konjungsi ekstratekstual dalam - USU Institutional Repository

117 downloads 135 Views 146KB Size Report
Hikayat dalam bahasa Melayu berarti (1) cerita-cerita lama dalam bentuk prosa, ( 2) karya ... banyak bercorak islam; dari bahasa Arab dan Parsi (Hamid, 1988: 169). .... pengertian konjungsi atau kata penghubung, Abdul Chaer (1990:53).
KONJUNGSI EKSTRATEKSTUAL DALAM HIKAYAT BAYAN BUDIMAN DWI WIDAYATI Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra akan bermakna apabila diberi makna oleh pembaca atau pengkajinya. Apa dan bagaimana kehadiran karya sastra selalu mengundang perhatian kita. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh pembacanya. Kenyataan berbagai hal dapat diungkapkan dari karya sastra itu, baik tersirat maupun tersurat. Karya sastra itu tentu saja tidak terbatas pada karya sastra modern saja, tetapi juga karya sastra lama. Hikayat yang merupakan salah satu genre karya sastra lama atau tepatnya salah satu genre prosa lama dapat diteliti berbagai hal di dalamnya. Kajian yang dapat diteliti di sini dapat berbentuk intertekstual maupun ekstratekstual. Hikayat dalam bahasa Melayu berarti (1) cerita-cerita lama dalam bentuk prosa, (2) karya sastra berisi cerita, baik sejarah maupun cerita roman fiktif, yang dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta (Iskandar, 1984:386 dan KBBI, 1988:307). Lebih jelasnya Baried dkk (1985:6) menyimpulkan bahwa hikayat adalah (1) karangan yang kadarnya cerita, bukan peristiwa yang benar-benar terjadi atau hasil rekaan; (2) cerita itu cerita yang sudah kuno' atau cerita lama; (3) bentuk cerita itu prosa; dan (4) namun juga berarti cerita yang pernah terjadi, yaitu kenang-kenangan atau sejarah dan riwayat. Salah satu hikayat yang akan dikaji di sini adalah hikayat Bayan Budiman (selanjutnya disebut HBB). Hikayat ini merupakan salah satu hikayat berbingkai. Hikayat berbingkai atau disebut juga cerita berbingkai merupakan sub genre hikayat yang ada dalam kesusasteraan melayu lama. Secara umum, dapat diartikan cerita pokok yang di dalamnya terdapat cerita-cerita sisipan (anak cerita, cerita sampingan). Seperti sub genre hikayat lainnya, hikayat berbingkai juga menggunakan bahasa Melayu dan melalui dunia rekaan terlihat bersifat klasik. Baried, dkk. (1985:84) menjelaskan bahwa sastra melayu menggunakan bahasa Melayu. Oleh karena itu, bahasa hikayat adalah bahasa Melayu. Demikianlah untuk memahami bahasa hikayat, kita perlu memahami bahasa Melayu. Terkadang dapat timbul kejenuhan atau kebosanan sebelum sebuah hikayat selesai dibaca. Meskipun telah berulang-ulang dibaca, sulit bagi kita untuk mengukuti alur cerita dan jumlah tokoh yang tidak sedikit jumlahnya. Selain itu, pemakaian diksi bahasa Melayu kuno, pemakaian kala penghubung (konjungsi) yang mubazir banyak dijumpai dalam ceritanya. Meneliti masalah pemakaian konjungsi, khususnya konjungsi ekstratekstual dalam hikayat berbingkai merupakan hal yang cukup menarik untuk diteliti. Hal ini mengingatkan kita kembali kepada sejarah penulisan cerita-cerita berbingkai yang bermula dari tradisi ligan. Peralihannya kepada tradisi tulis, baru terlihat setelah Islam bertapak di Alam Melayu dan ditemukannya filologi cetakan oleh Gutenberg pada tahun 1450.

© 2004 Digitized by USU digital library

1

Dalam tradisi tulis, salah satu diantaranya adalah munculnya peranan tanda baca untuk menghidupkan karya sastra. Baried,dkk.(1985:106) menjelaskan bahwa kata-kata yang digolongkan pada kata penghubung itu menjadi penunjuk tanda baca pada sistem penulisan Melayu. Dalam bahasa ligan orang jarang atau sama sekali tidak menggunakannya. . Berdasarkan uraian di atas, jelas bagi kita bahwa cerita atau hikayat berbingkai seperti HBB perlu diteliti. Penelitian khusus tentang pemakaian konjungsi ekstratekstual dalam hikayat berbingkai belum banyak dilakukan. Pada hal penelitian komponen bahasa yang dikaitkan dengan konteks karya sastra penting bagi kita. 1.2 Masalah Untuk meneliti secara keseluruhan tentang pemakaian konjungsi dalam hikayat-hikayat berbingkai merupakan usaha yang tidak akan pernah selesai, mengingat begitu banyak hikayat-hikayat yang dapat dijadikan objeknya. Berkenaan dengan latar belakang dan tujuan yang diharapkan dari penelitian ini, maka dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penggunaan konjungsi ekstratekstual (posisi awal, tengah, dan akhir kalimat) dalam HBB? 2. Apakah tugas atau fungsi konjungsi-konjungsi itu dalam teks hikayat berbingkai ini? TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hikayat Berbingkai dalam Kesusasteraan Melayu Teks hikayat berbingkai yang ada dalam kesusasteraan Melayu, pada mulanya bersumber dari negri Benggala, India. Di India, cerita berbingkai disebut dengan nama akhyayika 'cerita' dan katha 'percakapan yang menyenangkan' (Abadi, dkk ,1986:76). Liaw Yock Fang (1982:170- 171) mengemukakan bahwa “Berdasarkan tujuannya yang berlainan, cerita berbingkai (di India) dapat dibagi atas tiga golongan yaitu (1) Cerita yang dikumpulkan untuk memberi ajaran agama. Termasuk dalam golongan ini ialah cerita Jataka dan ceritacerita Buddhis dan lainnya, (2) cerita yang bertujuan memberi ajaran politik dan pengetahuan duniawi. Termasuklah dalam golongan ini Eancatantra dan kumpulan cerita yang berasal dari padanya. (3) Cerita yang bertujuan memberi hiburan semata-mata. Ajaran moral tidak dipentingkan. Termasuk dalam golongan ini ialah Vetalapancavimsati dan Sukasaptati." Cerita-cerita yang bersumber dari India di atas, sudah sangat tua usianya. Ribuan tahun yang lalu, cerita-cerita tersebut sudah tersebar sampai ke benua Asia dan Eropah. Hikayat-hikayat berbingkai yang ada dalam kesusasteraan Melayu talah banyak bercorak islam; dari bahasa Arab dan Parsi (Hamid, 1988: 169). Maksudnya, isi ceritanya diubah dan disesuaikan dengan pemikiran Islam. Kalau kita perhatikan, bentuk ceritanya pun disesuaikan dengan tradisi kesusasteraan islam yang memulakan cerita dengan doxologi keislaman; yang mengandung puji-pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Hikayat berbingkai dapat diartikan sebagai cerita-cerita yang bersambungsambung atau mempunyai episod yang banyak, tetapi pokok ceritanya masih satu (Abdullah, 1988: 127). Selanjutnya pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Abadi,dkk. (1986:76) bahwa cerita berbingkai ialah dari sebuah cerita pokok kemudian disisipkan dengan beberapa cerita lain sebagai mengukuhkan cerita pokok. Cerita-cerita sisipan atau anak cerita dalam hikayat berbingkai itu dapat berdiri sendiri dan merupakan isi atau maksud dari cerita.Sedangkan cerita pokok (induk

© 2004 Digitized by USU digital library

2

cerita) merupakan bingkai; pengantar maksud cerita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam hikayat berbingkai maksud cerita tersebar di dalam anak-anak cerita. Darodji (1991: 171-172) mengemukakan ada 6 sifat umum cerita berbingkai yaitu: a. Semua cerita berbingkai terdapat cerita sisipan. b. Pada umumnya cerita berbingkai bersifat romantik. c. Cerita berbingkai banyak mengandung kiasan sindiran, yang bertujuan untuk memperbaiki dan mendidik moral. d. Hampir semua dalam cerita berbingkai terdapat watak-watak binatang seperti burung Bayan, Tiung, Gajah, Serigala, Singa, dan Gagak; karena cerita berbingkai disadur dari cerita Hindu Klasik. e. Peristiwa-peristiwa ajaib dan benda-benda ajaib banyak terdapat dalam cerita berbingkai. f. Tajuk cerita menggunakan watak utama, yang juga menerbitkan anak-anak cerita seperti Hikayat Bakhtiar, Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Kalila dan Damina, kecuali Seribu Satu Malam. Seperti fungsi cerita asalnya, hikayat berbingkai yang ada dalam kesusasteraan Melayu juga bertujuan memberikan ajaran moral, nasehat dalam bentuk kiasan dan sindiran yang biasanya ditujukan kepada watak-watak jahat, sewenang-wenang berbuat kejam, dan sebagainya. Secara tidak langsung tidak bersifat menyakitkan hati pendengar atau pembaca; menimbulkan kesadaran kita untuk memperbaiki yang salah. Hal ini dapat kite baca dalam Hikayat Bayan Budiman. Hikayat Kalilah dan Damina, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan dalam hikayat-hikayat berbingkai terdapat kejanggalan dan pemakaian kata-kata yang mubazir. Hal ini tidak dapat dielakkan, karena cerita tersebut bersifat migratoris; dapat berpindah- pindah sehinga dikenal luas di daerah lain (Fadilla, 1991 :5). Kelihatannya masalah ini sudah umum kita jumpai dalam hikayat-hikayat Melayu jenis lainnya. 2.2 Teks Hikayat Berbingkai yang Diteliti Judul : Hikayat Bayan .Budiman Diusahakan : R.O. Winstedt Bentuk : Prosa Penerbit : Fajar Bakti Tahun Terbit : 1985 Ukuran : 14 X 21,5 cm Tebal : 303 halaman Hikayat Bayan Budiman juga dikenal dengan nama Hikayat Khoja Maimun, Hikayat Khoja Mubarak, dan Cerita Taifah. Cerita Bayan Budiman ini berasal dari kitab Sukasaptati (Hamid, 1988: 169). Kitab Sukasaptati telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti bahasa Parsi dengan nama Tuti Nameh yang dihasilkan oleh Nakhsyabi (tahun 1329). Kemudian cerita Tuti Nameh ini disalin pula ke dalam bahasa Turki oleh seorang penulis yang bernama Sary Abdullah Effendi (Winstedt, 1985:iii). Cerita Tuti Nameh yang disalin ke dalam bahasa Melayu diberi judul Hikayat Bayan Budiman. Salinan hikayat ini di dalam bahasa Melayu yang paling tua terdapat di Perpustakaan Bodlein, Oxford milik Edward Pococke yang disalin pada tahun 1600 Masehi (Winstedt, 1985:v). Terdapat 12 buah cerita di dalam Hikayat Bayan Budiman yang diambil yang diambil dari cerita Tuti Nameh karangan Nakhsyabi yang mengandung 52 buah cerita semuanya (Hamid, 1988: 170). Menurut Winstedt, naskah cerita tersebut dalam bahasa Melayu sudah ditambah oleh penerjemahnya dengan alam setempat. © 2004 Digitized by USU digital library

3

Menurut naskah van der Wijk dan naskah van der Tuuk bahwa penerjemah dan penyusun hikayat ini dalam bahasa Melayu bernama Hadi Hassan, tahun 773 H/1371 M (1985: viii). Sebuah naskah hikayat ini tersimpan di perpustakaan India Office bertarihk tahun 1808 M, yang disalin dari sebuah naskah lain yang bertarikh tahun 1599 M. Kemungkinan HBB ini sudah disalin ke dalam bahasa Melayu sejak zaman Kerajaan Melayu Malaka bersama dengan cerita-cerita bercorak Islam dari Parsi (Hamid, 1988:171). Teks HBB yang diselenggarakan oleh R.O. Winstedt terdiri dari 24 buah cerita. Cerita dimulai dengan bayan yang dicabut bulunya oleh istri saudagar den diakhiri dengan cerita putri taut (1985:xix-xx). 2.3 Konjungsi dalam Prosa Melayu Lama Bahasa yang digunakan dalam hikayat-hikayat berbingkai terlihat bersifat klasik, pemakaian konjungsi yang berlebihan, dan seperangkat ciri lainnya yang menandakan bahwa hikayat-hikayat tersebut tergolong kedalam prosa Melayu lama. Hal ini dapat dipahami, karena hikayat-hikayat berbingkai itu pada mulanya dituturkan dan disebarluaskan secara ligan. Pemakaian konjungsi dalam prosa Melayu lama erat kaitannya dengan kehadiran tanda baca yang berfungsi menghidupkan karya prosa tersebut seperti dunia lisannya. C.Spat (dalam Baried, dkk. ,1985: 106) mengemukakan: "Bahwa kata-kata yang digolongkan pada kata penghubung itu menjadi penunjuk tanda baca pada sistem penulisan Melayu. Dalam bahasa ligan orang jarang atau sama sekali tidak menggunakannya. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pula bahwa penulisan bahasa Melayu (yang juga bahasa hikayat) itu menggunakan huruf jawi yang tidak mempunyai tanda baca." Selanjutnya Hookaas (1984:137) menjelaskan, "baik abjad Hindu yang kuno maupun abjad Arab tidak mempunyai huruf besar, alat-alat bacaan,apalagi kebiasaan memisahkan sasuatu baris baru..," Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa antara bahasa dan sastra tidak dapat dipisahkan. Berikut ini kita akan melihat kutipan yang berkenaan dengan pengertian konjungsi atau kata penghubung, Abdul Chaer (1990:53) mengemukakan, "konjungsi dapat diartikan sebagai kata atau gabungan kata yang berfungsi menghubungkan bagian-bagian ujaran yang mungkin berupa kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, maupun kalimat dengan kalimat", Asmah Haji Omar (1986:193) mengatakan, "kata penghubung ialah kata yang menghubungkan dua kala, frase atau klausa. Berdasarkan taraf unsur-unsur yang dihubungkannya itu, kala penghubung dapat dibagi atas dua jenis, yaitu kata penghubung setara dan kata penghubung tidak setara". Gorys Keraf (1980:78) mengemukakan, “kata sambung atau conjungtio adalah kata yang menghubungkan kata-kata, bagian-bagian kalimat, atau menghubungkan kalimat-kalimat". Soekono Wirjooedarmo (1985:201) mengungkapkan. "kata sambung/kata penghubung atau konjungsi ialah kata yang menghubungkan dua buah kata atau dua kalimat yang jabatannya". Harimurti Kridalaksana (1986:99) mengemukakan," konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk meluaskan satuan yang lain dalam konstruksi hipotaksis dan selalu menghubungkan dua satuan lain atau lebih dalam konstruksi". Dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konjungsi atau kata penghubung adalah kata yang bertugas menghubungkan kata-kata, bagianbagian kalimat, atau menghubungkan kalimat dengan kalimat. Hal ini akan lebih jelas kita lihat dari pembagian konjungsi itu berdasarkan posisinya. © 2004 Digitized by USU digital library

4

Harimurti Kridalaksana (1986:99-101) membagi atas konjungsi atas dua bagian yaitu: “(1) Konjungsi intrakalimat, yakni konjungsi yang menghubungkan satuansatuan kata dengan kata, frase dengan frase, atau klausa dengan klausa. Dalam bahasa Indonesia, ada lebih kurang 100 konjungsi intrakalimat, di antaranya: agar, agar supaya, akan tetapi, alih-alih, andai kata, asal (2) Konjungsi ekstrakalimat, yang terbagi lagi atas: (a) Konjungsi intratekstual yaitu yang menghubungkan kalimat dengan kalimat atau paragraf dengan paragraf. Ada lebih kurang 40 konjungsi yang tergolong di dalamnya, di antaranya: apalagi, bahkan, bahwa, begitu, biarpun...... (b) Konjungsi ekstratekstual yaitu yang menghubungkan dunia luar wacana, yaitu: begitu, hatta, hubaya-hubaya, maka, maka itu, mengenai, sebermula, dan syahdan". Dengan nada yang sama, Chaer memasukkan konjungsi ekstratekstual tersebut ke dalam konjungsi antarkalimat, yakni konjungsi yang digunakan dalam ragam bahasa terdahulu (dalam naskah lama) yaitu: adapun, akan hal, alkisah, arkian, hatta, maka adalah, maka dari pada itu, maka itu, sebermula, dan syahdan (1990:57). Dari sumber lain, Omar (1991:89-90) menambahkan bahwa,"0.. kata penghubung setara dan tak setara itu merupakan penghubung sistem, yakni penghubung kata, penghubung frase, dan penghubung klausa. Di samping itu, terdapat penghubung kepada unit bahasa yang lebih luas daripada klausa atau ayat, yakni penghubung yang memainkan peranan dan mewujudkan tetenunan (cohesion) dalam wacana dan teks". Cara atau sifat menghubungkan kata-kata atau kalimat-kalimat itu dapat berlangsung dengan berbagai cara (ada 14 cara). Salah satu di antaranya adalah untuk pengantar kalimat, seperti maka, syahdan, akan .Dalam kesusasteraan lama kite mengenal pula kata-kata pengantar kalimat seperti bahwasanya, sebermula, syahdan, hatta, arkian, kalakian, sekali peristiwa (Keraf, 1980:79). Pembagian kata sambung menurut arti/fungsi ada dua yaitu kata sambung sebagai pengantar kalimat: alkisah, syahdan, bahwasanya, kalakian, arkian, maka, hatta, bahwa, bermula/sebermula, sekali peristiwa, bahwa sesungguhnya, dan adapun. Yang kedua adalah kata sambung biasa (Wirjosoedarmo, 1985:204-205). Dengan sumber yang sama Kridalaksana menegaskan,"... dari sekian tugas konjungsi, salah satu di antaranya adalah sebagai pengantar wacana, misalnya sebermula, adapun, maka (1986:102). C.Spat (Baried,dkk, 1985:106) mengemukakan,"... kata-kata yang tergolong pada kala penghubung yang ditemui dalam hikayat adalah ala, syahdan, kalakian, alkisah, arakian, bermula, sebermula, maka, dan bahwa".

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN © 2004 Digitized by USU digital library

5

3.1 Tujuan Penelitlan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengungkapkan penggunaan konjungsi ekstratekstual dalam teks HBB. 2. Mengemukakan tugas dan fungsi konjungsi ekstratekstual dalam teks hikayat berbingkai tersebut. Manfaat Penelitian Dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian diharapkan: 1. Dapat menjadi bahan masukan bagi para peneliti bahasa dan sastra Melayu lainnya. 2. Melestarikan warisan pross Melayu klasik. 3. Turut serta dalam kegiatan penelitian bahasa dan sastra daerah, sebagai penunjang sumber kebudayaan nasional 4. Melengkapi khazanah pustaka sastra daerah Fakultas sastra Universitas Sumatera Utara. BABIV METODE PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian Dalam sebuah penelitian, metode dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan atau ditempuh untuk mencapai tujuan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik catat. Metode ini digunakan karena peneliti menyimak semua data yang diperoleh dari perpustakaan dan kemudian mencatat semua data yang diperlukan di dalam kartu data. Selanjutnya digunakan metode agih atau disebut juga metode distribusional untuk analisis data. Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik bagi unsur langsung. Dengan teknik ini diharapkan satuan lingual berupa kata sambung atau konjungsi dapat diperoleh. Selanjutnya Satuan lingual yang telah ditetapkan didistribusikan berdasarkan posisi pemakaiannya dalam teks bukan naskah. Kemudian dideskripsikan berdasarkan fungsinya di dalam kalimat-kalimat. 4.2 Populasi dan Sampel Populasi dan sampel merupakan sumber data dalam penelitian ini. Data penelitian yang tergolong sebagai data sekunder ini mengambil populasi semua hikayat berbingkai dalam prosa Melayu. Adapun sampel dipilih secara purposive sampling yaitu pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian (Nawawi, 1987: 157). Sample yang diambil sesuai dengan tujuan penelitian adalah HBB.

BAB V HASll DAN PEMBAHASAN 5.1 Deskripsi Data © 2004 Digitized by USU digital library

6

Data penelitian ini adalah tentang letak atau posisi pemakaian konjungsi ekstratekstual dalam HBB. Tabel1 Letak atau Posisi Konjungsi Ekstratekstual Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Konjungsi Ekstatektual Adapun Alkisah Arkian Akan hal Bermula Bahwa/Bahawa Hatta Hubaya-hubaya Maka Maka adalah Sebermula Syahdan

Awal 60 12 5 4 10 21 96 4 2071 7 54 62

Selanjutnya peneliti akan mendeskripsikan ekstratekstual sesuai dengan data yang ada.

Posisi Tengah 27 2 60 1 2 990 1 14

persentase

Akhir -

pemakaian

konjungsi

Tabel 2 Presentase Pemakain Konjungsi Ekstratekstual (awal kalimat) Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Konjungsi Ekstratekstual Adapun Alkisah Arkian Akan hal Bermula Bahwa/Bahawa Hatta Hubaya-hubaya Maka Maka adalah Sebermula Syahdan

F 60 12 5 4 10 21 96 4 2071 7 54 62

% 2,49 0,50 0,21 0,17 0,41 0,87 3,99 0,17 86,08 0,29 2,22 2,58

Tabel 3 Presentase Pemakaian Konjungsi Ekstratekstual (Tengah Kalimat)

© 2004 Digitized by USU digital library

7

Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Konjungsi Ekstratekstual Adapun Alkisah Arkian Akan hal Bermula Bahwa/Bahawa Hatta Hubaya-hubaya Maka Maka adalah Sebermula Syahdan

F 27 2 60 1 2 990 1 14

% 2,46 0,18 5,50 0,09 0,18 90,24 0,09 1,27

Dari tabel 2 dan 3 di atas kelihatan ada delapan konjungsi ekstratekstual yang menduduki posisi awal dan tengah kalimat, yaitu konjungsi maka sebesar 86,08 % dan 90,24 % hatta besar 3,99 % dan 0,09 %; syahdan sebesar 2,58 % dan 1,27 %; adapun sebesar 2,49 % dan 2,46 %; bahwh/bahawa sebesar 0,87 % dan 5,50 %, maka adalah sebesar 0,29 % dan 0,09 %, hubaya-hubaya sebesar 0,17 % dan 0,18 %; dan akan hal sebesar 0,17 % dan 0,18 %. Ada beberapa konjungsi ekstratekstual yang hanya menduduki posisi awal kalimat seperti sebermula sebesar 2,24 %; alkisah sebesar 0,50 %; bermula sebesar 0,41 %; dan arkian sebesar 0,21 %. Sedangkan yang hanya menduduki posisi tengah kalimat tidak ada. Berdasarkan deskripsi di atas, dapatlah disimpulkan bahwa konjungsi ekstratekstual dalam HBB menduduki posisi awal dan tengah kalimat. Hal ini membantu peneliti dalam mengungkapkan pembahasan hasil penelitian. 5.2 Tugas atau Fungsi Konjungsi Ekstratekstual dalam HBB Pembahasan ini berdasarkan pada data-data yang telah dikemukakan dalam deskripsi data di atas. 5.2.1 Konjungsi adapun Konjungsi ini berasal dari kata ada dan pun, yang bertugas sebagai pembuka kalimat untuk menonjolkan pokok pembicaraan sebagaimana fungsi kata tumpuan. oleh karena itu, pemakaiannya tidak membuat arti baru (Baried,dkk., 1985:108). Iskandar (1984:5) mengemukakan, konjungsi adapun dapat berarti 'mengenai; perihal'. Penjelasan yang sarna juga dikemukakan dalam KBBI (1988:5), adapun berarti 'tentang hal; mengenai'. Berdasarkan contoh-contoh yang ditemui dalam teks HBB (posisi awal dan tengah), konjungsi adapun bertugas sebagai pengantar cerita. Kridalaksana (1986:102) menegaskan bahwa tugas konjungsi adapun adalah sebagai pengantar wacana. Keraf (1980:79) juga menjelaskan bahwa konjungsi adapun ini berfungsi sebagai pengantar kalimat, khusus dalam kesusasteraan lama. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat kutipan teks HBB berikut ini: ". ..Adapun pada pohon kayu itu ada cerpelai beranak muda " (HBB,1985:39). "Maka kata tabib kepada saudagar itu, "Adapun luka anak tuan hamba ini, jika beroleh hati anak kera itu, sembuhlah". (HBB,1985:40) Dari kutipan teks di atas, jelaslah bagi kita tentang fungsi atau tugas konjungsi adapun. Hal tersebut tidak berbeda tugas konjungsi adapun meskipun berada di tengah kalimat. 5.2.2 Konjungsi alkisah © 2004 Digitized by USU digital library

8

Berasal dari bahasa Arab, [alqissah] (Sudarno, 1990:156). Dapat diartikan 'cerita; peristiwa' (Ngajenan, 1987:104). Iskandar (1984:25) mendefinisikan "alkisah adalah kata yang digunakan ketika memulakan sesuatu cerita atau riwayat dan bermakna 'kisahnya; ceritanya'. Contoh: "Alkisah, maka diceritakan oleh yang empunya cerita ini, adapun Khojah Maimun selama ia beroleh dua ekor unggas itu maka sehari-hari tiada khali emas datang bertimbun-timbun seperti bukit". (HBB,1985:3). Sesuai dengan tradisi lisannya, konjungsi alkisah bertugas untuk memulakan sebuah cerita. Hal ini tidak berbeda maknanya, apakah posisi itu di awal ataupun di tengah kalimat. (Baried, dkk., 1985: 109) menegaskan, "konjungsi alkisah dipakai sebagai pembuka cerita atau cerita baru". 5.2.3 Konjungsi arkian Wilkinson mengemukakan, "konjungsi arkian adalah adalah bentuk panjang arakian yang berarti 'kemudian ; sehubungan dengan itu'. Kata ini dipakai untuk menunjukkan perpulaan satu alenia (Baried,dkk, 1985:108). Secara etimologis, kata arkian berasal dari bahasa Sansekerta yakni kala arakian, ari 'hari' dan kian 'itu'; arikian berarti 'hari itu (Ngajenan, 1987:42). Iskandar (1984:51) mengartikan kala arkian 'sesudah itu maka'. Contoh: "Arakian, setelah bayan yang banyak itu habis jatuh ke tanah berkaparan, maka terbanglah sekaliannya" (HBB, 1985:42). Konjungsi arkian dalam kesusasteraan lama berfungsi sebagai pengantar kalimat (Keraf, 1980:79). Dalam teks hikayat berbingkai yang dijadikan sampel penelitian ini, ternyata konjungsi arkian atau arakian hanya menduduki posisi di awal kalimat. 5.2.4 Konjungsi akan hal Berasal dari kata akan dan halo Iskandar mengemukakan, "kata akan adalah kata penghubung antara kala kerja dengan pelengkapnya yang berarti adapun; perihal; mengenai; tentang (1984: 16). Sedangkan kata hal berarti 'keadaan; kejadian; peristiwa' (1984:364). Chaer (1990:57) menggolongkan konjungsi akan hal ke dalam konjungsi antar kalimat, yakni konjungsi yang digunakan dalam ragam bahasa terdahulu (dalam naskah lama). Dalam kaitan ini termasuklah teks HBB yang dijadikan sampel penelitian ini. Contoh: "Setelah dilihat oleh Perdana Menteri dan segala orang besar-besar akan hal negeri itu, maka Perdana Menteri dan segala wazir pun terlalu dukacita seraya dengan hairannya melihat kada Allah taala yang datang kepadanya itu". (HBB, 1985:122) Dalam HBB konjungsi akan hal hanya menduduki posisi tengah kalimat. Jumlah kedua konjungsi tersebut pun cukup minim pemakaiannya di dalam teks hikayat berbingkai yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. 5.2.6 Konjungsi bermula dan sebermula Kedua konjungsi di atas berasal dari kata mula (bahasa Sansekerta). Kata mula yang berarti akar; bibit; asal' (Ngajenan, 1987:124). Sebagai konjungsi, kata tersebut dapat berarti pada saat awalnya; mula-mula; pertama (Baried,dkk., 1985:108). © 2004 Digitized by USU digital library

9

Contoh: "Bermula, setelah raja perempuan mendengar suaminya demikian itu, katanya. "Di mana kakanda tahu bahasa binatang itu?. (HBB, 1985:53). "Sebermula, akan adat Raja Tabaristan itu, tiga hari sekali ia berjamu segala hulubalangnya makan minum bersuka-sukaan". (HBB, 1985:17) Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa konjungsi bermula dan sebermula hanya menduduki posisi awal kalimat. Kridalaksana (1986:102) mengemukakan tugas atau fungsi kedua konjungsi tersebut adalah sebagai pengantar wacana. 5.2.7 Konjungsi bahwa Kata bahwa terkadang ditulis bahawa, namun maknanya tidak berbeda. Ngajenan (1987:47) mengemukakan, "kata bahwa berasal dari bhava (bahasa Sansekerta) yang berarti 'kejadian'. Kini bahwa hanya dipakai sebagai kata sambung". Sebagai kata penghubung, kata bahwa berfungsi sebagai kata adapun. ...Kata bahwa dipakai juga sebagai pengantar isi satu berita atau cerita (Baried, dkk., 1985:109). Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kridalaksana (1986:102), bahwa konjungsi bahwa bertugas sebagai pengantar objek. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan hikayat berikut: "Bahawa tiadalah harus hamba pergi, karena tiada dengan izin saudara hamba. Tiadalah hamba pergin. (HBB, 1985: 173). "Maka kata bayan itu, " Bahawa pekerjaan berbuat khianat akan suamimu itu, hendaklah engkau segera taubat dahulu. Maka kata perempuan itu, "Ya wali Allah telah sudahlah hambamu ini taubat". (HBB, 1985: 13). Mengacu pada deskripsi data, konjungsi bahwa atau bahawa lebih banyak menduduki posisi tengah kalimat. Hal ini sesuai dengan tugas atau fungsi konjungsi tersebut sebagai kata penghubung. Iskandar menegaskan, 'bahawa adalah kata penghubung yang menjelaskan isi atau uraian kalimat pokok (yang sebelumnya atau sesudahnya)". (1984: 71). 5.2.8 Konjungsi hatta Spat mengatakan bahwa bentuk lain dari kata hatta adalah ata, yang berasal dari kata atha (Sansekerta) yang berarti 'lalu' (Baried,dkk., 1985:107). Dengan mengambil bentuk tulisan Arab hatta Yang berarti 'sehingga; sampai; maka' (Ngajenan, 1987:84). Wilkinson mengatakan, "bahwa kata itu dipakai dengan arti 'lalu; kemudian' dan dipakai sebagai pembuka alenia baru (Baried, 1985: 107). Hal ini dapat kita lihat dalam petikan berikut; "Hatta, berapa lamanya maka datanglah sebuah kapal singgah pada pulau itu hendak mengambil air dan kayu. Maka nakhoda itu pun naiklah ke darat dengan segala laskarnya; maka lalu berjumpa dengan orang muda itu". (HBB, 1985:155) Dari deskripsi data yang diperoleh, konjungsi hatta hanya sekali ditemkan pada posisi tengah kalimat, seperti kutipan berikut; "Maka kabullah mereka itu akan menjadi saksi. Setelah putus mufakat mereka itu, hatta pada esok harinya, maka laki-laki itu pun pergilah ia kepada kadi serta katanya, “Ya tuan kadi! Ada seorang saudara hamba ia pergi berlayar": (HBB, 1985:172) Meskipun posisinya di tengah kalimat, arti kata hatta itu sendiri tidak berubah. Hal ini harus kita pahami tradisi pengampaian hikayat berbingkai itu pada mulanya. 5.2.9 Konjungsi Hubaya - Hubaya © 2004 Digitized by USU digital library

10

Hubaya-hubaya merupakan salah satu contoh konjungsi ekstratekstual yang jarang kita dengar dan jumpai dalm hikayat-hikayat Mlayu. Dalm Kamus Dewan (1984) maupun dalm KBB(1988) Kojungsi tersebut diberi tanda sl ang berarti 'Sastra lama'. Maksudnya kata-kata yang dipergunakan untuk karya-karya sastra lama. Dari kedua kamus tersebut, kita memperoleh pengertian konjungsi hubayahubaya yang tidak jauh berbeda, Yaitu; "hubaya-hubaya (sl),: 1) kala untuk memperkuat peringatan, larangan, dSb.) sekali-kali; benar-benar (jangan ...); 2) kata untuk mengeraskan harapan), mudah-mudahan; 3) terlebih lagi; lebih-lebih lagi; terutama (KBB1, 1988:313). Contoh: “Hubaya-hubaya jangan engkau lainkan aku dengan dia barang siapa melalui daripada amanatku ini, durhakalah ia kepadaku; dan jika barang satu hendak dikerjakan, sekali-kali jangan engkau lalui hukum Allah taala, dan takut olehmu akan Allah subhanahu wataala sangat-sangat". (HBB, 1985: 120) "Tetapi amanat hamba, jikalau ada barang suatu pekerjaan hendaklah tuan hamba mufakat dengan dua ekor unggas itu ; hubaya-hubaya jangan tiada, hal nyawaku! Karena fitnah dunia amat besar lagi terlalu tajam dari pada senjata".(HBB, 1985:5) . Dari deskripsi data yang diperoleh, konjungsi hubaya-hubaya tidak banyak diperoleh. Fungsi atau tugas konjungsi tersebut tidak hanya sebagai pembuka alenia baru, tetapi ada juga yang posisinya di tengah kalimat. Konjungsi tersebut adalah untuk menguatkan harapan atau doa. 5.2.10 Konjungsi maka Salah satu konjungsi ekstratekstual yang cukup banyak jumlahnya adalah konjungsi maka. Iskandar (1984:728) mengemukakan, "konjungsi maka (sl) yang berarti 'lalu; sudah itu; dan' (dipakai untuk memulakan ayat)". Lebih lanjut, dalam Poerwadarminta (1986:622) dijelaskan bahwa konjungsi maka dipakai untuk memulai kalimat, berarti 'lalu; sudah itu lalu' dalam deskripsi data, kelihatan didominasi oleh konjungsi maka baik pada posisi awal kalimat maupun di tengah kalimat. Contoh: "Maka datanglah fikiran di dalam hatinya yang durhaka pada tuannya, "Baiklah aku pindahkan nyawaku kepada tubuh raja ini, supaya akulah jadi raja, kerajaan di benua Babil". (HBB, 1985: 148). "Setelah didengar oleh saudagar itu, maka ia pun duduklah menantikan hari jumat". (HBB, 1985: 189) Tugas atau fungsi konjungsi maka adalah sebagai pengantar wacana (Kridalaksana, 1986: 1 02). Fungsi tersebut tidak menjadi persoalan apakah posisi konjungsi maka itu di awal atau di tengah kalimat. Di samping konjungsi maka, dalam penelitian ini juga dijumpai konjungsi maka adalah. Seperti kutipan berikut: "Maka adalah seorang putera baginda itu perempuan, terlalu baik parasnya, tiada siapa taranya di dalam negeri itu". (HBB. 1985:80). Maka gundik baginda itu adalah hadir beribu-ribu menghadap baginda kedua laki istri dengan segala dayang-dayang inang pengasuhnya, tiadalah terhisab akan banyaknya; maka adalah segala puteri yang seribu itu adalah seumpama bintang zuhrah dan rupanya putri Kamarul 'Ain umpama matahari". (HBB, 1985: 128) Dari data yang ada, fungsi atau tugas konjungsi maka adalah sebagai pengantar kalimat dalam teks. Hal ini tidak menjadi masalah, apakah posisinya di awal atau di akhir kalimat.

© 2004 Digitized by USU digital library

11

5.2.11 Konjungsi syahdan Bentuk lengkapnya adalah syahadan. Berasal dari kata saha (bahasa Sansekerta) yang berarti 'dengan' dan kata dan (melayu) (Baried, dkk., 1985: 107). Syahadan adalah kata yang biasa dipakai pada permulaan cerita atau bab; yang berarti 'selanjutnya ...: lalu....' (Iskandar, 1984: 1154) Mengenai tugas atau fungsi konjungsi syahdan, Wilkinson mengemukakan, "bahwa kata yang berarti 'lalu; kemudian' itu dipakai untuk memulai alenia (Baried, dkk. 1985:107) Contoh: "Syahadan, datanglah kepada suatu hari raja pun mengadu domba, tersebarlah taruhnya, adalah kira-kira lima ribu dinar".(HBB,1985: 150). Dari data yang diperoleh, kata syahdan atau syahadan ada yang ditemui pada posisi tengah kalimat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Keraf (1980:79), bahwa "dalam kesusasteraan lama kita mengenal pula kata-kata pengantar kalimat, seperti syahdan, ...". Dalam teks kita temui contoh: "Maka sahut Hasanah, "Tiada hamba mengerjakan pekerjaan yang dilarang Allah Taala, syahadan tiadalah hambamu tahu akan laki-laki yang lain dari pada suami hamba itu seorang juga". (HBB, 1985: 174) BAB VI KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan. Pemakaian konjungsi ekstratekstual dalam hikayat berbingkai erat kaitannya dengan kehadiran tanda baca yang berfungsi menghidupkan hikayat tersebut seperti dalam dunia lisannya. Dalam HBB, konjungsi ekstratekstual yang menduduki posisi awal kalimat adalah konjungsi adapun (2,49%), alkisah (0,50%), arkian (0,21%), akan hal (0,17%), bermula (0,41%), bahwa/bahawa (0,87%), hatta (3,99%), hubaya-hubaya (0,17%), maka (86,08%), maka adatah (0,29%), sebermula (2,24%), dan syahdan (2,58%). Konjungsi yang menduduki posisi di tengah kalimat adalah adapun (2,46%), akan hal (0,18%), bahwa/bahawa (5,50%), hatta (0,09%), hubayahubaya (0,18%), maka (90,24%), maka adalah (0,09%), dan syahdan (1,27%). Konjungsi adapun, bermula, sebermula, bahwa, maka, dan maka adalah bertugas atau berfungsi sebagai pembuka kalimat, pengantar cerita. Konjungsi alkisah dan arkian berfungsi atau bertugas untuk memulai sebuah cerita baru dalam hikayat berbingkai. Konjungsi akan hal berfungsi sebagai penghubung enters kata kerja dengan pelengkapnya. Konjungsi hatta, hubaya-hubaya, dan syahdan berfungsi untuk memulai alenia baru dalam cerita. DAFTAR PUSTAKA Abadi, Jihaty, [et.al]. 1986. Sari Sejarah Kesusasteraan Melayu Indonesia (Tradisi Moden). Kuala Lumpur: Adabi Edar SDN.BHD. Abdullah, Muhd. Mansur. 1988. Pengantar Kesusasteraan Melayu Lama Kuala Lumpur: Nurin Enterprise.

© 2004 Digitized by USU digital library

12

Baried, [et.al]. 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Chaer, Abdul. 1990. Penggunaan Preposisi dan Konjungsi Bahasa Indonesia. EndeFlores: Nusa Indah. Darodji. 1991. Kesusasteraan Melayu Lama STPM. Kuala Lumpur: Sari Kota.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Fadilla. 1991. 'Cerita Berbingkai dalam Kesusasteraan Melayu". Dalam Waspada, 8 Mei 1991. Fang, Liaw Yock. 1982. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional. Hamid, Ismail. Longman.

1988.

Perkembangan

Kesusasteraan

Melayu

Lama

Malaysia:

Hooykaas. 1984. Perintis Sastra. Selangor: Fajar Bakti. Iskandar, Teuku. 1984. Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Nawai, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ngajenan, Mohammad. 1987. Kamus Etimologi Bahasa Indonesia. Semarang: Dahara Prize. Omar, Asmah Haji. 1990. Nahu Melayu Mutakhir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. ___________1991. Bahasa Melayu Abad ke-16: Satu Analisis Berdasarkan Teks Melayu "Aqa'id AI-Nasafi". Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan pustaka. Poerwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sudamo. 1990. Kata Serapan dari Bahasa Arab. Jakarta: Arikha Media Cipta. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: pengantar Penelitian Wahana kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Winstedt, R.O. 1985. Hikayat Bayan Budiman. Selangor: Fajar Bakti. Wirjosoedarmo, Soekono. 1985. Tata Bahasa Indonesia. Surabaya: Siner Wijaya.

© 2004 Digitized by USU digital library

13