Vol 13 no.2 rev - Journal

37 downloads 177 Views 163KB Size Report
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah komponen Health Belief ... Berawal dari pergaulan remaja saat ini yang merupakan generasi penerusĀ ...
Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model (HBM) Yeni Rahma Dwijayanti Ike Herdiana Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract. This research was aimed to know how the components of Health Belief Model could be used to understand the sexual behavior of street children, thus it could be known the process and the background factors of sexual behavior on the street children. The components used are: perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefit, perceived barriers, cues to action, aspect of socio-demographics, and self-efficacy. This research used a qualitative approach particularly in descriptive qualitative. From the specific criteria of sampling was used five representative subjects. Results of this research has shown that the street children are susceptible doing sex because their big curiosity and desire to try the new experiences. They are not aware and assume that their sexual behavior does not have any impact on their self (perceived susceptibility). They also consider that their sexual behaviors are not too excessive and do not have any risk (perceived severity).

Keywords: sexual behavior, street children, health belief model Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah komponen Health Belief Model memahami perilaku seksual anak jalanan sehingga dapat diketahui proses serta faktor yang melatarbelakangi perilaku seksual anak jalanan. Komponen yang digunakan adalah perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefit, perceived barriers, cues to action, aspek sosiodemografis, dan self-efficacy. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif. Dari kriteria-kriteria yang telah dirumuskan, diperoleh lima orang subjek yang representatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima subjek anak jalanan rentan melakukan perilaku seksual karena rasa ingin tahu yang besar dan ingin mencoba pengalaman baru di masa remaja. Mereka tidak menyadari dan menganggap bahwa perilaku seksual yang dilakukan saat ini tidak mempunyai dampak apapun terhadap diri mereka (perceived susceptibility). Mereka juga menganggap perilaku seksual yang dilakukan tidak berlebihan dan tidak mempunyai resiko apapun (perceived severity).

Kata kunci: perilaku seksual, anak jalanan, health belief model

Korespondensi: Ike Herdiana, Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, 5014460, Faks (031) 5025910, E-mail: [email protected] atau [email protected]

129

INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model (HBM)

Berawal dari pergaulan remaja saat ini yang cenderung bebas dan mengalami pergeseran nilai, padahal masa remaja merupakan masa kritis dimana terjadi perubahan-perubahan emosi, pikiran, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab yang dihadapi (Hurlock, 1980). Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya. Masa remaja diwarnai dengan pertumbuhan, perubahan, dan munculnya berbagai kesempatan mencoba-coba sehingga mengalami kerentanan terhadap berbagai ancaman resiko kesehatan terutama yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi termasuk peningkatan ancaman dari HIV/AIDS yang merupakan dampak dari perilaku seksual yang dilakukannya (Suryoputro, 2006). Sedangkan perilaku seksual menurut Sarwono (2002) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentukbentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dengan dalam tingkah laku yang bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, berkencan, berpegangan tangan, mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada diatas baju, memegang buah dada dibalik baju, memegang alat kelamin dibawah baju, dan melakukan senggama. Remaja sering kali kekurangan informasi dasar mengenai kesehatan reproduksi dan tidak menyadari apa pentingnya kesehatan reproduksi bagi dirinya, apalagi remaja yang hidupnya dijalanan yang hidupnya tidak teratur, banyak mendapatkan pengaruh dari teman-temannya dan sering tidak mendapat perhatian khusus dari sekitarnya tentang kehidupan mereka apalagi aktivitas seksualnya. Ancaman yang sering mereka hadapi terkait dengan masalah seksualitas seperti seks bebas, homoseksual, pelecehan seksual, kekerasan seksual, penyakit menular seksual, kehamilan dan aborsi, serta dampak lainnya yang mengganggu kesehatan reproduksi mereka. Padahal mereka juga adalah bagian dari warga negara yang mempunyai hak untuk mendapat penghidupan yang layak, karena mereka juga INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

merupakan generasi penerus bangsa yang perlu dikembangkan. Anak jalanan dalam penelitian ini adalah yang berada dalam tahap perkembangan remaja, yaitu seorang yang berumur 18 tahun kebawah yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya dijalan dengan melakukan kegiatan-kegiatan dijalan guna mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya atau keluarganya. Penetapan batasan umur anak jalanan dalam penelitian ini juga mengacu pada perkembangan remaja yaitu usia 12-18 tahun. Alasan mereka turun ke jalan antara lain: kemiskinan, konf lik keluarga, dan kualitas pendidikan. Kopoka (2000). Mengingat dampak yang ditimbulkan begitu besar bagi kesehatan reproduksi, maka penulis menggunakan teori yang sering digunakan untuk memahami bagaimana seseorang berperilaku untuk menuju keadaan sehat, (Taylor, 1991). Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya perilaku seksual serta faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku seksual anak jalanan yang dilihat dari komponen Health Belief Model sehingga dapat dipahami/dievaluasi perilaku mereka itu dapat muncul sehingga dapat diprediksi perilaku seksual anak jalanan kedepannya, dengan demikian program preventif yang akan dibuat dapat tepat sasaran sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku anak jalanan tersebut. Penelitian ini signifikan untuk dilakukan karena masih sangat jarang penelitian perilaku seksual anak jalanan yang menggunakan kerangka teori Health Belief Model kebanyakan di Indonesia penelitian anak jalanan berfokus pada perilaku seksual yang dilakukan serta faktor lingkungan yang mempengaruhi, dengan teori HBM ini dapat diketahui proses kognitif yang terjadi pada anak jalanan sehingga mereka melakukan perilaku tersebut, selain itu juga dapat diketahui faktorfaktor sosio-demografis yang lebih kompleks didukung dengan menggunakan pendekatan k u a l i t a t i f s e h i n g g a f a k to r - f a k to r y a n g berpengaruh dapat diketahui lebih komprehensif. Hubungan antara health belief dan perilaku berawal dari konsep Lewin (1951) mengenai ide tentang valence (valensi), yang menentukan apakah suatu perilaku dilakukan atau tidak. Hal ini dihasilkan dalam model expectancy-value

130

Yeni Rahma Dwijayanti, Ike Herdiana

dimana suatu peristiwa dievaluasi dan dipercaya secara kurang atau lebih menjadi sesuatu yang positif atau negatif. Jika peristiwa tersebut mendapatkan nilai positif pada seseorang maka akan menjadi pertimbangan dalam melakukan tindakan, sebaliknya jika bernilai nigatif maka tidak akan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk bertindak. Komponen Health Belief Model yang digunakan antara lain: perceived susceptibility yaitu suatu keyakinan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasa bahwa ia dan keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut ataupun keyakinan untuk akan terpengaruh untuk melakukan suatu perilaku tertentu, perceived severity yaitu keyakinan individu untuk mencari pertolongan pengobatan atau pencegahan penyakit didorong pula oleh keseriusan suatu penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat, keseriusan ini merupakan dampak atau resiko yang akan ditanggung oleh penderitanya, resiko ini tidak hanya resiko secara fisik tetapi resiko yang datangnya juga dari lingkungan sekitarnya misalnya pandangan moral, agama, norma masyarakat, keuangan, dan lainnya, perceived benefit yaitu keyakinan terhadap manfaat yang dirasakan ketika melakukan suatu perilaku tertentu, perceived barriers yaitu apabila individu menghadapi rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut, cues to action yaitu isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal maupun internal, misalnya pesan-pesan pada media massa, nasihat atau anjuran kawan atau anggota keluarga lain, aspek sosiodemografis misalnya tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, pengasuhan dan pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman, agama, suku, keadaan ekonomi, sosial, dan budaya, self-efficacy yaitu keyakinan seseorang bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan atau menampilan suatu perilaku tertentu.

METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan tipe deskripstif. Subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional

131

sesuai tujuan penelitian, yaitu: 1) Usia antara 12-18 tahun, (2) Jenis Kelamin laki-laki atau perempuan, (3) Belum menikah, (4) Bekerja dijalanan. Sebelum menentukan subjek penulis terlebih dulu mengadakan survey untuk menyaring anak jalanan yang sesuai dengan kriteria yang peneliti inginkan. Setelah dilakukan survey, didapatkan subjek sebanyak 5 orang. Metode penggalian data yang digunakan adalah wawancara secara mendalam (in-depth interview) yang disusun berdasarkan teori Helath Belief Model (HBM). Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik, dengan menggunakan koding dari hasil transkrip wawancara yang telah diverbatim. Teknik analisis ini terdiri dari tiga tahapan yaitu open coding, axial coding, selective coding. Guna meningkatkan kredibilitas penelitian, penulis menggunakan jenis triangulasi data, dengan mewawancarai Significant other untuk mengecek kembali data-data yang telah diperoleh dari subjek. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan teman dekat subjek yang biasa menjadi teman bercerita subjek sebagai significant other.

HASIL DAN BAHASAN Subjek 1 Saat ini subjek masih berumur 16 tahun. Perilaku seksual yang dilakukan oleh subjek a d a l a h c i u m a n p i p i d a n b i b i r. S u b j e k mendengarkan cerita dari teman-temannya dan bertanya bagaiamana cara melakukan ciuman tersebut. Subjek juga sering melihat film porno dari hp nya dan membaca majalah orang dewasa tentang melakukan hubungan seksual (cues to action). Subjek tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dari sekolahnya maupun dari pihak lainnya. Pengetahuan seksual yang didapat subjek sangat minim hanya tentang dampak dari seks bebas saja yaitu penyakit HIV/AIDS sedangkan dampak perilaku seksual yang lain subjek tidak tahu, sehingga dalam melakukan perilaku seksual (ciuman) subjek merasa tidak rentan terkena penyakit dan saat ini subjek merasa dirinya baikbaik saja (susceptibility) tetapi rentan melakukannya, sedangkan untuk pandangan

INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model (HBM)

tentang seks bebas subjek merasa jika melakukannya akan terkena HIV/AIDS yaitu penyakit yang sangat parah dan tidak ada obatnya sehingga menyebabkan kematian. Dalam melakukan perilaku ciuman subjek juga tidak merasa bersalah ataupun menyesal melakukan perilaku ciumannya itu serta dia tetap merasa yakin ada yang mau pacaran lagi dengannya meskipun tidak sudah berkali-kali melakukan ciuman. Subjek takut akan dosa dan juga agama melarang tetapi tidak ada dampak yang jelas yaitu hukuman untuk perilaku ciumannya itu, Agama subjek kurang kuat karena masih jarang sholat dan sudah lama tidak mengaji sehingga subjek tidak merasa takut dengan hukum agama.jadi merasa aman-aman saja dengan perilaku ciumannya itu. Dampak yang subjek takutkan adalah ketika mencium pacarnya trus ketahuan oleh saudarasaudara pacaranya. Sedangkan untuk perilaku seks bebas, subjek merasa hubungan seksual atau hubungan intim adalah sesuatu yang besar dan negatif sehingga dia tidak ingin melakukannya, bisa menyebabkan kehamilan sehingga dia terpaksa harus bertanggung jawab, dan juga takut ketahuan orangtuanya sendiri dan orang lain karena akan malu. Subjek yang masih tinggal dengan orang tuanya merasa khawatir jika melakukan hubungan seksual karena akan merusak nama baik orang tua dan merasa malu karena sering dibicarakan dengan tetangganya dan juga subjek merasa masih kecil sehingga tidak bisa bertanggung jawab jika terjadi kehamilan pacarnya. (severity). Alasan subjek tidak melakukan ciuman adalah ketika tidak punya pacar atau tidak suka dengan pacarnya, ataupun ketika dia suka dengan pacarnya itu, pacarnya tidak bisa diajak keluar atau sedang sakit sehingga subjek harus mencari waktu dan situasi yang tepat untik melakukan ciuman dengan pacarnya (barriers). Manfaat yang dirasakan subjek adalah senang karena rasa penasarannya terpuaskan (benefit). Subjek juga kurang mendapat pengawasan dari orang tua terkait pacarannya. Menurut subjek batas pacaran adalah cium pipi dan bibir. Alasan lainnya subjek tidak melakukan perilaku seks bebas adalah subjek mendapatkan nasihat dari gurunya di sekolah untuk tidak pacaran yang berlebihan karena mempunyai banyak resiko (cues too action). Variabel yang paling berpengaruh INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

terhadap perilaku subjek adalah usia, pergaulan dengan teman, pengetahuan tentang seksual, dan dampak sosial yang dirasakan yaitu malu karena mencemari nama orang tua dan tidak bisa bertanggung jawab.

Subjek 2 Subjek berusia 16 tahun dan sudah pernah pacaran sebanyak 10. Perilaku seksual subjek adalah pegangan tangan, ciuman dan raba-raba. Subjek merasa di usianya saat ini sangat rentan untuk melakukan hubungan seksual karena merupakan masa pubertas jadi ingin mencoba halhal yang baru dan keinginan tahunya tinggi sehingga menjadi ingin melakukan perilaku seksual tersebut (susceptibility). Subjek juga mendapatkan cerita-cerita temannya tentang perilaku seksual, juga melihat adegan film porno di Hp maupun internet (cues to action). Hal inilah yang membuat subjek awalnya ingin melakukan ciuman dengan pasangannya. Subjek merasa dampak yang yang ditimbulkan oleh perilaku seks bebas itu sangat banyak antara lain masih kecil dan belum bisa menanggung resiko yang mungkin akan terjadi, selain itu dapat menyebabkan kehamilan, HIV AIDS, berdosa, dan mencemari nama baik orang tua. Subjek merasa penyakit AIDS bahaya sekali dan sudah banyak orang yang menderita dan tidak bisa disembuhkan karena belum ada obatnya (severity). Pengetahuan subjek sangat minim terhadap perilaku seksual hanya terbatas pada hubungan seks bebas dan dampak yang ditimbulkannya saja. Untuk itulah subjek berusaha untuk menghindari perilaku seks bebas, akan tetapi untuk ciuman dan raba-raba subjek merasa tidak ada dampak fisik yang berbahaya yang ditimbulkannya sehingga tidak menyebabkan penyakit jika melakukannya. Sedangkan dampak agama menurut subjek ada yaitu dosa karena tidak diperbolehkan tetapi nafsu subjek yang tinggi membuat dia tidak dapat menghindari perilaku ciumannya itu. Hambatan (barriers) ketika melakukan perilaku ciuman itu adalah situasinya sedang ramai, sehingga takut dilihat orang dan juga ketika pasangannya sedang mengalami haid, akan tetapi hambatan itu dengan mudah dapat dihindari ketika situasinya mendukung yaitu pacarnya sedang tidak haid dan mencari tempat yang sepi seperti di kenjeran

132

Yeni Rahma Dwijayanti, Ike Herdiana

sehingga ciuman dan raba-raba tetap dapat dilakukan. Sebenarnya subjek merasa khawatir kebablasan saat melakukan perilaku seksualnya tetapi dia telah merasakan manfaatnya (benefit) yaitu rasa nikmat, senang dan bangga serta dorongan dari nafsunya yang besar sehingga perilaku seksualnya yaitu ciuman dan merabarabanya tetap dilakukan, subjek masih ragu untuk meninggalkan perilakunya tersebut. Menurut subjek yang penting tidak melampaui batas-batas pacaran yaitu sampai berhubungan seksual. Cara subjek untuk menghindari seks bebas adalah dengan memperbanyak ibadah dan juga memperkuat iman. Subjek 2 ini tetap melakukan perilaku ciuman dan meraba-raba, dan variabel yang mempengaruhi adalah usia, agama, nafsu yang besar, pengetahuan seksual, dampak dari masing-masing perilaku seksual yaitu dampak ciuman dan dampak hubungan seks bebas.

Subjek 3 Awalnya dulu subjek melakukan ciuman karena pacaranya dulu yang mendahului menciumnya kemudian selanjutnya subjek mencari tahu sendiri tentang ciuman dari temantemannya, subjek mendapatkan banyak cerita tentang ciuman dari teman-temannya dan juga menonton film porno dari internet dan hp, dari situlah subjek mendapat banyak informasi/pengetahuan seksual (cues to action). Dari pengetahuan yang didapat subjek mengetahui dampak (severity) dari perilaku seks bebas yaitu dampak fisik terkena penyakit HIV/AIDS yang dapat menyebabkan kematian baik pada perempuan maupun laki-laki. Dampak lainnya hubungan seks bebas menurut subjek adalah hamil di luar nikah pasti butuh pertanggungjawaban padahal belum bekerja, nama baik tercoreng dan sering jadi omongan tetangga. Dampak sosial ini menurut subjek sangat besar karena akan mempengaruhi kehidupan sosialnya. Sedangkan untuk dampak fisik dari ciuman, subjek tidak merasa rentan (susceptibility) terkena penyakit jika melakukan ciuman, subjek merasa baik-baik saja keadaannya selama ini melakukan ciuman. Akan tetapi jika terlalu banyak melakukan ciuman menurut subjek

133

akan merah bibirnya, subjek merasa malu jika bibirnya merah karena akan dinilai orang suka melakukan ciuman. Resiko yang dialami tidak begitu dirasakan karena tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan yaitu rasa enak katika melakukan ciuman. Manfaat (benefit) yang dirasakan adalah ketagihan. Hambatan melakukan ciuman adalah tempatnya ramai dan pacarnya tidak bisa diajak keluar. Subjek merasa belum mampu untuk menghindari perilaku ciuman karena hawa nafsunya tinggi sehingga belum bisa mengontrol diri, dengan pacaran menurut subjek dapat menambah semangatnya dalam berbagai hal misalnya sekolah. Variabel yang sangat berpengaruh pada subjek 3 ini adalah usia yang masih muda, norma sosial yaitu malu, dan dampak dari seks bebas yaitu hamil di luar nikah tetapi belum siap dan belum bekerja.

Subjek 4 Saat ini subjek berusia 18 tahun dan subjek baru pertama kali pacaran. Perilaku seksual yang dilakukan subjek ciuman pipi dan cium bibir. Subjek mendapatkan pengetahuan dari pacarnya, dari teman-temannya yang sudah sering melakukan perilaku seksual, sehingga rentan melakukan perilaku seksual (susceptibility). Pengetahuan subjek tekait seksualitas sangat minim ini terbukti dari subjek merasa akan tertular terkena HIV/AIDS jika orang yang menderita HIV/AIDS menyentuh dirinya. Subjek juga mengetahui (severity) dampak fisik dari perilaku seks bebas yaitu penyakit siphilis dan HIV yang membuat wajah pucat dan keringat dingin serta tidak bisa jalan. Sedangkan dampak sosial dari perilaku seks bebas diantaranya hamil duluan dan menuntut tanggung jawab, subjek juga merasa kasihan melihat cewek dipermainkan karena dia takut nantinya adiknya akan seperti itu makanya dia tidak mau melakukan seks bebas, dan juga bisa dipenjara. Subjek merasakan manfaat (benefit) ciuman adalah nantinya berguna untuk menikah, untuk saat ini subjek merasa tidak ada manfaatnya, biasa saja. Hambatan (barriers) subjek melakukan ciuman adalah perasaan tidak mood dan dicuekkan oleh pasangannya padahal mereka jarang beretemu, jadi ketika tidak mood perilaku ciumannya tidak dilakukan. Sehingga subjek mempunyai keyakinan dapat menghindari INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model (HBM)

perilaku ciumannya. Variabel yang berpengaruh terhadap perialku seksual subjek 4 ini adalah usia, tanggung jawab, norma sosial, dan keluarga.

Subjek 5 Subjek saat ini berusia 18 tahun dan sudah berpacaran 8 kali, perilaku seksual yang dilakukan oleh subjek adalah memeluk, mencium pipi dan bibir, meraba bagian dada. Subjek biasa melakukannya di bioskop atau tempat-tempat sepi. Pada awalnya subjek bertanya pada temantemannya bagaimana cara melakukan ciuman, kemudian subjek juga suka menonton film action yang ada adegan ciumannya, itulah yang membuat subjek terdorong untuk melakukan ciuman dan meraba-raba (cues to action). Subjek hanya lulusan SD dan sejak kecil tidak tinggal bersama orang tuanya sehingga subjek tidak mendapatkan pengetahuan seksual yang cukup, subjek mendapatkan pengetahuan seksual dari pergaulan dengan teman-temannya saja. Subjek dari awal melakukan tidak pernah terkena dampak fisik apa-apa sehingga subjek yakin bahwa perilaku seksualnya itu tidak beresiko penyakit apa-apa terhadap kesehatannya (susceptibility). Ketika melakukan ciuman manfaat (benefit) yang dirasakan adalah kesenangan dan rasa yang tak terhingga, itulah yang memuat subjek ingin terus melakukannya karena manfaat yang didapat labih terasa dsari pada resiko yang dialaminya. Hambatan (barriers) subjek tidak melakukan perilaku ciuman itu adalah pacarnya tidak bisa diajak keluar, dan tempat yang dilakukan untuk ciuman terang atau ramai. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan mencari waktu dan situasi yang tepat, sehigga ciuman dan raba-raba tetap bisa dilakuakannya, selain itu dorogan nafsu dari dari dalam diri subjek serta bibir pacar subjek yang seperti memanggil-manggil subjek membuat subjek semakin ingin mencium pacarnya. Sehingga subjek merasa yakin bahwa tetap akan melakukan perilaku ciumannya itu, secara agama subjek juga kurang taat sehingga subjek merasa bukan orang alim dan tetap ingin meneruskan perilaku ciumannya. Sedangkan untuk perilaku seks bebas, subjek merasa bahwa dampak (severity) yang ditimbulkan sangat banyak yaitu dampak sosial hamil dan tidak bisa bertanggungjawaab serta takut pada orang tuanya, subjek merasa kalo orang INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

tuanya tidak setuju maka dia akan mendapat ancaman misalnya dibacok. Subjek merasa belum punya kerjaan tetap sehingga belum siap dengan resiko, subjek merasa belum bisa merawat anak istrinya. Sedangkan yang mendorong subjek untuk tidak melakukan hubungan seks bebas adalah subjek merasa belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga karena belum bekerja dengan jelas, masih minta-minta dengan mengamen. Banyak ancaman ketika melakukan perilaku seksual seks bebas. Resiko lainnya yang subjek ketahui adalah penyakit AIDS yang merupakan dampak fisik dari perilaku seks bebas. Sehingga subjek merasa rentan terkena penyakit AIDS jika melakukan seks bebas. dari dampak yang ditakutkan oleh subjek itulah yang membuat subjek tidak melakukan seks bebas. kesimpulannya adalah subjek tatap akan melakukan perilaku ciumannya asalkan tidak berlebihan sampai pada hubungan seksual, karena subjek merasa belum bisa bertanggung jawab mencari nafkah untuk pacarnya yang hamil duluan, usia subjek yang masih muda.

Bahasan Proses terbentuknya perilaku seksual pada anak jalanan diawali dengan pergaulan mereka dengan teman-temannya. Mereka mendapatkan cerita-cerita dari temannya tentang perilaku seksual yang pernah dilakukan oleh temannya, selain itu dalam pergaulan mereka juga sering diajak untuk melihat film porno baik lewat media internet maupun HP. Kemudian timbullah rasa penasaran karena mereka juga sedang mengalami masa remaja, yaitu masa dimana rasa ingin tahu begitu besar dan selalu ingin mencoba sesuatu hal yang baru. Rasa penasaran itu mendorong mereka untuk mencoba perilaku seksual seperti yang dirasakan oleh orang dewasa dan temantemannya. Hal ini sesuai dengan perkembangan remaja yaitu perkembangan fisik termasuk organ seksual yaitu terjadinya kematangan serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada laki-laki maupun pada perempuan yang akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan. Peningkatan hormon ini menyebabkan rasa ingin tahu remaja meningkat terhadap apa yang dialaminya dan peningkatan pada resiko

134

Yeni Rahma Dwijayanti, Ike Herdiana

pengambilan suatu keputusan. Pada kehidupan psikologis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas (Santrock, 2003). Bandura (1998) menyatakan jika orang-orang kesadarannya berkurang tentang bagaimana kebiasaan hidup akan berpengaruh pada kesehatan mereka, mereka hanya mempunyai sedikit alasan untuk mengubah kebiasaan buruk mereka, teori perilaku sehat diaplikasikan dengan asumsi pengetahuan yang adekuat tentang resiko kesehatan akan membuat seseorang menghindari perilaku beresiko tersebut. Masa remaja yang dialami anak jalanan tersebut membuat mereka rentan terhadap perilaku seksual yang mereka lakukan yaitu ciuman (susceptibility) karena mereka berada dalam pengaruh lingkungan yang kuat. Mereka juga merasa rentan jika melakukan perilakuseksual sehingga berusaha untuk menghindari perilaku yang sudah kelewat batas yaitu seks bebas. Menurut Smet (1994), cues to action petunjuk untuk bertindak adalah aspek yang diduga tepat untuk memulai proses perilaku. Dalam penelitian ini dorongan subjek untuk melakukan perilaku seksual mereka adalah menonton adegan film di internet maupun di HP, ada juga dari faktor pacarnya yang merasa bahwa bibir pacarnya sedang memanggil-manggil. Secara terperinci faktor sosiodemografi, khususnya tingkat pendidikan, dipercaya mempunyai efek tidak langsung pada perilaku yang berpengaruh terhadap persepsi atau pengertian dari kerentanan yang dirasakan, keseriusan yang dirasakannya, serta manfaat dan penghalang dalam pengambilan tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit (Taylor, 1991). Komponen Health Belief Model yang berlaku dalam hal ini adalah severity, yaitu pemikiran keseriusan HIV yang mungkin saja membahayakan dirinya. Tingkat pengetahuan anak jalanan yang masih sangat rendah, mereka tidak tahu jenis-jenis perilaku seksual yang beresiko, yang mereka ketahui hanyalah perilaku seksual intercourse yang mempunyai resiko yang sangat besar diantaranya adalah terkena penyakit HIV/AIDS yang merupakan penyakit yang sangat

135

parah, kemudian dampak sosialnya yaitu usia mereka yang masih sangat muda mereka merasa belum siap dengan kehamilan yang tidak diinginkan, seluruh subjek menyatakan hal sama yaitu belum berani melakukan hubungan seksual karena usia masih kecil dan belum bekerja dengan mapan sehingga takut tidak bisa bertanggung jawab, tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, dan juga sebagian dari subjek yang masih tinggal degan orang tuanya menyatakan bahwa mereka takut mencemari nama baik orang tuanya karena dibicarakan oleh tentangga mereka. Faktor lingkungan dan pengawasan ini juga turut berpengaruh, subjek yang tinggal bersama orang tuanya diberi nasihat agar tidak pacaran secara berlebihan, sehingga ini juga dapat menjadi kontrol perilaku mereka. Berbeda dengan subjek yang tinggal bersama teman-temannya dan jauh dari orang tua, mereka akan dengan mudah terpengaruh dengan pergaulan dengan temantemannya karena tidak ada yang mengingatkan. Jika mereka sampai mereka sampai melakukan seks bebas maka resiko mereka sendiri yang tanggung, sedangkan subjek yang masih tinggal dengan orang tua akan merasa malu karena merusak nama baik orang tuanya dan akan dibicarakan oleh tetangga, mereka juga kasihan dengan pasangannya. Tetapi untuk dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan saat ini yaitu sampai ciuman dan meraba-raba tubuh pasangan tidak ada dampak penyakitnya apa-apa. Aspek demografis lainnya adalah agama, semua subjek jarang melaksanakan ibadah sehingga ketaatannya kurang. Ini juga membuat mereka merasa bahwa agama tidak memperbolehkan tetapi tidak ada hukuman yang jelas dan nyata yang akan mereka dapatkan.Manfaat (benefit) yang mereka rasakan dari perilaku seksual adalah rasa senang, kepuasan dan ketagihan untuk melakukan lagi, manfaat ini berasal dari aspek psikologis mereka. Untuk mengadaptasi perilaku tersebut seseorang perlu untuk mempertimbangkan rintangan yang muncul ketika ingin menerapkan suatu perilaku. Rintangan (Barriers) yang mereka hadapi biasanya adalah karena pasangan menolak untuk melakukan dan juga situasi tempat yang ramai sehingga mereka malu kalau melakukannya didepan umum, sehingga harus mencari yang sepi. Self-Efficacy: keyakinan dari dalam diri seseorang INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Perilaku Seksual Anak Jalanan Ditinjau dengan Teori Health Belief Model (HBM)

untuk mempraktikkan perilaku sehat yang mereka anut. Sebagian dari mereka merasa tidak yakin akan dapat berhenti dari perilaku seksual mereka karena didorong oleh nafsu yang tidak bisa di tolak. Mereka yakin tetap melakukan perilaku seksual mereka.

SIMPULAN Anak jalanan dalam penelitian ini sangat rentan melakukan perilaku seksual karena usia mereka yang dalam tahap perkembangan remaja sehingga ada rasa ingin tahu yang besar terhadap hal-hal baru dan dorongan untuk mencoba-coba pengalaman baru yang belum pernah dirasakan terutama aktivitas seksual, disamping itu juga dipengaruhi oleh pergaulan dengan temantemannya. Perilaku seksual mereka dipengaruhi oleh faktor usia yang masih muda yang belum

berani untuk bertanggung jawab terhadap kehamilan pasangan dan mencari naf kah, lingkungan tempat tinggal, agama, tingkat pendidikan, malu, mencemari nama baik diri sendiri dan orang tua, pengawasan orang tua, tidak ingin melibatkan keluarga sehingga mereka tidak berani melakukan hubungan intercourse karena belum berani bertanggung jawab. Selain itu juga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan mereka mengenai dampak-dampak dari perilaku seksual, pengetahuan dari mereka masih sangat minim tentang hal-hal terkait seksualitas. Mereka hanya mengetahui cara melakukan perilaku seksual dan hanya dampak dari hubungan seks bebas. Anak jalanan dalam penelitian ini masih belum punya keyakinan diri untuk menghindari perilaku seksualnya karena menurut mereka tidak ada dampaknya.

PUSTAKA ACUAN Ajik, S., & Sarwanto.(2000). Penyuluhan kesehatan reproduksi untuk anak jalanan melalui rumah singgah. Diakses 2 Juni 2011 dari http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus-1.htm. Anak Jalanan Perlu Mendapat Pendidikan Seks (2004, 14 Juni). Suara Karya [on-line]. Diakses tanggal 2 Juni 2011 dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=82638. Bandura, A. (1998). Health promotion from the perspective of social cognitive theory. Psychology and Health, 13, 623-649. Bungin, M. B. (2007). Penelitian kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Conner, M., & Norman, P. (2003). Predicting health behaviour, research and practice with social cognition model. Buckingham: Open University Press. Hurlock, E. B. 1980. Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga. Janz, N.K., & Becker, M. H. 1984. The Health Belief Model: A Dekade Later. Health Education Quartely, Vol 11 (1), 1-47. Kopoka, P. A. (2000, April). The problem of street children in Africa: An ignored tragedy. Paper dipresentasikan pada Konferensi International on street children and street children's health in East Africa, Dar-es-Salaam, Tanzania. Matibag, T. M. D., & Geisinger, B. (2009). Hooking up and sexual risk taking among college students: A Health belief model perspective. Qualitative health research, 19 (9), 1196-1209. Nurharjadmo, W. (1999). Seksualitas anak jalanan. Yogyakarta: Food Foundation & Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Poerwandari, K. (2001), Pendekatan kualitatif untuk penelitian manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rosenstock, I. M., Strecher, & V.J., Becker, M. H. (1988). Social learning theory and the health belief model. Health Education Quartely, Vol 15 (2), 175-183. Santrock, J.W. (2002). Life-span development; perkembangan masa hidup (5th ed.diterjemahkan oleh Chusairi, A., Damanik, J.). Jakarta: Erlangga. Sarwono, S.W. (2001). Psikologi remaja. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Schaap, M., & Cheruvillil, S. J. (2007). Street children's sexual realities & the APSA-sexual health intervension programe (SHIP), 1-8. INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

136

Yeni Rahma Dwijayanti, Ike Herdiana

Smet, Bart. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia. Suryoputro, A., Ford, N. J., Shaluhiyah, Z. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seskual dan reproduksi. Makara Kesehatan, 10 (1), 29-40. Taylor, E. Shelley. (1991). Health psychology. New York: McGraw-Hill.

137

INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011