Jurnal Agustus 2012 - Komisi Yudisial

75 downloads 348 Views 4MB Size Report
2 Ags 2012 ... HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA ... Jurnal. Yudisial. Vol. 5. No. 2. Hal. 117-240. Jakarta. Agustus 2012. ISSN.
ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

JURNAL YUDISIAL Vol. 5 No. 2 Agustus 2012 Hal. 117-240

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat Telp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685 email : [email protected]

KUASA PARA PENGUASA PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011 Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung

KETEPATAN HAKIM DALAM PENERAPAN PRECAUTIONARY PRINCIPLE SEBAGAI "IUS COGEN" DALAM KASUS GUNUNG MANDALAWANGI Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004 Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Kajian Putusan MA Nomor. 862 K/Pid.Sus/2010 Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM KASUS GADAI YANG TERINDIKASI "SANRA PUTTA" Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP A. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone

WANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEWAJIBAN HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Kajian Putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM: UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA Kajian Putusan MA Nomor. 653/K/Pid/2011 Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten

Jurnal Yudisial

Vol. 5

No. 2

Hal. 117-240

Jakarta Agustus 2012

ISSN 1978-6506

ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

KUASA PARA PENGUASA

Jurnal Yudisial

Vol. 5

No. 2

Hal. 117-240

Jakarta Agustus 2012

ISSN 1978-6506

I

jurnal agustus 2012-arnis.indd 1

7/27/2012 3:11:20 PM

DISCLAIMER

J

urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal. Alamat Redaksi: Gedung Komisi Yudisial Lantai 3 Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email: [email protected]

II

jurnal agustus 2012-arnis.indd 2

7/27/2012 3:11:20 PM

MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2012. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT. 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

(Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)

2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum.

(Pakar Metodologi Hukum dan Etika)

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum.

(Pakar Hukum Hukum Pidana)

4. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H.

(Pakar Hukum Pidana)

III

jurnal agustus 2012-arnis.indd 3

7/27/2012 3:11:20 PM

TIM PENYUSUN

Penanggung Jawab : Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si. Pemimpin Redaksi : Drs. Patmoko (Bidang Studi Ekonomi dan Pembangunan) Penyunting

: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)



2. Onni Rosleini, S.H., M.Hum., M.Si. (Bidang Hukum Pidana)



3. Heru Purnomo, S.H. (Bidang Ilmu Hukum)



4. Imran, S.H., M.H. (Bidang Ilmu Hukum Pidana)



5. Asep Rahmat Fajar, S.H., M.A. (Bidang Sosiologi Hukum)



6. Suwantoro, S.E., M.M. (Bidang Ekonomi dan Komputer) 7. Duke Arie W, S.H., M.H. (Bidang Hukum Tata Negara)

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian, S.IP. Sekretariat

Arnis Duwita Purnama, S.Kom.



: 1. Sri Djuwati



2. Yuni Yulianita, S.S.



3. Romlah Pelupessy, S.E.



4. Ahmad Baihaki, S. Kom.



5. Arif Budiman. S.Sos.



6. Drs. Adi Sukandar



7. Aran Panji Jaya, S.T.



8. Nur Agus Susanto, S.H., M.M.

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra, A.Md.

IV

jurnal agustus 2012-arnis.indd 4

7/27/2012 3:11:20 PM

PENGANTAR

P

KUASA PARA PENGUASA

enyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), tidak milik pejabat pemerintah, pemangku jabatan kekuasaan kehakiman, wakil rakyat, tapi dapat dilakukan oleh pemangku kebijakan korporasi hingga para individu. Potensi abuse of power dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja tanpa pernah mengenal kasta. Kekuasaan bagi sebagian besar pemangku kuasa laksana anggur merah yang memabukkan. Kekuasaan seringkali melalaikan para pengampu sehingga cenderung melupakan esensi dari amanah dan pertanggungjawaban. Jangan heran apabila realitas menunjukkan pemangku kuasa seringkali terlena dan berlomba-lomba mencecap “kenikmatan semu” singgasana kekuasaan. Mereka tanpa sadar sudah terbawa pusaran kekuasaan sehingga terjerumus ke dalam bilik-bilik penjara. Tidak berlebihan apabila banyak penguasa dan pengusaha harus tersangkut dengan persoalan hukum seperti saat ini. Tidak berlebihan apabila Lord Acton mengatakan kalimat tersohor bahwa power tend to corrupt, kekuasaan cenderung disalahgunakan oleh para pemiliknya, penguasa. Begitu pula dengan sabda Nabi SAW, qullukum ro’in, waqullukum ro’iyaatihii, setiap hamba adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban. Mengurai sabda itu, kekuasaan dimaknai tidak hanya milik para pejabat lembaga pemerintahan, tapi juga para legislator dan pengampu kekuasaan kehakiman yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Merujuk pada pandangan dan realitas di atas, Jurnal Yudisial kali ini mengangkat tema “Kuasa Para Penguasa”. Argumentasi tema berdasarkan kajian-kajian yang sudah dituliskan oleh penulis Anton F. Susanto, Loura Hardjaloka, Yeny Widowaty, A. Nuzul, Widiada Gunakaya, dan Rena Yulia menyimpulkan bahwa hakim, pengusaha, pejabat pemerintahan hingga individu, dapat dengan mudah mengendalikan kekuasaan yang dimiliki agar sesuai dengan keinginannya. Mereka tanpa sadar “bermain mata” dengan hukum sehingga merugikan hak orang lain dan menciderai rasa keadilan. Apabila keadilan sudah tercemari kepentingan dan kekuasaan, maka makna dan harga keadilan itu sendiri telah sirna. Untuk itulah, kajian-kajian dalam jurnal ini diharapkan mampu mendorong terwujudnya keadilan sebagai esensi keagungan lembaga peradilan. Sebagai penutup, kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua, Wakil dan para Ketua Bidang Komisi Yudisial, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial, Mitra Bestari dan semua pihak yang telah membantu dalam penerbitan Jurnal Yudisial. Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

V

jurnal agustus 2012-arnis.indd 5

7/27/2012 3:11:20 PM

JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. UDC: 342.228

UDC: 343.85

Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas

Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas

Pasundan, Bandung)

Indonesia, Depok)

Problematika Nalar dan Kekuasaan

Ketepatan

Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011

Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen”

dan

kredibilitas

seorang

dalam

Penerapan

dalam Kasus Gunung Mandalawangi

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 117-133 Kualitas

Hakim

Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004

hakim

ditentukan oleh putusan yang dibuatnya,

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 134-153

sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau

Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian

wibawa hakim terletak pada putusannya.

melahirkan suatu tanggung jawab mutlak

Kewibawaan

dengan

kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada

sendirinya kalau putusan-putusannya tidak

ada tidaknya pembuktian dari para tergugat.

berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan

Kasus sebagaimana dianalisis dalam artikel ini

keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan

bukanlah bencana alam karena kejadiannya dapat

yang dianggap kontroversial dan berkonotasi

diprediksi namun para tergugat tidak menjalankan

negatif,

prinsip

hakim

yaitu

akan

putusan

luntur

MARI

No.

36P/

kehati-hatian

untuk

mencegahnya.

Hum/2011, yang dipandang tidak memenuhi

Para tergugat berdalih bahwa prinsip ini belum

aspek prosedural dan material, jauh dari nilai-

menjadi hukum positif di Indonesia, akan tetapi

nilai kepastian dan keadilan, bahkan terdapat

prinsip ini telah dipandang sebagai ius cogen

sinyalemen

yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan

Putusan

adanya

konflik

memperlihatkan

kepentingan.

kekuasaan

lebih

diakui oleh masyarakat Internasional secara

dominan daripada hakikat kebenaran itu sendiri,

keseluruhan serta sebagai norma yang tidak

yang memperlihatkan masih kentalnya arogansi

dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh

birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan

suatu norma hukum dasar Internasional umum

membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas

yang baru yang mempunyai sifat yang sama.

hakim perlu mendapat perhatian utama dalam

(Loura Hardjaloka)

peningkatan kapasitas hakim, khususnya yang

Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen,

diselenggarakan oleh Komisi Yudisial.

tanggung jawab mutlak.

(Anthon F. Susanto) Kata

kunci:

kode

etik,

profesionalisme,

kebenaran, keadilan.

VI

jurnal agustus 2012-arnis.indd 6

7/27/2012 3:11:20 PM

UDC: 343.221

korporasi, tanggung jawab mutlak, tindak

Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas

pidana lingkungan hidup.

Islam Indonesia, Yogyakarta) Pertanggungjawaban

Pidana

UDC: 347.243

Korporasi

Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri,

Terhadap Korban dalam Kasus Tindak Pidana

Watampone)

Lingkungan Hidup Kajian

Putusan

MA

Nomor

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan Dalam

862K/Pid.

Sus/2010

Kasus Gadai yang Terindikasi “Sanra Putta”

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 154-169

Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP

Pihak yang paling menderita akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan adalah para

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 170-188

korban. Oleh karena itu setiap pihak yang

Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis:

melakukan kegiatan yang merugikan korban

sanra tanah) di masyarakat Kab. Bone pada

harus bertanggung jawab terhadap akibat dari

kenyataannya tidak mengikuti ketentuan Pasal

perbuatan yang dilakukannya. Dari kasus yang

7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan

dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa sanksi

Luas Tanah Pertanian, di mana pemilik barang

pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada

gadai tetap berkewajiban mengembalikan uang

tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,

tebusan. Begitu pula perjanjian gadai atas tanah

maupun Mahkamah Agung masih berfokus

dilaksanakan hanya secara lisan (tidak ada bukti

pada pelaku kejahatan (offender) sebagai

tertulis) dan tidak adanya saksi. Lazim pula

fokus utama dari sanksi pidana. Dengan hanya

pelaksanaan gadai atas tanah kemudian berubah

menjatuhkan pidana pada diri pelaku, dalam hal

(diteruskan) menjadi jual beli, yang dalam istilah

ini direktur PT DEI, sisi perlindungan terhadap

adat kebiasaan masyarakat setempat disebut

korban belum diberikan. Pertanggungjawaban

dengan sanra putta (jual putta). Jika terjadi

pidana korporasi terhadap korban tindak

permasalahan hukum di kemudian hari, misalnya

pidana lingkungan hidup dikatakan ideal

salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau

apabila korban tindak pidana lingkungan

mengingkari kesepakatan yang pernah mereka

hidup juga mendapatkan perlindungan hukum

lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan

berbentuk pemberian ganti kerugian maupun

biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi,

pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar

sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim

korban mendapat perlindungan hukum yang

yang menangani kasus demikian seyogianya

merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku

mencermati adanya latar belakang perjanjian

terhadap korban, adalah dengan penerapan asas

demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/

tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam

PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya

tindak pidana lingkungan hidup dengan syarat-

jual beli tanah yang disebut sanra putta.

syarat tertentu.

(A. Nuzul)

(Yeni Widowaty) Kata

kunci:

pertanggungjawaban

Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah,

pidana

sanra putta.

VII

jurnal agustus 2012-arnis.indd 7

7/27/2012 3:11:20 PM

UDC: 347.42 Gunakaya

W

tidak dapat dituntut menurut hukum pidana. (Sekolah

Tinggi

Hukum

(Widiada Gunakaya)

Bandung) Wanprestasi Dipenuhinya

Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum Sebagai

Kualifikasi

Kewajiban

Tidak

Hukum

pidana, wanprestasi, kerugian keuangan negara.

yang

Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara

UDC: 343.22

Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN.

Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan

Bdg.

Ageng Tirtayasa Banten)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 189-223

Penerapan Keadilan Restoratif dalam Putusan

Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa

Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik Melalui

ini perkembangannya sudah sangat sistemik

Sistem Peradilan Pidana

dengan tidak hanya merugikan keuangan

Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011

negara atau perekonomian negara tetapi juga

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 224-240

telah merampas hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas. Salah satu upaya

Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di

pemberantasannya adalah dengan menetapkan

pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar

ajaran “sifat melawan hukum material” dalam

rasa keadilan masyarakat kecil. Sepertinya

fungsinya yang positif ke dalam UU No. 31

keadilan tidak pernah berpihak kepada mereka.

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Keadilan lebih banyak didekati dari perspektif

Pemberantasan

prosedural

Tindak

Pidana

Korupsi.

bukan

keadilan

substansial.

Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan

Sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang

Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006

dianalisis di dalam artikel ini, penjatuhan

telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum,

putusan untuk kasus yang terbilang “sederhana”

karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D

ini akan lebih tepat jika didasarkan pada filosofi

ayat (1) UUD 1945 tentang “kepastian hukum

pemidanaan keadilan restoratif. Penulis yakin

yang adil” sebagai salah satu prinsip negara

bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah

hukum. Padahal dalam rangka pemberantasan

saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasus-

korupsi, penerapan kaidah hukum dimaksud

kasus sederhana seperti ini.

dapat dibenarkan sekaligus juga efektif. Hakim

(Rena Yulia)

di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung dalam

Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan

putusan No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg yang

restoratif, kasus pidana sederhana.

dibahas dalam artikel ini seharusnya juga menerapkan kaidah hukum tersebut, karena terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum yang harus dilakukan sehingga secara nyata telah menimbulkan kerugian keuangan negara. Hakim mempertimbangkan perbuatan terdakwa itu sebagai ingkar janji (wanprestasi) sehingga

VIII

jurnal agustus 2012-arnis.indd 8

7/27/2012 3:11:21 PM

JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC: 342.228

UDC: 343.85

Susanto AF (Fakultas Hukum, Universitas

Hardjaloka L (Fakultas Hukum, Universitas

Pasundan, Bandung)

Indonesia, Depok)

The Problems of Reason and Power

The Accuracy of Implementing Precautionary

An Analysis on the Supreme Court Decision

Principle as “Ius Cogen” in the Case of Mt.

Number 36P/Hum/2011 (Org. Ind)

Mandalawangi

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 117-133

An Analysis on Decision Number 1794K/ Pdt/2004 (Org. Ind)

Court decisions are the crown of judges’ performance and regarded as one of the most

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 134-153

obvious indicators of their quality and credibility.

The absence of implementing the precautionary

The prestige of this respected profession will

principle has to put forth the strict liability in the

dwindle gradually whenever majority of their

case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will

decisions are considered controversial signalling

not depend on the existence of any legal proofs

negative connotation by not seriously taking

conveyed by the defendants. The incident of

truth and justice into account. One of such

Mt. Mandalangi was not a natural disaster but

controversial decisions is the supreme court

could be predicted before. It happened because

ruling No. 36P/Hum/2011. Not only does it fail

of the precautionalry principle disobedience.

to conform the procedural and material aspects,

Despite admitting the violation, the defendants

but also it shows the conflict of interest within

claim that this principle has not yet become a

the judicial power itself. The decision denotes

part of Indonesian positive law. Otherwise, the

that power is more dominant rather than truth

principle can be regarded as ” ius cogen” that has

in term of law enforcement. In addition, the

been accepted and recognized by international

decision reveals that strong arrogant atmosphere

communities. Ius cogen can be modified only

in the supreme court’s beaurocratic culture still

by a new general and basic norm of international

exist. The author of this article recommends that

law with the same characteristic.

legal reasoning, morality, and conscience are

(Loura Hardjaloka)

those of materials that should be added in the

Keywords: precautionary principle, ius cogen,

materials of judges’ capacity upgradings held by

strict liabilitity.

the Judicial Commission. (Anthon F. Susanto) Keywords: code of ethics, profesionalism, truth, justice.

IX

jurnal agustus 2012-arnis.indd 9

7/27/2012 3:11:21 PM

UDC: 343.221

UDC: 347.243

Widowaty Y (Fakultas Hukum, Universitas

Nuzul A (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri,

Islam Indonesia, Yogyakarta)

Watampone)

Criminal Corporate Liability In Favor of The

Land Dispute Settlement In The Case of Rice

Victims In The Case of Environmental Crime

Field Mortgage Indicated as “Sanra Putta”

An Analysis on the Supreme Court Decision

An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/

Number 862K/Pid.Sus/2010 (Org. Ind)

PN.WTP (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 154-169

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 170-188

The people living in any poluted environments

Implementation of the land mortgage agreement

are those who are prone to be victimized. Any

called sanra tanah in the Bone Regency, in

parties causing the troubles should be responsible

fact, fails to comply with Article 7 of Law in

for the damages. In the analysis of a case on

lieu No. 56 Year 1960 on the Establishment of

environmental problem, the author of this article

Agricultural Land. According to this regulation,

describes that criminal sanction imposed by the

the owner remains obligated to return the

disctrict court, high court, and supreme court,

pawned goods ransom. There is also common

are only targeted to the offender as happened to

that land mortgage agreements are verbally

a director of PT DEI. In fact, the victims need

concluded without any written evidence as well

some other kinds of sanction like compensation

as witnesses. In practice, these initial agreements

and/or environmental restoration rather than

can be continued to sale and purchase agreements

just imprisonment of the criminals. In order to

based on the local traditions. If there is a dispute

protect the implicated people, it is recommended

related to the so called sanra putta agreement,

in certain conditions to apply the strict liability

the amicable settlement will be chosen as the

principle in addressing environmental crimes.

first resort, but the choice usually does not succeed to resolve the conflict. Due to the lack of

(Yeni Widowaty)

evidence, such a dispute finally will be brought

Keywords: criminal corporate liability, strict

to the court. As mentioned by the author of this

liability, environmental crimes.

article, any panel of judges should be aware of such a customary background. Decision No. 34/ Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that the case belongs to a sanra putta agreement. (A. Nuzul) Keywords: land mortgage agreement, sanra tanah, sanra putta.

X

jurnal agustus 2012-arnis.indd 10

7/27/2012 3:11:21 PM

UDC: 347.42 Gunakaya

W

UDC: 343.22 (Sekolah

Tinggi

Hukum

Yulia R (Fakultas Hukum, Universitas Sultan

Bandung)

Ageng Tirtayasa, Banten)

Breach of Contract as The Qualification of Non-

The Implementation of Restorative Justice in

Compliance To Legal Obligation That Causes

the Verdict: an Effort to Resolve the Conflict

State Financial Loss

Through the Criminal Justice System

AnAnalysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/

An Analysis on the Supreme Court Decision

PN. Bdg. (Org. Ind)

Number 653/K/Pid/2011 (Org. Ind)

Jurnal Yudisial 2012 5(2), 189-223

Jurnal Yudisial 2012 5(1), 224-240

There has been a tendency in the increase of

Many trivial cases have been sent to the courts

systemic corruption in Indonesia resulting a

so far with some of them ended with non-

great loss of state budget and national economy.

populist verdicts. Such court rulings have

Corruption has also caused the massive

been disturbing the common sense showing

deterioration of people’s socio-economic basic

that justice never takes the side of the poor.

rights. One of attempted efforts to get rid of

Justice is approached only from the procedural

corruption is to install the doctrine of “The

perspective. As shown in this article, one of the

nature of criminal offence” in material sense

trivial cases was not handled in appropriate way

with positive function in Law No. 31 Year 1999

since the restorative philosophy of punishment

juncto Law No. 20 Year 2001 on Corruption

had never been considered to apply. The author

Eradication, but this legal formulation has

of this article believes that it is time to start

been dismantled by the Constitutional Court by

implementing such a philosophy of punishment

saying (stating) it is contradictory with Article

beginning from trivial cases as in the case under

28D paragraph (1) of the 1945 Constitution

discussion.

regarding “the just legal certainty” as one of the

(Rena Yulia)

principles of the rule of law. The doctrine can be

Keywords: lower class society, restorative

regarded as a legalized and effective instrument

justice, trivial criminal case.

in combating corruption. In the court decision No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg analyzed in this article, it was worth if judges used such a doctrine because the accused had been proved to result state financial loss. However, judges considered that the accused’s failure to fulfill his legal obligation as merely the breach of contract that could not meet the elements of any criminal action. (Widiada Gunakaya) Keywords: corruption, nature of criminal offence, breach of contract, state financial loss. XI

jurnal agustus 2012-arnis.indd 11

7/27/2012 3:11:21 PM

DAFTAR ISI

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012

ISSN 1978-6505

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN .................................... Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011 Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung

117

KETETAPAN HAKIM DALAM Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi ...................................... Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004 Loura Hardjaloka, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

134

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP ............................................... Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010 Yeni Widowaty, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

154

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM KASUS GADAI YANG TERINDIKASI “SANRA PUTTA” ..................... Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP A. Nuzul, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone

170

WANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEWAJIBAN HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA .......... Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung

189

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM: UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA ................................................................ Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011 Rena Yulia, Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten

224

XII

jurnal agustus 2012-arnis.indd 12

7/27/2012 3:11:21 PM

PROBLEMATIKA NALAR DAN KEKUASAAN Kajian Putusan MA Nomor 36P/Hum/2011

THE PROBLEMS OF REASON AND POWER An Analysis on the Supreme Court Decision Number 36P/Hum/2011 Anthon F. Susanto Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung Email: [email protected] Diterima tgl 6 Juli 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012

ABSTRAK

Abstract

Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan

Court decisions are the crown of judges’performance

oleh

sebagaimana

and regarded as one of the most obvious indicators

ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim

of their quality and credibility. The prestige of

terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan

this respected profession will dwindle gradually

luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya

whenever majority of their decisions are considered

tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan

controversial signalling negative connotation by

keadilan. Tulisan ini ingin membedah putusan yang

not seriously taking truth and justice into account.

dianggap kontroversial dan berkonotasi negatif,

One of such controversial decisions is the supreme

yaitu putusan MARI No. 36 P/Hum/2011, yang

court ruling No. 36 P/Hum/2011. Not only does it

dipandang tidak memenuhi aspek prosedural dan

fail to conform the procedural and material aspects,

material, jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan,

but also it shows the conflict of interest within the

bahkan

konflik

judicial power itself. The decision denotes that

kepentingan. Putusan memperlihatkan kekuasaan

power is more dominant rather than truth in term of

lebih dominan daripada hakikat kebenaran itu

law enforcement. In addition, the decision reveals

sendiri, yang memperlihatkan masih kentalnya

that strong arrogant atmosphere in the supreme

arogansi

penegakan

court’s beaurocratic culture still exist. The author

hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan

of this article recommends that legal reasoning,

moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama

morality, and conscience are those of materials that

dalam peningkatan kapasitas hakim, khususnya

should be added in the materials of judges’ capacity

yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial.

upgradings held by the Judicial Commission.

Kata kunci: kode etik, profesionalisme, kebenaran,

Keywords: code of ethics, profesionalism, truth,

keadilan.

justice.

putusan

yang

terdapat

birokrasi

dibuatnya,

sinyalemen

MARI

adanya

dalam

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 117



| 117

7/27/2012 3:11:21 PM

I.

PENDAHULUAN

Eksistensi penegak hukum khususnya hakim sering mendapat sorotan publik, terutama berkait dengan putusan-putusannya yang bersifat kontroversial. Dikatakan kontroversial karena pertimbangan hukum putusannya cenderung tidak dapat “diterima” oleh kalangan masyarakat luas dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang telah disepakati selama ini. Sekalipun demikian, arti kontroversial dalam pengertian di atas tidak selalu bermakna negatif, misalnya beberapa putusan bisa jadi tidak sesuai dengan dogmaaturan atau pendapat kebanyakan ahli hukum. Hakim terkadang dengan (sangat) berani melakukan lompatan pemikiran untuk melampaui pakem-pakem (doktrin) yang sudah mapan, meski pada situasi yang lain ditemukan banyak hakim yang gagasannya berorientasi ke masa lalu, mempertahankan status quo dan tidak memiliki semangat pembaruan. Tidak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, apalagi secara ideal putusan harus memuat ‘idee des Recht’, yang mencakup unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit), sehingga kalaupun sebuah putusan kontroversial, hendaknya ketiga unsur tersebut dipertimbangkan, putusan dapat memenuhi harapan pencari keadilan. Kualitas dan kredibilitas seorang hakim ditentukan oleh putusan yang dibuatnya, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusannya. Kewibawaan hakim akan luntur dengan sendirinya kalau putusan-putusannya tidak berpihak lagi kepada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Menurut pembukaan Surat Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPPH) secara tegas mencantumkan

118 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 118

“Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya dan pertimbangan yang melandasi atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berdasarkan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat.” Tulisan ini ingin membedah putusan yang dianggap kontroversial. Kontroversial dalam putusan itu berkonotasi negatif, karena Putusan MARI No. 36P/Hum/2011 itu dipandang (sangat) tidak memenuhi aspek prosedural dan material, dipandang jauh dari nilai-nilai kepastian dan keadilan, bahkan terdapat sinyalemen adanya konflik kepentingan, di mana kekuasaan lebih dominan dari hakekat kebenaran itu sendiri. Beberapa kalangan menyebut bahwa putusan itu memperlihatkan masih kentalnya arogansi birokrasi MARI dalam penegakan hukum dan membuktikan bahwa nalar, nurani dan moralitas hakim perlu mendapat perhatian utama, dalam peningkatan kapasitas hakim. Pada tanggal 9 Februari 2012 yang lalu MA-majelis hakim diketuai oleh Paulus Effendie Lotulung dan hakim anggota Ahmad Sukardja, Rehngena Purba, Takdir Rahmadi dan H. Supandi, telah mengeluarkan putusan MA Nomor 36P/HUM/2011 Tahun 2012 terkait uji materiil SKB Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang diajukan oleh mantan hakim Agung Henry Panggabean dkk. (Mantan Hakim Agung Minta Uji Materi Kode Etik). Amar putusan majelis hakim MA tersebut sebagai berikut: Pertama, Menerima dan mengabulkan permohonan Uji Materiil Para Pemohon: (1). Dr. Henry P. Panggabean, S.H., M.S.; (2). Humala Simanjuntak, S.H.; (3). Dr. Lintong O. Siahaan, S.H., M.H.; (4). Sarmanto Tambunan, S.H. Kedua, Menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:21 PM

Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 34A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketiga, Menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. Keempat, Memerintahkan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia untuk mencabut butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir-butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kelima, Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara. Dan keenam, Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Termohon yang besarnya Rp.1.000.000,- (Satu juta rupiah).

yaitu adanya benturan dan tarik menarik antara konstruksi logis kasus dengan kepentingan birokrasi Mahkamah Agung. Adanya premispremis nalar yang saling bertolak belakang dan argumen filosofis yang saling berbenturan. Putusan memperlihatkan bahwa memahami pola berpikir hakim sangat kompleks. Penulis sendiri melihat bahwa problematik nalar dan kekuasaan yang dimaksud tidak lain adalah problem kecerdasan hakim dan arogansi birokrasi. III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS

Mencermati putusan hakim, paling tidak terkait dengan dua hal, yaitu moralitas dan metodologis. Pertanyaan paling fundamental terkait dengan persoalan moral itu adalah kita tidak berharap bahwa hakim dalam pengambilan keputusannya membuat semacam konspirasi untuk mengorupsi moral publik dan perbuatan itu menjadi sebuah kejahatan tingkat tinggi, yang secara prinsip mencederai nilai dalam masyarakat, karena hakim memutus tidak hanya membaca undang-undang, melainkan melakukannya didasarkan kepada pilihan nilai sebagai landasannya (Rahardjo, 2003: 227). Satjitpto menjelaskan tentang sesuatu yang sangat merusak, sesuatu yang disebut dengan musuh terselubung, yaitu perbuatan korupsi kekuasaan, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati, tidak bermutu dan merusak kepercayaan publik. Ia adalah penggunaan kekuasaan secara sewenangwenang, ceroboh, melakukan pekerjaan asalasalan, atau di bawah standar, tidak peduli II. RUMUSAN MASALAH perasaan rakyat dan sebagainya (Rahardjo, 2010: Tulisan ini mengulas tentang esensi filosofis 150 – dst). dikeluarkannya putusan MARI Nomor 36P/Hum/ Hal itu dapat menimbulkan problem2011 yang menurut penulis terdapat problematik problem kompleks, dan dalam rentang waktu nalar dan kekuasaan. Problematik nalar dimaksud

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 119



| 119

7/27/2012 3:11:21 PM

yang panjang serta berdampak pada kepercayaan publik. Seharusnya pengadilan/hakim (paling tidak) berfungsi sebagai ‘costus morum’ (Hart, 2009: 16), yaitu semacam sensor umum dan pemandu perilaku publik, dan ini pada hakekatnya adalah mengorbankan prinsip-prinsip legalitas yang selama ini justru menjadi anutan dari para hakim. Dalam posisinya sebagai sensor umum itu, maka kualitas putusan hakim menjadi sangat menentukan, memiliki pertimbangan tajam yang memihak kepentingan lebih luas, dan situasi demikian itu menempatkan dan mengharuskan hakim untuk ada di garda terdepan dalam menjamin aspek moralitas dan etika. Apabila tidak, maka sebagaimana dijelaskan JA Barnes (2005: 90-93), akan tercipta ruang persaingan kebohongan, yang samakin tertutup, sehingga semakin tinggi tingkat kebohongan dan ketidakjujurannya, “semakin luas dampak yang ditimbulkannya.”

bahkan pengetahuan yang terbatas tentang hal ini pada dasarnya dapat menimbulkan kemandekan, rasa sungkan dan pelencengan etika melalui berbagai alasan, misalnya. Itu merupakan bagian dari hukum? Itu merupakan prosedur hukum acara? Itu merupakan, ini merupakan?

Perlu dipikirkan bahwa penegakan etika harus memiliki kekuatan, amoralitas bagaimanapun dapat menjadi sesuatu yang membahayakan bagi masyarakat, sekalipun kita semua akan meragukan konsep yang umum seperti ini, namun perlu disadari bahwa hal ini dapat digunakan sebagai (dalam) evaluasi atau kritik institusi sosial secara luas, yang menyiratkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk menegakkan moralitas secara hukum, dan tidak dapat begitu saja direduksi oleh lembaga manapun sekalipun hal itu Komisi Yudisial atau Mahkamah Agung, dan ini artinya kita harus Ruang peradilan tidak steril bahkan begitu siap menerima prinsip-prinsip moralitas kritis terbuka bagi kegiatan konspirasi, ketidakjujuran, (Hughes, 1962: 672). Masyarakat dapat menuntut korupsi dan perilaku menyimpang lain yang banyak hal, apabila lembaga-lembaga yang terkait dengan kebohongan dan kenakalan, memiliki peran ini tidak berfungsi dengan baik. sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo, (2010: Hal itu sebagaimana dikatakan HLA 90), pengadilan berubah menjadi pasar yang Hart (2009: 27), berarti merupakan titik pijak memperdagangkan putusan, pengadilan yang yang memperbolehkan kritik terhadap institusi sudah sering mencoreng martabatnya sendiri, dan manapun, mengingat prinsip-prinsip umum bersama para koruptor menjadi benalu. dan pengetahuan pada fakta. Sebagai pengingat Pembahasan lebih mendalam tentang bahwa yang dimaksud moralitas positif, adalah relasi moral dan hukum serta realitas lain yang moralitas yang diterima secara aktual dan dibagi melingkupinya. Apakah penegakan moralitas bisa oleh kelompok-kelompok sosial yang disepakati dibenarkan secara moral? Moralitas sepenuhnya dari prinsip-rinsip moral umum yang digunakan (dalam masyarakat kita atau masyarakat lainnya) dalam kritik terhadap institusi sosial aktual. Kita sepenuhnya dianggap benar dan patut untuk dapat menyebut prinsip-prinsip umum tersebut ditegakkan dengan sanksi hukum, sesuai dengan “moralitas kritis” dan pernyataan kita adalah moralitas yang diterima masyarakat. Namun saat salah satu dari moralitas kritis tentang penegakan ini kita menemukan banyak penjelasan tentang hukum terhadap moralitas. relasi ini (penegakan moralitas secara hukum) kadang-kadang membingungkan dan tidak jelas. 120 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 120

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:21 PM

Masih terdapat kebimbangan tentang perilaku melanggar etika atau moral yang dilakukan secara terbuka atau dilakukan secara sembunyi-sembunyi; kebanyakan apabila dikatakan persoalan itu terkait dengan kasus sederhana kita dapat mengatakan bahwa “apabila suami istri melakukan hubungan seksual” itu bukan perbuatan amoral, namun apabila melakukannya di depan publik hal itu tentu dapat melanggar kesusilaan sosial (publik), namun bagaimana apabila perbuatan yang melibatkan pejabat hukum, misalnya hakim menerima uang sebagai tanda terima kasih? Atau lebih ekstrim hakim terima suap, jaksa dan pengacara meminta uang pelicin, yang kesemuanya dilakukan di belakang penglihatan publik? Atau bagaimana apabila hakim tidak cermat dan kurang hati hati dalam memutus? Hakim memihak dalam setiap pemeriksaan, atau mengabaikan fakta dan bukti yang diajukan kepadanya? Atau bagaimana ketika hakim lebih mementingkan kekuasaanya dari moralitas dan nuraninya? Etika umumnya menjelaskan dan mengatur hal itu, atau secara konkrit misalnya dalam kode etik yang umumnya memuat hal demikian itu.

kode etik berbeda setiap orang memahami, namun bahwa penegakan hukum senantiasa melibatkan etika dan penegakan etika senantiasa melibatkan hukum, hal itu juga tidak dapat dinafikan mengingat keduanya bisa saling mengisi.

Pengaruh barat terhadap pemahaman masih terasa tentang pemisahan hukum dan moral begitu kuat, sebagaimana positivism tengah dengan serampangan melakukannya. Pandangan itu sangat jelas didukung oleh pemikiran hukum modern yang cenderung bersifat teknologis, dan menjauhkan dirinya dari wacana moral, sebagaimana pemikiran minimalis, yang menyatakan bahwa “hukum sudah dijalankan apabila peraturan sudah diterapkan sesuai dengan apa yang tercantum di situ. Oleh karena itu, terlihat adanya pengebirian hukum dari kandungan moralnya. Dalam konteks Indonesia, hendaknya dilihat lebih bijaksana, bahwa pemikiran kontemporer melihat hubungan hukum dan moral saling berkelindan. Sebagai argumentasi pendukung, dapatlah disampaikan padangan Wener Menski, tentang hal ini dalam bukunya “Comparative Law in a Global Context; The Legal system of Asia and Africa (2006: 185Beberapa aturan hukum bahkan telah 188). Menski menjelaskan tentang relasi-relasi mengatur beberapa perbuatan dengan ancaman yang sangat kuat antara hukum negara, moralitas/ sanksi cukup berat dan diantaranya masuk etika/agama dan masyarakat sebagaimana tiga ke dalam lingkup korupsi. Namun demikian ragaan sebagai berikut: sayangnya, pemahaman terhadap hal itu masih bersifat travestis (kelamin ganda/banci), sebelah menyebelah. Dalam beberapa kasus misalnya (seolah-olah) kejahatan atau melanggar undangundang dipisahkan dengan melanggar kode etik, penegak hukum selalu mengatakan bahwa hal ini terkait dengan undang-undang dan kejahatan biarlah prosedur hukum yang melakukan penegakan, untuk sementara etika dipinggirkan. Bahwa, aturan hukum/undang-undang dan etika/

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 121



| 121

7/27/2012 3:11:22 PM

Dalam kearifan Timur pemisahan antar hukum dan moral/etika adalah tidak mungkin, sebagaimana dikatakan Tamanaha, tentang hukum sebagai mirror thesis, bahwa kekuatan kekuatan masyarakat masih memperlihatkan peran penting dalam setiap penegakan hukum, (Tamanaha, 2001: 2006), hukum itu berhubungan dengan manusia dan oleh karena itu bagaimana suatu komunitas itu melihat tempat individu dalam masyarakat sangat menentukan cara bangsa-bangsa berhukum. Menurut Tamanaha (Rahardjo, 2010: 121) berhukum dengan hanya menggunakan satu standart (dalam hal ini Barat) adalah tidak benar, seharusnya mengarah kepada “plurality conscious” dan “plurality sensitive.”

Dari tiga ragaan di atas, terlihat bahwa dalam pluralisme hukum, cara kerja hukum dengan etika/moral dan agama tidak bersifat parsial, terpilah dan terkotak, tetapi bekerja bersama, bahkan dari ragaan ke-2 dan ke-3, terlihat relasi diantara bagian-bagian tersebut semakin melebar bukan semakin mengecil, dan menyentuh berbagai aspek dari hukum moral dan agama, serta masyarakat. Makna segitiga yang berubah menjadi lingkaran (pada bagian tengah) memperlihatkan batas-batas yang memudar dari relasi ketiganya, bahkan lingkaran dalam perkembangannya khususnya ragaan terakhir semakin meluas memasuki wilayah-wilayah yang telah disebutkan tadi.

122 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 122

Cara berhukum suatu bangsa adalah unik dan bervariasi, sesuai dengan kehidupan sosialnya. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa “cara berhukum suatu bangsa adalah berhukum secara substansial, dan memahami masyarakat tertentu tidak dapat hanya dari sekedar melihat teks undang-undangnya, namun juga perilaku substansial dan nilai-nilai tradisinya. Saya hanya ingin mengatakan lebih sederhana bahwa, menegakkan etika tanpa hukum sangat tidak mungkin demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, keduanya menjadi sesuatu yang berharga untuk ditegakkan. Etika dapat menjangkau bagian dalam dari perilaku manusia, dan hukum positif dapat menjangkau bagian luarnya? Namun demikian terdapat juga bagian yang dapat dilakukan secara bersamasama. Hukum sebagai sesuatu yang paksaan dari luar, sedangkan etika merupakan kesadaran moral pada bagian dalam. Untuk memperjelas hal di atas, disajikan beberapa ragaan sebagai berikut:

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:22 PM

sosial sangat kuat berlaku dalam masyarakat, maka hukum/negara/undang-undang pastilah tidak diperlukan keberadaannya, namun apabila norma sosial/agama melemah di masyarakat maka norma hukum/negara/undang-undang tidak akan efektif dalam berlakunya.”

Hukum dan etika/moral terkait dalam banyak hal, sebagaimana dua ragaan di atas tentang pembagian yang bisa terjadi dalam penegakan hukum dan etika. Sedangkan ragaan kedua disarikan dari pemikiran Wener Menski (2006), relasi di antara sangat jelas, serta pengaruh yang ditimbulkan oleh masing-masing bagian tersebut. Pada ragaan terakhir, terlihat bahwa penegakan undang-undang berkorelasi dengan penegakan kode etik. Relasi antara perundangundangan dengan kode etik ada pada nilai-nilai yang mendasarinya, dan relevansi teks yang diatur oleh keduanya. Nilai-nilai yang mendasari umumnya bersifat abstrak, ideal, cita filosofis tertentu dan relevansi tekstual biasanya bersifat konkrit. Kebanyakan dari kita tidak dapat melihat peluang ini, bahkan seringkali memisahkan wilayah-wilayah yang sesungguhnya terkait, tujuannya tidak lain agar lebih tegas, lebih formal dan tentu saja lebih pasti.

Penegakan hukum tanpa mengikut-sertakan penegakan moral/ethics adalah kepalsuan dan penegakan undang-undang tanpa menyentuh aspek kode etik adalah kepura-puraan. Edgar Bodenheimer, pernah menjelaskan tentang apa yang disebut olehnya dengan ”autonomic legislation.” Bahwa “sekalipun kode etik tidak dianggap sebagai bagian dari hukum positif, namun disadari atau tidak kode etik dapat saja, secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu jenis sumber hukum formal” (Kriekhoff, 1997lihat pula dalam Sidharta, 2006: 109). Upaya apapun apabila itu bertujuan untuk memperlebar perbedaan atau memperjauh titik persinggungan hanya akan memunculkan problem penegakan secara kumulatif, di masa mendatang.

Kode etik umumnya berisi tentang beragam nilai, dalam kehidupan masyarakat atau profesi tertentu, namun lebih banyak lagi kode etik diisi dan didominasi oleh persoalan prosedur. Sekalipun kode etik bersifat khusus bagi kelompok/profesi atau masyarakat tertentu), namun hendaknya kode etik cukup luas dan terbuka, terhadap intervensi hukum/undang-undang ke wilayah ini, demikian pula sebaliknya. Sehingga tidak ada lagi kode etik Kehidupan hukum dan moral bahkan menjadi perisai bagi profesi tertentu, atau sebagai undang-undang dan kode etik biasanya saling tempat bersembunyi perilaku yang tidak patut. mengintervensi. Nilai-nilai keagamaan akan Sebaliknya, kode etik menjadi sarana kontrol masuk begitu kepentingan umat terganggu, atau yang kuat bagi lingkungan profesi tersebut, nilai-nilai susila akan berbicara dan berteriak sekaligus sarana penopang penegakan hukum. ketika penegak hukum sudah tidak mengindahkan Penegakan kode etik harus memiliki keterbukaan hukum yang berlaku. Bahkan dalam sosiologi sosial, sehingga memiliki cukup kekuatan untuk hukum, dikenal prinsip bahwa “apabila norma memasuki wilayah-wilayah yang tertutup atau Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 123



| 123

7/27/2012 3:11:23 PM

wilayah yang sengaja ditutup untuk melindungi merenggut kepentingan umum dan kepentingan otoritas tertentu. Itu artinya bahasa langit (das lainnya, sekalipun manusia dapat berdalih bahwa sollen) dapat diwujudkan dalam realitasnya. tidak mungkin meninggalkan kepentingan pribadi; namun demikian dalam situasi seperti Perlu kiranya memperhatikan beberapa ini, kita mengetahui bahwa konsumsi dan hal penting menyangkut penegakan etik dewasa kemewahan tetap mendominasi, kekuasaan dan ini, mengingat sebagaimana dikatakan Simon hasrat menjadi ungkapan riil tentang manusia Blackburn, bahwa paling tidak terdapat 7 (tujuh) adalah hewan yang jenius, serba bisa namun ancaman krusial saat ini yang dapat merusak sekaligus serakah dan egois. moralitas dan etika yaitu: (1) Kematian Tuhan; kita meyakini bahwa etika tidak hanya terkait (4) Teori Evolusi; teori evolusi dalam dengan agama, tetapi sepenuhnya dilahirkan biologi dan psikologi saat ini telah menyeret kita oleh agama. Namun harus diakui bahwa saat ini memahami akan pentingnya survival for the fitest, kepercayaan religius telah kehilangan kekuatan yang alih-alih memperlihatkan egoisnya manusia, dan cengkramannya digusur oleh idiologi- namun pada kenyataannya hal itu memperlihatkan idiologi buatan, seperti liberalisme, kapitalisme, tentang hubungan untung rugi bagi manusia; pragmatisme dan lainnya (di Barat maupun di tolonglah aku maka kau akan ku tolong, garuklah Timur). Nampaknya etika turut memudar bersama punggungku, nanti kalo punggungmu gatal akan pudarnya kekuatan agama tersebut, sebagaimana ku bantu untuk menggaruk. Ungkapan demikian dikatakan Detroyevsky, “Jika Tuhan memang memperlihatkan seolah-olah manusia saling telah mati, benarkah segalanya diperbolehkan?” menghargai, namun pada kenyataannya tidak. Lantas, bagaimana bisa ada hukum jika tidak ada Manusia sebagaimana dikatakan dalam bukunya pembuat hukum? Dawkins “The Selfish Gene,” pada dasarnya (2) Relativisme; dengan memudarnya kekuatan spiritualitas, maka biasanya manusia mencari pengganti otoritas supranatural, sehingga lahirlah gagasan bahwa peraturan dibuat dengan beragam cara oleh beragam orang pada beragam waktu, dengan demikian tidak ada kebenaran tunggal, yang ada hanya beragam kebenaran dari beragam komunitas. Dengan demikian kemudian muncul spectrum penilaian mengenai apa yang diharapkan dan apa yang dianggap menyimpang, namun demikian relativisme ini bergeser menjadi subjektivisme. Bukan hanya setiap kebudayaan atau masyarakat memiliki kebenarannya sendiri, setiap individupun mempunyai kebenarannya sendiri.

(secara genetis) sangat egois itu pada akhirnya menikmati persaingan yang kejam dengan mengalahkan gen-gen lainnya? Kekonyolan yang aneh, karena sesungguhnya gen tidak egois, namun lingkunganlah yang membentuk mereka seperti itu.

(5) Determinisme dan kesia-siaan. Pandangan ini menyatakan bahwa “semua telah tersedia dalam gen”, etika menjadi tidak berguna. Persoalan ini membuat susunan genetik yang kita miliki menyiratkan kesia-siaan etika, terutama kesia-siaan petuah moral, pendidikan atau pengalaman. Ancamannya adalah efek pelumpuh setelah menyadari bahwa kita adalah “siapa diri kita” mamalia besar yang diciptakan (3) Egoisme; manusia jelas adalah hewan sesuai perintah-perintah genetik sehingga egois, kebutuhan pribadi dalam banyak hal dapat kita tidak dapat melakukan apapun. Menurut 124 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 124

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:23 PM

pandangan ini moral mungkin tidak bermanfaat sebab berupaya mengubah alam yang sudah tetap. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila kebohongan, ketidakjujuran, perilaku manipulatif, kekerasan, koruptif merupakan kegiatan yang lazim kita dapati, dan seolah-olah memperlihatkan bahwa kita menjalani kehidupan dengan ketidakberdayaan dan kesia-siaan. (6) Tuntutan-tuntutan yang tidak masuk akal; tentang hal ini kita dapat membahasnya paling tidak dari dua hal. Pertama, misalnya mari kita lihat moralitas yang berpusat pada sekumpulan aturan yang sederhana namun abstrak “janganlah berdusta”, renungkanlah, maka kita cenderung untuk menyetujuinya. Namun kedua, bagaimana dengan “dusta putih” yaitu dosa yang diterima dan diampuni secara sosial, semacam dusta keputusasaan yang diucapkan karena jika kebenaran disampaikan akan mengakibatkan bencana; semisal berbohong kepada seorang pembunuh gila bahwa anak kita sedang tidak ada di rumah. Atau misalnya ketika pramugari dan pilot mengatakan kepada penumpang (untuk membuatnya tenang dan tidak panik), bahwa pesawat hanya mengalami guncangan kecil, sekalipun kondisinya pesawat itu sebentar lagi jatuh. Atau seorang suster dan dokter atau seorang istri yang berkata kepada suaminya bahwa kankernya bukan kanker yang ganas padahal dapat membunuhnya; Oleh karena itu penting bagi moralitas bahwa hendaknya etika memuat apa saja yang kita tuntut harus masuk akal satu sama lain. Artinya kita ingin merespon tuntunantuntunan yang masuk akal, karena kita tidak dapat menyelesaikan seluruh persoalan dunia, tetapi penting bagi kita untuk melakukan langkah terbaik guna mengatasi persoalan-persoalan yang sanggup kita selesaikan. Sepertinya optimis namun itu sangat mengganggu.

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 125

(7) Kesadaran palsu. Pada tataran ini kita menemukan banyak argumen tentang etika yang berfunngsi lain, misalnya bagi seorang feminis, etika dalam banyak hal adalah instrumen penindasan, terutama melihat perspektif lakilaki yang memperlakukan wanita sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi adalah upaya pelemahan wanita itu sendiri; atau dalam perspektif Marxis, dikatakan bahwa etika sebagai sebuah alat perlindungan kelas, khususnya kelas yang berkuasa, bahkan dalam banyak kasus etika merupakan sarana yang ampuh untuk menahan intervensi hukum terhadap profesi tertentu. Sekalipun terdapat kebenaran di dalamnya namun kita menyadari bahwa hal itu adalah aspek minor atau lokal dari persoalan yang tengah kita bahas sesungguhnya. Analisis Putusan No. 36P/Hum/2011 memperlihatkan sesuatu yang menarik untuk dikaji karena secara substantif, putusan itu tidak saja memperlihatkan cara bernalar yang keliru, namun lebih dari itu memperlihatkan suasana batin dua kelembagaan tinggi negara yang ada di wilayah yudikatif, dengan kewenangan yang berbeda berselisih paham yaitu Komisi Yudisial dan MARI. Sekalipun di permukaan persoalan itu tidak mencuat, namun hampir dapat dipastikan kedua lembaga masih belum berjalan harmonis dalam upaya pengembangan hakim di Indonesia. KomisiYudisial, paling tidak memiliki tujuan Pertama; melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat; Kedua; meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekrutmen hakim agung maupun monitoring



| 125

7/27/2012 3:11:23 PM

perilaku hakim. Ketiga; menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Keempat; menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman. Di samping tujuan sebagaimana Komisi Yudisial dibentuk, terdapat beberapa tugas utama mulai sebagai berikut: (1) mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, yang mencakup (a) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; (b) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; (c) menetapkan calon Hakim Agung; dan; (d) mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. (2) menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim, dengan cakupan tugas: (a) menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim, (b) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan (c) membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Komisi Yudisial tidak sendiri dalam melaksanakan tugasnya, ada dua lembaga formal lain yang terkait, yaitu Mahkamah Agung (sudah lebih dulu menjalankan fungsi pengawasan perilaku hakim) dan Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga legislatif yang berperan sebagai sarana kontrol untuk merekrut para hakim. Di samping kelembagaan formal sebagaimana dijelaskan di atas, terdapat unsur lain yang sangat penting yaitu masyarakat dan media yang tidak hanya berfungsi sebagai pengontrol, namun juga sekaligus penekan yang dapat mempengaruhi relasi keseluruhan tugas-tugas Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan DPR. 126 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 126

Ada kemungkinan (sangat terbuka), muncul persoalan dalam ruang lingkup tugas antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung, karena keduanya menjalankan fungsi yang sama dalam penegakan etika, sebagaimana yang terjadi di dalam substansi putusan Nomor 36P/ Hum/2011. Permohonan yang dilakukan mantan Hakim Agung (menjadi pengacara) terhadap substansi/materi kode etik yang disepakati oleh Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung barubaru ini tidak dapat dilihat hanya merupakan perselisihan substansi kode etik. Majelis hakim dalam memutus perkara itu berpendapat bahwa SKB (yang dibuat antara MARI dan KY) dianggap/dipandang bertentangan dengan Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 jo UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Alasan yang dikemukakan oleh majelis hakim (dalam logika majelis hakim) bahwa SKB, tidak memuat norma etik, namun norma hukum, yang dalam prakteknya (diduga) dapat mengintervensi kebebasan hakim dalam memutus perkara (penjelasan dapat dilihat hal. 48-dst Putusan MA Nomor 36P/HUM/2011). Majelis hakim menyatakan bahwa wilayah SKB khususnya pasal yang diuji ternyata sudah masuk soal pengetahuan dan pemahaman yang masuk ke wilayah kognitif bukan masalah perilaku (lihat secara panjang lebar dalam hal. 49-dst putusan tersebut). Majelis hakim juga berpendapat bahwa frasa-frasa yang ada dalam SKB dapat menimbulkan persoalan yang mengarah kepada persoalan teknis hukum yang bukan kewenangan Komisi Yudisial (lihat hal. 51-dst).

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:23 PM

Benarkah norma etik bertentangan dengan norma hukum? Terdapat relasi kuat di antara nilai dengan norma hukum dan norma etika yang tidak bersifat saling berlawanan (meskipun dapat muncul konflik norma) mengingat sumber kedua norma itu tidak lain adalah nilai-nilai. Kode etik dapat bersumber dari norma-norma hukum, di samping berasal dari norma-norma yang lainnya. Demikian pula sebaliknya, penetapan apakah sebuah norma termasuk ke dalam norma hukum atau norma etika, tidaklah didasarkan kepada “redaksi norma itu” namun mencakup berbagai aspek seperti, dilihat dari bentuknya, daya berlakunya, penetapannya dan lain lain.

dasar pembentukan kode etik. Kode etik menurut E. Bodenheimer dapat dikelompokkan sebagai jenis aturan yang disebut dengan autonomic legislation artinya bukan merupakan bagian dari hukum positif, namun disadari atau tidak secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu sumber hukum formal sebagai contoh dalam Pasal 17 UU No. 8 Tahun 1999tentang perlindungan konsumen “melarang pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau UU”.

Mencermati putusan MARI Nomor 36P/ Hum/2011, terdapat kekeliruan pertimbangan majelis hakim dalam menilai norma etik dan Terhadap hal demikian dapat dijelaskan norma hukum yang dikatakan bertentangan? sebagai berikut: Norm berasal dari bahasa latin “norma” dimaknai secara eksklusif “suatu a. Dalam pertimbangannya hakim memandang ketertiban, preskripsi atau perintah di samping bahwa ada pertentangan antara Norma juga memberikan kewenangan, mengizinkan dan Hukum yang diatur dalam UU dengan penderogasian dan lain-lain.” Norm tidak harus SKB, tentang Kode Etik; Bertentangan selalu tertulis, dan hakekatnya adalah kristalisasi/ artinya adanya kontradiksi norma atau konkretisasi dari nilai-nilai; Tidak hanya konflik norma yang mungkin terjadi. mengandung satu nilai, namun dipastikan bahwa b. Secara filosofis konflik antara dua norma tidak ada norma yang tidak mengandung nilai. terjadi jika dalam mematuhi atau menerapkan Norma -preskripsi- perintah- ekspresi verbalnya norma yang satu niscaya norma yang adalah sebuah pernyataan keharusan (oughtlainnya mungkin terlanggar. Artinya konflik statement); Makna dari suatu tindakan kemauan, dapat bersifat bilateral atau unilateral. Ia yakni sebuah tindakan yang ditujukan pada adalah bilateral jika dalam mematuhi atau tingkah laku yang maknanya adalah seharusnya menerapkan masing-masing dari kedua bertingkah laku dengan cara tertentu. norma itu, konflik itu adalah unilateral jika Norma etika atau norma hukum, memiliki kepatuhan atau aplikasi dari hanya satu dari sumber yang sama yaitu nilai-nilai (khususkedua norma itu melanggar yang lainnya. profesi atau umum). Kode etik tidak lain adalah c. Konflik adalah total jika suatu norma norma -moralitas positif; sedangkan aturan adalah memerintahkan tingkah laku tertentu yang norma- hukum positif yang keduanya dalam dilarang oleh orang yang lainnya. Konflik banyak hal saling meneguhkan dan menguatkan itu adalah parsial jika isi dari salah satu karena dasar-dasarnya. Dalam realitasnya hukum norma hanya secara parsial berbeda dari isi (sebagai sistem sosial), bersama dengan budaya, norma yang lainnya. teknologi, politik, dll, dapat menjadi fondasi atau Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 127



| 127

7/27/2012 3:11:23 PM

d. Melihat argumen hakim dalam putusan menarik kesimpulan dengan mengatakan Nomor 36P/Hum/2011 tidak jelas “bahwa substansi bertentangan karena maksudnya dengan pertentangan antara bajunya”? Sebagaimana dalam kalimat “… norma etika dan norma hukum (SKB dan dengan demikian butir-butir dalam SKB a UU). Secara tekstual (rumusan pasal) quo pada hakekatnya bertentangan dengan tidak ada frasa yang dimaksudkan sebagai UU…” (hal. 52 putusan). pertentangan norma/konflik norma; yang g. Terlihat bahwa pertimbangan hukum ini nampak adalah Norma SKB menguatkan jelas mengada-ada, semacam pengelabuan norma yang ada dalam undang-undang, pikiran atau logika, bersifat mengawangdemikian sebaliknya. awang dan tanpa dasar (Grundlos). e. Namun yang dimaksud oleh Majelis Hakim h. Karena pertimbangan hakim mengukur sebuah pertentangan adalah sesuatu “yang konflik norma bukan dengan normadikhawatirkan bertentangan”, ini jelas norma lain (sederajat atau lebih tinggi) berbeda. Alasan yang dikemukakan bahwa tetapi mengujinya dengan “kemungkinanteks norma etik (SKB) bersifat multitafsir, kemungkinan yang tidak bisa diprediksi” sehingga dikhawatirkan bertentangan; atau kekhawatiran-kehawatiran yang masih Argumentasi ini keliru, karena semua belum tentu terjadi”. Hakim mengalami aturan dan norma manapun selalu bersifat sebuah sindrome paranoid, ketakutan yang multitafsir. Majelis hakim tengah membuat berlebihan di dalam mengukur relasi antara (imajinasi) “kemungkinan pertentangan” norma hukum dan etik. yang diterapkan kepada kenyataannya (yang sesungguhnya harmonis). Misalnya Putusan MARI Nomor 36P/Hum/2011 juga beberapa kalimat dalam putusan menjelaskan telah keliru menafsirkan makna perilaku dengan hal itu…”mengandung frasa atau rumusan makna kognitif dengan hakekat kemandirian: yang longgar” ….pada peristiwa inconcrito a. Perilaku dalam konsep keilmuan mencakup dapat membahayakan kemerdekaan aspek-aspek yang sangat luas dalam hakim…” (hal. 48 putusan ) “…kalimatpengertian manusia yang utuh, yaitu kalimat yang dapat mengarah kepada biologis, psikologis, kultural, sosial dan hukum acara yang dapat menimbulkan lain-lain. Perilaku mencakup aspek fisik konotasi…..” (hal. 36 putusan). dan juga psikis termasuk di dalamnya f. Hakim seyogianya membuktikan adanya kecerdasan dan pemahaman, kesadaran dan pertentangan norma yaitu menguji pengetahuan, keyakinan dan lain-lain. berdasarkan salah satu model konflik b. Dalam kegiatan riset-riset ilmiah mengenai norma sebagaimana telah disebutkan perilaku, maka kecerdasan, pemahaman, dan bukan mempersoalkan bentuk kesadaran dan juga pengetahuan merupakan SKB tersebut. Artinya, hakim dalam pintu masuk dalam upaya memahami penalarannya “hanya memperhatikan baju perilaku tersebut. tanpa memperhatikan substansi”, namun

128 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 128

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:23 PM

c. Memahamkan perilaku manusia tanpa terbatas pada ketentuan yang tercantum melibatkan aspek kesadaran, pemahaman, dalam UU Nomor 30 Tahun 2004…dst”. pengetahuan atau aspek-aspek kognitif g. Apabila memperhatikan nilai-nilai lainnya, jelas adalah penggambaran kode etik dalam sebuah profesi hukum, perilaku manusia otomat atau manusia yang khususnya hakim, bahwa pasal-pasal yang dianggap robot/sempit dan mengkerdilkan dimuat dalam SKB, khususnya pasal yang hakekat manusia itu sendiri (yang sama diuji materiil-kan memuat nilai-nilai dasar sekali tidak ada dalam kehidupan nyata). dari profesi, misalnya saja dalam Pasal 8.1. d. Dengan demikian jelas bahwa aspek termuat nilai-nilai profesi yang mencakup kognitif dengan perilaku itu merupakan satu “bersikap adil”, “bertanggungjawab” kesatuan bukan sesuatu yang terpisah pisah. dan nilai “metodologis” atau Pasal 10.4. mengandung nilai “tanggung jawab”, e. Pendapat majelis hakim dalam perkara ini “amanah”, “cakap” dan “cermat”. membedakan antara perilaku dengan aspek kognitif sebagaimana dijelaskan dalam Lantas mungkinkah nilai-nilai dasar profesi pertimbangan hukum “Rumusan ini tidak yang dimuat dalam SKB itu bertentangan dengan memuat sebuah cakupan perilaku tetapi soal pengetahuan atau pemahaman yang masuk ke wilayah kognitif….” (hal. 50). f. Majelis hakim juga berpendapat bahwa rumusan sebagaimana di atas dianggap tidak jelas dan merasa (merasa khawatir) “kemungkinan dapat membahayakan kemandirian hakim”. Hal ini menurut penulis “terlalu berlebihan”, karena sesungguhnya penggunaan frasa yang dijelaskan di atas, adalah frasa yang umum dimuat dalam kode etik (seharusnya hakim memperhatikan rumusan ragam kode etik sebagai pembanding) sebagai wujud dari nilai-nilai profesi yang diemban: Misalnya dalam kode etik hakim kita menemukan ungkapan “..hakim memutus berdasarkan keyakinan dan hati nurani…….”, atau “hakim harus bertindak menurut garis-garis yang ditetapkan dalam hukum acara…” dalam kode etik Notaris, “melakukan perbuatan-perbuatan secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati yang tidak

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 129

‘kemandirian hakim”? Penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim dalam bagian ini lebih banyak bertujuan melindungi kepentingan hakim MA sebagai lembaga yudisial yang akan terkena secara langsung oleh SKB tersebut. Hal di atas atau argumentasi di atas sangat nyata ketika di dalam beberapa uraian pertimbangan majelis hakim dalam putusan 36P/Hum/2011, terlihat dituangkan beberapa kalimat yang menjadi dasar keberatan seperti “..memanggil dan memeriksa hakim, mempersoalkan proses persidangan, memeriksa putusan, terkait dengan teknis peradilan adalah tidak tepat”.. dan seterusnya.. (hal. 51 putusan ), seolah-olah posisi hakim atau kekuasaan hakim menjadi rusak oleh rumusan rumusan kode etik yang dipersoalkan tersebut. Pertimbangan putusan ini juga memperlihatkan keberatan dari institusi MA tentang kinerja para hakimnya karena kekhawatiran bahwa SKB dapat mengintervensi cara bernalar hakim dan juga perilaku hakim. “Perilaku menyimpang” dari hakim bukan sebuah peristiwa kasat mata, namun sebuah



| 129

7/27/2012 3:11:23 PM

fungsi laten dari hukum kebanyakan hakim -hasil penelitian- menggunakan putusan sebagai tempat untuk bersembunyi dari perilaku-perilaku tidak etis dan perilaku lainnya. Pertimbangan hukum majelis hakim yang menghendaki ada unsur “kesengajaan” (hal. 51) terhadap ketentuan yang diuji materiilkan, sangat tidak tepat, karena unsur etik tidak berbicara semata-mata aspek tersebut. Putusan hakim sesungguhnya hanya sebagai medium untuk melihat sebagian nilai-nilai dasar profesi hakim, misalnya, apakah dirinya cermat, cerdas, teliti, adil, amanah dan lain-lain. Putusan hakim adalah cerminan perilaku hakim. Tugas hakim menurut Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes Jr., bahwa memutus bukan semata-mata proses silogisme matematis dan mekanis, namun sebuah makna yang sangat luas “…the life of the law has not been logic; it is has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institution of public policy avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow…” Holmes juga mengatakan, “The law embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics”. Dengan demikian putusan hakim merupakan cermin dari sikap, moralitas, penalaran dan banyak hal lainnya yang digambarkan oleh Holmes sebagai pengalaman. Hal itu mengisyaratkan bahwa putusan hakim akan sangat berwatak relativisme cultural, atau dengan mengambil pandangan Brianz Tamanaha tentang “mirror thesis” maka putusan merefleksikan seperti cermin dari si pemutusnya” (Holmes, The Common Law (Boston; Little Brown, 1963). Beberapa cacatan yang hampir sama dapat ditemukan pula dalam buku: Julius J. Marke, The Holmes Reader (New 130 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 130

York: Oceana’s Docket Books, 1955), hal. 65-70), Brian Z. Tamanaha, A general Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, 2006), hal. 1-3, dan Werner Menski dalam, Comparative Law In Global Context: The Legal system of Asia and Africa, Cambridge University Press, 2006, hal. 3-dst. Sekalipun tugas hakim sangat berat, hakim tetaplah seorang manusia biasa yaitu makhluk biologis, yang memiliki juga hak psikologis yaitu untuk menjadi takut, berani, jujur, khilaf, salah, dan lainnya. Hakim juga sesungguhnya terkait dengan orang-orang terdekatnya, keluarganya lingkungan dan pendidikannya dengan demikian perlu disadari bahwa tidak ada model yang sama dari hakim. Apabila secara yuridis dapat mengatakan bahwa seluruh Indonesia hanya ada satu model hakim saja, sebagaimana tertera dalam peraturan hukum, namun secara sosiologi hukum, ada lebih dari satu hakim atau ada lebih dari satu macam hakim di Indonesia. Pada titik ini kita dapat melihat hakim tidak hanya sebagai seorang birokrat hukum semata, (Lihat dalam Abraham S. Blumberg, Criminal justice (Burns and MacEachem Ltd., 1970), hal. 1-5). Namun juga sebagai manusia, yang terdiri dari berbagai variabel yang dapat melekat pada seorang hakim, seperti usia, latar belakang sosial, rasa atau etnis, agama, pendidikan, pengalaman, dan lain-lain yang keseluruhannya memiliki peluang untuk turut menentukan bagaimana kecenderungan seorang hakim untuk memutus dan dengan demikian melahirkan berbagai tipe hakim, dan dengan menyitir pendapat Satjipto Rahardjo, maka kita dapat mengatakan paling tidak ada dua tipe hakim. Pertama, hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati-nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:24 PM

dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut. Kedua, hakim yang apabila memutus terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya (Rahardjo, Kompas, 2003: 225).

daripada sebuah upaya perbaikan bagi kehidupan hakim dan peradilan sehingga memperlihatkan atau merupakan gambaran realitas bahwa putusan hakim seringkali menjadi tempat bersembunyi bagi perilaku-perilaku tidak etis. Putusan ini mendekonstruksi dirinya melalui petitum dan pertimbangannya.

Hakim seyogianya bertugas untuk kepentingan rakyat dan bukan sebaliknya, dalam hubungan ini pekerjaan hakim menjadi semakin c. Semangat untuk melakukan perbaikan kompleks. Hakim tidak hanya mendengarkan terhadap kualitas hakim dan sistem dengan telinga subjektif, tetapi juga dengan peradilan juga tidak tercermin dalam ”telinga sosial”. Seorang hakim bukan hanya putusan itu, tetapi malah sebaliknya, teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk menciptakan situasi ketidakmenentuan, sosial, karena itu, pekerjaan hakim sungguh mulia kecemasan dan juga suasana yang semakin karena itu bukan hanya memeras otak, tetapi semerawut (upaya pembiaran terjadinya juga nuraninya. Hakim demikian itu, menjadikan kevakuman kode etik). Sementara di satu dirinya bagian dari masyarakat dan akan selalu sisi hakim terus mengalami kemerosotan menanyakan ”apakah peran yang bisa saya moral sangat tajam. berikan bagi masyarakat? Pendek kata hakim model ini akan senantiasa meletakkan telinganya IV. SIMPULAN ke degup jantung rakyatnya. Sebagai uraian akhir dapat disampaikan Berdasarkan uraian sebagaimana dijelaskan beberapa hal sebagai berikut: Peradaban modern di atas, dapat dijelaskan argumen akhir sebagai sebagaimana dikatakan Ali Harb (2003: 210), berikut: bertumpu pada kekuasaan nalar, namun ia a. Putusan ini apabila dikaji secara filosofis/ melahirkan kegilaan dan kesia-siaan. Peradaban filsafat hukum sama sekali tidak memiliki modern berusaha keras untuk membebaskan dasar (Grundlos), Majelis Hakim tidak pemikiran dari otoritas spiritual dan metafisik, mampu menguji pertentangan Norma dan peradaban ini menciptakan Tuhan baru. (Hukum dengan Kode Etik) dan tidak Peradaban ini bertumpu pada manusia, akan tetapi mampu membuktikan adanya konflik ia membiarkannya menjadi mangsa hawa nafsu norma di dalamnya, baik secara hirarkhis dan permainannya. Peradaban modern juga ingin (relasi horizontal maupun vertikal dalam membebaskan kehendak, tetapi mengakibatkan relasi norma), juga secara faktual dalam bertambah terbelenggu, dan mengantarkan kita pada era kekerasan dan keseimbangan rasa realitas atau kenyataannya: takut, dengan menyitir Roger Garaudy, saya b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 36P/ dapat mengatakan bahwa hakim hidup di tengah Hum Tahun 2011 juga memperlihatkan peradaban yang bertambah namun semakin relasi kuasa dan arogansi kelembagaan tak terkendali sehingga dapat dikatakan bahwa

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 131



| 131

7/27/2012 3:11:24 PM

penegakan hukum dan etika adalah semacam DAFTAR PUSTAKA merentangkan benang basah, yang tidak mungkin Rich On lies, Adrienne Cecile. 1980. secrets, and terentang dengan sendirinya, dan tidak mungkin silence; selected prose 1966-1978. London: dapat dilakukan oleh satu lembaga saja. Virago. Benang basah hanya dapat ditarik dengan Marxisme, Alan Hunt. 1987. Analisa Hukum; kuat oleh (minimal) dua lembaga, sehingga dalam Adam Podgorecki dan Christopher benang basah akan terentang. Ini tidaklah J. Whelan, Pendekatan Sosiologis terhadap berkait dengan kompromi kelembagaan, namun Hukum. Jakarta: Bina Aksara. menyangkut komitmen yang kuat dari lembaga yudisial untuk merentangkannya. Artinya masing- Ali Harb. 2003. Hermeneutika Kebenaran. masing memegang ujung talinya dengan sangat Jogyakarta: LKiS. kuat, bahwa masing-masing saling percaya dan Kurnianingsih, Ambarwati. 2008. Simulacra memiliki visi untuk memperbaiki, sehingga Bali; Ambiguitas Tradisionalisasi orang egoisme kekuasaan dapat dikekang. Apabila itu Bali. Insist. dapat dilakukan maka diharapkan penegakan hukum dan etika menjadi lebih mudah, dan efek- Tamanaha, Brian Z. 2001. General Jurisprudence efek yang muncul dapat diminimalisir. of Law and Society. Oxford: UK Oxford University Press Penegak hukum yaitu para hakim harus mampu menjalankan fungsi yang lebih baik Hughes. Graham. 1962. Morals and the Criminal ketika harus memilih kepentingan pribadi atau Law. 71 Yale Journal. orang lain, memilih kejujuran atau kekuasaan, etika dan moralitas atau gemerincing emas? Hart, HLA Law. 2009. Liberty and Morality; Hukum, Kebebasan, dan Moralitas. Hakim jenis ini apabila memutus, terlebih Jogyakarta: Genta Publishing. dahulu akan berkonsultasi dengan nuraninya dan kemudian mencari hukum untuk menopang A Pack of Lies, JA Barnes. 2005. Sosiologi nuraninya tersebut, hakim tipe ini merupakan Kebohongan dan Psikologi Akal Bulus. hakim progresif. Situasi saat ini memperlihatkan Jogyakarta: Qalam. bahwa masyarakat, pengadilan atau hakim kita mengalami problem filosofis? Atau lebih khusus Baudrillard, Jean. 1983. Simulation, Semiotextce, New York (terj) Paul Foss, Paul Patton, dan dikatakan problem moralitas? Problem etika di Philip Beichman. lingkungan penegak hukum? Kita menyadari sepenuhnya bahwa hidup dalam situasi saat itu Ekman, Paul. 2009. Mendeteksi kebohongan dapat menyeret pemahaman dan pengetahuan dalam hubungan bisnis, politik dan kita kepada kondisi ketidak menentuan -kondisi pernikahan. Jogyakarta: Penerbit BACA. ketidakstabilan, dan dalam situasi itu penting diperhatikan berbagai ancaman yang saat ini Tallis, Raymond. 1988. Not Saussure; a Critique of Post-Saussurean literary theory. berlangsung yang dapat menghancurkan, merusak Basingstoke: Macmillan. moralitas dan etika kehidupan kita.

132 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 132

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 117 -133

7/27/2012 3:11:24 PM

Gultom, Samuel. 2003. Mengadili Korban; Praktek pembenaran terhadap kekerasan Negara. Jakarta: Elsam. Rahardjo, Satjipto. 2010. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. _______________. 2009. Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. _______________. 2003. Sosiologi Hukum, dalam Sisi sisi lain hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas. Siegel. 1986. Solo in the New Order; Languange and Hierarchy in an Indonesian City. Princenton University Press. Sidharta. 2006. Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berfikir. Bandung: Refika Aditama, Kriekhoff, Valerine. JL. 1997. Autonomic Legislation sebagai Sumber Hukum Formal dalam Penelitian Hukum, pidato pengukuhan guru besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Menski, Wener. 2006. “Comparative Law in a Global Context; The Legal system of Asia and Africa. Cambridge University Press. Bankowski, Z. dan Munghams, G. 1976. Images of Law. Routledge and Kegan Paul, London.

Problematika Nalar dan Kekuasaan (Anthon F. Susanto)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 133



| 133

7/27/2012 3:11:24 PM

Ketepatan HAKIM DALAM Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004

The Accuracy of Implementing Precautionary Principle as “Ius Cogen” in the Case of Mt. Mandalawangi An Analysis on Decision Number 1794K/Pdt/2004 Loura Hardjaloka Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok Email: [email protected]; [email protected] Diterima tgl 28 Mei 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012 Abstrak Pelanggaran

Abstract terhadap

prinsip

kehati-hatian

The absence of implementing the precautionary

melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada

principle has to put forth the strict liability in the

parat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya

case of Mt. Mandalawangi. Such a liability will not

pembuktian dari para tergugat. Kasus sebagaimana

depend on the existence of any legal proofs conveyed

dianalisis dalam artikel ini bukanlah bencana

by the defendants. The incident of Mt. Mandalangi

alam karena kejadiannya dapat diprediksi namun

was not a natural disaster but could be predicted

para tergugat tidak menjalankan prinsip kehati-

before. It happened because of the precautionalry

hatian untuk mencegahnya. Para tergugat berdalih

principle disobedience. Despite admitting the

bahwa prinsip ini belum menjadi hukum positif di

violation, the defendants claim that this principle

Indonesia, akan tetapi prinsip ini telah dipandang

has not yet become a part of Indonesian positive

sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang

law. Otherwise, the principle can be regarded as

diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional

”ius cogen” that has been accepted and recognized

secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak

by international communities. Ius cogen can be

dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu

modified only by a new general and basic norm of

norma hukum dasar Internasional umum yang baru

international law with the same characteristic.

yang mempunyai sifat yang sama.

Keywords: precautionary principle, ius cogen,

Kata kunci: prinsip kehati-hatian, ius cogen,

strict liabilitity.

tanggung jawab mutlak.

134 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 134

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:24 PM

I.

PENDAHULUAN

Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Meskipun demikian, melihat pada kondisi lingkungan hidup sekarang sungguhlah sangat memprihatinkan.

Kasus Posisi Dalam perkara Gunung Mandalawangi, Para Penggugat (warga Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat) mengajukan gugatan yang berdasarkan pada Strict Liability (kemudian menjadi Termohon Kasasi) terhadap Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Tergugat I/Pemohon Kasasi I), Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat II/Pemohon Kasasi II), Pemerintah Daerah Tk. I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon Kasasi III), Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon Kasasi IV), dan Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Tergugat V/Pemohon Kasasi V). Alasan pengajuan gugatan adalah sebagai berikut:

Berdasarkan faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia. Salah satu contoh kejadian yang dianggap merupakan kerusakan lingkungan hidup adalah kasus Mandalawangi. Kasus yang terjadi pada tahun 2003 ini, dianggap terjadi karena adanya faktor • kelalaian manusia. Dalam kasus ini, dalih Para Tergugat bahwasanya longsor terjadi karena faktor bencana alam akan tetapi hal ini terasa janggal mengingat tidak terpenuhinya persyaratan untuk suatu kejadian lingkungan merupakan bencana alam. Tidak terpenuhinya dalih bencana alam salah satunya dikarenakan tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle) oleh Para Tergugat. Melihat hal tersebut maka perlu diketahui pula apa yang akan diterapkan untuk menghukum Para Tergugat, apakah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Strict Liability. Hal-hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengkaji kasus berdasarkan putusan ini secara mendalam.

Tergugat I diberikan hak untuk mengelola kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Barat, in casu kawasan Gunung Mandalawangi, Garut berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 1978 jo Kepmen Pertanian Nomor 43/KPTS/HUM/1978 dan PP Nomor 53 Tahun 1999. Tergugat I sebagai pengelola hutan berkewajiban menyelenggarakan kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan, dan pemasaran serta perlindungan dan pengamanan hutan dengan mengacu pada maksud dan tujuan perusahaan, yaitu melestarikan dan meningkatkan mutu sumber daya hutan dan mutu lingkungan hidup. Akan tetapi Tergugat I malah mengabaikan peraturan dan/atau menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan, yang diduga

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 135

| 135

7/27/2012 3:11:24 PM

menyebabkan berkurangnya luas hutan di Jawa Barat tinggal 8%, termasuk hutan Mandalawangi, Garut. •

Tergugat III mengeluarkan SK Menhut Nomor 419/KPTS.II/1999 yang amarnya mengubah status hutan lindung Mandalawangi kepada Tergugat I, • dianggap memberikan ‘peluang’ terhadap pelanggaran yang disebabkan Tergugat I dengan tidak memberikan pembinaan maupun tidak melakukan reboisasi setelah • penebangan dan/atau mengubah hutan primair menjadi hutan sekunder.

terdapat tiga titik rawan longsor di petak V dan empat titik di petak VI, tetapi Tergugat I tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait, termasuk Pemda Kabupaten Garut. Tindakan Tergugat I juga dianggap sebagai kelalaian dari Tergugat II, IV, dan V dalam melaksanakan kewajibannya melakukan pengurusan hutan. Peristiwa longsor ini telah mengakibatkan kerugian berupa terputusnya lalu lintas Bandung-Garut lewat Japati serta adanya korban jiwa dan harta benda; sehingga para Tergugat seharusnya bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) dengan melakukan relokasi dan membayar kompensasi yang sesuai.



Tergugat I juga menciptakan lahan kosong dan lahan garapan pertanian yang kemudian dimanfaatkan penduduk di sekitar area hutan Mandalawangi yang mana Tergugat telah mengubah fisik dan/atau fungsi hutan yang dapat dikualifikasikan sebagai Adapun putusan hakim ialah sebagai perusakan hutan (vide Pasal 50 ayat (2) UU berikut: Nomor 41 Tahun 1999).



Akibat perbuatan Tergugat I tersebut, terjadi longsor di area hutan Mandalawangi dan menghancurkan area pemukiman penduduk. Berdasarkan hasil penyelidikan Direktorat Vulkanologi, faktor-faktor penyebab longsornya Gunung Mandalawangi adalah: a. b. c. d. e.

ketebalan pelapukan tanah (3 meter); sarang (mudah meloloskan air); batuan vulkanik yang belum padu; kecuraman lereng 20-50 derajat dan bagian bawah relatif landai; adanya perubahan tata guna lahan bagian alas bukit dari tanaman keras/ hutan ke tanaman musiman.

Pendapat Mahkamah Agung Mengenai alasan dalam pokok perkara butir e yang menyatakan bahwa, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum sehingga Pemohon Kasasi berkewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat termasuk yang mengalami kerugian sehingga Pemohon Kasasi tidak dapat bersandar pada kebijaksanaan dikarenakan akibat dari kebijakan hukum yang merugikan masyarakat tidak dapat ditolerir. II.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan kasus di atas, pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan Ternyata sebelum terjadi longsor, Tergugat ini adalah sebagai berikut: I sudah mengakui sejak 6 bulan silam

136 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 136

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:24 PM

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dengan demikian, untuk memperoleh ganti rugi melalui gugatan yang berdasar pada PMH, syarat yang harus dipenuhi adalah sesuai dengan doktrin yang telah dijelaskan di atas, yakni 2. Bagaimana penerapan dalih bencana alam adanya perbuatan melawan hukum/ kesalahan, (act of God) dalam kasus perdata yang kerugian, dan ‘karena’, yaitu kausalitas antara kemudian dikaitkan dengan Putusan Nomor kesalahan dan kerugian (Subekti, 1979: 56). 1794K/Pdt/2004? 1. Bagaimana penerapan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) vs strict liability dalam kasus perdata yang kemudian dikaitkan dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004?

Ketika membicarakan Perbuatan Melawan 3. Bagaimana penerapan Precautionary Hukum (PMH) dalam konteks hukum lingkungan Principle (Prinsip Kehati-hatian) dalam secara lebih luas, maka terdapat istilah Fault kasus perdata yang kemudian dikaitkan Based Liability. Fault-Based Liability bisa dengan Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004? diartikan juga sebagai Perbuatan Melawan Hukum karena mendasarkan pertanggungjawabannya III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS berdasarkan terpenuhinya salah satu unsurnya yang merupakan unsur kesalahan. Dalam hukum 1. PMH vs. Strict Liability modern, pertanggungjawaban terhadap aktivitas yang disinyalir termasuk akitivitas berbahaya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ditentukan sesuai dengan kerangka umum dari Penggugat harus dapat membuktikan unsur sistem pertanggungjawaban yang berdasarkan untuk membenarkan dalil terjadinya perbuatan adanya delik. Hal ini berarti terdapat suatu keharusan untuk menunjukkan benar-benar melawan hukum oleh Tergugat, antara lain: terdapatnya unsur kesalahan dalam aktivitas a. perbuatan Melawan Hukum/ tersebut (Reid, 1999: 748). Kesalahan; Sedangkan, apabila membahas persoalan b. kerugian; dan c. kausalitas antara Perbuatan Melawan PMH menurut hukum lingkungan nasional, maka kita harus merujuk pada dua instrumen Hukum/Kesalahan dan Kerugian. hukum utama di bidang hukum lingkungan, Dalam hukum positif di Indonesia, ketentuan yakni UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan tersebut berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), hukum, yang membawa kerugian kepada sekaligus dapat membandingkan perbedaan di seorang lain, mewajibkan orang yang karena antara keduanya. Dalam UU Nomor 23 Tahun salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kerugian tersebut.” Ketentuan ini mensyaratkan PMH disebutkan dalam Pasal 34. Ketentuan pasal bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, tersebut mewajibkan penanggung jawab usaha yang membawa kerugian kepada seorang dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan lain, mewajibkan orang yang karena salahnya melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 137

| 137

7/27/2012 3:11:24 PM

perusakan lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Hakim juga dapat menetapkan pembayaran uang paksa (dwangsom) atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut (Pasal 34 ayat (2) UUPLH). Ketentuan yang serupa tercantum dalam UUPPLH tepatnya pada Pasal 87. Sedikit berbeda dari itu, dikenal asas yang disebut res ipsa loquitur. Asas ini disebut juga the presumption of fault. Dalam res ipsa loquitur, dianut prinsip bahwa fakta sudah membuktikan dengan sendirinya sehingga tidak perlu lagi dibuktikan. Dengan demikian res ipsa loquitur mengasumsikan kesalahan sudah pasti ada; sementara PMH mewajibkan Penggugat membuktikan adanya kesalahan. Asumsi atas Kesalahan atau The Presumption of Fault tidak menguntungkan Penggugat lebih jauh dari The Presumption of Liability yang dianut di Perancis (Ibid, 749). Asumsi atas Tanggung jawab di Perancis diatur dalam ketentuan Article 1384.1 dari Code Civil yang berbunyi, “One is responsible not only for the harm which one causes by one’s own action, but also for that which is caused by the action of persons for whom one is answerable, or by things which one has in one’s keeping.” Maka, terdapat perluasan makna pertanggungjawaban seseorang, yang tidak lagi terbatas pada perbuatannya sendiri saja, melainkan juga bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatan orang lain yang disebabkan oleh seseorang (pertama) tadi, serta atas kerugian yang timbul akibat kebendaan yang dikuasai seseorang (pertama) tersebut.

tanggung jawab pada seseorang; melainkan hanya mengasumsikan kesalahan semata pada seseorang tersebut. Sehingga masih harus dibuktikan dua unsur lainnya, yaitu kerugian dan kausalitasnya. Hal ini bisa dilihat pada yurisprudensi kasus antara McQueen v. The Glasgow Garden Festival (1988), di mana Penggugat cidera akibat letusan petasan yang meletus tiba-tiba. Negligence tidak terbukti dan gugatan McQueen ditolak (Ibid, 750). Strict Liability Strict Liability mengacu pada kegiatan tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan (Lummert, 1980: 239-240) dan pembuktian oleh pihak yang mempunyai kemampuan untuk memberikan bukti bahwa ia tidak bersalah atas perbuatan tersebut tetapi ia tetap bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Perlu dibedakan antara Strict Liability dan pembuktian terbalik karena sering sekali kedua hal ini dipersamakan. Pada pembuktian terbalik, pihak yang lebih kuat kedudukannya dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa akibat hukum dari suatu perbuatan bukanlah kesalahannya tetapi pada Strict Liability, ada atau tidak adanya pembuktian dari pihak tergugat, ia tetap bertanggung jawab atas akibat hukum dari suatu peristiwa yang terjadi dengan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah dipenuhi (Kasim, 2007: 40) .

Munir Fuady mendefinisikan Strict Liability sebagai suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsur kesalahan atau tidak, dalam hal ini pelakunya Sementara pada The Presumption of dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, Fault, ketidaktahuan akan sebab munculnya meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia suatu kerugian tidak serta-merta menimbulkan 138 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 138

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:24 PM

tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghatihatian, atau ketidakpatutan. Jadi, menurut Munir Fuady, Strict Liability adalah tanggung jawab secara hukum pada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa mempedulikan unsur kesalahan, bahkan tanpa unsur kesengajaan, kelalaian, kekuranghati-hatian atau ketidakpatutan 2. sekalipun. Sedikit berbeda dari pendapat tersebut, Strict Liability juga didefinisikan dalam Restatement (Second) of Torts Article 519 (1) yang berbunyi, “One who carries on an abnormally dangerous activity is subject to liability for harm to the person, land or chattels of another resulting from the activity, although he has excercised the utmost care to prevent the harm.” Jadi, pelaku kegiatan yang berbahaya secara abnormal (abnormally dangerous activity) bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari kegiatan tersebut, meskipun ia telah melakukan usaha paling maksimal untuk mencegah timbulnya kerugian (excercised the utmost care to prevent the harm).

4. 5. 6.

Extent to which the activity is not a matter of common usage; Inappropriateness of the activity to the place where it is carried on; and Extent to which its value to the community is outweighed by its dangerous attributes.

Membuktikan adanya Kerugian.

3. Membuktikan adanya Kausalitas antara kegiatan seseorang dengan kerugian yang ditimbulkannya.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan mengenai Strict Liability termuat dalam Pasal 35. Sebelum memasuki substansi ketentuan pasal tersebut, ada baiknya terlebih dahulu mengomentari judul paragraf dari pasal tersebut yaitu Tanggung Jawab Mutlak. Terjemahan Strict Liability menjadi Tanggung Jawab Mutlak agak riskan, sebab terdapat satu istilah lagi yang berbeda maknanya dengan Strict Liability, yaitu Absolute Liability. Pada Absolut Liability, bahkan kerugian pun tidak perlu dibuktikan. Jadi, Kesimpulan dari definisi tersebut adalah hanya dengan melakukan suatu perbuatan yang bahwa ada tiga hal yang harus dibuktikan oleh tergolong dalam ketentuan Absolute Liability Penggugat untuk memperoleh kebenaran atas tersebut, maka pelaku sudah harus bertanggung gugatannya yang berdasar pada Strict Liability, jawab, sehingga hal yang harus dibuktikan yakni (Siahaan, 2009: 67): oleh Penggugat terhadap perbuatan Tergugat 1. Membuktikan terjadinya Abnormally hanya satu, yaitu membuktikan bahwa Tergugat Dangerous Activity yang disebabkan memang melakukan sesuatu hal yang dilarang oleh Tergugat Article 520 Restatement tersebut. Tentu pengertian Absolute Liability (Second) of Torts menentukan enam berbeda dengan Strict Liability, sehingga perlu parameter kegiatan yang tergolong sebagai diperhatikan bahwa Tanggung Jawab Mutlak Abnormally Dangerous Activity, yaitu: yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun UU Nomor 32 Tahun 2009 adalah Strict 1. Existence of a high degree of risk; Liability, bukan Absolute Liability. Pasal 35 ayat 2. Likelihood that the harm that results (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menentukan bahwa from it will be great; penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan 3. Inability to eliminate the risk; Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 139

| 139

7/27/2012 3:11:24 PM

dapat dibebankan tanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, bila usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yaitu yang: a. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/ atau; b. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. Kewajiban membayar ganti rugi timbul bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang ditentukan di atas yakni secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun, Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1997 memuat ketentuan bagi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk dapat dibebaskan dari kewajiban ganti rugi tersebut yakni bila dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh: a. b. c.

Bencana alam atau peperangan; atau Keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau Tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

UU Nomor 32 Tahun 2009 juga memuat ketentuan mengenai Strict Liability dalam Pasal 88 yang menentukan bahwa, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Jadi, ada empat hal yang dapat menerbitkan Strict Liability, yaitu dalam hal seseorang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya:

140 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 140

a. b. c. d.

Menggunakan B3; Menghasilkan limbah B3; Mengelola limbah B3; Menimbulkan ancaman terhadap lingkungan hidup.

serius

Kedua instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa Strict Liability dianut dalam hukum lingkungan nasional, yakni dalam hal tertentu yang spesifik seperti telah ternyata di atas. Dalam perkara Gunung Mandalawangi, gugatan antara lain dikarenakan Tergugat I melakukan perbuatan yang mengabaikan peraturan dan/atau menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan karena mengakibatkan luas hutan di Jawa Barat tinggal 8% serta menimbulkan longsor yang terjadi pada tanggal 28 Januari 2003 dan menimbulkan kerugian besar. Pada posita angka 26 Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat bertanggung jawab mutlak (Strict Liability) sehingga Penggugat tidak perlu membuktikan unsur kesalahan. Dasar hukum dari dalil ini adalah Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 1997 yang sedang berlaku ketika itu. Akan tetapi, dalam poin 2 petitumnya Penggugat meminta “Menyatakan menurut hukum bahwa PARA TERGUGAT telah melakukan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya patutlah dihukum untuk membayar ganti kerugian.” Pada dalil poin 16 eksepsi oleh Tergugat I dikatakan bahwa dalil Penggugat yang menyatakan Tergugat I melakukan kesalahan dalam pengelolaan kawasan hutan adalah tidak benar (karena Tergugat I telah melaksanakan pengelolaan hutan) sehingga secara hukum Tergugat I tidak harus bertanggung jawab. Mengenai hal ini, menurut Penulis tidak esensial sebab dasar gugatan adalah Strict Liability yang tidak mensyaratkan pembuktian unsur kesalahan. Dengan demikian, sekalipun benar dalil Tergugat I bahwa ia telah melaksanakan pengelolaan Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:25 PM

hutan sehingga kesalahan tidak terbukti, tidak membebaskan Tergugat I dari tanggung jawab atas dasar Strict Liability.

Secara umum pendapat tersebut muncul karena adanya asas Precautionary Principle dalam hukum lingkungan positif di Indonesia, sehingga penyimpangan peruntukan kawasan hutan Pada dalil poin 19 dan 20 eksepsi oleh dianggap sebagai sebab (causa) yang menyalahi Tergugat I, kerugian yang diderita oleh korban aturan Precautionary Principle sehingga para bencana tersebut adalah akibat bencana alam. Jika Tergugat adalah bertanggung jawab dalam kasus benar dalil ini maka berdasarkan hukum positif ini. mengenai Strict Liability di Indonesia, Tergugat I dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar Keputusan hakim untuk menerapkan ganti kerugian, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Precautionary Principle sebagai bentuk adopsi UU Nomor 23 Tahun 1997. Akan tetapi, ternyata dari ketentuan hukum internasional dalam kasus peristiwa longsor di Desa Mandalawangi ini ini dinilai tepat. Hal ini dikarenakan penegakkan bukanlah suatu bencana alam, sehingga Tergugat hukum lingkungan hidup disebabkan dengan I tidak dapat dibebaskan dari tanggung jawab standar hukum Internasional. Hal ini berarti suatu membayar ganti kerugian (penjelasan mengenai ketentuan hukum internasional dapat digunakan bahwa peristiwa longsor di Desa Mandalawangi oleh hakim nasional apabila memang ketentuan bukanlah suatu bencana alam diuraikan dalam tersebut telah dipandang sebagai “ius cogen” bagian analisis terkait bencana alam/act of God (O’Riordan dan J. Cameron, 1996: 347). yang ada di sub selanjutnya). Dalam dalil poin Apabila kemudian merujuk pada sumberII 2 Eksepsi oleh Tergugat IV, posita Penggugat sumber hukum internasional yang termuat dalam adalah obscuur libel karena kasus longsor yang Statute of The International Court of Justice terjadi bukanlah akibat dari kegiatan atau usaha Article 38 (1), adalah (Jones, 1992: 1705): yang menggunakan B3 maupun menghasilkan limbah B3 sebagaimana disyaratkan dalam Pasal a. International conventions, whether 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997. Seluruh general or particular, establishing eksepsi tersebut ditolak oleh Pengadilan Negeri rules expressly recognized by the Bandung, sebab majelis hakim berpendapat contesting states; bahwa Tergugat I, III, IV dan V bertanggung jawab b. International custom, as evidence of secara Strict Liability atas kerugian yang timbul. a general practice accepted as law; Begitu pula dengan Pengadilan Tinggi Jawa c. The general principles of law Barat dan Mahkamah Agung. Pendapat hakim recognized by civilized nations; adalah bahwa kejadian longsor disebabkan antara d. Judicial decisions and lain kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan e. The teachings of the most highly karena pemanfaatan tanah tidak sesuai fungsi dan qualified publicists of the various peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung. nations, as subsidiary means for the Fakta ini berhubungan seara kausalitas dengan determination of rules of law. kerugian (yang timbul akibat longsor), sehingga Prinsip Ius Cogen sendiri bisa dikategorikan terpenuhi unsur Strict Liability dan para Tergugat sebagai suatu international customary law, yang tidak dapat membuktikan sebaliknya. berarti merupakan suatu bagian dari sumber Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 141

| 141

7/27/2012 3:11:25 PM

hukum internasional yang tergolong kepada international custom, as evidence of a general practice accepted as law (Raffensperger dan J. Tickner, 1999: 567). Hal yang menarik untuk dikaji adalah seputar Abnormally Dangerous Activity sebagai salah satu unsur Strict Liability yang harus dibuktikan oleh Penggugat. Dalam kasus ini, Abnormally Dangerous Activity yang terjadi dan disebabkan oleh para Tergugat adalah: a. Existence of a high degree of risk Dalam perkara ini, pada perbuatan Tergugat I terdapat resiko yang berskala besar, yaitu dapat terjadi longsor. Perbuatan Tergugat I yang dimaksud adalah mengelola hutan sampai dengan terjadi pengurangan areal hutan secara masif sehingga hutan sekunder di Gunung Mandalawangi tersebut tidak mampu lagi menahan curah hujan. Ketidakmampuan hutan menahan curah hujan dapat mengakibatkan banjir. Namun, disertai dengan struktur kemiringan lereng 40 derajat, maka bahaya longsor pun mungkin terjadi. Apabila terjadi longsor, maka secara logika teori gravitasi pemukiman penduduk akan tertimbun tanah. Dengan demikian jelas bahwa terdapat resiko skala besar dari perbuatan Tergugat I. b. Likelihood that the harm that results from it will be great

terancam, 70 Ha sawah padi dan 35 Ha ladang jagung hancur (dalam petitum ditambah 35 Ha ladang kacang merah), 150 ekor domba dan 5.000 ekor ayam dan itik musnah, rusak/ robohnya jalan setapak 4,5 km, jembatan 3 m, drainase 6 km, pipa air bersih 7 km, madrasah 2 unit dan masjid 3 unit, serta hancurnya perlengkapan sekolah mengakibatkan kerugian dalam bersekolah serta hilangnya kesempatan mencari nafkah bagi 376 KK yang mengungsi. Posita dalam gugatan menunjukkan kerugian materiil sejumlah Rp.30.417.200.000,00 dan kerugian immateriil sebesar Rp.20.000.000.000,00. c. Inability to eliminate the risk Dalam positanya Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat I telah mengetahui 7 titik rawan longsor namun tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan tersebut kepada masyarakat dan Pemda Kabupaten Garut, sehingga kemudian muncul kerugian yang sangat besar. Dengan demikian unsur ini pun terpenuhi. d. Extent to which the activity is not a matter of common usage Kegiatan Tergugat I dalam pemanfaatan hutan tidak sesuai fungsi dan peruntukannya sebagai hutan lindung, sehingga unsur bahwa kegiatan tidak sesuai penggunaan/pemakaian/ pemanfaatan secara umum juga terpenuhi. Hal ini dikarenakan pemanfaatan hutan secara umum seharusnya sesuai dengan fungsi dan peruntukannya, namun yang terjadi adalah eksploitasi hutan sehingga tidak mampu menampung curah hujan.

Kegiatan berbahaya yang abnormal dari Tergugat I juga memenuhi unsur ini, bahwa kerugian yang akan muncul dari kegiatan tersebut akan sangat besar. Hal ini terbukti dengan munculnya korban jiwa 21 orang meninggal (dalam posita 20 orang meninggal dan 1 tidak Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut ditemukan), 15 orang korban luka-luka dan dirawat maka terbukti pula unsur Abnormally Dangerous inap, 165 unit rumah hancur, 67 unit rumah rusak Activity, di samping Kerugian dan Kausalitas di berat, 44 unit rumah rusak ringan dan 104 rumah antara keduanya, sehingga Tergugat sepantasnya

142 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 142

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:25 PM

bertanggung jawab secara Strict Liability. Apabila dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya hakim juga bisa mendasari pertimbangan hukumnya dalam menjatuhkan putusan soal Strict Liability kepada tergugat, berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 jo Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999. Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan: “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.

analisis mengenai dampak lingkungan hidup.” Masih berkorelasi dengan apa yang diungkapkan di atas, ketentuan menyangkut soal AMDAL ini kembali ditegaskan dalam PP Nomor 27 Tahun 1999. Hal ini merujuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 27 Tahun 1999: Usaha dan/atau kegiatan yang memungkinkan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup adalah poin a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, poin c, Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam, dalam pemanfaatannya dan, poin e, Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/ atau perlindungan cagar budaya

Merujuk pada beberapa dalil-dalil gugatan yang dikemukakan penggugat, sebenarnya sudah Kegiatan yang disebabkan oleh Tergugat bisa memenuhi ketentuan huruf a, c, dan e dari dalam hal ini memang menimbulkan dampak yang pasal di atas. Beberapa di antaranya adalah dalil cukup besar dan penting terhadap lingkungan penggugat yang menyatakan bahwa: hidup. Sehingga, penanggung jawab kegiatan dalam hal ini adalah tergugat bisa dikenakan suatu a. Tergugat I dalam mengelola hutan bentuk pertanggungjawaban mutlak, kepadanya telah mengabaikan peraturan dan/ dikenakan juga kewajiban pembayaran ganti rugi atau telah menyimpang dari maksud kepada korban-korban atau pihak-pihak yang dan tujuan perusahaan, di mana hal dirugikan akibat dari tindakannya tersebut. ini telah mengakibatkan luas hutan Masih terkait dengan ketentuan di atas, apabila kemudian suatu kegiatan dikategorikan sebagai suatu kegiatan yang memiliki dampak besar dan penting terhadap lingkungan, maka kegiatan tersebut wajib memiliki AMDAL. Hal ini termuat jelas pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997: “Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki

di Jawa Barat tinggal 8% (termasuk hutan Mandalawangi Garut) dari keadaan 53 juta Ha (20%) sebelum dikelola oleh Tergugat I. b.

Tergugat III dengan mengeluarkan SK Menhut No. 419/KPTS II/1999 yang amarnya merubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas.

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 143

| 143

7/27/2012 3:11:25 PM

Apabila memang kemudian bisa dibantah oleh Para Tergugat dalam jawaban dalam pokok perkaranya, sehingga kegiatan tersebut sebenarnya menurut pendapat tergugat tidak memenuhi unsur-unsur kegiatan yang wajib AMDAL, maka kembali pada ketentuan di mana kegiatan yang wajib AMDAL pasti bisa dikenakan ketentuan Strict Liability, tapi di sisi lain tidak berarti juga bahwa kegiatan yang tidak wajib AMDAL pasti tidak akan terkena Strict Liability. Dari uraian beberapa ketentuan di atas, bisa disimpulkan bahwa memang benar ketentuan soal Strict Liability bisa dikenakan kepada Para Tergugat dalam kasus ini dengan menggunakan beberapa dasar hukum. 2.

Bencana Alam (Act of God)

tindakan yang diakibatkan oleh alam tanpa adanya campur tangan dari manusia (Fraley, 2010: 669678). Bila ada intervensi dari manusia sekecil apapun yang menyebabkan timbulnya bencana, maka biasanya pengadilan akan menolak defense act of God yang dikemukakan oleh pihak tersebut (Ibid, 690). Syarat lain suatu kejadian dikatakan sebagai tindakan Tuhan yaitu kejadian tersebut terjadi secara langsung (direct), cepat (immediate), disebabkan oleh alam itu sendiri, tidak terkontrol dan tidak dipengaruhi oleh tindakan manusia, serta tidak ada campur tangan manusia. Kejadian itu harus tidak dapat dihindari, diprediksi, maupun ditangani dengan amat hati-hati (Fasoyiro, 2009: 20).

Pihak yang secara potensial harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan Istilah ‘force majeur’ seringkali (Potentially Responsible Parties/PRPs) biasanya dikemukakan untuk mengurangi atau menggunakan act of God sebagai alasan untuk menghilangkan tanggung jawab seseorang ketika mengurangi tanggung jawab. Akan tetapi tidak ia tidak dapat melakukan kewajibannya karena cukup hanya dengan mengemukakan alasan sebab-sebab di luar kendalinya, seperti kuasa tersebut lantas ia dapat lepas dari tanggung jawab; ia juga harus menyertakan bukti-bukti Tuhan (act of God). yang cukup dan mendukung bahwa peristiwa Act of God didefinisikan oleh Congress tersebut tidak mungkin diprediksi atau dihindari (badan legislatif di Amerika Serikat) sebagai dan act of God adalah satu-satunya penyebabnya suatu hal yang yang disebabkan oleh bencana (sole cause). alam yang serius (grave natural disaster). Akan Kesimpulannya, supaya para pihak dapat tidak semua bencana alam dapat dikategorikan sebagai act of God. Yang dapat dikategorikan menggunakan dalih act of God sebagai penyebab adalah bencana yang tidak biasa (unusual) dan suatu peristiwa, ia harus membuktikan 4 unsur luar biasa (extraordinary) secara alamiah, serta berikut di hadapan pengadilan : (1) act of God itu tidak dapat diantisipasi atau diprediksi dalam tidak dapat diantisipasi; (2) act of God haruslah keadaan normal. Jadi apabila suatu bencana bencana alam yang serius (grave) atau fenomena alam merupakan sesuatu yang lumrah terjadi di alam lainnya yang luar biasa (exceptional), tidak di daerah tersebut, peristiwa tersebut bukanlah terhindarkan (inevitable), dan tidak tertahankan grave natural disaster dan bukanlah akibat dari (irresistible); (3) act of God haruslah merupakan act of God. Act of God juga didefinisikan sebagai satu-satunya penyebab (sole cause); (4) kerusakan Gambaran Umum Act of God

144 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 144

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:25 PM

yang disebabkan act of God tersebut tidak dapat dihindari meskipun sudah ada tindakan pencegahan (due care) atau prediksi masa depan (Kristl, 2006: 325-362). Implementasi Elemen-Elemen Dari Defense Act Of God dalam Statuta Terkait Lingkungan Hidup Tingkat Federal Amerika Serikat dan Texas Terhadap Kasus Mandalawangi a.

Suatu act of God harus tidak dapat diantisipasi

Dalam kasus ini, seharusnya peristiwa longsor ini dapat diantisipasi. Tergugat sendiri mengakui bahwa ia telah mengetahui keadaan tanah di Gunung Mandalawangi, yang mana bagian atas Gunung Mandalawangi terdiri atas tanah regosol, sehingga ketika terkena air dalam debit atau curah yang besar tanah regosol yang bertekstur kasar dan parous dengan kemampuan menahan air yang rendah menyebabkan longsor. Hal ini seharusnya dapat diantisipasi dengan mencegah atau menjaga agar pepohonan yang besar-besar (tanaman keras) tetap ada di sana guna menahan aliran air dan menyerap air dalam tanah. Terlebih lagi banjir bandang tersebut merupakan siklus lima puluh tahun sekali yang sudah diketahui oleh masyarakat luas, sehingga seharusnya bisa diantisipasi dengan baik yang oleh karena itu seharusnya dalih act of God gugur. b. Suatu act of God haruslah bencana alam yang serius (grave natural disaster) Tiga elemen yang harus dibuktikan bahwa suatu kejadian adalah fenomena alam yang luar biasa, yaitu: kejadian tersebut harus luar biasa (exceptional), tak terelakkan (inevitable), dan tak tertahankan (irresistible). Memang dari segi

kuantitas curah hujan sangat luar biasa (sampai 14 kali dari curah hujan normal) dan tidak ada yang bisa mengatur kapan terjadi hujan karena itu merupakan fenomena alamiah sehingga seakan-akan terlihat seperti bencana alam, tetapi untuk dapat diklasifikasikan sebagai grave natural disaster harus memenuhi syarat ‘tidak dapat diantisipasi bentuknya, lokasinya, ataupun peralatan yang menunjang terjadinya bencana alam tersebut, baik karena alasan historis, geografis, maupun iklim’. Secara historis, iklim, dan geografis, peristiwa hujan besar banjir bandang di kawasan Gunung Mandalawangi sudah pernah terjadi, bahkan jangka waktu siklusnya sudah diketahui dengan baik oleh khalayak luas; sehingga sudah bisa disebabkan tindakan antisipasi. Jadi tidak termasuk act of God. Hal ini dikuatkan dalam kasus Stringfellow, ARCO, serta yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat, memang biasanya hujan tidak dikategorikan sebagai act of God. c.

Suatu act of God harus menjadi satu-satunya penyebab (sole cause) dari bencana

Suatu act of God harus menjadi satusatunya penyebab (sole cause) dari bencana untuk dapat dinyatakan sebagai bencana alam si penanggung jawab usaha atau kegiatan harus menyatakan act of God sebagai satu-satunya penyebab (sole cause), sehingga tidak boleh ada sedikitpun campur tangan dari pihak manusia; bila ada maka dalih act of God akan gugur seketika. Dalam kasus ini Tergugat I dalam eksepsinya di pengadilan tingkat pertama mengatakan bahwa peristiwa longsor tersebut murni bencana alam. Akan tetapi, di pengadilan tingkat kasasi terbukti lewat hasil penelitian bahwa pencemaran lingkungan tersebut tidak hanya karena hujan (banjir bandang), tetapi ada pula faktor-faktor lain

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 145

| 145

7/27/2012 3:11:25 PM

yang turut mempengaruhi seperti pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung. Hal ini mempunyai hubungan kausalitas dengan longsornya tanah yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda, sehingga dalam hal ini Tergugat I gagal membuktikan poin ini sehingga seharusnya dalih act of God-nya tidak dapat diterima. d.

Lack of negligence (ketiadaan kelalaian) tidak cukup membuktikan dalil act of God

based, sehingga soal unsur ‘kesalahan’ (dalam hal ini culpa atau kelalaian) yang tidak ditemukan pada Tergugat I tidak dipertimbangkan. Menurut penulis, hal ini adalah tindakan dari Tergugat yang sudah sepatutnya mengetahui kondisi Gunung Mandalawangi dan hujan besar yang terjadi secara berulang-ulang, tetapi kurang melakukan sosialisasi bahaya dan menerapkan prinsip kehatihatian dalam membuat keputusan administratif yang berpengaruh terhadap keseimbangan ekologi di daerah tersebut.

e. Bencana tidak dapat dicegah meskipun sudah ada tindakan pencegahan atau Meskipun salah satu pihak membuktikan prediksi sebelumnya bahwa tidak ada unsur kelalaian pada tindakannya (seperti sudah melakukan tindakan pencegahan), Dalam menangani kasus-kasus lingkungan akan tetapi tidak secara otomotis dalil act of terkait act of God, pengadilan federal menghasilkan God terpenuhi dan ia dapat membebaskan diri satu prinsip penting, yaitu apabila Tergugat telah dari tanggung jawab. Dalam jawaban Tergugat I mendapat peringatan yang cukup dan alat yang pada pengadilan tingkat pertama, ia menyatakan memadai untuk melakukan usaha perlindungan, telah berhati-hati dalam menyusun perencanaan pencegahan, maupun mitigasi dampak atas act pengelolaan hutan (selalu dengan persetujuan of God tetapi gagal melakukannya, maka ia tetap dari Menteri Kehutanan), melakukan reboisasi bertanggung jawab. Sebaliknya bila Tergugat dan tidak mengubah hutan primer menjadi tidak mendapat peringatan yang cukup serta tidak hutan sekunder, tidak ada pengubahan status ada alat yang memadai, maka ia tidak bertanggung hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas, jawab. Contohnya ada pada kasus Apex di mana mengetahui adanya titik-titik rawan longsor kapten kapalnya tidak menghiraukan peringatan sebelum peristiwa tersebut terjadi, maupun dalam usaha menghindarkan kapalnya dari perubahan tata guna lahan bagian atas bukit dari tabrakan, sehingga ia dianggap tetap bertanggung tanaman keras ke tanaman musiman. Singkatnya, jawab. Tergugat I merasa tidak melakukan sedikitpun Dalam kasus Mandalawangi ini, Tergugat kelalaian yang menyebabkan terjadinya bencana longsor. Terlepas dari benar atau tidaknya, V telah melakukan beberapa hal seperti ketika Tergugat I telah memaparkan fakta-fakta mengeluarkan surat Nomor 322.377/Kec./tahun ketiadaan kelalaian pada dirinya tersebut tidak 2000 yang isinya berupa usulan keberatan pada lantas membuat dalil act of God terbukti dan ia KPH yang pada pokoknya isi surat tersebut otomatis bebas dari pertanggungjawaban. Hal menyarankan ada penyuluhan di lapangan ini disebabkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 sehubungan kawasan Gunung Mandalawangi dan tiga statuta terkait lingkungan hidup yang telah dibuka dan akan ditanami tanaman tumpang kita rujuk di sini tidak menganut prinsip fault- sari oleh masyarakat; surat nomor 520/44/IV/

146 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 146

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:25 PM

Kec./2001 tentang permohonan pengelolaan lahan Gunung Mandalawangi kiranya dapat lebih diarahkan sehingga tidak selalu mengakibatkan bencana apabila turun hujan. Sudah ada peringatan yang cukup dari Tergugat V untuk melakukan kehati-hatian secara tertulis, namun ternyata usaha perlindungan, pencegahan, maupun mitigasi dampak atas act of God tersebut tidak berhasil mencegah longsor yang mungkin timbul. Melihat akibat yang ditimbulkan ini seharusnya Tergugat tetap bertanggungjawab.

memori manusia yang hidup (within the memory of men then living), tidak dapat dikategorikan sebagai act of God karena sifatnya seperti siklus yang berulang-ulang.

Menganalisis keterangan ahli Dr. Chay Asdak yang mengatakan hujan ini merupakan ”peristiwa alam siklus 50 tahunan (hal tersebut juga diketahui oleh masyarakat yang bersangkutan) yang pada waktu kejadian terjadi intensitas curah hujan sangat tinggi yaitu 12 mm/hari atau 14 kali rata-rata normal di mana f. Liability is strict (Tanggung Jawab Ketat) ada atau tidak ada hutan tidak berpengaruh secara signifikan menahan banjir dan tanah Statuta-statuta lingkungan pemerintah longsor” (Faure & Niessen, 2006: 191). Ketika federal menerapkan prinsip tanggung jawab suatu masyarakat telah mengetahui dengan ketat (strict liability), sehingga seseorang tetap jelas suatu fenomena yang sifatnya berulang, bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang maka peristiwa atau bencana alam tersebut tidak ditimbulkannya, kecuali ia dapat membuktikan dapat dikategorikan sebagai act of God karena bahwa kerusakan itu terjadi karena salah satu sudah bisa diperkirakan terjadinya. Ahli dari pengecualian dari tanggung jawabnya itu, yang Pemohon Kasasi III sendiri yang mengatakan salah satunya termasuk act of God. Akan tetapi demikian, jadi dengan demikian pernyataan yang meskipun ia sudah berhasil membuktikan kelima bersangkutan menjadi bumerang bagi Pemohon poin yang disebutkan di atas, pada dasarnya Kasasi III dan menggugurkan dalih act of God seseorang harus tetap bertanggung jawab karena yang ia kemukakan! tanggung jawab act of God adalah berdasarkan atas akibat (causation-based), bukan berdasarkan Hampir mirip dengan peraturan pemerintah kesalahan (fault-based). Ketika sudah ada akibat federal, untuk menyatakan dalil bahwa suatu yang ditimbulkan dari act of God, dalam kasus peristiwa kerusakan lingkungan terjadi karena ini berarti peristiwa longsor, para Tergugat prima adanya act of God di negara bagian Texas facie memang pada dasarnya bertanggung jawab seseorang harus membuktikan bahwa: atas kerusakan lingkungan akibat keluarnya SK a. Kejadian tidak dapat diantisipasi; yang amarnya berisi perubahan fungsi hutan b. Kejadian belum pernah terjadi lindung serta tindakan-tindakan yang mengarah sebelumnya (unprecedented); pada perubahan fungsi dan kerusakan hutan. c. Act of God adalah satu-satunya Dalam jurnal Invoking the Act of God Defense penyebab (sole cause) dari fenomena karya Laurencia Fasoyiro, dalam hal ini diberikan alam tersebut; dan suatu contoh bahwa tidak semua hujan dapat d. Telah melakukan tindakan dikategorikan sebagai act of God. Suatu hujan pencegahan (due care) ataupun yang sifatnya normal, biasa bagi daerah tersebut, prediksi sebelumnya (foresight). dan pernah terjadi selama masih terekam dalam Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 147

| 147

7/27/2012 3:11:25 PM

Dari hasil analisis dalih yang dikemukakan oleh para Tergugat dan ahli serta pertimbangan hakim pada tingkat kasasi, dapat disimpulkan sebenarnya peristiwa ini bukan merupakan bencana alam (sebab-sebab act of God) karena ketujuh poin di atas tidak dapat dibuktikan oleh para Tergugat, oleh karena itu Tergugat seharusnya tetap bertanggung jawab secara mutlak (strict liability). Dapat ditarik suatu kesimpulan memang untuk membuktikan dalil act of God di hadapan pengadilan sangat sulit mengingat banyaknya poin-poin persyaratannya. Jadi, apakah ada gunanya kita mendalilkan act of God sebagai alasan untuk kita mengelak diri dari tanggung jawab? Sepertinya tidak ada manfaatnya, kecuali ada perubahan terhadap undang-undangnya yang bisa memberikan ‘celah’ bagi si penanggung jawab usaha atau kegiatan.

jawab berdasarkan kesalahan menjadi tanggung jawab mutlak. Di ranah pidana, penerapan retrospektif dari prinsip  kehati-hatian tidak sesuai. Dengan mengharuskan tindakan kehatihatian pada seorang pelaku dalam penuntutan lingkungan akan mengubah tanggung jawab mutlak (strict liability) menjadi tanggung jawab mutlak (absolute liability)  dan menciptakan potensi hukuman pidana tanpa adanya kesalahan (M’Gonigle, 1994: 99-169). Bruce Pardy berpendapat bahwa di ranah perdata prinsip kehati-hatian seharusnya digunakan untuk mengevaluasi tindakan-tindakan masa lalu dari pelaku dalam kasus perdata. Hal tersebut saat ini tidak diterapkan oleh pengadilan. Di ranah pidana, justru kebalikannya. Bruce Pardy berpendapat bahwa prinsip kehati-hatian tidak seharusnya diterapkan dalam penuntutan atas pelanggaran lingkungan. Namun begitu, setidaknya satu 3. Precautionary Principle (Prinsip Kehati- pengadilan telah mengambil langkah yang setara dan jika ada kecenderungan, itu akan mengarah hatian) ke hal yang di atas (Pardy, 2002: 70-75). Prinsip kehati-hatian yang dikembangkan dalam hukum lingkungan internasional Dalil Gugatan Penggugat adalah konsep yang prospektif. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang Para Penggugat yang menyatakan seharusnya diperbolehkan  untuk  terjadi  di bahwa menurut hasil penyelidikan Direktorat masa depan.  Pertanyaan  yang dibahas Vulkanologi, faktor-faktor penyebab longsornya dalam  uraian  ini  adalah apakah dalam Gunung Mandalawangi, yaitu: hukum domestik prinsip kehatia. ketebalan pelapukan tanah (3 meter); hatian harus diterapkan secara retrospektif (Hey, b. sarang (mudah meloloskan air); 1992: 303-318). Haruskah sikap kehati-hatian c. batuan vulkanik yang belum padu; digunakan sebagai standar untuk diterapkan d. kecuraman lereng 20-50 derajat dan bagian dalam tindakan masa lalu pihak swasta, sehingga bawah relative landai; dan dapat menilai apakah pihak swasta tersebut telah e. adanya perubahan tata guna lahan bertindak secara legal? Dalam ranah perdata, bagian alas bukit dari tanaman keras/ jawabannya adalah ya. Menerapkan prinsip hutan ke tanaman musiman. Hal tersebut kehati-hatian dalam kasus perdata menghilangkan menegaskan manejemen pengelolaan persyaratan ‘kemampuan melihat apa yang akan hutan yang disebabkan oleh Tergugat I terjadi di masa depan’  dan mengubah tanggung

148 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 148

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:25 PM

hanya mengejar keuntungan semata tanpa menghiraukan kelestarian lingkungan dan ekosistem serta tata guna lahan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 PP No. 53 Tahun 1999. Kemudian di paragraf berikutnya, dinyatakan bahwa Tergugat I telah mengetahui dan mengakui adanya 3 titik rawan longsor di Petak V dan 4 titik rawan longsor di Petak VI, namun Tergugat I tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan itu kepada masyarakat dan pihak terkait, sehingga Tergugat I telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Berdasarkan dalil gugatan tersebut, kami menyimpulkan bahwa pengetahuan-pengetahuan yang disebutkan di atas dapat dikatakan sebagai suatu bukti ilmiah. Seperti diketahui bersama, dalam Precautionary Principle, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat menjadi alasan untuk menundanunda upaya pencegahan selama ada ancaman kerugian yang tidak dapat dipulihkan, sedangkan dalam kasus ini sudah jelas terdapat 3 titik rawan longsor di Petak V dan 4 titik rawan longsor di Petak VI, tetapi Tergugat I tidak menanganinya secara khusus dan tidak mengumumkan penemuan itu kepada masyarakat dan pihak terkait. Hal tersebut tentu menyimpang dari penerapan Precautionary Principle. Dengan adanya pengetahuan akan titik-titik rawan longsor, sudah seharusnya Tergugat I sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk mengelola melakukan upaya-upaya pencegahan agar tidak terjadi longsor. Ketiadaan bukti ilmiah saja tidak dapat menjadi alasan untuk menunda-nunda upaya pencegahan, apalagi ini yang sudah jelasjelas ditemukan adanya titik-titik rawan longsor.

Putusan PN Bandung (Putusan Nomor 49/ Pdt.G/2003/PN.BDG) Amar putusan dalam pokok perkara (dalam konpensi) menyatakan bahwa Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan hutan Gunung Mandalawangi serta menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi Amar putusan tersebut menggambarkan bahwa karena tidak disebabkannya upaya pencegahan, maka timbullah peristiwa tanah longsor, yang kemudian didalilkan oleh para Tergugat dalam eksepsi bahwa tanah longsor ini merupakan bencana alam berupa banjir bandang disertai tanah longsor di areal hutan Gunung Mandalawangi. Jadi, di sini menurut hakim, para Tergugat harus bertanggung jawab secara mutlak (strict liability) untuk menanggulangi dampak yang terjadi. Dengan digunakannya strict liability sebagai sistem hukum, maka hambatan yang dialami para korban dapat diterobos, beban pembuktian tidak hanya dibebankan pada Penggugat lagi (korban yang dirugikan) sebagaimana yang selama ini lazim dianut karena dalam ketentuan Strict Liability kesalahan tidak perlu dibuktikan, namun kerugian dan kausalitas antara tindakan Tergugat dengan kerugian yang diderita para korban tetap harus dibuktikan oleh para korban. Putusan tersebut sesuai dengan penganutan Precautionary Principle. Karena sebagaimana dijelaskan oleh Bruce Pardy dalam jurnalnya yang berjudul Applying the Precautionary Principle to Private Persons: Should it Affect Civil and Criminal Liability? Penerapan precautionary

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 149

| 149

7/27/2012 3:11:26 PM

principle yang prospektif dalam ranah perdata akan konsisten dengan aturan dari tort liability sebagaimana yang ada sekarang. Tort liability tidak mengutamakan untuk menghukum pelaku, tetapi pada kompensasi atas kerugian yang dialami korban. Dengan demikian, konsekuensi dari penerapan Precautionary Principle dalam kasus ini berkonsekuensi pada diterapkannya strict liability di mana faktor yang menentukan adalah unsur kausalitas antara tindakan tergugat dengan kerugian yang ditimbulkan, bukan kesalahan. (Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada bagian analisis terkait strict liability).

jawab mutlak (strict liability) berdasarkan Pasal 35 UUPLH, terhadap tiap tuntutan ganti kerugian dapat diterapkan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, berdasarkan pendapat ahli hukum lingkungan Profesor Doktor Koesnadi Hardjasoemantri dalam buku “Hukum Tata Lingkungan”.

Akan tetapi, hakim dalam pertimbangannya memberikan alasan bahwa alasan para Pemohon Kasasi yang berpendapat bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan. Namun, alasan lebih lanjut tidak dapat dibenarkannya itu tidak dijelaskan oleh hakim. Hakim hanya menyampaikan Memori Kasasi dan Pendapat MA (Termohon bahwa perbuatan Hakim pada pengadilan tingkat Kasasi Tidak Mengirimkan Kontra Memori Pertama dalam mengadopsi hukum Internasional Kasasi) tidak salah dalam menerapkan hukum. Dalam memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I, Pemohon Kasasi mendalilkan bahwa karena Precautionary Principle belum menjadi hukum positif Indonesia, maka Judex Facti dinilai telah salah dalam menerapkan hukum dan melakukan kelalaian yang dapat mengakibatkan dibatalkannya putusan yang telah dikeluarkan. Berdasarkan alasan tersebut MAberpendapat bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga hakim tidak salah dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Pada butir selanjutnya, Pemohon kasasi mendalilkan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang diterapkan oleh Judex Facti tidak tepat. Tidak ada kekosongan hukum dalam praktek. Jika tidak dapat diterapkan prinsip tanggung

150 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 150

Berdasarkan alasan yang sama pula yakni penerapan Precautionary Principle dalam pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama yang berpedoman pada prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konverensi Rio tanggal 12 Juni 1992, dinilai tidak memiliki dasar hukum karena belum menjadi hukum positif di Indonesia, dan bukanlah suatu alasan untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktek karena sudah ada hukum positif yang mengatur masalah lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu UUPLH pada Pasal 3, 6, 14, 15, 34 dan 35 dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 43, 45, 48, 60 dan 68. Akan tetapi, hakim dalam pertimbangannya memberikan alasan bahwa suatu ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga hakim tidak salah dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:26 PM

Menurut penulis, pertimbangan hakim sudahlah benar, di mana memang Precautionary Principle dapat diterapkan dalam kasus ini. Memang pada UU Nomor 23 Tahun 1997 belum dianut Precautionary Principle sebagaimana telah dianut UU Nomor 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan pada umumnya memang banyak mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional. Lagipula sebagaimana dikatakan oleh hakim Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ”ius cogen”, yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama (Deville, 1997: 567). Dengan demikian, hakim tepat dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional, yaitu Precautionary Principle. IV. SIMPULAN 1. Pembedaan Perbuatan Melawan Hukum dengan Strict Liability terkait kasus Mandalawangi, putusan hakim untuk menjatuhkan vonis dikenakannya tanggung jawab mutlak kepada tergugat adalah tepat. Hal ini berdasarkan kepada: a.

produksi. Prinsip kehati-hatian telah dilanggar, pelanggaran terhadap prinsip tersebut akan melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada Para Tergugat karena mereka telah mengetahui risiko yang akan terjadi sehingga ada atau tidaknya pembuktian dari Para Tergugat, maka mereka tetap harus bertanggung jawab. b.

Penafsiran gramatikal dari Pasal 35 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997, yang mana seharusnya unsur-unsur dalam pasal tersebut berdiri sendiri. Pada faktanya ketentuan yang terdapat dalam pasal ini mengenai kegiatankegiatan yang bisa dikenakan kewajiban tanggung jawab mutlak adalah bersifat tanggung jawab mutlak, di mana unsur satu dan lainnya saling berkaitan dan harus terpenuhi semua. Pendapat penulis, seharusnya unsurunsur yang terdapat dalam pasal ini bersifat alternatif, bukan kumulatif, sehingga dengan terpenuhinya salah satu jenis kegiatan dalam pasal ini saja sudah bisa dikenakan sebagai suatu tanggung jawab mutlak.

Konsekuensi dari penerapan 2. Dalih bencana alam yang dapat digunakan dalam hal The Act of God Defence (force Precautionary Principle, majeur) adalah bencana alam berat dalam mendasarkan pada suatu keadaan arti bencana tersebut harus tidak dapat di mana suatu akibat dari suatu dihindari, tidak dapat diprediksi dan luar perbuatan telah diperkirakan biasa. Jika di suatu tempat, suatu bencana sebelumnya walaupun tidak ada alam terjadi namun bencana alam tersebut bukti ilmiah. Perum Perhutani telah merupakan hal yang biasa terjadi di sana, mengetahui keadaan dari hutan yang dalam hal bukan yang terjadi untuk pertama berpotensi terjadi longsor, tetapi kali dan dapat diprediksi terjadinya, maka tetap menggunakannya sebagai hutan hal tersebut tidaklah termasuk kualifikasi

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 151

| 151

7/27/2012 3:11:26 PM

bencana alam Act of God. Dalam kasus ini, banjir bandang dan longsor yang terjadi bukanlah bencana alam karena telah dapat diprediksi, berdasarkan keterangan ahli Dr. Chay Asdak, narasumber tim 11 yang merupakan peristiwa alam siklus tahunan dan adanya faktor campur tangan dari manusia sehingga menjadi faktor pendorong terjadinya bencana tersebut. 3. Terkait Precautionary Principle, Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik rawan longsor, namun Tergugat I tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. SARAN 1. Terkait strict liability, sebaiknya Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 1997 maupun Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009, diberi judul Strict Liability bukan tanggung jawab mutlak karena berarti tanggung jawab mutlak dapat diartikan Absolute Liability,

152 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 152

sedangkan maksud dari ketentuan dalam pasal di atas adalah strict liability yang bersifat tidak absolute karena adanya pengecualian untuk bertanggung jawab dan adanya batasan besaran ganti rugi. 2. Dalam hal ini, dalil bencana alam itu sangat penting untuk dibuktikan karena itu merupakan defense yang dapat menyebabkan tergugat tidak dibebani tanggung jawab. Sehingga hakim seharusnya dalam putusannya menyatakan dengan jelas pertimbangan serta keputusan apakah menolak atau menerima dalih tersebut. 3. Terkait Precautionary Principle, maka sebaiknya harus dipahami bahwa prinsip tersebut berbeda dengan prinsip pencegahan karena berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009, Precautionary Principle telah dianut sebagai asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, bukan prinsip pencegahan karena untuk lingkungan hidup, tidak dapat disebabkan penundaan untuk mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup hanya dikarenakan tidak adanya bukti atau bukti yang ada kurang lengkap.

DAFTAR PUSTAKA Deville, A and R. Harding. 1997. Applying the Precautionary Principle. Annandale: The Federation Press. Fasoyiro, Laurencia. 2009. ”Invoking the Act of God Defense”. Environmental and Energy Law and Policy Journal. Vol.3(2), hal. 1-33.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 134 -153

7/27/2012 3:11:26 PM

Faure, Michael dan Nicole Niessen. 2006. Raffensperger, C. and J. Tickner, eds. Environment Law in Development: Lessons 1999. Protecting Public Health and from the Indonesian Experience. UK: the Environment: Implementing the Edward Elgar Publishing Limited. Precautionary Principle. Washington, DC: Island Press. Fraley, Jill M. 2010. Re-examining Acts of God. Pace Environmental Law Review, Vol. 27. Reid, Elspeth. 1999. “Liability for Dangerous Activities: A Comparative Analysis”. Hey, E. 1992. The precautionary principle The International and Comparative Law in environmental law and policy: Quarterly. Vol. 48 (4). Institutionalizing Precaution. Georgetown International Law Review, Vol. 4. Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam Jakarta. Jones, William K. 1992.” Strict Liabililty for Hazardous Enterprise”. Columbia Law Subekti. 1979. Pokok-pokok Hukum Perdata. Review. Vol. 92. Jakarta: Intermasa. Kasim, Adil. 2007. ”Perbandingan Perbuatan Undang-undang Melanggar Hukum, Onrechtmatige Daad”. Indonesia. Undang-undang Nomor 23 Tahun Dalam Sistem Eropa Kontinental dan 1997. Undang-undang tentang Pengelolaan Law of Torts dalam Sistem Anglo Saxon”. Lingkungan Hidup. LN Nomor 68 Tahun Majalah Varia Peradilan, Tahun ke XXII, 1997. TLN Nomor 3699. Nomor 259. Kristl, Kenneth T. 2006. Diminishing The Divine: Climate Change and The Act of God Defense. Widener Law Review, Vol. 15.

Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN Nomor 140 Tahun 2009. TLN Nomor 5059.

M’Gonigle, R.M., et. al. 1994. Taking Uncertainty Seriously: From Permissive Regulation to Preventive Design in Environmental Decision making. Osgoode Hall Law Journal Vol. 32. O’Riordan, T. and J. Cameron. 1996. Interpreting the Precautionary Principle. London: Earthscan Publishers. Pardy, Bruce. 2002. ”Applying the Precautionary Principle to Private Persons: Should it Affect Civil and Criminal Liability?”. Les Cahiers de Droit. Vol.43.

Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius Cogen” (Loura Hardjaloka)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 153

| 153

7/27/2012 3:11:26 PM

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP KORBAN DALAM KASUS TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP Kajian Putusan MA Nomor 862K/Pid.Sus/2010

CRIMINAL CORPORATE LIABILITY IN FAVOR OF THE VICTIMS IN THE CASE OF ENVIRONMENTAL CRIME An Analysis on the Supreme Court Decision Number 862K/Pid.Sus/2010 Yeni Widowaty Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jl. Lingkar Barat Tamantirto Kasihan Bantul, DIY Email: [email protected] Diterima tgl 6 Juli 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012 Abstrak

lingkungan hidup dengan syarat-syarat tertentu.

Pihak yang paling menderita akibat pencemaran dan/

Kata kunci: pertanggungjawaban pidana korporasi,

atau perusakan lingkungan adalah para korban. Oleh

tanggung jawab mutlak, tindak pidana lingkungan

karena itu setiap pihak yang melakukan kegiatan

hidup.

yang merugikan korban harus bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Dari kasus yang dianalisis, dapat ditunjukkan bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung masih berfokus pada pelaku kejahatan (offender) sebagai fokus utama dari sanksi pidana. Dengan hanya menjatuhkan pidana pada diri pelaku, dalam hal ini direktur PT DEI, sisi perlindungan terhadap korban belum diberikan. Pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup dikatakan ideal apabila korban tindak pidana lingkungan hidup juga mendapatkan perlindungan hukum berbentuk pemberian ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan. Salah satu cara agar korban mendapat perlindungan hukum yang merupakan bentuk

pertanggungjawaban

pelaku

terhadap

Abstract The people living in any poluted environments are those who are prone to be victimized. Any parties causing the troubles should be responsible for the damages. In the analysis of a case on environmental problem, the author of this article describes that criminal sanction imposed by the disctrict court, high court, and supreme court, are only targeted to the offender as happened to a director of PT DEI. In fact, the victims need some other kinds of sanction like compensation and/or environmental restoration rather than just imprisonment of the criminals. In order to protect the implicated people, it is recommended in certain conditions to apply the strict liability principle in addressing environmental crimes.

korban, adalah dengan penerapan asas tanggung

Keywords: criminal corporate liability, strict

jawab mutlak (strict liability) dalam tindak pidana

liability, environmental crimes.

154 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 154

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:26 PM

I.

PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan industri yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan atau badan hukum di samping membawa pengaruh positif, juga dapat membawa pengaruh negatif. Sebagaimana dikemukakan oleh Wisnu Arya Wardana (2004: 24-25) bahwa kegiatan industri dan teknologi dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung. Dikatakan dampak langsung apabila kegiatan industri tersebut dapat langsung dirasakan oleh manusia. Dampak langsung yang bersifat positif memang diharapkan, akan tetapi dampak langsung yang bersifat negatif, yang mengurangi kualitas hidup manusia harus dihindari atau dikurangi. Adapun dampak langsung yang bersifat negatif dapat dilihat dari terjadinya masalah-masalah: (1). pencemaran udara, (2). pencemaran air dan (3). pencemaran daratan. Ketiga macam pencemaran tersebut di atas akan mengurangi daya dukung alam. Pencemaran udara, air dan daratan perlu dihindari sebagai bagian usaha menjaga kelestarian lingkungan, seperti pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Pendapat senada dikemukakan oleh Sonny Keraf bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang, baik lingkungan hidup global maupun lingkungan nasional, sebagian besar bersumber dari manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan seperti di laut, hutan, air, tanah dan seterusnya bersumber dari perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab (Keraf, 2006: viii).

seumur hidup. Penderitaan juga akan dialami oleh keluarga korban, oleh karena itu wajar jika korban harus mendapat perlindungan. Kerugian yang diderita korban sebagai akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, telah menimbulkan korban yang secara langsung diderita oleh masyarakat, baik kerugian harta benda, kesehatan baik fisik maupun psikis bahkan nyawa (Amrullah, 2008: 8). Bertolak dari alasan tersebut, penulis menganggap setiap pihak yang melakukan kegiatan yang merugikan korban harus bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatan yang dilakukannya, dalam hal ini termasuk lingkungan yang rusak. Salah satu putusan Pengadilan Negeri yang belum berpihak pada korban adalah Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor 460/ Pid.B/2008/PN Bks. tentang kasus PT DEI . Kasus ini bermula pada bulan Oktober 2005 sampai dengan hari Minggu tanggal 11 Juni 2006 sekitar jam 13 warga masyarakat yang tinggal di sekitar Kampung Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara mencium bau asam yang pahit dan menyengat akibat dari pembuangan limbah PT DEI.

Bahwa akibat dari bau asam pembuangan limbah tersebut masyarakat di sekitar Kampung Sempu Desa Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara mengalami kepala pusing, tenggorokan kering, dada sesak, perut mual dan muntah-muntah dan sebagian masyarakat mengalami pingsan atau tidak sadarkan diri. Selanjutnya masyarakat yang mengalami sakit dibawa ke RS Medika Cikarang Akibat pencemaran dan/atau perusakan di mana hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa lingkungan tersebut yang paling merasakan penyebab sakitnya warga Kampung Sempu Desa adalah korban. Korban juga yang paling menderita Pasirgombong Kecamatan Cikarang Utara adalah kerugian, baik kerugian materiil maupun karena mencium bahan gas Ammonia (NH3), immateriil bahkan juga berakibat korban cacat Hydrogen Sulphide (H2SO) dan Methane.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 155

| 155

7/27/2012 3:11:26 PM

Putusan Pengadilan Negeri: (1). Menyatakan terdakwa PT DEI (DEI) yang dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Dengan sengaja dan melawan hukum menyuruh orang melakukan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 41 (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan primair. (2). Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh lima juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. (3). Perampasan keuntungan dari tindak pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT DEI.

pidana kurungan selama enam bulan. 3. Perampasan yang diperolah dari tindak pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan Penutupan PT DEI. Walaupun Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri namun ternyata dalam putusan tidak jauh berbeda bahkan denda lebih tinggi. II.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah:

1. Apakah pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban tindak pidana lingkungan hidup sudah terwujud dalam Putusan Pengadilan Negeri ini dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung No. 862K/Pid. Pengadilan Tinggi Bandung No. 465/Pid/2009/ Sus/2010? PT.Bdg tanggal 3 Desember 2009. Oleh karena 2. Bagaimanakah idealnya bentuk Terdakwa belum puas atas putusan Pengadilan pertanggungjawaban pidana korporasi Tinggi maka kemudian mengajukan kasasi. terhadap korban tindak pidana lingkungan Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung No. hidup? 862K/Pid.Sus/2010 mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa KYW III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan A. Studi Pustaka Negeri Bekasi, sehingga putusan Mahkamah Pertanggungjawaban pidana merupakan Agung adalah sebagai berikut: salah satu dari persoalan dasar dalam hukum 1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam pidana, sehingga pertanggungjawaban pidana hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti merupakan unsur penting dalam penjatuhan secara sah dan meyakinkan bersalah pidana. Dengan kata lain, pertanggungjawaban melakukan tindak pidana “pencemaran pidana merupakan bagian dari asas hukum pidana lingkungan hidup secara berlanjut yang keberadaannya sangat diperlukan. sebagaimana dalam dakwaan primair”. Keberadaan korporasi sebagai subjek tindak 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu pidana dalam kebijakan pembaruan hukum pidana kepada terdakwa denngan pidana membawa konsekuensi pada asas hukum pidana, denda Rp.650.000,- dan apabila denda yakni korporasi dapat dipertanggungjawabkan tidak dibayar maka diganti dengan 156 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 156

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:26 PM

sama dengan orang pribadi (natural person). Tidak mudah untuk menentukan kapan pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan kepada pengurus badan hukum atau kepada pengurus beserta badan hukum, sehingga hal ini menjadi permasalahan sendiri dalam praktek. (Smith dan Hogan, 1982). Hal ini dikarenakan dalam kasus lingkungan hidup ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan perilaku/ perbuatan yang secara konkrit dilakukan.

kriteria kawat duri, korporasi dapat dijatuhkan hukuman pidana apabila dipenuhi dua syarat: 1.

2.

Korporasi memiliki kekuasaan (power) baik secara de yure maupun de facto untuk mencegah atau menghentikan pelaku untuk melakukan kegiatan yang dilarang oleh undang-undang. Korporasi menerima tindakan pelaku (acceptance) sebagai bagian dari kebijakan korporasi.

Terhadap sistem pertanggungjawaban Menurut Sutan Remy Sjahdeni, suatu korporasi sebagai pembuat dan dapat korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban dipertanggungjawabkan, Muladi memberikan pidana apabila sekalipun perbuatan korporasi komentar bahwa korporasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, di kepengurusan atau kegiatan korporasi, namun samping manusia alamiah (natuurlijk persoon). perbuatan itu dilakukan dengan maksud Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan memberikan manfaat, terutama berupa universitas delinquere non potest sudah keuntungan finansial atau pun menghindarkan/ mengalami perubahan dengan menerima konsep mengurangi kerugian finansial bagi korporasi pelaku fungsional (functioneel daderschap) yang bersangkutan. Untuk menentukan seseorang (Muladi, 1989: 5). dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, maka Menurut Oemar SenoAdji, yang mendukung korporasi sebagai subjek hukum pidana mengatakan bahwa”.......kemungkinan adanya pemidanaan terhadap persekutuan-persekutuan didasarkan tidak saja atas pertimbanganpertimbangan utilities, melainkan pula atas dasardasar teoritis dibenarkan (Adji, 1984: 160). Berdasarkan teori dalam hukum pidana terdapat dua kriteria untuk menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, yaitu Kriteria Rolling dan Kriteria Kawat Duri (Iron Wire) (Husin, 2009: 46). Berdasarkan kriteria Rolling korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila perbuatan yang dilarang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas korporasi atau untuk mencapai tujuan korporasi. Berdasarkan

tidak cukup jika orang yang bersangkutan melakukan tindak pidana, tetapi harus ada kesalahan (schuld) (Sjahdeni, 2006: 57). Pada prinsipnya orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) jika tidak melakukan tindak pidana, akan tetapi meskipun melakukan tindak pidana tidak selalu dapat dipidana. Dapat juga dikatakan bahwa dipidananya si pembuat tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Untuk dapat dipidananya si pembuat maka harus ada kesalahan. Asas yang dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld atau No punishment without guilt) ini merupakan asas pokok dalam pertanggungajawaban pembuat terhadap tindak

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 157

| 157

7/27/2012 3:11:26 PM

pidana yang dilakukan. Asas hukum tidak tertulis (Muladi dan Priyatna, 1991: 88). ini dianut hukum pidana Indonesia saat ini. Asas Dengan demikian, jika dalam hukum tiada pidana tanpa kesalahan ini disimpangi pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa oleh Strict liability dan vicarious liability. kesalahan” atau “geen straft zonder schuld”, Dalam Strict liability pembuat tindak maka dalam perkembangannya dapat pula dalam pidana sudah dapat dipidana hanya karena sudah suatu tindak pidana kepada pelaku dibebankan dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tanpa pertanggungjawaban meskipun tidak ada melihat apakah pembuat bersalah atau tidak. kesalahan. Hal itu cukup dibuktikan bahwa Tidak semua tindak pidana dapat diterapkan pelaku telah melakukan suatu perbuatan pidana. asas pertanggungjawaban mutlak ini, namun Menurut L.B Curson, (Muladi dan Priyatna, hanya tindak pidana tertentu yaitu: apabila tindak 1991: 88) doktrin strict liability didasarkan pada pidana tersebut dilakukan oleh seseorang dalam alasan-alasan sebagai berikut: menjalankan profesinya, yang mengandung elemen keahlian yang memadai (expertise), 1. adalah sangat esensial untuk menjamin tanggung jawab sosial (social responsibility) dipatuhinya peraturan-peraturan penting dan kesejawatan (corporateness) yang didukung tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan oleh suatu kode etik. Sedangkan pada vicariuos sosial; liability, tanggung jawab pidana seseorang 2. pembuktian adanya mens rea akan menjadi diperluas sampai kepada tindakan bawahannya sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran yang melakukan pekerjaan atau perbuatan yang berhubungan dengan kesejahteraan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. sosial itu; Doctrine of strict liability Prinsip tanggung jawab mutlak (nofault liability or liability without fault) dalam kepustakaan sering disebut dengan “absolute liability” atau “strict liability”. Menurut doktrin atau ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada pelakunya. Menurut doktrin strict liability, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat strict liability diartikan sebagai “liability without fault’ (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan)

158 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 158

3. tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Argumentasi yang hampir sama dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich, yang mengemukakan alasan untuk strict liability adalah: a. sulitnya untuk membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu; b. sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk menghindari adanya bahaya-bahaya yang sangat luas; c. pidana yang dijatuhkan sebagai akibat strict liability adalah ringan. Negara

Inggris

(Kementerian

Negara

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:26 PM

Lingkungan Hidup dan ICEL, 1995/1996) penggunaan asas tanggung jawab mutlak mulai berkembang dalam kasus Rylands vs Fletcher, pada tahun 1868. House of Lord, Pengadilan Tingkat Kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat nonnatural atau di luar kelaziman atau tidak seperti biasanya. Sebelumnya, Pengadilan Tingkat Pertama (The Court of Exhequer) memenangkan pihak tergugat atau pemilik waduk. Pertimbangan yang diberikan adalah, bahwa pada diri penggugat tidak terdapat unsur kelalaian.

perbuatan dan kesalahan orang lain (Arief, 2002: 151). Dengan demikian dalam vicarious liability ada pembebanan pertanggungjawaban seseorang dari tindak pidana yang dilakukan orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan yaitu atasan dan bawahan atau majikan dan buruh atau ada hubungan pekerjaan. Disebut juga dengan pertanggungjawaban pengganti (Ali, 2008: 63). Jadi walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan, tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan prinsip-prinsip mengenai hal ini salah satunya adalah ”employment principle”. Menurut doktrin ini, majikan (employer) penanggung jawab utama dari perbuatan-perbuatan para buruh/karyawan yang melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas/pekerjaannya (Arief, 2002: 152).

Hal ini tidak memuaskan penggugat yang kemudian mengajukan banding ke Court of Court of Exchequer Chamber. Di pengadilan tingkat banding, gugatan penggugat diterima dan tergugat dinyatakan bersalah. Pengadilan berpendapat bahwa setiap orang demi Di Inggris Vicarious liability ini hanya kepentingannya membawa, mengumpulkan dan berlaku terhadap: (1). Delik-delik yang menyimpan segala sesuatu di atas tanahnya yang mensyaratkan kualitas. (2). Delik-delik yang dapat merugikan pihak lain, wajib memelihara mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan benda itu. majikan (Muladi dan Priyatna, 2010: 110). Jika ia tidak mampu melakukannya, maka Doktrin yang memperkuat adanya ia dapat bertanggung jawab atas akibat-akibat pertanggungjawaban perusahaan dapat yang ditimbulkannya. Ia dapat bebas, terkecuali dibebankan pada direktur adalah doktrin jika ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang Fiduciary Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty timbul adalah akibat dari kesalahan penggugat tugas utama dari direksi suatu perseroan adalah sendiri atau akibat bencana alam. Menyusul (Fuady, 2002: 32): keputusan inilah, kemudian tergugat mengajukan kasasi ke House of Lord, namun justru House of 1. Fungsi manajemen, dalam arti direksi Lord mengukuhkan putusan yang telah dibuat melakukan tugas memimpin perusahaan. oleh pengadilan di tingkat banding. 2. Fungsi representasi, dalam arti direksi Doktrin Vicarious Liability

mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan.

Dengan demikian doktrin fiduciary duty ini Menurut doktrin vicarious liability, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas berlaku bagi direksi dalam menjalankan tugasnya Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 159

| 159

7/27/2012 3:11:27 PM

sebagai fakta (factual victim) menderita kerugian secara materiil akibat suatu tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi dalam melakukan Bagian penting dalam sistem pemidanaan kegiatan usahanya. Mereka dalam kajian ini adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaannya adalah orang perorangan, masyarakat dan/atau akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai lingkungan. apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakkan berlakunya norma. Pemidanaan dapat diartikan sebagai B. Analisis tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sanksi dalam hukum pidana. Apa yang menjadi Terhadap Korban Tindak Pidana tujuan pemidanaan tidak lepas dari tujuan hukum Lingkungan Hidup dalam Putusan pada umumnya yaitu tercapainya kesejahteraan Mahkamah Agung No. 862K/Pid. masyarakat materiil dan spirituil, dan perbuatan Sus/2010 tentang Kasus PT DEI yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang Pertanggungjawaban pidana hanya dapat mendatangkan kerugian masyarakat (Dewantara, terjadi jika sebelumnya seseorang ataupun 1988: 11). korporasi telah dinyatakan melakukan tindak Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana. Dalam arti luas pertanggungjawaban pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa meliputi 3 (tiga) persoalan pokok dalam hukum pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan pidana. Hal yang sangat mendasar sebagai 3 membawa kerukunan dan pidana adalah suatu (tiga) persoalan pokok dalam hukum pidana proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat menurut Sauer, yaitu sifat melawan hukum diterima kembali dalam masyarakat (Muladi dan (unrecht), kesalahan (schuld), dan pidana (straf) Arief, 1992: 22). (Sauer, 1921: 8). Herbert L. Packer menyebut Dalam penulisan ini yang dimaksud tindak ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, pidana lingkungan hidup adalah suatu perbuatan responsibility, dan punishment (Packer, 1968: 54). baik sebagai manajemen representasi dari perseroan.

maupun

pidana yang dilarang dan diancam pidana menurut ketentuan undang-undang lingkungan hidup yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dan UndangUndang No. 32 Tahun 2009. Dikemukakannya dua undang-undang tersebut karena pemeriksaan terhadap kasus PT DEI menggunakan UULH yang lama yaitu UU No. 23 Tahun 1997, padahal undang-undang tersebut sudah dicabut dan diganti UU No. 32 Tahun 2009 sehingga dalam mengkaji dan menganalisis kasus kedua undangundang tersebut akan disandingkan. Adapun yang dimaksud dengan korban dalam penulisan ini adalah mereka yang secara 160 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 160

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dilangsungkan melalui tiga sistem pertanggungjawaban korporasi, yaitu (1) pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab; (2) korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab, dan (3) korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab (Setiyono, 2005: 2). Mengkaji kasus PT DEI , ditinjau dari subjek yang dipertanggungjawabkan sudah sesuai aturan yang berlaku yaitu korporasi

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:27 PM

dalam hal ini diwakili oleh Presiden Direktur 2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud Kim Young Woo. Doktrin yang memperkuat dalam bab ini, dilakukan oleh atau adanya pertanggungjawaban perusahaan dapat atas nama badan hukum, perseroan, dibebankan pada direktur adalah doktrin Fiduciary perserikatan, yayasan atau organisasi Duty. Menurut prinsip Fiduciary Duty tugas lain, dan dilakukan oleh orang-orang, utama dari direksi suatu perseroan adalah fungsi baik berdasarkan hubungan kerja maupun manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas berdasar hubungan lain, yang bertindak memimpin perusahaan dan fungsi representasi, dalam lingkungan badan hukum, perseroan, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan di luar pengadilan (Fuady, 2002: 32). tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi Menurut ketentuan Pasal 98 ayat (1) perintah atau yang bertindak sebagai Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang pemimpin tanpa mengingat apakah orangPerseroan Terbatas: “Direksi mewakili Perseroan orang tersebut, baik berdasar hubungan baik di dalam maupun di luar Pengadilan”. kerja maupun berdasar hubungan lain, Dengan demikian maka jika korporasi melakukan tindak pidana secara sendiri dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang atau bersama-sama. dilakukannya akan diwakili oleh Direktur. Mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam UULH juga sudah mengaturnya. Menurut UULH yang lama yaitu pada saat kasus ini berlangsung dan diperiksa ketentuan mengenai hal ini diatur Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 46 1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. 4. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan. Mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi juga diatur dalam undang-undang lingkungan hidup yang baru Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 116 menyatakan:

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 161

| 161

7/27/2012 3:11:27 PM

1.

Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. b.

2.

badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

3. AG nomor RM 053841 menderita nyeri ulu hati. 4. KS nomor RM 053837 dengan hasil dianosis gangguan pernafasan atas dan nyeri ulu hati. 5. HR nomor RM 053845 dengan hasil menderita nyeri ulu hati. 6. YA nomor RM 053842 menderita nyeri ulu hati. 7. AT nomor RM 053836 dengan hasil diagnosis nyeri ulu hati. 8. GN nomor RM 053839 dengan hasil menderita nyeri ulu hati. 9. ST nomor RM 053851 dengan hasil nyeri ulu hati. 10. JM nomor RM 053904 dengan hasil diagnosis nyeri ulu hati. 11. BS nomor RM 053905 dengan hasil menderita nyeri ulu hati. 12. KM nomor RM 053900 dengan hasil gangguan pernapasan dan nyeri ulu hati.

Di samping itu berdasarkan pemeriksaan Baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pada kasus PT DEI laboratoris kriminalistik TKP No. Lab: 3267/ ini putusan pidana dijatuhkan terhadap korporasi KTF/2006 pada hari Senin 26 Juni 2006 disimpulkan: yang diwakili oleh direkturnya yaitu KYW. Dijatuhkannya putusan pidana karena • berdasarkan pemeriksaan pengadilan dan didukung bukti-bukti yang kuat terdakwa memang bersalah. Bukti-bukti tersebut di antaranya • berupa Visum et Repertum yang ditandatangani dr. Ridwan Juansyah menyimpulkan sebagai berikut: 1. YT dengan nomor Rekam Medis (RM) 053859 dengan hasil diagnosis gangguan atas pernapasan dan nyeri ulu hati. 2. WN nomor RM. 053852 dengan hasil diagnosis gangguan pencernaan dan gangguan ringan pernafasan atas.

162 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 162



Limbah yang terdapat di TKP Kabupaten Bekasi serta limbah dari TKP PT DEI merupakan limbah B3. Limbah yang terdapat di TKP merupakan penyebab gejala keracunan yang dialami oleh penduduk yang terpapar oleh bau (gas) yang keluar dari limbah tersebut. Penampakan fisik dan komponen kimiawi limbah yang terdapat di TKP sama dengan limbah yang terdapat di PT DEI yang merupakan limbah B3. PT DEI seharusnya membuang limbah cair

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:27 PM

B3 dikirim ke PPLI di Bogor untuk diproses lebih 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa lanjut, maka PT DEI mendapatkan keuntungan dengan pidana denda sebesar karena jumlah sludge (filter press cake) sejak Rp.325.000.000,- (tiga ratus dua puluh berdiri hingga bulan Mei 2006 sebanyak 468,4 lima juta rupiah) subsidair enam bulan ton dan baru dikirim ke PPLI 58,2 ton sehingga kurungan. terdapat selisih sebanyak 410,2 ton. Dengan 3. Perampasan keuntungan dari tindak pidana demikian PT DEI mendapat keuntungan sekitar sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang $31175,2. Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dijual kepada saksi AW dan Penutupan PT Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No. DEI. 23 Tahun 1997 jo Pasal 64 KUHP. 4. Menetapkan barang bukti satu unit Bukti lainnya adalah: bahwa berdasarkan mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol keterangan masyarakat diketahui bahwa PT DEI B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF, telah membuang limbah ke tanah lapang yang sedangkan limbah serta beberapa peralatan terletak di Cikarang pada hari Sabtu 10 Juni 2006 dimusnahkan. dan Minggu tanggal 11 Juni 2006 mulai pukul 9.00 Wib sampai dengan 15.30 Wib sebanyak 5. Menghukum terdakwa membayar biaya 3 rit untuk tanggal 10 Juni 2006 dan 4 rit untuk perkara sebesar seribu rupiah. tanggal 11 Juni 2006 yang masing-masing terdiri Tidak terima atas putusan Pengadilan dari 3 plastik container (PC) ukuran 1000 liter. Negeri Terdakwa kemudian mengajukan Dalam kenyataannya walaupun Terdakwa banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Dalam dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, putusannya ternyata Pengadilan Tinggi Bandung namun tidak ada putusan yang mewujudkan No. 465/Pid/2009/PT.Bdg tanggal 3 Desember pertanggungjawaban pelaku kepada korban. 2009 menguatkan Putusan Pengadilan Negeri yaitu: Adapun jenis putusan yang dijatuhkan adalah sebagai berikut: 1. Menerima permohonan banding dari kuasa Putusan Pengadilan Negeri:

hukum terdakwa. 2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi tanggal 22 Juni 2009 No. 458/ Pid.B/2008/PN.Bks. 3. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam dua tingkat peradilan, sedangkan dalam tingkat Banding sebesar Rp.5.000,-

1. Menyatakan terdakwa PT DEI yang dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Dengan sengaja dan melawan hukum menyuruh orang melakukan pencemaran lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 41 (1) UU Terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Terdakwa belum puas sehingga mengajukan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 (1) ke-1 kasasi. Selanjutnya dalam tingkat kasasi putusan KUHP jo Pasal 64 (1) KUHP sebagaimana Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010 dakwaan primair.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 163

| 163

7/27/2012 3:11:27 PM

mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa KYW dan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi, sehingga putusan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa PT DEI yang dalam hal ini diwakili oleh KYW telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencemaran lingkungan hidup secara berlanjut sebagaimana dalam dakwaan primair”. 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana denda Rp.650.000.000,- (enam ratus lima puluh juta rupiah) dan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. 3. Perampasan yang diperolah dari tindak pidana sebesar lebih kurang 410,2 ton sludge yang dijual kepada saksi AW cs dan Penutupan PT DEI.

47 yang terkait dengan korban tidak digunakan. Padahal hanya di dalam Pasal 47 itulah terdapat unsur di mana ada tindakan tata tertib yang dijatuhkan kepada pelaku terkait dengan korban. Selengkapnya Pasal 47 UU No. 23 Tahun 1997 adalah: “Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: a. b. c. d. e.

Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau Perbaikan akibat tindak pidana; dan/ atau Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau Menempatkan perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun.

f. 4. Menetapkan barang bukti satu unit mobil mitshubisi FE 334 DSL No. Pol B 9148 SY dikembalikan kepada PT IF. Sedangkan limbah serta beberapa peralatan Ketentuan serupa juga diatur dalam dimusnahkan. undang-undang lingkungan hidup yang baru yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pasal 5. Membayar biaya perkara sebesar Rp.2.500,119. Selanjutnya Pasal 119 menentukan bahwa: Mengkaji putusan-putusan tersebut di atas, “Selain pidana sebagaimana dimaksud baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dalam undang-undang ini, terhadap badan maupun Mahkamah Agung, Terdakwa terbukti usaha dapat dikenakan pidana tambahan bersalah melakukan tindak pidana pada dakwaan atau tindakan tata tertib berupa: primair. Sebetulnya dakwaan primair nya adalah perbuatan yang diatur dan diancam Pasal 41 ayat a. perampasan keuntungan yang (1) jo Pasal 45 jo Pasal 47 UU No. 23 Tahun diperoleh dari tindak pidana; 1997 jo Pasal 64 KUHP, namun ternyata Pasal b. penutupan seluruh atau sebagian

164 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 164

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:27 PM

tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

2.

Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang Ideal

Penulis membuat batasan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korban dikatakan ideal apabila korban tindak pidana lingkungan hidup mendapatkan perlindungan Tidak ada penjelasan resmi mengenai apa hukum. Perlindungan itu dapat diberikan dalam yang dimaksud dengan perbaikan akibat tindak bentuk pemberian ganti kerugian maupun pidana, karena dalam penjelasan undang-undang pemulihan lingkungan. Dengan demikian dalam putusan pemidanaan tidaklah cukup hanya hanya dinyatakan “cukup jelas”. dengan dipidananya pelaku. Menurut Penulis sanksi pidana yang Salah satu cara agar korban mendapat dijatuhkan pada pelaku baik pada tingkat PN, PT maupun MA masih berfokus pada offender. Jika perlindungan hukum yang merupakan bentuk selama ini orientasi hukum pidana Indonesia lebih pertanggungjawaban pelaku terhadap korban bersifat offender oriented, yaitu pelaku kejahatan maka dapat diterapkan doktrin strict liability merupakan fokus utama dari hukum pidana, maka (tanggung jawab mutlak) dalam tindak pidana benarlah adanya. Padahal penjatuhan sanksi lingkungan hidup. kepada pelaku belumlah cukup tanpa memikirkan James E. Krier mengemukakan bahwa kondisi korban. doktrin tanggung jawab mutlak dapat merupakan Apabila mengacu pada konsep hukum bantuan yang sangat besar dalam peradilan sebagai “pengayom” bahwa hukum harus mengenai kasus-kasus lingkungan, karena mengayomi semua orang baik sebagai tersangka, banyak kegiatan-kegiatan yang menurut terdakwa atau terpidana (pelanggar) maupun pengalaman menimbulkan kerugian terhadap korbannya, maka pelanggar hukum pidana, lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang dalam statusnya sebagai tersangka, terdakwa berbahaya, untuk mana dapat diberlakukan atau terpidana sudah memperoleh perlindungan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan dalam KUHAP, sedangkan korban kejahatan (Hardjasoemantri, 2000: 387). baik statusnya sebagai pelapor, saksi dan pihak Asas tanggung jawab mutlak telah berlaku yang dirugikan belum memperoleh perlindungan di Indonesia sejak adanya kasus pencemaran hukum (Mudzakir, 2001: 295). laut oleh tumpahan minyak dari kapal yang Jika demikian maka yang dapat dimintakan diatur dalam “International Convention on Civil pertanggungjawaban untuk memberikan Liability for oil Pollution Damage 1969 (CLC perlindungan hukum terhadap korban adalah 1969). Ratifikasi ini dilaksanakan oleh Indonesia subjek pelaku tindak pidana itu sendiri. Pelaku dengan keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 tindak pidana itu sendiri bisa orang-perorangan (Hardjasoemantri, 2000: 388). maupun korporasi.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 165

| 165

7/27/2012 3:11:27 PM

Menurut Daud Silalahi jenis-jenis kegiatan yang dapat diberlakukan asas tanggung jawab mutlak yaitu, kegiatan yang dapat menimbulkan bahaya besar yang akibatnya tidak dapat diatasi dengan upaya yang lazim dilakukan (abnormally dangerous activities). Adapun ukuran untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang dikategorikan sebagai dapat menimbulkan bahaya atau akibat besar (the standard of abnormality) didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut (Hardjasoemantri, 2000: 394-395): a. tingkat risiko (the degree of risk), dalam hal ini resiko dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim, menurut kemampuan teknologi yang telah ada. b. Tingkat bahaya (the gravity of harm), dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya; c. Tingkat kelayakan upaya pencegahan, dalam hal ini si penanggung jawab harus menunjukkan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain

memperoleh pelayanan kesehatan. Penjabaran lebih lanjut terdapat dalam konsideran UUPPLH 2009 yang menyatakan: bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. dengan demikian sangatlah tepat jika prinsip tanggung jawab mutlak tersebut diterapkan dalam tindak pidana lingkungan hidup. Dalam konsep KUHP asas ini sudah diatur secara eksplisit dalam Buku I Bagian 2 Paragraph 2 mengenai Kesalahan. Asas kesalahan ini merupakan asas fundamental yang sangat penting maka dalam konsep KUHP ditegaskan secara eksplisist Pasal 37 ayat (1) konsep 2008. Pasal 37 ayat (1) menentukan bahwa: ”tidak seorangpun yang melakukan tindak pidana dipidana tanpa kesalahan”. Jadi walaupun prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan adanya “pertanggungjawaban yang ketat” (Strict liability) dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang diatur Pasal 38 (Konsep 2008).

Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatan (value of activity), dalam hal ini pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan telah dilakukan secara memadai sehingga dapat Pasal 38 diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh 1. Bagi tindak pidana tertentu, undangakan lebih besar jika dibandingkan dengan undang dapat menentukan bahwa seseorang ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk dapat dipidana semata-mata karena telah mencegah timbulnya bahaya. dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya Jika mengacu pada asas fundamental kesalahan. UUDNRI 1945 pengaturan mengenai lingkungan hidup diatur Pasal 28H ayat (1) menentukan 2. Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir setiap orang dapat dipertanggungjawabkan dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak orang lain. 166 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 166

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:27 PM

Di samping itu berdasarkan pasal ini, dapat dikatakan bahwa RKUHP menganut ajaran strict liability dan vicarious liability yang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama Pasal 49 dan 51 RKUHP. Pasal 38 ayat (1) sebenarnya menjawab banyak perdebatan mengenai pertanggungjawaban pidana. Perdebatan tersebut terkait dengan asas actus non facit reum, nisi mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan. Berkaitan dengan itu, korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak ada unsur kesalahan di dalamnya, karena korporasi itu tidak bisa berbuat apa-apa. Yang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana adalah manusia, yang punya kemampuan untuk berbuat dan melakukan kesalahan. Selama ini undang-undang lingkungan yang berlaku baik undang-undang lama UU No. 23 Tahun 1997 maupun undang-undang lingkungan hidup yang sekarang berlaku UU No. 32 Tahun 2009 asas pertanggungjawaban mutlak hanya berlaku dalam hukum perdata. Walaupun tidak secara eksplisit menyebutnya demikian namun letak Pasal 88 yang ada di luar bab tentang ketentuan pidana bisa dimaknakan seperti itu. Selengkapnya Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 adalah: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Jadi pertanggungjawaban mutlak hanya berlaku terhadap kegiatan yang terkait dengan limbah B3.

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: 1. Adanya bencana alam atau peperangan; atau 2. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau 3. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup. 4. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi. Bertolak dari beberapa hal-hal tersebut di atas maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup sebetulnya diperlukan prinsip strict liability secara pidana agar korban selaku pihak yang dirugikan oleh pelaku mendapat perlindungan. Tidak semua tindak pidana lingkungan hidup diberlakukan asas ini, namun di peruntukkan pada TPLH dengan syarat-syarat:

Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1997 mengenai asas pertanggungjawaban mutlak ini 1. Tindak pidana lingkungan hidup yang terdapat dalam Pasal 35 yang menentukan: menimbulkan banyak korban manusia Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 167

| 167

7/27/2012 3:11:27 PM

baik secara fisik (luka berat dan meninggal dunia) maupun psikis. 2. TPLH menimbulkan korban lingkungan sehingga kelestarian alam terganggu dan generasi yang akan datang akan mewarisi lingkungan yang rusak. 3. Tindak pidana lingkungan hidup menimbulkan kerugian secara materiil bagi masyarakat maupun negara.

bentuk pemberian ganti kerugian maupun pemulihan lingkungan. Untuk mewujudkan itu maka jika terjadi tindak pidana lingkungan hidup idealnya diterapkan asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dengan syarat-syarat tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Jika TPLH yang dilakukan oleh PT DEI Ali, Mahrus. 2008. Kejahatan Korporasi. korban yang secara fisik yang dialami berdasarkan Jogjakarta: Arti Bumi Intaran. Visum et repertum ada 12 orang maka idealnya Atmasasmita, Romli. 1989. Asas-Asas putusan pengadilan juga harus memikirkan Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: kerugian yang diderita korban. Mandar Maju. IV. SIMPULAN

Arief, Barda Nawawi. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Dari analisis kasus PT DEI terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap Fuady, Munir. 2002. Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya korban tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai Dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra berikut: Aditya Bakti. 1. Pertanggungjawaban pelaku terhadap korban belum terwujud karena putusan Hardjasoemantri, Koesnadi. 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada masih bersifat offender oriented. Hal University Press. tersebut dikarenakan baik putusan Pengadilan Negeri Nomor 460/Pid.B/2008/ PN Bks., Pengadilan Tinggi Bandung No 465/Pid/2009/PT dan Mahkamah Agung No. 862K/Pid.Sus/2010 walaupun semua menetapkan Terdakwa bersalah namun dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku, tidak termasuk pertanggungjawaban pelaku terhadap korban. 2. Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi yang ideal adalah apabila korban tindak pidana lingkungan hidup mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan itu dapat diberikan dalam

168 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 168

Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (Indonesian Center for Environmental Law/ICEL), Asas Tanggung jawab Mutlak Dalam Peraturan Perundangundangan di Bidang Lingkungan Hidup, Proyek Pengembangan Penataan Lingkungan Hidup Tahun Anggaran 1995/1996 Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 154 -169

7/27/2012 3:11:28 PM

Mudzakir. 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Muladi dan Priyatno, Dwidja. 1991. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung.

Widowaty, Yeni. 2011. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh Korporasi, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

-----------------------. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Kencana. Packer, Herbert L. 1968. The Limit of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press. Priyatno, Dwidja. 2009. Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Bandung: Cv Utomo. Sauer, Wilhem. 1921. Grundlangen des Strafrecht, Leipzig. Setiyono, H. 2005. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologis Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia. Malang: Bayumedia. Syahrin, Alvi. 2008. Hukum Lingkungan Kepidanaan Korporasi, disampaikn pada “Diklat Penegakan Hukum Lingkungan” pada tanggal 24 s/d 28 Nopember 2008, Kantor Pusdiklat Kementerian Lingkungan Hidup, Kawasan Pusptek SerpongTangerang. Smith dan Hogan. 1982. Criminal Law. London: Butterworths. Sjahdeini, Sutan Remy. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta: Grafiti pers.

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Korban Dalam Kasus Tindak Pidana (Yeni Widowaty)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 169

| 169

7/27/2012 3:11:28 PM

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAWAHAN DALAM KASUS GADAI YANG TERINDIKASI “SANRA PUTTA” Kajian Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP

LAND DISPUTE SETTLEMENT IN THE CASE OF RICE FIELD MORTGAGE INDICATED AS “SANRA PUTTA” An Analysis on Decision Number 34/Pdt.G/2007/PN.WTP A. Nuzul Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone Jl. Hos. Cokroaminoto Kab. Bone, Sul-Sel Email: [email protected] Diterima tgl 28 April 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012 ABSTRAK

Abstract

Pelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis: sanra

Implementation of the land mortgage agreement

tanah) di masyarakat Kab. Bone pada kenyataannya

called sanra tanah in the Bone Regency, in fact,

tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No.

fails to comply with Article 7 of Law in lieu No.

56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

56 Year 1960 on the Establishment of Agricultural

Pertanian, di mana pemilik barang gadai tetap

Land. According to this regulation, the owner

berkewajiban mengembalikan uang tebusan. Begitu

remains obligated to return the pawned goods

pula perjanjian gadai atas tanah dilaksanakan hanya

ransom. There is also common that land mortgage

secara lisan (tidak ada bukti tertulis) dan tidak

agreements are verbally concluded without any

adanya saksi. Lazim pula pelaksanaan gadai atas

written evidence as well as witnesses. In practice,

tanah kemudian berubah (diteruskan) menjadi jual

these initial agreements can be continued to sale and

beli, yang dalam istilah adat kebiasaan masyarakat

purchase agreements based on the local traditions.

setempat disebut dengan sanra putta (jual putta).

If there is a dispute related to the so called sanra

Jika terjadi permasalahan hukum di kemudian hari,

putta agreement, the amicable settlement will be

misalnya salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji)

chosen as the first resort, but the choice usually

atau mengingkari kesepakatan yang pernah mereka

does not succeed to resolve the conflict. Due to

lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan

the lack of evidence, such a dispute finally will be

biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi,

brought to the court. As mentioned by the author of

sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim

this article, any panel of judges should be aware

yang menangani kasus demikian seyogianya

of such a customary background. Decision No. 34/

mencermati adanya latar belakang perjanjian

Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that the

demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/

case belongs to a sanra putta agreement.

PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya jual

Keywords: land mortgage agreement, sanra tanah,

beli tanah yang disebut sanra putta.

sanra putta.

Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah, sanra putta. 170 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 170

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:28 PM

I.

PENDAHULUAN

Penyelesaian perjanjian gadai (sanra) atau pun jual putta diharapkan ditempuh secara kekeluargaan tanpa harus ke pengadilan. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan (Emirzon, 2001: 14) cara penyelesaian sengketa/perselisihan hukum tanah di masyarakat, cukup lazim melalui jalur di luar pengadilan dengan dipandu oleh Kepala Desa atau Pemuka Adat atas dasar musyawarah untuk mufakat. Akan tetapi pada faktanya juga, dewasa ini, penyelesaian sengketa gadai tanah di masyarakat, juga mulai ditempuh penyelesaian melalui pengadilan dengan berbagai pertimbangan, terutama jika penyelesaian secara kekeluargaan tidak berhasil.

Menurut hukum adat bugis gadai disebut dengan sanra, jadi jika disebut sanra galung berarti, tanah persawahan yang digadaikan (gadai tanah persawahan). Lazimnya perjanjian gadai tanah oleh masyarakat dilaksanakan hanya secara lisan, tanpa bukti tertulis, tidak mengharuskan adanya saksi baik dari pemilik gadai maupun pemegang gadai. Kalau pun ada pihak yang mendengar atau melihat peristiwa gadai tersebut, bukan karena sengaja dipanggil menjadi saksi, melainkan hanya kebetulan, akibatnya seringkali ada pihak tertentu atau salah satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut secara melawan hukum, misalnya ingkar janji Jika penyelesaian sengketa gadai tanah (wanprestasi), dan penyelesaian hukumnya baik mengharuskan sampai ke pengadilan (PN), secara kekeluargaan maupun melalui pengadilan maka masyarakat pencari keadilan (justiabelen) menjadi tidak mudah. berharap agar hakim atau pengadilan bertindak adil, sebagaimana ditegaskan dalam UndangGadai tanah atau sanra tanah, pemilik Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan gadai tetap berkewajiban membayar kembali Kehakiman ditegaskan bahwa, peradilan (mengembalikan) uang tebusan gadai (harga gadai) diselenggarakan guna menegakkan hukum dan meskipun pelaksanaan gadai sudah melewati keadilan demi terselenggaranya negara hukum 7 tahun, dan tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Republik Indonesia. Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Sangat lazim dalam praktik, Dalam tema kajian ini, akan dianalisis jika pemilik tanah tidak mampu menebus atau putusan Pengadilan Negeri Watampone Nomor 34/ mengembalikan pembayaran uang tebusan gadai, Pdt.G/PN.Wtp mengenai penyelesaian sengketa ataukah ketika pemegang gadai berkeinginan gadai atas tanah persawahan yang terindikasi jual mengembalikan tanah gadai ke pemiliknya, akan putta, yang dalam putusan majelis hakim menolak tetapi pemilik gadai belum mampu menebusnya, eksepsi Tergugat dan memenangkan Penggugat. ataukah pemilik tanah sendiri memerlukan uang Kasus bermula dari perempuan MBA, tunai untuk suatu keperluan, maka pemilik gadai pekerjaan URT, bertempat tinggal di Kabupaten dengan pemegang gadai biasanya melanjutkan Bone, melalui kuasa hukumnya menggugat menjadi transaksi jual-beli dengan istilah jual perempuan CBN, pekerjaan URT, bertempat putta atau sanra Putta. Istilah jual putta atau tinggal Kabupaten Bone (Tergugat I), dan LL, sanra putta hanya terjadi pada barang atau tanah di Kabupaten Bone (Tergugat II). yang didahului dengan perbuatan hukum berupa perjanjian gadai. Melalui kuasanya, Penggugat mengakui

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 171

| 171

7/27/2012 3:11:28 PM

bahwa, lokasi tanah persawahan yang menjadi objek sengketa, bergelar Lompo Kalamesu, luas kurang lebih 43 (empat pulih tiga) are, Kohir nomor 427 C1 yang terletak di Kabupaten Bone dengan batas-batas yang tertera dalam gugatan Penggugat adalah milik Penggugat yang diperoleh sebagai bagian warisan dari almarhum ayahnya. Pengakuan Penggugat atas kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa ini, didukung dengan keterangan saksi (MA dan MP) serta alat bukti surat.

menjadi objek sengketa ini, didukung dengan keterangan saksi (MP dan SB) serta alat bukti surat. Kecuali itu, terdapat pula keterangan saksi I (TH) dari para Tergugat bahwa, penguasaan para Tergugat atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah, hasil pembelian jual putta atau sanra putta para Tergugat dari SN, dan keterangan mana dari saksi ini tidak pernah dibantah di dalam persidangan baik oleh Penggugat maupun para saksi-saksinya. Di samping itu, pengakuan yang sama baik dari Penggugat, para Tergugat, dan keterangan para saksi bahwa, penguasaan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa oleh para Tergugat adalah melalui SN yang baik keterangan atau pengakuan yang menyebut hanya sebagai gadai, maupun yang mengatakan sebagai jual beli atau sanra putta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, SN adalah saksi kunci, paling mengetahui status hukum tanah persawahan tersebut. Akan tetapi sampai kasus ini diputus oleh majelis hakim, SN tidak pernah dimintai keterangan, hakim tidak pernah memerintah kepada Penggugat maupun kepada para Tergugat untuk membawa SN atau keluarga (isteri) SN menjadi saksi dalam kasus ini.

Menurut Penggugat, klaim para Tergugat atas kepemilikan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah tidak benar dan melawan hukum. Menurut Penggugat pengakuan para Tergugat atas kepemilikan tanah yang menjadi objek sengketa ini, bermula ketika Penggugat merantau ke Sumatera sekitar tahun 1980-an, dan tanah persawahan tersebut dititipkan kepada keluarga SN. Beberapa tahun kemudian atas persetujuan Penggugat, SN yang memiliki nama lain AL alias DEN alias MND menggadaikan tanah tersebut kepada Tergugat I (Perempuan CBN). Kemudian setelah dari perantauan pada Bulan Maret 2007, Penggugat bermaksud ingin menebus tanahnya yang telah digadaikan oleh SN kepada para Tergugat atas persetujuan Penggugat, II. RUMUSAN MASALAH namun para Tergugat tidak bersedia dan menolak untuk mengembalikan tanah tersebut serta terus 1. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alatalat bukti yang diajukan Penggugat dan menguasainya secara melawan hukum. para Tergugat atas penyelesaian sengketa Atas gugatan Penggugat, maka kemudian gadai atas tanah persawahan sesuai putusan para Tergugat membantah dengan mengajukan pengadilan di atas? eksepsi bahwa, tanah persawahan tersebut benar adalah miliknya yang dibeli dari SN dengan 2. Bagaimanakah kekuatan yuridis keterangan Saksi I (TH) dari para Tergugat yang persetujuan isterinya yang bernama SA. Menurut mengatakan, penguasaan para Tergugat para Tergugat, tanah persawahan tersebut semula atas tanah persawahan yang menjadi objek adalah milik SN kemudian selanjutnya menjadi sengketa adalah hasil jual-beli dengan mahar (bugis: Sompa) bagi isterinya. Pengakuan istilah jual putta atau sanra putta dari SN, para Tergugat atas kepemilikan tanah yang 172 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 172

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:28 PM

dan keterangan mana tersebut tidak dibantah oleh Penggugat serta saksi-saksinya, tetapi diabaikan dalam pertimbangan majelis hakim?

masyarakat, di mana benda gadai tetap dikuasai oleh pemiliknya, sehingga timbul praktik baru yang disebut jaminan fidusia (Meliala, 2008: 44). Pada jaminan fidusia, benda jaminan yang berupa benda atau barang tetap dalam penguasaan penerima jaminan atau debitur.

3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim yang tidak memerintahkan kepada Penggugat atau kepada para Perjanjian gadai dalam hukum adat Tergugat memanggil SN menjadi saksi merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, pada hal bersangkutan mengetahui dan berbeda dengan perjanjian gadai yang diatur mengalami peristiwanya? dalam hukum Eropa sebagai perjanjian asesoir, artinya hanya perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokok, yaitu dari perjanjian pinjam III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS meminjam (Subekti, 1980: 79). Sebagai A. Hukum Gadai perjanjian tambahan dari perjanjian pokok, Hukum gadai di Indonesia terus mengalami bertujuan untuk menjaga kalau-kalau peminjam perkembangan, selain diatur dalam hukum adat (debitur) lalai memenuhi kewajibannya berupa sebagai hukum asli bangsa Indonesia, juga diatur pembayaran kembali uang pinjaman atau dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bunganya (Meliana, 2008: 44). Pemegang (Pasal 1150 KUHPdt). Bahkan dewasa ini, gadai atau si berpiutang menurut KUHPdt, seiring perkembangan dunia usaha muncul satu memiliki hak prevelege (hak istimewa) dan jenis perjanjian gadai baru yang diatur dalam harus didahulukan dalam memperoleh pelunasan PP Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan utang dari si berhutang (Pasal 1150 KUHPdt). Umum (Perum) Pegadaian. Dalam PP tersebut disebutkan, Perum Pegadaian sebagai BUMN mempunyai usaha antara lain, menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai dan berdasarkan jaminan fidusia (Meliala, 2008: 45).

Objek gadai dalam hukum adat, meliputi benda bergerak maupun benda tidak bergerak, berbeda dalam KUHPdt, benda gadai hanya pada barang bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud atau dari benda yang dapat Sejatinya barang atau benda yang dipindahtangankan (benda bergerak), sebab digadaikan berada di tangan pemberi pinjaman eksekusi gadai menurut KUHPdt merupakan (kreditur) atau pemegang gadai, bahkan dalam pemindahtanganan benda jaminan dari pemilik Pasal 1152 ayat (2) KUHPdt ditegaskan bahwa, kepada pemegang gadai. perjanjian gadai tidak sah jika benda gadai Dalam hukum adat Indonesia, istilah gadai tetap berada di bawah kekuasaan pemilik gadai berbeda-beda di beberapa tempat, misalnya (debitur) sendiri, melainkan harus di tangan si selain disebut sanra yang umum digunakan oleh penerima gadai atau di tangan pihak ke-3 yang masyarakat bugis pada perjanjian gadai tanah, disetujui oleh kedua belah pihak. Akan tetapi maka ada juga yang menggunakan gadai dengan ketentuan seperti di atas, tampaknya berbeda sebutan “Batu Ta’gala” sebagai pengertian gadai dengan praktik yang dilakukan oleh sebagian secara umum di Sulawesi Selatan. Di Jawa

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 173

| 173

7/27/2012 3:11:28 PM

Barat dikenal dengan istilah “Adol Sende”, di Minangkabau disebut “Menggadai”, di Gorontalo disebut “Monohuloo” (Ray Pratama : http:// raypratama.blogspot.com).

berlangsung sampai kapan pun. Oleh pembuat undang menilai bahwa bentuk gadai tanah yang dipraktikkan masyarakat seperti demikian itu, mengandung unsur pemerasan, maka salah satu pertimbangan untuk mengatasinya, maka Dalam hukum adat, gadai tanah adalah ditetapkanlah UU No. 56 Prp Tahun 1960 guna lembaga yang telah lama hidup dalam masyarakat untuk menghapus unsur pemerasan yang dimaksud Indonesia, seperti yang dikemukakan Ter Haar dengan cara membatasi waktu berlangsungnya BZN (Ibid) bahwa, gadai tanah sawah adalah gadai tanah serta cara penebusannya (Pasal 7 UU perjanjian yang menyebabkan tanah bersangkutan No. 56 Prp Tahun 1960). diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan bahwa si penyerah akan Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa, berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sangat lazim dalam praktik, ketika pemilik tanah sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah gadai tidak mampu menebus atau mengembalikan uang yang sama. uang tebusan gadai, ataukah ketika pemegang

Demikian pula pendapat Soerjono Soekanto, Hilman Hadikusuma, dan S. A. Hakim, (http://www.pn-banjarbaru.go.id) bahwa, gadai mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai oleh orang lain dengan menerima pembayaran tunai, di mana si pemberi gadai, atau pemilik tanah tetap berhak menebus kembali tanah tersebut dari pemegang gadai (penerima gadai, atau penguasa tanah gadai. Dengan demikian berarti uang gadai kembali setelah perjanjian gadai diakhiri, seperti pada masyarakat adat Minangkabau dengan pepatah adatnya, “Gadai batabuih – Suarang babagi” artinya gadai itu selalu dapat ditebus dan Harta suarang dibagi (http://asaad36.blogspot.com/2010/10). Begitu pula di daerah Sulawesi Selatan (Yuliana, Andi 5 Juli, PustakaNet.Wordpress.Com), bahwa setiap gadai tanah atau sanra tanah uang gadai selalu dikembalikan karena dasar pelaksanaannya adalah saling menolong, maka oleh karena itu tidak diperlukan alat bukti berupa keterangan tertulis atau saksi.

gadai berkeinginan mengembalikan tanah gadai ke pemiliknya namun pemilik tanah gadai belum mampu menebusnya, ataukah pemilik tanah sendiri memerlukan uang tunai untuk suatu keperluan, maka pemilik tanah gadai biasanya menawarkan kepada pemegang gadai untuk membelinya yang dalam adat kebiasaan masyarakat bugis disebut dengan jual putta atau sanra Putta yaitu, praktik transaksi jual beli, yang diawali dengan perjanjian gadai sebelumnya. Jadi awalnya perjanjian gadai, namun karena sesuatu hal oleh pemilik tanah menawarkan tanah gadai tersebut kepada pemegang gadai untuk dibelinya. Jika pemegang gadai setuju maka kedua belah pihak melanjutkan transaksinya (jual beli) atas tanah yang tadinya berstatus gadai.

Perjanjian gadai (Meliala, 2008: 44) menurut hukum adat mempunyai ciri-ciri antara lain, (1) Hak menebus tidak mungkin daluwarsa; (2) Benda gadai ada di tangan pemegang gadai; (3) Penerima gadai dapat mengulanggadaikan benda gadai; (4) Benda gadai tidak dapat secara otomatis menjadi milik si pemegang gadai; dan Perjanjian gadai tanah dalam hukum adat (5) Sama dengan gadai dalam KUHPdt, apabila juga tidak mengenal daluwarsa, sehingga bisa gadai tidak ditebus maka untuk dapat memilikinya 174 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 174

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:28 PM

diperlukan suatu transaksi yang baru, seperti yang ditunjuk dalam Pasal 1154 KUHPdt. Perjanjian gadai tanah berdasarkan UndangUndang No. 56 Prp Tahun 1960 sedikit berbeda dengan perjanjian gadai menurut hukum adat. Menurut hukum adat, gadai tanah tidak pernah daluwarsa (lewat waktu) untuk menebus dan uang gadai selalu kembali. Ketentuan seperti demikian ini tidak berlaku dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 sebab, setiap hak gadai yang telah berlangsung tujuh tahun dinyatakan hapus dan pemberi gadai atau pemilik dapat mengambil tanahnya kembali tanpa mengembalikan uang gadai (Pasal 7 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960). Di samping terdapat perbedaan, juga keduanya memiliki persamaannya yaitu, baik UU No. 56 Prp Tahun 1960 maupun hukum adat, tidak diperkenankan pemilik barang gadai untuk memiliki kembali barang/benda atau tanahnya selama belum memenuhi kewajibankewajibannya.

dengan cara, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Begitu pula bisa melalui jalur di luar pengadilan dengan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009). Dengan demikian, sengketa gadai tanah sebagai sengketa keperdataan dapat diselesaikan dengan cara melalui proses hukum pengadilan dan atau di luar pengadilan.

Jika penyelesaiannya melalui jalur pengadilan maka seluruh proses hukumnya tunduk pada ketentuan hukum formal yakni hukum acara perdata, seperti menerapkan asas hukum audie et alteram partem (Mertokusumo, 1988: 80), artinya para pihak antara Penggugat dan Tergugat harus didengarkan keterangannya oleh hakim. Begitu pula penerapan asas kedudukan prosesuil yang sama bagi para pihak (Mertokusumo, 1988: 113), artinya memberi beban pembuktian yang sama berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Kedua asas B. Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah hukum ini sangat fundamental dan menentukan Praktik perjanjian gadai tanah atau sanra penyelesaian kasus yang ditanganinya secara tanah oleh masyarakat lazimnya dilaksanakan adil, dan dengan berpegang pada asas-asas hukum secara lisan, tanpa bukti tertulis, serta tidak ini akan membawa akibat pada kemungkinan ada saksi baik dari pemilik gadai maupun untuk menang bagi para pihak harus sama. pemegang gadai, akibatnya seringkali salah Penyelesaian kasus perdata melalui satu pihak memanfaatkan kekurangan tersebut secara melawan hukum, misalnya ingkar pengadilan, ditentukan berdasarkan penentuan janji (wanprestasi) yang mengakibatkan kebenaran formil, dan hakim bersifat penyelesaiannya secara kekeluargaan maupun preponderence of evidence (Mertokusumo, 1988: 107), artinya hakim dalam memutuskan kasusnya melalui pengadilan tidak mudah. tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan Setiap penyelesaian sengketa gadai tanah oleh yang berperkara, atau melarang hakim untuk harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan menjatuhkan putusan atas hal/perkara yang tidak dan keadilan sebagaimana bunyi Pasal 54 ayat dituntut atau meluluskan lebih dari yang diminta (3) UU No. 48 Tahun 2009. Pengejawantahan oleh yang berperkara. Jadi hakim bersifat pasif, nilai-nilai dimaksud ini, bisa melalui pengadilan namun bukan berarti dalam hukum acara perdata Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 175

| 175

7/27/2012 3:11:28 PM

hakim mencari kebenaran yang setengah-tengah menurut Gustav Radbruch perlu ditempuh secara atau palsu. prioritas dengan memulai dari prioritas keadilan, baru kemudian kemanfaatan, dan selanjutnya Jika penyelesaiannya di luar pengadilan kepastian hukum. negara, yakni melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi, mediasi dan arbitrase itu sendiri yang didasarkan C. Kekuatan Pembuktian Terhadap Alat Bukti Penggugat pada itikad baik (Pasal 59 s/d Pasal 60 UU No. 48 Tahun 2009 jo Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 Paton mengatakan bahwa, secara umum alat tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian bukti menurut hukum dikelompokkan ke dalam 3 Sengketa). jenis , yaitu (a). alat bukti bersifat oral (keterangan Semua cara penyelesaian dimaksud di atas (jalur pengadilan dan jalur di luar pengadilan) adalah untuk kepentingan penyelesaian substansial setiap kasus hingga sampai pada akar masalahnya. Jadi cara menyelesaikan kasusnya sampai akar masalahnya atau sistem problem denken atau problem orientik (Mertokusumo, 1999: 44), yang tidak sama antara satu kasus hukum dengan kasus hukum yang lain. Selain itu, juga memperhatikan keadaan hukum yang hidup dan tumbuh di masyarakat yakni, hukum adat, oleh karena menurut Carl von Savigny (Nuzul, 2009: 218) hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, est und wird mit dem volke). Teori Savigny ini dianut Soepomo dengan menjadikan hukum adat sebagai living law, hukum yang di dalamnya terkandung jiwa bangsa atau Volksgeist. Inti dari cara-cara penyelesaian pada setiap kasus gadai tanah seperti dikemukakan di atas, sejatinya untuk mewujudkan tujuan hukum untuk kepentingan masyarakat yang menurut Gustav Radbruch meliputi keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), serta kepastian hukum atau rechtssicherkeit (Ali, 1996: 95). Ketiga tujuan hukum idealnya terlaksana secara seimbang, namun sekiranya tidak bisa maka

176 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 176

saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, pengakuan (penggugat dan tergugat), sumpah); (b), alat bukti bersifat dokumentary (surat, bukti petunjuk, bukti tulisan); serta; (c). alat bukti material (barang bukti selain dokumentary). (Sudikno, 1988: 115). Dalam hukum acara perdata, jenis-jenis alat bukti disebutkan pada Pasal 1866 KUHPdt jo Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 Rbg, yaitu alat bukti tertulis, pembuktian saksi; persangkaanpersangkaan; pengakuan dan sumpah. Pada kajian sengketa gadai tanah ini, hanya akan dikemukakan alat bukti yang digunakan oleh Penggugat dan para Tergugat, yang terdiri atas bukti surat (tertulis) dan keterangan saksi, kemudian dianalisis guna mendapatkan jawaban atas rumusan permasalahan yang diajukan. 1. Bukti Tertulis/Surat Alat bukti tertulis atau bukti surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (Mertokusumo, 1988: 116). Alat bukti tertulis atau bukti surat terbagi menjadi bukti surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri terbagi ke

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:28 PM

dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian akta otentik bersifat sempurna, dan berlaku sebagai bukti sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya, dan bahkan yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya yang langsung dengan pokok akta (Mertokusumo, 1988: 123). Sebagai alat bukti yang sempurna, akta otentik mengandung kekuatan pembuktian lahir, pembuktian formil, dan pembuktian materiil. Berbeda dengan akta di bawa tangan maupun surat-surat lain yang bukan akta, seperti buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 127), kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta diserahkan penilaiannya kepada pertimbangan hakim. Dalam akta otentik mengandung asas acta publica probant sese ipsa (Mertokusumo, 1988: 127), yaitu akta atau surat yang tampaknya lahir sebagai akta otentik serta memenuhi syarat yang ditentukan, dan kekuatan pembuktiannya sempurna sebagai akat otentik sampai terbukti sebaliknya. Beban pembuktian pada akta otentik dibebankan kepada siapa yang mempersoalkan otentik tidaknya alat bukti itu (Pasal 138 HIR dan Pasal 164 Rbg). Berbeda dengan akat di bawah tangan atau bukti surat-surat lain yang bukan akta, pembuktiannya dibebankan kepada siapa yang mengakui atau yang bertanda tangan di atas akta di bawah tangan tersebut. Bukti surat yang diajukan Penggugat untuk membuktikan kepemilikannya atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa, berupa fotocopy Surat Keterangan Tanah bertanggal 12 Januari 1987 No. Tap/WPJ.09/KI.1113/1987

yang telah dicocokkan dan sesuai aslinya. Di dalam bukti surat ini (P-1) diterangkan Klasiran/ Pencatatan tahun 1939 s/d 1940 tanah tersebut telah menjadi objek IPEDA sampai Hari Senin, tanggal 12 Januari 1987 atas nama Wajib Pajak AC (Orang tua Penggugat), Kohir no. 427 C.1, tercatat dalam buku C Kampung Desa Pattiro, Desa Pattiro, Kec. Mare, Kab. Bone, bergelar Lompo Kalimaesu, luas: 043 Ha. Pada Tanggal 10 Maret 1986 dimutasi ke CBN (Tergugat I) dengan keterangan Gadai. Menurut hukum acara perdata, alat butki surat seperti di atas disamakan dengan catatancatatan mengenai tanah dalam buku letter C atau semisal kekitir atau semisal tanda wajib pajak. Alat bukti demikian menurut hukum acara tidak menjamin bahwa orang yang namanya tercantum di dalamnya adalah pemiliknya (Mertokusumo, 1988: 127). Alat bukti surat seperti di atas tidak menunjuk pada kepemilikan Penggugat atas tanah yang menjadi objek sengketa. Dengan demikian, kekuatan hukumnya atau kekuatan pembuktiannya tidak sempurna sehingga untuk menguatkan bukti surat ini masih diperlukan alat bukti lain berupa keterangan saksi dari Penggugat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukti surat (P-1) yang diajukan oleh Penggugat di atas tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna serta belum menunjuk kepemilikan Penggugat menurut hukum, maka dari itu majelis hakim yang memeriksa sengketa gadai tanah persawahan pada kasus ini harus mencocokkan keterkaitan (hubungan) dengan keteranganketerangan saksi yang diajukan Penggugat. Dalam menilai bukti surat yang diajukan Penggugat pada kasus ini, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1881 ayat (2e) KUHPdt jo Pasal ayat (2) 294 Rbg, diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 177

| 177

7/27/2012 3:11:28 PM

2. Keterangan Saksi

Suami dari Tergugat I (CBN),

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang berupa saksi di atur dalam Pasal 1895 dan 1902, 1904-1912 BW jo Pasal 139-152, Pasal 168-172 HIR (Pasal 165-179 Rbg. Tiap-tiap kesaksian yang diberikan harus mengenai perbuatan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, serta dengan tegas diberitahukan sebabsebabnya hal itu diketahui (Pasal 301 RGB). Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 128) saksi atau kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan. Hakim dalam menilai kebenaran secara hukum atas pengakuan kepemilikan Penggugat atas tanah yang menjadi objek sengketa, maka keterangan saksi-saksi di bawah ini sangat penting sekaligus untuk memberi keyakinan kepada hakim bahwa dialah pemiliknya. a). Saksi I Made Ali. -

Saksi mengetahui yang menjadi pokok persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak di Pattiro Sumali, Desa Pattiro, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (Enam) petak dengan berbatasan antara: Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat



178 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 178

: Sawah BU : Sawah YA : Sawah YA : Sawah MU

Bahwa tanah tersebut sekarang dikuasai oleh Lakarang (Tergugat II),



Penguasaan tersebut sudah berlangsung lebih kurang 10 tahun.



Sebelum dikuasai oleh Tergugat, tanah persawahan yang menjadi objek sengketa dikuasai oleh A yaitu ayah Penggugat (MBA).



Penguasaan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa oleh Tergugat diperoleh dari paman Penggugat yang bernama SN, yaitu pada waktu Penggugat akan merantau ke Sumatera, ia menitipkan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa kepada SN. Kemudian SN menggadaikan tanah persawahan tersebut kepada Tergugat dengan uang gadai sebesar Rp.600.000,(Enam ratus ribu rupiah).



Tanah tersebut milik ayahnya Penggugat yang bernama AC.



Tanah tersebut ada surat-suratnya berupa rincik atas nama AC, kemudian karena gadai maka sekarang dirubah menjadi CBN (Tergugat I), dan tidak pernah ada perubahan rincik atas nama orang lain.



Sewaktu SN menggadaikan sawah tersebut kepada Lakarang (Tergugat 2) hanya dilakukan secara lisan, tidak ada surat-suratnya.



Penggugat pernah ingin menebus tanah persawahan tersebut yang menjadi sengketa kepada Tergugat, tapi Tergugat tidak mau.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:29 PM



Saksi kenal dengan BA yaitu nenek sepupu dari CA (Tergugat 1) dan MN (Penggugat).



Berdasarkan keterangan dari kedua saksi yang diajukan Penggugat di atas dapat disimpulkan bahwa, tanah persawahan yang menjadi objek sengketa merupakan bagian harta warisan dari orang tuanya. Keterangan kedua saksi di atas meskipun saling menguatkan dan mendukung pengakuan Penggugat akan tetapi keterangan kedua saksi yang diajukan Penggugat tetap tidak menunjukkan hubungan yang kuat secara hukum dengan bukti surat yang diajukan Penggugat yang hanya menunjuk pada kepemilikan orang tua Penggugat atas tanah yang menjadi objek sengketa, atau bukti surat itu tidak menunjuk pada kepemilikan Penggugat.



Lemahnya alat bukti (bukti surat dan keterangan saksi) yang diajukan Penggugat, maka untuk menentukan kebenaran secara hukum atas kepemilikannya pada tanah persawahan yang berstatus sengketa gadai ini, maka majelis hakim bisa menggunakan teori hukum publik (Mertokusumo, 1988: 113), yang memberi wewenang yang lebih bebas pada hakim di dalam mencari kebenaran hukumnya, namun dengan tetap berpegang teguh pada asas hukum perdata formil yakni, preponderen of evidence, sebab kasus gadai tanah ini merupakan kasus perdata dengan kebenaran formil sebagai sandaran utamanya.

b). Saksi II MA -

Bahwa Saksi II mengetahui yang menjadi pokok persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak di Desa Pattiro, Kecamatan Mare, Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (enam) petak dengan berbatasan antara: Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat



: Sawah BU : Sawah YA : Sawah YU : Sawah MU

Bahwa saksi tidak tahu bahwa tanah persawahan yang menjadi sengketa ada surat-suratnya atau tidak.



Tanah persawahan yang menjadi sengketa adalah milik AC, namun sekarang dikuasai oleh para Tergugat.



Penguasaan Tergugat atas tanah persawahan yang menjadi sengketa bermula ketika AC merantau ke Sumatera. Kemudian tanah persawahan yang menjadi sengketa itu dikerjakan oleh BO, atau suami Penggugat. Kemudian Penggugat merantau ke Sumatera dan tanah persawahan tersebut dititipkan kepada SN, yaitu adik AC atau paman dari Penggugat. Tetapi setelah saksi pindah alamat, entah bagaimana tanah persawahan yang menjadi sengketa tersebut (saksi tidak tahu) dikerjakan oleh Tergugat II (Suami Tergugat I).

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 179

| 179

7/27/2012 3:11:29 PM

D.

Kekuatan Pembuktian terhadap Alat Bukti Para Tergugat 1). Bukti Tertulis/ Surat

menjadi sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat. Meskipun demikian majelis hakim sebagai pihak yang memiliki kewajiban dan kewenangan menyelesaikan sengketa gadai ini, Para Tergugat telah mengajukan alat bukti maka penilaian dan pertimbangan atas alat bukti surat ( T-1), berupa fotocopy surat nikah (tidak tertulis yang diajukan para Tergugat di atas, ada aslinya namun bermaterai cukup) atas nama diserahkan kepada majelis hakim. suami isteri AL atau SN dan SA. Dalam T-1 tersebut tercantum mas kawin berupa sawah enam Sekurang-kurangnya bukti-bukti tertulis petak, terletak di Lompo Diawang Labullu. yang diajukan para Tergugat di atas, dapat dinilai sebagai permulaan pembuktian, dan selanjutnya diperlukan bukti-bukti lain yang mendukung dan menguatkan. Dalam Pasal 1902 ayat (2) KUHPdt dikatakan bahwa, permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis, yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, serta untuk bukti tertulis yang berupa fotocopy saja tanpa memberikan persangkaan tentang benarnya ada aslinya, maka tidak bisa dijadikan alat peristiwa-peristiwa yang dimajukan seseorang. bukti yang sempurna, oleh karenanya hakim Untuk kasus hukum ini, bukti-bukti lain yang selalu meminta kepada berperkara untuk diajukan para Tergugat selain bukti surat di atas menunjukkan aslinya. Hakim selalu berwenang hanyalah keterangan para saksi. untuk memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan akta aslinya di 2). Keterangan Saksi muka sidang (Mertokusumo, 1988: 128). Jika a). Saksi I TA akta aslinya sudah tidak ada lagi, maka kekuatan pembuktiannya diserahkan penilaiannya kepada • Saksi tahu yang menjadi pokok hakim, dengan memperhatikan persyaratan yang persengketaan kedua pihak adalah diatur dalam Pasal 1889 KUPdt jo Pasal 302 RGB. tanah persawahan yang terletak di Dalam hukum acara perdata dijelaskan bahwa, jika alat bukti surat harus berupa surat yang asli. Dalam Pasal 1888 KUHPdt jo Pasal 301 Rgb dijelaskan bahwa, kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada aslinya. Jadi jika ada alat bukti surat atau alat

Alat bukti berupa fotocopy, dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotocopy disertai dengan keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dari mana ternyata bahwa fotocopy tersebut sama dengan aslinya (Mertokusumo, 1988: 128; Putusan MA, 1 April 1976 No. 701 K/Sip). Alat bukti surat yang diajukan para Tergugat berupa fotocopy surat nikah antara suami isteri SN dengan SA (T-1) di persidangan, kekuatan pembuktiannya sangat lemah, dan kurang relevan dengan kasus dengan keberadaan tanah persawahan yang

180 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 180

Kabupaten Bone, terdiri atas 6 (enam) petak dengan berbatasan antara: Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat

: Sawah BU : Sawah YA : Sawah YA : Sawah MU



Bahwa sebelum dikuasai LA (Tergugat 2) tanah sengketa dikuasai PR.



Bahwa

dulunya

tanah

tersebut

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:29 PM

pemiliknya adalah SN yang diperoleh dari neneknya, kemudian oleh SN, tanah tersebut dijual kepada LA yaitu menantu dari SN sendiri. •

Bahwa pembelian tanah tersebut oleh para Tergugat terjadi pada tahun 1983, waktu itu saksi melihat sendiri sewaktu terjadi jual beli, juga disaksikan oleh MS, BA dan isteri SN yang bernama SA.



Bahwa pembelian tanah tersebut terjadi di rumah SN.



Bahwa benar tanah tersebut semula digadaikan oleh SN kepada LA (Tergugat), tetapi selanjutnya dijual putta (istilah adat Sulawesi Selatan yang artinya putus atau terus) dengan harga Rp.2.500.000,- dari SN dengan terlebih dahulu dipegang gadai.



Tanah tersebut dipegang gadai oleh Tergugat selama kurang lebih tiga tahun.



Pengetahuan Saksi (TA) tentang gadai atas tanah yang menjadi sengketa, diberitahu oleh SN oleh karena saksi dan SN masih ada hubungan keluarga.



Saksi pernah melihat rincik tanah gadai tersebut di Kantor Desa atas nama Sabe yaitu nenek sepupu dari Tergugat I (CBN) dan Penggugat (MBA).



Bahwa saksi juga pernah mendengar sawah tersebut pernah dijadikan mahar (sompa) oleh SN.



Bahwa saksi tidak pernah melihat AC (ayah Penggugat) mengerjakan tanah sawah tersebut.

2). Saksi II MP •



Saksi tahu yang menjadi pokok persengketaan kedua pihak adalah tanah persawahan yang terletak, Kabupaten Bone, terdiri atas enam petak dengan berbatasan antara: Sebelah Utara : Sawah BU Sebelah Timur : Sawah YA Sebelah Selatan : Sawah LA Sebelah Barat : Dulu sawah YA, sekarang tidak tahu.



Tanah persawahan yang menjadi objek sengketa, sekarang dikerjakan Tergugat, diperoleh melalui pembelian dari SN.



Tanah persawahan yang menjadi sengketa pernah diolah/dikerjakan saksi sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 1983.



Saksi mengerjakan/menggarap sawah karena orang tua Saksi yang bernama PA disuruh oleh SN untuk mengerjakan sawah tersebut.



Setelah saksi, maka kemudian sawah diambil alih oleh Sanusi bin Supu.



Orang tua saksi, PA, bersahabat dekat dengan SN.



Bahwa sewaktu tanah tersebut digarap oleh saksi, pajak tanah tersebut dibayar oleh ayahnya yang bernama PA.

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 181

| 181

7/27/2012 3:11:29 PM

3). Saksi III SA •



Mencermati keterangan para saksi yang diajukan para Tergugat, terdapat perbedaan antara Mengetahui yang menjadi pokok keterangan saksi 1 dengan saksi 2 dan saksi 3 persengketaan kedua pihak adalah mengenai status tanah persawahan yang menjadi tanah persawahan yang terletak objek sengketa. Saksi 2 dan saksi 3 mengatakan Kabupaten Bone, terdiri atas enam bahwa, tanah persawahan tersebut adalah hasil petak yang terletak di Kabupaten pembelian para Tergugat kepada pemiliknya Bone dengan berbatasan antara: yang bernama SN dan disetujui oleh isterinya yang bernama SA, sedangkan saksi 1 mengatakan Sebelah Utara : Sawah BU. bahwa, tanah persawahan tersebut awalnya Sebelah Timur : Sawah YA sebagai perjanjian gadai, namun beberapa tahun Sebelah Selatan : Sawah PU Sebelah Barat : Dulu sawah YA, kemudian beralih menjadi jual-beli dengan istilah jual putta atau sanra putta. sekarang tidak tahu.



Bahwa tanah sawah tersebut sekarang dikuasai oleh CA dan suaminya (Tergugat I dan Tergugat II) sejak tahun 1987.



Bahwa Sebelum dikuasai Tergugat CA, sawah tersebut dikerjakan oleh PA.



Bahwa CA memperoleh tanah tersebut karena membeli dari SN dengan seharga Rp.2.600.000,- (dua juta enam ratus ribu rupiah).









182 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 182

Keterangan saksi 2 dan saksi 3 saling berhubungan sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, berbeda dengan keterangan saksi 1 yang berdiri sendiri, dengan keterangan kedua saksi sebelumnya. Meskipun berbeda, namun rasa-rasanya kedua keterangan saksi para Tergugat ini tidak berlawanan, sebab pada intinya keterangan para saksi dari Tergugat semua menunjuk pada kesamaan maksud yaitu kepemilikan para Tergugat atas tanah persawahan yang menjadi objek sengketa.

Keterangan saksi 1 tidak bisa dengan Saksi mengetahui karena saksi ada serta merta diabaikan oleh majelis hakim, sebab pada saat terjadi jual beli, tetapi kebiasaan di dalam masyarakat bugis, praktik saksi tidak tidak melihat pada saat jual puttaii adalah sesuatu yang lazim dilakukan, secara turun temurun sudah menjadi kebiasaan terjadinya pembayaran. yang tumbuh dan dipraktikkan di masyarakat Bahwa tanah tersebut ada rinciknya, sebagai living law. Di sisi lain, keterangan saksi tetapi saksi tidak tahu atas nama 1 tersebut tidak pernah ada yang membantahnya siap. baik oleh penggugat maupun para saksi yang Saksi tidak kenal dengan AC (ayah diajukan oleh para pihak. Atas dasar itu, majelis hakim patut tetap mempertimbangkannya dan Penggugat). menilainya guna mencari kebenaran formil Bahwa saksi tidak pernah melihat PA pada penyelesaian kasus tanah persawahan yang mengerjakan tanah tersebut. menjadi objek sengketa.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:29 PM

Keterangan saksi 1 dari para Tergugat yang mengatakan bahwa tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah hasil jual putta atau sanra puta melalui SN dengan terlebih dahulu dipegang gadai, tidak ada yang membatahnya. Atas fakta hukum ini, diajukan pertanyaan, mengapa keterangan saksi 1 diabaikan oleh majelis hakim dalam putusannya? Menjawab pertanyaan di atas adalah, kemungkinannya majelis hakim mengacu pada ketentuan Pasal 1905 KUHPdt Jo Pasal 169 HIR dan Pasal 306 Rbg yang pada intinya bahwa, keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain yang mendukungnya dapat saja diabaikan, akan tetapi pada faktanya majelis hakim sepanjang uraiannya tidak pernah menggunakan Pasal 1905 KUHPdt jo Pasal 169 HIR, dan Pasal 306 RGB untuk melumpuhkan keterangan saksi 1 dari para Tergugat. E.

Posisi SN yang Terabaikan

Dijelaskan dalam hukum acara perdata formil bahwa, keterangan saksi diperlukan jika perkara yang sedang diproses di pengadilan sudah memiliki bukti surat atau alat bukti tertulis. Dalam Pasal 1902 KUHPdt disebutkan:

Berbeda dengan keterangan antara saksi dengan ahli yang dipanggil untuk memberikan keterangan di persidangan. Saksi ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya, dan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir (melalui keterangan dari ahli) tidak merupakan kesaksian (Mertokusumo, 1988: 129). Kalau keterangan saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri. Seorang menjadi saksi, tidak cukup kalau hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya, tetapi saksi harus pula menerangkan bagaimana sampai mengetahui peristiwanya, jadi saksi dapat menerangkan sebab musababnya sampai ia mengetahui peristiwanya. Dalam Pasal 1907 KUHPdt disebutkan bahwa, tiaptiap kesaksian harus disertai dengan alasanalasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan. Penegasan yang sama juga dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 308 ayat (1) Rbg, sehingga menurut Sudikno Mertokusumo, (1988, 130):

Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya, maka hakim harus memperhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain tentang perkara yang dipersengketakan; pertimbangan Dalam segala hal di mana oleh undang- yang mungkin ada pada saksi untuk menuturkan undang diperintahkan suatu pembuktian dengan kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat serta tulisan-tulisan itu. Jika ada suatu permulaan martabat para saksi dan segala sesuatu yang pembuktian dengan tulisan diperkenankanlah sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya pembuktian-pembuktian dengan saksi-saksi, dipercaya seorang saksi. kecuali apabila tiap pembuktian lain dikecualikan, Untuk berpegang secara kuat pada penjelasan selain dengan tulisan. di atas, tentu sangatlah sulit bagi seorang hakim Keterangan seorang saksi di muka yang sedang menangani kasus yang alat buktinya persidangan bertujuan untuk memberikan kurang, bahkan tidak relevan untuk saling tambahan keterangan, untuk menjelaskan menguatkan antara alat bukti yang satu dengan hubungannya dengan peristiwa hukum yang ada. alat bukti lainnya, akan tetapi pertimbangan

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 183

| 183

7/27/2012 3:11:29 PM

hakim mutlak harus ada, karena hakimlah yang memiliki kewenangan dalam menilai keterangan (kesaksian) dari seorang saksi.

Untuk menentukan status tanah persawahan yang dipersengketakan oleh Penggugat dan para Tergugat, sepatutnya keterangan SN patut didengar untuk selanjutnya dikonfrontir dengan Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: pengakuan para pihak serta keterangan para saksi. 129), yang dapat didengar sebagai saksi adalah Upaya untuk melakukan konfrontir keterangan pihak ketiga, dan bukan salah satu pihak antar saksi dimungkinkan dalam hukum acara yang berperkara. Merujuk atas ketentuan dan perdata (lihat: alinia terakhir Penjelasan Pasal 82 pernyataan Sudikno di atas, maka SN sangat ayat (1) RIB/HIR). patut untuk didudukkan sebagai saksi oleh yang berperkara. Sangat kuat fakta hukum di Sepatutnya SN dijadikan saksi kunci, persidangan yang menunjuk bahwa, perbuatan karena SN saksi maka akan sangat membantu SN yang mengalihkan (menggadaikan) tanah kekuatan analisis serta pertimbangan majelis persawahan yang kini menjadi sengketa kepada hakim untuk selanjutnya mengkonstitusi atau para Tergugat sekitar tahun 1980-an. Dengan memberi putusan atas sengketa ini dalam hal, demikian, posisi SN pada kasus gadai tanah yang apakah peralihan hak tersebut kepada Tergugat terindikasi jual putta ini sangat penting dalam hanya sebagai gadai ataukah merupakan jual rangka penilaian kebenaran secara formil posisi putta atau sanra putta yang didahului dengan kasus ini sekaligus untuk menentukan siapa yang perjanjian gadai. paling berhak atas tanah persawahan yang menjadi Keterangan yang diberikan saksi harus sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat. menyangkut tentang peristiwa atau kejadian Semua pengakuan dari Penggugat dan yang dialaminya sendiri, dan ketentuan demikian para Tergugat serta keterangan para saksi yang sesuai dengan posisi SN yang mengetahui dan berkembang dalam persidangan selalu mengaitkan mengalami sendiri peristiwanya. Jadi sekiranya peristiwa peralihan hak atas tanah persawahan SN sebagai saksi oleh Penggugat ataukah oleh yang menjadi objek sengketa ini dengan SN. para Tergugat, maka hakim akan lebih leluasa bisa Fakta hukum tersebut bisa disimpulkan bahwa, menggali kebenaran keterangan para saksi lainnya SN adalah pihak yang sangat mengetahui status dan kemudian menemukan hukumnya atas status hukum tanah sengketa tersebut, akan tetapi yang sebenarnya pada tanah persawahan yang selama proses hukum berlangsung, SN tidak menjadi objek sengketa. Sebaliknya dengan tidak pernah diminta memberi keterangan atas kasus melibatkan SN dalam penyelesaian sengketa ini gadai atas tanah persawahan yang menjadi objek sebagai saksi, terkesan bahwa hakim kurang cermat sengketa. atau lalai tidak mempertimbangkan seluruh faktafakta hukum yang muncul dalam persidangan Sekiranya SN dijadikan saksi dalam kasus yang relevan dengan sengketa persawahan ini ini, maka keterangan saksi maupun pengakuan yakni, perbuatan SN yang mengalihkan tanah Penggugat dan para Tergugat yang saling persawahan tersebut kepada para Tergugat. berbantahan, bisa ditentukan mana yang sah dan mana yang tidak sah menurut hukum dengan Apalagi jika dicermati bahwa seluruh jalan mendengar keterangan SN. pengakuan dan keterangan yang berkembang

184 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 184

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:29 PM

dalam persidangan cukup beragam, begitu pula para Tergugat kurang lebih sama dengan alat bukti tertulis (bukti surat) yang diajukan para keterangan Saksi II (MP) -- pada garis pihak (Penggugat dan Tergugat) tidak memiliki datar 2--, dan keterangan saksi III -pada kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga garis datar 4-. dengan demikian keterangan SN akan sangat 3. Keterangan saksi I, TA, yang diajukan para berguna bagi majelis hakim untuk menentukan Tergugat (lihat pada garis – [garis datar] penilaiannya antara kebenaran pengakuan ke-7, bahwa status tanah persawahan yang Penggugat dengan kebenaran pengakuan para menjadi objek sengketa adalah jual putta Tergugat serta kebenaran dari keterangan(istilah adat Sulawesi Selatan atas jual beli keterangan masing-masing para saksi yang barang/tanah yang awalnya perjanjian gadai). diajukan di persidangan. Berdasarkan berbagai pengakuan dan keterangan sebagaimana yang diuraikan di atas, maka setidaknya ada 3 (tiga) fakta hukum yang saling berbeda terhadap status tanah persawahan yang menjadi objek sengketa, yaitu: 1. Pengakuan Penggugat bahwa tanah persawahan yang menjadi objek sengketa antara Penggugat dengan para Tergugat statusnya sebagai gadai melalui SN (lihat keterangan Penggugat pada poin tiga tentang duduk perkaranya) atas persetujuan Penggugat (tahun 1980-an). Pengakuan Penggugat tersebut kurang lebih sama dengan keterangan para saksi yang diajukan Penggugat (lihat keterangan saksi I pada garis-[garis datar] ke-5, dan keterangan saksi II pada garis-[garis datar] keenam.

Adanya pengakuan serta keterangan yang berbeda-beda tersebut di atas, maka agaknya sulit bagi hakim menemukan kebenaran fakta hukum yang sesungguhnya, sehingga yang diperlukan selanjutnya dari hakim adalah kemampuan analisisnya untuk menilai kebenaran dalil atau bukti yang diajukan masing-masing pihak. Sudikno Mertokusumo (1996: 74) mengatakan, setiap kasus (konflik) yang diproses di persidangan pengadilan, majelis hakim harus melakukan langkah-langkah penemuan hukum agar tidak salah dalam menerapkan hukumnya. Terkait dengan penyelesaian sengketa gadai tanah persawahan yang terindikasi jual putta, maka ada tiga langkah yang patut bagi hakim yaitu:

1. Mengkostatasi sengketa gadai atas tanah persawahan ini sebagai peristiwa konkrit yang berarti merumuskan sengketa gadai 2. Pengakuan para Tergugat bahwa tanah yang terjadi antara Penggugat dengan persawahan yang menjadi objek sengketa para Tergugat sebagai peristiwa hukum. statusnya hak milik (milik para Tergugat) Jadi masuk pada kegiatan legal problem yang pada mulanya dibeli dari pemiliknya identifications; bernama SN atas persetujuan isterinya bernama SA karena tanah persawahan yang 2. Mengkualifikasi sengketa gadai atas tanah menjadi sengketa tersebut pernah dijadikan persawahan ini sebagai peristiwa konkrit mahar (bugis: Sompa) kepada isterinya yang berarti, untuk kemudian dicarikanlah bernama SA (keterangan para Tergugat penyelesaian hukumnya (legal problem poin 3 dalam pokok perkara). Pengakuan solving) dengan menerapkan dalil-dalil

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 185

| 185

7/27/2012 3:11:29 PM

atau ketentuan hukumnya yang relevan; 3. Kemudian pada tahapan ketiga adalah, mengkonstitusi atau memberi putusan atau memutuskan hukumnya atas sengketa gadai tanah persawahan yang terindikasi jual putta, jadi masuk pada tahapan decision making. Atas sengketa gadai atas tanah persawahan ini, majelis hakim memenangkan Penggugat dengan nomor putusan 34/Pdt.G/2007/PN.Wtp dengan putusan sengketa gadai bukan sengketa jual putta atau sanra putta. Beberapa catatan penting atas praktik jual Putta atau Sanra Putta yang didahului dengan perjanjian gadai dan penyelesaian hukumnya yaitu: 1. Praktik jual putta sangat lazim di masyarakat bugis dan merupakan transaksi yang lumrah, tidak selamanya diikuti dengan alat bukti berupa dokumen tertulis serta saksi-saksi, akibatnya sering menimbulkan persoalan hukum yang sebenarnya bisa diselesaikan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. 2. Kewajiban memeriksa dan penyelesaikan perkara, hakim perlu kemandirian dan tidak cukup jika hanya berpegang pada yurisprudensi belaka. Begitu pula hakim tidak cukup berpegang pada apa yang disebut normgerechtigkeit (keadilan menurut undang-undang) melainkan berupaya melakukan apa yang disebut einzelfallgerechtigkeit atau menemukan keadilan menurut keyakinan hakim yang tertuang dalam putusannya. 3. Sama artinya penjelasan di atas, hakim tidak semata hanya berpikir menurut sistemnya

186 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 186

(sistem oriented atau sistem denken), melainkan patut berpikir dengan mengacu kepada masalahnya atau problemnya atau disebut dengan problem oriented atau system oriented (Mertokusumo, 1996: 44). Penjelasan ini mengandung makna bahwa kemandirian seorang hakim sangat utama, sejalan dengan sistem peradilan Indonesia bersifat the persuasive force of precedent, bukan the binding force of precedent atau stare decisis et quita non movere seperti dalam protype sistem peradilan Anglo Saxon. 4. Selaras dengan kemandirian dimaksud di atas, hakim yang menangani sengketa yang alat buktinya amat terbatas atau kurang seperti pada kasus sengketa gadai tanah persawahan ini, maka pegangan lain yang diperlukan bagi hakim adalah, kode etik atau pedoman perilaku hakim. Untuk kepentingan dimaksud, telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Nomor 047/KMA/ SKB/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kandungan atau isi dari SKB ini antara lain bahwa, seorang hakim harus berperilaku adil; berperilaku jujur, bersikap mandiri; berintegritas tinggi; berdisiplin tinggi; dan bersikap profesional dalam menangani setiap perkara. IV. SIMPULAN 1. Alat bukti surat dari Penggugat maupun alat bukti surat dari para Tergugat memiliki kekuatan pembuktian yang tidak sempurna, sehingga penilaian atas alat bukti tersebut

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:29 PM

sangat bergantung dari pertimbangan majelis hakim. Adapun keterangan para saksi dari Penggugat cukup berkesesuaian antara satu saksi dengan saksi lainnya dan kekuatan pembuktiannya bersifat sempurna. Sebaliknya keterangan para saksi dari Tergugat, ada yang sama serta ada pula yang berbeda. Keterangan yang sama diperoleh dari keterangan saksi 2 dan saksi 3, sedangkan yang berbeda berasal dari keterangan saksi 1, sehingga dengan demikian kekuatan pembuktian keterangan saksi dari para Tergugat tidak sempurna, untuk itu penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hukum majelis hakim. 2. Keterangan saksi 1 yang diajukan para Tergugat yang mengatakan bahwa, tanah persawahan yang menjadi objek sengketa adalah awalnya gadai melalui SN dengan persetujuan Penggugat, kemudian beralih menjadi jual-beli dengan istilah jual putta atau sanra putta. Kekuatan pembuktiannya lemah karena tidak didukung dengan alat bukti lain, meskipun demikian, majelis hakim sepatutnya tetap mempertimbangkan sebab keterangan mana dari saksi I tersebut sama sekali tidak pernah dibantah oleh Penggugat maupun semua saksi dalam persidangan. Juga praktik jual putta atau sanra putta lazim terjadi di masyarakat bugis sejak dulu, dan menjadi hukum yang hidup. 3. Majelis hakim dinilai kurang cermat dalam pertimbangan hukumnya karena tidak memerintahkan Penggugat atau para Tergugat untuk memanggil SN menjadi saksi dalam persidangan. Pada hal baik dari Penggugat maupun para Tergugat

serta semua saksi mengakui bahwa, SN yang mengalihkan penguasaan tanah persawahan yang menjadi objek sengketa kepada para Tergugat. Dengan demikian, SN patut menjadi saksi kunci yang keterangannya sangat diperlukan, termasuk diperlukan untuk mengkonfrontasi pengakuan Penggugat dan para Tergugat serta keterangan semua saksi. Kedudukan SN pada kasus ini berbeda dengan saksisaksi yang diajukan Penggugat maupun para Tergugat yang hanya mengetahui saja, tetapi tidak mengalami peristiwanya sebagaimana yang dialami dan diketahui oleh SN.

DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologisi). Cet. I. Jakarta: Pen: Chandra Pratama. Emirzon, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase). Cet. I. Jakarta: Pen: Gramedia Pustaka Utama. Mertokudumo, Sudikno. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. I. Yogyakarta: Pen: Liberty. _________________. 1996. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cet. I. Yogyakarta: Pen: Liberty. Meliala, S. Djaja. 2008. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan. Cet. II. Bandung: Pen: Nuansa Aulia. Nuzul, A. 2009. Pembentukan Hukum Kewarisan

Penyelesaian Sengketa Tanah Persawahan dalam Kasus Gadai yang TerindikasI “Sanra Putta” (A. Nuzul)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 187

| 187

7/27/2012 3:11:29 PM

dapat-ditebus.html (Diakses, 29 Juni 2012). Nasional Berdasarkan Sistem Bilateral (Relevansi Beberapa Asas Hukum Jaminan Kepastian Dan Perlindungan Hukum Kewarisan Menurut KUHpdt, Menurut Terhadap Perjanjian Gadai Tanah Menurut Hukum Islam, dan Menurut Hukum Adat), Hukum Adat (Dimuat oleh Admin Disestasi, FH. UGM, Yogyakarta. PN.Bjb/ 21-07-2009: ttp://www.pnbanjarbaru.go.id/index.php?content=mod_ Subekti, R. 1980. Pokok-Pokok Hukum Perdata. artikel&id=13 (Diakses 2 9 Juni 2012). Cet. XV. Jakarta: Pen: Intermasa. Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab Pengertian Gadai Tanah Menurut Hukum Adat dan Menurut Undang-Undang Pokok Undang-Undang Hukum Perdata Agraria. (KUHPerdata). Cet. XXVIII. Jakarta: Pen: PT. Pradnya Paramita. Diposkan oleh Ray Pratama Siadari (owner Sekolah TInggi Ilmu Hukum Pratama) di 02:55: Soesilo, R. 1980. RIB/HIR, Dengan Penjelasannya, http://raypratama.blogspot.com/2012/02/ Bandung: Pen: Karya Nusantara. pengertian-gadai-tanah-menurut-hukum. Undang-Undang/Putusan html. (Diakses, Ahad, 12 Februari 2012). Keputusan Bersama (SKB) antara Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/2009 Dan 02/SKB/P.KY/ IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Yuliana, Andi 5 Juli 2008 “Konflik dan Penyelesaian Dalam Perjanjian Gadai Tanah pada Masyarakat Adat Bugis di Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng”,PustakaNet. Wordpress.Com, (Diakses, Ahad, 29 April 2012). Putusan Nomor 34/Pdt.G/2007/PN. WTP pada Pengadilan Kelas 1 B Watampone. Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, beserta Penjelasannya. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pustaka Online: Gadai Tanah Adat Selalu Dapat Ditebus: Kasus Harta Pusaka Tinggi Minangkabau -Onta Berkokokhttp://asaad36.blogspot. com/2010/10/gadai-tanah-adat-selalu188 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 188

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 170 -188

7/27/2012 3:11:29 PM

WANPRESTASI SEBAGAI KUALIFIKASI TIDAK DIPENUHINYA KEWAJIBAN HUKUM YANG MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA Kajian Putusan Nomor 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg

BREACH OF CONTRACT AS THE QUALIFICATION OF NONCOMPLIANCE TO LEGAL OBLIGATION THAT CAUSES STATE FINANCIAL LOSS An Analysis on Decision Number 1247/Pid/B/2009/PN. Bdg Widiada Gunakaya Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Jl. Cihampelas No. 8 Bandung 40116 Email: [email protected] Diterima tgl 4 Juli 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012 ABSTRAK

menimbulkan kerugian keuangan negara. Hakim

Tindak pidana korupsi di Indonesia pada dewasa ini

mempertimbangkan perbuatan terdakwa itu sebagai

perkembangannya sudah sangat sistemik dengan

ingkar janji (wanprestasi) sehingga tidak dapat

tidak hanya merugikan keuangan negara atau

dituntut menurut hukum pidana.

perekonomian negara tetapi juga telah merampas

Kata kunci: korupsi, sifat melawan hukum pidana,

hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas.

wanprestasi, kerugian keuangan negara.

Salah

satu

upaya

pemberantasannya

adalah

dengan menetapkan ajaran “sifat melawan hukum

Abstract

material” dalam fungsinya yang positif ke dalam

There has been a tendency in the increase of systemic

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001

corruption in Indonesia resulting a great loss of

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

state budget and national economy. Corruption has

Sayangnya, kaidah hukum tersebut oleh putusan

also caused the massive deterioration of people’s

Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 telah

socio-economic basic rights. One of attempted

dinyatakan tidak mengikat secara hukum, karena

efforts to get rid of corruption is to install the

dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)

doctrine of “the nature of criminal offence” in

UUD 1945 tentang “kepastian hukum yang adil”

material sense with positive function in Law No.

sebagai salah satu prinsip negara hukum. Padahal

31 Year 1999 juncto Law No. 20 Year 2001 on

dalam rangka pemberantasan korupsi, penerapan

Corruption Eradication, but this legal formulation

kaidah hukum dimaksud dapat dibenarkan sekaligus

has been dismantled by the Constitutional Court by

juga efektif. Hakim di Pengadilan Negeri Kelas IA saying (stating) it is contradictory with Article 28D Bandung dalam putusan No. 1247/Pid/ B/2009/ paragraph (1) of the 1945 Constitution regarding PN.Bdg yang dibahas dalam artikel ini seharusnya

“the just legal certainty” as one of the principles

juga menerapkan kaidah hukum tersebut, karena

of the rule of law. The doctrine can be regarded as

terdakwa tidak memenuhi kewajiban hukum

a legalized and effective instrument in combating

yang harus dilakukan sehingga secara nyata telah

corruption. In the court decision No. 1247/Pid/

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 189

| 189

7/27/2012 3:11:30 PM

B/2009/PN.Bdg analyzed in this article, it was worth if judges used such a doctrine because the accused had been proved to result state financial loss. However, judges considered that the accused’s failure to fulfill his legal obligation as merely the breach of contract that could not meet the elements of any criminal action. Keywords: corruption, nature of criminal offence, breach of contract, state financial loss.

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

tidak di “mejahijaukan”, dengan dalih belum terkumpulnya atau tidak terpenuhinya cukup bukti. Padahal jika dicermati, di balik semua itu terdapat kekuatan politik yang maha dahsyat yang dapat melibas semua kekuatan hukum. Jika toch ada yang dimejahijaukan, itu pun sekadar rekayasa agar partai berkuasa terkesan bersih. Namun dampaknya sama sekali tidak diperhitungkan, karena orang yang dikorbankan untuk menjadi terdakwa justru semakin keras dan lantang “bernyanyi” mengumandangkan “lagu korupsi” yang banyak dilakukan oleh kader-kader partainya atau oleh rekan sekerjanya di pemerintah maupun di lembaga legislatif. Bila terdakwa sampai dipidana, diberikan berbagai legalisasi alasan oleh penguasa supaya yang bersangkutan tidak sampai menjalankan pidananya atau diberikan grasi. Belakangan ini dengan banyak terjadinya kasus suap yang melanda aparat penegak hukum, menandakan sistem yudisial pidana kita telah pula terindikasi koruptif. Satu-satunya harapan yang masih tersisa di negeri ini adalah KPK, namun dengan telah terjadinya intervensi terhadap lembaga super body ini, masih bisa dan kuatkah KPK menghadapi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi?

Korupsi di Indonesia, dapat dinobatkan sebagai “biang kemudaratan”, yang dapat meluluhlantakkan hampir semua bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, hukum (mafia hukum/peradilan), sosial, budaya, kesehatan, pertanian, dan hankam, bahkan kehidupan beragama yang selama ini dianggap sebuah zona sakral dan sarat dengan nuansa moral dan agamis, ternyata bersarang pula perilaku “amoral”. Dampaknya, sangat besar dan meluas, mulai dari kerugian yang diderita oleh negara sampai pada fenomena meluasnya kemiskinan Meluasnya fenomena korupsi di Indonesia, secara struktural di dalam masyarakat. Akibatnya, bila dicermati, sesungguhnya lebih banyak korupsi melahirkan berbagai tragedi alami, berbentuk penyalahgunaan kekuasaan atau kemasyarakatan dan juga kemanusiaan. kewenangan politik maupun ekonomi oleh Berbagai upaya pemberantasan yang upper power class dan upper economic class. diharapkan mampu memberantas tuntas akar Dengan mempelajari “kelemahan” hukum, korupsi, baik yang dilakukan melalui penciptaan mereka melakukan konspirasi untuk tujuan piranti hukum maupun dengan aplikasi hukum in kepentingan ekonomi tertentu yang pada akhirnya concreto, ternyata hasilnya terjadi aplikasi hukum menimbulkan korupsi. Kasus BLBI dan Bank “tebang-pilih” (discriminative justice). De facto, Century misalnya, dengan profesionalitas yang terjadi penegakan hukum diskriminatif dan kontra dimiliki oleh pelakunya, perbuatan koruptif yang produktivitas. Tidak heran jika banyak kasus terjadi sangat sulit dideteksi oleh aparat hukum,

190 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 190

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:30 PM

sehingga kejahatan tersebut sering dikatakan Umum dari UU Anti Korupsi tersebut merupakan offences beyond the reach of the law. kaidah hukum, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menetapkan perbuatan terdakwa sebagai Penguasaan sumber daya politik yang perbuatan yang merugikan “keuangan negara”? melekat pada posisi jabatan strategis tertentu UU yang secara khusus mengatur “keuangan dalam ruang lingkup kekuasaan kelembagaan negara” adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang negara, merupakan potensi besar untuk Keuangan Negara. UU lainnya yang juga mengalokasikan sumber dan fasilitas ekonomi, dalam kaidah hukumnya ikut mengatur tentang sesuai dengan kepentingan bisnis pihak “keuangan negara” adalah UU No. 19 Tahun penjalin hubungan patronase dengan pemegang 2003 tentang BUMN, UU No. 1 Tahun 2004 kekuasaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 dan kewenangan seperti ini semakin menjadi, Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelola dan karena terjadi ketidakefektivitasan pengawasan Tanggungjawab Keuangan Negara. oleh lembaga-lembaga pengawasan resmi, maupun oleh pranata-pranata demokrasi yang Korupsi juga terjadi di berbagai pemerintah bergerak terbatas karena dikendalikan negara. daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh Akibatnya, ruang gerak korupsi menjadi semakin pejabat legislatif, eksekutif, yudikatif, dan meluas dan “menggila”. Hal ini diperparah lagi konglomerasi. Melalui konspirasi politik antara dengan adanya gejala kolusi dan nepotisme Kepala Daerah dan DPRD yang di”balut” dengan yang semakin ‘sistemik’ antara pebisnis dengan kebijakan legislasi daerah, para pejabat ini sepakat pemegang kebijakan dan penentu operasional di untuk menetapkan suatu anggaran dengan alasan bidang pengelolaan keuangan negara. pembangunan daerah atau kesejahteraan rakyat atau kesehatan anggota DPRD atau dengan Pada tataran praksis dalam peradilan pidana, alasan yang dibuat serasional mungkin, padahal mengenai masalah “keuangan negara” kerap kali tujuannya adalah untuk memperkaya diri atau menimbulkan kebingungan bagi aparat pidana. orang lain atau suatu korporasi. Dana yang sengaja Hal ini disebabkan karena terdapat banyak hukum anggarannya ditetapkan di dalam APBD itu positif yang mengatur “keuangan negara”, dan bahkan digelembungkan sehingga menimbulkan secara horizontal menimbulkan disharmonisasi kerugian negara (daerah) yang sangat besar, hukum, karena masing-masing hukum positif karena harus dibayarkan setiap bulan. Anggaran tersebut bertentangan satu dengan yang lain. Di yang sengaja digelembungkan itu pada akhirnya dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU dibagi-bagi dan masuk ke kantong masing-masing No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pejabat. Dengan demikian, legalitas APBD hanya Pidana Korupsi (PTPK) tidak satupun kaidah dijadikan sarana di dalam upaya memperkaya atau hukumnya mengatur masalah “keuangan negara”. menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara Padahal salah satu kepentingan hukum yang melawan hukum atau dengan menyalahgunakan harus dilindungi sehingga dijadikan bestandelen kewenangan, kesempatan atau sarana karena delict dalam UU ini adalah “merugikan keuangan jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan negara”. Maknawi dari “keuangan negara” hanya keuangan atau perekonomian negara. Tegasnya, ditempatkan dalam Penjelasan Umum dari UU korupsi dilakukan dengan cara berlindung di dimaksud. Pertanyaannya, “apakah Penjelasan Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 191

| 191

7/27/2012 3:11:30 PM

balik legalitas produk legislasi daerah. Pada akhirnya, prognosis korupsi sudah semakin meluas bahkan hampir menjurus pada “pembusukan” bangsa, sehingga ada yang memeberi predikat sebagai extra ordinary crime. Memang, situasi korupsi di Indonesia pada saat ini, sudah tidak bisa lagi dikategorikan sebagai situasi normal, melainkan sudah melebihi ambang batas toleransi (“abnormal”). Itulah sebabnya, dalam rangka pelaksanaan kebijakan (politik) kriminal dengan menggunakan sarana penal, pembentuk UU telah melakukan perubahan kebijakan (politik) hukum pidana, dari yang “normal” (biasa) menuju kepada yang luar biasa atau secara extra ordinary measures untuk memberantas korupsi. Perubahan kebijakan legislasi dimaksud ditempuh dengan menetapkan ajaran sifat melawan hukum (SMH) materiil, bahkan dalam fungsinya yang positif dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana korupsi, yaitu: “… meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”. Premis mayor di atas sama sekali tidak dideduksikan dalam Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung No. 1247/Pid/B/2009/ PN.Bdg. yang menyatakan, bahwa dengan tidak dipenuhinya kewajiban hukum dalam isi perjanjian oleh terdakwa, maka prosedur yang harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada terdakwa agar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, dan perbuatan terdakwa tersebut dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi. Dengan demikian, kerugian yang

192 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 192

timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah bukan perbuatan melawan hukum menurut hukum pidana. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan majelis hakim berpendapat, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa IS, sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, telah terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan termasuk ruang lingkup hukum perdata. Apakah yang menjadi rasionalisasi pertimbangan dan putusan hakim seperti demikian, di bawah ini terlebih dahulu dideskripsikan secara singkat kronologis perkara tindak pidana korupsi yang diperiksa dan diadili kemudian diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA No. 1247/Pid/B/ 2009/ PN.Bdg. sebagaimana dipaparkan dalam kasus posisi berikut ini. B.

Kasus Posisi

Pada tanggal 3 Desember 2004, Terdakwa IS selaku Direktur CV. UM dan PW yang menjabat Kepala Bagian di salah satu dinas Kota Bandung diangkat berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 821/Kep.849-Peg/2004 tanggal 24 Nopember 2004 (dilakukan penuntutan terhadap masing-masing secara terpisah), beserta ED yang menjabat Kasubag di salah satu Pemerintah Kota bandung telah ditetapkan selaku Pimpinan Pelaksanaan Kegiatan berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Bandung No. 821.2/Kep272-Peg/2004 tanggal 7 April 2004. Sekitar bulan Desember 2004 sampai dengan bulan Mei 2005, di Kantor Pemerintah Kota Bandung atau di suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kls. IA Bandung terdakwa ”melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:30 PM

yang dapat merugikan keuangan negara atau eks Toko Ria yang diterima FS selaku pemilik perekonomian negara. gedung eks Toko Ria. Perjanjian sebagaimana dimaksud di antaranya menyebutkan bahwa Modus operandi terdakwa melakukan terdakwa berkewajiban mengembalikan dana perbuatannya, pada intinya dikemukakan di talangan sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar bawah ini. lima ratus juta rupiah) dalam 2 (dua) tahap, yaitu Pada tanggal 10 Desember 2004, Terdakwa pada bulan April sebesar Rp.1.250.000.000,- (satu oleh ED selaku Pimpinan Pelaksana Kegiatan milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dan pada Koordinasi Penyelenggara Perekonomian, bulan September sebesar Rp.1.250.000.000,berdasarkan SK. No.002/Keg/KPP/XII/2004 (satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah). telah menetapkan terdakwa berdasarkan Sedangkan jangka waktu perjanjian sewa penunjukan langsung sebagai pelaksana relokasi menyewanya adalah selama 5 (lima) bulan dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh terhitung mulai 23 Januari 2005 sampai dengan titik di gedung eks Toko Ria di Bandung. 23 Mei 2005. Terdakwa ditunjuk sebagai pelaksana relokasi dan pengelolaan pedagang kaki lima di tujuh

Dalam rencana pelaksanaan relokasi dan pengelolaan pedagang kaki lima, semula titik di kota Bandung adalah berdasarkan menargetkan sebanyak 1930 (seribu sembilan rekomendasi dari Tim Penilai yang diketuai ratus tiga puluh) pedagang kali lima (PKL), oleh PW berdasarkan surat No. 003/TIM/PKL/ namun pada kenyataannya terdakwa sebagai XII/2004 tanggal 3 Desember 2004 dalam rangka pelaksana relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung titik itu, hanya mampu merealisasikan sebanyak dapat berjalan dengan nyaman dan lancar. 635 (enam ratus tiga puluh lima) PKL saja. Itupun Pada tanggal 14 Desember 2004 dibuat sebagian besar hanya mau mengisi tempat di eks surat perjanjian No. 511.23/500-Ek tertanggal Toko Ria di Jalan OI saja, sedangkan gedung eks 14 Desember 2004 untuk pelaksanaan relokasi Toko Ria di Jalan BS Bandung tidak berjalan dan pengelolaan pedagang kaki lima tujuh titik sebagaimana mestinya. tersebut, yang ditandatangani bersama oleh ED Penyediaan lapak atau kios bagi para selaku Ketua Pimpinan Pelaksana Kegiatan PKL ternyata dilakukan oleh terdakwa dengan Koordinasi Penyelenggara Perekonomian sebagai cara meminjam uang sebesar Rp.300.000.000,pihak I mewakili Pemerintah Kota Bandung dan (tiga ratus juta rupiah) kepada FS selaku CV. UM sebagai pihak kedua yang diwakili oleh pemilik gedung eks Toko Ria. Untuk kegiatan terdakwa IS selaku direktur, serta pihak ketiga operasional pengelolaan PKL antara lain untuk FS selaku pemilik gedung eks Toko Ria. Dalam gaji, pemeliharaan dan biaya partisi, terdakwa perjanjian tersebut telah diatur hak dan kewajiban mengajukan permohonan bantuan keuangan masing-masing pihak. kepada Pemerintah Kota Bandung sejumlah Setelah ditandatanganinya surat perjanjian Rp.750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta dimaksud, terdakwa menerima pembayaran rupiah) namun disetujui oleh Pemerintah Kota sejumlah Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima Bandung hanya sejumlah Rp.100.000.000,ratus juta rupiah) untuk pembayaran sewa gedung (seratus juta rupiah). Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 193

| 193

7/27/2012 3:11:30 PM

Pelaksanaan relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh titik di gedung eks Toko Ria, terdakwa dalam pengelolaan gedung beserta fasilitasnya melakukan penarikan uang sewa lapak atau kios yang disewakan kepada para PKL seharga Rp.250.000,- sampai Rp.300.000,- setiap bulannya. Dari hasil sewa lapak tersebut, uang yang berhasil dikumpulkan adalah: 1. Bulan Januari sekitar Rp.120.000.000,(seratus dua puluh juta rupiah). 2. Bulan Februari sekitar Rp.60.000.000,(enam puluh juta rupiah). 3. Bulan Maret sekitar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

Berdasarkan audit BPK telah terjadi penyimpangan dana dalam pelaksanaan kegiatan relokasi dan pengelolaan PKL di tujuh titik di gedung eks Toko Ria di Jalan OI dan Jalan BS Bandung. BPK menyatakan, bahwa Pemerintah Kota Bandung menderita kerugian sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/ PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung Kerugian Negara.

4. Bulan selanjutnya sampai dengan relokasi dan pengelolaan PKL tidak berjalan sekitar C. Dasar Hukum Putusan Hakim akhir tahun 2005, dan tidak pernah tercatat Dasar hukum yang digunakan oleh hakim serta sama sekali hasilnya tidak pernah adalah Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU dilaporkan ke Pemerintah Kota Bandung. No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Sedangkan hasil berupa uang yang tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 diperoleh terdakwa juga tidak pernah dilaporkan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemajuannya, dan tidak pernah disetorkan kepada jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang masingPemerintah Kota Bandung, karena digunakan masing berbunyi sebagai berikut: untuk kepentingan pribadi terdakwa sendiri, di 1. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999: antaranya terdakwa memberikan modal usaha catering sebesar Rp.40.000.000,- kepada IC yang “Setiap orang yang secara melawan hukum dituangkan dalam surat perjanjian kerja sama melakukan perbuatan memperkaya diri pada tanggal 1 Februari 2004. sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Selain itu, terdapat pula penyalahgunaan pemanfaatan ruang sisa bangunan yang dimanfaatkan terdakwa untuk usaha bilyard sekitar bulan Februari 2005 melalui perjanjian kerjasama antara terdakwa dengan KMW tanggal 28 Februari 2004. Dalam perjanjian tersebut terdakwa berhak atas 45% (empat puluh lima persen) dari laba bersih.

194 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 194

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipenjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:30 PM

2. Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999:

d.

Pencabutan seluruh atau sebagian hakhak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (Dalam putusan hakim tidak ditegaskan, ketentuan yang mana yang dimaksud dalam pasal ini, apakah ketentuan yang ada dalam huruf a, b, c, atau d atau keseluruhan dari Pasal 1 ayat (1) ini).

”Setiap orang yang dengan tujuan mementingkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00. 4. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP: (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak ”Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. perbuatan pidana: 3. Pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999: Ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta Selain pidana tambahan sebagaimana melakukan perbuatan sengaja memberi dimaksud dalam Kitab Undang-undang bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: Dalam perkara ini dakwaan JPU disusun a.

b.

c.

Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barangbarang tersebut.

dalam bentuk Surat Dakwaan subsidiaritas yang pada intinya sebagai berikut: Primer Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan negara/daerah mengalami kerugian sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan

Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak Pembayaran uang pengganti yang Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana jumlahnya sebanyak-banyaknya sama Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota dengan harta benda yang diperoleh Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/ PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang dari tindak pidana korupsi. dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung Penutupan seluruh atau sebagian Kerugian Negara. perusahaan untuk waktu paling lama Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur 1 (satu) tahun. dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 195

| 195

7/27/2012 3:11:30 PM

Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Subsider Bahwa perbuatan terdakwa mengakibatkan negara/Daerah mengalami kerugian sebesar Rp.2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam Laporan Hasil Perbantuan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Atau Daerah dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Dana Stimulan Untuk Relokasi 1930 PKL di Kota Bandung tahun anggaran 2004 No. S-1888/

Hukum terdakwa IS untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Surat Dakwaan JPU No. Reg. PDS: 02/Bdg/07/2009 tanggal 9 September 2009 sah menurut hukum; 3. Memerintahkan pemeriksaan perkara pidana No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. atas nama trdakwa IS untuk dilanjutkan; 4. Menangguhkan putusan akhir.

biaya

perkara

hingga

Sedangkan Nota Pembelaan yang diajukan oleh Terdakwa dan Tim Penasihat Hukum Terdakwa adalah: 1. Nota Pembelaan Terdakwa tertanggal 22 Januari 2010:

PW10/5/2009 tanggal 18 Maret 2009 yang dibuat dan ditandatangani oleh Tim Penghitung Kerugian Negara.

”Menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga, istri dan anak-anaknya serta organisasi Masyarakat APPKL serta HP2B karena terdakwa tidak bisa menjalankan Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan kewajibannya karena ditahan di Rutan diancam pidana dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) Kebon Waru Bandung. UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 2. Nota Pembelaan Tim Penasehat Hukum tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Terdakwa tertanggal 22 Januari 2010 pada Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. pokoknya memohon kepada majelis hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut: Berdasarkan surat dakwaan tersebut di atas, Tim Penasihat Hukum terdakwa telah mengajukan nota keberatan atau eksepsi tertanggal 5 Oktober 2009. Atas keberatan atau eksepsi tersebut di atas, Penuntut Umum telah mengajukan tanggapannya tertanggal 19 Oktober 2009. Majelis Hakim atas eksepsi Tim Penasihat Hukum terdakwa telah menjatuhkan putusan sela terhadap perkara No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. tertanggal 19 Oktober 2009 yang amarnya berbunyi sebagai berikut: 1. Menolak keberatan/eksepsi Tim Penasihat 196 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 196

a.

Menyatakan terdakwa IS tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsidair.

b.

Membebaskan terdakwa IS dari segala dakwaan sesuai Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya melepaskan dari segala tuntutan hukum sesuai dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:30 PM

c.

d.

Memulihkan segala hak terdakwa IS dalam kemampuan dan kedudukan, nama baik serta harkat dan martabat.

pertimbangan berikut ini: a.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas majelis berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa IS, sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, telah terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana melainkan termasuk ruang lingkup hukum perdata;

b.

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan primer tersebut bukan merupakan tindak pidana maka terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian, dakwaan subsider tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan.

c.

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka nama baik terdakwa harus diberikan rehabilitasi dengan memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

d.

Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim terjadi perbedaaan pendapat (dissenting opinion) yang diajukan oleh salah satu hakim yakni Hj. Nur Aslam Bustaman, S.H, M.H., yang pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatannya yang dikualifikasikan memenuhi unsurunsur tindak pidana korupsi serta patut dijatuhi pidana yang setimpal

Membebaskan biaya perkara pada negara.

D. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Garis-garis besar pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim untuk mendukung amar putusannya adalah sebagai berikut: 1. Pertimbangan Hukum Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum bersifat subsidiaritas, maka terlebih dahulu majelis akan mempertimbangkan Dakwaan Primair sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Unsur setiap orang; a.

Unsur melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b.

Unsur dengan turut serta/bersamasama.



Dalam putusan hakim telah dipertimbangkan pembuktian unsurunsur tindak pidana di atas, dan pada akhirnya berkesimpulan pada

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 197

| 197

7/27/2012 3:11:30 PM

e.

demi mempertanggungjawabkan atas, yang pada pokoknya menyatakan, bahwa perbuatannya. terdakwa IS terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana sebagaimana Menimbang, bahwa walaupun terjadi dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsidair perbedaaan pendapat (dissenting akan tetapi bukan merupakan perbuatan pidana, opinion) dalam musyawarah majelis sehingga terdakwa IS dilepaskan dari segala hakim, pada akhirnya melalui tuntutan hukum, maka pokok permasalannya musyawarah dan mufakat majelis dapat dirumuskan sebagai berikut: hakim menyetujui amar putusan sebagaimana tersebut di bawah ini. Apakah terdakwa dalam melakukan perbuatannya terdapat unsur ”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara?

2. Amar Putusan: a.

b.

c.

d.

II.

Menyatakan terdakwa IS terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud di dalam dakwaan primer dan subsider akan tetapi bukan merupakan perbuatan pidana.

Studi Pustaka

Bersesuaian dengan pokok permasalahan yang diteliti dalam tulisan ini, maka studi pustaka Menyatakan memulihkan terdakwa yang dielaborasi adalah hukum pidana materiil. dalam kemampuan dan kedudukan, Hukum inilah yang diaplikasikan sebagai nama baik serta harkat dan martabat. landasan normatif oleh Majelis Hakim untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi yang Memerintahkan agar terdakwa segera dilakukan oleh terdakwa. Hukum pidana materiil dikeluarkan dari Rumah Tahanan oleh Sudarto dimaknawikan sebagai berikut: Negara. Menetapkan barang bukti berupa “barang-barang bukti yang tercantum dalam tuntutan pidana dari Penuntut Umum” (barang bukti 1 s/d 85 terlampir dalam putusan hakim) dipergunakan dalam perkara lain.

f.

Membebankan biaya perkara kepada negara.

RUMUSAN MASALAH Berdasarkan amar putusan hakim di

jurnal agustus 2012-arnis.indd 198

A.

Menyatakan terdakwa IS dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

e.

198 |

III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS

“Hukum pidana memuat dua hal, ialah syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidana. Apabila hal yang pertama itu diperinci lebih lanjut, maka dapat dikatakan bahwa dalam hukum pidana ada tiga pokok persoalan: 1. 2. 3.

tentang perbuatan yang dilarang, tentang orang yang melanggar larangan itu, tentang pidana yang diancamkan kepada si pelanggar itu”. (Sudarto, 1981: 158).

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:30 PM

Ekstensi hukum pidana materiil yang dikemukakan Sudarto tersebut yang dikaji hanya menyangkut ketiga hal yang telah disebutkan di atas tadi. Ekstensi dari hukum pidana demikian itu, sesuai dengan pendapat Barda Nawawi Arief, sebagai berikut:

terdakwa diputus lepas.

Secara teoritikal, ketiga permasalahan pokok dari Hukum Pidana Materiil dimaksud dapat dibuatkan rumusnya sebagai berikut: Pidana (P) = tindak pidana (TP) + pertanggungjawaban pidana. Terkait dengan TP, ”suatu perbuatan baru “Dilihat dari sudut dogmatis-normatif, dapat dikatakan sebagai TP jika perbuatan tersebut memang materi/substansi atau masalah pokok berrsifat melawan hukum, dan suatu perbuatan dari hukum pidana (maksudnya hukum pidana tidak lagi merupakan TP jika terdapat alasan materiil) terletak pada masalah mengenai: pembenar”. Terkait dengan PJP, ”seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas 1. Perbuatan apa yang sepatutnya perbuatannya jika dalam diri orang itu terdapat dipidana; kesalahan, dan seseorang tidak lagi dapat dimintai 2. Syarat apa yang seharusnya dipenuhi pertanggungjawaban pidana jika terdapat alasan untuk mempersalahkan atau pemaaf”. Dengan demikian, TP terkait dengan mempertanggungjawabkan seseorang SMH dan alasan pembenar. Sedangkan PJP yang melakukan perbuatan itu; terkait dengan kesalahan dan alasan pemaaf (fait 3. Sanksi (pidana) apa yang sepatutnya d’ excuse). dikenakan kepada orang itu. Ketiga materi/masalah pokok Kedua alasan tersebut dapat dijadikan itu biasa disebut dengan istilah: dasar atau alasan untuk menghapuskan atau 1. masalah ”tindak pidana”; 2. meniadakan pidana, yang dikenal dengan masalah ”kesalahan”; dan 3. masalah istilah strafuitslutingsgronden. Oleh karena itu ”pidana”. dikatakan, bahwa: (Barda Nawawi Arief, 1998: 16). “… alasan pembenar dan alasan pemaaf Sehubungan dengan masalah-masalah cocok dengan pemisahan antara sifat (unsur-unsur) pokok yang bersifat substansial melawan hukum dan kesalahan sebagai dari hukum pidana materiil (ius poenale) unsur yang dianggap harus ada dalam tiapsebagaimana dikemukakan di atas, khususnya tiap perbuatan pidana. Apabila dalam suatu yang perlu diferifikasi adalah: ’apakah di dalam keadaan tertentu satu unsurnya hilang, Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kelas maka sifat dapat dipidananya perbuatan IA No. 1247/Pid/B/2009/PN.Bdg. unsur yang itu juga hilang. Penghapusan pidana menyangkut tentang: perbuatan yang dilarang adalah akibat penghapusan sifat melawan (tindak pidana) yang berkaitan erat dengan sifat hukum dan/atau penghapusan kesalahan”. melawan hukum (SMH), sudah diaplikasikan (Schaffmeister et.al., 2007: 143). dengan benar menurut sistem hukum pidana Alasan pembenar yang merupakan alasan Indonesia, mengingat di dalam putusan tersebut penghapus perbuatan yang ber-SMH, dan perbuatan terdakwa dinyatakan terbukti, tetapi alasan pemaaf sebagai penghapus K. Di dalam bukan merupakan perbuatan pidana, sehingga

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 199

| 199

7/27/2012 3:11:31 PM

aplikasinya, meminjam istilah Roeslan Saleh, dalam bukunya Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, pembuktiannya harus dilakukan sendiri-sendiri. Istilah Moeljatno dalam bukunya ”Azas-azas Hukum Pidana” tidak boleh ”dicampuradukan”.

harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis: “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” (Geen straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe)”. (Moeljatno, 1983: 57).

Moeljatno mengatakan: “... yang penting dalam hukum pidana bukan saja hal memidana si terdakwa, akan tetapi sebelum sampai kepada itu terlebih dahulu harus ditetapkan, apakah terdakwa benar melakukan perbuatan pidana atau tidak. Dan aspek atau segi dari hukum pidana itu, yaitu menentukan apakah perbuatan seseorang merupakan perbuatan pidana atau bukan, dan kemudian menentukan apakah orang yang melakukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan (dipersalahkan) karena perbuatan tersebut atau tidak, hal ini jangan dicampuradukkan; sebab masingmasing ini sifatnya berlainan. Adanya perbuatan pidana didasarkan atas asas: Tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan sebagai demikian oleh suatu ketentuan UU; dalam bahasa Latin: Nullum delictum, nula poena sine praevia lege. Sedangkan pertanggungjawaban dalam hukum pidana berdasarkan atas asas: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Yang pertama untuk sebagian besar adanya dalam alam lahir (alam Sein) sedangkan yang kedua sesudah ada perbuatan pidana, adanya dalam batin, alam Sollen” (Kursif, Pen.). (Moeljatno, 1983: 9-10)

Sudarto juga, mengatakan: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam UU dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut”. (Kursif, Pen.). (Sudarto, 1987/1988: 85).

Pada bagian lain lebih ditegaskan: “... untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu 200 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 200

Hal selanjutnya yang perlu dideskripsikan secara teoritikal terkait dengan pokok permasalahan yang pertama dari penelitian ini adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum (SMH). Di dalam kepustakaan hukum pidana, SMH merupakan salah satu pengertian dasar yang harus dicermati baik oleh para akademisi maupun oleh para praktisi hukum, terutama dan yang utama oleh pembentuk UU. Pembentuk UU harus benar-benar mengerti makna dan hakikat dari melawan hukum, mengingat perbuatan

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:31 PM

yang nantinya diformulasikan sebagai perbuatan kelompok pendapat. Kelompok pertama adalah melawan hukum (PMH) akan ditetapkan sebagai paham positif, seperti pendapat Simon yang suatu TP, karena, wujud dari TP sesungguhnya mengartikan “wederrechtelijk” sebagai ”in strijd adalah PMH. met het recht” (bertentangan dengan hukum). Noyon mengatakan sebagai “met krenking van Oleh karena itu, sangat perlu dipahami dan eens anders recht” (dengan melanggar hak orang disadari, ‘bagaimana mewujudkan suatu perbuatan lain). Kelompok kedua adalah paham negatif, yang dikualifikasikan sebagai PMH’? Apakah seperti pendapat Hoge Raad yang mengartikan perbuatan dimaksud harus bersifat anti sosial “wederrechtelijk” itu sebagai “niet steunend karena dianggap bertentangan dengan normaop het recht” (tidak berdasarkan hukum), atau norma sosial, dan akan dipandang merugikan sebagai “zonder bevoegheid” (tanpa hak). masyarakat (negara), atau karena perbuatan itu dirasakan dan dinilai tidak adil, bersifat amoral, Menurut van Hamel: dan adharma karena bertentangan dengan ajaran- “Sebenarnya terdapat cukup alasan hanya ajaran agama, sehingga siapapun melakukan memberikan satu pengertian pada perkataan perbuatan-perbuatan demikian akan mendapat “wederrechtelijk” yang dapat berlaku celaan dari masyarakat. Jadi intinya, suatu umum dalam KUHP, kecuali pengertian perbuatan adalah SMH jika perbuatan tersebut yang ada di dalam Pasal 522 KUHP, oleh haruslah tercela. karena perkataan “wederrechtelijk” dalam Pembicaraan di atas, sesungguhnya sudah memasuki ranah disiplin ilmu di luar hukum pidana, yakni kriminologi. Ilmu inilah yang sangat “concern” mengkaji masalah perbuatanperbuatan yang mempunyai sifat “negatif” seperti dikatakan di atas, yang pada hakikatnya tidak pantas dilakukan, karena secara kriminologis perbuatan-perbuatan seperti itu sesungguhnya merupakan suatu kejahatan. Sedangkan hukum pidana, secara yuridikal tugasnya hanyalah sekadar memberi “bingkai” hukum terhadap perbuatan-perbuatan demikian, sehingga disebut TP dan mengancamnya dengan sanksi berupa pidana tertentu bagi “barangsiapa” atau “setiap orang” yang melakukan perbuatan tersebut. Apakah sesungguhnya dimaksud dengan “melawan hukum” “wederrechtelijk”? Di dalam kepustakaan hukum pidana, istilah ini oleh para ahli hukum pidana telah diberi arti berbeda-beda, sehingga van Hamel telah membuat dua macam

pasal tersebut hanya mempunyai arti sebagai “zonder geldige reden” (tanpa alasan yang sah). Jadi, penggunaan kata “wederrechtelijk” itu sudah tepat dan mempunyai arti positif, bahkan lebih baik daripada penggunaan kata “onrechtmatig”, karena perkataan tersebut hanya cocok digunakan sebagai “epiTahuneton” atau kata keterangan bagi tindakan-tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman, di samping ditujukan untuk mengancam atau menyerang kepentingan-kepentingan hukum, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Oleh karena itu, penggunaan istilah “wederrechtelijk” telah mempunyai dasar yang kuat, baik menurut tata bahasa maupun secara logis. Selanjutnya, memang benar terhadap beberapa kejahatan tertentu, tindakan seseorang itu bersifat ”in strijd met het recht” (bertentangan dengan hukum)

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 201

| 201

7/27/2012 3:11:31 PM

yang mempunyai arti yang sama dengan “met krenking van eens anders recht” (dengan melanggar hak orang lain), akan tetapi tidak ada alasan untuk mengartikan “wederrechtelijk” sedemikian sempit”. Simon menolak pendapat van Hamel yang mengatakan “wederrechtelijk” itu mempunyai arti positif. Sebagai alasan, dikemukakan istilah “wederrechtelijk” dalam Pasal 378 KUHP yang bermakna berbeda-beda, dan akan memberikan hasil yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, istilah “wederrechtelijk” tidak hanya berarti “bertentangan dengan hukum’ saja, tetapi juga “bertentangan dengan hak seseorang”. Sedangkan Pompe mengatakan: “Adalah sulit untuk memberikan jawaban atas pertanyaan apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “wederrechtelijk”, karena masih terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu. Misalnya, kapan “wederrechtelijk” itu diartikan sebagai “bertentangan dengan peraturanperaturan hukum”, dan apakah perkataan “recht” itu sendiri harus diartikan sebagai “gesgreven recht” (hukum tertulis) saja, ataukah termasuk juga dalam “ongesgreven recht”. “Wederrechtelijk” itu berarti “bertentangan dengan hukum” yang mempunyai pengertian lebih luas dari pada sekedar “bertentangan dengan UU”. Termasuk juga ke dalam pengertiannya, bukan hanya peraturan-peraturan menurut UU melainkan juga peraturan-peraturan yang tidak tertulis”. Demikian pula menurut van Hattum: “Ditinjau dari sejarah pembentukan UU tidak diperoleh petunjuk lain, bahwa pengetian “wederrechtelijk” itu harus

202 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 202

dibatasi hanya sebagai “in strijd met het gesgreven recht” atau “bertentangan dengan hukum yang tertulis” saja. Misalnya arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara perdata antara Lindenbaum dan Cohen, telah merumuskan pengertian “onrechtmatig” yang diatur dalam Pasal 1365 BW dengan rumusan yang baru sama sekali, yaitu bahwa “onrecht” itu tidak lagi hanya berarti “wat in breuik maakt op eens anders recht of in strijd is met des daders rechsplicht” (apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku), melainkan juga “wat indruist betzij tegen de goede zeden, betzij tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt t.a.v. eens anders persoon of goed” (apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat, yakni yang berkenaan dengan perhatian yang harus diberikan kepada orang lain ataupun kepada harta benda orang lain)”. (Disarikan dari Lamintang, 1984: 333-337) Sehubungan hal di atas, menurut Munir Fuady (2002: 6), sejak tahun 1912 di negeri Belanda, demikian juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum (maksudnya dalam pengertian hukum perdata, pen.) telah diartikan secara luas, yakni mencakup salah satu dari perbuatanperbuatan sebagai berikut: 1.

Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain.

2.

Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

3.

Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:31 PM

4.

Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

Pada tahun 1824 pada mulanya memang digunakan istilah “wederrechtelijk” dalam redaksi Pasal 1401, namun karena di negeri Belanda terus terjadi perdebatan yang berkepanjangan Jadi secara singkat dapat dikatakan, mengenai pengertian “wederrechtelijk” dan pada pengertian “onrechmatig” itu bukan hanya saat dibahasnya perumusan pasal tadi perbedaan meliputi apa saja yang bertentangan dengan pendapat belum juga berakhir, maka akhirnya UU, melainkan juga bertentangan dengan digunakanlah istilah “onrechmatig”. ‘kesusilaan’ atau ‘kepatutan yang baik’ (de goede zeden of betamelijkheid). Ini berarti pengertian Berdasarkan beberapa pendapat di atas, “wederrechtelijk”, menurut Pompe dan van dapat kiranya diidentifikasi, bahwa pengertian Hattum harus pula meliputi pengertian terakhir perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) ini. Ini berarti pula, dalam perkembangan berkisar pada pengertian: pengertian “melawan hukum” sudah menyatu 1. Bertentangan dengan UU (instrijd antara pengertian “melawan hukum” dalam arti met de wet). “wederrechtelijk” dalam hukum pidana, maupun dalam arti “onrechmatig” dalam hukum perdata. 2. Tidak berdasarkan hak (niet steunend Namun hal ini tidak menjadi persoalan, karena op het recht). sesungguhnya kedua istilah tersebut walaupun 3. Tanpa hak (zonder bevoegheid). memiliki nama berbeda, akan tetapi memiliki satu makna. Heijder mengatakan kedua istilah itu 4. Tanpa alasan yang sah (zonder tidak menyebabkan perbedaan arti, baik menurut geldige reden). sejarah perundang-undangan maupun secara 5. Melanggar hak orang lain (met sistematis (Sapardjaja, 2002: 90). krenking van eens anders recht). Menurut van Bemmelen, (disitasi dari 6. Bertentangan dengan hukum (instrijd Lamintang, 1984: 337), mengatakan: met het recht). “rumusan Hoge Raad mengenai “onrechmatigheid” bukan hanya penting 7. Bertentangan dengan hukum/ untuk hukum perdata saja, melainkan peraturan-peraturan tidak tertulis juga untuk hukum pidana, yakni untuk (ongesgreven recht) dalam hal ini menentukan pengertian perkataan bertentangan dengan: “wederrechtelik”. Dikatakan juga 1. kesusilaan atau (Sapardjaja, 2002: 33) “Tidak ada bedanya arti melawan hukum perdata, seperti 2. kepatutan yang baik (de goede termuat dalam Pasal 1401 BW (1365 KUH zeden of betamelijkheid). Perdata). Perkembangan dalam bidang Di dalam Konsep KUHP “Baru” (R-KUHP hukum perdata sangat besar pengaruhnya 2005) secara eksplisit tidak memberikan bagi hukum pidana”. pengertian terhadap istilah “melawan hukum”. Ditinjau dari sejarah pembentukan BW. Namun demikian, untuk menyatakan suatu Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 203

| 203

7/27/2012 3:11:31 PM

perbuatan TP, selain dikatakan perbuatan tersebut dilarang dan diancam oleh peraturan perundangundangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (vide Pasal 11 ayat (2) R-KUHP 2007). Jadi, untuk menyatakan suatu perbuatan adalah TP digunakan istilah “melawan hukum” atau istilah “bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat”. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan yang “bertentangan dengan hukum” adalah “perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan”. Perlu diketahui, digunakannya istilah “bertentangan dengan hukum” oleh Tim penyusun rancangan KUHP, adalah selain mengikuti pendapat dari Moeljatno, dan Sudarto, juga dari Roeslan Saleh yang menyatakan: “saya lebih condong pada pendapat bahwa bersifat melawan hukum harus diartikan bertentangan dengan hukum”.

berpusat pada individu-individu (hak subyektif orang lain dan hak sendiri menunjuk kepada individu) melainkan pada masyarakat yang di dalamnya sudah tercakup individu-individu. Di samping itu, pendapat “bersifat melawan hukum” adalah “bertentangan dengan hukum” ini lebih sesuai dengan sifat dari hukum kita, yaitu tidak individualistis-liberalistis, melainkan lebih bersifat collectivistis”. (Saleh, 1983: 66-67). Bertitik tolak pada pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa TP pada hakikatnya adalah suatu perbuatan yang selalu ber-SMH, sehingga disebut ‘PMH’. Oleh karena itu, membicarakan ‘PMH’ pada hakikinya membicarakan masalah TP. Jadi, dicantumkannya unsur melawan hukum dalam suatu rumusan delik, pada hakikatnya untuk menyatakan, bahwa perbuatan itu secara yuridis adalah perbuatan yang dapat dipidana.

Secara etimologikal SMH di samping maknanya “bertentangan dengan hukum”, juga merupakan unsur mutlak (esensial) dari TP yang berarti “tanpa adanya SMH dari sesuatu perbuatan, maka tidak ada pula TP (perbuatan pidana).

Persoalannya: ‘apakah suatu perbuatan karena hanya telah mencocoki rumusan delik yang ada di dalam UU, lalu perbuatan itu sudah dapat dinyatakan sebagai TP’? Sesungguhnya, suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai TP, apabila perbuatan tersebut di samping telah Roeslan Saleh mengatakan: memenuhi unsur formal juga telah memenuhi “Perbuatan pidana itu tidak boleh dilakukan, unsur materiil. Dengan perkataan lain perbuatan karena bertentangan dengan atau akan dimaksud, pertama: harus telah mecocoki menghambat tercapainya tata pergaulan rumusan delik yang ditetapkan dalam UU, dan di dalam masyarakat yang dicita-citakan. kedua: perbuatan itu oleh masyarakat dinyatakan Penafsiran seperti ini lebih luas daripada sebagai perbuatan tercela. “bertentangan dengan hak subyektif Jadi, perlu dilakukan kajian lebih lanjut orang lain” ataupun “tanpa hak sendiri”. mengenai: “apakah perbuatan tersebut oleh Penafsiran “bersifat melawan hukum” masyarakat benar-benar dirasakan sebagai suatu adalah “bertentangan dengan hukum”, perbuatan tercela, sehingga tidak patut dan tidak batas lingkungannya atau wilayahnya boleh dilakukan. Jika jawabannya “perbuatan adalah lebih luas daripada penafsirantersebut adalah tidak tercela”, maka sekalipun penafsiran yang lain, karena tidak hanya 204 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 204

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:31 PM

perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik yang ditetapkan dalam UU, perbuatan itu bukanlah merupakan TP. Itulah sebabnya Moeljatno mengatakan:

1. 2. 3.

Kelakuan dan akibat (= perbuatan). Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Keadaaan tambahan yang memberatkan pidana. Unsur melawan hukum yang obyektif. Unsur melawan hukum yang subyektif”.

4. “Syarat mutlak untuk adanya perbuatan pidana, di samping mencocoki syarat-syarat 5. formil yaitu perumusan UU, juga harus mencocoki syarat-syarat materiil yaitu sifat melawan hukum, bahwa perbuatan tersebut Khusus mengenai unsur melawan hukum, harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat pada intinya Moeljatno mengatakan: sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan”. (Moeljatno, 1955: “Biasanya dengan adanya perbuatan 16). tertentu sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan Ini artinya, suatu perbuatan adalah wajar. Sifat yang demikian ini, ialah sifat perbuatan pidana, apabila perbuatan itu bersifat melawan hukumnya perbuatan, tidak melawan hukum atau bertentangan dengan perlu dirumuskan lagi sebagai elemen hukum. Roeslan Saleh (1983: 49) mengatakan: atau unsur tersendiri. Contohnya dalam merumuskan pemberontakan yang menurut “Sifat melawan hukum ini adalah unsur Pasal 108 antara lain adalah melawan mutlak dari perbuatan pidana, yang berarti pemerintah dengan senjata, tidak perlu bahwa tanpa adanya sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, maka tidak pula ada perbuatan pidana”. Demikian pula Curzon (1979: 10), mengemukakan: “No actus reus, no crime. Proof of actus reus is essential; if Tahunis is imposible, Tahunen no crime has been commited by Tahune accused person”. Berdasarkan penjelasan Moeljatno di atas, dikatakan lebih lanjut: “Unsur-unsur “perbuatan pidana” tidak termasuk di dalamnya unsur pertanggungjawaban pidana yang terkait dengan kesalahan, tetapi terdiri dari unsurunsur lahir yaitu suatu kejadian dalam alam lahir. Unsur-unsur perbuatan pidana adalah:

diadakan unsur tersendiri yaitu kata-kata yang menunjukkan bahwa perbuatan adalah bertentangan dengan hukum. Tanpa ditambah kata-kata lagi perbuatan tersebut sudah pantang dilakukan. Pasal 277 ayat (1) KUHP menentukan, bahwa dengan salah satu perbuatan sengaja membikin gelap asal-usul orang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut sudah jelas, tidak perlu ditambah apa-apa lagi. Dalam Pasal 285 tentang perkosaan, ditentukan bahwa memaksa seseorang wanita dengan kekerasan untuk bersetubuh di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dari rumusan tersebut telah ternyata sifat

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 205

| 205

7/27/2012 3:11:31 PM

melawan hukumnya perbuatan. Akan tetapi, ada kalanya kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsur-unsur di atas. Perlu ditambah dengan kata-kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan. Pasal 167 KUHP melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum. Rumusan memaksa masuk ke dalam rumah yang dipakai orang lain itu saja dipandang belum cukup untuk menyatakan kepantangannya perbuatan. Harus ditambah dengan unsur: secara melawan hukum. Begitu pula dalam Pasal 335 KUHP di mana rumusan: memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan cara-cara yang tertentu dianggap belum cukup untuk menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan, sehingga perlu diadakan elemen melawan hukum tersendiri yaitu dengan kata-kata secara melawan hukum, memaksa dan seterusnya. Demikian juga halnya dalam Pasal 406 KUHP”. Lebih lanjut dikatakan: ”Unsur melawan hukum dalam rumusan delik yang ternyata pada contoh-contoh di atas, menunjuk kepada keadaan lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan. Misalnya dalam Pasal 167, bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena bukan pejabat kepolisian atau kejaksaan. Dalam Pasal 335, bahwa terdakwa tidak ada wewenang untuk berbuat begitu, sebab terdakwa tidak utang kepadanya serta tidak melakukan perbuatan apa-apa yang mengakibatkan pemaksaan

206 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 206

dilakukan. Dalam Pasal 406, mengenai menghancurkan atau merusak barang, sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata dari hal bahwa barang bukan miliknya dan tak dapat izin dari pemiliknya untuk berbuat demikian. Di samping itu, ada kalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa. Misalnya Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tapi digantungkan pada niat orang yang mengambil barang tadi. Kalau niat hatinya baik, misalnya barang diambil untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak dilarang karena bukan pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya itu jelek, yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian. Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung dari bagaimana sikap batinnya terdakwa. Jadi merupakan unsur yang subyektif. Dalam teori unsur melawan hukum demikian dinamakan “subjektief Onrechtselemen” yaitu unsur melawan hukum yang subyektif”. Sebelum menutup uraiannya tentang unsurunsur atau elemen-elemen perbuatan pidana, Moeljatno kembali menekankan lagi dengan mengatakan sebagai berikut: “Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:31 PM

bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata di atas, perbuatan itu sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri”. Lebih lanjut ditekankan lagi: “Meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin, yaitu sifat melawan hukum yang subyektif”. Moeljatno (1983: 62-63) Mengkaji masalah SMH, perlu pula dikemukakan, bahan di dalam pustaka hukum pidana berkembang dua ajaran SMH, yakni ajaran SMH formal dan ajaran SMH materiil. Kedua ajaran dimaksud berturut-turut dideskripsikan di bawah ini. Ajaran SMH formal pada intinya mengajarkan, bahwa suatu perbuatan adalah TP apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang ditetapkan dalam rumusan delik yang disebutkan dalam UU. Singkatnya, melawan hukum berarti bertentangan dengan UU. Bila demikian, maka tidak perlu lagi meyelidiki apakah perbuatan itu melawan hukum atau tidak. Jika ada alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond), maka alasan tersebut harus juga ditetapkan dan disebutkan secara tegas dalam UU. Simons, sebagai penganut fanatik ajaran SMH formal mengatakan: “Untuk dapat dipidana, suatu perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam UU. Jika sudah demikian, tidak perlu lagi untuk menyelidiki, apakah itu melawan hukum atau tidak”. (Disitasi dari Roeslan Saleh, 1983: 54).

Namun permasalahannya adalah, belum tentu semua perbuatan yang memenuhi semua rumusan delik yang ada di dalam perumusan UU itu ber-SMH. Mengenai masalah ini Simons mengatakan: “Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar dalam hukum positif sendiri”. (Disitasi dari Adji, 1984: 47). Sehubungan dengan pendapatnya tersebut, Simons (disitasi dari Lamintang, 1984: 347) menolak paham materiil dari SMH dikatakan bahwa: “Dunia peradilan kita lebih baik menganut paham “formiele wederrechtelijkheid” daripada paham “materiele wederrechtelijkheid” yang dapat menggoyahkan asas dasar dari hukum positif kita. Menerima paham “materiele wederrechtelijkheid” itu akan menempatkan putusan dari pembentuk UU yang telah dituangkan di dalam hukum positif menjadi berada di bawah “persoonlijke rechtsovertuiging” atau menjadi berada di bawah keyakinan hukum yang bersifat pribadi dari hakim, oleh karena permasalahan mengenai: tujuan bagaimana yang harus dipandang sebagaimana tujuan yang semestinya, sarana mana yang harus digunakan sebagai sarana yang seharusnya untuk mencapai tujuan tersebut, norma kebudayaan mana yang harus diperhatikan dan sampai di mana kebudayaan itu tersangkut, apakah hal-hal tersebut memang benar telah dianuti oleh pembentuk UU.

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 207

| 207

7/27/2012 3:11:31 PM

Semua permasalahan tersebut jawabannya Menurut Barda Nawawi Arief (2005: 27), akan menjadi tergantung pada pandangan- jika yang dilihat/dinilai adalah sumber hukumnya, pandangan yang bersifat pribadi dari SMH Formal adalah: hakim, karena pemberian jawaban yang “Identik dengan melawan/bertentangan didasarkan pada peraturan-peraturan yang dengan UU atau kepentingan hukum tidak tertulis itu akan menggoyahkan sama (perbuatan maupun akibat) yang disebut sekali asas-asas dasar dari hukum positif”. dalam UU (hukum tertulis atau sumber hukum formal). Jadi “hukum” diartikan Mengenai ajaran SMH formal ini L.C. sama dengan UU (“wet”). Oleh karena itu, Hofman mengatakan: SMH Formal identik dengan “onwetmatige “Melawan hukum menurut pandangan ini daad”. adalah bertentangan dengan UU. Suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan Sumber hukum atau dasar hukum yang UU, walaupun juga dapat bertentangan digunakan untuk menetapkan dasar patut dengan moral atau bertentangan dengan dipidananya suatu perbuatan, adalah UU (sumber sesuatu yang menurut pergaulan masyarakat hukum tertulis). Ini berarti, ajaran SMH formal adalah tidak patut, tidak merupakan sangat terikat dan berorientasi pada asas legalitas perbuatan melawan hukum”. ( D i s i t a s i (Pasal 1 ayat (1) KUHP) yang bertolak dari paham dari Sapardjaja, 2002: 36). “legisme” dan nilai dasar “kepastian hukum”. Dengan demikian, secara formal suatu perbuatan Sehubungan dengan ajaran ini, perlu kiranya adalah melawan hukum, bila perbuatan si pelaku dikemukakan pendapat dari beberapa penulis telah memenuhi atau mencocoki rumusan delik Belanda, yakni Schaffmeister, Nico Keizer dan seperti yang ditetapkan di dalam UU. Oleh karena E. PH. Sutorius, (1995: 40) dikatakan: itu hilangnya SMH dari suatu perbuatan baru ada, “Sifat melawan hukum formal berarti: jika ditentukan demikian di dalam UU. telah dipenuhi semua bagian yang tertulis dari rumusan delik (semua syarat tertulis Sedangkan ajaran SMH materiil pada intinya untuk dapat dipidana). Namun demikian, mengajarkan, bahwa perbuatan ber-SMH bukan dipenuhinya sifat melawan hukum formal saja bertentangan dengan UU, tetapi juga harus (dipenuhinya rumusan delik) tidak begitu bertentangan dengan asas-asas hukum umum saja dapat disimpulkan dari dipenuhinya dari hukum yang tidak tertulis. Jadi, ukurannya bunyi rumusan delik. Kerapkali diperlukan bukan didasarkan atas ada atau tidak adanya penafsiran terhadap bagian-bagian dari ketentuan dalam suatu perundang-undangan, rumusan delik itu dengan mengingat norma akan tetapi ditinjau dari nilai yang hidup di dalam sosial atau kepentingan hukum yang hendak masyarakat. Apabila masyarakat menganggap dilindungi oleh pembuat UU dengan rumusan perbuatan tersebut sebagai perbuatan tercela, delik itu. Dengan demikian, penafsiran maka perbuatan tersebut dianggap sebagai PMH. sifat melawan hukum formal mendekati Moeljatno (1955: 18) dengan mensitasi pendapat sifat melawan hukum materiil. Pada delik Vost, sebagai penganut pandangan materiil, materiil, pengertian sifat melawan hukum memformulasi: “perbuatan yang bersifat melawan formal dan materiil menyatu”. hukum adalah perbuatan yang oleh masyarakat 208 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 208

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:31 PM

tidak boleh dilakukan”. Lebih lanjut dikatakan: 2. “… ajaran yang materiil berpendapat, bahwa belum tentu suatu perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu adalah bersifat melawan hukum, sebab perbuatan itu selain mencocoki perumusan delik juga perbuatan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan”. Sedangkan, Komariah Emong Sapardjaja, (2002: 25) berpendapat: “Di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar UU. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis”.

Pandangan kedua, mengaitkan atau melihat makna “materiel” dari sudut sumber hukum. Jadi yang dilihat atau yang dinilai secara materiel adalah sumber hukumnya. Menurut pandangan kedua ini, makna atau pengertian SMH Materiel identik dengan melawan atau bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/living law), bertentangan dengan asas-asas kepatutan atau nilainilai (dan norma) kehidupan sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi singkatnya, “hukum” tidak dimaknai secara formal sebagai “wet”, tetapi dimaknai secara materiel sebagai “recht”. Oleh karena itu sifat melawan hokum materiel identik dengan “onrechtmatige daad”.

Selanjutnya Barda Nawawi Arief menjelaskan: 1. “Kriteria materiel dalam pandangan pertama identik atau bersinggungan erat dengan pandangan kedua, hanya saja menurut: Sehubungan dengan hal di atas, ternyata dalam kepustakaan hukum pidana terdapat a. Pandangan pertama, kriteria materiel pula perbedaan pendapat dalam memahami itu digunakan: konsepsi SMH materiil. Barangkali hal ini tidak dapat dilepaskan dari pengertian atau pendapat 1. untuk menilai atau memberikan atau pemahaman atau pemikiran seseorang, penafsiran materiel terhadap mengenai apa yang dimaksud dengan SMH “perbuatan” atau “kepentingan materiil itu. Menurut Barda Nawawi Arief hukum” yang hendak dilindungi di dalam kepustakaan hukum pidana dapat oleh UU dalam perumusan diidentifikasikan atau dikategorisasikan 2 (dua) delik tertentu; dan pandangan mengenai makna materiel dari ajaran 2. untuk menghapuskan/ sifat melawan hukum (SMH) Materiel, yaitu: meniadakan sifat melawan 1. Pandangan pertama mengaitkan atau hukum formal yang telah melihat makna “materiel” dari sifat/hakikat ditetapkan dalam UU; Jadi perbuatan terlarang dalam UU (perumusan SMH Materiil hanya digunakan delik tertentu). Jadi yang dilihat/dinilai dalam fungsinya yang “negatif”, secara materiel adalah “perbuatan”-nya. sebagai alasan pembenar. Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 209

| 209

7/27/2012 3:11:32 PM

b.

Pandangan kedua:

perbuatan (kasus/kondisi) tertentu. (Barda Nawawi Arief (2004: 2728)).

kriteria materiel tidak hanya dapat digunakan untuk menilai perbuatan yang telah ditetapkan/ Mengenai ajaran SMH materiil dalam dirumuskan sebagai delik fungsinya yang negatif Moeljatno mengatakan: dalam UU, tetapi juga terhadap “Kiranya perlu ditegaskan, peraturanperbuatan tercela lainnya di peraturan hukum pidana kita sebagian luar UU (hukum tertulis); dan besar telah dimuat dalam KUHP dan lain2) dimungkinkan SMH Materiel lain perundang-undangan, maka pandangan dalam fungsinya yang negatif tentang hukum dan sifat melawan hukum maupun positif. materiil di atas, hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang Pandangan pertama seperti diidentifikasikan meskipun masuk dalam perumusan UU, di atas, nampaknya masih dilatarbelakangi oleh toh tidak merupakan perbuatan pidana. keterkaitan atau orientasi pada asas legalitas Biasanya ini dinamakan fungsi yang negatif formal dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dari sifat melawan hukum yang materiil”. bertolak dari paham”legisme” dan nilai/ide dasar (Kursif, pen). “kepastian hukum”. 1)

Sedangkan mengenai ajaran sifat melawan Sedangkan pandangan kedua, nampaknya hukum materiil dalam fungsinya yang positif, sudah dipengaruhi oleh pandangan asas legalitas Moeljatno mengatakan sebagai berikut: materiel atau asas keseimbangan monodualistik (antara kriteria/patokan formal dan materiel, “Adapun fungsinya yang positif, yaitu atau antara nilai kepastian hukum dan keadilan/ perbuatan tidak dilarang oleh UU, tetapi kelenturan), walaupun masih terbagi dalam oleh masyarakat perbuatan itu dianggap beberapa pendapat, yaitu: keliru, berhubungan dengan adanya asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dalam a. Hanya menganut SMH Materiel hukum pidana lalu tidak mungkin. Lain terbatas, (yaitu hanya dalam fungsinya halnya di dalam hukum perdata, dengan yang negatif), karena masih terikat adanya Pasal 1365 BW (barang siapa dengan pada asas legalitas dalam Pasal 1 ayat perbuatan melawan hukum menimbulkan (1) KUHP. kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang b. Menganut SMH Materiel yang luas, menderita kerugian tadi) fungsi positif baik dalam fungsinya yang negatif itu penting juga. Di sini bagaimanapun maupun yang positif. macamnya perbuatan tidak ditentukan, c. Menganut SMH Materiel yang luas sehingga tiap-tiap perbuatan melawan tetapi terbatas, yaitu dalam fungsinya hukum termasuk di situ”. Moeljatno (1983: yang negatif dan positif, tetapi yang 133). (Kursif, pen.). positif dibatasi untuk perbuatan210 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 210

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:32 PM

B.

Analisis

31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sama sekali tidak memformulasikan tentang pengertian ”SETIAP ORANG”. Akan tetapi, memformulasikan tentang pengertian Korporasi. Sedangkan mengenai pengertian ”SETIAP ORANG”, rumusannya ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Pada sub B ini yang dianalisis adalah pokok permasalahan: ‘apakah terdakwa dalam melakukan perbuatannya terdapat unsur ”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’? Analisis terhadap pokok permasalahan ini sekaligus pula ingin diketahui, apakah putusan hakim telah dapat membuktikan unsur TP secara lengkap? Substansi pembahasannya dipaparkan berikut ini. Di dalam putusan hakim, pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana semua telah dinyatakan terpenuhi (terbukti). Namun demikian, perlu dilakukan analisis lebih lanjut tentang kebenarannya secara hukum seperti dianotasikan di bawah ini, khususnya mengenai unsur ”setiap orang” dan ”unsur melawan hukum” 1. Unsur setiap orang. Pertimbangan hakim dalam membuktikan unsur ini adalah sebagai berikut: a.

Menimbang, bahwa yang dimaksud setiap orang menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 adalah perorangan atau termasuk korporasi, dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang adalah subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan yang telah dilakukannya”.



Anotasi: Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No.

b.

Menimbang, bahwa berdasarkan hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan lagi sebagaimana datur dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP, bahwa terdakwa telah dinyatakan identitasnya pada awal persidangan ia mengaku bernama IS dengan demikian terdakwa terpenuhi sebagai orang perorang (natuurlijke persoon) dan selama proses pemeriksaan atas diri terdakwa ternyata pada dirinya telah ditemukan suatu bukti ketidakcakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, sehingga terdakwa dianggap sebagai orang yang cakap dan dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum. Maka unsur setiap orang telah terpenuhi atas diri terdakwa; Namun demikian, apakah perbuatan terdakwa dapat dinyatakan bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, maka hal ini perlu dibuktikan dengan unsur-unsur yang lainnya dari dakwaan primair ini. (Kursif pen).

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 211

| 211

7/27/2012 3:11:32 PM



212 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 212

Anotasi: Pertimbangan hakim di atas, teramat sangat tidak dapat dimengerti. Di satu sisi dikatakan, “...ternyata pada dirinya telah ditemukan suatu bukti ketidakcakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum,...”. Pertimbangan demikian ini menandaskan, bahwa dalam diri terdakwa telah ditemukan suatu fakta (data) yang benarbenar mengindikasikan adanya ketidakmampuan” terdakwa secara hukum untuk melakukan suatu “perbuatan hukum”. Di dalam hukum pidana, jika hal demikian ini secara sah dan meyakinkan memang benarbenar terbukti, maka terdakwa sudah dapat dimasukkan dalam kualifikasi “tidak bisa dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana” atas perbuatan yang dilakukannya. Ini berarti pula terdakwa tidak dapat dipidana, karena dalam diri terdakwa terdapat alasan penghapus kesalahan (schuld uitslutinggronden) berupa alasan pemaaf. Akan tetapi di satu sisi yang lainnya, dengan dikatakan “..., sehingga terdakwa dianggap sebagai orang yang cakap dan dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum”, berarti terdakwa memang benar-benar mampu dan “cakap hukum” dalam melakukan “perbuatan hukum”. Apabila terdakwa dalam melakukan perbuatan hukum itu, karena sesuatu hal menimbulkan “akibat-akibat hukum”, maka ia dengan sendirinya juga dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum. Hanya dalam ranah hukum pidana, pertanggungjawaban pidananya itu harus dibuktikan kemudian setelah terlebih dahulu membuktikan unsur SMH perbuatan. Pertanggungjawaban pidana dibuktikan adalah dalam rangka menemukan unsur kesalahan dalam diri terdakwa. Jika terdapat unsur kesalahan, maka dengan sendirinya terdakwa dapat dipidana. Apabila unsur kesalahan ini tidak ditemukan, berarti menurut hukum pidana terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dipidana. Kembali pada pokok permasalahan, substansi pertimbangan hakim yang redaksionalnya diformulasikan seperti disitasi di atas, tentu melanggar asas kepastian hukum, karena prinsip “LEX CERTA” tidak dipenuhi. Dengan demikian, tentu pula akan dapat menimbulkan konsekuensi yuridis, berupa “tidak terpenuhinya unsur ‘setiap orang’ jika putusan ini diperiksa dan diadili pada tingkat banding. Seharusnya di dalam putusan hakim, dalam menyusun pertimbangan hukumnya harus tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. 2. Unsur melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pertama-tama yang dipertimbangkan oleh hakim adalah: ’ Apakah perbuatan terdakwa tersebut terdapat unsur ”melawan hukum” dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:32 PM

korporasi, sehingga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’ ?

salah satu pihak, maka prosedur yang harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada pengelola, yaitu terdakwa agar memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang mereka telah sepakati, dan bilamana tidak memenuhi janjinya, dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi. Maka dengan demikian, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah bukan perbuatan melawan hukum (pidana).

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 unsur ini memiliki pengertiannya dalam arti formal dan materiil. Mengingat putusan MK No. 003/ PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 yang pada pokoknya menyatakan, bahwa ”penjelasan pasal ini sepanjang yang terkait dengan pengertian sifat melawan hukum secara materiil dinyatakan ”tidak mengikat secara hukum”, karena dianggap Anotasi: bertentangan dengan UUD 1945”. Dengan Mengingat dalam hukum pidana yang demikian, yang diakui oleh hakim hanyalah dicari adalah kebenaran materiil, perlu ”SMH dalam pengertiannya yang formal”. dipersoalkan ’apakah sudah benar pertimbangan hakim yang menyatakan Berdasarkan pertimbangannya yang perbuatan melawan hukum (PMH) yang demikian, hakim menyatakan bahwa dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam perbuatan terdakwa telah memenuhi ranah hukum perdata’, karena alasan tidak unsur sifat melawan hukum dalam dipenuhinya suatu ”kewajiban hukum” pengertiannya formal. Namun demikian, yang telah disepakati dalam surat perjanjian perbuatan terdakwa bukan termasuk dalam tersebut oleh pihak kedua, dalam hal ini pengertian melawan hukum menurut terdakwa IS? Apakah di dalam hukum hukum pidana, tetapi hukum perdata. pidana tidak dikenal “kewajiban hukum” Mengapa pertimbangan hakim demikian, seperti itu? karena hakim berpendapat bahwa sejak semula landasan hukumnya adalah suatu Di dalam hukum pidana, secara dogmatis perjanjian yang telah disepakati oleh para terdapat aturan hukum pidana yang menyatakan pihak. Surat perjanjian yang dimaksud keharusan untuk menjalankan “kewajiban adalah No. 511.23/500-Ek tertanggal 14 hukum” tertentu. Apabila “kewajiban hukum” Desember 2004 antara Pemerintah Kota yang diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh si Bandung dengan CV UM dan FS selaku pengemban kewajiban, maka yang bersangkutan Pemilik Gedung eks Toko Ria sebagai pihak dikatakan telah melakukan suatu perbuatan ketiga. Di dalam surat perjanjian dimaksud melawan hukum (delik). Di dalam doktrin telah disepakati hak dan kewajiban masing- hukum pidana, perbuatan demikian disebut masing pihak. dengan omimssie delict (delicta ommissionis), Menurut hakim, jika terjadi adanya kerugian bagi Pemerintah Kota Bandung karena tidak dipenuhinya isi perjanjian tersebut oleh

sebagai lawan dari commissie delict (delicta commisionis) yakni delik berupa pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh undangundang.

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 213

| 213

7/27/2012 3:11:32 PM

Di dalam putusan hakim, omimssie delict ini sebenarnya dapat saja diaplikasikan jika hakim masih mau menerapkan ajaran SMH materiil. Namun karena hakim sudah merasa terikat dengan putusan MK di atas, pada akhirnya menutup diri terhadap ajaran SMH materiil yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Akan tetapi harus diingat, bahwa yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh MK adalah sepanjang penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk keberadaan dan substansi dari Pasal 2 ayat (1). Ini artinya SMH Materiil yang substansinya dirumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud masih berlaku. Sebenarnya MK sendiri tidak berwenang secara hukum mencabut suatu pasal atau beberapa pasal yang terdapat dalam suatu kebijakan legislatif, DPR sebagai lembaga legislatif menurut Hukum Tata Negara mempunyai wewenang untuk itu.

Pedoman ini ditetapkan agar hakim dalam memutus perkara korupsi yang dihadapi, terutama dalam hal terjadinya penyalahgunaan wewenang, untuk tidak ragu-ragu menerapkan fungsi positif dari SMH materiil, bila perbuatan terdakwa dapat menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara. Kendatipun perbuatan terdakwa tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pidana, atau perbuatannya secara formal tidak melawan hukum, tetapi asalkan perbuatan terdakwa dilakukan tidak dalam kerangka memenuhi “kewajiban hukum”, dan tidak dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena “keadaan memaksa”, tetapi semata-mata untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

Mengenai pedoman ini, pertamatama yang perlu dipahami adalah mengenai “kewajiban hukum”, kedua mengenai “tidak Sehubungan dengan hal di atas, di dalam dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena praktik kerapkali dijumpai permasalahan hukum “keadaan memaksa”, tetapi semata-mata untuk pidana terkait dengan SMH Formal ini. Bagaimana kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau jika suatu perbuatan sudah dinilai koruptif, tetapi suatu korporasi”. perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU dan Mengenai hal yang pertama, yang harus atau perbuatan itu tidak mencocoki rumusan dipahami terlebih dahulu adalah ‘apakah yang delik dalam UU? dimaksud dengan kewajiban hukum’? Berkait dengan kewajiban hukum di atas, Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta dikemukakan pedoman berikut ini: (2000: 91) mengatakan: “Suatu perbuatan melawan hukum secara “Kewajiban pada dasarnya adalah keharusan materiil telah terjadi, jika perbuatan (yang diperintahkan atau ditetapkan terdakwa yang tidak ber-SMH secara formal oleh hukum untuk melakukan atau tidak yang telah menimbulkan kerugian bagi melakukan perbuatan tertentu, yang jika masyarakat atau negara itu, dilakukan tidak tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat dalam kerangka memenuhi “kewajiban hukum tertentu bagi pengemban kewajiban hukum”, dan tidak dipenuhinya “kewajiban tersebut”. hukum” bukan karena keadaan memaksa, tetapi semata-mata untuk kepentingan Mengacu pada pengertian demikian, pelaku sendiri atau orang lain atau suatu sudah sangat jelas, bahwa suatu perbuatan yang korporasi”. tidak memenuhi kewajiban-kewajiban hukum, 214 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 214

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:32 PM

berarti perbuatan tersebut secara sadar dilakukan formil adalah terlarang, jika ditinjau untuk memungkiri atau menafikan sesuatu dari segi materiil dirasakan betul-betul ‘keharusan’ atau sesuatu yang diharuskan. Ini oleh masyarakat sebagai perbuatan yang berarti pula, melanggar sesuatu perintah atau tidak patut atau sebaliknya pula adalah yang diperintahkan oleh hukum. Perbuatan patut. Sungguh-sungguh diperlukan suatu demikian sudah sangat jelas melawan dan pedoman”. bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, Apakah perbuatan itu tidak patut atau sudah sepatutnya perbuatan demikian ditetapkan sebaliknya, Roeslan Saleh juga menggunakan akibat hukumnya. pedoman yang digunakan oleh Moeljatno yang Perbuatan koruptif di atas itu, seringkali mengatakan: bahwa hal tersebut adalah dalam tidak ditetapkan sebagai suatu PMH secara konteks “daya paksa” (overmacht). Namun, formal, sehingga tidak dapat dituntut menurut menurut Roeslan Saleh, pendapat Moeljatno hukum pidana. Akan tetapi, perbuatan demikian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk itu sesungguhnya secara materiil adalah meninjau ‘apakah perbuatan ber-SMH dari segi perbuatan yang dinilai tercela oleh masyarakat materiil’. Roeslan Saleh (1983: 72) lebih lanjut (strafwaardig), sehingga perlu pula dilakukan mengatakan: penuntutan secara pidana sebagai akibat “Selalu harus diselidiki terlebih dahulu hukumnya. apakah terdakwa tidak perlu dipidana, disebabkan karena dalam kejadian tersebut Selanjutnya mengenai hal yang kedua, sifat melawan hukum dari suatu perbuatan “tidak dipenuhinya ‘kewajiban hukum’ bukan itu tidak ada, dan karenanya peraturan karena keadaan memaksa, tetapi semata-mata UU yang rumusan deliknya cocok dengan untuk kepentingan pelaku (terdakwa) sendiri perbuatan itu lalu tidak diberlakukan. atau orang lain atau suatu korporasi”. Kalau ternyata, bahwa sifat melawan hukumnya tidak ada, maka kita tidak perlu Klausula ini adalah untuk lebih meyakinkan lagi menyelidiki, apakah terdakwa itu telah hakim dalam menerapkan fungsi positif dari berbuat karena terdorong oleh “daya paksa” ajaran SMH materiil. Sejak semula sudah atau “tidak”. harus dipahami, jika terdakwa tidak memenuhi “kewajiban hukum” itu karena adanya sesuatu keadaan yang memaksa (overmacht), maka sejak semula pula terdakwa sudah harus “dilepaskan dari segala tuntutan hukum”, karena perbuatannya itu tidak ber-SMH secara materiil. Namun demikian, kerapkali hakim masih kesulitan juga untuk menetapkan suatu perbuatan ber-SMH. Kesulitan ini disadari juga oleh Roeslan Saleh (1983: 72) yang mengatakan: “Memang sukar menentukan apakah sesuatu perbuatan yang ditinjau dari segi

Masih tetap mensitasi pendapat Moeljatno, oleh Roeslan Saleh (1983: 72) dikatakan selanjutnya:

“Sebagai pedoman untuk menentukan apakah perbuatan itu adalah tidak bersifat melawan hukum, harus diperhatikan:

1.

Kapan ada dua kewajiban hukum yang bertentangan, sedangkan salah satu daripadanya telah dipenuhi;

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 215

| 215

7/27/2012 3:11:32 PM

2.

Jika kewajiban hukum tidak dapat dipenuhi karena terpaksa oleh keadaan.

Jadi, oleh MK Penjelasan Pasal 2 ayat (1) ini yang menetapkan SMH Materiil dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak Dua pedoman ini pun dapat dijadikan pidana korupsi (TPK) dinilai telah melanggar pedoman dalam tinjauan dari segi materiil, yang HAM karena dianggap tidak menjamin “kepastian saya maksudkan di atas”. hukum yang berkeadilan” sebagaimana ditetapkan Hal berikutnya yang perlu dianalisis dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: (diberikan anotasi), adalah sikap hakim dalam “Setiap orang berhak atas pengakuan, putusan ini sehubungan dengan dijadikannya jaminan, perlindungan, dan kepastian Putusan MK sebagai landasan hukum untuk hukum yang adil serta perlakuan yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi yang sama di hadapan hukum”. (Kursif, pen.). dilakukan oleh terdakwa IS. Putusan MK yang menyatakan “tidak mengikat secara hukum” Sehubungan dengan pertimbangan hakim terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. yang menggunakan putusan MK sebagai landasan 31 Tahun 1999 sepanjang mengenai penjelasan hukum untuk tidak menetapkan perbuatan SMH Materiil, selengkapnya amar putusan MK terdakwa bertentangan dengan SMH Materiil, menyangkut hal tersebut dikemukakan berikut perlu dikaji hal-hal sebagai berikut: ini. a. “Apakah penjelasan umum dari UU No. Amar putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 itu sendiri berbunyi sebagai berikut: tentang PTPK juga ikut dinyatakan tidak mengikat secara hukum? Bukankah putusan “Kata “dapat” dalam frasa “yang dapat MK itu hanya ditujukan terhadap Pasal 2 merugikan keuangan negara atau ayat (1) dan Pasal 3 beserta penjelasanperekonomian negara”, pada Pasal 2 ayat penjelasannya saja? (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Di dalam UU No. 31 Tahun 1999 Korupsi, sebagaimana diubah dengan ditetapkannya ajaran SMH materiil, adalah UU Nomor 20 Tahun 2001, beserta sebagaimana dirumuskan di dalam perihal penjelasan-penjelasannya dan kalimat, “Menimbang” pada huruf a dan Penjelasan “…maupun dalam arti materiil, yakni Umum dari UU dimaksud, yaitu: meskipun perbuatan tersebut tidak diatur “Bahwa tindak pidana korupsi yang selama dalam perundang-undangan namun apabila ini terjadi secara meluas, tidak hanya perbuatan tersebut dianggap tercela karena merugikan keuangan negara, tetapi juga tidak sesuai dengan rasa keadilan atau telah merupakan pelanggaran terhadap norma-norma kehidupan dalam masyarakat, hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana” secara luas, sehingga tindak pidana korupsi dinyatakan tidak mengikat secara hukum perlu digolongkan sebagai kejahatan yang karena bertentangan dengan Pasal 28D pemberantasannya harus dilakukan secara ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara luar biasa”. Republik Indonesia Tahun 1945”. 216 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 216

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:32 PM



b.

dan bertentangan dengan keadilan Di dalam Penjelasan Umum ditetapkan sosial. sebagai berikut: “Agar dapat menjangkau berbagai modus c. Bagaimanakah dengan keberadaan SMH operandi penyimpangan keuangan negara materiil dalam fungsinya yang negatif atau perekonomian negara yang semakin (negative functie der wederrechtelijkheid)? canggih dan rumit, maka tindak pidana Bukankah putusan MK itu hanya menyatakan yang diatur dalam undang-undang ini SMH materiil dalam fungsinya yang positif dirumuskan sedemikian rupa sehingga (positive functie der wederrechtelijkheid) meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya saja yang dinyatakan tidak mengikat secara diri sendiri atau orang lain atau suatu hukum, karena dinilai bertentangan dengan korporasi “secara melawan hukum” dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Perhatikan pengertian formil atau materiil. Dengan kalimat: perumusan tersebut, pengertian melawan “…maupun dalam arti materiil, yakni hukum dalam tindak pidana korupsi dapat meskipun perbuatan tersebut tidak diatur pula mencakup perbuatan-perbuatan yang dalam perundang-undangan namun apabila tercela yang menurut perasaan keadilan perbuatan tersebut dianggap tercela karena masyarakat harus dituntut dan dipidana”. tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan dalam masyarakat, Sehubungan dengan hal di atas, sejauhmana maka perbuatan tersebut dapat dipidana” hakim memperhatikan dasar rasionalitas dinyatakan tidak mengikat secara hukum ditetapkannya ajaran SMH materiil dalam karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat UU No. 31 Tahun 1999 yakni: (1) UUD 1945”. 1. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa, karena d. Apakah putusan MK itu mengikat pula terhadap yurisprudensi? Karena tidak hanya merugikan keuangan yurisprudensi MA No. 42/K/Kr/1965 negara, tetapi juga telah merupakan tertanggal 8 Januari 1966 yang telah pelanggaran terhadap hak-hak sosial menjadi yurisprudensi tetap (land mark dan ekonomi masyarakat secara luas. decision) juga mengakui dan menganut 2. Tindak pidana korupsi merupakan SMH materiil, dan telah diikuti oleh kejahatan yang pemberantasannya putusan-putusan hakim di bawahnya? harus dilakukan secara luar biasa. e. Apakah hakim tidak lagi menggunakan 3. Untuk dapat menjangkau berbagai Sistem Hukum Pidana Indonesia yang modus operandi penyimpangan tidak hanya mengakui dan menganut SMH keuangan negara atau perekonomian formal juga mengakui dan menganut ajaran negara yang semakin canggih dan SMH materiil? rumit. f. SMH materiil tidak hanya dianut dalam 4. Dalam pandangan masyarakat, TPK Sistem Hukum Pidana Indonesia, tetapi juga dipandang sebagai perbuatan tercela Belanda, Jerman sebagai wakil dari Civil

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 217

| 217

7/27/2012 3:11:32 PM

Law System, apalagi Inggris dan Amerika sebagai wakil Anglo Saxon, juga Jepang, dan Korea Selatan sebagai wakil dari sistem hukum Timur jauh. Bahkan Pasal 15 ayat (2) ICCPR juga tidak mengharamkan suatu Negara mengantu SMH materiil. g.

Yurisprudensi MA menganut pula SMH metriil dalam fungsinya yang negatif (di antaranya adalah putusan MA tanggal 8 Januari 1966 No. 42/K/Kr/1965 dalam perkara Marchoes Efendi, putusan MA tanggal 30 Maret 1977 No. 81/Kr/1973 dalam perkara Ir. Otjo Danaatmadja, putusan MA tanggal 15 Desember 1983 No. 275/K/ Pid/1982. MA tanggal 29 Desember 1983 dalam putusan No. 275/K/Pid/1983 dalam perkara R.S Natalegawa), maupun dalam fungsinya yang positif (di antaranya adalah: putusan MA No. 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977, putusan MA No. 25/K/ Pid/1983, putusan MA No. 24/K/Pid/1984 tanggal 6 Juni 1985, putusan MA No. 241/K/ Pid/1987 tanggal 21 Januari 1989, putusan MA No. 572//K/Pid/2003 dalam perkara Ir. Akbar Tanjung. Berikutnya adalah putusan MA No. 593 K/PID/2005 tanggal 2 Agustus 2005, yang cukup banyak mendapatkan perhatian dari khalayak, karena para terdakwanya hampir seluruh dari anggota DPRD Provinsi Sumatera telah terbukti melakukan TPK). Apakah yurisprudensi MA termasuk lingkup yurisdiksi MK?

Sehubungan dengan premis huruf ”e)” di atas, perlu diinsyafi, bahwa sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia tidak hanya memastikan ‘apakah suatu perbuatan itu secara formal telah memenuhi semua unsur delik yang ditetapkan oleh UU’, tetapi juga ‘apakah perbuatan dimaksud tercela secara materiil, karena dinilai 218 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 218

bertentangan dengan norma-norma sosial yang hidup di dalam masyarakat’. Itulah sebabnya, mengapa doktrin-doktrin hukum pidana yang berkembang di Indonesia mengisyaratkan untuk menganut ajaran materiil dari SMH ini. Moeljatno (1983: 133) secara tegas mengatakan:

“Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini? Kiranya tidak mungkin selain mengikuti ajaran yang materiil. Bagi orang Indonesia belum pernah hukum dan UU dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah UU belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum tidak tertulis”.

Di dalam tulisannya yang lain juga ditegaskan: “…apabila sampai saat ini untuk menetapkan adanya suatu tindak pidana adalah: tinjauan dari segi formal, ini perlu berhubung dengan adanya asas legalitas, dan tinjauan dari segi materiil sebaliknya juga diperlukan, oleh karena baru dengan adanya ini, aturanaturan hukum mempunyai isi, dan bukan suatu pengertian dalam lisan atau tulisan belaka. Yang kami maksudkan dengan ini, adalah segi pergaulan masyarakat dengan mana, atau untuk siapa aturan-aturan hukum itu berlaku”. Moeljatno (1955: 18). Roeslan Saleh (1987: 20) juga mengatakan: “…terlebih-lebih lagi karena hukum pidana kita menganut ajaran sifat melawan hukum materiel, dan kiranya dapat menjadi pendapat hukum Indonesia pula. Menurut pikiran bangsa Indonesia hukum dan UU tidak sama. Bahkan sebagian besar dari hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak tertulis”.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:32 PM

Di dalam tulisannya yang lain Roeslan Anotasi berikutnya yang sangat penting Saleh (1983: 56) juga mengatakan: disadari oleh hakim (juga para hakim lainnya), adalah ketentuan mengenai UU Kehakiman “bahwa untuk mengetahui adanya perbuatan itu sendiri. Dikatakan demikian, karena pidana, pertama-tama harus diperhatikan kendatipun telah dikemukakan doktrin dan dasar apakah ada larangan atas dilakukannya konstitusionalitasnya seperti dikatakan di atas, perbuatan itu, (maksudnya: apakah secara namun dalam ranah hukum pidana seringkali formal UU melarang perbuatan itu, pen.), mengalami resistensi sehubungan dengan dan kedua apakah perbuatan tersebut betulketerikatannya pada asas legalitas formal. Dengan betul dirasakan oleh masyarakat sebagai keterikatannya pada asas legalitas formal tersebut, perbuatan yang tidak patut atau keliru, maka akibatnya jaksa atau hakim wajiib menuntut atau kiranya jelas … mengenai sifat melawan mengadili suatu perkara pidana berdasarkan hukum ini, saya mengikuti pandangan yang ketentuan-ketentuan (pasal-pasal) yang mengatur materiil”. perbuatan terdakwa tersebut. Padahal UU No. 4 Demikian pula Bambang Poernomo (1981: Tahun 2004 jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menetapkan, bahwa: 113) juga mengemukakan:

“Kiranya tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan materieele wederrechtelijkheid dalam pengertian, bahwa perbuatan melawan hukum adalah yang bertentangan dengan UU, asas-asas umum, dan norma-norma hukum tidak tertulis”.

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili” (vide Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo Pasal 50 UU No. 48 Tahun 2009) (Kursif. Pen.).

Seharusnya yang terpenting dipahami Hakim wajib memeriksa dan mengadili adalah, ”apakah SMH materiil itu bertentangan perkara pidana demikian itu, dengan menggunakan dengan UUD 1945”? sumber hukum tidak tertulis. Itulah sebabnya, SMH materii juga mendapat jaminan secara dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo konstitusional, terutama dalam Pasal 18B ayat (2) Pasal 5 UU No. 48 Tahun. ini, mengimperasikan, UUD 1945 Perubahan Kedua ditetapkan sebagai bahwa: ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan berikut: memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan ”Negara mengakui dan menghormati yang hidup dalam masyarakat”. kesatuan-kesatuan masyarakat hukum Sinergi dengan ketentuan di atas, itu pula adat beserta hak-hak tradisionalnya sebabnya mengapa Mardjono Reksodiputro sepanjang masih hidup dan sesuai dengan (1995: 108) mengatakan: perkembangan masyarakat dan prinsip “Sumber hukum pidana Indonesia, dapat Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dicari dalam hukum adat. Hakim harus diatur dalam undang-undang”. menjaga bahwa seseorang yang bersalah Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 219

| 219

7/27/2012 3:11:33 PM

melakukan perbuatan yang dicela oleh masyarakat dan patut dipidana memang haruslah mendapatkan pidananya. Ukuran perbuatan apa yang “tercela” dan “patut dipidana” dapat ditentukan oleh pembuat UU, tetapi dapat pula didasarkan pada hukum (adat) yang hidup dalam masyarakat…”.



IV. SIMPULAN Hal-hal yang dapat disimpulkan dari analisis terhadap pokok permasalahan penelitian adalah sebagai berikut: 1.

Muladi (1990) menambahkan: “Di samping dapat menjadi sumber hukum yang bersifat positif, nilai-nilai yang bersumber pada hukum adat dan hukum yang hidup di dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat negatif, dalam arti bahwa, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, atau dapat berfungsi sebagai alasan-alasan yang memperingan pemidanaan (minimasing circumtance), dan sebaliknya justru dapat dijadikan alasan yang memperberat pemidanaan (aggravating circumtance)”.

Berdasarkan pertimbangan hakim terhadap pembuktian unsur tindak pidana korupsi, oleh hakim telah dinyatakan semua unsur terbukti sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, melainkan termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata. Namun demikian, menurut analisis peneliti justru hakim 2. belum dapat membuktikan unsur tindak pidana secara lengkap, karena masih terdapat hal-hal kontroversial terhadap pembuktian unsur ”setiap orang” dan unsur ”melawan hukum” yang secara hukum masih harus dielaborasi lebih lanjut.

220 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 220

Pertimbangan hakim dalam membentuk argumentasi hukumnya telah didasarkan atas logika silogisme sebagai berikut: Sebagai premis mayor: hakim berlandaskan pada surat perjanjian No. 511.23/500Ek tertanggal 14 Desember 2004 antara Pemerintah Kota Bandung dengan CV. UM dan FS selaku Pemilik Gedung eks Toko Ria sebagai pihak ketiga, dan di dalam surat perjanjian tersebut telah disepakati hak-dan kewajiban masing-masing pihak. Sebagai premis minor: jika terjadi kerugian bagi Pemerintah Kota Bandung karena tidak dipenuhinya isi perjanjian tersebut oleh salah satu pihak, maka prosedur yang harus ditempuh adalah melalui penagihan kepada pengelola, yaitu terdakwa agar memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang mereka telah sepakati, dan bilamana tidak memenuhi janjinya, dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi. Sebagai simpulan maka dengan demikian, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi adalah bukan perbuatan melawan hukum (pidana). Namun hakim dalam membangun argumentasi hukumnya telah terjadi falsifikasi logika berpikir dalam memahami lingkup cakupan substansi yang terdapat dalam proposisi premis mayor. Hakim hanya mendasarkan pemahaman dan lingkup cakupan substansi dari premis mayor tersebut dari hukum perdata. Pemahaman

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:33 PM

terhadap “kewajiban hukum” harus pula dimaknai dari optik hukum pidana, karena secara dogmatis terdapat aturan hukum pidana yang menyatakan keharusan untuk menjalankan “kewajiban hukum” tertentu. Apabila “kewajiban hukum” yang diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh si pengemban kewajiban, maka yang bersangkutan dikatakan telah melakukan suatu PMH (TP/delik). Di dalam doktrin hukum pidana, perbuatan demikian disebut dengan omimssie delict (delicta ommissionis).

situasi dan kondisi seperti ini hakim harus menerapkan ajaran SMH Materiil sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999.

Mengingat yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum adalah penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, tidak termasuk keberadaan dan substansi dari Pasal 2 ayat (1), maka SMH Materiil yang substansinya dirumuskan dalam ketentuan pasal dimaksud masih tetap berlaku. Ini berarti, PMH yang telah benar-benar terjadi sebagaimana dibuktikan oleh hakim dalam putusannya bukanlah PMH dalam 3. Hakim dalam pertimbangannya yang lingkup cakupan Hukum Perdata, sebenarnya menyatakan, bahwa “perbuatan terdakwa termasuk dalam lingkup cakupan hukum pidana. secara formal tidak mencocoki rumusan Sehubungan dengan hal di atas, maka oleh delik menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 hakim proposisi yang dibentuk dalam bangunan Tahun 1999, sehingga perbuatan terdakwa premis minor substansinya secara imperatif tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak seharusnya menyatakan: “menimbang, bahwa oleh pidana”, sama sekali tidak dikaitkan dengan karena terdakwa sebagai pihak kedua telah tidak fakta hukum yang terdapat dalam salah memenuhi kewajiban hukumnya sebagaimana satu diktum dari surat perjanjian tersebut yang diharuskan dalam surat perjanjian tersebut, yang menyatakan, bahwa “pihak kedua maka perbuatan terdakwa merupakan perbuatan (dalam hal ini terdakwa) berkewajiban melawan hukum yang dapat dituntut secara mengembalikan dana talangan yang pidana”. diterimanya sebesar Rp.2.500.000.000,dalam 2 tahap, yaitu pada bulan April Premis minor dimaksud dibentuk adalah sebesar Rp.1.250.000.000,- dan pada bulan atas dasar alasan yuridis yang dapat dibenarkan September Rp.1.250.000.000,- kepada menurut norma-norma hukum pidana, yakni Pemerintah Kota Bandung”. Ternyata surat suatu perbuatan melawan hukum secara materiil perjanjian yang dibuat pada tanggal 14 telah terjadi, jika perbuatan terdakwa yang tidak Desember 2004 sampai dengan diadilinya bersifat melawan hukum secara formal yang perkara ini, terdakwa belum memenuhi telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat kewajibannya tersebut. Akibat hukum apa atau negara itu, dilakukan tidak dalam kerangka yang dapat dikenakan terhadap terdakwa memenuhi “kewajiban hukum”, dan tidak ternyata tidak diatur pula dalam surat dipenuhinya “kewajiban hukum” bukan karena perjanjian tersebut, sementara kerugian keadaan memaksa, tetapi semata-mata untuk keuangan negara sebesar disebutkan di kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau atas itu telah nyata-nyata terjadi. Dalam suatu korporasi”.

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 221

| 221

7/27/2012 3:11:33 PM

Berdasarkan premis minor demikian itu, maka simpulan yang seharusnya diambil oleh hakim adalah: “Perbuatan terdakwa yang menimbulkan kerugian negara, dalam hal ini Pemerintah Kota Bandung, merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dituntut secara pidana”. Mengingat putusan pengadilan merupakan babak akhir dari suatu penegakan dan penerapan hukum, maka secara normatif di samping harus mengimperasikan kebenaran materiil, merefleksikan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, sudah sepatutnya tidak boleh melupakan prinsip kecermatan serta kehati-hatian, terutama dalam memformulasikan proposisi hukum dalam amar putusan hakim.

DAFTAR PUSTAKA Adji, Indriyanto Seno. 2004. Tindak Pidana Ekonomi, Bisnis dan Korupsi Perbankan. Bandung: Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Arief, Barda Nawawi. 1998. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya. --------. 2004. “Konsepsi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana” Makalah pada Seminar Nasional Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi, Kerjasama Kejaksaan Agung RI dengan FH. UNDIP, Semarang. ---------. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: Citra Aditya Bakti. 222 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 222

Emong Sapardjaja, Komariah. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni. Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum. Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti. Kusumaatmadjam, Mochtar, dan Sidharta, B. Arief. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. Lamintang, P.A.F. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru. L.B., Curzon. 1979. Jurisprudence, Estover, PlymouTahun: Macdonald & Evans. Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggunganjawab Pidana dalam Hukum Pidana, Pidato Dies Natalis VI Universitas Gajah Mada tgl. 19 Desember 1955. _________. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina aksara. Muladi. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang. Pidato Pengukuhan Guru Besar, dalam Ilmu Hukum Pidana, pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari 1990. Poernomo, Bambang. 1981. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. Reksodiputro, Mardjono. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana. Buku Keempat. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 189 - 223

7/27/2012 3:11:33 PM

Universitas Indonesia. Sahetapy, JE. (Editor). 1995. Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana , Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keiijzer dan Mr. E. PH. Sutorius. Yogyakarta: Liberty. Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana. Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru. _________. 1987. Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. _________. 1998. Hukum Pidana 1. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP.

Wanprestasi Sebagai Kualifikasi Tidak Dipenuhinya Kewajiban Hukum (Widiada Gunakaya)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 223

| 223

7/27/2012 3:11:33 PM

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PUTUSAN HAKIM:UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA Kajian Putusan MA Nomor 653/K/Pid/2011

The Implementation of Restorative Justice in the Verdict: an Effort to Resolve the Conflict through the Criminal Justice System An Analysis on the Supreme Court Decision Number 653/K/Pid/2011 Rena Yulia Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jl. Raya Jakarta KM 4 Pakupatan Serang Banten Email: [email protected] Diterima tgl 7 Mei 2012/Disetujui tgl 18 Juli 2012 ABSTRAK

Abstract

Banyak kasus-kasus sederhana yang berakhir di

Many trivial cases have been sent to the courts

pengadilan dan diselesaikan dengan melanggar rasa

so far with some of them ended with non-populist

keadilan masyarakat kecil. Sepertinya keadilan tidak

verdicts. Such court rulings have been disturbing

pernah berpihak kepada mereka. Keadilan lebih

the common sense showing that justice never takes

banyak didekati dari perspektif prosedural bukan

the side of the poor. Justice is approached only

keadilan substansial. Sebagaimana ditunjukkan

from the procedural perspective. As shown in this

dalam putusan yang dianalisis di dalam artikel ini,

article, one of the trivial cases was not handled in

penjatuhan putusan untuk kasus yang terbilang

appropriate way since the restorative philosophy

“sederhana” ini akan lebih tepat jika didasarkan

of punishment had never been considered to apply.

pada filosofi pemidanaan keadilan restoratif. Penulis

The author of this article believes that it is time to

yakin bahwa pilihan keadilan restoratif ini sudah

start implementing such a philosophy of punishment

saatnya dipertimbangkan, dimulai dari kasus-kasus

beginning from trivial cases as in the case under

sederhana seperti ini.

discussion.

Kata kunci: masyarakat kelas bawah, keadilan

Keywords: lower class society, restorative justice,

restoratif, kasus pidana sederhana.

trivial criminal case.

224 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 224

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:33 PM

I.

PENDAHULUAN

Masyarakat telah disajikan dengan berbagai peristiwa hukum dalam penegakannya dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat. Misalnya saja, peristiwa pencurian tiga buah kakao, pencurian buah semangka, pencurian setandan pisang, pencurian sendal jepit dan yang paling baru adalah pencurian piring dan buntut sapi yang dilakukan oleh “R“ yang telah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung. Putusan hakim pada peristiwa-peristiwa hukum di atas, dianggap tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Putusan tersebut dianggap terlalu mudah dijatuhkan pada rakyat miskin di tengah putusan kasus korupsi yang seolah-olah lamban dan tersendat-sendat penegakannya.

Desember 2010 memutuskan nasib R sebagai berikut: •

Menyatakan Terdakwa R binti RA tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa;



Membebaskan oleh karena itu terhadap Terdakwa R binti RA tersebut di atas dari dakwaan tersebut;



Memulihkan

hak

Terdakwa

kemampuan, kedudukan, martabatnya;

harkat

dalam serta



Memerintahkan terhadap barang bukti berupa:

Kasus R, seorang pembantu rumah tangga yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumah majikannya SA di Tangerang, Banten. Kasus R berawal dari kejadian pada sekitar tahun 2007, di rumah majikannya yang beralamat di Perumahan GP Sawah Lama kecamatan Ciputat Tangerang Selatan telah terjadi banjir, dan pada saat itulah R dituduh telah mengambil barangbarang milik majikannya berupa satu kantong plastik daging buntut sapi, satu buah gelas, satu botol Hair Tonic Hadi Suwarno dan shampo, satu lembar baju muslim, sapu tangan, satu botol Listerin, satu kaleng racun nyamuk Force Magic, satu buah tempat tisu, satu buah piring keramik merek Anchor Hocking, 1 (satu) buah piring • Geshen Kartikel, dua buah piring merek Royal Province dan satu buah piring merek Taichi.

Satu kantong plastik daging buntut sapi, satu buah gelas, satu botol Hair Tonic Hadi Suwarno dan shampo, satu lembar baju muslim, sapu tangan, satu botol Listerin, satu kaleng racun nyamuk Force Magic, satu buah tempat tisu, satu buah piring keramik merek Anchor Hocking, 1 (satu) buah piring Geshen Kartikel, dua buah piring merek Royal Province dan satu buah piring merek Taichi, dikembalikan kepada Terdakwa R binti RA serta satu buah mangkok dan tiga buah piring kecil/cawan dikembalikan kepada saksi SM melalui Terdakwa;

Majikan tersebut melaporkan R ke kepolisian, dan selanjutnya jaksa penuntut umum menuntut R telah melakukan tindak pidana pencurian. Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 775/Pid.B/2010/PN.TNG. Tanggal 22

biaya

perkara

kepada

Terhadap putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum tidak puas sehingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung inilah yang kemudian menyita perhatian publik. Bagaimana tidak, amar putusan tersebut berbalik arah bagi terdakwa R.

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 225

Membebankan negara.



| 225

7/27/2012 3:11:33 PM

Mahkamah Agung terdakwa diputus melalui Putusan No. 653/K/Pid/2011 yang amarnya pokoknya sebagai berikut: 1.

2.

3.

4.

5.

Dalam putusannya hakim sudah menerapkan keadilan restoratif. Dengan berbagai pertimbangan, terdakwa divonis tidak bersalah melakukan pencurian. Semua barang Menyatakan Terdakwa R binti RA, telah yang menjadi milik terdakwa dikembalikan, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah hal itu sudah merupakan pemulihan kerugian melakukan tindak pidana “pencurian“; bagi korban. Dengan kata lain, perbaikan atas Menghukum Terdakwa oleh karena itu kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang dengan pidana penjara selama 4 (empat) terjadi sudah dilakukan. bulan 10 (sepuluh) hari; Pelaku tidak diberikan pembalasan Menetapkan bahwa masa penahanan dengan berupa hukuman, tetapi kerugian korban yang telah dijalani oleh Terdakwa akan dipulihkan dengan mengembalikan semua dikurangkan seluruhnya dari pidana yang barang milik korban. Hal ini sesuai dengan teori pemidanaan yaitu teori tujuan. Inilah keadilan yang dijatuhkan; diagung-agungkan orang pada zaman sekarang, Memerintahkan agar barang bukti ya, keadilan restoratif yang “digadangkan” bisa dikembalikan kepada saksi SA; memberikan keadilan kepada semua pihak. Membebankan biaya perkara kepada Baik itu keadilan bagi pelaku, korban, maupun masyarakat. terdakwa.

Putusan Mahkamah Agung tersebut tentu saja mengundang kontroversial masyarakat. Secara yuridis formal, R sudah diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Hakim menimbang kasus yang diduga dilakukan oleh R juga merupakan kasus yang nilai kerugiannya kecil dan sifat perbuatannya masih bisa diperbaiki jika melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri, yaitu perbaikan bukan saja penghukuman.

Putusan kasus R, Mahkamah Agung memutuskan keadilan yang berbeda yaitu menggunakan pendekaran keadilan prosedural bagi pelanggar tanpa memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Putusan Mahkamah Agung masih menggunakan keadilan retributif dengan teori pemidanaan berupa teori pembalasan sehingga lebih mengedepankan pembalasan bagi pelaku walaupun kerugian korban sudah dipulihkan.

Menerapkan keadilan restoratif dalam Perkara seperti yang terjadi pada kasus putusan hakim diharapkan dapat memberikan R justru menghabiskan dana yang lebih besar keadilan yang membahagiakan bagi para pihak dibandingkan kerugian saksi. Apalagi dengan yang berkonflik, yaitu pelaku dan korban, bahkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang keadilan tersebut bisa dirasakan oleh masyarakat. memvonis tidak bersalah dan terdakwa diharuskan Tulisan ini ingin mengkaji penerapan keadilan mengembalikan sejumlah barang yang telah restoratif dalam tataran putusan hakim. Mengingat diambil, toh kerugian korban sudah dipulihkan. walau bagaimanapun putusan hakim merupakan Tentu hal itu sudah memberikan rasa keadilan jawaban untuk menyelesaikan konflik pidana yang terjadi antara pelanggar dengan korban. bagi korban, pelaku dan juga masyarakat. 226 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 226

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:33 PM

II.

RUMUSAN MASALAH

menjadi kekejaman atau kebuasan (Sianturi, 1996: 54).

Bagaimana penerapan keadilan restoratif pada putusan hakim dalam menyelesaikan konflik Di daerah-daerah di Indonesia sebelum pidana melalui sistem peradilan pidana. kedatangan penjajah Belanda, pada umumnya hukum adat tidak tertulis. Hukum adat tidak mengenal sistem “praeextintente”. Seluruh III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS lapangan hidup menjadi batu ujian perihal apa A. Tujuan Pemidanaan bagi Pelanggar yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Tiap-tiap Hukum perbuatan atau tiap-tiap situasi yang tidak selaras Berbicara mengenai sanksi yang diberikan dengan atau yang memperkosa keselamatan bagi pelanggar hukum atau pelaku tindak pidana, masyarakat, keselamatan golongan, keluarga, dan maka tidak akan lepas berbicara mengenai tujuan sebagainya dapat merupakan pelanggaran hukum. daripada pemberian sanksi tersebut atau disebut Sedang reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat di berbagai lingkungan hukum tujuan pemidanaan. antara lain adalah: mengganti kerugian imaterial, Sebelum sampai pada tujuan pemidanaan, pembayaran uang adat, selamatan, permintaan maka perlu disampaikan terlebih dahulu tujuan maaf, pelbagai rupa hukuman badan hingga hukum pidana itu sendiri, yaitu untuk melindungi hukuman mati, pengasingan dari masyarakat. kepentingan orang perorangan (individu) Sekalipun tidak dikenal pembedaan hukum atau hak-hak asasi manusia dan melindungi perdata dan hukum pidana dalam hukum adat, kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara namun dapat tergambarkan bahwa tujuan hukum dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/ (pidana) adalah untuk menjamin keselamatan tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan orang dan masyarakat (Sianturi, 1996: 54). penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak. Penjatuhan pidana bukan semata-mata Akan tetapi mengenai persoalan dan perwujudan tujuan hukum pidana tersebut dalam sejarahnya sebagai pembalasan dendam. Yang paling penting telah mengalami proses yang lama dan lamban adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman sekaligus kepada masyarakat dan (Sianturi, 1996: 54). kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan Pada zaman sebelum Revolusi Perancis dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. misalnya, ketika hukum pidana pada umumnya Demikianlah konsepsi baru fungsi pemidanaan belum tertulis, dalam banyak hal, baik/buruknya yang bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun atau dapat tidaknya di pidana suatu tindakan, juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi tergantung kepada kebijaksanaan hakim sebagai sosial. Konsepsi itu di Indonesia disebut alat dari raja. Dalam banyak peristiwa, terjadi pemasyarakatan (Waluyo, 2004: 3). kesewenang-wenangan dari penguasa mengenai Pada dasarnya kepada seseorang pelaku penentuan sesuatu tindakan yang dapat dipidana, maupun mengenai jenis dan beratnya pidana, suatu tindak pidana harus dikenakan suatu akibat demikian juga mengenai pengayunannya. Bahkan hukum. Akibat hukum itu pada umumnya berupa kesewenang-wenangan itu sering menjelma hukuman pidana. Ditinjau dari sudut kerugian Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 227



| 227

7/27/2012 3:11:33 PM

terpidana, (hukuman) pidana dapat mengenai (Sianturi, 1996: 54):

seseorang yang sakit atau cacat jiwanya ke rumah sakit jiwa.

a.

jiwa pelaku: pidana mati.

b.

badan pelaku: pencambukan dengan rotan sekian kali, pemotongan bagian e. badan (misalnya jari tangan), dicap-bara (brandmerk) dan lain sebagainya.

c.

Kemerdekaan pelaku: pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, pembuangan (verbanning), pengasingan (deportatie), pengusiran, penginterniran, penawanan dan sebagainya.

d.

Kehormatan pelaku: pencabutan hakhak (tertentu), pencabutan surat izin mengemudi, pengumuman putusan hakim, tegoran dan lain sebagainya.

d.

Perintah hakim untuk pengobatan paksa (narkotik, psychopath). Perintah hakim untuk pendidikan paksa (anak di bawah umur).

Bahkan dalam hal tertentu, tidak dikenakan suatu hukuman. Definisi pidana itu sendiri adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindakan pidana (Sastrawidjaja, 1995: 25). Rumusan lain menyebutkan pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik (Waluyo, 2004: 9).

e.

Harta benda/kekayaan: pidana denda, Melihat itu, maka seringkali wujud sanksi perampasan barang (tertentu), membayar pidana itu memang memberikan penderitaan bagi harga suatu barang yang tidak/belum orang tersebut. Betapa tidak, narapidana atau dirampas sesuai taksiran dan lain sebagainya. warga binaan dirampas hak-hak kemerdekaannya sehingga harus terpenjara di balik jeruji besi. Itu Akan tetapi adakalanya dikenakan suatu belum dihitung dengan efek stigmatisasi setelah hukuman yang sebenarnya tidak merupakan keluar dari penjara. pidana, melainkan suatu tindakan tertentu atau suatu kewajiban yang mirip dengan hukuman Dalam sistem hukum Indonesia yang perdata. Suatu tindakan tertentu atau yang mirip menganut asas praduga tak bersalah (presumption dengan hukuman perdata antara lain ialah: of ennocence), pidana sebagai reaksi atas delik a. b.

c.

yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya Tindakan tata-tertib seperti menempatkan perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila perusahaan pelaku di bawah pengampunan, tidak terbukti bersalah maka tersangka harus mewajibkan pembayaran uang jaminan, dibebaskan (Waluyo, 2004: 9). mewajibkan membayar sejumlah uang Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini, sebagai pencabutan keuntungan, melakukan tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk jasa-jasa, pembubaran suatu organisasi dan melindungi kepentingan orang perseorangan lain sebagainya. (individu) atau hak-hak asasi manusia dan Perintah hakim untuk memasukkan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat Mewajibkan ganti rugi.

228 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 228

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:33 PM

dan negara dengan perimbangan yang serasi dari kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak (Sianturi, 1996: 54).

perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. Ancaman pidana dan dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat, menjamin ketertiban hukum atau prevensi umum. Teori tujuan mempersoalkan akibatakibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepada kepentingan masyarakat dan untuk masa mendatang. Teori tujuan lebih humanis. Selain memikirkan efek jera kepada penjahat atau pun calon penjahat. Juga mempertimbangkan akibat dari pemidanaan ini untuk pelaku tindak pidana atau pun kepentingan masyarakat di masa yang akan datang. Dalam kenyataannya sedikit sekali putusan yang menyiratkan hal yang demikian.

Tujuan penjatuhan pidana adalah pembalasan, penghapusan dosa, menjerakan, perlindungan terhadap umum dan memperbaiki si penjahat (Wahid dan Irfan, 2001: 98-99). Tujuan hukum pidana, menurut aliran klasik melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Sedangkan menurut aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan (Poernomo, 1994: 23-34). Oleh karena itu, ketika dalam memutuskan vonis kepada terdakwa, tentu hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan yang mana yang akan dicapai melalui vonis tersebut.

Secara teori, ada tiga teori pemidanaan yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori c. Teori Gabungan tujuan dan golongan teori gabungan (Sianturi, Teori gabungan mendasarkan pemidanaan 1996: 58). kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan yang tidak saja hanya a. Teori Pembalasan mempertimbangkan masa lalu (seperti yang Teori pembalasan membenarkan terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga pemidanaan karena seseorang telah harus bersamaan mempertimbangkan masa melakukan suatu tindak pidana. Terhadap datang (seperti yang dimaksudkan pada teori pelaku tindak pidana mutlak harus tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu diadakan pembalasan berupa pidana. Tidak pidana harus memberikan rasa kepuasan dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi baik bagi hakim maupun kepada penjahat terpidana. Bahan pertimbangan untuk itu sendiri di samping kepada masyarakat. pemidanaan hanyalah masa lampau, Jadi harus ada keseimbangan antara pidana maksudnya masa terjadinya tindak yang dijatuhkan dengan kejahatan yang pidana itu, masa yang akan datang yang telah dilakukan. bermaksud untuk memperbaiki pelaku tidak dipersoalkan. b. Teori Tujuan Teori tujuan membenarkan pemidanaan berdasarkan tujuan pemidanaan yaitu

Seyogianya teori inilah yang dipakai oleh para hakim dalam menentukan pemidanaan bagi pelaku kejahatan. Dalam putusannya, haruslah mencerminkan penjeraan bagi pelaku atau pun

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 229



| 229

7/27/2012 3:11:33 PM

calon pelaku tetapi juga mempertimbangkan sifat orang yang dijatuhi sanksi pidana. Sanksi akibat yang akan terjadi baik itu pada pelaku, pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan korban maupun masyarakat. tetapi bahwa pidana harus bersifat prospektif dan berorintasi ke depan. Oleh karena itu, antara Kini, pergeseran paradigma pemidanaan pemberian sanksi pidana dengan pelaku tindak itu sudah beralih pada rasa keadilan yang harus pidana harus terdapat kesesuaian, sehingga (antara) diperoleh semua pihak. Konsep ini hakim tidak tujuan diberikannya sanksi pidana tersebut dapat hanya terpuaskan untuk memidana pelaku, atau tercapai, maka hakim dalam menjatuhkan sanksi korban yang merasa puas terhadap vonis hakim, pidana harus mempertahankan sifat-sifat atau melainkan juga pelaku memperoleh kesempatan karakter dari si pelaku tindak pidana (Ravena, untuk memperbaiki diri dan masyarakat 2009: 2-3). terpuaskan dengan putusan hakim. Artinya seluruh pihak yang terlibat dalam konflik pidana merasa Ada beberapa hal yang harus diperhatikan memperoleh keadilan yang (mungkin) setara. oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana sebagaimana telah diutarakan di atas, yaitu: Apabila dikaitkan dengan sistem (RUU KUHP, 2008: Pasal 55) pemasyarakatan seyogianya setiap masyarakat yang melakukan kejahatan atau tindak pidana, 1. Kesalahan pembuat tindak pidana; tentunya setiap pemberian sanksi pidana harus 2. Motif dan tujuan melakukan tindak memperhatikan unsur-unsur yang bersifat: pidana; 1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa 3. Sikap batin pembuat tindak pidana; pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat martabat seseorang; 4. Apakah tindak pidana dilakukan 2.

3.

Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan; Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum oleh korban ataupun masyarakat (Ravena, 2009: 2).

dengan berencana; 5.

Cara melakukan tindak pidana;

6.

Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

7.

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;

8.

Pengaruh pidana terhadap korban dan/atau keluarganya dan/atau

9.

Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Begitu pula setiap penjatuhan sanksi Selain hal-hal di atas, dalam ayat (2)-nya pidana kepada pelaku kejahatan haruslah berhatihati, karena masalah pemberian pidana apapun disebutkan bahwa ringannya perbuatan, keadaan bentuknya berkaitan erat dengan karakter dan pribadi pembuat, atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak 230 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 230

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:34 PM

menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan menderitakan dan merendahkan martabat dengan mempertimbangkan segi keadilan dan manusia. Jika hakim dalam memutuskan vonis kemanusiaan. mempertimbangkan tujuan daripada pemidanaan, maka kasus-kasus seperti kasus R ini tentu Walaupun RUU KUHP ini belum disahkan, mendapatkan porsi layak sehingga keadilan yang tetapi tidak ada salahnya hakim berpedoman pada diberikan tidak hanya berupa keadilan prosedural hal-hal yang telah disebutkan di atas sebagai melainkan juga keadilan substansial yang dapat acuan dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku mewujudkan tujuan pemidanaan itu sendiri. tindak pidana. Begitu pula sistem peradilan pidana berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, yang mempunyai sarana perlindungan masyarakat, resosialisasi, serta penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh

Berbeda dengan pertimbangan hakim majelis di tingkat Mahkamah Agung yang lebih banyak mempertimbangkan aspek formil atau pun yurisdis dari pada mengedepankan tujuan dari pemidanaan itu sendiri. Alasan kasasi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum lebih menonjol dibanding dengan alasan pemidanaan bagi R. Jika alasan kasasi dikabulkan oleh Mahkamah

perbuatan pidana serta aspek psikologis untuk Agung, maka itu tentu tidak akan berpengaruh menghilangkan rasa bersalah bagi terpidana langsung terhadap vonis bagi terdakwa. Hal itu (Ravena, 2009: 3). dikarenakan vonis terdakwa terkait dengan tujuan Tujuan pemidanaan dalam Rancangan pemidanaan, yaitu, yang paling penting adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh KUHP tahun 2008 disebutkan sebagai berikut: tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan a. Mencegah dilakukannya tindak pidana mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. dengan menegakkan norma hukum Sebagaimana telah dijelaskan di atas, banyak demi pengayoman masyarakat; hal yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan b. Memasyarakatkan terpidana dengan putusan, di antaranya pandangan masyarakat mengadakan pembinaan sehingga terhadap tindak pidana yang dilakukan. Perhatian menjadi orang yang baik dan berguna; dalam hal ini bukan berarti tidak independen dan c. Menyelesaikan konflik yang harus mengikuti opini publik, melainkan putusan ditimbulkan oleh tindak pidana, tersebut harus peduli dan tidak mencederai rasa memulihkan keseimbangan, dan keadilan masyarakat. mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d.

B.

Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Selain itu dalam ayat 2 disebutkan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk

Keadilan restoratif diterima sebagai salah satu konsep penyelesaian kasus pidana oleh PBB pada tahun 2000. Setelah pengakuan itu, semakin

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 231

Penerapan Keadilan Restoratif dalam Menyelesaikan Konflik Pidana Oleh Hakim



| 231

7/27/2012 3:11:34 PM

banyak negara yang menerapkannya dalam menangani perkara pidana. Keadilan restoratif adalah model penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip utama keadilan restoratif adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai sukarelawan mediator atau fasilitator penyelesaian kasus (Buletin Komisi Yudisial, 2012: 18).

resolution) yang mengandung muatan pemberian ganti kerugian (recompense) dan pemulihan nama baik (vindication); dan, kedua, rasa aman (safety) yang mengandung muatan perdamaian (peace) dan ketertiban (order) (Mudzakkir, 2005: 26). Charles K.B. Barton (2003: 4) membagi restorative justice ke dalam restorative justice meeting dan restorative justice conference. A restorative justice meeting is a face-to-face encounter between the principal stakeholders. A restorative justice conference, for example, brings together the victim, the offender, and their respective communities of support (family member, friends, coleagues, neighbours, teachers, coach, etc) to discuss the wrongful, or offending

Untuk memaknai keadilan restoratif, berikut ini diberikan beberapa pendapat ahli tentang keadilan restoratif. Agustinus Pohan, misalnya, mengemukakan keadilan restoratif adalah konsep keadilan yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal saat ini dalam Sistem Hukum Pidana Indone­sia yang bersifat retributif, keadilan restoratif (restorative justice) adalah sebuah behaviour in question. The focus is to address pendekatan untuk membuat pemindahan dan the causes and consequences and to find a pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. satisfactory resolution to the incident in question through consensus decision making. Keadilan restoratif dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang po­sitif dan Keadilan restoratif yang dikemukakan di sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak atas merupakan sebuah proses mempertemukan asasi manusia. Prinsip-prinsip keadilan restoratif para pihak. Para pihak tersebut duduk bersama adalah, mem­buat pelaku bertanggung jawab untuk membicarakan kesalahan ataupun perilaku untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan yang telah ditimbulkan. Namun fokus daripada karena kejahatannya, memberikan ke­sempatan pertemuan itu adalah untuk menemukan solusi pada pelaku untuk membuktikan kapasitas dan yang nantinya akan diambil menjadi keputusan. kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya Selanjutnya Charles (2003: 4) juga dengan cara yang konstruktif, melibatkan menyebutkan bahwa “in contexs unrelated to korban, o­rang tua, keluarga, sekolah atau teman criminal justice, restorative justice processes can bermainnya, membuat forum kerjasama, juga be used as an effective conflict resolution and dalam masalah yang berhubungan dengan problem solving tool. The principles, facilitation kejahatan untuk mengatasinya (Melani, 2005: techniques and the democratic nature of these 225). processes can be easily transferred to other areas Selanjutnya W. Van Ness menyatakan bahwa with appropriate modification. keadilan restoratif hendak mencapai beberapa Kelompok kerja Perserikatan Bangsa nilai melalui penyelenggaraan peradilan pidana, Bangsa (PBB) memberikan pengertian keadilan yaitu; pertama, penyelesaian konflik (conflict restoratif sebagai suatu proses yang melibatkan 232 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 232

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:34 PM

semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang (Melani, 2005: 223).

lingkungan yang harmonis sehingga korban dan pelaku dapat merekonsiliasi konflik mereka dan menyelesaikan kerugian mereka dan dalam waktu yang bersamaan menimbulkan rasa aman dalam masyarakat (Mudzakkir, 2005: 26).

Sebagai rasa tanggung jawab dari pelaku terhadap korban, pelaku didorong untuk memiliki rasa pertanggungjawaban dengan menunjukkan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian. Sebagai akibat dari perilaku menyakitkan pelaku bukan pada masa lalu pelaku. Sehingga stigma dapat dihilangkan melalui tindakan yang tepat yang didukung oleh penyesalan pelaku dan pemaafan dari korban. Proses penyelesaian bergantung pada keterlibatan langsung orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian sehingga dimungkinkan prosesnya menjadi emosional (Yulia, 2009: 247).

Melalui pendekatan keadilan restoratif diharapkan pemulihan bagi korban dapat terealisasi, tujuan pemidanaan bagi pelaku akan berhasil dan ketertiban masyarakat pun dapat tercapai. Keadilan restoratif merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan tujuan hukum. Keadilan yang akan diperoleh semua pihak, baik pelaku, korban maupun masyarakat (Yulia, 2009: 248).

Keadilan restoratif berbeda dengan keadilan retributif yang dianut sistem peradilan pidana sekarang. Perbedaan itu antara lain terdapat dalam beberapa hal, yaitu: pertama, melihat tindakan kriminal secara komprehensif. Tidak saja mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran hukum semata, namun juga memahami bahwa pelaku merugikan korban, masyarakat dan bahkan dirinya sendiri. Kedua, melibatkan banyak pihak dalam merespon kejahatan, tidak hanya sebatas urusan pemerintah dan pelaku kejahatan, namun juga korban dan masyarakat. Ketiga, mengukur kesuksesan dengan cara yang berbeda, tidak hanya dari seberapa besar hukuman dijatuhkan, namun juga mengukur seberapa kerugian dapat dipulihkan atau dicegah (Hidayat, 2005: 26).

Beberapa teori tentang tujuan hukum: Pertama, Teori Etis: tujuan hukum adalah keadilan. Kedua, Teori Utilitas: tujuan hukum adalah kebahagiaan. Ketiga, Teori Campuran: tujuan hukum adalah ketertiban. Pendapat lain, misalnya Mochtar Kusumaatmadja: tujuan hukum adalah keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat pada zamannya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi (Warassih, 2005: 24-25).

Konsep kejahatan menurut konsep restorative justice diberi pengertian yang lebih nyata, bahwa kejahatan adalah konflik antar orang perseorangan. Kejahatan dipahami sebagai pelanggaran, pertama dan terutama melanggar hak perseorangan dan juga melanggar hak masyarakat (kepentingan publik), kepentingan Keadilan restoratif lebih menekankan negara, dan juga sesungguhnya secara tidak kepada keterlibatan langsung pihak-pihak dan langsung melanggar kepentingan pelanggar itu menuntut usaha kerja sama dengan masyarakat sendiri (Mudzakkir, 2001: 210). serta pemerintah untuk menciptakan suatu

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 233



| 233

7/27/2012 3:11:34 PM

Bila disimak karakteristik keadilan restoratif di atas dapat ditegaskan kembali bahwa pandangannya lebih dipengaruhi paham Abolisionis yang menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara realistis harus diubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut (Sholehuddin, 2004: 66).

kepada mereka oleh hukum, tetapi mereka juga harus memahami potensi akibat berbahaya (akibat merusak) dari kekuasaan dan kewenangan tersebut (Susanto, 2002: 27). Para penegak hukum harus mengembangkan sikap dan perilaku personal pada tingkat yang akan memungkinkan mereka untuk melaksanakan tugas dengan cara yang benar. Para petugas penegak hukum tidak hanya harus memiliki karakteristik tersebut Oleh karena itu, dalam perkara pidana, secara perorangan, tetapi juga mereka harus keadilan restoratif akan lebih efektif sebagai alat bekerja secara kolektif untuk memperkuat dan untuk penyelesaian konflik. Dalam penegakan memelihara citra organisasi penegak hukum hukum pidana, keadilan itu harus diperoleh sehingga menanamkan kepercayaan dan melalui tahapan sistem peradilan pidana keyakinan ke dalam masyarakat yang mereka sehingga itu tidak menutup kemungkinan untuk layani dan lindungi (Susanto, 2002: 27). menerapkan keadilan restoratif dalam semua tahapan sistem peradilan pidana. Keadilan restoratif adalah respon yang sistematis atas tindak penyimpangan yang ditekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan kriminal. Keadilan restoratif lebih menekankan pada upaya pemulihan dan bukan untuk menghukum. Dalam pelaksanaannya, keadilan restoratif akan merespon tindak pidana Dengan demikian, sistem peradilan dengan ciri-ciri sebagai berikut (Mansyur, 2010: pidana diharapkan dapat mewujudkan keinginan 121): masyarakat untuk memperoleh keadilan. Akan a. Melakukan identifikasi dan mengambil tetapi pada kenyataannya banyak masyarakat langkah untuk memperbaiki kerugian yang yang kecewa dengan hasil bekerjanya sistem diciptakan; peradilan pidana. Hal itu berkaitan dengan terlalu bergantungnya sistem peradilan terhadap b. Melibatkan seluruh pihak yang terkait kekuasaan dan penguasa, sehingga seolah(stake holder); olah hukum hanya milik penguasa bukan milik c. Adanya upaya untuk melakukan masyarakat. Dengan kondisi demikian, semakin transformasi hubungan yang ada selama menjustifikasi kelemahan rakyat kecil di hadapan ini antara masyarakat dengan pemerintah penguasa sehingga sistem peradilan pidana dalam merespon tindak pidana. berpihak pada penguasa. Pelaku direstorasi melalui sistem peradilan pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian antara korban dan pelaku. Perdamaian itu dilakukan melalui mediasi, pertemuan, program perbaikan ekonomi dan pendidikan kejujuran (Braithwaite, 2002: 54).

Tujuan utama dari keadilan restoratif itu C. de Rover mengatakan bahwa para sendiri adalah pencapaian keadilan yang seadilpenegak hukum tidak boleh hanya mengetahui adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat kekuasaan dan kewenangan yang diberikan 234 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 234

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:34 PM

di dalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman. Keadilan yang saat ini dianut, yang oleh kaum abolisionis disebut keadilan retributif, sangat berbeda dengan keadilan restoratif. menurut keadilan restributif, kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara, sedangkan menurut keadilan restoratif kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain. Selain itu, keadilan retributif berpandangan bahwa pertanggungjawaban si pelaku tindak pidana dirumuskan dalam rangka pemidanaan, sedangkan keadilan restoratif berpandangan bahwa pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik. Dilihat dari sisi penerapannya, keadilan retributif lebih cenderung menerapkan penderitaan penjeraan dan pencegahan, sedangkan keadilan restoratif menerapkan restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama (Mansyur, 2010 : 124).

c. Pemerintah berperan dalam menciptakan ketertiban umum, sementara masyarakat membangun dan memelihara perdamaian. Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut di atas, terdapat empat nilai utama, yaitu (Mansyur, 2010: 125): a. Encounter (bertemu satu sama lain), yaitu menciptakan kesempatan kepada pihakpihak yang terlibat dan memliki niat dalam melakukan pertemuan untuk membahas masalah yang telah terjadi dan pasca kejadian. b. Amends (perbaikan), di mana sangat diperlukan pelaku mengambil langkah dalam memperbaiki kerugian yang terjadi akibat perbuatannya. c. Reintegration (bergabung kembali dalam masyarakat), yaitu mencari langkah pemulihan para pihak secara keseluruhan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat.

Jika hal tersebut diterapkan dalam putusan hakim, maka hakim akan memberikan d. Inclusion (terbuka), di mana memberikan putusannya dengan mempertimbangkan halkesempatan kepada semua pihak yang hal tersebut. Tidak hanya mengendepankan terkait untuk berpartisipasi dalam keadilan prosedural, melainkan efek dari putusan penanganannya. itu terhadap perbaikan diri terdakwa atau pun Proses keadilan restoratif dapat dilakukan terhadap masyarakat. dalam beberapa mekanisme tergantung situasi Pelaksanaan keadilan restoratif memiliki dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang prinsip-prinsip dasar sebagai berikut (Mansyur, mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang 2010: 125): lain. Adapun beberapa mekanisme yang umum diterapkan dalam keadilan restoratif adalah a. Keadilan yang dituntut adalah adanya upaya sebagai berikut (Mansyur, 2010: 126): pemulihan bagi pihak yang dirugikan. a. b. Siapapun yang terlibat dan terkena dampak dari tindak pidana harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi penuh b. menindaklanjutinya. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 235

Victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku); Conferencing (pertemuan atau diskusi);



| 235

7/27/2012 3:11:34 PM

c.

Circles (bernegosiasi);

d.

Victim assistance (pendampingan korban);

f.

Ex-offender assistance mantan pelaku);

kompensasi serta rekonsiliasi dan penyatuan sosial merupakan bentuk pidana dalam konsep keadilan restoratif (Yulia, 2010: 167).

(pendampingan

Prinsip-prinsip keadilan restoratif sebagaimana telah dijelaskan di atas, tentu dapat diterapkan oleh hakim dalam menjatuhkan g. Restitution (ganti rugi); putusan. Terutama dalam kasus yang dianggap h. Community service (layanan masyarakat). ringan ataupun kerugiannya dapat dipulihkan Menurut Adrianus Meliala, model hukuman secara segera tanpa harus melibatkan pihak lain. restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan Dalam Putusan MA No. 653K/Pid/2011 pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku hakim mempertimbangkan sedikitnya 3 hal menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan dalam menjatuhkan amarnya. Pertama, alasan sekaang tujuan pemberian hukuman adalah Jaksa untuk mengajukan kasasi. Jaksa dianggap penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang derita sebagai konsekuensi perbuatannya. dijatuhkan Pengadilan Negeri Tangerang adalah Indikator penghukuman diukur dari sejauh bukan bebas murni sehingga dapat diajukan mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan kasasi. Pengajuan kasasi tersebut sudah sesuai penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan dengan cara dan tenggat waktu sesuai dengan (security approach). Selain pemenjaraan yang perundang-undangan yang berlaku. membawa akibat bagi keluarga napi, sistem Menurut pertimbangan Mahkamah yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses Agung, jaksa penuntut umum dalam kasasinya hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, dapat membuktikan bahwa putusan bebas yang pada model keadilan restoratif yang ditekankan dijatuhkan pengadilan negeri adalah bebas tidak adalah resolusi konflik. Pemidanaan restoratif murni, sehingga masih bisa diajukan upaya melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain hukum kasasi. dalam menyelesaikan masalah. Di samping itu, Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung amar putusannya menyatakan bahwa terdakwa jawab untuk memperbaiki kerugian yang bebas dari segala dakwaan. Hal ini lah yang dijadikan ditimbulkan perbuatannya (Mansyur, 2010: 126). alasan bahwa terdakwa diputus bebas tidak murni Konsep keadilan restoratif yang didasarkan secara sempit. Alasan lain adalah penafsiran pasalpada tujuan hukum sebagai upaya menyelesaikan pasal yang terkait dengan pasal pembuktian (harus konflik dan mendamaikan antara pelaku dan ada saksi ketika terdakwa mengambil barang) dan korban kejahatan. Pidana penjara bukanlah satu- unsur mengambil barang milik orang lain tidak satunya pidana yang dapat diberikan pada pelaku, terbukti secara melawan hukum. Alasan pengajuan melainkan pemulihan kerugian, penderitaan kasasi adalah kesalahan hakim dalam menafsirkan yang dialami korban lah yang utama. Kewajiban pasal-pasal tersebut di atas. Sehingga Mahkamah merestorasi kejahatan dalam bentuk restitusi dan Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi

236 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 236

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:34 PM

jaksa penuntut umum harus dikabulkan. Alasan pengajuan kasasi dengan menyatakan bahwa putusan kasus terdakwa R adalah putusan bebas tidak murni merupakan alasan dapat diterimanya kasasi. Akan tetapi dalam menjatuhkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta harus juga mengabulkan permohonan kasasinya. Ada hal-hal yang harus masuk dalam pertimbangan juga.

mekanisme kerja yang diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak yang berkonflik. Dengan menggunakan prinsipprinsip dalam restorative justice, hakim dalam putusannya dapat mengedepankan kepentingan para pihak. Hakim memberikan sebuah solusi yang semua pihak bisa menerima. Dalam kasus R misalnya, korban sudah dipulihkan kerugiannya dengan dikembalikannya barang-barang yang dianggap dicuri (dalam putusan pengadilan negeri tidak terbukti unsur mengambil barang).

Kedua, alasan pertimbangan hakim terhadap unsur “mengambil barang” sesuai Melihat jumlah kerugian yang diderita dan dengan Pasal 362 KUHP. Dalam putusan kerugian sudah dipulihkan, maka pembalasan pengadilan negeri unsur mengambil barang tidak bagi pelaku juga sudah tidak diperlukan lagi. terbukti karena tidak ada saksi yang melihat pada Apalagi pembalasan dengan berupa hukuman ini saat pengambilan barang tersebut. Barang yang akan mengakibatkan terganggunya rasa keadilan ada di tempat terdakwa tidak semuanya diambil masyarakat. tanpa izin melainkan ada beberapa barang yang diberikan oleh korban. Tidak ada saksi yang Dalam proses mengadili terdakwa, tentu melihat pada saat mengambil barang sehingga hakim dapat mempertimbangkan segala aspek dan perbuatan melawan hukum tidak terbukti. setiap hal yang berkaitan dengan terdakwa. Baik Ketiga, adanya kesalahan penafsiran dari hakim. Kesalahan dalam melakukan penafsiran tentang pasal pembuktian dan pencurian menurut jaksa penuntut umum harus ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Untuk menemukan kebenaran materiil yang memberikan keadilan bagi semua pihak tentu selain melakukan penafsiran secara tekstual bunyi undang-undang, juga harus melakukan penafsiran kontekstual pada saat itu dilakukan dan pada saat sekarang terjadi perbuatannya.

itu yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa. Selain itu hakim juga harus memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan secara sosilogis harus melihat rasa keadilan yang dicari oleh masyarakat. Walaupun ini tidak berarti hakim harus terpengaruh oleh opini publik yang sudah terbangun dalam suatu kasus tertentu.

Ketika menjatuhkan putusan, tidak sematamata keadilan prosedural yang sudah terpenuhi. Tidak hanya melulu mengedepankan formalitas hukum atau pun kepastian hukum berdasarkan Dalam menjatuhkan putusan tidak hanya teks undang-undang, tetapi juga harus unsur yuridis yang dipertimbangkan tetapi unsur memaknakan keadilan bagi seluruh masyarakat. sosiologis juga menjadi bagian penting dalam Keadilan restoratif lebih mengusung keadilan sebuah putusan. Mengingat hakim wajib menggali substansial yang harus diperoleh semua pihak, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. baik itu korban, pelaku atau pun masyarakat. Jika Keadilan restoratif menawarkan sebuah hakim menggunakan keadilan restoratif dalam

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 237



| 237

7/27/2012 3:11:34 PM

memutuskan suatu perkara pidana, maka rasa ketidakpuasan terhadap putusan yang dijatuhkan akan dapat diminimalisasi. Hal itu terkait dengan cara bekerjanya keadilan restoratif dalam menyelesaikan konflik pidana. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa konsep keadilan restoratif ini menghadirkan semua pihak dalam mencari solusi terbaik dengan difasilitasi oleh masyarakat (dalam konteks ini hakim dapat berfungsi sebagai mediator). Berbagai hal yang terkait dengan tujuan pemidanaan, kepentingan pelaku kejahatan, kepentingan korban dan kepentingan masyarakat harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pertimbangan putusan hakim. Hakim harus mampu mencerna dampak yang ditimbulkan kepada pelaku kejahatan atas pidana yang dijatuhkan. Melalui putusannya itu pula hakim harus dapat memulihkan kerugian ataupun penderitaan korban, dan tidak kalah penting adalah, rasa keadilan masyarakat harus juga terakomodasi karena itu merupakan kontrol sosial dari penegakan hukum.

Seperti dapat dilihat dalam pertimbangan putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang memutus R tidak bersalah tetapi harus mengembalikan semua barang bukti kepada saksi pelapor. Mengingat situasi dan kondisi yang menyertai perbuatan itu sehingga dengan pengembalian sejumlah barang yang dilaporkan dicuri dianggap dapat memulihkan kerugian yang diderita oleh korban. Dalam hal ini, majelis hakim telah menerapkan keadilan restoratif. Konflik pidana yang terjadi diselesaikan dengan cara pemulihan kerugian yang diderita oleh korban. Yaitu pengembalian sejumlah barang yang dianggap telah dicuri oleh pelanggar dan pelanggar tidak dihukum pidana dengan berbagai pertimbangan.

Berbeda jika melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 653K/Pid/2011. Dalam Amar putusan tersebut menyatakan terdakwa R telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dan dijatuhkan vonis empat bulan sepuluh hari. Tentu saja putusan tersebut menimbulkan kegelisahan Keadilan restoratif diharapkan dapat di mata hukum dan masyarakat. memberikan rasa tanggung jawab sosial pada Secara yuridis formal, R sudah diputus pelaku dan mencegah stigmatisasi pelaku di tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Tangerang. masa yang akan datang. Dengan demikian Dia bebas dari segala tuduhan jaksa. Kasus konsep keadilan restoratif ini diharapkan paling yang diduga dilakukan olehnya juga merupakan tidak, bisa membatasi perkara yang menumpuk kasus yang nilai kerugiannya kecil dan sifat di pengadilan (walaupun belum bisa diselesaikan perbuatannya masih bisa diperbaiki. Jika melalui out of court settlement) dan bisa dijadikan melihat dari tujuan pemidanaan itu sendiri maka solusi dalam pencegahan kejahatan (Yulia, 2010: yang harus dilakukan adalah perbaikan bukan 167). penghukuman. Terkait dengan Putusan Mahkamah Pada sisi yang berbeda, pihak banyak Agung Nomor 653K/Pid/2011, seyogianya spirit perkara-perkara yang dianggap besar misalnya keadilan restoratif dapat dijadikan pertimbangan korupsi malahan penegakannnya lamban dan hakim untuk memutus terdakwa sesuai dengan putusannya tidak memuaskan masyarakat. rasa keadilan masyarakat.

238 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 238

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:34 PM

DAFTAR PUSTAKA Beberapa terdakwa kasus korupsi bisa melenggang kangkung begitu saja selepas divonis bebas oleh Buku-buku: hakim. Perkara yang terjadi pada kasus R ini, mungkin proses penyelesaiannya menghabiskan berkali-kali lipat biaya daripada kerugian saksi. Terlebih, putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang memvonis tidak bersalah dan terdakwa diharuskan mengembalikan sejumlah barang yang telah diambil, kerugian korban sudah dipulihkan. Dalam hal itu sudah memberikan rasa keadilan bagi korban, pelaku dan juga masyarakat. Sekali lagi, dengan kata lain, perbaikan atas kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan yang terjadi sudah dilakukan. IV. SIMPULAN Penerapan keadilan restoratif oleh hakim dalam menjatuhkan putusan dapat mulai dilaksanakan pada perkara-perkara yang dianggap dengan sifat kerugian kecil. Seperti kasus-kasus yang dicontohkan dalam tulisan ini oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Sebaliknya, Mahkamah Agung justru menggunakan prinsip hukum pemidanaan sehingga dua putusan itu berbeda. Hal ini merupakan terobosan hukum yang dianggap dapat lebih memberikan keadilan bagi para pihak, baik itu pelanggar, korban, maupun masyarakat. Hakim sebagai pemutus akhir suatu perkara, tentu dapat menggunakan konsep-konsep keadilan restoratif dalam mempertimbangkan berbagai hal di balik vonis yang dijatuhkan. Hal itu semata-mata untuk mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Barton, Charles K..B. 2003. Restorative Justice (The Empowerment Model). Australia: Hawkins Press. Mansyur, Ridwan. 2010. Mediasi Penal Terhadap perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia. Nawawi Arief, Barda. 2008. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Semarang: Pustaka Magister. Poernomo, Bambang. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia. Sastrawidjaja, Sofjan. 1995. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai dengan Alasan Peniadaan Pidana). Bandung: Armico. Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem. Sholehuddin, M. 2004. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Double Track System dan Implementasinya). Jakarta: Rajawali Pers. Yulia, Rena. 2010. Viktimologi (Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan). Yogyakarta: Graha Ilmu. Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: Refika Aditama. Waluyo, Bambang. 2004. Pidana Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Putusan Hakim (Rena Yulia)

jurnal agustus 2012-arnis.indd 239



dan

| 239

7/27/2012 3:11:34 PM

Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT Suryandaru Utama. Makalah/jurnal: Buletin Komisi Yudisial, Hakim dan Penerapan Keadilan Restoratif, Vol. VI No 4, JanuariPebruari 2012. Susanto, Anthon F. Membangun Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Volume 3 Nomor 1 Januari-Juni 2002. Melani, “Membangun Sistem Hukum Pidana dari Retributif ke Restoratif”, Litigasi, Volume 6 Nomor 3 Oktober 2005. Mudzakir, Viktimologi Studi Kasus Di Indonesia, Penataran Nasional Hukum Pidana Dan Kriminologi XI, Surabaya 14-16 Maret 2005. Taufik Hidayat, “Restoratif Justice Sebuah Alternatif”, Restorasi, Edisi IV/Vol 1 2005. Ravena, Dey, Implementasi Kebijakan Berwawasan Restorative Justice Pembinaan Narapidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Litigasi, Volume 10 Nomor 1 Februari 2009.

240 |

jurnal agustus 2012-arnis.indd 240

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 2 Agustus 2012: 224 -240

7/27/2012 3:11:34 PM

BIODATA PENULIS Anthon F. Susanto, lahir di Bandung pada 17 Mei 1969. Sarjana Hukum dari Universitas Pasundan (1994), S2 Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNDIP Semarang (2001), S3 Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Beliau adalah dosen Program S1 dan Program Pascasarjana FH UNPAS Bandung. Aktif sebagai peneliti dan penulis, baik artikel untuk jurnal maupun buku, di antaranya Wajah Hukum di Era Reformasi dalam rangka menyambut 70 tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, dan Menyikapi dan Memaknai Syari’at Islam Secara Global dan Nasional (Refika Aditama, 2004). Laoura Hardjaloka, lahir di Jakarta, 21 Februari 1992, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum Perdata khususnya Hukum Ekonomi dan Perburuhan. Pernah menjadi staf peneliti Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan melakukan penelitian tentang Hambatan dan Kelemahan Sistem Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, dan menulis di E-Voting: Kebutuhan Vs. Kesiapan (Menyongsong) E-Demokrasi yang diterbitkan di Jurnal Konstitusi Volume 8, No. 3 Tahun 2011. HP: 021 90325013. ]Yeni Widowati, lahir di Gunung Kidul, 17 Juni 1961. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, S2 di Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, dan memperoleh gelar doktor di Universitas Diponegoro pada tahun 2011. Tercatat sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan pangkat Pembina/IVa sejak 1 April 2006. HP: 081328119161. Widiada Gunakaya, lahir di Singaraja, Bali 30 Agustus 1958. Dosen Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala. Sarjana Hukum (S1) STHB (1977) lulus 1982, Magister Ilmu Hukum (S2) KPK UI-UNDIP (1991) lulus 1993, Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) 2005 lulus tahun 2008. Andi Nuzul, lahir di Panyula, Kabupaten Bone Tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Dasar pada Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Panyula (1975), Pendidikan Guru Agama Negeri 4 tahun (PGAN 4 Th) tahun 1979, serta PGAN Watampone (1981). Pada jenjang pendidikan tinggi, menyelesaikan Sarjana Muda (BA) tahun 1985 di IAIN (Fak. Syariah) Alauddin di Watampone; Sarjana lengkap (S1) (1987) di perguruan tinggi yang sama Jurusan Pidana dan Perdata Islam, serta memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada FH. Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar pada program studi keperdataan (1995). Kemudian pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan di pascasarjana (S2) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan selesai tahun 2002 dalam bidang hukum keperdataan. September tahun 2006, kembali melanjutkan pendidikan doktornya (S3) di almamaternya (FH UGM) dalam program studi yang sama, dan selesai pada Desember tahun

jurnal agustus 2012-arnis.indd 241

7/27/2012 3:11:35 PM

2009. Sejak tahun 1991 sampai tahun 1997, menjadi dosen tetap dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Syariah IAIN Walauddin Watampone yang kini beralih status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. Pada tahun 1997 sampai sekarang menjadi dosen tetap dalam mata kuliah yang sama pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone. Saat ini penulis pada jabatan Lektor Kepala (IV/b) dalam Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum di STAIN Watampone. Pernah menjadi Ketua Prodi Muamalah pada Jurusan Syariah STAIN Watampone (1997-1999), serta Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STAIN Watampone periode tahun 2002-2006. Selain sebagai dosen tetap dalam mata kuliah Ilmu Hukum di STAIN Watampone, juga memberi kuliah dalam bidang hukum, kewarganegaraan, dan Pancasila pada beberapa perguruan tinggi swasta yang ada di Kabupaten Bone, antara lain Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pengayoman Watampone, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Puangrimaggalatung (STIA PRIMA) Bone, serta Sekolah Tinggi Agama Islam al-Gazali (STIA al-Gazali) Bone. Rena Yulia, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Menyelesaikan S1 Ilmu Hukum di Universitas Islam Bandung dan Magister Ilmu Hukum di almamater yang sama. Saat ini sedang menempuh Program S3 Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung. Penulis buku Viktimologi dan Hukum Pidana Ekonomi. Aktif menulis di jurnal ilmiah dan beberapa artikel hukumnya dimuat di surat kabar di Jawa Barat. HP: 0817226339.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 242

7/27/2012 3:11:35 PM

PEDOMAN PENULISAN Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. FORMAT NASKAH Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. SISTEMATIKA NASKAH I. JUDUL NASKAH Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh: PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG A. Nama dan identitas penulis Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh: Mohammad Tarigan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440, email [email protected].

jurnal agustus 2012-arnis.indd 243

7/27/2012 3:11:35 PM

B. Abstrak Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf. II. PENDAHULUAN Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut. III. RUMUSAN MASALAH Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya. IV. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah. V. SIMPULAN Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut: Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52); Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23); Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10). Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

jurnal agustus 2012-arnis.indd 244

7/27/2012 3:11:35 PM

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press. Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall. Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. . PENILAIAN Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. CARA PENGIRIMAN NASKAH Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected] dengan tembusan ke: [email protected] dan [email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322); Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480). Alamat redaksi: Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

jurnal agustus 2012-arnis.indd 245

7/27/2012 3:11:35 PM

jurnal agustus 2012-arnis.indd 246

7/27/2012 3:11:35 PM