menyusun skripsi dengan judul “Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor
...... faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai.
ASPEK PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
EDWIN AKBAR HABIBUN
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
Januari 2011
Edwin Akbar Habibun C2406228
ii
RINGKASAN Edwin Akbar Habibun. C24062228. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibawah bimbingan Isdradjad Setyobudiandi dan Zairion. Ikan ekor kuning merupakan salah satu jenis ikan konsumsi bernilai ekonomis penting yang dominan ditemukan di wilayah Perairan Kepulauan Seribu. Produksi ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu cenderung meningkat pada beberapa tahun terakhir. Kondisi tekanan penangkapan yang tinggi serta volume produksi yang terus meningkat dapat mengakibatkan penipisan stok ikan atau menurunnya jumlah populasi ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu yang bila terus menerus dapat mencapai kondisi tangkap lebih (overfishing). Penelitian ini dilakukan selama bulan April sampai Juli 2010, dengan tujuan untuk mengkaji beberapa parameter dan pola pertumbuhan, mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi yang meliputi rasio kelamin, ukuran pertama kali matang gonad, potensi reproduksi, pola pemijahan, dan musim pemijahan, serta menduga mortalitas dan laju eksploitasi sebagai informasi dasar dalam merumuskan upaya pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning yang optimal dan lestari sumberdaya ikan tersebut. Jenis data yang dikumpulkan adalah berupa data primer merupakan pengambilan langsung contoh ikan sebanyak enam ali dengan interval dua minggu. Pengambilan contoh ikan di-lakukan dengan metode penarikan contoh berlapis (stratified random sampling) adalah penarikan contoh yang dilakukan dengan cara populasi dibagi menjadi beberapa lapis-an berdasarkan karakteristiknya. Ikan contoh dibedakan berdasarkan ukurannya yaitu kecil, sedang, dan besar. Contoh ikan ekor kuning secara total adalah sebanyak 300 ekor yang terdiri dari 189 ekor ikan jantan dan 111 ekor ikan betina. Pengukuran panjang total dilakukan dengan menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 cm dengan cara mengukur panjang total ikan. Penimbangan bobot ikan dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram. Jenis kelamin ditentukan dengan melihat secara morfologis gonad masing-masing ikan contoh yang sudah dibedah. Penentuan TKG dilakukan melalui pengamatan morfologi gonad secara langsung dengan kriteria tingkat kematangan gonad modifikasi Cassie. Diameter telur contoh diukur pada tiga bagian gonad yaitu bagian anterior, median, dan posterior, masing-masing bagian sebanyak 50 butir dengan menggunakan mikroskop yang telah dilengkapi dengan mikrometer okuler yang sebelumnya sudah ditera dengan mikrometer objektif. Nilai L∞, K, Z dan M diperoleh dengan bantuan program FiSAT II berdasarkan data panjang dan parameter pertumbuhan. Ukuran panjang minimum dan maksimum ikan ekor kuning yang diamati selama pengamatan adalah 110 mm dan 325 mm. Diketahui persamaan pertumbuhan Von Bartalanffy untuk ikan ekor kuning adalah Lt = 334,43 (1-e0,49(t+1,0449)) dengan pola pertumbuhan isometrik. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan ekor kuning selama pengamatan berkisar pada 0,66-1,57. Proporsi ikan
iii
jantan:betina TKG IV adalah 2,1:1. Nilai indeks kematangan gonad ikan ekor kuning berdasarkan waktu pengamatan di wilayah Kepulauan Seribu cenderung berfluktuatif. Nilai IKG meningkat sejalan dengan peningkatan TKG. Ikan ekor kuning di wilayah perairan Kepulauan Seribu yang diamati memiliki kisaran 4.51338.702 butir telur setiap satu induk betinanya. Berdasarkan perhitungan ukuran ikan pertama kali matang gonad dengan menggunakan metode Sperman-Karber, ukuran ikan ekor kuning jantan pada saat pertama kali matang gonad adalah 195,55-195,60 mm, sedangkan ukuran ikan ekor kuning betina pada saat pertama kali matang gonad adalah 218,00-219,07 mm. Pola sebaran diameter telur ikan memiliki satu puncak, yakni pada ukuran diameter telur 0,35-0,37 mm. Musim pemijahan diduga terjadi pada bulan Februari-April. Laju eksploitasi ikan menunjukkan indikasi over fishing dengan nilai 0,7582. Saran pengelolaan yang diajukan adalah (1) pengaturan ukuran mata jaring muroami menjadi ukuran 3 inch, (2) pembatasan upaya penangkapan berupa penetapan jumlah tangkapan dan pelarangan penambahan jumlah kapal (3) perlu diterapkannya sistem buka tutup suatu lokasi penangkapan ikan ekor kuning pada musim pemijahan dan (4) konsistensi serta komitmen dari semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga terkait lainnya terkait dalam hal pengawasan, penegakan hukum, dan pengelolaan.
iv
ASEK PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN EKOR KUNING (Caesio cuning) YANG DIDARATKAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
EDWIN AKBAR HABIBUN C24062228
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
v
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
: Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama
: Edwin Akbar Habibun
NRP
: C24062228
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Isdadjad Setyobudiandi, M. Sc NIP. 19580705 198504 1 001
Ir. Zairion, M. Sc NIP. 19640703 199103 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus: 13 Januari 2011
vi
PRAKATA
Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini
berjudul “Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta”, disusun berdasarkan hasil penelitian di Kepulauan Seribu yang dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Juli 2010 dan merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan araharan sehingga penulis dapat penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor,
Januari 2011
Edwin Akbar Habibun C2406228
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Isdadjad Setyobudiandi, M. Sc dan Ir. Zairion, M. Sc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, nasehat, serta masukan kepada penulis selama penelitian sampai dengan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. H. Ridwan Affandi selaku penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil selaku dosen penguji dari komisi pendidikan S1 atas saran, nasehat, dan perbaikan yang diberikan. 3. Keluarga tercinta; almarhum Ayahanda Umar Sidik, Ibunda Asmeirina, Kak Sheirley, Bang Ronggur, Mas Jati dan Athar yang telah memberikan doa, dukungan, semangat, dan kasih sayang yang diberikan selama ini. 4. Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu dan Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 5. Para staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widaryanti serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. 6. Desi Harmiyati yang sudah memberikan inspirasi awal dalam penelitian ini. Chikarista Irfangi, Widya Dharma, Ilmi Ading, Febri, Damora, dan Adisti yang turut membantu dalam penyusunan dan terciptanya skripsi ini. Sahabatsahabatku ADC++; Gafar AK, Denny ‘Bibir’, Dinda ‘Mamake’ Zakiyah, Dwi Endah Wardhani, Astri Ayuningtias, Luly Nurul Fadhilah, Restu Rahayu Bratadiredja, Khoirul Umam dan Danang Dwiananto yang telah memberikan kesabaran, dukungan, masukkan, dan bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi ini. Faridh Nadler, Viga Desya, Tantri Jiebhan, Irin, CheChe, dan Hanum yang juga turut memberikan dukungan serta semangat selama penyusunan skripsi ini. 7. Keluarga besar MSP 42, 43, 44 dan UKM MAX!! atas dukungan dan kebersamaannya selama ini serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1988 yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan (Alm) Bapak Umar Sidik Hutasuhut dan Ibu Asmeirina. Pendidikan formal penulis dimulai di SD Negeri 12 Pagi Sumur Batu (1994-2000), SLTP Negeri 10 Jakarta (2000-2003), SMA Negeri 5 Jakarta (2003-2006). Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama satu tahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam mengikuti kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa Music/Agriculture/X-Pression!! (UKM MAX!!), Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) dan beberapa kegiatan mahasiswa lainnya. Penulis juga diberi kesempatan dan kepercayaan menjadi Asisten Mata Kuliah Sumberdaya Perikanan (2009/2010). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi dengan judul “Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu”.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................
xiv
1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1.1. Latar Belakang......................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 1.3. Tujuan dan Manfaat ...............................................................................
1 1 2 2
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 2.1. Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) ......................................................... 2.2. Pertumbuhan ........................................................................................... 2.3. Distribusi Frekuensi Panjang ................................................................ 2.4. Faktor Kondisi ......................................................................................... 2.5. Aspek Reproduksi .................................................................................. 2.5.1. Rasio kelamin ............................................................................. 2.5.2. Tingkat kematangan gonad ..................................................... 2.5.3. Indeks kematangan gonad ....................................................... 2.5.4. Fekunditas .................................................................................. 2.5.5. Ukuran ikan pertama kali matang gonad .............................. 2.5.6. Diameter telur dan pola pemijahan ........................................ 2.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ............................................................ 2.7. Kondisi Wilayah Kepulauan Seribu.....................................................
4 4 5 6 7 8 8 9 9 10 10 11 12 12
3. METODE PENELITIAN ................................................................................ 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................ 3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................ 3.3. Metode Kerja ........................................................................................... 3.3.1. Pengambilan dan penanganan ikan contoh........................... 3.3.2. Pengamatan ikan contoh .......................................................... a. Pengukuran panjang dan berat ikan contoh ................... b. Pembedahan ikan contoh ................................................... c. Penentuan jenis kelamin .................................................... d. Penentuan tingkat kematangan gonad ............................ e. Penentuan diameter telur................................................... 3.4. Analisis Data ........................................................................................... 3.4.1. Distribusi frekuensi panjang .................................................... 3.4.2. Hubungan panjang dan berat .................................................. 3.4.3. Faktor kondisi ............................................................................ 3.4.4. Parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 .................................. 3.4.5. Rasio kelamin ............................................................................. 3.4.6. Indeks kematangan gonad ....................................................... 3.4.7. Fekunditas .................................................................................. 3.4.8. Ukuran ikan pertama kali matang gonad .............................. 3.4.9. Mortalitas dan laju eksploitasi ................................................. 3.4.10. Penetapan ukuran mata jaring.................................................
15 15 16 16 16 17 17 17 17 17 18 19 19 20 21 22 23 23 23 24 24 25
x
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 4.1. Distribusi Frekuensi Panjang ................................................................ 4.2. Parameter Pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ............................................... 4.3. Hubungan Panjang dan Bobot .............................................................. 4.4. Faktor Kondisi ......................................................................................... 4.5. Aspek Reproduksi .................................................................................. 4.5.1. Rasio Kelamin ............................................................................ 4.5.2. Tingkat Kematangan Gonad .................................................... 4.5.3. Indeks kematangan gonad ....................................................... 4.5.4. Fekunditas .................................................................................. 4.5.5. Ukuran ikan pertama kali matang gonad .............................. 4.5.6. Diameter telur dan pola pemijahan ........................................ 4.5.7. Menentukan musim pemijahan ............................................... 4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ............................................................ 4.7. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning ....
26 26 28 30 33 35 35 37 39 41 42 42 43 44 44
5. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 5.2. Saran .........................................................................................................
47 47 47
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
48
LAMPIRAN.............................................................................................................
51
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu ...........................
1
2. Kriteria kematangan gonad modifikasi Cassie pada Effendie (1979) .......
18
3. Parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ikan ekor kuning (Ceasio cuning) ...................................................................................................
28
4. Parameter pertumbuhan ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari dua waktu penelitian .......................................................................................
28
5. Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning (Caesio cuning) setiap waktu pengamatan setelah dilakukan uji-t .......................................
30
6. Proporsi ikan ekor kuning (Caesio cuning) jantan dan betina.....................
36
7. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan ekor kuning (Caesio cuning)......
44
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ikan ekor kuning (Caesio cuning) ....................................................................
4
2. Peta lokasi penelitian, wilayah perairan Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu .............................................................................................
15
3. Bagan alir pengambilan data ..........................................................................
19
4. Sebaran frekuensi ukuran panjang ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara total .........................................................................................................
26
5. Sebaran frekuensi ukuran panjang ikan ekor kuning (Caesio cuning) setiap waktu pengamatan..................................................................
27
6. Kurva pertumbuhan ikan ekor kuning (Caesio cuning) ...............................
29
7. Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning (Caesio cuning) (a) jantan, (b) betina, dan (c) secara total.......................................................
32
8. Faktor kondisi ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan selang kelas panjang .....................................................................................................
33
9. Faktor kondisi ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan waktu pengamatan .......................................................................................................
34
10. Faktor kondisi ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan tingkat kematangan gonad ...........................................................................................
35
11. Rasio kelamin ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan (a) waktu pengamatan dan (b) selang kelas panjang ..................................
37
12. Tingkat kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) (a) jantan dan (b) betina berdasarkan selang kelas panjang.......................
38
13. Tingkat kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) (a) jantan dan (b) betina berdasarkan waktu pengamatan .........................
39
14. Indeks kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan waktu pengamatan ....................................................................
40
15. Indeks kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan tingkat kematangan gonad.......................................................
41
16. Hubungan panjang total dan fekunditas ikan ekor kuning (Caesio cuning) ...................................................................................................
42
17. Sebaran diameter telur ikan ekor kuning (Caesio cuning) ...........................
43
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Alat-alat dan bahan yang digunakan ............................................................
52
2. Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning pada tiap pengamatan ......
54
3. Pendugaan pertumbuhan dengan metode ELEFAN I yang dikemas dalam progam FiSAT II ...................................................................
55
4. Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning pada tiap pengamatan .......................................................................................................
58
5. Faktor kondisi ikan ekor kuning ....................................................................
60
6. Tingkat kematangan gonad ikan ekor kuning .............................................
61
7. Indeks kematangan gonad ikan ekor kuning ...............................................
62
8. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan ekor kuning betina dengan metode Sperman Karber........................................................
63
9. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan ekor kuning jantan dengan metode Sperman Karber........................................................
64
10. Pendugaan mortalitas total (Z) dengan menggunakan metode Jones & Van Zelinge yang dikemas dalam progam FiSAT II ...................................
65
11. Pendugaan mortalitas alami (M) dengan menggunakan rumus Pauly yang dikemas dalam progam FiSAT II..........................................................
66
xiv
1
1. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan (archipelagic state) yang memliki
potensi sumberdaya ikan yang sangat besar dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurut data tahun 2004, kondisi sumberdaya ikan untuk perairan laut memiliki potensi lestari (MSY) sebesar 6,4 juta ton/tahun (Mallawa 2006). Salah satu sumberdaya ikan tersebut adalah sumberdaya ikan karang. Wilayah perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu banyak dijumpai berbagai jenis ikan karang, baik ikan karang hias maupun ikan karang konsumsi. Ikan-ikan karang yang hidup di wilayah ini sebanyak 31 famili dengan 232 spesies (Departemen Kehutanan dan Balai Konservasi Taman Laut Nasional Kepulauan Seribu 2004 in Harmiyati 2009). Salah satu jenis ikan karang yang dominan di Perairan Kepulauan Seribu ini adalah ikan ekor kuning. Ikan ekor kuning merupakan salah satu jenis ikan konsumsi bernilai ekonomis penting. Produksi ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu cenderung meningkat pada beberapa tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat dari data statistik perikanan yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil tangkapan ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu Tahun Hasil Tangkapan (Ton) Upaya (Unit Kapal) 2003 411 70 2004 441 75 2005 557 75 2006 621 75 2007 673 77 Sumber: Suku Dinas Perikanan dan Kelautan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (2009) in Harmiyati (2009) Peningkatan hasil tangkapan ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu tiap tahun ini bukan berarti jumlah ikan ekor kuning masih melimpah di wilayah ini. Jumlah produksi ini suatu saat akan mencapai titik puncak, dan merosot yang dapat mengakibatkan penurunan stok. Penelitian Harmiyati (2009) sebelumnya menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikan ekor kuning yang dominan adalah
ikan
yang
memiliki
ukuran
panjang
tergolong
kecil.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa kegiatan penangkapan terhadap sumberdaya ini terus
2
meningkat tiap tahunnya. Nggajo (2009) juga menyebutkan bahwa hasil tangkapan ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu umumnya merupakan ikan yang memiliki tingkat kematangan gonad I dan II, yang berarti penangkapan ikan ekor kuning didominasi oleh ikan yang masih muda atau dalam kondisi pertumbuhan. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Jabbar (2008) yang menyebutkan bahwa kelompok ikan ukuran kecil pada ukuran 7,0-28,9 cm lebih banyak tertangkap dan umumnya ikan-ikan itu dalam kondisi belum matang gonad. Kondisi tekanan penangkapan yang tinggi serta volume produksi yang terus meningkat dapat mengakibatkan penipisan stok ikan atau menurunnya jumlah populasi ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu yang bila terus menerus dapat mencapai kondisi tangkap lebih (overfishing). 1.2.
Perumusan Masalah Hasil tangkapan ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu dari alam
masih memegang peranan penting dalam memenuhi permintaan para konsumen di pasar. Semakin meningkatnya permintaan masyarakat akan ikan ekor kuning menyebabkan produksi penangkapan ikan ekor kuning juga ikut meningkat. Apabila hal ini terus terjadi, sebagian dari siklus hidup ikan ekor kuning akan terganggu yang akan menyebabkan merosotnya atau berkurangnya penambahan baru (recruitment) dan selanjutnya akan membahayakan kelestarian populasinya. Sampai saat ini penelitian yang dilakukan terhadap populasi dan aspek reproduksi ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu masih sangat terbatas. Sementara itu dengan semakin berkembangnya usaha penangkapan, informasi yang tepat mengenai kedua hal tersebut sangatlah diperlukan sebagai dasar pengelolaannya. Oleh karena itu pengkajian aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan ekor kuning di Perairan Kepulauan Seribu perlu dilakukan sebagai salah satu dasar dalam merumuskan upaya pengelolaan sumberdaya ikan ekor kuning di wilayah Perairan Kepulauan Seribu agar kelestariannya tetap terjaga sehingga pemanfaatannya yang berkelanjutan dapat tercapai. 1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa parameter dan pola
pertumbuhan, mengkaji beberapa aspek biologi reproduksi yang meliputi rasio
3
kelamin, ukuran pertama kali matang gonad, potensi reproduksi, pola pemijahan, dan musim pemijahan, serta menduga mortalitas dan laju eksploitasi ikan ekor kuning di wilayah Perairan Kepulauan Seribu. Hasil kajian di atas kemudian dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam merumuskan upaya pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning yang optimal dan lestari.
4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) Salah satu jenis ikan hasil tangkapan utama di Wilayah Perairan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah ikan ekor kuning. Berdasarkan Bloch (1791), klasifikasi ikan ekor kuning (www.fishbase.com) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Famili
: Caesionidae
Genus
: Caesio
Spesies
: Caesio cuning (Bloch 1791)
Nama FAO
: Redbelly Yellowtail Fusilier
Nama umum : Ikan ekor kuning Nama lokal
Gambar 1.
: Wakung sawo
Ikan ekor kuning (Caesio cuning, Bloch 1971)
Bentuk badan ikan ekor kuning adalah memanjang, melebar, pipih, mulut kecil, memiliki gigi-gigi kecil, dan lancip. Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu kebiruan. Ekor berwarna kuning, bagian bawah kepala, badan, sirip perut, dan dada berwarna merah jambu. Pinggiran sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam. Panjang tubuhnya dapat mencapai 35 cm tetapi pada umumnya hanya dapat mencapai 25 cm (www.fishbase.com).
5
Ciri struktur morfologisnya adalah memiliki jumlah total jari-jari keras dorsal sebanyak 10 buah, jari-jari lunak dorsal sebanyak 14-16 buah, jari-jari keras anal sebanyak 3 buah, dan jari-jari lunak 10-12 buah. Bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung berjari-jari lemah, dan sirip dubur berwarna biru keputihan. Dua gigi taring terdapat pada rahang bawah (www.fishbase.com). Ikan ekor kuning hidup di perairan pantai, karang-karang, perairan karang, dan membentuk gerombolan besar.
Umumnya membentuk gerombolan besar.
Ikan ekor kuning dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 60 meter. Daerah penyebarannya meliputi perairan laut tropis di perairan karang seluruh Indonesia, Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang Pantai Laut Cina Selatan, bagian Selatan Ryukyu (Jepang), dan Perairan Tropis Australia (www.fishbase.com). Ikan ekor kuning di Indonesia umumnya ditangkap menggunakan muroami, jaring insang, maupun perangkap bubu. Sedangkan untuk di negara lain alat tangkap yang digunakan antara lain trawl (Thailand), perangkap bubu (Thailand dan Malaysia), serta drift-net (Filiphina dan Papua New Guinea) (www.fishbase.com). 2.2.
Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan salah satu aspek yang paling intensif dipelajari
dalam biologi perikanan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kondisi individual maupun populasi. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai pertambahan ukuran, baik panjang maupun berat, dalam satuan waktu (Moyle and Cech 1988). Sebagian besar ikan memiliki kemampuan untuk meneruskan pertumbuhan selama hidup bila kondisi lingkungannya sesuai dan ketersediaan makanan cukup baik, walaupun pada umur tua, pertumbuhan ikan hanya sedikit. Ikan tidak memiliki limit tertentu untuk membatasi pertumbuhan (undeterminate growth) (Effendie 1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, dan penyakit (Effendie 1997). Menurut Moyle & Cech
6
(1988),
umur
dan
kedewasaan
pun
ikut menjadi faktor
internal
yang
mempengaruhi pertumbuhan ikan. Beberapa faktor eksternal yang ikut mempengaruhi pertumbuhan antara lain suhu, oksigen terlarut, kadar amonia, salinitas, kompetisi dan ketersediaan makanan (Moyle and Cech 1988). Selain itu, Effendie (1997) juga menyatakan bahwa fotoperiod (panjang hari) juga ikut mempengaruhi pertumbuhan. Jabbar (2008) menyatakan bahwa hasil penelitiannya pada bulan Maret 2007, mendapatkan ukuran panjang ikan ekor kuning yang terkecil adalah 15,0-15,9 cm dan ukuran yang terbesar 28,0-28,9 cm dengan rata-rata panjang 19,64 cm. Pada bulan Juli 2007, didapatkan data hasil pengukuran berat berkisar antara 7,1-470 gram dengan rata-rata 95,94 gram.
Pola hubungan panjang dan berat yang
menunjukkan pola pertumbuhan bersifat isometrik (b=3,021) dengan koefisien determinasi (R²=0,987) yang berarti penambahan panjang ikan sama dengan pertambahan berat tubuh ikan. 2.3.
Distribusi Frekuensi Panjang Dalam
menduga
umur
pada
ikan,
umumnya
dilakukan
dengan
menggunakan metode perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini dibentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi lingkungan dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya. Namun, pada kondisi perairan tropis hal ini tidak dapat dilakukan karena tidak terjadinya perubahan musim yang signifikan pada wilayah tropis. Beberapa metode dikembangan dalam menentukan umur pada kondisi perairan tropis. Salah satu yang paling sering digunakan adalah dengan konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur, yakni dengan analisis sejumlah data frekuensi panjang. Data frekuensi panjang yang dijadikan contoh dan dianalisa dengan benar dapat memperkirakan parameter pertumbuhan yang digunakan dalam pendugaan stok spesies tunggal (Pauly 1983). Analisa frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok ukuran ikan yang didasarkan kepada anggapan bahwa frekuensi panjang individu dalam suatu spesies dengan kelompok umur yang sama akan bervariasi mengikuti sebaran normal (Effendie 1997).
Sejumlah data komposisi panjang dapat
digunakan untuk melihat komposisi tangkapan.
7
Panjang ikan dapat ditentukan dengan mudah dan cepat dalam investigasi di lapangan, karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal sehingga umur bisa ditentukan dari distribusi frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur. Kelompok umur bisa diketahui dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut untuk mewakili panjang kelompok umur. Hasil identifikasi kelompok umur dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan dan laju pertumbuhan (Busacker et al. in Schreck & Moyle 1990). Ketika suatu contoh besar yang tidak bisa diambil dari suatu stok ikan atau invertebrata, panjang masingmasing individu bisa diukur dan digambarkan sebagai diagram frekuensi panjang. Jika pemijahan terjadi sebagai suatu peristiwa diskret, hal ini akan menghasilkan kelompok ukuran atau kelas yang berbeda yang dibuktikan dengan puncak atau modus pada distribusi frekuensi panjang (King 1995). 2.4. Faktor Kondisi Menurut Lagler (1977) in Effendie (1997) faktor kondisi merupakan keadaan atau komontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan berat. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi dan dari segi komersil berupa kualitas dan kuantitas daging ikan untuk dikonsumsi. Effendie (1997) menyatakan bahwa nilai faktor kondisi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh umur, makanan, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan karena sebagian dari makanan digunakan untuk perkembangan gonad. Ikan dapat mengalami peningkatan atau penurunan faktor kondisi dalam daur hidupnya. Keadaan ini mengindikasikan adanya musim pemijahan bagi ikan betina. Menurut Effendie (1997), peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, pada umumnya akan mengalami penurunan faktor kondisi (Effendie 1997).
8
2.5. Aspek Reproduksi Reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenis atau kelompoknya. Reproduksi merupakan aspek yang penting dalam pengelolaan suatu sumberdaya perairan. Keberhasilan suatu spesies ikan dalam daur hidupnya ditentukan oleh kemampuan ikan tersebut untuk bereproduksi di lingkungan yang berfluktuasi guna menjaga keberadaan populasinya (Moyle & Cech 1988). Ikan ekor kuning merupakan jenis hewan ovipar, yakni jenis yang menghasilkan telur dan membuahinya diluar tubuh, dengan
jumlah
telur
yang
banyak,
berukuran
kecil,
dan
mengapung
(www.fishbase.com). Beberapa aspek biologi reproduksi dapat memberi keterangan yang berarti mengenai frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad. Aspek reproduksi tersebut meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), ukuran pertama kali matang gonad, fekunditas, diameter telur, dan pola pemijahan (Nikolsky 1963). Biologi reproduksi dapat memberikan gambaran tentang aspek biologi yang terkait dengan proses reproduksi, mulai dari diferensiasi seksual hingga dihasilkannya individu baru atau larva (Affandi & Tang 2002). Penyatuan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (telur) akan membentuk zigot yang selanjutnya berkembang menjadi generasi baru (Fujaya 2004). Pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni tahap pra-spawning, spawning, dan post-spawning (Sjafei et al. 1992). Pada ikan, perkembangan awal daur hidup juga terbagi lagi menjadi lima periode perkembangan utama, yaitu periode telur, larva, juvenile, dewasa dan periode tua (senescent) (Balon 1975 in Sjafei et al. 1992). 2.5.1.
Rasio kelamin Rasio kelamin, atau biasa disebut juga dengan nisbah kelamin, merupakan
perbandingan antara ikan jantan dan betina dalam suatu populasi. Kondisi nisbah kelamin yang ideal di perairan adalah dengan rasio 1:1 (Nababan 1994 in Makmur & Prasetyo 2006). Rasio kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan populasi ikan. Perbandingan 1:1 ini sering kali menyimpang, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan ikan betina,
9
perbedaan laju mortalitas, terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara teatur, yaitu pada awal pemijahan didominasi oleh ikan jantan kemudian seimbang pada saat terjadi pemijahan dan didominasi oleh betina sampai pemijahan selesai (Nikolsky 1963) 2.5.2.
Tingkat kematangan gonad Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu pengetahuan
dasar dari biologi reproduksi pada suatu stok ikan. Tingkat kematangan gonad juga merupakan tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad (Effendie 1997). Pencatatan perubahan kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengamatan perkembangan tingkat kematangan gonad ini juga didapatkan informasi kapan ikan tersebut akan memijah, baru akan memijah, atau sudah selesai memijah (Effendie 1997). Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali gonadnya menjadi masak tidak sama ukurannya. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya. Untuk ikan di daerah tropis, faktor suhu secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat (Effendie 1997). Pengamatan kematangan gonad dilakukan dengan dua cara, yakni secara histologis dan morfologis. Pengamatan secara histologis dilakukan di laboratorium untuk mengetahui anatomi perkembangan gonad tadi lebih jelas dan mendetail. Sedangkan pengamatan secara morfologis dapat dilakukan langsung di lapang dengan (Effendie 1997). 2.5.3.
Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari
perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan dengan 100. Sejalan dengan perkembangan gonad, maka bobot gonad semakin bertambah dan semakin besar sampai mencapai maksimum ketika ikan mencapai memijah. Perubahan nilai IKG berhubungan erat dengan tahap perkembangan
10
telur. Dengan memantau perubahan IKG dari waktu ke waktu, maka dapat diketahui ukuran ikan waktu memijah (Effendie 1997). Pada TKG yang sama, IKG ikan jantan akan berbeda dengan ikan betina. Umumnya kisaran IKG ikan betina lebih besar dibandingkan dengan kisaran IKG ikan jantan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan ukuran gonad antara ikan jantan dan betina. Biasanya ovarium pada ikan betina akan lebih berat daripada testis pada ikan jantan (Effendie 1997). 2.5.4.
Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan
memijah. Fekunditas terdiri dari dua istilah, yaitu fekunditas individu dan fekunditas relatif. Fekunditas individu atau fekunditas mutlak adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Sedangkan fekunditas relatif atau fekunditas nisbi adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang ikan. Fekunditas lebih sering dihubungkan dengan panjang daripada berat, karena panjang penyusutannya relatif kecil dan panjang akan cepat mengalami perubahan pada waktu musim pemijahan (Effendie 1997). Umumnya ikan teleostei perairan laut memiliki tingkat fekunditas tinggi, mencapai ribuan sampai jutaan setiap ikan betinanya pertahun. Jumlah telur yang dihasilkan akan meningkat sejalan dengan perkembangan ukuran tubuh. Fekunditas meningkat lebih cepat dengan pertambahan ukuran panjang dibanding dengan pertambahan berat ikan (Jennings et al. 2001). Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina antara lain fertilitas, frekuensi pemijahan, perlindungan induk (parental care), ukuran telur, kondisi lingkungan, dan kepadatan populasi (Moyle & Cech 1988). Spesies ikan yang mempunyai fekunditas besar pada umumnya memijah di daerah permukaan, sedangkan spesies yang fekunditasnya kecil umumnya melindungi telurnya dari pemangsa atau menempelkan telurnya pada tanaman atau habitat lainnya (Nikolsky 1963). 2.5.5.
Ukuran ikan pertama kali matang gonad Ukuran
ikan
pertama
kali
matang
gonad
berhubungan
dengan
pertumbuhan ikan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan serta strategi
11
reproduksinya. Tiap spesies ikan tidak sama ukuran dan umur pertama kali matang gonad, bahkan ikan-ikan pada spesies yang sama juga akan berbeda bila berada pada kondisi dan letak geografis yang berbeda (Nasution 2004). Umumnya ikan akan terus menerus memijah setelah pertama kali matang gonad, namun bergantung kepada daur pemijahannya, ada yang satu tahun sekali, beberapa kali dalam satu tahun, dan sebagainya (Reay 1984 in Nasution 2004). Dikatakan pula bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi dan menentukan daur reproduksi antara lain adalah suhu, oksigen terlarut dalam perairan dan hormon yang berperan dalam reproduksi yang dapat memacu organ-organ reproduksi untuk berfungsi (Nasution 2004). Ukuran ikan pada waktu pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Affandi & Tang 2002). Setiap spesies ikan pada waktu pertama kali matang gonad memiliki ukuran yang tidak sama walaupun ikan tersebut masih satu spesies. Hal tersebut diakibatkan karena adanya perbedaan kondisi ekologis perairan (Blay & Egeson 1980 in Makmur & Prasetyo 2006). Umur pada awal reproduksi bervariasi terhadap jenis kelamin. Bagi ikan jantan maupun betina, umur pertama kali memijah bergantung kepada kondisi lingkungan yang sesuai. Pada lingkungan yang tidak sesuai untuk tumbuh dan mempertahankan sintasan, ikan-ikan cenderung akan menangguhkan pemijahan, karena akan menurunkan tingkat pertumbuhan dan sintasan, sehingga reproduksi cenderung akan berlangsung pada umur lebih muda (Nasution 2004). 2.5.6.
Diamater telur dan pola pemijahan Menurut Effendie (1997), diameter telur adalah garis tengah atau ukuran
panjang dari suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat dibawah mikroskop. Semakin meningkat TKG, maka garis tengah telur yang ada dalam ovarium semakin besar. Komposisi telur yang dikandung dalam gonad ikan betina tidak selalu homogen (seragam) dalam satu tingkat kematangan gonad (TKG), melainkan terdiri dari beberapa macam ukuran telur. Hal tersebut berhubungan dengan frekuensi dan lama musim pemijahan. Frekuensi pemijahan dapat diduga dari penyebaran diameter telur ikan pada gonad yang sudah matang, yaitu dengan melihat modus penyebarannya.
12
Sedangkan lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama semua menunjukkan waktu pemijahannya pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai dengan banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium (Effendie 1997). Pola pemijahan setiap spesies ikan berbeda-beda, ada yang berlangsung singkat (total spawning), dan ada pula yang berlangsung dalam waktu yang panjang (partial spawning). 2.6.
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain
penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stress pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bartanffy K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, panjang maksimum (L∞)dan laju pertumbuhan (K). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Selain itu, laju eksploitasi juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga
bahwa
stok
yang
dieksploitasi
optimal
maka
laju
mortalitas
penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 (Foptimum = M atau Eoptimum = 0,5). 2.7.
Kondisi Wilayah Kepulauan Seribu Topografi Perairan Kepulauan Seribu rata-rata landai (0-15% dengan
ketinggian 0-2 meter di bawah permukaan laut). Luas daratan masing-masing
13
pulau dipengaruhi oleh adanya pasang surut yang mencapai 1-15 meter di atas Pelabuhan Tanjung Priok. Pada umumnya keadaan geologi di Kepulauan Seribu terbentuk dari batuan kapur, karang/pasir, dan sedimen yang berasal dari Pulau Jawa dan Laut Jawa, terdiri atas susunan bebatuan malihan/metamorfosa dan batuan beku, di atas batuan dasar diendapkan sedimen epiklastik, batu gamping, batu lempung yang menjadi dasar pertumbuhan gamping terumbu Kepulauan Seribu (www.kepulauanseribu.net). Secara umum keadaan laut di wilayah Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman yang berbeda-beda, yaitu berkisar antara 0-40 meter. Di Kepulauan Seribu tidak terdapat sumber hidrologi permukaan, seperti sungai, dan mata air. Kondisi air tanah di wilayah Kepulauan Seribu sangat tergantung pada kepadatan vegetasinya.
Pulau-pulau yang mempunyai vegetasi padat dan mempunyai
lapisan tanah yang cukup tebal, maka kondisi air tanah akan mempunyai kualitas air tawar yang baik. Hal tersebut karena vegetasi dan lapisan tanah tersebut dapat menyimpan air tanah yang berasal dari hujan (www.kepulauanseribu.net). Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot, biasanya terjadi pada bulan DesemberFebruari.
Pada musim timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot yang
bertiup dari arah Timur Laut sampai tenggara (www.kepulauanseribu.net). Musim hujan di Kepulauan Seribu biasanya terjadi antara bulan NovemberApril dengan hari hujan antar 10-20 hari/bulan. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau terkadang juga terdapat hujan dengan jumlah hari pada saat hujan berkisar antara 4-10 hari perbulannya.
Biasanya curah hujan
terkecil terjadi pada bulan Agustus. Curah hujan tahun 2008 tercatat mencapai 169,4 mm sedangkan pada saat bulan-bulan kering yaitu bulan Juni sampai dengan bulan September. Curah hujan bermusim yang dominan di wilayah Kepulauan Seribu yaitu musim barat (musim angin barat disertai hujan lebat) dan musim timur (musim angin timur serta kering).
Musim-musim tersebut mempunyai
pengaruh besar bagi kehidupan penduduk maupun bagi kegiatan-kegiatan lainnya
14
serta kondisi wilayah. Hal tersebut mempengaruhi kegiatan nelayan yang akan sangat terganggu pada saat musim angin barat (www.kepulauanseribu.net). Tipe iklimnya adalah tropika panas dengan suhu rata-rata berkisar antara 26,5°-28,5°C, sedangkan suhu permukaan air pada saat musim barat berkisar antara 28,5°-30°C dan musim timur suhu permukaan berkisar antara 28,5°-31°C. Salinitas permukaan berkisar antara 30-34‰ baik pada musim barat dan musim timur (Pemprov DKI Jakarta 2008) dan untuk bagian dasar berkisar antara 32,3-33,35‰.
15
3. METODE PENELITIAN 3.1.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yakni pengambilan data primer di
lapang dan analisis laboratorium. Kedua tahap ini dilakukan selama bulan April sampai dengan Juli 2010. Pengambilan data primer di lapang dilaksanakan di wilayah perairan Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu (Gambar 2) sebanyak enam kali dengan interval dua minggu. Sedangkan untuk analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Bio Makro I, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
P. Pramuka
Gambar 2.
Peta lokasi penelitian, wilayah perairan Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu
16
3.2.
Alat dan Bahan Beberapa alat yang digunakan di lapang diantaranya adalah cool box dan
kantong plastik besar untuk membawa ikan contoh. Sedangkan alat yang digunakan saat analisis contoh di laboratorium adalah satu set alat bedah, penggaris dengan ketelitian 0,1 cm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram, timbangan digital dengan ketelitian 0,001 gram, mikroskop, mikrometer okuler, cawan petri, gelas ukur (ukuran 10 ml dan 25 ml), pipet tetes, gelas obyek, gelas penutup, baki sebagai wadah ikan contoh, alat tulis, hand tally counter, data sheet, lap atau tissue, kertas label, botol sampel dan kantong plastik. Bahan yang digunakan adalah ikan ekor kuning, formalin 10% untuk mengawetkan ikan contoh dan formalin 5% untuk mengawetkan gonad ikan contoh. 3.3.
Metode Kerja
3.3.1.
Pengambilan dan penanganan ikan contoh Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data
primer yang terdiri dari pengambilan ikan contoh. Ikan contoh yang diambil merupakan ikan ekor kuning hasil tangkapan nelayan yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka. Dari 13 jumlah nelayan muroami yang menangkap ikan ekor kuning di wilayah perairan TNL Kepulauan Seribu, ikan contoh yang diambil berasal hanya dari satu nelayan yang mendarat di PPI Pulau Pramuka. Dasar pertimbangan pengambilan ini adalah sekitar 10% dari total jumlah nelayan muroami yang ada.
Pemilihan nelayan ini dilakukan secara acak atau
menggunakan metode penarikan contoh acak sederhana (simple random sampling). Berdasarkan observasi pendahuluan dengan hasil pengamatan oleh peneliti sebelumnya, ikan ekor kuning yang tertangkap dan didaratkan di PPI Pulau Pramuka memiliki ukuran panjang antara 75 – 294 mm (Harmiyati 2009). Dengan demikian, pengambilan contoh ikan dilakukan dengan metode penarikan contoh berlapis (stratified random sampling) yang dilakukan dengan cara populasi dibagi menjadi beberapa lapisan berdasarkan karakteristiknya. Ikan contoh dibedakan berdasarkan ukurannya yaitu kecil (6-12 cm), sedang (13-20 cm), dan besar (>20 cm).
Proporsi ikan contoh yang diambil berdasarkan tiga kelompok ukuran
tersebut adalah disesuaikan dengan hasil penangkapan pada saat pengambilan
17
contoh. Total ikan contoh yang diambil sebanyak 50 ekor setiap pengambilan contoh. Ikan contoh kemudian dimasukkan kedalam plastik dan cool box, kemudian diawetkan dengan dengan formalin 10% dan dibawa ke Laboratorium Bio Makro I, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis lebih lanjut. 3.3.2.
Pengamatan ikan contoh
a.
Pengukuran panjang dan bobot ikan contoh Pengukuran panjang total dilakukan dengan menggunakan penggaris
dengan ketelitian 0,1 cm dengan cara mengukur dari ujung kepala sampai ujung sirip ekor yang paling belakang. Penimbangan bobot ikan contoh dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram. Setelah dilakukan pengukuran panjang dan penimbangan bobot total, kemudian ikan contoh dibedah untuk diamati organ reproduksinya (Gambar 3). b.
Pembedahan ikan contoh Ikan contoh dibedah dengan menggunakan gunting bedah, dimulai dari
anus menuju bagian atas perut sampai ke bagian belakang operculum kemudian menurun ke arah ventral hingga ke dasar perut. Dagingnya dibuka sehingga organorgan dalamnya dapat terlihat dengan jelas. c.
Penentuan jenis kelamin Jenis kelamin ditentukan dengan melihat secara morfologis gonad masing-
masing ikan contoh yang sudah dibedah. Setelah diketahui jenis kelamin masingmasing ikan, perbandingan ikan jantan dan betina dapat diketahui. d.
Penentuan tingkat kematangan gonad Gonad diambil dari ikan yang telah dibedah, kemudian gonad tersebut
dimasukkan kedalam formalin 4% untuk pengawetan. Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) dapat dilakukan melalui pengamatan morfologi gonad secara langsung dengan kriteria tingkat kematangan gonad yang tertera dalam Tabel 2.
18
Tabel 2. Kriteria tingkat kematangan gonad (Modifikasi Cassie pada Effendie 1997) TKG
Betina
I
Ovari seperti benang, panjang sampai kedepan rongga tubuh. Warna permukaan licin.
II
Ukuran ovari lebih besar. Pewarnaan lebih gelap kekuningan. Telur belum terlihat jelas dengan mata.
III
Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai kelihatan butirnya dengan mata.
IV
V
e.
Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2 sampai 2/3 rongga perut, usus terdesak. Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisi terdapat di dekat pelepasan. Banyak telur seperti pada tingkat II
Jantan Testis seperti benang, lebih pendek (terbatas dan terlihat ujungnya dirongga tubuh, warna jernih). Permukaan testis lebih besar. Pewarnaan putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada tingkat I. Permukaan testis tampak bergerigi, warna makin putih, testis makin besar, dalam keadaan diawaetkan mudah putus. Seperti pada tingkat III dan tampak lebih jelas. Testis lebih pejal. Testis bagian belakang kempis dan bagian dekat pelepasan masih berisi.
Pengukuran diameter telur Diameter telur contoh diukur pada tiga bagian gonad yaitu bagian anterior,
median, dan posterior, masing-masing bagian sebanyak 50 butir. Telur contoh dideretkan di atas gelas objek lalu dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop yang telah dilengkapi dengan mikrometer okuler yang sebelumnya sudah ditera dengan mikrometer objektif. Diameter telur contoh yang diukur adalah diameter telur contoh yang memiliki ukuran terpanjang.
19
Sampel ikan hasil tangkapan
Hubungan panjang dan bobot
Pola pertumbuhan
Pengukuran panjang dan bobot ikan
Faktor kondisi
Kondisi nutrisionis
Pembedahan ikan
Koefisien pertumbuhan
Potensi tumbuh
Pengamatan dan pengukuran organ ikan
Jenis Kelamin
Gonad ikan
Bobot gonad
Struktur anatomi
Jumlah Telur
IKG
Nisbah kelamin
TKG
Fekunditas
Diameter Telur
Pola pemijahan
Potensi reproduksi Dihubungkan dengan ukuran
Dihubungkan dengan musim
Ukuran pertama kali matang gonad
Gambar 3.
Musim pemijahan
Bagan alir pengumpulan data dari ikan contoh (Modifikasi Adisti 2010)
3.4.
Analisis Data
3.4.1.
Distribusi frekuensi panjang Sebaran frekuensi panjang adalah distribusi ukuran panjang pada
kelompok panjang tertentu. Sebaran frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang.
Dalam penelitian ini, untuk menganalisis sebaran frekuensi panjang
menggunakan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari seluruh data panjang total ikan ekor kuning.
20
(2) Dengan melihat hasil pengamatan frekuensi pada setiap selang kelas panjang ikan ditetapkan jumlah kelas sebanyak 10 kelas dengan interval sebesar 22 mm. (3) Menentukan limit bawah kelas bagi selang kelas yang pertama dan kemudian limit atas kelasnya. Limit atas didapatkan dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas. (4) Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas. (5) Menentukan nilai tengah kelas bagi masing-masing kelas dengan merataratakan limit kelas. (6) Menetukan frekuensi bagi masing-masing kelas. Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam masing-masing kelas, diplotkan dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya. Dari grafik tersebut dapat terlihat jumlah puncak yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Dapat terlihat juga pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran sebaran frekuensi panjang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus sebaran frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort. Bila terdapat lebih dari satu kohort, maka dilakukan pemisahan distribusi normal. Menurut Sparre dan Venema (1999), metode yang dapat digunakan untuk memisahkan distribusi komposit ke dalam distribusi normal adalah metode Bhattacharya (1967) in Sparre dan Venema (1999) dengan bantuan software program FiSAT II. 3.4.2.
Hubungan panjang dan berat Hubungan panjang dan berat diketahui dengan perhitungan berikut (Le
Cren 1951 in Weatherley 1972):
W aLb W = bobot ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta Menurut Ricker (1975) in Setyobudiandi et al. (2009), korelasi parameter dari pertumbuhan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b (sebagai penduga tingkat kedekatan hubungan kedua parameter) yaitu dengan hipotesis:
21
(1) b=3,
pertumbuhan
isometrik
(pertumbuhan
panjang
sama
dengan
pertumbuhan berat) (2) b≠3, pertumbuhan alometrik (3) b3 alometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan) Untuk mengkaji nilai b, perlu penghitungan uji t dengan hipotesis dan rumus sebagai berikut: Hipotesis: H0 : b = 3 H1 : b ≠ 3
t hitung
Pengambilan
keputusan
b b0 sb0
terhadap
hipotesis
dilakukan
dengan
membandingkan thitung dan ttabel pada selang kepercayaan 95%. Jika nilai thitung > ttabel, maka keputusannya adalah menolak H0. Jika nilai thitung < ttabel, maka keputusannya adalah terima H0 (Walpole 1995). 3.4.3.
Faktor kondisi Faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut (Le Cren 1951 in Weatherley 1972): Jika nilai b = 3 (tipe pertumbuhan bersifat isometrik), maka rumus yang digunakan adalah:
K
105 W L3
Jika nilai b ≠ 3 (tipe pertumbuhan bersifat allometrik), maka rumus yang digunakan adalah:
K K = faktor kondisi W = bobot ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta
W aLb
22
3.4.4.
Parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam
menduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre dan Venema 1999). Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dapat dinyatakan sebagai berikut:
Lt L 1 e K t t0
(1)
Lt adalah panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t0 sama dengan nol, persamaan (1) dapat ditulis menjadi:
Lt L 1 e Kt
(2)
sehingga untuk t sama dengan t+1 dan t sama dengan t, persamaan (2) bagi Lt+1-Lt menjadi:
Lt 1 Lt L 1 e K t 1 L 1 e Kt sehingga
Lt 1 Lt L e Kt 1 e K
(3)
(4)
substitusikan persamaan (2) ke persamaan (4) diperoleh:
Lt 1 Lt L Lt 1 e K sehingga
Lt 1 L 1 e K Lt e K
(5)
(6)
Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (1 = tahun, bulan, atau minggu) (Pauly 1984). Persamaan (7) dapat diduga dengan persamaan regresi linear dan jika Lt sebagai absis diplotkan terhadap Lt+1 sebagai ordinat maka garis lurus yang dibentuk akan memiliki kemiringan (slope) sama dengan e-K dan titik potong dengan absis sama dengan:
L 1 e Kt
Dengan demikian, nilai K dan L∞ diperoleh dengan cara sebagai berikut:
K ln b
(7)
a 1 b
(8)
L
23
Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1983):
log t0 0,3922 0,2752log L 1,038log K 3.4.5.
(10)
Rasio kelamin Rasio kelamin dihitung dengan menggunakan ikan yang sudah dalam
tahap tingkat kematangan gonad IV, yakni ikan-ikan yang sudah siap dalam proses pemijahan. Rasio kelamin pada kali ini dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie 1979):
Pj
A 100 B
Pj A B
= proporsi jenis = jumlah jenis ikan tertentu (jantan/betina) = jumlah total individu ikan yang ada
3.4.6.
Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad (IKG) dicari dengan menggunakan rumus
(Effendie 1997):
IKG IKG BG BT
= indeks kematangan gonad = berat gonad (gram) = berat total ikan (gram)
3.4.7.
Fekunditas
BG 100 BT
Fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan cara gabungan antara gravimetrik dengan volumetrik dan dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie 1997):
F F G V X Q
= fekunditas = berat gonad (gram) = volume pengenceran (cc) = jumlah telur tiap cc = berat telur contoh (gram)
G V X Q
24
3.4.8.
Ukuran ikan pertama kali matang gonad Ukuran pertama kali matang gonad dihitung menggunakan persamaan
Spearman-Karber (Udupa 1986 in Najamuddin et. al. 2004) sebagai berikut:
m xk m x k xk pi
n x x pi 2 i 1
= Logaritma dari kelas panjang pada kematangannya yang pertama = Selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang = Jumlah kelas panjang = Logaritma nilai tengah panjang dimana ikan 100% matang gonad (atau dimana pi = 1) = Proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i
Nilai variance dari persamaan ini adalah: n p q Ragam x 2 i i i 1 ni 1
pi ni qi
= Proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i = Jumlah ikan pada selang kelas panjang ke-i = 1 - pi
Selang kepercayaan 95% yaitu:
m z / 2 Ragam Ukuran pertama kali matang gonad ikan (Lm) dapat diduga dengan menggunakan antilog nilai m. 3.4.9.
Mortalitas dan laju eksploitasi (E) Laju motalitas total (Z) diduga dengan menggunakan metode Jones & Van
Zalinge yang dikemas dalam program FiSat II. Nilai Z diduga dengan pendekatan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut:
ln M 0,0152 0,279 ln L 0,6543 ln K 0,436 ln T M e (ln M ) M L∞ K T
= Mortalitas alami = Panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan Von Bartanffy = Koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bartalanffy = Rata-rata suhu permukaan air (oC) Laju mortalitas penangkapan (F) dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut: F=Z–M
25
Laju
eksploitasi
ditentukan
dengan
membandingkan
mortalitas
penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984) sebagai berikut:
E F Z M
F F F M Z
= Mortalitas penangkapan = Mortalitas total = Mortalitas alami
3.4.10. Penetapan ukuran mata jaring Ukuran mata jaring yang diharapkan ditetapkan dengan rumus (Juraida 2004) sebagai berikut:
MS MS TB PB Lm
TB Lm PB
= Ukuran mata jaring = Tinggi badan ikan = Panjang baku ikan = Ukuran ikan pertama kali matang gonad
26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Distribusi Frekuensi Panjang Ikan ekor kuning yang diamati selama penelitian berjumlah 300 ekor,
dengan panjang yang bervariasi setiap pengamatan. Ukuran panjang minimum dan maksimum ikan ekor kuning yang diamati selama pengamatan adalah 110 mm dan 325 mm. Secara keseluruhan diketahui bahwa frekuensi tertinggi ikan ekor kuning jantan dan betina ada pada selang kelas 132-153 mm (Gambar 4).
Frekuensi
Jantan
Betina
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Selang Kelas Panjang (mm)
Gambar 4.
Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning (Caesio cuning) secara total
Gambar 4 memperlihatkan bahwa ikan ekor kuning jantan memiliki jumlah yang lebih banyak dibanding ikan ekor kuning betina. Menurut Lagler et al. (1977) perbedaan ukuran antar jenis kelamin ini dapat disebabkan oleh faktor genetik. Ikan yang berukuran besar memiliki frekuensi paling sedikit. Diduga ikan-ikan ini merupakan induk ikan ekor kuning pada populasi. Sebaran frekuensi ikan ekor kuning tiap waktu pengambilan contoh disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 dapat terlihat pergeseran sebaran ukuran panjang ke arah kanan. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pertumbuhan pada populasi ikan ekor kuning. Rata-rata panjang ikan ekor kuning setiap waktu pengambilan contoh adalah sebagai berikut; 14,97 cm, 15,89 cm, 16,61 cm, 17,94 cm, 18,55 cm, dan 19,91 cm.
27
Gambar 5.
Sebaran frekuensi ukuran panjang ikan ekor kuning (Caesio cuning) setiap waktu pengamatan
28
Pertambahan rata-rata panjang setiap waktu pengambilan contoh ini juga dapat mengindikasikan bahwa adanya pertumbuhan pada populasi ikan ekor kuning. Dengan adanya pertumbuhan dalam interval waktu yang singkat maka diduga bahwa ikan ekor kuning memiliki laju pertumbuhan yang relatif kecil. 4.2.
Parameter Pertumbuhan (L∞, K) dan t0 Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy (L∞ dan K) diketahui dengan
menggunakan metode Ford-Walford.
Metode Ford Walford dapat digunakan
karena data diambil pada interval waktu yang tetap yaitu dua minggu selama tiga bulan. Pada Tabel 3 disajikan parameter pertumbuhan L∞ dan K (metode FordWalford) dan umur teoritis saat panjang ikan sama dengan nol (t0). Tabel 3. Parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ikan ekor kuning (Ceasio cuning) Contoh Ikan Total Jantan Betina
Parameter Pertumbuhan K (per tahun) L∞ (mm) t0 (tahun) 0,49 334,43 -1,0449 0,49 334,43 -1,0449 0,47 334,43 -1,0911
Berdasarkan hasil analisis parameter pertumbuhan (L∞ dan K) dengan menggunakan metode ELEFAN 1 dalam program FiSAT II, serta penghitungan secara langsung nilai t0, diketahui persamaan Von Bartalanffy untuk ikan ekor kuning adalah Lt = 334,43 (1-e-0,49(t+1,0449)). Terlihat koefisien pertumbuhan ikan ekor kuning jantan lebih besar dibanding ikan ekor kuning betina. Hal ini berarti ikan ekor kuning jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibanding ikan ekor kuning betina dalam mendekati nilai L∞. Ikan jantan biasanya mempunyai nilai K yang lebih besar daripada ikan betina. Perbedaan laju pertumbuhan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor internal yakni faktor genetik dan ukuran tubuh ikan. Tabel 4 memperlihatkan perbedaan nilai parameter pertumbuhan pada waktu penelitian yang berbeda. Tabel 4. Parameter pertumbuhan ikan ekor kuning (Caesio cuning) dari dua waktu penelitian di Kepulauan Seribu Parameter Pertumbuhan Periode Pengambilan K (per tahun) L∞ (mm) Data Penelitian ini (Habibun 2011) 0,49 334,43 April – Juli 2010 Harmiyati (2009) 0,55 303,00 Maret – Mei 2009 Sumber
29
Nilai koefisien pertumbuhan yang didapat oleh Harmiyati (2009) lebih besar. Hal ini berarti pertumbuhan ikan pada saat itu lebih cepat untuk mendekati nilai L∞. Perbedaan nilai parameter pertumbuhan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni faktor internal seperti umur, parasit dan penyakit, serta faktor eksternal seperti jumlah dan ukuran makanan yang tesedia serta lingkungan perairan pada saat itu (Effendie 1997). Perbedaan parameter petumbuhan ini juga dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah ikan yang diambil saat pengambilan contoh. Pada Gambar 6 disajikan kurva pertumbuhan ikan ekor kuning dengan memplotkan umur (tahun) dan panjang teoritis (mm). 400
Lt = 334,43 (1-e-0,49(t+1,0449))
350 Panjang (mm)
300 250 200 150 100 50 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
Umur (bulan)
Gambar 6.
Kurva pertumbuhan ikan ekor kuning (Caesio cuning)
Kurva pertumbuhan (Gambar 6) menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ikan selama rentang hidupnya tidak sama. Ikan muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan tua (mendekati L∞). Kurva diatas juga menyatakan bahwa pada populasi, ikan ekor kuning akan mendekati nilai L∞ pada saat mencapai umur 8 bulan dan akan mencapai nilai L∞ pada saat mencapai umur 22 bulan. Walaupun dengan laju pertumbuhan yang kecil, ikan akan tetap mengalami pertumbuhan panjang bahkan dalam kondisi faktor lingkungan yang tidak mendukung.
Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung
walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan (Busacker et al. 1990 in Harmiyati 2009). Gambar 6 juga memperlihatkan ikan ekor kuning sudah mencapai ukuran tangkap pada umur 2 bulan.
30
Pertumbuhan kelompok ikan.
memiliki
karakteristik
tertentu
pada
masing-masing
Pada periode ini variasi yang sangat bergantung pada suplai
makanan (Nikolsky 1963).
Petumbuhan ikan dan organisme lainnya menurut
Pauly (1998) in Harmiyati (2009) didefinisikan sebagai waktu yang dihabiskan pada daerah pemangsaan yang berbeda dihubungkan dengan ukuran tubuh dan ini merupakan proses kunci dibalik sejarah hidup organisme yang lebih spesifik. 4.3.
Hubungan Panjang dan Bobot Contoh ikan ekor kuning secara total adalah sebanyak 300 ekor yang terdiri
dari 189 ekor ikan jantan dan 111 ekor ikan betina. Dalam menghitung hubungan panjang berat sebaiknya dipisahkan antara ikan jantan dengan ikan betina, karena biasanya terdapat perbedaan hasil antara kedua jenis kelamin tersebut. Pada Tabel 5 dapat dilihat persamaan dan pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning pada setiap pengamatan. Tabel 5. Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning (Caesio cuning) setiap waktu pengamatan setelah dilakukan uji-t Waktu Pengamatan I (28 April 2010) II (12 Mei 2010) III (26 Mei 2010) IV (9 Juni 2010) V (23 Juni 2010) VI (7 Juli 2010)
Persamaan Hubungan Panjang-Bobot Pola Pertumbuhan Jantan: W=5x10-6L3,143; R2=0,987; n=30 Allometrik positif Betina: W=3x10-6L3,235; R2=0,992; n=20 Allometrik positif -6 3,029 2 Jantan: W=9x10 L ; R =0,979; n=28 Isometrik Betina: W=1x10-5L2,996; R2=0,991; n=22 Isometrik -6 3,171 2 Jantan: W=4x10 L ; R =0,965; n=35 Allometrik positif Betina: W=2x10-6L3,347; R2=0,799; n=15 Allometrik positif Jantan: W=5x10-6L3,141; R2=0,975; n=32 Allometrik positif -5 2,844 2 Betina: W=2x10 L ; R =0,944; n=18 Allometrik negatif Jantan: W=3x10-6L3,229; R2=0,958; n=32 Allometrik positif -5 2,947 2 Betina: W=1x10 L ; R =0,968; n=18 Isometrik Jantan: W=8x10-6L3,025; R2=0,973; n=32 Isometrik -6 3,179 2 Betina: W=3x10 L ; R =0,979; n=18 Allometrik positif
Secara umum, hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan panjang dan bobot ikan ekor kuning memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini dibuktikan dengan nilai model observasi (R2) yang mendekati 1, atau 100%. Secara keseluruhan, hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning di wilayah perairan Kepulauan Seribu (Gambar 7) memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=2,964), yakni pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jabbar
31
(2008) dengan nilai b=3,021 dan Harmiyati (2009) dengan nilai b=3,009. Nilai b ikan ekor kuning jantan lebih besar dibanding ikan ekor kuning betina. Hal ini berarti pada selang waktu pengamatan, ikan ekor kuning betina menggunakan energi lebih besar dibanding ikan ekor kuning jantan, yang menyebabkan bentuk ikan ekor kuning jantan betina lebih langsing dan kurus. Hal ini dapat disebabkan kemungkinan ikan betina telah menghabiskan energinya untuk melakukan pemijahan sebelumnya. Menurut Bagenal (1978), faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai b selain perbedaan spesies adalah faktor lingkungan, berbedanya stok ikan dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut. Moutopoulos dan Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) in Harmiyati (2009) menambahkan bahwa perbedaan nilai b juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati. Menurut Effendie (1997) apabila nilai b sama dengan 3 (tiga) menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya. Apabila nilai b yang didapatkan lebih besar dari 3 (tiga) maka ikan tersebut dalam keadaan gemuk (montok), dimana pertambahan berat lebih cepat dari panjangnya, sedangkan apabila nilai b yang diperoleh lebih kecil dari 3 (tiga) maka ikan tersebut berada dalam kondisi kurus, dimana pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya. Pengamatan hubungan panjang berat ikan ekor kuning ternyata diperoleh hasil bahwa ikan ekor kuning termasuk dalam kategori ikan yang pertumbuhannya tidak berubah bentuk atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya.
Menurut Effendie (1997) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah faktor dalam dan faktor luar yang mencakup jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah makanan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, umur, dan ukuran ikan serta matang gonad.
32
350
♂
Bobot (gram)
300
W = 9x10-6L3,022 R² = 0,952 n=189
250 200 150 100 50 0 0
50
100
150
200
250
300
350
300
350
300
350
Panjang Total (mm)
(a)
350
♀
Bobot (gram)
300
W = 2x10-5L2,821 R² = 0,945 n=111
250 200 150 100 50 0 0
50
100
150
200
250
Panjang Total (mm)
(b)
350
W = 1x10-5L2,964 R² = 0,951 n=300
Bobot (gram)
300 250 200 150 100 50 0
0
50
100
150
200
250
Panjang Total (mm)
(c) Gambar 7.
Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning (Caesio cuning) (a) jantan, (b) betina, dan (c) secara total
33
4.4.
Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan keadaan atau komontokan ikan yang dinyatakan
dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan berat. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi dan dari segi komersil berupa kualitas dan kuantitas daging ikan untuk dikonsumsi. Faktor kondisi ikan ekor kuning berdasarkan selang kelas panjang dapat dilihat pada Gambar 8.
Faktor Kondisi
Jantan
Betina
1,60 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00
Selang Kelas Panjang (mm)
Gambar 8.
Faktor kondisi ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan selang kelas panjang
Gambar 8 memperlihatkan nilai faktor kondisi ikan ekor kuning berdasarkan selang kelas panjang di wilayah Kepulauan Seribu cenderung berfluktuatif. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan ekor kuning selama pengamatan berkisar pada 0,66-1,57. Hasil pengamatan memperihatkan faktor kondisi ikan ekor kuning betina berbeda dengan faktor kondisi ikan ekor kuning jantan. Hal ini sesuai dengan peryataan Effendie (1997) bahwa kematangan gonad dan jenis kelamin mempengaruhi nilai faktor kondisi. Faktor kondisi ikan ekor kuning betina yang lebih besar menunjukkan bahwa ikan ekor kuning betina memiliki faktor kondisi yang lebih baik dengan mengisi cell-sex untuk proses reproduksinya dibanding ikan ekor kuning jantan. Semakin tinggi nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan dengan kondisi lingkungannya. Besarnya faktor kondisi tergantung pada banyak
34
hal, antara lain umur, makanan, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (Effendie 1997). Nilai faktor kondisi ikan ekor kuning berdasarkan waktu pengamatan di wilayah Kepulauan Seribu cenderung berfluktuatif. Pada pengamatan ke III (26 Mei 2010) terlihat penurunan nilai faktor kondisi ikan ekor kuning betina (Gambar 9). Hal ini diduga ikan ekor kuning betina telah melakukan proses pemijahan, dan cenderung kembali beradaptasi dengan lingkungannya yang menyebabkan kondisi tubuh
ikan
yang
semakin
menurun
karena
pemanfaatan
energi
untuk
pertumbuhan cenderung dipakai untuk beradaptasi dengan lingkungan. Jantan
Betina
1,4 Faktor Kondisi
1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 28A
12M
26M
09JN
23JN
07JL
Waktu Penelitian
Gambar 9.
Faktor kondisi ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan waktu pengamatan
Nilai faktor kondisi ikan ekor kuning berdasarkan tingkat kematangan gonad cenderung berfluktuatif. Terlihat nilai faktor kondisi ikan ekor kuning jantan dan
betina
cenderung
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya
tingkat
kematangan gonad ikan tersebut (Gambar 10). Peningkatan nilai faktor kondisi ikan terjadi pada saat ikan mengisi gonadnya dengan sel kelamin, dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan.
35
Jantan
Betina
1,60 Faktor Kondisi
1,40 1,20 1,00 0,80
0,60 0,40 0,20 0,00 I
II
III
IV
Tingkat Kematangan Gonad
Gambar 10. Faktor kondisi ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan tingkat kematangan gonad Menurut Tamsil (2000) faktor kondisi ikan akan terus berkembang pada setiap siklusnya dan akan mencapai nilai maksimal pada TKG IV, kemudian menurun karena ikan sudah melakukan pemijahan. Akan tetapi pada kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan, penurunan faktor kondisi dapat terjadi sebelum pemijahan apabila terjadi atresia, yaitu penyerapan kembali oosit oleh tubuh ikan karena adanya gangguan dalam proses reproduksi pada tahap perkembangan gonad. 4.5.
Aspek Reproduksi
4.5.1.
Rasio kelamin Tabel 6 menyatakan bahwa pada populasi, jumlah ikan ekor kuning jantan
lebih mendominasi dibandingkan jumlah ikan ekor kuning betina. Hal ini terlihat dari nilai proporsi betina yang lebih besar dibandingkan nilai proporsi jantan. Hasil yang ada pada tabel diatas tidaklah sesuai dengan kondisi ideal yang seharusnya, yakni dengan perbandingan ikan jantan dan betina yaitu 1:1. Perbedaan dari hasil pengamatan dengan kondisi ideal ini dapat disebabkan oleh faktor tingkah laku ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhannya (Bal & Rao 1984). Selain itu perbedaan jumlah ini juga dapat disebabkan oleh adanya aktifitas selama pemijahan (Nikolsky 1963 dalam Effendie 1997). Tabel diatas juga dapat diartikan pada perairan tersebut, jumlah stok ikan ekor kuning jantan lebih banyak bila
36
dibandingkan ikan ekor kuning betina, sehingga recruitment lebih banyak ditujukkan oleh ikan ekor kuning betina. Tabel 6. Proporsi ikan ekor kuning (Caesio cuning) jantan dan betina Proporsi Jenis Kelamin Proporsi Standar Deviasi Selang Kepercayaan Jantan 0,6774 0,1020 0,5754 < p < 0,7794 Betina 0,3226 0,1478 0,1748 < p < 0,4704 Hasil uji chi-square pada selang kepercayaan 95% terhadap rasio kelamin ikan ekor kuning jantan dan ikan ekor kuning betina secara keseluruhan menunjukan hasil nyata yang menyimpulkan bahwa rasio kelamin ikan ekor kuning adalah tidak seimbang dengan perbandingan jantan:betina adalah 2,1:1. Keadaan tidak seimbangnya rasio kelamin ini dapat diduga karena ikan ekor kuning jantan dan ikan ekor kuning betina yang tidak berada dalam satu area pemijahan, sehingga peluang tertangkapnya berbeda. Melihat rasio kelamin pada Gambar 11, terlihat perbandingan jantan:betina dengan mendekati nilai 1:1 terjadi pada 28 April – 12 Mei. Diduga musim pemijahan terjadi pada selang waktu ini atau sebelumnya. Keseimbangan rasio kelamin dapat berubah disaat menjelang pemijahan. Pada waktu melakukan ruaya pemijahan, populasi ikan didominasi oleh ikan jantan, kemudian menjelang pemijahan populasi ikan jantan dan betina berada dalam kondisi seimbang, lalu didominasi oleh ikan betina. Secara keseluruhan dapat disebutkan bahwa populasi ikan ekor kuning bukan pada dalam kondisi musim pemijahan. Selain itu, tidak seimbangnya jumlah ikan jantan dan betina yang memiliki TKG IV berdasarkan waktu penelitian mengindikasikan kondisi pemijahan yang maksimal pada populasi, yakni ikan ekor kuning betina dibuahi oleh dua ikan ekor kuning jantan. Umumnya perbedaan jumlah ikan yang tertangkap oleh nelayan berkaitan dengan pola tingkah laku ruaya ikan, baik untuk memijah maupun mencari makan. Hal ini diduga karena terkait dengan proses alamiah dari strategi reproduksi ikan tersebut, yaitu jumlah ikan jantan yang lebih banyak dibutuhkan untuk memenuhi kuantitas sperma dalam menunjang keberhasilan reproduksi, meskipun belum diketahui secara pasti berapa komposisi jantan dan betina dalam pemijahan. Hal tersebut sehubungan dengan fertilisasi eksernal ikan yang memiliki faktor penghambat fertiliasasi yang sangat besar, seperti faktor lingkungan dan
37
predator, maka kuantitas sperma yang dibutuhkan untuk membuahi sel telur harus berada dalam jumlah besar. Rasio Kelamin (J/B)
7 6 5 4 3 2 1 0 28A
12M
26M
09JN
23JN
07JL
Rasio Kelamin (J/B)
Waktu Pengamatan
(a)
8 7 6 5 4 3 2 1 0
Selang Kelas Panjang (mm)
(b) Gambar 11. Rasio kelamin ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan (a) waktu pengamatan dan (b) selang kelas panjang 4.5.2.
Tingkat kematangan gonad Ikan ekor kuning, baik jantan maupun betina mencapai ukuran matang
gonad (TKG IV) pada ukuran selang kelas 176-197 mm (Gambar 12). Namun apabila dilihat secara keseluruhan, ikan ekor kuning jantan cenderung lebih cepat matang gonad dibanding ikan ekor kuning betina. Hal ini dapat diketahui dari ikan ekor kuning jantan yang sudah mencapai TKG III pada ukuran selang kelas 110-131 mm. Tingkat kematangan gonad I sampai IV untuk ikan ekor kuning jantan dapat ditemukan di setiap waktu pengamatan (Gambar 13). Namun hal ini berbeda dengan ikan ekor kuning betina. Persentase ikan ekor kuning betina dengan TKG III dan IV sangat sedikit. Bahkan pada waktu pengamatan III (26 Mei 2010) tidak
38
ditemukannya ikan ekor kuning betina dengan TKG III maupun IV. Selain itu, baik ikan ekor kuning jantan dan betina didominasi oleh ikan dengan TKG I dan II. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, hal ini dapat diduga karena pada saat pengamatan berlangsung, populasi ikan ekor kuning diduga bukan dalam
Tingkat Kematangan Gonad
kondisi musim pemijahan. 100% 90% 80%
♂
70% 60%
TKG IV
50% 40%
TKG III
30% 20%
TKG II
10%
TKG I
0%
Selang Kelas Panjang (mm)
(a) Tingkat Kematagan Gonad
100% 90% 80%
♀
70% 60%
TKG IV
50% 40%
TKG III
30% 20%
TKG II
10%
TKG I
0%
Selang Kelas Panjang (mm)
(b) Gambar 12. Tingkat kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) (a) jantan dan (b) betina berdasarkan selang kelas panjang
39
Tingkat Kematangan Gonad
100% 90% 80%
♂
70% 60%
TKG IV
50% 40%
TKG III
30%
TKG II
20%
TKG I
10% 0% 28A
12M
26M
09JN
23JN
07JL
Waktu Pengamatan
(a) Tingkt Kematangan Gonad
100%
90% 80%
♀
70% 60%
TKG IV
50% 40%
TKG III
30%
TKG II
20%
TKG I
10% 0% 28A
12M
26M
09JN
23JN
07JL
Waktu Pengamatan
(b) Gambar 13. Tingkat kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) (a) Jantan dan (b) betina berdasarkan waktu pengamatan 4.5.3.
Indeks kematangan gonad Indeks kematangan gonad (IKG) merupakan suatu informasi untuk
mengetahui perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif. Melalui IKG ini dapat dinyatakan adanya perubahan yang terjadi dalam gonad. Nilai indeks kematangan gonad ikan ekor kuning berdasarkan waktu pengamatan di wilayah Kepulauan Seribu cenderung berfluktuatif (Gambar 14). Indeks kematangan gonad ikan ekor kuning jantan dan betina memiliki nilai rata-rata yang hampir sama. Nilai IKG ikan ekor kuning betina lebih kecil dibanding ikan ekor kuning jantan
40
pada waktu pengamatan III (26 Mei 2010) dan V (23 Juni 2010). Hal ini berarti bobot gonad ikan ekor kuning betina pada saat itu lebih kecil dibanding ikan ekor kuning jantan. Jantan
Betina
Indeks Kematangan Gonad
0,02 0,015 0,01 0,005 0 -0,005 -0,01
28A
12M
26M
09JN
23JN
07JL
Waktu Pengamatan
Gambar 14. Indeks kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan waktu pengamatan Umumnya bobot gonad akan bertambah seiring dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Hal ini sesuai dengan yang disajikan pada Gambar 15. Terlihat bahwa nilai IKG ikan ekor kuning betina cenderung lebih besar dibanding ikan ekor kuning jantan. Peningkatan nilai IKG seiring dengan meningkatnya TKG merupakan hal yang lazim terjadi. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya TKG menyebabkan ukuran diameter telur dan bobot gonad juga meningkat. Meningkatnya bobot gonad menyebabkan nilai IKG meningkat. Hal ini didukung dengan pernyataan Effendie (1997) yang menyatakan bahwa bobot gonad akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut. Berdasarkan uji-t dengan perbedaan dua rata-rata yang berbeda yang menggunakan selang kepercayaan 95%, menghasilkan bahwa nilai IKG jantan tidak berbeda nyata dengan nilai IKG betina.
41
Jantan
Betina
Indeks Keatangan Gonad
0,030 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 -0,005
I
II
III
IV
Tingkat Kematangan Gonad
Gambar 15. Indeks kematangan gonad ikan ekor kuning (Caesio cuning) berdasarkan tingkat kematangan gonad 4.5.4.
Fekunditas Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan
memijah (Effendie 1997). Umumnya ikan teleostei perairan laut memiliki tingkat fekunditas tinggi, mencapai ribuan sampai jutaan setiap ikan betinanya pertahun. Ikan ekor kuning di wilayah perairan Kepulauan Seribu yang diamati memiliki kisaran 4.513-38.702 butir telur setiap satu induk betinanya. Nilai fekunditas yang tinggi ini berarti ikan ekor kuning memiliki potensi reproduksi yang tinggi pula, sehingga berpengaruh pula pada tingginya kesedian stok dan rekruitmen ikan ekor kuning. Gambar 16 memperlihatkan hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan ekor kuning yang berada di Kepulauan Seribu yang memperlihatkan nilai model observasi (R2) sebesar 0,206. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 20,6% dari keragaman nilai fekunditas ikan ekor kuning yang dapat dijelaskan oleh panjang total. Gambar 16 diatas juga menunjukkan bahwa koefisien korelasi (r) sebesar 0,454 yang berarti hubungan panjang total dan fekunditas ikan ekor kuning adalah kurang erat.
42
45000
F = 90,79L + 2249 R² = 0,206 r = 0,454
Fekunditas (butir)
40000
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 0
50
100
150
200
250
300
350
Panjang Total (mm)
Gambar 16. Hubungan panjang total dan fekunditas ikan ekor kuning (Caesio cuning) 4.5.5.
Ukuran ikan pertama kali matang gonad Berdasarkan perhitungan ukuran ikan pertama kali matang gonad dengan
menggunakan metode Sperman-Karber, ukuran ikan ekor kuning jantan pada saat pertama kali matang gonad adalah 195,55-195,60 mm, sedangkan ukuran ikan ekor kuning betina pada saat pertama kali matang gonad adalah 218,00-219,07 mm. Terlihat bahwa ikan ekor kuning jantan lebih cepat matang gonad dibanding ikan ekor kuning betina. Ukuran ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan serta strategi reproduksinya (Nasution 2004). Ukuran ikan pertama kali matang gonad mngkin dipengaruhi oleh kelimpahan dan ketersediaan makanan, suhu, periode, cahaya dan faktor lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky 1963). 4.5.6.
Diameter telur dan pola pemijahan Pola pemijahan dapat diduga dari penyebaran diameter telur ikan pada
gonad yang sudah matang, yaitu dengan melihat modus penyebarannya. Sedangkan lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Berdasarkan Gambar 18, dapat terlihat grafik memiliki satu puncak, yakni pada ukuran diameter telur 0,35-0,37 mm. Hal ini menyimpulkan bahwa ikan ekor kuning di wilayah perairan Kepulauan Seribu merupakan ikan dengan tipe
43
pemijahan total (total spawner). Artinya pemijahan ikan dilakukan dengan mengeluarkan telur masak secara keseluruhan pada satu waktu musim pemijahan, dan akan melakukan pemijahan kembali pada musim pemijahan berikutnya. 250 200
Fi
150 100 50 0
Selang Kelas Ukuran Diameter Telur (mm)
Gambar 17. Sebaran diameter telur ikan ekor kuning (Caesio cuning) Lama pemijahan pada ikan dapat diduga dari ukuran dameter telur. Jika waktu pemijahan pendek, maka semua telur masak yang ada di ovarium berukuran sama, dimana ukuran ini berbeda dengan ukuran telur pada saat folikel masih muda. Tetapi bila waktu pemijahan terus menerus pada kisaran waktu yang lama, maka ukuran telur masak yang ada dalam ovarium berbeda-beda (Hoar 1957 in Siregar 2004). 4.5.7.
Menentukan musim pemijahan Musim pemijahan berkaitan dengan waktu ikan akan memijah. Hal ini
dapat dilihat dengan adanya hubungan antara TKG, IKG, dan faktor kondisi ratarata menurut waktu penelitian. Jumlah ikan dengan tingkat kematangan gonad IV sangat sedikit ditemukan pada penelitian ini. Hal ini dapat diduga karena pada saat pengambilan contoh, populasi ikan bukan sedang dalam musim pemijahan. Namun apabila melihat dari nilai IKG, musim pemijahan dapat diduga terjadi pada tanggal 28 April atau sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada tanggal tersebut baik ikan jantan maupun ikan betina memiliki nilai IKG yang lebih tinggi dibanding waktu pengamatan lainnya. Selain itu, hal ini didukung dengan nilai faktor kondisi
44
yang cenderung stabil antara ikan jantan dan betina pada tanggal tersebut sehingga mendukung untuk melakukan pemijahan. 4.6.
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas yang dihitung adalah laju mortalitas total (Z), laju mortalitas
alami (M) dan laju mortalitas penangkapan (F). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan ekor kuning (Caesio cuning) Mortalitas Nilai (Per Tahun) Total (Z) 2,3610 Alami (M) 0,5707 Penangkapan (F) 1,7902 Laju Eksploitasi (E) 0,7582 Tabel diatas memperlihatkan bahwa nilai laju eksploitasi ikan ekor kuning di wilayah Kepulauan Seribu sudah terindikasi pada kondisi tangkap lebih (overfishing). Hal ini dikarenankan nilai laju eksploitasi (E) yang melebihi laju eksploitasi optimum yaitu 0,5. Mortalitas ikan ekor kuning didominasi dikarenakan akibat penangkapan dibanding mortalitas alami. Tingginya intensitas penangkapan ini dapat mengakibatkan panjang maksimum ikan ekor kuning yang tertangkap lebih kecil. 4.7.
Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning Berdasarkan UU Perikanan No. 31 tahun 2004, pengelolaan perikanan
adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Widodo dan Nurhakim (2002) in Suyasa (2003) mengemukakan bahwa secara umum pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk (1) menjaga kelestarian produksi,
terutama
melalui
berbagai
regulasi
serta
tindakan
perbaikan
45
(enhancement), (2) meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan, dan (3) memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut. Hasil tangkapan ikan ekor kuning selama waktu pengambilan contoh didominasi oleh ikan-ikan kecil berukuran 6-12 cm sebanyak 48%. Hasil tangkapan juga didominasi oleh ikan-ikan yang memiliki tingkat kematangan gonad rendah, yakni 44% ikan dengan TKG I dan 34% ikan dengan TKG II. Ikan-ikan yang ditangkap pun hampir 80% masih dibawah nilai dugaan ukuran ikan pertama kali matang gonad. Dari data ini diduga terdapat indikasi overfishing, yakni growth overfishing. Perlu dilakukan beberapa upaya pengelolaan sebagai tindakan pencegahan berlanjutnya pemanfaatan sumberdaya ikan ekor kuning yang berlebih dan yang cenderung menangkap ikan-ikan muda. Hal ini perlu dilakukan agar dapat menjamin produktivitas dan berkelanjutannya sumberdaya ikan ini. Beberapa tindakan dan upaya tersebut antara lain: (1) Pengaturan ukuran mata jaring muroami menjadi ukuran yang lebih besar. Hal ini dilakukan karena ikan ekor kuning yang tertangkap didominasi dengan ikan-ikan yang panjangnya dibawah ukuran ikan pertama kali matang gonad. Ukuran mata jaring yang seharusnya digunakan adalah yang hanya dapat menangkap ikan dengan yang panjang lebih dari ukuran pertama kali matang gonad. Setelah melakukan konversi panjang ikan kedalam tinggi ikan, jaring muroami yang harus digunakan ialah jaring yang memiliki ukuran mata jaring tiga inch, dengan harapan ikan ekor kuning yang tertangkap adalah ikan yang memiliki panjang lebih dari 22 cm atau tinggi lebih dari 7,6 cm. (2) Pembatasan upaya penangkapan. Hal yang dapat dilakukan dikarenakan nilai laju eksploitasi penangkapan ikan ekor kuning yang tinggi. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah berupa penetapan jumlah tangkapan maksimal harian tanpa mengurangi jumlah kapal yang beroperasi dan jumlah alat tangkap yang digunakan. Walaupun tanpa mengurangi jumlah kapal yang beroperasi, namun perlunya upaya pelarangan penambahan jumlah kapal. (3) Perlu diterapkannya sistem buka tutup suatu lokasi penangkapan ikan ekor kuning, yakni dilakukannya penutupan daerah penangkapan operasi pada bulan Februari-April di daerah perairan dangkal, dengan asumsi pada daerah tersebut merupakan tempat memijahnya ikan ekor kuning.
46
(4) Perlu adanya konsistensi dan komitmen dari semua pihak, baik dari pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga terkait lainnya terkait dalam hal pengawasan, penegakan hukum, dan pengelolaan.
47
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.
Pola pertumbuhan ikan ekor kuning di wilayah Perairan Kepulauan Seribu adalah bersifat isometrik, dengan ikan ekor kuning jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibanding ikan ekor kuning betina.
2.
Rasio kelamin ikan jantan-betina setiap pengambilan contoh adalah tidak seimbang dengan perbandingan jantan:betina adalah 2,1:1
3.
Ikan ekor kuning jantan lebih cepat matang gonad dibanding ikan ekor kuning betina dengan ukuran pertama kali matang gonad adalah 195,55195,60 mm (ikan jantan) dan 218,00-219,07 mm (ikan betina).
4.
Ikan ekor kuning memiliki fekunditas yang tinggi yang menunjukkan potensi reproduksi yang cukup tinggi sehingga diduga tingkat rekruitmen ikan juga tinggi selama jumlah induk dewasa yang matang gonad tersedia dengan memadai.
5.
Berdasarkan pola pemijahannya, ikan ekor kuning termasuk total spawner.
6.
Musim pemijahan ikan ekor kuning di wilayah Perairan Kepulauan Seribu diduga terjadi pada bulan Februari-April.
7.
Mortalitas ikan ekor kuning didominasi akibat upaya penangkapan dengan laju eksploitasi yang tinggi yakni 0,7582.
5.2.
Saran Agar ketersediaan ikan dewasa yang sudah matang gonad memadai untuk
menjaga kelestarian sumberdaya dan menyeimbangi potensi reproduksi yang tinggi, diperlukan dilakukannya berbagai upaya pengelolaan. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan terkait dengan kajian biologi reproduksi ikan ekor kuning di wilayah perairan Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu yang lebih mendalam pada musim pemijahan serta perlu adanya kajian struktur populasi ikan ekor kuning agar dapat diketahui letak penangkapan ikan yang baik pada musim-musim tertentu.
48
DAFTAR PUSTAKA Adisti. 2010. Kajian biologi reproduksi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838) di Perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 64 hlm. Affandi R & Tang UM. 2002. Fisiologi hewan air. Unri Press. Pekanbaru. 108 hlm. Bagenal T. 1978. Methods for assessment of fish production in freshwater. Third edition. Blackwell Scientific Publications. Oxford. 365 p. Effendie MI. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hlm. Fujaya Y. 2004. Fisiologi ikan dasar pengembangan teknologi perikanan. Rineka Cipta. Jakarta. Harmiyati D. 2009. Analisis hasil tangkapan sumberdaya ikan ekor kuning (Caesio cuning) yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 71 hlm. Jabbar MA. 2008. Pengelolaan sumberdaya perikanan ekor kuning (Caesio cuning) di perairan Kepulauan Seribu. Institut Teknologi Bandung. Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan Hidup Tropika SITH ITB. Bandung. Abstrak [terhubung berkala]. http://www.sith.itb.ac.id/abstract/s2/ 2008-S2MeuthiaAulaJabbar. [17 Desember 2009] Jennings S, Kaiser MJ, Reynolds JD. 2001. Marine fisheries ecology. Blackwell Science Ltd. Oxfords, London. Juraida. 2004. Beberapa aspek biologi reproduksi ikan tetet (Johnius belangerii C.V.) di Perairan Pantai Mayangan, Pamanukan, Jawa Barat [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. King M. 1995. Fisheries biology; assessment & management. Fishing News Books in UK. 341 p. Makmur S & Prasetyo D. 2006. Kebiasaan makan, tingkat kematangan gonad, dan fekunditas ikan haruan (Channa striata Bloch), di Suaka Perikanan Sungai Sambujur, DAS Barito, Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan Indonesia 13(1):27 – 31.
49
Mallawa A. 2006. Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan dan berbasis masyarakat. p. 1-4. In: Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II 9-10 September 2006, Selayar, Sulawesi Selatan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanudin, Makassar. Moyle PB & Cech JJ. 1988. Fishes an introduction to ichthyology 2nd edition. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Najamuddin, Mallawa A, Budimawan, & Indar MYN. 2004. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan layang deles (Decapterus macrosoma Bleeker). Jurnal sains & teknologi 4(1):1-8 Nasution SH. 2004. Karakteristik reproduksi ikan endemic Rainbow Selebensis (Telmatherina celebensis Boulenger) [disertasi]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nggajo R. 2009. Keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning (Caesio cuning) dengan karakteristik habitat pada ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 90 hlm. Nikolsky GV. 1963. The ecology of fishes. Academic Press. London & New York. 203 p. Pauly D. 1983. Studying single species dynamic in a tropical multispecies contex, p 33-70. in D. Pauly & G. I Murphy (editor). Theory and management of tropical fisheries. Proceedings of the ICLRAM/CSRIO, Workshop on the theory & management of tropical multispecies stocks, 12-21 January 1981. Cronulla, Australia. [Pemprov DKI Jakarta] Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2008. Laporan tahunan 2008 Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administrasi Kapulauan Seribu. Jakarta. 48 hlm. Schreck CB & Moyle PB, (editor). 1990. Methods for fish biology. American Fisheries Society. Maryland, USA. 684 p. Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan analisis data perikanan dan kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar RPA. 2004. Aspek biologi reproduksi induk ikan patin kunyit (Pangasius kunyit) di perairan Sungai Kampar, Propinsi Riau [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sjafei DS, Rahardjo MF, Affandi R, Brodjo M, Sulistiono. 1992. Fisiologi ikan II, reproduksi ikan. IPB Press.
50
Sparre P & Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan BangsaBangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Suyasa IN. 2003. Pengelolaan sumberdaya ikan Indonesia (pendekatan normatif) [makalah]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [terhubung berkala]. http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/nyoman_ soeyasa.htm. [25 Oktober 2010]. Tamsil A. 2000. Studi beberapa karakteristik reproduksi prepemijahan dan kemungkinan pemijahan ikan bunjo (Glossogobius Cf aureus) di Danau Tempe dan Danau Sindenreng, Sulawesi Selatan [disertasi]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole RE. 1995. Pengantar statistika, Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 hlm. Weatherley, AH. 1972. Growth and ecology of fish population. Academic Press. London. www.fishbase.org. Caesio cuning. [terhubungberkala]. http://www.fishbase.org /summary/Speciessummary.phpid=919.htm [5 Januari 2011]. www.kepulauanseribu.net. GAMBARAN UMUM Kabupaten Adm_ Kepulauan Seribu.[terhubung berkala]. http://www.kepulauan seribu.net. GAMBARAN UMUM Kabupaten Adm_ Kepulauan Seribu.htm [15 Februari 2010].
51
LAMPIRAN
52
Lampiran 1. Alat-alat dan bahan yang digunakan
53
Lampiran 1 (Lanjutan)
54
Lampiran 2. Sebaran frekuensi panjang ikan ekor kuning pada tiap pengamatan
12
10
10
8
8 Fi
14
12
Fi
14
6
6
4
4
2
2
0
0
Selang Kelas Panjang
Selang Kelas Panjang
I
II 12
10
10
8
8 Fi
14
12
Fi
14
6
6
4
4
2
2
0
0
Selang Kelas Panjang
Selang Kelas Panjang
III
IV 12
10
10
8
8 Fi
14
12
Fi
14
6
6
4
4
2
2
0
0
Selang Kelas Panjang
V
Selang Kelas Panjang
VI
55
Lampiran 3. Pendugaan pertumbuhan dengan metode ELEFAN I yang dikemas dalam progam FiSAT II
Untuk nilai t0 menggunakan persamaan empiris Pauly 1984: log(-t0) = 0,3922 – 0,2752 (log L∞) – 1,038 (log K) log(-t0) = 0,3922 – 0,2752 (log 334,43) – 1,038 (log 0,490) t0 = -1,0449
56
Lampiran 3 (Lanjutan)
Untuk nilai t0 menggunakan persamaan empiris Pauly 1984: log(-t0) = 0,3922 – 0,2752 (log L∞) – 1,038 (log K) log(-t0) = 0,3922 – 0,2752 (log 334,43) – 1,038 (log 0,490) t0 = -1,0449
57
Lampiran 3 (Lanjutan)
Untuk nilai t0 menggunakan persamaan empiris Pauly 1984: log(-t0) = 0,3922 – 0,2752 (log L∞) – 1,038 (log K) log(-t0) = 0,3922 – 0,2752 (log 334,43) – 1,038 (log 0,470) t0 = -1,0911
58
Lampiran 4. Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning pada tiap pengamatan 120
140
5E-06x3,143
y= R² = 0,9876
100
120 100 Bobot
80 Bobot
y = 3E-06x3,2352 R² = 0,992
60 40
80 60 40
20
20
0
0 0
50
100
150
200
250
0
50
100
Panjang Total
250
I (Jantan)
180
160
160
120
y = 1E-05x2,9968 R² = 0,991
140
y = 9E-06x3,0298 R² = 0,9791
140
120 100
100
Bobot
Bobot
200
Panjang Total
I (Jantan)
80
80 60
60
40
40
20
20 0
0 0
50
100
150
200
250
0
50
Panjang Total
100
150
200
250
Panjang Total
II (Jantan)
II (Betina)
300
45
4E-06x3,1716
y= R² = 0,9656
250
y = 2E-06x3,3478 R² = 0,7992
40 35 30 Bobot
200 Bobot
150
150 100
25 20 15 10
50
5
0
0 0
50
100
150
200
Panjang Total
III (Jantan)
250
300
350
0
50
100 Panjang Total
III (Betina)
150
200
59
Lampiran 4 (Lanjutan) 350
250
5E-06x3,1415
y= R² = 0,9752
300
200
Bobot
Bobot
250
y = 2E-05x2,8448 R² = 0,9449
200
150
150
100
100 50
50 0
0 0
50
100
150
200
250
300
350
0
50
100
Panjang Total
250
300
IV (Jantan)
300
300
250
y = 1E-05x2,9474 R² = 0,9687
250
y = 3E-06x3,2291 R² = 0,958
200 Bobot
200 Bobot
200
Panjang Total
IV (Jantan)
150
150
100
100
50
50
0
0 0
50
100
150
200
250
300
350
0
50
100
Panjang Total
150
200
250
300
350
300
350
Panjang Total
V (Jantan)
V (Betina)
250
350
y = 3E-06x3,1796 R² = 0,9792
300
200
8E-06x3,0254
y= R² = 0,9739
150
250 Bobot
Bobot
150
100
200 150 100
50
50
0
0 0
50
100
150 Panjang Total
VI (Jantan)
200
250
300
0
50
100
150
200
Panjang Total
VI (Betina)
250
60
Lampiran 5. Faktor kondisi ikan ekor kuning Selang Kelas 110 - 131 132 - 153 154 - 175 176 - 197 198 - 219 200 - 241 242 - 263 264 - 285 286 - 307 308 - 329
FK Min 0,7366 0,6605 0,6708 0,9648 0,7295 0,7675 0,8129 0,8596 0,8779
Jantan FK FK RataMax Rata 1,4410 1,0666 1,2267 0,9780 1,1129 0,8024 1,2514 1,0880 1,5234 1,0830 1,2677 0,9692 1,1342 0,9888 1,1531 1,0163 1,2356 1,0168
STDEV 0,1430 0,1514 0,1212 0,0890 0,1987 0,1661 0,1104 0,0991 0,1542
FK Min 0,8548 0,9189 0,8307 1,1937 0,9496 0,9971
Betina FK FK RataMax Rata 1,3042 1,2064 0,9189 1,2865 1,4739 1,0066 1,5481 1,3630 1,5710 1,2403 1,3625 1,1491
1,3732 1,1073
1,4136 1,2033
1,3934 1,1553
STDEV 0,1158 0,1339 0,1940 0,1138 0,2502 0,1330
0,0285 0,0678
61
Lampiran 6. Tingkat kematangan gonad ikan ekor kuning Selang Kelas 110 - 131 132 - 153 154 - 175 176 - 197 198 - 219 200 - 241 242 - 263 264 - 285 286 - 307 308 - 329
TKG I 29 37 14 1 2
TKG II 2 7 11 8 12 13
Jantan TKG III 4 1 3 8 12 2 1 1
TKG IV
2 2 3 4 7 3
TKG I 24 18 4 1 3
TKG II 2 19 15 4 3 5 1
Betina TKG III
2
TKG IV
2 2 1 1 2 2
62
Lampiran 7. Indeks kematangan gonad ikan ekor kuning Selang Kelas 110 - 131 132 - 153 154 - 175 176 - 197 198 - 219 200 - 241 242 - 263 264 - 285 286 - 307 308 - 329
IKG Rata-Rata 0,0057 0,0022 0,0028 0,0057 0,0043 0,0043 0,0086 0,0078 0,0068
Jantan STDEV 0,0114 0,0025 0,0027 0,0051 0,0038 0,0031 0,0042 0,0031 0,0041
IKG Rata-Rata 0,0019 0,0027 0,0047 0,0098 0,0064 0,0034 0,0008 0,0073 0,0078 0,0060
Betina STDEV 0,0009 0,0015 0,0028 0,0117 0,0093 0,0021
0,0001 0,0005
63
Lampiran 8. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan ekor kuning betina dengan metode Sperman Karber Selang Kelas (B) 110 - 131 132 - 153 154 - 175 176 - 197 198 - 219 200 - 241 242 - 263 264 - 285 286 - 307 308 - 329 Total Rata Rata
Nt fi (Ni) TKG IV (Nb) LOG Nt (Xi) Nb/Ni (Pi) X(i+1)-Xi 1-Pi (Qi) Pi * Qi Ni - 1 Pi*Qi/Ni-1 120,5 35 0 2,0810 0 0,0728 1 0 34 0 142,5 45 0 2,1538 0 0,0624 1 0 44 0 164,5 25 0 2,2162 0 0,0545 1 0 24 0 186,5 13 2 2,2707 0,1538 0,0484 0,8462 0,1302 12 0,0108 208,5 23 2 2,3191 0,0870 0,0436 0,9130 0,0794 22 0,0036 230,5 30 3 2,3627 0,1000 0,0396 0,9000 0,0900 29 0,0031 252,5 6 4 2,4023 0,6667 0,0363 0,3333 0,2222 5 0,0444 274,5 8 7 0,0335 0,1250 0,1094 7 0,0156 2,4385 0,8750 296,5 4 3 2,4720 0,7500 0,0311 0,2500 0,1875 3 0,0625 318,5 0 0 2,5031 189
21
M (panjang ikan pertama kali matang gonad sebesar antilog M)
M xk
d 0,0469 d Pi 2,4385 0,0469 2,6325 2,3385 2 2
Antilog M = 102,3385 = 218,0340 mm
2,6325
0,4221 0,0469
0,1401 0,0156
64
Lampiran 9. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan ekor kuning jantan dengan metode Sperman Karber Selang Kelas (B) 110 - 131 132 - 153 154 - 175 176 - 197 198 - 219 200 - 241 242 - 263 264 - 285 286 - 307 308 - 329 Total Rata Rata
Nt fi (Ni) TKG IV (Nb) LOG Nt (Xi) Nb/Ni (Pi) X(i+1)-Xi 1-Pi (Qi) Pi * Qi Ni - 1 Pi*Qi/Ni-1 120,5 26 0 2,0810 0 0,0728 1 0 25 0 142,5 37 0 2,1538 0 0,0624 1 0 36 0 164,5 19 0 2,2162 0 0,0545 1 0 18 0 186,5 9 2 2,2707 0,2222 0,0484 0,7778 0,1728 8 0,0216 208,5 8 2 2,3191 0,2500 0,0436 0,7500 0,1875 7 0,0268 230,5 6 1 2,3627 0,1667 0,0396 0,8333 0,1389 5 0,0278 252,5 1 0 2,4023 0 0,0363 1 0 0 0 274,5 1 1 0,0335 0 0 0 0 2,4385 1 296,5 2 2 2,4720 1 0,0311 0 0 1 0 318,5 2 2 2,5031 0 0 1 1 0 111 10 3,6389 0,4221 0,0762 0,0469 0,0076
M (panjang ikan pertama kali matang gonad sebesar antilog M)
M xk
d 0,0469 d Pi 2,4385 0,0469 3,6389 2,2913 2 2
Antilog M = 102,2913 = 195,5783 mm
65
Lampiran 10. Pendugaan mortalitas total (Z) dengan menggunakan metode Jones & Van Zelinge yang dikemas dalam progam FiSAT II
66
Lampiran 11. Pendugaan mortalitas alami (M) dengan menggunakan rumus empiris Pauly yang dikemas dalam progam FiSAT II