dan alih kode antara bahasa Bali, Indonesia, dan Inggris, dialog tokoh-tokoh .....
interpretasi pada bahasa para ksatria yang menggunakan bahasa Jawa. Kuno.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa dan budaya memiliki korelasi yang sangat erat. Bahasa menggambarkan budaya masyarakat penuturnya karena dalam kegiatan berbudaya, masyarakat tidak pernah lepas dari bahasa sebagai alat interaksi. Bahasa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas, dan kehidupan penutur, pendayagunaan, dan pemberdayagunaan bahasa sampai dengan pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya (Yadnya, 2004:52). Hal ini sejalan dengan pendapat Kramsch (1998:3) yang menyebutkan tiga hal yang terjalin erat antara bahasa dan budaya, yakni (1) language expresses cultural reality, (2) language embodies cultural reality, dan (3) language simbolizes cultural reality. Dalam fungsinya sebagai sarana komunikasi, bahasa digunakan oleh masyarakat dengan berbagai cara untuk tujuan tertentu. Manusia sesuai dengan julukannya sebagai homo ludens karena kegemarannya bermain untuk memenuhi kepuasan mental dan spiritualnya, menjadikan bahasa sebagai salah satu milik manusia yang sangat berharga yang tidak luput digunakan sebagai sarana permainan
(Wijana
dan
Mohamad
Rohmadi,
2010:148).
Masyarakat
mengkreasikan bahasa dengan bermain-main dari tataran terendah (bunyi) sampai dengan tataran tertinggi (wacana) yang secara cermat dimanfaatkan oleh para kreatornya untuk efek tertentu dalam menyampaikan berbagai ketidakterdugaan
2
yang secara serta merta diharapkan dapat ditangkap sekaligus dinikmati oleh penikmatnya. Kebermaknaan permainan bahasa tentu dapat ditangkap secara menyeluruh dengan pengetahuan budaya yang sama antara penutur dan pendengarnya. Dalam mengungkapkan sesuatu secara verbal, setiap penutur tentu memiliki gaya tersendiri, baik dari segi dialek situasi berbahasa (secara formal atau informal) maupun ciri khas yang menjadi sebuah kebiasaan sosial dalam masyarakat tertentu dalam pemilihan leksikal (Fromkin: 1990). Permainan dengan sarana bahasa banyak ditemukan dalam berbagai genre berbahasa, seperti dalam kartun, teks-teks humor, teka-teki, sampai dengan wacana-wacana kompleks, seperti tajuk rencana, puisi, iklan, novel, dan dalam percakapan lisan sehari-hari. Penggunaan permainan bahasa juga bisa banyak ditemukan dalam kesenian wayang tradisional karena dalam kesenian wayang selain ditampilkan karakteristik bentuk-bentuk wayang yang seni serta permainan musik yang indah, bahasa atau kegiatan tutur menjadi hal yang dominan (Rota, 1990). Kesenian wayang kulit kaya akan ungkapan-ungkapan verbal permainan bahasa yang sarat dengan nilai-nilai filosofi dan budaya. Wayang kulit dahulu, selain sebagai pelengkap upacara ritual keagamaan juga menjadi sarana hiburan masyarakat yang sangat digemari. Akan tetapi, setelah perkembangan zaman dengan munculnya berbagai alat elektronik sebagai media hiburan, seni sastra lisan ini kurang menarik sebagai tontonan terutama di kalangan kaum muda. Hal ini disebabkan oleh wayang tradisional identik dengan konvensi bahasa, seperti bahasa pakem, bahasa klasik dan tradisional yang cukup sulit dimengerti,
3
terutama di kalangan anak muda pada era ini. Padahal, dalam seni sastra lisan ini dialog-dialog para tokoh memuat nilai-nilai yang kaya akan budaya dan filsafat hidup. I Wayan Nardayana merupakan salah satu dalang muda kreatif asal Tabanan yang terkenal dengan pertunjukan wayang Cenk-Blonknya. Pengemasan pertunjukannya sangat apik dan modern dengan menggunakan alat pencahayaan yang canggih, kelir yang lebih besar, tetabuhan dan pesinden yang cakap. Bahasa yang digunakan dalam Wayang Cenk-Blonk (kemudian disingkat dengan WCB) pada dasarnya sama seperti wayang-wayang tradisional Bali lainnya yang menggunakan bahasa Kawi dan bahasa Bali. Bahasa Kawi atau Jawa Kuno biasanya digunakan oleh tokoh-tokoh atas, seperti kaum ksatria, raja, dewa, dan raksasa, sedangkan bahasa Bali digunakan oleh tokoh-tokoh bawahan atau punakawan. Dalam tokoh-tokoh punakawan WCB inilah dalang banyak menggunakan campur kode antara bahasa Bali, Indonesia, dan Inggris seperti budaya masyarakat Bali saat ini dalam menggunakan bahasanya. Pada tokoh punakawan sang dalang bisa bereksploitasi secara kreatif dalam bermain-main dengan bahasa. Walau banyak menggunakan variasi kode, kesan klasik dan karakteristik konvensi bahasa pewayangan yang selaras dan indah tetap tercermin dalam dialog-dialog tokoh WCB. Munculnya WCB di tengah hiburan masyarakat dengan keinovasian pementasan dan bahasanya menyebabkan karya sastra lisan yang sebelumnya meredup ini kembali menjadi sorotan hiburan yang mampu menarik minat masyarakat, baik tua maupun muda. WCB telah mampu mengembalikan minat
4
masyarakat terhadap seni tradisional wayang. Larisnya WCB dibuktikan dengan maraknya pementasan wayang ini pada berbagai acara di Bali dari acara sakral keagamaan sampai dengan acara-acara selamatan, seperti pembukaan gedunggedung baru, acara ulang tahun, dan lain-lain dengan ongkos pementasan belasan juta untuk satu kali pertunjukan berdurasi sekitar dua setengah jam. Cukup mahalnya ongkos pementasan WCB tidak menghalangi kesempatan masyarakat untuk menyaksikan pertunjukannya karena keeksisannya tetap diperlihatkan dari beredarnya VCD WCB sejak tahun 1998 hingga sekarang yang diproduksi oleh Aneka Record dan Bali Record. Hampir setiap tahun WCB menghasilkan satu buah judul untuk dipasarkan di masyarakat dengan harga terjangkau. Selain itu dalam VCD-VCD-nya sang dalang sengaja mengumpulkan topik serta lelucon yang digemari masyarakat saat pertunjukan di beberapa tempat dalam satu judul VCD setiap tahunnya. Hingga saat ini VCD WCB yang diperjualbelikan secara resmi sebanyak sepuluh judul. Salah satu penyebab tenarnya WCB disebabkan oleh permainan bahasa oleh tokoh-tokoh punakawan yang
komunikatif, ringan, dan mudah dicerna
penonton. Penguasaan bahasa dan keterampilan berbahasa dalang merupakan persyaratan utama pertunjukan wayang seperti yang disebutkan oleh Zurbuchen (1987:186) bahwa dalang adalah seniman tutur (verbal artist) sehingga keterampilan dalam memformulasikan bahasa menjadi kunci kesuksesan pertunjukan wayang. Dialog tokoh punakawan WCB sangat erat dengan fenomena-fenomena sosial yang sedang populer di tengah masyarakat walau tema yang diambil tetap
5
berasal dari cerita epos Ramayana atau Mahabarata. Permainan bahasa yang disuguhkan dalam WCB merupakan manifestasi kreativitas berbahasa yang sedang populer digunakan dalam masyarakat, yakni pemilihan leksikal yang sesuai dengan pengalaman kontekstual masyarakat Bali saat ini. Hal ini terlihat pada topik-topik dan bentuk-bentuk permainan bahasa tokoh punakawan pada VCD WCB yang semakin menunjukkan pengembangan kreativitas setiap tahunnya terutama pada tahun 2005 dan tahun-tahun setelahnya. Permainan bahasa tokoh punakawan WCB sangat dekat dengan kebiasaan masyarakat dan penuh kritik serta humor segar yang memiliki sense dan imajeri tertentu yang menghasilkan makna perwujudan mental masyarakat atau sesuatu yang berawal dari analogi konseptual pengalaman. Sebagaimana ditegaskan oleh Palmer (1996: 3) bahwa bahasa merupakan permainan simbol verbal berdasarkan imajeri. Dengan tetap menggunakan anggah-ungguhing basa Bali, campur kode, dan alih kode antara bahasa Bali, Indonesia, dan Inggris, dialog tokoh-tokoh punakawan WCB menyuguhkan banyak permainan bahasa, seperti bahasa pelesetan, permainan gaya bahasa, dan permainan variasi kode yang memuat halhal yang memiliki muatan makna tertentu dalam imajeri masyarakat Bali. Misalnya, dalam salah satu judul VCD WCB berjudul ”Ludra Murti”, diungkapkan pelesetan ”AIDS” yang sesungguhnya merupakan singkatan dari Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan” yang menghasilkan sebuah kelakar permainan bahasa yang mengundang tawa pendengarnya. Tidak banyak masyarakat Bali yang mengetahui singkatan asli AIDS, tetapi masyarakat Bali telah memiliki imajeri bahwa AIDS
6
merupakan salah satu penyakit mematikan karena seks bebas sehingga kebermaknaan pelesetan yang terlontar langsung dapat diterima secara menyeluruh. Jenis permainan bahasa lainnya misalnya dalam pelesetan fonologis pada sinonim bladbadan maodol bali pada percakapan antartokoh punakawan Delem dan Sangut berikut ini. Sangut : /sub↔ lantas mel↔m p↔rgi iN↔t mel↔m ken awak mel↔m beh ↔liN mel↔me/ ‘…setelah Melem pergi, ingatlah Melem dengan diri Melem, tangisan Melem…’ Delem : /keNken/ ‘bagaimana?’ Sangut : /maodol bali/ ‘berpasta gigi ala bali’ Delem : /keNken/ ’bagaimana?’ Sangut :/ sigsigan mel↔m N↔liN/ ‘tersedu-sedu Melem menangis’ (WCB: Tebu Sala, 12:25) Bladbadan maodol Bali ‘pembersih gigi’ digunakan tokoh punakawan Sangut untuk menyatakan kata /sigsigan/ ‘tersedu-sedu’. Dalam bladbadan kata yang bersinonim dengan bentuk bladbadan tersebut akan memiliki bunyi yang mirip dengan maksud awal yang ingin disampaikan penutur dalam hal ini /sigsigan/ yang disebut dengan bentuk tandingannya. Maodol Bali ‘berpasta gigi ala Bali’ bersinonim dengan sisig, yaitu sedikit tembakau yang digunakan untuk sekali bersugi (membersihkan gigi) pada masyarakat Bali zaman dahulu. Sinonim bentuk bladbadan ini digunakan untuk menyandingkan bentuk tandingan yang dimaksud, yakni kata /sigsigan/. Dengan menyebut bentuk tandingan /sigsigan/, bentuk tersebut mengonstruksi kembali imajeri masyarakat pada kata atau bentuk yang mirip dengan bunyi tandingannya. Imajeri pendengar berkembang hingga menemukan bentuk dengan bunyi yang mirip dengan bentuk tandingan /sigsigan/ yang terkait dengan bladbadan maodol Bali, yakni /sisig/ dan akhirnya menyadari
7
sinonim bladbadan maodol Bali tersebut. Terjadi pemelesetan bunyi antara bentuk tandingan /sigsigan/ yang merupakan acuan awal dengan sinonim bentuk bladbadan maodol Bali yakni /sisig/ dengan pelesapan fonem /g/ dan akhiran /an/. Konstruksi bentuk yang berakibat bangkitnya imajeri pendengar inilah yang menyebabkan pendengar dalam hal ini penonton tertawa setelah menyadari dan menyepadankan bentuk sinonim yang dimaksud dengan bentuk tandingannya. Pemilihan leksikal dalam permainan bahasa yang disuguhkan tokoh punakawan WCB disesuaikan dengan perkembangan zaman, dalam mengungkapkan gaya berbahasa sesawangan, yang dalam tulisan ini merupakan simile (perumpamaan), untuk menyebut berambut keriting dahulu masyarakat biasa menyebut dengan permainan bahasa ‘bokne cara sebun prit’ (rambutnya seperti sarang burung pipit) atau ‘bokne cara embotan belayag’ (rambutnya seperti tarikan sejenis ketupat yang
bentuknya
memanjang).
Akan
tetapi,
tokoh
punakawan
WCB
mengkreasikan ungkapan tersebut menjadi ‘bokne cara mi’ (rambutnya seperti mi) menjadi lebih dapat ditangkap maknanya oleh penonton karena imajeri masyarakat terhadap belayag ataupun sebun perit saat ini tidak sejelas imajeri atau gambaran akan ‘mi’. Dinamika budaya tentu berpengaruh terhadap cara berbahasa atau pemilihan leksikal masyarakatnya. Semua imajeri tersusun oleh kebudayaan dan sejarah pribadi seseorang. Imajeri juga disusun secara sosial dan melekat dengan konstruksi sosial (Palmer, 1996:49). Dari bahasa dapat ditemukan ideologi, cara pandang atau imajeri, dan budaya penutur bahasa tersebut. Lebih lanjut, Erom (2010:39) menyebutkan bahwa kebudayaan merupakan gema tradisi yang menyesuaikan dirinya dan
8
menyerap serta memfusi dalam teks dan konteks kehidupan. Di dalam konteks yang berubah, imajeri, cara pandang tentang dunia yang dikonstruksikan secara budaya yang bersifat konvensional dan saling melengkapi menyiapkan butir-butir referensi yang stabil untuk menafsirkan wacana. Permainan bahasa yang banyak digunakan dalam WCB sangat menarik untuk dianalisis karena kaya akan nilai-nilai budaya. Permainan bahasa yang dilakukan secara tidak langsung dapat mencerminkan pandangan, budaya, dan imajeri masyarakat Bali serta memperlihatkan bagaimana perubahan atau dinamika kebudayaan Bali saat ini. Selain itu, penelitian khusus tentang permainan bahasa tokoh punakawan wayang juga belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini sangat diperlukan. Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa penelitian ini menganalisis gejala-gejala kebahasaan yang terjadi dalam WCB khususnya pada permainan bahasa yang digunakan oleh tokoh punakawan untuk mengungkap budaya dan imajeri mental masyarakat Bali pada saat ini.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, permasalahan yang dapat diungkap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bentuk-bentuk kebahasaan apa sajakah yang terdapat dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB? 2. Apakah fungsi permainan bahasa yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh punakawan dalam WCB?
9
3. Makna apa sajakah yang terkandung dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang sesuai dengan imajeri budaya masyarakat Bali saat ini?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap permainan
bahasa tokoh punakawan WCB yang kreatif, inovatif, dan komunikatif. Pengkajian permainan bahasa tokoh punakawan WCB ini dilakukan sehingga diketahui hubungan tarik-menarik antara bahasa dan imajeri serta budaya masyarakat yang dimanfaatkan dengan baik oleh penutur atau kreator bahasa untuk menciptakan bahasa yang menarik dan digemari pendengar.
1.3.2
Tujuan Khusus Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam
penelitian ini, maka secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menemukan bentuk-bentuk permainan bahasa tokoh-tokoh punakawan WCB. 2. Mengidentifikasi fungsi permainan bahasa tokoh-tokoh punakawan WCB. 3. Menginterpretasi makna permainan bahasa yang disampaikan oleh tokohtokoh punakawan WCB yang sarat dengan imajeri budaya masyarakat Bali dan gejolak budaya yang terjadi.
10
1.4 Jangkauan Penelitian Adapun jangkauan dalam penelitian ini adalah sebatas permainan bahasa yang disampaikan tokoh-tokoh punakawan WCB pada 10 judul VCD WCB yang diproduksi Aneka dan Bali Record secara resmi dan telah diperjualbelikan di pasaran. Permainan-permainan bahasa tokoh punakawan yang diteliti secara umum menggunakan bahasa daerah Bali, baik bahasa Bali yang utuh maupun bahasa Bali yang memperoleh variasi kode dari bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris. Permainan bahasa oleh tokoh punakawan ini termasuk dialog-dialog antarpunakawan ataupun tuturan tokoh punakawan yang sifatnya menerjemahkan atau menginterpretasi makna bahasa Kawi yang diucapkan oleh tokoh atasan seperti kaum ksatria.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk memberi konstribusi bagi
bidang ilmu bahasa dalam ranah kekreativan berbahasa pada bentuk-bentuk permainan bahasa yang menggunakan pelesetan, gaya bahasa, ataupun permainan bahasa dengan variasi kode. Penelitian ini juga diharapkan menjadi media untuk meningkatkan kemampuan menganalisis fenomena budaya berbahasa masyarakat Bali dengan membangun model kajian pengembangan linguistik kebudayaan yang bersifat aplikatif, yaitu menerapkan teori konstruksi bahasa, teori fungsi bahasa, serta teori semiotik sosial. .
11
1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan tidak saja bermanfaat bagi pencinta seni, pengamat seni, para dalang, dan calon dalang sebagai referensi cara pengemasan bahasa yang menarik yang kebermaknaannya dapat ditangkap menyeluruh dan sebagai acuan karakteristik permainan dan gaya bahasa pewayangan tradisional inovatif yang digemari masyarakat sekarang. Namun, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi ilustrasi penggunaan permainan bahasa kepada masyarakat sebagai kekreatifan dalam berkomunikasi, seperti para pembicara atau orator, pembawa acara, penceramah ataupun pengkhotbah. Hal itu penting karena kreativitas berbahasa yang ditunjukkan dengan bermain kata-kata dapat membantu seseorang dalam menyampaikan sesuatu yang sukar ataupun menjadikan pembicaraan menjadi lebih menarik untuk menjalin keakraban di antara pembicara dan pendengar.
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, ada beberapa tulisan yang ditulis oleh para peneliti terdahulu yang relevan untuk dikaji dan berkontribusi dalam hubungannya dengan penelitian ini. Tulisan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Redjasa (2001) mengkaji bahasa verbal yang terdapat dalam seni pertunjukan. Ia khusus mengkaji lelucon khas Bali yang dipentaskan dalam Drama Gong di Bali dengan menganalisis tiga hal utama, yakni (1) bentuk lelucon, (2) fungsi lelucon, dan (3) makna yang terkandung dalam lelucon tersebut. Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa bentuk lelucon drama gong itu adalah cerita atau dongeng, teka-teki, puisi, dan nyanyian. Fungsi lelucon pada drama gong adalah sebagai pelipur hati, menyindir, menghilangkan rasa genting, penyaluran tenaga birahi, penyaluran rasa suka cita, penyampaian desas-desus, pemerolehan rasa simpatik, ketenaran, dan penyampaian protes sosial. Dari segi makna, dalam lelucon ditemukan variasi makna dengan penginterpretasian. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan kualitatif, dengan kesimpulan bahwa semantik humor memanfaatkan keambiguan dengan mempertentangkan makna pertama dengan makna kedua. Pemanfaatan keambiguan ini dapat terjadi pada tingkat kata, kalimat, dan wacana. Penelitian
13
permainan bahasa tokoh punakawan WCB ini sedikit memiliki persamaan dengan penelitian Redjasa karena penelitian permainan bahasa ini juga banyak mengandung unsur bahasa humor yang penuh ambiguitas. Akan tetapi, dalam penelitian permainan bahasa ini tidak saja permainan bahasa jenis humor yang dianalisis, tetapi permainan bahasa yang sifatnya nonhumor pun dianalisis. Teori yang diterapkan juga berbeda. Redjasa mengadopsi teori-teori wacana naratif dalam penelitiannya, sedangkan penelitian ini mengaplikasikan teori imajeri dalam linguistik kebudayaan. Wijana (2002) mengkaji permainan beberapa elemen bahasa seperti angka, bilangan, dan huruf sebagai kreativitas manusia di dalam bermain dengan bahasa yang merupakan pencerminan situasi sosiolinguistis di Indonesia. Dalam penelitian itu data diperoleh dari berbagai sumber, seperti grafiti, stiker, mobil pribadi, kendaraan umum, dan penulisan nama-nama pribadi. Pada penelitian tersebut ditemukan berbagai variasi bentuk permainan angka, yakni sebagai representasi kata bahasa Indonesia dan bahasa daerah (misal: 1/3 reng ‘seperti gareng’), sebagai representasi kata bahasa Inggris (misalnya: Up2U ‘up to you’), sebagai visualisasi lambang bunyi, representasi not lagu, representasi formula matematika, dan representasi frekuensi pembacaan. Pada data permainan bilangan ditemukan dua contoh yang merupakan bilangan bahasa Inggris, misalnya bentuk yang mengacu nama seseorang Wa-one ‘wawan’. Pada permainan huruf penelitian tersebut menemukan permainan dengan menggunakan lambang bunyi untuk mempresentasikan nama (misalnya D’Must ‘Dimas’ yang
14
mengacu pada nama orang) dan nama mempresentasikan lambang (misalnya Tuti non K ‘tidak memakai K karena namanya Tuti bukan Tutik). Pada tulisan tersebut sisebutkan permainan bahasa dengan memanfaatkan berbagai ketaksaan ini digunakan untuk maksud bermain-main, bergaya, dan merahasiakan sesuatu. Tulisan Wijana tersebut banyak memberi konstribusi dalam penelitian ini. Namun, penelitian ini mencoba untuk meluaskan analisis bentuk permainan bahasa hingga ke bentuk wacana dan lebih mengarah pada teori Sherzer (2002) yang mengacu permainan bahasa merupakan salah satu bentuk kekreatifan bahasa yang tidak saja berfungsi humor, hal serius seperti peribahasa pun dapat dikatakan sebagai permainan bahasa sesuai juga dengan pendapat Wijana (2002) yang menyatakan permainan bahasa juga dapat berfungsi untuk bergaya. Antara (2007) mengkaji metafora dalam bahasa Bali (BB) lisan yang digunakan masyarakat di daerah Buleleng. Dalam penelitian itu Antara mengungkapkan bahwa dalam berbahasa sehari-hari masyarakat Bali, khususnya masyarakat Buleleng banyak menggunakan tuturan yang sifatnya metaforis. Masalah penelitiannya meliputi bentuk metafora dalam BB, fungsi dan makna yang tersirat dari ujaran metafora BB lisan. Penelitiannya menggunakan metode kualitatif dengan dasar konsep sosiolinguistik. Penelitian tentang metafora itu didasarkan atas konsep Henle (1958) bahwa metafora adalah payung semua ungkapan bahasa yang bermakna figuratif atau majas. Analisis bentuk metafor dalam penelitiannya itu menggunakan teori struktur gramatika (morfologis dan sintaksis), analisis fungsi dikaitkan dengan situasi dan peristiwa tutur dan
15
interpretasi makna metafora dianalisis dengan teori komparasi Aristoteles yang ditunjang dengan teori makna asosiasi. Disertasi Antara (2007) ini banyak memberikan kontribusi dalam penelitian permainan bahasa tokoh punakawan WCB ini karena dalam permainan bahasanya banyak menggunakan bahasabahasa bermakna figuratif ataupun majas. Akan tetapi, dalam penelitian ini konsep metafor yang digunakan adalah konsep dari Knowles dan Rosamund Moon (2006) dan Keraf (2009) yang merupakan bagian dari bentuk figuratif. Di dalam penelitian ini, khususnya dalam bentuk metafor bahasa Bali yang digunakan tokoh punakawan WCB pada permainan bahasanya memunculkan variasi-variasi yang lebih kompleks dalam penggunaannya pada era globalisasi, seperti sekarang ini oleh masyarakat, yakni metafor bahasa Bali dengan adanya pencampuran bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Inggris dan Indonesia. Suwija (2008) dalam disertasinya membandingkan dan menganalisis wayang tradisional yang menggunakan inovasi dalam pertunjukannya, khususnya bagaimana bahasa-bahasa dalang mengemukakan wacana-wacana kritik sosial dengan mengaplikasikan teori-teori wacana naratif, resepsi sastra, dan dekonstruksi. Dalam disertasi itu dipaparkan bagaimana eksistensi wayang kulit Bali, pengemasan wacana kritik sosial oleh para dalang Cenk Blonk, Joblar dan Sidia, fungsi wacana kritik sosial yang disampaikan, sasaran serta amanat yang terkandung dalam wacana kritik sosial tersebut. Dalam penelitian itu Suwija memfokuskan kajiannya hanya pada wacana kritik sosial yang terdapat dalam dialog-dialog para tokoh. Tesis ini juga memilih WCB sebagai objek penelitian
16
tidak saja menganalisis wacana-wacana kritik sosial, tetapi lebih ke arah bagaimana pilihan dan permainan bahasa tokoh-tokoh punakawan WCB yang memiliki makna berbobot dan ber-sense bagi penonton dikaitkan dengan teori linguistik kebudayaan tentang imajeri. Selain itu, dalam penelitian Suwija, hanya dianalisis salah satu pertunjukan WCB yang berjudul Lakon Diah Gagar Mayang, tetapi dalam penelitian ini sumber data diperoleh dari seluruh VCD WCB yang telah beredar di masyarakat.
2.2 Konsep 2.2.1 Permainan Bahasa Konsep permainan bahasa dalam penelitian ini mengacu pada konsep permainan bahasa Kirshenblatt-Gimblett (1976) dan Sherzer (2002) dengan istilah Speech Play sebagai bentuk kekreatifan berbahasa. Permainan bahasa adalah manipulasi bahasa (baik secara fonetik, leksikal, maupun sintaksis, dan lain-lain), kekreatifan gaya berbahasa, variasi kode, atau style, yang digunakan dalam percakapan sehari-hari (Kirshenblatt-Gimblett:1976). Lebih lanjut Sherzer (2002: 1) menyebutkan pula bahwa permainan bahasa adalah manipulasi elemen-elemen dan komponen-komponen bahasa dalam hubungannya dengan konteks sosial dan budaya dalam penggunaannya (language use). Kirshenblatt-Gimblett
(1976)
dan
Sherzer
(2002)
lebih
memilih
menggunakan istilah permainan bahasa speech play yang sering juga disebut dengan linguistic games oleh beberapa linguis. Mereka menekankan permainan bahasa terdiri atas kata “permainan” yang diistilahkan dengan “play” sedikit
17
berbeda dengan konsep “games” yang diterjemahkan juga dengan permainan. Huizinga dan Caillois (dalam Kirshenblatt-Gimblett, 1976: 4--7) menyebutkan play bersifat bebas ‘free’ dan fleksibel dalam penggunaannya, serta mengarah pada seni dan kreativitas berbahasa yang tidak merupakan suatu kebenaran atau kesalahan. Sebaliknya, games mengarah pada kompetisi, aturan atau model permainan, serta akan ada dua sisi yakni, sebagai pemenang dan yang tidak menang sehingga memerlukan keahlian dan strategi. Dalam play juga terdapat rules ‘aturan’ tetapi, tidak mutlak seperti dalam konsep games. Karena bersifat seni dan kreatif, permainan bahasa dalam konsep ini tidak saja bersifat jenaka atau humor yang melawan norma, tetapi juga bisa mengandung makna serius (Sherzer, 2002:2). Jadi dalam konsep speech play ditekankan bahwa manipulasi bahasa yang dilakukan penutur adalah aktivitas bermain-main dengan bahasa dalam komunikasi sehari-hari sehingga komponen-komponen yang ada di dalamnya sangat dipengaruhi oleh budaya penutur sedangkan linguistic games merupakan permainan bahasa yang semata-mata hanya sebagai hiburan misalnya dalam bentuk acak kata, teka-teki, melengkapi huruf, dan sebagainya yang dirancang sedemikian rupa untuk hiburan, misalnya dalam acara quiz ataupun permainan yang biasa digunakan dalam pembelajaran bahasa. Permainan kata-kata ‘puns’, candaan ‘jokes’, peribahasa, teka-teki, dan tanya jawab ‘verbal duelling’ termasuk dalam permainan bahasa (Sherzer, 2002:4). Konsep speech play digunakan dalam penelitian ini karena permainan bahasa pada dialog-dialog tokoh punakawan WCB merupakan manifestasi pencerminan penggunaan bahasa sehari-hari
18
masyarakat Bali. Wijana (2010: 248) menyebutkan permainan bahasa dimaksudkan untuk mencapai bermacam-macam tujuan, seperti melucu, mengkritik, menasihati, melarang, dan berbagai tujuan lain yang sering kali tidak mudah diidentifikasi.
2.2.2 Tokoh Punakawan Punakawan merupakan salah satu tokoh dalam wayang tradisional selain tokoh raja, dewa, ksatria, dan raksasa (Amir, 1991: 63). Punakawan melambangkan rakyat jelata atau abdi raja yang berperan sebagai penerjemah dan memberi interpretasi pada bahasa para ksatria yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Karena melambangkan rakyat jelata, bahasa yang digunakan oleh tokoh punakawan mencerminkan perilaku budaya dan berbahasa masyarakat yang memiliki kebebasan konvensi bahasa, tetapi biasanya tetap mengikuti unda-usuk berbahasa (Zurbuchen, 1981:267-282). Dalam pertunjukan WCB tokoh punakawan yang dimaksud adalah empat tokoh punakawan baku wayang kulit Bali Tualen, Meredah, Sangut, Delem, punakawan perempuan, yakni, Condong yang sering dipanggil dengan sebutan ‘Nyoman’ serta tokoh punakawan kreasi tambahan Cenk, Blonk dan tokoh punakawan perempuan kreasi Tu Gek.
2.2.3 Wayang Cenk-Blonk Wayang Cenk-Blonk merupakan sebutan pementasan wayang Nardayana yang
dulunya
bernama
wayang
Gitaloka.
Namun,
seiring
dengan
perkembangannya masyarakat banyak menyebut-nyebut wayang ini dengan
19
wayang Cenk-Blonk karena pada setiap pertunjukannya Nardayana selalu menampilkan tokoh Nang Klenceng dan Nang Eblong (yang akrab dengan panggilan Cenk dan Blonk) di samping empat punakawan baku dalam wayang kulit Bali Tualen, Mredah, Sangut, dan Delem. Pemasangan dua karakter kuat Cenk dan Blonk inilah salah satu hal yang menyebabkan wayang Cenk-Blonk berbeda dari pertunjukan-pertunjukan wayang tradisional Bali lainnya yang biasanya hanya menggunakan empat tokoh punakawan baku. Akhirnya pada tahun 1995 Nardayana mengganti nama wayangnya dengan wayang Cenk-Blonk hingga menjadi terkenal seperti saat ini dan mencantumkan setiap VCD-nya dengan label Wayang Cenk-Blonk.
2.2.4 Bentuk Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989:20) menyatakan bahwa bentuk bahasa yang digunakan oleh pengarang berfungsi sebagai pendukung makna yang denotatif dan konotatif. Satuan-satuan ucapan yang diikuti dengan arti disebut dengan bentuk linguistik (linguistic form) (Muslich, 2008:2). Penelitian ini mengacu pada pandangan Goldberg (2006) yang menyebutkan bentuk bahasa merupakan konstruksi. Konstruksi akan menghasilkan bentuk-bentuk yang pada akhirnya menghasilkan fungsi dan makna. Bentuk atau struktur dalam kajian linguistik kebudayaan lebih menekankan variasi-variasi bentuk, kode, dan subkode (Mbete, dalam Bawa, 2004: 25). Bentuk-bentuk yang disebutkan Goldberg adalah termasuk morfem, kata, idiom, bentuk leksikal tidak utuh, dan struktur linguistik yang kompleks.
20
2.2.5 Fungsi Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat atau media komunikasi antara penggunanya. Kata ‘fungsi’ dapat dipandang sebagai padanan kata ‘penggunaan’ (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1989: 15) sehingga berbicara tentang fungsi bahasa dapat diartikan cara seseorang menggunakan bahasa mereka, yaitu dengan cara bertutur, menulis, mendengarkan, dan membaca untuk mencapai banyak sasaran dan tujuan (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1989: 20). Telah banyak linguis yang melakukan kajian fungsional, seperti Malinowski (1923), Buhler (1930), Halliday (1978), dan lain-lain. Dalam mengkaji permainan bahasa tokoh punakawan WCB sangat cocok diterapkan teori Leech (1977) karena dalam speech play terkandung kreativitas dan unsur seni yang berfungsi estetik. Leech (1977) menekankan lima fungsi bahasa, yakni informasional, ekspresif, phatik, direktif, dan estetik.
2.2.6 Makna Dalam bahasa yang diungkapkan oleh seseorang akan terkandung maknamakna tertentu yang ditangkap oleh lawan tuturnya sesuai dengan konteks sosial atau budayanya. Menurut Ferdinan de Saussure (1966) makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. etiap tanda linguistik terdiri atas dua komponen, yakni signifian “yang mengartikan” yang berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie “yang diartikan” yang berupa pengertian atau konsep. Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989: 4) menyebutkan
21
bahwa makna merupakan sistem tanda yang merupakan jaringan-jaringan hubungan yang ditentukan oleh konteks sosial atau budaya.
2.2.7 Imajeri Kata ’imajeri’ merupakan turunan dari imaji (image). Imaji merupakan suatu perwujudan mental dari sesuatu, terutama objek yang dapat dilihat, bukan dengan persepsi langsung, melainkan dengan ingatan imajinasi (Hornby,2006:46). Imajeri menitikberatkan kenyataan bahwa sebuah konsep berawal sebagai perwujudan pengalaman pancaindra, dan kemudian akan mengalami proses pembentukan, rekombinasi yang kompleks. Palmer (1996:47) menegaskan bahwa pengalaman di sekitar kita dicatat atau direkam oleh otak. Otak mengidentifikasi dan menentukan semua yang dialami oleh pancaindra. Selain itu, ada juga imajeri kompleks yang muncul dari emosi, yang disebut imajeri afektif perasaan (Palmer,1996:46). Imajeri akan membantu seseorang dalam memaknai ungkapan secara menyeluruh.
2.2.8 Imajeri Budaya Telah dijelaskan bahwa imajeri adalah perwujudan mental seseorang dari analogi konseptual pengalaman. Budaya secara umum didefinisikan sebagai sesuatu yang bisa dipelajari, yang dapat digunakan sebagai perantara antara generasi satu ke generasi yang lain melalui kegiatan/peranan yang dilakukan oleh manusia melalui interaksi langsung yang sangat sering tentunya dilakukan melalui komunikasi linguistik (Duranti,1997:24). Karena budaya dapat dipelajari, budaya
22
dianggap sebagai ilmu pengetahuan, yaitu bentuk dari benda-benda yang ada dalam pikiran manusia, tentang model bagaimana mereka merasakan, menghubungkan, dan menginterpretasi fenomena (Duranti,1997; Hudson, 1980; Goodenough, 1964). Dari pengertian imajeri dan budaya di atas, konsep imajeri budaya dalam penelitian ini adalah perwujudan mental atau ideologi seseorang atau masyarakat berdasarkan budaya di sekitarnya. Pilihan bahasa akan dipengaruhi oleh imajeri budaya penutur.
2.3 Landasan Teori Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang bersifat antardisiplin dengan asumsi teoriteori yang digunakan saling mendukung satu sama lainnya dalam menganalisis permainan bahasa tokoh punakawan dalam WCB. Teori yang dimaksud adalah Linguistik Kebudayaan sebagai payung yang membawahi teori konstruksi untuk menganalisis bentuk, teori fungsi bahasa dalam menganalisis fungsi, dan teori semiotik sosial untuk memaknai nilai-nilai budaya yang dihasilkan dari permainan-permainan bahsa tokoh punakawan WCB.
2.3.1 Linguistik kebudayaan Linguistik kebudayaan yang juga disebut etnolinguistik adalah varian antropologi linguistik yang mengaitkan hubungan antara bahasa dan kebudayaan suatu komunitas tertentu. Linguistik kebudayaan lebih menekankan pada kajian
23
atas bahasa sebagai sumber daya budaya dan tuturan sebagai praktik budaya (Duranti, 1997:1--2). Jika antropologi linguistik lebih pada kajian deskripsi mengenai bahasa suku-suku bangsa, linguistik kebudayaan mendalami makna di balik yang tampak, melalui tuturan (speech) dan bahasa (language). Pengertian linguistik kebudayaan seperti ini menempatkan linguistik kebudayaan sebagai suatu perspektif teori kognitif yang mengkaji hubungan fungsional dan maknawi antara bahasa dan kebudayaan dalam suatu komunitas. Kata-kata yang keluar dalam bentuk simbol juga merupakan representasi atas situasi masyarakat dan kebudayaan mereka. Oleh karena itu, manusia dapat dinyatakan sebagai manusia yang kreatif dalam menciptakan dunia sosial dan budaya mereka, termasuk dalam menciptakan terminologi, konsep, simbol, dan bahasa yang dapat mewakili dan menggambarkan keinginan dan fenomena yang ada di lingkungan mereka. Hal yang sama dinyatakan oleh Foley (1997:1) bahwa linguistik kebudayaan berusaha mengungkap makna di balik penggunaan bahasa serta bentuk bahasa yang berbeda, laras, dan gaya bahasa (style). Palmer (1996:4) menyatakan bahwa linguistik kebudayaan merupakan gabungan dari linguistik kognitif, linguistik aliran boas (pendeskripsian gramatika bahasa yang mencerminkan ungkapan imajeri mental yang selektif), etnosemantik dan etnografi berbicara. Linguistik Kebudayaan terutama berurusan bukan bagaimana orang berbicara tentang realitas objektif, melainkan bagaimana orang-orang itu berbicara tentang dunia mereka sendiri bayangkan (Palmer, 1996:36). Permainan bahasa tokoh punakawan WCB dengan bladbadan gigi keliling kota untuk
24
menyebut bentuk pelesetan pawah ‘ompong’ dihasilkannya dari pengalamanpengalaman yang dibayangkan sendiri oleh kreatornya, yakni sang dalang. Keliling kota yang dalam bayangannya bersinonim dengan pawai digunakan untuk memelesetkan bentuk tandingannya, yakni /pawah/ yang memiliki bunyi mirip.
Bentuk
keliling
kota
yang
disebutkannya
dan
sinonim
yang
dimaksudkannya, yakni pawai diperolehnya dari pengalaman pribadi, yaitu kebiasaaan di daerah tempat tinggalnya bahwa sebuah pawai kesenian atau apa pun itu dilakukan dengan berkeliling kota. Linguistik Kebudayaan dan linguistik kognitif secara fundamental merupakan teori imajeri mental yang berusaha memahami bagaimana penutur menyebarkan tuturannya dan pendengar memahami tuturan tersebut berkaitan dengan berbagai macam imajeri. Dalam pandangan Palmer, bahasa adalah permainan simbol verbal yang berbasis pada imajeri.
2.3.2 Teori Konstruksi Teori konstruksi Goldberg (2006) digunakan pada penelitian ini dalam hal menentukan
bentuk-bentuk
permainan
bahasa
tokoh
punakawan
WCB.
Konstruksi adalah keberpasangan bentuk dan fungsi atau penggunaan semua level gramatikal, seperti morfem, kata, idiom, leksikal parsial, dan semua pola general frasa yang beberapa aspek dari bentuk ataupun fungsinya tidak dapat diprediksi secara pasti dari komponen-komponen pembentuknya atau dari konstruksi lain yang telah ada sebelumnya (Goldberg, 2006:5). Knowles dan Rosamund Moon
25
(2006: 15--17) memaparkan konstruksi idiom terdiri atas komponen metaphor dan maknanya dapat ditelusuri dengan analogi. Kerangka konstruksi dapat digunakan dalam menganalisis semantik dan kata-kata tertentu, gramatikal morfem dan pada pola frasa yang tidak lazim. Permainan
bahasa
memperlihatkan
kreativitas
berbahasa
yang
banyak
menggunakan pola yang tidak sesuai dengan gramatikal yang lazim. Dengan demikian teori ini digunakan dalam menganalisis bentuk-bentuk permainan bahasa, seperti bentuk bahasa pelesetan, bentuk retoris, kiasan, bentuk permainan kata antarbahasa dalam sebuah kalimat atau wacana dan bentuk-bentuk hiponim. Dalam dialog-dialog tokoh punakawan WCB, sang dalang mengonstruksi bentuk-bentuk permainan bahasa untuk mengonstruksi imajeri pendengarnya dalam hal ini penonton untuk tujuan tertentu. Kemudian secara kognitif dengan menyandingkan, menyepadankan, dan mengasosiasikan permainan bahasa tersebut dengan hipogram-hipogramnya (terutama dalam bentuk pelesetan) pendengar akan memaknainya dengan kesan-kesan dan imajeri yang bermacammacam. Goldberg (2006) menyebutkan prinsip-prinsip konstruksi, yakni sebagai berikut. 1.
Semua level deskripsi dimengerti sebagai keterlibatan dan keberpasangan antara bentuk dengan fungsi semantik atau discourse.
2. Penekanan aspek-aspek bagaimana cara kita membayangkan kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu.
26
3. ‘Apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu peroleh’ dengan mengadopsi pendekatan bentuk sintaksis: tidak ada level-level pokok sintaksis atau tidak ada elemen-elemen secara fonologi dikemukakan. 4. Konstruksi diperoleh berdasarkan input dasar dan mekanisme kognitif. 5. Cross-linguistics dijelaskan dengan perbandingan batas-batas kognitif bersamaan dengan fungsi pengembangan konstruksi. 6. Generalisasi bahasa khusus dalam konstruksi diperoleh dari pengetahuan yang bersifat nonlinguistik 7. Keseluruhan pengetahuan bahasa ditangkap dengan jaring-jaring konstruksi: sebuah konstruksi bentuk ‘construc-i-con’. Berikut ini adalah tabel contoh bentuk dan fungsi dalam konstruksi. 2.1 Bentuk dan Fungsi dalam Konstruksi Construction Morpheme Word Complex word Idiom (filled) Idiom (partially filled) Covariational-Conditional construction Ditransitive (double-object) construction Passive
Form/Example e.g. anti-, pre-, inge.g. Avocado, anaconda, and e.g. Daredevil, shoo-in e.g. Going great guns e.g. Jog (Someone’s) memory Form: The Xer the Yer (e.g. The more you think about it, the less you understand) Form: Subj /V Obj1 Obj2/ (e.g. He gave her a Coke; He baked her a muffin) Form: Subj aux VPpp (PPby) (e.g. The armadillo was hit by a car)
Function
Meaning:link independent and dependent variables Meaning: Transfer (intended or actual) Discourse function: to make undergoer topical and/or actor non-topical
Goldberg: 2006
Bentuk lahir (surface form) sebuah ujaran dalam teori konstruksi tidak hanya berasal dari satu buah konstruksi, tetapi dapat terdiri atas kombinasi beberapa konstruksi yang berbeda. Konstruksi bisa dikombinasikan secara bebas dalam bentuk ekspresi aktual sejauh sesuai dengan logika. Goldberg memberikan
27
contoh kalimat what did Liza buy the child? Dapat memiliki konstruksi sebagai berikut: 1. konstruksi Liza, buy, the, child, what, did (kata) 2. konstruksi ditransitif 3. konstruksi pertanyaan 4. konstruksi inversi subjek-auxilary 5. konstruksi VP 6. konstruksi NP
2.3.3 Teori Fungsi Bahasa Dalam menganalisis fungsi permainan bahasa tokoh punakawan WCB digunakan teori fungsi bahasa. Hubungan bentuk dan fungsi merupakan contoh pola komunikatif dalam dimensi yang berbeda, misalnya bertanya kepada seseorang dengan bahasa Inggris apakah mereka mempunyai rokok akan segera disadari sebagai permintaan daripada sekadar pertanyaan untuk memperoleh informasi. Dalam masyarakat Bali teks-teks verbal dalam pertunjukan wayang tradisional, baik dialog, monolog, dengan konvensi bahasa maupun dengan permainan bahasa berfungsi untuk mengomunikasikan berbagai amanat dalam kehidupan masyarakat. Fungsi dalam permaianan bahasa yang banyak menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang bermakna tak sebenarnya, kias, konotatif, nonlinier, majas, atau dikenal juga sebagai bentuk bahasa bermakna metaforis, memerlukan prinsip-prinsip pragmatik dan semantik sehingga interpretasi pemahaman maknanya dapat dimengerti secara tepat.
28
Kajian atas permainan bahasa tokoh punakawan WCB ini menggunakan teori fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Leech (1977). Leech membedakan lima fungsi bahasa. Adapun perincian lima fungsi bahasa menurut analisis Leech, seperti berikut. a) Fungsi informasional merupakan fungsi bahasa bila penyampaiannya bersifat memberikan informasi tentang suatu hal dari penutur kepada mitra tuturnya. Orientasi fungsi ini mengarah kepada pokok persoalan. b) Fungsi ekspresif merupakan fungsi bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya, kata-kata sumpah serapah dan kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam kategori ini. Orientasi fungsi ini mengarah kepada penutur atau penulis. c) Fungsi direktif merupakan fungsi bahasa dalam hal memengaruhi atau mengatur perilaku atau perasaan orang lain, seperti perintah, permohonan, lelucon dan ledekan. Fungsi kontrol sosial (dalam hal pesan yang disampaikan) lebih memberikan tekanan pada sisi penerima, bukan pada penutur. d) Fungsi phatik merupakan fungsi bahasa dalam hal untuk menjaga garis komunikasi atau hubungan sosial antara pembicara dan lawan tuturnya. Orientasi fungsi ini mengarah kepada sarana komunikasi. e) Fungsi estetik merupakan fungsi bahasa yang lebih menekankan unsur seni puitik atau estetik. Pada pertengahan tahun 1930-an Jan Mukarovsky merumuskan fungsi estetik bahasa, yaitu fungsi bahasa demi keindahan bahasa itu sendiri dengan menjadikan bahasa sebagai permainan kata-kata, seperti
29
dalam metafor, lelucon, dan ritme. Fungsi ini tidak diterapkan untuk kajian sastra saja, tetapi juga untuk bahasa sehari-hari (lihat Sibarani,2004:41--42). Orientasi fungsi bahasa ini mengarah pada penggunaan bahasa demi hasil karya itu sendiri dan tanpa maksud yang tersembunyi. Hubungan antara fungsi bahasa dengan orientasinya dapat dilihat dalam bagan 1 berikut. Bagan 1 Hubungan antara Fungsi Bahasa dengan Orientasinya -----------SALURAN----------- Pendengar
Penutur atau pembaca
PESAN
atau
-------------------------------- pembaca Tentang POKOK PERMASALAHAN
Fungsi Ekspresif
Phatik
Informasional
Estetik
Direktif
2.3.4 Teori Semiotik Sosial Konsep semiotik diturunkan dari konsep tanda (sign), tetapi menurut Halliday dan Hassan dan Ruqaiya Hasan (1989: 2--5) semiotik lebih luas daripada hanya menganalisis tanda, melainkan kajian tentang sistem tanda. Dengan kata lain, sebagai suatu kajian tentang makna dalam arti yang paling umum. Semiotik sosial lebih memfokuskan bahasa sebagai sistem tanda atau simbol yang sedang mengekspresikan nilai dan norma kultural dan sosial suatu masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial kebahasaan (Santoso, 2003:6).
30
Zamzamah (2000:1) menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu tanda yang mempelajari fenomena sosial budaya. Dalam semiotika bahasa dilihat sebagai sistem makna yang diperoleh melalui jaringan suatu hubungan antara sistem sosiokultural suatu masyarakat dan sistem bahasa yang dipakainya. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini kebudayaan menjadi sumber sistem makna. Dalam teori semiotik Halliday dan Hasan (1989) diungkapkan bahasa dianggap sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya manusia. Palmer (1996) menguraikan aspek-aspek makna terdiri atas empat aspek, yaitu tema ”sense”, perasaan ”feeling”, nada ”tone”, dan tujuan ”intention”. Pengkajian makna
pada
hakikatnya
berupa
pendalaman
ungkapan
yang
terikat
penggunaannya pada kesempatan tertentu oleh individu tertentu dan antara komunitas ujaran tertentu. Artinya, mengkaji makna tidak semata-mata bersifat murni linguistik, tetapi dapat berupa kajian pragmatik yang berhubungan dengan kebudayaan. Istilah ’sosial’ menurut pandangan Halliday dan Ruqaiya Hasan (1989) dimaksudkan untuk mengemukakan dua hal secara bersama-sama, yakni sosial yang digunakan dalam arti sistem sosial yang dianggap bersinonim dengan kebudayaan sehingga batasan ’semiotik sosial’ yang dimaksud adalah sistem sosial atau kebudayaan sebagai suatu sistem makna. Halliday (1978) memaparkan elemen-elemen dalam semiotik sosial, yakni teks (text), situasi (situation), register (register), kode (code), sistem linguistik (linguistic system), dan struktur sosial
31
(social structure) dalam masyarakat. Sistem makna dalam sebuah teks terdiri atas berikut ini. 1. Makna pengalaman (experiential meaning). Sebuah teks, misalnya kalimat yang diujarkan penutur dapat dimengerti pendengar sebagai gambaran dari fenomena yang dapat dipandang mewakili dunia nyata sebagaimana diketahui melalui pengalaman kita. Dalam makna pengalaman ini bahasa dianggap merupakan cara berpikir atau bahasa sebagai pikiran. 2. Makna antarpelibat (interpersonal meaning). Dalam makna antarpelibat kalimat dipandang dari sudut pandang fungsi dalam proses interaksi sosial. Kalimat ditafsirkan bukan sebagai sarana berpikir, melainkan sebagai sarana berbuat. Kalimat tidak hanya menyatakan kenyataan sesungguhnya, tetapi juga menyatakan interaksi antara pembicara dan pendengar. Jadi, dalam makna antarpelibat bahasa merupakan cara bertindak atau bahasa sebagai tindakan. 3. Makna logis (logical meaning). Dalam setiap bahasa alami terdapat satu jaringan hubungan logis dan mendasar yang relatif kecil dan yang bukan merupakan hubungan logis yang formal, melainkan hubungan yang pada akhirnya merupakan sumber didapatkannya hubungan logis yang formal. Pemaknaan ini misalnya pada bentuk metafor yang menghubung bandingkan suatu referent secara logis. 4. Makna tekstual (textual meaning). Makna yang menjadikan kalimat sebuah teks yang berbeda dengan yang terwujud, misalnya memaknai kalimat setingkat lebih jauh lagi, yakni dengan membahas intonasinya.
32
Halliday dan Ruqaiya Hasan(1989:23) menyebutkan bahwa keempat unsur pemaknaan di atas semuanya akan terjalin dalam struktur wacana. Tidak ada kalimat ataupun wacana yang memiliki makna pengalaman saja, makna antarpelibat saja, makna logis saja, atau makna tekstual saja. Sebuah kalimat akan dapat dimaknai secara menyeluruh dengan pertama-tama dimaknai berdasarkan makna pengalaman, pengalaman akan suatu entitaslah yang menyebabkan penutur dapat mengungkapkannya dalam berbahasa. Kalimat yang diutarakan penutur merupakan wakil dari gejala-gejala yang dapat dikenali. Kemudian dalam kalimat atau wacana yang dituturkan tersebut tentu melibatkan komponen-komponen pelibat, yakni penutur, lawan tutur, atau pihak ketiga sehingga dalam mengungkapkan sebuah tuturan pasti terjadi proses interaksi sosial yang melibatkan beberapa komponen pelibat tutur. Makna logis akan tampak saat menghubungbandingkan komponen-komponen dalam bentuk tuturan, hal yang paling nyata tampak pada bentuk-bentuk metafora. Namun, tidak saja metafora setiap bentuk kalimat atau wacana akan tampak makna logisya saat dilihat dari segi fungsi, berupa fungsi perintah, permintaan, atau penawaran yang secara umum dapat dianalisis dari komponen-komponen pembentuknya. Petutur dapat memaknai sebuh tuturan itu adalah sebuah permintaan atau penawaran atau fungsi lainnya yang tampak pada makna tekstual yang dihasilkan dari intonasi, struktur tematik, irama, dan pemusatan informasi. Dalam konteks kajian permainan bahasa sebagai fenomena kebudayaan, teori semiotik sosial diarahkan sebagai perspektif untuk menginterpretasikan nilainilai makna yang diperoleh masyarakat dari permainan bahasa tokoh punakawan
33
WCB. Jadi, teori semiotik sosial lebih diarahkan untuk memahami dan menafsirkan makna-makna yang terkandung dalam kebudayaan yang dihasilkan dari konstruksi bentuk-bentuk permainan bahasa tokoh punakawan WCB.
2.4 Model Penelitian Berdasarkan permasalahan dan teori-teori yang telah dipaparkan di atas, model penelitian yang diajukan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB Linguistik Kebudayaan
Teori Konstruksi Goldberg (2006)
Teori Fungsi Bahasa Leech (1977)
Bentuk Permainan Bahasa
Fungsi Permainan Bahasa
Teori Semiotik Sosial Halliday (1978) Makna Permainan Bahasa dan Imajeri Budaya Masyarakat
Temuan
Pada penelitian ini permainan-permainan bahasa tokoh punakawan dalam sepuluh VCD WCB dijadikan acuan penelitian dengan menganalisis bentuk, fungsi, dan makna untuk memperoleh hubungan yang erat antara budaya dan bahasa masyarakat penutur yang dalam penelitian ini adalah masyarakat Bali karena dialog tokoh punakwan wayang tradisional merupakan manifestasi
34
pencerminan fenomena penggunaan bahasa suatu masyarakat dalam guyub tutur tertentu. Linguistik Kebudayaan menjadi payung penelitian ini yang membawahi teori-teori pendukung untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna. Teori kontruksi Adele E. Goldberg (2006) digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk permainan bahasa tokoh punakawan WCB, teori fungsi bahasa Leech (1977) digunakan dalam menganalisis fungsi-fungsi yang dihasilkan variasi bentuk permainan bahasa tersebut, dan teori Semiotik Sosial Halliday (1978) digunakan untuk menginterpretasi nilai-nilai makna sosial yang dihasilkan yang secara holistik menghasilkan temuan.
35
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Dalam penelitian permainan bahasa tokoh punakawan WCB ini diterapkan pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan kata-kata atau kalimat dalam suatu struktur yang logik untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu sama lain (Danandjaja, 1990: 96). Laporan hasil penelitian kualitatif bersifat deskriptif naratif (Moleong, 2001:14--16). Artinya, analisis data dilakukan dengan berbentuk deskripsi fenomena, bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antarvariabel atau tidak berupa gambar. Mekanisme kerja dalam penelitian ini adalah menganalisis permainan bahasa pada dialog antartokoh punakawan berbahasa Bali dan bahasa Bali dengan campur kode bahasa lain, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam pertunjukan WCB. Penganalisisan dilakukan dengan memilih beberapa sampel data permainan bahasa yang relevan dan mewakili data-data permainan bahasa lakon punakawan WCB seluruhnya. Dari situlah dijadikan titik tolak untuk memahami lebih lanjut bentuk-bentuk permainan bahasa yang disuguhkan, kemudian menelusuri fungsi dan makna yang terkandung di dalamnya sehingga ditemukan gambaran tentang cara pikir atau imajeri masyarakat Bali di tengah dinamika budaya yang terjadi saat ini.
36
3.2 Jenis dan Sumber Data Moleong (2001: 112) menyebutkan ada dua jenis data dalam penelitian kualitatif, yakni berjenis kata-kata atau lisan dan tindakan. Untuk mendukung penelitian ini, data yang dikumpulkan menurut jenisnya adalah data lisan permainan bahasa lakon punakawan WCB. Menurut sumbernya, data permainan bahasa tokoh punakawan WCB dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari sepuluh seri VCD WCB yang dipasarkan di masyarakat. VCD yang diamati adalah delapan seri judul WCB yang masing-masing terdiri atas tiga keping VCD yang diproduksi oleh Aneka Record, berjudul Katundung Ngada, Sutha Amerih Bapa, Tebu Sala, Gatutkaca Anggugah, Ludra Murti, Suryawati Ilang, Lata Mahosadhi dan Bimaniyu Makrangkeng serta dua seri judul VCD yang diproduksi oleh Bali Record berjudul Diah Ratna Takesi dan Kumbakarna Lina. Sumber data primer lainnya yang digunakan adalah data dari hasil wawancara atau keterangan dalang WCB (dalam hal ini I Wayan Nardayana) yang diperoleh di tempat tinggalnya Br. Batan Nyuh Kelod, Desa Batan Nyuh, Kecamatan Marga Tabanan, dan hasil wawancara masyarakat yang sudah beberapa kali menyaksikan WCB.
3.3 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah VCD player yang digunakan dalam menyimak VCD WCB secara keseluruhan untuk memperoleh sinopsis cerita pada setiap judulnya, laptop untuk menyimak secara cermat dan mendalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB dalam setiap serinya,
37
pedoman wawancara berupa daftar tanyaan, alat perekam, serta kaset yang digunakan untuk merekam wawancara dengan dalang dan masyarakat yang telah beberapa kali menonton pertunjukan WCB secara life ataupun menonton WCB dari VCD-nya. Daftar tanyaan untuk wawancara memerinci pertanyaan untuk menggali informasi tentang sumber-sumber data yang dipakai dalang WCB dalam menyusun dan memperoleh permainan bahasa yang disuguhkan. Hasil jawaban dalang dijadikan dasar ataupun bandingan dari analisis makna imajeri masyarakat Bali.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data metode observasi digunakan paling awal untuk menemukan VCD-VCD WCB yang tersebar di pasaran dengan menyeleksi pemilihan VCD didasarkan atas keresmian VCD. Beberapa judul VCD WCB yang diperjualbelikan di pasaran diproduksi secara tidak resmi tanpa memiliki izin produksi sehingga dipilih 10 judul VCD WCB yang secara resmi diproduksi oleh Aneka dan Bali Record saja. Dalam penyediaan data metode simak dan cakap digunakan dalam penelitian ini. Sebagai sebuah metode penelitian bahasa, metode simak adalah pemerolehan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa dengan beberapa teknik dasar, seperti teknik sadap, teknik simak libat cakap, teknik simak bebas libat cakap, dan teknik catat (Mahsun, 2007:92--93). Dalam penelitian ini, data primer bahasa lisan permainan bahasa tokoh punakawan WCB diperoleh dengan menyimak dan mencermati sepuluh rekaman VCD WCB
38
berulang-ulang disertai dengan teknik catat dan teknik simak bebas libat cakap, selain mencatat data permainan bahasa yang ditemukan penyimakan rekaman ini dilakukan untuk menemukan sinopsis cerita setiap judul VCD. Dari keseluruhan bahasa verbal yang terdapat dalam rekaman pertunjukan WCB hanya data lisan permainan bahasa oleh tokoh-tokoh punakawannya yang ditranskripsi ke bentuk tulisan karena penelitian ini berfokus pada permainan bahasa tokoh punakawan WCB saja. Data permainan bahasa yang ditranskripsi ke bentuk tulisan diseleksi dan dipilih sampel data yang menarik dan mewakili setiap jenis permainan bahasa dalam dialog-dialog tokoh punakawan WCB dalam semua judulnya. Metode cakap digunakan dalam mewawancarai dalang dengan teknik pancing untuk memperoleh darimana dan bagaimana dalang WCB mendapat ide atau gagasan dalam permainan-permainan bahasanya. Di samping itu juga dalam mewawancarai masyarakat untuk memperoleh pandangannya terhadap permainan bahasa tokoh punakawan dalam WCB.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Sebelum dianalisis, sampel data permainan bahasa tokoh punakawan diolah dengan mengecek semua sampel data permainan bahasa yang sudah disediakan sebelumnya berdasarkan konsep permainan bahasa yang digunakan. Kemudian dikelompokkan sesuai dengan masalah dan teori yang diaplikasikan. Dalam
pengolahan
data
ini
sampel
data
diklasifikasikan
menurut
pengklasifikasian jenis permainan bahasa untuk memudahkan pengujian hipotesis.
39
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis bersifat deskriptif dengan menggunakan metode padan, yakni metode analisis yang alat penentunya ditunjukkkan oleh bahasa itu sendiri atau referen bahasa (Sudaryanto, 1992:13). Referen atau apa yang dibicarakan ditentukan identitasnya sesuai dengan standar atau pembaku dalam menentukan keselarasan, kesesuaian, kesepadanan. Metode padan ini dilakukan dengan teknik pilah unsur penentu, yakni memilah data sesuai dengan jenis penentu yang akan dipisah-pisahkan atau dibagi menjadi beberapa kategori sehingga disebut daya pilah referensial. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data ini adalah sebagai berikut. a. Menganalisis bentuk-bentuk permainan bahasa dengan memilah struktur, pola, dan konstruksi yang ditemukan. Pemilahan ini disesuaikan dengan standar penyepadanan referen, yakni adanya unsure manipulasi bunyi dan leksikal, manipulasi dengan variasi kode dan kekreativan gaya bahasa kemudian setelah menemukan bentuk permainan bahasa dengan konstruksi secara umum, bentuk-bentuk ini dianalisis lagi secara spesifik dengan memilah-milah konstruksi dalam satu jenis bentuk sehingga ditemukan pengelompokan variasi bentuk yang lebih spesifik dengan menggunakan teori konstruksi Goldberg (2006). b. Menganalisis fungsi data permainan bahasa dengan teori fungsi bahasa Leech (1977), yakni didahului dengan mengumpulkan bentuk permainan bahasa yang memiliki fungsi sama, memiliki fungsi ekspresif saja, atau informatif saja, atau kombinasi beberapa fungsi yang dipaparkan Leech
40
(informatif, ekspresif, direktif, estetik, dan phatik) kemudian dibandingkan dan dihubungkan sehingga menghasilkan pengklasifikasian fungsi sosial. c. Menganalisis nilai-nilai makna sosial data permainan bahasa dengan teori semiotik
sosial
menggunakan
metode
padan
referensial
dengan
membandingkan referen-referen dengan konsep analogi dan interpretasi, kemudian disepadankan dengan cakupan makna yang harus ada dalam sebuah tuturan, yakni makna pengalaman, makna antarpelibat, makna logis, dan makna tekstual yang diajukan oleh Halliday (1978) sehingga menghasilkan beberapa nilai makna sosial yang berhubungan dengan kepercayaan atau ideologi dan kebiasaan masyarakat Bali. d. Menginterpretasi kaitan imajeri masyarakat Bali dengan leksikal-leksikal yang digunakan dalam memformulasikan permainan bahasa oleh tokoh punakawan WCB dalam bentuk, fungsi, dan kemaknaan data dengan daya pilah mental.
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Dalam metode penyajian hasil analisis penelitian ini digunakan metode formal dan informal. Metode formal menurut Arikunto (1989:196) adalah penyajian data berupa tabel, grafik, diagram, gambar, dan sebagainya. Dalam penelitian ini metode formal digunakan dalam menyajikan data bentuk permainan bahasa tokoh punakawan WCB dengan diagram, khususnya penyajian data permainan bahasa berdasarkan bahasa bersifat pelesetan dan figuratif.
41
Metode informal adalah cara penyajian hasil pengolahan data dengan menggunakan kata-kata atau kalimat sebagai sarana (Sudaryanto, 1992:64). Metode informal dalam penelitian ini digunakan untuk menyajikan interpretasi dan analisis terhadap paradigma bentuk, fungsi, dan makna dengan penggunaan kata-kata atau kalimat.
42
BAB IV BENTUK PERMAINAN BAHASA TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK
4.1 Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB dalam Bentuk Pelesetan Bahasa Bentuk permainan bahasa tokoh punakawan WCB banyak ditemukan dalam pelesetan. Penggunaan permainan bahasa berjenis pelesetan ternyata telah dikenal dalam budaya berbahasa masyarakat Bali sejak dahulu. Hal ini tampak dalam kekreatifan berbahasa yang sering disebut dengan bladbadan. Masyarakat Bali terutama zaman dahulu sangat sering menggunakan sinonim dari bladbadan yang dihasilkan sebagai pelesetan bentuk kata yang diasosiasikan dengan bentuk tandingannya (bentuk yang sebenarnya ingin diungkapkan). Fenomena bahasa Indonesia yang semarak dengan bahasa pelesetan pada dekade ini juga mengambil andil dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang selalu mengikuti gejala bahasa yang terjadi dalam masyarakat, khususnya pada data yang menggunakan bahasa Bali dengan variasi kode sehingga ditemukan banyak data pelesetan bahasa yang digunakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 845) dijelaskan bahwa ”pelesetan” berasal dari kata ”peleset” yang artinya tidak mengenai sasaran atau tidak mengenai apa yang dituju. ”Memelesetkan” berarti membuat sesuatu di luar yang sebenarnya, dan ”pelesetan” berarti hasil memelesetkan. Kendatipun secara teoretis pelesetan dimaknai sebagai sesuatu
43
yang menyimpang dari sasaran, secara empirik substansi yang dikemukakan dalam banyak pelesetan sesungguhnya cukup menukik dan identik dengan substansi bentuk awalnya. Misalnya, pelesetan produk masyarakat ASMI (Akademi Sekretaris Manajer Indonesia) dipelesetkan menjadi Akademi Santapan Manajer Indonesia. Dalam pelesetan kepanjangan akronim ASMI, substansi ’Sekretaris’ pada bentuk kepanjangan awal dipelesetkan dengan menggantinya menjadi ’Santapan’ yang identik terhadap fenomena sosial yang banyak terjadi pada bos ataupun manajer yang tertarik dengan sekretarisnya sehingga disebut menjadi santapan manajer. Sibarani (2002) membagi tujuh jenis pelesetan berdasarkan tingkat kebahasaannya, yakni pelesetan fonologis, pelesetan grafis, pelesetan morfemis, pelesetan frasal, pelesetan kalimat, pelesetan ideologis, dan pelesetan wacana (diskursi). Dalam penelitian ini ditemukan jenis-jenis pelesetan menurut Sibarani, kecuali jenis pelesetan frasal dan pelesetan wacana. Pelesetan frasal, yakni pelesetan kelompok kata dengan cara menjadikannya sebagai singkatan berupa akronim. Misalnya frasa ‘botol lampu’ dipelesetkan menjadi ‘Bodoh TOLol LAMbat PUla’ (Sibarani, 2004: 97). Pelesetan merupakan salah satu bentuk linguistik yang strukturnya tidak biasa (unusual pattern) dan untuk menentukan bentuk-bentuknya dapat dianalisis dengan teori konstruksi Goldberg (2006). Dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB berjenis pelesetan, bentuk pelesetan fonologis yang paling banyak ditemukan.
44
4.1.1 Bentuk Pelesetan Fonologis Sibarani (2004:95) menyebutkan pelesetan fonologis (bunyi), yakni pelesetan sebuah fonem atau lebih dalam leksikon. Misalnya pada data SI 3b yang merupakan bentuk pelesetan fonologis atau bunyi pada sebuah kata /emosi/ yang dipelesetkan dengan /erosi/ berikut ini. SI 3b (01 :34) Sukir
:
Tualen : Sukir :
/ratu p↔rand↔ jaNan erosi/ ‘Ratu Peranda jangan erosi !’ /emosi/ ‘emosi!’ /eh a↔ emosi/ ‘oh iya emosi’
Bentuk emosi mengalami pemelesetan secara langsung menjadi erosi dengan perubahan bentuk kata secara kontraksi atau perubahan fonem /m/ menjadi /r/. Konstruksi pelesetan ini terbentuk dari berubahan bentuk kata akibat terjadinya perubahan bunyi. Bentuk emosi dan erosi memiliki bunyi yang mirip. Namun, dengan perubahan salah satu fonemnya, yakni fonem /m/ menjadi fonem /r/ menyebabkan makna kedua bentuk tersebut sangat jauh berbeda. Konstruksi perubahan bentuk yang terjadi dengan pelesetan sebuah kata dengan kata lainnya yang memiliki bentuk atau bunyi mirip segera merekonstruksi imajeri pendengar dan menghasilkan efek-efek yang menyebabkannya tertawa karena tersadar adanya penyimpangan dari bentuk konvensionalnya. Efek-efek inilah yang menjadi acuan utama dari konstruksi permainan bahasa. Data LMur 9b berikut ini juga memperlihatkan bentuk pelesetan fonologi. Sangut : Delem : LMur 9a Sangut :
/oh m↔g↔ndiN bebas/ ‘oh… lagu bebas…’ /bebas/ Bebas ! /↔mpop dadi/ Empop boleh?
45
Delem
:
Sangut Delem Sangut Delem Sangut Delem
: : : : : :
/NoraN pop gen ↔mpop pop/ me nyebut POP saja EMPOP POP!!’ /o pop/ ‘O… Pop ?’ /bebas pop bebas/ ‘Bebas! Pop bebas!’ /rok/ ‘Rock ?’ /bebas/ ‘bebas!!’ /jas/ ‘Jas ?’ /g↔g↔ndinN ap↔ soroh p↔NaNgo soroh pakaian ne suwud pop rok jas jess / ‘lagu apa berjenis pakaian? Setelah pop, rok, jas… jezz!!!
Pada data di atas terjadi konstruksi pelesetan sebuah kata dengan memelesetkan bunyi /pop/ menjadi /↔mpop/ dengan penambahan fonem /↔/ dan /m/ pada awal kata dan dilanjutkan dengan pelesetan bunyi /jes/ dari kata ‘jezz’ menjadi /jas/. Kata-kata itu seolah-olah menyebutkan nama-nama pakaian, yakni rok (jenis pakaian bawah wanita), jas (jenis pakaian pria), dan pop (jenis celana pendek di bawah lutut untuk wanita). Konstruksi pelesetan ini akan membawa imajeri pendengar terhadap jenis-jenis pakaian dan menyandingkannya dengan jenis-jenis musik yang bentuk lingualnya memiliki bunyi yang mirip dengan pelafalan jenis-jenis pakaian tersebut. Jenis data pelesetan /jes/ menjadi /jas/ memiliki bentuk yang sama dengan pelesetan /emosi/ menjadi /erosi/ yang dihasilkan dari proses perubahan atau pergantian fonem (kontraksi). Data DRT 15 juga merupakan bentuk pelesetan fonologis dengan proses perubahan bentuk karena perubahan fonem, yakni pada sebuah kata /m↔ntul/ yang dipelesetkan dengan /b↔ntul/ berikut ini. DRT 15a Delem Nyoman Delem
: : :
biru/ ‘rokok biru’ /napi punik↔/ ‘apa itu?’ /ane m↔ntul tunas titiyaN/ ‘yang menonjol aku minta’ /roko
46
Konsep awal pelesetan adalah terjadinya penyimpangan dari sasaran atau ide awal. Ide awal yang dimaksud tokoh Delem adalah bentuk kata /m↔ntul/. Namun, dengan terlebih dahulu menggunakan bentuk permainan bahasa yang dikenal dengan bladbadan, tokoh Delem memelesetkan kata yang seharusnya dikatakan /m↔ntul/ menjadi /b↔ntul/ yang sebelumnya dihasilkan dari pengutaraan bladbadan /roko biru/. Pengutaraan frasa roko biru sebenarnya digunakan untuk mengurangi kesan vulgar atau jorok kata /m↔ntul /. Namun, pada dialog tokoh punakawan di atas, Delem tetap mengutarakan bentuk yang ingin diutarakan dari permainan frasa roko biru dengan membuat seolah-olah lawan tutur tokoh Delem tidak mengerti dengan maksud Delem sehingga ia bertanya kembali apa maksudnya. Tokoh Delem menjawab dengan bentuk sebenarnya dari permainan kata-katanya untuk efek melucu dan dengan tujuan yang bersifat reseptif tokoh punakawan WCB menggiring imajeri penonton untuk membandingkan hasil bentuk permainan kata-katanya /b↔ntul/ ‘Bentoel’ yang merupakan sinonim bladbadan roko biru dengan /m↔ntul/. Bladbadan adalah sebuah bentuk frasa atau kalimat untuk menyatakan atau mengacu bentuk lingual tertentu dan mengalami perubahan atau pemuluran (Ginarsa, 1985). Pemuluran dan perubahan bentuk terjadi dengan pemuluran bunyi atau penambahan bunyi fonem. Untuk menyebutkan kata /m↔ntul/ yang dalam imajeri masyarakat Bali diasosiasikan
dengan
alat
vital
atau
kemaluan
wanita,
memelesetkannya dengan mencari kata yang bunyinya
tokoh
Delem
mirip, yakni kata
/b↔ntul/ 'Bentoel' yang diperoleh dari /m↔roko biru/ yang merupakan lebel rokok
47
berwarna kemasan biru yang terkenal dengan sebutan ‘Bentoel Biru’. Ide bentuk awal
/m↔ntul/ dipelesetkan
dengan
frasa
yang
mengacu
pada
bentuk
/b↔ntul/ mengalami proses penggantian fonem /m/ menjadi /b/ yang sama-sama
tergolong bilabial. Bentuk /b↔ntul/ 'Bentoel' merupakan sinonim bladbadan maroko biru. Saat menyebut bentuk /m↔ntul/ tokoh Delem
mengonstruksi
imajeri pendengar, membangkitkan dan mengembangkan imajerinya dan mencaricari bentuk yang memiliki bunyi yang mirip dengan bentuk sandingannya /m↔ntul/ yang berkaitan atau bersinonim dengan maroko biru dan segera
menemukan bentuk sinonim tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman atau pengetahuannya. Contoh data SAB 11a juga menjadi bentuk permainan bahasa yang menarik, yakni kata /boNol/ yang dipelesetkan menjadi /beNol/ yang merupakan satuan uang dengan nomina dua setengah sen dalam bahasa Bali. SAB 11a Sangut : Delem : Sangut :
/kupiN duaN sen t↔Nah / ’ telinga dua setengah sen’ /eNken / ‘bagaimana?’ /beNol / ‘bengol: dua setengah sen’
Ide awal yang diungkapkan tokoh Sangut adalah menyebut telinga Delem yang bongol ‘tuli’. Akan tetapi, dipelesetkan menjadi bentuk bengol yang merupakan sinonim bladbadan ‘duang sen tengah’. Bentuk bengol yang diutarakan tokoh Sangut merujuk pada kata yang mirip dengan bentuk lingual yang dimaksud bongol dengan pemelesetan bunyi /o/ menjadi /e/. Sinonim bladbadan duang sen tengah, yakni /beNol/ diasosiasikan dengan bentuk /boNol/ karena bunyinya yang mirip. Penyebutan langsung sinonim bladbadan kuping duang sen tengah, yakni
48
/beNol/ mengonstruksi imajeri pendengar dengan mencari bentuk tandingan yang memiliki bunyi mirip dengan sinonim bladbadan tersebut. Tentunya imajeri masyarakat akan langsung dapat menangkap maksud yang sebenarnya diacu, yakni /bongol/ ‘tuli’ yang memiliki bunyi mirip karena berhubungan secara logis dengan kuping ‘telinga’. Bladbadan kerap kali digunakan oleh masyarakat Bali (terutama pada zaman dahulu) dengan cara menyebutkan referen berbeda untuk maksud yang berbeda, tetapi kedua hal berbeda tersebut memiliki bentuk linguistik yang hampir sama. Berikut ini adalah tabel-tabel yang memperlihatkan beberapa contoh data yang diperoleh dari permainan bahasa bentuk pelesetan fonologis dengan proses pembentukan secara kontraksi atau pergantian fonem. Tabel 4.1 Pelesetan Bunyi dengan Proses Kontraksi (Perubahan Fonem) No Data SAB 10a
Konstruksi Pelesetan Langsung
LM 22
Pelesetan Langsung
LMur 9b SI 2
Pelesetan Langsung Pelesetan Langsung
Proses Pembentukan
Bentuk Awal
Bentuk Pelesetan
fonem fonem lain /i/ Æ /a/ fonem fonem lain /p/ Æ /m/
/panc↔ sil ↔/ o-poco/
moco/
fonem fonem lain /e/ Æ /a/ fonem fonem lain
‘jezz’ /jes/
/jas/
/sakir/
/sukir/
/emosi/
/erosi/
/panc↔ sal↔/
/s↔nam poc /s↔nam moco-
/a/ Æ /u/ SI 3b
Pelesetan Langsung
fonem fonem lain /m/ Æ /r/
49
Tabel 4.2 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Kontraksi No Data DRT 15a SAB 11a SAB 11b
Konstruksi
Bentuk Sinonim
Bladbadan + sinonim /b↔ntul/ Meroko biru Æ‘Bentoel’ Bladbadan + sinonim /bengol/ Kuping duang sen tengah Æ Bengol Bladbadan + sinonim /pawae/ gigi keliling kota Æ pawai
Bentuk Tandingan
Proses Pembentukan Pelesetan
/m↔ntul/
fonem
fonem lain
/boNol/
fonem fonem lain /o/ Æ/e/
/pawah/
fonem fonem lain /h/ Æ /e/
/m/ Æ /b/
Contoh bladbadan juga terdapat pada pelesetan fonologis berbentuk penyisipan fonem /m/ pada kata /s↔prit/ ‘sprite’, yakni salah satu lebel minuman. Berikut ini adalah percakapan antara Delem dan Sangut saat Delem menyombongkan dirinya dengan bercerita tentang menu sarapannya sehari-hari. (16:38) SAB 6b
SAB 6c
Sangut : Delem : Sangut Delem Sangut Delem
: : : :
/ap↔ air minum ne / ‘apa air minumnya?’ /ak↔dis p↔tiNan poleN / ‘burung pipit berwarna hitam putih’ /ap↔ to / ‘apa itu?’ /↔ s↔mprit / ‘ee.. Semprit’ /s↔prit / ‘Sprite!’ /α↔ α↔ s↔prit / ’ya... ya... Sprite’
Semprit adalah nama kue yang terbuat dari tepung yang digoreng (Kamus BaliIdonesia, 1978: 516). Bladbadan /ak↔dis p↔tiNan poleN / ’burung sejenis burung Pipit yang berwarna hitam-putih’ bersinonim dengan burung yang dikenal masyarakat Bali dengan P↔rit yang biasanya dilafalkan /prit/. Bentuk awal yang ingin diungkapkan adalah minuman berlabel Sprite /s↔prit / yang dikenal masyarakat sebagai minuman bersoda berkadar ringan. Pada data permainan bahasa di atas tokoh Delem memelesetkan bentuk /s↔prit/ sebanyak dua kali.
50
Pertama, dengan menyebut bladbadan akedis petingan poleng yang bersinonim dengan /prit/. Kedua, dengan mendengar Delem memelesetkannya menjadi bentuk
s↔mprit secara
langsung
mengonstruksi
imajeri
pendengar
dan
mengasosiasikannya dengan bentuk Sprite /s↔prit / yang identik dengan minuman.
Penekanan bentuk tandingan Sprite /s↔prit / yang disebut Sangut untuk mengoreksi bentuk yang diucapkan Delem dapat membangkitkan imajeri masyarakat terhadap burung
/prit/ yang memiliki bunyi mirip dengan
/s↔prit /dengan pelesapan bunyi /s/ dan /↔/ ataupun bentuk /s↔mprit / dengan pemelesetan bunyi melalui proses penyisipan fonem /m/. Pemelesetan bunyi dengan penambahan atau penyisipan fonem juga terdapat dalam data TS 3d, yakni kata /p↔rigi / yang seharusnya /p↔rgi/. Pada data tersebut tokoh punakawan WCB menyebut bentuk kata pergi dengan pemelesetan menggunakan bladbadan /m↔titi batu/ ‘berjalan batu’ yang dalam budaya Bali jalan setapak yang terdiri atas batu-batu kerikil dikenal dengan sebutan perigi /p↔rigi/. Bentuk /p↔rigi/ diasosiasikan dengan kata pergi karena bunyinya yang mirip. Pemelesetan bunyi dengan terlebih dahulu menggunakan bladbadan dalam penyepadanan kata-kata yang memiliki bentuk mirip sebagai pelesetan cukup banyak ditemukan dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB, misalnya sebagai berikut. SAB 11b:
Bladbadan gigi keliling kota dianggap bersinonim dengan
pawai. Bentuk tandingannya baru bisa disadari pendengar setelah bentuk sinonimnya disebutkan, yaitu pawai dengan pelafalan /pawae/. Bentuk /pawae/
51
mengonstruksi imajeri pendengar untuk mencari bentuk tandingannya dan segera disadari menjadi suatu yang jenaka ketika bentuk tandingannya dikaitkan dengan gigi, yakni bentuk pawah ‘ompong’. Bentuk sinonim bladbadan diasosiasikan dengan bentuk awal atau bentuk tandingan yang dimaksud. Bladbadan yang secara kreatif diutarakan tokoh punakawan inilah digunakan untuk memelesetkan bentuk kata yang sebenarnya diacu, yakni kata /pawah/ yang memiliki bunyi mirip dengan /pawae/. Pada data ini terjadi proses kontraksi antara fonem /h/ dan /e/. SAB 11c: Bladbadan bok suba Airport Ngurah Rai ‘rambut sudah Airport Ngurah Rai’ digunakan dalam memelesetkan kata uban (rambut yang telah memutih). Airport Ngurah Rai berasosiasi dengan lokasi airport tersebut, yakni di daerah Tuban, dengan menyebut akan ke Tuban asosiasi masyarakat Bali sudah tertuju pada Airport Ngurah Rai. Dengan menyebut sinonim dari bladbadan tersebut, yakni Tuban pendengar langsung dapat mengetahui bentuk tandingannya dengan mengaitkan bok ‘rambut’ dengan hal-hal yang berkaitan dengan rambut yang memiliki bunyi mirip dengan tuban. Uban dipelesetkan dengan Tuban karena bunyinya yang mirip dengan penambahan fonem dental /t/ pada awal kata. LM 11: Bladbadan angkihne suba telung dasa lima (napasnya sudah tiga puluh lima). Sinonim telung dasa lima adalah sasur. Dengan mengaitkan sinonim bladbadan ini dengan angkihne ‘napasnya’ imajeri pendengar akan tertuju pada bentuk tandingan yang merupakan maksud awal yang sebenarnya ingin diungkapkan. Tokoh punakawan WCB memformulasikan permainan bahasa yang mengacu pada bentuk lingual yang menyerupai kata ngangsur. Bentuk telung
52
dasa lima digunakan dalam memelesetkan bentuk ngangsur (terengah-engah). Dengan terlebih dahulu menggunakan bladbadan yang sinonimnya diasosiasikan dengan bentuk awal atau bentuk tandingannya, kata sasur diasosiasikan dengan ngangsur. Bentuk sasur merupakan pelesetan kata ngangsur yang dipelesetkan dengan proses pelesapan awalan sengau atau nasal /N/ dan penambahan fonem /s/. TS 3c: Boreh kayu, yang bersinonim dengan cat digunakan untuk memelesetkan kata /p↔cat↔/ ‘dipecat’. Boreh adalah racikan rempah seperti lulur yang digunakan masyarakat Bali dengan melumurkannya pada tubuh untuk menghangatkan tubuh. Jika telah mongering, boreh akan berwarna putih seperti cat sehingga masyarakat Bali menganalogikan cat dengan boreh, tetapi bedanya cat digunakan untuk melumuri kayu. Kata /p↔cat↔/ ‘dipecat’ dipelesetkan dengan bladbadan boreh kayu yang bersinonim dengan kata /cat/ kemudian diasosiasikan dengan bentuk /p↔cat↔/ dengan pelesapan afiks pada awal dan akhir kata. TS 3e:
M↔odol Bali, yakni sisig yang kemudian digunakan sebagai
pelesetan kata sigsigan ‘terisak-isak’. Meodol berasal dari kata odol ‘pasta gigi’. Meodol berarti berodol atau berpasta gigi. Masyarakat Bali pada zaman dahulu menggunakan sisig ‘sugi atau tembakau’ untuk membersihkan giginya. M↔odol Bali berarti ‘berpasta gigi ala Bali’, yang bersinonim dengan sisig. Bentuk bladbadan ini digunakan untuk menyandingkan bentuk tandingan yang dimaksud, yakni kata /sigsigan/. Dengan menyebut bentuk tandingan /sigsigan/, bentuk tersebut mengonstruksi kembali imajeri masyarakat pada kata atau bentuk yang mirip dengan bunyi tandingannya. Imajeri pendengar berkembang hingga menemukan bentuk dengan bunyi yang mirip dengan bentuk tandingan /sigsigan/
53
yang terkait dengan bladbadan maodol Bali, yakni /sisig/ dan akhirnya menyadari sinonim bladbadan maodol Bali tersebut. Bentuk sigsigan dipelesetkan dengan hasil bladbadan M↔odol Bali ‘sisig’ yang mengalami pelesapan fonem velar /g/ pada tengah kata dan afiks –an pada akhir kata. Selain menggunakan bladbadan dalam membuat pelesetan bunyi, tokoh punakawan WCB juga banyak melakukan pemelesetan, baik kata maupun frasa, secara langsung dengan proses perubahan secara kontraksi (perubahan atau pergantian fonem), reduksi (pengurangan fonem dalam suatu kata), metatesis (perubahan
kata
karena
pertukaran
letak
fonem-fonemnya),
dan
adisi
(penambahan fonem). Data BM 19 merupakan pelesetan yang dibuat karena kebiasaan masyarakat Bali dalam melafalkan kata dengan melesapkan fonem /h/ di tengah, misalnya kata ngembahin ‘membuka’ biasanya akan dilafalkan /N↔mbain/, /siahan/ ‘belahan rambut’ akan dilafalkan /siaan/. Kata /balian-balian/ ‘dukundukun’ merupakan pelesetan dari kata balihan-balihan ‘tontonan-tontonan’ yang diutarakan tokoh Delem dalam permainan bahasanya berkaitan dengan kebiasaan masyarakat Bali dalam mengucapkan kata yang memiliki fonem /h/ pada tengah kata yang ternyata menimbulkan makna sangat jauh berbeda sehingga menimbulkan candaan yang menarik. BM 19 (47:56) Delem : /kayaN ne Nut kayaN kaka Nanten ne Nut bulan pituN dina j↔g balian-baliane undaN / ‘suatu saat Ngut, saat nanti aku menikah Ngut, satu bulan tujuh harinya dukun-dukun undang!’ Sangut : /nyen g↔l↔m / ‘siapa yang sakit?’ Delem : /nyen g↔l↔m / ‘siapa yang sakit?’ Sangut :/NudiaN NundaN balian-balian / ‘kenapa mengundang dukun- dukun ?’
54
Delem : /k↔s↔nianne ↔nto / ‘kesenian itu!!’ Sangut : /balih balihan j↔g balian balian ne / ‘tontonan! dukun-dukun…’ Dari contoh-contoh di atas ditemukan permainan bentuk pelesetan bunyi secara bertahap dan secara langsung. Pelesetan bunyi yang mengalami proses secara bertahap maksudnya sebelum terjadi perubahan bentuk kata atau frasa didahului dengan bladbadan yang berorientasi pada bentuk sinonimnya untuk disandingkan dengan bentuk tandingannya yang merupakan bentuk awal atau ide awal yang ingin disampaikan penuturnya. Sebaliknya, pelesetan secara langsung adalah pelesetan yang secara langsung diakibatkan oleh terjadinya perubahan bunyi kata atau frasa karena proses perubahan bentuk, seperti kontraksi, reduksi, metatesis, atau adisi. Beberapa contoh data permainan bahasa tokoh punakawan WCB berjenis pelesetan fonologis dengan pelesapan fonem dan penambahan fonem dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini. Tabel 4.3 Pelesetan Bunyi dengan Proses Reduksi (Pelesapan Fonem) No Data SAb 28 BM 19
Konstruksi Pelesetan Langsung /d/ Æ Ο Pelesetan Langsung /h/ ÆΟ
Proses Bentuk Awal Pembentukan Pelesapan /mata budaya/ fonem /d/ Pelesapan /balihanfonem /h/ balihan/
Bentuk Pelesetan /mata buaya/ /balian-balian/
Tabel 4.4 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Reduksi No Data LM 28a TS 3c
Konstruksi Bladbadan + sinonim luar negri tepuk Æ’Brazil’ Bladbadan + sinonim maboreh kayu Æcat
Bentuk Sinonim /brasil/ /cat/
Proses Pembentukan Pelesetan ‘berhasil’ Pelesapan fonem /b↔rhasil/ /↔/ dan /h/ ‘pecata’ Pelesapan fonem /p↔cat↔/ /p/ dan /↔/ Bentuk Tandingan
55
TS 3d SAB 6c
Bladbadan + sinonim maodol Bali ÆSisig Bladbadan + sinonim akedis petingan polengÆPerit
/sisig/
/sigsigan/
/prit/
‘sprite’/s ↔prit/
Pelesapan fonem /g/, /a/ dan /n/ Pelesapan fonem /s/ dan /↔/
Tabel 4.5 Pelesetan Bunyi dengn Proses Adisi (Penambahan/Penyisipan Fonem) No Konstruksi Data SAB 2c Pelesetan Langsung SAB Pelesetan Langsung 2d SAB 3a Pelesetan Langsung KL 8b
Pelesetan Langsung
LMur 9a
Pelesetan Langsung
BM 21a
Pelesetan Langsung
Proses Pembentukan Penyisipan fonem /u/ Penyisipan fonem /u/ Penyisipan fonem /l/ dan /o/ Penyisipan fonem /a/ Penambahan fonem /↔/ dan
Bentuk Awal /bwah/ /swah/ Beliau /b↔lio/
Bentuk Pelesetan buah ‘buah’ /buwah/ Suah ‘sisir’ /suwah/ /b↔lilalo/
/pon/
/paon/
/pop/
/↔mpop/
/m/
Penambahan fonem /k/
Kak Angku /kak aNkuk/ /kak aNku/
Tabel 4.6 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Adisi (Penambahan/Penyisipan Fonem) No Data SAB 8b SAB 11c
Konstruksi Bladbadan + sinonim Sembilan satu Æ sepuluh Bladbadan + sinonim Bok suba Airport Ngurah Rai Æ Tuban
Bentuk Sinonim
Bentuk tandingan
/s↔puluh/
/s↔uluh/
/tuban/
/uban/
Proses Pembentukan Pelesetan Penyisipan fonem /p/ Penambahan fonem /t/
Telah disebutkan sebelumnya dalam memelesetkan kata atau frasa secara fonologis tokoh punakawan WCB juga menggunakan permainan dengan menukar posisi fonem dalam satu kata atau frasa dalam membentuk kata atau frasa lain
56
sebagai pelesetan dari bentuk awalnya. Perubahan bentuk kata menjadi bentuk lain yang dipelesetkan dengan pergantian posisi fonem dapat dilihat pada data KN 2 berikut ini. (37:45) Sangut
Delem Sangut Delem
Sangut Delem
: /to liu baroN di pasar di sukawati siN ad↔ nak maktinin/ ‘itu ada banyak barong di pasar Sukawati tidak ada orang yang menyembah’ : /adi siN ad↔ / ‘mengapa tidak ada?’ : /to nak baroN kal m↔ad↔p / ‘itu barong yang akan dijual’ : /sub↔ lantas m↔b↔li baroNe to ab↔ ↔ k↔ pur↔, pas upati ↔ to madan sakral/ ‘setelah dibeli barong itu akan dibawa ke pura, disucikan, itu namanya sakral’ : /saklar/ ‘saklar?’ : /sakral saklar…/ ‘sakral!! saklar….’
Memelesetkan kata dengan bentuk menukar posisi dua fonem yang memiliki fitur distingtif yang sama seperti pada /saklar/ dan /sakral/ menjadi permainan bahasa yang cukup menghasilkan wacana candaan yang menarik. Segmen alir /l/ dan /r/ memiliki fitur yang sama, yakni /+lateral/ sehingga dalam pengucapannya, banyak masyarakat yang sering salah ucap dan bisa dijadikan lelucon. Tabel 4.7 Pelesetan Bunyi dengan Proses Metatesis (Pertukaran Fonem) No Data KN 2
Konstruksi Pelesetan Langsung
Proses Pembentukan Pertukaran fonem /l/ dan /r/
Bentuk Awal /sakral/
Bentuk Pelesetan /saklar/
Pada data permainan bahasa bentuk pelesetan juga ditemukan proses pembentukan perubahan kata yang terjadi karena lebih dari satu proses. Data LM 11 berikut ini memperlihatkan bentuk pelesetan secara bertahap dengan terlebih
57
dahulu melalui bladbadan kemudian proses perubahan bentuknya terjadi, baik secara adisi maupun reduksi secara bersamaan. LM 11 Tualen Mredah Tualen
: /waduh k↔puN↔ nanaN teluN das↔ lim↔ aNkihe/ ‘waduh ayah dikejar hingga napas tiga puluh lima’ : /eNken/ ‘bagaimana ?’ : /NaNsur/ ‘terengah-engah’
Bladbadan /teluN das↔ lim↔ aNkihe/ mengacu pada bentuk ide awal ngangsur ‘terengah-engah’ yang memiliki bunyi yang mirip dengan sasur yang merupakan satuan nomina dari tiga puluh lima atau telung dasa lima. Bentuk /NaNsur/ dipelesetkan menjadi /sasur/ dengan proses kontraksi penyisipan fonem /s/ pada tengah kata dan proses adisi dengan pelesapan fonem sengau /N/ pada awal kata dan tengah kata. Tabel 4.8 Pelesetan Bunyi Sinonim Bladbadan dengan Proses Penyisipan dan Pelesapan Fonem No Data LM 11
Konstruksi Bladbadan + sinonim Angkihne telung dasa lima Æsasur
Bentuk Sinonim /sasur/
Bentuk Proses Pembentukan Tandingan Pelesetan Penyisipan fonem /s/ /NaNsur/ Pelesapan fonem /N/
Data KL 8a juga memperlihatkan proses perubahan bentuk dengan terlebih dahulu melalui bladbadan yang mengakibatkan terjadi proses penyisipan dan metatesis. KL 8a Tualen
: /nanaN siN Nawag Nawag Nardi panak m↔kere nanaN Nardi pianak ke griya nanaN taNkil/ ‘ayah tidak seenaknya membuat anak, ke gria ayah datang’
58
Mredah Tualen
: /ap↔ alih/ ‘ apa dicari di sana?’ : /sugr↔ titiyaN ratu p↔rand↔ keto nanaN ih cai malen ap↔ alih mai ap↔ ad↔ p↔luru eh p↔rlu keto ida / ‘“Maaf Ratu Peranda”, begitu Ayah. “Eh kamu Malen, apa yang kamu cari ke sini? Ada peluru? Eh… perlu?” begitu beliau’
Pada data permainan bahasa di atas bentuk perlu dipelesetkan secara langsung menjadi peluru dengan penyisipan fonem /u/ dan penukaran fonem alir /l/ dan /r/ dalam satu kata yang menghasilkan wacana pelesetan yang menarik. Tabel 4.9 Pelesetan Bunyi dengan Penyisipan dan Metatesis No Data KN 2
Konstruksi Pelesetan Langsung
Proses Bentuk Pembentukan Awal Pertukaran fonem /perlu/ /l/ dan /r/ Penyisipan fonem /u/
Bentuk Pelesetan /peluru/
4.1.2 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Singkatan Pelesetan kepanjangan singkatan adalah pelesetan gabungan huruf yang merupakan singkatan yang sudah umum dan mengalami pemelesetan pada kepanjangan aslinya atau gabungan huruf yang dibuat sendiri dengan menjadikannya seolah-olah sebagai singkatan dan membuat kepanjangan baru. Misalnya, gabungan huruf ABG dipelesetkan menjadi ‘Anak Baru Gede’ (Sibarani, 2004: 96). Hasil akhir pelesetan ini hampir sama dengan singkatan (abbreviation) atau akronim, tetapi perbedaannya terletak pada proses pembentukannya. Pelesetan pada umumnya gabungan hurufnya telah lebih dahulu ada, kepanjangannya dipelesetkan dari kepanjangan yang sebenarnya. Namun, banyak pula masyarakat mengkreasikan gabungan huruf sendiri dan memberi kepanjangannya sendiri untuk sekadar melucu atau mengungkapkan emosi
59
penuturnya. Bentuk pelesetan kepanjangan ini diklasifikasikan menjadi dua, yakni pelesetan singkatan umum dengan kepanjangan baru dan bentuk pelesetan singkatan yang dibuat sendiri dengan kepanjangan baru. Contoh pelesetan umum dengan kepanjangan baru dapat dilihat pada data Data LM 18 dan LM 1b LM18 (47 : 43) Sangut : Delem Sangut Delem Sangut
: : : :
/Nud↔ Nalih cewek ↔mpuk / ‘ mengapa mencari cewek empuk?’ /ane b↔tul to / ‘yang betul itu?’ /cewek pe ka ka / ‘cewek PKK’ /pe ka ka to/ ‘PKK itu?’ /pad↔t k↔nt↔l k↔s↔t / ‘Padat Kental Keset’
Kepanjangan asli dari PKK adalah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Namun, tokoh Sangut membuat kepanjangan baru yang tetap menukik atau identik dengan bentuk awalnya. Singkatan PKK biasanya digunakan mengikuti kata ‘ibu’ atau ‘ibu-ibu’ (ibu PKK, ibu-ibu PKK). Kata ibu dan cewek berkelas kata sama, yakni feminim sehingga saat pertama kali mendengar Sangut menyarankan Delem agar mencari cewek PKK, penonton akan menangkapnya sebagai cewek sekelas ibu-ibu atau ‘wanita berumur yang telah menikah’. Namun, setelah pelesetan kepanjangan PKK dijelaskan oleh Sangut dengan bentuk kepanjangan berupa kumpulan kata Pad↔t, K↔nt↔l, K↔s↔t, tentunya menimbulkan makna yang berbeda, yang identik dengan ‘wanita yang baru menginjak remaja’ sehingga bentuk tersebut menjadi wacana humor yang segar dan menarik. LM 1b Tualen
: /tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk m↔n siN maan
60
rabuk t↔lah hukume siN nyak mokoh, Nl↔mah hukume nagih rabuk te es pe Te es pe : tombok suwap p↔licin / ‘ya memang sekarang hukum sering minta dipupuk, jika tidak mendapatkan pupuk, hukum tidak
akan subur. Sering kali hukum minta rabuk TSP. TSP: Tombok, Suap, Pelicin’ TSP yang merupakan salah satu lebel pupuk buatan dengan kepanjangan asli Tri Super Phospat dikenal masyarakat sebagai pupuk perangsang cepat tumbuhnya calon bunga atau buah pada tanaman dipelesetkan kepanjangannya dengan Tombok, Suap, Pelicin yang diidentikkan sebagai media untuk merangsang para penegak hukum agar jalannya proses hukum berjalan dengan cepat dan lancar. Bentuk permainan bahasa berjenis pelesetan memang menimbulkan hal tak terduga, seperti singkatan SGM, salah satu lebel susu bayi yang kepanjangan aslinya Susu, Gula, Madu dipelesetkan dengan kepanjangan yang telah umum diketahui masyarakat Bali, yakni Sinting Gila Mengong (orientasi negatif). Namun, tanpa diduga tokoh Sangut memelesetkan kembali pelesetan yang telah dikenal tersebut dengan pelesetan yang kepanjangannya lain dengan orientasi yang positif. Sangut :
Delem
:
Sangut :
Delem : Sangut :
/ye mawinan adan kur↔n caNe buk etik wireh panak caNe ne k↔lihan ni luh putu etik prasista sita dewi niNrat prasti niNrum es ge em/ ‘ye… penyebab nama istriku buk Etik karena anakku yang paling besar Ni Luh Putu Etik Prasista Sita Dewi Ningrat Prasti Ningrum SGM’ /meh ratu j↔g m↔kudus buNut ci e nyen nyen/ ‘meh… Ratu jeg berasap mulutmu, siapa? siapa?’ /ni luh putu etik prasista sita dewi niNrat prasti niNrum es ge em/ ‘Ni Luh Putu Etik Prasista Sita Dewi Ningrat Prasti Ningrum SGM’ /es ge em to ap↔ / ‘SGM itu apa?’ /siNkatan/ ‘singkatan’
61
SI 10b
Delem : SGM ? Sangut : Santai Gaul Melankolis Contoh bentuk pelesetan kepanjangan singkatan umum pada permainan
bahasa tokoh punakawan WCB dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.10 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Singkatan Umum No Data DRT 1 LM 1b LM 18 GA 5b SI 10b
Proses Pembentukan/Contoh
Bentuk Awal
Bentuk Pelesetan
/angka/ /huruf/ Æ Kepanjangan (kumpulan kata), Contoh: 5M Kumpulan huruf Æ kepanjangan (kumpulan kata) Contoh: TSP Kumpulan huruf Æ kepanjangan (kumpulan kata) Contoh: PKK Kumpulan huruf Æ kepanjangan (Frasa) Contoh: STMJ Kumpulan huruf Æ kepanjangan (kumpulan kata) Contoh: SGM
Madat, Main, Madon, Minum, Maling Tri Super Phospat
Minum, Mabuk, Muntah, Mencret, Mati Tombok, Suap, Pelicin
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Susu Telor Madu Jahe
Padet, Keset
Susu Madu
Kentel,
Sembahyang Taat Maksiat Jalan
Gula Santai, Gaul, Melankolis
Dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB berjenis pelesetan kepanjangan singkatan umum ditemukan tiga bentuk variasi yakni (1) kumpulan huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang berupa kumpulan kata, seperti PKK; (2) kumpulan huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang berupa frasa, seperti STMJ; (3) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut jumlah huruf yang sama tersebut dengan angka di awal dengan kepanjangan berupa kumpulan kata, seperti 5M. Selain memelesetkan kepanjangan singkatan yang telah ada sebelumnya atau yang telah umum diketahui masyarakat dalang WCB juga membuat bentuk
62
singkatan sendiri dengan kepanjangan buatan sendiri juga, misalnya pada data SAB 4 Tokoh Sangut menyebut singkatan baru TKO dengan kepanjangan Tenaga Kurang Optimal yang maksudnya hampir sama dengan singkatan bahasa Inggris KO dalam bidang olahraga tinju berkepanjangan knockout yang berarti pukulan yang membuat seseorang tidak berdaya atau identik dengan kekalahan. SAB 4 Delem Sangut Delem Sangut Contoh
: / jani b↔ Nut ram↔ dew↔ akan hancur/ ‘saat inilah Ngut…Rama Dewa akan hancur’ : /ram↔ dew↔ akan TKO / ‘Rama Dewa akan TKO’ : / TKO to / ’TKO itu?’ : Tenaga Kurang Optimal beberapa
singkatan
gabungan
huruf
buatan
sendiri
dengan
kepanjangannya yang dibuat sendiri juga dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.11 Pelesetan Kepanjangan Singkatan Buatan Sendiri No Data SAB 4 SAB 8a KN 8a LMur 4b BM 1a BM 28b
Bentuk/ Contoh Kumpulan huruf Ækepanjangan (frasa) contoh: TKO /Huruf/ /angka/Æ Kepanjangan (klausa) contoh: A3 Kumpulan huruf Æ kepanjangan (klausa) Contoh: ABCD Kumpulan huruf Ækepanjangan (frasa) Contoh: ABCD /angka/ /huruf/ Ækepanjangan (kumpulan kata) Contoh: 3O Kumpulan huruf Ækepanjangan (kumpulan kata) Contoh: MPP
Kepanjangan Tenaga Kurang Optimal
Apa Ada Amah
Anak Bali Cinta Damai
Awak Badeng Sengeh Dedet
Otak, Otot, Ongkos
Mati Pelan-Pelan
63
Dari beberapa contoh data di atas yang mewakili bentuk-bentuk pelesetan buatan sendiri beserta dengan kepanjangannya terdapat empat bentuk ditemukan, yakni (1) kumpulan huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang berupa frasa, seperti TKO; (2) kumpulan huruf berbeda dengan menyebutkan urutan huruf sesuai dengan urutan kepanjangannya yang berupa klausa, seperti ABCD Æ Anak Bali Cinta Damai; (3) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut jumlah huruf yang sama tersebut dengan angka di awal dengan kepanjangan berupa kumpulan kata, seperti 3O; (4) kumpulan beberapa huruf yang sama dengan menyebut jumlah huruf yang sama tersebut dengan angka di akhir dengan kepanjangan berupa klausa, misalnya A3.
4.1.3 Bentuk Pelesetan Kepanjangan Akronim Pelesetan kepanjangan akronim adalah pelesetan sebuah kata dengan cara menjadikan atau menganggapnya sebagai singkatan berupa akronim, misalnya kata atau nama Agus diplesetkan menjadi ‘Agak GUndul Sedikit’. Akronim merupakan kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis atau dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah fonotaktik bahasa bersangkutan (Kridalaksana, 2008:5). Contoh permainan bahasa dengan pelesetan kepanjangan akronim ini dapat dilihat pada data DRT 2 dan SAB 6a yang memelesetkan kepanjangan akronim Narkoba dan Sabu. Data DRT 2 dan SAB 6a cukup kreatif karena substansi kata dan pelesetan yang dimaksud memiliki korelasi. Akronim Narkoba dan pelesetan
64
kepanjangan NAsi Rawon KOah BAkso merupakan substansi yang sama-sama berhubungan dengan mulut, yakni benda yang umumnya dikonsumsi dengan memasukkannya ke dalam mulut (dimakan) ‘ngamah’. Proses dan korelasi yang sama juga terdapat pada ‘Sabu’ dan ‘Sarapan Bubur’. Walau korelasi antara substansi kata dan pelesetannya berkaitan, yakni berjenis ‘makanan’, tetap saja kembali pada konsep pelesetan ‘menyimpang dari sasaran’. Narkoba dan sabu yang berkonotasi negatif, dipelesetkan dengan kepanjangan yang berkonotasi positif dan menyehatkan. (25 :60) DRT 2 Tualen
Mredah Tualen
(16:38) SAB 6a
Delem
:
/το δαϕαν υμαηε, bilaN wai y↔ Namah narkoba sit↔N j↔ y↔ / ‘itu yang di sebelah Utara rumah, setiap
: :
hari dia makan narkoba, kuat dia’ /narkoba/ ‘Narkoba?’ /a↔ nasi rawon koah bakso/ ‘iya, Nasi Rawon Kuah Bakso’
:
/τ↔κ↔ κυρ↔ναν κακ↔ βυ ερικ Ναβ↔ σαβυ/
Sangut : Delem :
‘datang istriku Bu Erik membawa sabu’ /σαβυ το / ‘sabu itu?’ /sarapan bubur μισι βε σιτσιτ σιτ σιτ σιτ/ ‘Sarapan Bubur berisi daging suwir, wir…wir…wir…’
Data Lmur 8c berikut ini juga menunjukkan pelesetan kepanjangan akronim yang berkorelasi antara makna akronim yang sebenarnya dengan pelesetan kepanjangannya. Tualen
Mredah Tualen Mredah Tualen
: /…. kelan nanaN Norang b↔b↔dikin cai Nalih baraN baNka, paN d↔ nyanan k↔n↔ sakit AIDS/ ‘kan ayah sudah katakan jangan kamu mencari pelacur, agar tidak terkena penyakit AIDS nanti’ : /aids e ↔nto / ‘AIDS itu apa?’ : A,I,D,S : A : /akibat/ ‘akibat’
65
Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : : : :
I /itunya/ 'itunya' D /dimasukkan/ 'dimasukkan' S /S↔mbaraNan jeg aids polon ci nyidaN siN nuluNin ben/ ‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’
Secara teoretis, pelesetan dimaknai sebagai sesuatu yang menyimpang dari sasarannya, tetapi jika substansi yang digunakan memiliki korelasi yang dekat dengan sasaran, menjadikan pelesetan tersebut lebih menarik. Kepanjangan asli dari AIDS ‘Aquired Immune Deficiency Syndrome’ tidak banyak diketahui oleh masyarakat Bali walaupun akronim ini sering kali digunakan dalam percakapan mereka sehari-hari. Secara umum masyarakat hanya mengetahui AIDS merupakan penyakit mematikan yang disebabkan oleh sering berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual. Pelesetan kepanjangan huruf yang dibaca seolah-olah sebagai kata ‘AIDS’ dengan kepanjangan berupa klausa (Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan) menjadi sesuatu yang tak terduga, tetapi menukik terhadap substansi yang dimaksud. Inti penyingkatan dalam permainan pelesetan ini adalah membentuk akronim sebagai kata baru yang memiliki makna untuk membangun humor. Dari beberapa contoh yang ditemukan, pelesetan kepanjangan akronim yang terdapat pada dialog-dialog tokoh punakawan WCB dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni (1) akronim yang dibentuk dengan mempertahankan silabel awal, (2) akronim yang dibentuk dengan mempertahankan huruf awal, (3) akronim yang dibentuk dengan mempertahankan silabel awal dan juga huruf awal, (4) akronim
66
yang dibentuk dengan mempertahankan suku akhir kata pertama dan suku awal kata kedua. Contoh dan proses pembentukan pelesetan kepanjangan akronim ini dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini Tabel 4.12 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Silabel Awal No Data DRT 19b SAB 6a SAB 12
Proses Pembentukan Mempertahankan silabel awal Mempertahankan silabel awal Mempertahankan silabel awal
Akronim Nakula
Pelesetan Kepanjangan NAsi KUah LAwar
Sabu
SArapan BUbur
Delem
DEngang LEMpuyengan
Pada data di atas pelesetan kepanjangan ‘NAsi KUah LAwar’ dibentuk untuk menghasilkan
kata
nakula
yang
dianggap
sebagai
akronim
dengan
memanjangkannya sesuai dengan silabel-silabel yang membentuknya, yakni nakula (na-ku-la). Silabel pertama ‘na’ membentuk kepanjangan Nasi, silabel kedua ‘ku’ menjadi Kuah, dan silabel terakhir ‘la’ dipanjangkan dengan Lawar. Hal yang sama terjadi pada data SAB 6a dan SAB 12. Akronim
yang
dibentuk
dengan
pelesetan
kepanjangan
yang
mempertahankan huruf awal dilakukan tokoh punakawan WCB, seperti data AIDS di atas dan beberapa contoh yang sama dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.13 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Huruf Awal No Data SI 1 SI 7 LMur 2
Proses Pembentukan Mempertahankan huruf awal Mempertahankan huruf awal Mempertahankan huruf awal
Akronim DUIT
Pelesetan Kepanjangan Doa Usaha Inisiatif Tekun
PIL
Pria Idaman Lain
AIDS ‘Aquired Immune
Angkuh, Iri hati, Dengki, Sombong
67
Deficiency Syndrome’ LMur 8c
Mempertahankan huruf AIDS awal ‘Aquired Immune Deficiency Syndrome’
Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan
Data yang sedikit berbeda ditemukan pada DRT 2 berikut ini, yakni selain mempertahankan silabel awal akronim yang dihasilkan juga dibentuk dengan mempertahankan huruf awal. Pelesetan kepanjangan NAsi Rawon KOah BAkso dibuatkan akronimnya dengan NaRKoBa. Kata NAsi merupakan kepanjangan dari silabel ‘Na’, Rawon merupakan kepanjangan dari huruf ‘R’, KOah merupakan kepanjangan dari ‘Ko’, dan BAkso merupakan kepanjangan dari silabel ‘Ba’. Tabel 4.14 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Silabel Awal dan Huruf Awal No Data DRT 2 SAB 13
Proses Pembentukan Akronim Mempertahankan silabel Narkoba dan huruf awal Mempertahankan silabel Asber dan huruf awal
Pelesetan Kepanjangan NAsi Rawon KOah BAkso Asal BERnyawa
Tabel 4.15 Akronim yang Dibentuk dengan Mempertahankan Suku Akhir Kata Pertama dan Suku Awal Kata Kedua No Data BM 21b BM 21c
Proses Pembentukan Akronim Mempertahankan suku akhir Kuwir kata pertama dan suku awal kata kedua Mempertahankan suku akhir Kucit kata pertama dan suku awal kata kedua
Pelesetan Kepanjangan mangKU WIRya mangKU CITra
68
Data BM 21b dan BM 21c di atas merupakan akronim yang dibentuk dari pelesetan kepanjangan yang dibuat dengan mempertahankan silabel akhir kata pertama dan silbel awal kata kedua yang menyusun pelesetan kepanjangan tersebut. Frasa mangKu Wirya (nama panggilan) dianggap sebagai pelesetan kepanjangan dari akronim kuwir (yang dalam bahasa Bali berarti bebek) dengan mempertahankan silabel akhir kata pertama, yakni ‘ku’ dan silabel awal kata kedua ‘wir’ sehingga membentuk kata yang dianggap seolah-olah sebagai akronim ‘kuwir’. Hal serupa juga terjadi pada data BM 21c. Pada pelesetan kepanjangan mangKU CITra yang mempertahankan silabel atau suku akhir kata pertama “KU” dan silabel pertama kata kedua “CIT” menghasilkan kata yang dianggap sebagai akronim “KUCIT” yang dalam bahasa Bali berarti babi. Permainan bahasa bentuk pelesetan kepanjangan akronim ini tentu sangat lucu jika didengar oleh masyarakat Bali yang dalam pergaulan sosialnya biasa menyebut atau memanggil seorang mangku (pemuka agama) dengan panggilan “Ku”
kemudian dilanjutkan dengan nama pendek mangku tersebut. Hal tak
terduga dari hasil pemelesetan Mangku Wirya atau Mangku Citra jika dipendekkan menghasilkan kata “Kuwir” dan “Kucit” yang merupakan namanama hewan yang kesannya sangat bertolak belakang dengan imajeri masyarakat tentang “Mangku”
4.1.4 Bentuk Pelesetan Ekspresi Bentuk permainan pelesetan bahasa berikutnya yang ditemukan dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB adalah bentuk pelesetan ekspresi. Pada
69
pelesetan ekspresi terjadi pemelesetan cara mengungkapkan, yakni sebuah kalimat atau frasa dipelesetkan bentuknya dengan cara mengikuti struktur dan intonasi kalimat atau frasa sebenarnya, tetapi mengubah kata-katanya sehingga mengubah makna keseluruhan struktur (Sibarani, 2004:97). Pada pertunjukan WCB berjudul “Sutha Amerih Bapa” ditemukan bentuk pelesetan ekspresi, yaitu pada percakapan Delem dan Sangut pada data SAB 10b-10f. Tokoh punakawan WCB menggunakan permainan dengan pelesetan ekspresi ini dalam memelesetkan isi sila-sila Pancasila yang tentunya sangat umum diketahui masyarakat. Pemilihan sila-sila Pancasila ini agaknya erat berkaitan dengan maksud-maksud yang bersifat reseptif, yakni agar pendengarnya langsung dengan spontan dapat mengembalikan penyimpangan-penyimpangan yang dibuat sedemikian rupa kepada hipogramnya. Wijana (2010) menyebutkan bahwa semakin mudah permainan bahasa itu dihubungkan dengan hipogramnya semakin spontan resolusi dan penikmatan humor itu dan semakin tinggi pula tingkat kelucuannya. Pada data tersebut Delem memelesetkan sila-sila dalam Pancasila dengan intonasi yang sama. Namun, memelesetkan kata-katanya sehingga asosiasinya berubah dari makna atau maksudnya yang konvensional. Bentuk permainan pelesetan ekspresi ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.16 Pelesetan Ekspresi No Data SAB 10b
Proses Pembentukan
Bentuk awal
Bentuk pelesetan
Mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata
Ketuhanan yang Maha Esa
Keuangan yang Maha Kuasa
70
SAB 10c
SAB 10e
SAB 10f
SAB 10d
Mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata Mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata Mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata Mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang Kikir dan Biadab
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dan Permusyawaratan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Kesengsaraan yang Dipimpin oleh Perselingkuhan dan Perjudian
Persatuan Indonesia
Perseteruan Manusia
Kebatilan bagi Seluruh Rakyat Pecinta Kemewahan
Dari pengklasifikasian proses pembentukan pelesetan ekspresi di atas ditemukan tiga variasi pengelompokan pembentukan pelesetan ekspresi yang dapat disepadankan dengan hipogram aslinya. Ketiga variasi tersebut adalah (1) pembentukan dengan mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata, (2) pembentukan dengan mempertahankan beberapa elemen kata yang terkandung pada bentuk awal serta mempertahankan silabel awal pada awal kata, dan (3) mempertahankan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata. Dalam SAB 10b dan 10c bentuk pelesetan tetap mempertahankan kesamaan silabel awal pada awal kata dan silabel akhir pada akhir kata yang menyusunnya dan dilakukan dengan substitusi bunyi (ketuhanan menjadi keuangan) atau (beradab menjadi biadab) yang tetap mempertahankan persajakan
71
demi menjaga keestetisannya. Pada data SAB 10e permainan dibentuk dengan mempertahankan beberapa elemen kata pada bentuk awal (yang Dipimpin oleh) dan
dibentuk
dengan
substitusi
kata
(kebijaksanaan
diganti
dengan
perselingkuhan, permusyawaratan dengan perjudian). Data SAB 10f juga hampir sama proses pembentukannya dengan data SAB 10e. Namun, bentuk silabel akhir pada akhir kata tidak dipertahankan, dan data SAB 10d yang memelesetkan isi sila ketiga Pancasila proses pembentukannya hanya mempertahankan silabel awal pada awal kata (Persatuan-Perseteruan) dan dengan substitusi kata (Indonesia menjadi manusia).
4.1.5 Bentuk Pelesetan Ideologis Pelesetan ideologis adalah plesetan sebuah ide menjadi ide lain dengan bentuk linguistik yang sama (Sibarani,2004:97). Dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB ditemukan beberapa permainan bahasa dengan memelesetkan ide dari bentuk lingual yang sama. Pada data GA 9 terjadi pemelesetan konsep ’dewa’ berkelas kata nomina yang bermakna dewa-dewa yang di-sungsung masyarakat beragama dengan ’dewa’ berkelas kata nomina juga, tetapi bermakna nama seseorang pada masyarakat Bali yang berkasta atau bertingkat sosial Wesya. Delem
GA 9
:
/NoyoN NoyoN Nut jani keNken pidabdabe
arta asta grahast↔ e m↔k↔jaN jani kal k↔ suargan m↔k↔jaN matiaN dew↔ e m↔k↔jaN di suargan j↔g konyaN matiaN tombak dew↔ m↔k↔jaN disuargan kayaN dew↔ dangin umah matiaN/
72
DRT 20
’diam! diam Ngut! Sekarang bagaimana mengumpulkan semua artha, asta dan grahasta. Sekarang ini kita akan ke Surga semua, bunuh semua Dewa yang ada di Surga, semua bunuh! Tusuk dengan tombak semua Dewa di surga sampai Dewa yang di sebelah timur rumah juga bunuh!’ Sangut : Yang paling mengetahui banyak ilmu di Wanaprasta adalah Sang Sahadewa. Beliau mengetahui berbagai magic. White magic, black magic, dan segala gic gic-nya sampai ke magic-jar, itu sang Sahadewa.
Data DRT 20 memelesetkan ide awal dari penggunaan kata magic yang mengacu pada kesaktian, white magic ’kesaktian untuk berbuat kebaikan atau menolong’ dan black magic ’ilmu hitam’ yang biasa disebut dalam masyarakat Bali untuk menyebut kesaktian yang dimiliki seseorang dalam berbuat kejahatan atau sering disebut dengan ilmu pengeleakan. Namun, dalam mengutarakan jenisjenis kesaktian tersebut disisipi bentuk lingual magic jar ’mesin penghangat nasi’ yang mengandung bentuk lingual magic dengan ide yang berbeda. Hal yang sama terjadi pada penggunan kata puting dalam puting beliung yang merupakan penamaan jenis angin kencang yang mampu memporak-porandakan benda-benda di sekitarnya dipelesetkan idenya dengan frasa puting nyonyo ’puting susu’. Tabel 4.17 Pelesetan Ideologis Data DRT 20 GA 9
GA
Proses Pembentukan /Contoh Bentuk: A (n) A: (n) Contoh: White magic, black magic, dan segala gic gic-nya sampai ke magic jar Bentuk: A (n) A: (n) Contoh: /tembak dew↔ m↔k↔jaN di suargan, kaya N dew↔ daNin umahe/ Bentuk: A (n) A: (n)
Bentuk pelesetan magic jar (penanak nasi) dew↔ (nama orang)
puting nyonyo
73
19b
Contoh: /m↔suaN aNin bar↔t to (anggota badan) putiN b↔liuN ap↔ b↔liuN putiN ap↔ putiN nyonyo/
Dari data pelesetan ideologis, bentuk-bentuk pelesetan ini ditemukan dalam bentuk struktur yang sama, yakni bentuk lingual dengan kelas kata nomina dipelesetkan menjadi ide yang lain dengan bentuk lingual sama dan kelas kata yang sama pula.
4.2 Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB dalam Bentuk Gaya Bahasa Pertunjukan WCB merupakan jenis pertunjukan seni sehingga bahasanya pun banyak menggunakan permainan bahasa yang mengandung unsur-unsur seni atau estetik. Penggunaan bentuk permainan bahasa dengan style atau gaya bahasa banyak terdapat dalam dialog tokoh WCB, terutama pada tokoh punakawan yang berfungsi sebagai penyalur cerita. Keraf (2009) menyebutkan figure of speech (gaya bahasa) adalah suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam ejaan, pembentukan kata, konstruksi, atau aplikasi sebuah istilah untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor atau sesuatu efek yang lain dengan masih mempertahankan makna denotatifnya atau menyimpang dari makna denotatifnya. Jika gaya bahasa (style) yang digunakan masih mempertahankan makna dasarnya atau makna denotatifnya, berarti permainan bahasa tersebut berbentuk retoris dan jika bentuk gaya bahasa yang digunakan menyimpang dari makna denotatifnya, berarti permainan bahasa tersebut berbentuk kiasan. Bentuk permainan bahasa dengan menggunakan gaya bahasa merupakan bentuk
74
penyimpangan bahasa atau manipulasi untuk efek atau tujuan tertentu. Permainan bahasa tokoh punakawan WCB banyak menggunakan bentuk permainan bahasa dengan gaya bahasa berjenis retoris dan kiasan.
4.2.1
Bentuk Retoris Gaya bahasa retoris adalah penyimpangan dari konstruksi biasa dalam
tuturan untuk mencapai efek tertentu, tetapi tetap mempertahankan makna denotatif atau makna dasarnya. Sherzer (2002: 4) menyebutkan bahwa secara intrinsik permainan bahasa tereksploitasi pada retorika dan bahasa yang bersifat puitik. Disebutkan pula bahwa permainan bahasa terjadi, baik dalam bentuk asosiasi, repetisi, maupun paralelisme yang bersifat kreatif. Dalam data permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang ditemukan, terdapat bentuk permainan berjenis retoris ini dalam dua jenis, yakni permainan bunyi akhir kata berupa vokal yang sama (aliterasi) dan perulangan kata dengan bunyi konsonan yang sama (asonansi). Bentuk retoris dengan perulangan bunyi seperti aliterasi dan asonansi ini disebutkan Keraf (2009:130) biasa digunakan dalam puisi, prosa untuk estetik atau untuk penekanan. Data DRT 10 berikut ini merupakan contoh bentuk permainan bahasa berjenis retoris berstruktur puitik dengan perulangan bunyi vokal yang sama pada akhir frasa penyusun isi dan sampiran. (1:03:33) DRT 10
Delem
: /mamul↔ padi y↔ mamul↔ timun/ ‘bertanam padi ya bertanam mentimun’ Sangut : /mamul↔ nyuh y↔ mamul↔ sawah/ 'bertanam kelapa ya bertanam sawah’
75
Delem
:
Sangut :
/ne muani y↔ kimud-kimud / 'yang laki-laki malumalu’ /sane luh y↔ galak-galak / ‘yang perempuan agresif’
Verbal dueling ‘permainan bahasa dengan bersahut-sahutan’ antara tokoh Sangut dan Delem ini berjenis retoris, yakni terbentuk dari repetisi bunyi vokal yang sama pada akhir frasa. Bentuk permainan bahasa retoris ini berstruktur puitik yang terdiri atas sampiran dan isi. Frasa /mamul↔ timun/ yang diakhiri oleh vokal /u/ pada sampiran mengalami repetisi bunyi vokal akhir /u/ juga pada frasa /y↔ kimud-kimud/ pada isi. Hal serupa juga terjadi pada bunyi vokal akhir pada sampiran kedua dan isi kedua, dengan perulangan bunyi vokal /a/ pada /y↔ mamul↔ sawah/ pada sampiran dan /y↔ galak-galak/. Perbedaan bunyi vokal antara sampiran dan isi dalam permainan bahasa retoris ini menghasilkan pola sajak (a,b,a,b,). Keraf (2009) menyebut bentuk retoris dengan repetisi bunyi vokal seperti ini dengan istilah asonansi. Asonansi juga tercermin pada ujaran yang mengalami repetisi bunyi vokal yang sama seperti pada ujaran dalam bentuk pantun dua seuntai pada data KN 4 di bawah ini. Delem: / kol↔ NoraN ya k↔baaN honda kol↔ NoraN yes k↔baaN mersedes kol↔ NoraN oke k↔baaN ceroke / ‘asalkan bilang ya aku beri Honda. Asalkan bilang yes kuberi Mercedes. Asalkan bilang oke ku beri Cerokee.’ Contoh permainan bahasa di atas mengandung unsur retoris yang menyerupai pantun dua baris pada setiap barisnya. Kemunculan vokal yang sama pada akhir kata /ya/ dan /honda/, /yes/ dan /mersedes/, serta /oke/ dan /ceroke/ menghasilkan wacana permainan bahasa yang kreatif dengan pola sajak a-a.
76
Pemanfaatan aspek bunyi seperti tersebut di atas dilakukan untuk memperoleh kearkaisan struktur kalimat sehingga kedengarannya lebih estetis. Dua contoh bentuk retoris di atas memperlihatkan penyimpangan bentuk konstruksi dalam menyebutkan suatu maksud. Pada data DRT 10 tuturan dalang sebagai penutur ingin mengungkapkan bahwa pada zaman sekarang ini kaum wanita disebut lebih agresif dibandingkan dengan kaum pria dengan permainan bahasa berbentuk pantun dengan perulangan bunyi vokal pada akhir frasa pada sampiran dan isi. Penyimpangan bentuk yang sengaja dibuat untuk efek estetis tersebut tidak mengubah makna dasar yang ingin diungkap penutur. Hal yang sama juga terjadi pada data kedua, yakni pada data KN 4. Data KN 4 menunjukkan permainan bahasa dengan bentuk retoris pengulangan bunyi vokal untuk efek penekanan tersebut tidak mengubah maksud denotatif penutur yang pada dasarnya ingin menyebut bahwa ia akan memberikan apa pun kepada wanita yang menjadi pasangannya. Beberapa bentuk retoris dengan repetisi vokal yang sama dapat dilihat pada tabel berikut ini (selengkapnya pada lampiran). Tabel 4.18 Bentuk Retoris Asonansi 1 No Data DRT 10
DRT 14
Bentuk retoris Contoh (sajak) a,b, a,b /m↔mula padi y↔ m↔mula timun, m↔mula nyuh y↔ m↔mula sawah ane muani y↔ kimud-kimud, ane luh y↔ galak-galak/ ‘Bertanam padi ya bertanam mentimun, bertanam kelapa ya bertanam sawah, Yang laki malu-malu, yang wanita agresif a,b, a,b /tonden m↔sandal sub↔ m↔g↔njit
77
konden k↔nal rag↔ sub↔ g↔nit/ 'belum bersandal sudah berjalan, belum kenal kamu sudah genit'
LM 3c
a,b, a,b
LM 17
a,b, a,b
/b↔lahan pane b↔lahan paso ad↔ kene ad↔ keto/ 'pecahan pane (periuk tanah) pecahan paso (periuk tanah), ada begini ada begitu' /tiNkih t↔mu buwah r↔r↔k, aNkihan kamu bonne b↔r↔k cagr↔k/ 'kemiri temu lawak buah rerek, napasmu baunya busuk’
Pada contoh-contoh data yang terdapat dalam tabel di atas dapat dilihat penggunaan repetisi bunyi vokal untuk menghasilkan efek bunyi yang selaras. Pada data LM 3c –yang merupakan wewangsalan yang sering digunakan masyarakat Bali—penggunaan kata /pane/ dan /paso/ dilakukan hanya untuk menghasilkan bunyi yang selaras dengan kata /kene/ dan /keto/ padahal kata pane dan paso bersinonim. Kata pane pada sampiran hanya digunakan untuk menyelaraskan dan memberi efek penekanan dan estetis untuk kata kene pada isi dan paso pada sampiran untuk kata keto pada isi sehingga menghasilkan sajak ab-a-b. Tabel di bawah ini memperlihatkan contoh bentuk perulangan bunyi vokal dengan sajak a-a. Tabel 4.19 Bentuk Retoris Asonansi 2 No Data
SAB 22
Bentuk retoris (sajak)
a-a
Contoh /tutur suba luntur, jani yen poNah payu Namah, dew↔ b↔ m↔g↔di amah m↔m↔di /
'nasihat sudah luntur, sekarang jika tidak tahu malu bisa makan, dewa sudah pergi dihabisi oleh memedi (makhluk halus)’
78
/kol↔ NoraN ya k↔baaN honda,
KN 4
a-a
KL 3c
a-a
TS 1c
a-a
TS 1a
a-a
BM 9
a-a
BM 3j
a-a
kol↔ NoraN yes k↔baang mersedes, kola ngorang oke kebaaN ceroke / ‘hanya dengan bilang ya kuberi Honda, hanya dengan bilang yes kuberi Mercedes, hanya dengan bilang oke kuberi Cerokee’ /jl↔m↔ mul↔ m↔mul↔s jl↔m↔ mal↔s car↔ pal↔s, lem↔s klias-kli↔s/ ‘orang yang suka tidur, orang malas seperti kait pancing, lemas /i r↔juna bin jl↔m↔ j↔lek m↔leklek NurusaN m↔solek, Nalih cewek di komplek/ ‘Si Arjuna lagi, manusia jelek, hanya bersolek saja, mencari cewek di komplek (tempat prostitusi)’ /darmawaNs↔ j↔l↔m↔ uyak tutur, tutur sub↔ luntur amah titiran.
jani nyen poNah payu Namah yen pag↔h ye k↔pagah, dew↔ b↔ ng↔lew↔, widi b↔ m↔g↔di amah m↔m↔di, agam↔ b↔ gamaN, patut b↔ buntut / ‘Darmawangsa orang-orang banyak nasihat, nasihat sudah luntur dimakan burung dara, sekarang kalau tidak tahu malu bisa makan, jika membatasi diri akan dipenjara, dewa sudah tidak mau tahu, Widhi (Tuhan) sudah pergi dihabisi memedi (makhluk halus), agama sudah kabur, kebenaran sudah berada pada posisi akhir’ /kambiN.. m↔gliliN glalaN-gliliN, Nal↔Nin niNrat sane b↔liN, wireh ne muani tuara eliN, m↔li kambiN luas keliliN, siN buuN ya tuNgaN-tuNgiN misi kaiN-kaiN/ ‘kambing, berguling-guling, memberi bantal seorang ningrat yang sedang hamil, karena suaminya tidak peduli, beli kambing keliling, jadilah dia menungging sambil bersuara seperti anjing ‘kaing-kaing’’ /m↔kit↔ Nalih mantu j↔g hantu ab↔ ci mulih,nanaN tu↔ lantas dadiaN↔ p↔mbantu / ‘ingin mencari menantu, hantu yang kamu bawa pulang, ayah tua lalu dijadikannya pembantu’
79
Dari data permainan bahasa retoris yang ditemukan terdapat dua bentuk retoris pengulangan vokal (asonansi), yakni bentuk dengan sajak berpola a-b-a-b dan pola a-a yang secara umum bertujuan untuk menghasilkan keindahan atau bernilai estetik. Pada pola sajak a-a terjadinya pengulangan bunyi vokal yang sama pada beberapa kata selain mengandung unsur estetik juga bertujuan memberi penekanan terhadap permainan bahasa yang diungkapkan. Selain bentuk retoris asonansi, ditemukan pula bentuk permainan bahasa berjenis retoris dalam repetisi konsonan atau aliterasi. Pada kasus aliterasi terjadi pengulangan konsonan dalam sebuah kalimat atau klausa pada awal kata-kata yang menghimpunnya. Misalnya pada data KL 2 dalam tabel di bawah terjadi pengulangan fonem konsonan nasal /m/ dan /n/ pada kata /manise/ dan /man↔sin/. Contoh data yang lainnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.20 Bentuk Retoris dengan Repetisi Konsonan (Aliterasi) No Data
Bentuk retoris (sajak)
KN 8b
a-a
KL 2
a-a
TS 8
a-a
Contoh /yen ub↔ ajak liu j↔g bali b↔ to, yen p↔didian balu/ ‘jika sudah berbanyak, pasti Bali itu, jika sendiri janda’ /j↔g sinah sub↔ manise man↔sin b↔li/ ‘jelas sudah manis itu akan memanaskan kakak’ /yen nak muani ne sastrawan ne luh sastrawati yen ne muani ne b↔gundal luh ne b↔gundil ne muani nuNgaN ne luh nuNgiN/ ‘jika yang laki sastrawan yang perempuan sastrawati, jika yang laki-laki raksasa laki-laki yang perempuan raksasa perempuan, yang laki menunggang yang perempuan menungging’
80
Repetisi konsonan /b/ pada kata balu setelah kata bali dalam KN 8b digunakan dalang untuk efek penekanan terhadap kata sebelumnya. Pada KN 8b repetisi digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berlawanan. Disebutkan jika Bali identik dengan banyak orang. Hal ini terjadi karena imajeri masyrakat terhadap Pulau Bali yang menjadi salah satu tempat tujuan wisatawan dan pencari kerja sehingga Bali menjadi tempat tujuan banyak orang, sedangkan balu ‘janda’ identik dengan kesendirian. Hal yang sama juga tercermin pada data KL 2 yang menunjukkan sesuatu yang berlawanan, yakni sesuatu yang manis (orientasi positif) pada kata /manise/ akan menyebabkan sesuatu yang memanas (orientasi negatif) pada kata /man↔sin/. Sedikit berbeda repetisi konsonan data TS 8 yang sepertinya pada awalnya dilakukan untuk menunjukkan sesuatu yang berlawanan pula, seperti bentuk sastrawan dan sastrawati, begundal dan begundil. Namun, repetisi konsonan berikutnya (nunggang dan nungging) menunjukkan humor yang berorientasi vulgar.
4.2.2
Bentuk Kiasan Bentuk kiasan adalah bentuk penyimpangan pada struktur atau bentuk
yang biasa dengan pemakaian leksem yang maknanya menyimpang dari makna denotasinya. Secara umum bentuk kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan (Keraf, 2009: 136). Dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB ditemukan bentuk-bentuk yang mengacu pada bentuk kiasan berjenis metafora, simile (perumpamaan), dan eponim.
81
4.2.2.1 Metafora Permainan bahasa berbentuk metafora merupakan bentuk kebahasaan yang menggunakan sistem kognitif (Lakoff: 1980), yaitu konsep yang terkumpul dari pengalaman dan budaya seseorang (Palmer: 1996; Foley: 1997). Dalam metafora terjadi perbandingan antara sumber bentuk (source) dan target. Knowles (2006) menyebutkan bahwa metafora adalah bahasa nonliteral yang terbentuk dari perbandingan atau identifikasi secara implisit sebagai pengungkapan jenis dari sesuatu yang bermakna figuratif. Jika kita menyebutkan seseorang adalah serigala, itu artinya kita membandingkannya dengan serigala, yakni asosiasi yang umum terhadap serigala yaitu kelicikannya. Dengan demikian, seseorang yang disebut sebagai serigala berarti seseorang yang memiliki karakter identik dengan serigala yang licik. Bentuk metafora dapat digambarkan sebagai berikut. Dia A
serigala B
:
terbanding (Tb)
pembanding (Pb)
Referent A (target) dibandingkan dengan referent B (source) yang memiliki kualitas atau karakter yang sama. Analisis bentuk permainan bahasa berjenis metafora oleh tokoh punakawan WCB adalah sebagai berikut. SAB 17
t↔rus rag↔ gen (A) Tb (n)
’terus aku saja ’terus aku saja (C)
dadianga bemp↔r (B) Pb (n)
:
:
dijadikan bamper ’
yang disuruh menghadapi musuh lebih dulu ’ (D)
82
Data SAB di atas merupakan bentuk metafora dengan membandingkan antara rag↔ ’saya’ dan bamper. Komponen terbanding (Tb) yang merupakan kelas kata
nomina (n) dibandingkan secara implisit dengan komponen pembanding (Pb) bamper yang juga merupakan kelas kata nomina (n). (Tb) saya atau rag↔ dibandingkan dengan bamper yang berasosiasi dengan posisi di depan.
Bamper merupakan bagian pengaman mobil yang letaknya di depan untuk melindungi mobil jika terjadi benturan. Arti metaforais bentuk metafora di atas diberi simbol (C) untuk instrumen Tb dan (D) untuk (Pb). (A) berbanding dengan (B) sama dengan (C) berbanding dengan (D) yang dianggap sebagai makna metafora dalam perbandingan ini, yaitu pemahaman makna pada (D) mengacu pada makna (A) sehingga A : B = C : D, yang pada akhirnya A = D. Pada data ini dihasilkan bentuk Tb (n) : Pb (n), target atau komponen terbanding Tb yang berkelas kata nomina dibandingkan dengan bentuk lain, yakni source (Pb) yang juga dalam kelas nomina. Data LM 1 berikut ini juga memiliki bentuk (Tb) berbanding dengan (Pb). Namun, (Tb) yang merupakan frasa nomina dibandingkan dengan (Pb) yang merupakan frasa verba. LM 1
s↔tat↔ nagih rabuk /
/ tuah j↔ nyak jani hukume (A)
Tb (NP)
’memang hukum sekarang ’(C) hukum saat ini
: :
(B) Pb (VP) selalu minta dipupuk’
(D) selalu membutuhkan tombokan’
83
Data GA 15c di bawah ini memiliki bentuk (Tb) berbanding dengan (Pb) dengan (Tb) berupa kalimat yang dibandingkan dengan komponen (Pb) yang juga berupa kalimat. GA 15c
/ci kal b↔rag (A) Tb (K) ’kamu akan kurus
tato nag↔ ci b↔rubah dadi tato linduN /
(B) Pb (K)
:
: tato nagamu berubah menjadi tato belut’
’(C) kamu akan kurus :
(D) badanmu akan menciut’
Data berikutnya adalah data DRT 23a, dengan struktur yang berbeda, yakni kalimat jenis metafora dengan bentuk komponen (Pb) mendahului komponen (Tb). Pada data DRT 23a dibawah ini komponen (Tb) berfrasa verba dibandingkan dengan komponen (Pb) berfrasa nomina dengan komponen pembanding mendahului komponen terbanding. Data selanjutnnya merupakan variasi bentuk metafora dengan komponen (Pb) mendahului komponen (Tb). Nl↔m↔sin nak luh /
/m↔luab-luab kanti buNut ci (B) Pb (NP) ’sampai mendidih mulutmu
(A) Tb (VP)
:
merayu wanita’
:
’(D) m↔k↔lo ’Dari tadi mulut kamu’
SAB 16
/ m↔ul↔t (B) Pb (AdvP) ’berulat ’(D) g↔d↔g ’kesal’
(C)
merayu wanita’
basaN wake /
:
(A) Tb (NP)
:
perut ku’ (C) aku’
84
KL 1
/sapt↔ timir↔ e N↔kos sik awak bli
(B) Pb (K)
: mas↔ ken awak bline bagus, mabuk bli ken k↔bagusan, mas↔ bli sugih, mabuk bli ken k↔sugihan / : (A) Tb (K)
’Sapta timira ngekos di raga kakak :
’(D) Sapta Timira ada pada diri kakak
merasa dengan diri tampan, mabuk kakak dengan ketampanan, merasa kakak kaya mabuk kakak dengan kekayaan’ (C) merasa dengan diri tampan, mabuk kakak dengan ketampanan, merasa kakak kaya mabuk kakak dengan kekayaan’
Dari beberapa contoh data yang mewakili permainan bahasa berjenis metafora, ditemukan bentuk-bentuk perbandingan secara implisit dengan empat variasi struktur komponen terbanding mendahului komponen pembanding, yaitu (1) (A)Tb (NP) : (B) Pb (VP), (2) (A) Tb (K) : (B) Pb (K), (3) (A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP), dan (4) (A) Tb (Adj) : (B) Pb (K). Di saming itu ditemukan tujuh variasi struktur komponen pembanding mendahului komponen terbanding, yaitu (1) (B) Pb (NP) : (A) Tb (VP), (2) (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (NP), (3) (B) Pb (NP) : (A) Tb (NP), (4) (B) Pb (K) : (A) Tb (K), (5) (B) Pb (AdjP) : (A) Tb (K), (6) (B) Pb (VP) : (A) Tb (VP), dan (7) (B) Pb (AdvP) : (A) Tb (VP). Tabel di bawah ini menunjukkan bentuk-bentuk yang mewakili permainan bahasa dengan metafora pada data yang ditemukan. Tabel 4.21 Permainan Bahasa Metafora dengan Komponen (Tb) Mendahului (Pb) No Data
Bentuk
Contoh Metafora
85
DRT 11 DRT 15c
(A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP)
KN 3b
(A) Tb (K) : (B) (Pb (K)
KL 10c
(A) Tb (NP) : (B) Pb (VP)
TS 5a
(A) Tb (AdjP) : (B) Pb (K)
SI 17
(A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP)
SI 17
(A) Tb (NP) : (B) Pb (AdjP)
(A) Tb (NP)
: (B) Pb (VP)
/bon ci pait m↔kilit/ 'baumu pahit berkilit' /nak bajaN mar↔ m↔kl↔pit /
'anak perempuan yang baru saja menginjak remaja' /aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak, m↔laib kitiranne l↔m/ 'keinginan mencari burung perkutut jangan memancingnya dengan kucing hitam besar, lari burung perkututnya Lem! /doN matan ci aduh dewa ratu 6000 wat nyalaN/ 'matamu aduh... dewa ratu 6000 watt menyala’ /b↔s du↔g daN yaN dron↔ b↔s li wat s↔ks↔k disket komput↔re misi tutur/ 'terlalu pintar Dang Hyang Drona, terlalu sesak disket komputernya berisi nasihat’ /caN diar↔pne gen siN m↔luap/ 'aku di depannya saja tidak tumpah’ /NudiyaN mel↔m N↔rodok/ 'mengapa Melem mendidih’
Tabel 4.22 Permainan Bahasa Metafora dengan Komponen (Pb) Mendahului (Tb) No Bentuk Data KN 10c (B) Pb (AdjP) : (A) Tb (K)
KN 13
(B) Pb (VP) : (A) Tb (VP)
KL 11
(B) Pb (AdvP) : (A) Tb (VP)
Contoh Metafora /↔ntut somboN munyinne k↔ras ko la siN m↔bo/
'kentut sombong bunyinya keras, tetapi tidak berbau’ /aNgona bola ratu bin t↔ndaN↔ kaN in bin tendaNa kauh/ 'dijadikan bola Ratu, lagi ditendang ke timur lagi ditendang ke barat' /j↔g t↔luN met↔r caN N↔mikmik siN N↔rti ci/
86
'tiga meter aku berbicara tidak mengerti kamu' 4.2.2.2 Bentuk Simile Simile yang dikenal dengan gaya bahasa perumpamaan juga merupakan suatu permainan berbahasa dengan analogi atau perbandingan, tetapi secara eksplisit dan ditandai dengan instrumen banding (IB) antara source (pembanding) dan target (terbanding). IB ini dapat berupa kata like, as, compare, resamble ’seperti, bagai, sama, banding, dll’ (Knowles: 2006) atau dalam bahasa Bali misalnya dengan menggunakan IB: car↔, buk↔, tan bin↔, s↔kadi. Dia
seperti
serigala
:
B
Instrumen banding (IB)
pembanding (Pb)
A Terbanding (Tb)
Terdapat tujuh macam bentuk struktur yang ditemukan pada permainan bahasa berjenis simile ini, yakni enam dengan instrumen pembanding (IB) di antara komponen terbanding (Tb) dan komponen pembanding (Pb) dan satu bentuk struktur dengan IB yang terletak di awal komponen pembanding dan terbanding seperti pada data DRT 25a berikut ini. / car↔
'seperti IB (car↔ )
batun buluane
biji rambutan Pb
tiyaN d↔m↔n ken bli /
saya mencintai kakak’ Tb
Permainan bahasa ini menggunakan perbandingan di dalam pengungkapan perasaan cintanya yang diumpamakan bagai biji rambutan yang tunggal. Kata cara ’seperti’ yang digunakan sebagai instrumen banding terletak sebelum
87
komponen Pb yang kemudian langsung diikuti oleh komponen terbandingnya. Dalam budaya Bali, masyarakat banyak menggunakan bentuk ini di dalam mengungkapkan perasaan penuturnya yang dalam, baik perasaan senang, sedih, maupun kekesalan dan amarah. Bentuk dengan struktur IB di antara komponen Tb dan Pb dapat dilihat pada data LM 22b,
/
bonne
car↔
’Baunya/aromanya Tb
seperti IB
kambiN m↔uy↔N
/
kambing yang diputar-putar di udara’ Pb
Contoh data di atas mengungkapkan bau masam bagai bau kambing yang diputar di udara. Permainan bahasa perbandingan ini menggunakan kambing sebagai komponen pembanding yang identik dengan bau asam atau pesing. Beberapa contoh simile yang ditemukan pada permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang mewakili bentuk-bentuk atau strukturnya dirangkum pada tabel berikut ini. Tabel 4.23 Bentuk Simile No Data LM 22b
Bentuk (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP)
LM 27a (A) Tb (VP) IB (B) Pb (NP)
SI 14d
(A) Tb (K) IB (B) Pb (NP)
Contoh Simile /bonne car↔ kambiN m↔uy↔N/ 'baunya seperti kambing yang diputarputar' /N↔luluk nas ci car↔ bola liga iNgris to/ 'bergelinding kepalamu seperti bola Liga Inggris itu' /y↔n kur↔n kak↔ paN ci nawaN buk erik, putih gadiN, kuniN laNsat baNkiaN c↔nik jit g↔de car↔ kuda australi/
88
DRT 22
(A) Tb (K) IB (B) Pb (K)
KL 4
(A) Tb (NP) IB (B) Pb (K)
SI 14a
(A) Tb (NP) IB (B) Pb (N)
SI 14c
(A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP)
DRT 25a
IB (B) Pb (NP) (A) Tb (K)
'kalau istriku, supaya kamu tahu, Bu Erick, putih gading, kuning langsat, pinggang kecil bokong besar seperti kuda Australia' /y↔n cai Nelawan saN bim↔ cai kal car↔ makpak batu/ 'jika kamu melawan Sang Bima, kamu akan seperti mengunyah batu' /panjak dini di gumi leNkane bli t↔n bin↔ car↔ kidaN N↔tis di punyan kayune g↔de/ 'warga di sini, di negeri Lengka ini Kak, bagaikan kijang yang berteduh di bawah pohon kayu yang besar' /bok kritiN car↔ mi/ 'rambutnya keriting seperti mie' /gidatne jantuk car↔ be lohan/ 'jidatnya menonjol seperti ikan Lohan' /car↔ batun buluane tiyaN d↔m↔n k en bli/ 'seperti biji rambutan perasaan cinta saya ke Kakak'
Secara umum komponen pembanding dalam permainan bahasa ini selalu berposisi sesudah IB. Pada bentuk dengan struktur IB di antara komponen Tb dan Pb ditemukan komponen Tb atau (A) selalu pada posisi sebelum IB seperti (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP), (A) Tb (VP) IB (B) Pb (NP), (A) Tb (K) IB (B) Pb (NP), (A) Tb (K) IB (B) Pb (K), (A) Tb (NP) IB (B) Pb (K), (A) Tb (NP) IB (B) Pb (N) dan bentuk struktur dengan IB berposisi pada awal kalimat, yakni IB (B) Pb (NP) (A) Tb (K).
4.2.2.3 Bentuk Eponim
89
Tokoh punakawan WCB banyak menggunakan permainan bahasa dengan kekreatifan gaya bahasa eponim, yaitu penggunaan nama yang dihubungkan dengan sifat tertentu. Misalnya dalam mengungkapkan seseorang yang cantik, tokoh punakawan WCB menggunakan nama Madona atau Cut Tari sebagai sandingannya. Power Rangers yang saat ini dikenal sebagai tokoh pahlawan dalam imajinasi anak-anak dan petinju Lenox Louis digunakan sebagai pembanding untuk mengutarakan seseorang yang kuat. Tentunya pemilihan nama yang digunakan disesuaikan dengan imajeri masyarakat atau nama-nama yang sedang hangat diperbincangkan dalam masyarakat. Permainan bahasa jenis ini menghasilkan sensasi tersendiri dalam imajeri masyarakat yang menimbulkan gelak tawa. Bentuk-bentuk dalam permainan bahasa ini menyerupai bentuk simile karena terdapat unsur perbandingan secara eksplisit, tetapi menggunakan namanama populer dalam masyarakat. Karena menggunakan nama-nama populer yang sedang hangat dalam imajeri masyarakat, komponen pembandingnya selalu merupakan frasa nomina atau kata dalam kelas nomina. Tabel 4.24 Bentuk Eponim No Struktur Bentuk Data KN 17a (A) Tb (NP) IB (B) Pb (NP)
KL 7b
(A) Tb (N) IB (B) Pb (N)
LM 7
(A) Tb (N) IB (B) Pb (N)
Contoh Eponim /k↔kuatan saN aNgada itu s↔tara d↔Nan k↔kuatan lenok luwis/
‘kekuatan Sang Anggada itu setara dengan kekuatan Lenox Louis’ /yen nanaN m↔jalan car↔ rano kar no/ ‘jika ayah berjalan seperti Rano Karno’ /nyen nyidaN ny↔rihin hanoman na k hanoman l↔bih sakti ken
90
SI 6a
(A) Tb (N) IB (B) Pb (NP)
SI 16h
(A) Tb (N) IB (B) Pb (N)
BM 2c
(A) Tb (N) IB (B) Pb (N)
pow↔r renj↔s/ ‘siapa bisa mengalahkan Hanoman? Hanoman itu lebih sakti daripada Power Rangers’ /rabinne car↔ madona cantikne/ ‘istrinya bagai Madona cantiknya’ /kur↔n ci e car↔ atun j↔n↔ngne/ ‘istrimu seperti Atun tampangnya’ /memen cai ne cantik car↔ cut tari /
'ibumu cantik seperti Cut Tari' Pada jenis kekreatifan gaya berbahasa ini ditemukan bentuk struktur yang sama, yakni perbandingan dengan membandingkan kata dalam kelas nomina atau frasa nomina dengan nomina atau frasa nomina juga. Di samping itu terdapat IB di antara komponen Tb dan Pb, baik berupa perbandingan setara dengan menggunakan IB car↔ ‘seperti’, ‘setara dengan’ maupun perbandingan bertingkat dengan menggunakan kata ‘lebih dari’. 4.3 Permainan Bahasa dengan Bentuk Hiponimi Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas-bawah atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain (Keraf, 2009:38). Dalam hiponim kelas atas (superordinat) tercakup sejumlah komponen yang lebih kecil (hiponim). Tokoh punakawan WCB menggunakan kekreatifan dengan menggunakan permainan kata dengan menyebut kata-kata dengan relasi sama atau menyebutkan superordinat suatu kata dan menyebutkan kata-kata yang berelasi dengan superordinat tersebut atau langsung menyebutkan hiponim-hiponim yang mengacu pada suatu subordinat yang tanpa disebutkan sudah dapat diterka dari penyebutan hiponim-hiponimnya. Data SI 12 dan SI 13 berikut ini merupakan
91
contoh dari permainan bentuk hiponimi yang dilakukan tokoh-tokoh punakawan WCB. SI 12 (35 :34)
SI 13 (36:00)
Sangut
:
Delem Sangut Delem Sangut
: : : :
‘namanya memang I /adane mul↔ i wayan senter / Wayan Senter’ /ne madenan/ ‘yang nomor dua (Made)?’ /made batre / ‘Made Baterai’ /nyoman/ ‘yang ketiga (Nyoman)?’ /balon/ ‘Balon (bola lampu)’
Delem
:
/k↔tut/
Sangut
:
Delem Sangut
: :
/k↔pitiNan / ‘ /nah ne bin sik an / /wayan balik saklar/
Delem Sangut
: :
Delem
:
‘yang keempat (ketut)?’ ‘ tempat bola lampu’ ‘nah yang satu lagi? ‘Wayan Balik Saklar’
‘ ah…. apa balik saklar! /ah ap↔ balik saklar/ /nak adan pidan kan beruntut adanne/ ‘zaman dulu pemberian nama kan beruntut /j↔g model model / ‘ada-ada saja’
Sangut :
Sangut Delem Sangut Delem
/i g↔de putu gas / ‘I Gede Putu Gas’ : /mih ny↔r↔m ny↔r↔maN adanne ne made nan/ ‘Mih… tambah aneh-aneh namanya. Yang nomor dua (Made)? : /made rim / ‘Made Rim (Rem)’ : /nyoman/ ‘yang ketiga (Nyoman)?’ : /kopliN/ ‘Kopling’ : /ketut/ ‘yang keempat (Ketut)?
Sangut Delem Sangut Delem
: : : :
Delem
/start↔r/ ‘Starter’ /nah ane bin sik/ ‘nah, yang satu lagi?’ /wayan balik kunci kontak/ ‘wayan Balik kunci kontak’ /ah .wayan balik kunci kontak/ ‘ah Wayan Balik Kunci Kontak’
92
Permainan bahasa di atas didasarkan atas imajeri masyarakat Bali pada zaman dahulu dengan memberi nama anak-anak mereka dengan nama yang berurutan dari Wayan, Gede atau Putu untuk anak pertama, kemudian Made untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga, Ketut untuk anak keempat, dan anak kelima biasa disebut dengan Wayan Balik. Nama anak-anak dalam pertalian saudara dalam budaya masyarakat Bali terdahulu biasanya berurutan, baik dari urutan bunyi misalnya Wayan Gledag, Made Gledug, Nyoman Gledig; mengelompok misalnya menggunakan nama-nama bunga, seperti Putu Mawa (Mawar), Made Soka (Soka), Nyoman Sandat (Kenanga) maupun menggunakan nama buah-buahan, seperti Wayan Sentul, Made Klecung (nama buah-buahan hutan yang rasanya agak masam), Nyoman Ceroring (duku), Ketut Salak yang diberikan oleh orangtua mereka ataupun merupakan nama panggilan akrab dalam pergaulan sosialnya. Pemberian nama seseorang pada zaman dahulu di Bali biasanya dikaitkan dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ia dilahirkan atau yang menjadi karakteristiknya, misalnya seseorang yang bernama Salak identik dengan kulitnya yang putih bagai daging buah salak, Klecung karena parasnya dianggap masam, dan sebagainya. Dalang WCB membuat permainan bahasa dengan menggunakan kebiasaan masyarakat Bali dalam memberi nama secara berurutan ini dengan permainan bahasa berbentuk hiponimi seperti contoh di atas. Data SI 12 menggunakan nama dengan superordinat “I Wayan Senter” kemudian dilanjutkan dengan hiponim-hiponim yang merupakan bagian dari senter, seperti batre ‘batere’, balon ‘bola lampu’, kepitingan ‘piting atau tempat
93
menjepit bola lampu’, dan saklar ‘stop kontak’. Data SI 13 menyebutkan hiponim-hiponim yang berupa bagian-bagian dari kendaraan bermotor, hanya tidak disebutkan superordinatnya. Namun, imajeri ataupun ingatan pendengar dengan mendengar hiponim-hiponim tersebut akan tertuju pada kendaraan bermotor. Tabel 4.25 Struktur Bentuk Permainan Bahasa dengan Hiponimi Data SI 12
Struktur Bentuk Superordinat
Contoh hiponim Senter Æbatre, balon, kepitingan, saklar Superordinat gas, rim, kopling, starter, kunci kontak Æ Ο ( motor)
SI 13
hiponim
4.4 Bentuk Permainan Kata Antarbahasa Permainan kata antarbahasa (interlanguage) adalah permainan bahasa dengan pemanfaatan kehomoniman aksidental kata-kata yang berasal dari leksikon bahasa yang berbeda (Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2010:85). Menjamurnya penggunaan bahasa Indonesia dalam budaya Bali dan banyaknya interaksi dengan turis mancanegara menyebabkan masyarakat Bali saat ini terbiasa menggunakan bahasa dengan alih kode atau campur kode. Campur kode adalah percampuran dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu (Jendra, 2007: 166). Penggunaan campur kode ini dilakukan tokoh punakawan WCB dengan memanfaatkan kata-kata berhomonim (persamaan bentuk, tetapi berbeda makna) dan leksikon dengan bunyi dan makna mirip, tetai dari leksikon bahasa yang berbeda untuk menghasilkan permainan bahasa yang menarik.
94
Pada LM 21a terdapat kehomoniman antara ‘uap’ dalam bahasa Indonesia yang dihasilkan dari temperatur yang tinggi dengan uap dalam bahasa Bali yang mengandung arti mengusap ke bagian tubuh. Dengan demikian, leksikon pertama, yakni ‘uap’ dalam bahasa Indonesia (disimbolkan dengan A) berubah maknanya saat diungkapkan dalam konteks yang berbeda (yang disimbolkan dengan A:). Walau berbentuk leksikon yang sama, terjadi perubahan identitas dari keterangan (Adv) menjadi kata kerja (V). Perbedaan makna dalam leksikon yang sama antarbahasa yang berbeda ini menghasilkan bentuk permainan bahasa yang mengundang tawa penonton. LM 21a Delem Sangut Delem
Sangut
: /di kamar mandi kak↔ j↔g mbok nyoman ci mandi uap / ‘sewaktu aku di kamar mandi, Mbok Nyomanmu mandi uap’ : /↔mbeh keNken madan mandi uap / ‘mbeh… seperti apa itu mandi uap?’ : /ad↔ yeh t↔Nan ember Nut paN nyandaN ajak dadua colek uap uap uap mandi uap/ ‘ada air setengah ember Ngut, agar cukup untuk berdua. Colek,usap, usap, usap…. mandi uap’ : /kikikkikiki / ‘hihihihi’
Mandi uap menjadi tren kebiasaan masyarakat saat ini yang biasanya dilakukan untuk mengeluarkan toksin-toksin dalam tubuh saat melakukan terapi SPA maknanya menjadi berbeda jika bentuk lingual ini digunakan pada bahasa Bali yang berarti mengusap. Dengan demikian, mandi uap dalam bahasa Bali adalah mandi dengan hanya menggunakan sedikit air yang diusap-usapkan ke tubuh. Hal ini biasanya digunakan oleh masyarakat zaman dahulu karena minimnya persediaan air atau dilakukan untuk membersihkan badan seseorang yang sedang sakit.
95
Data KN 21 merupakan permainan kumpulan kehomoniman kata dalam bahasa yang berbeda.
Dalam data ini bentuk frasa nomina dalam bahasa
Indonesia ‘kebutuhan hidup semakin kompleks’ dimanipulasi sedikit ejaannya menjadi kalimat dalam bahasa Bali butuh idup komplek ‘burung (kemaluan lakilaki) hidup ya ke komplek’ A (NP) KN21 Cenk
Blonk Cenk
A: (K)
: /belajarlah ci tuntut ilmu setiNgi-tiNginya d↔ dadi ap↔ pikirne s↔bab jaman globalisasi kebutuhan idup s↔makin kompleks / ’belajarlah kamu.. tuntut ilmu setinggi-tingginya, jangan akan jadi apa dipikirkan, sebab zaman globalisasi kebutuhan hidup semakin kompleks’ : /o yen butuh idup komplek/ ‘oh.. kalau burung hidup ke komplek’ : /otak ci dul / ‘otakmu dul!!’
Persamaan leksikon ‘butuh’ dalam bahasa Bali dan Indonesia dimanfaatkan tokoh punakawan WCB dalam mengkreasikan permainan antarbahasa ini, butuh atau ‘kebutuhan‘ yang berkelas kata nomina dalam bahasa Indonesia bersinonim dengan keperluan, dimanipulasi sedikit dengan pelesapan afiksasi menjadi ‘butuh’ berkelas kata nomina juga yang dalam bahasa Bali berarti ‘kemaluan laki-laki’. Di samping itu, leksikon kompleks dalam bahasa Indonesia yang bersinonim dengan beranekaragam dialihkan dalam imajeri masyarakat Bali dengan suatu tempat prostitusi di Bali yang dikenal dengan sebutan ‘komplek’. Penggabungan leksikon-leksikon antarbahasa tersebut menjadi wahana penyampaian lelucon berbau porno yang mengundang tawa.
96
Satu data yang menarik lagi adalah penggunaan manipulasi bunyi dalam kehomoniman antarbahasa bahasa Bali dan Inggris berikut ini KL 5 Sangut
: /Norin timpal ne Norin bar↔N N↔laksanaaN to panak caNe m↔bas↔ bali panak mel↔me m↔bas↔ iNgris, panak mel↔me b↔rg↔lut d↔Nan toris luar n↔gri b↔rg↔lim aN dolar panak caNe b↔rg↔lut deNan nyanyat di dicarike to panak mel↔me makan keju panak caNe makan siNkoN to panak mel↔me Norang oh. me mad↔ to panak caNe NoraN o meme made / ‘memberi tahu teman yang member tahu juga harus melaksanakan. Itu anakku berbahasa Bali anak Melem berbahasa Inggris, anak Melem bergelut dengan turis luar negeri bergelimang dolar anakku bergelut dengan lumpur di sawah, itu anak Melem makan keju anakku makan singkong, itu anak Melem bilang oh.. my mother itu anakku bilang o.. meme Made’
Pada permainan bahasa dengan menggunakan campur kode di atas terjadi perubahan variasi bahasa dari bahasa Inggris my mother dengan pelafalan /me mad↔/ dilanjutkan dengan frasa bahasa Bali meme Made /meme made/. Pelafalan my mother dengan /me mad↔/ seperti yang banyak dilakukan masyarakat Bali dalam melafalkan frasa dalam bahasa Inggris tersebut sengaja dilakukan demi menyepadankannya dengan pelafalan frasa bahasa Bali /meme made/. Kemiripan pelafalan antarbahasa tersebut menghasilkan permainan bahasa yang menarik karena secara tidak langsung makna dari kedua bahasa berbeda yang pelafalannya mirip tersebut juga mirip. Tabel 4.26 Struktur Bentuk Permainan Bahasa dengan Permainan Antarbahasa No Data LM 21a KL 5
Bentuk A (Adv) A: (V) A (NP) A: (NP)
Contoh Mandi uap Æ uap ‘meraup wajah’ oh my mother Æoh meme made /oh me mad↔ oh meme made/
97
KN 21
A (NP)
A: (K)
Kebutuhan hidup semakin kompleksÆ butuh idup komplek ‘burung (kemaluan) hidup ya ke kompleks (tempat prostitusi)
BAB V FUNGSI PERMAINAN BAHASA TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK
98
Dalam kajian Linguistik Kebudayaan antara bentuk, fungsi, dan makna ada benang merah yang menghubungkan satu sama lainnya. Hubungan sebab akibat yang logis tampak dari bentuk, fungsi, dan makna dari sebuah tuturan. Artinya komponen bentuk menyediakan dan memberikan peluang untuk mengemukakan eksistensi komponen fungsi. Komponen fungsi yang menerima peluang dari komponen bentuk selanjutnya menyediakan dan memberi peluang yang sama terhadap mengemukanya eksistensi komponen makna. Sang dalang sebagai kreator tentu memiliki maksud tertentu hingga memproduksi dan memformulasi
bentuk-bentuk
kreatif
permainan
bahasa
pada
tokoh
punakawannya dan bentuk-bentuk yang dihasilkannya tentu memiliki kegunaan. Sehubungan dengan itu, dalam bab ini dianalisis fungsi-fungsi yang dihasilkan bentuk permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang sebelumnya dibahas pada bab IV yang setidaknya memunculkan lima fungsi. Kelima fungsi yang dimaksud adalah fungsi menghibur, fungsi menghibur dan informatif (infotainment), fungsi menghibur dan mendidik (edutainment), fungsi pengembangan kreativitas berbahasa Bali, dan fungsi kritik sosial.
5.1 Fungsi Menghibur Hal dominan yang ingin dicapai seorang entertain adalah agar penikmatnya merasa terhibur. Dalam seni pewayangan, tokoh punakawan menjadi pusat hiburan karena pada tokoh-tokoh inilah dalang memiliki hak untuk
99
menggunakan dan menghasilkan bahasa-bahasa kreatif, baik demi keindahan maupun menghasilkan efek-efek jenaka sebagai humor yang dapat menghibur penonton. Kayam (1981:134) dengan tegas menyatakan bahwa di samping sebagai mass media, pertunjukan wayang kulit juga berfungsi sebagai mass entertainment. Dari pernyataan tersebut dapat diasumsikan bahwa dalam wayang banyak tersedia hiburan yang dapat mengubah perasaan penonton menjadi senang. Sesuai dengan teori dari Leech (1977) tentang fungsi bahasa, fungsi menghibur ini sesuai dengan fungsi direktif, yakni fungsi bahasa yang dapat memengaruhi perasaan dan perilaku orang lain dalam hal ini memengaruhi agar merasa senang karena terhibur. Dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB bentuk-bentuk yang dapat memengaruhi perasaan pendengar ada pada permainan bahasa yang sifatnya melucu atau humor dan yang berbentuk retoris. Permainan bahasa yang sifatnya melucu akan dirasa jenaka oleh pendengar sehingga memengaruhi perasaannya menjadi senang kemudian permainan berbentuk retoris yang bersifat kreatif juga dapat membuat pendengar terbuai dan menikmatinya sebagai hiburan. Namun, dalam bentuk permainan bahasa retoris tokoh punakawan WCB orientasi terhadap keestetikan atau keindahan yang paling utama agar nantinya dapat berfungsi direktif. Berikut ini adalah contoh permainan bahasa berbentuk retoris yang berfungsi menghibur, DRT 10
Delem
:
Sangut : Delem : Sangut :
/m↔mul↔
padi y↔ m↔mul↔ timun/ ‘bertanam padi ya bertanam mentimun’ /m↔mul↔ nyuh y↔ m↔mul↔ sawah/ ‘bertanam kelapa ya bertanam sawah’ /ne muani y↔ kimud kimud/ ‘yang pria malu-malu’ /sane luh galak galak/ ‘yang wanita galak-galak (agresif)’
100
Fungsi menghibur yang dihasilkan dari bentuk permainan bahasa retoris di atas karena bentuk asonansi yang terjadi pada setiap silabel akhir frasa. Penyisipan permainan bahasa retoris di atas hanya untuk menghasilkan keindahan dalam berbahasa yang secara direktif dapat memengaruhi perasaan pendengarnya. Bentuk retoris di atas dalam bahasa Bali disebut dengan peparikan atau sejenis pantun. Persamaan sajak yang dihasilkan secara apik dalam sampiran dan isi peparikan selain untuk keindahan dapat dirasakan sebagai hiburan. Paling tidak pendengarnya akan tersenyum setelah penyepadanan bentuk padi dengan muani, nyuh dengan luh, timun dengan kimud, dan sawah dengan galak. Bentuk yang sama juga dapat diperlihatkan pada data DRT 14 dan KN 4 berikut. DRT 14
Delem
:
Nyoman :
/man man / ‘Man…. Man….’
/doN sir↔ niki m↔nyoman-nyoman ken tiyaN sajan tonden m↔sandal sub↔ m↔g↔njit konden k ↔nal rag↔ sub↔ g↔nit / ‘Siapa ini memanggilmanggila saya Nyoman? Belum bersandal sudah berjinjit, belum kenal kamu sudah genit’
Penyepadanan asonansi pada permainan bahasa di atas juga berfungsi menghibur,
tidak
ada
hubungan
antara
tonden m↔sandal dengan
konden k↔nal ataupun sub↔ m↔g↔njit dengan sub↔
g↔nit. Pemasangan
bentuk-bentuk tersebut hanya untuk keindahan dan menghasilkan efek jenaka. Data KN 4 lebih menunjukkan kekreatifan dalang dengan membentuk pola konstruksi seperti sajak dengan permainan asonansi. Penataan dan pemasangan bentuk-bentuk leksikal yang sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini menghasilkan bentuk keseluruhan yang jenaka dan menghibur. Bentuk estetik yang ditonjolkan dalam permainan repetisi bunyi ini mengembangkan imajeri
101
masyarakat yang bermacam-macam sesuai dengan pengalamannya masingmasing. KN 4 Delem: / kol↔ NoraN ya k↔baaN honda kol↔ NoraN yes k↔baaN mersedes kol↔ NoraN oke k↔baaN ceroke / ‘asalkan bilang ya aku beri Honda. Asalkan bilang yes kuberi Mercedes. Asalkan bilang oke ku beri Cerokee.’
Fungsi menghibur yang paling jelas tampak pada bentuk-bentuk permainan bahasa yang berjenis humor. Dalam WCB bentuk inilah yang paling ditunggu-tunggu penonton karena dalang WCB terkenal dengan kekreatifannya memformulasikan humor. Gara (1999) menyebut humor terjadi jika dua dunia “bertabrakan”, yakni dua persepsi atau lebih berbeda dan berlawanan, lalu diinferensikan sesuai dengan pengalaman apresiatornya masing-masing. Dalam humor sesuatu yang tak terduga harus terjadi yang mengguncang kita keluar dari pola biasa, lalu kita tertawa. Tertawa secara umum menjadi simbol rasa terhibur. Hal inilah yang menjadi acuan seorang dalang. Dalam fungsinya sebagai wahana hiburan, permainan bahasa tokoh punakawan WCB ditata apik oleh dalangnya dan disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga pendengar merasa masuk dalam permainan-permainan bahasa tersebut. Fungsi hiburan dalam humor banyak terdapat pada permainan bahasa tokoh punakawan WCB berbentuk pelesetan. SI 3b (01 :34) Sukir
:
Tualen :
/ratu p↔rand↔ jaNan erosi/ ‘Ratu Peranda jangan erosi !’ /emosi/ ‘emosi!’
102
Sukir
:
/eh a↔ emosi/ ‘oh iya emosi’
Pada data di atas bentuk “erosi” keluar dari pola biasa, maksudnya kata tersebut tidak sesuai jika dideretkan dengan kata-kata sebelumnya. Keadaan yang keluar dari pola biasanya inilah menyebabkan pendengar merasa aneh mendengarnya, terlebih lagi dilakukan penyebutan bentuk tandingannya yang merupakan ide yang sebenarnya. Dengan membandingkan bunyinya yang mirip penonton akan merasa hal itu sebagai kejenakaan yang menyebabkannya terhibur. Bentuk pelesetan lain yang berfungsi menghibur diperlihatkan dalam data DRT 20 dan SAB 4 berikut ini. DRT 20 Sangut
SAB 4 Delem Sangut Delem Sangut
: Yang paling mengetahui banyak ilmu di Wanaprasta adalah Sang Sahadewa. Beliau mengetahui berbagai magic. White magic, black Magic, dan segala gic gic-nya sampai ke magic-jar, itu sang Sahadewa : / jani b↔ Nut ram↔ dew↔ akan hancur/ ‘saat inilah Ngut…Rama Dewa akan hancur’ : /ram↔ dew↔ akan TKO / ‘Rama Dewa akan TKO’ : / TKO to / ’TKO itu?’ : Tenaga Kurang Optimal
Pemelesetan ide yang diperlihatkan pada data DRT 20 memperlihatkan terjadi penyimpangan “pola” biasanya. Ide berbagai macam kekuatan atau kesaktian yang dihasilkan bentuk white magic dan black magic yang terkesan serius segera memecahkan keseriusan pendengar menjadi kejenakaan saat ide ini terkontaminasi dengan bentuk magic jar yang memiliki bentuk penyusun yang mirip dengan bentuk atau pola awalnya.
103
Data DRT 14 berikut ini juga memperlihatkan fungsi menghibur yang dihasilkan dari permainan berbentuk simile yang memanfaatkan pemilihan kata yang inovatif sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini. Delem
SI 14a SI 14b SI 14 c
: /kulit kur↔n ci s↔l↔m di↔t, buNutne p↔luN NiduN len liNgah,
pipi c↔nik t↔lah pipine uyak buNut. di muwane buNut gen m↔kacakan./ ‘kulit istrimu hitam legam, bibirnya hitam, dan lebar, pipi kecil, wajahnya penuh isi bibir’ /bok kritiN car↔ mi / ‘rambutnya kriting seperti mie’ /batisne b↔lah b↔lah / ‘kakinya pecah-pecah’ /aduh gidatne jantuk car↔ be lohan hahahaha / ‘aduh… jidatnya menonjol seperti ikan Lohan hahahaha’
Fungsi ekspresif yang berorientasi pada perasaan penutur, yakni tokoh Delem terhadap lawan tuturnya (tokoh Sangut) ditunjukkan dari kesan wacana di atas. Permainan bahasa berbentuk simile dan metafora ini diungkapkan tokoh Delem yang seolah-olah mengejek tokoh Sangut dengan mengata-ngatai istri Sangut dengan celaan yang mengundang tawa penonton. Penggunaan pola-pola yang tidak sesuai dengan pola sebenarnya dirasakan penonton yang juga merupakan pelibat
tutur
pada
bentuk-bentuk
simile
/bok kritiN car↔ mi /
dan
gidatne jantuk car↔ be lohan / ‘ jidatnya menonjol seperti ikan Lohan’. Pada
saat tokoh Delem menyebutkan hal ini suara tawa penonton terdengar dalam rekaman VCD yang menandakan bentuk ini dianggap lucu. Bentuk simile bok kriting cara mi ‘rambutnya kriting seperti mie’ keluar dari pola awal yang diketahui masyarakat Bali bahwa ungkapan yang membudaya didengarnya untuk penyebutan rambut seseorang yang kriting adalah bok kriting cara embotan belayag ‘rambut kriting seperti tarikan sejenis ketupat yang bentuknya memanjang’ atau bok
104
kriting cara sebun perit ‘rambutnya seperti sarang burung pipit’. Pergeseran pemilihan leksikal belayag dan sebun perit menjadi mie inilah yang mengundang tawa pendengarnya. Mengembangkan dan memperkaya imajeri dapat dilakukan dengan
pengalaman secara langsung. Imajeri yang diperoleh dari pengalaman melihat langsung akan lebih kuat melekat dibandingkan dengan imajeri yang diperoleh dari hanya mendengar saja. Imajeri masyarakat akan mie lebih dekat di otak masyarakat saat ini daripada belayag ataupun sebun perit sehingga dengan menyebut mie yang menyimpang dari pola atau bentuk yang biasanya didengar dan pengalaman kontekstualnya dengan mie menyebabkan bentuk ini menjadi menarik dan menghibur.
5.2 Fungsi Informatif dan Menghibur (Infotainment) Istilah infotainment merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang menjadi istilah populer dalam masyarakat sebagai berita ringan yang menghibur atau informasi hiburan. Infotainment merupakan kependekan dari istilah Inggris information-entertainment yang lebih dikenal masyarakat berhubungan dengan acara televisi yang menyajikan berita selebritis dan memiliki ciri khas penyampaian. Pada penelitian ini istilah infotainment digunakan untuk menyebutkan fungsi permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang berfungsi sebagai informasi, tetapi dibungkus dengan hiburan. Agar sebuah informasi dapat diterima dengan baik oleh pendengarnya, dalang WCB menyelipkan permainanpermainan bahasa yang sifatnya menghibur pada dialog-dialog punakawan yang berfungsi informative. Unsur humor atau lelucon diselipkan agar pendengar
105
tertarik dan jika sudah tertarik, otomatis pesan yang sebenarnya ingin disampaikan dapat diterima. LMur 8c Tualen : / kelan nanaN Norang b↔b↔dikin cai Nalih baraN baNka, paN d↔ nyanan k↔n↔ sakit AIDS/ ‘kan ayah bilang jangan kamu mencari pelacur, agar tidak terkena penyakit AIDS nanti’ Mredah : /aids e ↔nto / ‘AIDS itu apa?’ Tualen : A,I,D,S Mredah : A Tualen : /akibat/ ‘akibat’ Mredah : I Tualen : /itunya/ 'itunya' Mredah : D Tualen : /dimasukkan/ 'dimasukkan' Mredah : S Tualen : /S↔mbaraNan jeg aids polon ci nyidaN siN nuluNin ben/ ‘ Sembarangan, jeg kena AIDS kamu, tidak bisa ditolong’ Bentuk pelesetan kepanjangan dari singkatan AIDS Aquired Immune Deficiency Syndrome menjadi ”Akibat Itunya Dimasukkan Sembarangan” sebenarnya berfungsi informasional yang orientasinya mengarah pada topik pembicaraan, yakni AIDS. Pemelesetan kepanjangan ini dilakukan tokoh-tokoh punakawan di atas untuk menarik antusias pendengar agar menyimak pelesetan kepanjangannya yang berbau agak porno ini. Fungsi awal yang ditunjukkan pada wacana di atas adalah untuk menyampaikan informasi, tetapi dalang melalui tokoh Tualen membuat informasi yang disampaikan tersebut menjadi suatu hal yang menarik dan kebermaknaannya dapat diperoleh dengan baik dan hati yang senang oleh pendengarnya dengan menyelipkan lelucon berbau agak porno. Secara tidak langsung lelucon berbau agak porno ini memiliki fungsi informasi bagi pendengarnya, yakni pesan yang ingin disampaikan dalang lewat tokoh
106
punakawannya bahwa AIDS yang disebarkan oleh virus HIV ini dapat terjadi jika seseorang sering berganti-ganti pasangan. Hal itu diwakili oleh kata barang bangka ‘barang tidak berguna’ yang merupakan istilah masyarakat Bali untuk menyebut pelacur atau wanita yang sering berganti-ganti pasangan. Pengutaraan permainan bahasa di atas menetralkan kesan “sok menasihati” yang mungkin dirasakan pendengar. Adanya sisipan pelesetan yang sifatnya menghibur ini juga dapat menghindari rasa tersinggung yang mungkin saja dirasakan pendengar yang memiliki kasus penyakit AIDS. Data KN 21 di bawah ini juga menunjukkan permainan bahasa yang berfungsi
informatif
yang
dibungkus
dengan
bentuk
lelucon
sebagai
entertainment. KN21 Cenk
Blonk Cenk
: /belajarlah ci tuntut ilmu setiNgi-tiNginya d↔ dadi ap↔ pikirne s↔bab jaman globalisasi kebutuhan idup s↔makin kompleks / ’belajarlah kamu.. tuntut ilmu setinggi-tingginya, jangan akan jadi apa dipikirkan, sebab zaman globalisasi kebutuhan hidup semakin kompleks’ : /o yen butuh idup komplek/ ‘oh.. kalau burung (kelamin laki-laki) hidup ke komplek?’ : /otak ci dul / ‘otakmu dul!!’
Bentuk permainan bahasa pelesetan ideologi di atas pada awalnya merupakan suatu pesan yang ditangkap pendengar sebagai informasi bahwa “kebutuhan hidup yang semakin kompleks” pada zaman sekarang ini. Penyelipan bentuk pelesetan yang hampir sama dengan hipogramnya menjadi ‘butuh idup komplek' dalam bahasa Bali yang bermakna vulgar secara direktif akan memengaruhi perasaan pendengar menjadi terhibur. Di samping itu, menyebabkan pesan awal yang
107
disampaikan dalang melalui tokoh punakawannya tersebut dapat melekat lebih lama atau dapat dengan lebih mudah diingat pendengar sebagai suatu informasi. Data KN 8b berikut ini merupakan informasi yang diperoleh pendengar bahwa Bali identik dengan kebersamaan. Fungsi informasional diperoleh dari orientasi pada topik dengan penandaan berupa permainan bahasa. Penggunaan bentuk permainan bahasa aliterasi dengan repetisi konsonan /b/ pada awal kata yang diperlihatkan dengan perbandingan yang terbalik atau berantonim. Informasi yang diperoleh pendengar Bali identik dengan kehidupan bersama dan banyaknya penduduk Bali saat ini karena Bali menjadi tempat tujuan wisata ataupun tempat untuk mencari nafkah. Permainan bahasa aliterasi ditunjukkan dengan menyandingkan kata /bali/ dan /balu/ ‘janda’ yang identik dengan kesendirian menjadi sebuah humor yang menghibur. KN 8b Malen : Mredah : Malen : Mredah Malen Mredah Malen Mredah
: : : : :
/bali suka kebersamaan/ /bali d↔m↔n idup ajak liu/ ‘Bali suka hidup berbanyak’ /bali d↔m↔n idup ajak liu/ ‘Bali suka hidup berbanyak’ /yen ub↔ ajak liu/ ‘jika sudah berbanyak?’ /j↔g bali b↔ to/ ‘Bali itu!’ /yen pedidian/ ‘jika sendiri?’ /balu / ‘janda’ /ne k↔l aluhan ken m↔ju / ‘kok gampang seperti itu’
5.3 Fungsi Mendidik dan Menghibur (Edutainment)
108
Fungsi menghibur dan mendidik di sini disamakan dengan istilah edutainment. Edutainment juga merupakan istilah yang sedang populer digunakan pada acara pertelevisian saat ini untuk menyebut program acara untuk anak-anak yaitu sejenis film yang mendidik, sebut saja salah satunya Dora dan KawanKawan yang merupakan kartun yang berisi pelajaran bagi anak-anak usia dini dalam berhitung, bernyanyi, pengenalan warna, dan lain-lain. Edutainment merupakan penggabungan dua istilah dalam bahasa Inggris, yaitu education dan entertainment. Arti education sendiri adalah pendidikan, sedangkan entertainment berarti hiburan. Istilah edutainment memiliki arti bahwa adanya proses dalam pendidikan itu menjadi hiburan dan adanya hiburan itu akan menjadikan nilai pendidikan. Seni pewayangan sangat erat dengan ajaran dan filsafat kehidupan. Dalam WCB banyak nilai normatif yang disajikan dalam dialog-dialog setiap lakonnya. Tokoh punakawan yang memiliki konvensi berbahasa bebas dimanfaatkan para dalang dalam mentransmisikan nilai-nilai mendidik, baik dengan anjuran, ajakan, suruhan, pengarahan, pembiasaan, maupun pemberian contoh yang harus dijauhi dengan menggunakan bahasa yang lugas. Dalang WCB dapat dengan baik mentransmisikan nilai-nilai mendidik dan keteladanan tersebut terutama dengan menggunakan permainan-permainan bahasa yang menghibur pada tokoh punakawan. Hal ini dilakukan agar terdidik, yakni pendengar tidak merasa terbebani. Leech (1977: 48) menyatakan fungsi direktif bahasa akan tampak jelas pada permohonan dan suruhan. Permainan bahasa dapat diaplikasikan di dalam
109
mengungkapkan permohonan atau menyuruh seseorang untuk menghasilkan efekefek tertentu. Topik dalam kalimat yang berfungsi direktif memberikan tekanan pada sisi penerima, maksudnya ujaran tersebut ditujukan kepada penerima hingga terpengaruh perasaannya dan melakukan sesuatu setelah mendengarnya. Dua konsep menghibur dan mendidik di sini tampaknya sama-sama menggunakan bahasa dengan fungsi direktif seperti yang disebutkan Leech (1977) karena pada prinsipnya kedua hal yang digabungkan tersebut sama-sama berorientasi kepada pendengarnya. Data DRT 3, DRT 9a dan BM 3j berikut ini merupakan beberapa contoh yang menunjukkan fungsi bahasa direktif yang penggunaannya sebagai pengarahan. Data DRT 2 berikut ini dapat ditangkap pendengar sebagai anjuran yang menghibur. (25 :60) DRT 2 Tualen
:
/το δαϕαν υμαηε, bilaN wai y↔ Namah narkoba sit↔N j↔ y↔ / ‘itu yang di sebelah utara rumah, setiap
: :
/narkoba/ ‘Narkoba?’ /a↔ nasi rawon koah bakso/ ‘iya, Nasi Rawon Kuah Bakso’
hari dia makan narkoba, kuat dia’ Mredah Tualen
Contoh di atas tampak seperti sebuah informasi baru bahwa ada narkoba yang bisa membuat
orang
siteng
‘sehat’.
Akan
tetapi,
sebenarnya
pesan
yang
ditransformasikan tokoh Tualen ini merupakan suruhan. Secara implisit tokoh Tualen ingin menunjukkan contoh bahwa ada sesuatu yang disebutnya juga narkoba (seperti imajeri masyarakat terhadap kesan negatif narkoba: narkotika dan obat-obatan terlarang). Namun, narkoba yang disebutkan untuk kesehatan dan rasanya lebih enak daripada NarKOtik dan oBAt-obatan terlarang adalah NAsi Rawon KOah BAkso. Dengan memelesetkan kepanjangan akronim narkoba
110
menjadi NAsi Rawon Koah Bakso tokoh Tualen secara tidak langsung mengajak pendengar untuk menjauhi narkoba (narkotik dan obat-obatan terlarang) dan menganjurkan mengonsumsi narkoba (nasi rawon koah bakso) yang lebih menyehatkan. Data SI 1 berikut ini juga sejenis dengan data DRT 2. Dengan menggunakan
bentuk
pelesetan
kepanjangan
akronim,
tokoh
Tualen
mengembangkan imajeri penonton akan hubungan yang biasanya dianggap mendasar antara uang (duit) dengan upacara yadnya di Bali. Konseptual yang dimiliki kebanyakan masyarakat terhadap keperluan yadnya yang memerlukan dana yang banyak dikaburkan tokoh Tualen yang berusaha mengubah mainset masyarakat terhadap uang (duit) yang banyak menjadi tolok ukur untuk sebuah yadnya menjadi suatu pemikiran yang salah. SI 1 Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : : : : : :
Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : :
/ap↔ dasar yadny↔ e/ ‘apa yang mendasari yadnya?’ ‘DUIT’ /ap↔ / ‘apa?’ ‘DUIT’ DUIT e to ? ‘duit itu?’ ‘D, U, I, T D? /doa, s↔tata stiti bakti riN ida sang yang widi m↔dasar b↔n p↔pin↔h ane suci nirmal↔/ ‘Doa. Berbakti pada Ida Sang Hyang Widhi berdasar pikiran yang suci’ /doa / ‘doa?’ /doa/ ’doa’ ‘U?’ /utsah↔, N↔l↔mah lan m↔bakti k↔ pur↔, pul↔s Nanti di pur↔ siN mulih-mulih ulian m↔bakti, nunas ica paN nyak sugih, yen siN titinan b↔n ny↔mak gae siN m↔gl↔buk pise uluN uli laNit tuluN / ‘Usaha. Seharian sembahyang ke pura, sampai tidur di pura tidak pulang-
111
Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : :
Mredah Tualen
: :
pulang karena sembahyang, minta agar kaya jika tidak bekerja dengan keras, tidak akan jatuh uang dari langit’ /dasarne / ‘dasarnya?’ /utsah↔ to dasarne / ‘usaha, itu dasarnya I ? /inisiatif, d↔ timpale kanti nunden i rag↔ m↔yadny↔ irag↔ p↔didi N↔lah kit↔ e yadnya e / ‘Inisiatif. Jangan sampai orang lain menyuruh kita ber-yadnya, harus kita sendiri yang memiliki keinginan’ T ? /t↔kun/ ‘Tekun’
Saat mendengar dasar yadnya adalah duit, terdengar tawa penonton pada rekaman pertunjukan WCB berjudul Suryawati Ilang ini. Hal tersebut menggambarkan bahwa celotehan tokoh Tualen ini dirasakan benar dan disetujui oleh penonton. Rasa antusias masyarakat untuk mendengar kelanjutan dialog tokoh punakawan ini semakin meningkat karena dalam benaknya pasti setelah itu banyak humor yang sifatnya menyindir akan disebutkan apalagi tokoh Mredah menyebut huruf “D” yang menjadi karakteristik keinovatifan WCB dalam membuat pelesetan kepanjangan singkatan dengan bersahut-sahutan antartokoh dalam menyebut huruf penyusun dan kepanjangannya yang dianggap lucu, menarik, dan mengena dalam konteks kehidupan. Namun, memanfaatkan rasa terhibur masyarakat ini tokoh Tualen ternyata menyebutkan kepanjangan akronim duit menjadi Doa, Utsaha, Inisiatif, dan Tekun dengan penjelasannya mendidik untuk memengaruhi atau membuat mainset masyarakat akan perlunya duit yang banyak untuk yadnya memudar. Dengan menyebut kepanjangan kata yang dianggap akronim DUIT tokoh punakawan ini berusaha menyadarkan pendengar bahwa hal yang paling penting yang mendasari yadnya itu bukanlah sekadar uang (duit), melainkan doa, utsaha, inisiatif, dan ketekunan.
112
Data DRT 9a dan KN 3 berikut ini merupakan anjuran, arahan yang diformulasikan dalam dialog tokoh punakawan sebagai nilai-nilai keteladanan dengan menggunakan hiburan permainan bahasa berbentuk kias, yakni simile dan metafora. (49 : 52) DRT 9a Tualen :
/kelan d↔ iju-iju nigtig taNkah N↔raosaN awak paliN jujur
NraosaN awak paliN suci brut asal baNke meN gen bon ↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake. brut asal c↔nan↔ bon ↔ntute ne mirib tamp↔tin to / ‘jangan buru-buru memukul dada, menyebut diri paling jujur, menyebut diri paling suci, bruuut…. Asal bangkai kucing masih bau kentutmu berarti baik buruk masih melilit di tubuh. Bruut asal berbau cendana kentutmu, ini mungkin bisa disimpan itu’
KN3 Sangut : /car↔ pane misi yeh, dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k sinah bulan siN m↔lawat. ida saN yang widi m↔rag↔ suci lan p↔pin↔h suci aNgon Nalih l↔m! aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne l↔m/ ‘seperti periuk tanah yang berisi air, di mana air yang bersih di situ bayangan bulan akan tampak, jika periuk tanah berisi air kotor bayangan bulan tidak akan tampak. Ida Sang Hyang Widhi itu suci, jadi pikiran yang suci digunakan untuk mencarinya Lem! Jika ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan kucing hitam, lari nanti burung perkututnya Lem’. Pada data DRT 9a tampak fungsi direktif pada kata /d↔ iju-iju nigtig taNkah/ ‘jangan buru-buru memukul dada’.
Fungsi direktif
yang bermaksud untuk
melarang ada pada kata /d↔/ yang identik dengan suruhan atau ciri pada kalimat imperatif dan “memukul dada” yang mengasosiasikan perilaku sombong karena setiap manusia pasti mempunyai kekurangan atau kelemahan yang diasosiasikan dengan metafora asal baNke meN gen bon ↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit
113
di awake. ‘asal masih berbau kentutmu berarti baik buruk itu masih melilit
ditubuhmu’. Penggunaan lelucon “bruut” yang menandakan bunyi kentut kemudian dilanjutkan dengan bentuk permainan bahasa dengan metafora menghasilkan wejangan yang terbungkus dengan efek-efek menghibur. Hal yang sama juga terjadi pada data KN 3 yang dalam wacana-wacananya mengandung unsur didikan moral dan religius dengan menggunakan kreativitas gaya berbahasa /aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne l↔m/ ‘jika ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan burung gagak hitam, lari nanti burung perkututnya Lem!’. Penggunaan asosiasi guak dan kitiran yang memiliki kesan tertentu bagi masyarakat Bali hingga membuat penontonnya tertawa karena imajeri yang dibangkitkan tokoh Sangut menjadikan wacana yang berfungsi mengimbau ini menjadi terasa segar dan menarik.
5.4 Fungsi Pengembangan Kreativitas Berbahasa Bali Permainan-permainan bahasa tokoh punakawan WCB banyak menunjukkan kreativitas berbahasa Bali yang berperan dalam pelestarian bahasa dan budaya. Walau banyak mendapat variasi kode dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan menggunakan kata-kata atau pilihan kata yang banyak bersifat kekinian, banyak juga permainan bahasanya membangkitkan imajeri masyarakat terhadap leksikal-laksikal yang belum dikenal. Dalam permainan-permainan bahasa tokoh punakawan WCB masih banyak juga kata yang mungkin jarang digunakan masyarakat saat ini karena jarang atau tidak pernah sama sekali mengetahui hal tersebut. Dengan memformulasikan dalam permainan bahasanya yang bersifat
114
melucu tokoh punakawan memperkenalkan leksikal-leksikal tersebut dengan caracara kreatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:739) disebutkan kreativitas memiliki pengertian (1) Kemampuan untuk mencipta; daya cipta; (2) perihal berkreasi; kekreatifan. Sesuai dengan fungsinya sebagai pengembangan kreativitas
berbahasa
Bali,
permainan
bahasa
pada
tokoh
punakawan
menunjukkan suatu perihal berkreasi, yakni mengkreasikan bentuk-bentuk yang sudah ada dengan pembaruan yang bersifat inovatif. Permainan bahasa tokoh punakawan WCB banyak menunjukkan pengembangan kreativitas berbahasa Bali dengan menggunakan bentuk bladbadan. Saat ini bladbadan sangat jarang digunakan dalam komunikasi masyarakat Bali padahal dahulu bladbadan menjadi istilah yang sering digunakan masyarakat untuk merujuk sesuatu atau memelesetkan acuan yang dimaksud dengan sinonim bladbadan tersebut. Bentuk bladbadan dan maknanya bersifat konvensional. Misalnya, madon jaka ‘berdaun enau’ yang bersinonim dengan ron, yaitu nama daun jaka (enau) dengan memulurkan bunyinya, memberi awalan –ma dan akhiran –an menjadi makaronan kemudian diasosiasikan bunyinya dengan makurenan ‘bersuami-istri’. Bladbadan majempong bebek ‘bermahkota bebek’ yang bersinonim dengan jambul dan diasosiasikan dengan bentuk ngambul ‘merajuk’. Bladbadan-bladbadan seperti itu diperoleh masyarakat pada pelajaran bahasa daerah Bali saat duduk di bangku SD dengan cara menghafal. Bladbadanbladbadan ini akan tetap memiliki bentuk yang sama dengan arti yang sama karena dianggap sebagai paribasa bahasa Bali.
115
Dengan memanfaatkan pengetahuan masyarakat Bali akan bentuk-bentuk bladbadan konvensional yang dikenal turun-temurun tersebutlah dalang WCB berkreasi menghasilkan istilah-istilah seperti bladbadan ini pada permainan bahasa tokoh punakawannya. SAB 11a Sangut : Delem : Sangut :
/kupiN duaN sen t↔Nah / ’ telinga dua setengah sen’ /eNken / ‘bagaimana?’ /beNol / ‘bengol: dua setengah sen’
Contoh SAB 11a di atas menunjukkan kreativitas berbahasa Bali dengan menggunakan bladbadan yang dibuat sendiri oleh dalang WCB. Dengan menyebut bladbadan kuping duang sen tengah tokoh Sangut ingin menyatakan bahwa Delem bongol ‘tuli’.
Duang sen tengah ‘dua setengah sen’ yang
bersinonim dengan bengol dalam bahasa Bali diasosiasikan dengan bentuk bongol karena kemiripan bunyi. Namun, bentuk sinonim duang sen tengah itu langsung disebut tokoh Sangut (tidak seperti bagaimana biasanya dengan menyebutkan sinonim yang sudah mengalami pemuluran bunyi) agar pendengar bisa membandingkannya dengan bentuk tandingannya. Dalang pasti telah menyadari istilah bengol untuk menyebut nominal uang dua setengah sen sudah tidak biasa di dengar masyarakat saat ini terutama kaum remaja. Hal itu terjadi karena uang dalam satuan nilai ini sudah tidak ada pada zaman sekarang.
Kemaknaan
bladbadan akan segera ditangkap imajeri mayarakat saat tokoh Sangut menyebut bentuk sinonimnya dan bila dikaitkan dengan telinga pastilah bentuk yang dimaksud adalah bongol. Kekreatifan berbahasa pada tokoh punakawan ini juga dapat menambah pembendaharaan bahasa Bali masyarakat. Secara tidak langsung masyarakat akan
116
mengetahui bentuk leksikal bahasa Bali pada zaman dahulu yang mungkin baru diketahuinya dengan mendengar permainan bahasa tokoh punakawan WCB. Permainan bahasa dengan menggunakan bladbadan pada data SAB 6b di bawah ini juga menunjukkan pengembangan kreativitas bahasa Bali. Dalang menyusun dan mengembangkan bladbadan pada tokoh punakawannya untuk menyebut kata Sprite yang merupakan salah satu label minuman yang dikenal masyarakat umum ini. Penggunaan istilah akedis petingan poleng
dalam
menyebut jenis minumaan Sprite yang diminum tokoh Delem. Istilah yang dianggap bladbadan akedis petingan poleng bersinonim atau mengacu pada nama burung Perit /prit/ yang diasosiasikan dengan Sprite yang dilafalkan /s↔prit/ setelah mengalami pemuluran bunyi. Kreativitas ini dapat membangkitkan imajeri masyarakat terhadap istilah yang dibuat seperti bladbadan ini dan tersedia peluang masyarakat akan menggunakannya dalam interaksi sosial. Istilah ini dapat memperkaya bladbadan yang dikenal masyarakat Bali. (16:38) SAB 6b
SAB 6c
Sangut : Delem : Sangut Delem Sangut Delem
: : : :
/ap↔ air minum ne / ‘apa air minumnya?’ /ak↔dis p↔tiNan poleN / ‘burung pipit berwarna hitam putih’ /ap↔ to / ‘apa itu?’ /↔ s↔mprit / ‘ee.. Semprit’ /s↔prit / ‘Sprite!’ /α↔ α↔ s↔prit / ’ya... ya... Sprite’
Masih sangat banyak istilah yang dianggap sebagai bladbadan berfungsi sebagai pengembangan kreativitas berbahasa Bali yang disebutkan dalam permainan-permainan bahasa tokoh punakawan WCB. Beberapa di antaranya adalah gigi keliling kota yang bersinonim dengan /pawai/ kemudian diasosiasikan
117
dengan /pawah/ ‘ompong’, bok suba airport Ngurah Rai yang bersinonim dengan Tuban kemudian diasosiasikan dengan uban ‘rambut yang memutih’, bayu suba cara bojog tua yang bersinonim dengan bahasa Indonesia kera yang dibunyikan seperti pelafalan bahasa Bali /k↔r↔/, dan sebagainya. Kreativitas berbahasa ini tentunya berdampak sangat baik terhadap pengembangan dan kebertahanan bahasa Bali. Masyarakat akan lebih tertarik menggunakan istilah-istilah berbentuk bladbadan yang kreatif ini kerena pemilihan leksikalnya sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini. Dengan meggunakan bladbadan-bladbadan baru ini setidaknya dapat membangkitkan budaya berbahasa menggunakan bladbadan di tengah masyarkat yang modern.
5.5 Fungsi Kritik Sosial Kwant (1975: 4) menyebutkan bahwa kritik adalah sesuatu yang bernilai besar bahkan merupakan salah satu nilai eksistensi kemanusiaan dan merupakan sumber dari segala kemajuan. Sasaran kritik adalah kenyataan yang dihadapi. Dengan demikian, kritik akan muncul jika seseorang menyadari kenyataan yang dihadapinya tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kritik adalah penilaian atas kenyataan yang dihadapi seseorang dalam sorotan norma. Permainan bahasa tokoh punakawan WCB banyak mengandung fungsi kritikan terhadap kenyataan yang ada dan berkembang di masyarakat. Fenomena ketimpangan yang terjadi di masyarakat yang berhasil diamati dan “direkam” oleh dalang WCB disosialisasikan kembali dalam nuansa kritik pada tokoh punakawannya yang menjelmakan rakyat biasa yang derajatnya sama dengan
118
masyarakat. Fungsi bahasa ekspresif, informasional, dan direktif akan berkombinasi di dalam pengungkapan kritik. Fungsi ekspresif akan ditunjukkan dari cara penutur mengungkapkan kritikannya yang menggambarkan perasaan ketidakpuasan terhadap sesuatu. Fungsi bahasa informasional akan tampak pada orientasi topik pembicaraan, yakni akan ada informasi yang diperoleh pendengar saat penutur melakukan kritikannya, sedangkan fungsi direktif bahasa digunakan untuk memengaruhi perasaan petutur. Data LMur 3 berikut ini adalah permainan bahasa metafora yang ada pada dialog tokoh punakawan WCB sebagai kritikan terhadap kenyataan yang biasa terjadi dalam masyarakat. (58 :39) Mredah Tualen Mredah Tualen
LMur 3
: : : :
Mredah : Tualen : Mredah : Tualen :
/ap↔ dasarne to naN/ ‘apa dasarnya itu Yah?’ /pis/ ‘uang’ /ap↔/ ‘apa?’ /pis ci nyak dadi p↔mimpin siN maan pis kursi gen baaNne ap↔ buin car↔ jani e gumine gumi laNse/ ‘uang! Kamu mau jadi pemimpin tidak dapat uang, kursi saja diberi? Apalagi seperti sekarang ini zaman langsai (tirai kain)’ /gumi laNse to/ ‘zaman tirai kain itu apa? /asal l↔bian pisne galir kerek ne keto / ‘asal uangnya lebih banyak maka akan galir (lancar) kereknya begitu…’ /asal b↔dikan / ‘jika sedikit?’ /s↔k↔tan/ ‘macet-macetan’
Kata langse dalam konteks gumi langse ‘zaman tirai kain’ merupakan bentuk metafora yang menyandingkan dengan keadaan atau zaman ini. Langse adalah semacam tirai yang terbuat dari kain, bagian atasnya dirajut dengan benang atau tali yang melintas sejumlah uang kepeng dan selalu berpasangan sehingga
119
untuk membukanya langse bisa ditarik ke kanan atau ke kiri. Tirai ini biasanya digunakan sebagai pembatas panggung dalam pertunjukan teater tradisional Bali seperti pada arja, topeng, dan sebagainya. Kata langse tersebut merupakan simbol kritik dan protes terhadap fenomena sosiokultural yang sedang marak terjadi dalam masyarakat. Uang adalah alat jitu yang biasa digunakan sebagai ukuran lancar tidaknya penyelesaian masalah. Jika jumlah uang banyak, maka segala sesuatu yang berurusan dengan lembaga-lembaga tertentu akan dengan mudah terselesaikan dan jika uangnya sedikit, maka penyelesaiannya akan lebih lambat. Hal tersebut diumpamakan bagai langse yang jika rajutan bagian atasnya banyak terdiri atas uang kepeng, maka ketika dibuka akan lebih galir atau lancar dibuka. Namun, jika uang kepengnya sedikit biasanya akan lebih keras atau kurang lancar dibuka. Dalang WCB melalui tokoh-tokoh punakawannya mengkritik tanpa membabi buta, tetapi dengan memilih permainan bahasa perumpamaan yang tepat kritikan-kritikannya dapat dengan lugas diungkapkan dan diterima masyarakat. Data LM 1a, 1b, 1c, dan KN 22 di bawah ini merupakan kritikan sosial terhadap keadaan hukum yang terjadi di masyarakat saat ini. 41:53 LM 1a Tualen : /tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk m↔n siN maan LM 1b rabuk t↔lah hukume siN nyak mokoh Nl↔ mah hukume nagih LM 1c rabuk TSP / TSP : tombok suwap p↔licin / ‘ya memang sekarang hukum sering minta dipupuk, jika tidak mendapatkan pupuk, hukum tidak akan gendut. Sering kali hukum minta rabuk TSP. TSP: Tombok, Suap, Pelicin’
120
Kata rabuk ‘pupuk’ di atas merupakan simbol kritikan terhadap hukum yang terjadi saat ini yang memerlukan “dipupuk” agar
“gemuk”. Metafora ini
menganalogikan pupuk dengan sesuatu yang harus diberikan pada penegak hukum jika sedang mengalami kasus, baik dalam hukum maupun persidangan. Sesuatu yang diberikan ini diumpamakan bagai pupuk yang dapat mempercepat tumbuhnya tanaman. Pupuk yang dimaksud disebutkan dengan bentuk pelesetan kepanjangan singkatan TSP (Tri Sulfur Phospat) menjadi “Tombok, Suap, Pelicin”. Saat ini hukum diibaratkan bagai tanaman yang perlu dipupuk agar jalannya lancar seperti pertumbuhan tanaman yang lancar tanpa kekurangan sarisari makanan dari pupuknya. Data KN 22 berikut ini juga merupakan permainan bahasa berbentuk perumpamaan yang berfungsi sebagai kritik sosial terhadap perilaku hukum saat ini. KN 22 Cenk : /kadaN kala hukume to car↔ sau car↔ p↔ncar/ ‘kadang kala hukum itu seperti jala’ Blonk : /ngudiaN keto / ‘kenapa seperti itu?’ Cenk : /nyalian nagih k↔t↔s t↔k↔ juk↔ jak p↔ncare juk↔ ken sau e be ulam agung t↔k↔ uwug p↔ncare uwug sawu e/ ‘ikan kecil-kecil yang akan lepas tertangkap juga oleh jala, ikan yang besar datang, rusak jalanya’ Blonk : /oh keto/ ‘oh begitu’ Fungsi bahasa ekspresif tampak pada cara penutur yang diperankan oleh Cenk dengan pengungkapan sau atau pencar ‘jala’. Dengan menganalogikan hukum dengan jala memperlihatkan perasaan penutur akan ketidakpuasan terhadap kenyataan yang terjadi. Hukum disebut bagai jala karena kenyataan yang
121
sering terjadi dalam hukum bahwa seseorang yang berkelas sosial rendah atau miskin jika memiliki kasus di pengadilan, pasti akan segera dihukum dengan mudah. Walau kesalahannya kecil, pasti bisa ditangkap dengan mudah seperti jala yang menangkap be nyalian ‘ikan kecil-kecil’. Akan tetapi, jika seseorang berkelas sosial tinggi, mempunyai wewenang, dan kaya yang disimbolkan dengan ulam agung ‘ikan besar’, hukuman seakan-akan sangat sulit untuk menjeratnya. Bahkan, bisa rusak akibat kewenangan dan sogokan yang tinggi. Fungsi bahasa direktif mengambil bagian pada permainan bahasa untuk mengkritik. Hal itu terjadi karena dengan kritikan tersebut diharapkan agar pihak yang merasakan atau dikritik akan terpengaruh perasaannya dan menjadi sadar.
122
BAB VI MAKNA PERMAINAN BAHASA TOKOH PUNAKAWAN WAYANG CENK-BLONK DAN IMAJERI MASYARAKAT BALI
Permainan bahasa yang bersifat semiotika merupakan usaha untuk menganalisis suatu sistem tanda berdasarkan budaya dan keadaan sosial masyarakat yang menentukan bentuk-bentuk permainan apa yang memungkinkan permainan bahasa tersebut mempunyai makna. Dalam konteks linguistik kebudayaan, bahasa adalah susunan makna yang berhubungan secara khusus dengan konteks situasi tertentu yang disebut register (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1994:53). Berkaitan dengan konteks situasi, linguistik kebudayaan dapat mengkaji referen-referen atau tanda-tanda yang digunakan dalam menyampaikan permainan bahasa seperti dalam jenis metafora dan sebagainya. Secara semiotik kebudayaan itu merupakan reaksi dari competence yang dimiliki bersama oleh anggota
suatu
masyarakat
untuk
mengenal
lambang-lambang,
menginterpretasikan, dan menghasilkan sesuatu. Perkembangan zaman akan memengaruhi penggunaan sistem tanda dalam menyampaikan makna tertentu. Teori semiotik sosial—yakni pemaknaan yang diperoleh dari sistem tanda yang terbentuk karena faktor sosial dan budaya masyarakat— diarahkan untuk
123
memahami dan menafsirkan nilai-nilai makna sosial yang terkandung dalam kebudayaan. Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 34) menyebutkan bahwa makna dalam sebuah ujaran yang berupa kalimat atau wacana akan terdiri atas makna pengalaman, makna antarpelibat, makna logis, dan makna tekstual yang terjalin bersama-sama dalam satu struktur. Pengalaman seseorang akan menyebabkannya dapat mengutarakan dan memahami sesuatu. Makna pengalaman ini erat kaitannya dengan imajeri. Dalam permainan bahasa tokoh punakwan WCB terkandung filosofi budaya Bali sejak dahulu hingga pergeseran atau perkembangan budaya yang terjadi saat ini. Permainan-permainan bahasa yang diujarkan tokoh punakawan WCB tentu bermaksud untuk menyampaikan makna-makna tertentu yang secara tidak langsung menunjukkan imajeri budaya masyarakat Bali. Di dalam menentukan maksud atau makna dari permainan bahasa ini digunakan maknamakna menurut Halliday (1994) –pengalaman, antarpelibat, logis, dan tekstual – dalam menganalisisnya.
6.1 Makna Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB Pada permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang dikumpulkan diperoleh beberapa makna yang mengandung nilai-nilai sosial. Nilai-nilai makna yang dimaksud adalah kerendahan hati, menghormati seseorang yang berkelas sosial lebih tinggi, Tuhan Mahasuci sehingga diperlukan pemikiran dan perbuatan suci untuk mendekatkan diri dengan-Nya, perlunya ber-yadnya, pemimpin adalah
124
pelindung rakyat, menjauhi sesuatu yang menyebabkan kemabukan, pelestarian bahasa daerah, dan keadaan hukum yang buruk. 6.1.1
Makna Kerendahan Hati Beberapa bentuk permainan bahasa tokoh punakawan WCB memiliki
makna yang menunjukkan kerendahan hati, seperti pada data DRT 9 dan LM 20 berikut. DRT 9a
Tualen
/kelan d↔ iju-iju nigtig taNkah, NraosaN awak paliN jujur, NeraosaN awak paliN suci brut asal baNke meN gen bon ↔ntute nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake./ ‘jangan terburu-buru menepuk dada, menyebut diri paling jujur, menyebut diri paling suci. Bruuut… asal masih bangkai kucing bau kentutmu, baik buruk masih ada pada ragamu’
:
Permainan bahasa jenis metafora nigtig taNkah ‘menepuk dada’ dan bangke meN gen bon ↔ntute 'bangkai kucing bau kentutmu' merupakan
ungkapan proses atau tindakan dan keadaan yang menampilkan makna pengalaman karena merupakan gambaran dari fenomena gabungan dalam dunia nyata. Kalimat tersebut diungkapkan karena pengalaman atau imajeri yang dimiliki penutur dan lawan tutur. Menepuk dada merupakan sistem penandaan yang dalam imajeri masyarakat adalah suatu tindakan seseorang untuk menunjukkan dirinya benar atau hebat. Frasa bangke meN gen bon ↔ntute ‘bangkai kucing bau kentutmu’ mengantarkan imajeri pendengar pada kebusukan yang dihasilkan dari makna logis. Dari pengalaman penutur ataupun pendengar terhadap sistem tanda ‘bangkai kucing’ yang berbau busuk dianalogikan secara logika dengan hal-hal yang buruk atau tidak baik. Kalimat-kalimat permainan
125
bahasa tersebut juga ditafsirkan sebagai sarana berbuat karena terdapat kata d↔ 'jangan' yang menyatakan perintah (command). Hal ini menunjukkan adanya
pelibat dalam wacana tersebut, yakni penutur kepada seseorang yang diperintahnya sehingga makna ini merupakan makna antarpelibat. Dalam makna pengalaman bahasa merupakan cara berpikir, sedangkan dalam makna antarpelibat bahasa merupakan cara bertindak (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1994: 28). Kemudian secara tekstual, intonasi pengucapannya menekankan pada /d↔ iju-iju nigtig taNkah/
‘jangan
buru-buru
menepuk
dada’
dan
/nu j↔le m↔lahe m↔kilit di awake./ ‘baik buruk masih ada dalam ragamu’ menunjukkan bahwa wacana ini bermakna suruhan agar pendengar selalu rendah diri karena dalam diri manusia pasti masih terdapat kekurangan atau kejelekan. Data berikut ini juga menunjukkan makna kerendahan hati yang membudaya diturunkan kepada keturunannya dengan wejangan atau nasihatnasihat yang diformulasikan dalam bentuk metafora. Pada contoh ini diperlihatkan tokoh Sangut menasihati temannya dengan mengingat kembali kata-kata ‘bapaknya’ terdahulu. LM20
Sangut
:
/gus tut d↔ b↔s t↔g↔h n↔gakin awak gus tut
endepin bin dik, dilacur t↔puk uluN j↔g m↔gl↔buk di paNkuNe ↔luN nyanan di b↔ten kaNgoaN p↔ endepin bin dik keto bapak caN/ ‘Gus Tut, jangan terlalu tinggi menempatkan diri Gus Tut, rendahkan sedikit, pada saat sial jatuh jeg terpelanting di jurang, patah-patah nanti di bawah. Cukup rendahkan posisinya lagi sedikit, begitu bapakku member tahu’
Wacana tersebut memiliki makna lebih luas daripada apa yang tersurat, yang pada intinya pelibat dalam tuturan sebaiknya berendah hati karena dengan
126
kerendahan hati kita dapat terhindar dari hal-hal yang menyakitkan. Ungkapan ini menjadi filosofi budaya atau imajeri budaya yang telah ada dan diturunkan dari nenek moyang masyarakat penuturnya. Hal tersebut tampak pada frasa /keto bapak caN / 'begitu Bapakku member tahuku’. ’Bapak’ dalam wacana ini mewakili orang tua atau leluhur terdahulu. Makna wacana ini dapat dimengerti jika pengalaman antara penutur dan petuturnya akan pangkung sama. Karena penggunaan kata pangkung sebagai penanda dihasilkan dari gabungan pengalaman penutur atau imajeri penutur dan lawan tutur. Pangkung ‘jurang’ menjadi penanda pengalaman yang dihasilkan dari pengalaman budaya masyarakat yang secara logika dianalogikan dengan kesialan. Penganalogian antara pangkung dengan kesialan ini merupakan cara berpikir penuturnya yang akrab dengan gambaran pangkung. Seseorang yang tidak pernah melihat seperti apa pangkung pasti tidak akan menganalogikannya dengan kesialan. Pangkung ‘jurang’ yang ada dalam imajeri masyarakat Bali terutama yang tinggal di daerah pedesaan sebagai jurang atau suatu lahan yang menjorok
ke
bawah.
Pengalaman
masyarakat
akan
pangkung
akan
mengembangkan imajeri mereka akan tingginya tebing pangkung dan bila seseorang sampai terjatuh ke jurang atau pangkung tersebut, pasti akan terluka atau bisa sampai meninggal (terkesan sebagai suatu kesialan) sehingga imajeri rasa takut jika sampai terjatuh di pangkung akan dimiliki seseorang yang memiliki pengalaman dengan tempat ini.
Dalam makna antarpelibat, terjadi interaksi
antarpelibat, yakni penutur, lawan tutur dan bapak penutur yang menjadikan bahasa sebagai sarana berbuat. Maksudnya dibuat oleh penutur yang ditujukan
127
kepada pendengar atau petuturnya. Makna antarpelibat ini akan menghasilkan fungsi apa yang dihasilkan permainan bahasa yang diungkapkan penutur, dalam hal ini memberi informasi dan nasihat.
6.1.2
Makna Menghormati Seseorang yang Berkelas Sosial Lebih Tinggi Dalam budaya masyarakat Bali yang mengenal sistem kasta, kelas sosial
menjadi
batasan
yang
memengaruhi
cara
berbahasa
dan
berperilaku
masyarakatnya. Permainan bahasa ini menunjukkan makna seorang bawahan harus menjunjung dan menghormati atasannya yang tentunya memiliki kelas sosial lebih tinggi. DRT 3
Tualen
:
/iraga dadi par↔kan paN siN N↔laNkahaN karaN di ulu, maNda t↔n car↔ kupiN N↔liwataN tanduk / ‘kita menjadi bawahan agar tidak melangkahi pekarangan yang di depan, agar tidak seperti telinga melewati tanduk’
Frasa car↔ kupiN N↔liwataN tanduk ‘telinga melewati tanduk’ hadir karena pengalaman penutur, yakni gambaran dari fenomena dunia nyata adalah sesuatu yang aneh jika telinga melewati tanduk karena posisi telinga secara alami berada di bawah tanduk. Frasa ini menunjukkan makna pengalaman. Dalam makna logis frasa dalam perumpamaan tersebut secara logika dimaknai dengan analogi telinga melewati tanduk adalah hal yang aneh atau sesuatu yang tidak sepantasnya. Secara logis teks di atas bermakna tidak sepantasnya seorang bawahan (abdi) melangkahi atau mendahului atasannya yang dianalogikan dengan /karaN di ulu/ 'pekarangan di depan'. Dalam makna pengalaman pekarangan di depan atau posisi di depan adalah posisi bagi
128
seseorang yang memiliki wewenang atau menjadi pemimpin, yang secara logika dianalogikan dengan atasan atau seseorang yang memiliki kelas sosial lebih tinggi. Makna antarpelibat ditunjukkan dari kata iraga 'kita' (kata ganti orang ketiga) yang menandakan pelibat dalam wacana tersebut adalah penutur dan yang mendengarkan tuturannya. Jadi, dalam makna antarpelibat ada pelibat-pelibat tutur yang menyebabkan penutur mengatakan ujarannya. Di samping itu, ada maksud tertentu yang ingin dicapai penutur dengan mengungkapkan tuturannya. Dalam hal ini penutur ingin menyampaikan pesan yang dapat sebagai arahan atau ajakan.
6.1.3
Makna Tuhan adalah Mahasuci sehingga Diperlukan Pemikiran dan Perbuatan yang Suci untuk Mendekatkan Diri pada-Nya Dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB banyak ditemukan
wacana yang bermakna religi karena hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari pertunjukkan wayang yang berfungsi selain sebagai tontonan juga sebagai tuntunan hidup. Tuntunan hidup dapat diperoleh masyarakat sebagai pemeluk agama dari ajaran agama. Dalam dialog-dialog tokoh WCB banyak digunakan kata Ida Sang Hyang Widhi untuk menyebut Tuhan karena agama Hindu menjadi agama mayoritas masyarakat Bali. KN3 Sangut : /car↔ pane misi yeh, dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k sinah bulan siN m↔lawat. ida saN yang widi m↔rag↔ suci lan p↔pin↔h suci aNgon Nalih l↔m! aNgane Nalih kitiran d↔ m↔pik↔t NaNgon guak m↔laib kitirne l↔m/
129
‘seperti periuk tanah yang berisi air, di mana air yang bersih di situ bayangan bulan akan tampak, jika periuk tanah berisi air kotor, bayangan bulan tidak akan tampak. Ida Sang Hyang Widhi itu suci, jadi pikiran yang suci digunakan untuk mencarinya Lem! Jika ingin mencari burung perkutut, jangan menjerat dengan burung gagak, lari nanti burung perkututnya Lem’. Wacana di atas secara keseluruhan bermakna bahwa sebagai seorang yang beragama kita patut untuk berperilaku baik dan memiliki pemikiran yang baik atau suci karena Tuhan akan melindungi orang-orang yang benar. Kalimat /dij↔ j↔ yehe misi yeh ↔niN ditu bulanne m↔lawat yen pane misi yeh pu↔k sinah bulan siN m↔lawat/ ‘di mana air yang bersih di situ bayangan bulan akan
tampak, jika periuk tanah berisi air kotor, bayangan bulan tidak akan tampak’ merupakan suatu keadaan yang diungkapkan penutur karena pengalamannya akan yeh ening ‘air bersih’ yeh puek ‘air kotor’, bulan, serta pengalaman akan bayangan bulan yang tampak pada air bersih. Kalimat tersebut merupakan cara berpikirnya atau dalam hal ini disebut dengan imajeri budayanya, yaitu imajeri yang diperoleh dari pengalaman budaya. Makna kalimat tersebut dihasilkan berdasarkan pengalaman penutur. Makna antarpelibat dapat dengan jelas tampak pada bentuk kalimat suruhan (command) yang ditandai dengan tanda seru yang berarti, bahwa kalimat tersebut ditujukan untuk menyuruh seseorang (dalam konteks ini kepada Delem). Makna logis diperoleh dari perbandingan antara bulan yang disepadankan dengan Tuhan yang posisinya dianggap di langit atau di atas dan air bersih diidentikkan dengan pikiran
yang
bersih
/aNgane Nalih kitiran
atau
perbuatan
yang
d↔ m↔pik↔t NaNgon guak
bersih.
Permainan
bahasa
m↔laib kitirne /
selain
130
bermakna antarpelibat juga bermakna berdasarkan pengalaman pelibat tuturan, yakni imajeri masyarakat Bali akan kitiran ‘burung perkutut’ yang dianggap burung bertuah sehingga digemari masyarakat sebagai burung peliharaan. Sebaliknya guak ‘burung gagak yang dalam imajeri masyarakat melambangkan burung yang kotor karena memakan bangkai. Pengalaman masyarakat Bali terutama di daerah pedesaan mungkin masih dekat dengan burung gagak ini karena biasa menjadi penanda akan ada seseorang yang meninggal. Kepercayaan datangnya burung gagak atau bunyi burung gagak menjadi simbol kematian merupakan kepercayaan yang membudaya dalam masyarakat Bali sehingga secara logika makna permainan bahasa metafora di atas menandakan Tuhan adalah sosok yang dicari masyarakat karena menjadi penyelamat. Untuk memperolehnya jangan menggunakan perilaku yang jahat yang dianalogikan dengan guak (gagak hitam) yang melambangkan hal yang buruk atau kekotoran. Data KL 6 juga bermakna kepercayaan bahwa Tuhan itu suci sehingga umatnya pun harus berperilaku suci atau baik untuk dekat dengan-Nya. Data KL 6 merupakan sindiran yang diungkapkan dengan bentuk permainan bahasa dalam jenis metafora yang pada intinya bermakna suruhan. KL 6 Sangut : /aduh suwud m↔tirt↔ yatr↔ kur↔n timpale silih↔ to adanne m↔agama nuut k↔bo k↔bo ne manjus di tukade m↔sil↔man di pasih k↔das, b↔ k↔das biin m↔nekan k↔ buke. to siN pocol y↔/ ‘aduh.. selesai ber-tirta yatra istri teman diselingkuhi, itu namanya beragama meniru kerbau. Kerbau mandi di sungai, berendam di laut bersih, setelah bersih lagi naik ke lumpur kan rugi ya’ Wacana yang diungkapkan penutur merupakan gambaran fenomena dunia nyata yang diperoleh dari pengalamannya dengan mendengar atau melihat.
131
Menyebutkan analogi antara kebiasaan kerbau dengan seseorang yang kurang taat akan perintah agama dengan melakukan perselingkuhan merupakan hal yang tidak benar menurut agama penutur. Hal-hal tersebut merupakan kumpulan makna dari makna pengalaman dan logis. Jika diperhatikan lebih saksama, terdapat pola yang sama antara tanda-tanda yang dibandingkan. Dari makna pengalaman diperoleh imajeri bahwa seseorang yang melakukan tirta yatra ‘perjalanan suci untuk melakukan persembahyangan’ artinya telah melakukan pembersihan diri secara batiniah kemudian jika kembali melakukan perbuatan tidak senonoh seperti perselingkuhan semua pembersihan rohani yang dilakukannya akan percuma. Persepsi tersebut dianalogikan dengan analogi berpola sama jika telah melakukan (X), yakni pembersihan dan kembali melakukan (Y), yakni hal yang menyebabkan kotor, maka akan terjadi (Z), yaitu percuma atau kesia-siaan. Pembanding yang digunakan adalah kebiasaan kerbau yang telah melakukan (X), yakni berendam di air sehingga tubuhnya bersih kemudian kembali melakukan (Y), yakni bermain-main di lumpur, maka akan terjadi (Z), yakni badannya kembali kotor (percuma). Susunan tematik seperti ini yang mengungkapkan segi-segi susunan kalimat selain intonasi merupakan makna tekstual yang terdapat dalam teks tersebut. Secara tidak langsung teks tersebut bermakna suruhan oleh penutur kepada pendengarnya agar tidak mencontoh hal tersebut. Hal itu menandakan bermakna antarpelibat yaitu ada pelibat-pelibat tutur sebagai pengungkap tutur berupa pesan dan ada pendengar sebagai penerima informasi yang berupa nasihat. Penggunaan kerbau sebagai objek pembanding bertujuan untuk membangkitkan kembali
132
imajeri masyarakat terhadap hewan yang gemar bermain-main di lumpur yang sangat dekat dalam imajeri masyarakat Bali terdahulu yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani.
6.1.4
Makna Perlunya Ber-yadnya Dalam permainan bahasa yang dilakukan tokoh punakawan WCB terdapat
tuntunan hidup agar kita selalu ber-yadnya karena ber-yadnya sangat dianjurkan oleh agama. Dari permainan bahasanya tersirat makna bahwa yadnya dapat dilakukan tidak saja dengan menggunakan materi, seperti uang. Namun, memiliki inisiatif, ketekunan, berusaha dengan baik, dan berdoa merupakan cara beryadnya juga. SI 1 Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : : : : : :
Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : :
/ap↔ dasar yadny↔ e/ ‘apa yang mendasari yadnya?’ ‘DUIT’ /ap↔ / ‘apa?’ ‘DUIT’ DUIT e to ? ‘duit itu?’ ‘D, U, I, T D? /doa, s↔tata stiti bakti riN ida sang yang widi m↔dasar b↔n p↔pin↔h ane suci nirmal↔/ ‘Doa. Berbakti pada Ida Sang Hyang Widhi berdasar pikiran yang suci’ /doa / ‘doa?’ /doa/ ’doa’ ‘U?’ /utsah↔, N↔l↔mah lan m↔bakti k↔ pur↔, pul↔s Nanti di pur↔ siN mulih-mulih ulian m↔bakti, nunas ica paN nyak sugih, yen siN titinan b↔n ny↔mak gae siN m↔gl↔buk pise uluN uli laNit tuluN / ‘Usaha. Seharian sembahyang ke pura, sampai tidur di pura tidak pulangpulang karena sembahyang, minta agar kaya jika tidak bekerja dengan keras tidak akan jatuh uang dari langit’
133
Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : :
Mredah Tualen
: :
/dasarne / ‘dasarnya?’ /utsah↔ to dasarne / ‘usaha, itu dasarnya I ? /inisiatif, d↔ timpale kanti nunden i rag↔ m↔yadny↔ irag↔ p↔didi N↔lah kit↔ e yadnya e / ‘Inisiatif. Jangan sampai orang lain menyuruh kita ber-yadnya, harus kita sendiri yang memiliki keinginan’ T ? /t↔kun/ ‘Tekun’
Dari data di atas, diketahui bahwa pelafalan dengan menggunakan huruf kapital menandakan intonasi yang keras dan tegas seperti /DUIT/. Penonton WCB yang memiliki imajeri yang sama, saat mendengar jawaban tokoh Tualen atas pertanyaan anaknya Mredah akan dasar yadnya pasti akan tertawa atau tersenyum mendengar jawaban keras dan tegas tokoh Tualen yang menjawab /DUIT/. Hal tersebut terjadi karena imajeri masyarakat akan yadnya di Bali, seperti upakaraupakara ataupun sumbangan terhadap upakara-upakara yang biasa dilakukannya cukup mengeluarkan dana yang banyak. Pemaknaan secara langsung ini merupakan makna pengalaman dan tekstual yang dihasilkan dari intonasi pengucapannya. Pengalaman masyarakat atas pengeluaran dana yang banyak untuk malakukan yadnya tersebut segera terhapuskan oleh permainan bahasa pelesetan tokoh Tualen dengan memelesetkan kata DUIT menjadi kepanjangan Doa, Usaha, Inisiatif, dan Tekun. Pelesetan ini dimaknai secara logis dengan kata-kata yang menyusun kepanjangan kata DUIT yang seolah-olah menjadikannya sebuah singkatan. Huruf “D” mengacu pada kata Duit, “U” mengacu pada kata Utsaha, “I” mengacu pada kata Inisiatif, dan “T” mengacu pada kata Tekun yang secara logis berhubungan dengan kata yadnya yang berarti korban suci. Korban suci di sini berarti
134
pengorbanan yang dilakukan seseorang dengan ikhlas untuk hal-hal yang bersifat ritual keagamaan. Hubungan antara kata-kata yang menyusun akronim DUIT mempunyai kesan sangat mudah diraih oleh siapa saja termasuk oleh orang yang tidak memiliki uang. Hal itu mengisyaratkan makna bahwa ujaran tersebut menghasilkan ideologi begitu mudahnya ber-yadnya. Makna antarpelibat yang dihasilkan dari permainan bahasa ini merupakan informasi dan nasihat penutur terhadap mitra tuturnya, yakni Mredah dan penonton agar tidak berat hati melakukan yadnya dan memengaruhi pendengar yang merupakan pelibat dalam teks tersebut. Dari keempat unsur makna tersebut dapat diperoleh maksud pernyataan permainan bahasa itu secara jelas bahwa ber-yadnya tidak harus dilakukan jika seseorang memiliki uang atau duit saja. Dalam keadaan tidak mempunyai uang pun kita dapat ber-yadnya dengan berdoa, usaha keras, inisiatif yang tinggi dan ketekunan.
6.1.5
Makna Pemimpin Adalah Pelindung Rakyatnya
KL 4 Sangut : /yen tiyaN NiN↔taN i panjak dini di gumi l↔ngkane bli t↔n bin↔ car↔ kidaN N↔tis di punyan kayune g↔de nak g↔de je punyan kayune kalo lacur kayune siN m↔don dij↔ y↔ kidaNe maan tis ane p↔ntiN p↔ng↔tis, p↔Nayuh sane p↔rluaN↔ ken rakyate siN bli raosaN↔ t↔duN jagat paN nyidaN bli Netisin rakyate./ ‘kalau saya mengingatkan kakak, rakyat di sini di bumi Lengka ini kak, seperti kijang berteduh di bawah pohon kayu besar, besar sih pohonnya tetapi sayangnya tak berdaun, bagaimana kijang memperoleh keteduhan? Yang penting peneduh, pelindung yang dibutuhkan rakyat, kan kakak disebut dengan payung rakyat, agar kakak bisa meneduhi rakyat.’
135
Pada
permainan
bahasa
di
atas
ungkapan
simile
/car↔ kidaN N↔tis
di punyan kayune g↔de / ‘bagai kijang berteduh di bawah pohon kayu’
merupakan ujaran yang diutarakan penutur dengan menggunakan tanda-tanda seperti kijang dan pohon kayu merupakan makna pengalaman penutur. Makna logis punyan kayu ‘pohon kayu’ yang merupakan pohon besar dengan jumlah daun yang sedikit tidak akan bisa meneduhi kijang disandingkan dengan seorang pemimpin yang kurang bisa mengayomi rakyat yang berada di bawahnya. Makna tekstual diperoleh dari intonasi penekanan pada permainan bahasa tersebut dan tema yang sesuai antara komponen pembanding dan terbanding. Teks ini menjadi bermakna juga karena ada komponen pelibat di dalamnya yang menunjukkan teks tersebut bermakna suruhan. Dari makna pengalaman, antarpelibat, dan logis dihasilkan suatu nilai makna sosial yang mengacu kepada seorang pemimpin yang memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya atau dianalogikan dengan pemerintah yang memiliki kewajiban seutuhnya untuk melindungi rakyat di bawahnya. Permainan bahasa yang menunjukkan makna bahwa pemimpin adalah pelindung atau pengayom rakyatnya juga terdapat pada data LM 2 berikut ini. LM 2 Tualen
:
Mredah
:
Tualen
:
Mredah
:
/paN d↔ j↔ i dew↔ dadi p↔mimpin k↔na sakit AIDS kew↔h p↔mimpinne k↔n↔ sakit AIDS/ ‘agar kamu tidak menjadi pemimpin yang terkena penyakit AIDS, susah jika pemimpin terkena penyakit AIDS’ /p↔mimpin ap↔ k↔n↔ sakit AIDS /‘pemimpin apa terkena penyakit AIDS?’ /liu p↔mimpinne k↔n↔ sakit AIDS/ ‘banyak pemimpin kita terkena penyakit AIDS’ /AIDS ento / ‘AIDS itu?’
136
Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : : : : : : :
A, I, D, S ‘A?’ /aNkuh/ ‘Angkuh’ ‘I ?’ /iri hati / ‘Iri hati’ ‘D ?’ /d↔Nki/ ‘Dengki’ ‘S ?’ /somboN/ ‘Sombong’
Pada jenis permainan bahasa dengan pelesetan ini terdapat pengungkapan sindiran kepada pemimpin yang pada intinya memberi himbauan bagi pemimpin untuk menyadari kewajibannya yang harus melindungi bawahan atau rakyatnya. Pemimpin tidaklah pantas bersikap sewenang-wenang, angkuh ataupun sombong dengan kedudukannya yang tinggi. Makna pengalaman diperoleh dari penggunaan kata AIDS yang menggambarkan fenomena dunia nyata atau sesuatu yang saat ini sedang mewabah dalam masyarakat. Imajeri masyarakat terhadap kata AIDS adalah suatu penyakit yang membahayakan dan harus dihindari. Konotasi negatif terhadap kata AIDS ini secara logika digunakan dalam memaknai pelesetan tersebut berkonotasi negatif juga, dengan memberi kepanjangan pelesetan Angkuh, Iri hati, Dengki, dan Sombong. Hal itu mengimbau pelibat tutur khususnya pendengar
agar menjauhi sifat-sifat buruk tersebut jika menjadi
seorang pemimpin. Secara tekstual makna pelesetan ini menekankan intonasi pada kata AIDS dan pelesetan kepanjangannya yang berkonotasi negatif. Di pihak lain, dengan pengetahuan budaya tingkah laku pendengar akan memaknainya sebagai imbauan atau suruhan (command).
6.1.6
Makna Menjauhi Sesuatu yang Mengakibatkan Kemabukan
137
DRT 1 Tualen :
/kij↔ y↔ mr↔dah m↔lali kayaN k↔jani tonden t↔k↔ nanaN j↔j↔h cai k↔n↔ p↔nyakit 5M / ‘ke mana ini Mredah pergi sampai sekarang belum datang, ayah takut kamu kena penyakit 5M’ /M p↔rtama / ‘M pertama?’ /minum k↔r↔N/ ‘suka Minum ’ /M k↔dua / ‘M kedua?’ /k↔r↔N minum mabuk / ‘suka minum Mabuk’ /M k↔tiga / ‘M ketiga?’ /k↔r↔N mabuk muntah / ‘sering mabuk Muntah’ /M k↔↔mpat / ‘M keempat?’ /lewat muntah mencret/ ‘setelah muntah Mencret’ /M k↔lima/ ‘M kelima?’ /muntah mencret mati b↔ ci/‘muntah, mencret Mati dah kamu’
Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen Mredah Tualen
: : : : : : : : : :
DRT 2
Tualen
:
Mredah Tualen
: :
SAB 6a
Delem
:
Sangut : Delem :
/to dajan umahe bilaN wai y↔ Namah narkoba sit↔N j↔ y↔/ ‘ itu di sebelah utara rumah setiap hari mengkonsumsi Narkoba, tetapi dia sehat’ /narkoba / ‘narkoba?’ /a↔, nasi rawon koah bakso / ‘iya, NAsi Rawon KOah BAkso’ ‘datang /t↔k↔ kur↔nan kak↔ buk erik Nab↔ sabu/ istriku Bu Erick membawa sabu’ /sabu to / ‘ Sabu itu?’ /sarapan bubur misi be sitsit, sit sit sit/ ‘SArapan BUbur berisi daging suwir, wir… wir..’
Ketiga data permainan bahasa dalam jenis pelesetan di atas diutarakan dengan makna agar pendengar menjauhi hal-hal yang mengakibatkan kemabukan. Data
DRT
1
mengungkapkan
makna
minum-minuman
keras
adalah
membahayakan kesehatan dengan menggunakan pelesetan 5M yang dalam budaya agama Hindu dikenal dengan Panca “M” (5M), yakni Madat (suka merokok atau mengisap ganja), Main (suka berjudi), Madon (suka berzinah),
138
Minum (minum minuman keras), dan Maling (suka mencuri) dipelesetkan dengan kepanjangan yang hampir mirip, yakni Minum, Mabuk, Muntah, Mencret, Mati yang secara logis bermakna urutan kejadian dalam kepanjangan tersebut akan merusak tubuh seseorang yang akan menyebabkan menemui ajal. Makna tekstual dapat didengar dari intonasi penutur saat menyebutkan pelesetan tersebut dengan penekanan pada setiap kepanjangan huruf-huruf yang menyusun 5M dan susunan tema yang sesuai dengan urutan kejadian. Makna antarpelibat dapat dimaknai bahwa tuturan ini ditujukan oleh tokoh Tualen kepada Mredah yang sebenarnya teks tersebut merupakan wejangan dengan makna agar Mredah menjauhi hal-hal tersebut. Pelesetan ‘Narkoba’ dan ‘Sabu’ dalam makna pengalaman diperoleh sebagai gambaran fenomena dalam masyarakat saat ini yang merupakan pengalaman penutur dari mendengar atau melihat kondisi yang terjadi dalam masyarakat saat ini. Pelesetan-pelesetan tersebut tidak sekadar memelesetkan kata-kata, seperti narkoba dan sabu. Namun, dalam makna logika kepanjangan ‘narkoba’, yakni Nasi Rawon Koah Bakso yang menyebabkan pengonsumsinya siteng ‘kuat atau sehat’ bermakna bahwa lebih baik mengonsumsi nasi rawon berkuah bakso karena dapat menyehatkan tubuh dibandingkan dengan mengonsumsi narkoba (Narkotika dan Obat-obatan Terlarang) yang dapat merusak kesehatan tubuh. Makna suruhan atau tindakan yang seharusnya ditujukan agar pelibat sebagai pendengarnya melakukan tindakan tersebut mencirikannya dalam makna antarpelibat.
139
6.1.7
Makna Pelestarian Bahasa Daerah Meredupnya pemakaian bahasa daerah dalam hal ini bahasa Bali juga
menjadi perhatian WCB yang diungkapkannya dalam permainan bahasa pada dialog-dialog tokoh punakawan pertunjukan wayangnya. Berikut ini data permainan bahasa yang menunjukkan makna pelestarian bahasa daerah. KL 5 Sangut : /Norin timpal ne Norin bar↔N N↔laksanaaN. to panak caNe m↔bas↔ bali panak meleme m↔bas↔ iNgris, panak mel↔me b↔rg↔lut d↔Nan toris luar n↔g↔ri b↔rg↔limaN dolar panak cane b↔rg↔lut d↔Nan nyayat di carike, to panak mel↔me makan keju, panak caNe makan singkoN, to panak mel↔me NoraN oh….me mad↔, to panak caNe NoraN oh… meme made./ ‘ member tahu teman yang member tahu harus ikut melaksanakan. Itu anakku berbahasa Bali anak Melem berbahasa Inggris, anak Melem bergelut dengan turis luar negeri bergelimang dolar, anakku bergelut dengan lumpur di sawah, itu anak Melem makan keju, anakku makan singkong. Itu anak Melem bilang oh…. My mother, anakku bilang oh… Meme Made’ Permainan kata antarbahasa ini dihasilkan dari pengalaman penutur dan dikaitkan dengan imajeri masyarakat saat ini, yakni pemakaian leksikal mother atau mom yang saat ini sering didengarnya dalam masyarakat kita yang sedang semarak menggunakan
bahasa
Inggris
dalam
komunikasi.
Pengalamanlah
yang
menyebabkannya dapat menghasilkan permainan bahasa seperti itu. Setiap competence pasti didahului oleh pengalaman. Inilah makna pengalaman yang dihasilkan dari teks permainan bahasa tersebut. Dalam makna antarpelibat si penutur mengutarakan permainan bahasa tersebut karena memiliki maksud tertentu, yakni menyindir masyarakat dan secara tidak langsung menyuruh lawan tuturnya agar jangan sampai melupakan penggunaan bahasa daerah di tengah
140
kemajuan teknologi dan semaraknya penggunaan bahasa internasional dalam masyarakat. Dalam makna tekstual susunan leksikal dalam frasa tersebut memperlihatkan tema yang sama, yakni menyebut atau memanggil ‘ibu’ dengan tekanan intonasi yang sama antara dua bahasa tersebut. Makna logika yang dihasilkan bahwa permainan bahasa tersebut membandingkan cara menyebut ibu dalam dua bahasa berbeda, tetapi dengan repetisi konsonan yang terstruktur sehingga menghasilkan bunyi yang mirip. Penggunaan permainan bahasa dengan memanfaatkan kehomoniman katakata antarbahasa seperti di atas bertujuan untuk menarik perhatian petutur yang dalam konteks ini termasuk penonton. Hal itu disesuaikan dengan pengalaman penonton terhadap pemakaian frasa bahasa asing yang saat ini banyak dilakukan masyarakat. Dengan menggunakan permainan bahasa tersebut secara tidak langsung WCB memasukkan nilai-nilai mempertahankan bahasa daerah dengan mengembangkan imajeri masyarakat terhadap penggunaan frasa-frasa antarbahasa tersebut.
6.1.8
Makna Keadaan Hukum yang Buruk Keadaan hukum yang terjadi dalam budaya masyarakat sekarang ini pun
sering manjadi topik atau tema dalam dialog-dialog tokoh punakawan WCB. Hal itu sering dikemas dalam permainan bahasa, seperti permainan bahasa dalam dialog tokoh punakawan berikut. KN 22 Cenk : /kadaN kala hukume to car↔ sau car↔ p↔ncar/ ‘kadang kala hukum itu seperti jala’
141
Blonk : /ngudiaN keto / ‘kenapa seperti itu?’ Cenk : /nyalian nagih k↔t↔s t↔k↔ juk↔ jak p↔ncare juk↔ ken sau e be ulam agung t↔k↔ uwug p↔ncare uwug sawue/ ‘ikan kecil-kecil yang akan lepas tertangkap juga oleh jala, ikan yang besar datang, rusak jalanya’ Blonk : /oh keto/ ‘oh begitu’ Pemaknaan teks dengan permainan bahasa di atas memerlukan pemaknaan metaforis. Makna logis yang diperoleh dari teks di atas adalah menganalogikan pencar ‘jala’ dengan penjara, nyalian ‘ikan kecil-kecil’ dengan rakyat kecil, dan ulam agung ‘ikan besar’ disepadankan dengan masyarakat kelas atas yang berduit. Makna logis dalam teks di atas dapat menghasilkan makna secara metaforis, yakni jika seseorang yang melakukan kejahatan berasal dari kelas bawah atau miskin, hukum akan dengan tegas menghukum atau memenjarakannya. Namun, jika seseorang yang bersalah tersebut berasal dari kelas atas, hukum yang ada bisa menjadi lemah dan orang tersebut dapat dengan mudah terbebas dari hukum. Penggunaan referent (tanda) pencar ‘jala’, be nyalian ‘ikan kecil-kecil’, ulam agung ‘ikan besar’ sebagai tanda untuk menyepadankan topik yang dimaksud dalam teks tentu diperoleh penutur dari pengalamannya akan jala dengan ikan-ikan kecil dan besar sehingga mampu menggunakannya sebagai komponen pembanding dalam teks yang dimaksud. Di pihak lain dengan pengalaman dan imajerinya pendengar dapat memaknainya secara logis. Secara tekstual penyebutan ikan besar dengan bahasa Bali halus ulam agung dan ikan kecil-kecil dengan bahasa Bali kepara atau biasa be nyalian menunjukkan kualitas dari bentuk-bentuk tersebut. Secara konteks budaya Bali bahasa Bali halus biasanya digunakan pada orang-orang berkasta ataupun saat ini bahasa Bali halus digunakan seseorang jika berbicara dengan seseorang yang dianggap memiliki
142
wewenang, kekuasaan, atau berlimpah harta untuk menunjukkan rasa hormat. Sebaliknya orang yang miskin, tidak mempunyai wewenang atau kekuasaan biasanya akan dianggap remeh. Hal tersebut berpengaruh terhadap cara seseorang menggunakan bahasa untuk berbincang dengannya, yakni menggunakan bahasa Bali kepara. Bentuk ulam agung dan be nyalian menunjukkan sistem tanda yang dihasilkan dari budaya seseorang dan menunjukkan suatu kesan tertentu. Analisis yang sama juga terjadi pada data LM 1 berikut ini. Makna secara metaforis diperoleh berdasarkan makna logis kalimat tersebut. Rabuk ‘pupuk’ dalam konteks ini disepadankan dengan tombokan karena memiliki fungsi yang sama sebagai penyubur atau penyebab sesuatu menjadi cepat dalam berproses. Makna antarpelibat ditunjukkan bahwa kalimat-kalimat tersebut merupakan informasi yang disampaikan penutur kepada lawan tuturnya yang juga menjadi pelibat dalam teks tersebut termasuk juga penonton. Makna kontekstual diperoleh dari intonasi penutur saat berujar dengan kalimat-kalimatnya. Terjadi ketukan diam
pada
akhir
permainan
bahasa
tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk yang ditandai dengan transkripsi teks
penanda koma. Intonasi tersebut mengisyaratkan bentuk metafora ini memiliki maksud keseluruhan dari teks yang diungkapkan. Penggunaan leksikal-leksikal seperti rabuk ‘pupuk’ dan TSP dihasilkan dari pengalaman-pengalaman penutur. TSP yang merupakan salah satu jenis pupuk ini penyebutannya sering dijumpai dalam kehidupan sosial terlebih lagi Bali yang merupakan daerah agraris. Dengan demikian, bertani atau berkebun merupakan lapangan pekerjaan banyak masyarakatnya. Jadi istilah pupuk dan jenis pupuk ini
143
diketahui secara umum. Makna tekstual yang dihasilkan dari kalimat berstruktur deklaratif ini menandakan bahwa kalimat tersebut merupakan sebuah informasi dengan hukum menjadi fokus pembicaraannya. Makna logis yang diperoleh dari penyandingan analogi rabuk yang dikenakan pada hukum, terlebih-lebih pelesetan kepanjangan jenis pupuk TSP yang disebutkan mengesankan sesuatu yang tidak baik atau buruk. LM 1 Tualen: / tuwah j↔ jani hukum s↔tat↔ nagih rabuk, m↔n siN maan rabuk t↔lah hukume siN nyak mokoh. ng↔l↔mah hukumme nagih rabuk TSP TSP : tombok suap p↔licin / ‘memang sekarang ini hukum minta diberi pupuk, jika tidak memperoleh pupuk, hukum tidak mau gemuk. Terusterusan hukum minta diberi pupuk TSP, TSP: Tombok Suap Pelicin’
6.2
Kaitan Imajeri Masyarakat Bali dengan Permainan Bahasa Tokoh Punakawan WCB Dari contoh-contoh bentuk permainan bahasa, fungsi dan maknanya dapat
dilihat dari penggunaan leksikal-leksikal yang mewakili maksud-maksud atau topik pembicaraan dalam kreativitas bermain-main dengan bahasa tokoh punakawan
WCB.
Dalam
mengungkapkan
permainan
bahasa
tokoh
punakawannya dalang WCB menyesuaikan pilihan-pilihan kata sesuai imajeri masyarakat saat ini sehingga permainan bahasa itu segera dapat ditangkap masyarakat. Paribasa yang konvensional dan membudaya dalam budaya Bali tetap digunakan dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB selain bentukbentuk baru yang lebih menarik dan lebih bermakna sesuai dengan imajeri masyarakat pada zaman ini.
144
Bahasa tentu dipengaruhi oleh budaya yang terus berkembang. Di samping itu, budaya masyarakat juga memengaruhi cara berbahasanya sehingga terjadilah perubahan-perubahan
dalam
mengungkapkan
sesuatu
yang
sama
yang
dipengaruhi budaya dan imajeri masyarakat saat itu. Berikut ini beberapa data permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang menunjukkan perubahan leksikal yang digunakan dalam menyebut maksud yang sama atau makna yang sama. SAB 17
Blonk
:
/NudiaN rag↔ orinne m↔siat t↔rus rag↔ gen dadiaN↔ bemp↔r di malu bangk↔ y↔ rag↔ si malu/ ‘kenapa aku disuruh bertarung terus? Aku saja dijadikan bamper di depan, mati ya aku jadi lebih dulu’
Kata bamper di atas bermakna menjadi tameng di depan atau posisi di depan untuk melindungi yang ada di belakangnya. Kata tersebut dalam masyarakat Bali biasa disebut dengan pag↔han ‘pagar’ yang terdiri atas pohon-pohon kecil yang ditempatkan di depan pekarangan rumah untuk melindungi rumah. LM 7
Tualen :
/nyen nyidaN ny↔rihin anoman nak anoman l↔bih sakti ken pow↔r renj↔rs / ‘siapa bisa mengalahkan Hanoman? Hanoman itu lebih sakti daripada Power Rangers’
Power Rangers digunakan untuk menyebutkan seseorang yang kuat. Dahulu seseorang yang kuat biasanya dilambangkan dengan Bima, yakni salah satu saudara Panca Pandawa yang bertubuh kuat dan paling sakti. Power Rangers sangat sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini terutama penonton yang berusia muda (anak-anak) karena tokoh ini sudah biasa disaksikan di televisi sebagai tokoh hero yang kuat. Imajeri mereka terhadap tokoh ini sangat melekat di dalam
145
memori yang kemudian dibangkitkan oleh permainan bahasa tokoh punakawan WCB. Memperbesar, memperluas, mengembangkan, dan memperkaya imajeri seseorang dilakukan dengan cara mengalami sesuatu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dilakukan dengan langsung melihat, mendengar, mencium, mengecap, atau meraba suatu entitas. Cara langsung memiliki kesan (impression) yang kuat. Dengan imajeri masyarakat tentang kekuatan Power Rangers yang sangat melekat dalam memorinya karena pengalaman menonton langsung aksi super hero ini di televisi tokoh punakawan WCB mengembangkan memori anak-anak tersebut dengan menyandingkan kekuatan Power Rangers dengan Hanoman. Menyebut Hanoman lebih sakti daripada Power Rangers membuat imajeri mereka berkembang terhadap tokoh Hanoman yang selama ini belum begitu dikenal. Setelah mendengar permainan bahasa tersebut imajeri masyarakat terhadap Hanoman akan terbentuk dalam otak mereka sebagai sosok atau tokoh yang sangat sakti dan kuat, bahkan melebihi kekuatan Power Rangers. LM 27 a
Cenk
:
/ j↔g N↔luluk nas ci car↔ bola liga inggris to j↔g leklek b↔ten jaN↔ car↔ pong-pongan nas ci e/ ‘bergelinding kepalamu seperti bola Inggris itu. Ditaruh di bawah kepalamu seperti kelapa yang digerek tupai’
Permainan bahasa dengan menyepadankan kepala dengan bola liga Inggris dan pongpongan ‘kelapa yang digerek tupai’ mencerminkan imajeri masyarakat. Penyepadanan kepala dengan pongpongan sudah menjadi hal yang konvensional
146
dalam paribasa bahasa Bali dari dahulu dan segera dapat ditangkap imajeri masyarakat atau penonton yang sudah tua karena mereka memiliki pengalaman langsung dengan pongpongan ‘kelapa yang digerek tupai’ yang sering ditemukan zaman dahulu di kebun-kebun mereka. Namun imajeri ini mungkin tidak dimiliki oleh masyarakat kaum remaja saat ini. Hal itu terjadi karena saat ini pongpongan sukar ditemukan terlebih lagi jika di daerah perkotaan. Dengan mengganti komponen pembandingnya dengan bola liga Inggris menjadi lebih dapat disesuaikan dengan imajeri masyarakat segala umur yang menjadikannya lebih menarik dan lebih dapat dimaknai oleh masyarakat saat ini. Penyandingan antara pongpongan dengan bola liga Inggris juga dapat mengembangkan imajeri masyarakat terhadap istilah pongpongan yang akan menambah pengetahuan masyarakat terutama kaum muda akan leksikal dalam bahasa Bali ini. Dua permainan bahasa di bawah ini merupakan permainan bahasa yang pada dasarnya bermaksud sama, yakni menunjukkan seseorang yang kebingungan, tetapi menggunakan leksikal-leksikal yang berbeda. KN 15
Delem
:
LM6b
Tualen :
/kenken ne car↔ cicing tamplig honda to NudiaN mlinc↔r/ ‘kenapa ini seperti anjing ditabrak Honda? Itu mengapa berputar-putar?’ /ci malunan mati, dew↔ ratu mredah i ayuk pontag pantig car↔ linduN uyahin kalin cai mati / ’kamu duluan meninggal, ya Tuhan Mredah Si Ayuk pontang-panting seperti belut diberi garam’
Data LM 6b merupakan permainan bahasa konvensional yang terdapat dalam paribasa Bali untuk menyebut seseorang yang kebingungan. Permainan bahasa dengan makna yang sama dilakukan secara kreatif sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini dengan menyebutkannya seperti dalam data KN 15. Belut
147
yang diberi garam akan meloncat ke sana kemari bagai orang yang kebingungan. Namun, imajeri masyarakat saat ini lebih mudah membayangkan anjing yang diserempet atau tertabrak motor yang disebut dengan Honda. KL 7b
Malen
: /yen nanaN m↔jalan car↔ rano karno / ‘jika ayah berjalan bagai Rano Karno..’
Dahulu masyarakat Bali jika menyebut seseorang yang tampan akan menyandingkannya dengan Rejun↔ ‘Arjuna’, yakni salah satu anggota Pandawa yang paling tampan. Namun, imajeri masyarakat saat ini lebih jelas dengan ketampanan atau kecantikan para artis yang sering kali dilihatnya pada layar kaca sehingga pada data KL 7b yang dimaksudkan dengan Rano Karno adalah tampan. Hal yang sama tampak dalam permainan bahasa untuk mengungkapkan kecantikan atau kejelekan paras wanita yang disepadankan juga dengan artis. Dahulu untuk menyebutkan seseorang yang cantik pada masyarakat Bali disebut j↔geg s↔kadi dewi ratih ‘secantik Dewi Ratih (Dewi Bulan). Namun, dalam
permainan bahasa tokoh punakawan WCB terdapat teks yang menyebut seseorang yang cantik bagai Krisdayanti ataupun Madona. Hal ini mungkin lebih sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini karena kesan yang lebih kuat diperoleh masyarakat dari pengalaman langsung. Kesan terhadap kecantikan seseorang yang dilihat secara langsung dengan mata jauh lebih kuat dan bertahan lama dalam memory ‘ingatan’ daripada hanya mendengar deskripsi seorang pengagum wanita cantik. Penggunaan Krisdayanti, Madona, atau Cut Tari tentunya akan lebih mengembangkan imajeri masyarakat daripada Dewi Ratih yang lebih lemah kesannya karena tidak pernah dilihat, tetapi hanya pengalaman dengan mendengar kecantikan Dewi Ratih yang dimiliki.
148
SI 6a
Tualen : /rabinne car↔ madona cantikne/ ‘istrinya bagai Madona cantiknya’ / kur↔n kak↔ e orang car↔ krisdayanti. y↔n kur↔n ci e car↔ atun j↔n↔Nne/ ‘istriku sudah kubilang bagai Krisdayanti, sedangkan istrimu seperti Atun tampangnya’
SI 16g SI 16h
Untuk menyebut seseorang yang berambut kriting dahulu disebut dengan bokne kriting car↔ embotan b↔layag ‘rambutnya kriting bagai tarikan sejenis ketupat yang bentuknya memanjang’. Belayag yang ditarik akan melingkar seperti pir dan jika ditarik semakin panjang, akan bertekstur melengkung-lengkung. Imajeri masyarakat akan belayag tidak sebaik imajerinya terhadap mie yang juga memiliki tekstur melengkung-lengkung sehingga dalang menggunakannya dalam menyepadankan rambut yang kriting. SI 14a / bok kritiN car↔ mi / ‘rambutnya keriting seperti mie’ SI 14c / gidatne jantuk car↔ be lohan hahahaha/ ‘jidatnya menonjol seperti Lohan’ Jidat Lohan yang ke depan disepadankan dengan jantuk, yakni jidat seseorang yang maju. Kata “Lohan” dekat dengan imajeri masyarakat saat ini karena sempat menjadi jenis ikan yang populer dipelihara masyarakat. pengalaman masyarakat terhadap jenis ikan ini menyebabkan imajeri yang terekam dalam otaknya sangat jelas terhadap jenis ikan ini terutama bentuk jidat yang menjadi popularitasnya sehingga pemilihan leksikal ini dalam permainan bahasa bentuk simile di atas menjadi menarik dan kebermaknaannya dapat dirasakan secara menyeluruh. BM
3e
Tualen: /baNkiaN c↔nik, jit g↔de, bok m↔rebondiN, kulit putih car↔ neon / ‘pinggang kecil, bokong besar, rambut di-rebonding, kulit putih seperti neon’
149
Seseorang yang berkulit putih dahulu biasa disebut dengan kulitne putih car↔ salak klumadin, yakni buah salak yang telah dikupas dan dibersihkan. Namun, dengan menyebut kulit putih seperti neon kebermaknaannya dapat lebih dapat dimengerti masyarakat saat ini. Zaman dahulu sebelum ada neon masyarakat Bali hanya menggunakan lampu pijar sebagai penerangan yang identik dengan warna kuning. Kulit seseorang yang putih diidentikkan dengan buah salak yang sudah dibersihkan karena imajeri putih, bersih, dan halusnya daging buah salak yang telah dibersihkan tersimpan dalam memori masyarakat sangat kuat. Namun, saat ini cahaya putih dan terangnya lampu neon jika disandingkan dengan putihnya daging buah salak akan sangat jauh perbedaannya. Imajeri masyarakat terhadap lampu neon pun saat ini sudah dimiliki oleh hampir semua tingkatan usia masyarakat sehingga penggunaan neon dalam memaknai permainan bahasa tersebut menjadi lebih berkesan kuat. Kreativitas tokoh punakawan WCB dalam menggunakan permainan bahasa yang menyesuaikan dengan imajeri masyarakat inilah yang menyebabkan wacanawacana yang disampaikannya melalui dialog tokoh punakawan menjadi sangat menarik dan mudah dimaknai oleh masyarakat yang menonton pertunjukannya. Pemakaian permainan bahasa tokoh punakawan WCB dengan kreativitas, inovatif,
dan
keterbukaannya
terhadap
bahasa-bahasa
nondaerah
tidak
melunturkan nilai-nilai budaya terdahulu. Hal itu terjadi karena dalam setiap judul pertunjukannya yang beredar di masyarakat dalang WCB sangat banyak menyelipkan filosofis, keindahan berbahasa, dan bahasa pakem sebagai kode tutur budaya lokal. Permainan bahasa seperti paribasa Bali yang konvensional dan
150
sering digunakan dari zaman dahulu banyak diselipkan. Bahkan, terkadang dalam kreativitasnya mengubah leksikon-leksikon yang lebih dekat dengan imajeri masyarakat saat ini pun tokoh punakawan WCB sering menyelipkan paribasa konvensionalnya. Justru permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang bersifat baru, kreatif, menarik dan mudah dimaknai ini menjadi pancingan bagi kaum muda untuk kembali meminati pertunjukan wayang tradisional. Di samping itu, secara tidak langsung pertunjukan tersebut mengenalkan kaum muda akan permainanpermainan bahasa konvensional seperti paribasa dan leksikal-leksikal bahasa Bali yang saat ini jarang atau sama sekali belum diketahui demi pelestarian budaya dan bahasa daerah.
151
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap permainan bahasa tokoh punakawan WCB yang meliputi aspek bentuk, fungsi, dan makna sebagaimana disajikan pada bab IV, V, dan VI dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Bentuk-bentuk yang ditemukan dalam permainan bahasa tokoh punakawan WCB dapat digolongkan dalam empat jenis, yakni permainan bahasa berjenis pelesetan, permainan bahasa dalam bentuk kreativitas gaya bahasa, bentuk permainan kata antarbahasa, dan permainan bahasa berbentuk hiponim. Pada bentuk pelesetan ditemukan lima variasi bentuk, yakni (a) bentuk pelesetan bunyi (fonologis) yang terbentuk melalui proses pembentukan kontraksi,
152
reduksi, adisi, metatesis, gabungan antara adisi dan reduksi, dan gabungan antara reduksi dengan metatesis; (b) bentuk pelesetan kepanjangan singkatan, yang terbentuk dari dua pengklasifikasian bentuk, yakni singkatan umum yang kepanjangannya mengalami pelesetan dan singkatan yang dibuat sendiri meniru struktur bentuk yang ada dengan membuat sendiri kepanjangannya; (c) bentuk
pelesetan
kepanjangan
akronim
yang
dibentuk
dengan
mempertahankan silabel awal, mempertahankan huruf awal, mempertahankan silabel awal dan huruf awal, dan mempertahankan suku akhir kata pertama dan suku awal kata kedua; (d) bentuk pelesetan ekspresi; dan (e) bentuk pelesetan ideologis dengan bentuk lingual kelas kata nomina dipelesetkan menjadi ide yang lain dengan bentuk lingual sama dan kelas kata yang sama pula. Permainan bahasa dengan penggunaan gaya bahasa diklasifikasikan menjadi empat, yakni (a) bentuk permainan bahasa retoris dengan dua variasi, yakni repetisi /pengulangan bunyi vokal (asonansi) dan repetisi /pengulangan bunyi konsonan (aliterasi), (b) bentuk permainan bahasa kiasan dibedakan menjadi tiga, yakni metafor, simile, dan eponim, (c) pada bentuk permainan kata antarbahasa ditemukan variasi campur kode antara bahasa Bali dan bahasa Indonesia serta campur kode antara bahasa Bali dan bahasa Inggris, dan (d) pada permainan bahasa berbentuk hiponim ditemukan bentuk secara eksplisit antara superordinat dan hiponimnya dan bentuk secara implisit. 2. Dari bentuk-bentuk permainan bahasa yang ditemukan dapat diidentifikasi lima fungsi sosial yang dihasilkan, yakni (a) fungsi menghibur, (b) fungsi informatif dengan menghibur (infotainment), (c) fungsi mendidik yang
153
menghibur (edutainment), (d) fungsi pengembangan kreativitas berbahasa Bali, dan (e) fungsi kritik sosial. 3. Fungsi-fungsi sosial yang dihasilkan dari variasi bentuk permainan bahasa tokoh punakawan WCB menghasilkan makna nilai-nilai sosial yang dapat diinterpretasikan secara umum menjadi delapan makna nilai sosial, yakni makna kerendahan hati, menghormati seseorang yang berkelas sosial lebih tinggi, Tuhan adalah mahasuci untuk mencapainya diperlukan pemikiran dan perbuatan yang suci, kewajiban ber-yadnya, pemimpin adalah pelindung rakyat, menjauhi sesuatu yang mengakibatkan kemabukan, pelestarian bahasa daerah, keadaan hukum yang buruk. 4. Imajeri memiliki peranan yang besar dalam memaknai sesuatu sehingga untuk menghasilkan permainan bahasa yang menarik diperlukan kata-kata yang sesuai dengan imajeri petutur. Tokoh punakawan WCB banyak menggunakan leksikal yang sesuai dengan imajeri masyarakat saat ini dalam permainan bahasanya sehingga menarik bagi masyarakat. Selain itu, melalui permainan bahasa tokoh punakawan WCB dapat mengembangkan imajeri masyarakat terhadap suatu entitas yang belum terlalu jelas diketahui atau sama sekali belum diketahui masyrakat—terutama para remaja dan anak-anak— sehingga dari permainan bahsa tersebut imajeri dan pengetahuan budaya dan bahasa daerah masyarakat bertambah.
7.2 Saran
154
Menganalisis bahasa pada pertunjukan wayang memang tiada batasnya karena pertunjukan wayang tidak sebatas pertunjukan seni yang menampilkan cerita, musik, lagu, ataupun seni gerak (tarian). Bahasa menjadi hal yang sangat penting di dalam pertunjukan wayang selain kelihaian dalang memainkan wayangnya. Untuk melanjutkan penelitian hal mendesak yang sebenarnya sangat menarik dan diperlukan dalam penelitian ini adalah analisis yang lebih mendalam terhadap imajeri dalam penggunaan permainan bahasa tokoh punakawan WCB. Selain gejala permainan bahasa banyak gejala bahasa yang belum tersentuh dalam penelitian ini, seperti penggunaan unda-usuk bahasa Bali yang menjadi budaya tutur masyarakat Bali sejak dahulu, pemakaian bahasa Kawi dan karakteristik bahasa yang digunakan pada setiap tokoh wayang dapat menjadi kajian yang menarik. Wayang yang berasal dari kata bayang-bayang merupakan simbol atau pencerminan karakteristik manusia dalam berbagai karakter. Oleh karena itu meneliti cara-cara atau karakteristik berbahasa setiap tokoh pun dapat menghasilkan penelitian linguistik yang unik.
155
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1991. Nilai-Nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Antara, I Gusti. Putu. 2007. ”Metafora Bahasa Bali di Kabupaten Buleleng” (Disertasi). Denpasar, Universitas Udayana. Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Bina Aksara. Budiasa, I Made. 1998. Kajian Nilai Budaya dan Gaya Bahasa Lakon Mina Kencana. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Danandjaja, James. 1990. “Metode Penelitian Kualitatif Dalam Penelitian Folklor”. Dalam Aminuddin (editor). Pengembangan Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Bahasa Dan Sastra. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Duranti, Alesandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
156
Erom, Kletus. 2010. ”Sistem Pemarkahan Nomina Bahasa Manggarai (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers. Fromkin, Victoria dkk. 1990. An Introduction to Language. Second Edition. Sydney: Harcout Brace Jovanovich Group. Gara, I Wayan. 1999. “Wacana Humor Pabrik Kata-Kata Joger: Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan” (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana. Ginarsa, Ketut. 1985. Paribasa Bali. Singaraja: CV. Kayumas Agung. Goldberg, Adele E. 2006. Constraction At Work: The Nature of Generalization in Language. New York: Oford University Press. Halliday, M.A.K. 1978. Language as Social Semiotic. London: Edward Arnold Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1989. Language, Context, and Text: Aspects of Language in A Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press. Halliday, M.A.K, dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks. AspekAspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. (Asruddin Barori Tou). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Henle, P. 1958. Metaphor (Language, Thought, and Culture). University of Michigan Press.
Ann Abor:
Jendra, I Wayan. 2007. Sosiolinguistik Teori dan Penerapannya. Surabaya: Paramita. Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta.: PT Gramedia Pustaka Utama. Kirshenblatt-Gimblett, Barbara. 1976. Speech Play. Philadelphia: University of Pensylvania Press. Knowles, Murray and Rosamund Moon. 2006. Introducing Metaphor. London and New York: Roullede Taylor and Francis Group. Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
157
Kridalaksana, Harimurti. Pustaka Utama.
2008.
Kamus Linguistik.
Jakarta: PT.Gramedia
Kwant, R.C. 1975. Manusia dan Kritik. Diindonesiakan oleh A. Soedarminto dari Mens en Kritiek. Yogyakarta: Kanisius. Leech, Geoffrey. 1977. Semantics. England: Hazel Watson & Viney Ltd Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa:Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Ed. Revisi, 4. Jakarta: PT Raja Grafindo.. Mbete, Aron Meko. 2004. ”Linguistik Kebudayaan: Rintisan Konsep dan Beberapa Aspek Kajiannya. Dalam Bawa, I Wayan dan I Wayan Cika (Penyunting). Bahasa dalam Persepektif Kebudayaan. Denpasar: Universitas Udayana. Moiij, J.J.A. 1976. Study of Metaphor. Amsterdam: North Hollands Publishing Coy. Moleong. L. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offsett. Muslich, Masnur. 2008. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara. Oka, I Gusti Ngurah dan Suparno. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Palmer, Gary B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press. Rahyono, F.X. 2009. Wedatamawidyasastra.
Kearifan
Budaya
dalam
Kata.
Jakarta:
Ramlan. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV ”Karyono” Redjasa, I Ketut. 2001. ”Wacana Lelucon Drama Gong di Bali” (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana. Rota, Ketut. 1990. Retorika Sebagai Ragam Bahasa Panggung dalam Seni Pertunjukan Wayang Kulit Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press.
158
Saussure, Ferdinand de. 1996. Course in General Linguistics. New York: Mc Grawhill Book Company. Sherzer, Joel. 2002. Speech Play and Verbal Art. United States of America: University of Texas Press. Sibarani, Robert. 2002. Fenomena Pelesetan Bahasa dalam Bahasa Indonesia. Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Bali 17--20 Juli. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik. Medan: Poda. Sudaryanto. 1992. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Suwija, I Nyoman. 2008. Wacana Kritik Sosial Wayang Cenk Blonk, Joblar dan Sidia. Disertasi. Denpasar: Universitas Udayana. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Wijana, I Dewa Putu. 2002. Angka, Bilangan, dan Huruf dalam Permainan Bahasa. Buku Panduan Kongres Linguistik Nasional X. Bali 17-20 Juli. Yadnya, Putra. 2004. ”Menuju Linguistik Kebudayaan sebagai Ilmu: Sebuah Perspektif Filsafat Ilmu”. dalam Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar: Universitas Udayana. Zamzamah, Sarjinah. 2000. “Semiotika dalam Berhala” dalam Tonil Volume 1, Nomor 1.Yogyakarta. Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater. New Jersey: Princeton University Press.