(Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan. Budaya). 129 ...
terhadap wacana kesetaraan jender, sehingga nilai-nilai keadilan sebagai misi ...
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
HARMONISASI Al-QUR’AN TERHADAP WACANA JENDER (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik, Dan Budaya) Oleh : Siti Majidah ABSTRAK Saat ini, kita sedang hidup di suatu abad di mana kesetaraan hak menjadi “talk” atau pembicaraan semua orang. Lebih jauh lagi, “talk” itu sudah meningkat menjadi gerakan sipil untuk menuntut kesamaan hak bagi semua kelompok, tak peduli agama, ras atau sejenisnya. Salah satu tema yang sekarang menantang kita semua adalah soal hak-hak kaun perempuan dimana keinginan kesetaraan baik dalam ruang privat maupun ruang public merupakan harga mati untuk selalu diperjunagkan. Salah satu cara agar hal itu tidak lagi menjadi suatu permasalahan yang pada akhirnya menjadi suatu sifat antagonistk terhadap lawan jenis adalah bagaimana Al Qur‟an sebagai pedoman hidup yang tidak memiliki jenis kelamin, dapat ditafsirkan dengan layak serta memberikan solusi yang menjadi rekonstruksi metodologis terhadap wacana kesetaraan jender, sehingga nilai-nilai keadilan sebagai misi dari Al-Qur‟an telah terejawantahkan dalam kehidupan. Makna dari harmonisasi dalam grand title diatas bukan diartikan bahwa Al-Qur‟an tidak harmonis, melainkan untuk menunjukan bentuk teks yang selalu mengedepankan nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun tercover oleh bentuk hegemoni penafsiran yang menggunakan teks-teks pathriarcal sebagai bentuk pertahanan status-quo kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, hal ini yang mengakibatkan seolaholah Al-Qur‟an yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan menjadi hilang dan terbilang disharmonis. Kata Kunci : Al-Qur‟an, Jender, Feminis, Politik, dan Budaya. A. Pendahuluan Allah mewahyukan Kitab suci Al-qur‟an sebagai sumber hukum dan petunjuk serta menjelaskan sistem yang komperehensif dan metode praktis bagi kehidupan. Al-Qur‟an menjelaskan segala sesuatu yang esensial bagi semua manusia. Manusia perlu pengetahuan trasendental seperti halnya perlu pengetahuan metafisika untuk mencapai suatu kesempurnaan dan makna hidup serta inspirasi dalam hidup yang singkat ini. Ukuran dari kesempurnaan dan ketinggian hidup seseorang merupakan obyek utama dalam hidup. Hal tersebut mendidik manusia bagaimana cara mencapai dan meningkatkan martabat sebagai khalifah di bumi untuk mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan.
129
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
Dalam wacana ilmiah, Al-Qur‟an adalah buku yang melambangkan pengetahuan dengan bentuk grand texs, yang memperkenalkan dirinya dalam beberapa kategori.1 Kategori ini yang menjadikan Al-Qur‟an sebagai fundamental corpus (angitanrujukan pertama dalam islam)yang bermodel theocentric dan bersifat antropocentic2, Al-Qur‟an pada akhirnya jatuh menjadi kitab yang ambique dan ambivalensi (mendua).3
1
Beberapa kategori itu adalah; Al-Qur’an mempertunjukan dirinya sebagai petunjuk manusia (hudan); Q.S..al-Baqarah: 2, lalu sebagai manuscrape (kitab); Q.S. al-Kahfi: 1, sebagai pengingat (dzikr): Q.S. al-Nahl: 44, sebagai kenyataan sejarah (historical fact), atau yang (mubin); Q.S. Yusuf: 1, sebagai karim (yang mulia); Q.S. al-Waqiah:, sebagai pembeda (furqan); Q.S. al-Furqan: 1, sebagai firman (kalam); Q.S. al-Taubah: 6 sebagai nur (sinar yang menerangi); Q.S. al-Nisa: 174, sebagai kasih (rahmat); Q.S. Yunus; 58, sebagai sifa (obat); 82, sebagai pesan (mauidah); Q.S. Yunus: 57, sebagai mubarok (barokah); Q.S. Shad: 29, sebagai yang tinggi (‘aliyun): Q.S. al-Zukhruf: 4, sebagai (hikmah); Q.S. al-Qamar: 5, sebagai hakim (penengah); Q.S. Yunus: 1, sbagai muhaimin (exam texs); Q.S. al-Maidah: 48, sebagai hablum (tali, pegangan); Q.S. Ali-Imran: 103, sebagai jalan lurus (smootway); Q.S. al-An’am: 153, sebagai qayyim (pembimbing); Q.S. al-Kahfi: 1-2, sebagai perkataan (qaulan); Q.S. al-Qashash: 51, sebagai pemisah (fashl); Q.S. al- Thariq: 13-14, sebagai berita besar (nabaan ‘adzim); Q.S. al-Naba: 1-2, sebagai mutasyabih, matsani, dan ashanul hadits (kabar terbaik); Q.S. al-Zumara: 23, sebagai (tanzil); Q.S. al-Syu’ara: 192, sebagai (ruh); Q.S. as-Syu’ara: 52, sebagai (wahyu); Q.S. alAnbiya: 45: 45, sebagai ber-(bahasa arab); Q.S. al-Zumar: 29, sebagai basair (pedoman); Q.S. al-Jatsiyah: 20, sebagai (bayan); Q.S. Ali Imran: 123, sebagai (ilmu); Q.S. al-Ra’d: 37, sebagai (haqqun); Q.S. Ali- Imran: 62, sebagai ‘ajabun (yang menkjubkan); Q.S. al-Mudatsir: 54-55, sebagai (al-Imam); Q.S. Ali-Imran: 193, sebagai (‘urwatul wusqa); Q.S. Luqman: 22, sebagai (shidqun); Q.S. al-Zumar: 33, sebagai (‘adlun); Q.S. al-An’am: 115, sebagai (munadi); Q.S. Ali-Imran; 193, sebagai (amrun); Q.S. al-Talaq: 5, sebagai (busyra); Q.S. al-Naml: 1-2, sebagai (majid); Q.S. al-Buruj: 21-22, sebagai (zabur); Q.S. al-Anbiya: 105, sebagai Basyirun nadzirun_; Q.S. Fuslihat: 41, sebagai (aziz); Q.S. Fuslihat: 41, sebagai (balagh); Q.S. Ibrahim: 52, sebagai qoshos (cerita factual); Q.S. Yusuf: 3, sebagai suhuf, mukarromah, marfu’ah, dan (mutahharoh); Q.S. Abasa: 13. Lihat M. Yudhie, R, Haryono, Bahasa Politik Alur’an: mencurigai makna tersembunyi dibalik teks, Cet.1, (Bekasi: gugus Press), 2002, hal. 8-9. 2
. Fazlur Rahman berasumsi bahwa Al-Qur’an walaupun dipersangkakan sebagai Kalamullah, tetapi berdimensi humanities. Akibatnya lebih bersifat aturan main kemanusiaan. Periksa dalam Fazlur Rahman, Najor Thems of The Al-Qur’an, Bibliotheca Islamica, Minepolis, Chicago, 1980. atau lihat juga metode dan Alternatif Neo modernisme Islam, juga islam, New York, Anchor Books 1968. 3
. Sifat ambivalensi ini dapat dilihat dimengerti dengan dua sudut pandang yaitu intern dan ekstern. Keduanya dapat dijelaskan dengan: secara intern Al-
130
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
Dari karakter yang mendua ini,juga dapat diartikan, bagaimana umat islam memposisikan Al-Qur‟an dalam diri dan kehidupannya. Menurut Muthahhari, seorang ulama sekaligus filsof hasil produksi iklim cakrawala dunia Syi‟ah yang menempatkan filsafat sebagai salah satu sentral pemikiran keagamaan adalah terdapat dua cara umat islam dalam mempoisikan Al-Qur‟an, yaitu: dengan pola penglihatan jarak jauh dan jarak dekat. Kedua pola tersebut memiliki ciri, asumsi, dan metode yang bertolak belakang dalam memahai kandungan isi Al-Qur‟an. Pertama, jika diposisikan sebagai pola penglihatan jarak jauh, menurut pandangan Muthahari itu artinya bahwa AlQur‟an sitempatkan pada sebuah tempat yang eksklusif dan istimewa. Hal ini dikarenakan sebuah respeksivitas terhadap kitab suci, namun pengistimewaan ini terkadang dapat menjadikan jarak renggang dengan Al-Qur‟an itu sendiri. Jarak yang dimaksud di sini sama halnya dengan jarak antara imajinasi dan realitas faktual . menurut Muthahhari Al-Qur‟an ditepatkan pada sebuah tingkat yang tinggi atau rendah, sehinga sama dengan imajinasi. Argumentasi yang diajukan adalah karena Al-Qur‟an sebuah mukjizat dan debuah kalam Ilahi. Jika Al-Qur‟an itu sendiri berada dalam dunia imajinatif umat islam, maka bagaimana umat islam dapat mempelajari Al-Qur‟an jika mereka memposisikan Al-Qur‟an ditempat yang mereka sendiri tidak dapat untuk menjangkaunya. Akibatnya, segala bentuk pengetahuan yang terkandung dalam Al-Qur‟an tidak akan pernah dapat tergali menurut Muthahhari, pola pandang jarak jauh itulah yang selama ini berkembang dalam umat islam sehingga wajar adanya jika munculnya jarak antara umat islam dengan kitab sucinya sendiri, yang kemudian menjadi faktor vital terjadinya kemunduran pengaruh ajaran islam. Kedua, pola penglihatan jarak dekat. Ini adalah pola memposisikan Al-Qur‟an yang direkomendasikan Muthahhari untuk mengatasi kemunduran islam, karena pada pola ini AlQur‟an tidak lagi diposisikan sebagai imajinatif, tetapi sebagai realitas faktual, sehingga Al-Qur‟an dapat diyakini sebagai Qur’an punya kekayan kata yang yang absurd dan bermakna benyak. Lihat J.J.G. Janshen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, Tiara Wacana, Yogyakarta, 11987, hal. 13. sedangkan secara ekstern adalah karena kemampuan manusia yang berbedabeda serta dipengaruhi oleh ideologi sosial budaya, waktu dan tempat dimana dia hidup. Sehingga gagasan–gagasan asing sering kali dipaksakan kedalam penasfiran Al-Qur’an , tenpa mmperhatikan konteks sejarah, sastra dan kedalamanya. Salah satu contohnyaa adalah kelompok Asy’ariyah (mazhab ahli sunah) yang meilht secara atomistic tentang keabadian Al-Qur’an. Lihat Taufiq Adnan Amal dan Syamsurial Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1990, hal. 16-18
131
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
sebuah pandangan hidup, karena digunakan dalam realitas faktual dimana umat islam itu berada. Dengan cara itulah , dalam Al-Qur‟an akan ditemukan signifikasi dan daya guna.4 Dari sini maka timbulah beberapa teori yang digunakan dalam memahami teks-teks yang terdapat dalam Al-Qur‟an, diantaranya yaitu , teori semantik5, teori semiotik6, dan teori hermeunetik7. Uraian diatas yang dijadikan sebuah konsep awal ketika kita ingin menyikapi suatu permasalahan keagamaan (religious problem) yang berkaitan dengan memahami teks Al-Qur‟an. Salah satu diantaranya adalah permasalahan seputar kesetaraan jender yang selama ini dijadikan oleh kitab-kitab tafsir sebagai referensi untuk mempertahankan status quo dan melegalkan pola hidup patriarkhi, yang memberikan hak-hak istimewa terhadap kaum laki-laki dan memarginalkan kaum perempuaan. menjadikan laki-laki sebagai jenis kelami utama sedangkan perempuan sebagai jenis kelami kedua (the second sex). Anggapan seperti ini mengendap di alam bawah sadar masyarakat dan membentuk etos kerja yang timpang antara kedua jenis hamba tuhan tersebut. Padahal misi utama AlQur‟an adalah untuk membebaskan manusia dari bebragai 4
Muhammad Ja’far, Pandangan Muthahhari tentang Agama, sejarah, AlQur’an dan Muhammad, (Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Al-Huda : Volume III Nomor 11),Jakarta : 2005 5
Teori semantik ialah suatu konsep aanalisa yang menekankan pada arti, seluk-beluk, dan menggeserkan makna kata. Teori ini agak mirip dengan analisa mufradat dalam kajian Ulum Al-Qur’an. 66
Teori Semiotik secara umum berarti ilmu yang mempelajari simbol atau tanda. Teori ini berfungsi sebagai metode untuk menganalisis suatu realitas dalam pemikiran yang berasal dari realitas ilusi. Semiotik menghubungkan realitas dengan ilusi. Semiotik digunakan untuk menjelaskan makna sebuah simbol. Penafsiran simbol bukan hanya mengambil bentuk wujud fisik seperti sinyal, lampu hujau, kuning, dan merah tetapi juga pernyataan bersifat linguistik. Bahkan, pikiran manusiapun dapat menjadi simbol. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Charles Sanders Pierce (1893-1914) kemudian dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure. 7
Teori Hermeneutik berasl dari bahasa Yunani, “hermeneus” berarti penafsiratau penerjemah. Teori hermeneutik terutama digunakan untuk menfasirkan teks-teks klasik dan meneragkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Prosesnya, pertama kali ada sebuah teks klasik, lalu teks itu dilihat sebagai satu kesatuan yang koheren, kemudian ditafsirkan, setelah itu perbuatan aktor dijelaskan berdasarkan bahan-bahan sejarah. Dengan demikan nuansa sebuah teks itu dapat dimengerti dan danpat dijelaskan. Teori ini dikembangkan oleh F.D. Schleimecher (1766-1834).
132
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
ketimpangan, dan ketidakadilan. Al-Qur‟an selalu menyerukan keadilan (Q.S. al-Nahl/16:90, keamanan dan ketentraman (Q.S. al-Nisa‟/4:58), dan mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali „Imran/3: 104). Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al-syari‟ah (tujuan-tujuan utama syari‟ah) Menurut Yvonne Yazbeck hadad, Al-Qur‟an adalah sueber nilai yang pertama kali menganggap konsep keadilan jender dalam sejarah panjang umat manusia. Diantara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunnya Al-Qur‟an, seperti Yunani (Greek), Romawi, Yahudi, Persia, cina, India, Kristen, dan Arab (pra-Islam), tidak ada satupun yang mnempatkan perempuan lebih terhormat dan lebih bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan oleh Al-Qur‟an. Saat ini yang perlu dilakukan bukanlah menyalahkan setiap penafsiran yang tidak sejalan dengan pemikiran kontemporer, karena setiap mufassir adalah anak zaman-nya (zeit geist), yang mempunyai hak dan kemampuan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an menurut logika dan konteks budaya sesuai dengan zamannya. Tetapi yang perlu kita lakukan ialah bagaimana reinterpretasi Al-Qur‟an dianggap sebagai sesuatu yang on going process, yang harus dilakukan setiap saat seiring dengan perubahan sosial. B. Teks Jender dalam Al-Qur’an Secara umum beberapa teks Al-Qur‟an memang seakan menempatkan pihak perempuan sebagai mahluk kelas dua. Teks itu antara lain dapat kita baca pada; Q.S. al-Nisa/4; 1. Q.S. alA‟raf/7; 189. Q.S. al-Zumar/39; 6. tetapi secara umum ada sekitar 151 ayat yang berbicara tentang jender. Diantara 151 ayat itu adalah Q.S. al—Nahl/ 16; 58-59. al-Taubah/9; 71-72. Ali Imran/3; 195. al-Ahzab/ 33; 35&37. Muhammad/47; 17. alNisa/4; 34&124. al-Nahl/16; 97. al-Mu‟,im/40; 40. al-fath/48; 56. al-Hadid/57; 12. Nuh/71; 28. al-Nur/24; 12&26, dan lainlain.8 Ayat-ayat diatas bila dibaca secara sepintas adalah ayatayat yang bicarakan tentang kedudukan laki-laki dan perempuan (jender9). Dan secara umum apabila dibaca secara scriptural akan 8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Gema Risalah Press Bandung, 1992 9
Istilah dan kata jender sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu Gender yang bermakna jenis klamin, lihat Jhon Dchols da Hassan Shadily, kamus inggris Indonesia, Jakarta Gramedia, 1983, hal.65. istilah ini juga sebenarnya sinonim dengan sex (kelamin). Tetapi menurut kamus Webters News world Dictionary, lihat juga Victoria Neuveldt (ed), Webters News world Dictionary, New York: WNW Clevenland, 1984, hal. 561, jendder diartikan sebagai perbedaan yang tempak
133
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
nampak bias seksis pada tulisan dan bacaannya. Tetapi sesungguhnya argumen kekuasaan lelaki yang begitu besar sudah tidak relevan dikemukakan, karena susungguhnya perbedaan itu bukanlah perbedaan hakiki tetapi melainkan perbedaan fungsional saja. Sebab jika seorang istri mampu dibidang ekonomi dan mampu bekerja kemudian dapat menghidupi keluarganya, maka keunggulan lelaki akan berkurang, bahkan bisa hilang bila laki-laki tidak mampu bersaing dan bekerjasama secara sehat. Dengan demikian argumentasi bahwa lelaki lebih kuat hanya apabila laki-laki mampu untuk menjalankan peran dan pesan Al-Qur‟an secara tepat. Dan itu sesungguhya bukan khas milik laki-laki, melainkan berlaku umum (tidak khas lelaki saja)10 Sebab keunggulan lelaki dalam beberapa ayat Al-Qur‟an selalu dalam konteks tertentu. Misalnya dalam konteks keluarga dan kerumah tanggaan. Selain itu secara umum peran laki-laki dan perempuan adalah sama sebanding dalam rangka berbuat baik. (amar makruf nahi mungkar).11 Dengan demikian, kedepan yang menjadi dorongan dalam melakukan tafsir Al-Qur‟an adalah bukan untuk melelakikan perempuan dalam arti biologis, psikologis dan sosiologis melainkan untuk memungkinkan perempuan bertindak atas pilihan bebas dan sadar sebagaimana dimiliki kaum lelaki. Bahwa perempuan tersebut memilih peran tradisionalnya atau peran barunya sama sekali bukan persoalan. Yang penting ialah bahwa perempuan mempunyai kebebasan untuk memilih dan emutuskan sendiri apa dan bagaimana perannya dimasa depan.12
(kelihatan) antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Tetapi oleh beberapa ahli jender keterangan itu mesti ditambah dan disempurnakan. Wilson (1989) menulis; jender adalah sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif (masyarakat), yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Jadi ada aspek fungsi yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki dan perempuan 10
Fazlur Rahan, Tema Pokok Al-Qur’an (terj). Anas Mahyuddin, Bandung, Pustaka, 1983, hal. 72 11
Agil Husain al-Munawar, ayat-ayat alqur’an tentang permpuan (suatu upaya penafsiran ulang), makalah seminar Overview, LKA), Litbang Depag, 21 Agustus, 2000, al.25-27. 12
Didin Syafruddin, Argumen supremasi atas perempuan, penafsiran klasik Q.S. al-Nsa; 34, dalam Ulumul Al-Qur’an, no. 5-6, Vol V, 1994, hal 6
134
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
C. Prinsip Kesetaraan Jender Dalam Al-Qur’an Ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam Al-Qur‟an. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut :13 a. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada tuhan (Q.S. al-Zariyat/51 :56). Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur‟an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun), dan untuk dapat mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal dengan adanya perbedan jenis kelamin, suku bangsa ataupun etnis tertentu. Al-Qur‟an menegaskan bahwa hamba yang paling ideal ialah para muttaqun. Sebagaimana Allah berfirman “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(Q.S. al-Hujarat/49:13) Dalam kapasitas debagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masig akan mendapat penghargaan dari tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya. Firman Allah dalam Al-Qur‟an : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.”(Q.S. al-Naahl/16:97) 13
Nassarudin Umar, Qur’an untuk Perempuan, JIL dan Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta; 2002, hal 5-24.
135
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
Ditekankan dalam ayat Ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. b. Laki-Laki dan Perempuan Sebagai Khalifah di Bumi Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi, disamping untuk menjadi haba (abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt., juga untuk menjdi khalifh di bumi. Firman Allah : “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. al-An‟am/6:65) Kata khalifah dalam kedua ayat yang disebut terakhir tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan. c. Laki-Laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial Laaki-laki dan perempuan sama-sama ,mengemban amanah dan menerima perjajian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui menjelang seorang anak manusia lahir dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Allah berfirman dalam Al-Qur‟an: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)".”(Q.S. al-A‟raf/7:172)
136
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
Menurut Fakhr al-|Razi, tidak ada seorangpun anak manusia lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka akan disaksikan oleh para Malaikat. Tidak ada seorangpun yang mengatakan tidak.14 Dalam islam , tanggung jawab individu dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Rasa percaya diri seorang perempuan dalam islam semestinya terbentuk semenjak lahir, karena sejak awal tidak pernah diberikan beban khusus berupa dosa warisan seperti yang dikesankan di dalam tradisi Yahudi-Kristen, yang memberikan citra negatif begitu seseorang lahir sebagai perempuan. Dalam tradisi ini, jenis kelamin perempuan selalu dihubunkan dengan drama kosmis, dimana Hawa dianggap terlibat di dalam kasus keluarnya Adam dari surga, dan terhadap kesalahannya itu maka kepada perempuan, dijatuhkan sanksi sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian (3): 12 dan 16. Begitu juga dalam Kitab Talmud (Eruvin 100b) disebutkan bahwa akibat pelannggaran Hawa/Eva di Surga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung 10 beban penderitaan.15 Ini berbeda dengan Al-Qur‟an yang mempunyai pandangan lebih positif terhadap manusia. Al-Qur‟an menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam.
14
Fakr Al-Razi, Al –Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Haya al-Taurats al-Arabi, 1990, Jilid XV, hal.402. 15
Beban penderitaan itu adalah; Pertama, perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami Hawa, Kedua, perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit, Ketiga, perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anakanaknya, Keempat, perempuan akan merasa malu terhadap dirinya sendiri, Kelima, perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua, Keenam, perempuyan akan merasa sakit pada waktu melahirkan, Ketujuh, perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki, Kedelapan, perempun yang masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi, Kesembilan, perempuan akan sangat berhasrat melakukan hubungan seks dengan suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya, Kesepuluh, perempuan lebih suka tinggal di rumah. Lihat I. Epstein, (Editorship), Herbrew-Engglish Edition of The Babilonia Talmud, Vol.1 (Erubin), London, Jarusalenm: The Sonicino Press, 1976, hal.100b
137
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.” (Q.S. al-Israa‟/17:70) Kata ÈäìÁ ÇÏã dalam ayat ini menunjuka kepada seluruh anak-cucu Adam, tanpa membedakan jenis kelamin, sukubangsa, dan warna kulit. Dalam Al-Qur‟an, tidak pernah ditemukan satupun ayat yang menunjukan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu. Kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi islam sejak awal terlihat begitu kuat. d. Adam dan Hawa, Terlibat Secara Aktif dalam Drama Kosmis Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar Bumi, selalu menekankan keduanya secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma), yaakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini : 1. Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga. Allah menyebutkan dalam Al-Qur‟an : “Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini16, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”(Q.S. al-Baqarah/2:35) 2. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan :
16
Pohon yang dilarang Allah mendekatinya tidak dapat dipastikan, sebab
Al Quran dan Hadis tidak menerangkannya. ada yang menamakan pohon khuldi sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120, tapi itu adalah nama yang diberikan syaitan.
138
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)".(Q.S. alA‟raf/7/20) 3. Sama-sama menentukan buah Khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke bumi. Sebagaiana firman Allah : “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?".” (Q.S. al-A‟raf/7: 22) 4. sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan : “Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya Pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. alA‟raf/7 : 23) 5. setelah di Bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling mebutuhkan :
139
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu.” (Q.S. al-Baqarah/2 : 187) Pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur‟an di atas, agak berbeda dengan pernyataan-pernyataan dalam Alkitab yang membebankan permasalahan lebih berat kepada Hawa disebutkan secara bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggungjawab terhadap drama kosmis tersebut. Jadi, tidak dapat dibenarkan jika ada anggapan yang menyatakan perempuan sebagai mahluk penggoda yang menjadi penyebab jatuhnya anak manusia ke bumi penderitaan. e. Laki-Laki dan Perempuan Berpotensi Meraih Prestasi dalam hal berpeluang mencari prestasi maksimum, tidak ada pembedan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam tiga Ayat Al-Qur‟an berikut : tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."(Q.S. al-Imran/3 : 195) Maksud dari ayat ini sebagaimana laki-laki berasal dari lakilaki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
140
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik lakilaki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”(Q.S. al-Nisa‟/4 : 124) “Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu. dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, Maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.”(Q.S. alM‟umin/40 : 40) Ayat-ayat ini mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir professional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Lakilaki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyatan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulid diselesaikan. Salah satu obsesi Al-Qur‟an ialah terwujudnya keadilan didalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur‟an mencakup segala jenis kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. D. Reinterpretasi Ayat Jender dalam Bingkai Politik dan Budaya Feminimisme dan jender seakan menjadi counter culture sebagai kultur lama yang telah sekian lama bertahan. Menurut Kamla Bashin dan Nighat Sait Khan isu feminimisme harus dikemukakan karena beberapa hal; Pertama, banyak perempuan sepakat mengatakan bahwa meraka menjadi tertindas oleh dominasi laki-laki selama berabad-abad.17 Banyak bukti yang dapat kita temukan dengan persoalan ini. Fenomena maraknya rumah bordil dan wanita Tuna Susila (WTS) menjadi gambaran dari begitu tertindasnya kaum perempuan di dunia ini. Kedua, wacana patriarkhi seakan dibiarkan menjadi pandangan yang abasah serta mainstream bagi pola dan hubungan antar manusia. Kaum laki-laki menurut pandangan ini adalah kaum penguasa yang dapat berbuat apa saja terhadap perempuan. 17
Kamla Bashin dan Nighat Said Kan, some Question on feminism and its relevance in sout Asia, New Delhi, Kali For Women Third Impression, 1988, hal. 1
141
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
Dari sinilah akhirnyaa bermunculan pemikiran feminisme di dunia Islam yang sudah dikenal sejak awal abad ini, misalnya pemikiran-pemikiran Aysiyah Taymuriyah, penulis dan penyair Mesir; Zaeynab Fawwaz, esais libanon; Rokeya sokhawati Hossain dan Nazar Sajjad Haydar. Termasuk pula R.A. Kartini, Huda Sya‟wari, Malak Hifni Nasir yang dikenal Bathithat alBadiyah, dan Nabawiyah Musa dari Mesir, serta fatme Aliya dari Turki.18 Mereka dikenal sebagai para peintis besar dalam menumbuhkan kesadaran atas persoalan jender, termasuk dalam melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak mengungkung kebebsan perempuan. Kemudian dewasa ini kembali bermunculan feminis perempuan di dunia Islam seperti Rifatt Hasan, Fatima Mernissi, Nawal Sadawi, Amina Wahdud Muhsin, dan sebgainya termasuk Wardah Hafiedz, Lies Marcoes-Natsir dan Siti Ruhaini, serta Nurul Agustina, dalam lingkup Indonesia, mereka menyadari bahwa banyak hukum agama, misalnya hukum keluarga, praktek keagamaan dan termsuk pula soal keabsahan kepemimpinan sosial-politik apalagi keagamaan bagi perempuan disusun berdasarkan patriarkhi. Pandangan ini juga sering kali dibuat kuat oleh adanya dalil supremasi lelaki di atas perempuan. Al-Qur‟an menyebutnya dalam beberapa suratnya, namun yang biasa dijadikan sebagai ayat legitimasi kekuasaan laki-laki adalah firman Allah swt: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri. ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka 18
Iihat margot badran, femismt dalam john l. Esposito, the oxford ensyclopedy of modern Islamic world (oxford : oxford university press, 1995), jilid 2, hal. 18-23.
142
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(Q.S. al-Nisa/4 : 34) Terjemahan versi departemen Agama RI tersebut diatas dapat dikritisi sebgai berikut : “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum perempuan” kata qawwamah sebenarnya tidak mesti harus berarti pemimpin, tetapi bisa juga berarti pelindung, pemelihara atau pendamping. Abdullah Yusuf Ali menerjemahkannya ke dalam bahasa inggris dengan : “Man are the protectors and mainteners of women” (laki-laki adalah pelindung dan pemelihara bagi perempuan). Jika diartikan pemimpin maka konotasi hubungan laki-laki dan perempuan bersifat struktural, ada yang diatas sebagai pemimpin, dan ada yang dibawah sebagai terpimpin. Jika diartikan pelindung atau pemelihara maka konotasi hubungan laki-laki dengan perempuan bersifat fungsional, tanpa harus ada yang diatas dan dibawah. Arti yang terakhir ini lebih sesuai dengan obsesi Al-Qur‟an tentang relasi jender laki-laki dan perempuan, yaitu hubungan yang bersifat fungsional dan komplementer yang didasari dengan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) sebagaimana disebut dalam (Q.S. al-Rum/30:21). Terjemahan diatas solah-olah memutlakan laki-laki menjadi pemimpin. Jika dengan demikian adanya maka kurang sejalan dengan potongan ayat berikutnya yang menetapkan unsur keutamaan (tafdil) dan unsur ini bisa diakses oleh laki-laki dan perempuan, sebagaimana dapat difahami melalui redaksi yang digunakan Allah swt., yakni : بعضهم على بعضkata ini selalu digunakan untuk menggabarkan adanya potensi dan kesmpatan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Muhammad Abduh dalam Al-Manar-nya tidak memutlakan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Alasannya karena ayat ini tidak menggunakan kata بمافضل هللا عليهنatau بتفضيلهم عليهنyang lebih tegas menunjuk laki-laki mempunyai kelebihan di atas perempuan, tetapi ayat tersebut mengatakan بما فضل هللا بعضهم على بعض “oleh karena Allah telah emberikan kelebihan diantara mereka diata sebagian yang lain.” Kemiskinan kosa kata bahasa Indonesia menjadi slah satu faktor munculnya bias jender dalam pemahaman Al-Qur‟an sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia tidak ada kosa kata yang dapat membedakan antara jenis kelamin secara biologis (sex term) dan jenis kelamin secara budaya (gender term). Dalam bahasa Arab kedua istilah tersebut dapat dibedakan. Secara umum Al-Qur‟an konsisten menggunakan kedua jenis kosa kata itu. Jika Allah swt. Akan mengugkapkan jenis kelamin secara
143
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
biologis digunakan kata al-dzakar untuk laki-laki dan kata al„untsa untuk perempuan. Jika ada yang diungkap jenis kelamin secara budaya maka digunakan kata al-rajul (jamaknya al-rijal) untuk laki-laki dan al-imarah (jamaknya al-nisa) untuk perempuan. Ayat diatas menggunakan kata al-rijal dan al-nisa‟19, bukannya digunakan kata al-zukurah dan al-inas. Tidak semua laki-laki secara biologis dapat disebut al-rijal. Anak laki-laki yang baru lahir, meskipun ketahuan jenis kelaminnya tetapi belum bisa disebut ar-rajul karena belum menyandang peran budaya dalam masyarakat. Dengan demikian, ayat tersebut diatas tidak memutlakan seorang laki-laki menjadi pemimpin, karena term yang digunakan adalah term budaya bukan term biologis.20 Jadi ayat diatas tidak bisa dijadikan dalil; untuk menolak kepemimpinan perempuan. Karena masalah kepemimpinan hak asasi bagi setiap orang yang memenuhi persyaratan, dan dalam persyaratan itu terbuka lebar peluang bagi laki-laki dan perempuan. Dalam hal kepemimpinan terdapat hadis yang membatasi peran sosial dan politik kaum perempuan, yaitu sebuah hadis nabi dari Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari : “ Barang siapa yang menyerahkan urusan merka kepda kaum perempuan , maka mereka tidak akan pernah memperoleh kemakmuran.” Hadis seperti ini menurut Fatima Mernissi dianggap sebagai hadis misoginis. Mernissi meragukan hadis ini, lantaran hadis ini baru popular setelah munculnya masalah politik antara Aisyah dan „Ali. Dan ternyata Abu Bakrah berada di pihak Ali. Dalam klsifikasi hadis, Syah Waliyullah ad- Dahlawi membagi hadis menjadi dua bagian : pertama hadis yang disampaikan Nabi sebagai bagian dari penyampaian risalah dan hadis hadis yang disampaikannya tidak sebagai bagian dari risalah. Dan hadis tentang kepeimipinan diatas adalah tipikal 19
Dalam Al-Qur’an kata al-rijal disebut 55 kali dengan pengertian yang berbeda-beda. Yakni 1) jender laki-laki (Q.S. al-Baqarah/2 : 282. termasuk dalam pengertian ini adalah Q.S. al-Nisa’/4: 34 yang biasanya digunakan untuk menolak kepemipinan perempuan di ruang publik. 2)orang, baik laki-laki maupun perempuan (Q.S. al-A’raf/7 : 46), 3) Nabi atau Rasul (Q.S. al-Anbiya’/21 : 7), 4) tokoh masyarakat (Q.S. Yasin /36 : 20), 5) budak (Q.S. az-Zumar/39 : 29). Sedangkan kata al-nisa dalam Al-Qur’an sidebut sebanyak 59 kali dengan kecendrungan adalah : 1) jender perempuan (Q.S.) al-Nisa’/4 : 7 &32), sebagi Istri (Q.S. al-Baqarah/2 :222 & 223). Lihat Wahyono Abdul |Ghofur, Tafsir Sosial, mendialogkan Teks dengan konteks, Cet. I, (eLSAQ Press ; Yogyakarta), 20905, hal. 106-107 20
Uraian lebih lengkap mengenai masalah ini lihat, Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Qur’an, Cet.II, Jakarta : Paramadina, 2001.
144
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
hadis yang kedua, dan dapat ditinggalkan pengamalannya, karena hadis itu disampaikan Nabi untuk mengomentari berita yang sampai kepadanya nahwa bangsa Persia yang baru saja mengalami kekalahan dalam perang melawan Bizantium, mengangkat Buwaran, puteri Kisra Anusyirwan sebagai kepala Negara kota mereka. Nabi yang ketika itu sudah menjadi kepala Negara Madinah (Nabi menyatakan komentarnya itu setelah berkirim surat kepada Anusyirwan untuk mengajaknya masuk islam) sudah barang tentu mengetahui kekuatan masing-asing dari dua negara yang telah lama terlibat peperangan itu. Berdasarkan pengetahuan itu beliau bisa memprediksi bahwa Persia akan bisa dikalahkan Bizantium. Beliau sangat yakin akan kebenaran prediksinya setelah diketahui bahwa yang menjadi Kisra Persia adalah seorang perempuan yang tidak memiliki pengalaman tempur. Jadi sabda nabi hanya ditujukan kepada bangsa Persia di saat itu saja. Dan kata “tidak akan” (lan) dalam sabdanya itu tidak dimaksudkan untuk menyatakan nafy alistiqbal, tetapi untuk menyatakan keyakinan akan kebenaran prediksinya.21 Ayat lain yang disandarkan untuk melegitimasi kekuasaan seorang laki-laki adalah firman Allah : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. 22 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.(Q.S. al-Nisa‟/4 : 1) Penafsiran pada ayat diatas lebih tertuju pada makna dhomir yang pertama () منهاkepada kata nafsin wahidah, yakni Adam, dan dhmir kedua ()زوجهاkepada Hawa. Adapun Abu Muslim 21
Hamim Ilyas, Kontekstualisasi Hadis dalam studi Gender dan Islam, Lihat, Siti Ruahini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacna keseteraan Gender dalam Islam., Pustaka Pelajar ; Yogyakarta. Hal. 183-184 22
Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
145
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
al-Ishafani yang diikuti oleh Muhammad Abduh23 mengembalikan dhamir kepada kata nafsin, yakni diri yang satu, yaitu unsur pembentuk Adam, bukan kepada kata nafsin wahidah yang ditafsirkan oleh jumhur ulama dengan Adam; dan dhamir kedua dikembalikan kepada pesangan genetik diri yang satu. Kitab-kitab tafsir mu‟tabar24 kesemuanya mengembalikan dhamir ( )هاkepada nafs wahidah, yaitu Adam, bahkan dhamir ini ditafsirkan dengan dari bagian tubuh Adam, dan kata ()نفس واحدة ditafsirkan dengan Hawa istri Adam. Alasan mereka ialah adanya beberapa hadis nabi yang mengisyaratkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam, diantara hadis tersebut adalah hadis dari Abu Hurairah r.a yang redaksinya “ sesungguhnya perempuyan seperti tulang rusuk , jika kalian mencoba meluruskan ia akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya maka kalian akan menikmatinya dengan tetap keadaan bengkok”25.
23
Alasan penolakan ?Muhammad Abduh adalah sebagai beriku : 1) ayat ini diawali dengan ya ayyuha nnass, berarti ditujukan kepada semua manusia, bagaimana Adam sedangkan Adam tidak diakui keberadaanya oleh kebanyakan uamt manusia sebagai manusia pertama. Dengan demikan kata nafsin wahidah dalam ayat ini adalah yang diakui secara universal oleh umat manusia, 2)kalau yang digunakan Adam mengapa mengunakan bentuk nakirah tidak menggunakan bentuk ma’rifah, 3) silsilah keturunan Adam dan Hawa sebagai nenek moyang manusia lebih dikongkritkan di dalam masyarakat Yahudi, 4) Adam sendiri masih merupakan misteri dikalangan ulama tafsir. Kalangan Mufassir mengisyaratkan adanya Adamadam sebelum Nabi Adam, seperti dikemukakan oleh al-‘Alusi dalam Tafsir Ruh alMa’ani, sesungguhnya Allah telah menciptakan 30 Adam sebelum nenek moyang kita, dan jarak antara Adam yang satu dengan yang lain sekitar 1000 tahun, lalu jarak antara Adam-Adam itu dengan nenek moyang kita sekitar 100.000 tahun. Adam-Adam inilah yang dijadikan dasar para Malaikat bahwa manusia juga nanti akanmelakukan pertumpahan darah (Q.S. al-Baqarah/2 : 30)jika mereka diciptakan, 5) mengenai kata nafs dalm ayat diatas, Abduh mengutip pendapat pendapat para filosof yang menganggap nafs dan ruh mepunyai arti yang sama, yaitu sesuatu yang bersifat non materi. Dengan demikan tidak bisa dikonotasikan Adam yang konotasinya materi. Lihat kembali, Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan, hal.56-58. 24
Tafsir mu’tabar yang dimaksud yaitu : Tafsir Al-Qurthbi, Tafsir Al-Mizan, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Ruh al-Bayan, Tafsir al-Kasysyaf, Tafsir Jami al-Bayan, dan Tafsir al-Maraghi. 25
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari (3084), Muslim (2669), al-Darimi (2125), dn Ahmad Ibn Hanbal. Lihat Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid II, hal. 449,497,530.
146
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
Menurut al-Isfahani, jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295 kali dalam berbagai bentuknya dalam Al-Qur‟an, tidak satupun dengan tegas menunjuk kepada Adam. Kata nafs berarti jiwa (Q.S. alMaidah/5 : 32), nafsu (Q.S. al-Fajr/89 : 27) dan Nyawa/roh (Q.S. al-Ankabut/29 : 57). Kata al-nafs al-wahidah sebagai asal-usul kejadian terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain, kata nafs juga menjadi asal-usul binatang, seperti dalam Q.S. al-Syra‟/42 : 11. kalau dikatakan alnafs al-wahidah adalah Adam, berarti adam juga menjadi asalusul kejadian hewan dan tumbuh-tumbuhan. Menurut penafsiran seorang feminis muslim Aminah Wadud Muhsin, istilah nafs dalam ayat diatas, tidak terbatas pada satu jender saja, misalnya laki-laki begitu pula tidak secara eksplisit bahwa perempuan diciptakan dari nafs Adam saja. Karena itu, kedudukan laki-laki dan permpuan di hadapan tuhan adalah sama dan sederajat. E. Penutup Konsep relasi jender di dalam Al-Qur‟an mengesankan bahwa Al-Qur‟an sebagai suebuah kitab suci pada dasarnya merupakan sesuatu yang ideal, karena hal itu merupakan bentuk redaksionis idealitas dari tuhan, namun terkadang manusia sulit untuk memahami idealitas dari tuhan sendiri. Hal ini menunjukan bahwa Al-Qur‟an cendrung mempersilahkan kepada kecerdasan-kecerdasan manusia didalam menata kembali pembagian perantara laki-laki den perempuan, melalui bentuk pemahaman terhadap teks dengan pelbagai bentuk penafsirannya. Sehingga hal ini menjadi isyarat adanya hak-hak kebebasan dalam memilih.yang sismbiosis mutualisme atau saling menguntungkan antara keduanya. Al-Qur‟an tidak menafikan adanya perbedaan anatomi biologis, tetapi bagaimana perbedan ini tidak dijadikan dasar untuk mengistimewakan jenis kelamin di atas jenis kelamin lainnya. Ayat-ayat jender ini memberikan panduan secara umum bagaimana mencapai kualitas individu amasyarakat yang harmonis baik dalam kehidupan sosial agama, budaya dan politik. Shingga tidak mnjadikan feminist phobia yang mebuat kaum perempuan menjauh bahkan meninggalkan nilai-nilai Qur‟ani. Karena sesungguhnya Al-Qur‟an tidak memberikan beban jender secara mutlak dan kaku kepada seseorang, tetapi bagaimana agar beban jender itu dapat memudahkan manusia memperoleh tujuan hidup yang mulia di dunia dan akhirat. Wallahu a‟lam bis shawab DAFTAR PUSTAKA
147
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No.1 Maret 2011
Agil Husain al-Munawar, Ayat-Ayat Al-Qur‟an Tentang Perempuan (suatu upaya penafsiran ulang), Makalah Seminar Overvieuw, LKA, Litbang Depag, 21 Agustus, 2000, Jakarta. Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, Jilid II, Beirut : Dar al-Fikr, T.Th Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : Gema Risalah Press, 1992 Didin Syafruddin, Argumen Supremasi atas Perempuan, penafsiran klasik Q.S. al-Nisa; 34, dalam Ulumul Al-Qur‟an, no. 5-6, vol v, 1994. Fakhr Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, Beirut : Dar al-Haya al-Turats alArabi, Jilid XV, 1990 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur‟an, (terj). Anas Mahyuddin, Bandung : Pustaka, 1983 Jhon Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1983. Muhammad Ja‟far, Pandangan Muthahhari tentang Agama, sejarah, Al-Qur‟an dan Muhammad, Jakarta : Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam, Al-Huda : Volume III Nomor 11, 2005. Nassarudin Umar, Argumen Kesetaraan jender perspektif Qur‟an, Jakarta : Paramadina, Cet II, 2001 ---------------------, Qur‟an untuk Perempuan, JIL dan Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta; 2002. M. Yudhie, R, Haryono, Bahasa Politik Al-Qur‟an: mencurigai makna tersembunyi dibalik teks, Cet.1, Bekasi: Gugus Press, 2002. J.J.G Janshen, Diskursus Tafsir Al-Qur‟an Modern, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987. I. Epstein, (Editorship), Herbrew-Engglish Edition of The Babilonia Talmud, Vol.1 (Erubin), London, Jarusalenm: The Sonicino Press, 1976. Kamla Bashin dan Nighat Said Kan, Some Question On Feminism And Its Relevance In Sout Asia, New Delhi : Kali For Women Third Impression, 1988.
148
Siti MAjidah, Harmonisasi Al-Qur‟an terhadap Wacana Gender (Sebuah Pemahaman Teks dalam Bingkai Feminis, Politik dan Budaya)
Margot Badran, femism dalam john L. Esposito, The Oxford Ensyclopedy Of Modern Islamic World, jilid 2, oxford : oxford university press, 1995. Siti
Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Taufiq
Adnan Amal dan Syamsu rizal Panggabean, Kontekstual Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 1990.
Tafsir
Victoria Neuveld (ed), Webters News World Dictionary, New York : WNW Clevenland, 1984. Wahyono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks Dengan Konteks, Cet. I, Yogyakarta ; eLSAQ Press, 2005. Yvonne Yazbeck Haddad, 1980, Contemporary Islam and Challenge of History, New York : State University of New York
149