Diskusi Ilmiah merupakan salah satu rangkaian acara dalam PNMHII yang
memberikan .... Berikut merupakan contoh makalah yang mengikuti paparan di
atas.
PNMHII XXV
PANDUAN DISKUSI ILMIAH
PANDUAN DISKUSI ILMIAH Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia XXV
I. DESKRIPSI KEGIATAN Diskusi Ilmiah merupakan salah satu rangkaian acara dalam PNMHII yang memberikan kesempatan
bagi
setiap
perwakilan
universitas
untuk
mengidentifikasi
suatu
permasalahan dan melihatnya secara sistematis menggunakan kerangka teori dan skema berpikir metodologis tertentu yang dituangkan dalam bentuk makalah. Pada mata acara Diskusi Ilmiah tahun ini, setiap peserta Diskusi Ilmiah akan mendapatkan kesempatan untuk berbagi gagasan dalam tulisannya beserta peserta-peserta lain dalam suatu diskusi intensif yang ada dalam “Group Discussion” (GD) yang akan difasilitasi oleh dosen pemandu dalam masing-masing bidang tersebut. Mata acara Diskusi Ilmiah akan diawali dengan diadakannya seminar atas masing-masing pilar nasionalisme dalam kebijakan luar negeri Indonesia, yakni: National Integrity, national prosperity, dan national identity pada tiap-tiap hari yang telah ditentukan sebelum memulai proses diskusi. Setiap peserta akan mempresentasikan dan mendiskusikan makalahnya dalam GD tersebut dengan difasilitasi oleh dosen pemandu. Setelah dari GD, peserta terbaik tiap-tiap GD akan mempresentasikan tulisannya di dalam sidang pleno bersama yang akan disaksikan seluruh peserta PNMHII.
II. TUJUAN KEGIATAN a. Memfasilitasi adanya proses transfer pengetahuan dan knowledge sharing yang terjadi di antara peserta. b. Mendorong pengembangan stimulasi konseptual atas problematika interpretasi nasionalisme dalam kebijakan luar negeri Indonesia. c. Mendorong perkembangan akademis Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia melalui penyusunan buku “Bunga Rampai” tulisan yang dilakukan.
III. TEMA KEGIATAN Diskusi ilmiah ini akan mengangkat tiga tema besar, yaitu: National Integrity (Integritas Nasional) Pada bagian pilar politik-keamanan (National Integrity), topik yang di angkat adalah permasalahan Papua, permasalahan keamanan maritim, dan industri pertahanan nasional. Dalam konteks situasi terkini, ketiga bahasan tersebut merupakan bahasan utama dalam
kajian keamanan nasional yang mendasarkan diri pada refleksi terhadap keadaan domestik yang menjadi key mark dalam pengambilan kebijakan politik-keamanan Indonesia. Tinjauan geopolitik dan implikasi politik bagi pengambilan sikap di Papua menjadi salah satu isu kunci yang bukan hanya akan menjadi prekursor bagi penanganan kasus-kasus serupa di Indonesia, melainkan juga bagi potensi masuknya kontestasi kekuatan asing di Indonesia. Di sisi lain, permasalahan keamanan maritim juga menjadi perdebatan panjang atas tinjauan signifikansinya bagi formulasi sistem pertahanan Indonesia yang secara alamiah merupakan negara kepulauan yang didukung dan dibatasi oleh berbagai sifat negara kelautan. Identifikasi terhadap permasalahan tersebut akan menjadi suatu rumusan signifikan bagi perkembangan pertahanan dan keamanan Indonesia berdasarkan potensi alamiahnya tersebut. Semangat nasionalisme diharapkan memberi masukan bagi terwujudnya sistem hankam yang nasionalis – yang mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan yang rasional bagi negara. Selain kedua permasalahan di atas, bahasan mengenai industri pertahanan nasional turut mewarnai perdebatan pertahanan dan keamanan dalam negeri melihat potensi signifikansinya yang demikian besar. Memasukkan bahasan atas industri pertahanan nasional akan memberikan masukan atas pengelolaan sistem hankam yang berlandaskan nasionalisme sebagai bagian dari strategi defense economy.
National Prosperity (Kesejahteraan Nasional) Dalam bahasan atas pilar ekonomi, keterlibatan Indonesia dalam forum ekonomi internasional seperti G20 dan APEC menjadi sorotan utama beserta potensi Indonesia dalam pengembangan ekonomi kreatif sebagai upaya bagi katalisasi proses pertumbuhan ekonomi nasional. G20 telah tumbuh sebagai kekuatan baru ekonomi negara-negara berkembang dan diproyeksikan menjadi forum konsolidasi negara-negara berkembang dalam membangun pasar dan segmentasi ekonominya. Keterlibatan Indonesia dalam G20 merupakan suatu domain tersendiri sebagai bahasan atas bagaimana signifikansi G20 bagi Indonesia dan evaluasi keterlibatan Indonesia dalam G20, mengingat keterlibatan tersebut tidak lepas dari anasir politik yang berkisar dalam lingkungan internasional. APEC menjadi sorotan tersendiri dalam bahasan pilar ekonomi sebagai institusi ekonomi (trans)regional yang memegang peranan signifikan di Asia Pasifik. Perkembangan rezim
perdagangan internasional, telah menempatkan forum-forum regional sebagai fron terdepan bagi perhelatan persaingan antar negara, dan lebih jauh antar region dalam aliran ekonomi global. Dengan terpilihnya Indonesia sebagai penyelenggara konferensi APEC melalui konsepsi atas “regional resilience”, hal ini mengindikasikan adanya gestur penataan arsitektur ekonomi regional yang hendak dicapai berdasarkan rumusan tersebut. Evaluasi atas peran Indonesia dan APEC diharapkan memberikan kontribusi garis besar gambaran tatanan arsitektur ekonomi politik internasional Indonesia. Selain dalam forum internasional, usaha pengembangan pertumbuhan ekonomi juga berusaha dicapai pada front domestik dengan mengoptimalkan potensi ekonomi kreatif sebagai faktor pendorong perekonomian. Dengan adanya penyerapan kerja sebesar 90% pada sektor non-formal bagi perekonomian Indonesia, ekonomi kreatif menjadi suatu nafas baru bagi usaha pemberian “added value” bagi produksi komoditas-komoditas nasional yang dapat meningkatkan daya saing komparatif di tingkat global. Identifikasi dan evaluasi terhadap sektor ekonomi kreatif diharapkan memberikan cara pandang baru melihat nasionalisme ekonomi Indonesia.
National Identity (Identitas Nasional) Pada bahasan atas pilar sosial-budaya, permasalahan multikulturalisme beserta dengan peran diaspora dan industri kebudayaan (cultural industry) menjadi sorotan utama. Pendekatan-pendekatan sentral yang digunakan dalam melihat bahasan-bahasan ini adalah melalui peninjauan kembali makna dan semangat multikulturalisme serta analisis atas identitas. Multikulturalisme telah menjadi ciri fundamental bagi bangsa Indonesia yang tegak di atas keyakinan atas bhinneka tunggal ika. Keberagaman yang merupakan suatu potensi dalam konteks ini seringkali menjadi tantangan bagi kehidupan berbangsa akibat adanya konflik
berdasarkan
atas
pertentangan
identitas.
Melihat
hal
ini,
mengelola
multikulturalitas menjadi sebuah urgensi tersendiri untuk dapat mencapai ketahanan sosial. Bahasan lain dalam pilar sosial-budaya adalah mengenai peran diaspora Indonesia dalam menjadi “citizen diplomat” yang turut berperan serta dalam upaya konsolidasi sosial. Bahasan ini menjadi penting untuk dapat mengevaluasi diskursus yang sedang berkembang dan turut serta memberikan pandangan atas signifikansinya bagi perkembangan nasionalisme.
Bahasan terakhir adalah mengenai cultural industry yang tidak saja menjadi sebuah keunggulan komparatif suatu produk budaya sebuah negara dalam konteks ekonomi, melainkan juga menjadi refleksi atas pengelolaan kebudayaan sebuah negara. Dengan berbagai potensi industri kebudayaan, bahasan atas hal ini akan memberikan pandangan atas bagaimana konsepsi kebudayaan nasional dan pengelolaan produk-produk kebudayaan nasional dilakukan.
IV. PANDUAN PEMBUATAN MAKALAH
Peserta akan ditentukan oleh panitia dalam kategori topik tertentu dari ketiga pilar yang tersedia
Makalah terdiri dari 10-15 halaman (tidak termasuk cover dan daftar pustaka), ditulis dalam font Times New Roman ukuran 12 dengan spasi 1,5 margin normal dalam kertas ukuran A4.
Makalah diharapkan mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Pendahuluan Terdiri atas: -
Latar Belakang Masalah Latar belakang masalah memaparkan garis besar signifikansi masalah dalam konteks tertentu dan menjelaskan bahasan atas mengapa suatu isu menjadi penting untuk dikaji
-
Rumusan Masalah Rumusan masalah dapat difungsikan untuk menjawab suatu fenomena yang memerlukan penjelasan atau dapat difungsikan untuk menjadi puzzle dari masalah yang ada dengan memaparkan sifat anomalinya atas trend umum.
-
Tujuan Penelitian
2. Landasan Teori Memuat pemaparan teori yang terkait dengan masalah yang diangkat. Adapun tema National Integrity diharapkan menggunakan pendekatan dari teori-teori Ilmu Hubungan Internasional dalam cluster Pengkajian Strategis. Tema national prosperity
menggunakan
pendekatan
daricluster
teori
Ekonomi
Politik
Internaisonal. Sementara tema national identity memakai konsep-konsep dalam cluster Masyarakat Transnasional. Tidak tertutup kemungkinan bagi peserta untuk menggunakan teori dalam bidang lain, tetapi tetap dalamframe besar teori dan
konsep Ilmu Hubungan Internasional. Landasan teori mencakup pemaparan deskriptif atas teori yang digunakan dengan disertai justifikasi atas teori yang digunakan melalui literature review singkat terlebih dahulu. 3. Operasionalisasi Teori Memuat bagan, skema, atau model yang menjelaskan keterkaitan antar teori dan memberikan gambaran atas bagaimana teori tersebut akan digunakan dalam menganalisis masalah dalam lingkup pendekatan positivisme. Bagi peserta yang mengkehendaki menggunakan pendekatan-pendekatan post-positivisme dan critical theory, operasionalisasi teori dapat dielaborasi sesuai dengan pendekatan yang dilakukan. 4. Analisis Memuat analisis masalah yang struktur pembahasannya dibentuk melalui skema berpikir berdasarkan rancangan operasionalisasi teori 5. Kesimpulan Memuat garis besar argumen dan temuan data yang dipaparkan dalam makalah 6. Daftar Pustaka
Makalah menggunakan pendekatan yang relevan dengan pilar yang telah ditentukan. Misalnya ketika membahas topik “Embracing Papua” yang berada pada pilar national security, peserta diharapkan menggunakan pendekatan-pendekatan keamanan seperti tinjauan atas kemungkinan implikasi politik dan signifikansi geopolitik Papua, bukan secara sosiologi-antropologis.
Makalah diharapkan memiliki implikasi praktis dengan mengkaitkannya terhadap kemungkinan kebijakan luar negeri yang dapat ditempuh berkenaan dengan topik yang bersangkutan (memiliki foreign policy interlinkages)
Citation dan kutipan dalam makalah menggunakan Chicago style
Pengumpulan makalah dalam bentuk soft copy ke
[email protected] paling lambat pada tanggal 19 November 2013dengan format judul email dan nama file sebagai berikut: Universitas_Nama Delegasi_Diskusi Ilmiah. Contoh: UMY_Aditya Prasatyo_Diskusi Ilmiah
Pada hari dilaksanakannya Group Discussion, peserta wajib membawa hard copy makalah sebanyak lima rangkap.
Makalah merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Tidak diperkenankan untuk melakukan plagiarisme dan daur ulang makalah lama. Peserta yang melanggar aturan ini akan didiskualifikasi dari diskusi.
V. PERATURAN KEGIATAN 1. Topik makalah akan ditentukan oleh panitia 2. Peserta diwajibkan datang tepat waktu selama acara berlangsung 3. Peserta akan dikelompokkan ke dalam Group Discussion (GD) yang ditentukan oleh panitia 4. Peserta wajib mematuhi segala arahan yang diberikan oleh dosen fasilitator diskusi 5. Peserta akan menyampaikan paparan presentasi selama 5 menit dengan 10 menit waktu tanya jawab 6. Peserta diwajibkan mengikuti alokasi waktu presentasi dan tanya jawab yang telah diberikan. Ketidaktepatan penyampaian materi akan berakibat pada pengurangan nilai 7. Makalah terbaik akan mendapatkan penghargaan “Best Papers” pada tiap-tiap GD 8. Poin penilaian makalah akan terdiri dari: a. Orisinalitas ide dan argumen
(30%)
b. Relevansi tulisan terhadap pendekatan yang digunakan
(20%)
c. Alur logika tulisan
(20%)
d. Penyampaian materi
(15%)
e. Ketepatan waktu penyampaian
(15%)
9. Best Papers tiap GD berhak mempresentasikan makalahnya dalam sidang pleno bersama
VI.
CONTOH MAKALAH
Berikut merupakan contoh makalah yang mengikuti paparan di atas. Makalah yang akan dikumpulkan peserta diharapkan untuk dapat mengikuti format yang telah ditentukan di atas agar mendapatkan format yang seragam antar peserta. Contoh makalah di bawah ini diharapkan dapat memberikan gambaran atas format yang telah disebutkan.
Meninjau Peran Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO pada Kasus Rezim Impor Pisang European Community (Banana Case)
Divisi Substansi PNMHII XXV
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Transformasi
GATT
menjadi
WTO
membawa
konsekuensi
positif
bagi
perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan antar anggota yang terjadi melalui embrio instrumen hukum GATT pada Pasal XXII dan XXIII. Perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa di WTO pada tahun 1995 menghembuskan atmosfir yang konstruktif bagi tumbuhnya rezim perdagangan internasional yang lebih partisipatif dengan merefleksikan pendekatan hukum yang berusaha memberikan kejelasan ketentuan terhadap prosedur penyelesaian sengketa. Pembentukan Dispute Settlement Body dan organ-organ lainnya dalam WTO memungkinkan bagi adanya partisipasi aktif banyak negara dalam perdagangan internasional yang lebih kompleks karena kehadiran instrumen-instrumen tersebut secara ideal mampu menjadi insentif bagi terakomodasinya perlindungan kepentingan ekonomi berbagai negara. Meski demikian, dalam perkembangannya mekanisme penyelesaian sengketa di WTO tidak lepas dari kritik atas adanya berbagai kekurangan yang masih memungkinkan bagi indikasi terciptanya hubungan ekonomi yang dominatif. 1 Meninjau signifikansi mekanisme penyelesaian sengketa WTO pada berbagai level merupakan langkah awal bagi evaluasi lebih lanjut efektivitas mekanisme tersebut sebagai wujud dari itikad untuk menciptakan rezim perdagangan internasional yang akomodatif terhadap berbagai kepentingan ekonomi. Tinjauan signifikansi mekanisme penyelesaian sengketa WTO direpresentasikan secara komprehensif pada kasus import dan distribusi pisang oleh European Community (Banana Case). Kasus ini memungkinkan bagi dilakukannya upaya untuk mengamati lebih lanjut proses hukum yang terjadi dan pengaruhnya di berbagai tingkatan yang berbeda karena adanya diversitas keterlibatan banyak pihak pada kasus tersebut. Kasus rezim impor dan distribusi pisang (Banana Case) menunjukkan perbedaan tingkat efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa WTO pada negara maju dan negara 1
Chad Bown dan Bernard Hoekman, “WTO Dispute Settlement and the Missing Developing Country Cases: Engaging the Private Sector” dalam Journal of International Economic Law, (2005), hlm. 1-4; Hunter Nottage, “Developing Countries in the WTO Dispute Settlement System” dalam Global Economic Governance Programme, (2009).
berkembang terutama karena jaminan hak untuk membalas (retaliasi) yang diberikan oleh WTO pada Amerika Serikat dan Ecuador dalam kasus ini memiliki dampak yang berbeda pada segmen ekonomi European Community. Jaminan upaya retaliasi WTO kepada Amerika Serikat karena didukung oleh kekuatan ekonomi Amerika Serikat yang memadai dalam hal ini memberikan ancaman yang kredibel, sementara jaminan upaya serupa pada Ekuador tidak memungkinkan implementasinya karena akan memperburuk lebih jauh segmen ekonomi Ekuador. Keterbatasan efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa WTO dalam hal ini kemudian dipertanyakan kembali signifikansinya karena anggapan atas kekurangannya dalam mengakomodasi kepentingan ekonomi yang lebih luas dari negara berkembang.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan tinjauan terhadap permasalahan di atas, tulisan ini bertujuan untuk mengamati tingkat efektivitas mekanisme penyelesaian sengketa WTO terhadap berbagai tingkat perekonomian negara yang berbeda dengan berusaha menjawab pertanyaan: bagaimana peran mekanisme penyelesaian sengketa WTO memberikan signifikansi bagi negara maju dan negara berkembang dalam kasus sengketa rezim import dan distribusi pisang European Community (Banana Case)?
1.3 Kerangka Teori Untuk dapat menjawab rumusan masalah di atas, tulisan ini akan menggunakan teori neoliberal institusionalisme dalam melihat peran WTO sebagai institusi multilateral pada rezim perdagangan internasional modern yang berusaha memberikan pendekatan rule of law pada mekanisme penyelesaian sengketanya sementara tetap memungkinkan bagi adanya fleksibilitas dalam bentuk negosiasi. Penggunaan kerangka tersebut terutama didasarkan pada pertimbangan untuk meninjau WTO sebagai institusi perdagangan internasional dan pengamatan lebih jauh pada jaminan proses hukum dalam institusi tersebut. Pertimbangan lain juga didasari pada pandangan bahwa neoliberal institusionalisme merupakan salah satu teori yang banyak menjelaskan relevansi dan signifikansi peran institusi internasional. Teori neoliberal institusionalisme melihat adanya signifikansi institusi internasional dalam mewujudkan kerjasama. Pandangan ini tidak hanya melihat institusi sebagai organisasi formal yang memiliki perwujudan secara fisik, melainkan juga sebagai apa yang dikemukakan oleh Young sebagai “recognized patterns of practice around which
expectations converge”.2 Pola-pola praktek tersebut dianggap signifikan karena mampu memberikan pengaruh pada perilaku negara untuk mendorong terjadinya kerjasama. Praktekpraktek tersebut menyediakan jalan bagi adanya akomodasi kepentingan sebagai syarat-syarat kondisional terhadap prospek terjalinnya kerjasama. Kerjasama menurut kerangka neoliberal institusionalisme membutuhkan tindakan aktor-aktor terlibat yang dibawa menuju konformitas terhadap satu sama lain melalui proses negosiasi. Kerjasama dapat terjadi ketika aktor-aktor menyesuaikan perilakunya dengan preferensi aktor lain. Pengertian kerjasama memiliki pengertian yang berbeda dengan harmoni pada
pemahaman teori
neoliberal
institusionalisme.
Pengertian
harmoni
didefinisikan sebagai kondisi di mana kebijakan suatu negara secara langsung memenuhi keinginan negara lain tanpa perlu melakukan penyesuaian apapun. Sementara dalam kerjasama memerlukan penyesuaian atau pengubahan pola-pola perilaku dan bersifat politis. Neoliberal institusionalisme di sisi lain melihat bahwa kerjasama tidak selalu meniadakan konflik. Kerjasama dapat mengandung unsur konflik namun di saat yang bersamaan merefleksikan sebagian upaya-upaya untuk mengatasi atau mencegah konflik. 3 Untuk mendorong terjadinya kerjasama, institusi berperan dalam mempengaruhi konteks aktor terhadap pilihan alternatif yang ada. Kondisi tersebut mungkin untuk dilakukan karena institusi memiliki prinsip, norma, peraturan, dan prosedur, yang kemudian disebut sebagai rezim, yang menjadi pedoman bagi aktor dalam bertindak. 4 Konstruksi dari rezim memfasilitasi terjalinnya kerjasama sehingga tiap-tiap aktor yang terikat dalam rezim tersebut diharapkan berperilaku tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama. Ada beberapa alasan yang mendasari kepatuhan negara pada institusi, yaitu adanya dorongan untuk memperoleh legal liability, mengurangi transaction cost, dan mengatasi problems of uncertainty.5 Legal liability6 Negara sangat menjunjung tinggi otonominya, sehingga hampir tidak mungkin untuk mendirikan institusi internasional yang menjalankan otoritas lebih tinggi daripada negara. Yang terjadi adalah institusi dibangun bukan untuk mengimplementasikan peraturan yang sentralistik, tetapi lebih kepada membangun ‘mutual expectations’ yang stabil terkait pola perilaku pihak 2
Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, (New Jersey: Princeton University Press, 1984), hlm. 8. 3 Ibid., hlm. 51-54. 4 Ibid., hlm. 84. 5 Ibid., hlm. 88. 6 Ibid., hlm. 88-89.
lain, dan mengembangkan hubungan kerja yang memungkinkan pihak-pihak terkait beradaptasi pada situasi baru yang akan datang. Transaction cost7 Rezim internasional dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan jika harus bernegosiasi atau menjalin hubungan bilateral satu per satu. Dengan mengadopsi rezim tertentu, biaya yang dikeluarkan suatu negara menjadi relatif lebih ringan dalam menjalin kerjasama dengan aktor lain. Rezim tersebut menjadi efektif karena memiliki seperangkat aturan dan prinsip yang ajeg, sehingga tidak perlu melakukan negosiasi baru setiap kali muncul perkara baru. Problems of uncertainty8 Dalam institusi, beberapa negosiasi yang bersifat mutualisme dapat jadi tidak terlaksana karena berada dalam kondisi yang tidak pasti. Sumber ketidakpastian
tersebut
yang
paling
khusus
adalah
asymmetrical
information, moral hazard, dan irresponsibility. Informasi yang asimetris merupakan kondisi ketika suatu aktor mungkin memiliki informasi atau pengetahuan yang lebih dari aktor lain mengenai suatu situasi. Masalah ini timbul apabila terdapat aktor yang berperilaku tidak jujur. Kondisi tersebut memungkinkan manipulasi hubungan atau membuat kesepakatan yang menipu.
Institusi internasional membantu negara-negara dalam menghadapi masalahmasalah di atas. Prinsip dan aturan yang terkandung dalam suatu institusi mengurangi harapan perilaku, meminimalkan ketidakpastian, serta membuat
informasi menjadi
lebih terbuka. Dengan demikian, institusi internasional menjadi berguna bagi negara dalam mencapai tujuannya yang sulit tercapai tanpa melalui peran institusi.
7 8
Ibid., hlm. 90-92. Ibid., hlm. 93-96.
1.4 Operasionalisasi Teori
Mengurangitr ansaction cost
Peran Institusi (Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO)
Memberikan legal liability
Menumbuhkan mutual expectations
Mengatasi problems of uncertainty
Bab II Pembahasan
2.1Perkembangan Sengketa Rezim Impor dan Distribusi Pisang European Community Sengketa rezim impor dan distribusi pisang merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah rezim perdagangan internasional multilateral. Tinjauan terhadap sengketa ini menjadi penting terutama karena tingginya tingkat intensitas konflik yang terjadi dan luasnya implikasi yang ditimbulkan. Tingginya tingkat intensitas konflik antara lain ditandai oleh keterlibatan banyak pihak dan durasinya yang berkepanjangan. Sementara konsekuensinya bagi rezim perdagangan internasional, kasus ini membawa preseden bagi dilakukannya crossretaliation (tindakan balasan di bidang perdagangan pada sektor yang berbeda) sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian sengketa WTO. Sengketa rezim impor pisang melibatkan European Community sebagai tergugat dengan Amerika Serikat, Ekuador, Guatemala,
Honduras,
dan Meksiko
sebagai
negara
penggugat.9
Selama proses
berlangsungnya upaya penyelesaian sengketa, beberapa negara juga turut mengambil bagian sebagai pihak ketiga dalam kasus tersebut. Pihak ketiga yang terlibat dalam kasus sengketa rezim impor dan distribusi pisang European Community antara lain adalah Belize, Kamerun, Kanada, Kolombia, Kosta Rika, Dominika, Ghana, Grenada, India, Jamaika, Jepang, Mauritius, Nikaragua, Panama, Filipina, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenada, Senegal, Suriname, Venezuela, Bolivia, Pantai Gading, Brazil, serta Madagaskar. 10 Sengketa ini memiliki signifikansi tersendiri bagi negara-negara terlibat karena pisang merupakan komoditas ekspor utama negara-negara Amerika Latin yang di sisi lain European Community merupakan pasar impor kedua terbesar di dunia. 11 Amerika Latin di tahun 2006 menyediakan 66% dari kebutuhan global terhadap pisang dan memiliki tingkat ketergantungan ekspor yang tinggi pada komoditas tersebut dengan tingkat rata-rata distribusi ekspor pada kisaran 6-10%.12
9
WTO, “Dispute Settlement: Regime for the Importation, Sale, and Distribution of Bananas”, diakses dari http://www.wto.int/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds27_e.htm 10 Ibid. 11 European Comission on Agriculture and Rural Development, “Banana other than plantains”, diakses dari http://ec.europa.eu/agriculture/bananas/index_en.htm 12 Katharina Kunze, Solving EC-Bananas: The WTO Dispute Settlement Mechanism and Developing Countries, (Hamburg: Bucerius Law School, 2009), hlm. 6.
Sengketa tersebut secara garis besar disebabkan oleh adanya upaya diskriminasi akses pasar oleh European Community yang menunjukkan keberpihakan terhadap pasokan pisang dari bekas negara-negara koloni Eropa di Afrika, Karibia, dan Pasifik (atau dikenal sebagai traditional ACP). Perkembangan sengketa rezim impor pisang dimulai dari pembentukan Common Market Organisation for Bananas (CMOB) pada tahun 1993 berdasarkan Protokol Lome Agreement 1989.13 Pembentukan CMOB yang merupakan perluasan dampak terhadap integrasi pasar Eropa memberikan kemudahan akses masuk pasar (preferential entry) bagi negara-negara bekas koloni Eropa di Afrika, Karibia, dan Pasifik. Di bawah kerangka ini, kebijakan European Community memberikan akses bebas pajak bagi pasokan pisang negaranegara traditional ACP. Di lain sisi, EC memberikan ketentuan pajak masuk sebesar 750 ECU (mata uang sebelum Euro) per metrik ton di luar kuota pada negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik yang tidak termasuk bekas koloni Eropa (non-traditional ACP) serta biaya masuk 11 ECU per metrik ton dalam kuota dan 850 ECU per metrik ton di luar kuota pada negara pihak ketiga di luar traditional ACP dan non-traditional ACP.14 Dalam kerangka ini, sistem pasar Eropa juga menetapkan pengamanan porsi 30% pasar untuk traditional ACP, 66.5% untuk non-traditional ACP, dan 3.5% untuk pihak lain. 15 Di tahun yang sama dengan pembentukan CMOB, Kosta Rika, Guatemala, Nikaragua, dan Venezuela mengajukan keberatan atas pembentukan rezim tersebut dengan merujuk tindakan European Community sebagai pelanggaran atas Pasal I mengenai “most favoured nations” dan menuntut adanya persamaan biaya masuk untuk setiap anggota GATT pengekspor pisang. Setahun berselang setelah laporan pertama dari negara-negara tersebut, pada tahun 1994 laporan kedua disampaikan kembali bersamaan dengan tuntutan yang sama ditambah dengan keberatan atas dikeluarkannya kebijakan European Community untuk melakukan licensing. Kedua tuntutan di atas diterima oleh GATT dan dilakukan pengaturan terhadap keberatan yang diajukan berupa dikeluarkannya EC Banana Case II Judgement. Pada kenyataannya, pengaturan tersebut gagal untuk diadopsi karena European Community dan negara-negara ACP melakukan blocking terhadap putusan tersebut.
13
Simi T. B dan Atul Kaushik, “The Banana War at the GATT/ WTO” dalam Trade Law Brief, No. 1, (2008), hlm. 1. 14 Joel Trachtman, “Bananas, Direct Effect, and Compliance” dalam Economic Journal of International Law, Vol. 10, No. 4, (1999), hlm. 661. 15 Loc. Cit.
Sebagai respon atas keberadaan dua tuntutan terdahulu, European Community melakukan upaya untuk meredakan ketegangan terhadap negara-negara Amerika Latin dengan membentuk Framework Agreement on Bananas (FAB). FAB antara lain berisi peningkatan kuota dari 2 juta ton menjadi 2.2 juta ton, pengurangan pajak dari 100 ECU menjadi 75 ECU, dan memberikan kewenangan untuk mengeluarkan lisensi kepada pemasok.16 FAB diterima dan berlaku terhadap Kolombia, Kosta Rika, Nikaragua, dan Venezuela sementara tidak berlaku terhadap Ekuador, Honduras, dan Republik Dominika sebagai pihak non-anggota GATT. Di sisi lain, dua perusahaan transnasional terbesar Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang pemasokan buah-buahan, yaitu Dole dan Chiquita mendorong pemerintah Amerika Serikat untuk mengajukan keberatan serupa. Sebagai pihak yang dirugikan atas FAB, Ekuador bergabung menjadi anggota GATT pada tahun 1995 dan mengajukan tuntutan terhadap rezim impor pisang European Community bersama dengan Guatemala, Honduras, Meksiko, dan Amerika Serikat. Pada tahun 1997, pengaturan terhadap sengketa pisang dengan nama kasus EC Banana III memutuskan bahwa European Community terbukti melakukan pelanggaran terhadap Agreement on Agriculture Pasal 19; General Agreement on Trade in Service Pasal II, IV, XVI, dan XVII; GATT 1994 Pasal I, II, II, X, XI, dan XII; Import Licensing Pasal 1 dan 3; serta Trade-Related Investment Measures Pasal 2 dan 5.17 Pada tahun 1999, European Community melakukan perubahan pada CMOB meski Ekuador tetap mengajukan keberatan. Dispute Settlement Body kemudian melakukan penafsiran kembali dan tetap mengajukan pengaturan bahwa perubahan CMOB masih merefleksikan pelanggaran terhadap kesepakatan WTO dengan masih terdapatnya pengaturan pada alokasi lisensi dan porsi pasar tertentu bagi negara-negara ACP. Di tahun yang sama, Dispute Settlement Body memberikan jaminan bagi Amerika Serikat untuk melakukan tindakan balasan (retaliasi) dengan estimasi nilai 191.4 juta dolar per tahun. 18 Pada tahun berikutnya, Ekuador diberikan otoritas serupa untuk melakukan retaliasi dengan estimasi nilai 201.6 juta dolar per tahun. 19 Amerika Serikat menjalankan otoritas tersebut dengan melakukan retaliasi langsung (tariff retaliation) sementara Ekuador meminta pengubahan pengaturan untuk mengganti tariff retaliation (retaliasi berdasarkan sektor dagang yang sama atau berdasarkan perjanjian yang sama) menjadi cross retaliation (retaliasi berdasarkan 16
Kunze, Op. Cit., hlm. 10. WTO, Op. Cit. 18 Kunze, Loc. Cit. 19 Loc. Cit. 17
sektor dagang berbeda pada kerangka perjanjian yang berbeda) karena kerentanan segmen ekonominya jika melakukan retaliasi di sektor yang sama terhadap European Community pada perdagangan pisang. WTO memberikan kewenangan tersebut dengan mengijinkan Ekuador untuk dapat melakukan retaliasi terhadap rezim pisang European Community pada sektor hak kekayaan intelektual berdasarkan kerangka Trade Related Intellectual Property Rights. Pada tahun 1999, European Community berdasarkan kondisi di atas mulai melakukan negosiasi terhadap Amerika Serikat dan Ekuador terkait wacana perubahan rezim impor. Proses perubahan secara bertahap yang disepakati akan mulai diimplementasikan pada 2001 telah menempuh separuh jalan ketika pada tahun 2006 European Union bersama dengan Amerika Serikat dan Ekuador kembali gagal mencapai kesepakatan terkait besaran tingkat biaya masuk yang disetujui bersama. Kebuntuan upaya negosiasi antar pihak mendorong European Union untuk melakukan tindakan secara sepihak dengan menetapkan adanya kuota impor bebas pajak untuk impor pisang dari negara-negara ACP pada kuantitas 775,000 ton dengan tingkat harga 176 Euro per metrik ton. 20 Pada perkembangan berikutnya, upaya negosiasi pada tahun 2008 membawa pada kerangka baru dalam melihat sengketa rezim impor pisang European Union seiring dengan kadaluarsanya Doha Round. Proses negosisasi berikutnya pada tahun 2008 menandai dimulainya pandangan untuk memberikan dasar hukum yang baru pada kesepakatankesepakatan di masa yang akan datang berdasarkan Geneva Agreement sebagai bagian dari Doha Round. Negosiasi juga ditandai dengan adanya konsesi dari EU untuk menurunkan biaya masuk bagi negara-negara Amerika Latin pada kisaran 114 Euro di tahun 2019 sementara melakukan pembekuan tariff pada kisaran 136 Euro antara tahun 2011-2013.21 Pada November 2012, kasus ini dinyatakan selesai melalui adanya solusi yang disepakati bersama berdasarkan Pasal 3.6 Dispute Settlement Understanding .22
2.2 Analisis Peran Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO
20
Europolitics (2 Februari 2006), “EU/ACP: EU Sets Duty Free Import Quotas for ACP Bananas for the Rest of the Year”, diakses dari http://www.europolitics.info/eu-acp-eu-sets-duty-free-import-quota-for-acp-bananas-forthe-rest-of-the-year-artr172875-10.html 21 BBC News (15 Desember 2009), “EU cuts import tariffs in a bid to end 'banana wars'”, diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/8391752.stm 22
WTO, Loc. Cit.
Pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa WTO pada tahun 1995 yang mulai mengimplementasikan pendekatan rule of law membawa pengaruh signifikan dalam menjelaskan perkembangan GATT/ WTO sebagai institusi perdagangan multilateral. Signifikansi ini terutama berkaitan dengan ditempuhnya pendekatan yang lebih mengikat antara putusan WTO dengan implementasinya melalui dijaminnya jurisdiksi keputusan Dispute Settlement Body dan pemberian jaminan untuk melakukan retaliasi sebagai sanksi terhadap tindakan yang mengarah pada non-compliance. Pada mekanisme sebelumnya dimana WTO bersama dengan Dispute Settlement Body dan Dispute Settlement Understanding-nya belum terbentuk, proses penyelesaian sengketa masih mendasarkan diri pada pendekatan yang hanya mengandalkan bargaining power dan negosisasi sehingga permasalahan mengenai kurangnya penegakan aturan menjadi celah bagi dilakukannya upaya untuk menghindari putusan sebagaimana diperlihatkan oleh European Community dalam melakukan blocking terhadap putusan dalam EC Banana Case II pada tahun 1994 dengan mendorong ketidakhadiran berbagai negara pada panel GATT. Dalam menjelaskan signifikansi mekanisme tersebut, variabel-variabel berupa reduction of transaction cost, problems uncertainty, dan legal liability, menjadi instrumen yang mendukung untuk melihat peran mekanisme penyelesaian sengketa WTO terhadap prospek kerjasama. Mekanisme penyelesaian sengketa di WTO yang terutama ditunjang oleh peran Dispute Settlement Body dan Dispute Settlement Understanding membawa implikasi positif bagi teratasinya masalah tingginya biaya transaksi, ketidakpastian intensi dari negara lain, dan liabilitas hukum. Pembentukan Dispute Settlement Body (DSB) dan Dispute Settlement Understanding (DSU) telah memitigasi inefektivitas mekanisme penyelesaian sengketa WTO dengan mengurangi kemungkinan biaya transaksi dan memberikan keterbukaan informasi. Dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO, selain pihak tergugat dan penggugat, pihak-pihak lain juga dapat berpartisipasi dalam proses penyelesaian sengketa dengan menjadi pihak ketiga untuk mengamati atau menarik dampak penyelesaian sengketa pada kebutuhannya masing-masing. Keterlibatan 25 negara lain dalam kasus penyelesaian sengketa rezim impor pisang
European
Community
mengimplikasikan
nilai
efektivitas
transaksi
yang
dimungkinkan dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO. Perubahan keputusan terhadap proses penyelesaian sengketa rezim impor pisang dari waktu ke waktu tidak hanya memberikan dampak bagi negara-negara yang bersengketa yaitu antara European Community terhadap Ekuador, Honduras, Guatemala, Meksiko, dan Amerika Serikat saja namun lebih
luas dampak putusan ini antara lain mempengaruhi negara-negara ACP dan Amerika Latin lain yang tidak secara langsung bersengketa. Imbas yang demikian, di satu sisi merupakan wujud dari pengurangan biaya transaksi yang mungkin dilakukan dengan adanya integrasi keputusan pada banyak pihak. Dalam hal ini, European Community dan negara-negara penggugat tidak perlu melakukan penyesuaian kebijakan antara satu pihak dengan pihak lain karena luasnya keterlibatan berbagai negara dalam kasus ini. Efektivitas biaya transaksi lainnya adalah dengan adanya integrasi gugatan dalam satu forum konsultasi dan panel yang mungkin dilakukan berdasarkan Pasal 9 pada Dispute Settlement Understanding. 23 Dengan adanya integrasi gugatan dan penyatuan sikap terhadap kasus ini pada pihak Ekuador, Honduras, Guatemala, Meksiko, dan Amerika Serikat, memungkinkan dilakukannya proses konsultasi dan panel secara bersamaan sehingga mengurangi potensi meningkatnya biaya transaksi oleh proses yang saling terpisah dan tindakan untuk melakukan penyesuaian kembali. Permasalahan ketidakpastian (problems of uncertainty) yang berakar dari informasi yang tidak simetris dan ketidaktanggungjawaban pihak-pihak tertentu berusaha diatasi dengan melakukan keterbukaan informasi pada proses konsultasi sebelum melakukan panel oleh Dispute Settlement Body. Masalah informasi yang asimetris pada mekanisme penyelesaian sengketa WTO ditangani dengan menerapakan peraturan bagi pihak penggugat untuk dapat membuktikan pelanggaran yang terjadi. Di sisi lain, keuntungan kepemilikan informasi oleh pihak penggugat untuk mencari sebanyak-banyaknya data dalam membuktikan tuduhan bersalah pihak lain diseimbangkan dengan kedudukan pihak tergugat yang
dituntut
oleh
kondisi
untuk
memegang
informasi-informasi
kunci
dalam
mempertahankan justifikasinya. Proses tukar-menukar informasi terjadi dijembatani dengan baik berdasarkan ketentuan ini pada forum konsultasi. Masalah liabilitas hukum yang menyangkut peran hukum untuk mendapat penghargaan oleh negara dalam sistem yang anarki hadir sebagai salah satu dimensi terpenting dalam kasus ini. Liabilitas hukum merupakan instrumen pengatur yang berfungsi dalam menumbuhkan mutual expectation. Pada mekanisme penyelesaian sengketa di WTO, liabilitas hukum menumbuhkan mutual expectation dengan bersifat fleksibel meskipun mengandung derajat jurisdiksi yang kuat dalam penegakannya. Hal ini dapat teridentifikasi dengan mengamati rancangan instrumen penyelesaian sengketa yang menekankan pada 23
Robert Read, “Trade Dispute Settlement Mechanism: The WTO Dispute Settlement Understanding in the Wake of the GATT” dalam Lancaster University Management School WorkingPaper Series 012, (2005).
efektivitas forum, panel, banding, dan putusan yang mengikat sementara mengijinkan proses negosiasi untuk berlangsung berdasarkan desain Dispute Settlement Body-nya yang bersifat politis dan penerapan kebijakan retaliasi sebagai sanksi atas ketidakpatuhan terhadap putusan. Dispute Settlement Body (DSB) yang merupakan perwakilan dari seluruh anggota WTO memiliki kewenangan untuk membentuk panel, mengadopsi putusan panel dan banding, serta melakukan pengawasan terhadap putusan. 24 Melihat pada komposisi dan kewenangan Dispute Settlement Body (DSB), badan ini bersifat politis namun di satu sisi menegakkan jurisdiksi putusan dengan berdasarkan pada prinsip “negative consensus” sebagai dasar dalam pengambilan keputusannya berdasarkan ketentuan Dispute Settlement Understanding25. Negative consensus merupakan cara pengambilan keputusan yang membatalkan hasil putusan dengan adanya keberatan salah satu pihak di luar pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Konsensus negatif memungkinkan bagi adanya langkah jurisdiksi yang lebih tegas dengan menjadi putusan yang memiliki kekuatan hukum ketika diadopsi dan meminimalisasi tindakan blocking oleh negara-negara melalui ketidakhadiran. Semenjak diberlakukannya prinsip konsensus negatif, tingkat adopsi terhadap putusan panel menjadi berada pada efektivitas tertinggi dengan nilai 100%. 26 Artinya, semenjak diberlakukannya konsensus negatif, semua hasil putusan panel berhasil diadopsi dan tidak terjadi blocking. Komposisi DSB yang merupakan perwakilan diplomatik berupa perwakilan semua anggota WTO mengimplikasikan adanya kemungkinan untuk dilakukannya proses bargaining dan negosiasi dengan berusaha mempengaruhi anggota-anggota WTO untuk menerima justifikasi suatu kebijakan. Fleksibilitas inilah yang ditengarai menjadikan mekanisme penyelesaian sengketa WTO menjadi lebih efektif karena mengakomodasi penegakan jurisdiksi sementara memberikan ruang untuk melakukan penyesuaian. Mutual expectation terbentuk ketika negara-negara yang bersengketa mendapatkan jaminan keajegan prinsip hukum yang berlaku sementara di sisi lain mempengaruhi perubahan ekspektasi negara dengan adanya ruang bagi dialog dalam menyesuaikan diri terhadap putusan atau rencana pengambilan putusan yang akan diadopsi. Bergabungnya Ekuador pada WTO di tahun 1995 karena keputusan Framework Agreement on Bananas yang tidak menguntungkannya sebagai non-anggota 24
WTO, “WTO bodies involved in dispute settlement process”, diakses dari http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c3s1p1_e.htm 25 Ibid. 26 John Magnus, “Compliance with WTO Dispute Settlement Decisions: Is There A Crisis?” dalam Rufus Yerxa dan Bruce Wilson (eds.), Key Issues in WTO Dispute Settlement: The First Ten Years, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 242.
GATT di tahun 1994 mengimplikasikan adanya mutual expectation yang diharapkan oleh Ekuador untuk mendapat perlindungan hukum yang sama dengan negara-negara Amerika Latin lain yang telah tergabung sebagai anggota GATT seperti Kolombia, Kosta Rika, Nikaragua, dan Venezuela yang memperoleh keuntungan atas dibentuknya Framework Agreement on Bananas (FAB). Di sisi lain, mutual expectation yang juga hadir pada sengketa kasus ini adalah pola keajegan diplomasi Ekuador dalam menentang rezim impor pisang European Community. Hal ini juga berlaku pada European Community yang secara bertahap melakukan penyesuaian tariff impor pada CMOB menjadi FAB kemudian memberikan konsesi-konsesi lain dengan menurunkan tarif impor per metrik tonnya atau meningkatkan jumlah kuota. Tabel. 1. Penyesuaian Kuota dan Tariff Rezim Impor Pisang EU tahun 1999-2002
Penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh Ekuador dan European Union pada akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditariknya kasus rezim impor pisang European Community oleh Ekuador pada November 2012 silam karena adanya konsesi European Union yang cukup memuaskan Ekuador dengan berencana untuk menurunkan tariff impor sampai pada angka 114 Euro di tahun 2017 secara bertahap. Di sisi lain, terdorongnya European Union untuk memberikan konsesi tersebut ditengarai karena adanya penghargaan European Union terhadap keputusan Ekuador untuk tidak memakai hak retaliasi silangnya (cross retaliation) pada produk-produk European Union yang berkaitan dengan kekayaan intelektual. Hal ini membuktikan bagaimana liabilitas hukum yang fleksibel pada mekanisme penyelesaian sengketa WTO tidak hanya memberikan jaminan jurisdiksi hukum, melainkan juga menumbuhkan mutual expectation. Pada kasus Amerika Serikat dengan European Union, mutual expectation yang terjadi berupa kepercayaan Amerika Serikat terhadap kekuatan hukum dan dampak penegakan
hukum yang positif dengan adanya jaminan untuk melakukan upaya pembalasan terhadap aksi serupa (retaliasi) dengan melakukan penyesuaian terhadap kebijakan dalam negeri Amerika Serikat. Kapasitas ekonomi Amerika Serikat yang mendukung untuk melakukan hal tersebut sebagai negara pengimpor pisang kedua terbesar di dunia 27, memungkinkan upaya retaliasi oleh Amerika Serikat menjadi efektif. Dengan dilakukannya preferential entry dan penyesuaian kuota, harga pisang dalam pasar Amerika Serikat dapat menjadi lebih murah dan oleh karenanya mampu mempengaruhi market share impor pisang secara berarti terhadap European Union. Grafik 1.. Proporsi Importer Pisang di Dunia Tahun 2007 (dalam satuan ribu ton)
Liabilitas hukum mekanisme penyelesaian sengketa WTO pada perspektif Amerika Serikat terutama memberi signifikansi dalam menciptakan constraint terhadap pihak lawan. Dengan demikian, upaya defection tidak terjadi lebih jauh karena upaya yang sama akan berimbas pada pihak tersebut (mutual expectation) dengan dijaminnya retaliasi yang didukung oleh kredibilitas kemampuan ekonomi Amerika Serikat untuk memberikan dampak kerugian berarti bagi perekonomian European Union.
27
European Parliamentary Directorate General for External Policies, The EU Banana Regime: Evolution and Implications for Its Recent Changes, (INTA, 2010), hlm. 34.
Bab III Kesimpulan
Keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa WTO sebagai transformasi terhadap mekanisme penyelesaian sengketa GATT terdahulu telah menandai tingkat kematangan WTO yang memadai sebagai rezim perdagangan multilateral. Transformasi ini telah membawa pengaruh positif terhadap keseluruhan peran WTO sebagai institusi internasional dalam memberikan legal liability, mengatasi problem of uncertainty, dan mengurangi transaction cost. Peran mekanisme penyelesaian sengketa WTO, terutama karena legal liability-nya telah memberikan konteks signifikansi yang berbeda bagi negara maju dan negara berkembang. Dalam kasus sengketa rezim impor pisang European Community (Banana Case), signifikansi mekanisme penyelesaian sengketa WTO yang menjamin adanya hak untuk melakukan retaliasi telah memberikan jaminan bagi Amerika Serikat sebagai negara maju untuk menggunakan instrumen tersebut secara langsung yang dapat memberikan constraint pada pihak lawan. Constraint ini ditujukan untuk menghentikan segala tindakan yang dapat merugikan sebagai bagian dari mutual expectation untuk saling tidak merugikan lebih jauh. Di sisi lain, konteks signifikansi mekanisme penyelesaian sengketa WTO yang memberi jaminan upaya retaliasi pada Ekuador sebagai negara berkembang dimaksimalisasi penggunaannya pada cara yang tidak langsung untuk mendukung proses diplomasi Ekuador terhadap European Union justru dengan cara untuk tidak melakukan retaliasi. Cara yang demikian mendapatkan respon yang positif dari European Union dengan dikonsesikannya penurunan tariff impor pada kondisi yang memuaskan dua belah pihak sebagai bagian dari mutual expectation. Mekanisme penyelesaian sengketa WTO memiliki peran penting dalam mendukung signifikansi terciptanya mutual expectation sebagai bagian dari legal liability. Pemanfaatan mutual expectation yang berbeda antara negara maju dan berkembang mengimplikasikan perbedaan konteksnya meski sama-sama signifikan.
Daftar Pustaka Bown, Chad dan Bernard Hoekman. “WTO Dispute Settlement and the Missing Developing Country Cases: Engaging the Private Sector” dalam Journal of International Economic Law, (2005). European Parliamentary Directorate General for External Policies. 2010.The EU Banana Regime: Evolution and Implications for Its Recent Changes. INTA. Kaushik, Atul dan Simi T. B. “The Banana War at the GATT/ WTO” dalam Trade Law Brief, No. 1, (2008). Keohane, Robert. 1984. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. New Jersey: Princeton University Press.
Kunze, Katharina. 2009. Solving EC-Bananas: The WTO Dispute Settlement Mechanism and Developing Countries. Hamburg: Bucerius Law School. Magnus, John. “Compliance with WTO Dispute Settlement Decisions: Is There A Crisis?” dalam Rufus Yerxa dan Bruce Wilson (eds.). 2005. Key Issues in WTO Dispute Settlement: The First Ten Years. Cambridge: Cambridge University Press. Nottage, Hunter. “Developing Countries in the WTO Dispute Settlement System” dalam Global Economic Governance Programme, (2009). Read, Robert. “Trade Dispute Settlement Mechanism: The WTO Dispute Settlement Understanding in the Wake of the GATT” dalam Lancaster University Management School Working Paper Series 012, (2005). Trachtman, Joel. “Bananas, Direct Effect, and Compliance” dalam Economic Journal of International Law, Vol. 10, No. 4, (1999). BBC News (15 Desember 2009), “EU cuts import tariffs in a bid to end 'banana wars'”, diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/8391752.stm European Comission on Agriculture and Rural Development, “Banana other than plantains”, diakses dari http://ec.europa.eu/agriculture/bananas/index_en.htm Europolitics (2 Februari 2006), “EU/ACP: EU Sets Duty Free Import Quotas for ACP Bananas for the Rest of the Year”, diakses dari http://www.europolitics.info/eu-acp-eu-setsduty-free-import-quota-for-acp-bananas-for-the-rest-of-the-year-artr172875-10.html WTO, “Dispute Settlement: Regime for the Importation, Sale, and Distribution of Bananas”, diakses dari http://www.wto.int/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds27_e.htm