MENJAWAB ORIENTALIS - Mirror UNPAD

33 downloads 184 Views 81KB Size Report
20 Okt 2011 ... Indonesia masih didominasi oleh karya para orientalis .... (Drs R Soekmono, Pengantar. Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, cetakan V. Penerbit ...
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

24

KAMIS, 20 OKTOBER 2011

HAJI AGUS SALIM MENJAWAB ORIENTALIS

H M Isa Anshary (Peneliti INSISTS bidang Sejarah)

aji Agus Salim, salah satu cendekiawan Muslim legendaris, juga memberikan perhatian khusus pada soal teori Islamisasi Nusantara. Pada 1941, Haji Agus Salim menulis sebuah buku berjudul Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia. Buku ini kemudian dicetak ulang pada 1962 dan diterbitkan oleh Tintamas Jakarta. Meskipun ringkas, buku ini bernilai tinggi. Saat buku ini ditulis, historiografi Islam Indonesia masih didominasi oleh karya para orientalis kolonialis yang memandang Islam secara negatif berdasarkan worldview Barat. Sebut saja, misalnya, Snouck Hurgronje. Dalam bukunya, Nederland en de Islam (hlm 1), Snouck mengatakan bahwa Islam baru masuk ke kepulauan Indonesia pada abad ke-13 M setelah mencapai evolusinya yang lengkap. Islam datang dari Gujarat, India, bukan dari Makkah, Arab. Snouck juga menyatakan dalam bukunya, Arabie en Oost Indie (hlm 22), bahwa orang Islam di Indonesia sebenarnya hanya tampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini. Ibarat berselimutkan kain dengan lubang-lubang besar, tampak keaslian sebenarnya, yang bukan Islam. Berdasarkan teorinya itu, Snouck ingin membangun opini bahwa Islam yang datang ke Indonesia bukanlah Islam yang murni seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, melainkan Islam yang telah tercampur baur dengan ajaranajaran agama lainnya alias sinkretik. Itu pun datangnya juga telat. Karena sejak kedatangannya sudah sinkretik, Islam tidak mengakar dalam jiwa orang-orang Indonesia. Islam tidak memberi pengaruh yang berarti. Pemberi pengaruh yang dominan tetaplah agama-agama praIslam, seperti Hindu, Buddha, animisme, dan dinamisme. Begitu kurang lebih jika kita cermati teori tersebut. Dengan terbitnya buku, Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia, Haji Agus Salim telah memulai penulisan historiografi Islam Indonesia berdasarkan worldview Islam. Hal itu dilakukannya jauh sebelum adanya ”Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan pada 1963. Meskipun selanjutnya terbit historiografi Islam Indonesia yang lebih rinci dan lengkap, seperti diungkapkan dalam pepatah Arab, “Al-fadhlu lil mubtadi’ wa in ahsanal muttabi‘.” Artinya, kemuliaan itu bagi orang yang

memulai meskipun orang yang mengikutinya berbuat lebih baik. Islamisasi nusantara, menurut Haji Agus Salim, bukanlah proses tanpa rencana yang dilakukan oleh para pedagang dan penjelajah bahari 600 tahun setelah pengutusan Nabi Muhammad SAW (sekitar abad ke-13 M), sebagaimana pendapat para orientalis. Sangat tidak masuk akal jika agama Islam yang telah menyebar ke hampir seluruh negeri dan dipeluk oleh mayoritas penduduk itu disiarkan dengan sambil lalu begitu saja. Pendapat ini jelas salah. Para pedagang Arab dan India ratusan tahun lalu berbeda dengan para pedagang Arab dan India yang datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 M dengan menumpang kapal-kapal Eropa untuk berniaga dan mencari kerja. Selain sebagai pedagang, orang-orang Arab dan India yang datang ke nusantara ratusan tahun yang lalu juga sebagai juru dakwah. Mereka secara sengaja datang ke nusantara membawa misi dakwah, sebagaimana orang-orang Eropa secara sengaja datang membawa misi Kristen dengan membonceng kolonialisme. Dijelaskan, pada abad ke-8 M, komunitas Muslim Arab di Kanton Cina telah membangun gudang perniagaan (hlm 11). Meskipun mengalami pasang surut, perdagangan antara Muslim Arab dan orang Cina tetap terjalin pada abad-abad berikutnya. Jalan laut dari Jazirah Arab ke negeri Cina pasti melalui nusantara. Jalan itu bermula dari Laut Merah singgah ke Jeddah, lalu ke tanah Sindh dalam kerajaan Moghul, ke Hindustan (India), terus ke negeri Tiongkok. Jalan laut ke Timur itu disebutkan dalam buku-buku sejarah Arab sebagai berikut. Sesudah menyusuri pantai anak benua India sampai di Kulan (Quilon) Malabar, masuk ke lautan besar di sebelah timur Ceylon ke pulau-pulau Nikobar, kira-kira 15 hari pelayaran dari Ceylon. Dari sana ke ujung utara Pulau Sumatra (wilayah Aceh) terus melalui Selat Malaka ke Kedah, lalu ke selatan sampai di Palembang menyeberang ke Pulau Jawa, menyusur pantai utara Pulau Jawa, balik lagi ke utara, 15 hari di laut sampai ke Campa (Kamboja). Dari situ kembali menyusuri pantai melalui Indocina sampai ke pesisir Cina. Kemudian, dari sana perjalanan sepanjang pesisir pulang pergi menghabiskan waktu selama dua bulan. Kembali lagi sampai ke Aceh menghabiskan waktu 40 hari. Di situ berhenti beberapa lama menantikan musim angin baik, lalu berlayar

pula selama 40 hari. Demikianlah perjalanan tersebut setiap tahunnya. Setiap kali pergi maupun pulang, pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan Sumatra pasti disinggahi.

Runtuhnya Majapahit Haji Agus Salim juga mengklarifikasi cerita tentang keruntuhan Majapahit akibat serangan Islam, sebagaimana banyak disebarluaskan. Menurutnya, banyak orang keliru dalam memahami antara tersiarnya agama Islam dengan berdirinya kerajaan Islam. Kedua perkara ini tidak sama. Menurut Haji Agus Salim, jejak awal Islam di Jawa telah ada sejak zaman Raja Airlangga (1019— 1042 M). Ini artinya dakwah Islam telah digulirkan sejak beratus tahun sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit pada 1216 (hlm 16-17). Majapahit tidak runtuh pada 1478 M. Pada tahun ini, ibu kota Majapahit diserang oleh Girindrawardhana, raja Hindu dari Keling. Sesudah dikalahkan, ibu kota kerajaan itu dipindahkan. Dengan dipindahkannya istana beserta pejabat dan pegawai kerajaan, tentulah negeri itu tidak dapat lagi melindungi penduduknya. Akibatnya, lama kelamaan mereka turut pindah dari sana. Ada yang mengikuti raja baru. Ada yang mengasingkan diri ke Tengger. Ada pula yang menyeberang ke Bali (hlm 19). Mengutip keterangan dari Encyclopædie van Nederlandsch-Indië (hlm 196), Haji Agus Salim mencatat

bahwa seorang pelaut Portugis, Pigafetta, memberitahukan pada 1463 Çaka (1541) Kerajaan Majapahit masih berdiri. Jadi, anggapan bahwa tahun 1400 Çaka adalah tahun runtuhnya Majapahit akibat serangan tentara Islam adalah salah. Cerita ini menyebar dari berita para penjelajah bahari Portugis (hlm 19-20). Ironisnya, sampai sekarang masih banyak orang memercayai cerita dusta yang dimaksudkan mendiskreditkan Islam ini. Lebih ironis lagi, cerita ini masih diajarkan di buku-buku Sejarah Nasional Indonesia untuk anak-anak sekolah. ■

Bhairawa: Episode Zaman Pra-Islam ara pendakwah Islam dihadapkan pada tantangan berat saat mereka memasuki tanah Jawa dan sebagian kawasan nusantara? Salah satunya, keberadaan sebuah sekte yang dikenal sebagai Bhairawatantra. Aliran ini merupakan produk persatuan dari agama dan paham tertentu dalam senyawa yang bersifat sinkretisme. Ini menjadi Tantrayana atau Bhairawatantra yang menghasilkan ritual-ritual amoral dan membangkitkan kegelapan peradaban selama beberapa abad. (Lihat Widji Saksono. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo. Penerbit Mizan, Bandung, 1995, hlm 223-224). Disebut Tantrayana sebab aliran yang awalnya lahir dari golongan Çakta ini menggunakan kitab suci yang dinamakan Tantra sebagai pegangan. Kitab ini berisi berbagai hal tentang keagamaan dan ritual atau pemujaan yang bersifat sihir dan gaib. Mantra, jampi, simbolsimbol mistis, dan pernik mistis lainnya memegang peranan penting dalam usaha manusia untuk mencapai persatuan dirinya dengan Tuhan. (Drs R Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, cetakan V. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm 34) Aliran ini juga sering dinamakan Bhairawatantra karena pemujaannya yang ditujukan kepada Dewa Siwa. Pada umumnya dalam Trimurti, Siwa dipandang sebagai Mahadewa (dewa tertinggi), Maheçwara (Mahakuasa), dan Mahakala (Sang Waktu). Sebagai dewa waktu, Siwa dianggap sebagai dewa yang sangat berkuasa. Sebab, waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Pemujaan terhadap Siwa senantiasa disertai dengan permohonan, harapan, dan serati dengan rasa takut yang sangat. Siwa juga dianggap sebagai Mahaguru dan Mahayogi yang menjadi teladan dan pemimpin bagi para petapa. Secara khusus Siwa juga dipuja sebagai Bhairawa sebagai salah satu aspek perwujudannya yang siap membinasakan

P Susiyanto Alumnus Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

kehidupan dan segala yang ada. (Drs Soekmono. Pengantar Sejarah … Ibid. hlm 29). Bhairawatantra merupakan bentuk sinkretisme dari Siwa-Buddha dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu. Oleh karenanya, kecenderungan jiwa pada akhirnya akan lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab, bila manusia terpuaskan nafsunya, jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953, hlm 89).

Ritual seks bebas

Bentuk ritualnya meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual ma-lima tersebut terdiri dari matsiya (ikan), mamsa (daging), mada (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”, juga berarti sikap tangan yang dianggap melahirkan kekuatan gaib), dan maithuna (seks bebas). (Prof Dr H M Rasjidi. Islam dan Kebatinan. Jajasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967, hlm 68). Lihat juga (Drs R Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm 3334). Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006, hlm 253 dan 448). Ada juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan di tempat periba-

datan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan Cakti. Oleh karena itu, aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Sisa-sisa ajaran ini di Jawa masih dapat dijumpai dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten atau kesaktian. (Prof Dr Koentjoroningrat [ed]. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007, hlm 347). Kaum Bhairawa melakukan pemujaan pada malam hari dengan mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada para dewa. Semakin menyengat bau mayat yang terbakar semakin menyenangkan bagi mereka. Sebab, bau tersebut disetarakan dengan wangi sepuluh ribu bunga yang membawa keselamatan bagi mereka. Biasanya manusia-manusia yang masih hidup dikorbankan pula. Korban tersebut ditelentangkan, kemudian seorang pendeta akan menusukkan pisau besar ke perut korban dan mengirisnya ke arah tulang rusuk bagian bawah. Jantungnya kemudian diambil dan darahnya diperas ke dalam sebuah gelas tengkorak atau bejana lainnya untuk selanjutnya diminum sampai habis. Proses menuang dan meminum darah ini dilakukan berulang kali. Sang pendeta yang mengalami kondisi trance kemudian menarinari sambil bersuara histeris. Upacara keagamaan yang mengerikan ini biasanya diringi ritual persetubuhan dengan para perempuan. Secara rinci ritual ini meliputi perilaku, antara lain, bersemedi, menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah, memakan daging jenazah, minum darah, tertawa-tawa, dan mengeluarkan bunyi seperti banteng serta termasuk persetubuhan. (Friedrich Schnitger. Reruntuhan … hlm 257-258; Ny Dra S Soeleiman. Peninggalan … hlm 22). Lihat P.J. Zoetmulder. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Cetakan III. Terjemahan dari Pantheism en Monism in de Javaansche Soeloek-

Literatuur oleh Dick Hartoko. (PT Gramedia, Jakarta, 1995, hlm 279). Adanya ritual persetubuhan (maithuna) dalam Bhairawatantra mungkin didasarkan pada pandangan sebagian agama yang hidup di Indonesia saat itu yang memandang hubungan kelamin mempunyai mempunyai arti mistis. Hubungan seksual bukan hanya terjadi dalam keluarga antara suami-istri, melainkan juga hubungan seksual dalam upacara keagamaan. Praktik persetubuhan ini dimaknai sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan, seperti pengharapan agar hujan turun, hasil panen melimpah, ternak berkembang, atau dimaksudkan untuk pertahanan secara magis. Dalam upacara mahavarata, seorang murid (brahmacarin) bersetubuh dengan perempuan pelacur (punmcali) di dalam ruangan berkorban. Perempuan dalam kondisi bermantra juga telah dianggap menjelma menjadi tempat korban. Dengan demikian, hubungan seksual dianggap sebagai manifestasi ibadah kurban. Friedrich Martin Schnitger, sarjana ilmu Purbakala, dalam penelitiannya pada 1935 di sebuah Candi di Padang Lawas, Batak sebelah Selatan, mengungkapkan bahwa keberadaan sekte Bhairawa turut memengaruhi kanibalisme di sana. Perlu diketahui keberadaan kaum kanibal ini masih dapat dijumpai hingga awal abad ke-20. Candi-candi tersebut dibangun secara tidak serentak selama masa antara abad XXI sampai XXIV. (Daniel Perret. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Diterjemahkan dari La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est oleh Saraswati Wardhany. (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2010, hlm 55). Friedrich Schnitger. Reruntuhan Kerajaan Tak Bernama. Dalam Anthony Reid. Sumatera … hlm 258. Lihat Ny Dra S Soeleiman. Peninggalan-peninggalan Purbakala di Padang Lawas, dalam Jurnal AMERTA No. 2. (Dinas Purbakala Republik Indonesia, Jakarta, 1954, hlm 21). ■