Pembahasan mengenai dampak dan makna dipilah menjadi dua bagian utama,
.... latihan soal, sementara itu pembelajaran di laboratorium untuk kegiatan
praktikum ..... mengikuti ujian nasional dan mengikuti lomba-lomba akademik.
213
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA PENGELOLAAN PEMBELAJARAN KIMIA PADA SMAN 1 SINGARAJA DAN SMAN 1 GIANYAR
Pembahasan mengenai dampak dan makna dipilah menjadi dua bagian utama, yaitu dampak pengelolaan pembelajaran kimia dan makna pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar. Pengelolaan pembelajaran kimia terdiri atas beberapa aspek kegiatan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran kimia ternyata ada aspek pengelolaan yang berkualitas baik dan ada aspek pengelolaan yang kualitasnya rendah. Aspek pengelolaan yang berkualitas baik adalah aspek perencanaan pembelajaran, aspek penilaian pembelajaran ranah kognitif, dan aspek pengawasan internal. Aspek pengelolaan yang kualitasnya kurang baik adalah aspek pelaksanaan pembelajaran, aspek penilaian pembelajaran ranah afektif dan psikomotorik, serta aspek pengawasan eksternal. Aspek pengelolaan yang berkualitas baik akan cenderung memberikan dampak positif, sedangkan aspek pengelolaan yang kualitasnya kurang baik cenderung memberikan dampak negatif.
7.1 Dampak Pengelolaan Pembelajaran Kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar Dampak berarti pengaruh kuat yang mendatangkan akibat. Dampak juga bermakna perubahan yang ditimbulkan setelah terjadi kegiatan atau proses tertentu. Dampak pengelolaan pembelajaran kimia dikelompokkan menjadi dampak positif
214
dan dampak negatif. Dampak positif muncul dari aspek pengelolaan pembelajaran yang berkualitas baik, sedangkan dampak negatif muncul dari aspek pengelolaan pembelajaran yang kualitasnya kurang baik.
7.1.1 Dampak Positif Pengelolaan Pembelajaran Kimia Dampak positif berarti pengaruh atau perubahan yang positif yang ditimbulkan setelah proses tertentu. Proses yang baik cenderung memberikan pengaruh positif, artinya aspek pengelolaan pembelajaran kimia yang berkualitas baik akan berpengaruh positif. Oleh karena itu, dampak positif pengelolaan pembelajaran kimia muncul dari aspek perencanaan pembelajaran dan aspek penilaian kognitif, yang dalam hal ini berkualitas baik. Dampak positif dari aspek perencanaan pembelajaran kimia yang berkualitas baik adalah (1) peningkatan wawasan guru dalam pembelajaran kimia (2) peningkatan kemampuan guru membuat administrasi yang baik, (3) memberikan imbas pada guru lain dalam menyusun perencanaan pembelajaran. Guru memiliki pemahaman wawasan pembelajaran yang baik karena dengan perencanaan yang sudah dipahami, maka tujuan pembelajaran dipahami dengan pasti, kedalaman materi yang akan diajarkan sudah jelas, starategi pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran sudah tergambar, dan cara penilaian yang akan dilakukan sudah tertata dengan pasti. Kecenderungan lebih lanjut jika guru mengikuti segala yang ada dalam perencanaan, maka proses pembelajaran akan baik. Administrasi guru yang teratur dan lengkap cenderung akan lebih mudah melakukan
215
evaluasi dan refleksi terhadap perencanaan yang dibuat dan untuk melakukan perbaikan atau pengembangan pada perencanaan tahun berikutnya. Pengimbasan pada guru mata pelajaran lain khususnya yang bukan MIPA terjadi karena adanya diskusi dan workshop dalam rangka penyusunan perencanaan pembelajaran. Di dalam kegiatan diskusi dan workshop tersebut terjadi saling tukar informasi. Dampak positif secara umum, yaitu akan menjadikan terlaksananya standar proses dengan baik dan bermuara pada kualitas pendidikan menjadi baik. Dampak tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kunandar (2007) bahwa tujuan rencana pelaksanaan pembelajaran adalah untuk (1) mempermudah, memperlancar, dan meningkatkan hasil proses belajar mengajar, (2) dengan menyusun rencana pembelajaran secara profesional, sistematis, dan berdaya guna, maka guru akan mampu melihat, mengamati, menganalisis, dan memprediksi program pembelajaran sebagai kerangka kerja yang logis dan terencana. Sementara itu fungsi rencana pembelajaran adalah sebagai acuan bagi guru untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar (pembelajaran) agar lebih terarah dan berjalan secara efektif dan efisien. Dampak positif dari penilaian ranah kognitif yang berkualitas baik adalah (1) meningkatkan kemampuan siswa dalam mengikuti ujian atau mengikuti tes tertulis, (2) guru memiliki informasi/data yang lengkap tentang perkembangan keberhasilan pembelajaran, perkembangan kemampuan siswa dalam penguasaan materi, dan (3) meningkatkan motivasi siswa untuk belajar.
216
Penilaian ranah kognitif yang baik disebabkan oleh adanya pemberian pengalaman kepada siswa dengan berbagai jenis tes, berbagai bentuk tugas untuk penilaian, latihan soal yang bervariasi. Pengalaman yang diperoleh oleh siswa dalam berbagai bentuk dan jenis tes menjadikan siswa sangat siap menghadapi ujian tertulis. Guru memiliki informasi/data yang lengkap ini dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan perbaikan pembelajaran. Informasi mengenai hasil belajar yang diketahui siswa akan membuat siswa menyadari kemampuan dirinya dan kemampuan teman-temannya. Kesadaran terhadap kemampuan diri ini berpotensi untuk membangkitkan motivasi dari dalam diri siswa. Dampak positif secara umum adalah meningkatkan kualitas pelaksanaan standar proses sehingga cenderung berpotensi kualitas pendidikan menjadi baik. Dampak yang disebutkan di atas sejalan dengan yang dikemukakan oleh Mulyasa (2008) bahwa hasil belajar akan memberikan pengaruh dalam dua bentuk: (1) peserta didik akan mempunyai perspektif terhadap kekuatan dan kelemahannya atas perilaku yang diinginkan, (2) mereka mendapatkan bahwa perilaku yang diinginkan itu telah meningkat baik setahap atau dua tahap sehingga timbul lagi kesenjangan antara penampilan perilaku sekarang dengan perilaku yang diinginkan. Menurut Kunandar (2007) tujuan penilaian di dalam kelas dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif. Penilaian formatif digunakan untuk memeroleh umpan balik dari peserta didik untuk memperkuat proses pembelajaran
dan
untuk
membantu
tenaga
pendidik
menentukan
strategi
pembelajaran yang lebih tepat. Penilaian sumatif dilakukan pada akhir blok pelajaran
217
untuk memberikan indikasi tingkat pencapaian belajar peserta didik atau kompetensi dasar yang dicapai peserta didik. Dampak positif pengawasan internal berkualitas baik yang dilakukan oleh pimpinan di sekolah adalah (1) peningkatan disiplin guru dan siswa serta (2) peningkatan kualitas administrasi guru. Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan cara yang bervariasi dan dengan pendekatan kemanusiaan yang demokratis menyebabkan ada rasa sungkan dan cenderung mengikuti hal-hal yang disarankan oleh kepala sekolah. Model pertemuan rutin setiap minggu antara pimpinan dan guru menjadikan perilaku guru lebih disiplin dan tidak ingin dirinya menjadi masalah yang harus dibahas dalam pertemuan tersebut. Pola kepemimpinan dengan memberikan contoh atau keteladanan tentang kegiatan yang harus dilakukan membuat kinerja guru mengikuti aktivitas yang dilakukan oleh pimpinan. Pengawasan dan evaluasi yang dilakukan terhadap kinerja guru, baik berupa perangkat pembelajaran maupun kegiatan pembelajaran, menjadikan guru lebih disiplin, taat aturan, dan administrasi yang dibuat oleh guru lebih berkualitas. Dalam hal ini kepala sekolah sudah melaksanakan fungsi manajemen dengan baik sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mulyati dan Komariah (2010) bahwa fungsi manajemen yang sesuai dengan profil kinerja pendidikan secara umum adalah melaksanakan
fungsi
planning,
organizing,
staffing,
coordinating,
leading
(facilitating, motivating, innovating), reporting, controlling. Namun, dalam operasionalisasinya dapat dibagi dua, yaitu fungsi manajemen pada level makro
218
seperti departemen dan dinas melakukan fungsi manajemen secara umum. Sebaliknya, pada level institusi pendidikan mikro, yaitu sekolah lebih menekankan pada fungsi planning, organizing, motivating, innovating, controlling. Memimpin institusi pendidikan lebih cenderung menekankan pada upaya mengarahkan dan memotivasi para personel agar dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan baik. Seorang pemimpin dalam melaksanakan amanatnya apabila ingin dipercaya dan diikuti, harus memiliki sifat kepemimpinan yang senantiasa dapat menjadi pengarah yang didengar ide dan pemikirannya oleh para anggota organisasi. Hal ini tidak semata mata mereka cerdas membuat keputusan, tetapi disertai dengan memiliki kepribadian yang dapat dijadikan suri teladan. Jadi, berdasarkan uraian yang disebutkan di atas dampak positif yang ditimbulkan dari aspek-aspek pengelolaan pembelajaran yang berkualitas baik dapat dikelompokkan menjadi (1) peningkatan kualitas kerja dan administrasi guru, (2) memberikan imbas kepada guru lain, (3) meningkatkan motivasi siswa untuk belajar, dan (4) peningkatan disiplin guru dan siswa.
7.1.2 Dampak Negatif Pengelolaan Pembelajaran Kimia Dampak negatif berarti pengaruh atau perubahan yang negatif yang ditimbulkan setelah proses tertentu. Proses yang kurang baik cenderung memberikan pengaruh negatif, artinya aspek pengelolaan pembelajaran kimia yang kualitasnya kurang baik akan berpengaruh negatif. Oleh karena itu, dampak negatif pengelolaan pembelajaran kimia muncul dari aspek pelaksanaan pembelajaran, aspek penilaian
219
ranah afektif dan psikomotor, dan pengawasan pembelajaran yang dalam hal ini kualitasnya kurang baik. Dampak negatif dari pelaksanaan pembelajaran yang kualitasnya kurang baik adalah (1) siswa tidak memiliki pengalaman yang lengkap dalam belajar, (2) perkembangan potensi siswa terbatas, (3) keterampilan dan kreativitas siswa rendah, serta (4) kreativitas guru semakin menurun. Pelaksanaan pembelajaran yang terjadi di SMA tempat diadakan penelitian lebih dominan belajar di kelas dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, dan latihan soal, sementara itu pembelajaran di laboratorium untuk kegiatan praktikum sangat terbatas. Kegiatan praktikum yang sangat terbatas membuat siswa menjadi miskin dalam hal pengalaman untuk memeroleh ilmu pengetahuan. Pengalaman belajar yang terbatas mengakibatkan potensi yang dimiliki oleh siswa berkembangnya terbatas. Potensi siswa akan berkembang dengan baik dan optimum apabila diberikan pengalaman yang cukup dalam belajar, diberikan berbagai variasi kegiatan dalam pembelajaran. Keterampilan dan kreativitas siswa akan menjadi baik apabila disediakan kondisi untuk itu. Kondisi yang bisa diupayakan adalah melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti praktikum, proyek penelitian sederhana ke lapangan, debat, dan dialog. Jika pengalaman dan kegiatan seperti di atas tidak pernah dilakukan, maka keterampilan dan kreativitas siswa akan kurang. Pembelajaran yang berkualitas cenderung membangkitkan motivasi dan kreativitas guru untuk menjadikan pembelajaran yang lebih baik. Namun, kalau pembelajaran yang dilakukan kualitasnya kurang, maka motivasi dan kreativitas guru
220
cenderung menurun tanpa disadari. Pengalaman pembelajaran yang berkualitas akan memberikan kepuasan batin tersendiri bagi guru. Oleh karena itu, motivasi untuk melakukan yang lebih baik akan muncul. Di samping itu, disertai dengan munculnya ide-ide baru sebagai inovasi pembelajaran. Pembelajaran yang kurang berkualitas cenderung sebaliknya, yaitu motivasi menurun dan kreativitas menurun. Jadi, secara umum dampak negatif pelaksanaan pembelajaran yang kualitasnya rendah adalah menjadikan kualitas pelaksanaan standar proses rendah dan cenderung kualitas pendidikan menjadi menurun. Manusia belajar pada dasarnya adalah proses memeroleh pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan baru melalui pemanfaatan indranya. Siswa akan belajar optimal apabila mampu menggunakan sebanyak mungkin indranya untuk berinteraksi dengan isi pembelajaran. Proses belajar adalah masuknya informasi, pengetahuan, kesan, dan sejenisnya yang diterima oleh alat indra siswa sebagai suatu stimulus. Kemudian dengan indra tersebut siswa melakukan respons terhadap stimulus tersebut. Ada berbagai cara merespons stimulus. Stimulus yang dianggap tidak bermanfaat dan tidak relevan dengan kebutuhan siswa akan dibuang begitu saja (discarding) tanpa melalui proses lebih lanjut. Informasi yang dianggaap bermanfaat, maka akan diolah melalui (1) menerima stimulus secara utuh sebagaimana adanya yang kemudian disimpan di memori (memorizing), (2) menerima stimulus dengan memodifikasi terlebih dahulu agar menjadi informasi yang lebih berguna (modifying), (3) mengembangkan dan mengolah stimulus yang ditangkap sehingga menjadi lebih bermakna (developing). Semakin banyak indra yang terlibat dalam proses memorisasi
221
informasi, maka akan menjadi pengetahuan yang lebih kuat dan lengkap (Sujanto, 2007). Kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan pembelajaran menurut Sujanto (2007) meliputi (1) mengelola ruang kelas, (2) mengelola siswa, (3) mengelola kegiatan pembelajaran, (4) strategi dan metode mengajar, dan (5) penyediaan pengalaman belajar. Kegiatan yang terkait dengan penyediaan pengalaman belajar bahwa hasil pengalaman belajar dilihat dari proses perolehan pengalaman siswa selama belajar. Pengalaman belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan pendekatan, bergantung dari kondisi dan kesiapan siswa untuk belajar. Di samping itu, juga dilihat dari kesiapan guru dengan silabusnya agar para guru mampu memberikan pengalaman belajar yang optimal kepada para siswa. Beberapa jenis pengalaman belajar yang dapat dilakukan diurutkan sebagai proses yang memiliki daya serap paling rendah sampai yang paling tinggi yaitu (1) membaca, (2) mendengar, (3) melihat, (4) lihat dan dengar, (5) mengatakan, dan (6) melakukan. Dengan proses yang lengkap akan berdampak pada perolehan hasil belajar yang sangat baik. Pengembangan aktivitas dan kreativitas peserta didik menurut Mulyasa (2008) dapat dilakukan melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Dalam proses pembelajaran di kelas yang umumnya lebih menekankan pada ranah kognitif, ketika kemampuan mental yang dipelajari sebagian besar berpusat pada pengetahuan dan ingatan. Pembelajaran yang demikian biasanya menuntut peserta didik untuk menerima dan menghafal apa-apa yang dianggap penting oleh guru. Guru pada
222
umumnya kurang menyenangi situasi ketika para peserta didik bertanya mengenai hal-hal yang berada di luar konteks pembicaraan. Kondisi yang demikian, jelas mematikan aktivitas dan kreativitas para peserta didik. Peningkatan kualitas pembelajaran dalam implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) menuntut kemandirian guru untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif agar para siswa dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas belajarnya secara optimal. Aktivitas dan kreativitas dapat dikembangkan dengan memberikan kepercayaan, komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu ketat (Mulyasa, 2008). Jika dielaborasi beberapa teori, konsep, dan pendapat yang diuraikan di atas, maka dalam proses pembelajaran sangat diperlukan kegiatan pengalaman belajar yang bervariasi. Kegiatan pengalaman belajar yang bervariasi akan mengoptimalkan seluruh panca indra siswa untuk merespons informasi. Potensi-potensi yang dimiliki siswa akan berkembang,
memunculkan aktivitas dan kreativitas sehingga
pembelajaran menjadi lebih dipahami dan bermakna bagi dirinya. Untuk persiapan penyediaan pengalaman belajar yang bervariasi, diperlukan guru yang aktif dan kreatif, memahami berbagai metode dan strategi pembelajaran, serta memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugas. Dampak negatif dari penilaian afektif dan psikomotorik yang kualitasnya kurang baik adalah (1) pengembangan kecerdasan siswa tidak seimbang, (2) siswa cenderung gagap menghadapi masalah-masalah sosial, (3) keterampilan dan daya cipta siswa rendah, serta (4) kualitas pembelajaran guru menurun.
223
Penilaian afektif dan psikomotorik sebagai bagian dari kegiatan untuk melihat hasil belajar. Hasil belajar merupakan prestasi belajar peserta didik secara keseluruhan yang menjadi indikator kompetensi dasar dan derajat perubahan perilaku. Prestasi belajar secara keseluruhan yang dimaksud adalah peningkatan berbagai kecerdasan yang ada dalam diri siswa yang meliputi kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual. Pendidikan sebagai sebuah proses pendewasaan melalui pembelajaran diharapkan mampu meningkatkan berbagai kecerdasan siswa secara seimbang, baik kecerdasan intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual. Pengembangan kecerdasan intelektual dapat dilakukan melalui latihan-latihan dalam ranah kognitif. Sebaliknya, pengembangan kecerdasan emosional, sosial dan spiritual dapat dilakukan melalui latihan-latihan dalam ranah afektif dan psikomotorik. Penilaian ranah kognitif bertujuan untuk mengetahui derajat pengetahuan siswa terhadap materi pelajaran yang dipelajari. Sebaliknya, penilaian afektif dan psikomotorik bertujuan untuk mengetahui sikap dan keterampilan siswa dalam menghadapi masalah- masalah yang terkait dengan materi pelajaran. Pendidikan sebagai sebuah proses belajar untuk investasi jangka panjang memerlukan proses pembiasaan sikap dan keterampilan yang positif pada peserta didik, sampai semua itu menjadi miliknya. Pembiasaan sikap dan keterampilan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, di antaranya adalah melalui proses pembelajaran, latihan-latihan, dan penilaian. Proses pembiasaan yang dilakukan dalam pengembangan ranah afektif dan psikomotorik menjadikan siswa akan memiliki kecerdasan dalam menghadapi masalah, misalnya tidak panik, dan
224
cenderung memiliki kecerdasan untuk mencari jawaban/jalan keluar terhadap masalah tersebut. Kecerdasan emosional yang dimiliki siswa jika dapat berkembang dengan baik, maka ketika terjun ke masyarakat akan sangat terampil menyikapi masalah-masalah sosial. Penilaian ranah kognitif yang tidak seimbang dengan penilaian ranah afektif dan psikomotorik cenderung menurunkan kreativitas dan daya cipta peserta didik. Latihan-latihan soal atau ujian yang diterapkan pada dewasa ini cenderung lebih didominasi dengan soal memilih jawaban yang benar dari beberapa alternatif jawaban yang tersedia. Kebiasaan yang terus menerus memilih jawaban yang sudah disediakan akan menjadikan siswa kesulitan ketika harus membuat jawaban sendiri, atau mencari alternatif jawaban dengan logika sendiri. Kondisi seperti ini pada masa yang akan datang dalam jangka panjang akan melahirkan generasi yang menunggu alternatif, kurang inisiatif, kurang daya cipta. Jika dikaitkan dengan kehidupan bermasyarakat dalam bidang ekonomi, maka ke depan tidak akan melahirkan generasi yang siap sebagai wirausaha mandiri yang mampu menciptakan lapangan kerja, dan yang sejenisnya. Latihan-latihan afektif dan psikomotorik berpeluang besar dalam pengembangan daya cipta, kreativitas, dan ketahanan emosional siswa. Latihanlatihan ini dapat dikondisikan oleh guru dalam proses pembelajaran, seperti penggunaan metode pemecahan masalah, praktikum, penelitian ke lapangan, dan yang lainnya. Beberapa hal yang dijelaskan di atas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Tilaar (2003) bahwa proses domestifikasi adalah proses penjinakan, yaitu
225
membunuh kreativitas dan menjadikan peserta didik sebagai robot-robot yang sekedar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Tilaar menyatakan jika proses pendidikan menjadi proses domestifikasi anak manusia, hasilnya bukan pembebasan, melainkan pembodohan (stupidifikasi). Proses domestifikasi dalam pendidikan, yaitu dalam perlakuan yang salah mengenai ijazah atau pemujaan terhadap ijazah. Ijazah menjadi alat untuk naik pada tangga sosial, terlepas apakah ijazah tersebut merupakan hasil dari jerih payah untuk mengasah kemampuan diri. Dengan segala cara orang ingin untuk menggapai ijazah, baik diperoleh secara legal maupun ilegal dengan jalan membeli. Proses pembodohan di lembaga-lembaga pendidikan formal juga terlihat di dalam evaluasi pendidikan. Pengaruh tes objektif merupakan suatu proses domestifikasi karena tidak mengajak manusia berpikir, tetapi menjadi manusia yang menghadapi teka-teki silang saja. Kemampuan analitis dan mencari alternatif yang terbaik dalam situasi yang dihadapi tidak dapat dikembangkan melalui tes objektif (Tilaar, 2003). Dalam buku Kecerdasan Emosional karangan Goleman Daniel dinyatakan bahwa dengan memanfaatkan penelitian tentang otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ (Intellegence Quotient) tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang menjadi sangat sukses. Faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas, yaitu ”kecerdasan emosional”. Kecerdasan emosional mencakup kesadaran diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan sosial. Ini merupakan ciri-ciri yang menandai orang-orang yang menonjol dalam kehidupan
226
nyata, memiliki hubungan dekat yang hangat, menjadi bintang di tempat kerjanya. Ini juga merupakan ciri-ciri utama karakter dan disiplin diri, altruisme dan belas kasih, merupakan kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan apabila mengharapkan terciptanya masyarakat yang sejahtera. IQ dan kecerdasan emosional bukanlah keterampilan-keterampilan yang saling bertentangan, melainkan keterampilan-keterampilan yang sedikit terpisah. Manusia mencampurkan ketajaman akal dengan ketajaman emosi. Orang dengan IQ tinggi, tetapi kecerdasan emosional rendah atau IQ rendah dengan kecerdasan emosional tinggi relatif langka kendatipun ada steoreotip-stereotip itu. Ada sedikit korelasi antara IQ dan beberapa aspek kecerdasan emosional meskipun korelasi itu cukup kecil sehingga jelas-jelas kedua hal itu pada umumnya adalah hal yang terpisah (Goleman, 2000). Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, maka dalam pengelolaan pembelajaran, guru perlu mengondisikan pengembangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional siswa secara seimbang. Dampak negatif dari pengawasan eksternal yang kualitasnya rendah adalah (1) guru cenderung menjadi kurang disiplin dalam melaksanakan tugas, (2) efektivitas pembelajarannya rendah, dan pelaksanaan pembelajaran menjadi tidak baik, (3) kompetensi dan profesionalisme pengawas menurun. Pengawasan proses pembelajaran meliputi kegiatan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut. Pemantauan adalah proses perbuatan memantau atau mengamati dengan cermat terutama untuk tujuan khusus mengawasi. Supervisi berarti pengawasan utama, sementara itu evaluasi berarti penilaian. Inti
227
pengawasan adalah supervisi, yang pada hakikatnya dapat diartikan sebagai bimbingan profesional bagi guru-guru. Bimbingan profesional yang dimaksudkan adalah segala usaha yang memberikan kesempatan bagi guru-guru untuk berkembang secara profesional sehingga mereka lebih maju lagi dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu memerbaiki dan meningkatkan proses belajar. Kegiatan pengawasan sebagai bagian dari proses manajemen, dalam hal ini manajemen kelas yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran. Dalam proses manajemen kegiatan pengawasan sama pentingnya dengan kegiatan yang lain dalam manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, dan pelaksanaan. Oleh karena itu jika pengawasan yang dilakukan tidak baik, maka cenderung kegiatan yang lain juga tidak baik. Dalam konteks pengelolaan pembelajaran, pengawasan yang tidak baik cenderung pelaksanaan pembelajaran menjadi tidak baik, guru cenderung menjadi kurang disiplin dalam melaksanakan tugas, di mana efektivitas pembelajarannya rendah. Pengawasan yang tidak baik juga berpengaruh pada pengawas itu sendiri, yaitu cenderung kompetensi dan profesionalismenya menurun. Hal ini bisa terjadi karena kegiatan pengawasan hampir setara dengan proses belajar meneliti untuk mendapatkan informasi/data yang benar. Selanjutnya, melakukan penilaian, melakukan bimbingan, membuat laporan, dan seterusnya, dalam berbagai persoalan di lapangan. Kegiatan sejenis itu harus dibiasakan dilakukan dengan sebaik-baiknya, selalu dilakukan analisis dan evaluasi terhadap kegiatan pengawasan yang dilakukan agar menjadi semakin baik. Jika pelaksanaan pengawasan yang dilakukan tidak
228
serius, apalagi tidak paham dengan masalah yang diawasi maka kompetensi dan profesionalisme pengawas akan semakin terpuruk. Hal yang dikemukakan di atas, sejalan dengan konsep tentang fungsi supervisi pendidikan. Fungsi-fungsi utama supervisi pendidikan adalah (1) menyelenggarakan inspeksi, (2) penelitian hasil inspeksi berupa data, (3) melakukan penilaian, (4) melakukan latihan, dan (5) melakukan pembinaan. Dalam menyelenggarakan inspeksi pengawas perlu melakukan inspeksi terlebih dahulu untuk mensurvei seluruh sistem pendidikan yang ada guna menemukan masalah-masalah, kekurangankekurangan, baik pada guru, murid, perlengkapan, kurikulum, metode mengajar, maupun perangkat lain yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Hasil inspeksi harus bersumber pada data yang aktual dan tidak pada informasi yang sudah kedaluwarsa. Data yang diperoleh kemudian diolah untuk dijadikan bahan penelitian. Dengan cara ini dapat ditemukan teknik dan prosedur yang efektif sebagai keperluan penyelenggaraan pemberian bantuan kepada guru. Kegiatan penilaian berupa usaha untuk mengetahui segala fakta yang memengaruhi kelangsungan persiapan, penyelenggaraan, dan hasil pengajaran. Berdasarkan hasil penelitian dan penilaian kemudian dilakukan latihan untuk memperkenalkan cara-cara baru sebagai upaya perbaikan. Kegiatan pembinaan dimaksudkan sebagai pengembangan dan pengarahan memberikan semangat agar guru mau melaksanakan cara-cara baru, membantu guru dalam memecahkan masalah yang dihadapi (Sutarsih, 2010). Jadi, berdasarkan uraian yang disebutkan di atas dampak negatif yang ditimbulkan dari aspek-aspek pengelolaan pembelajaran yang berkualitas kurang baik
229
dapat dikelompokkan menjadi (1) pengalaman belajar siswa terbatas, (2) kreativitas siswa dan guru menurun, (3) pengembangan kecerdasan siswa tidak seimbang, dan (4) profesionalisme guru dan pengawas menurun.
7.2 Makna Pengelolaan Pembelajaran Kimia Makna dalam hal ini berarti maksud pembicara atau pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. Makna dapat juga berarti hikmah yang diperoleh setelah melakukan sesuatu. Makna diinterpretasi berdasarkan kajian hasil penelitian dengan memerhatikan aspek-aspek yang berkualitas baik dan aspek-aspek yang kualitasnya rendah. Pemaknaan ini sesuai dengan teori dekonstruksi Derrida tentang tanda bahasa dan pemaknaannya. Pemaknaan hal yang dimaknai adalah suatu proses membongkar dan menganalisis secara kritis hal yang dimaknai. Menurut Derrida, hubungan penanda dan petanda tidak bersifat tetap, tetapi dalam kenyataannya dapat “ditunda” untuk memeroleh hubungan yang lain atau baru. Oleh karena itu, makna suatu tanda diperoleh tidak berdasarkan pembeda antar tanda yang hubungan antara penanda–petandanya bersifat tetap, tetapi dapat berubah-ubah sesuai dengan kehendak pemakai tanda. Apa yang terjadi dalam proses pemahaman makna tanda tidak sekadar karena ada proses oposisi (difference), tetapi karena ada proses “penundaan” hubungan antara penanda (bentuk tanda) dan petanda (makna tanda) untuk menemukan makna lain atau makna baru (Hoed, 2011:16). Beberapa aktivitas dan kebijakan yang dilakukan di sekolah sebagai penanda atau sebagai teks memiliki makna-makna tertentu.
230
Penerapan manajemen ISO di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar menjadikan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan sekolah, wajib mengikuti segala bentuk aturan yang sudah ditetapkan sesuai dengan tuntutan manajemen ISO. Keterlibatan semua pihak, baik guru, pegawai, siswa, maupun staf di tingkat pimpinan ketika akan melaksanakan kegiatan harus mematuhi SOP tertentu. Berdasarkan SOP tersebut segala bentuk aktivitas dicatat dan diarsipkan dengan baik, sehingga administrasi menjadi baik dan teratur. Berdasarkan hal tersebut bahwa makna yang dapat diambil adalah makna keteraturan. Guru dalam pembelajaran senantiasa memberikan latihan soal, memberikan jam tambahan untuk pendalaman materi melalui latihan soal. Guru berusaha mencarikan model-model soal dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi untuk dilatihkan kepada siswa dengan maksud memberikan pengalaman mengerjakan soal yang lebih sulit. Kegiatan tersebut membuat siswa menjadi lebih siap menghadapi ujian nasional dan termotivasi untuk belajar. Kondisi seperti ini dapat dimaknai sebagai kesiapan dan peningkatan motivasi belajar. Pembelajaran kimia yang dilakukan oleh guru sangat minim dalam kegiatan praktikum dan kegiatan yang terkait ranah motorik siswa. Minimnya kegiatan praktikum dan sejenisnya membuat pengalaman belajar siswa terbatas. Di dalam pembelajaran dan penilaian, guru lebih menonjolkan kegiatan yang berhubungan dengan
pengembangan
kecerdasan
ranah
kognitif
siswa.
Sementara
itu,
pengembangan kecerdasan ranah afektif dan psikomotorik sangat terbatas. Inovasi pembelajaran yang dilakukan di kelas juga sangat terbatas, guru dalam upaya
231
mengaktifkan siswa melakukan pembelajaran dengan latihan soal. Hal ini terjadi karena pemahaman guru tentang pembelajaran inovatif, pengembangan kecerdasan, dan usaha untuk mengetahui hal itu tidak tampak. Guru lebih cenderung menunggu instruksi, atau mengikuti harapan dari atasan. Dalam kegiatan pengawasan juga terjadi hal yang hampir sama, yaitu proses pengawasan belum dilakukan dengan benar sesuai dengan standar yang ada. Kondisi ini dapat dimaknai sebagai profesionalisme yang rendah. Target utama yang diharapkan oleh pihak sekolah adalah keberhasilan dalam mengikuti ujian nasional dan mengikuti lomba-lomba akademik. Harapan guru yang mengutamakan agar siswanya berhasil dalam menempuh ujian nasional dan memeroleh juara dalam lomba-lomba akademik disebabkan oleh adanya tuntutan oleh pimpinan sekolah dan dari pemerintah daerah melalui Diknas setempat. Pihak pemerintah secara terselubung menuntut agar para siswa yang mengikuti ujian nasional harus berhasil. Menurut mereka keberhasilan mendapatkan nilai tinggi dalam ujian nasional sebagai indikator keberhasilan pendidikan di wilayah kerjanya. Pola berpikir seperti ini agak menyimpang dari hakikat tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Dalam kajian tentang pendidikan sudah banyak disinggung bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang sehingga produk belajarnya adalah produk masa depan, bukan untuk dinikmati saat ini. Pada dewasa ini pimpinan sekolah bersama guru senantiasa berusaha keras untuk memenangkan lomba-lomba akademik, mempertahankan predikat sekolah unggulan yang sudah ada di hati masyarakat. Untuk tujuan tersebut maka dipilih siswa-siswa yang berprestasi untuk
232
dibina dalam upaya mengikuti lomba-lomba akademik.
Kondisi seperti yang
disebutkan di atas dapat dimaknai sebagai telah terjadi pola berpikir pencitraan sekolah dan terjadi hegemoni struktural. Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa makna yang diperoleh dalam pengelolaan pembelajaran kimia pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar adalah (1) makna keteraturan, (2) makna peningkatan motivasi, (3) makna profesionalisme, (4) makna pola berpikir pencitraan, dan (5) makna hegemoni struktural.
7.2.1 Makna Keteraturan Keadaan yang teratur tampak jelas pada perencanaan, yaitu penyusunan perangkat pembelajaran. Keteraturan penyusunan perangkat pembelajaran jelas terlihat dari segi proses, yaitu melalui kegiatan workshop, kemudian diskusi di kelompok mata pelajaran, dan selanjutnya membuat perangkat pembelajaran. Keteraturan dari segi produk yang dihasilkan, yaitu silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kegiatan siswa, alat evaluasi beserta rubriknya yang dibuat dengan rapi. Produk perangkat pembelajaran yang dihasilkan diarsipkan dengan baik sehingga mudah didapatkan kembali jika ingin dilihat kembali. Dari sisi pelaksanaan kegiatan pengembangan silabus dan penyusunan perangkat pembelajaran dilakukan secara periodik pada setiap semester sebelum mengawali semesteran. Keteraturan yang lain juga terjadi terutama disiplin dalam mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Keadaan disiplin ini terjadi setelah sekolah menerapkan
233
manajemen ISO. Dalam penerapan manajemen ISO sifatnya transparan, aturan disepakati bersama untuk dilakukan bersama, semua bentuk kegiatan dilakukan dengan prosedur yang standar. Mulyasa (2008) menyatakan bahwa disiplin adalah suatu keadaan tertib, ketika orang-orang yang tergabung dalam suatu sistem tunduk dengan senang hati kepada peraturan-peraturan yang ada. Dalam konteks sekolah, dapat diartikan sebagai keadaan tertib, ketika guru, kepala sekolah, staf dan peserta didik yang tergabung dalam sekolah tunduk dengan senang hati kepada peraturan yang telah ditetapkan. Disiplin sekolah bertujuan untuk membantu peserta didik menemukan dirinya, mengatasi, dan mencegah timbulnya problem-problem disiplin, serta berusaha menciptakan situasi yang menyenangkan dalam pembelajaran sehingga mereka menaati segala peraturan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, disiplin sekolah dapat merupakan bantuan kepada peserta didik agar mereka mampu berdiri sendiri dalam memecahkan berbagai permasalahan sehingga dapat menggapai hasil belajar yang optimal dengan proses yang menyenangkan. Sikap disiplin pada hakikatnya ditujukan kepada semua komponen yang bergerak dalam sistem. Sekolah sebagai sebuah sistem, komponen-komponennya adalah pimpinan sekolah, guru, siswa, dan pegawai. Setiap komponen yang ada bersikap disiplin dengan cara mengikuti segala aturan yang telah ditetapkan. Sikap disiplin dapat dipengaruhi oleh faktor diri sendiri dan faktor dari luar diri sendiri. Faktor dari diri sendiri muncul karena kesadaran dan kepuasan ketika beraktivitas mengikuti aturan yang ada. Faktor dari luar memengaruhi perilaku disiplin karena
234
tuntutan tugas, karena kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak luar yang memengaruhi kedisiplinan guru adalah pengawas, baik pengawas internal maupun eksternal.
7.2.2 Makna Peningkatan Motivasi Peserta didik di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar sebagian besar anak-anak cerdas, berprestasi, dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Kondisi yang diciptakan oleh guru dengan memberikan latihan soal, memberikan pendalaman materi dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi membuat motivasi belajar siswa semakin meningkat. Pengondisian pada kegiatan yang lain, seperti pembelajaran praktikum, pembelajaran inovatif lainnya yang bersifat menantang mestinya dapat dilakukan agar siswa memiliki pengalaman belajar yang bervariasi. Dengan modal dasar kecerdasan dan motivasi tinggi yang dimiliki oleh siswa sangat memungkinkan hasil belajar yang diperoleh akan lebih tinggi dari pada yang diperoleh sekarang. Penciptaan kondisi pembelajaran yang menantang dan inovatif tidak bisa lepas dari kemampuan dan pemahaman guru mengenai strategi pembelajaran. Guru semestinya memiliki motivasi yang tinggi untuk meningkatkan pengetahuannya tentang pembelajaran dan psikologi terutama mengenai teori kecerdasan di samping memahami penggunaan teknologi informasi dalam dunia pendidikan. Peningkatan kualitas guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran tidak bisa lepas dari peran pengawasan karena pada hakikatnya ketika seseorang dalam melaksanakan tugasnya diawasi, maka cenderung akan menampilkan dirinya yang terbaik. Oleh karena itu, intensitas dan kompetensi pengawas mestinya ditingkatkan menjadi lebih baik dan
235
sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam hal ini, seorang pengawas semestinya memiliki motivasi yang tinggi untuk meningkatkan pengetahuannya dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan. Hilgard (dalam Pasaribu, 1980) menyatakan motivasi sebagai suatu keadaan dalam individu yang menyebabkan seseorang melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Frederick (dalam Pasaribu, 1980) motivasi adalah tenaga dari dalam diri manusia yang mendorong untuk bertindak. Jadi, motivasi dapat dinyatakan sebagai dorongan dari dalam untuk melakukan tindakan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Ada kalanya kecakapan nyata (achievment) seseorang berbeda dengan kecakapan (ability), artinya seseorang bukan tidak bisa mengerjakan sesuatu, tetapi ketidakbisaan itu disebabkan oleh kemauannya tidak begitu banyak terhadap pekerjaan itu. Hal tersbut dapat diartikan bahwa bukan kecakapan yang kurang, melainkan karena kekurangan motivasi. Motif adalah kehendak, sedangkan motivasi berarti penimbulan motif atau hal yang menjadi motif. Seseorang tidak berminat melakukan sesuatu berarti motif yang mendorong tidak kuat sehingga prestasi kecakapan nyata tidak sesuai dengan kecakapannya. Seseorang berbuat sesuatu karena adanya motif tertentu yang bekerja dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan. Burton (dalam Pasaribu, 1980) menggolongkan motif menjadi dua, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik suatu motif yang timbul dari dalam diri untuk berbuat sesuatu. Dalam hal ini, ada hubungan tindakan dan tujuan, bersifat fungsional dan organik. Motif ekstrinsik, suatu motif yang timbulnya akibat dari luar diri, artinya ada peristiwa di
236
luar individu yang memengaruhi individu sehingga menjadi termotivasi (Pasaribu, 1980: 17--24). Motif ekstrinsik berkaitan dengan motif sosial, yang timbul dalam interaksi dengan lingkungan. Motif ini mendorong berbuat untuk mencapai tujuan yang digariskan dirinya atau yang digariskan oleh lingkungan sosial. Oleh karena itu, guru perlu memahami motif dan motivasi sehingga dapat berusaha menimbulkan motif yang mendorong peserta didik untuk lebih giat belajar. Motif sebagai penggerak anak untuk belajar ada beberapa jenis, yaitu (1) motif psikologis, (2) motif praktis, (3) motif pembentukan kepribadian, (4) motif kesusilaan, (5) motif sosial, dan (6) motif ketuhanan. Dengan pemahaman tentang motif dan motivasi yang bagus, guru bisa menciptakan kondisi dan pengalaman belajar yang tepat untuk meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga mendapat hasil belajar yang optimal.
7.2.3 Makna Profesionalisme Berdasarkan hasil kajian tentang keadaan guru dan pengawas di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar ternyata profesionalismenya rendah. Hal ini dilihat berdasarkan kerja ketika melaksanakan tugas pokok dan fungsi. Keadaan guru kimia kalau dilihat dari latar belakang pendidikan di lokasi penelitian yang ada dewasa ini, yakni semua memiliki ijazah S1 pendidikan kimia dan dari semua itu 56 % berpendidikan S2 dalam bidang administrasi pendidikan dan pendidikan sains. Masa kerja cukup bervariasi dengan perincian dua orang dengan masa kerja 6--7 tahun, empat orang dengan masa kerja 14--19 tahun dan empat orang dengan masa kerja 20-
237
-24 tahun. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa tenaga pendidik dalam hal ini guru kimia memiliki kualifikasi akademik yang sudah sesuai dengan persyaratan menjadi guru kimia, dan sudah ada yang memiliki kualifikasi akademik S2, tetapi dalam bidang yang tidak sepenuhnya relevan dengan mata pelajaran yang diampu. Di SMA yang berstatus RSBI disarankan dalam rangka meningkatkan mutu pendidik, melalui peningkatan kualifikasi pendidikan guru minimal 30 % guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A, dengan program studi sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Menurut aturan yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan bahwa pendidik pada SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat harus memiliki a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D.IV) atau sarjana (S1), (b) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, dan (c) sertifikat profesi guru untuk SMA/MA (PP No.19, Tahun 2005 tentang SNP). Surya (dalam Kunandar, 2007) menyatakan bahwa kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima sikap, yakni (1) keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, (2) meningkatkan dan memelihara citra profesi, (3) keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, dan (5) memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Guru profesional adalah guru yang mengenal dirinya, yaitu sebagai pribadi yang dipanggil untuk mendampingi siswa dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya siswa
238
itu belajar. Apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik tidak mendiamkannya atau malahan menyalahkan. Menurut Sidi (dalam Kunandar, 2007), persyaratan minimal guru profesional, antara lain (1) memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, (2) memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuni, (3) memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, (4) mempunyai jiwa kreatif dan produktif, (5) mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya, dan (6) selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus. Dengan persyaratan tersebut seorang guru tidak lagi knowledge based, tetapi lebih bersifat competency based yang menekankan pada penguasaan secara optimal konsep keilmuan dan perekayasaan yang berdasarkan nilai-nilai etika dan moral. Guru yang profesional tidak hanya tampil sebagai pengajar (teacher), seperti yang fungsinya menonjol selama ini, tetapi beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manager) (Kunandar, 2007). Berdasarkan beberapa konsep yang disajikan di atas, diketahui bahwa sebagai guru profesional tidak cukup hanya memiliki kualifikasi pendidikan yang memadai, tetapi ada beberapa persyaratan lain yang mestinya dimiliki dan dikembangkan. Apabila guru telah memiliki kualifikasi akademik yang memadai, maka lebih lanjut ada hal-hal yang bersifat kepribadian dan sosial yang harus dimiliki dengan baik dan senantiasa dikembangkan. Oleh karena itu, guru dan pengawas berusaha membangkitkan motivasi diri untuk meningkatkan profesionalisme. Persyaratan
239
minimal sebagai seorang profesional harus dipenuhi, jangan sampai terjadi seorang pengawas yang bertugas mengawasi guru kimia, tidak memiliki keahlian dalam bidang pendidikan kimia.
7.2.4 Makna Pencitraan Kegiatan pengelolaan pembelajaran di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar saat ini lebih banyak menyediakan waktu untuk meningkatkan kecerdasan siswa dan kesiapan siswa untuk mengikuti ujian nasional dan mengikuti lomba-lomba akademik, seperti olimpiade sains, lomba matematika, lomba berpidato, dan yang sejenisnya. Keberhasilan dalam ujian nasional dan lomba-lomba akademik ditujukan dalam rangka mempertahankan predikat sebagai sekolah unggulan di mata publik. Citra sebagai sekolah unggulan yang sudah melekat di hati masyarakat ditingkatkan melalui program akselerasi, pembentukan kelompok penggemar mata pelajaran, dan latihan-latihan soal yang intensif. Kegiatan seperti di atas pantas dilakukan dengan catatan tidak sampai mengabaikan beberapa kegiatan yang dituntut oleh kurikulum. Sementara ini yang terjadi lebih banyak menonjolkan kegiatan yang mengarah pada keberhasilan ujian nasional dan lomba akdemik, dengan mengabaikan beberapa kegiatan yang sudah direncanakan di dalam kurikulum. Pencitraan adalah proses atau cara membentuk gambaran/kesan sehingga pencitraan sekolah berarti proses atau cara yang dilakukan oleh sekolah untuk membentuk gambaran atau kesan kepada masyarakat. Menurut Baudrillard (dalam Barker, 2008) kebudayaan pascamodern ditandai oleh arus besar simulasi dan citra
240
yang menarik perhatian, suatu hiperrealitas di mana masyarakat dibanjiri dengan citra dan informasi. Bagi Jameson (dalam Barker, 2008), pascamodern merupakan sesuatu yang ditandai oleh fragmentasi, instabilitas, dan disorientasi. Pascamodern adalah ekspresi dari sistem dunia multinasional atau kapitalisme dan merepresentasikan gaya kultural kapitalisme akhir yang beroperasi pada ruang global baru. Budaya kapitalisme bergerak dengan cara memperluas komodifikasi kepada seluruh ranah kehidupan sosial dan kehidupan pribadi dengan mentransformasikan yang nyata menjadi citra dan simulacrum. Citra sering kali mendahului narasi dan penglihatan serta perasaan menjadi hal penting yang berarti tidak memperlihatkan yang sesungguhnya (Barker, 2008). Berdasarkan keadaan yang terjadi di SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar, yaitu telah terjadi ketidak seimbangan kegiatan pengelolaan pembelajaran antara aspek pengelolaan yang satu dan yang lainnya. Kegiatan lebih mengutamakan pengembangan kecerdasan kognitif, yaitu kecerdasan intelektual semata dalam upaya mencapai keberhasilan menempuh ujian nasional dan lomba-lomba akademik. Ada beberapa kegiatan yang telah direncanakan dengan matang sebagai tuntutan kurikulum tidak dilakukan dengan baik. Dalam hal ini ada kecenderungan agar masyarakat memiliki kesan bahwa sekolah tersebut unggul berprestasi. Pencitraan unggul dan berprestasi ini mengakibatkan orang tua siswa ingin agar anaknya dapat diterima bersekolah di sekolah tersebut walaupun dengan biaya yang lebih besar dari pada sekolah negeri lainnya. Pola berpikir pascamodern sudah memasuki dunia pendidikan dalam hal pencitraan, yang berpotensi sangat besar menjadi komodifikasi.
241
7.2.5 Makna Hegemoni Pemerintah daerah, pada era otonomi dewasa ini, senantiasa ingin bertanggung jawab dengan keadaan di wilayahnya. Rasa tanggung jawab sering diekspresikan melalui pembinaan, pengarahan, dan tuntutan dalam beberapa aspek kegiatan. Pimpinan di daerah berlomba-lomba ingin memeroleh prestasi baik, kesan baik, dan dinilai baik oleh masyarakat. Harapan pimpinan di daerah ditindaklanjuti oleh satuan kerja di bawahnya untuk memenuhi tuntutan pimpinan. Satuan kerja di bawahnya dengan berbagai cara dan usaha mengharapkan jajaran di bawahnya lagi mendukung dan melaksanakan program-program yang dicanangkan dengan target berhasil dengan baik. Dinas pendidikan di kabupaten sebagai salah satu satuan kerja melakukan pembinaan, pengarahan, dan tuntutan kepada jajaran di bawahnya, yakni sekolah-sekolah. Indikator keberhasilan pendidikan pada dewasa ini yang digunakan sebagai acuan oleh pihak Diknas apabila sukses dalam menempuh ujian nasional. Pola berpikir seperti ini memengaruhi kepala sekolah, kemudian dari kepala sekolah memengaruhi guru-guru, dan selanjutnya memengaruhi peserta didik. Keadaan seperti ini sebagai penanda bahwa telah terjadi hegemoni terstruktur, dari pimpinan daerah kepada kepala dinas, dari kepala dinas kepada pimpinan di sekolah, dari pimpinan sekolah kepada guru, dan dari guru kepada peserta didik. Dalam kajian pendidikan kritis disebutkan bahwa ada kaitan yang erat antara pendidikan dan kekuasaan, justru karena adanya kekuasaan terjadilah proses pendidikan. Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran dan kemampuan kemandirian
242
atau memberikan kekuasaan kepada dirinya untuk menjadi individu. Proses individuasi hanya terjadi melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya. Jenis kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) kekuasaan yang transformatif dan (2) kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekuasaan dalam pendidikan bersifat transformatif. Tujuannya adalah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif, bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi tersebut menimbulkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif. Di dalam proses kekuasaan sebagai transmitif terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan. Orientasi kekuasaan di sini bersifat legitimatif. Dengan demikian, yang terjadi dalam proses pelaksanaan kekuasaan adalah suatu aksi dari subjek yang bersifat robotik karena sekadar menerima atau dituangkan sesuatu ke dalam bejana subjek yang bersangkutan. Inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai proses sistem banking (Tilaar, 2003). Tilaar (2003) menyatakan bahwa pendidikan dalam arti luas ternyata mempunyai suatu kekuatan yang menggerakkan kebutuhan yang diminta oleh masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Tidak jarang kekuasaan menyusupi kegiatan-kegiatan pendidikan di dalam berbagai bentuknya. Kekuasaan tersebut dapat berwujud objektif atau terang-terangan, dapat pula berwujud subjektif atau secara
243
tidak disadari telah mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan, yang dikenal sebagai ”hidden curriculum.” Pandangan Neo Marxis dan kelompok kritis pengikut Mazhab Frankfurt dalam mendefinisikan masyarakat kaitannya dengan pendidikan menimbulkan implikasi tertentu. Jika masyarakat dilihat sebagai bentuk paksaan atau opresi dan hegemoni dari kelas dan ideologi dominan, penguasa, dan pemilik modal, maka pendidikan dijadikan sebagai instrumen mereka. Pendidikan tidak bisa ke luar dari jeratan paksaan atau opresi dan hegemoni kelompok dominan tersebut. Dalam praktik sering terjadi opresi dan hegemoni itu tidak masuk dalam kurikulum secara formal. Namun, jika dicermati kurikulum yang sesungguhnya nyata, menggambarkan opresi dan hegemoni kelompok dominan tersebut. Di sinilah sebenarnya berlaku kurikulum terselubung ”hidden curriculum” yang jika tanpa kesadaran penuh, tidak akan terbaca sebagai praktik dominasi dan hegemoni dari kelompok dominan (Maliki, 2010). Guru dalam mengimplementasikan kurikulum di sekolah telah melakukan kegiatan mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan pengawasan pembelajaran mengikuti segala sesuatu yang telah digariskan oleh pemerintah. Pemerintah memiliki kewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewajiban belajar telah merupakan suatu keputusan bersama umat manusia. Tuntutan tersebut tidak merupakan tuntutan formal tetapi juga perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam lembaga-lembaga pendidikan formal. Hal ini berarti bahwa dominasi pemerintah melalui Diknas setempat yang melakukan
244
pembinaan, pengarahan dengan tuntutan dan target tertentu merupakan keharusan. Namun, ketika tuntutan yang ditargetkan tidak sesuai dengan kurikulum yang sesungguhnya, kemudian pengimplementasian kurikulum menyimpang dari yang seharusnya, maka telah terjadi dominasi kekuasaan atau hegemoni struktural. Keadaan ini terjadi pada SMA RSBI di Provinsi Bali. Kontra hegemoni yang dilakukan pihak sekolah hanyalah dalam batas wacana karena ketidak berdayaannya. Kenyataannya dalam aktivitas di sekolah mengikuti kebijakan yang disarankan oleh struktur yang lebih di atas dan mengharapkan peningkatan kesejahteraan.
7.3 Pembahasan Setiap aktivitas senantiasa ada dampak yang ditimbulkan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Kegiatan pengelolaan pembelajaran kimia yang dilaksanakan pada SMAN 1 Singaraja dan SMAN 1 Gianyar memberikan dampak kepada seluruh komponen yang berperan pada proses tersebut. Apabila pengelolaan pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan, akan memberikan dampak positif, tetapi jika pengelolaan pembelajaran tidak sesuai dengan standar, maka akan memberikan dampak negatif. Pada pengelolaan pembelajaran kimia dalam hal ini ada aspek-aspek yang dilaksanakan sudah sesuai dengan standar dan ada aspek-aspek yang dilaksanakan belum sesuai dengan standar. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mulyasa (2006:93) bahwa implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu
245
tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap. Tugas utama guru dalam kaitannya dengan dokumen kurikulum adalah membuat rencana pembelajaran yang akan dijadikan pedoman pelaksanaan pembelajaran dan pembentukan kompetensi peserta didik. Pengembangan rencana pembelajaran menuntut pemikiran, pengambilan keputusan, petimbangan guru, serta memerlukan usaha intelektual, pengetahuan teoretis, pengalaman yang ditunjang oleh sejumlah aktivitas, seperti memperkirakan, mempertimbangkan, menata, dan memvisualisasikan. Guru profesional harus mampu mengembangkan rencana pembelajaran yang baik, logis, dan sistematis. Rencana pembelajaran di samping untuk melaksanakan pembelajaran, persiapan tersebut mengemban profesional accountability
sehingga
guru
dapat
mempertanggungjawabkan
apa
yang
dilakukannya. Rencana pembelajaran mencerminkan apa yang akan dilakukan guru dalam
memberikan
kemudahan
belajar
kepada
peserta
didik,
bagaimana
melakukannya, dan mengapa melakukan itu. Oleh karena itu, rencana pembelajaran memiliki kedudukan yang esensial dalam pembelajaran yang efektif karena akan membantu membuat disiplin kerja yang baik, suasana yang lebih menarik, pembelajaran yang diorganisasikan dengan baik, relevan, dan akurat (Mulyasa, 2008: 158--159). Jadi, perencanaan pembelajaran yang berkualitas cenderung berdampak pada peningkatan kualitas guru, baik dari wawasan berpikir, maupun kualitas kerja yang dilakukan.
246
Dampak yang berhubungan dengan proses pembelajaran cenderung bermuara lebih besar pada peserta didik. Mulyasa (2008:187) mengemukakan bahwa proses pembelajaran pada hakikatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar. Namun, dalam pelaksanaannya sering kali tanpa disadari masih banyak kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan justru menghambat aktivitas dan kreativitas peserta didik. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pembelajaran di kelas yang umumnya lebih menekankan pada ranah kognitif, ketika kemampuan mental yang dipelajari sebagian besar berpusat pada pengetahuan dan ingatan. Pembelajaran yang demikian biasanya menuntut peserta didik untuk menerima dan menghafal apa-apa yang dianggap penting oleh guru. Guru pada umumnya kurang menyenangi situasi ketika para peserta didik bertanya mengenai hal-hal yang berada di luar konteks pembicaraan. Kondisi yang demikian, jelas mematikan aktivitas dan kreativitas para peserta didik sehingga harus dihindari dalam pembelajaran. Jadi, berdasarkan pemaparan tersebut jelas bahwa ketika proses pembelajaran tidak berjalan sesuai dengan harapan kurikulum maka kompetensi tidak tercapai secara menyeluruh karena pengalaman belajar peserta didik tidak lengkap sehingga kualitas kompetensi lulusan tidak optimal. Untuk mengetahui apakah kompetensi yang diharapkan sudah tercapai atau belum dalam proses pembelajaran maka dilakukan penilaian pembelajaran, baik dalam proses maupun hasil belajar. Dampak penilaian berpengaruh pada guru dan peserta
didik.
Penilaian
yang
berkualitas
baik
berpengaruh
positif
pada
247
profesionalitas guru dan kualitas kompetensi peserta didik demikian juga sebaliknya. Guru diharapkan memahami berbagai hal yang berkaitan dengan penilaian agar dalam pelaksanaannya tidak hanya menekankan pada aspek tertentu, terutama aspek pengetahuan (intelektual). Mulyasa (2008:213) menyatakan bahwa kebanyakan guru menilai peserta didik dalam perubahan perilaku pengetahuan karena tidak memiliki pemahaman serta kurangnya pengalaman dan kemampuan dalam melakukan penilaian mengenai aspek keterampilan dan sikap. Hal ini terjadi karena kebanyakan petunjuk atau pedoman penilaian hasil belajar hanya merujuk pada penilaian perilaku kognitif tingkat rendah. Ketika guru hanya berpatokan dari pedoman yang ada dan kurang termotivasi untuk mengembangkan diri sesuai dengan profesinya, maka kinerja yang dilakukan tidak optimal. Manfaat penilaian seperti yang dikemukakan oleh Kunandar (2007), yaitu untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kekuatan dan kelemahannya dalam proses pencapaian kompetensi sehingga termotivasi untuk meningkatkan dan memperbaiki proses dan hasil belajarnya. Di samping itu, juga penilaian bermanfaat untuk memantau dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami peserta didik sehingga dapat dilakukan pengayaan dan remedial. Bagi guru penilaian digunakan untuk umpan balik dalam memperbaiki metode, pendekatan, kegiatan, dan sumber belajar yang digunakan. Jadi, proses dan hasil penilaian sangat berpengaruh pada peningkatan profesionalitas guru dalam melakukan tugas-tugas pendidikan.
248
Di dalam konteks pengelolaan, pengawasan dimaksudkan untuk memantau kinerja seseorang dalam melaksanakan tugasnya agar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Pengawasan pembelajaran menjadi sangat diperlukan dalam rangka peningkatan disiplin guru, peningkatan mutu pembelajaran, dan peningkatan profesionalitas semua pihak yang terlibat. Di dalam kehidupan sehari-hari, di mana pun manusia berada dibutuhkan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi setiap kegiatan dan perilakunya. Namun, peraturanperaturan tersebut tidak akan ada artinya bila tidak disertai pengawasan dan sanksi bagi para pelanggarnya. Keteraturan adalah ciri utama organisasi dan disiplin adalah salah satu metode untuk memelihara keteraturan tersebut. Faktor yang berpengaruh terhadap disiplin pegawai atau pendidik adalah (1) besar kecilnya kompensasi, (2) ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan/lembaga, (3) ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan, (4) keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan, (5) ada tidaknya pengawasan pimpinan, (6) ada tidaknya perhatian kepada para karyawan, dan (7) diciptakan kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin (Sutrisno, 2011). Jadi, pengawasan sebagai salah satu faktor yang memegang peran penting dalam peningkatan disiplin guru dan sekaligus memengaruhi kinerjanya. Penjelasan tentang makna-makna yang diuraikan dalam beberapa paragraf di atas sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Barthes. Barthes menyatakan bahwa makna teks tidak hanya ditemukan berdasarkan maksud-maksud manusia, tetapi harus dilihat sebagai serangkaian praktik signifikasi (Barker, 2008:19).
249
Barthes menggunakan teori signifiant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah signifiant (bentuk/penanda) menjadi ekspresi dan signifie (makna/petanda) menjadi content (isi). Barthes mengatakan bahwa antara ekspresi dan isi harus ada relasi tertentu sehingga terbentuk tanda. Konsep relasi membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru sehingga ada lebih dari satu penanda dengan isi yang sama. Setiap tanda selalu memeroleh pemaknaan awal yang dikenal secara umum disebut denotasi (sistem primer), sedangkan pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder yang ke arah ekspresi disebut metabahasa, sedangkan sistem sekunder yang ke arah isi disebut konotasi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, tetapi juga oleh paham pragmatik, yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Dalam kaitannya dengan pemakai tanda, orang dapat memasukkan perasaan (aspek emosi) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Barthes berpendapat bahwa orang dapat berbicara tentang dua sistem signifikasi: denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level makna deskriptif dan literal yang secara virtual dimiliki semua anggota suatu kebudayaan. Pada level kedua, konotasi makna terbentuk dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas: keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi suatu formasi sosial. Ada makna-makna lain yang mungkin timbul pada setiap individu atau kelompok masyarakat. Makna khusus adalah konotasi. Konotasi diberikan oleh pemakai tanda.
250
Konsep konotasi ini digunakan oleh Barthes untuk menjelaskan bagaimana gejala budaya yang dilihat sebagai tanda memeroleh makna khusus dari anggota masyarakat. Barthes mengkritik masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, akan menjadi ideologi. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kebudayaan selalu terjadi ”penyalahgunaan ideologi” yang mendominasi pikiran anggota masyarakat (Hoed, 2011).
7.4 Temuan Penelitian Berdasarkan hasil elaborasi dan penyarian fakta–fakta di lapangan dan dari hasil analisis pada bab-bab sebelumnya diperoleh temuan, yaitu (1) pengelolaan pembelajaran kimia belum optimal, (2) paradigma berpikir guru bersifat pragmatis, dan (3) pengembangan kompetensi peserta didik bersifat parsial. Ketiga temuan yang dikemukakan di atas dijelaskan dalam paparan berikut. Pertama, pengelolaan pembelajaran kimia belum optimal karena rencana pelaksanaan pembelajaran sesungguhnya sebagai pedoman atau sebagai petunjuk untuk dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Di lapangan dalam kenyataannya ternyata pelaksanaan pembelajaran kimia tidak terlaksana seperti yang direncanakan. Beberapa pengalaman belajar yang semestinya diperoleh oleh peserta didik melalui kegiatan praktikum di laboratorium, ternyata tidak diberikan optimal. Di dalam kurikulum kimia SMA, banyak konsep kimia yang mestinya ditanamkan melalui
251
kegiatan praktikum karena pada dasarnya ilmu kimia adalah sebagai proses dan produk. Ada hal yang cukup mengagetkan ketika salah satu siswa yang sempat diwawancarai tentang kegiatan praktikum, secara spontan mengatakan belum pernah praktikum. Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dalam pembelajaran kimia. Ada dua hal yang berkaitan dengan kimia yang tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (pengetahuan kimia yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) temuan ilmuwan dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu, pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar kimia mestinya memerhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk. Di dalam Permendiknas No. 23, Tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan disebutkan bahwa standar kompetensi lulusan untuk mata pelajaran kimia di SMA/MA adalah sebagai berikut. 1. Melakukan percobaan, antara lain merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis,
menentukan
variabel,
merancang
dan
merakit
instrumen,
mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, menarik simpulan, serta mengomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. 2. Memahami hukum dasar dan penerapannya, cara perhitungan dan pengukuran, fenomena reaksi kimia yang terkait dengan kinetika, kesetimbangan, kekekalan massa dan kekekalan energi. 3. Memahami sifat berbagai larutan asam-basa, larutan koloid, larutan elektrolit-non elektrolit, termasuk cara pengukuran dan kegunaannya.
252
4. Memahami konsep reaksi oksidasi-reduksi dan elektrokimia serta penerapannya dalam fenomena pembentukan energi listrik, korosi logam, dan pemisahan bahan (elektrolisis). 5. Memahami struktur molekul dan reaksi senyawa organik yang meliputi benzena turunannya, lemak, karbohidrat, protein, dan polimer serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam standar kompetensi lulusan untuk pelajaran kimia sangat tegas disebutkan di bagian awal kalimat, yakni melakukan percobaan dan seterusnya, yang berarti ketika hal itu tidak dilakukan sesuai dengan yang direncanakan berarti telah melakukan pengingkaran dalam implementasi. Kedua, paradigma berpikir guru bersifat pragmatis dilihat dari pola berpikir yang mengutamakan keberhasilan dalam menempuh ujian nasional. Ujian nasional sepertinya sudah menjadi target seluruh komponen pendidikan, mulai dari pihak Diknas,
pimpinan
di
sekolah,
guru,
dan
murid.
Aktivitas
pembelajaran,
pengembangan silabus, pengembangan alat evaluasi yang dilakukan oleh guru semua mengarah kepada menyiapkan peserta didik dalam rangka menghadapi ujian nasional. Program belajar tambahan yang diistilahkan sebagai program akselerasi dilakukan di sekolah, yaitu dengan memberikan pembelajaran tambahan setelah jam pelajaran reguler berakhir. Materi pelajaran yang diajarkan adalah materi pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Program ini diikuti oleh seluruh siswa dari kelas X sampai kelas XII. Sementara itu, ada kegiatan lain dalam rangka persiapan mengikuti
253
ujian nasional yang disebut dengan program pemantapan, yang hanya diikuti oleh siswa kelas XII. Kenyataan mengenai mengutamakan persiapan ujian nasional ini didukung oleh beberapa informasi yang diambil dari petikan wawancara. Adapun informasi yang dimaksud adalah sebagai berikut. ”Guru itu harus pintar-pintar apakah program itu bisa dilaksanakan atau tidak, sesuaikan dengan waktu, apalagi kelas tiga, Januari ini sudah habis waktu, sudah mulai untuk mengejar untuk kegiatan pemantapan, kita masih prioritasnya ke tes Pak/ ke ujian secara umum” (wawancara PWS, tanggal 18 Januari 2012). Informasi di atas diperkuat lagi oleh pernyataan siswa dari hasil wawancara dengan tuturan sebagai berikut. ”Dengan usaha dan dengan program akselerasi kita kan dilatihkan untuk soal-soal ujian, setiap hari kita terbiasa untuk mengerjakan soal itu, membuat kita siap bertempur untuk ujian nasional. Menurut guru di sini, itu merupakan target utama, guru di sini menargetkan semua siswa lulus 100%, dengan nilai memuaskan, dan itu menjadi tanggung jawab besar untuk kita, Dengan keadaan yang sekarang dengan akselerasi, latihan soal, sudah sangat mendukung unjtuk kami, artinya untuk persiapan itu sangat mendalam” (wawancara SG2, tanggal 12 Oktober 2011). Hal senada juga diungkapkan oleh guru dari cuplikan wawancara yang menuturkan sebagai berikut. ”Sebelum kita ditunjuk RSBI, untuk lomba-lomba tetap ada pembinaannya, termasuk juga untuk UN juga sudah persiapan, kalau dulu UN kan begitu masuk September sudah mulai. Setelah ditunjuk menjadi RSBI, program sebelumnya tetap dilakukan dan malah ditingkatkan, ditambah kegiatan sore pengayaan khusus mata pelajaran MIPA dulu, plus bahasa inggris” (wawancara GG1, tanggal 18 Oktober 2011). Beberapa petikan wawancara di atas menandakan bagaimana wibawa ujian nasional di mata siswa, guru, sekolah, dan pengawas. Ujian nasional memiliki kesan
254
angker di dalam pikiran siswa, guru, dan sekolah sehingga ketika akan menghadapi ujian nasional, mata pelajarannya menjadi pusat perhatian penuh dan istimewa, serta terkadang memarginalkan mata pelajaran lain yang tidak dalam kategori diujikan dalam ujian nasional. Ujian nasional pada dasarnya adalah salah satu jenis penilaian hasil belajar. Penilaian hasil belajar meliputi penilaian hasil belajar oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Di dalam standar penilaian disebutkan bahwa penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Hasil ujian nasional dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk (1) pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, (3) penentuan kelulusan peserta didik, (4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Tilaar (2006) menyatakan bahwa di beberapa negara evaluasi nasional tidak diwajibkan untuk semua daerah sebab maksudnya adalah untuk memeroleh pemetaan masalah pendidikan, maka evaluasi tersebut tentunya tidak dapat digunakan sebagai indikator kelulusan seseorang dalam program atau tingkatan pendidikan tertentu. Semestinya, data yang diperoleh dari evaluasi nasional dianalisis dan dijadikan bahan untuk penyusunan strategi perbaikan. Evaluasi mengenai standar nasional pendidikan ternyata pertama-tama terletak pada guru kelas. Guru itulah yang mengadakan evaluasi yang berkesinambungan
255
mengenai sampai di mana peserta didik telah mencapai standar isi atau kurikulum. Fungsi guru kelas ini memang menuntut tugas yang lebih baik, “guru profesional” yang menguasai proses dan teknik evaluasi. Hasil evaluasi inilah yang menentukan seorang peserta didik naik kelas atau lulus ujian akhir dari sekolahnya. Hasil ujian akhir yang diselenggarakan oleh negara/ujian nasioanl adalah upaya pemetaan masalah pendidikan nasional dalam rangka penyusunan kebijakan pendidikan nasional. Dari peta permasalahan tersebut kuncinya adalah kualitas guru. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas guru merupakan upaya yang pertama dan utama dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan (Tilaar, 2006). Berdasarkan uraian di atas berarti ujian nasional memang penting diselenggarakan sebagai alat evaluasi untuk melihat mutu pendidikan. Dengan demikian, dalam persiapan menghadapi ujian nasional, sekolah, guru, dan pemerintah daerah, menyiapkan diri dengan wajar saja tidak perlu sampai mengabaikan hal-hal yang penting lainnya. Ketiga, pengembangan kompetensi peserta didik bersifat parsial. Hal ini tampak jelas karena guru dalam proses pembelajaran lebih mengarahkan peserta didik pada satu kecerdasan saja. Ketika peserta didiknya berhasil mendapat juara dalam lomba akademik dan sukses dalam menempuh ujian nasional, guru merasakan keberhasilan dalam melaksanakan pembelajaran. Evaluasi program pembelajaran mestinya dilakukan dengan mengomparasikan antara yang direncanakan dan yang dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada kegiatan yang terlewati atau tidak dilaksanakan dan apa kemungkinan konsekuensinya pada siswa. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu belum tampak pada guru. Guru lebih cenderung
256
memantapkan siswanya dalam kemampuan kognitif dibandingkan kemampuan afektif dan psikomotorik. Kemampuan kognitif cenderung mengarah pada kecerdasan intelektual, sedangkan kemampuan afektif dan psikomotor mengarah pada kecerdasan emosional dan sosial. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat dinyatakan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan pengembangan kecerdasan siswa, atau telah terjadi pengembangan kompetensi yang parsial. Temuan tersebut didukung oleh beberapa informasi yang berkaitan dengan aktivitas pengelolaan pembelajaran. Informasi yang diperoleh dalam bentuk petikan wawancara sesungguhnya sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Informasi yang dimaksud adalah mengenai pembelajaran yang dilakukan oleh guru lebih dominan dengan latihan soal dan penjelasan konsep-konsep yang berkaitan dengan ujian nasional, sementara itu kegiatan praktikum sangat minim dilakukan. Pihak sekolah melakukan program akselerasi dan pemantapan pembelajaran di mana kegiatannya adalah membahas soal-soal, latihan soal-soal yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. Kegiatan dalam bentuk mengerjakan latihan soal-soal pada dasarnya adalah mengasah kemampuan kognitif siswa yang mengarah pada kecerdasan intelektual. Sementara itu, pembelajaran praktikum atau kerja ke lapangan akan memberikan pengalaman pada siswa untuk melakukan, bekerja sama, dan berkomunikasi. Dalam hal ini dimaksudkan untuk mengasah kemampuan afektif dan psikomotorik siswa yang mengarah pada kecerdasan emosional dan sosial. Beberapa hal yang dijelaskan di atas diperkuat lagi dengan pernyataan berikut yang mengarah pada pengutamaan kecerdasan intelektual.
257
”Targetnya adalah prestasi di bidang akademis, saya menyasar yang paling kuat gaungnya kan olimpiade, sekarang baru satu dua mata pelajaran yang berhasil, nanti untuk semuanya, paling tidak di Bali kita bisa berbicara, nah itu targetnya (wawancara KSG, tanggal 11 Januari 2011). Ungkapan yang senada yang enguatkan informasi di atas dikemukakan oleh pengawas sebagai berikut. ”Kompetensi siswa menjadi bagus, terutama akademik. Dampak negatifnya cenderung besifat individualis, karena waktunya lebih banyak untuk belajar atau kegiatan akademik. Misalnya pulang ke desa yaa cenderung di rumah saja malah di kamar saja. Sedikit kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman yang lain” (wawancara PWS, tanggal 18 januari 2012).
Berdasarkan hasil survei di Amerika Serikat tentang IQ (dalam Ginanjar, 2005) ditemukan ‘paradoks’ membahayakan: sementara skor IQ anak-anak makin tinggi, kecerdasan emosi mereka justru turun. Hasil survei terhadap para orang tua, dan guru tahun 1970 dan 1980 mereka mengatakan anak-anak generasi sekarang lebih sering mengalami masalah emosi daripada generasi terdahulunya. Dinyatakan bahwa secara pukul rata, anak-anak sekarang tumbuh dalam kesepian dan depresi, mudah marah dan lebih sulit diatur, lebih gugup dan cenderung cemas, impulsif dan agresif. Penelitian berlanjut terhadap ratusan ribu pekerja, dalam pengkajiannya ditemukan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang sama, terbukti menjadi inti utama keberhasilan (kecerdasan emosi). Dinyatakan lebih lanjut di mana banyak contoh membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Sebaliknya, sering kali justru yang berpendidikan
258
formal lebih rendah, ternyata banyak yang lebih berhasil (Goleman, 2000; Ginanjar, 2005). Ginanjar menegaskan bahwa banyak program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal diperlukan pula bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, dan kemampuan beradaptasi. Pada dewasa ini, banyak orang berpendidikan yang tampak menjanjikan keberhasilan, ternyata mengalami kemandekan dalam kariernya, lebih buruk lagi mereka tersingkir akibat rendahnya kecerdasan emosi. Kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) merupakan temuan terkini secara ilmiah. Penemuan eksistensi God Spot dalam otak manusia telah built in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di antara jaringan saraf dan otak. Suatu jaringan saraf yang secara literal ’mengikat’ pengalaman manusia secara bersama untuk ”hidup lebih bermakna”. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat value manusia tertinggi (the ultimate meaning). SQ yang perlahan, tetapi pasti menempati ruang di hati manusia walaupun bukan seorang spiritualis sekalipun. Sinergi antara EQ dan SQ digagas oleh Ginanjar menjadi ESQ (Emotional and Spiritual Quotient). Sebuah penggabungan gagasan kedua energi tersebut untuk menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar dan hakiki. Model ESQ adalah software dari God Spot untuk melakukan spiritual engineering sekaligus sebagai mekanisme penggabungan tiga kecerdasan manusia yaitu EQ, IQ, dan SQ dalam satu kesatuan yang integral dan transendental. Selama ini, dalam masyarakat banyak berkembang pandangan stereotipe, dikotomisasi antara dunia dan akhirat. Dikotomisasi antara unsur kebendaan dan
259
unsur keagamaan, antara unsur kasat mata dan tak kasat mata: materialisme versus orientasi nilai-nilai Ilahiah. Mereka yang memilih keberhasilan di alam vertikal cenderung berpikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa dinisbikan atau sesuatu yang bisa dengan mudahnya dimarginalkan. Hasilnya, mereka unggul dalam kekhusyukan dzikir dan kekhidmatan berkomtemplasi tetapi menjadi kalah dalam percaturan ekonomi, ilmu pengetahuan, sosial, politik, dan perdagangan di alam horizontal. Sebaliknya, orang yang berpijak hanya pada alam kebendaan, kekuatan berpikirnya tak pernah diimbangi oleh kekuatan spiritual. Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil mendaki kesuksesan, acap kali mereka disergap oleh perasaan kosong dan hampa dalam celah batin kehidupannya. Setelah prestasi puncak didapat, ketika semua pemuasan kebendaan telah diraih, uang hasil jerih payah usaha sudah dalam genggaman, mereka tak tahu lagi ke mana harus melangkah, untuk tujuan apa semua prestasi itu diraihnya hingga hampir-hampir diperbudak oleh uang dan waktu. Dalam hal inilah peran SQ untuk menjawab permasalahan tersebut (Ginanjar, 2005). Menurut Ali Shariati (dalam Ginanjar, 2005) manusia adalah makhluk duadimensi yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan tentang kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi serta intelegensi yang baik (EQ dan IQ). Di samping itu, penting pula penguasaan ruhiah vertikal atau spiritual quotient (SQ) agar dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub keduniawian. Di dalam Undang-Undang RI No 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan pendidikan adalah
260
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan kajian dan peraturan perundangan yang disebutkan di atas, sangat jelas tampak betapa pentingnya kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dikembangkan secara proporsional dan seimbang. Dalam konteks pembelajaran, guru mestinya memiliki konsep tentang pengembangan kecerdasan dan berusaha mengondisikan pengalaman belajar kepada siswa untuk tujuan tersebut melalui strategi dan metode yang tepat. Oleh karena itu, profesionalisme guru sangat dibutuhkan. Untuk itu motivasi peningkatan kualitas diri dengan membaca, berdiskusi tentang kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual manusia, metode pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan materi ajar yang diampu perlu dibiasakan dan ditingkatkan.
7.5 Refleksi Potret yang didapat adalah adanya harapan sekaligus tuntutan dari pihak penguasa di daerah kepada sekolah agar siswa di daerah kekuasaannya sukses dalam menempuh ujian nasional. Pada dewasa ini menurut pandangan mereka bahwa keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan di wilayah kerjanya apabila persentase keberhasilan siswa menempuh ujian nasional tinggi. Kondisi ini
261
menandakan ada kurikulum yang tidak tampak dengan jelas dan tidak tertulis, tetapi ada dan mesti dilakukan. Sementara ini, kesan yang muncul di masyarakat terhadap ujian nasional begitu angker dan ibarat monster bagi pemegang kekuasaan. Bagi mereka, keberhasilan atau ketidakberhasilan dalam ujian nasional sebagai penentu status quonya. Bagi pimpinan di Diknas ketidakberhasilan sekolah dalam ujian nasional di wilayah kerjanya, dirasakan mengancam jabatannya. Demikian juga kepala sekolah khawatir diganti walaupun belum saatnya pergantian. Tidak kalah cemas juga pada guru bidang studi dimutasi ke sekolah yang lain apabila siswanya gagal dalam ujian nasional. Keadaan ini melahirkan sebuah konsensus dalam pola berpikir yang tidak pernah diucapkan bahwa keberhasilan dalam ujian nasional sebagai target utama pembelajaran di sekolah dan sekaligus dianggap sebagai keberhasilan pembangunan dalam bidang pendidikan di daerah. Pola berpikir seperti ini memengaruhi kebijakan yang dilakukan oleh sekolah dan strategi yang dilakukan oleh guru. Guru sebagai ujung tombak di lapangan yang berperan penting dalam pengelolaan pembelajaran mengiati dengan strategi-strategi tertentu agar siswa memiliki kesiapan yang matang dalam ujian nasional. Pengondisian siswa untuk mematangkan diri dalam rangka ujian nasional memunculkan berbagai program, antara lain program akselerasi, program pemantapan, dan pembelajaran lebih banyak menjelaskan konsep melalui latihan soal. Pembelajaran yang dilakukan guru mengebiri beberapa kegiatan yang sudah direncanakan, seperti kegiatan praktikum karena dianggap tidak banyak memberikan kontribusi dalam menghadapi ujian nasional. Pengalaman belajar siswa
262
melalui kegiatan praktikum dan kerja lapangan sangat minim, padahal pengalaman belajar seperti itu mengasah ranah afektif dan psikomotorik siswa. Evaluasi pembelajaran lebih menonjolkan ranah kognitif, guru berusaha memberikan soal kepada siswa dengan tingkat kesukaran yang lebih tinggi daripada yang semestinya. Sementara ini, hasil ujian nasional yang diperoleh pada SMA RSBI sangat memuaskan bagi semua pihak, sehingga ada perasaan berhasil bagi guru dan sekolah dalam pengelolaan pembelajaran. Pola
berpikir
yang
mengutamakan
persiapan
ujian
nasional
telah
meghilangkan kesadaran guru bahwa dalam pelaksanaan pembelajarannya telah mengingkari kurikulum. Dampak yang ditimbulkan dari pola berpikir seperti itu adalah perkembangan kecerdasan siswa tidak seimbang. Keberhasilan siswa dalam menempuh ujian nasional sesungguhnya tidak bisa dipakai indikator keberhasilan pengelolaan pembelajaran karena masih banyak aspek lain yang perlu menjadi perhatian. Ujian nasional kalau dilihat dari soal-soal yang diujikan, cenderung mengevaluasi kompetensi kognitif saja. Sementara itu ada kompetensi afektif dan psikomotor sebagai tujuan pembelajaran yang terabaikan. Mata pelajaran kimia perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus, yaitu membekali peserta didik pengetahuan, pemahaman, dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan teknologi. Tujuan mata pelajaran kimia dicapai oleh peserta didik melalui berbagai pendekatan, antara lain pendekatan induktif dalam bentuk proses inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka. Proses inkuiri ilmiah
263
bertujuan menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu, pembelajaran kimia menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pembelajaran dengan keterampilan proses melatih siswa untuk berpikir aktif, kreatif, dan memecahkan masalah. Kecenderungan yang terjadi dengan latihan berpikir aktif, kreatif, dan pemecahan masalah memunculkan generasi yang tangguh menghadapi masalah dan memiliki kreasi dan daya cipta yang tinggi, misalnya mereka akan mampu menciptakan lapangan kerja untuk dirinya dan orang lain. Dalam kenyataannya, pengelolaan pembelajaran kimia lebih menekankan kepada produk. Hal ini dilihat dari terbatasnya praktikum yang dilaksanakan. Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk memantapkan kemampuan siswa di dalam mengikuti ujian nasional. Jadi, ujian nasional lebih diutamakan dibandingkan dengan proses pembelajaran. Kondisi seperti yang disebutkan di atas perlu diwaspadai dan diantisipasi karena mengarah pada proses domestifikasi. Proses domestifikasi adalah proses penjinakan, yaitu membunuh kreativitas dan menjadikan peserta didik sebagai robot-robot yang sekadar menerima transmisi nilai-nilai kebudayaan yang ada. Tilaar (2003) menyatakan jika proses pendidikan menjadi proses domestifikasi anak manusia, hasilnya bukan pembebasan melainkan pembodohan (stupidifikasi). Proses domestifikasi dalam pendidikan, yaitu dalam perlakuan yang salah mengenai ijazah atau pemujaan terhadap ijazah. Ijazah menjadi alat untuk naik pada
264
tangga sosial, terlepas apakah ijazah tersebut merupakan hasil dari jerih payah untuk mengasah kemampuan diri. Dengan segala cara orang ingin untuk menggapai ijazah, baik diperoleh secara legal maupun ilegal dengan jalan membeli. Proses pembodohan di lembaga-lembaga pendidikan formal juga terlihat di dalam evaluasi pendidikan. Pengaruh tes objektif merupakan suatu proses domestifikasi karena tidak mengajak manusia berpikir, tetapi menjadi manusia yang menghadapi teka-teki silang saja. Kemampuan analitis dan mencari alternatif yang terbaik dalam situasi yang dihadapi tidak dapat dikembangkan melalui tes objektif (Tilaar, 2003). Dengan adanya harapan yang cenderung menjadi tuntutan harus berhasil dalam ujian nasional dari pihak Diknas kepada sekolah berarti telah terjadi hegemoni yang terstruktur dari penguasa yang lebih tinggi ke penguasa yang lebih rendah atau dikatakan sebagai hegemoni atasan kepada bawahan, dari pemerintah ke pimpinan sekolah, dari pimpinan sekolah ke guru, dari guru ke siswa. Hegemoni adalah bentuk ideologi yang di dalamnya ada nilai dan kepentingan kelompok hegemonik dialami oleh kelompok lainnya, seperti telah menjadi milik mereka sendiri dan telah disetujui. Pelaksanaan hegemoni dan keberhasilannya ditentukan oleh kesepakatankesepakatan. Kesempatan itu dapat terjadi karena hubungan pendidikan (educational relationship). Demikian pula dilihat bahwa lembaga-lembaga sosial seperti pendidikan tidak akan pernah netral, tetapi merupakan perekat dari hegemoni dalam masyarakat. Dengan kata lain, hegemoni terikat kepada kepentingan kelompok sosial yang berkuasa. Teori Gramsci mengenai hegemoni sangat berpengaruh dalam
265
perumusan kebijakan pendidikan, yaitu (1) perang posisi dan (2) demokratisasi kehidupan sosial (Tilaar dan Nugroho, 2009: 116--117). Guru dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas tidak bisa lepas dari dominasi
kekuasaan
untuk
kepentingan-kepentingan
tertentu.
Kepentingan-
kepentingan yang mungkin terjadi bisa berupa upaya mempertahankan kekuasaan (status quo), upaya pencitraan, bahkan mungkin upaya komodifikasi. Praktik hegemoni yang dilakukan di sini dengan alasan meningkatkan kualitas sekolah dan mempertahankan keunggulan yang sudah diakui oleh masyarakat. Sementara itu, kontra hegemoni yang dilakukan oleh guru adalah melaksanakan kegiatan untuk memenuhi harapan kekuasaan, dan mengharapkan peningkatan kesejahteraan. Proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai individu yang ”sedang menjadi.” Kekuasaan dalam pendidikan semestinya merupakan kekuasaan untuk memberikan kesempatan dari kebebasan manusia. Pertama-tama manusia sebagai subjek harus merasa bebas, tidak merasa tertekan. Dari situasi kebebasan inilah mereka dibimbing kepada kemampuan sendiri untuk mengambil keputusan, merumuskan alternatif, dan secara bersama-sama membangun masyarakat yang lebih baik. Inilah yang disebut pendidikan sebagai proses pengembangan sikap demokratis. Demokrasi di sini merupakan sikap hidup yang dinyatakan dalam perbuatan hasil refleksi dari pengalaman yang nyata dalam kehidupan. Pengalaman berdemokrasi merupakan syarat bagi tumbuhnya sikap demokratis bagi seseorang. Jika tanpa pengalaman berdemokrasi, maka proses demokratisasi hanya sekadar merupakan pengetahuan mengenai prosedur demokrasi,
266
bukan merupakan sikap demokratis dari seseorang. Di sini dapat dilihat proses demokratisasi memerlukan pengetahuan yang cukup agar manusia yang dikaruniai rasio serta hati untuk menimbang-nimbang nilai moral dari perbuatannya. Di samping itu, dapat merumuskan dan bertindak yang menguntungkan, baik untuk dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat maupun untuk masyarakat itu sendiri. Dalam proses pemberdayaan dan proses ”untuk menjadi” diperlukan proses pendidikan dan pembelajaran yang demokratis. Pengembangan sikap demokratis memerlukan ketajaman berpikir menggunakan logika dan hati nurani, mampu merefleksi untuk menimbang perilaku baik dan buruk. Ketajaman berpikir logis dan reflektif dapat diasah melalui pengembangan aktivitas dan kreativitas. Dalam proses pembelajaran pengembangan aktivitas dan kreativitas dapat dilakukan dengan pembelajaran yang inovatif, latihan pemecahan masalah, pengalaman belajar secara langsung/praktik. Kaitannya dengan evaluasi, guru harus melatih siswa mengerjakan tes esei, tes menjelaskan, dan tes menemukan jawaban sendiri. Dalam upaya menuju pembelajaran yang demokratis, inovatif, dan kreatif, guru tidak boleh puas hanya dengan keberhasilan peserta didiknya menempuh ujian nasional, tetapi dengan motivasi dan kesadaran mau belajar meningkatkan kompetensi sehingga menjadi guru yang profesional dan mandiri.