abad ke

of wealth in the community.

21, konsepsi keadilan di bidang perpajakan secara gradual mulai

Second, it should be composed in such a way that it yields

ditinggalkan, kecenderungan pergeseran ini jelas salah arah, yang

sufficient revenue to the government.

berasal dari kesalah pahaman dari kontribusi pemikiran yang

Third, the cost on collection of taxes should not be excessive.

dimunculkan oleh

para ekonom dan otoritas pajak di berbagai

Negara yang berpandangan pragmatis. Mereka berpendapat bahwa dengan asumsi bahwa jawaban untuk pertanyaan keadilan lebih

bernuansa politik dan populis daripada aspek ekonomi perpajakan

yang sukses daripada kepercayaan warga negaranya dalam proses

dan prinsip-prinsip perpajakan sebagai sumber keuangan Negara dan

peradilan dan legislatif yang melindungi hak asasi manusia dan

daerah. Para ekonom dan otoritas pajak memiliki peran penting

memberikan keadilan yang sama terutama dalam kaitannya dengan

dalam mengembangkan pemikiran tentang keadilan di bidang

beban akhir pajak (tax incidence) berdasarkan hukum yang berlaku.

perpajakan yang seharusnya konsisten dengan prinsip-prinsip sistem

Hak-hak asasi manusia untuk memperoleh perlakuan yang adil dari

perpajakan yang baik (canon of equality). Mereka mungkin tidak

Negara termasuk perlakuan yang adil di bidang perpajakan harus

selalu dapat menentukan jawaban yang "benar" dalam hal keadilan,

mendapat perhatian secara inklusif dengan mempertimbangkan

tetapi mereka sering mengidentifikasi pendekatan keadilan di bidang

berbagai aspek lainnya termasuk kebutuhan keuangan Negara dan

perpajakan yang sulit untuk diimplementasikan khususnya atas dasar

daerah. Berbagai deklarasi dan konvensi, seperti Deklarasi Universal

argumen kesederhanaan administrasi perpajakan.

Solusi ketidak

PBB tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa

adilan ini, diharapkan dapat dikoreksi melalui kebijakan belanja

hak-hak tertentu yang berasal dari kondisi manusia, termasuk

Negara dan daerah yang lebih konsisten dan efisien dalam

preferensi budaya harus dilindungi terutama di negara yang

penyelengaraan pelayanan publik. Namun, ironisnya justru kebijakan

demokratis dan menghargai kebebasan individu. Memang, sulit untuk

belanja Negara dan daerah dalam banyak hal ternyata kurang

mengidentifikasi tindakan

mencerminkan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari masih besarnya

perlakuan kesetaraan dan keadilan termasuk di bidang perpajakan.

kontribusi belanja Negara dan daerah yang dialokasikan hanya untuk

Status keadilan sebagai prinsip politik adalah unik, tetapi tidak selalu

memenuhi kebutuhan aparat dan berbagai belanja yang non-produktif

kekuatan pendorong dan check and balance mampu mengontrol

lainnya. Tidak ada yang lebih mendasar dengan karakter demokrasi

tindakan tertentu pemerintah yang menyimpang dari prinsip-prinsip

pemerintah yang kurang memberikan

tersebut. Prinsip keadilan di bidang perpajakan dalam beberapa hal

pelayanan

sering dikalahkan oleh tujuan lain seperti efisiensi, pertumbuhan

berpendapatan rendah antara lain melalui pembangunan lingkungan

ekonomi, kesederhanaan dalam administrasi perpajakan serta karakter

pemukiman

institusi Pemerintah di berbagai sektor yang masih berkecenderungan

perbaikan saluran irgasi tersier, dan program-program pengentasan

abuse the power dalam menjalankan fungsinya.

kemiskinan lainnya. Dengan kata lain, kebijakan perpajakan dan

Keadilan di bidang perpajakan dan kebijakan anggaran negara dan daerah merupakan satu mata rantai yang saling terkait sebagai bagian dari kebijakan fiskal. Standar keadilan di bidang perpajakan

dalam

banyak

hal

tidak

dapat

dipenuhi

yang

lebih

kumuh,

besar

rehabilitasi

pada

kelompok

Puskesmas,

masyarakat

Sekolah

Dasar,

belanja negara dan daerah juga harus selalu muncul untuk memenuhi standar keadilan yang holistik. Literatur

keuangan

publik,

khususnya

seperti

yang

tanpa

dijelaskan oleh Richard Musgrave dan Peggy Musgrave (1959;1989),

mengaitkannya dengan kebijakan anggaran negara dan daerah.

luar biasa berguna dalam cara membedakan antara keadilan

Sebagai contoh pengenaan jenis-jenis pajak yang bersifat regresif,

horizontal dan vertikal. Keadilan horizontal mengacu pada perlakuan

berdampak pada beban pajak yang berlebihan terhadap kelompok

yang sama dalam pembebanan pajak terhadap wajib pajak yang

masyarakat berpendapatan rendah, hal ini bertentangan dengan

memiliki kondisi basis pajak yang sama. Sedangkan keadilan vertikal

prinsip canon of equality dari Adam Smith. Ketidak adilan dalam

mengacu pada perlakuan yang berbeda dalam pembebanan pajak

pengenaan pajak

terhadap wajib pajak yang memiliki kondisi basis pajak yang

yang regresif ini seyogyanya dikoreksi melalui

kebijakan belanja negara dan daerah yang berpihak pada kepentingan

berbeda. Jika penghasilan sebagai

satu-satunya ukuran dasar

rakyat kecil, misalnya melalui penggunaan dana yang berasal dari

pengenaan pajak seseorang,

pajak khususnya pajak regresif untuk memberikan manfaat dan

menuntut bahwa dua orang dengan penghasilan yang sama, harus

maka penerapan keadilan horizontal

dibebani pajak penghasilan yang sama. Atau, keadilan vertikal

secara umum diterima sebagai penerapan kebijakan perpajakan yang

didasarkan pada premis bahwa seseorang dengan penghasilan yang

mencerminkan keadilan. Beberapa ahli teori berpendapat bahwa

lebih tinggi, maka yang bersangkutan harus dibebani pajak yang lebih

keadilan horizontal dan vertikal merupakan sisi yang berbeda dari

tinggi. Tetapi keadilan di bidang perpajakan khususnya yang diukur

mata uang yang sama. Dengan kata lain, kedua prinsip tersebut

dari penghasilan, ternyata dalam kenyataannya tidak mudah untuk

memegang premis yang sama, yaitu bahwa mereka yang kurang

diimplementasikan (lihat kasus pengenaan PPH pada Sugianto dan

mampu

Sugiarto di atas).

menikmati lebih banyak penyediaan barang dan pelayanan publik.

Keadilan horizontal mensyaratkan bahwa mereka dengan status sama diukur berdasarkan

harus membayar kewajiban perpajakan lebih rendah dan

Keadilan

vertikal

sebagaimana

diuraikan

di

atas,

kemampuan ekonomi atau skala

mensyaratkan bahwa mereka dengan status yang berbeda diukur

yang lain harus diperlakukan sama dalam pemenuhan kewajiban

berdasarkan kemampuan ekonomi atau skala lain yang lain harus

perpajakan. Mereka harus membayar besaran pajak yang sama dan

diperlakukan berbeda dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

menerima kuantitas dan kualitas manfaat pelayanan publik yang

Mereka harus membayar jumlah pajak yang berbeda dan menerima

sama. Keadilan vertikal, dalam kajian ini, mensyaratkan bahwa

kuantitas dan kualitas manfaat pelayanan publik yang berbeda pula

mereka yang kurang mampu dibebani pajak yang relatif lebih ringan

sesuai dengan kemampuan menbayar mereka (the principle of ability

dibandingkan dengan mereka yang memiliki kemampuan yang lebih

to pay). Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar fraksi

besar. Progresivitas sering dianggap identik dengan keadilan vertikal,

penghasilan tersebut yang berasal dari rente ekonomi atas tingkat

tetapi bahkan berbagai literatur ekonomi dan keuangan publik secara

investasinya. Dengan definisi ini, rente ekonomi adalah pembayaran

konsisten menyatakan bahwa tarif progresif atas pajak penghasilan

faktor produksi melebihi yang dibutuhkan untuk menempatkan satu

faktor dalam penggunaan yang paling produktif sehingga dapat

untuk menjadi lebih kaya secara tidak proporsional dari waktu ke

dikenakan pajak

waktu. Untuk mencegah ketidakstabilan politik akibat stratifikasi

sama sekali tanpa mengganggu produksi dari

investasi yang bersangkutan. Akibatnya, dengan tidak adanya pajak

alami tersebut, semua negara demokrasi dan

penganut

sistem

khusus yang dikenakan pada rente ekonomi berupa pajak progresif

ekonomi pasar bebas menerapkan pajak progresif dan program untuk

justru menciptakan ketidak adilan. Untuk itu, penerapan pajak

meningkatkan kesempatan ekonomi bagi kelompok masyarakat

progresif

yang disesuaikan dengan tingkat penghasilan tertinggi

berpendapatan rendah melalui kebijakan belanja Negara dan daerah

dianggap sebagai kompensasi rente ekonomi yang dinikmati individu

yang pro kelompok masyarakat berpendapatan marginal, rendah dan

tersebut.

miskin. Dalam ekonomi pasar, investasi yang lebih besar akan

Kritik terhadap keadilan vertikal sering bernuansa terlalu

memberikan keuntungan yang lebih tinggi pula. Hal ini disebabkan

jauh. Dalam perdebatan historis mengenai keadilan vertikal, hampir

oleh skala ekonomi dan jangkauan peningkatan peluang investasi

tidak ada yang berbeda pendapat bahwa masyarakat yang tergolong

tersebut. Di samping kekuatan-kekuatan ekonomi, para investor

miskin harus membayar pajak lebih rendah dari kelompok

dalam banyak hal memiliki peluang yang lebih besar untuk

masyarakat yang tergolong kaya. Konsistensi ini menyiratkan bahwa

mengontrol jumlah modal yang lebih besar dalam masyarakat, sering

bahkan mereka yang berpendapat progresif yang standar dan bersifat

kali para investor berpeluang yang lebih besar dalam cara yang lebih

subjektif tetap memiliki pemikiran yang relatif sama, yaitu makin

memaksimalkan kekayaannya. Jadi, karena kedua realitas ekonomi

tinggi kemampuan membayar seseorang, maka makin besar fraksi

dan politik dalam ekonomi pasar tersebut, hal tersebut merupakan

penghasilan atau kekayaan mereka yang harus dibebani pajak. Dalam

proses alami bagi individu dan perusahaan terkaya dalam masyarakat

prakteknya, upaya pemerintah untuk mempromosikan keadilan

vertikal biasanya melalui pengenan pajak

dari orang pribadi

seperti menggunakan jalan raya, lingkungan pemukiman yang sehat,

berdasarkan transaksi, seperti penjualan barang dan jasa, modal kerja,

puskesmas atau sarana dan prasarana umum lainnya. Adam Smith,

atau transaksi bisnis lainnya. Akibatnya, pajak adalah salah satu

bapak ekonomi, sering dikesankan bahwa dengan adanya konsep

sumber yang paling mungkin bagi pemerintah untuk memindahkan

kemampuan membayar ini, kelompak masyarakat yang lebih mampu

dana masyarakat terutama yang berpenghasilan tinggi ke kas Negara

harus memberikan kontribusi yang lebih besar melalui pembayara

dan daerah.

pajak atas penyediaan barang publik oleh Pemerintah.

Literatur keuangan publik membedakan antara pajak dengan

Sebuah perdebatan yang sengit tentang pajak dihidupkan

basis pengenaan berdasarkan manfaat (benefit principle) dan jenis

kembali dalam beberapa tahun terakhir telah berpusat pada gagasan

pajak dengan basis pengenaan berdasarkan kemampuan untuk

bahwa konsumsi, bukan penghasilan, harus mewakili basis utama

membayar (ability to pay). Jenis pajak yang berbasis benefit

sistem perpajakan di masa mendatang. Di sebagian besar negara-

principle, pajak tersebut dibayar kepada pemerintah kira-kira setara

negara di seluruh dunia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan

dengan harga yang dibayar di pasar dalam kasus ini penyediaan

salah satu sumber utama pendapatan negara dan dirancang sebagai

barang publik dan pelayanan umum yang diselenggarakan oleh

money machine dewasa ini dan di masa mendatang sebagai jenis

pemerintah. Pajak Bumi dan Bangunan dan Toll-Road Surcharge

pajak konsumsi. Sementara PPN sering bersaing dengan pajak

(Charges

Jalan Tol) adalah contoh umum dari pungutan ini.

penghasilan sebagai sumber utama penerimaan negara, jarang terjadi

Sebaliknya, menerapkan standar "kemampuan untuk membayar"

kedua jenis pajak ini menggantikan satu dengan lainnya, dengan kata

berarti orang pribadi membayar pajak tanpa mempersoalkan apakah

lain kedua jenis pajak ini selalu menjadi andalan penerimaan Negara.

yang bersangkutan menerima manfaat atas tersedianya barang publik

Para pendukung pajak konsumsi yang menganggap lebih superior

5.

dari pada semua basis pajak lainnya termasuk terhadap pajak

Bahwa prinsip-prinsip keadilan memiliki pengaruh kuat

penghasilan memahami bahwa PPN adalah termasuk jenis pajak yang

pada kebijakan seharusnya tidak mengejutkan. Keadilan terkait erat

tidak memenuhi syarat Canon of Equality. Dari sudut pandang

dengan keadilan di bidang perpajakan, dan keadilan berkaitan erat

tersebut, sekali lagi satu-satunya cara untuk mengoreksi ketidak

dengan pembuatan undang-undang yang harus memenuhi hakekat

adilan dalam pengenaan PPN, adalah melalui kebijakan belanja

keadilan. Masih banyak, hukum publik merupakan upaya untuk

Negara dan daerah, yaitu memberikan prioritas pada penyediaan

meningkatkan keadilan. Bahkan undang-undang yang menekankan

barang publik dan pelayanan masyarakat yang memberikan manfaat

masalah lain, seperti efisiensi, harus mempertimbangkan prinsip-

paling besar bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan

prinsip keadilan tersebut. Dari pemikiran ideal ini, kita kemudian

miskin serta meminimalisir belanja Negara dan daerah yang tidak

beralih ke pelaksanaannya di lapangan. Pengertian yang berbeda dari

perlu (un-necessary spendings). Berdasarkan fakta empiris tersebut,

keadilan, keadilan vertikal dan redistribusi kekayaan dari kelompok

sebagian

cenderung

masyarakat yang berpendapatan tinggi kepada kelompok masyarakat

menggunakan basis pajak penghasilan, konsumsi, kekayaan, dan

yang berpendapatan rendah dalam beberapa hal bertentangan dengan

properti sebagai pilar sumber penerimaan Negara dan daerah

keadilan individu. Keadilan bahkan tidak didefinisikan secara

meskipun disadari bahwa jenis-jenis pajak tersebut tidak sepenuhnya

konsisten antara pajak dan sistem pengeluaran Negara dan daerah,

memenuhi syarat Canon of Equality.

sehingga apa yang kadang-kadang disebut kebijakan pajak regresif

Peraturan Perundangan Bidang Perpajakan dan Keadilan

terpaksa tetap dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan mobilisasi

Perpajakan

penerimaan Negara dan daerah. Di tengah kompleksitas ini, sangat

besar

pemerintah

di

berbagai

negara

menggoda untuk menyimpulkan bahwa keadilan menjadi suatu

barang mewah yang sulit untuk dipenuhi paling tidak dalam jangka

dijadikan alasan penundaan pembayaran pajak, tetapi disisi lain

pendek dan menengah.

bagi

Meskipun banyak sumber kompleksitas,

wajib pajak, penerapan sanksi a d m i n i s t r a s i

yang

prinsip keadilan adalah standar pertama yang harus dipenuhi dalam

berlebihan

menerapkan sistem perpajakan yang baik. Sederhananya, negara yang

dalam proses pencarian keadilan. Teori ini dapat dijadikan sebagai

demokratis tidak bisa mengabaikan prinsip tersebut dengan berbagai

pertimbangan untuk membuat suatu ketentuan yang mengatur

alasan. Prinsip-prinsip keadilan mungkin diabaikan pada waktu

penyelesaian

tertentu dan dalam undang-undang tertentu, tetapi peraturan

kepentingan wajib pajak dengan kepentingan Pemerintah dalam

perudangan yang distortif terhadap prinsip-prinsip keadilan tersebut

rangka memobilisasi sumber-sumber penerimaan APBN dan APBD.

harus dihilangkan secara gradual dan berkelanjutan. Pemikiran ini

Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi

juga harus diimplementasikan untuk menganalisis permasalahan

dalam penyusunan peraturan merupakan salah satu ciri dari teori

yang berkaitan dengan materi

ini sehingga tercipta suatu peraturan yang sesuai dengan aspirasi

perundang-undangan perpajakan

khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa pajak.

dalam a d m i n i s t r a s i

pemungutannya

tidak

sengketa

pajak

yang tetap

menyeimbangkan

rakyat.

Pajak meskipun dijadikan sebagai sumber penerimaan negara yang utama, tetapi

dianggap sebagai suatu ancaman dan hambatan

Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan yang baik

adalah

adil, berkaitan

dengan hal ini peraturan yang

boleh sewenang-wenang dan mengorbankan p r i n s i p k e a d i l a n

mendasari pemungutan pajak hendaknya harus

sesuai

dengan

t e r m a s u k k e a d i l a n i n d i v i d u w a j i b p a j a k . Pengenaan

syarat-syarat keadilan. Keadilan dalam kebijakan perpajakan dapat

sanksi administrasi yang tinggi dalam keberatan dan banding pada

dilihat dari : pertama, keadilan dalam hubungan antara pemerintah

dasarnya dimaksudkan agar lembaga keberatan dan banding tidak

dan wajib pajak, kedua, keadilan dari alokasi beban pajak pada

berbagai golongan masyarakat. Sanksi bukanlah satu-satunya cara

permohonan banding yang ditolak) akan menggangu kinerja

untuk menciptakan agar suatu peraturan dapat ditaati, tetapi

penerimaan perpajakan adalah sangat berlebihan.

bagaimana menumbuhkan kesadaran hukum merupakan hal yang

Utang pajak menurut sistem self assessment

sangat penting. Penerapan sanksi yang tinggi dalam pengajuan

manakala telah terpenuhi syarat subyektif dan obyektif menurut

keberatan dan banding pajak tentunya tidak sejalan dengan

ketentuan undang-undang, tanpa menunggu adanya campur tangan

teori ini, upaya peningkatan kesadaran dan kepatuhan wajib

atau perbuatan dari pejabat pajak. Pemberian kepercayaan yang

pajak

ditempuh melalui

sangat besar kepada wajib pajak dalam sistem self assessment ini

penciptaan suatu peraturan yang adil. Undang-undang yang adil

sudah sewajarnya diimbangi dengan instrument pengawasan agar

secara tidak langsung dapat mempengaruhi

kepercayaan itu tidak disalah

dalam

pembayaran

pajak

dapat

kepatuhan sukarela

timbul

gunakan wajib pajak. Untuk

(voluntary compliance) dan ketaatan wajib pajak. Kepatuhan Wajib

keperluan itu diciptakan wewenang bagi fiskus untuk melakukan

Pajak secara suka rela akan datang dengan sendirinya jika hukum

pemeriksaan. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya

dirasa adil dan sesuai hak asasi manusia. Di samping itu perlu diingat

perbedaan atau selisih hasil pemeriksaan dengan jumlah yang

bahwa dalam sistem perpajakan yang menganut sistem “self-

dilaporkan oleh wajib pajak dalam Surat Pemberitahuannya dan

assessment”,

menimbulkan koreksi, maka fiskus berwenang mengeluarkan Surat

peranan

penerimaan

pajak

yang

berasal

dari

enforcement terutama berasal dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak

Ketetapan Pajak (s k p ) yang mempunyai kedudukan

sama

(skp) hanya sekitar 8% dari total penerimaan pajak, sehingga

dengan Surat Tagihan Pajak. Surat Ketetapan tersebut dapat berupa

kekuatiran penerapan sanksi administrasi berupa denda yang tidak

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ( SKPKB ), Surat Ketetapan

berat (50% untuk keberatan yang ditolak dan 100% untuk

Pajak Kurang Bayar Tambahan ( SKPKBT ), Surat Ketetapan Pajak

Lebih Bayar ( SKPLB ), Surat Ketetapan Pajak Nihil ( SKPN ). Dalam praktek menyetujui

seringkali

terjadi

wajib

mempunyai peraturan-peraturan yang berbeda yang tersebar dalam

pajak tidak

besarnya jumlah pajak yang dipergunakan sebagai

berbagai

ketentuan

baik

dilihat

dari

prosedur,

mekanisme

penyelesaian sengketa pajak. Sesuai dengan sifat pajak sebagai

dasar pengenaan pajak sebagaimana yang tertuang dalam skp.

sumber utama pendapatan negara, pajak mempunyai

Perbedaan perhitungan antara fiskus dan wajib pajak inilah

peraturan

merupakan salah satu sebab timbulnya suatu sengketa pajak.

ketentuan. Spesifikasi ini juga terlihat dalam prosedur dan

Definisi sengketa pajak itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (5)

mekanisme penyelesaian sengketa pajak. Penyelesaian sengketa

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

pajak mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan

adalah, sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib

penyelesaian sengketa dalam sistem peradilan pada umumnya.

pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya

Hal yang membedakan

keputusan yang dapat

ke

penyelesaian sengketa pada umumnya adalah pertama: mengenai

peraturan perundang-undangan

prosedur, dalam penyelesaian sengketa pajak ada ketentuan yang

Pengadilan

Pajak

diajukan

berdasarkan

banding

atau

gugatan

perpajakan.

yang

spesifik

yang

tersebar

penyelesaian

peraturan-

dalam

sengketa

pajak

berbagai

dengan

menyatakan bahwa, pengajuan keberatan, banding dan gugatan

Dalam hal terjadi suatu sengketa pajak, dalam kerangka

tidak menunda kewajiban pembayaran pajak dan pelaksanaan

negara hukum wajib pajak berhak diberi perlindungan hukum

penagihan pajak. Undang- undang tidak memberi penjelasan secara

yang

adalah perlindungan hukum yang

jelas, dasar jumlah pajak yang harus dibayar apakah sesuai dengan

bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa. Sesuai dengan

SPT atau skp. Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai

karakteristik pajak sebagai sumber utama pendapatan negara, pajak

ketentuan tersebut, oleh fiskus ditafsirkan sebagai keharusan

salah

satu

bentuknya

untuk melunasi seluruh hutang pajaknya sesuai

pajak “ dalam banding diartikan sebagai keharusan membayar pajak

dengan jumlah yang tertuang dalam skp. Apabila dilihat dari

hanya sebesar 50% dari jumlah yang terutang dalam skp. Hal

kepentingan wajib pajak, penafsiran tersebut

dianggap kurang

demikian berbeda dalam pengajuan keberatan. Dalam pengajuan

memberi rasa keadilan bagi wajib pajak, karena jumlah hutang

keberatan memang tidak ada syarat yang mengharuskan wajib

pajak yang tertuang dalam skp justru merupakan obyek yang

pajak untuk melunasi seluruh utang pajaknya sejumlah yang

disengketakan. Hal ini juga tidak konsisten dengan asas self

tertuang dalam skp, tetapi dengan adanya ketentuan “ tidak menunda

assessment yang dianut. Syarat ini dirasa sangat memberatkan wajib

pembayaran pajak dan pelaksanaan penagihan pajak “ diartikan

pajak dan tidak sesuai dengan syarat yang harus dipenuhi peradilan

oleh fiskus sebagai keharusan

pada umumnya, bahwa peradilan harus dilakukan dengan biaya

sebesar yang tertuang dalam skp, dan apabila tidak dilunasi fiskus

murah.

berwenang melakukan tindakan penagihan, maka secara tidak

wajib

pajak

Penafsiran ketentuan keberatan, banding tidak menunda

untuk melunasi utang pajaknya

langsung “ keharusan melunasi utang pajak sejumlah yang tertera

pajak

dalam skp “ menjadi syarat pengajuan keberatan. Ketidak sesuaian

dengan keharusan melunasi utang pajak sejumlah yang tertuang

syarat antara keberatan dan banding inilah yang menimbulkan

dalam skp menimbulkan masalah manakala dikaitkan dengan

persoalan, sedangkan pengajuan

banding dalam penyelesaian

syarat pengajuan keberatan dan banding itu sendiri. Salah satu

sengketa

dengan

syarat pengajuan banding adalah adanya kewajiban wajib pajak

keberatan. Syarat “Pengajuan keberatan, banding tidak menunda

untuk membayar sebesar 50% dari jumlah pajak yang terutang.

pembayaran pajak “ yang oleh fiskus ditafsirkan melunasi semua

Berkaitan dengan syarat ini ketentuan “ Tidak menunda pembayaran

jumlah pajak sebagaimana yang tertuang dalam skp dalam UU

pembayaran pajak dan

pelaksanaan

penagihan

utang

pajak

selalu

diawali

adanya

pengajuan

KUP yang baru ( UU No 28 Tahun 2007 )

sudah dihapus dan

cara perhitungan pajak yang cenderung rumit. Padahal pada

diganti dengan kewajiban membayar pajak minimal sesuai yang

dasarnya dalam suatu sengketa tidak selamanya perhitungan wajib

disepakati wajib pajak. Tetapi ada ketentuan lain bahwa ketika

pajaklah yang salah.

wajib pajak kalah dalam keberatan maka wajib pajak dikenai

Berkaitan dengan adanya perubahan pengaturan mengenai

sanksi 50% dan apabila wajib pajak ingin melanjutkan mencari

prosedur penyelesaian sengketa pajak di atas, maka dalam

upaya hukum lanjutan yaitu banding dan dalam putusan banding

penyelesaian sengketa saat ini, berlakulah aturan peralihan, bahwa

wajib pajak diputus kalah maka wajib pajak dikenai sanksi sebesar

sengketa yang masuk sebelum 1 Januari 2008 masih menggunakan

100%. Disisi lain ketika fiskus yang dinyatakan kalah dalam

prosedur yang sesuai dengan aturan yang lama dan yang masuk 1

keberatan maupun banding, fiskus hanya dikenai sanksi pembayaran

Januari 2008 atau sesudahnya memakai aturan yang baru. Hal lain

bunga 2 % sebulan. Berdasarkan hal tersebut terlihat ada

yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian sengketa pajak yang

ketidakseimbangan aturan antara wajib pajak dengan fiskus.

dirasa kurang memberi perlindungan hukum terhadap wajib

Disamping itu adanya sanksi denda pembayaran 50% dan 100% jika

pajak adalah tidak adanya ketentuan yang memuat dasar-dasar

wajib pajak kalah dalam keberatan dan banding lebih dirasa sebagai

pengajuan

suatu ancaman bagi wajib pajak dalam mencari upaya hukum

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 41 ayat (1) UU No. 14 Tahun

dalam penyelesaian sengketa pajak. Adanya sanksi yang tinggi

2002 ditentukan bahwa gugatan harus disertai dengan alasan-

tentunya akan menambah rasa pesimistis wajib pajak apabila

alasan yang jelas. Sehubungan tidak adanya dasar-dasar gugatan

dikaitkan dengan kurang percaya dirinya wajib pajak dengan

dalam peraturan perundang-undangan pajak, maka dalam praktek

kemampuan

digunakanlah dasar-dasar gugatan sebagaimana yang tercantum

menghitung

kewajiban

perpajakannya mengingat

gugatan. Sedangkan

syarat pengajuan gugatan

dalam Undang-undang No 5 Tahun 1986 Jo. UU No 9 Tahun 2004

sengketa

melalui upaya administratif, memang dimungkinkan

tentang PTUN sebagai aturan umum ( lex generali ), sedangkan pada

menurut hukum positif, termasuk sengketa

dasarnya obyek gugatan dalam pajak tentulah berbeda dengan

hukum pajak. Penyelesaian sengketa melalui upaya administratif

gugatan dalam PTUN, dalam sengketa pajak yang disengkatan

ini

pada dasarnya tidak hanya suatu keputusan, tetapi berkaitan juga

memperoleh keadilan dan memperoleh perlindungan hukum, baik

dengan nominal tertentu berkaitan dengan pembayaran pajak.

bagi administrasi sendiri maupun bagi warga. Demikian juga dalam

dimaksudkan

untuk

memudahkan

administrasi

pencari

dalam

keadilan

penyelesaian sengketa pajak. Kedua,

mekanisme

penyelesaian

sengketa

pajak.

Bentuk

upaya

administratif

adalah

keberatan

dan

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa penyelesaian sengketa pajak

banding

mengenal dua model penyelesaian yaitu; penyelesaian

melalui

dimana penyelesai sengketanya adalah orang yang mengeluarkan

upaya

dimana

keputusan, sedangkan banding administratif adalah penyelesaian

penyelesainnya masih termasuk pihak berperkara yaitu fisus dan

sengketa dimana yang menyelesaikan sengketa adalah atasan atau

penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan murni yaitu

pihak lain yang tidak mengeluarkan keputusan tetapi masih dalam

Pengadilan Pajak. Penyelesaian sengketa melalui upaya administratif.

lingkup Direktorat Jenderal Pajak (eksekutif). Dalam penyelesaian

Sebagaimana di uraikan di atas salah

sengketa yang mengenal upaya administratif, apabila seluruh upaya

sengketa

administratif

pajak

yang

yaitu

dapat

penyelesaian

sengketa

satu jalur penyelesaian

ditempuh

administratif. Keberatan yaitu penyelesaian sengketa

untuk menyelesaikan

administratif yang ditawarkan sudah ditempuh tetapi masih belum

sengketa pajak adalah melalui upaya administratif yaitu keberatan.

puas dengan putusan tersebut, maka dapat mencari upaya hukum

Untuk menyelesaikan sengketa administratif, jalur penyelesaian

lanjutan ke Pengadilan Tingi Tata Usaha Negara ( Pasal 48 ayat ( 2

) Jo. Pasal 53 ayat ( 3 ) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No 9 Tahun

ketentuan ini merupakan koreksi yang signifikan dari Undang-undang

2004 tentang PTUN). Demikian juga apabila kita terapkan pada

No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang

penyelesaian sengketa pajak, apabila wajib pajak tidak puas

No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

atas putusan keberatan, maka dapat mengajukan upaya hukum

Perpajakan. Keberatan atas suatu SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB

lanjutan

berhubung

dan Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga

Pengadilan Pajak tidak ada Pengadilan Tingginya, maka upaya

berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang hanya

hukum lanjutan dari upaya administratif pajak adalah banding ke

dapat diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak, seharusnya diubah

Pengadilan Pajak. Apabila kita lihat bahwa adanya ketentuan-

menjadi kepada Pengadilan Pajak. Sudah barang tentu pergeseran

ketentuan

spesifik dalam peraturan perpajakan

kewenangan penanganan Keberatan Pajak dari Direktorat Jenderal

khususnya dalam penyelesaian sengketa pajak dimaksudkan untuk

Pajak ke Pengadilan Pajak memerlukan persyaratan perkuatan dan

mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak, tetapi

pembangunan kapasitas kelembagaan (capacity building) pada

apabila dilihat dari kepentingan wajib pajak ketentuan tersebut

Pengadilan Pajak, termasuk perkuatan independensi lembaga tersebut

kurang

memberi keadilan bagi wajib pajak. Ketentuan pasal 25,

terlepas dari hubungan historis dan organisatoris dengan Kementerian

pasal 26, pasal 26A, pasal 27 dan pasal 27 A yang mengatur

Keuangan. Beberapa ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang

Keberatan dan Banding dalam Undang-undang No 28 Tahun 2007

No 14 Tahun 2002 tentang Pangadilan Pajak harus diadakan revisi

tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983

seperlunya antara lain Pasal 5 yang mengatur pembinaan organisasi,

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan masih dirasakan

administrasi, dan keuangan harus bersifat mandiri tidak terikat

kurang mencerminkan rasa keadilan bagi Wajib Pajak, meskipun

dengan Kementerian Keuangan. Demikian pula Pasal 8 dan Pasal 17

ke

Pengadilan

yang bersifat

Tinggi Pajak.

Tetapi

yang mengatur masing-masing tentang pengusulan calon hakim dan usul pemberhentian tidak dengan hormat harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. Argumentasinya sederhana saja, bagaimana Wajib Pajak dapat memperoleh keadilan dalam suatu Keputusan Keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang justru institusi tersebut yang menerbitkan skp sebagaimana dikemukakan di atas. Demikian pula ketentuan mengenai Pajak Penghasilan, dalam beberapa hal masih, bernuansa ketidak adilan dan berpotensi mendorong abuse the power bagi otoritas pajak misalnya ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-undang No 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa : “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. penghasilan berupa hadiah undian; c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura: d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah

dan/atau bangunan; dan e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan pasal 4 ayat (2) tersebut dinyatakan bahwa : “Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1) (maksudnya, obyek pajak PPH), penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan antara lain : perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; kesederhanaan dalam pemungutan pajak; berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak mapun Direktorat Jenderal Pajak; pemerataan dalam pengenaan pajak; dan memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter; atas penghasilanpenghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (duabelas) bulan; seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.” Pengaturan pajak ini diasumsinya bahwa Pemerintah (baca Direktorat Jenderal Pajak) selalu menjalankan tugas dan fungsinya secara obyektif, berorientasi pada kepentingan rakyat, transparan, akuntabel dan independen. Sehingga kekuasaan yang besar dapat menentukan

tarif efektif

yang menyimpang dari tarif umum

sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU PPH Tahun 2008 (baca,

tariff final) tidak pernah disalah gunakan, meskipun sudah diberikan

agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka perlu

rambu-rambu tertentu dapat penjelasan ayat ini. Ketentuan yang

didukung dengan undang-undang yang baik pula. Undang-undang

memberikan kewenangan yang besar ini bertentangan dengan prinsip

yang baik menurut Hofstra, adalah undang-undang yang tidak

check and balance dan bertentangan dengan Pasal 23A Undang-

hanya berorientasi pada aspek makro yaitu aspek yang hanya

undang Dasar 1945, yang menyatakan : “Pajak dan pungutan lain

berorientasi pada tuntutan ekonomi, tetapi juga harus memenuhi

yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan

syarat yang paling esensial yaitu syarat mikro bahwa undang-

undang-undang”.

undang

pajak

hendaknya memenuhi rasa keadilan baik bagi

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2008 ini

kepentingan publik maupun individu. Keadilan, selama ini masih

sebaiknya direvisi, karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan

setia berjalan di atas jalan penderitaan. Keadilan masih bergerak

bunyi Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945. Hakekat pengenaan

hilir mudik merana dalam ketidak berdayaannya menghadapi

pajak adalah yang terkait dengan dasar pengenaan pajak dan tarif

masalah-masalah

pajak, yang dalam Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 jelas harus

mempertahankan kekuasaan yang kian hari tampak kian terorganisir

diatur dengan undang-undang. Secara eksplisit undang-undang pajak

dan superior, sementara di sisi lain keadilan bagi wajib pajak

yang baik berdasarkan konstitusi Republik Indonesia tersebut harus

menunjukkan kecenderungan inferioritas yang kian parah. Keadilan,

diatur dengan undang-undang, bukan berdasarkan undang-undang

dengan suara yang lirih masih setia memanggil hukum untuk

atau diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah. Ketentuan Pasal 4

memperhatikan jalannya, mengeluarkannya dari penderitaan yang

ayat (2) Undang-undang No 36 Tahun 2008 tersebut menurut penulis

selama ini telah cukup untuk membuatnya hanya sanggup berjalan

bertentangan dengan Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945. Pajak

merangkak. Kenyataan-kenyataan saat ini menunjukkan betapa

dan

sentuhan

aparat

yang

berkarakter

6.

keadilan t e r m a s u k k e a d i l a n d i b i d a n g p e r p a j a k a n masih

publik dalam rangka mencapai kemakmuran masyarakat (social

harus bersabar untuk mencapai supremasinya. Kekuatan masyarakat

and economic welfare). Sistem perpajakan harus dimaknai

tersebut

sebagai

sesungguhnya

merupakan

kekuatan

moral

yang

bagian

dari

model

sosial

ekonomi,

yang

menggerakkan seluruh energi kehidupan untuk melakukan revolusi,

merepresentasikan masyarakat sosial, politik dan kebutuhan

khususnya di bidang hukum untuk mewujudkan keadilan tertinggi

ekonomi masyarakat pada periode tertentu, yang berarti bahwa

(the ultimate justice)

di masyarakat. Karenanya, sudah tidak

perubahan cita-cita bernegara suatu masyarakat bangsa akan

terbantahkan lagi bahwa hukum dan moral harus berjalan seiring

memberikan implikasi terhadap perubahan sistem perpajakan.

dan tidak boleh dipisahkan sama sekali (Sa’adah, 2009).

Karakteristik sistem perpajakan yang harus mengikuti sistem

Kesimpulan dan Saran

pemerintahan dan tujuan bernegara tersebut, menjelaskan bahwa

a.

lahirnya

kenapa pada dasarnya sistem perpajakan antar negara berbeda,

pemerintahan civil, dan dapat dikatakan bahwa pajak merupakan

dan kenapa sistem perpajakan selalu berubah dari waktu ke

harga yang harus dibayar oleh kehidupan masyarakat civil yang

waktu.

Keberadaan

demokratis,

pajak

bebas

terutama

dan

berlangsung

terorganisir.

sejak

Pajak

tidak

hanya

b.

Konsep kesetaraan dan keadilan di bidang perpajakan merupakan

mengandung arti berpindahnya dana masyarakat ke pemerintah

urat nadi sistem perpajakan yang baik. Pemimpin politik

untuk menyediakan barang publik dan melaksanakan pelayanan

memberi penghargaan kepada cita-cita di hampir setiap bidang

publik

pajak

juga

pembuatan

sosial-budaya

dan

Warganegara, apalagi, amat peka terhadap argumen tentang

merealisasikan prioritas permintaan masyarakat dalam pelayanan

keadilan di hampir setiap debat kebijakan perpajakan. Namun,

yang

dimaksudkan

diinginkan sebagai

masyarakat, refleksi

nilai

namun

undang-undang

dan

peraturan

perpajakan.

c.

semua kontroversi yang bersifat populis tersebut, keadilan pajak

pajak dalam arti uang, tetapi beban riil dalam arti kepuasan yang

kurang dipahami dan sering kali penerapannya tidak sejalan

hilang. (b) Prinsip kepastian (certainty), pajak hendaknya tegas,

dengan sistem perpajakan yang baik. Konsep keadilan di bidang

jelas, dan menjamin kepastian bagi setiap wajib pajak sehingga

perpajakan ini sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dimensi yang

mudah dimengerti oleh wajib pajak dan juga akan memudahkan

berbeda yaitu: keadilan horizontal, vertikal, dan keadilan

administrasi

individu.

ini

(convenience), pajak jangan sampai terlalu menekan wajib pajak

mempersulit upaya untuk mencari kebijakan pajak yang baik,

sehingga wajib pajak akan dengan senang hati melakukan

mendorong debat politik yang lebih banyak menyita retorika

pembayaran pajak kepada pemerintah. (d) Prinsip efisiensi

keadilan di bidang perpajakan tanpa menyentuh substansinya.

(efficiency), pajak hendaknya menimbulkan kerugian yang

Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into The Nature and

minimal dalam arti jangan sampai biaya pemungutannya lebih

Causes of The Wealth of Nations (1776) antara lain menyatakan

besar dari jumlah penerimaan pajaknya dan pajak hendaknya

suatu sistem perpajakan yang baik harus memenuhi kriteria yang

mampu menghilangkan distorsi terhadap tingkah laku wajib

dikenal sebagai Canons of Taxation, yang terdiri dari empat

pajak (prinsip netralitas).

Penerapan

di

antara

komponen-komponen

kriteria yang dikenal sebagai Four Criteria for a "good tax" yaitu

d.

pemerintah

sendiri.

(c)

Prinsip

kecocokan

Bahwa prinsip-prinsip keadilan memiliki pengaruh kuat pada

: (a) Prinsip keadilan (equity), artinya bahwa beban pajak harus

kebijakan seharusnya tidak mengejutkan. Keadilan terkait erat

sesuai dengan kemampuan relatif dari setiap wajib pajak.

dengan keadilan, dan keadilan berkaitan erat dengan pembuatan

Perbedaan dalam tingkat penghasilan harus digunakan sebagai

undang-undang. Masih banyak, hukum publik merupakan upaya

dasar dalam distribusi beban pajak itu sehingga bukan beban

untuk meningkatkan keadilan. Bahkan undang-undang yang

menekankan

masalah

lain,

seperti

harus

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Keberatan

Dari pemikiran

atas suatu SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB dan Pemotongan

ideal ini, kita kemudian beralih ke pelaksanaannya di lapangan.

atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan

Pengertian yang berbeda dari keadilan, keadilan vertikal dan

perundang-undangan perpajakan yang hanya dapat diajukan

redistribusi terhadap orang yang berkekurangan dalam beberapa

kepada Direktur Jenderal Pajak, seharusnya diubah menjadi

hal bertentangan dengan keadilan individu. Keadilan bahkan

kepada Pengadilan Pajak. Argumentasinya sederhana saja,

tidak didefinisikan secara konsisten antara pajak dan sistem

bagaimana Wajib Pajak dapat memperoleh keadilan dalam suatu

pengeluaran,

disebut

Keputusan Keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang

kebijakan pajak regresif terpaksa tetap dilaksanakan untuk

justru institusi tersebut yang menerbitkan skp sebagaimana

memenuhi kebutuhan mobilisasi penerimaan Negara dan daerah.

dikemukakan di atas. Pajak agar dapat menjalankan fungsinya

Ketentuan pasal 25, pasal 26, pasal 26A, pasal 27 dan pasal 27 A

dengan baik, maka perlu didukung dengan undang-undang

yang mengatur Keberatan dan Banding dalam Undang-undang

yang baik pula.

mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan.

e.

sehingga

apa

yang

efisiensi,

kadang-kadang

No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

f.

Ketentuan yang memberikan kewenangan yang besar kepada

undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Pemerintah yang berkaitan dengan pemberian kewenangan untuk

Cara Perpajakan masih dirasakan kurang mencerminkan rasa

menetapkan PPH Final sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat

keadilan bagi Wajib Pajak, meskipun ketentuan ini merupakan

(2) UU No 36 2008 bertentangan dengan prinsip check and

koreksi dari Undang-undang No. 16 Tahun 2000 tentang

balance khususnya bertentangan dengan Pasal 23A Undang-

Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983

undang Dasar 1945, yang menyatakan : “Pajak dan pungutan

lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur

aspek yang hanya berorientasi pada tuntutan ekonomi, tetapi

dengan undang-undang”. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU No. 36

juga harus memenuhi syarat yang paling esensial yaitu syarat

Tahun 2008 ini sebaiknya direvisi, karena bertentangan dengan

mikro bahwa undang-undang pajak hendaknya memenuhi rasa

prinsip keadilan dan bunyi Pasal 23A Undang-undang Dasar

keadilan baik bagi kepentingan publik maupun individu. Keadilan,

1945. Hakekat pengenaan pajak adalah yang terkait dengan dasar

selama ini masih setia berjalan di atas jalan penderitaan.

pengenaan pajak dan tarif pajak, yang dalam Pasal 23A Undang-

Keadilan masih bergerak hilir mudik merana dalam ketidak

undang Dasar 1945 jelas harus diatur dengan undang-undang.

berdayaannya menghadapi

Secara eksplisit undang-undang pajak yang baik berdasarkan

aparat yang berkarakter mempertahankan kekuasaan yang kian

kosntitusi Republik Indonesia tersebut harus diatur dengan

hari tampak kian terorganisir dan superior, sementara di sisi lain

undang-undang,

keadilan bagi

bukan

berdasarkan

undang-undang

atau

diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah. Ketentuan Pasal 4

wajib

masalah-masalah dan

pajak

sentuhan

menunjukkan kecenderungan

inferioritas yang kian parah.

ayat (2) Undang-undang No 36 Tahun 2008 tersebut menurut penulis bertentangan dengan Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945. g.

Pajak agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka

B.

Penerimaan Negara 1.

Pengertian Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang dipungut oleh

perlu didukung dengan undang-undang yang baik pula.

pemerintah

Undang-undang yang baik menurut Hofstra, adalah undang-

pengeluaran rutin Negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa

undang yang tidak hanya berorientasi pada aspek makro yaitu

yang dapat ditunjuk secara langsung. Namun secara logika pajak

dari

masyarakat

(wajib

pajak)

untuk

menutupi

yang dibayar oleh masyarakat tersebut mempunyai dampak secara

a.

Iuran/pungutan.

langsung terhadap kesejahteraan masyarakat seperti pembangunan

Pajak merupakan suatu kewajiban pembayaran dari warga

jalan, jembatan, dan tempat-tempat umum lainnya.

Negara kepada negaranya sendiri. Hal ini dianggap sebagai suatu

Ada beberapa pendapat para ahli tentang pengertian pajak,

rasa tanggung jawab sebagai rakyat. Awalnya memang pajak ini

dianhtaranya adalah:

pada zaman kerajaan disebut sebagai upeti yang harus dibayar

a.

oleh rakyat kepada raja.

Prof Dr. Adriani. Pajak adalah iuran kepada Negara yang dapat dipaksanakan, yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk

b.

b.

Pajak dipungutr berdasarkan Undang-Undang.

secara langsung.

Undang-undang memberikan wewenang kepada fiskus atau

Prof. DR. Rachmat Sumitro, SH.

petugas pajak untuk memaksa wajib pajak untuk mematuhi dan

Pajak adalah iuran rakyatmkepada kas Negara (peralihan

melaksanakan kewajiban pajaknya. Sebab undang-undang

kekayaan dari kas rakyat ke sector pemerintah berdasarkan

menurut sanksi-sanksi pidana fiscal (pajak) sanksi administrative

Undang-undang dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa

yang

timbale (tegen prstasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan

wewenang dari perpajakan untuk mengadakan penyitaan

digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.

terhadap harta bergerak/tetap wajib pajak.

Dari kedua pengertian di atas dapat diambil kesimpulan yaitu terdapat lima unsure pokok dalam definisi pajak yaitu:

c.

khususnya

diatur

Pajak dapat dipaksanakan.

oleh

Undang-Undang

termasuk

d.

Dalam hokum pajak di Indonesia dikenal lembaga sandera atau

Asas-asas pemungutan pajak dan alas an yang menjadi dasar

girling yaitu wajib pajak yang pada dasarnya mampu membayar

pembenaran pemungutan pajak oleh fiskus Negara, sehingga fiskus

pajak namun selalu menghindai pembayaran pajak dengan

Negara merasa mempuhyai wewenang untuk memungutpajak dari

berbagai dalih, maka fiskus dapat menyandera wajib pajak

penduduknya. Di dalam buku perpajakan (Mardiasmo, 1999), ada

dengan memasukjkannya ke dalam penjara.

beberapa teori yang mendasari pemungutan pajak:

Tidak menerima kontra prestasi.

a.

Ciri khas pajak disbanding dengan jkenis pungutan lainnya

Negara berhak memungut pajak dari penduduk karena menurut

adalah wajib pajak (tax payer) tidak menerima jasa timbal yang

teori ini Negara melndungi semua rakyat dan akyat membayar

dapat ditunjuk secara langsung dari pemerintah namun perlu

premi pada Negara.

dipahami bahwa sebenarnya sibyek pajak menerima jasa timbale

e.

b.

Teori Kepentingan.

tetapi diterima secara kolektif bersama dengan masyarakat

Bahwa Negara berhak memungut pajak karena penduduk Negara

lainnya.

tersebut mempunyai kepentingan pada Negara, makin besar

Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah.

kepentinga penduduk kepada Negara maka makin besar pula

Pajak yang dipungut tidak pernah ditujukan untuk khusus,

pajak yang harus dibayarnya kepada Negara.

artinya semua pengeluaran Negara ditujukan untuk kepentingan masyarakat banyak atau umum. 2.

Teori Asuransi

Asas-asas Pemungutan Pajak

c.

Teori Bakti Mengajarkan bahwa penduduk adalah bagian dari suatu Negara oleh karena itu penduduk terikat pada Negara dan wajib membayar pajak pada Negara dalamj arti berbakti pada Negara.

d.

Teori Gaya pikul

a.

Teori ini mengusulkan supaya di dalam hal pemungutan pajak

Asas yuridis yang mengemukakan supaya pemungutan pajak didasarkan pada undang-undang.

pemerintah memperhatikan gaya pikul wajib pajak.

b.

Asas ekonomis yang menekankan supaya pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi dan perekonomian rakyat.

e.

Teori gaya beli

Asas financial menekankan supaya pengeluaran-pengeluaran

Menurut teori ini justifikasi pemungutan pajak terletak pada

untuk memungut pajak harus lebih rendah dari jumlah pajak

akibat pemungutan pajak. Misalnya tersedianya dana yang cukup

yang dipungut.

untuk membuiayai pengeluaran umum Negara, karena akibat

f.

c.

3.

Wajib Pajak

baik untuk membiayai pengeluaran umum Negara, karena akibat

Berdasarkan Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang

baik dari perhatian Negara pada masyarakat maka pemungutan

Ketentuan Umum dann tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa wajib

pajak adalah juga baik.

pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan

Teori Pembangunan.

perundang-undangan

Untuk Indonesia justifikasi pemungutan pajak yang paling tepat

kewajiban perpajakan. Ada beberapa ketentuan-ketentuan yang

adalah pembangunan dalam arti masyarakat yahng adil dan

mengatur dimana orang pribadi atau badan dianggap sebagai wajib

makmur.

pajak, dan tentuanhya setelah, menjadi wajib pajak maka akan

Disamping itu terdapat juga asas-asas yang mendasari pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai berikut:

perpajakan

ditentukan

untuk

melakukan

mempunyai kewajiban untuk memotong, memungut, membayar, sereta melaporkan pajak tersebut dalam bentuk surat pemberitahuan baik secara masa atau bulanan maupun tahunan.

Jika dipandang dari segi hokum, disebut wajib pajak harus

4.

Fungsi Pajak

memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif terpenuhi jika orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,

Fungsi pajak adalah sebagai berikut: a.

Fungsi budgetair

orang pribadi yang ebrada di Inonesia lebih dari 183 (seratus delapan

Fungsi budgetair merupakan fungsi utama pajak dan fungsi fiscal

puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang

yaitu suatu fungsi dimanha pajak dipergunakan sebagai alat

p[ribadi yanhg dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan

untuk memasukkan dana secara optimal ke kas Negara

mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia yahjg disebut

berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku “segala

sebagai wajib pajak orang pribadi, atau badan yanhg didirikan atau

pajak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang”.

bertempat kedudukan di Indonesia yang disebut sebagai wajib pajak

b.

Fungsi Regulerend

badan. Syarat obyektif terpenuhi jika yang berhubungan dengan

Fungsi regelerend atau fungsi mengatur dan sebagainya juga

obyek pajak misalnya adanya penghasilan atau penyerahan barang

fungsi pajak dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk

kena pajak tersebut maka syarat obyektif ini telah dipenuhi dan dapat

mencapai tujuann tyertentu, dan sebagainaya sebagai fungsi

dianggap sebagai wajib pajak.

tambahan karena fungsi ini hanya sebagai pelengkap dari fungsi

Syarat subyektif dan syarat obyektif ini harus terpenuhi

utama pajak. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pajak dipakai

secara mutlak. Salah satu syarat tidak terpenuhi maka orang

sebagai alat kebi9jakan, missal: pajak atas miniman keras

pribadi/badan tersebut tidak mempunyai kewajiban menjadi wajib

ditinggikan untuk mengurangi konsumsi fasilitas perpajakan

pajak dan mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok wajib

sehingga perwujudan dari pajak regulerend yang terdapat dalam

Pajak (NPWP).

UU No. 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Contoh:

(1) Bea materai modal, (2) Bea masuk dan pajak penjualan, (3)

3) Dana pension atau badan lain yang membayarkan uang

Bea balik nama, dan (40 Pajak perseroan pajak deviden).

pension dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pension; 4) Badan yang membayar honorarium atau pebayaran lain

5.

Penerimaan Negara Dari Sektor Pajak

sehubungan imbalan sehubungan jasa termasuk jasa teaga

a.

ahli yang melakukan pekerjaan bebas.

Pajak Penghasilan (Pasal 21) Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pemotongan pajak

5) Penyelenggaraan kegiatn yang melakukan pemkbayaran

atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri wajib

sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. b.

Subyek Pajak Penghasilan Pasal 21 Subyek pajak penghasilan pasal 21 berdasarkan UU No.

dilakukan oleh:

36 Tahun 2008 pasal 21 dibagi menjadi 2 yaitu:

1) Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium,

1) Pengertian Pegawai tetap.

tunjangan,

imbalan

Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau

sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai

memperoleh penghasilan dalam jumlah tertentu secara

atau bukan pegawai.

teratur, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota

2) Bendahara

dan

pembayaran

pemerintah

yang

lain

sebagai

membayar

gaji,

upah,

dewan pengawasyang secara teratur terus menerus ikut

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan

mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta

dengan pekerjaan jasa, atau kegiatan.

pegawai yang bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu

jangka waktu tertentu sepanjang pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan tersebut.

atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan seara

2) Pengertian Pegawai Tidak tetap.

mingguan.

Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya

menerima

penghasilan

apabila

pegawai

yang

bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah

c.

unit

hasil

2) Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima

pekerjaan

yang

dihasilkan

atau

3) Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh

pegawai

yanhg

terutang

atau

dibayarkan

berdasarkan jumlah unit hasiln pekerjaan yang dihasilkan. 4) Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau

penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh

diperoleh

pember kerja.

berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

Obyek Pajak Penghasilan Pasal 21 Beberapa

penghasilan

pegawai

yang

terutang

atau

dibayarkan

Berikut ini adalah beberapa penghasilan yang tidak yahng

dikenakan

Pajak

termasuk dalam pengertian penghasilan yaNg dipotong PPH

Penghasilan Pasal 21. Jenis penghasilan pegawai tidak tetap

Pasal 21 adalah:

dibagi menjadi:

1) Pembayaran

manfaat

atau

perusahaam

asuransi

sehubungan

1) Upah harian adalah upah atau imhalan yahng diterima atau

santunan

asuransi

dengan

dari

asuransi

diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara

kesehatan, dan asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asurani

harian.

dwiguna, dan asuransi bea siswa; 2) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun diberikan oleh Wajib pajak atau pemerintah.

3) Iuran pension yang dibayarkan kepada dana pension yang

Pertambahan

Nilai

adalah

pajak

yang

pendiriannya telah disahkan oleh menteri Keuangan, iuran

dipungut/dipotong oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang

tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan

berkaitan

penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara

pembelian atau transaksi lainnya) barang/jasa kena pajak di

jaminan social tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja;

dalam daerah pabean yang dilakukan oleh wajib pajak badan

4) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari

maupun orang pribadi. Jadi setiap transaksi yang berhubungan

badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan

dengan penyerahan (penjualan atau pembelian atau transaksi

oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya

lainnya) barang/jasa kena pajak, maka akan dikenakan PPn atas

wajib bagi pemeeluk agama yang diakui di Indonesia yang

barang/jasa tersebut. Pengenaan PPn aats transaksi tersebut

diterima oleh orang-orang pribadi yang berhak dari

biasanya diikuti dengan pembuatan Faktur Pajak.

lem,batga

keagamaan

yang

dibentuk

atau

disahkan

olehPemerintah. 5) Bea siswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (3) huruf l undang-undang Pajak Penghasilan. 6.

Pajak

dengan

transaksi

penyerahan

(penuualan

atau

Suatu transaksi yang berkaitan dengan penyerahan barang/jasa kena pajak selain diupungut pajak pertambahan nilai, namun juga dipungut pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Berikut iji adalah jenis penyerahan Barang kena pajak yang

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang

dikenakan PPnBMsebagai berikut:

Mewah (PPnBM).

1) Penyerahan Barang Kena Pajkak Yang tergolong Mewah

a.

Pengertian PPn dan PPnBM

yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkabn barang

Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam

5) Pemanfaatan Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean di

Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

dalam daerah Pabean.

2) Impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.

b.

6) Ekspor Barang kena Pajak oleh Pengusaha Kena pjak.

Berbeda dengan pajak Pertambahan Nilai, Pajak

Berdasarkan jenis obyek di atas, dapat mkita simpulkan

Penjualan Atas barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada

bahwa obyek pajak aalah penyerahan/pemanfaatan barang/jasa

waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah

kena pajak di dalam daerah pabean. Jadi intinya adalah semua

oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.

barang/jasa

Obyek Pajak

barang/jasa yang tidak dikenakan pajak.

Menurut bab 3 tentang Obyek Pajak pasal 4 menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas: 1) Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

c.

dikenakan

pajak,

najun

ada

pula

beberapa

Subyek Pajak Yang menjadi subyek pajak pertambahan nilai adalah pengusaha baik wajib pajak badan maupun orang [ribadi yang melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak. Halini sesuai

2) Impor barang Kena Pajak.

dengan pasal 3A UU PPN yang menyebutkan bahwa pengusaha

3) Penyerahan jasa kena pajak di dalam Daerah Pabean yang

yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksudm dalam

dilakukan oleh Pengusaha. 4) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha kena Pajak, dan wajib memungut, menitor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.

Meskipun semua pengusaha diwajibkan untuk menjadi

Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, serta

Pengusaha Kena Pajak (PKP), naumn ada beberapa pengusaha

peraturan Menteri nKeuangan Nomor n02/PMK.03/2007 bahwa

yang dapat memilih untuk tidak menjuadi PKP atau menjadi

Pedagang Eceran yang menggunakan Norma Penghitungan

kelompok Pengusaha Kecil. Hal ini disebabkan karena kewajiban

Penghasilan Neto adalah Pengusaha Orang Pribadi dengan

Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dengan benar bagi pedagang

jumlah peredaran brouto dan atau penerimaan bruto selama 1

kecil atau nistilahnya diekanl dengan pedagang ecferan

(satu) tahun buku tidak lebih dari Rp. 1.800.000.000 (satu miliar

merupakan hal yang sulit dilakukan. Untuk mempermudah

delapan rat6us juta rupiah) yang dalam kegiatan usaha atau

Pedagang

pekerjaan utamanya adalah melakukan usaha perdagangan

Eceran

dalam

melaksanakan

kewajiban

Pajak

Pertambahan Nilai terdapat dua pilihan yuaitu Menggunakan

dengan cara sebagai berikut:

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan di mana

1) Menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat

penghasilan

Netonya

untuk

PPh

menggunakan

Norma

penjualan eceran seperti took, kios, ataudengan cara

Penghitungan Penghasilan Neto, atau Menggunakan Mekanisme

penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir,

umum.

atau dengan cara penjuualan yang dilakukan dari rumah ke

Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

rumah.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 252/KMK.03/2002 jo. KMK Nomor 553/KMK.04/2000tentang

2) Menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut.

Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi

3) Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului

Pengusaha Kena Pajak Memilih dikenakan Pajak dengan

dengan penawaran tertulis, pemesaanan tertulis, kontrak atau

lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada

Sebelum

menggunakan

pedoman

pengkreditan

Pajak

umumnya dating ke tempat penualan tersebut langsung

Masukan Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan

membawa Barang kena Pajak yang dibelinya.

kepaa Kepala kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika seorang

Kena Pajak dikukiuhkan dengan cara membubuhkan catatan

pedagang eceran memilih menggunakan Norma Penghitungan

pada Surat pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

Penghasilan Neto diantaranya adalah:

yang

1) Kewajiban

membuat

pencatatan

untuk

keperluan

pelaksanaan ketentuan pengusaha kecil yang sebagaimana dimaksud di atas, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat

bersangkutan

tentang

penggunaan

Pedoman

Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan. Pedagang Eceran Menggunakan Mekanisme Umum. Berdasarkan

Ketentuan

yangmengatur

adalah

catatan nilai peredaran bruto dan ntau penerimaan bruto

Keputusan menteri Keuangan RI Nomor 402/KMK.03/2002 Jo.

yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak.

Nomor 253/KMK.03/2002, Kepoutusan Dirjen Pajak Nomor

2) Dalam hal Penagusaha kena Pajak di samping melakukan

KEP-102/Pj. 52/2003 jo KEP-342/PJ/2002 menyebutkan bahwa

penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan

atas penyerahan barang dagangan oleh pedagang eceran, selain

yang tidak terutang pajak, wajib dipisah antara penyerahan

yang menggunakan Norma penghitungan Penghasilan Neto,

yang terutang pajak dan pehnyerahan yang tidak terutang

terutang Pajak Pertambahan Nilaisebesar 10% (sepuluh persen)

pajak.

dari harga jual. Lalun Pajak Masukan yang dapat dikreditkan

3) Kewajiban memberitahukan ke Kantor Pajak sebelum menggunakan pedoman pengkreditan Pajak masukan.

dengan Pajak Keluaran adalah Pajak Masukan atas perolehan

Barang selain Barang dagangan dan Pajak Masukan atas

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/Pj./2006 tanggal 31

perolehan Jasa kena Pajak.

Oktober 2006. Faktur pajak adalah Buku pungutan Pajak yang

Bagi pedagang eceran selain Yang Menggunakan

dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan barang Kena

Norma Penaghitungan Penghasilan Neto yang melakukan

Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Ada 4 jenis Faktur Pajak, di

penyerahan Barang Kena Pajak, wajib membuat Faktur Pajak,

antaranya adalah sebagai berikut:

memungut

1) Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling

dan

melaporkannya

mentetor pada

Surat

pajak

yang

pemberitahuan

terutang,

serta

Masa

Pajak

Pertambahan Nilai. Bagi para pedagang kecil dapat memilih

sedikit memuat keterangan tentang: a)

sendiri sebagai pengusaha kena pajak. Pengusaha Kecil yang

Nama. Alamat, Nomor Pokok Wajib pajak yang menyerahkan Barang kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib

b) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli

melaksanakan ketentuan sebagaimana seorang pengusaha kena

Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

pajak.

c)

penggantian, dan potongan harga;

Faktur Pajak Dalam pembuatan faktur pajak PPn diperalukan

Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau

d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

pengetahuan dasar agar tidak terjadi kesalahan dalam pembuatan

e)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

faktur pajak standar tersebut. Berikut ini akan disampaikan saat

f)

Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak;

pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembentulan faktur pajak standar berdasarkan

dan

g) Nama,

jabatan

dan

tanda

tangan

yang

berhak

menandatangani Faktur Pajak.

4) Faktur Pajak Khusus adalah faktur pajak yang khusus C.

Wajib Pajak

D.

Tata Usaha Negara

E.

Judiciary/Peradilan

F.

Filosopi

2) Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar untuk semua penyerahan Barang Kena pjak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan takwim kewpada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama. 3) Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak yang dapat berbentuk: a)

Slip Cash Register atau Segi Cash Register yang dibuat oleh pedagang eceran selain yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak sederhana.

b) Apabila dalam harga jual barang kena pajak sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai, Slip Cash Register atau Segi Cash Register sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberi keterangan “untukBarang Kena Pajak Harga sudah termasuk PPN”.

Nightingale, Kath, 2000. Taxation, Theory and Practice. Third Edition Pearson Education Limited. DAFTAR PUSTAKA Ontario Fair Tax Commission, 1993. Fair Taxation in a Change World. University of Toronto Press, Toronto. Bagchi, Amaresh, eds, 2005. Reading in Public Finance, Oxford University Press, New Delhi, and publishing worldwide, in Oxford, New York etc. Break, George F, 1957. Income Taxes and Incentives to Work. American Economic Review 47, pp. 529-49. Brennan,Geoffrey dan James Buchanan, 1981, “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction, in “Democratic Choice and Taxation “ A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter and Winer,Stanley,L. Cambridge University Press, pp.20-22.

Sa’adah, Nabitatus, 2009. Membentuk Model Upaya Hukum Pajak Yang Sesuai Dengan Prinsip Equality ( Kesamaan ) Dan Equity ( Keadilan ), Makalah tidak diterbitkan, Universitas Diponegoro, Semarang. Samuelson, Paul, A and William D. Nordhaus, 2005. Economics, Eighteenth Edition, Boston, Burr Ridge, USA, etc. Shome, Parthasarathi, eds, 1995. Tax Policy Handbook, Tax Policy Division Fiscal Affairs Department International Monetary Fund, Washington D.C. Smith, Adam, 1976 (1977). The Wealth of Nations. London : JM Dent and Sons.

Hettich, Walter, and Stanley L. Winner 1999. Democratic Choice And Taxation : A Theoritical And Empirical Analysis, Cambridge University Press, New York.

Stiglitz, Joseph, E., 2000, Economic of Public Sector, Third edition, W.W. Norton & Company, New York.

International Monetary Fund, 1995. Unproductive Public Expenditure, IMF, Washington D.C.

Republik Indonesia, 2010. Berbagai Undang-undang Perpajakan di Indonesia. Jakarta.

James, Simon, and Chirstopher Nobes, 1992. The Economics of Taxation, Fourth Edition, Prentice Hall, New York, London, etc.

Tanzi, Vito, and Anthony J. Pellechio, 1997. Tax Reform of Tax Administration, in Institutions and Economic Development : Growth and Governance in Less Developed and Post- Socialist Countries, ed, by Christopher K. Clague, John Hopkins University Press, Baltimore.

Mueller, Dennis C., 2003. Public Choice III, Cambridge University Press, New York, USA. Musgrave, Richard A., 1959. The Theory of Public Finance, McGraw Hill, New York. Musgrave, Richard A. and Musgrave, Peggy A. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition, McGraw-Hill Inc, New York etc.