BAB I - Program Pasca Sarjana - Universitas Udayana

15 downloads 213 Views 199KB Size Report
Eratnya kaitan antara hukum adat dan agama, sebenarnya telah pernah ... Di dalam beberapa pustaka tentang hukum adat Bali banyak disebutkan bahwa.
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, masyarakatnya hidup dalam suatu himpunan organisasi kemasyarakatan dengan sistem budaya yang berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat yang ada yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilai-nilai

keagamaan.

Eratnya kaitan antara hukum adat dan agama, sebenarnya telah pernah dikemukakan oleh Van Vollenhoven, di mana dikemukakan bahwa hukum adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh agama Hindu demikian kuatnya ke dalam adat istiadat.1 Di dalam beberapa pustaka tentang hukum adat Bali banyak disebutkan bahwa hukum adat di Bali , diwarnai oleh unsur agama khususnya agama Hindu. Hal ini kiranya dapat dipahami, misalnya seperti apa yang dikemukakan Hazairin, pulau Bali karena terisolasi dalam jangka waktu yang cukup lama dari pengaruh-pengaruh luar, maka perkembangan agama Hindu dan Budha begitu mendalam dan bahkan merembet ke dalam adat dengan begitu hebatnya, sehingga antara adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan lagi. Demikian juga Soekanto menulis, bahwa desa adat di Bali adalah persekutuan hukum territorial , dimana warga desa 1 Van Vollenhoven 1981. Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van Het Adatrecht), terj. Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI, Jakarta : Djambatan, hal.131

2

bersama-sama mempunyai kewajiban dan bersama-sama mempunyai kemauan untuk membersihkan wilayah desa bagi keperluan-keperluan berhubung dengan agama. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan dan tata pikir serta pola tingkah laku masyarakat adat di Bali selalu berkait dengan kepercayaannya terhadap agama, yaitu agama Hindu. Dari kenyataan ini, tidaklah berkelebihan apabila dikatakan bahwa hukum adat di Bali sebenarnya juga bersumber dari kitab “Weda” sebagai kitab suci agama Hindu.2 Keterkaitan antara adat dengan agama di Bali nampak jelas dari pola penyelesaian delik adat selalu dikaitkan pelaksanaan ritual keagamaan, dalam artian pula bahwa ketaatan masyarakat adat di Bali pada hukum adatnya tidak hanya dikokohkan oleh sanksi yang bersifat lahiriah, tetapi juga sanksi yang bersifat batiniah. Salah satu contoh konkrit keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama, adalah tata cara penjatuhan “sanksi adat” untuk delik-delik adat tertentu yang pelaksanaannya banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan ritual adat keagamaan tertentu. Semua ini tentunya dilandasi dan berhubungan pula dengan nilai dasar filosofis reaksi adat, yakni untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat karena perasaan kotor (“leteh”).3 Dalam pola pikir masyarakat adat di Bali hampir semua kejadian dapat dilihat sebagai suatu ‘pertanda’ akan terjadinya sesuatu kejadian yang bersifat positif ataupun negatif. Pola pikir ini telah mengakar bahkan ‘mengkultur’ dengan kuatnya serta melandasi hidup dan kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan pemenuhan kewajiban adat sampai dewasa ini masih tetap eksis, walaupun 2

Dikutip dari Tjokorda Raka Dherana 1994. ”Pengenalan Bahan-bahan Hukum Adat Bali dalam Menunjang Pembinaan Hukum Nasional” dalam Kertha Patrika Edisi Khusus dalam rangka Lustrum VI FH UNUD, Denpasar : Fakultas Hukum UNUD, hal 32 3 I Gusti Ketut Ariawan 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adat Bali Dalam Rangka Pembentukan Hukum Pidana Nasional” , Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Jakarta, hal.10

3

terhadap kasus tersebut telah diselesaikan lewat mekanisme peradilan pidana. Dijatuhkannya sanksi adat, sangatlah tergantung pada sensitif atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan. Memang, dalam praktek peradilan di Bali tidak banyak ditemukan putusan hakim yang menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat, padahal di satu sisi masyarakat adat menghendaki dijatuhkannya pidana pemenuhan kewajiban adat. Dalam kasus-kasus yang menghendaki dijatuhkannya pemenuhan kewajiban adat tentunya

hakim akan terbentur pada ketentuan Pasal 10 KUHP, yang tidak

menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Secara normatif, Pasal 5 ayat (3) sub b UU No.1 Drt/ 1951 memungkinkan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat, namun dalam praktek hal tersebut sangat jarang dilakukan. Untuk jelasnya berikut dikutip Pasal 5 ayat (3) sub.b UU No.1 Drt/1951 sebagai berikut : Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, adat tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : − bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan terhukum. − bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksudkan di atas , maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas. − bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana

4

Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut” Kesimpulan yang dapat dikemukakan dengan melihat rumusan pasal tersebut di atas adalah : 1. Delik adat yang tidak ada bandingannya dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang sifatnya berat, ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai pengganti hukuman adat yang tidak dijalani oleh terhukum. 2. Delik adat yang mempunyai bandingan dengan KUHP, maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP. 3. Menurut UU No.1 Drt Tahun 1951, sanksi adat dapat pula dijadikan pidana pokok oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara adat, yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak mempunyai bandingan dalam KUHP. Dengan demikian, sebenarnya ada kewajiban bagi hakim untuk menggali, mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut di atas merupakan landasan yang mewajibkan serta memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi adat. Hanya saja persoalannya, penjatuhan sanksi adat (di luar ketentuan Pasal 10 KUHP) hanya bisa dijatuhkan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai bandingannya dalam KUHP. Pasal 27 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum juga disebutkan bahwa : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup” Sedangkan dalam kenyataannya, ada beberapa perbuatan yang dilarang dan diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut untuk melakukan upaya adat. Di Bali misalnya, yang termasuk perbuatan ini adalah pencurian benda-benda untuk keperluan upacara keagamaan, atau pencurian benda-benda sakral.

5

Dalam simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana yang diselenggarakan atas kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana, pada tanggal 17 - 19 Maret 1975 di Denpasar, terungkap bahwa di beberapa daerah yang masih mengenal hukum pidana adat, dalam beberapa kasus adat masih menghendaki adanya pemenuhan kewajiban adat sebagai upaya pemulihan. Karena bagaimanapun juga, dalam beberapa kasus delik adat yang dari kacamata hukum formal tidak lebih dari sekedar perbuatan kriminal biasa tetapi dari kacamata adat, kasus tersebut tidak dapat terselesaikan secara tuntas lewat mekanisme peradilan pidana, dalam artian pidana yang dijatuhkan oleh hakim belumlah mampu mengembalikan keseimbangan ‘kosmos’ yang diakibatkan oleh suatu delik adat. Delik adat, dalam pandangan masyarakat adat di Bali, tidak saja mengakibatkan kerugian materiil tetapi juga kerugian immateriil. Kerugian immateriil memerlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan membebankan suatu kewajiban bagi pelanggarnya dalam bentuk penyelenggaraan ritual-ritual adat tertentu yang bertujuan untuk memulihkan ketidakseimbangan masyarakat dari perasaan kotor (“leteh”), yang oleh masyarakat adat selalu ditempuh upaya pemulihannya. Bahwa dalam lingkungan desa adat di Bali telah melembaga dengan kokohnya suatu keyakinan bahwa terjadinya pelanggaran norma adat yang belum terselesaikan menurut ketentuan hukum adat yang berlaku, akan dapat menimbulkan gangguan yang menyebabkan menderitanya ‘krama adat’. Untuk itu, diperlukan suatu langkah-langkah pemulihan, dengan membebankan suatu kewajiban bagi pelanggarnya dalam bentuk penyelenggaraan ritual-ritual adat tertentu yang bertujuan untuk ketidakseimbangan masyarakat dari perasaan kotor (“leteh”).

memulihkan

Dengan pemaparan

6

tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesaian kasus-kasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut pandangan masyarakat (“krama”) desa adat di Bali, belum menyelesaikan permasalahannya secara tuntas. Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai akibat adanya pelanggaran norma adat. Terpolanya cara-cara penyelesaian kasus-kasus delik adat dalam paparan di atas, merupakan alasan kuat yang melandasi perlunya penelitian ini, dan sekaligus juga sebagai usaha untuk menggali nilai-nilai budaya guna diangkat ke permukaan dalam rangkaian usaha pembentukan hukum pidana tanpa meninggalkan budaya hukum masyarakat. Paparan di atas secara asumtif menggambarkan pula bahwa pembaharuan hukum pidana di Indonesia pada hakikatnya berhadapan dengan permasalahanpermasalahan yang bertalian dengan pemidanaan delik adat. Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang

mendesak, sebagai akibat KUHP yang selama ini diberlakukan

merupakan produk hukum peninggalan kolonial (WvS/Wetboek van Strafrecht) yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU No.1/1946 jo. UU No.73/1958. Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana tidak saja meliputi alasan yang bersifat politis (kebanggaan nasional untuk memiliki KUHP sendiri), alasan sosiologis (merupakan tuntutan sosial untuk memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional) dan alasan praktis (adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia). Selain ketiga alasan tersebut di atas, masih terdapat pula alasan yang tidak kalah pentingnya, yaitu alasan adaptif, yakni KUHP nasional mendatang hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional

7

yang telah disepakai oleh masyarakat beradab.4 Pertimbangan lain, sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana. Dalam kaitannya dengan semua permasalahan tersebut di atas, Barda Nawawi Arief juga pernah mengemukakan bahwa, KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia merupakan warisan zaman kolonial dan berasal dari keluarga/sistem hukum kontinental (“civil law system”) yang lebih menonjolkan paham “individualism, liberalism dan individual right”5 Apa yang dikemukakan Barda Nawawi Arief tersebut di atas, secara jelas nampak dalam RUU tentang “Asas-asas dan Dasar-dasar Pokok Tata Hukum Pidana dan Hukum Pidana Indonesia” sebagai rancangan konsep

KUHP

pertama, di mana dalam penjelasan umum RUU tersebut ditegaskan : Walaupun UU No. 1 tahun 1946 telah berusaha menyesuaikan-peraturan-peraturan hukum pidana dengan suasana kemerdekaan, namun pada hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana masih tetap dilandaskan pada ilmu hukum dan praktek hukum pidana kolonial, yang mewajibkan adanya konkordansi dengan yang ada di negeri Belanda. ........... Mungkin disadarilah, bahwa UU No.1 tahun 1946 adalah hukum peralihan, yang ........... mewajibkan, supaya asas-asas dan dasar-dasar yang lama diuji, ........, akan tetapi ........ pengujian itu berjalan sangat lambat atau sama sekali tidak memuaskan ........ Hal ini mengakibatkan bahwa pada hakikatnya asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana kolonial masih tetap bertahan dengan selimut dan wajah Indonesia 6 Dari penjelasan umum RUU tersebut tersimpul suatu gambaran bahwa, asas-asas dan dasar-dasar tata hukum pidana dan hukum pidana yang diberlakukan selama ini di 4

Muladi 1990.,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 3 5 Barda Nawawi Arief 1994., “Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana” Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Tanggal 25 Juni 1994, hal. 6 6 Ibid., hal. 6 dan 7

8

Indonesia masih tetap dilandaskan pada ilmu hukum dan praktek hukum pidana kolonial. Menyadari keadaan tersebut, maka perlu langkah-langkah pengujian kembali asas-asas dan dasar-dasar hukum pidana lewat badan-badan peradilan. Hal tersebut memberikan suatu gambaran kedudukan peradilan sebagai penyelenggara dan pembentuk hukum, karena di sini peradilan berkedudukan sebagai “the centre of legal creature” dan kedudukan hakim adalah figur yang sangat menentukan, hukum macam apa yang akan diberlakukan. Hakim di dalam melakukan tugas-tugasnya tidaklah mungkin harus selalu bertumpu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, tetapi harus pula memperhatikan setiap kejadian atau peristiwa konkrit serta nilai-nilai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, termasuk pula dalam masalah pidana dan pemidanaan. Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana, berkaitan erat dengan aspek sosio-politik, aspek sosio-filosofis dan aspek sosio-kultural ataupun dari berbagai aspek kebijakan, baik

kebijakan sosial, kebijakan kriminal maupun kebijakan penegakan

hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan

berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakangi

perlunya pembaharuan hukum pidana. Dari kenyataan ini pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan re-orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan pendekatan yang

9

berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”). Pembaharuan dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan, yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial. Dalam setiap langkah kebijakan (policy), terkandung pula pertimbangan nilai. Dari kenyataan inilah pembaharuan hukum pidana,

di samping

harus mempertimbangkan

pendekatan

nilai,

juga harus

mempertimbangkan pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kebijakan 7 Bertolak dari sifat hakiki permasalahan

sebagaimana diuraikan di atas

tersebutlah yang pada hakikatnya menjadi latar belakang utama perlunya pembaharuan hukum pidana, sehingga

pembaharuan hukum pidana di Indonesia, saat ini sudah

dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, akibat KUHP (baca WvS/Wetboek van Strafrecht) yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU No.1 / 1946 jo. UU No. 73 / 1958 tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Pertimbangan lain, sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai pengaruh terhadap hukum pidana. Keberadaan hukum pidana adat dalam kenyataan masyarakat di beberapa daerah tertentu di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan keberadaan sanksi adat, yang memberikan warna kehidupan hukum pidana adat sebagai mekanisme kontrol sosial yang tumbuh dan berkembang di alam tradisi masyarakat yang bersangkutan. 7

Untuk

Barda Nawawi Arief 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,,Bandung : PT Citra Aditya Bakti, hal. 30-31

10

itulah dalam mengantisipasi tuntutan masyarakat yang di dalam beberapa kasus-kasus delik adat menghendaki adanya upaya pemulihan, maka perumusan asas legalitas secara materiil sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) rancangan KUHP 2008 diikuti pula dengan merumuskan “pemenuhan kewajiban adat” sebagai salah satu jenis pidana tambahan. Berbeda dengan KUHP sekarang, di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dirumuskan tentang “tujuan dan pedoman pemidanaan”. Dirumuskannya hal ini bertolak dari pokok pemikiran : 1)

Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan

(purposive system) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan; 2)

Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub sistem) dari keseluruhan

sistem pemidanaan (sistem hukum Pidana) di samping sub sistem lainnya, yaitu sub sistem “tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana” “kesalahan, dan “pidana”; 3)

Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi

pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofi, rasionalitas, motivasi dan jastifikasi pemidanaan; 4)

Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan

suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislati), tahap “aplikasi”

(kebijakan

judisial/judikatif),dan

tahap

“eksekusi”

(kebijakan

administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan

11

antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan dan tujuan serta pedoman pemidanaan. RKUHP 2008 dalam Pasal 54 merumuskan tujuan pemidanaan sebagai berikut : (1) Pemidanaan bertujuan untuk : a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dilihat dari perumusan tujuan pemidanaan dalam rancangan tersebut, nampak ada usaha-usaha untuk menggabungkan teori pemidanaan, baik yang bersifat pencegahan umum maupun pencegahan yang bersifat khusus (general prevention dan special prevention), teori tentang perlindungan masyarakat (social defence), teori kemanfaatan (utilitarian theory) serta tujuan ‘penghukuman’ menurut hukum adat. Dalam rumusan tujuan pemidanaan yang dalam rancangan

KUHP seperti

tersebut di atas, bila dilihat dari konteks perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat, tercermin dalam rumusan Pasal 54 ayat (1) huruf a. bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Aspek perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya pelaku, tercermin dalam rumusan Pasal 54 ayat (1) huruf b. yang merumuskan bahwa tujuan

12

pemidanaan adalah untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. Di samping aspek perlindungan masyarakat di atas, juga dirumuskannya aspek perlindungan masyarakat demi adanya keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan serta nilai-nilai yang terganggu karena adanya tindak pidana. Untuk itu tujuan pemidanaan juga dirumuskan untuk penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Tujuan ini mengandung makna pemidanaan menurut hukum adat sebagai upaya pemulihan keseimbangan. Di samping itu, juga dirumuskan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Di dalam rumusan ini sebenarnya

terkandung tujuan pembalasan, pengimbalan atau retribusi, sebab hakikat pemidanaan adalah nestapa atau penderitaan sebagai wujud pernyataan pencelaan moral dari masyarakat. Pengenaan pidana dimaksudkan untuk membebaskan rasa bersalah pada terpidana, merupakan penebusan dosa atas kesalahan yang dilakukan dan memulihkan keseimbangan. Dengan demikian aspek pembalasan

yakni teori expiation juga

mewarnai rumusan tujuan pemidanaan dalam konsep KUHP. Konsep pemikiran dari teori expiation inilah menampakkan suatu persamaan dengan konsep pemikiran dalam penjatuhan “sanksi” yang dikenal dalam hukum pidana adat. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofi, rasionalitas, motivasi dan jastifikasi pemidanaan. Untuk itu tim perumus mencantumkan secara ekplisit pedoman pemidanaan secara umum dalam ketentuan Pasal 55 dan 56 RKUHP. Pedoman pemidanaan ini masih dilanjutkan dengan

13

perumusan pedoman penerapan pidana, baik penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal maupun penerapan pidana dengan perumusan alternatif (Pasal 58 – 60 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) 2008). Dengan dimasukkannya pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana tambahan dalam rancangan KUHP 2008

nampak adanya upaya untuk

memfungsionalisasikan nilai-nilai hukum adat khususnya “sanksi adat” sebagai sarana penanggulangan kejahatan di Indonesia. Dari pemikiran sosiologis, pemikiran tersebut di atas sangatlah didukung, karena alam tradisional Indonesia bersifat “kosmis” yang meliputi segala-galanya sebagai suatu totalitas. Manusia adalah bagian dari alam, tidak ada pemisahan dari pelbagai lapangan hidup, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dengan dunia gaib dan tidak ada pula pemisahan antara manusia dengan makhlukmakhluk lain. Apabila hal tersebut kita kaitkan dengan tujuan pemidanaan, mau tidak mau membawa kita pada pemahaman dengan pendekatan multi dimensi yang bersifat sangat mendasar terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu sendiri. Dengan mendasarkan pada pandangan di atas, maka setiap tindak pidana

akan

dipandang sebagai gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan serta keseimbangan masyarakat,

sehingga

tujuan pemidanaan harus dirumuskan untuk memperbaiki

kerusakan, baik yang bersifat individual, maupun yang bersifat sosial. Dalam pola pikir masyarakat adat di Bali hampir semua kejadian dapat dilihat sebagai suatu ‘pertanda’ akan terjadinya sesuatu kejadian yang bersifat positif ataupun negatif. Pola pikir ini telah mengakar bahkan ‘mengkultur’ dengan kuatnya serta melandasi hidup dan kehidupan masyarakat adat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan pemenuhan kewajiban adat sampai dewasa ini masih

14

tetap

dilaksanakan, walaupun kasus tersebut telah diselesaikan lewat mekanisme

peradilan pidana. Dijatuhkannya sanksi adat, sangatlah tergantung pada sensitif atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan. Memang, dalam praktek peradilan di Bali tidak banyak ditemukan putusan hakim yang menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat, padahal di satu sisi masyarakat adat menghendaki dijatuhkannya pidana pemenuhan kewajiban adat. Dalam kasus-kasus yang menghendaki dijatuhkannya pemenuhan kewajiban adat tentunya

hakim akan terbentur pada ketentuan Pasal 10 KUHP, yang

tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, dan sejalan pula dengan pemikiran yang diberikan tim penyusun rancangan KUHP, maka alasan-alasan berikut dapat memperkuat urgensi penelitian tentang pemenuhan kewajiban adat dan implementasinya dalam rancangan KUHP, yaitu : 1. Berhubungan dengan perkembangan rancangan

KUHP yang mencantumkan

pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana tambahan, yang dalam kehidupan masyarakat hukum adat di Bali dipandang sebagai suatu hal yang relevan dalam penyelesaian kasus-kasus delik adat ; 2. dari segi kajian pembaharuan hukum dan politik hukum (pidana) perlu adanya pelembagaan dan pemahaman , karena pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan suatu kegiatan yang berlanjut dan terus menerus ; dan 3. belum pernah dilakukan suatu studi mendalam dan mengkhusus tentang masalah : 1) mengapa dalam kasus delik adat pencurian benda-benda sakral hakim tidak menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat ?; dan 2) mengapa masyarakat

15

adat di Bali menghendaki adanya pemenuhan kewajiban adat dalam penyelesaian kasus-kasus delik adat pencurian benda-benda sakral ? 4. Rancangan KUHP, telah mengakomodir jenis sanksi “pemenuhan kewajiban adat” sebagai salah satu jenis pidana tambahan. Untuk itu, perlu suatu kajian untuk menjastifikasi pidana pemenuhan kewajiban adat dalam implementasi rancangan KUHP. 1.2. Rumusan Masalah : Beranjak dari latar belakang fakta dan pemikiran awal yang telah dipaparkan sebagaimana tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.

Mengapa hakim di dalam memutus kasus pencurian

benda-benda sakral di Bali, tidak menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat ? 2.

Mengapa di dalam kasus pencurian benda-benda sakral di

Bali, masyarakat hukum adat menghendaki adanya upaya adat ? 1.3. Tujuan Penelitian : 1.3.1. Tujuan Umum : Tujuan umum penelitian ini berkaitan dengan paradigma “science as process” dalam artian, penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi teoretik khususnya pengembangan teori, konsep dan asas-asas hukum. Di samping itu, tujuan umum penelitian ini juga berhubungan dengan usaha untuk : 1) mengembangkan wawasan studi hukum pidana melalui penelaahan hukum adat pada umumnya, dan hukum pidana adat di Bali khususnya ;

16

2) mengembangkan pola pemahaman hukum pidana yang tidak hanya bersifat

pemahaman ide-ide/pola-pola pikir dan norma substantif KUHP

secara dogmatis ; dan 3) pengembangan wawasan studi hukum pidana yang mengarah pada kemahiran teoritis akademis, atau kemampuan berpikir kritis ilmiah. 1.3.2. Tujuan Khusus : Tujuan khusus penelitian berhubungan dengan paradigma ”science as product” dalam artian tertuju pada apa yang dirumuskan dalam rumusan masalah, yaitu : 1.

Untuk mendeskripsi serta melakukan analisis mendalam tentang

: mengapa hakim di dalam memutus kasus pencurian benda-benda sakral di Bali, tidak menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat 2.

Untuk mendeskripsi serta melakukan analisis mendalam tentang

: mengapa di dalam kasus pencurian benda-benda sakral di Bali, masyarakat hukum adat menghendaki adanya upaya adat 1.4. Manfaat Hasil Penelitian : Dari hasil penelitian, diharapkan adanya dua manfaat, baik manfaat yang bersifat teoretis maupun manfaat praktis. a. Manfaat Teoretis : sebagai suatu usaha pengembangan asas-asas hukum, konsep-konsep hukum maupun teori hukum yang berkaitan dengan pola penyelesaian delik adat di Bali, dalam implementasi KUHP nasional mendatang. b. Manfaat Praktis : untuk memecahkan problema-problema hukum khususnya yang berkenaan dengan pola penyelesaian delik adat di Bali, dalam era hukum

17

pidana nasional mendatang. serta sebagai sumbangan pemikiran konsepsional bagi pemerintah, dalam rangkaian usaha pembentukan hukum pidana nasional.

4.

Landasan Teoritis

a. Pidana dan Pemidanaan “Pidana” merupakan istilah yang mempunyai pengertian yang khusus. Berbeda dengan “hukuman” yang merupakan istilah umum dan dapat mempunyai arti yang luas serta berubah-ubah. Istilah hukuman tidak saja dipergunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain, seperti : pendidikan, moral, agama dan lain senagainya. Sudarto menulis bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan saleh menulis bahwa pidana adalah reaksi atas delik, berupa suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu8 Dari apa yang dikemukakan oleh kedua sarjana tersebut dapat dikemukakan bahwa ciri-ciri pidana adalah : 1. pidana

itu

pada

hakikatnya

merupakan

suatu

pengenaan

penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. pidana itu sengaja ditimpakan oleh orang/badan yang mempunyai kekuasaan (yang berwenang); dan

8

Ibid., hal 3 dan 4

18

3. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Alf Ross, dalam memberikan batasan tentang pidana, menambahkan secara tegas dan eksplisit bahwa pidana itu harus merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri pelaku. Hal ini sebenarnya secara implisit terkandung juga dalam batasan yang diberikan oleh para sarjana lain. Penambahan secara eksplisit ini menurut Alf Ross, dimaksudkan untuk bisa dibedakan secara jelas antara pidana dan tindakan perlakuan. Menurut Alf Ross sebagaimana dikutip oleh J.E. Sahetapy, mengemukakan : Punishment is that social response which : 1. Occurs where there is violation of legal rule. 2. Is imposed and carried out by authorised person on behalf of the legal order to which the violated rule belong. 3. Involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant. 4. Expresses disapproval of the violator.9 Pidana merupakan konkritisasi atau realisasi peraturan pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Pemidanaan dilakukan melalui suatu proses yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, sebagai suatu perangkat yang bertujuan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum pidana materiil. Sebagaimana ditandaskan oleh J.E. Sahetapy, teori-teori permasalahan serta aspek-aspek sosio-kriminologik yang bertalian dengan pidana dan pemidanaan bukan merupakan masalah yang mudah untuk dipecahkan Berbagai teori telah diciptakan dan banyak pula yang sulit untuk diterapkan 9

J.E. Sahetapy 1981. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta : Rajawali ., hal. 183

19

secara praktis. Oleh karena itu apabila pembicaraan menginjak pada masalah pemidanaan, maka secara makro-kriminologik hal ini bertalian dengan masyarakat, dan secara mikro-kriminologik dengan terpidana, lingkungan, para korban dan hal-hal lain. Dengan demikian masalah pemidanaan tidak dapat dilepaskan dengan pelbagai permasalahan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat.10 Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang, telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Secara klasik teori pemidanaan

dapat

dibagi

ke

dalam

3

kelompok,

yaitu

:

1)

teori

absolut/pembalasan; 2) teori relatif/teori tujuan; dan 3) gabungan antara teori absolut dan teori relatif. Penganut teori absolut berpendirian bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti, memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur untuk dijatuhkannya pidana. Penekanan teori ini terletak pada pembalasan, yang harus setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan. Dengan demikian, teori ini lebih menekankan pada segi perbuatan (offence). Berbeda halnya dengan teori relatif, mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya, yaitu tujuan pidana untuk pencegahan terjadinya kejahatan. Teori ini lebih banyak menekankan pada manfaat dijatuhkannya pidana, baik bagi pelaku sendiri maupun untuk orang lain. Sedangkan teori gabungan, merupakan penggabungan konsep pikir yang dianut oleh teori absolut maupun relatif. penganut teori ini, di satu pihak 10

Ibid., hal.201

20

berpendirian untuk menitikberatkan pada pembalasan dan di pihak lain ada pula yang menekankan pada pertahanan tata tertib masyarakat, serta ada pula yang berpendirian bahwa kedua unsur tersebut hendaknya diseimbangkan. Di samping tujuan pidana seperti yang dirumuskan secara klasik dalam teori-teori tersebut di atas, Nigel Walker, mengemukakan : Tujuan 1 : melindungi para pelanggar (baca : penjahat) dan juga mereka yang dicurigai terhadap pembalasan di luar hukum. Tujuan ini dapat dinamakan tujuan montero berdasarkan nama seorang sarjana hukum Spanyol (1916). dasar pemikiran tujuan ini, yaitu pembalasan di luar hukum, bukan saja mengakibatkan kekacauan tetapi juga dapat menimbulkan nestapa yang berlebih-lebihan. Tujuan 2 : mengurangi frekuensi terjadinya pola-pola tingkahlaku yang dilarang oleh hukum pidana. Nigel Walker menamakan tujuan kedua ini “reductivism”. Tujuan 3 : sistem pidana harus sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan penderitaan yang minimum dalam usaha mencapai tujuannya. Tujuan ketiga dinamakan “humanitarianism”. Menurut Nigel Walker tujuan ini dicetuskan untuk pertama kalinya oleh Bentham. Tujuan 4 : Sistem pidana harus disusun sedemikian rupa sehingga terjamin bahwa para pelanggar benar-benar menebus dosa mereka dengan menderita karena pelanggaran-pelanggaran (kejahatan-kejahatan) mereka. Nigel Walker menamakan tujuan keempat ini “retributivism” yang harus dibedakan dari tujuan pertama, kedua dan ketiga. Dalam pada itu Nigel Walker memerinci tujuan keempat ini dalam tiga bagian, yaitu : Tujuan 4 a. : Sistem pidana harus disusun sedemikian rupa sehingga dapat dituntut penebusan dosa atau “atonement” terhadap pelanggaran-pelanggaran (kejahatan-kejahatan). Ini berarti tidak akan ada pembalasan di luar hukum yang melampaui batas atau penderitaan si pelanggar (si penjahat) di luar batas pri kemanusiaan. Dengan sistem demikian, tidak akan ada penambahan terjadinya pelanggaran-pelanggaran (kejahatan-kejahatan) lain. Tujuan ini dinamakan “Compromissing retributivism” oleh Nigel Walker. Tujuan 4b : Pertama-tama harus dibedakan terlebih dahulu antara arti atau makna dengan tujuan pidana. bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat, tidak dapat disangkal. Dalam pidana itu perlu pula dibedakan antara sifat pidana dengan bentuk pidana. dengan demikian maka tujuan, arti, sifat

21

dan bentuk pidana merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahpisahkan , tetapi harus dapat dibeda-bedakan. Bagaimanapun juga tujuan pidanalah yang mewarnai arti, sifat dan bentuk pidana. Tujuan pidana baru mempunyai relevansi apabila diketahui dasar berpijak untuk mencapai tujuan itu.11 Sangatlah beralasan apa yang dikemukakan J.E. Sahetapy tersebut di atas, karena bagaimanapun juga, dalam usaha untuk mencapai tujuan, sebelumnya harus dipahami arti, sifat dan bentuk pidana itu sendiri. Apakah tujuan-tujuan yang digariskan dapat dicapai tanpa mengetahui arti, sifat dan bentuk pidana, adalah suatu hal yang jauh dari kenyataan. Semua ini paling tidak menyadarkan kita, bahwa apa yang ada di balik tujuan pemidanaan, baik arti, sifat dan tujuan pidana akan turut memberikan warna di samping semua permasalahan dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Sehubungan dengan aspek pembalasan ini J.E. Sahetapy menulis : Bila ditelusuri kembali sejarah aspek pembalasan, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa masalahnya setua sejarah manusia. Pada dasarnya setiap manusia memiliki perasaan pembalasan atau kecenderungan untuk membalas. Namun dengan segera pula perlu diingatkan bahwa pembalasan tidak selamanya harus dikaitkan dengan permasalahan kejahatan. Pada umumnya manusia juga memiliki sifat membalas budi orang lain. Demikian kerapkali manusia tidak sampai hati untuk membalas perbuatan jahat orang lain, karena orang itu dianggap tidak mengetahui apa yang telah diperbuatnya, dan sebagainya. 12 Akhirnya terhadap teori pembalasan ini J.E Sahetapy menyimpulkan beberapa catatan, diantaranya : teori pembalasan hanya melihat pidana dalam kaitannya dengan masa lampau; dengan demikian teori pembalasan belum memberikan tempat yang wajar kepada beberapa asas yang telah melembaga dan 11

Dikutip dari Muladi 1984. “Pidana dan Pemidanaan” dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief., Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, hal.2 12 Ibid., hal.212

22

diakui dimana-mana, yaitu asas oportunitas, grasi, amnesti, abolisi, kedaluwarsa dan sebagainya. Teori pembalasan kuno telah diperluas dalam teori pembalasan modern, sehingga kini timbul pertanyaan, apakah dapat dibenarkan untuk menamakannya teori pembalasan; secara teoritik - akademik, teori pembalasan masih mempunyai relevansi.13 Kini teori pembalasan sudah mulai ditinggalkan, dalam arti ajaran pembalasan klasik yang berpendirian, pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Kalaupun ada penganut teori pembalasan, mereka dapat dikatakan sebagai penganut teori pembalasan yang modern.14 Ketika teori pembalasan mulai ditinggalkan kareena dipandang kurang mempunyai dasar yang kuat dan dalam banyak hal teori pembalasan telah menyimpang dari tujuan semula, maka muncullah teori dengan aspek ‘menakutkan’ atau untuk mempengaruhi tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat, yang lebih dikenal dengan nama teori relatif atau teori tujuan. menurut teori ini, pidana tidaklah dikenakan demi pidana itu sendiri melainkan untuk tujuan yang bermanfaat, yaitu untuk melindungi masyarakat atau untuk pengayoman. Dikaji dari segi sejarah, aspek menakutkan ternyata sudah ada sejak adanya aspek pembalasan. bahkan nampaknya aspek ini sudah dipersoalkan sebelum jaman aspek pembalasan, yaitu pada masa Immanuel Kant (1724 - 1804) dan George Wilhelm Fredrich Hegel (1770 - 1831).15

13

Sudarto 1986., Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, hal.82 - 83 J.E. Sahetapy., op.cit., hal.214 15 Lebih jauh lihat Andi Zainal Abidin 1987. Asas-Asas Hukum Bagian Pertana, Bandung : Alumni, hal. 170 - 171 14

23

Von Feuerbach orang pertama yang menyusun permasalahan aspek menakutkan menjadi suatu teori yang kemudian menjadi terkenal dengan ungkapan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. tetapi yang mula pertama mempersoalkan aspek menakutkan ini dari proses psikologis adalah samuel von Puffendorf, demikian dikemukakan oleh Oppenheimer.16 Menurut Puffendorf, ancaman pidana dimaksudkan untuk menakutkan dan oleh karenanya menahan seseorang berbuat dosa, dan dengan demikian akan patuh pada hukum. Di sini jelas bahwa konsep Pufendorf mempunyai sifat yang ‘utilitis’ (utilitarian character of the theory). Di samping itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa asal mulanya pidana sebetulnya bukan untuk pembalasan, tetapi semata-mata untuk menakuti penjahat. Teori ini secara diamdiam dimaksudkan untuk mempengaruhi mereka yang secara potensial dapat berbuat jahat. Namun sejarah membuktikan bahwa teori menakutkan ini tidaklah mempengaruhi penjahat. Sebenarnya teori menakutkan ini mempunyai 2 aspek, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Berhubungan dengan aspek prevensi, J.E. Sahetapy mengemukakan, secara teoritik prevensi umum dan prevensi khusus ini dapat dibedakan, tetapi secara praktis pembedaan tersebut sangat sulit, sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa demi prevensi umum atau demi pengayoman, negara, masyarakat dan penduduk, si terpidana akan dapat dikorbankan. Teori-teori yang berkenaan dengan tujuan pemidanaan tersebut di atas, baik teori absolut maupun teori relatif, masing-masing memiliki kelemahan. Oleh 16

J.E. Sahetapy., op.cit., hal.212

24

karena itu muncullah teori yang ketiga, yang merupakan gabungan teori absolut dengan teori relatif. Teori ini didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban dalam masyarakat, yang diterapkan secara berkombinasi dengan titik berat salah satu unsur tanpa menghilangkan unsur yang lain. Pidana dan pemidanaan merupakan dua hal penting yang tidak dapat dipisahkan. Sebab bagaimanapun juga tujuan pidana akan turut mewarnai arti, sifat dan bentuk pidana itu sendiri. Dalam disertasinya “Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana” J.E. Sahetapy menulis bahwa, tujuan pidana adalah ‘pembebasan’. Pidana harus dapat membebaskan si pelaku dari cara atau jalan keliru yang telah ditempuhnya. makna membebaskan tidaklah identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus juga dibebaskan dari kenyataan sosial di mana ia terbelenggu. Lebih jauh dikemukakan pula, tidak dapat disangkal bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalan tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau menderita akibat suatu pembalasan dendam, melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberikan keyakinan bertobat dengan penuh keyakinan.17

17

Lebih jauh lihat J.E. Sahetapy., op.cit. hal. 196 - 224

25

Dalam era berlakunya KUHP (WvS) selama ini, nampak sistem pemidanaannya kebanyakan masih berinduk dan berorientasi pada sistem pemidanaan menurut KUHP (WvS). Tidaklah mengherankan apabila Barda Nawawi Arief dalam pidato penerimaan jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana di Universitas Diponegoro Semarang mengemukakan , bahwa selama ini belum ada pola pemidanaan nasional pada tahap kebijakan legislatif (formulatif) dan hal ini merupakan suatu hal yang cukup memprihatinkan.18 Lebih lanjut dijelaskan oleh beliau bahwa pengertian pola pemidanaan dengan pedoman pemidanaan adalah berbeda. Istilah “pola” menunjuk pada suatu yang dapat digunakan sebagai model atau acuan, pegangan atau pedoman untuk membuat atau menyusun sesuatu. Jadi yang dimaksud dengan “pola pemidanaan” adalah ‘acuan, pegangan atau pedoman untuk membuat atau menyusun perundangundangan yang mengandung sistem sanksi pidana”. Penekanan pada istilah “membuat atau menyusun” sistem sanksi pidana di sini dimaksudkan untuk membedakan dengan ‘pedoman pemidanaan” yang lebih merupakan “pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan atau menerapkan pemidanaan”. Dengan demikian dapat

dikemukakan

bahwa

“pola

pemidanaan”

merupakan

“pedoman

pembuatan/penyusunan pidana untuk pembuat undang-undang” (pedoman legislatif/formulatif) sedangkan “pedoman Pemidanaan” lebih merupakan “pedoman

penjatuhan/penerapan

yudikatif/aplikatif”)

18 19

19

pidana

untuk

hakim

(“pedoman

Apabila pernyataan yang dilontarkan oleh Barda Nawawi

Barda Nawawi Arief 1994., op.cit., hal 19 Ibid. hal 20

26

Arief ini kita hubungkan dengan apa yang dikemukakan oleh J.E. Sahetapy, paling tidak akan dapat dipahami bahwa dalam masalah pemidanaanpun tidak dapat dilepaskan dengan pemahaman kenyataan Sobural. b. Penghukuman Menurut Hukum Adat Dewasa ini permasalahan pidana dan pemidanaan merupakan suatu permasalahan

yang

sangat

kompleks,

sebagai

akibat

usaha

untuk

membandingkan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia serta untuk menjadikannya pidana lebih bersifat ‘operasional’ dan ‘fungsional’, yang semua ini dapat diuji dari hakikat dan tujuan pemidanaan. Dalam rumusan tujuan pemidanaan tersebut di atas, nampak adanya usaha untuk memfungsionalisasikan nilai-nilai hukum adat. Dalam hubungannya dengan permasalahan ini, tentunya menarik apa yang pernah dikemukakan oleh Ter Haar sebagai berikut : yang dianggap suatu pelanggaran (delict) adalah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan immateriil, orang-orang atau daripada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (gerombolan); tindakan demikian yang menimbulkan suatu reaksi ... oleh karena baik umat manusia maupun masyarakat itu adalah pusat daripada gabungan hubungan sehingga orang dapat mengatakan lingkaran hidupnya manusia atau lingkungan hidupnya masyarakat - maka keadaan yang ‘biasa’ (normal) itu adalah keadaan keseimbangan di antara lingkungan-lingkungan hidup tadi satu sama lain ... penuntutan pembayaran-pembayaran pelanggaran kosmis yang dalam masyarakat yang hidup sudah barang tentu saban-saban harus ditentukan; dari keseimbangan mana tergantung kebahagiaan manusia dan umat manusia 20. Apa yang dikemukakan oleh Ter Haar, apabila dikaitkan dengan uraian sebelumnya, maka sarana itu adalah ‘pidana’. dengan demikian hakikat dan

20

Ter Haar. 1978 Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat (Begiselen en Stelsel van Het Adatrecht). terj. Kng Soebakti Poesponoto, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 226 - 227

27

tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerugian individu dan kerugian sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hukum adat pidana tidak dapat ditinjau terlepas dari struktur kejiwaan dan cara berpikir masyarakat Indonesia secara keseluruhan. terhadap permasalahan ini Soepomo menulis, bahwa struktur kejiwaan dan cara berpikir itu mewujudkan corak-corak atau pola-pola tertentu dalam hukum adat yang meliputi suasana sebagai berikut : mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya bahwa manusia sebagai warga masyarakat merupakan mahluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat. Rasa kebersamaan mana meliputi seluruh lapangan hukum adat; mempunyai corak relegio magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia; sistem hukum ini diliputi oleh pikiran yang serba konkrit, sistem hukum adat dalam hal mempergunakan hubungan-hubungan yang konkrit tadi adalah dalam hal mengatur pergaulan hidup; dan adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum adat hanya dianggap terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (ada tanda yang nampak).21 Dengan adanya pola berpikir demikian, yang sekaligus mewujudkan corak-corak pola hubungan tersebut di atas, akan selalu dipertahankannya keseimbangan masyarakat hukum adat. “Sanksi adat” merupakan pencerminan nilai-nilai sosial dan budaya yang menunjukkan konsep berpikir dengan arah dan tujuan yang hendak dicapai. dalam konsep berpikir hukum adat, reaksi atas pelanggaran tidaklah dimaksudkan untuk memberikan ‘derita fisik’. Sanksi adat lebih banyak dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan ‘kosmos’ yang diakibatkan oleh adanya pelanggaran adat. Dalam hubungannya dengan 21

Soleman B. Taneko1981. Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat Bandung, Alumni, hal.44 empat sifat hukum adat ini pernah pula dikemukakan dalam pidato inaugurasi oleh F.D. Holemann yang berjudul “Commune Trek in Het Indonesische Rechtsleven” lihat Bushar Muhammad 1983. Pokokpokok Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal 67

28

permasalahan ini Djojodiguno secara tepat mengemukakan

bahwa : “dalam

pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa ketentuan adat itu harus disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan menggunakan paksaan. Apa yang disebut salah kaprah, yaitu dengan sebutan hukum adat tidaklah merupakan hukuman”22. Lebih lanjut dikemukakan pula : ... itu adalah upaya adat untuk mengembalikan langkah yang berada di luar garis tertib kosmis demi untuk tidak terganggunya ketertiban kosmos. Upaya adat dari lahirnya adalah nampak sebagai adanya penggunaan kekuasaan melaksanakan ketentuan yang tercantum di dalam pedoman hidup yang disebut adat. Tetapi dalam intinya itu adalah lain, itu bukan pemaksaan dengan mempergunakan alat paksa, karena itu bukan bekerjanya suatu sanksi. itu adalah upaya untuk membawa kembalinya keseimbangan yang terganggu dan bukan suatu “hukuman” bukan suatu “leed” yang diperhitungkan bekerjanya bagi individu yang bersangkutan.23 Di dalam semua masyarakat, pasti terdapat ukuran mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Perikelakuan yang buruk yang dipandang tercela, akan mendapatkan

imbalan

negatif. Sehubungan dengan hal ini Soepomo

mengemukakan : “segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan bathin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian mencemarkan suasana bathin yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya”24. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa delik yang paling berat

22

Dikutip dari Soerjono Soekanto 1983.Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta : UI-PRESS, hal. 46 23 Ibid. 24 Soepomo 1983. Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 123

29

adalah pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat.25 Apa yang dikemukakan oleh Soepomo tersebut di atas nampaknya agak abstrak. tetapi walaupun demikian, telah didapat suatu petunjuk sebagai ukuran di dalam melakukan sikap tindak yang merupakan suatu pelanggaran dalam suatu masyarakat hukum adat, yaitu sikap tindak yang mencemarkan ketertiban bathin masyarakat dengan alam gaib. Demikian pula Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, pernah mengemukakan dalam salah satu tulisannya, bahwa : menurut pandangan adat, ketertiban ada dalam alam semesta atau ‘kosmos’. Kegiatan-kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta wargawarganya ditempatkan di dalam garis ketertiban kosmos tersebut. bagi setiap orang, garis ketertiban kosmos tersebut haruslah dijalankan dengan spontan atau sertamerta ... penyelewengan atau sikap tindak (perikelakuan) yang mengganggu keseimbangan kosmos, maka para pelakunya harus mengembalikan keselarasan yang semula adat26. Dari apa yang telah dikemukakan di atas, kiranya telah dapat diambil suatu landasan untuk menentukan sikap tindak yang dipandang sebagai suatu pelanggaran dan merupakan petunjuk mengenai reaksi masyarakat adat. namun nampaknya masih dipandang perlu untuk menyoroti, sehubungan sifat umum hukum adat sebagaimana telah dikemukakan, yaitu apa yang dikemukakan oleh Bushar Muhammad berikut ini : sebagai tambahan atau penegasan atas pengertian “relegiomagis” saya ingin mengemukakan kata majemuk “participerend kosmisch” yang mengandung suatu pengertian kompleks, yaitu orang-orang Indonesia pada umumnya berpikir serta merasa dan bertindak dengan didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga yang gaib (magis) yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang terdapat pada orang, 25

Ibid., hal 122 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung , Alumni, hal. 80 26

30

binatang, tumbuh-tumbuhan baik besar maupun kecil, benda --- lebih-lebih benda yang berbentuk luar biasa --- dan semua tenaga-tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan keseimbangan (in een toestand van ovenwichht). Tiap tenaga gaib tersebut merupakan bagian dari kosmos, dari keseluruhan hidup jasmani dan rohani --- “participatie” --- dan keseimbangan itulah yang senantiasan harus ada dan dijaga, dan apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan keseimbangan itu berwujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritual (rites de passage).27 c. Kebijakan Hukum Pidana Karl Christiansen mengemukakan bahwa the characteristic of a rational policy is the characteristic of a rational criminal policy is nothing more than application of national methods.28 Sedangkan

G. Peter Hoefnagels yang

menyatakan “Criminal Policy is the rational organization of social reaction to crime”.29 Teori ini merupakan perumusan kembali dari teori March Ancel yang menyatakan bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the control of crime by society” (upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan).30 Kemudian Hoefnagels merumuskannya secara lebih rinci yaitu : a.

Criminal policy as a science of responses

b.

Criminal policy is the science of crime prevention

c.

Criminal policy is a policy of designating human behaviour as

crime d.

27

Criminal policy is rational total of the responses to crime.

Bushar Muhammad., Pengantar Hukum Adat. Jakarta : Bina Cipta, hal.54 Karl O Chistiansen, “Some Consideration on the Possibillity of Rational Crime Policy”, Report Resource Material Series No. 7 UNAFEI, 1974 hal. 75. 29 G. Peter Hoefnagels 1973. The Other Side of Criminology, (Holland, Kluwer Deventer, hal.73 30 Marc Ancel 1965. Social defence A Modern Approach Criminal Problem, London: Rontledge & Kega Paul, hal. 208-209 28

31

Dari

uraian

tersebut

di

atas

maka

dalam

melakukan

upaya

penanggulangan kejahatan harus dilihat dalam konteks keseluruhan kebijakan sosial, yang tujuannya adalah kesejahteraan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief upaya utama kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy) kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (Social policy) yang terdiri dari “kebijakan / upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan / upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy). Dengan demikian pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral” ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari politik kriminal kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena lebih bersifat preventif dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan (yaitu bersifat fragmentaris /. Simphlistis)

tidak

struktural fungsional, simpotematik / tidak kausatif / tidak eliminatif : individulistik atau affender – oriented / tidak victim oriented lebih bersifat represif / tidak preventif harus didukung oleh infrastruktur dengan biaya yang tinggi. Pencegahan dan penanggulangan kesejahteraan dengan

sarana penal

merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi / operasionalisasinya melalui beberapa tahap : 1. Formulasi (kebijakan legislatif) 2. Aplikasi (kebijakan yudikatif / yudicial)

32

3. Eksekusi (Kebijakan eksekutif / administratif ) Dengan

adanya

tahap

formulasi

maka

upaya

pencegahan

dan

penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif) bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap

paling strategis dari upaya

pencegahan dan

penanggulangan kejahatan pelalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan / kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.31 Dari uraian di atas maka kebijakan kriminal harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, dalam arti : a.

Kebijakan kriminal merupakan

bagian dari keseluruhan

kebijakan sosial (kebijakan pembangunan nasional). b.

Harus ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan

dengan menggunakan sarana penal dan non penal. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) artinya mengupayakan suatu penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana (menitikberatkan pada sifat represif), dengan melalui sistem peradilan pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan upaya penal (hukum pidana), merupakan upaya yang paling tua, setua peradilan manusia itu sendiri.32 31

Barda NawawiArief 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Citra Aditya Bhakti, , hal. 74 32 Muladi dan Barda Nawawi Arief 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana Bandung : Alumni, hal. 149.

33

Upaya penanggulangan kejahatan dilihat sebagai suatu kebijakan, mengundang permasalahan.33 Sebagian menyatakan bahwa kejahatan tidak perlu ditanggulangi dengan pidana, misalnya dianut oleh faham determinisme seperti Lambroso, Garofalo, dan Ferri. Selanjutnya disebutkan bahwa kejahatan pada umumnya merupakan manifestasi adanya abnormality or immaturity, maka yang disebutkan adalah treatment dan bukan pidana. Sedangkan yang menyetujui penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana antara lain Marc Ancel sebagai penganut aliran defence sociale yang lebih moderat, ia menyatakan bahwa setiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib social, yaitu seperangkat peraturan yang tidak saja sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan, tetapi juga sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya peran yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak terelakkan.34 Bagi Indonesia menggunakan hukum pidana untuk upaya penanggulangan nampaknya tidak jadi masalah. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini menunjukkan penggunaan hukum pidana merupakan bagian kebijakan hukum yang dianut di Indonesia.35 Mengingat kebijakan penanggulangan

bukan semata-mata masalah

hukum pidana, maka pendekatan penal ini harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam hal ini berkaitan dengan pertimbangan

perbuatan apa seharusnya

diberikan sanksi pidana maka penting memperhitungkan asas ultimum remedium. Asas ini sebagai suatu sifat bahwa hukum pidana diterapkan sebagai 33

Ibid. hal. 151-153 Johannes Andenaes 1965. The General Parts of the Criminal Law of Norway, London : Frend B Rothman & Co, Swett Maxwell, hal. 86 - 90. 35 Barda Nawawi Arief 2001, loc. cit. hal. 157 34

34

sarana terakhir setelah mempertimbangkan bahwa sanksi yang diberikan melalui bidang hukum lain dipandang tidak cukup untuk mengatasinya (pencegahan dan penanggulangannya). Asas ini sangat penting, tidak hanya diperhatikan pada waktu

melakukan kriminalisasi, tetapi juga pada saat menerapkan hukum

pidana. Hal ini sesuai dengan pemikiran aliran modern yang dipelopori oleh Lambroso, Lacasagne dan Ferri yang kemudian diteruskan oleh Prins dan Van Hamel

yang mendirikan

Internationale

Von Liszt,

Asociation

for

criminology yang mempunyai landasan bahwa : 1. Fungsi utama hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. 2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil-hasil penelitian antropologis dan sosiologis. 3. Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki negara untuk memerangi kejahatan, namun pidana bukan merupakan satusatunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan sosial lainnya khususnya dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif.36 Selanjutnya kejahatan dikatakan sebagai suatu fenomena sosial yang dinamis, tumbuh dan

terkait dengan fenomen dan struktur kemasyarakatan

lainnya yang sangat kompleks, maka disebut juga sebagai socio pholitical problem.37 Oleh karenanya upaya penanganannya tidak hanya dengan upaya penal tetapi juga mendayagunakan upaya non penal. Ruang Lingkup Kebijakan Kriminal terdiri dari criminal application (practical criminology), Prevention without punishment dan influencing vie of society on crime and punishment

36

J.M. Van Bemmelen 1987. Hukum Pidana I, Hukum Materiil Bagian Umum, Jakarta, Bina Cipta, hal. 13 - 14 37 Barda Nawawi Arief 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hal. 6

35

(Mass Media).38

Ruang lingkup

yang kedua dan ketiga merupakan upaya

penanggulangan dengan menggunakan non penal. Upaya-upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan

jalur non penal bersifat sebagai upaya

pencegahan kejahatan (preventive) yang sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Upaya ini juga sering disebut sebagai prevention without punishment, yaitu berkaitan dengan langkah yang bernuansa teknis pencegahan seperti diterapkannya pedoman-pedoman tertentu misalnya code of consuct, code of ethics dan code of practce. Upaya pencegahan ini diaggap sebagai upaya yang strategis dan memegang peranan penting, dan dianggap lebih menjanjikan keberhasilan daripada

merupakan

langkah represif. “……..Criminal policy in many countries has turned towards developing preventive measures to prevent and reduce crime, which are much cheaper than the costs of provding polce forces, courts and prisons and would appear to hold out more promise of success in combating the problem of crime responsibility for crime prevention has consequently broadened to include agencies and individuals outside the criminal justice system. Crme ha become a common pubc concern and its prevention is no longer seen as the exclusive province of the specalists, although the relationship between crime prevention and the crminal justice system remains complex and diverse.39 Upaya pencegahan kejahatan yang diarahkan pada upaya non penal yang pada intinya menghapuskan kondisi-kondisi yang

menyebabkan tumbuhnya

kejahatan atau dikatakan bahwa upaya penanggulangan

kejahatan harus

mendasarkan pada penanganan masalah-masalah atau kondisi- kondisi sosial

38

Hoef Nagels. Criminology Loc. Cit. hal. 56. John Graham 1990. Crime Prevention, Strategies in Europe and Morth Amerika, Helsinki : HEUNI, hal. 7 39

36

secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kejahatan.40 Hal ini ditekankan dalam berbagai kongres PBB antara lain dalam kongres tentang Crime Trends and Crime Prevetion Strategies yang menyatakan bahwa “…… the basic crime prevention strategies should be base upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime”.

41

Kemudian ditekankan lagi dalam

kongres selanjutnya dengan menyatakan, “…. the basic crime prevention must seek to eliminate the causes and conditions thet favor crime”.42 Dalam kongres ke-8 berkenaan dengan masalah “social aspects of

crime prevention and

criminal justice in the context of development”. 6. Metode Penelitian a. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian “Pemidanaan terhadap Pelaku Pencurian Benda-benda Sakral di Bali” ini merupakan penelitian hukum empiris, dengan pendekatan yuridis sosiologis.

b.

Lokasi Penelitian Lokasi penelitian “Pemidanaan terhadap Pelaku Pencurian Benda-benda

Sakral di Bali” adalah Provinsi Bali. c. 40

Sampel Penelitian

Sixth United Nations Congress on Crime Trends and Crime Prevention Strategies, Report, 1981, hal. 5 41 Sixth United Nastions Congress on Crime Trends and Crime Prevention Strategies, 1980, Caracas, Venezuela. 42 Seventh limited Nations Congre on Crime Prevention in the Context of Development, 1985 Milan Doc. A. conf, 121 / L/ 9.

37

Dari populasi di lokasi penelitian, akan diambil beberapa sampel. Penentuan sampel penelitian dilakukan secara “purposive sampling” (sampel bertujuan). Sampel penelitian yang ditentukan secara purposive, ditentukan dengan terlebih dahulu melakukan penelitian dokumen berupa putusan pengadilan dalam kasus pencurian benda sakral. Dari putusan pengadilan tersebut, desa yang dipilih sebagai sampel penelitian adalah : 1)

Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten

Gianyar. 2)

Desa Sulang, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.

3)

Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

4)

Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar

5)

Desa Sengkidu, Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem

6)

Desa Manggis, Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem

Untuk data dokumenter berupa putusan hakim, maka dalam penelitian ini, pengadilan yang dipilih adalah pengadilan yang telah memutus kasus pencurian benda-benda sakral. Berdasarkan penelitian awal, maka pengadilan yang dipilih adalah : 1) Pengadilan Negeri Denpasar 2) Pengadilan Negeri Gianyar 3) Pengadilan Negeri Klungkung 4) Pengadilan Negeri Amlapura

d.

Sumber Data

38

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan penelitian kepustakaan (library research) sebagai data skunder dan penelitian lapangan (field research) sebagai data primer. 1. Library Research, dilakukan terhadap bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer berupa peraturan Undang-undang maupun peraturan-peraturan lainnya. Dalam penelitian ini, sumber bahan hukum yang dipergunakan bersumber dari 2 (dua) sumber bahan hukum yaitu : 1) sumber bahan hukum primer : dan 2) sumber bahan hukum sekunder. Bahan Hukum Primer diperoleh dari sumber yang mengikat (authoritive source), dalam bentuk produk peraturan perundangundangan yang ada hubungannya dengan delik adat : a

Undang-Undang

Dasar

Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia 1945. b

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c

Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951.

d

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana. Bahan hukum sekunder diperoleh dari hasil-hasil penelitian kepustakaan atau buku-buku (literatur), jurnal, karya tulis dan artikel yang mengkaji tentang delik adat, pidana dan pemidanaan.

39

Untuk menunjang bahan hukum primer, akan ditampilkan bahan hukum sekunder yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti hasilhasil penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya. Sedangkan untuk melengkapi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, digunakan bahan hukum tertier, yakni berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder misalnya kamus-kamus, ensiklopedia dan sebagainya.43 2. e.

Field Research, dilakukan di daerah sampel.

Analisis Data Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriptif , maka data

yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Setelah data terkumpul, selanjutnya data tersebut diolah dan dideskripsikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini. Data yang telah dideskripsikan tersebut selanjutnya dianalisa secara kualitatif. Dalam model analisis ini, keseluruhan data yang terkumpul baik data primer maupun data skunder diolah dan dianalisis dengan cara menyusun secara sistematis, dikatagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan satu sama lain, kemudian diinterpretasi.

43

Soerjono Soekanto 1995, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan IV, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 13