xxiv BAB II LANDASAN TEORI II.A. Tingkat Konflik Peran Ganda II.A ...

33 downloads 61 Views 528KB Size Report
A. Tingkat Konflik Peran Ganda. II.A.1. Pengertian Konflik Peran Ganda. Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai.
BAB II LANDASAN TEORI

II.A. Tingkat Konflik Peran Ganda II.A.1. Pengertian Konflik Peran Ganda Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana tekanan-tekanan dari pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain. Seseorang akan menghabiskan waktu yang lebih untuk digunakan dalam memenuhi peran yang penting bagi mereka, oleh karena itu mereka bisa kekurangan waktu untuk peran yang lainnya. Hal ini bisa meningkatkan kesempatan seseorang untuk mengalami konflik peran. Paden dan Buchler (dalam Simon, 2002) mendefinisikan konflik peran ganda merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh seseorang. Di pekerjaan, seorang wanita yang profesional diharapkan untuk agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya pada pekerjaan. Di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi dan menjaga suaminya. Netemeyer et al. (dalam Hennessy, 2005) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggung jawab yang berhubungan dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga. Hennessy (2005) selanjutnya mendefisikan konflik peran ganda ketika konflik yang terjadi sebagai hasil dari kewajiban pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga.

xxiv

Universitas Sumatera Utara

Jadi dari beberapa pengertian di atas konflik peran ganda adalah salah satu bentuk konflik antar peran yang diakibatkan pekerjaan dan keluarga saling tidak cocok satu sama lain, kewajiban pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga, permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga yang disebabkan harapan dari dua peran yang berbeda.

II.A.2. Dimensi-Dimensi Konflik Peran Ganda Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) konflik peran ganda itu bersifat bi-directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari : 1. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005) mendeskripsikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Jadi dapat disimpulkan work-family conflict sebagai konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga dimana secara umum permintaan waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga. 2. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan. Netemeyer et el. (dalam Hennessy, 2005) mendeskripsikan family-work conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana secara umum

xxv

Universitas Sumatera Utara

permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga mengganggu tanggung jawab pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan family-work conflict adalah konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga mengganggu tanggung jawab pekerjaan. Menurut Greenhause dan Beutell (dalam David, 2003) multidimensi dari konflik peran ganda muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work-family conflict maupun family-work conflict masingmasing memiliki 3 dimensi yaitu: time-based conflict, strain-based conflict, behavior-based conflict. Greenhaus dan Beutell (dalam Hennessy, 2005) mendefinisikan tiga dimensi dari konflik peran ganda, yaitu: 1. Time-based conflict, yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. 2. Strain-based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

Ketegangan peran ini bisa termasuk

stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah dan sakit kepala.

xxvi

Universitas Sumatera Utara

3. Behavior-based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya. Sebagai contoh, seorang wanita yang merupakan manajer eksekutif dari suatu perusahaan mungkin diharapkan untuk agresif dan objektif terhadap pekerjaan, tetapi keluarganya mempunyai pengharapan lain terhadapnya. Dia berperilaku sesuai dengan yang diharapkan ketika berada di kantor dan ketika berinteraksi di rumah dengan keluarganya dia juga harus berperilaku sesuai dengan yang diharapkan juga.

II.A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda Stoner

et

al.

(1990)

menyatakan

mengenai

faktor-faktor

yang

mempengaruhi konflik peran ganda, yaitu: 1. Time pressure, semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga 2. Family size dan support, semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga maka semakin sedikit konflik. 3. Kepuasan kerja, semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin sedikit. 4. Marital and life satisfaction, ada asumsi bahwa wanita bekerja memiliki konsekuensi yang negatif terhadap pernikahannya. 5. Size of firm, yaitu banyaknya pekerja dalam perusahaan mungkin saja mempengaruhi konflik peran ganda seseorang.

xxvii

Universitas Sumatera Utara

II.A.4. Konsekuensi dari Konflik Peran Ganda Konflik ibu bekerja, seringkali mengarah pada simptom klinis seperti depresi, perasaan stres, bersalah, agresi, iri, dan malu (Hammen et al. dalam Simon, 2002). Perasaan depresi ditemukan lebih bersifat kronis dan berulang pada wanita dibanding pria, dengan waktu yang dihabiskan wanita mengalami depresi rata-rata 21 % seumur hidup (Simon, 2002). Beberapa peneliti menemukan bahwa ada hubungan antara konflik peran ganda dengan psychological distress dan kesejahteraan. Sebagai contoh, Schwartzberg dan Dytell (dalam Hennessy, 2005) mengatakan ada pengaruh pekerjaan dan stres keluarga terhadap kesejateraan psikologis. Selanjutnya penelitian mengarah pada perbedaan gender dan penelitian terbaru menemukan bahwa wanita menunjukkan level distres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan peran ganda (Cleary dalam Hennessy, 2005).

II.A.5. Tingkat Konflik Peran Ganda Pada Wanita Dewasa Dini . Hammer et al. (dalam Noor, 2002) menyatakan meskipun antara pria dan wanita bisa mengalami konflik antara keluarga dan pekerjaan, wanita melaporkan lebih banyak konflik dari pada pria. Konflik antara permintaan kerja dan peran keluarga meningkat hanya terjadi pada wanita, mulai dari perannya dalam mengatur rumah tangga, rumah dan anak-anak. . Konflik peran ganda pada wanita dewasa dini berhubungan dengan banyaknya permintaan pemenuhan peran pada saat di rumah maupun di kantor. Dari tugas-tugas yang dikemukakan oleh Hurlock (1999) pada saat di rumah

xxviii

Universitas Sumatera Utara

wanita dewasa dini memainkan peran baru, seperti peran istri, dan orang tua, sedangkan di kantor, wanita dewasa dini merupakan seorang pekerja yang harus memenuhi tuntutan perannya sebagai seorang pekerja. Selanjutnya Hurlock (1999) menambahkan bahwa masa dewasa dini merupakan suatu periode sulit yang membutuhkan penyesuaian diri yang tinggi. Peran sebagai orang tua yang dijalankan oleh dewasa dini berkenaan dengan ciri-ciri masa dewasa dini yaitu masa reproduksi. Banyak orang sudah mulai berperan sebagai orang tua pada awal usia dua puluhan atau awal usia tiga puluhan. Rini (2002) menyatakan bahwa masalah berkenaan dengan pengasuhan anak biasanya dialami oleh para ibu bekerja yang mempunyai anak kecil yaitu balita atau batita.

II.B. Self Efficacy Bekerja dan Keluarga II.B.1. Pengertian Self Efficacy Menurut Schultz (1994), self efficacy adalah perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan. Bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu. Selanjutnya Lahey (2004) mendefinisikan self efficacy adalah persepsi bahwa seseorang mampu melakukan sesuatu yang penting untuk mencapai tujuannya. Hal ini mencakup perasaan mengetahui apa yang dilakukan dan juga secara emosional mampu untuk melakukannya.

xxix

Universitas Sumatera Utara

Bandura (dalam Salim, 2001) menyatakan bahwa self efficacy adalah keyakinan, persepsi, kekuatan untuk mempengaruhi perilaku seseorang, kepercayaan bahwa “aku bisa” untuk dapat mengatasi situasi dan menghasilkan hasil yang positif akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah perasaan, keyakinan, persepsi, kepercayaan terhadap kemampuan mengatasi suatu situasi tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada cara individu mengatasi situasi tersebut.

II.B.2. Karakteristik Individu yang Memiliki Self Efficacy Tinggi dan Self Efficacy Rendah Individu yang memiliki self efficacy tinggi, yakni bahwa mereka mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi. Karena merasa yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan, mereka tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Individu yang demikian percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki daripada individu yang memiliki self efficacy rendah dan hanya sedikit menunjukkan keragu-raguan. Mereka memandang kesulitan dan rintangan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka dengan situasi baru (Schultz, 1994). Individu yang memiliki self efficacy rendah merasa tidak berdaya, tidak mampu untuk menghadapi peristiwa dalam hidupnya. Mereka yakin bahwa usaha yang mereka lakukan adalah sia-sia, cepat sedih, apatis, dan gelisah. Ketika menemukan kesulitan mereka akan berhenti berusaha dan individu dengan self

xxx

Universitas Sumatera Utara

efficacy yang rendah sekali tidak akan mau berusaha untuk menanggapi masalahnya karena mereka berpikir bahwa tidak ada sesuatu pun yang mereka lakukan yang akan membuat perbedaan (Schultz, 1994). Individu dengan self efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengubah lingkungan mereka, sedangkan orang yang memiliki self efficacy yang rendah selalu menganggap bahwa mereka tidak mampu melaksanakan tugas (Feist & Feist, 2002). Lahey (2004) menyatakan bahwa seseorang yang mempersepsikan dirinya mampu atau memiliki self efficacy yang tinggi dalam menerima tantangantantangan lebih besar, akan menggunakan usaha yang lebih, dan lebih sukses dalam mencapai tujuan. Sebaliknya seseorang yang mempunyai self efficacy yang rendah tidak akan mau dipromosikan karena takut tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas pada jabatan tertentu. Individu yang meragukan kemampuannya dalam aktifitas tertentu akan menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit. Mereka akan mengurangi usaha mereka atau cepat menyerah saat menghadapi rintangan. Mereka memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin mereka capai. Dalam situasi yang sulit, mereka memikirkan kekurangan diri mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalannya. Pemikiran yang kacau tersebut semakin menurunkan usaha dan pemikiran analitis mereka dengan mengalihkan perhatian mereka dari aktifitasnya. Mereka lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu mereka setelah mengalami kegagalan karena mereka cenderung mendiagnosa performansi yang tidak memadai sebagai

xxxi

Universitas Sumatera Utara

bakat yang kurang baik, maka kegagalan membuat mereka menjadi hilang kepercayaan akan kemampuan mereka. Mereka mudah menjadi korban stres dan depresi (Bandura, 1997). Sebaliknya kepercayaan akan kemampuan yang kuat meningkatkan fungsi sosial kognitif seseorang. Individu dengan self efficacy yang tinggi menganggap tugas-tugas sulit sebagai tantangan untuk dihadapi bukan sebagai ancaman yang perlu dihindari. Mereka menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan komitmen yang kuat terhadapnya. Mereka menanamkan usaha yang kuat terhadap apa yang mereka lakukan dan meningkatkan lagi usaha ketika mereka gagal. Mereka mengatribusikan kegagalan mereka dengan usaha yang kurang memadai dan cepat memulihkan rasa mampu dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengkontrolnya. Hal ini meningkatkan performansi mereka, mengurangi stres, menurunkan kerentanan terhadap depresi (Bandura, 1997). Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik individu yang mempunyai self efficacy yang tinggi adalah: 1. Percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki 2. Menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan untuk dihadapi bukan sebagai ancaman yang perlu dihindari. 3. Mengontrol diri untuk mencapai tujuan. Karakteristik individu yang mempunyai self efficacy yang rendah adalah: 1. Memandang mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan tugas 2. Menganggap tugas yang sulit sebagai sebuah ancaman 3. Tidak mampu mengontrol diri untuk mencapai tujuan.

xxxii

Universitas Sumatera Utara

II.B.3. Dimensi Self Efficacy Bandura (1997) menyatakan bahwa self efficacy dibedakan atas tiga dimensi, dimensi tersebut adalah: 1. Level/magnitude, yaitu penilaian kemampuan individu pada tugas yang sedang dihadapinya. Dimensi ini mengacu pada tingkat kesulitan suatu masalah yang dipersepsikan berbeda dari masing-masing individu. Ada yang menganggap masalah itu sulit ada juga yang menganggap masalah itu mudah untuk dilakukan. Apabila individu merasa sedikit rintangan yang dihadapi maka masalah tersebut mudah ditangani. 2. Generality. Mengacu pada penilaian efficacy individu berdasarkan aktivitas keseluruhan tugas yang pernah dijalaninya. 3. Strength.

Mengacu

pada

ketahanan

dan

keuletan

individu

dalam

menyelesaikan masalah. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat tehadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak kesulitan dan tantangan.

II.B.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy Bandura (1997), mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy, yaitu: 1. Budaya Budaya mempengaruhi self efficacy melalui nilai (value), kepercayaan (belief), dan self regulatory process yang berfungsi sebagai sumber penilaian self efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari keyakinan akan self efficacy.

xxxiii

Universitas Sumatera Utara

2. Gender Perbedaan gender berpengaruh terhadap self efficacy. Wanita lebih memiliki self efficacy yang tinggi dalam mengelola perannya. 3. Sifat dari tugas yang dihadapi Kompleksitas

dari

kesulitan

tugas

yang

dihadapi

oleh

seseorang

mempengaruhi penilaian individu terhadap kemampuan yang dimilikinya dalam menyelesaikan tugas tersebut, semakin kompleks dan sulit suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka semakin rendah individu tersebut menilai diri dan kemampuannya, sebaliknya jika individu merasa bahwa ia menghadapi tugas yang mudah dan sederhana, maka semakin tinggi individu tersebut menilai tentang diri dan kemampuannnya. 4. Insentif eksternal (reward) yang diterima individu dari orang lain Jika individu berhasil mengerjakan tugasnya dengan baik dan diberi reward yang positif oleh orang lain akan meningkatkan self efficacy, semakin besar reward tersebut semakin besar self efficacy. 5. Status atau peran individu dalam lingkungan Seseorang yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar, sehingga self efficacy yang dimilikinya juga tinggi, sedangkan orang yang memiliki status yeang lebih rendah akan memiliki self efficacy yang rendah juga. 6. Informasi tentang kemampuan diri Informasi yang diperoleh seseorang tentang kemampuan diri sangat mempengaruhi self efficacy orang tersebut. Self efficacy akan meningkat atau

xxxiv

Universitas Sumatera Utara

menjadi lebih tinggi apabila seseorang memperoleh informasi positif tentang kemampuan dirinya, sebaliknya self efficacy individu akan menurun apabila individu tersebut memperoleh informasi yang negatif tentang kemampuan yang dimilikinya. Lahey (2004) menambahkan, meskipun persepsi seseorang terhadap self efficacy dipelajari dari yang orang lain katakan, dari kegagalan dan kesuksesan, dan dari sumber lain, self efficacy mempengaruhi seseorang dari dalam diri sendiri. Jadi dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi self efficacy adalah budaya, gender, sifat dari tugas yang dihadapi, insentif eksternal yang diterima individu dari orang lain, status atau peran individu dalam lingkungan, informasi tentang kemampuan diri, kegagalan dan kesuksesan, namun disamping itu self efficacy mempengaruhi seseorang dari dalam diri sendiri.

II.B.5. Pengertian Self Efficacy Bekerja dan Keluarga Sesuai dengan kesimpulan sebelumnya yang diambil dari beberapa tokoh bahwa self efficacy adalah perasaan, keyakinan, persepsi, kepercayaan terhadap kemampuan mengatasi suatu situasi tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada cara individu mengatasi situasi tersebut. Bekerja menurut Netemeyer et el., (dalam Hennessy, 2005) adalah segala kegiatan yang dilakukan yang berhubungan dengan

pekerjaan

untuk

memperoleh

penghasilan.

Khairuddin

(1997)

mendefinisikan keluarga sebagai kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan istri,

xxxv

Universitas Sumatera Utara

ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan. Netemeyer et el., (dalam Hennessy, 2005) menambahkan kegiatan dalam keluarga mencakup pelaksanaan peran-peran yang dilakukan misalnya sebagai orang tua, sebagai pasangan, dan kegiatan lain yang dilakukan di keluarga. Jadi dapat disimpulkan bahwa self efficacy bekerja dan keluarga adalah perasaan, keyakinan, persepsi, ataupun kepercayaan terhadap kemampuan untuk mengatasi situasi ketika melakukan segala kegiatan yang dilakukan yang berhubungan dengan pekerjaan untuk memperoleh penghasilan dan juga mampu menghadapi situasi lain yang berhubungan dengan peranannya sebagai anggota keluarga.

II.B.6. Self Efficacy Bekerja dan Keluarga pada Wanita Dewasa Dini Bandura membagi masa dewasa menjadi dua kelompok yaitu, masa dewasa muda dan dewasa pertengahan. Self efficacy penting pada masa dewasa muda yakni dalam hal penyesuaian terhadap perkawinan dan peningkatan karir. Individu yang mempunyai self efficacy rendah tidak akan mampu berhadapan dengan situasi sosial dan gagal menyesuaikan diri (dalam Schultz, 1994). Self efficacy pada wanita juga berhubungan dengan pengalaman mereka terhadap peran stres. Bandura (dalam Erdwins et al., 2001) menyatakan bahwa self efficacy seseorang digunakan untuk mengurangi persepsi dan reaksi mereka terhadap stres. Ozer (dalam Erdwins et al., 2001) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan kombinasi pengukuran efficacy bekerja dan keluarga bagi wanita kembali bekerja setelah kelahiran anak

xxxvi

Universitas Sumatera Utara

pertamanya. Ada kemungkinan self efficacy memiliki hubungan dengan dukungan sosial dan ketegangan peran (role strain), dimana dukungan bisa didapat dari pasangan, keluarga, atau teman kerja dimana bisa meningkatkan secara efektif permintaan terhadap peran yang bervariasi, dan bisa mengurangi role strain itu sendiri (dalam Erdwins et al., 2001). Menurut Bandura (1997) self efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Bekerja dan berkeluarga merupakan tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa dini. Di antara sekian banyak tugas-tugas perkembangan dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, penting, dan sulit diatasi (Hurlock, 1999). Bandura (1997) menyatakan wanita yang memiliki peran sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir akan memiliki self efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria bekerja.

II.C. Masa Dewasa Dini II.C.1. Pengertian Masa Dewasa Dini Menurut Hurlock (1999), Adult berasal dari bahasa latin, yaitu “adultus” yang artinya telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna yaitu menjadi dewasa. Adult atau masa dewasa terbagi atas tiga bagian yaitu: (a) dewasa dini, (b) dewasa madya, dan (c) dewasa akhir. Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran

xxxvii

Universitas Sumatera Utara

suami/istri, orang tua, dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Penyesuaian diri terhadap tugas-tugas baru tersebut menjadikan periode ini dijadikan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang. Menurut Papalia (2004) batasan usia masa dewasa dini adalah 20-40 tahun.

II.C.2. Ciri-Ciri Masa Dewasa Dini Hurlock (1999) mengemukakan ciri-ciri masa dewasa dini, yaitu: 1.

Masa pengaturan Pada masa ini terdapat istilah settle down dimana seseorang pada masa dewasa dini mengurangi kebebasannya dan menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa.

2.

Masa reproduktif Seseorang pada masa dewasa dini setelah mereka menikah mereka kemudian akan mempersiapkan diri untuk berperan sebagai orang tua.

3.

Masa bermasalah Mereka dituntut untuk mandiri dalam hal penyelesaian masalah baik itu penyesuaian terhadap perkawinan, peran sebagai orang tua, dan karir.

4.

Masa ketegangan emosional Ketidakmampuan

mengatasi

masalah

utama

dalam

kehidupan

akan

menimbulkan perasaan resah dan terganggu secara emosional.

xxxviii

Universitas Sumatera Utara

5.

Masa keterasingan sosial Pola kehidupan orang dewasa seperti karir, rumah tangga menyebabkan hubungan dengan kelompok sebaya menjadi renggang dan akan menimbulkan keterpencilan sosial. Hal ini sesuai dengan apa yang disebut oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) sebagai krisis keterasingan.

6.

Masa komitmen Perubahan tanggung jawab terhadap pola hidup baru, tanggung jawab baru dan komitmen baru akan menjadi landasan komitmen di kemudian hari.

7.

Masa ketergantungan Hal ini terjadi terutama dalam bidang ekonomi, masih tergantung kepada orang tua, lembaga pendidikan yang memberi beasiswa, ataupun lembaga pemerintah yang memberikan pinjaman biaya pendidikan.

8.

Masa perubahan nilai Nilai pada masa kanak-kanak dan remaja berubah menurut kacamata orang dewasa. Hal ini dikarenakan pengalaman dan hubungan sosial yang luas.

9.

Masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru Masa dewasa dini merupakan periode yang paling banyak menghadapi perubahan. Gaya-gaya hidup baru yang paling menonjol yaitu berada pada peran orang tua dan perkawinan. Persiapan gaya hidup baru jarang sekali dilakukan sebelumnya baik itu di pendidikan maupun di rumah. Demikian pula orang-orang muda masa kini jarang sekali dipersiapkan agar mampu memikul tanggung jawab sebagai orang tua dan pencari nafkah di luar rumah.

xxxix

Universitas Sumatera Utara

10.

Masa kreatif Bentuk kreatifitas tergantung pada minat dan kemampuan individual disalurkan melalui hobi atau pekerjaan. Meskupun demikian, kesempatan ini banyak terhalang karena tugas-tugas rumah tangga dan pengasuhan anak.

II.C.3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Dewasa Dini Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) masa dewasa dini mempunyai tugas-tugas perkembangan, terdiri dari: 1. Mulai bekerja 2. Memilih pasangan 3. Belajar hidup dengan tunangan 4. Mulai membina keluarga 5. Mengasuh anak 6. Mengelola rumah tangga 7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara 8. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan

II.D. Peran Ganda Wanita II.D.1. Pengertian Peran Ganda Wanita Peran adalah bagian yang indvidu mainkan pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri kita dengan keadaan (Wolfman, 1992).

xl

Universitas Sumatera Utara

Peran biasanya dilihat serangkaian rumusan yang membatasi perilakuperilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu (Riddle & Thomas, dalam Sarlito, 2000). Seseorang yang memiliki peran ganda berarti seseorang tersebut memiliki peran yang lebih dari satu pada saat bersamaan. Menurut Newman dan Newman (2005) peran yang individu mainkan merupakan pola perilaku yang merupakan pengharapan dari masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa peran ganda adalah lebih dari satu pola perilaku yang dimiliki oleh seorang individu yang merupakan pengharapan dari masyarakat. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000) peran ganda wanita terdiri dari: 1.

Wanita sebagai anggota keluarga: memberi inspirasi tentang gambaran arti hidup dan peranannya sebagai wanita dan anggota keluarga.

2. Wanita sebagai istri: membantu suami dalam menentukan nilai-nilai yang akan menjadi tujuan hidup yang mewarnai hidup sehari-hari dan keluarga: a. menjadi kekasih suami b. menjadi pengabdi dalam membantu meringankan beban suami c. menjadi pendamping suami, bila perlu membina relasi-relasi dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial, menghadapi, mengatasi masalah baik diatasi sendiri atau bersama-sama d. menjadi manajer keuangan yang dilimpahkan oleh suami.

xli

Universitas Sumatera Utara

3. Wanita sebagai pencari nafkah Wanita untuk kepuasan diri bisa menunjukkan kemampuannya dengan bekerja. Wanita yang berambisi tinggi, sesudah menikah bisa juga ingin tetap mengejar karir. Dalam kenyataaannya, ada wanita yang perlu bekerja di luar atau di dalam rumah untuk meringankan beban suami atau untuk mengamalkan

kemampuannya

setelah

selesainya

pendidikan,

sambil

menambah penghasilkan keluarga. 4. Wanita sebagai ibu rumah tangga: a. mengatur seluruh penghasilan kehidupan dan kelancaran rumah tangga. b. Mengatur dan mengusahakan suasana rumah yang nyaman. 5. Wanita sebagai ibu bagi anak. a. menjadi model tingkah laku anak yang mudah diamati dan ditiru b. menjadi pendidik: memberi pengarahan, dorongan dan pertimbangan bagi perbuatan-perbuatan anak untuk membentuk perilaku c. menjadi konsultan: memberi nasehat, pertimbangan, pengarahan dan bimbingan d. menjadi sumber informasi: memberikan pengetahuan, pengertian dan penerangan 6. Wanita sebagai wanita karir yang berkeluarga menjadi istri dan ibu: perlu memiliki perangkat urutan peran dalam kemajemukan perannya agar dapat mengatasi konflik yang mungkin akan dihadapinya bila pada saat yang sama dituntut melaksanakan peran lain. Wanita dalam mengemban tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan amnggota keluarga, turut berperan

xlii

Universitas Sumatera Utara

membentuk hari depan dengan kesadaran penuh akan kemanusiaan dan sifat hakikinya.

II.D.2. Motivasi Wanita Berperan Ganda Wanita berperan ganda dengan perannya sebagai pekerja sekaligus ibu rumah tangga memiliki motivasi tertentu untuk melakukan peran gandanya tersebut. Menurut Egelman (2004) ada sejumlah ganjaran yang akan didapatkan oleh seorang ibu yang bekerja baik dalam segi sosial maupun psikologis: 1. Status, maksudnya dengan bekerja seseorang memperoleh kebanggaan dengan apa yang sudah diraihnya di dunia kerja. 2. Pencapaian pendidikan, maksudnya pendidikan yang tinggi membuat wanita berharap mereka akan diberikan balasan yang lebih di dunia kerja. 3. Jenjang karir. Setelah selesai dari kuliahnya, wanita merasa pekerjaan merupakan jenjang karir tahap lanjut yang perlu dilalui. 4. Kesempatan. Sekarang sudah banyak kesempatan yang muncul dari pekerjaan yang dulunya hanya oleh ditekuni oleh laki-laki saja. 5. Uang, maksudnya banyak ibu bekerja karena alasan uang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.

xliii

Universitas Sumatera Utara

II.D.4. Hal-Hal yang Dipengaruhi oleh Kehidupan Wanita Berperan Ganda Menurut Matlin (2004) pekerjaan dapat mempengaruhi tiga komponen dari kehidupan wanita, yaitu: 1.

Pernikahan Dalam pelaksanaan tugas rumah tangga wanita sering diperlakukan tidak adil dalam hal pembagian tugas rumah tangganya. Menurut Galinsky et al. (dalam Matlin, 2004) wanita lebih sering dari pada pria dalam hal memasak, mencuci baju, mencuci piring dan belanja sedangkan pria hanya membantu ketika memperbaiki peralatan rumah tangga yang rusak.

2. Anak Menurut Parke dan Buriel (dalam Papalia, 2004) kepuasan ibu terhadap status pekerjaannya, dapat membuat ia menjadi orang tua yang lebih efektif. Anakanak usia sekolah dari ibu yang bekerja cenderung untuk hidup dalam rumah yang lebih terstruktur dan cenderung lebih mandiri (Bronfrenbrenner & Crouter, dalam Papalia, 2004) dari pada anak-anak dari ibu yang berada di rumah tangga seharian penuh. Hoffman et al.(dalam Matlin, 2004) ibu melakukan 60% dan 90% dari tugas perawatan anak dan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibandingkan dengan ayah (Dryden et al. dalam Matlin, 2004). 3. Penyesuaian diri a. Ketegangan Peran Wanita bekerja sering mengalami ketegangan peran antara pekerjaan dengan tanggung jawab terhadap keluarganya Hal ini muncul karena

xliv

Universitas Sumatera Utara

mereka mengalami kesulitan untuk melakukan berbagai peran yang berbeda pada saat yang bersamaan (Cleveland et al. dalam Matlin, 2004). b. Kesehatan Fisik Barnett et al. (dalam Matlin, 2004) menyatakan bahwa ketegangan peran dapat mengarah pada menurunnya kesehatan fisik. Meskipun begitu, data menyarankan bahwa wanita bekerja lebih sehat dari pada yang tidak. Ada satu kelompok wanita yang secara substansial mengalami permasalahan kesehatan, yaitu wanita yang memiliki sedikit pendapatan dan pekerjaan tanpa balasan, banyak anak dan suami yang tidak suportif (dalam Matlin, 2004). c. Kesehatan Mental Untuk beberapa wanita, peran ganda dijadikan sebagai efek penyeimbang, khususnya sebagai penyeimbang stres yang dialami karena permasalahan keluarga. Yoder (dalam Matlin, 2004) menyatakan keuntungan peran ganda lebih banyak dari pada ketidakuntungannya, mereka terlihat lebih bahagia dan memiliki penyesuaian yang baik (Barnett et al. dalam Matlin, 2004). Namun penelitian terbaru menemukan bahwa wanita berperan ganda menunjukkan level distres yang lebih tinggi (Cleary dalam Hennessy, 2005).

xlv

Universitas Sumatera Utara

II.E. Hubungan Self Efficacy Bekerja dan Keluarga dengan Tingkat konflik peran ganda pada Wanita Dewasa Dini Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola kehidupan dan harapan sosial yang baru. Seseorang pada masa ini diharapkan dapat memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, dan mengembangkan sikap, keinginan serta nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya. Hurlock (1999) menyatakan tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, penting, dan sulit diatasi bahkan bagi orang dewasa telah mempunyai pengalaman kerja, telah menikah, dan telah menjadi orang tua, mereka masih tetap harus melakukan penyesuaian diri dengan peran-peran tersebut. Pemenuhan tugas perkembangan dewasa dini khususnya dalam hal pencarian pekerjaan, pendidikan memiliki peran yang sangat penting guna terciptanya kesempatan bagi seseorang untuk mendapat pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Papalia (2004) bahwa dewasa dini kebanyakan memilih pekerjaan sesuai dengan bidang dalam pendidikannya. Semakin tinggi pendidikan yang mereka capai maka semakin luas kesempatan bekerja. Perkembangan

dan

fasilitas

pendidikan

sekarang

ini

mengalami

peningkatan. Wanita Indonesia mempunyai kesempatan yang semakin besar untuk mengenyam pendidikan tinggi sebagaimana halnya pria (Wanita berperan ganda, 2004). Perkembangan dan fasilitas pendidikan sekarang ini mengalami peningkatan. Wanita Indonesia mempunyai kesempatan yang semakin besar untuk

xlvi

Universitas Sumatera Utara

mengenyam pendidikan tinggi sebagaimana halnya pria (Wanita berperan ganda, 2004). Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, menyatakan pekerja wanita di Indonesia mencapai 35,37% dari jumlah pekerja secara keseluruhan, yaitu 100.316.007 (Dinas Kesehatan, 2003). Jumlah pekerja wanita tersebut terdiri dari wanita yang sudah menikah dan wanita yang belum menikah. Wanita yang bekerja dan sudah menikah berarti mereka memiliki peran yang lebih dari satu, yaitu di rumah dan di tempat kerja. Peran wanita yang lebih dari satu yaitu sebagai ibu, istri, dan pekerja disebut sebagai peran ganda (Gunarsa & Gunarsa, 2000). Oskamp (1984) mengemukakan bahwa semua orang memang sering menempati banyak peran pada saat yang bersamaan. Fenomena peran ganda lebih sering mendatangkan masalah pada wanita, terutama bagi wanita yang sudah berumah tangga. Profil wanita Indonesia pada saat ini digambarkan sebagai wanita yang harus hidup dalam situasi dilematis dimana mereka harus berperan dalam semua sektor tanpa melupakan kodratnya sebagai wanita yang harus tetap memperhatikan keluarga (dalam Soeharto, 2004). Bem et al. (dalam Simon, 2002) menyatakan bawa ibu bekerja mempunyai tanggung jawab ganda pada peran-peran mereka sebagai ibu, pekerja, dan istri. Matlin (2004) menambahkan wanita sering kali mendapat ketidakadilan dalam pembagian tugas rumah tangga. wanita seperti memasak, mencuci baju, mencuci piring dan belanja dari pada pria.

xlvii

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan peran ganda wanita pada kenyataannya menimbulkan masalah yang tidak sedikit (Soeharto, 2004). Peran ganda memungkinkan terjadinya konflik peran dimana suatu perilaku yang diharapkan pada suatu posisi tidak cocok dengan posisi yang lain (Oskamp, 1984). Simon (2002) menyatakan wanita bekerja mendapatkan sejumlah implikasi klinis dan efek psikologis ketika bernegosiasi dengan konflik internal dan eksternalnya. Pengalaman konflik wanita bekerja sering menimbulkan depresi, perasaan stres, rasa bersalah, cemburu dan malu (Hammen et al. dalam Simon, 2002). Greenhause dan Beutell (1985) menyatakan bahwa konflik peran ganda terjadi jika permintaan satu peran mengganggu seseorang dalam berpastisipasi atau melakukan performansi peran yang lainnya.

Selanjutnya Noor (2002)

menambahkan ketika seseorang menggunakan waktu dan energi yang berlebihan terhadap peran bekerja maka peran dalam keluarga akan mengalami kesulitan, dan begitu juga sebaliknya, ketika seseorang menggunakan waktu yang berlebihan dan energi terhadap peran dalam keluarga maka peran bekerja akan mengalami kesulitan. Tuntutan peran yang dijalankan oleh ibu yang bekerja dipengaruhi oleh motivasi ibu dalam melaksanakan semua tugasnya. Santrock (2004) menyatakan self efficacy memiliki hubungan dengan motivasi intrinsik seseorang dalam melaksanakan suatu tugas tertentu. Penelitian oleh Erdwins et al. (2001) membuktikan ada hubungan negatif antara self efficacy bekerja dan keluarga dengan konflik peran ganda. Hal ini berarti individu yang memiliki self efficacy pekerjaan dan keluarga yang tinggi maka konflik peran ganda yang dialaminya

xlviii

Universitas Sumatera Utara

rendah dan sebaliknya, memiliki self efficacy pekerjaan dan keluarga yang rendah maka konflik peran ganda yang dialaminya tinggi. Di antara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa dini, tugastugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan hidup keluarga merupakan tugas yang sangat banyak, penting, dan sulit diatasi (Hurlock, 1999). Tugas-tugas ini jika dihubungan peran sebagai orang tua dimana kelahiran anak menjadi awal munculnya peran baru dan peran orang tua menjadi sangat penting pada masa ini untuk terwujudnya pertumbuhan dan perkembangan bayi menjadi anak yang sehat dikemudian hari. Menurut Bandura (1997) self efficacy pada masa dewasa meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Penelitian yang dilakukan oleh Erdwins et al. (2001) ternyata diketahui bahwa ada hubungan antara self efficacy bekerja dan keluarga dengan konflik peran ganda. Hubungan antara dua konstruk ini bersifat negatif yang artinya apabila seorang individu memiliki self efficacy bekerja dan keluarga yang tinggi maka konflik peran ganda yang dialaminya rendah dan sebaliknya apabila individu memiliki self efficacy bekerja dan keluarga yang rendah maka konflik peran ganda yang dialaminya tinggi. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa self efficacy bekerja dan keluarga memiliki hubungan dengan konflik peran ganda pada wanita dewasa dini. Untuk menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai pekerja dan anggota keluarga dimana konflik peran ganda sering muncul, self efficacy bekerja

xlix

Universitas Sumatera Utara

dan keluarga yang dimiliki bisa mempengaruhi tingkat konflik peran ganda yang dialami oleh wanita dewasa dini.

II.F. Hipotesa Ada hubungan negatif antara self efficacy bekerja dan keluarga dengan tingkat konflik peran ganda pada wanita dewasa dini. Artinya semakin tinggi self efficacy bekerja dan keluarga pada wanita dewasa dini maka semakin rendah tingkat konflik peran ganda yang dialaminya dan sebaliknya semakin rendah self efficacy bekerja dan keluarga maka semakin tinggi tingkat konflik peran ganda yang dialaminya.

l

Universitas Sumatera Utara