4 Des 2011 ... menurut para ahli ... perubahan iklim- khususnya di bidang ketahanan pangan,
kata para ahli. ... lahan tersebut dalam keadaan rusak dan tak bernilai. ... dan kita
tidak bisa terintimidasi,” kata Maathai dalam film tersebut. ###.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi: Leony Aurora Center for International Forestry Research
[email protected] Telepon: +62‐811‐108‐2309
UNTUK SEGERA DISEBARLUASKAN
Gelombang deforestasi baru mengancam ketahanan iklim Afrika, menurut para ahli DURBAN (4 Desember 2011)—Gelombang deforestasi baru sedang menyapu Afrika, memusnahkan satwa liar dan mengancam ketahanan ekosistem untuk bertahan dari pengaruh perubahan iklim‐ khususnya di bidang ketahanan pangan, kata para ahli. “Laju deforestasi di Afrika…terus meningkat,” kata Helen Gichohi, Ketua African Wildlife Foundation dalam pidato utamanya pada acara Forest Day 5 di Durban yang dilangsungkan bersamaan dengan Konferensi Para Pihak (COP) 17. “Hutan yang terus menghilang, lahan penggembalaan semakin gundul, dan konversi padang rumput dan lahan basah, yang selama ini berfungsi menjadi suaka dari kekeringan, menjadi lahan pertanian telah menghancurkan ketahanan ekosistem ini.” Helen menghimbau agar dana REDD+ segera direalisasikan untuk menyelamatkan hutan di benua ini. REDD+ adalah singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest degradation, atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Mekanisme ini sedang didiskusikan di perundingan iklim PBB di Durban, yang mungkin akan menyalurkan miliaran dolar kepada negara‐negara berkembang untuk melindungi hutannya. Pesan Gichohi didukung oleh pembicara utama lainnya, Bob Scholes dari Council for Scientific and Industrial Research (CSIR) di Afrika Selatan, yang mengatakan, ”gelombang deforestasi besar berikutnya sedang terjadi dan terjadi di Afrika.” “Jika kita dapat melakukan sesuatu untuk mempengaruhi deforestasi, efeknya akan lebih besar daripada segala sesuatu yang telah dicapai selama ini melalui Protokol Kyoto,” katanya. “Tantangan ini layak didukung oleh upaya kita.” Scholes menggambarkan pola khas dari deforestasi di Afrika sebagai berikut: para penebang masuk ke hutan, mereka menebang pohon‐pohon besar dan mengambil kayu yang berharga, kemudian produsen arang mengambil sebagian besar sisa pohon yang tertinggal, dan kemudian masuklah pertanian dengan masukan dan
keluaran yang rendah, yang setelah melewati beberapa siklus panen meninggalkan lahan tersebut dalam keadaan rusak dan tak bernilai. “Hutan Afrika perlu segera dilindungi, tidak hanya karena dapat memperlambat perubahan iklim tetapi juga karena hutan merupakan pertahanan akhir dari proses penggurunan yang semakin meluas, mendukung produksi pertanian berkelanjutan, dan mendukung penghidupan puluhan juta penduduk miskin di pedalaman,” kata Frances Seymour, Direktur Jenderal Center for International Forestry Research (CIFOR). Dalam sambutan pembukaannya, Tina Joemat‐Pettersson, Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Afrika Selatan mengatakan, “perubahan iklim mengancam banyak tujuan pembangunan negara‐negara Afrika dan negara berkembang lainnya di dunia, khususnya dalam bidang air, energi, kesehatan, pertanian dan kehutanan.” Para ahli telah memperingatkan bahwa daerah Sahara di Afrika akan menjadi salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Benua ini telah dihantam serangkaian bencana terkait iklim, yang terakhir adalah bencana kelaparan yang dipicu kekeringan di Tanduk Besar Afrika. Para ahli mengatakan bahwa kerusakan hutan dan bentuk degradasi lahan lain yang disebabkan manusia telah mengubah banyak wilayah yang tadinya dapat dimanfaatkan sebagai lahan penggembalaan dan peternakan/pertanian menjadi bentang alam yang tandus. Gichohi mengatakan bahwa 9 persen tutupan hutan di Sahara, Afrika, hilang antara tahun 1995 dan 2005, atau rata‐rata laju deforestasi sebesar 40.000 km2 hutan per tahun. Sebagai contoh, Kenya telah kehilangan sebagian besar tutupan hutannya untuk pemukiman dan pertanian, sehingga hanya 1,7% wilayahnya yang masih berupa hutan . “Hutan tidak akan dapat dipertahankan jika penduduk lapar dan tata kelola sumber daya alam tidak memadai,” kata Rachel Kyte, Wakil Presiden untuk Pembangunan Berkelanjutan di World Bank. “Rasa lapar menjadi beban langsung bagi hutan ketika masyarakat terpaksa masuk semakin dalam ke wilayah hutan untuk menanam… atau membuat dan menjual arang kayu untuk membeli makanan.” Dengan adanya ancaman menurunnya kondisi hutan pada kesehatan iklim dan kesejahteraan satu miliar penduduk miskin, konsorsium peneliti pertanian terbesar di dunia mengumumkan peluncuran program penelitian global yang ambisius untuk hutan dan agroforestri pada Forest Day 5. Program tersebut akan memiliki anggaran sebesar US$233 juta untuk tiga tahun pertama. Program penelitian CGIAR tentang hutan, pohon dan agroforestri bertujuan untuk membangkitkan kembali upaya‐ upaya untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan serta memperluas penggunaan pohon untuk pertanian. Inisiatif ini mencakup fokus pada sangat pentingnya hutan sebagai “penyimpan karbon” alami yang dapat membantu memperlambat laju perubahan iklim dan kebutuhan untuk melestarikan keanekaragaman hayati hutan. Para ahli CGIAR percaya bahwa pengelolaan hutan dan pohon yang lebih baik dapat berperan lebih besar untuk mengurangi resiko bagi petani skala kecil dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang tergantung pada hutan, khususnya wanita dan kelompok yang dikesampingkan lainnya. Status terkini REDD+ dan hutan di COP 17 Status negosiasi iklim saat ini, khususnya yang terkait REDD+, pelaksanaannya dan faktor‐faktor pemicu deforestasi, menjadi perhatian utama diskusi di acara tersebut. Walaupun pertanian disebut sebagai salah satu pendorong deforestasi dalam rancangan teks REDD+ terbaru yang dibahas di UNFCCC, lebih banyak upaya perlu dilakukan untuk mengintegrasikan pertanian dan mitigasi hutan melalui “pendekatan bentang alam” terpadu. Meneruskan pesan almarhumah Wangari Maathai, wanita Afrika pertama yang dianugerahi penghargaan Nobel perdamaian dan aktivis lingkungan yang hebat, penyelenggara Forest Day 5 menayangkan sebuah video yang menantang masyarakat hutan global untuk bertindak dengan berani untuk mengurangi ancaman perubahan iklim. “Masyarakatlah yang harus menyelamatkan lingkungan. Masyarakatlah yang harus membuat pemimpinnya berubah. Kita harus mempertahankan apa yang kita yakini dan kita tidak bisa terintimidasi,” kata Maathai dalam film tersebut. ### Forest Day diselenggarakan oleh Center for International Forestry Research atas nama Collaborative Partnership on Forests. Tahun ini acara tersebut diselenggarakan dengan bekerja sama dengan Pemerintah Afrika Selatan melalui Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Acara ini menarik lebih dari 1.000 orang, termasuk lebih dari 200 anggota tim negosiasi. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.ForestDay.org Collaborative Partnership on Forests (CPF) adalah kerja sama sukarela antara 14 organisasi internasional dan sekretariat yang memiliki banyak program tentang hutan (CIFOR, FAO, ITTO, IUFRO, CBD, GEF, UNCCD, UNFF, UNFCCC, UNDP, UNEP, ICRAF, WB dan IUCN). Misi CPF adalah untuk mempromosikan pengelolaan, pelestarian dan pembangunan berkelanjutan dari semua jenis hutan serta memperkuat komitmen politik jangka panjang untuk mencapai sasaran tersebut. Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Afrika Selatan berupaya menjadi sektor terdepan, dinamis, sejahtera dan berpusat kepada masyarakat. Nilai‐nilai yang mereka pegang adalah untuk memberikan jasa terbaik, membangun gugus kerja yang berdedikasi dan memusatkan perhatian pada masyarakat dan pembangunan daerah pedesaan. Departemen ini, yang diberi mandat untuk menjaga hutan Afrika, bertujuan untuk memastikan pengelolaan berkelanjutan dari sumber daya ini guna mewujudkan manfaat sosial, lingkungan dan ekonomi. Center for International Forestry Research (CIFOR) memajukan kesejahteraan manusia, konservasi hutan dan kesetaraan dengan melakukan penelitian untuk memberikan informasi kepada kebijakan dan praktik‐praktik yang mempengaruhi
hutan di negara berkembang. CIFOR membantu memastikan bahwa pengambilan keputusan yang mempengaruhi hutan didasarkan pada ilmu pengetahuan yang kuat dan prinsip tata kelola yang baik serta mencerminkan perspektif negara berkembang dan masyarakat yang bergantung pada hutan. CIFOR adalah satu di antara 15 pusat penelitian yang tergabung dalam Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR).