Revitalisasi Hukum Adat, KKMA Hadirkan Hakim Agung ... - HuMa

73 downloads 43 Views 64KB Size Report
Http://www.huma.or.id. Sumber Berita Equator OnLine. 15 - 17 Desember 2003. Revitalisasi Hukum Adat, KKMA Hadirkan Hakim Agung. Sanggau,- Apakah ...
Sumber Berita

Equator OnLine

15 - 17 Desember 2003

Revitalisasi Hukum Adat, KKMA Hadirkan Hakim Agung Sanggau,- Apakah peradilan adat bisa mendapat pengakuan negara dalam bentuk formal? Walau telah dihapuskan oleh rezim Orba, ternyata sebagian besar komunitas masyarakat Adat Dayak, khususnya di Kalbar masih mengakuinya. Praktek penyeragaman oleh rezim Orde Baru (Orba) disegala aspek kehidupan bagi masyarakat adat bukan saja telah menghapus eksistensi lembaga hukum adat. Tetapi juga telah melahirkan ekses-ekses negatif serta penyimpangan praktek hukum adat itu sendiri ditengah masyarakat. Apa kata Hakim Agung, A Rachman tentang wacana tersebut? Kelompok Kerja Masyarakat Adat (KKMA) Kabupaten Sanggau bekerjasama dengan HuMa Jakarta yang didukung oleh District Officer (DO) Sanggau, YPSBK, Yayasan Citra Hanura Sanggau sengaja mengundangnya secara khusus dalam Boraum (Seminar, Red) di gedung Balai Betomu (GPU) Sanggau, hari ini— Selasa (10/12). Seminar yang juga bakal diikuti tidak kurang dari 150 undangan dari berbagai kalangan tersebut mengusung tema: Menempatkan Peradilan Adat Kedalam Sistem dan Praktek Peradilan Formal di Indonesia. Dipilihnya tema tersebut kata Sekretaris Panitia Penyelenggara acara, Cion Alexander, karena jauh sebelum republik ini lahir masyarakat Kalbar, khususnya di Kabupaten Sanggau sebagian besar sudah memiliki adat-istiadat yang mengatur tata kehidupan sosial mereka. Dimana kampung merupakan suatu sistem yang sudah ada sesuai dengan asal-usul. Apabila terjadi pelanggaran hukum adat maka proses penyelesaiannya dan keputusan adat diserahkan kepada fungsionaris adat asli atau ketemenggunga. Bukan kepada lembaga adat baru. Dimana kata Cion, praktek penyeragaman yang dilakukan direzim Orba, telah menghancurkan lembaga adat asli. Diantaranya adalah regroufing Desa, Kebijakan Gubernur Kalbar,Kadarusno dengan SK 252 Tahun 1975 tentang pemilih dan mengangkat Temenggung Desa dan perangkat peradilannya yang disebut peradilan desa. Akibatnya peranan dan kewenangan fungsionaris adat seperti pongurus, Mangku, Patih, Petinggi dan Temenggung atau istilah lainnya menjadi beralih ke ketua RT/RW, kepala Dusun, kepala Desa dan Temenggung Desa. Padahal dari prosesnya fungsionaris adat asal lebih kuat dan sah karena dipilih dan diangkat oleh seluruh masyarakat adat dengan dikukuhkan dengan adat Ndudok Tomongokng sehingga dihormati oleh masyarakatnya. Menanggapi image buruk yang berkembang ditengah masyarakat terkait dengan hukum adat yang kabarnya menjadi momok para investor sehingga ogah menamkan modalnya ke Kalbar, ketua YPSBK, Paulus Hadi, S.Sos mengatkan justru penghancuran terhadap sistem nilai budaya ditengah masyarakat adat itu sendirilah yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Bahkan kata Paulus ada oknum-oknum tertentu yang justru “menjual” adat sebagai bemper dalam mencapai kepentingannya. Karena itu Kata Paulus, kini timbul semacam kesadaran perlu dilakukannya revitalisasi terhadap lembaga adat dimasyarakat Kalbar, khususnya di Kabupaten Sanggau.

©

Http://www.huma.or.id

“Perlu dicatat bahwa, itu pun bukan alasan atau penyebab satu-satunya,” kata Paulus. Hanya saja ujar Paulus, hukum adat dijadikan kambing hitam, padahal banyak faktor lain yang lebih buruk lagi. Karenanya kata Paulus, perlu suatu pemikiran positif untuk membangun opini masyarakat bahwa hukum adat yang sebenarnya bukanlah hal yang buruk tetapi justru guna menyelaraskan hidup manusia, baik dengan alam, sesama, maupun khaliknya. Selain Hakim Agung Jakarta akan hadir juga para narasumber penting lain yaitu Guru Besar Fakultas Hukum UNTAN, Prof Dr. YC Thambun Anyang, SH, Langae, temunggung adat dari Kecamatan Beduai, M Natsir dari Majelis Adat Budaya Melayu Sanggau, serta Syaukat Mursalin, SH, Ketua pengadilan Negeri Sanggau. (axl)

©

Http://www.huma.or.id

Eksistensi Hukum Adat, Hukum Adat = Hukum Asli Sanggau,- Ternyata jauh sebelum dilakukannya seminar hukum adat di Kabupaten Sanggau 10 Desember lalu yang menghadirkan Hakim Agung Jakarta, dengan tema Peradilan Adat Kedalam Sistem dan Praktek Peradilan Formal di Indonesia, telah disepakati bahwa hukum adat adalah hukum indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang disana-sini mengandung unsur agama. Yaitu ketika diselenggarakannya seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di Jakarta 1975. Kesepakatan tersebut terungkap kembali dalam makalah Guru Besar FH Untan, Prof Dr Thambun Anyang, SH yang disampaikannya saat menjadi pembicara dalam seminar yang diprakarsai oleh Kelompok Kerja Masyarakat Adat (KKMA), bekerjasama dengan Yayasan Hanura Sanggau dan HuMa Jakarta. “Soepomo kata Thambun menyarankan agar bagi sebutan hukum adat dipergunakan istilah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif ,” kata Thambun. Dimana meliputi hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan negara, hukum yang timbul karena keputusan hakim, dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup. Karenanya kata Thambun hukum adat mempunyai kedudukan penting dalam pembentukan hukum nasional sebagaimana telah disepakati dan ditetapkan oleh MPRS Tahun 1960. Artinya hukum adat merupakan sumber utama dalam pembentukan hukum nasional. Dalam salah satu kesimpulan seminar hukum nasional ke IV yang diselenggaakan oleh BPHN di Jakarta 1979 lalu dirumuskan bahwa dalam hal lembaga peradilan, lembaga adat yang dibeberapa daerah masih berfungsi untuk mendamaikan sengketa hendaknya dimanfaatkan. (axl)

©

Http://www.huma.or.id

Eksistensi Hukum Adat, Dapat Digunakan untuk Sengketa non Dayak Sanggau,LEMBAGA peradilan adat pada masyarakat Dayak tidak saja menyelesaikan sengketa internal masyarakat adat yang bersangkutan, akan tetapi juga sengketa antara warga Dayak dengan non Dayak, bahkan terdapat sengketa diantara warga yang sama-sama non Dayak meminta penyelesaian pada fungsionaris adat Dayak menurut hukum adat Dayak. Itu terungkap dalam makalah Guru Besar Fakultas Hukum Untan, Prof. Dr. Thambun Anyang, SH, saat dilaksanakan Semiloka Hukum Adat, di Sanggau, 10 Desember lalu. Mengenai isu komersialisasi hukum adat yang berkembang dimasyarakat sekarang ini, Thambun mengatakan bukan dilakukan oleh fungsionaris adat yang sesungguhnya, melainkan oleh mereka yang dikenal dengan sebutan “preman adat” dari oknum-oknum Dayak yang tidak mempunyai rasa malu lagi. Hal itu tidak saja dikeluhkan oleh masyarakat yang non Dayak, tapi juga dikeluhkan oleh orang Dayak sendiri. Perbuatan komersialisasi itu pada hakekatnya bertentangan dan merupakan pelanggaran hukum adat dan sipelaku tidak luput dari sanksi adat melalui lembaga peradilan adat masyarakat adat yang bersangkutan, tentunya terlebih dahulu ada tuntutan dari pihak yang merasa dirugikan. Dikalangan masyarakat Dayak, biasanya suatu sengketa tidak langsung digelar perkara dihadapan umum melalui peradilan adat untuk meminta penyelesaian kepada ketua adat dan para tetua adat setempat, melainkan melalui beberapa tahapan. Sangat jarang suatu penyelesaian diminta langsung ke Temenggung, kecuali penganiayaan berat atau pembunuhan. Tahapan pertama, sengketa diselesaikan secara kekeluargaaan. Tahapan kedua, bila sengketa tidak dapat diselesaikan pada tahapan pertama, barulah sengketa diminta penyelesaian pada ketua adat kampung bersama para tetua adat setempat melalui peradilan adat. Tahapan ketiga, sekiranya belum juga selesai pada tahapan sebelumnya, maka diminta penyelesaian pada Temenggung bersama tetua adat sekampung dan biasanya mengundang beberapa tetua adat terkenal dari kampung lain yang warganya tidak terlibat dalam sengketa itu. (iro)

©

Http://www.huma.or.id

Suggest Documents