TINJAUAN HUKUM SISTEM PERWAKILAN ... - Pasca Unhas

79 downloads 1186 Views 207KB Size Report
penentuan besaran distrik dalam setiap pemilihan umum terhadap anggota Dewan ..... Studi Pemilu Empiris, Sumber, Teori-Teori, Instrumen dan Metode.
TINJAUAN HUKUM SISTEM PERWAKILAN BERIMBANG DALAM PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Legal Aspect of Proportional Representation System on Indonesian Legislative Elections

Bosman, Marthen Arie dan Aswanto

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) proses konversi perolehan suara menjadi kursi dan penentuan besaran distrik dalam setiap pemilihan umum terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan hasil kajian terhadap ketentuan peraturan perundangundangan yang mengaturnya, dan (2) bagaimana sistem perwakilan berimbang dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penelitian ini dilakukan di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemilihan Umum, dan Mahkamah Konstitusi. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan studi pustaka dan mengkaji aturan hukum tentang sistem perwakilan berimbang dalam setiap pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses konversi suara menjadi kursi dalam setiap pemilihan umum terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggunakan teknik kuota varian Hare dengan empat kategori, yaitu : (i) varian Hare dengan kombinasi nasional; (ii) varian Hare dengan stembus accord tanpa kombinasi; (iii) varian Hare murni tanpa stembus accord dan tanpa kombinasi; dan (iv) varian Hare dengan kombinasi terbatas pada wilayah provinsi dengan syarat memenuhi parliamentary treshold. Selanjutnya, penelitian ini juga menunjukkan bahwa berdasarkan penentuan besaran distrik dalam setiap pemilihan umum terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diklasifikasi atas tiga kategori, yaitu : (i) pemilihan umum dimana besaran distrik ditentukan oleh jumlah penduduk dengan provinsi sebagai daerah pemilihan. (ii) pemilihan umum dimana besaran distrik ditentukan oleh kombinasi jumlah kabupaten/kota dan jumlah penduduk dengan provinsi sebagai daerah pemilihan; dan (iii) pemilihan umum dimana besaran distrik ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dengan batas-batas yang jelas antara jumlah kursi minimal dan maksimal dengan provinsi dan/atau bagian-bagian provinsi sebagai daerah pemilihan. Kata Kunci : Sistem Perwakilan Berimbang

ABSTRACT This research aimed to find out: 1) electoral formula process and how to make district magnetude on every Indonesian legislative election based on general election act studying, and 2) how proportional representation system applied to every Indonesian legislative election. This research was a normative legal research with library research and studying about legal rules of proportional representation system on every Indonesian legislative election. The result shows that electoral formula process on every Indonesian legislative election use Hare quota technique with four categories, there are : (i) Hare quota technique with national combination and stembus accord principle; (ii) Hare quota technique with stembus accord principle and without combination principle; (iii) pure Hare quota technique without stembus accord and combination principle; and (iv) Hare quota technique with special province combination and parliamentary threshold;. Furthermore, result of this research shows that there are three categories of election based on district magnetude making process on every Indonesian legislative election : (i) the election that district magnetude formed by people amount with province as a district; (ii) the election that

1

district magnetude formed by combination between amount of regency/city and amount of people with province as a district; and (iii) the election that district magnetude formed by people amount with minimum and maximum member limit, which province and/or part of province as a district. Keywords : Proportional Representation System

Latar Belakang Masalah Kajian yang mendalam dan sistematis tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pemilu, khususnya bagaimana penyusunan besaran distrik (penentuan daerah pemilihan) dan penentuan electoral formula (tata cara konversi suara menjadi kursi) sangat penting dilakukan. Hal ini disebabkan oleh karena (i) penentuan daerah pemilihan sangat menentukan proporsionalitas keterwakilan; dan (ii) electoral formula yang tepat sangat menentukan bagaimana memperlakukan hasil perhitungan suara secara adil pada proses pendistribusiannya menjadi kursi, sehingga kedaulatan rakyat benar-benar dapat terjamin, legitimasi terhadap hasil pemilihan umum semakin baik kualitasnya, dan kepercayaan rakyat terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih dalam suatu Pemilihan Umum semakin tinggi. Perubahan undang-undang dasar dari periode ke periode berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang ada dibawahnya, termasuk di dalamnya adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pemilihan umum. Hal ini sangat dimungkinkan mempengaruhi hasil pemilihan umum, yang salah satunya adalah komposisi keanggotaan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Sejalan dengan perkembangan penerapan undang-undang dasar pada setiap periode tersebut di atas, perkembangan peraturan perundangundangan yang mengatur masalah pemilihan umum juga mengalami pasang surut. Puncak perubahan konstitusi tersebut setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum 1999 empat kali perubahan terhadap naskah Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan tersebut melahirkan antara lain Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menjadi landasan hukum pelaksanaan pemilihan umum tanggal 5 April 2004. Pemilihan Umum terhadap anggota DPR, DPD, dan DPRD yang kedua pasca perubahan UUD 1945 dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Fakta menunjukkan bahwa undang-undang pemilu era reformasi ini juga masih dipersoalkan oleh partai politik peserta pemilu dalam hal pembagian kursi yang dibuktikan dengan pengujian undangundang tersebut di Mahkamah Konstitusi. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kedaulatan dan Demokrasi Kedaulatan berasal dari kata sovereignty (bahasa Inggris), souverainete (bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari kata-kata Latin superanus yang berarti “yang tertinggi” atau supreme yang kemudian berarti wewenang tertinggi dari sesuatu kesatuan politik. (Ni’matul Huda, 2010). Kedaulatan atau souvereiniteit (sovereignty) merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. (Jimly Asshiddiqie, 2008). Demokrasi atau democracy dalam bahasa Inggris diadaptasi dari kata demokratie dalam bahasa Prancis pada abad ke-16. Namun, asal kata sebenarnya berasal dari bahasa Yunani demokratia, yang diambil dari kata demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa (memerintah). Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Latin, yakni demos, yang artinya rakyat dan kratos, yang artinya pemerintahan. Sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. (Ni’matul Huda, 2010). Demokasi kemudian diasumsikan sama dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dalam perkembangannya harus berjalan beriringan dengan kedaulatan hukum (nomokrasi).

2

B. Konsep Perwakilan dan Lembaga Perwakilan Perwakilan dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili. (Abdy Yuhana, 2009). Menurut Alfred de Grazia, perwakilan dapat diartikan sebagai hubungan diantara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil, dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil. (Toni Andrianus Pito dkk, 2006). Lembaga perwakilan rakyat, mempunyai dua padanan terminologi yang berbeda, yaitu parliament dan legislatif. Kedua terminologi itu bermakna sama, yaitu sebagai tempat para wakil rakyat yang menyampaikan aspirasi dan kehendak rakyat. Perbedaannya terletak pada pemakaian terminologi yang digandengkan dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh sebuah negara. Negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer lembaga perwakilan rakyatnya disebut parlemen, sedangkan negara yang sistem pemerintahannya presidensiil disebut legislatif. (Pantja Astawa dalam Abdy Yuhana, 2009). Prodjodikoro memandang bahwa parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat sejauh mungkin harus merupakan penjelmaan dari kehendak rakyat, sehingga harus dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. (M. Ali Safa’at, 2010). C. Konsep Pemilihan Umum Dari pengertian-pengertian yang dikemukakan para ahli, dapat disimpulkan bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, yang diperuntukkan bagi rakyat untuk menyalurkan hak asasinya dalam menentukan wakilnya, dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Sistem pemilu berarti instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai atau calon tertentu. (Kacung Marijan, 2010). Sigit Pamungkas (2009) mengemukakan bahwa sistem pemilu adalah seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih ke dalam satu lembaga perwakilan. Menurut Benjuino Theodore, sistem pemilu adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilihan mengekspresikan preferensi politik mereka, dan suara dari para pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Unsur-unsur dasar yang harus ada dalam sistem pemilihan umum adalah formula pemilihan (electoral formula), struktur penyuaraan, dan besaran distrik (district magnitude). (B. Theodore dalam Toni Andrianus Pito dkk, 2006). Berdasarkan besaran distrik (district magnitude), sistem pemilu dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu (i) sistem pemilu dengan jumlah kursi tunggal (single member district); dan (ii) sistem pemilu dengan jumlah kursi jamak (multi member district). Berdasarkan electoral formula, sistem pemilu dapat diklasifikasi menjadi tiga jenis, yaitu : (i) Formula Pluralitas (plurality); (ii) Formula Mayoritas (majority); dan (iii) Formula Perwakilan Berimbang. Sistem perwakilan berimbang, yaitu suatu sistem pemilu dimana proporsi kursi-kursi yang dimenangkan oleh tiap-tiap partai kurang lebih merefleksikan proporsi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai. Karakteristik umum sistem ini, antara lain adalah : (i) Partai memberikan daftar kandidat yang jumlahnya minimal sama dengan alokasi kursi yang tersedia di daerah pemilihan (distrik); (ii) Jumlah kursi yang diperoleh setiap partai berimbang dengan jumlah suara yang diperolehnya di daerah pemilihan yang bersangkutan; (iii) Jumlah kursi yang diperoleh setiap partai ditentukan dengan menggunakan metode sisa suara terbanyak (largest remainder) atau metode rata-rata tertinggi (highest average); dan (iv) Biasanya disyaratkan adanya threshold tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk dapat diikutsertakan dalam pembagian kursi. Teknik penghitungan suara sistem ini dapat dipilah menjadi dua, yaitu Teknik Kuota dan Teknik Divisor (Arend Lijphart, 1995). Teknik kuota, yakni teknik perhitungan berdasarkan sisa suara terbesar (the largest remainders). Teknik ini mengenal beberapa varian, dan yang sangat sering digunakan adalah varian Hare, dan varian Droop. Perbedaannya terletak pada angka pembagi BPP. Varian Hare pembaginya adalah angka

3

jumlah kuota kursi, sementara varian Droop, pembaginya adalah jumlah kuota kursi tambah angka 1. Untuk mengetahui tingkat disproporsionalitas dalam pemilu, digunakan rumusan Gallagher, yaitu Indeks Least-Squares :

dimana Lsq adalah indeks disproporsionalitas, v adalah prosentase suara partai, dan s adalah prosentase perolehan kursi. (Sigit Pamungkas, 2009). Sementara untuk melihat format sistem kepartaian dapat ditentukan dari indeks jumlah partai yang efektif (the effective number of parties) yang dirumuskan :

dimana N adalah jumlah partai yang efektif, dan pi adalah proporsi kursi dari partai di parlemen (Sigit Pamungkas, 2009). Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama dua bulan dengan pengalokasian setengah bulan di beberapa perpustakaan di beberapa lokasi, yakni di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemilihan Umum, dan Mahkamah Konstitusi, tergantung kebutuhan dan satu setengah bulan untuk proses analisis data dan penulisan hasil. PEMBAHASAN Pengaturan Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 10 (sepuluh) kali, yaitu Pemilihan Umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Dari sepuluh kali pelaksanaan pemilihan umum tersebut, pengaturannya pun berbeda-beda dari setiap pemilu ke pemilu. Pengaturan tersebut adalah : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, dan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008. Besaran Distrik (District Magnetude) dan Hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia Besaran distrik (district magnetude) dalam Pemilu 1955 tersebar di 16 (enam belas) daerah pemilihan yang ditetapkan berdasarkan proporsi jumlah penduduk di setiap distrik, dimana 1 kursi setara dengan 300.000 jumlah penduduk. Hasil Pemilu DPR 1955 menempatkan 5 besar masing-masing PNI sebagai pemenang, Masyumi, NU, PKI, dan PSII. Besaran distrik (district magnetude) dalam Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999 yang tersebar di 26 (dua puluh enam) daerah pemilihan/provinsi (kecuali Pemilu 1987, 1992, 1997, dan 1999 terdapat 27 daerah pemilihan) ditentukan oleh : (i) jumlah Daerah Tingkat II; (ii) perimbangan jumlah penduduk, dimana 1 (satu) kursi sebanding dengan 400.000 (empat ratus ribu) penduduk (kecuali Pemilu 1999 1 kursi sebanding dengan 450.000 penduduk). Hasil Pemilu DPR 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 menempatkan Golongan Karya sebagai pemenang, sementara pada Pemilu DPR 1999, PDI Perjuangan keluar sebagai pemenang.

4

Daerah pemilihan dan besaran distrik pada Pemilu DPR 2004 ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum, yang berjumlah 66 distrik, dimana setiap daerah pemilihan ditentukan minimal 3 (tiga) kursi dan maksimal 12 (dua belas) kursi. Penentuan besaran distrik dengan mendasarkan pada jumlah penduduk berdasarkan tingkat kepadatannya. Untuk daerah yang tingkat kepadatannya tinggi, kuota kursi 1 kursi maksimal sebanding dengan 425.000 penduduk, dan untuk daerah dengan tingkat kepadatan rendah, kuota kursi minimal sebanding dengan 325.000 penduduk. Ketentuan ini sama dengan Pemilu 2009 dengan mengganti batasan maksimal menjadi 10 (sepuluh) kursi dengan jumlah daerah pemilihan sebanyak 79. Pemenang dalam Pemilu 2004 adalah Partai Golongan Karya, dan pada Pemilu 2009 Partai Demokrat keluar sebagai pemenang. Analisis Besaran Distrik (district magnetude), Konversi Suara Menjadi Kursi (electoral formula), dan Indeks Disproporsionalitas Penentuan besaran distrik (district magnetude), Pemilu DPR di Indonesia dapat diklasifikasi atas 3 (tiga) kategori, yaitu : (i) Pemilu dimana besaran distrik ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, seperti pada Pemilu 1955; (ii) Pemilu dimana besaran distrik ditentukan berdasarkan kombinasi antara jumlah daerah kabupaten/kota yang membentuk provinsi (daerah pemilihan) dan jumlah penduduk dengan kuota tertentu, seperti pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997, serta Pemilu 1999; dan (iii) Pemilu dimana besaran distrik ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dengan batas-batas distrik yang jelas. Misalnya dalam Pemilu 2004 besaran distriknya ditentukan minimal 3 (tiga) kursi dan maksimal 12 (dua belas) kursi yang tersebar di 69 (enam puluh sembilan) daerah pemilihan. Demikian pula pada Pemilu 2009, besaran distriknya minimal 3 (tiga) kursi dan maksimal 10 (sepuluh) kursi yang tersebar di 77 (tujuh puluh tujuh) daerah pemilihan. Sementara, electoral formula dalam Pemilu DPR di Indonesia dapat diklasifikasi atas 4 (empat) kategori : (i) Teknik kuota varian Hare dengan kombinasi nasional dan stembus accord, yaitu teknik kuota varian Hare yang pembagian kursinya tidak habis di daerah pemilihan dengan penggabungan sisa suara seperti yang diterapkan pada Pemilu DPR 1955; (ii) Teknik kuota varian Hare dengan stembus accord tanpa kombinasi, yaitu teknik kuota varian Hare yang memberlakukan penggabungan sisa suara dalam perhitungan kursi, dan kursi habis terbagi di daerah pemilihan yang diterapkan pada Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999; (iii)Teknik kuota varian Hare murni tanpa stembus accord, tanpa kombinasi, dimana konversi suara menjadi kursi habis terbagi di daerah pemilihan tanpa adanya penggabungan sisa suara seperti pada Pemilu 2004; dan (iv) Teknik kuota varian Hare dengan kombinasi terbatas dan parliamentary treshold, yaitu teknik kuota varian Hare yang pembagian kursinya ada yang habis terbagi di daerah pemilihan (bagi daerah pemilihan dimana di provinsi tersebut hanya satu daerah pemilihan saja), dan ada yang tidak habis di daerah pemilihan (bagi provinsi yang terdiri atas lebih dari satu daerah pemilihan), dengan syarat peserta pemilu tersebut perolehan suara nasionalnya mencapai ambang batas parliamentary threshold seperti pada Pemilu Tahun 2009. Indeks disproporsionalitas Pemilu DPR di Indonesia dan indeks jumlah partai yang efektif dapat dilihat pada tabel berikut. P e m il u D P R P e m i lu P e m i lu P e m i lu P e m i lu P e m i lu P e m i lu P e m i lu P e m i lu P e m i lu P e m i lu

195 5 197 1 197 7 198 2 198 7 199 2 199 7 199 9 200 4 200 9

P e se r ta P e m i lu 1 18 10 3 3 3 3 3 48 24 38

D a e ra h P e m i lih a n 16 26 26 26 27 27 27 27 69 77

In d e k s D i s p r o p o rs io n a lita s 1 ,5 4 3 ,0 3 2 ,1 1 2 ,5 1 1 ,4 2 2 ,1 0 1 ,7 7 3 ,2 5 4 ,4 9 6 ,7 0

Ju m l a h P a rt a i K e t e ra n g a n E fe k ti f 6 ,4 1 S te m b u s A c co r d 2 ,1 5 S te m b u s A c co r d 2 ,0 1 1 ,9 1 1 ,6 9 1 ,8 5 1 ,5 9 4 ,7 2 7 ,0 8 6 ,2 1 T r e s h o ld 2 ,5 %

5

Dari tabel ini, tingkat proporsionalitas tertinggi pada Pemilu 1955, sedangkan tingkat proporsionalitas terendah pada pelaksanaan Pemilu 2009. KESIMPULAN 1. Proses konversi suara menjadi kursi dalam setiap pemilihan umum terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggunakan teknik kuota varian Hare dengan empat kategori, yaitu : (i) varian Hare dengan kombinasi nasional; (ii) varian Hare dengan stembus accord tanpa kombinasi; (iii) varian Hare murni tanpa stembus accord dan tanpa kombinasi; dan (iv) varian Hare dengan kombinasi terbatas pada wilayah provinsi dengan syarat memenuhi parliamentary treshold. 2. Berdasarkan penentuan besaran distrik dalam setiap pemilihan umum terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diklasifikasi atas tiga kategori, yaitu : (i) pemilihan umum dimana besaran distrik ditentukan oleh jumlah penduduk dengan provinsi sebagai daerah pemilihan. (ii) pemilihan umum dimana besaran distrik ditentukan oleh kombinasi jumlah kabupaten/kota dan jumlah penduduk dengan provinsi sebagai daerah pemilihan; dan (iii) pemilihan umum dimana besaran distrik ditentukan berdasarkan jumlah penduduk dengan batas-batas yang jelas antara jumlah kursi minimal dan maksimal dengan provinsi dan/atau bagian-bagian provinsi sebagai daerah pemilihan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Rozali. 2009. Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas (Pemilu Legislatif). Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anonim. 2009. Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan Amandemen I, II, III, dan IV plus Piagam Jakarta, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, UUDS 1950, Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pustaka Timur, Yogyakarta Aminy, Aisyah. 2004. Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004. Pancur Siwah, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly. 2005a. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Konstitusi Press, Jakarta. ______________. 2005b. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Konstitusi Press, Jakarta. ______________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. ______________. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. ______________. 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dhakidae, Daniel. 1992. Pemilu 1992, Harapan dan Janji. Yayasan SPES dan Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Diamond, Larry dan Marc F. Plattner. (ed). 2006. Electoral Systems and Democracy. The Johns Hopkins University Press, Baltimore Maryland.

6

Donald, Parulian. 1997. Menggugat Pemilu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Dwipurnomowati, Reni. 2005. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Evans, Kevin Raymond. 2003. Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Arise Consultancies, Jakarta. Farrel, David M. 2001. Electoral Systems : A Comparative Introduction. Palgrave, New York. Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Harrop, Martin dan William L. Miller. 1987. Election and Voters : A Comparative Introduction. Macmillan, Hampshire. Huda, Ni’matul. 2009. Hukum Tata Negara Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Huda, Ni’matul. 2010. Ilmu Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Husein Wahyudin, HM., dan Hufron. 2008. Hukum Politik dan Kepentingan. Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Isra, Saldi. 2010. Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kantaprawira, Rusadi. 2004. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Sinar Baru Algensindo, Bandung. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum di Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur. Ketetapan MPRS Nomor : XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Ketetapan MPRS Nomor XLII/MPRS/1968. Ketetapan MPR Nomor : VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum. Ketetapan MPR Nomor : VII/MPR/1978 tentang Pemilihan Umum. Ketetapan MPR Nomor : III/MPR/1983 tentang Pemilihan Umum. Ketetapan MPR Nomor : III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Ketetapan MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum. Komisi Pemilihan Umum. 2000. Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 1999. Sekretariat Jenderal KPU, Jakarta. _____________________. 2010. Pemilu Untuk Pemula. Sekretariat Jenderal KPU,

7

Jakarta. Mahfud MD, Moh. 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Rineka Cipta, Jakarta. _______________. 2009a. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______________. 2009b. Politik Hukum di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______________. 2010a. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. _______________. 2010b. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku V : Pemilihan Umum. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. __________________________________. 2010. Mengawal Demokrasi Menegakkan Keadilan Substantif, Laporan Tahunan 2009. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Marsono. 1996. Pemilihan Umum 1997 : Pedoman, Peraturan, dan Pelaksanaan. Djambatan, Jakarta. Millard, Frances. 2004. Elections, Parties, and Representation in Post-Communist Europe. Palgrave Macmillan, Hampshire.

Napitupulu, Paimin. 2007. Menuju Pemerintahan Perwakilan. Alumni, Bandung. Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. JIP UGM, Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1954 tentang Penyelenggaraan Undang-Undang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1955. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1954 tentang Cara Pencalonan Buat Keanggotaan DPR/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan Pernyataan Non Aktif/Pemberhentian Berdasarkan Penerimaan Keanggotaan/Pencalonan Keanggotaan Tersebut, Pun Larangan Mengadakan Kampanye Pemilihan Terhadap Anggota Angkatan Perang sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1955. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1970 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

8

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1970 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1970 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk Daerah Provinsi Irian Barat. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1975 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1977. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1976 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pemilihan Umum. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah tiga kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah beberapa kali diubah. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1995 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1990. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1995 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor

9

5 Tahun 1995. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1996 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pemilihan Umum sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1995. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Piliang, Indra J dan T.A Legowo (ed). 2006. Disain Baru Sistem Politik Indonesia. CSIS, Jakarta. Pito, Toni Andrianus., Efriza., dan Kemal Fasyah. 2006. Mengenal Teori-Teori Politik, dari Sistem Politik Sampai Korupsi. Nuansa, Bandung. Ramdansyah. 2010. Sisi Gelap Pemilu 2009 Potret Aksesori Demokrasi Indonesia. Rumah Demokrasi, Jakarta. Renyaan, Yopie. , Theodure B, Daniel P, dan Junaedi (ed). 1999. Transisi Demokrasi : Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999. KIPP, Jakarta. Reynolds, Andrew. et.al. 2005. Electoral System Design : The New International IDEA Handbook, IDEA, Stockholm. Roth, Dieter. 2008. Studi Pemilu Empiris, Sumber, Teori-Teori, Instrumen dan Metode. Friedrich Naumann Stiftung für die Freiheit, Jakarta. Safa’at, Muchammad Ali. 2010. Parlemen Bikameral, Studi Perbandingan di Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Inggris, Austria, dan Indonesia. UB Press, Malang. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sunggono, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sutrisno, Bernard Dermawan. 2002. Konflik Politik di KPU Dalam Pemilu 1999. Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Thaib, Dahlan. 2009. Ketatanegaraan Indonesia, Perspektif Konstitusional. Total Media, Yogyakarta. Tutik, Titik Triwulan. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Cerdas Pustaka, Jakarta. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan

10

Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1975. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

11

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Varma, SP. 2001. Teori Politik Modern. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Yuhana, Abdy. 2009. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI. Fokus Media, Bandung.

12