naskah publikasi hubungan antara persepsi terhadap sikap guru

40 downloads 5007 Views 93KB Size Report
penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa. Semakin tinggi persepsi ...
NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP SIKAP GURU MENGAJAR YANG OTORITER DENGAN KECEMASAN SISWA

Oleh : RADEN RARA PUJANINGSIH YULIANTI DWI ASTUTI

FAKULTAS PSIKOLOGI UNUVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2005

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SIKAP GURU MENGAJAR YANG OTORITER DENGAN KECEMASAN SISWA

Telah Disetujui Pada Tanggal

Dosen Pembimbing

(Yulianti Dwi Astuti, S. Psi)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP SIKAP GURU MENGAJAR YANG OTORITER DENGAN KECEMASAN SISWA

Raden Rara Pujaningsih Yulianti Dwi Astuti

INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa. Semakin tinggi persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter, semakin tinggi kecemasan siswa. Sebaliknya semakin rendah persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter, semakin rendah kecemasan siswa. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMU Negeri 9 Yogyakarta, berada di kelas dua, dan memiliki usia 15 tahun – 17 tahun. Tehnik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode angket. Adapun skala yang digunakan adalah hasil modifikasi skala kecemasan dari Nirwana (2004) yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Calhoun (1990) dan skala persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dibuat sendiri oleh penulis mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Winkel (1987). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0,229, p < 0,01 yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa. Jadi hipotesis penelitian diterima. Kata Kunci : Persepsi, Sikap guru mengajar yang otoriter, Kecemasan Siswa

A. Pengantar Pada dasarnya manusia hidup di dalam sebuah lingkungan yang menuntutnya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan aturan masyarakat. Aturan tersebut kadang tidak sesuai untuk sebagian orang, sehingga terjadi konflik dalam dirinya yang kemudian menyebabkan kecemasan. Kecemasan ini biasanya terjadi pada kondisi yang tidak menyenangkan yang tidak sampai mengganggu aktifitas seseorang. Ada pula kecemasan yang melekat pada gangguan jiwa, kecemasan tersebut berkaitan dengan jenis fobia, gangguan panik (generalized anxienty disorder) dan gangguan obsesif kompulsif (Atkinson, 1991). Kecemasan demikian sudah tidak normal dan membutuhkan psikoterapi. Kecemasan pada dasarnya merupakan reaksi dari interaksi antar individu, dimana reaksi yang terjadi berupa reaksi negatif. Seseorang yang berperilaku negatif jika semakin ditekan akan menimbulkan perilaku memberontak yang mengakibatkan semakin bertambahnya perilaku negatif yang ditunjukkan. Pada siswa SMU biasanya terwujud dengan perilaku membolos, tawuran, menggunakan obat-obatan terlarang dan lainnya. Data pengguna narkoba pada bulan Juli 1999 menunjukkan jumlah pemuda yang mengkonsumsi narkoba berjumlah empat juta orang dengan omset perharinya 780 milyar (Al-Falah, 1999), sungguh angka yang fantastik dimana sebagian besar penggunanya adalah siswa SMU.

Hal ini diperkuat dengan

pemberitaan media massa tentang kasus-kasus delinkuensi remaja lainnya seperti kasus Rn (16) seorang siswi SMU yang ditangkap polisi akibat menyimpan sebutir ekstasi di dalam dompetnya saat bermain di sebuah diskotik (Kedaulatan Rakyat,

2005) dan tindakan Ed (18), Wsn (18) dan By (18) mencuri sepeda motor untuk berfoya-foya yang masih duduk di bangku SMA (Kedaulatan Rakyat, 2005) dan masih banyak lagi. Hanafi dan kawan-kawan (2000) dalam penelitiannya mengungkapkan fakta bahwa 50% siswa menganggap terlambat sekolah dan pulang sekolah adalah wajar, kurang lebih 30 – 40% siswa merasa wajar bila pernah mendatangi tempat disko, begadang di malam hari, dan melakukan perilaku menyontek. Sekitar 10 – 20% siswa biasa melakukan aksi kebut-kebutan di jalan umum, lalai beribadah, membolos, berbohong, membangkang kepada orang tua, dan berkelahi dengan keluarga atau sekolah maupun antar geng. Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa siswa SMU Negeri 9 diketahui bahwa siswa merasa tidak nyaman di sekolah dan menjadi suka berperilaku negatif saat menghadapi teman yang bersikap arogan, menghadapi ujian, mendapati guru yang sering membentak dan membuat suasana kelas menjadi tegang. Permasalahan yang dihadapi siswa berkaitan dengan mata pelajaran, akan menjadi lebih komplek jika siswa memiliki tingkat kesulitan tertentu dan dalam kondisi yang tidak menyenangkan seperti : peraturan sekolah yang kaku, cara guru mengajar, jumlah pelajaran sekolah yang banyak, keadaan kelas dan sarana prasarana sekolah yang terbatas. Suasana emosional ruang kelas yang tidak sehat membuat anak tegang, gugup, mudah tersinggung, suka berkelahi, segan belajar dan cenderung berprilaku menyulitkan. Disiplin yang digunakan di sekolah mempengaruhi sikap dan perilaku siswa, dimana disiplin otoriter membuat anak tegang, gugup, bersikap

bermusuhan, dan antagonis, sedangkan disiplin permisif membuat anak kurang bertanggung jawab, kurang menghargai terhadap wewenang dan egosentris. Adanya perbedaan perlakuan guru terhadap siswanya (menganakemaskan siswa tertentu) membuat siswa menjadi sombong, congkak dan egosentris, sedangkan siswa yang tidak diperhatikan merasa dibenci, antagonis dan merasa menjadi korban (Hakim, 2002). Kecemasan erat hubungannya dengan rasa takut, namun tidak sama dengan takut, ada kecemasan yang masih dalam batas-batas normal meski intensitasnya berbeda. Rasa takut merupakan suatu respon terhadap suatu rangsang di dalam lingkungan sekitarnya. Sebaliknya kecemasan atau kekhawatiran dapat timbul tanpa suatu rangsang apapun (Gunarsa, 1984). Kondisi mencemaskan yang terjadi di dalam kelas dapat menjadi beban bagi diri siswa, terlihat pada saat siswa menghadapi kondisi seperti : siswa akan merasa takut berhadapan dengan guru yang mempunyai disiplin tinggi atau emosi tinggi dan guru tersebut tidak menyadari bahwa sikapnya membuat siswa takut dan gugup setiap menjawab pertanyaan gurunya, gugup ketika tampil di depan kelas, tidak berani pergi sekolah, malas mengerjakan PR, sering menyontek pada saat ujian dan bolos pada mata pelajaran tertentu (Kompas, 2001). Ketakutan menghadapi cara guru mengajar tersebut dapat menimbulkan suatu bentuk kecemasan dengan hal-hal yang terkait dalam proses belajar mengajar. Irwing (1973) mengungkapkan bahwa kecemasan pada siswa dalam proses belajar mengajar sering terjadi pada saat siswa menghadapi tugas-tugas yang susah dan menghabiskan waktu yang lebih banyak. Pada tugas-tugas yang mudah kecemasan yang terjadi

relatif rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Mulyono (2000), tentang terdapatnya pengaruh persepsi siswa tentang tugas yang diberikan guru terhadap prestasi belajar siswa. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa cara guru dalam mengajar dapat dipakai sebagai tolak ukur baik dan tidaknya persepsi siswa tentang tugas yang diberikan oleh guru, dimana siswa yang mempunyai persepsi positif tentang gurunya. Suryaatmaja (2003) meneliti tentang hubungan antara persepsi siswa sekolah dasar mengenai karakteristik guru (sikap, pengetahuan atau ketrampilan) matematika dengan kecemasan matematika. Dari penelitian tersebut terungkap bahwa kecemasan terjadi pada siswa dikarenakan proses persepsi yang keliru terhadap sikap guru yang mengajar matematika, semakin baik persepsi siswa terhadap karakteristik guru matematika, maka akan semakin rendah tingkat kecemasan matematika yang dialami oleh siswa yang bersangkutan. Selain itu, juga diperoleh hasil bahwa aspek sikap dari karakteristik guru memiliki hubungan yang terkuat dengan kecemasan matematika pada siswa SD dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya, yaitu aspek pengetahuan dan aspek keterampilan. Kecemasan dalam hal ini dipengaruhi oleh intensitas antara guru dengan siswa didiknya dalam proses perkembangan kepribadian siswa. Sikap guru mengajar yang memaksakan kehendak kepada siswanya, sering memberikan tugas-tugas yang banyak, memberikan hukuman kepada siswa, dan mengabaikan kesulitan belajar siswa merupakan ciri dari sikap guru mengajar yang otoriter (Winkel, 1987). Sikap guru ini dapat menimbulkan anggapan-anggapan buruk tentang guru, yang nantinya siswa akan mempersepsikan gurunya sebagai

seseorang yang tidak disukai. Persepsi negatif siswa tentang sikap guru dalam mengajar menjadikan siswa mengadakan reaksi-reaksi negatif. Pada dasarnya siswa yang memperlihatkan reaksi negatif mengalami masalah dalam dirinya yang mengarah pada psikologis siswa. Salah satu masalah yang dialami siswa dalam proses belajar mengajar adalah kecemasan. Kecemasan merupakan suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh adanya perasaan khawatir, ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi, dan adanya suatu tekanan (Kaplan, 1989). Kecemasan pada siswa disebabkan oleh adanya situasi yang membuat siswa menjadi stress dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman masa lalu siswa. Kondisi mencemaskan yang terjadi di dalam kelas dapat membuat siswa terbebani yang disebabkan siswa harus berhadapan dengan guru yang otoriter. Sedangkan yang diharapkan adanya hubungan antara siswa dan guru yang harmonis, manakala guru mampu menunjukkan dan membimbing siswanya kepada langkahlangkah pendidikan yang telah diprogramkan. Sekaligus dalam hal ini guru menjadi pengasuh agar siswa mampu tumbuh berkembang sesuai dengan perjalanan kodrat manusia (Sudjarwo, 2001).

B. Hipotesis Ada hubungan yang positif antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa, dimana siswa yang mempersepsi sikap gurunya dalam mengajar yang semakin otoriter akan semakin cemas pada diri siswa dalam proses belajar mengajar.

C. Metode Penelitian Variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung

: Kecemasan Siswa.

2. Variabel Bebas

: Persepsi terhadap Sikap Guru Mengajar yang Otoriter.

Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah sejumlah siswa laki-laki dan perempuan yang duduk di kelas dua sekolah menengah umum, dan berusia 15 - 17 tahun pada SMA Negeri 9 Yogyakarta.

Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan skala sebagai metode pengumpulan data. Digunakan dua skala yaitu skala persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Winkel (1987) dan skala kecemasan siswa modifikasi dari Nirwana (2004) yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Calhoun (1990).

Metode Analisis Data Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS 11 for Windows untuk mengetahui signifikansi hubungan antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa digunakan teknik analisis productmoment.

D. Hasil Penelitian 1. Hasil Kategorisasi Kategorisasi dari skala persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter terdapat dalam kategori sedang yaitu 51 subjek (44 %) dari jumlah keseluruhan subjek dan kategorisasi dari skala kecemasan siswa berada pada kategorisasi sedang yang meliputi 51 subjek (44 %). 2. Uji Normalitas Hasil penelitian menunjukkan kedua variabel penelitian dinyatakan normal atau representatif dalam menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Pada variabel persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter p = 0,386 (p > 5 %) dan pada variabel kecemasan siswa p =0,659 (p > 5 %). 3. Uji Linearitas Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa hubungan antara skala persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan skala kecemasan siswa termasuk dalam golongan linearlitas sempurna, sebab Linearity signifikan (p = 0,015 atau p < 5 %) dan Deviation from Linearlity tidak signifikan (p = 0,495 atau p > 5 %). 4. Uji Hipotesis Hasil perhitungan dengan Korelasi Product Moment dari Pearson menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa (r = 0,229, p < 0,01). Maka hipotesis awal diterima.

E. Pembahasan Hasil analisis data statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa. Hubungan antara kedua variabel adalah positif yang berarti semakin rendah persepsi siswa terhadap sikap guru mengajar yang otoriter, semakin rendah kecemasan siswa. Sebaliknya, bila semakin tinggi persepsi siswa terhadap sikap guru mengajar yang otoriter, semakin tinggi kecemasan siswa. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil korelasi r = 0,229 p = 0,007 (p < 0,01). Variabel persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dalam penelitian ini memberikan hasil sumbangan sebesar 5,2 %. Kecemasan merupakan reaksi terhadap ancaman, hambatan terhadap keinginan pribadi atau perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh ketidak sesuaian antara harapan dan keinginan seseorang. Kecemasan dalam penelitian ini adalah kecemasan siswa pada saat menghadapi sikap guru mengajar yang otoriter. Sikap guru mengajar yang otoriter dipersepsikan secara negatif oleh subjek penelitian, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang membuktikan bahwa kategorisasi yang diperoleh pada variabel persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter bukan berada pada kategori sangat rendah atau sangat tinggi tetapi terdapat pada kategori sedang sebanyak 51 subjek yaitu 44 % dari keseluruhan subjek penelitian. Data penelitian yang telah diolah oleh peneliti menunjukkan bahwa kategorisasi pada variabel kecemasan siswa berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 51 subjek atau 44 % dari total keseluruhan subjek. Data di atas menunjukkan bahwa siswa yang

menjadi subjek dalam penelitian ini memiliki kecemasan. Kecemasan dialami oleh seseorang yang merasa belum mampu memenuhi tuntutan dalam perkembangannya. Subjek dalam penelitian ini meskipun sudah berada di kelas dua SMU tapi memiliki umur yang lebih muda dari pada siswa kelas dua SMU pada umumnya, sebagian besar berada pada usia 16 tahun yaitu sebanyak 66 siswa atau 57 % dari jumlah keseluruhan subjek. Dalam hal ini faktor usia dapat mempengaruhi tingkat kecemasan siswa. Siswa yang berada pada tahap perkembangan dari anak-anak menuju dewasa atau sering disebut remaja mempunyai tugas yang cukup berat dalam kehidupannya, yaitu menjalani dan menyelesaikan perkembangan baik secara fisik maupun mental. Setiap fase perkembangan mengandung tantangan dan tuntutan tertentu yang harus dipenuhi oleh remaja. Bila tuntutan itu tidak dipenuhi maka memungkinkan munculnya gangguan-ganguan fisik dan psikis yang sering kali menjadi tanda munculnya kecemasan pada diri remaja tersebut. Selanjutnya pada kondisi demikian, jelas remaja membutuhkan peran orang tua, dalam hal ini guru sebagai orang yang berada di sekolah untuk membantu dalam menyelesaikan tugas perkembangannya. Sikap guru mengajar yang memaksakan kehendak kepada siswanya, sering memberikan tugas-tugas yang banyak, memberikan hukuman kepada siswa, dan mengabaikan kesulitan belajar siswa merupakan ciri dari sikap guru mengajar yang otoriter (Winkel, 1987). Kondisi guru yang terlalu sibuk mementingkan mata pelajaran, serta terkadang tidak memperdulikan apakah siswa mampu menerima ilmu yang diberikan guru dan terkesan memaksakan kehendak kepada siswa dengan

memberikan tugas-tugas yang relatif banyak. Kebanyakan diantara mereka mengalami kesulitan berinteraksi dengan siswa dalam hubungan orang tua dengan anak. Tentu saja pada kondisi ini cukup mempengaruhi kehidupan siswa, yang kemudian mempunyai anggapan-anggapan buruk tentang sikap gurunya. Davidoff (1988) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu penilaian terhadap hal atau orang lain yang didasarkan pada ingatan dan pengalaman masa lalu yang ada pada diri seseorang, dan ini akan mempengaruhi sikap dan perilakunya. Siswa mempersepsikan sikap guru yang diterimanya berdasarkan pengalaman siswa ketika mendapatkan pelajaran dari gurunya. Jika siswa merasa memandang dan menilai sikap guru dalam mengajar dapat memenuhi harapannya, siswa akan menyukai sikap gurunya. Siswa yang menyukai sikap guru dalam mengajar akan berprilaku positif dan dapat mengurangi rasa cemas yang muncul pada diri siswa saat belajar di kelas. Pleyte (1977) mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan reaksi terhadap ancaman, hambatan terhadap keinginan pribadi atau perasaan tertekan yang dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian antara harapan dan keinginan seseorang. Kecemasan pada siswa disebabkan oleh adanya situasi yang membuat siswa menjadi stress dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman masa lalu siswa. Kondisi mencemaskan yang terjadi di dalam kelas dapat membuat siswa terbebani yang disebabkan siswa harus berhadapan dengan guru yang otoriter. Faktor lain yang ikut diteliti dan tercantum dalam angket penelitian namun tidak dilakukan pengolahan lebih lanjut adalah faktor usia subjek yang mayoritas dalam usia 16 tahun sebanyak 66 subjek (57 %), jenis kelamin yang dominan

perempuan sebanyak 64 subjek (59 % dari total keseluruhan subjek) dan seluruh subjek adalah siswa yang berada di kelas IPA. Hasil deskripsi penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang berada di kelas IPA memiliki tuntutan pemahaman yang lebih tinggi dengan memenuhi beberapa kriteria. Kriteria yang dikemukakan antara lain siswa sewaktu duduk di kelas satu memiliki nilai rata-rata yang tinggi dan lulus dalam tes jurusan. Sesuai dengan teori dan hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan siswa dipengaruhi oleh persepsi siswa terhadap sikap guru mengajar yang otoriter. Siswa yang mengalami kecemasan adalah siswa yang merasa tidak nyaman saat belajar di dalam kelas. Sesuai dengan proses belajar mengajar, suasana kelas dapat mempengaruhi konsentrasi belajar siswa dan prestasi yang diraih siswa. Kondisi mencemaskan yang terjadi di dalam kelas dapat membuat siswa terbebani yang disebabkan siswa harus berhadapan dengan guru yang otoriter. Sedangkan yang diharapkan adanya hubungan antara siswa dan guru yang harmonis, manakala guru mampu

menunjukkan

dan

membimbing

siswanya

kepada

langkah-langkah

pendidikan yang telah diprogramkan. Sekaligus dalam hal ini guru menjadi pengasuh agar siswa mampu tumbuh berkembang sesuai dengan perjalanan kodrat manusia (Sudjarwo, 2001). Kenyataan inilah yang mempengaruhi persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter lebih cenderung negatif (tidak mendukung). Karena sikap guru mengajar yang otoriter disamaartikan dengan sikap mengekang dan mengacam kebebasan siswa berkreasi dalam penyelesaiaan masalah, dalam hal ini penyelesaian

tugas-tugas yang diberikan guru. Hasil peneitian ini menunjukkan bahwa sumbangan persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter relatif kecil sehingga dimungkinkan masih terdapat pengaruh variabel lain yang mempengaruhi kecemasan siswa. Penelitian ini belumlah cukup untuk mengungkapkan dan menjawab persoalanpersoalan yang ada pada siswa SMU, khususnya masalah psikologis. Selain kecemasan, masih banyak aspek-aspek psikologis siswa yang belum terungkap, seperti kepuasan siswa, kepatuhan siswa, depresi yang di alami siswa, dan religiusitas yang merupakan sebagian kecil dari persoalan-persoalan psikologis yang di alami oleh siswa SMU yang perlu mendapatkan perhatian. Masalah kecemasan pun belum sepenuhnya terjawab karena masih banyak faktor yang belum terungkap dalam penelitian ini. Untuk itu, peneliti-peneliti yang lain yang tertarik pada masalah siswa SMU dapat mengembangkan penelitianpenelitian yang dapat mengungkapkan aspek-aspek yang mempengaruhi kecemasan seperti kecemasan siswa sebelum dan sesudah ujian, kecemasan siswa yang berkaitan dengan teman sebaya, atau suasana sekolah yang tidak kondusif serta faktor-faktor berupa usia, pengalaman, kepercayaan diri dan tingkat religiusitas. Adapun mengenai persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter hendaknya perlu diketahui bagaimana persepsi siswa terhadap tugas-tugas yang diberikan guru, hukuman guru, dan empati dari guru, sehingga dapat diketahui aspek-aspek yang memberikan sumbangan lebih tinggi pada persepsi siswa terhadap sikap guru mengajar yang otoriter. Hal ini perlu dilakukan sebagai bahan informasi bagi sekolah dan guru, agar

dapat mengetahui aspek-aspek sikap guru mengajar yang masih dipersepsikan buruk sehigga dapat diperbaiki untuk meningkatkan kualitas dalam memberikan pengetahuan kepada siswa.

F. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter dengan kecemasan siswa (r = 0,229, p < 0,01). Hal ini berarti semakin tinggi persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter maka semakin tinggi kecemasan siswa. Sumbangan effektif yang diberikan oleh variabel persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter adalah 5,2 % dan sisanya 94,8 % disebabkan oleh faktor lainnya. Hal ini berarti hipotesis yang diajukan diterima.

G. Saran 1. Bagi Subjek Penelitian Siswa yang dalam hal ini sebagai subjek penelitian, diharapkan lebih mempersiapkan diri dalam pelajaran dan bercerita kepada guru tentang masalah yang dialaminya, terutama masalah yang dapat mengganggu konsentrasi belajar siswa. Hal ini dapat mengurangi kecemasan siswa di kelas.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya Dari hasil penelitian sumbangan effektif variabel persepsi terhadap sikap guru mengajar yang otoriter cukup kecil, maka diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengungkap variabel lain yang mempengaruhi kecemasan siswa. Untuk dapat lebih menghasilkan penelitian yang akurat dapat ditambahkan tehnik observasi dan wawancara. H. Daftar Pustaka Atkinson, R.L, Atkinson, R.C, dan Hilgard, E.R, 1991. Pengantar Psikologi Jilid II. Edisi Ke Delapan, Terjemahan Kusuna. W. Jakarta : Erlangga. Calhoun, J.F., Accocella, J.R., 1990. Psychology Of Adjusment and Human Relationship.3rd ed. New York: McGrow-Hill. Inc. Davidoff, L. L., 1988. Psikologi Suatu Pengantar. Edisi kedua. Jakarta : Erlangga. Gunarsa, D. Singgih, 1984. Psikologi Anak Bermasalah. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hakim, T., 2002. Mengatasi Rasa tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara. Hanafi, M. dkk, 2000. Perbedaan Konsep dan Perilaku Kenakalan Remaja Antara Pelajar dari SMU / K (SLTA) yang Mendapat Peringkat Tinggi dengan SMU / K yang Mendapat Peringkat Rendah di Kotamadya Surabaya. Volume 15 Nomor 3. Surabaya: ANIMA. Irwing G. Sarason, 1973. Test Anxiety And Cognitive Modeling. Volume 28 Nomor 1. Journal of Personality and Sicial Psychology. Universitas of Washinton.

Kaplan, R.M., Saccuzzo, P.P., 1989. Psychologycal Testing Principles Aplikation and Issues. California: Brooks Cole Publishing Company. Kedaulatan Rakyat, 2005. Hasil Kejahatan untuk Foya-foya. Yogyakarta. Terbit: 1 Februari 2005. Kedaulatan Rakyat, 2005. Remaja Putri Dituntut 4 Tahun. Yogyakarta. Terbit: 4 Februari 2004. Kompas, 2001. Siswa Sulit Belajar Ilmu Eksakta. Jakarta: http://kompas.com. Mulyono, 2000. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Tugas Guru Terhadap Prestasi Belajar Bidang Studi Matematika. Volume 15 Nomor 3. Surabaya: ANIMA. Pleyte, W.E.H., 1977. Pembahasan mengenai kecemasan pada anak dengan perhatian khusus fobia. Majalah Psikiarti Jiwa th.X no.3 hal 105-113. Sudjarwo, 2001. Interaksi Sosial Antara Guru Dengan Murid Dalam Kegiatan Kurikulum dan Kaitannya Dengan Peningkatan Prestasi Belajar. Semarang. Suryaatmaja, C.C., 2003. Hubungan antara Persepsi terhadap Karakteristik guru Matematika dengan Kecemasan Matematika pada siswa SD. Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Untar. Winkel, W.S., 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia.

I. Identitas Penulis